Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN
RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
MORARIO 040805043
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN
RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sumatera Utara
MORARIO 040805043
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
:
MorarioNIM
:
040805043Judul
:
Komposisi dan Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara.Nomor Nama Dosen Tanda Tangan
1 Drs.Arlen H.J.,M.Si
2 Drs. Nursal, M.Si
3 Prof.Dr.Retno Widhiastuti, M.Si
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PERSETUJUAN
Judul : KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING
TANAH DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA
Kategori : SKRIPSI
Nama : MORARIO
Nomor Induk Mahasiswa : 040805043
Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI
Departemen : BIOLOGI
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diluluskan di Medan, Juli 2009
Komisi Pembimbing :
Pembimbing II Pembimbing I
Drs.Nursal, M.Si Drs.Arlen H.J., M.Si
NIP.131 882 287 NIP. 131 882 288
Diketahui/Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PERNYATAAN
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Juli 2009
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Komposisi dan Distribusi Cacing Tanah
di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara”. Sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan bimbingan, motivasi, arahan, serta dukungannya hingga selesainya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si dan Mayang Sari Yeanny, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ibu Etti Sartina Siregar, S.Si, M.Si selaku dosen penasehat akademik. Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku ketua Departemen Biologi, Ibu Nunuk Priyani M.Sc selaku sekretaris Departemen Biologi, Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Roslina Ginting dan Bang Hendar Raswin selaku pegawai administrasi Departemen Biologi, Ibu Nurhasni Muluk serta Bapak Sukirmanto selaku analis dan laboran Departemen Biologi yang telah banyak membantu penulis.
Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh Staf Perkebunan PT. Moeis, dan juga kepada Bapak Kepala Desa Simodong, Bapak Bariman Manurung selaku sekretaris Desa Simodong yang telah membantu penulis dalam memberikan izin penelitian di perkebunan dan memberikan informasi yang tentunya sangat berguna bagi penulis.
Ucapan terimakasih penulis juga disampaikan kepada bapakku tercinta M. Aritonang dan Mamaku tercinta R. Br.Situmorang yang telah mengasuh, mendidik mulai dari lahir hingga menjadi dewasa dan juga telah memberikan banyak kasih sayang, semangat, doa, dukungan, dan bimbingan. Khususnya buat abang kandungku satu-satunya tercinta Michael Ario Aritonang yang selama ini memberikan motivasi, semangat dan juga inspirasi bagi penulis. Kiranya Tuhan memberkati.
Ucapan terimakasih penulis juga disampaikan kepada Pdt. M.Situmorang dan Guru Sihite yang telah banyak memberikan doa bagi penulis dan juga kepada anggota muda/i Pentakosta (Boston CR-7, Sihol, Melky, Nickson, Andi Situmorang, Tio, Muti, Ecy) penulis ucapkan terimakasih atas doa, canda tawa dan semangat serta keharmonisan selama ini. Kiranya Tuhan memberkati.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Sianturi, Joseph Karona. Teman-teman Stambuk 2004: Boy, Gokman, Janri, Julianus, Dewi Simbolon, Lidya Christ, Reni, Resi, Maristela, Maria Rumondang, Dahlia, Siska, dan yang lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Kepada tim ekspedisi Desma, Zakiah, Desi Ariani, Runi, Umri, Juned, Sidahin. Buat adik-adikku tersayang Pile, Ochid, Ruth, Riris, Sarah, Rudi, Hariadi, Andri, Dwi Redoz, Tridola, Desmina, Hilda, Eva Berutu, Natalina, Else, Anggun, Jupentus, Raymond, Jayana, Nina, Desy, Tombak, Frans. Khususnya buat sahabat hatiku Christine L. Silaban yang telah banyak membantu penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Medan, Juli 2009
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
ABSTRAK
Komposisi Komunitas dan Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara diteliti pada bulan Februari 2009. lokasi pengambilan sampel ditentukan secara Purpossive Random Sampling dan pengambilan sampel menggunakan metode kuadrat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 20 cm dengan 25 ulangan masing-masing lokasi.
Penelitian menunjukkan bahwa pada Lokasi I ditemukan 4 spesies yaitu:
Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Pada Lokasi II ditemukan 4 spesies yaitu : Pontoscolex corethrurus, Drawida sp, Peryonix excavatus, dan Pheretima posthuma. Kepadatan populasi
cacing tanah yang paling tinggi adalah Pontoscolex corethrurus yang terdapat di lokasi II dengan nilai kepadatan 20,89 individu/m², sedangkan Frekuensi Kehadirannya adalah 60,00% konstansi tergolong konstan (sering). Untuk nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% yang berarti hewan tersebut dapat hidup dengan baik dari jenis spesies Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp. Untuk nilai indeks morista (distribusi) >1 dan <1 pada setiap lokasi tergolong distribusi berkelompok dan beraturan Sedangkan Indeks Similaritas cacing tanah didapatkan antara Lokasi I dan Lokasi II dengan nilai 75,00%.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
THE COMPOSITION AND DISRIBUTION OF EARTHWORM COMMUNITY IN PT. MOEIS ESTATE AND SIMODONG ESTATE SEI
SUKA DISTRICT BATU BARA
ABSTRACT
The composition and distribution of earthworm in PT. Moeis Estate and Simodong Estate Sei Suka District Batu Bara has been investigated February 2009. Sampling area was determinated by using Purposive Random Sampling method and sampling was collected using square method of 30 cm x 30 cm x 20 cm in size with is 25 replication for location.
The results of research showed that on location I found 4 species, they are:
Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Location II it was 4 species, they are: Pontoscolex corethrurus, Drawida
sp, Peryonix excavatus, dan Pheretima posthuma. The highest population density found ini location presented by Pontoscolex corethrurus with the number for 20,89 organism/m2. While the highest existence frequency with the number 60,00%. There are 3 species of earthworm that alive better in each location, they Pontoscolex
corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp. To assess the index morista (
distribution) >1 and < 1 in each location pertained by in groups and regular distribution. The similarities index of earthworm found between location I and location II with the number 75,00%.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR ISI Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Tanaman Kelapa Sawit 4
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit 2.1.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit 2.1.3 Ekologi Tanaman Kelapa Sawit 2.1.4 Manfaat Tanaman Kelapa Sawit
4 4 5 6 2.2 Klasifikasi Cacing Tanah
2.3 Morfologi Cacing Tanah 2.4 Ekologi Cacing Tanah 2.5 Peranan Cacing Tanah
6 7 8 12 Bab 3. Bahan Dan Metoda
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Deskripsi Area 3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah
3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah
15 16 3.5 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah
3.6 Analisa Data
16 17 Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Spesies Cacing Tanah yang Ditemukan pada Setiap Lokasi
4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah 4.3 Komposisi Cacing Tanah
4.4 Frekuensi Kehadiran dan Konstansi
4.5 Jenis Cacing Tanah Yang Memiliki Nilai
19
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25%
4.6 Nilai Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah 4.7 Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing Tanah
27 29 Bab 5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
30 31
Daftar Pustaka 32
Lampiran 34
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR TABEL
Cacing Tanah yang Ditemukan pada Dua Lokasi
Penelitian
Kepadatan dan Kepadatan Relatif Populasi
Cacing Tanah
Komposisi Cacing Tanah
Frekuensi Kehadiran dan Konstansi Cacing
Tanah
Jenis Cacing Tanah yang memiliki Nilai
Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25%
Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah
Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul halaman
2.1 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) 5
2.2 Morfologi Cacing Tanah 7
3.1 Foto Lokasi I 14
3.2 Foto Lokasi II 15
4.1 Gambar Pontoscolex corethrurus 21
4.2 Gambar Drawida sp 21
4.3 Gambar Peryonix excavatus 22
4.4 Gambar Megascolex cempii 23
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
Gambar Judul halaman
A Peta Lokasi Penelitian 34
35
36
37 41 B
C
D
Nilai Faktor Fisik-Kimia Tanah pada
Masing-Masing Lokasi Perkebunan Sawit
Data Jumlah dan Jenis Cacing Tanah yang
Didapatkan pada Dua Lokasi Penelitian
Contoh Cara Perhitungan Analisis Data
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa kelapa sawit (Elaeis guinensis) merupakan tanaman tropis yang memiliki nilai
komoditas yang penting. Perkebunan kelapa kelapa sawit komersial pertama di
Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara. Luas
perkebunan kelapa kelapa sawit terus bertambah dari 1272 ha pada tahun 1916
menjadi 92.307 ha pada tahun 1938. Hingga tahun 2000 masih tercatat luas areal
perkebunan kelapa kelapa sawit di Indonesia sekitar 3.174.726 ha. Luas perkebunan
kelapa kelapa sawit di Sumatera Utara yaitu sekitar 451.725 ha (Naibaho, 1988).
Dibukanya beberapa areal baru perkebunan kelapa kelapa sawit oleh Perusahaan
Perkebunan Swasta Nasional (PBSN), Perkebunan Negara, dan Perkebunan Rakyat
membawa implikasi baru, mulai dari penyediaan lahan hingga dampak lingkungan
yang ditimbulkan, khususnya tanah sebagai habitat cacing tanah.
Menurut Hadi (2004), kondisi lingkungan perkebunan kelapa kelapa sawit
yang memungkinkan untuk diubah adalah tanah. Pengubahan tanah dapat dilakukan
secara fisik, biologis, dan kimiawi. Pengubahan secara fisik dilakukan dengan
pengelolaan tanah serta pembuatan jaringan irigasi dan saluran drainase. Secara
biologis, kondisi tanah dapat diubah dengan mengatur jarak tanam, penanaman cover
crops, introduksi serangga penyerbuk dan pemberian mulsa penutup tanah. Secara
kimiawi, dapat dilakukan pengapuran terhadap tanah yang masam, pengasaman
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Pengelolaan perkebunan kelapa kelapa sawit PT. Moies yang lebih intensif
dimana adanya teknik budi daya tanaman dengan mengubah kondisi tanah baik secara
fisik, biologis maupun secara kimia, sedangkan pengelolaan perkebunan kelapa sawit
rakyat di Desa Simodong kurang intensif dan lebih sederhana. Berdasarkan kondisi
tersebut maka faktor fisik-kimia tanah dan jenis tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang
terdapat pada di dua lokasi perkebunan tentulah berbeda, dimana hal itu sangat
mempengaruhi komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah.
John (2007) menjelaskan bahwa keberadaan cacing tanah pada areal
perkebunan sangat berperan dalam peningkatan produktivitas tanah. Hanafiah (2005)
menjelaskan bahwa secara umum peranan cacing tanah merupakan sebagai
bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui
kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara,
dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, dan lain-lain, sehingga mampu
meningkatkan produktivitas tanah.
Suin (1989) menjelaskan bahwa kepadatan populasi cacing tanah sangat
bergantung pada faktor fisik-kimia tanah dan tersedianya makanan yang cukup bagi
cacing tanah. Pada tanah yang berbeda faktor fisik-kimia tanahnya tentu kepadatan
cacing tanahnya juga berbeda. Demikian juga jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh
pada suatu daerah sangat menentukan jenis cacing tanah dan kepadatan populasinya di
daerah tersebut.
Informasi mengenai ekologi, terutama tentang penyebaran dan kepadatan
populasi cacing tanah di dua lokasi perkebunan kelapa sawit tersebut masih sedikit
sekali. Sehubungan dengan uraian-uraian tersebut maka penulis merasa perlu
melakukan penelitian tentang : ”Komposisi dan Distribusi Cacing Tanah di
Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara”.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Adanya perbedaan pengelolaan tanah perkebunan kelapa sawit di PT. Moeis
dan perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Simodong, sehingga berbeda komposisi
komunitas dan distribusi cacing tanah di dua kawasan perkebunan kelapa sawit
tersebut. Namun hingga saat ini belum diketahui bagaimana perbedaan komposisi
komunitas dan distribusi cacing tanah di dua kawasan perkebunan kelapa sawit
tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah pada
masing-masing lokasi perkebunan kelapa sawit
1.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah di
perkebunan kelapa kelapa sawit PT. Moeis dengan perkebunan kelapa kelapa sawit
Rakyat di Desa Simodong.
1.5 Manfaat Penelitian
1) Dari penelitian diharapkan dapat diketahui komposisi komunitas dan distribusi
cacing tanah di perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan perkebunan kelapa sawit
rakyat di Desa Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Propinsi
Sumatera Utara.
2) Dari penelitian akan diperoleh data yang diharapkan dapat berguna bagi pihak atau
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kelapa Sawit
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan oleh Jacquin (1763) sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledone
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
2.1.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit dibedakan atas 2 bagian, yakni: bagian vegetatif dan bagian
generatif. Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit terdiri dari akar berupa akar serabut,
batang dan daun. Batang tidak bercabang dan tidak memiliki kambium. Pada ujung batang
terdapat titik tumbuh yang terus berkembang membentuk daun. Batang berfungsi sebagai
penyimpan dan pengangkut bahan makanan untuk tanaman serta sebagai penyangga
mahkota daun. Daun kelapa sawit membentuk suatu pelepah bersirip genap dan bertulang
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
sampai tua mencapai waktu ± 7 tahun; jumlah pelepah dalam 1 pohon dapat mencapai 60
pelepah. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat mencapai 380 helai. Panjang anak daun
dapat mencapai 120 cm (Risza, 1994).
Bagian generatif tanaman kelapa sawit terdiri dari bunga dan buah. Kelapa sawit
mulai berbunga pada umur 12 bulan. Pembungaan kelapa sawit termasuk monoccious
artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada satu
tandan yang sama. Namun terkadang dijumpai juga dalam 1 tandan terdapat bunga jantan
dan bunga betina. Bunga seperti itu disebut bunga banci (hermaprodit). Buah kelapa sawit
termasuk buah batu yang terdiri dari 3 bagian yakni; lapisan luar (epicarpium) yang
disebut kulit luar, lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah, mengandung
minyak sawit dan lapisan dalam (endocarpium) yang disbut inti, mengandung minyak
inti. Diantar inti dan daging buah terdapat lapisan tempurung (cangkang) yang keras. Biji
kelapa sawit terdiri dari 3 bagian yaitu; kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus)
dan inti biji atau nucleus seminis (Risza, 1994).
Gambar 2.1 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
2.1.3 Ekologi Tanaman Kelapa Sawit
Pada prisnsipnya kelapa sawit dapat tumbuh dan bereproduksi di hampir semua jenis
tanah namun hendaknya memenuhi kriteria berikut; keasaman tanah (pH) 5,0-6,5,
kemiringan lahan 0-15º, kedalaman air tanah 80-150 cm dari permukaan, drainase
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa
sawit. Kelapa sawit hanya dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik di daerah yang
beriklim tropis (Hadi,2004).
Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan kelapa sawit yaitu 2.500-3000 mm
per tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun. Curah hujan yang terlalu tinggi
mengakibatkan proses penyerbukan dan fotosintesis kurang optimal. Radiasi matahari
juga dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk proses fotosintesis, yaitu 1.800 jam
penyinaran per tahun dengan lama penyinaran yang optimal 6-7 jam per hari. Suhu
optimal rata-rata yang diperlukan oleh kelapa sawit yaitu 27-32ºC dengan kelembaban
udara optimal 80-90% (Hadi,2004).
2.1.4 Manfaat Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang rendah
kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak hanya
dikonsumsi untuk kebutuhan pangan (minyak goreng, margarin, lemak dan lain-lain)
tetapi juga untuk kebutuhan lain seperti sabun, deterjen, BBM. Tandan kelapa sawit
dapat dimanfaatkan menjadi pupuk, kompos dan bahan bakar. Batang kelapa sawit
dapat dimanfaatkan menjadi bahan bangunan. Lumpur (sludge) kelapa sawit dapat
dimanfaatkan menjadi sabun, pupuk dan pakan ternak (Hadi,2004).
2.2 Klasifikasi Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan Invertebrata dari filum Annelida, kelas Chaetopoda
dan ordo Oligochaeta. Famili dari ordo ini yang sering ditemukan adalah:
a. Famili Moniligastridae, contoh genus: Moniligaster.
b. Famili Megascolidae, contoh genus: Pheretima, Peryonix, Megascolex.
c. Famili Acanthodrilidae, contoh genus: Diplocardia.
d. Famili Eudrilidae, contoh genus: Eudrilus.
e. Famili Glossoscolecidae, contoh genus: Pontoscolex corethrurus.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
g. Famili Tubificidae, contoh genus: Tubifex.
h. Famili Lumbricidae, contoh genusnya yaitu: Lumbricus, Eiseniella, Bimastos,
Dendrobaena, Octalasion, Eisenia, Allobophora (John, 2007).
2.3 Morfologi Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan yang tidak mempunyai tulang belakang
(invertebrata). Tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin
(chaeta), yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan
bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya
terdapat mulut dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium
(Edward & Lofty, 1997).
Gambar 2.2 Morfologi Cacing Tanah
Hegner & Engeman (1978) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai
kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut protomium.
Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan
klitelium yang merupakan pengembangan segmen-segmen, biasanya mempunyai
warna yang sedikit menonjol atau tidak dibandingkan dengan bagian tubuh lain.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
sentuhan dan getaran. Cacing tanah juga tidak mempunyai mata, tetapi peka sekali
terhadap sentuhan dan getaran, sehingga dapat mengetahui kecenderungan untuk
menghindari cahaya, selain itu cacing juga tidak mempunyai gigi.
Pada bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya tersusun atas
setiap segmen dan berhubungan dengan alat ekskresi (nephredia) yang ada dalam
tubuh. Nephredia ini mengeluarkan zat-zat sisa yang telah berkumpul di dalam rongga
tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori adalah untuk menjaga
kelembaban kulit cacing tanah agar selalu basah karena cacing tanah bernafas melalui
kulit yang basah tersebut. Kulit luar (kutikula) selalu dibasahi oleh kelenjar-kelenjar
lendir (kelenjar mukus). Lendir ini terus diproduksi cacing tanah untuk membasahi
tubuhnya agar dapat bergerak dan melicinkan tubuhnya (Rukmana, 1999).
Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh
segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral,
diselaput i oleh epidermis (kulit) berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan setae
(lapisan daging semu di bawah kulit) kecuali pada dua segmen pertama yaitu pada
bagian mulut (Hanafiah, 2005).
Warna cacing tanah tergantung pada ada tidaknya dan jenis pigmen yang
dimilikinya. Sel atau butiran pigmen ini berada di dalam lapisan otot di bawah
kulitnya. Paling tidak sebagian warna juga disebabkan oleh adanya cairan kulomik
kuning. Warna pada bagian dada dan perut umumnya lebih muda dari pada bagian
lainnya, kecuali pada Megascolidae yang berpigmen gelap, berwarna sama. Cacing
tanah yang tanpa atau berpigmen sedikit, jika berkulit transparans biasanya terlihat
berwarna merah atau pink. Apabila kutikulanya sangat irridescent, seperti pada
Lumbricus dan Dendrobaena maka akan terlihat biru (Hanafiah, 2005).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana
cacing tanah itu berada. Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas
kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersama-sama dapat
mempengaruhi populasi cacing tanah (Satchell, 1967 dalam John, 1984). Selanjutnya
dijelaskan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi cacing tanah
adalah: kelembaban, suhu, pH tanah, bahan organik tanah, serta vegetasi yang terdapat
disana sebagai berikut:
a. Kelembaban
Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena
sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah
sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah.
Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban
yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau
pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari
air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah
cacing tanah. Cacing tanah menyukai kelembaban sekitar 12,5-17,2 % (Wallwork,
1970; Edward & Lofty, 1977).
Menurut Rukmana (1999) kelembaban yang ideal untuk cacing tanah adalah
antara 15%-50%, namun kelembaban optimumnya adalah antara 42%-60%.
Kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing
tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu
kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta
akhirnya mati.
b. Suhu
Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim
tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Disamping itu suhu tanah pada
umumnya juga mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Kesuburan cacing tanah di suatu habitat sangat dipengaruhi oleh perbedaan
suhu, contohnya jumlah kokon yang dihasilkan oleh Allolobophora caliginosa dan
beberapa spesies Lumbricus jumlahnya bertambah 4 kali lipat ada kisaran suhu 6 – 16
0
C. Kokon dari Allolobophora chlorotica menetas dalam waktu 36 hari pada suhu 29 0
C, 49 hari pada suhu 15 0C dan 112 hari pada suhu 10 0C bila tersedia air yang cukup
(Wallwork, 1970).
Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan cacing tanah. Suhu
tanah pada umumnya dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan
metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum tertentu,
contohnya L.rubellus kisaran suhu optimumnya 15 – 18 0C, L. terrestris ± 10 0C,
sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan tanah pada
waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0C (Wallwork, 1970).
c. pH
Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga
menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh
baik pada pH sekitar 7,0, namun L.terrestis dijumpai pada pH 5,2 – 5,4. Beberapa
spesies tropis genus Megascolex hidup pada tanah masam dengan pH 4,5 – 4,7 dan
Bimastos lonnbergi pada pH 4,7 – 5,1, bahkan Dendrobaena octaedra tahan pada pH
di bawah 4,3 (Hanafiah, 2005).
Menurut Rukmana (1999) tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah
karena pH-nya asam. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan
daya berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara
(pakan) cacing tanah relatif terbatas. Di samping itu, tanah dengan pH asam kurang
mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Oleh
karena itu, tanah pertanian yang mendapatkan perlakuan pengapuran sering banyak
dihuni cacing tanah. Pengapuran berfungsi menaikkan (meningkatkan) pH tanah
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH
merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada
tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing
tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam
tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan.
Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah
(Edwards & Lofty, 1977).
d. Bahan Organik
Distribusi bahan organik dalam tanah berpengaruh terhadap cacing tanah, karena
terkait dengan sumber nutrisinya sehingga pada tanah miskin bahan organik hanya
sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai. Namun apabila cacing tanah sedikit,
sedangkan bahan organik segar banyak, pelapukannya akan terhambat (Hanafiah,
2005).
Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan
untuk melanjutkan kehidupannya (Lee, 1985). Selanjutnya Buckman & Brady (1982)
menjelaskan sumber utama materi organik tanah adalah serasah tumbuhan dan tubuh
hewan yang telah mati. Pada umumnya bahan organik ini banyak jumlahnya pada
tanah yang kelembabannya tinggi dibandingkan dengan yang rendah. Selain itu
menurut Russel (1988) bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan
bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa
pembentukan tubuh cacing tanah.
e. Vegetasi
Wallwork (1976) menyatakan bahwa jumlah dan distribusi serasah mempengaruhi
kepadatan populasi cacing tanah. Cacing tanah dapat menghancurkan sejumlah besar
serasah tahunan di lantai hutan. Jika tempat tersebut populasi cacing tanah tinggi
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat,
cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan sumber
makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards & Lofty (1977)
faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat
sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di
habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan
kurang menyenangi serasah pohon gugur dan daun yang berbentuk jarum. Selanjutnya
dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun yang tidak mengandung tanin.
2.5. Peranan Cacing Tanah
Secara umum peranan cacing tanah merupakan sebagai bioamelioran (jasad hayati
penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki
sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan
mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah, 2005).
Hegner & Engeman (1978) menyatakan bahwa pembentukan pori-pori tanah
dilakukan oleh cacing tanah sehingga campuran bahan organik dan anorganik
membentuk bahan-bahan lain yang tersedia bagi tanah. Cacing tanah juga dapat
meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan. Oleh sebab itu
persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin pertumbuhan
tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan daun-daun tumbuhan
lebih baik. Apabila daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi humus sehingga
secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan dan menjaga
persedian air pada musim kering.
Beberapa spesies cacing tanah telah ditemukan mengakumulasi logam-logam
berat tertentu baik pada tanah yang berkadar-logam berat rendah maupun yang tinggi,
misalnya Cd oleh cacing kompos Eisenia foetida, Ni, Cu, dan Zn oleh berbagai
spesies apabila diberikan sewage sludge (lumpur organik) bercampur garam-logam
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Co, Hg dan Zn oleh cacing tanah tertentu yang jumlahnya selaras dengan kenaikan
dosis lumpur organik (Hanafiah, 2005).
Tomati et al (1988) menyatakan bahwa tanah dengan kepadatan populasi
cacing tanahnya tinggi akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah (kasting) yang
bercampur dengan tanah merupakan pupuk yang kaya akan nitrat organik, posfat, dan
kalium, yang membuat tanaman mudah menerima pupuk yang diberikan ke tanah, di
samping formasi bahan organik tanah dan mendistribusikan kembali bahan organik di
dalam tanah.
Wallwork (1976) menyatakan bahwa cacing tanah dan organisme tanah
lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu komunitas yang memiliki beberapa
peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai makanan, jembatan
transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkat tropik yang lebih tinggi,
membantu kegiatan metabolisme tumbuhan dengan menguraikan serasah daun-daunan
dan ranting. Di samping itu cacing tanah juga dapat digunakan untuk mengestimasi
kondisi ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah
juga dapat mengubah kondisi tanah yang didiaminya melalui keunikan aktivitas dan
perilakunya. Hewan ini memakan tanah berikut bahan organik yang terdapat di tanah
dan kemudian dikeluarkan sebagai kotoran di permukaan tanah. Aktivitas ini
menyebabkan lebih banyak udara yang masuk ke dalam tubuh, tanah menjadi teraduk
dan terbentuk agregasi-agregasi sehingga tanah dapat menahan air lebih banyak dan
menaikkan kapasitas air tanah. Cacing tanah juga sangat penting dalam proses
dekomposisi bahan organik tanah.
Kegiatan cacing tanah menerowongi tanah dapat membentuk pori mikro yang
mantap dan sambung menyambung melancarkan daya antar air, memudahkan proses
pertukaran gas, menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan akar
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2009 di 2 (dua) lokasi yaitu kawasan
perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan perkebunan kelapa sawit milik rakyat di Desa
Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Propinsi Sumatera Utara.
3.2 Deskripsi Area a. Lokasi 1
Lokasi 1 terletak di kawasan perkebunan kelapa sawit PT. Moeis. Lokasi ini secara
geografis terletak pada 03º 18’ 22,4” LU dan 99º 20’ 4,6” BT. dengan luas lahan
sekitar 107,6 ha, yang ditanam kelapa sawit pada tahun tanam 1991 atau telah
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Gambar 3.1 Foto Lokasi I Areal Kebun Kelapa Sawit PT. Moeis b. Lokasi 2
Lokasi 2 terletak di kawasan perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Simodong.
Lokasi ini secara geografis terletak pada 03º 20’ 52,8” LU dan 99º 20’ 45,7” BT.
dengan luas lahan sekitar 16,10 ha, yang ditanam kelapa sawit pada tahun tanam 1994
atau telah berumur sekitar 15 tahun.
Gambar 3.2 Foto lokasi II Areal Kebun Kelapa Sawit Milik Rakyat
3.3 Metoda Penelitian
Penentuan lokasi plot sampling dilakukan dengan metoda ”Purposive Random
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
kelapa sawit PT. Moeis dan pada areal perkebunan kelapa sawit masyarakat di Desa
Simodong. Selanjutnya pengambilan sampel cacing tanah dilakukan dengan metoda
Kuadrat dan metoda Hand Sorting, dimana tiap-tiap lokasi perkebunan diambil
sebanyak 25 titik sampel sebagai ulangan.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah
Pada masing-masing titik sampel yang telah ditentukan dibuat plot berukuran
30 x 30 cm dengan kedalaman 20 cm sebanyak 25 plot dan diambil tanahnya dengan
menggunakan sekop/cangkul, kemudian ditempatkan dalam lembaran plastik.
Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 07.00 – 09.00 WIB. Selanjutnya cacing
tanah yang ada pada tanah tersebut disortir. Cacing tanah yang didapatkan
dikumpulkan dan dibersihkan dengan air serta dihitung jumlahnya, kemudian
dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah berisi formalin 4%, setelah itu
diawetkan dengan alkohol 70% (Suin, 1997). Cacing tanah yang diawetkan ini dibawa
ke Laboratorium Sistematika Hewan FMIPA USU untuk diidentifikasi.
3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah
Sampel cacing tanah yang telah diawetkan, terlebih dahulu dikelompokkan
jenisnya sesuai dengan kemiripan bentuk morfologinya, selanjutnya dideterminasi dan
diidentifikasi dengan bantuan lup dan mikroskop stereo binokuler serta menggunakan
beberapa buku acuan seperti: Suin (1989), Dindal (1990), dan John (1998).
3.5 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Tanah pada masing-masing plot sampel diukur kelembaban relatif, suhu, kadar air,
dan kadar organik tanah. Pengukuran kelembaban relatif, pH dan suhu tanah
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
diukur dengan menggunakan Soil Tester dan suhu tanah diukur dengan menggunakan
Soil Thermometer.
Pengukuran kadar air dan kadar organik tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian USU. Tanah yang telah disortir cacing tanah dibersihkan
dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan tanah lainnya yang masih ada, kemudian
diaduk-aduk sampai rata dan diambil sebanyak 20 gram tanah untuk dianalisis. Selanjutnya
sampel tanah ini dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 2 jam sehingga
beratnya konstan dan ditentukan kadar air tanahnya dengan rumus sebagai berikut :
A – B
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Keterangan: A = Berat basah tanah
B = Berat konstan tanah (Wilde, 1972 dalam Adianto, 1993)
Selanjutnya diambil sebanyak 5 gram dan dibakar di dalam tungku pembakar
(Furnace Mufle) dengan suhu 600 0C selama tiga jam. Persentase kadar organik tanah
dihitung dengan rumus: 0,5 gram tanah kering udara dimasukkan ke dalam erlenmeyer
500 cc, lalu ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat, kemudian diguncang 3-4 menit,
selanjutnya diamkan selama 30 menit. Tambahkan 100 ml air suling dan 5 ml H3PO4
85% dan 2,5 ml NaF 4%. Kemudian ditambahkan 5 tetes diphenilamine, diguncang,
larutan berwarna biru tua kehijauan kotor. Titrasi dengan Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N dari
buret hingga warna berubah menjadi hijau terang. Lakukan kembali prosedur diatas
dari no.2 s/d 5 (tanpa tanah) untuk mendapatkan volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N
untuk Blanko (Muklis, 2007). Dengan menggunakan rumus berikut:
C org = 5 x [1-T/5] x 0,003 x 1/0,77 x 100/BCT x 0,72
dengan : T = Volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N dengan tanah
S = Volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N untuk Blanko (tanpa tanah)
0,003 = 1 ml K2Cr2O7 0,1N + H2SO4 mampu mengoksidasi 0,003 gr C.Organik 1/0,77 = Metode ini hanya 77 % C.Organik yang dapat dioksidasi
BCT = Berat Contoh Tanah.
3.6 Analisis Data
Jenis cacing tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan
dihitung: Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif masing-masing jenis, Frekuensi
Kehadiran dan Indeks Similaritas (Walkwork, 1970: Southwood, 1996 dalam Suin &
Iswandi, (1994) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Kepadatan Populasi (K)
Jumlah individu suatu jenis K =
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
b. Kepadatan Relaif (KR)
Kepadatan suatu jenis
KR = x 100 % Jumlah kepadatan semua jenis
c. Komposisi Komunitas: didasarkan pada nilai urut Kepadatan Relatif (KR) terbesar hingga terkecil dari masing-masing jenis yang didapatkan.
d. Frekuensi Kehadiran (FK)
Jumlah plot yang ditempati suatu jenis
e. Indeks Similaritas (Kesamaan Sorensen)
b
Nilai IS 25-50% = tidak mirip Nilai IS 50-75% = mirip Nilai IS ≥ 75% = sangat mirip
f. Indeks Morista (Distribusi)
I =
n
∑
x²
-
NN ( N- 1 )
Dimana: I = Indeks morista
n = Jumlah individu yang terdapat pada masing-masing plot N = Jumlah total unit sampel
∑x² = Kuadrat jumlah individu per unit sampel
Keterangan: Nilai Indeks Morista = 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu random
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Nilai Indeks Morista < 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu beraturan
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis Cacing Tanah yang Ditemukan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang komposisi dan distribusi cacing
tanah di areal perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan di perkebunan kelapa sawit
rakyat Desa Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara didapatkan seperti
yang terlihat pada Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Cacing Tanah yang Ditemukan pada Dua Lokasi Penelitian
No Famili Spesies/Jenis Lokasi
I II
Keterangan: Lokasi 1 = lahan perkebunan kelapa sawit PT. Moeis ; lokasi 2 = lahan perkebunan kelapa sawit Rakyat ; + = ditemukan ; - = tidak ditemukan.
Didapatkan sebanyak 5 jenis cacing tanah yang termasuk ke dalam 3 famili,
yaitu famili Glossoscolecidae, Moniligastridae dan Megascolidae. Pada lokasi I
sebanyak 4 jenis yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex
cempii dan Pheretima posthuma dan pada lokasi II, sebanyak 4 jenis yaitu
Pontoscolex corethrurus, Drawida sp, Peryonix excavatus, dan Pheretima posthuma.
Jenis cacing tanah yang didapatkan pada lokasi I, tapi tidak didapatkan pada lokasi II
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
pada lokasi II, tapi tidak didapatkan pada lokasi I adalah dari jenis Drawida sp,
keadaan ini disebabkan ke dua jenis ini memiliki kisaran toleransi yang berbeda
terhadap kondisi lingkungan, seperti pH dan kadar organik tanah. Menurut John
(1998) cacing tanah dari jenis Megascolex cempii lebih menyukai kondisi lingkungan
dengan pH sedikit asam (< 6), kelembaban tanah berkisar antara 80-90%, dan kadar
organik tergolong rendah (< 1 %), sedangkan cacing tanah dari jenis Drawida sp lebih
menyukai kondisi lingkungan dengan pH netral (6-7), kelembaban tanah berkisar
antara 85-95%, dan kadar organik tergolong cukup tinggi (1-2 %).
Keberadaan jenis cacing tanah yang didapatkan pada kedua lokasi
menunjukkan bahwa kedua lokasi memiliki kondisi faktor fisik-kimia lingkungan
yang mendukung bagi kehidupan cacing tanah, diantaranya pH tanah dan kadar
organik. Pada lokasi I pH tanah berkisar 5,7-6,4 dan kadar organik 0,60 %. Pada
lokasi II pH tanah berkisar 6-6,8 dan kadar organik 1,95 %. Menurut Hanafiah (2005)
pH tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga menjadi
faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Menurut Edwards & Lofty (1977), cacing
tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor
pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu.
Cacing tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8 – 7,2 Penyebaran vertikal maupun
horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Selanjutnya Wallwork
(1970) menyatakan bahwa keberadaan spesies cacing tanah pada suatu areal sangat
ditentukan oleh kandungan bahan organik di areal tersebut.
Tanda-tanda khusus dari ke lima jenis cacing tanah yang ditemukan pada areal
perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut :
1. Pontoscolex corethrurus, famili Glossoscolecidae Tanda-tanda khusus:
Cacing tanah ini memiliki panjang total tubuh berkisar antara 35-120 mm,
diameter 2-4 mm, dengan jumlah segmen berkisar antara 83-215 segmen, warna
bagian dorsal cokelat kekuningan, warna bagian ventral abu-abu keputihan. Warna
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Prostomium prolobus atau epilobus dengan 1 segmen dapat ditarik kembali. Seta
kecil berlekuk-lekuk secara garis melintang dan bagian anterior seta kelihatan
tidak jelas tetapi pada bagian posterior seta kelihatan sangat jelas, biasanya sekitar
10-12 bagian depan sangat jelas dan lebar dari seta berpasangan. Klitelium bentuk
pelana mulai dari segmen 14-20 (John, 1998).
Gambar 4.1 Pontoscolex corethrurus
2. Drawida sp, famili Moniligastridae Tanda-tanda khusus:
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 30-95 mm, diameternya
sekitar 3-5 mm, jumlah segmen berkisar antara 265-450 segmen, hampir tidak
mempunyai pigmen biasanya berwarna cokelat abu-abu kekuningan, bagian
ventral cokelat muda. Warna ujung anterior cokelat keputihan dan ujung posterior
cokelat keputihan. Prostomium prolobus atau epilobus. Seta kecil berpasangan,
seta mulai segmen 5/6-8/9 kebanyakan tebal. Klitelium pada segmen 10-13
berbentuk pelana di bagian depan, dan pada bagian belakang (segmen 13)
berbentuk cincin, lubang kelamin jantan pada segmen 27/28. Lubang kelamin
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Gambar 4.2 Drawida sp
3. Peryonix excavatus, famili Megascolidae Tanda-tanda khusus:
Cacing ini tanah ini berbentuk gilik dengan panjang tubuh berkisar antara 80-120
mm, diameternya 4-6 mm, jumlah segmen berkisar antara 75-165 segmen dan
klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17. Memiliki banyak seta dengan tipe
Perichaetine pada setiap segmen. Gland prostat bercabang. Holonephric atau
memiliki sepasang nefridia pada setiap segmennya. Pada bagian posterior
berwarna cokelat keemasan sedangkan pada bagian anterior berwarna cokelat
kehitaman (Suin, 1994).
Gambar 4.3 Peryonix excavatus
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 55-123 mm, diameter 3-4
mm, dan jumlah segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan,
bagian ventral pucat atau cokelat keputihan. Warna ujung anterior cokelat
keputihan dan ujung posterior abu-abu cokelat. Prostomium epilobus, segmen
pertamanya tidak jelas tertarik ke dalam. Klitelium berbentuk cincin dan tidak
membengkak, segmennya jelas serta mengkilap, berwarna kemerahan, dimulai
pada segmen ke XIV-XVI (3 segmen), mempunyai seta, bagian dorsal dan ventral
tidak menebal. Lubang dorsal dimulai pada septa 5/6. Seta mulai dari segmen II
dengan tipe Perichaetine. Lubang kelamin jantan terletak pada segmen XVIII,
agak ke tengah dan mempunyai papila. Lubang kelamin betina terletak pada
medio-ventral segmen XIV. Lubang spermateka terletak pada septa 7/8-8/9 (Suin,
1994).
Gambar 4.4 Megascolex cempii
5. Pheretima posthuma, famili Megascolidae Tanda-tanda khusus:
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 115-140 mm,
diameternya 5-6 mm, dan jumlah segmen berkisar antara 125-145. Warna bagian
dorsal cokelat keunguan, bagian ventral pucat atau abu-abu keputihan. Warna
ujung anterior cokelat kekuningan, dimulai pada segmen ke XIV-XVI (3 segmen),
mempunyai seta, bagian dorsal dan ventral tidak menebal. Lubang dorsal mulai
pada septa 12/13. Seta mulai dari segmen II dengan tipe Perichaetine, seta bagian
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
pada medioventral segmen XVII dan XIX. Lubang spermateka 4 pasang, terletak
pada septa 5/6 – 8/9 (pada septa 5/6 kurang jelas) (John, 1998).
Gambar 4.5 Pheretima posthuma
4.2 Kepadatan (individu/m²) dan Kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah
Kepadatan populasi cacing tanah pada kedua lokasi penelitian menunjukkan adanya
perbedaan, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Kepadatan (individu/m²) dan Kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian
No Jenis
Lokasi I Lokasi II
K KR (%) K KR (%)
1. Pontoscolex corethrurus 14,66 66,00 20,89 58,02
2. Peryonix excavatus 3,55 16,00 2,66 7,40
3. Pheretima posthuma 1,77 8,00 2,22 6,18
4. Drawida sp - - 10,22 28,40
5. Megascolex cempii 2,22 10,00 - -
Jumlah 22,22 100,00 35,99 100,00
Keterangan: K= Kepadatan, KR = Kepadatan Relatif
Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada lokasi I jenis Pontoscolex
corethrurus memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu 14,66 individu/m² dengan nilai
kepadatan relatif yaitu 66% dan nilai kepadatan terendah didapatkan dari jenis
Pheretima posthuma yaitu 1,77 individu/m² dengan nilai kepadatan relatif yaitu 8%.
Pada lokasi II jenis Pontoscolex corethrurus memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu
20,89 individu/m² dengan nilai kepadatan relatif yaitu 58,02% dan nilai kepadatan
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
nilai kepadatan relatif yaitu 6,18%. Keadaan ini disebabkan ke dua spesies ini
memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap kondisi lingkungan, seperti pH dan
kadar organik tanah. Hal ini dikarenakan faktor fisik-kimia yang berbeda seperti
kelembaban, kadar organik dan kadar air. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Wallwork (1970) bahwa kepadatan cacing tanah pada suatu areal umumnya
dipengaruhi oleh faktor fisik seperti kelembaban, vegetasi dan mikrohabitat.
Lee (1985) menyatakan bahwa bahan organik sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di
dalam tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Selanjutnya
Hanafiah (2005) menyatakan bahwa distribusi bahan organik dalam tanah
berpengaruh terhadap cacing tanah, karena terkait dengan sumber nutrisinya sehingga
pada tanah miskin bahan organik hanya sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai.
4.3 Komposisi Cacing Tanah
Berdasarkan nilai kepadatan relatif dapat ditentukan komposisi cacing tanah dari
urutan tertinggi sampai terendah pada masing-masing lokasi seperti pada Tabel 4.3
berikut ini:
Tabel 4.3 Komposisi Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian
No Jenis
Keterangan: KR = Kepadatan Relatif
Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada lokasi I didapatkan komposisi
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Pada lokasi II didapatkan komposisi
cacing tanah secara berurutan adalah Pontoscolex corethrurus, Drawida sp, Peryonix
excavatus dan Pheretima posthuma.
Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa Pontoscolex corethrurus menempati
urutan tertinggi pada kedua lokasi, sedangkan Pheretima posthuma menempati urutan
terendah pada kedua lokasi. Hal ini dikarenakan adanya batasan toleransi yang sangat
luas bagi kehidupan cacing tanah dari jenis Pontoscolex corethrurus sehingga jenis ini
mampu hidup dimana saja. John (1998) menyatakan bahwa cacing tanah jenis
Pontoscolex corethrurus banyak ditemukan pada areal perkebunan kelapa sawit.
Selanjutnya Suin (1982) menjelaskan bahwa jenis Pontoscolex corethrurus banyak
ditemuka n di Pulau Sumatera.
4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) dan Konstansi Cacing Tanah
Frekuensi kehadiran dan konstansi cacing tanah yang didapatkan pada setiap lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4 Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstansi Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian
No Jenis Lokasi I Lokasi II
FK (%) Konstansi FK (%) Konstansi 1. Pontoscolex corethrurus 56 Konstan 60 Konstan
2. Peryonix excavatus 28 Asesoris 24 Aksidental
3. Pheretima posthuma 16 Aksidental 20 Aksidental
4. Drawida sp - - 36 Aksesoris
5. Megascolex cempii 16 Aksidental - -
Keterangan: FK= Frekuensi Kehadiran
Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa jenis cacing tanah pada lokasi I yang
bersifat konstan 1 jenis, bersifat aksidental ada 2 jenis dan bersifat asesoris 1 jenis.
Pada lokasi II jenis cacing tanah yang bersifat konstan 1 jenis, bersifat aksidental ada
2 jenis dan bersifat asesoris 1 jenis tetapi yang bersifat absolut tidak ditemukan. Hal
ini memperlihatkan bahwa tidak ada jenis yang sangat sering ditemukan (absolut)
pada kedua lokasi, tetapi ada 1 jenis yang sering ditemukan (konstan) pada kedua
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
secara fisik-kimia maupun ketersediaan air dan unsur hara dapat mendukung bagi
kehidupan cacing tanah dari jenis Pontoscolex corethrurus.
4.5 Cacing Tanah yang Memiliki Nilai Kepadatan Relatifnya (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25%
Berdasarkan Nilai Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% cacing tanah dapat dikelompokkan seperti yang terlihat pada Tabel 4.6 berikut
ini.
Tabel 4.5 Cacing Tanah yang Memiliki Nilai Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25%
No Spesies Lokasi I Lokasi II
Didapatkan 3 jenis dari 5 jenis cacing tanah yang dapat hidup dan berkembang
dengan baik yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp.
Dimana pada lokasi I yaitu dari jenis Pontoscolex corethrurus dan Peryonix excavatus
dan pada lokasi II yaitu dari jenis Pontoscolex corethrurus dan Drawida sp.
Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi masing-masing lokasi penelitian dapat
mendukung kehidupan dan perkembangbiakan dari jenis Pontoscolex corethrurus, hal
ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suin (1988) apabila nilai KR ≥ 10% dan FK ≥
25% menunjukkan bahwa hewan tersebut mampu hidup dengan baik di habitatnya.
Sedangkan Drawida sp hanya dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik pada
lokasi II dan Peryonix excavatus hanya dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik
pada lokasi I, hal ini dikarenakan ke dua jenis ini memiliki kisaran toleransi yang
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
John (1998) cacing tanah dari jenis Megascolex cempii lebih menyukai kondisi
lingkungan dengan pH sedikit asam (< 6), kelembaban tanah berkisar antara 80-90%,
dan kadar organik tergolong rendah (< 1 %), sedangkan cacing tanah dari jenis
Drawida sp lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH netral (6-7), kelembaban
tanah berkisar antara 85-95%, dan kadar organik tergolong cukup tinggi (1-2 %).
4.6 Nilai Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah
Distribusi cacing tanah pada setiap lokasi penelitian menurut Nilai Indeks Morista
diperoleh hasilnya pada lokasi I dan II yaitu lebih besar dari 1 seperti terlihat pada
Tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian
No Jenis Indeks Morista
Lokasi I Distribusi Lokasi II Distribusi
1 Pontoscolex corethrurus 1,27 Berkelompok 1,68 Berkelompok
2 Peryonix excavatus 0,33 Beraturan 0,24 Beraturan 3 Pheretima posthuma 0,16 Beraturan 0,20 Beraturan
4 Drawida sp - - 0,92 Beraturan
5 Megascolex cempii 0,20 Beraturan - -
Pada Tabel 4.6 menunjukan bahwa kondisi distribusi jenis cacing tanah pada
masing-masing lokasi yaitu distribusi cacing tanah yang berkelompok ada 1 jenis dan
distribusi cacing tanah yang beraturan ada 4 jenis, dimana pada lokasi I yang distribusi
cacing tanah berkelompok ada 1 jenis yaitu. Pontoscolex corethrurus dan distribusi
cacing tanah yang beraturan ada 3 jenis yaitu Peryonix excavatus, Pheretima
posthuma dan Megascolex cempii. Pada lokasi II distribusi cacing tanah yang
berkelompok ada 1 jenis yaitu. Pontoscolex corethrurus dan distribusi cacing tanah
yang beraturan ada 3 jenis yaitu Peryonix excavatus, Pheretima posthuma dan
Drawida sp. Kondisi ini disebabkan kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
tanah. Distribusi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor
lingkungan seperti faktor makanan dan pH tanah.
Menurut Edwars & Lofty (1977) bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap
keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah
jenis yang dapat hidup pada tanah tertentu. Penyebaran vertikal maupun horizontal
cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Dari penelitian yang telah dilakukan
secara umum didapatkan cacing tanah menyukai pH tanah berkisar 5,8-7,2 karena
dengan kondisi ini cacing tanah dapat lebih optimal untuk mengadakan proses
pembusukan.
Edwars & Lofty (1977) menjelaskan bahwa faktor makanan, baik jenis
maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan
keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut.
4.7 Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing Tanah
Nilai Indeks Similaritas jenis cacing tanah antara lokasi penelitian, yaitu antara lokasi
I dengan lokasi II yaitu 75%, seperti yang terlihat pada Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7. Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian.
Lokasi I Lokasi II
Lokasi I - 75%
Lokasi II - -
Dari Tabel 4.7, menunjukkan bahwa kesamaan jenis cacing tanah yang
terdapat antara lokasi I dengan lokasi II sangat mirip, kondisi ini dikarenakan adanya
berbagai macam vegetasi dan kelembaban tanah yang mendukung kelangsungan
hidup cacing tanah dan juga kondisi sifat fisik-kimia tanah yang hampir sama antara
lokasi I dengan lokasi II. Kondisi sifat fisik kimia tanah turut mempengaruhi atau
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Satchell (1967) dalam Suin (1982), bahwa populasi cacing tanah sangat erat
hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada.
Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai ”Komposisi Komunitas dan
Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara” dapat disimpulkan bahwa:
a) Didapatkan sebanyak 5 jenis cacing tanah yang termasuk ke dalam 3 famili, yaitu
famili Glossoscolecidae, Moniligastridae dan Megascolidae
b) Pada lokasi I didapatkan 4 jenis cacing tanah yaitu: Pontoscolex corethrurus,
Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Pada lokasi II
didapatkan 4 jenis cacing tanah yaitu Drawida sp, Pontoscolex corethrurus,
Pheretima posthuma dan Peryonix excavatus.
c) Komposisi jenis cacing tanah tertinggi yaitu Pontoscolex corethrurus dengan nilai
kepadatan 20,89 individu/ m² dan kepadatan relatif 58,02% sedangkan terendah
yaitu Pheretima posthuma dengan nilai kepadatan 1,77 individu/ m² dan kepadatan
relatif 8,00%.
d) Didapatkan 3 jenis cacing yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik
yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp.
e) Kesamaan jenis cacing tanah pada lokasi I dengan lokasi II termasuk kategori
sangat mirip dengan indeks similaritas 75%.
f) Pada lokasi I distribusi cacing tanah berkelompok (1,27) didapatkan dari jenis
Pontoscolex corethrurus dan distribusi cacing tanah beraturan didapatkan dari
jenis Peryonix excavatus, Pheretima posthuma, Megascolex cempii. Pada lokasi II
distribusi cacing tanah berkelompok dari jenis Pontoscolex corethrurus (1,68) dan
distribusi cacing tanah beraturan didapatkan dari jenis Peryonix excavatus,
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang distribusi dan komposisi cacing
tanah di lokasi penelitian yang lain agar dapat dibandingkan dengan yang telah
didapatkan di lokasi penelitian ini dengan memperhatikan bagaimana pengaruh
keberadaan dan penyebaran setiap jenis cacing tanah terhadap tingkat kesuburan tanah