• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

SHANDITYA SULTAN FIRDAUS

110200284

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

SHANDITYA SULTAN FIRDAUS 110200284

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP. 195612101986012001 Dr. Hj. Chairul Bariah, S.H., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Abdul Rahman, S.H., M.H.

NIP. 195710301984031002 NIP. 196403301993031002 Arif, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat

pada waktunya. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi

persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang diangkat oleh penulis adalah

“Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional”.

Dalam penyusunan skripsi ini, tentunya banyak tantangan serta hambatan

dihadapi, tetapi Alhamdulillah semua itu dapat diatasi berkat motivasi dan

bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat

diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Kedua Orang Tua penulis, yakni (Alm. Syafrizal dan

Ernawati) yang telah membimbing serta memberikan motivasi sejak lahir hingga

sampai saat ini serta telah bersusah payah membantu penulis dalam

kesehariannya, hingga pada akhirnya kasih sayang yang telah diberikan

menjadikan penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini, serta seluruh pihak yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril

maupun materil. Kepada Yang Terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Abdurrahman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan petunjuk serta arahan selama dalam proses penulisan skripsi ini.

8. Bapak Arif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

petunjuk serta arahan selama dalam proses penulisan skripsi ini.

9. Kedua Saudara/i penulis, yakni (Erviana Rizal Filliang dan Muhammad Rio

Rahmadhani) yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis

hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita semua dapat

menjadi kebanggaan kedua Orang Tua kita kelak nantinya.

10. Kawan-kawan dari jajaran Kabinet Spektra, yakni: Yuanda Winaldi, Ika

Khairunnisa Simanjuntak, Syafitri Ditami, Yuliana Siregar, M. Virsa AKA,

Saidesi Maysela S, Aldriansyah Habib, Nurul Fatimah, Hadi Astra D.

Simangunsong., Aulia Rizki, Hamimi Masturah, Nur Fairuz Diba Nst.

(5)

sedih yang telah kita lewati bersama, semoga kita semua akan selalu menjaga

tali silaturrahim ini sampai hari tua kelak, amin ya Rabb.

11. Seluruh Keluarga Besar BTM Aladdinsyah, S.H., Fakultas Hukum USU,

yakni: Luthfy, Saufie, Umam, Bella, Suci, Swandhana, Raihan, Liza, Indah,

Faisal, Pipit, Taufik, Arif, Dinda, Aci, Iqbal, Zikri, Dimas, Laila, Almunawar,

Aries, serta kepada kawan-kawan yang lainnya yang tidak bisa penulis

sebutkan satu per satu, terima kasih atas semangat serta motivasi yang telah

diberikan kepada penulis, marilah bersama-sama kita ramaikan musholla kita

tercinta itu dengan niat dan hati yang ikhlas untuk mendapat ridho dari Allah

SWT.

12. Seluruh Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Fakultas Hukum

USU, yakni: Hadyan, Ibnu, Vito, Bakti, Pumpum, Nida, Devi, Kiki, Putri,

Fairuz, Kayaruddin, Rizky, Choky, Anggie, Susilo, Iqbal, Rafika, Ina, Ipin,

Ray, serta kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan semangat serta pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi

penulis, semoga kita semua tetap menjadikan Islam sebagai pedoman kita

bersama hingga tercapainya tujuan dari HmI itu sendiri.

13. Seluruh Abang-abang dan Kakak-kakak Senior, yakni: Bg Priawan, Bg

Benni, Bg Dowang, Bg Reza, Bg Hary, Bg Ihsan, Bg Yusuf, Bg Taufik, Kak

Arija, Kak Tasha, Kak Elly, Kak Wilda, Kak Susi, Kak Dina, Kak Izma, Kak

Nurul, Kak Dian, serta yang lainnya yang telah memberikan ilmu serta saran

(6)

14. Seluruh anak-anak ILSA (International Law Student Association) yang telah memberikan semangat serta motivasinya kepada penulis, semoga apa yang

kita inginkan tercapai dikemudian hari kelak.

15. Untuk Adinda Rini Anggreini yang selalu memberikan perhatian, semangat

serta dorongan tersendiri kepada penulis, hingga pada akhirnya dapat

menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala kebaikan yang telah diperbuat akan

mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dari Allah SWT.

16. Serta seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, yang dimana penulis sangat berterimakasih atas keikhlasan yang

telah diberikan.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga

skripsi ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan sumbangan ilmiah

bagi Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Medan, April 2015

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II: PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian ... 17

B. Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai ... 30

C. Jenis-jenis Perjanjian Damai ... 36

D. Kewajiban Menghormati Perjanjian Damai ... 43

(8)

B. Metode Penyelesaian Sengketa ... 56

C. Fungsi dan Peranan Perjanjian Damai ... 75

D. Kewajiban Menghormati Perjanjian Damai ... 81

BAB IV: PERBANDINGAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

A. Penghentian Perang dalam Hukum Islam

dan Hukum Internasional ... 85

B. Arbitrase dalam Hukum Islam

dan Hukum Internasional ... 101

C. Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Perjanjian Damai dalam

Hukum Islam dan Hukum Internasional ... 117

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 129

(9)

ABSTRAK

* Shanditya Sultan Firdaus ** Abdul Rahman, S.H., M.H.

*** Arif, S.H., M.H.

Dalam kehidupan manusia di dunia ini masyarakat internasional ditandai oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antarmasyarakat internasional. Pertumbuhan hukum internasional hingga mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini tidak terlepas dari kontribusi peradaban Islam. Prinsip-prinsip hukum dalam suasana damai, antara lain, mengenai perlakuan orang asing di negara Islam, khususnya menyangkut perwakilan diplomatik asing yang tidak boleh diganggu (inviolability). Sementara dalam suasana konflik, Islam menyumbang sejumlah prinsip hukum, antara lain, menyangkut kaidah perang, perlakuan terhadap musuh dan penduduk sipil, serta lingkungan hidup. Oleh karena itu, didalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang berkaitan dengan, pengaturan penyelesaian sengketa dam perdamaian menurut hukum Islam, pengaturan penyelesaian sengketa dan perdamaian menurut hukum internasional serta perbandingan mengenai penyelesaian sengketa dan perdamaian antara hukum Islam dengan hukum internasional.

Jenis penelitian yang dilakukan dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka atau bahan sekunder. Sehingga, data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Islam serta Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Internasional.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka khalayak umum dapat mengetahui masalah penyelesaian sengketa baik melalui perundingan, pencarian fakta-fakta, negosiasi dan lainnya, hingga penetapan hukuman perang bagi negara-negara yang tetap bersikukuh dalam kesalahannya dan tidak mau tunduk pada aturan hukum Islam dan hukum internasional. Serta, kewajiban menghormati dan mematuhi perjanjian damai, dan tindakan-tindakan tegas yang ditempuh atas pihak yang mengkhianati perjanjian damai tersebut secara sepihak. Sehingga dengan demikian dapat meminimalisir perbuatan atau tindakan yang memicu peperangan antarnegara apabila kedua hukum ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.

Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian

* Peneliti

(10)

ABSTRAK

* Shanditya Sultan Firdaus ** Abdul Rahman, S.H., M.H.

*** Arif, S.H., M.H.

Dalam kehidupan manusia di dunia ini masyarakat internasional ditandai oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antarmasyarakat internasional. Pertumbuhan hukum internasional hingga mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini tidak terlepas dari kontribusi peradaban Islam. Prinsip-prinsip hukum dalam suasana damai, antara lain, mengenai perlakuan orang asing di negara Islam, khususnya menyangkut perwakilan diplomatik asing yang tidak boleh diganggu (inviolability). Sementara dalam suasana konflik, Islam menyumbang sejumlah prinsip hukum, antara lain, menyangkut kaidah perang, perlakuan terhadap musuh dan penduduk sipil, serta lingkungan hidup. Oleh karena itu, didalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang berkaitan dengan, pengaturan penyelesaian sengketa dam perdamaian menurut hukum Islam, pengaturan penyelesaian sengketa dan perdamaian menurut hukum internasional serta perbandingan mengenai penyelesaian sengketa dan perdamaian antara hukum Islam dengan hukum internasional.

Jenis penelitian yang dilakukan dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka atau bahan sekunder. Sehingga, data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Islam serta Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Internasional.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka khalayak umum dapat mengetahui masalah penyelesaian sengketa baik melalui perundingan, pencarian fakta-fakta, negosiasi dan lainnya, hingga penetapan hukuman perang bagi negara-negara yang tetap bersikukuh dalam kesalahannya dan tidak mau tunduk pada aturan hukum Islam dan hukum internasional. Serta, kewajiban menghormati dan mematuhi perjanjian damai, dan tindakan-tindakan tegas yang ditempuh atas pihak yang mengkhianati perjanjian damai tersebut secara sepihak. Sehingga dengan demikian dapat meminimalisir perbuatan atau tindakan yang memicu peperangan antarnegara apabila kedua hukum ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.

Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian

* Peneliti

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia di dunia ini masyarakat internasional ditandai

oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai

dan adanya sengketa antarmasyarakat internasional. Sengketa antaranggota

masyarakat internasional beraneka macam sebabnya, mungkin disebabkan karena

alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara

kepentingan tersebut. Persengketaan antar bangsa sering bersifat terbuka dan

paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang yang tidak sedikit menelan

korban.1

Dalam masyarakat internasional dimana masyarakatnya terdiri dari

negara-negara yang berdaulat, hubungan antarnegara-negara bersifat koordinasi bukan hubungan Oleh karena itu masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa

adalah prinsip penyelesaian secara damai, hal ini dituangkan dalam Pasal 1

Konvensi Den Haag Tahun 1907. Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907 ini

kemudian diambil alih oleh Piagam PBB, yaitu Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB yang

berbunyi:

All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered.

1

(12)

subordinasi. Dalam masyarakat internasional tidak ada organ pusat yang dapat

menangani klaim atas penerapan sanksi pidana. Penyelesaian Sengketa diantara

masyarakat internasional berada di tangan mereka sendiri.2

Prinsip-prinsip hukum dalam suasana damai, antara lain, mengenai

perlakuan orang asing di negara Islam, khususnya menyangkut perwakilan

diplomatik asing yang tidak boleh diganggu (inviolability). Sementara dalam

suasana konflik, Islam menyumbang sejumlah prinsip hukum, antara lain,

menyangkut kaidah perang, perlakuan terhadap musuh dan penduduk sipil, serta

lingkungan hidup.

Pertumbuhan hukum internasional hingga mencapai tingkat perkembangan

seperti dewasa ini tidak terlepas dari kontribusi peradaban Islam. Pengaruh Islam

terhadap sistem hukum internasional dinyatakan oleh penulis dan sejarawan

Eropa, seperti Jean Allain, Marcel Boisard, dan Theodor Landschdeit. Kontribusi

Islam terhadap hukum internasional mencakup prinsip-prinsip hukum mengenai

hubungan antarbangsa, baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana konflik

seperti perang.

3

Penyelesaian sengketa antarnegara merupakan bagian dari ajaran syariat

Islam yang agung. Perintah memelihara perdamaian, mencegah kezaliman, serta

mewujudkan tatanan hidup yang aman dan sentosa di bawah keridhaan Allah

SWT, diarahkan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Sementara

2

Ibid

3

(13)

itu,hukum internasional mulanya lahir dan berkembang berdasarkan orientasi

wilayah dan kelompok tertentu, yakni terbatas hanya pada negeri-negeri Eropa

Katholik.4

Demikian pula dalam persoalan ekspansi satu negara ke negara lain.

Alasan penggunaan ekspansi dalam syariat Islam jauh berbeda dengan apa yang

dilakukan bangsa-bangsa Eropa. Kebanyakan ekspansi bangsa Eropa lebih karena

kepentingan meraup harta kekayaan sebanyak-banyaknya dari bangsa jajahannya,

merampas negeri mereka, disamping penyebaran ideologi dengan jalan paksaan.

Dalam upaya ekspansinya itu, selain berhadapan dengan bangsa yang dijajah,

tidak jarang bangsa tersebut berseteru dengan bangsa lain yang merasa

mempunyai hak atas wilayah yang ditempati tersebut. Kongkretnya, gerakan Islam mengakui sebuah kaidah aksiomatik dalam kehidupan, bahwa satu

kelompok masyarakat yang berkembang menjadi besar, pasti menyusun dirinya

dalam suatu kesatuan dan berusahaagar dapat hidup secara tertib dan teratur.

Makin besar perkembangan kelompok, makin diperlukan kaidah-kaidah agar

tujuannya tercapai, termasuk diantaranya, kaidah dan aturan dalam kehidupan

internasional. Namun, hubungan internasional yang diselenggarakan antarnegara,

atau negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak

selamanya terjalin baik. Acapkali hubungan ini menimbulkan sengketa di antara

mereka. Masalah dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa, seperti

masalah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, dan perdagangan.

4

(14)

tersebut dapat menimbulkan bentrokan antara dua bangsa yang berselisih

mengenai suatu kepentingan tertentu. Konflik itu dapat berbentuk tindakan

permusuhan, sikap tidak bersahabat, atau dapat pula berwujud sikap permusuhan

bersenjata yang nyata, yakni perang.

Beda halnya dengan Islam, kebanyakan perang atau ekspansi yang

dilakukan berdasar atas prinsip membela aqidah, melenyapkan kezaliman,

membela kaum lemah, atau mengenyahkan aral permusuhan bagi dakwah Islam.

Tidak ada dalam kaidah Islam perang untuk mengisap sumber daya bangsa lain,

apalagi untuk memaksa tujuan ideologi. Sebab, konsep perdamaian dan

kerukunan serta upaya menciptakan manusia sebagai umat yang satu merupakan

bagian dari dakwah dan seruan Islam.5

Namun, dalam aplikasi hubungan tersebut ditemukan beragam corak

perbedaan yang sifatnya prinsipil, seperti perbedaan bangsa, falsafah hidup,

struktur pemerintahan, tata masyaraka, kekuatan militer, dan ekonomi. Sementara

hubungan antarbangsa itu dapat terwujud apik di antara mereka yang bertindak Dari kenyataan ini, maka bangsa-bangsa

Eropa tergerak untuk mencanangkan sebuah kaidah hubungan antarnegara, atau

dalam istilah modern disebut dengan “Hubungan Internasional”. Suatu hubungan

yang sangat dibutuhkan, misalnya dalam hal pengaturan batas-batas daerah yang

didiami oleh suatu bangsa, masalah pertukaran diplomatik atau utusan dan lainnya

yang berkaitan dengan mashlahat (mashlahat) kedua bangsa atau lebih, yang

menjalin hubungan agar tercipta hubungan antarnegara yang harmonis

berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.

5

(15)

untuk dan atas nama suatu negara, misalnya konsiliasi dan membuat

perjanjiandalam berbagai bidang baik untuk kepentingan individu, negara,

maupun kemanusiaan secara umum. Hubugan kolektif yang beraneka ragam

antara pribadi, kelompok, dan negara menciptakan hubungan yang menyerap

seluruh dinamika kegiatan manusia sehingga terbentuklah masyarakat

internasional. Terciptanya masyarakat antarbangsa pada hakikatnya dimodifikasi

oleh waktu. Berabad-abad lamanya, hubungan internasional belum dikenal oleh

bangsa-bangsa terdahulu. Banyak kelompok masyarakat hidup di daerah yang

luas, saling memerangi dan menciptakan konflik.6

Sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam telah meletakan prinsip dan

kaidah-kaidah dalam hal aplikasi hubungan dengan negara-negara yang berbeda aqidah

dan keyakinan. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah Rasulullah

Shallallahu alihi wassalam (selanjutnya disingkat SAW), perkataan para sahabat dan fukaha serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara banyak bertebaran

dalam karya-karya para sarjana Islam. Ini termasuk faktor paling krusial yang

memberi efek signifikan terhadap kesuksesan dakwah Islam hingga sanggup

memberi cahaya pada dua pertiga penduduk dunia. Bahkan, diriwayatkan bahwa

saat posisi pengaturan keamanan dunia berada dalam genggaman kaum muslimin,

maka saat itulah keamanan, kedamaian, serta rajutan persahabatan antarnegara

6

(16)

terealisasi apik. Maka tidak aneh jika sebagian negeri nonmuslim justru meminta

agar diatur oleh kaum muslimin.7

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana Pengaturan Mengenai Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian

menurut Hukum Islam?

2. Bagaimana Pengaturan Mengenai Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian

menurut Hukum Internasional?

3. Bagaimana Perbandingan Mengenai Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian

Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional?

C.Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penyelesaian sengketa dan

perdamaian menurut Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penyelesaian sengketa dan

perdamaian menurut Hukum Internasional.

3. Untuk mengetahui perbandingan mengenai penyelesaian sengketa dan

perdamaian antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional.

7

(17)

Manfaat penulisan skripsi ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum didalam penyelesaian

sengketa dan perdamaian menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional.

2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni

mengenai penyelesaian sengketa dan perdamaian menurut Hukum Islam dan

Hukum Internasional.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk memberikan gambaran mengenai penyelesaian sengketa yang

ditimbulkan oleh negara-negara serta memberi gambaran mengenai

cara-cara perdamaian menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional.

2. Untuk memberikan masukan dalam rangka menjaga perdamaian sesuai

dengan yang diatur menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional.

D. Keaslian Penulisan

Adapun skripsi yang berjudul “Perbandingan Mengenai Penyelesaian

Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional” merupakan tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas mengenai masalah ini. Berdasarkan hasil

pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

(18)

yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil

dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sengketa Antarnegara

Sengketa (dispute) merupakan ketidak sepahaman mengenai sesuatu hal

antara dua orang atau lebih. Sengketa tidak pernah bisa terpisahkan dengan

konflik karena sengketa adalah sebuah konflik namun tidak semua konflik dapat

di kategorikan sebagai sengketa. Konflik sendiri memiliki pengertian pertikaian

antara pihak-pihak. Bagaimana cara membedakan konflik dengan sengketa,

sengketa lebih sederhana misalnya saja sengketa antara Indonesia dengan

Malaysia mengenai pulau sipadan dan ligitan ini merupakan sengketa, dan contoh

konflik misalnya palestina dengan israel. Mengapa palestina dan israel disebut

konflik ini karena kompleksnya permasalahan antara pihak-pihak yang terkait,

dan umumnya dalam konflik terdapat banyak sengketa khusus (specific dispute).

Sengketa Internasional adalah sengketa yang bukan secara ekslusif

merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Dari pengertian ini tentu dapat di

pahami bahwa sengketa internasional merupakan sengketa yang cakupanya diluar

urusan ekslusif dalam negeri suatu negara. Contohnya negara dengan negara atau

karena seiringnya perkembangan mengenai subjek HI bisa juga terjadi sengketa

(19)

2. Penyelesaian Sengketa

Dewasa ini hukum internasional memiliki peran besar dalam

menyelesaiakan sengketa internasional, di antaranya:

1. Pada prinsipnya, hukum internasional berupaya agar hubungan antarnegara

terjalin lewat ikatan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya

persengketaan.

2. Hukum internasional memberi aturan-aturan pokok kepada negara-negara

yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya.

3. Hukum internasional memberi pilihan yang bebas kepada para pihak

tentang cara, prosedur, atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk

menyelesaikan sengketanya.

4. Hukum internasional modern semata-mata menganjurkan cara

penyelesaian secara damai; baik sengketa itu bersifat antarnegara maupun

antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.8

Perlu ditekankan, hubungan yang terjalin antara satu negara dan negara

lainnya tidak selamanya tenang dan damai. Banyak hal yang dapat menyebabkan

benturan kepentingan yang memidani lahirnya sengketa di antara negara-negara

tersebut. Karenanya, merupakan satu kebijaksanaan dalam situasi semacam ini

adanya sikap di mana negara-negara itu berusaha mengurai sengketa yang terjadi

melalui jalur damai dan tidak menggunakan jalur perang, kecuali jika kondisi

8

(20)

sangat memaksa.9 Dalam masyarakat internasional dibedakan antara sengketa

politik dan sengketa hukum. Sengketa politik adalah sengketa yang didasarkan

atas pertimbangan-pertimbangan politik, sehingga penyelesaiannya harus

didasarkan pada pertimbangan politik juga.10

a. Perjanjian internasional.

Sedangkan penyelesaian hukum dapat kita lihat pada Pasal 36 (2) Statuta

Mahkamah Internasional, sengketa hukum mengenai:

b. Setiap persoalan hukum internasional

c. Adanya suatu fakta yang ada, bila telah nyata menimbulkan suatu

pelanggaran terhadap kewajiban internasional.

d. Sifat dan besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena

pelanggaran terhadap kewajiban internasional.11

3. Perdamaian

Dalam studi perdamaian, perdamaian dipahami dalam dua

pengertian.Pertama, perdamaian adalah kondisi tidak adanya atau berkurangnya

segala jenis kekerasan.Kedua, perdamaian adalah transformasi konflik kreatif

non-kekerasan. Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian adalah

apa yang miliki ketika transformasi konflik yang kreatif berlangsung secara tanpa

kekerasan. Perdamaian selain merupakan sebuah keadaan, juga merupakan suatu

proses kreatif tanpa kekerasan yang dialami dalam transformasi (fase

perkembangan) suatu konflik. Umumnya pemahaman tentang kekerasan hanya

9

Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 257 10

Sri Setianingsih Suwardi, Opcit, Hlm. 4 11

(21)

merujuk pada tindakan yang dilakukan secara fisik dan mempunyai akibat secara

langsung.Batasan seperti ini terlalu minimalistis karena rujukannya berfokus pada

peniadaan atau perusakan fisik semata.12

4. Perdamaian sebagai tujuan masyarakat internasional

Kendati pun demikian, pengertian perdamaian tidak berhenti di

situ.Perdamaian bukan sekedar soal ketiadaan kekerasan atau pun situasi yang anti

kekerasan.Lebih jauh dari itu perdamaian seharusnya mengandung pengertian

keadilan dan kemajuan. Perdamaian dunia tidak akan dicapai bila tingkat

penyebaran penyakit, ketidakadilan, kemiskinan dan keadaan putus harapan tidak

diminimalisir. Perdamaian bukan soal penggunaan metode kreatif non-kekerasan

terhadap setiap bentuk kekerasan, tapi semestinya dapat menciptakan sebuah

situasi yang seimbang dan harmoni, yang tidak berat sebelah bagi pihak yang kuat

tetapi sama-sama sederajat dan seimbang bagi semua pihak.Jadi perdamaian dunia

merupakan tiadanya kekerasan, kesenjangan, terjadinya konflik antar negara di

seluruh dunia.

Negara yang lebih suka menyerukan peperangan, adalah negara yang

berambisi dannegara yang tidak bersosialita.Banyak orang yang mengharapkan

perdamaian dari pada perang. Seharusnya seluruh negara di dunia ini mau

bersama-sama “saling bergandengan tangan” dan berkomitmen untuk terus

menyerukan dan mewujudkan perdamaian dunia dan saling membantu demi

terwujudnya suatu tujuan dari kehidupan bernegara, yakni terciptanya perdamaian

(22)

antar sesama umat manusia. secara bersama-sam harus yakin bahwa suatu saat

nanti perdamaian dunia akan benar-benar terwujudkan. Tentu yakin saja tidak

cukup dan tidak akan pernah mengubah keadaan. Harus ada upaya-upaya nyata

yang lakukan bersama Negara-negara di seluruh penjuru dunia. Selama ini

memang sering ada upaya-upaya diplomasi dan pertemuan antar Negara guna

menciptakan perdamaian dunia.Pada akhirnya yang dihasilkan seperti biasa yaitu

butir-butir kesepakatan atau semacam perjanjian bersama yang selama ini belum

banyak mampu merubah keadaan.13

Manusia harus memiliki suatu tujuan yang sama dengan orang lain untuk

bersatu dan berjuang demi mewujudkan perdamaian dunia.Selain itu harus saling

mengalah, tidak egois dan selalu menghargai orang lain. Jika hanya berpikir

untuk kepentingan sendiri tanpa memikirkan dampaknya terhadap orang lain,

kebersamaan pun tentu tidak akan terbentuk dengan baik. Dari kebersamaan

tersebut, akan menjadi awal mula bisa terbentuknya perdamaian. Setelah

terbentuknya kebersamaan juga diiperlukan kesadaran. Maksud dari kesadaran itu

adalah dituntut untuk sadar terhadap situasi.14

F. Metode Penelitian

Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan

mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata

kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan

yang bersangkutan. Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk

13

Ibid

14

(23)

mendapatkan data yang valid dan terpercaya dengan judul yang terkandung

didalam tulisan ini, maka penulis berusaha untuk mengumpulkan data-data yang

valid dan terpercaya tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang

disebut juga dengan Penelitian Hukum Doktrinal. Jenis penelitian yang dilakukan

dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif

atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka

atau bahan sekunder. Seperti yang diungkapkan oleh Peter Mahmud Marzuki

bahwa tujuan penelitian hukum normatif, yakni:

“...suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang

dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai presripsi dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi...”15

a. Sebagai sumber data yang dipakai hanyalah dat sekunder (kepustakaan), yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier;

Adapun karakteristik penelitian hukum normatif, yakni:

15

(24)

b. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan

tetapi penyusunan kerangka konseptual mutlak perlu;

c. Tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya hipotesis kerja;

d. Konsekuensi dari hanya menggunakan data sekunder, maka penelitian hukum

normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber

utanmanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti

dengan data jenis lainnya.16

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang diperlukan. Hal

tersebut diperlukan karena penelitian hukum itu ada yang merupakan penelitian

hukum normatif dan ada penelitian hukum empiris. Jenis data yang pertama

disebut sebagai data sekunder dan jenis data yang kedua disebut dengan data

primer.17

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum dalam

penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak tertulis dari para ahli peneliti

hukum, bahwa hukum itu berupa berbagai literatur yang dikelompokkan.18

16

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), Hlm. 118-120

17

Ibid, Hlm. 156

18

Ibid, Hlm. 157

Data

sekunder diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan

masalah Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Islam serta

(25)

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan. Selain itu, antara metode mengumpulkan data

dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan haruslah berhubungan. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah Studi Kepustakaan (Library Research)

yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai macam literatur yang berkaitan,

kemudian berdiskusi dan mendengarkan masukan yang diberikan oleh para ahli

dalam bidang pembahasan skripsi ini, serta banyak melakukan penelusuran

melalui media internet. Studi kepustakaan juga merupakan metode tunggal yang

dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Tujuan dan kegunaan studi

kepustakaan pada dasarnya adakah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan

penelitian.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk

yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Analisis yang digunakan oleh

penulis adalah analisis data secara kualitatif. Pertama, menginventarisir dan

mengindentifikasikan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan.

Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum, asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan melakukan seleksi

bahan hukum dan mengaitkan serta menghubungkan antara bahan hukum yang

(26)

menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal serta sistematis dimana

interprestasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari

keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan

undang-undang lain secara logis dan sistematis. Keempat, hasil penelitian yang

diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan

dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal

yang khusus.19

G. Sistematika Penulisan Sistematika skripsi ini meliputi:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

kepusatakaan, metode penelitian, keaslian penulisan dan

sistematika penulisan.

BAB II Menerangkan pengaturan mengenai Penyelesaian Sengketa dan

Perdamaian menurut Hukum Islam mulai dari dasar hukum serta

tinjauan umum yang menjelaskan akan hal tersebut.

BAB III Menerangkan pengaturan mengenai Penyelesaian Sengketa dan

Perdamaian menurut Hukum Internasional mulai dari dasar hukum

serta tinjauan umum yang menjelaskan akan hal tersebut.

19

(27)

BAB IV Menguraikan perbandingan mengenai penyelesaian Sengketa dan

perdamaian antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional

BAB V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan

uraian pembahasan dan beberapa saran penulis yang mungkin dapat

(28)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian

a. Penyelesaian Sengketa

Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional merupakan hal penting

dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Wujudnya keamanan serta

ketenteraman dalam segala aspek kehidupan merupakan tujuan tertinggi dalam

hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam

yang merupakan agama kedamaian dan keselamatan memberi perhatian besar

pada persoalan tersebut. Islam membolehkan menempuh segala sarana yang dapat

mengantarkan pada penyelesaian sengketa dan perwujudan kedamaian selama

tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i dan dipastikan dapat menciptakan

maslahat bagi umat manusia secara umum, dan kaum muslimin khususnya.

Disamping itu, Islam menggalakkan upaya-upaya preventif bagi segala perkara

yang dapat menjadi sumber sengketa, baik dalam skala individu maupun

internasional.20

Dalam konteks ini Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang

beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (Q.S Al-Hujurat: 12). Rasulullah

20

(29)

SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang mukmin berjual beli di atas jual beli saudaranya dan janganlah meminang (wanita) pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya” (HR. Muslim No. 1413). Ayat dan hadits diatas hanya sebagai contoh bahwa seluruh sifat-sifat yang dilarang tersebut, yakni prasangka buruk,

mencari-cari keburukan orang lain, menggunjing, berjual beli di atas jual beli

saudaranya dan selainnya, merupakan sumber-sumber lahirnya sengketa yang

dapat merusak hubungan antarsesama yang karenanya diharamkan oleh syariat

Islam.

Banyak dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang memberi isyarat

akan anjuran untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara manusia, antara

lain:

1. Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan

bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan-bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mendamaikan (perselisihan) di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisaa: 114)

Mendamaikan perselisihan di antara manusia dalam ayat ini sifatnya

umum, mencakup persoalan darah, harta, dan harga diri serta segala

sesuatu yang menjadi sumber perselisihan dan sengketa di antara manusia.

Bahkan, mengadakan perdamaian tersebut dianjurkan dalam

menyelesaikan sengketa antaragama.21

21

(30)

2. Allah SWT berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)

Tolong menolong dalam kebaikan sifatnya umum dan luas, mencakup

segala jenis dan bentuk kebaikan serta maslahat. Sebagaimana diketahui

bahwa maslahat dan kebaikan yang paling besar adalah mendamaikan

perselisihan yang terjadi di antara manusia dan negara sebagaimana

ditunjukkan oleh Ayat 114 surat An-Nisaa diatas.

3. Dari Ummu Kultsum ra. bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW

bersabda: “Tidak dikatakan sebagai pendusta orang yang (berdusta) untuk

mendamaikan (sengketa) antara manusia, maka ia menumbuhkan kebaikan atau berkata yang baik-baik.” (HR. Bukhari No. 2692)

Ibnu Syihab (w. 124 H) berkata: “Aku tidak pernah mendengar Nabi SAW

memberi keringanan pada sesuatu dari ucapan manusia berupa kebohongan melainkan pada tiga keadaan: perang, mendamaikan sengketa manusia, serta ucapan (cumbuan) seorang suami pada istri nya dan sebaliknya demi kemaslahatan.” (HR. Muslim No. 2605)

Dimana hadits ini merupakan anjuran dari Nabi SAW untuk mendamaikan

perselisihan yang terjadi diantara manusia, kendati dalam merealisasikan

hal tersebut seseorang terpaksa harus berbohong dan tidak mengatakan

hakikat yang sebenarnya.

4. Dari Abu Darda’ ra. (w. 32 H), ia berkata bahwa Rasulullah SAW

(31)

dari kedudukan puasa, salat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Mendamaikan sengketa manusia.” (HR. Abu Daud No. 4921)

Dari keterangan tentang urgensi menciptakan perdamaian serta mencegah

perselisihan dan sengketa, khusus persoalan sengketa internasional yang

melibatkan dua negara atau lebih, maka dalam perspektif hukum Islam, sarana

terpenting dalam upaya penyelesaian sengketa dengan cara damai tersebut adalah

adanya keterlibatan dan peran dari negara lain, khususnya negara-negara muslim

melalui media perundingan dalam hal mencari solusi dan jalan keluar terbaik bagi

penyelesaian sengketa, apa pun motif sengketa itu. Hal ini sejalan dengan firman

Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah:2)

Syariat Islam telah mencanangkan pentingnya penegakan sebuah lembaga

internasional yang memiliki otoritas untuk membantu penyelesaian berbagai

sengketa internasional melalui jalur perdamaian atau kekuatan jika keadaan dan

kondisi menuntut. Penjelasan hal ini termaktub dalam firman Allah Ta’ala: “Dan

(32)

beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10)

Secara umum, ayat ini memuat empat point penting yang merupakan asas

bagi penyelesaian sengketa internasional secara damai:

1. Perintah melakukan ishlah (perdamaian) bagi pihak-pihak yang

bersengketa.

2. Adanya tindakan nyata dari sebuah kelompok (organisasi internasional),

berupa teguran atau kekuatan militer terhadap pihak yang membelot

(melanggar) perjanjian damai yang telah disepakati, hingga mereka

menyatakan kesiapan diri kembali pada kesepakatan semula.

3. Memberi keputusan secara adil dan bijaksana bagi pihak-pihak yang

bersedia kembali pada perjanjian damai tersebut.

4. Isyarat akan anjuran membentuk sebuah kelompok atau organisasi

internasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi

antarkelompok atau antarnegara.22

Kata perang dalam permulaan ayat ini, “Dan kalau ada dua golongan dari

mereka yang beriman itu berperang”, bukanlah semata perang dalam tataran arti yang sempit. Akan tetapi termasuk didalamnya seluruh makna umum yang

mengarah pada arti perselisihan atau sengketa. Ayat ini memberi keterangan akan

kewajiban menegakkan perdamaian di antara kelompok yang berselisih. Oleh

karenanya, merupakan perkara aksiomatik, bahwa tindakan-tindakan penegakkan

22

(33)

perdamaian yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau organisasi internasional itu,

sudah pasti tercakup di dalamnya seluruh sarana-sarana, seperti perundingan,

negosisasi, perwakilan, dan arbitrase.

Umat Islam diberi izin untuk membela diri terhadap musuh Islam adalah

karena dalam kondisi tertentu yang ekstrim, namun demikian izin tersebut

diberikan dalam kondisi tertentu yang menyertainya seperti terbukti dari ayat-ayat

yang baru saja dikutip. Allah Ta’ala menyatakan izin tersebut diberikan karena

adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Mereka yang

telah melakukan pelanggaran boleh diperangi sampai pada akhirnya kembali

kepada hal yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.

Secara umum ayat ini mewajibkan pentingnya menyelesaikan segala

bentuk sengketa melalui keputusan final yang mengikat. Jika keduanya (golongan

yang berselisih itu) tunduk dan menghormati kesepakatan, maka Allah Ta’ala

memerintahkan untuk menahan diri dari perang. Adapun jika salah satu dari

keduanya menyimpang berbuat aniaya, tidak bersedia tunduk terhadap putusan

lembaga internasional serta menolak kembali perintah Allah Ta’ala, atau

memaksa dengan permusuhan, maka ia dikategorikan sebagai “baghiyah

(pembelot) yang menyimpang dari otoritas hukum internasional Islam dan

membangkang terhadap undang-undang.23

23

Ibid

Mengutip perkataan Ibnu At-Thabari (w. 310 H), Al-Qurthubi (w. 671 H)

(34)

“Jika seandainya wajib menghindar dan menetapi rumah setiap pecah sengketa

antara dua kelompok (negara), maka hukum tidak akan tegak dan kebathilan akan

merajalela. Di samping itu pelaku nifak dan fujur (kaum pendosa) akan mendapat

jalan menghalalkan segala hal yang diharamkan (oleh Allah Ta’ala) seperti

membunuh, merusak dan menawan wanita. Karenanya, wajib bersatu membentuk

suatu kelompok guna menghadapi kaum pembelot tersebut.”24

Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengikuti keputusan perundingan

antara dua golongan yang bersengketa, serta upaya menciptakan perdamaian di

antara keduanya. Di dalamnya diserukan kerja sama dalam rangka mewujudkan

perdamaian internasional yang tegak di atas keadilan, serta memerintahkan

pentingnya menciptakan perwakilan untuk pengaturan penjagaan keamanan, yang

pada akhirnya terwujud kewajiban menegakkan hukuman untuk membantu

negara-negara yang tertindas.

Pernyataan ini tentunya berpedoman pada sabda Rasulullah SAW., sebagai

mana diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. (w. 93 H):

Berilah bantuan pada saudaramu baik yang melakukan kezaliman maupun yang dizalimi”. Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, saya menolongnya jika ia terzalimi, bagaimana saya menolong jika ia melakukan kezaliman itu?” Beliau menjawab: “Engkau mencegahnya dari kezaliman, maka itu termasuk menolongnya.” (HR. Bukhari No. 2443)

25

24

Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Jami’ li Ahkam Al-Quran, Cet. III, (Kairo: Daar al-Kitab al-Arabi, 1387 H/1967 M) Hlm. 317, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 274

25

Al-Thayyar, Ali bin Abdur Rahman, Al-Niza’at Al-Dauliyah fi Syari’ah Al-Islamiyah, Cet. I, (Riyadh: Huquq Al-Thab’i lil Muallif, 1424 H) Hlm. 147, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 275

(35)

badan-badan internasional yang bertujuan mengawal terwujudnya perdamaian dan

keamanan bersama agama-agama non-muslim lainnya.

Islam membolehkan adanya perjanjian dan kesepakatan bersama dengan

agama lain, serta mengarahkan agar selalu konsisten menghormati kesepakatan

yang telah dilahirkan, tentunya untuk tujuan mencegah peperangan, fitnah, serta

mewujudkan perdamaian antarbangsa di dunia. Sa’id Hawwa berkata:

Dibolehkan bagi kelompok muslim untuk ikut dalam perjanjian dalam mencari kebaikan dan takwa, selama tidak membawa kepada diskriminasi dan permusuhan melawan kaum muslimin. Juga diperbolehkan bagi muslim untuk ikut kesepakatan bersama non-muslim melawan segala bentuk kekejaman dan kejahatan, selama masih memperhatikan kepentingan umat muslim untuk jangka waktu panjang dan pendek. Pada peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya, setelah diutus menjadi Nabi, beliau tetap mengungkapkan keinginannya untuk mendukung perjanjian kerja sama tersebut bila dipanggil lagi.”26

Dari sini tampak akan kebolehan menyelenggarakan kerja sama dan

kesepakatan antara negara Islam dengan negara-negara non-muslim, seperti ikut

bergabung bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka menyelesaikan

berbagai sengketa internasional, mewujudkan perdamaian global, serta

menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimanayang ditunjukkan oleh

keinginan beliau untuk kembali bergabung dalam hilf al-fudhul yang dahulu

26

(36)

diselenggarakan oleh bangsa Quraisy.27

Sebab turunnya ayat ini, bahwasannya Rasulullah SAW pernah mengajak

Al-Harits bin Abi Dhirar Al-Khuza’i masuk Islam, dan dia pun menerima dan

memeluk Islam. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, pergilah kepada

kaumku lalu ajaklah mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Setelah itu

Al-Harits pun ditugaskan mengumpulkan dari kaumnya harta zakat (sebab mereka Tentunya, kebolehan tersebut berlaku

selama tidak melanggar batas-batas hukum syariat serta tidak mendatangkan

mudharat bagi kaum muslimin.

Di samping itu, syariat Islam membatasi konsep-konsep penggunaan jalur

perang pada batas-batas tertentu, mengharamkan permusuhan dalam segala aspek

dan motif, serta berupaya senantiasa menyebarkan keadilan, rahmat, kasih sayang

dan persamaan di antara umat manusia. Islam menghormati hukum dan peraturan

yang berlaku hingga pada persoalan perang. Karena itu, secara tegas Islam

menekankan segala upaya verifikasi atau tabayyun dalam setiap sebab yang dapat

melahirkan sengketa internasional, selama hal itu dapat menyelesaikan sengketa

yang bakal terjadi. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpahkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

27

(37)

telah memelihara Islam) serta meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengutus

seorang yang akan mengambilnya. Rasulullah SAW kemudian mengutus

Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith (w. 61 H). Melihat keterlambatan utusan yang

datang, Al-Harits menyangka Rasulullah marah kepada mereka. Maka ia pun

berinisiatif keluar bersama kaumnya untuk bertemu dengan Rasulullah SAW.

Demi menyaksikan Al-Harits bin Dhirar dan kaumnya keluar, Al-Walid yang saat

itu telah dekat lantas berbalik pulang dan mengabarkan kepada Rasulullah SAW

bahwa Al-Harits menolak zakat dan berniat membunuhnya. Mendengar hal ini,

Nabi SAW tidak lantas bertindak, bahkan mengirim utusan untuk verifikasi berita

dari Al-Walid, hingga kemudian berhasil tercegah meletusnya perang.28

Upaya verifikasi terhadap suatu hal merupakan perkara wajib dan

mengikat demi mendedahkan dan menjelaskan hakikat suatu kebenaran. Upaya ini

sudah barang tentu membantu perwujudan perdamaian dan keamanan yang

diserukan oleh agama Islam. Jadi kesimpulannya, dalam tataran hukum Islam,

penyelesaian sengketa internasional itu terbagi menjadi dua: (1) Penyelesaian

secara damai, yang meliputi upaya-upaya yang mengarah kepadanya, berupa

verifikasi, negosiasi, mediasi, perundingan, hingga penyelesaian melalui badan

internasional, karena ia merupakan asas bagi penyelesaian sengketa tersebut; (2)

Penyelesaian melalui jalur kekerasan, dalam hal ini perang dan yang semakna

dengannya, jika salah satu dari kedua pihak yang berselisih membangkang dan

tidak bersedia menempuh jalur perdamaian.

28

(38)

b. Perdamaian

Secara etimologi, kata al-mu’ahadah (Perjanjian Damai) berasal dari

Al-ahdu, yang berarti setiap yang terjadi di antara manusia berupa kesepakatan,

menjaga kehormatan serta menjamin keamanan. Al-mu’ahad artinya, seseorang

yang menjalin kesepakatan dengan kita. Adapun al-mu’ahadah dan al-ta’ahud

maknanya sama, yakni membuat perjanjian akan sesuatu yang disepakati. Kata

al-ahdu dalam makna etimologi digunakan pula untuk makna kesepakatan antara dua

orang atau dua kelompok atas suatu perkara yang harus ditepati untuk

menciptakan maslahat bersama antara kedua belah pihak atau salah satu dari

keduanya. Sementara, kata al-mu’ahadah bermakna membuat kesepakatan

tersebut.29

1. Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Bahwa ia

adalah perjanjian damai dari kaum muslimin untuk penduduk daar al-harb

selama tahun-tahun (waktu) yang disepakati.

Adapun makna kata al-mu’ahadah secara terminologinya, menurut para

ulama Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya:

2. Al-Kasani (w. 587 H) mendefinisikannya sebagai kesepakatan damai

untuk meninggalkan perang.

3. Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 682 H) menyatakannya sebagai

“kesepakatan yang dibuat oleh penduduk daar al-harb untuk

meninggalkan perang dalam jangka waktu tertentu baik dengan membayar

sesuatu atau tidak.”

29

(39)

4. Menurut Muhammad Khair Haikal, al-mu’ahadah adalah perdamaian (mushaalahah) dengan penduduk negara non-muslim untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik disertai dengan kompensasi

maupun tidak.

5. Komite Pengkajian Bahasa Arab di Kairo memberi definisi bagi kata

al-mu’ahadah, bahwasanya ia adalah kesepakatan yang terjadi antara dua

negara atau lebih untuk mengatur hubungan antarmereka.30

Dalam ajaran Islam bahwa perdamaian merupakan kunci pokok menjalin

hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber

mala petaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat

memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia

agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan

godaan Syaitan. Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di

tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh

sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun

yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa

permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.31

Kesimpulannya bahwa makna kesepakatan damai bagi negara Islam adalah

segala kesepakatan yang diselenggarakan oleh pemimpin (imam) atau wakilnya

dengan golongan ahlu harbi dan ahlu dzimmah sserta kelompok kaum muslimin

yang membelot, untuk hubungan yang disyariatkan, disertai lampiran akan

30

Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.cit, Hlm. 359

(40)

kaidah-kaidah dan syarat-syarat perjanjian tersebut.Dalam perspektif syariat

Islam, menyelenggarakan kesepakatan damai dengan negara-negara nonmuslim

hukumnya mubah (boleh), selama dipandang mengandung maslahat bagi agama

dan kaum muslimin.32

1. Firman Allah Ta’ala:

Karenanya, segala kesepakatan damai yang tidak

mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin, apalagi jika kemudian melahirkan

mudarat, maka hukumnya tidak boleh.

Dalil yang menunjukkan kebolehan ini sangat banyak di antaranya:

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, makacondonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)

Ayat ini merupakan dalil pembolehan al-mushalahah dan al-muwada’ah

(perdamaian) jika kaum musyrikin meminta dan condong padanya. Kalau

dalam perdamaian itu terdapat maslahat, maka tidak mengapa bagi kaum

muslimin untuk memulai (permohonan damai tersebut) jika memang

dibutuhkan.33

2. Firman Allah Ta’ala:

Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan

32

Muhammad Ra’fat Utsman, Haquq wa Wajibaat wa Ilaaqaat Dauliyah fi al-Islam, Cet. IV, (Kairo: Daar al-Dhiya’, 1991 M), Hlm. 233. Di ambil dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 359

33

(41)

untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu, serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisaa: 90)

Dengan mementingkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin, maka sesuai

dengan dalil ini bahwasanya antara ahlu al-harb (negeri non-muslim) dan

ahlu al-Islam diperbolehkan menyelenggarakan perjanjian damai.34

B. Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai

Wahbah Al-Zuhaili menyatakan, Islam menjunjung tinggi persoalan

kesepakatan damai serta segala sarana yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan

(syariat) yang bersifat umum. Bagi seorang pemimpin, merupakan satu keharusan

untuk menjalin perdamaian dengan kalangan non-muslim jika terdapat padanya

kebaikan agama. Melalui perjanjian damai itu, diharapkan mereka mendapat

pemahaman yang baik terhadap agama Islam dan tertarik padanya.Adapun contoh

berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW diantaranya:

Pertama: Perjanjian damai diselenggarakan oleh Nabi SAW dengan kaum Yahudi di Madinah pada tahun ke-1 H. Hal demikian terlaksana setelah Nabi

SAW hijrah ke Madinah dan sukses menegakkan sendi-sendi masyarakat Islam

yang baru, berupa kesatuan aqidah, politik, dan sistem kehidupan di antara kaum

34

(42)

muslimin. Perhatian beliau pada saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan,

kebahagiaan, dan kebaikan bagi semua manusia, serta mengatur kehidupan di

daerah itu dalam suatu kesepakatan.

Tetangga paling dekat dengan kaum muslimin di Madinah adalah kaum

Yahudi. Beliau menawarkan perjanjian damai dengan mereka, yang intinya

memberikan kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, serta tidak boleh

saling menyerang dan memusuhi.35

1. Orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan orang-orang

mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang

muslim agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri mereka

sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kaum Yahudi selain Bani ‘Auf.

Adapun isi traktat itu adalah sebagai berikut:

2. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri,

begitu pula orang-orang muslim.

3. Mereka harus bahu membahu dalam menghadapi musuh yang hendak

membatalkan piagam perjanjian ini.

4. Mereka harus saling menasihati, berbuat bijak, dan tidak boleh berbuat

jahat.

5. Tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang telah terikat dengan

perjanjian ini.

6. Wajib membantu orang-orang yang terzalimi.

7. Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang Mukmin

saat mereka terjun dalam kancah pertempuran.

35

(43)

8. Yastrib (madinah) adalah kota yang dianggap suci oleh setiap pihak yang

menyetujui perjanjian ini.

9. Jika terjadi sesuatu ataupun perselisihan di antara orang-orang yang

mengakui perjanjian ini, yaitu dikhawatirkan akan menimbulkan

kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah Ta’ala dan Muhammad

SAW.

10. Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh

ditolong.

11. Mereka harus tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak

menyerang Yastrib.

12. Perjanjian tidak boleh dilanggar kecuali memang dia orang yang zalim

atau jahat.36

Kedua: Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan kaum Quraisy pada tahun ke-VI Hijriah. Peristiwa ini dimulai saat Nabi SAW keluar bersama sekitar

1.400 personel (dalam riwayat lain 1.500 orang) menuju Mekkah untuk

menunaikan ibadah umrah. Mendengar rencana Nabi SAW itu, pihak Quraisy

tidak tinggal diam. Mereka bermufakat mencegat Nabi SAW masuk ke dalam

Masjidil Haram. Diutuslah Suhail bin Amru (w. 18 H) untuk menemui beliau dan

mengadakan perundingan. Dari perundingan itu, lahirlah traktat-traktat

kesepakatan bersama yang kemudian disebut Perjanjian Hudaibiyah. Di antara

point-point perjanjian itu adalah sebagai berikut:

36

(44)

1. Rasulullah SAW harus kembali pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki

Mekkah kecuali tahun depan bersama orang-orang muslim. Mereka diberi

jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh

membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang

disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan

cara apapun.

2. Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga

semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian

yang lain.

3. Siapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya,

maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan

pihak Quraisy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah

mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu

menjadi bagian dari pihak tersebut, sehingga penyerangan yang ditujukan

terhadap kabilah tertentu, dianggap menyerang terhadap pihak yang

bersangkutan dengannya.

4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya

(melarikan diri), maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan

siapa pun dari pihak Muhammad yang mendatangi Quraisy (melarikan diri

darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan padanya.37

37

(45)

Al-Nawawi (w. 672 H) menyatakan saat mengomentari peristiwa

Perjanjian Hudaibiyah:

Seorang pemimpin berhak menjalin perjanjian damai (Al-Shulh) selama hal itu dipandang dapat mewujudkan maslahat bagi kaum muslimin, kendati pada mulanya perjanjian damai tersebut menurut sebagian orang tidak membawa kemaslahatan.”38

a. Firman Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Surat Al-Maa’idah: 2) Selain itu terdapat beberapa dalil lain yang menerangkan kepada umat

muslim untuk melakukan perjanjian damai, yakni:

b. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Setiap persendian tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang yang berselisih adalah shadaqah, menolong seseorang menaiki kendaraan adalah shadaqah atau mengangkatkan barangnya adalah shadaqah, kata-kata yang baik adalah shadaqah, setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah shadaqah, dan engkau menyingkirkan duri dari jalan adalah shadaqah.” (HR. Bukhari No. 2827 dan HR. Muslim No. 1009)

c. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam

saling mencintai dan mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu tubuh

38

(46)

merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berlaku adil di antara orang yang bertengkar dan berselisih serta

memutuskan hubungan, dilakukan dengan cara menghukumi mereka dengan adil,

mendamaikan di antara mereka dengan cara yang dibolehkan, yaitu dengan tidak

menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini adalah bentuk

taqarrub yang paling utama dan ibadah yang paling sempurna.39Mendamaikan orang yang bertikai merupakan shadaqah kepada keduanya, mengingat dengan

ishlah tersebut keduanya terhindar dari dampak yang ditimbulkan oleh pertikaian

yang terjadi antara keduanya, dampak tersebut bisa berupa cacian atau bahkan

perlakuan kasar. Karena itu pertikaian tersebut harus dihentikan, bahkan dalam

meleraikan dibolehkan berbohong.40

Perlu digarisbawahi, nota kesepakatan internasional yang diselenggarakan

antara kaum muslimin dan non-muslim tidak disyaratkan mesti sejalan dengan

aturan-aturan Islam. Sebab, yang menjadi pertimbangan utama dalam

penyelenggaraan perjanjian tersebut adalah terwujudnya maslahat bagi kaum

muslimin dan tidak melanggar kaidah-kaidah syariat. Perkara ini dapat dilihat dari

peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, di situ banyak hal-hal yang disepakati oleh Nabi

SAW kendati secara lahir tidak sejalan dengan aturan-aturan syarak.41

Sebagai contoh, perundingan antara Nabi SAW dan Suhail bin Amru (w.

18 H) kala merumuskan isi nota kesepakatan tersebut. Pada saat itu Nabi SAW

39

An-Nawawi, Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin Mitsu, Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in, Cet. VI, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), Hlm. 233

2015, pukul 15.00 WIB

41

(47)

memanggil Ali bin Abi Thalib ra. (W. 40 H) untuk menulis isi perjanjian itu.

Beliau mendiktekan pada Ali: “Bismillahir rahmanir rahim.” Suhail menyela:

“Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa Dia?” Tapi tulislah:

Bismika Allahuma.” Nabi pun memerintahkan Ali untuk menulis seperti itu. Kemudian beliau berkata lagi: “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad

Rasul Allah.” Suhail kembali menyela: “Andaikan kami tahu engkau adalah Rasul

Allah tentu kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram,

tidak pula memerangimu. Tapi tulislah: “Muhammad bin Abdillah.” Beliau pun

berkata: “Bagaimanapun juga aku adalah Rasul Allah sekalianpun kalian

mendustakanku.” Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib menulis seperti

usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang tertulis. Namun Ali

menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu

dengan tangannya sendiri.42

C. Jenis-jenis Perdamaian

Jenis-jenis perdamaian dalam kajian hukum Islam disesuaikan pada dua

tabiat hubungan, yakni hubungan yang bersifat permanen (daaim) dan temporer

(muaqqat). Perjanjian yang sifatnya permanen (al-Mu’ahadah al-Daimah) adalah perjanjian yang tidak boleh dibatalkan oleh imam (pemerintah) secara sepihak

kendati dalam pembatalan tersebut terdapat maslahat bagi kaum muslimin, selama

42

(48)

pihak kedua tidak menyelisihi poin-poin perjanjian. Ini dinamakan sebagai akad dzimmah.43

1) Jenis yang jumlahnya terbatas, yakni jumlah orang yang mengikat

perjanjian dengan kaum muslimin terbatas. Perjanjian jenis ini boleh

diselenggarakan oleh setiap kaum muslimin dengan kaum nonmuslim, dan

ia disebut juga dengan akad al-aman.

Sementara itu, perjanjian yang sifatnya temporer (Mu’ahadah

al-Muaqqat) terbagi menjadi dua jenis:

2) Jenis yang jumlah tidak terbatas, dan ia dinamakan sebagai al-hudnah;

dinamakan pula muwada’ah, mu’ahadah, musalamah, dan

al-muhadanah.

Berikut ini adalah rincian jenis-jenis dari perdamaian menurut hukum

Islam:

1. Akad Dzimmah (Jizyah)

Secara etimologi dzimmah berarti al-ahdu (perjanjian) dan al-aman

(jaminan keamanan), al-dhaman (jaminan), al-kafalah (tanggungan), al-haq

(keberhakan). Adapun dzimmah menurut terminologi berarti akad perjanjian

damai yang sifatnya permanen dengan golongan selain kaum muslimin sebagai

jaminan bagi mereka untuk tinggal di negara Islam, dalam keadaan terjamin

keselamatan diri, harta, dan kehormatan mereka. Muhammad bin Hasan

Al-Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Akad dzimmah adalah perjanjian penghentian

perang, dan keharusan bagi ahlu dzimmah tunduk kepada segala ketentuan aturan

43

(49)

Islam dalam hal-hal yang berkaitan dengan hubungan (perjanjian), serta rela

tinggal di negeri Islam.”44

1) Firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 29: “Perangilah

orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad dzimmah, yaitu:

Surat At-Taubah ini turun setelah penaklukan kota Mekkah tahun 9 H.

Khusus ayat di atas diturunkan tatkala Rasulullah SAW memerintahkan

para sahabat beranjak menuju Tabuk untuk menghadapi pasukan Romawi

dan sekutu-sekutunya dari kabilah Kristen bangsa Arab. Penetapan akad

dzimmah dalam syariat serta pemungutan jizyah mulai berlaku setelah

turunnya surat At-Taubah ini.

2) Dari Sulaiman bin Buaraidah ra. (w. 105) dari bapaknya (w. 63 H), ia

berkata: “Rasulullah SAW jika hendak mengutus panglima perang beliau

akan memberi wasiat akan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan kebaikan

pada diri pribadinya serta kaum muslimin yang bersamanya.” Beliau

bersabda: “Jika engkau berhadapan dengan musuh dari musyrikin, maka

ajaklah mereka pada salah satu dari tiga perkara: Ajaklah mereka pada

44

(50)

Islam; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Jika mereka menolak, maka ajaklah mereka untuk membayar jizyah; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Namun jika mereka menolak juga, maka mohonlah pertolongan pada Allah dan perangilah mereka.” (HR. Muslim No. 1731)

Melalui akad ini, maka ahlul dzimmah berhak untuk berdomisili dalam

negara Islam dan hidup bersama kaum muslimin, dengan hak dan kewajiban

sebagai warga negara yang sama terhadap negara, berupa jaminan keamanan serta

kebebasan dalam hal mencari penghidupan serta menjalankan kehidupan

beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hikmah pensyariatan jizyah

yaitu membangun jalinan sosial antara muslim dan nonmuslim. Hidup

berdampingan secara damai tidak jarang menjadi daya tarik nonmuslim untuk

memeluk agama Islam. Selain itu, interaksi dengan kaum muslimin dapat dapat

menambah wawasan mereka tentang Islam. Diharapkan dari hubungan ini akan

muncul para muallaf baru yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari a

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi kendala utama dalam pengembangan kedelai, khususnya mengenai penyediaan benih yang memenuhi syarat 5 (lima) tepat di Irian Jaya, sudah saatnya kita mulai

Pengetahuan yang baik menunjukkan bahwa responden memperoleh banyak informasi tentang stimulasi tumbuh kembang yang diberikan pada anaknya dan juga perkembangan

Kita yang nantinya sebagai tenaga kesehatan dapat mengetahui dan faham akan asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien retina blastoma,sehinggga didunia

SMK Telekomunikasi Tunas Harapan menyediakan bandwidth 20 Mbps digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar yang dikelola menggunakan Simple Queue. Saat kegiatan belajar

Kebijakan yang dapat diambil agar Puskesmas Pucakwangi I menjadi efisien adalah dengan melakukan penyesuaian untuk setiap variabel output, yang besarnya dapat dihitung

Upaya untuk memasyarakatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan tentang manfaat buah mangrove, antara lain telah dilakukan oleh Balai Pengolahan Hutan Mangrove

Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris bertujuan untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum

Hasil pengujian identifikasi senyawa fenol dalam ekstrak maupun fraksi etil asetat daun yakon juga menghasilkan kesimpulan bahwa kedua sampel tersebut positif mengandung senyawa