• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klausula Wajib Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (Kpr) Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Klausula Wajib Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (Kpr) Di Kota Medan"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM

PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH

(KPR) DI KOTA MEDAN

TESIS

OLEH :

DONNA FRANCY

057011021 / MKn

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM

PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH

(KPR) DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

Dalam Program Studi Kenotariatan Pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH :

DONNA FRANCY

057011021 / MKn

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Telah diuji pada :

Tanggal 04 September 2007

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua

: Dr. SUNARMI, SH, M. Hum

Anggota

: Dr. T. KEIZERINA DEVI A., SH, CN, M. Hum

Notaris SYAHRIL SOFYAN, SH, MKn

Prof. Dr. MUHAMMAD YAMIN, SH, MS, CN

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM

PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : DONNA FRANCY

Nomor Pokok : 057011021

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Ketua

Dr. T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk setiap

waktu dan keadaan yang dilalui Penulis selama menjalankan studi di Program

Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, dan

atas berkat rahmatNyalah sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang

berjudul “ Klausula Wajib Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) Di Kota Medan “.

Tesis ini merupakan suatu karya ilmiah dalam rangka pemenuhan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar magister di bidang ilmu kenotariatan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama penulisan tesis ini, Penulis dihadapkan pada berbagai hambatan dan

kesulitan, namun berkat bimbingan dan perhatian dari pembimbing, akhirnya Penulis

dapat mengatasi segala persoalan yang menjadi kendala dalam penulisan tesis ini.

Untuk itu Penulis dengan hati yang tulus, mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberiku hidup yang sangat indah.

2. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpAK, selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

(6)

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing (Pembimbing

I) yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis dalam

menyelesaikan tesis ini.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M. Hum, selaku Anggota Komisi

Pembimbing (Pembimbing II) yang telah meluangkan waktunya untuk

membimbing Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku Anggota Komisi Pembimbing

(Pembimbing III) yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis

dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Keluarga besar Penulis terutama mama dan papa yang telah memberi perhatian

dan dukungan baik moril maupun material sehingga Penulis dapat menyelesaikan

tesis ini. Aku sangat menyayangi kalian semua.

9. Seluruh Keluarga Besar Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

10.Seluruh pihak yang telah banyak membantu Penulis di dalam penyelesaian tesis

ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Terima kasih atas dukungannya.

Tiada kata terindah yang dapat Penulis sampaikan selain ucapan terima kasih

dan berdoa semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesehatan dan kebahagiaan

(7)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna,

untuk itu Penulis mengharapkan semua kritik dan saran akan menjadi sumbangan

yang sangat berarti bagi peningkatan kualitas tesis ini.

Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya

pada bidang ilmu kenotariatan.

Medan, 04 September 2007

Hormat Penulis,

(8)

Daftar Riwayat Hidup

I. Identitas Pribadi

Nama : DONNA FRANCY

Tempat / Tgl Lahir : Medan / 15 Januari 1984

Status : Belum Menikah

Alamat : Jalan Jamin Ginting No. 471 A

Padang Bulan – Medan 20156

II. Keluarga

Nama Ayah : ETO TJUATJA

Nama Ibu : MINA

Nama Kakak : DOLLY FRANCY, SH

Nama Adik : DANNY FRANCIS, S. Inf

III. Pendidikan

1. SD Tunas Karya II - Jakarta Utara : Tamat tahun 1995

2. SMP Tunas Karya - Jakarta Utara : Tamat tahun 1998

3. SMU Tunas Karya - Jakarta Utara : Tamat tahun 2001

4. S-1 Fakultas Hukum USU - Medan : Tamat tahun 2005

(9)

KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM PERJANJIAN

KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) DI KOTA MEDAN

Donna Francy∗ Sunarmi**

T. Keizerina Devi A.**

Syahril Sofyan**

Intisari

Setiap orang yang hidup menghadapi risiko atas hidupnya sendiri, sebab ia tidak mengetahui kapan akan meninggalkan dunia atau keluarganya. Risiko yang diderita dapat berupa kerusakan kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan sehingga timbul upaya untuk menghindari dan mengalihkan risiko kepada pihak lain yaitu pihak asuransi. Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat melalui program KPR memberikan kredit untuk pembelian bangunan rumah/tempat tinggal maupun untuk renovasi bagi masyarakat yang membutuhkan. Bagi bank, meninggalnya debitur adalah salah satu risiko yang timbul dalam pemberian kredit.

Sehubungan dengan hal tersebut maka timbul permasalahan bagaimana pengaturan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), bagaimana bentuk perlindungan dari pihak penanggung kepada pihak kreditur bila pembayaran pinjaman kredit belum lunas oleh pihak debitur, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap para ahli waris dari pihak debitur.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Lokasi penelitian di Kota Medan dan sampel penelitian ditetapkan secara purposive sampling yaitu 2 perusahaan perbankan, 5 orang debitur yang menggunakan jasa kredit pada perusahaan tersebut, perusahaan asuransi, dan 2 orang pegawai bank. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, penelaahan dokumen-dokumen perjanjian kredit, sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara dengan sampel penelitian tersebut di atas.

Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa asuransi jiwa dalam KPR adalah asuransi jiwa kredit. Pihak bank mempunyai kepentingan terhadap hidup debitur guna pengembalian hutang kepada kreditur maka asuransi jiwa ini menjadi klausula wajib dalam perjanjian KPR. Klausula baku pada perjanjian kredit dinilai melanggar asas kebebasan berkontrak. Perlindungan yang diberikan pihak asuransi kepada kreditur adalah mengembalikan pinjaman debitur jika debitur meninggal dalam masa kredit. Tidak ada ketentuan yang tegas menyangkut ahli waris yang berhak menerima klaim (benefit). Hanya orang yang ditunjuk yang berhak menerima

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana USU Medan, Program Studi Magister Kenotariatan.

(10)

klaim. Adapun yang menjadi penerima manfaat dalam asuransi jiwa kredit adalah kreditur. Saran-saran terhadap hasil penelitian adalah kedudukan yang tidak seimbang antara debitur dan kreditur harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan terutama perlindungan konsumen, pihak penanggung harus memberikan kepastian waktu pembayaran hutang debitur dibayarkan kepada kreditur, dan ahli waris harus diberi penjelasan siapa yang akan menjadi penerima manfaat dari asuransi jiwa kredit.

Kata Kunci : Klausula Wajib

Asuransi Jiwa

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

(11)

THE OBLIGATORY CLAUSAL OF LIFE INSURANCE ON

HOUSE OWNERSHIP CREDIT AGREEMENT (KPR) IN MEDAN

Donna Francy∗ Sunarmi**

T. Keizerina Devi A.**

Syahril Sofyan**

Abstract

Everyone has a risk on his/her life because he/she did not know when he/she will died as well as his/her family. The suffering risk are the damage or loses on any advantages that encourage the efforts to avoid or hand over the risk to another party, i.e insurance company. Bank as collector and distributor of society fund through house ownership credit agreement (KPR) program provide the customer with credit to buy the house or renovation of the houses. While for bank, the dead of debtor is one of risk in credit agreement.

Based on the condition, there is a problem how the arrangement of obligatory clausal of life insurance in house ownership credit agreement, how the protection of the guarantor to the creditor if the repayment of the credit has not yet paid fully by the debtor and how the law protection to the heir of debtor.

In order to solve these problems, an analitic descriptive research was conducted. The location of study is Medan city and the sample of research are take in purposive sampling, i.e 2 banking company, 5 debtors who applies the credit service from the companies, insurance company, and 2 employee of bank. The secondary data is collected through library research, document reviews on credit agreement, while the primary data is collected through interview on the aforementioned sample.

Based on the research, there is a description that the life insurance in house ownership credit agreement is a credit life insurance. The bank has interest on the life of debtor for the repayment of the debt to creditor. So, the life insurance to be an obligatory clausul in house ownership credit agreement. The standard clause on credit agreement is assumed biolate the contract independency principle. The protection provided by insurance company to creditor is a repayment of debtor’s credit if the debtor died during in credit period. There is a rule on heir who has a right for benefit claim. Only the assigned people who reserve a right on claim. The receiver of benefit in credit life insurance is credit. The suggestions on the results of research is the unbalancing position between debtor and creditor that based on the valid rule specially on the customer protection in which the guarantor must provide the

The Student of Notary Magister Program, University of North Sumatra.

(12)

assertainity on the payment period of the debtor credit to creditor and the heir must get any description who will receive the benefit of the credit life insurance.

Keyword : Obligatory Clausal

Life Insurance

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

INTISARI ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 9

G. Metode Penelitian ... 27

BAB II PENGATURAN KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) A. Klausula Wajib Asuransi Jiwa ...33

B. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ...51

(14)

BAB III PERLINDUNGAN PIHAK PENANGGUNG KEPADA PIHAK

KREDITUR

A. Perlindungan Yang Diberikan Bila Debitur Meninggal Dalam Jangka

Waktu Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ...71

B. Perlindungan Yang Diberikan Bila Debitur Mengalami Kemacetan

Pembayaran Atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ...81

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA AHLI WARIS

A. Hukum Kewarisan Dalam KUHPerdata Dan Hukum Islam ...88

B. Pembayaran Dan Yang Berhak Menerima Uang Pertanggungan ...108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...117

B. Saran ...119

DAFTAR PUSTAKA ...120

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam menjalankan usahanya setiap orang baik perorangan maupun badan

usaha, besar kemungkinan akan menghadapi suatu kerugian atau suatu kehilangan.

Setiap orang harus berusaha dengan tenaga dan pikirannya untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya, untuk memiliki harta kekayaan demi kelangsungan hidupnya.

Dari sejak lahir sampai mati, setiap orang menghadapi sesuatu yang tidak pasti,

karena banyak kejadian yang tiba-tiba muncul tanpa diduga-duga sebelumnya.

Pada hakikatnya kehidupan dan kegiatan manusia mengandung berbagai hal

yang menunjukkan sifat “tidak kekal”. Sifat yang tidak kekal merupakan sifat alami

yang tidak dapat dipastikan, kepastian tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk

dan peristiwa yang belum tentu menimbulkan rasa tidak aman dalam diri manusia.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi selalu berupaya untuk

menghindari risiko yang membuatnya merasa tidak aman sehingga dapat menjadi

aman. Setiap orang yang hidup menghadapi risiko atas hidupnya sendiri, sebab ia

tidak mengetahui pasti kapan ia akan mati meninggalkan dunia atau keluarganya.

Menurut L. Athearnm, risiko merupakan aspek utama dari kehidupan manusia

pada umumnya dan merupakan faktor penting dalam asuransi. Risiko merupakan

(16)

ketidakpastian suatu peristiwa yang tidak diinginkan.1 Jadi, adalah tidak mungkin

apabila membahas asuransi tanpa berkaitan dengan risiko. Hal ini karena risiko

merupakan pengertian inti dalam asuransi.

Dalam ilmu asuransi risiko dapat dibedakan dalam beberapa arti yang intinya

kemungkinan terjadinya kerugian, yaitu:

1. Risiko dalam arti benda yang menjadi obyek bahaya.

2. Risiko dalam arti orang yang menjadi sasaran pertanggungan.

3. Risiko dalam arti bahaya.2

Pengertian risiko diberi batasan sebagai kemungkinan terjadinya suatu

keuntungan yang semula diharapkan tidak tercapai karena kejadian di luar kuasa

manusia (misalnya bencana alam seperti banjir dan gempa bumi), kesalahan sendiri,

atau perbuatan manusia.3

Risiko yang diderita dapat berupa kerusakan kerugian atau kehilangan

keuntungan yang diharapkan sehingga menyebabkan timbulnya upaya untuk

menghindari dan mengalihkan risiko kepada pihak lain yang bersedia

menanggungnya, dalam hal ini adalah pihak asuransi. Hal ini dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan akan rasa aman kepada masyarakat, yaitu dengan

1

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 58.

2

H. Gunanto, Asuransi Kebakaran Di Indonesia, Tirta Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 11-12. 3

(17)

mengadakan perjanjian pelimpahan risiko dengan pihak lain. Perjanjian semacam ini

disebut perjanjian asuransi.4

Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, asuransi itu mempunyai tujuan

pertama-tama ialah mengalihkan risiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang

tidak dapat diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil risiko itu

untuk mengganti kerugian.5

Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko

mempunyai kegunaan positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun bagi

pembangunan negara. Mereka yang menutup perjanjian asuransi akan merasa

tenteram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan terjadinya/tertimpa suatu

kerugian. Suatu perusahaan yang mengalihkan risikonya melalui perjanjian asuransi

akan dapat meningkatkan usahanya dan berani menggalang tujuan yang lebih besar.

Demikian pula premi-premi yang terkumpul dalam suatu perusahaan asuransi dapat

diusahakan dan digunakan sebagai dana untuk usaha pembangunan, dan hasilnya

dapat dinikmati oleh masyarakat. Di pihak lain risiko yang mungkin terjadi dalam

pelaksanaan pembangunan juga dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi.

Asuransi atau pertanggungan yang merupakan terjemahan dari insurance atau

verzekering atau assurantie, timbul karena kebutuhan manusia.6 Baik asuransi atau pertanggungan pada umumnya maupun asuransi jiwa pada khususnya merupakan

4

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 8.

5

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa), FH-UGM, Yogyakarta, 1990, hal. 5.

6

(18)

perjanjian timbal balik antara penanggung dan tertanggung dimana pihak penanggung

mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk

memberikan penggantian kepada pihak tertanggung karena kerusakan, kerugian, atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak

ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang

tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal

atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Menurut Purwosutjipto, yang dimaksud dengan Pertanggungan Jiwa adalah:

“ Perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, di mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan memberi uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya “.7

Perkembangan usaha perasuransian mengikuti perkembangan ekonomi

masyarakat. Berkembangnya jumlah populasi manusia semakin meningkatkan

kebutuhannya. Saat ini kebutuhan dasar yang paling banyak dibutuhkan adalah

kebutuhan papan (rumah tinggal).

Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana bagi masyarakat, melalui

program-programnya memberikan kredit bagi masyarakat yang membutuhkan.

Adapun salah satu dari program tersebut adalah pemberian Kredit Pemilikan Rumah

7

(19)

(KPR) yang ditujukan untuk pembelian bangunan rumah/tempat tinggal maupun

untuk perbaikan (renovasi) bangunan rumah/tempat tinggal.

Seperti diketahui pemberian kredit menimbulkan banyak masalah yang

kompleks. Salah satu di antaranya adalah risiko utang tak terbayar karena terjadinya

bencana yang seringkali di luar kontrol debitur. Di antara bencana ini adalah:

1. Debitur meninggal atau cacat fisik.

2. Musnahnya record akunting sehingga kreditur tak dapat membuktikan haknya

terhadap debitur.

3. Kegagalan lembaga keuangan di mana dana-dana itu didepositokan.

4. Kegagalan suatu perusahaan yang insolvent membayar kredit bank.

5. Kegagalan pemilik rumah atau pemilik harta tetap lainnya membayar kredit

bangunan karena insolvency.

6. Tindakan politik yang mencegah debitur membayar hutang-hutangnya ke suatu

negara lain.

7. Insolvency suatu perusahaan yang telah menerima kredit dagang.8

Risiko atas suatu hal, adalah bersifat merugikan, dan sebagai suatu musibah

atau malapetaka, risiko datangnya tidak pasti dan tidak dapat diduga dan dapat terjadi

dengan tiba-tiba harus terjadi.

Atas pertimbangan itu, bank harus dapat menghilangkan atau paling tidak

mengurangi risiko yang mungkin timbul dalam setiap pemberian kredit. Salah satu

caranya adalah dengan mengalihkan risiko tersebut kepada pihak lain, yang memang

dimungkinkan, baik dari segi yuridis maupun dari segi bisnis, yang tak lain adalah

asuransi.9

8

A. Hasymi Ali, Bidang Usaha Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hal. 67. 9

(20)

Asuransi jiwa pada umumnya hanya mengenal pihak penanggung (perusahaan

asuransi jiwa), pihak tertanggung (orang yang jiwanya dipertanggungkan), dan pihak

penerima manfaat/yang ditunjuk (orang yang berhak menerima pembayaran uang

santunan), biasanya ahli waris dari tertanggung. Di dalam asuransi jiwa pada

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), pihak penerima manfaat/yang ditunjuk

adalah pihak bank/kreditur, sedangkan pihak debitur tetap menjadi pihak tertanggung.

Bagi bank, meninggalnya penerima kredit merupakan salah satu risiko yang

timbul dalam pemberian kredit. Dalam rangka menanggulangi masalah tersebut,

dikenal adanya suatu proteksi kematian dari penerima kredit di mana jumlah uang

pertanggungannya dikaitkan dengan jumlah kredit yang terpaut, sedangkan besarnya

premi dihitung dari jumlah uang pertanggungan untuk tiap bulan.

Jenis jaminan ini merupakan pertanggungan yang memberikan jaminan dalam

hal pada saat jangka waktu kredit masih berjalan, si penerima kredit (pengusaha

perorangan) tersebut meninggal dunia, sebagai the key man yang mana tidak ada

orang lain yang dapat bertanggung jawab atas pengembalian kredit dimaksud

sepeninggal almarhum, maka seketika itu juga kredit yang masih berjalan tersebut,

pelunasannya diambil alih oleh perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan sebagai

uang santunan yang hanya dipergunakan untuk melunasi kredit yang diterima

almarhum, sehingga dengan demikian ahli waris tidak dikenakan kewajiban

mengembalikan kredit dimaksud.10

10

(21)

Namun demikian di dalam kewajiban pengembalian kredit ada kalanya pihak

perusahaan asuransi jiwa berbeda pendapat dengan ahli waris dari debitur.

Asuransi jiwa memberi santunan sebesar sisa hutang yang belum dilunasi

sesuai dengan jadwal pelunasan, jika debitur meninggal dalam masa pertanggungan.

Karena asuransi jiwa sebagai suatu perjanjian maka selanjutnya dalam pelaksanaanya

perjanjian asuransi jiwa sangat diutamakan pula adanya unsur itikad baik (utmost

good faith).

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit

Pemilikan Rumah (KPR)?

2. Bagaimana bentuk perlindungan dari pihak penanggung kepada pihak kreditur

bila pembayaran pinjaman kredit belum lunas oleh pihak debitur?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para ahli waris dari pihak debitur?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian

(22)

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan dari pihak penanggung kepada pihak

kreditur bila pembayaran pinjaman kredit belum lunas oleh pihak debitur.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap para ahli waris dari pihak

debitur.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan tujuan tersebut, kegunaan penelitian ini

diharapkan sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap

perkembangan asuransi jiwa.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam praktek

perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Di samping itu juga diharapkan dapat

memberikan informasi dan masukan kepada praktisi dan masyarakat di bidang

asuransi jiwa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang tersedia dan dengan menelusuri kepustakaan di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “ Klausula

Wajib Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Di

Kota Medan “, belum pernah dilakukan.

Ada ditemukan karya tulis khususnya mengenai asuransi jiwa namun hal itu

(23)

Asuransi Jiwa Central Asia Raya Dan PT. Prudential Life Assurance) Di Medan yang

dilakukan oleh Rifky R. Purnomo, program pascasarjana jurusan kenotariatan

Universitas Sumatera Utara.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini

adalah asli dan keasliannya secara akademis dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

Asas kebebasan berkontrak atau dikenal dengan istilah freedom of contract

atau liberty of contract merupakan salah satu asas pokok dari hukum kontrak yang

terpenting. Ide dasar yang melandasi asas kebebasan berkontrak ialah bahwa setiap

individu dapat membuat perjanjian dalam arti seluas-luasnya, tanpa campur tangan

dari luar. Dengan demikian, hukum atau negara sekalipun tidak dapat campur tangan

terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.11

Di Indonesia, asas kebebasan berkontrak ini dapat ditemukan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan terjemahan dari

Burgerlijk Wetboek (BW) terutama pada Pasal 1338 BW yang menyebutkan bahwa

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”.

Di dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai

tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position yang seimbang. Jika salah

11

(24)

satu pihak lemah maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat

memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungannya sendiri.

Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang semacam itu akhirnya

akan melanggar rasa keadilan dan rasa kelayakan.12

Di dalam kenyataannya tidak selalu para pihak mempunyai bargaining

position yang seimbang. Keadaan ini juga bisa berlaku dalam hubungan antara bank

sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur. Hal ini karena umumnya pihak bank

memiliki uang dan menjelma dalam bentuk perusahaan besar, maka bank dapat

diasumsikan memiliki bargaining position yang kuat terhadap para debiturnya.

Perjanjian baku melahirkan hal-hal yang negatif dalam arti pihak yang

mempunyai bargaining position yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada

pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari tindakannya

tersebut.

Dalam perjalanan dari asas kebebasan berkontrak ternyata berlakunya asas

kebebasan berkontrak ini tidak berlaku dengan mutlak, seperti dalam KUHPerdata

ada beberapa pembatasan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Ada 3 (tiga) alasan

yang menyebabkan suatu persetujuan tidak lagi mengikat pihak-pihak yang

membuatnya, yakni karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan

(bedrog). Ketentuan ini pada hakikatnya dimaksudkan oleh undang-undang sebagai

pembatasan berlakunya asas kebebasan berkontrak.

Menurut P.S. Atiyah sebagaimana dikutip oleh Ronny Sautma Hotma Bako:

12

(25)

“ Kebebasan berkontrak adalah kebebasan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian tersebut, tanpa campur tangan pihak lain. Campur tangan tersebut dapat datang dari Negara melalui peraturan perundang-undangan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang diperkenankan atau dilarang, dari pihak Pengadilan, berupa putusan Pengadilan yang membatalkan suatu klausul dari suatu perjanjian atau seluruh perjanjian itu, berupa putusan yang berisi pernyataan bahwa suatu perjanjian adalah batal demi hukum.”13

Menurut Robert W. Clark sebagaimana dikutip oleh Ronny Sautma Hotma

Bako ” bargaining position adalah posisi salah satu pihak yang karena hal-hal

tertentu dapat memaksakan kehendaknya agar pihak yang lain dalam memasuki suatu

perjanjian menerima klausul-klausul yang diinginkan, sehingga perjanjian itu

menguntungkan dirinya.”14

Ronny Sautma Hotma Bako mengatakan bahwa ” perjanjian baku adalah

perjanjian yang klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh bank dan pihak nasabah

tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Dengan

kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausul

yang terdapat dalam formulir perjanjian.”15

Hal ini berlaku juga di dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

dimana salah satu klausul yang terdapat dalam perjanjian kredit tersebut adalah

klausul tentang asuransi pada umumnya dan asuransi jiwa pada khususnya.

Istilah asuransi atau pertanggungan merupakan terjemahan dari bahasa

Belanda, yaitu dari kata verzekering. Di Indonesia, para sarjana tidak ada

13

Ibid, hal. 10. 14

Ibid. 15

(26)

keseragaman dalam pemakaian istilah ini. Ada yang memakai istilah ”asuransi” dan

ada yang memakai istilah ”pertanggungan”.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa:

” Asuransi atau dalam bahasa Belanda verzekering berarti pertanggungan. Dalam suatu asuransi terlibat dua pihak, yaitu yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa pihak yang lain akan mendapat penggantian suatu kerugian, yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan akan saat terjadinya. Suatu kontra prestasi dari pertanggungan ini, pihak yang ditanggung itu, diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi ”.16

Sementara itu Muhammad Muslehuddin memberikan pengertian asuransi

sebagai berikut:

” Istilah asuransi menurut pengertian riilnya, adalah iuran bersama untuk meringankan beban individu, kalau-kalau beban tersebut menghancurkannya. Konsep asuransi yang paling sederhana dan umum adalah suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang bisa tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok ”.17

Definisi (perumusan otentik) dari asuransi termuat dalam Pasal 246 Kitab

Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), yang berbunyi sebagai berikut ” Asuransi

atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung

mengikatkan dirinya kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi,

untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian atau kehilangan

keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa

yang tidak tentu.”

16

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Di Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 1. 17

(27)

Dari pengertian asuransi yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD itu, Wirjono

Prodjodikoro menyimpulkan bahwa ada 3 (tiga) unsur dalam asuransi yaitu:

Unsur ke 1 : pihak terjamin (verzekerde), berjanji membayar uang premi kepada penjamin (verzekeraar), sekaligus atau berangsur-angsur.

Unsur ke 2 : pihak penjamin (verzekeraar), berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak terjamin (verzekerde) sekaligus atau berangsur-angsur apabila terlaksana unsur ke 3.

Unsur ke 3 : suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi.18

Rumusan asuransi terdapat pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

tanggal 11 Februari 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam Pasal 1 angka 1

disebutkan bahwa:

” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Seperti dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, maka transaksi yang

terjadi antara penanggung dengan tertanggung harus memenuhi syarat tersebut (Pasal

1320 KUHPerdata). Dan apabila ini telah terjadi maka kedua belah pihak mempunyai

hak-hak dan dibebani kewajiban-kewajiban.

Di samping keempat syarat tersebut perjanjian asuransi juga masih

mempunyai syarat tambahan yang khusus berlaku bagi perjanjian asuransi.

Kalau Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa tiada kata sepakat yang

sah apabila kesepakatan itu diberikan karena kekhilafan (dwaling) atau diperolehnya

18

(28)

dengan paksaan atau penipuan (bedrog). Hal kekhilafan diatur dalam Pasal 1322

KUHPerdata dan hal penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. Maka khusus

bagi perjanjian asuransi syarat-syarat tersebut masih dirasakan kurang, sehingga oleh

Pasal 251 KUHD masih dipertegas lagi dengan mengatakan bahwa tertanggung harus

memberikan keterangan yang benar dan jujur, dan apabila hal-hal yang

disembunyikannya menyebabkan perjanjian batal. Ketentuan ini berlaku untuk semua

perjanjian asuransi dengan tujuan untuk melindungi pihak penanggung.

Pasal 1322 KUHPerdata menegaskan bahwa:

” Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya persetujuan, kecuali apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Selanjutnya kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya, orang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat pribadinya orang tersebut”.

Pasal 1328 KUHPerdata menegaskan bahwa ” Penipuan merupakan suatu

alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah

satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain

tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut.

Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. ”

Suatu penyajian yang keliru dan curang (ini termasuk ke dalam fraudulent

misrepresentation)19 yang diberikan pihak tertanggung di dalam suatu polis asuransi

19

Ada 4 (empat) macam misrepresentation yaitu: 1. Fraudulent Misrepresentation.

(29)

dapat menimbulkan hak bagi pihak penanggung untuk membatalkan/menolak suatu

klaim. Pihak penanggung dapat menolak klaim tersebut jika misrepresentation20

menyangkut hal materil yang tercantum di dalam polis.

Hal ini dapat menjadi masalah apabila terjadi keadaan force majeure

(misalnya banjir dan gempa bumi) yang memang dinyatakan oleh pemerintah

menjadi suatu bencana nasional, dimana pihak penanggung menolak

klaim/pembayaran uang asuransi kepada pihak tertanggung. Beberapa perusahaan

asuransi mencantumkan di dalam polis yang isinya menjelaskan bahwa pihak

penanggung dibebaskan dari tanggung jawab atas keterlambatan atau kegagalan

dalam melaksanakan pembayaran klaim asuransi. Ini menjadi ketidakadilan terhadap

pihak tertanggung. Secara hukum jika suatu pihak menolak melakukan kewajiban dan

merugikan pihak yang lain maka disebut wanprestasi. Padahal di dalam perjanjian

asuransi menganut asas kepercayaan antara pihak penanggung dan pihak tertanggung.

Hal ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan

asuransi.

Biasanya hal ini terjadi pada saat tertanggung mengajukan klaim, ternyata ada

beberapa hal yang tidak dimasukkan oleh perusahaan asuransi di dalam polis.

Fraudulent Misrepresentation adalah informasi yang diberikan oleh salah satu pihak kepada pihak lain dan dibuat dengan tujuan untuk menipu dan sudah diketahui sebelumnya bahwa informasi itu adalah palsu, serta mengandung unsur kecurangan yang mempunyai pengaruh terhadap pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut. www.wikipedia.com, tanggal 30 April 2007.

20

(30)

Sehingga terkadang pihak tertanggung yang dalam hal ini juga dapat dikatakan

sebagai konsumen merasa tertipu oleh perusahaan asuransi tersebut. Tapi terkadang

pihak tertanggung tidak menyadari bahwa dia yang menyebabkan permasalahan

tersebut. Jika tertanggung ingin mengambil asuransi, hendaknya tertanggung lebih

banyak bertanya sebelum menyetujui asuransi tersebut (bersifat aktif).21 Biasanya

pihak asuransi memberikan jangka waktu kepada tertanggung untuk mempelajari isi

polis.22 Hal ini dapat menyebabkan batalnya pertanggungan, baik yang disebabkan

oleh tertanggung maupun penanggung.23

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa, perjanjian asuransi merupakan

perjanjian timbal balik yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama

melakukan prestasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Pihak pertama

sebagai pihak yang ditanggung, mengalihkan beban atau risikonya kepada pihak

kedua yaitu penanggung.

Unsur-unsur penting dalam perjanjian pertanggungan menurut Pasal 256

KUHD ialah:

1. Para pihak dalam perjanjian pertanggungan yakni: penanggung dan tertanggung.

2. Kepentingan.

3. Benda pertanggungan.

4. Jumlah pertanggungan.

5. Bahaya yang ditanggung oleh penanggung.

6. Saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi tanggungan si penanggung. 7. Premi.

21

Lebih banyak terjadi pada asuransi dengan klausula All Risk. 22

Dika Agus Sardjono, Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Polis Dengan Klausula All Risk Dalam Asuransi, www.mediakonsumen.com tanggal 08 Agustus 2007. Akan tetapi Fraudulent Misrepresentation ini belum pernah terjadi di Indonesia.

23

(31)

8. Pemberitaan kepada penanggung dan syarat-syarat yang diperjanjikan.24

Asuransi/Pertanggungan Jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup

(pengambil) asuransi dengan penanggung, dimana penutup asuransi mengikatkan diri

untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk

membayar sejumlah uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya

pertanggungan kepada penikmat dan didasarkan atas hidup dan matinya seseorang

yang ditunjuk.25

Sifat dasar asuransi jiwa, adalah proteksi terhadap kerugian finansial akibat

hilangnya kemampuan menghasilkan pendapatan yang disebabkan oleh kematian,

maupun usia lanjut. Proteksi tersebut dapat diperoleh dari perusahaan asuransi jiwa.26

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, di dalam

Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan

yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup

atau matinya seseorang yang dipertanggungkan.

Asuransi atau Pertanggungan Jiwa diatur dalam Buku I Bab X Pasal 302

sampai dengan Pasal 308 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Namun

tidak satupun dijumpai yang memuat rumusan definisi asuransi jiwa.

Asuransi Jiwa ini termasuk ke dalam golongan asuransi yang jenisnya lain

daripada Asuransi Kerugian yaitu yang disebut schadeverzekering di dalam beberapa

literatur seperti oleh Vollmar.

24

H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 34. 25

Ibid, hal. 10. 26

(32)

Secara luas sommenverzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di

mana satu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara

sekaligus atau periodik, sedang pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar

premi dan pembayaran uang itu adalah tergantung kepada mati atau hidupnya

seseorang tertentu atau lebih. Salah satu dari perjanjian itu ialah apa yang disebut

lijfrente di dalam KUH Perdata.27

Perbedaan lijfrente dari asuransi jiwa ialah bahwa di dalam suatu asuransi

jiwa, premi itu dibayarkan tertanggung pada umumnya secara periodik di dalam

tenggang waktu bertahun-tahun lamanya dan yang sebaliknya akan menimbulkan hak

atas pembayaran sejumlah uang secara sekaligus dari penanggung. Sedang pada

lijfrente, pemberian uang yang seperti premi itu adalah sekaligus untuk dapat

menerima pembayaran sejumlah uang secara periodik.28

Peristiwa yang terdapat di dalam asuransi jiwa itu ialah kematian. Akan tetapi

kematian itu adalah suatu peristiwa yang telah dapat ditentukan akan terjadi, sebab

semua orang harus mati, ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi.

Hanya saatnya kematian itulah yang tidak dapat dipastikan. Sedang faktor peristiwa

tidak tertentu itu di dalam asuransi kerugian pada umumnya adalah suatu peristiwa

yang menurut pengalaman manusia tidak dapat diharapkan akan terjadinya. Pada

27

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Ibid, hal. 91 28

(33)

asuransi jiwa, kematian ini adalah suatu peristiwa yang diharapkan pada setiap orang

akan terjadi, hanya waktunya yang tidak dapat dipastikan.29

Oleh karena itulah pengertian peristiwa yang tidak tertentu seperti yang

disebutkan di dalam Pasal 246 KUHD itu, di dalam asuransi jiwa hanyalah terdapat

dalam arti “apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk membayar, kalau

peristiwa kematian itu terjadi di dalam waktu yang lebih pendek daripada waktu

hidup yang mungkin terpanjang dari tertanggung”.

Di dalam asuransi kerugian pada umumnya kepentingan itu adalah merupakan

suatu syarat yang harus ada bagi tiap-tiap tertanggung. Akan tetapi di dalam asuransi

jiwa faktor ini adalah merupakan suatu syarat yang tidak diharuskan. Sebab di dalam

asuransi jiwa itu, di samping penanggung dan tertanggung masih dikenal pihak lain

sebagai pihak terhadap siapa pembayaran dari jumlah-jumlah yang dipertanggungkan

itu kemudian hari akan diberikan kalau kematian telah terjadi, dan orang inilah yang

disebutkan orang yang berkepentingan. Jadi walaupun di dalam perjanjian dari

asuransi jiwa itu sebagai pihak lawan dari penanggung ialah tertanggung dengan

siapa penanggung mengadakan perjanjian itu, sebagai orang yang hidupnya

dipertanggungkan, atau sebagai tertanggung yang terhadap kematiannya diikatkan

suatu penggantian kerugian, namun yang menerima pembayaran kerugian itu atau

yang berkepentingan atas penggantian kerugian itu adalah orang lain.30

29

Ibid, hal. 92. 30

(34)

Selanjutnya dapat dikemukakan, bahwa kalaupun ada kepentingan seseorang

atas meninggalnya orang yang atas jiwanya diadakan asuransi, tetapi kepentingan itu

adalah tidak dapat dinilai dengan uang. Jadi tidak sesuai dengan Pasal 268 KUHD

yang berbunyi sebagai berikut “ Suatu pertanggungan dapat mengenai segala

kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya,

dan tidak dikecualikan oleh undang-undang”.

Pertama-tama asuransi jiwa itu bermaksud sebagai tanggungan atas suatu

risiko dari peristiwa kematian yang terlalu cepat dari seseorang yang mempunyai

mata pencaharian. Tapi di samping itu juga sebenarnya untuk menanggung risiko dari

masih tetap tinggal hidup setelah lewatnya waktu-waktu di mana seseorang itu masih

dapat diperkirakan mempunyai mata pencahariannya. Si tertanggung membayar

premi selama bertahun-tahun, mempunyai mata pencaharian yang baik dan

mempertanggungkan baik dirinya maupun keturunannya. Dengan demikian

terkumpullah suatu modal dalam suatu waktu di mana si tertanggung

memerlukannya.

Kalau disadari, dapatlah dimengerti bahwa di samping asuransi jiwa itu

mempunyai unsur yang penting seperti “mengalihkan risiko”, juga masih mempunyai

unsur lain yang penting yaitu unsur “menabung”. Hal ini adalah mungkin, oleh

karena pembayaran atau penggantian sejumlah uang oleh penanggung itu cepat atau

lambat, sekarang atau kemudian, akan pasti terjadi atau dilaksanakan.31

31

(35)

Kebanyakan perjanjian asuransi itu diadakan oleh tertanggung atas hidupnya

sendiri. Bilamana sampai pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian asuransi

jiwa itu si tertanggung masih hidup maka dia sendirilah yang menerima pembayaran

itu dari penanggung, akan tetapi apabila dia meninggal dunia sebelum saat yang

ditentukan itu maka yang menerima pembayaran itu ialah orang lain yang ditunjuk

sebagai orang yang berkepentingan.

Pada hakikatnya, semua asuransi bertujuan untuk menciptakan suatu

kesiapsiagaan dalam menghadapi berbagai risiko yang mengancam kehidupan

manusia, terutama risiko terhadap kehilangan atau kerugian yang membuat orang

secara sungguh-sungguh memikirkan cara-cara yang paling aman untuk

mengatasinya.

Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengatakan bahwa tujuan semula dari

pertanggungan itu adalah tujuan ekonomi, yaitu bahwa seseorang yang menghendaki

supaya risiko yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu dapat diperalihkan

kepada pihak lain dengan diperjanjikan sebelumnya dengan syarat-syarat yang dapat

disepakati bersama.32 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pengertian

hukum asuransi atau pertanggungan mengandung satu arti yang pasti, yaitu sebagai

salah satu jenis perjanjian dengan tujuan berkisar pada manfaat ekonomi bagi para

pihak yang mengadakan perjanjian.

32

(36)

Pembangunan perumahan yang dibiayai melalui fasilitas kredit merupakan

program dari bank untuk menyediakan salah satu kebutuhan primer masyarakat. Bila

dilihat dari program pembangunan perumahan, tingkat pendapatan masyarakat yang

memerlukan rumah untuk tempat tinggal dapat dilihat sebagai berikut :

1. Golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi.

2. Golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah.

3. Golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Bank diberi tugas khusus untuk menyediakan fasilitas Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menengah

dalam rangka pelaksanaan program pemerintah khusus di bidang pengadaan

perumahan bagi rakyat. Sebagai sasaran yang hendak dicapai dalam pemberian Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan kepada

golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menengah untuk membeli

sebuah rumah sederhana dengan pembayaran secara angsuran untuk ditempati dan

memiliki sendiri.

Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila

seseorang atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari bank, maka orang

atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit.

Menurut O.P. Simorangkir, seperti yang dikutip oleh Hasanuddin Rahman,

kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi

(kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi

(37)

kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit

dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik

keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas

didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi

dimasa-masa mendatang.33

Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan memberikan batasan terhadap kredit, yaitu

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga.34

Ada 4 (empat) unsur kredit, yaitu:

1. Kepercayaan

Setiap pelepasan kredit, dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.

2. Waktu

Antara pelepasan kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.

3. Risiko

Setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung risiko di dalamnya, yaitu risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi risiko kredit tersebut.

33

Hasanuddin Rahman, Op.Cit, hal. 95-96. 34

(38)

4. Prestasi

Setiap kesepakatan terjadi antara bank dengan debiturnya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.35

Oleh karena itu untuk kepentingan pengembalian kredit yang telah diberikan

kepada debiturnya, bank melakukan penutupan asuransi. Di dalam melakukan

penutupan asuransi, bank haruslah selalu memasukkan adanya syarat ”Banker’s

Clause” atas setiap pertanggungannya.

Pengertian ”Banker’s Clause” di sini adalah suatu klausula yang menyatakan

bank sebagai pihak yang berhak menerima ganti rugi atas terjadinya suatu kejadian

yang mengakibatkan kerusakan atau kerugian atas barang-barang yang

dipertanggungkan atau kematian atas debitur yang ditutup asuransinya.

Banker’s Clause terjadi karena ada perjanjian antara pihak perusahaan

asuransi dengan pihak bank. Hal ini dapat diterima karena perjanjian yang dibuat oleh

para pihak menjadi undang-undang bagi mereka yang membuat perjanjian tersebut36

akan tetapi perjanjian yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian37.

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa asuransi atau

pertanggungan ini harus dilakukan oleh bank, baik atas jiwa debiturnya (perorangan)

maupun atas jaminan kredit yang dikuasainya. Salah satu pertimbangan yang paling

35 Hasanuddin Rahman, Loc.Cit, hal. 96-97. 36

Lihat Pasal 1338 BW. 37

(39)

mendasar adalah yang menyangkut kepentingan atas pengembalian kredit yang telah

diberikan kepada debiturnya.

Meninggalnya penerima kredit merupakan salah satu sebab yang dapat

menimbulkan kesulitan dalam pengembalian kredit tersebut. Dalam rangka

menanggulangi masalah tersebut, dikenal adanya suatu proteksi kematian dari

penerima kredit di mana jumlah uang pertanggungannya dikaitkan dengan jumlah

kredit yang terpaut.

Bank di dalam mengasuransikan jiwa debiturnya, adalah atas dasar bahwa:

”bank mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan” terhadap hidup debiturnya.

Dalam arti bahwa bank sebagai kreditur mempunyai keuntungan keuangan dari

kelangsungan hidup si debitur tersebut.38

Fasilitas kredit sebagai aktifitas utama lembaga perbankan mempunyai

konstruksi yang sama sejak dulu. Namun, kini perkembangannya mengarah pada

variasi-variasi dan pola-pola yang menggabungkan perkembangan teknologi dengan

segmen pasar dan regulasi yang menyertainya.

Salah satu jenis kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan adalah kredit

untuk pembelian bangunan, baik untuk pembelian rumah, pembelian rumah toko

(ruko), pembelian apartemen, pembelian rumah susun, baik bangunan lama maupun

baru.

38

(40)

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank untuk

membantu anggota masyarakat, guna membeli sebuah rumah berikut tanahnya untuk

dimiliki dan dihuni sendiri.39

Kewajiban yang mewajibkan penutupan asuransi jiwa di dalam pemberian

fasilitas KPR terkadang menimbulkan persoalan di kalangan ahli waris debitur dan

juga terhadap pihak penanggung bila selama masa asuransi debitur melakukan take

over ke kreditur lain.

Pada umumnya, pembayaran asuransi jiwa tidak termasuk warisan. Pensiun

yang diberikan kepada si janda berdasarkan perjanjian kerja, lebih banyak dipandang

sebagai hak yang sewajarnya jatuh pada si janda, sehingga hak itu dipandang sebagai

diperoleh berdasarkan suatu natuurlijke verbintenis.40

Seperti diketahui di dalam Pasal 832 Burgerlijk Wetboek (BW) ditentukan

bahwa ” Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para

keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau isteri yang hidup

terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.”

Pada umumnya bila seseorang menutup asuransi jiwa atas dirinya dan

meninggal dalam masa pertanggungan, maka yang berhak menjadi penerima

manfaatnya adalah ahli waris dari yang bersangkutan atau orang yang telah ditunjuk

di dalam polis dan polis tersebut dipegang oleh yang bersangkutan.

39

Budi Utami Raharja, Hak Jaminan Atas Kredit Pemilikan Rumah (Studi Kasus PT. Bank Danamon Indonesia Tbk dan PT. Bank Sumut Medan), Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005, hal. 63.

40

(41)

Tetapi tidak demikian halnya dengan asuransi jiwa yang ada di dalam Kredit

Pemilikan Rumah (KPR). Disini yang menjadi tertanggung tetap adalah debitur

(orang yang mendapat fasilitas kredit dari kreditur), akan tetapi debitur tidak menjadi

pemegang polisnya. Yang menjadi pemegang polis adalah badan usaha/perorangan

yang mengadakan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi atau yang

menggantikannya.41

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.42

Demi tercapainya penelitian ini, baik dalam memberikan gambaran dan

jawaban atas masalah, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam

penelitian ini.

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis43, yaitu

untuk menggambarkan klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) di Kota Medan.

41

Banker’s Clause dapat dilihat pada perjanjian induk yang dibuat oleh perusahaan asuransi dan bank serta formulir permintaan penutupan asuransi jiwa yang ditandatangani oleh debitur pada saat penandatanganan Perjanjian Kredit.

42

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 43. 43

(42)

karakteristik-Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode

pendekatan penelitian hukum empiris44 karena penelitian ini dilakukan terhadap

klausula wajib asuransi jiwa dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di

Kota Medan.

Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan adalah penelitian hukum

sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan.45 Jika penelitian

hukum normatif merupakan penelitian yang didasarkan atas data-data sekunder, maka

penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer.46

Penelitian hukum sosiologis adalah penelitian yang mengkaji korelasi antara

kaidah hukum dengan lingkungan tempat hukum itu berlaku. Korelasi ini dapat

dilihat dalam kaitan pembuatan atau penerapan hukum.47 Penelitian hukum empiris

yang dilakukan di sini mengutamakan penelitian tentang klausula asuransi jiwa dan

perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

karakteristik tertentu atau faktor-faktor tertentu, Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal. 36.

44

Ronny Hamitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 14.

45

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 2. 46

Data primer adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, Ibid.

47

(43)

2. Sumber Data

Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu Klausula Wajib Asuransi Jiwa Dalam

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Di Kota Medan, maka lokasi penelitian

dilaksanakan di Kota Medan.

Alasan pemilihan Kota Medan sebagai lokasi didasarkan pada pertimbangan

bahwa Kota Medan sebagai ibukota Popinsi Sumatera Utara yang merupakan pusat

pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, industri, dan perdagangan serta bisnis.

Populasi48 dalam penelitian ini adalah konsumen, perusahaan asuransi, dan

Perbankan Nasional di Kota Medan yang jumlah keseluruhannya adalah 42

(empatpuluh dua) buah.49

Berdasarkan populasi tersebut, sampel penelitian yang dipilih ditetapkan

secara purposive sampling50, yaitu :

1. Sebanyak 2 (dua) perusahaan perbankan yang masing-masing mempunyai

spesifikasi produk kredit yang sama dan cukup dikenal oleh masyarakat serta

memiliki jumlah nasabah debitur yang relatif banyak yaitu:

a) PT. Bank Central Asia, Tbk.

b) PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.

48

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 118.

49

Jumlah yang terdaftar hingga Desember 2006 pada Bank Indonesia (Kota Medan). 50

(44)

2. Masing-masing 5 (lima) orang nasabah debitur yang menggunakan jasa kredit

dari 2 (dua) perusahaan di atas.51

3. Perusahaan asuransi yang mempunyai hubungan kerjasama dengan 2 (dua)

perusahaan perbankan di atas, yaitu PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya dan PT.

Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera.

4. Perusahaan asuransi jiwa yang tidak mempunyai hubungan kerjasama dengan 2

(dua) perusahaan perbankan di atas, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera

1912 Medan.

5. Pegawai bank sebanyak 2 (dua) orang.

3. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara:

a) Library Research (Penelitian Kepustakaan)

Penelitian kepustakaan diadakan untuk memperoleh data sekunder dengan

mempelajari literatur-literatur, peraturan perundangan-undangan, dan

dokumentasi lainnya yang bersifat logis dan relevan dengan masalah yang

dibahas dengan menggunakan studi dokumen.

b) Field Research (Penelitian Lapangan)

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dari narasumber

dengan melakukan wawancara langsung.

51

(45)

Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau

dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan

pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah

ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah

dipilih.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif52 dengan mempelajari

jawaban dari responden, sesuai dengan sifat penelitian deskriptif analitis, maka data

yang dikumpulkan melalui wawancara yang diperoleh akan diteliti dan dipelajari

secara utuh dan disesuaikan dengan data sekunder.

Maka data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematik dan

selanjutnya dilakukan analisis deskriptif secara kualitatif.53

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.54

52

Bambang Waluyo, Op Cit, hal. 77-78, menyatakan terhadap data yang sudah terkumpul dapat dilakukan analisis kualitatif apabila:

1) Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukurannya; 2) Data tersebut sukar diukur dengan angka;

3) Hubungan antar variabel tidak jelas; 4) Sampel lebih bersifat non probabilitas;

5) Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan; 6) Penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan.

53

Burhan Bungi, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 135.

54

(46)

Berdasarkan pendapat Maria, S.W. Sumardjono, bahwa analisis kualitatif dan

analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat

sepanjang hal itu mungkin keduanya dapat saling menunjang.55

Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan dan evaluasi

terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya baik melalui

wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan

perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitan baik media cetak, media elektronik,

dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan.

Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian

secara kualitatif. Dengan analisis kualitatif itu juga dilakukan metode interpretasi.56

Berdasarkan metode interpretasi ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan

hukum yang ada dalam penelitian ini.

55

Wihardi, Op.Cit, hal. 81. 56

(47)

BAB II

PENGATURAN KLAUSULA WAJIB ASURANSI JIWA DALAM

PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

A. Klausula Wajib Asuransi Jiwa

Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam

perundang-undangan dan Perusahaan Perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari

kata ”asuransi” yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari

ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Apabila kata ”asuransi” diberi

imbuhan ”per-an”, maka muncullah istilah hukum ”perasuransian”, yang berarti

segala usaha yang berkenaan dengan asuransi.

Istilah aslinya dalam bahasa Belanda adalah verzekering atau assurantie.

Sukardono Guru Besar Hukum Dagang menerjemahkannya dengan ”pertanggungan”.

Istilah pertanggungan ini umum dipakai dalam literatur hukum. Sedangkan istilah

asuransi sebagai serapan dari istilah assurantie (Belanda), assurance (Inggris) banyak

dipakai dalam praktik dunia usaha (business).57

Hidup manusia umumnya diakui sangat tinggi nilainya. Itulah sebabnya

makin banyak permintaan akan asuransi jiwa. Dua kemungkinan darurat yang

dihadapi setiap orang dalam hidup adalah mati terlalu dini atau hidup terlalu lama.

Orang mungkin hidup terlalu lama sehingga melampaui produktivitas keuangannya /

kemampuannya menyediakan kebutuhan ekonominya. Kemungkinan darurat pertama

57

(48)

adalah kematian fisik. Asuransi jiwa merupakan alat keuangan untuk menyediakan

dana bagi pemeliharaan ahli waris dan harta peninggalan seseorang yang sudah

meninggal. Kemungkinan darurat kedua adalah kematian ekonomi.

Asuransi atau pertanggungan sebagai lembaga peralihan resiko merupakan

suatu manifestasi dari usaha manusia untuk mengalihkan risiko yang seharusnya

ditanggungnya sendiri kemudian dialihkan ke pihak lain melalui suatu perjanjian

asuransi, yang dalam kegiatan ini disebut risk management (manajemen risiko).58

Asuransi jiwa juga merupakan suatu alat sosial dan ekonomi. Ia merupakan

cara sekelompok orang untuk dapat bekerja sama memeratakan beban kerugian

karena kematian sebelum waktunya (premature death) dari anggota-anggota

kelompok itu. Organisasi asuransi memungut kontribusi dari masing-masing anggota,

menginvestasikannya dan menjamin keamanan dan hasil bunga minimum, dan

mendistribusikan untungnya (benefits) kepada ahli waris anggota yang meninggal.

Apa yang disebut ”asuransi jiwa” itu lebih realities dinamakan ”asuransi kematian”,

namun kebiasaan telah memberinya nama asuransi jiwa yaitu perjanjian untuk

perlindungan terhadap kerugian keuangan karena kematian. Titik perhatian asuransi

jiwa adalah hidup manusia. Asuransi jiwa menyediakan lembaga bagi orang-orang

untuk dapat secara sistematis menciptakan jaminan keuangan bagi keluarganya

dan/atau bagi perusahaannya.

58

(49)

Dalam asuransi jiwa yang dipertanggungkan ialah yang disebabkan oleh

kematian (death). Kematian tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan seseorang

atau suatu keluarga tertentu. Risiko yang mungkin timbul pada asuransi jiwa terutama

terletak pada ”unsur waktu/time”, oleh karena sulit untuk mengetahui kapan

seseorang meninggal dunia. Untuk memperkecil risiko tersebut, maka sebaiknya

diadakan pertanggungan jiwa.59

Asuransi/Pertanggungan Jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup

(pengambil) asuransi dengan penanggung, dimana penutup asuransi mengikatkan diri

untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk

membayar sejumlah uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya

asuransi yang didasarkan atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.

Sifat dasar asuransi jiwa, adalah proteksi terhadap kerugian finansial akibat

hilangnya kemampuan menghasilkan pendapatan yang disebabkan oleh kematian,

maupun usia lanjut. Proteksi tersebut dapat diperoleh dari perusahaan asuransi jiwa.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

menyebutkan bahwa perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan

jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya

seseorang yang dipertanggungkan.

Perbedaan yang esensial antara asuransi jiwa dan asuransi lainnya yang

dirancang terutama untuk melindungi terhadap suatu peril tertentu adalah bahwa

59

(50)

asuransi jiwa mempunyai fungsi tambahan yaitu fungsi akumulasi (tabungan), kecuali

asuransi jiwa berjangka (terminsurance). Sebagian premi yang telah dibayarkan

untuk asuransi jiwa oleh tertanggung merupakan dana investasi yang akan diserahkan

oleh pihak penanggung kepada pihak tertanggung. Jadi, peranan ganda dari asuransi

jiwa adalah perlindungan dan investasi atau tabungan.60

Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1992 Pasal 1 Ayat 1, Asuransi Jiwa:

”Asuransi atau Pertanggungan Jiwa adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,

dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan

menerima premi asuransi, untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas

meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Asuransi atau Pertanggungan Jiwa diatur dalam Buku I Bab X Pasal 302

sampai dengan Pasal 308 KUHD. Namun tidak satupun dijumpai yang memuat

rumusan definisi asuransi jiwa.

Asuransi Jiwa ini termasuk ke dalam golongan asuransi yang jenisnya lain

daripada asuransi kerugian yaitu yang disebut schadeverzekering di dalam beberapa

literatur seperti oleh Vollmar.61

Secara luas sommenverzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di

mana satu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara

sekaligus atau periodik, sedang pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar

premi dan pembayaran uang itu adalah tergantung kepada mati atau hidupnya

60

Herman Darmawi, Op Cit, hal. 73. 61

(51)

seseorang tertentu atau lebih. Salah satu dari perjanjian itu ialah apa yang disebut

lijfrente di dalam KUH Perdata.

Perbedaan lijfrente dari asuransi jiwa ialah bahwa di dalam suatu asuransi

jiwa, premi itu dibayarkan tertanggung pada umumnya secara periodik di dalam

tenggang waktu bertahun-tahun lamanya dan yang sebaliknya akan menimbulkan hak

atas pembayaran sejumlah uang secara sekaligus dari penanggung. Sedang pada

lijfrente, pemberian uang yang seperti premi itu adalah sekaligus untuk dapat

menerima pembayaran sejumlah uang secara periodik.62

Ke dalam asuransi jiwa ini, janganlah pula diberi pengertian bahwa hal itu

sama seperti suatu perjanjian di mana terhadap suatu pembayaran premi diperjanjikan

sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya, dibayar setelah berlakunya

beberapa tahun. Sebab di dalam pengertian ini sama sekali kehidupan dan kematian

seseorang itu tidaklah mempunyai pengaruh, sehingga hal ini tidak sesuai dengan

hakekat dari asuransi jiwa.

Peristiwa yang terdapat di dalam asuransi jiwa itu ialah kematian. Akan tetapi

kematian itu adalah suatu peristiwa yang telah dapat ditentukan akan terjadi, sebab

semua orang harus mati, ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi.

Hanya saatnya kematian itulah yang tidak dapat dipastikan. Sedang faktor peristiwa

tidak tertentu itu di dalam asuransi kerugian pada umumnya adalah suatu peristiwa

yang menurut pengalaman manusia tidak dapat diharapkan akan terjadinya. Pada

(52)

asuransi jiwa, kematian ini adalah suatu peristiwa yang diharapkan pada setiap orang

akan terjadi, hanya waktunya yang tidak dapat dipastikan.63

Oleh karena itulah pengertian peristiwa yang tidak tertentu seperti yang

disebutkan di dalam Pasal 246 KUHD itu, di dalam asuransi jiwa hanyalah terdapat

dalam arti ”apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk membayar, kalau

peristiwa kematian itu terjadi di dalam waktu yang lebih pendek daripada waktu

hidup yang mungkin terpanjang dari tertanggung.

Di dalam asuransi kerugian pada umumnya kepentingan itu adalah merupakan

suatu syarat yang harus ada bagi tiap-tiap tertanggung. Akan tetapi di dalam asuransi

jiwa faktor ini adalah merupakan suatu syarat yang tidak diharuskan. Sebab di dalam

asuransi jiwa itu, di samping penanggung dan tertanggung kita masih mengenal pihak

Referensi

Dokumen terkait

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,

Asuransi atau Pertanggungan adalah perjaniian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung dengan menerima premi

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan nama pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2(dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi