• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANISA KUSUMAWARDHANI NIM : 110200091

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

(2)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA OLEH ASSOCIATION

OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR NEGARA ANGGOTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ANISA KUSUMAWARDHANI NIM: 110200091

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui/Diketahui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

(CHAIRUL BARIAH, S.H. M.Hum) NIP. 195612101986012001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum Makdin Munthe, S.H., M.Hum NIP. 197302202002121001 NIP.19550808198031004

FAKULTAS HUKUM

(3)

ABSTRAKSI

Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum*) Makdin Munthe, S.H., M.Hum**)

Anisa Kusumawardhani***)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai mekanisme penyelesaian sengketa oleh ASEAN melalui Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanism atau Protokol Piagam ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa internasional dilihat dari perspektif hukum internasional, bagaimana penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh organisasi internasional regional selain ASEAN, serta bagaimana penyelesaian sengketa dalam instrumen ASEAN.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dengan melakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan meliputi bahan hukum primer, sekunder, tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.

Kajian dalam skripsi ini akan memuat mengenai penyelesaian sengketa dari persepektif hukum internasional dan perkembangannya. Penyelesaian sengketa juga akan dilihat dari mekanisme penyelesaian sengketa dari berbagai organisasi internasional regional dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun Uni Eropa. Selanjutnya pembahasan selanjutnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang dilihat dari Piagam ASEAN, Treaty of Amity adn Cooperation, serta Protokol Piagam ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Dari instrumen-instrumen hukum ASEAN tersebut dapat disimpulkan penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara damai dan dengan musyawarah atau lebih dikenal dengan ASEAN way.

Kata Kunci: ASEAN, Penyelesaian Sengketa, Protokol. ASEAN

way.

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya:

Nama : ANISA KUSUMAWARDHANI NIM : 110200091

Judul :MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA OLEH ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR NEGARA ANGGOTA

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang belaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, Juni 2015

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW. Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.”

Penulis menyadari berbagai tantangan yang dihadapi dalam penulisan skripsi ini untuk mencapai hasil yang baik. You may encounter many defeats, but you must not be defeated. Inilah kutipan yang memberikan semangat kepada Penulis untuk tetap maju dan bersemangat dalam menghadapi tantangan yang ada selama penulisan skripsi. Penulis juga sangat berterima kasih atas bantuan yang didapat dari berbagai pihak sejak awal mula penulisan hingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

(6)

Novianto, SH.MH dan keponakan tersayang Naufal Zhafran Narendra. Skripsi ini Penulis persembahkan untuk mereka.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga Penulis haturkan kepada pihak-pihak berikut:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Afrita S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik;

6. Ibu Chairul Bariah S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional;

7. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional;

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang Ibu berikan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi;

(7)

berikan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

10.Seluruh Dosen dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Keluarga Besar Bina Antarbudaya AFS Chapter Medan kepada Dra. Rumonda Bulan Lubis M.Si, Chairunnisa Aidha Siregar, Mahmuddin, Annisa Lubis, Andi Syahputra, Ranap Katili Parulian Sidabutar S.TI dan kakak-kakak volunteer lainnya yang tak bisa Penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan, canda, dan kerja kerasnya selama ini. 12.Contact Person Team 2014/2015 Bina Antarbudaya Medan yaitu Cut Putri

Helyati Syakura, Grace Lumanauw, M. Arif Husein Guci, dan Joko Kurnianto, serta Ummi Kalsum, dan Maulidya Rahmah. Terima kasih atas dukungan, cerita, dan kerjasama selama ini.

13.To my precious lovely and wonderful hosting students YP 2014/2015. Alejandro Gonzales Permingeat, Benedetta Barbieri, and Midoriko Kasahara. Gracias, grazie, arigatou gozaimasu for giving new vibrant and color to our chapter and Kak Icha.

(8)

15.My eternal sister, Sarina Melanie Tausend. Thank you for being a supportive sister, place to share, lean on, laughing, get together, and

joking as well.

16.To my precious and wonderful friends who shared your worlds to me. My precious Global Citizen High School partners, Brian Cheong, Isman Que, Fahad Naeem, Miliausha Yusupova, Florin Popa, Alessandro Circo, Khatia Svanidze, Nurkyz Kadyrova, Sankha Kumaragamage, Zura Otarashvili. And my precious Global Citizen School partners, Ni Putu Agustin Putriani, Yan Zhong, Chatushki Kumarasinghe, Robert Meder, Diana Vasile, Christina Noel, Irene Zupelli, Flavia Rocco, Raed Besomi.

And our super fantastic AIESEC Poland LC Lublin, Mateusz Jablonowski, Kasia Gnatowicz, Mommy Urszula Klosowska, Paulina Golebiowska, Rafal Wysocki, Ewa Lukaszczyk, Twins Anton Michael and Kuba. Last but not least my best friends in time of need, Elif Nur Ataman and Martha Pensabene.Thank you very much, dziękuję bardzo.

17.Keluarga besar AIESEC Universitas Sumatera Utara yaitu abangda Wanda Syahdul Haq dan Stephanie Siahaan serta keluarga besar AIESEC Universitas Andalas Wyke Dimas Pratiwi dan Diana Fitri Anggraini. Terima kasih banyak atas kesempatan yang diberikan kepada Penulis sehingga Penulis bisa mendapatkan pengalaman yang mengubah hidup Penulis.

(9)

Aruan SH, kak Rahma Sari SH, Azirah SH, Imam Fauzi dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan dan mendapatkan pengalaman yang luar biasa;

19.International Law Student Association (ILSA) Fakultas Hukum USU;

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Juni 2015 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR

PENGESAHAN………i

ABSTRAKSI……… …..ii

LEMBAR PERNYATAAN………..iii

KATA PENGANTAR………...iv

DAFTAR ISI………..ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………1

B. Perumusan Masalah………..5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……... 5

D. Keaslian Penulisan………...6

E. Tinjauan Kepustakaan………...7

F. Metode Penelitian……… 11

G. Sistematika Penulisan………..14

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional……….16

B. Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa……….19

C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa………...24

(11)

C. Penyelesaian Sengketa oleh Uni Eropa... 45 D. Penyelesaian Sengketa oleh Organisasi Persatuan Afrika ………….47

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DI ASEAN MENURUT

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA ASEAN

A.Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam Piagam ASEAN... 50

B.Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam Protokol Piagam ASEAN

Mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa... 56

C.Pemberlakuan Protokol Piagam ASEAN Mengenai Mekanisme

Penyelesaian Sengketa dan Pengaruhnya terhadap Negara Anggota..75

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………...………. 78

B. Saran……….. 81

(12)

ABSTRAKSI

Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum*) Makdin Munthe, S.H., M.Hum**)

Anisa Kusumawardhani***)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai mekanisme penyelesaian sengketa oleh ASEAN melalui Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanism atau Protokol Piagam ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa internasional dilihat dari perspektif hukum internasional, bagaimana penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh organisasi internasional regional selain ASEAN, serta bagaimana penyelesaian sengketa dalam instrumen ASEAN.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dengan melakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan meliputi bahan hukum primer, sekunder, tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.

Kajian dalam skripsi ini akan memuat mengenai penyelesaian sengketa dari persepektif hukum internasional dan perkembangannya. Penyelesaian sengketa juga akan dilihat dari mekanisme penyelesaian sengketa dari berbagai organisasi internasional regional dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun Uni Eropa. Selanjutnya pembahasan selanjutnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang dilihat dari Piagam ASEAN, Treaty of Amity adn Cooperation, serta Protokol Piagam ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Dari instrumen-instrumen hukum ASEAN tersebut dapat disimpulkan penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara damai dan dengan musyawarah atau lebih dikenal dengan ASEAN way.

Kata Kunci: ASEAN, Penyelesaian Sengketa, Protokol. ASEAN

way.

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keberadaan hukum internasional sebagai bagian dari hukum yang sudah tua, yang mengatur hubungan antar negara tak dapat dipisahkan dari keberadaannya yang saat ini tidak semata mengatur hubungan pergaulan antar negara saja, namun juga hubungan negara dengan beberapa subjek yang telah diakui oleh hukum internasional sebagai bagian dari subjek hukum internasional, bahkan mengatur juga hubungan sesama subjek hukum internasional tersebut.

Dilihat dari awal keberadaan hukum internasional pada zaman dahulu, dapat dilihat bahwa telah terdapat ketentuan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa yang didasarkan pada adat kebiasaan yang dapat dilihat adanya pengaturan mengenai perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, hukum yang mengatur perang, tawanan perang, serta cara melakukan perang.1

Seiring dengan perkembangan zaman, maka hukum internasional juga berkembang pesat dengan adanya subjek lain, selain negara, yang diakui dalam hukum internasional salah satunya adalah organisasi internasional.2 Negara dalam menjalankan pemerintahannya dan memenuhi kebutuhannya, tak bisa lepas dari hubungan dengan negara lain, sehingga dari praktek pergaulan ini lahirlah

1

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003) hlm. 25

2

(14)

organisasi internasional publik atau yang lebih dikenal dengan organisasi internasional. Selain organisasi internasional publik, dikenal juga organisasi internasional non pemerintah atau yang lebih dikenal dengan International Non-Governmental Organization.

Salah satu contoh organisasi internasional yang dikenal luas ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945 untuk mendorong kerjasama internasional. Badan ini merupakan pengganti Liga Bangsa-Bangsa dan didirikan setelah Perang Dunia II untuk mencegah terjadinya konflik serupa diakibatkan perselisihan dan peperangan antar umat manusia.3

Di kawasan Asia Tenggara, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 dengan dilaksanakannya Deklarasi Bangkok oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Terhitung sejak terbentuknya telah bergabung negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Brunei Darussalam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Organisasi ini bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, dan membentuk kerja sama di berbagai bidang kepentingan bersama.4

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) IX ASEAN di Kuala Lumpur, Desember 2005, kepala negara/pemerintah ASEAN bersepakat untuk menyusun rancangan sebuah piagam agar ASEAN jadi suatu organisasi berdasar hukum dan peraturan hukum (legally based) yang memiliki legal personality. Melalui Piagam

3

(15)

ASEAN lahirlah berbagai kesepakatan serta kerja sama antar negara anggota ASEAN. Dengan disepakatinya Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997 dan Deklarasi Bali Concord II di Bali tahun 2003 mengenai upaya perwujudan Komunitas ASEAN dengan ketiga pilarnya (Politik-Keamanan, Ekonomi, dan Sosial Budaya), maka membuka kesempatan bagi negara anggota ASEAN untuk saling berinteraksi dan mewujudkan visi dan misi bersama. Selain itu, dengan status Indonesia sebagai negara berkembang, maka dianggap penting bagi Indonesia untuk melakukan perjanjian atau kesepakatan dengan negara lain, bahkan untuk menjadi negara anggota dari sebuah organisasi internasional.

Traktat Persahabatan dan Kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation) dibentuk sebagai instrumen penting dalam menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam TAC juga tercermin di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) antara lain prinsip non-interference dan penggunaan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik yang timbul diantara negara-negara penandatangan TAC.

(16)

terhadap TAC sebagai suatu tata tertib (code of conduct) dalam menjalankan hubungan antar negara di dalam dan luar kawasan ASEAN.5

Dengan perwujudan komunitas ASEAN 2015, maka negara-negara anggota akan terintegrasi dalam sistem kerjasama yang saling aktif dan berkaitan sehingga diperlukan instrumen lanjutan mengenai pengaturan kerja sama antar negara anggota tersebut.

Dengan adanya relasi antar negara anggota maka tak dapat dihindari bahwa dibutuhkan juga instrumen yang mengatur tersendiri mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi antar negara anggota baik hal tersebut berkaitan dengan Piagam ASEAN maupun dengan instrumen ASEAN lainnya.

Urgensi pentingnya pengaturan tersebut tak lain adalah mengingat pada tahun 2008 lalu mengenai status kepemilikan Kuil Preah Vihear antara Kamboja dan Thailand yang menyebabkan ketegangan hingga adu senjata antara tentara kedua belah negara. Sehingga dirasa penting adanya pengaturan lanjutan atas penyelesaian sengketa yang terjadi antar negara anggota ASEAN yaitu dengan lahirnya Protokol ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa.6

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penting untuk dibahas mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh ASEAN dalam menyelesaikan sengketa antar negara anggotanya.

5

(17)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, adapun rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah penyelesaian sengketa internasional dilihat dalam perspektif hukum internasional?

2. Bagaimanakah dengan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh organisasi internasional regional?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa yang dilakukan di ASEAN menurut instrumen hukum dalam ASEAN?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui mengenai peran ASEAN sebagai organisasi internasional regional di Asia Tenggara dalam mengkoordinasi dan menjembatani kepentingan negara anggota nya.

2. Untuk mengetahui cara yang ditempuh ASEAN dalam hal menghadapi sengketa yang terjadi di dalam ruang lingkupnya.

3. Untuk mengetahui mengenai kesiapan ASEAN dalam hal penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi antar negara anggota dalam menghadapi

ASEAN Economic Community.

(18)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan menambah bahan literatur bagi Hukum Internasional khususnya dalam hukum Penyelesaian Sengketa

Internasional. Dan penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya pada bidang yang sama, khususnya dalam hal menyangkut instrumen hukum dan penyelesaian sengketa di ASEAN mengahadapi

ASEAN Economic Community.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada penegak hukum di Indonesia mengenai keberadaan instrumen hukum yang dibentuk oleh ASEAN dalam menghadapi ASEAN Economic Community 2015.

b. Memberikan pemahaman kepada lapisan masyarakat mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang dianut oleh ASEAN yang mengedepankan cara-cara damai.

c. Memberikan pemahaman mengenai eksistensi ASEAN sebagai organisasi internasional regional yang berkembang serta mengakomodir segala bidang yang ada di dalam nya.

D. Keaslian Penulisan

(19)

Universitas Sumatera Utara dan sepengetahuan penulis belum pernah ditulis walaupun ada beberapa topik penelitian tentang ASEAN atau penyelesaian sengketa sebelumnya, seperti “Penyelesaian Sengketa Perbatasan Dangrek Antara

Kamboja dan Thailand melalui ASEAN Charter 2007” dan “Konflik Batas

Wilayah Preah Vihear Antara Thailand dan Kamboja ditinjau dari Hukum Internasional” yang membahas pendekatan dari sudut pandang yang berbeda. Jadi

penulisan ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan penelitian ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk menghindari kesalahpahaman istilah, maka diberikan batasan pengertian sebagai berikut :

1. Mekanisme

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mekanisme berarti penggunaan mesin; hal kerja mesin; cara kerja suatu organisasi, perkumpulan dan lain sebagainya.

Mekanisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani ‘mechane’ yang

(20)

a. Mekanisme adalah pandangan bahwa interaksi bagian-bagian dengan bagian-bagian lainnya dalam suatu keseluruhan atau sistem secara tanpa disengaja menghasilkan kegiatan atau fungsi-fungsi sesuai dengan tujuan. b. Mekanisme adalah teori bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan

prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin tanpa bantuan inteligensi sebagai suatu sebab atau prinsip kerja. 7

2. Sengketa

Menurut John Collier & Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:8

A specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in

which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim

or denial by another

Setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa. Sengketa berbeda dengan konflik. Konflik selalu berkaitan erat dengan pertikaian menggunakan senjata dan diatur tersendiri oleh Hukum Humaniter. Konflik lebih tepat digunakan karena kompleksitas permasalahan pihak-pihak terkait.

Sengketa merupakan perselisihan yang berupa masalah fakta, hukum atau politik mengenai tuntutan atau pernyataan dari suatu pihak yang ditolak, dituntut

7

https://id.wikipedia.org/wiki/Mekanisme diakses pada tanggal 18 Mei 2015 pukul 23.18

8

(21)

balik atau diingkari oleh pihak lain.9 Pihak yang terlibat dalam sengketa dapat terjadi antar individu maupun melibatkan antar negara.

Sengketa yang melibatkan antar negara disebut sengketa internasional. Sengketa internasional dapat diartikan sebagai perselisihan yang secara eksklusif melibatkan negara dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional. Sengketa-sengketa internasional mencakup sengketa yang melibatkan antar negara dan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, yaitu sengketa yang melibatkan semua subjek hukum internasional sebagai aktor non negara.10

3. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)

ASEAN didirikan berdasarkan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. 11 Tujuan utama pembentukan ASEAN adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan, sebagaimana terlihat dari dua butir isi deklarasi (butir 1 dan 3).12 Keanggotaan ASEAN juga bertambah dengan bergabungnya Brunei Darussalam (bergabung pada 8 Januari 1984); Vietnam (bergabung 28 Juli

9

J. G. Merrills. Penyelesaian Sengketa Internasional. (Bandung : Tarsito 1986) hlm. 1

10

Sefriani , Hukum..., Op.Cit, hlm.355

11

Biro Hubungan dan Studi Internasional Direktorat Internasional Bank Indonesia. Kerja Sama Perdagangan Internasional : Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004) hlm. 107-108.

12

Butir 1 Tujuan ASEAN dalam Deklarasi Bangkok 1967: mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan budaya di kawasan melalui upaya bersama dengan semangat kesetaraan dan persahabatan dalam rangka memperkuat landasan untuk mencapai masyarakat negara-negara Asia Tenggara yang makmur dan damai.

(22)

1995)’ Laos dan Myanmar (bergabung pada 23 Juli 1997); Kamboja (30 April

1999); dan Timor Leste (bergabung pada tahun 2011).

Perkembangan lebih lanjut ASEAN dilihat dengan adanya agenda yang signifikan di bidang politik seperti Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (

Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971. Kemudian pada tahun 1976 kelima negara tersebut menyepakati Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/ TAC) yang menjadi landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai.13 Perjanjian tersebut mendeklarasikan bahwa negara-negara anggota dalam hubungan bernegara harus didasari prinsip saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, kesatuan wilayah dan identitas nasional dari seluruh negara. Tidak saling mencampuri dalam urusan domestik, penyelesaian perbedaan atau sengketa secara musyawarah, penolakan atas segala bentuk ancaman atau kekuatan dan kerja sama yang efektif antar negara anggota merupakan prinsip-prinsip lain lain dalam kerja sama ASEAN.

Di bidang ekonomi, Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangements (PTA) berhasil disepakati dan ditandatangani di Manila pada 24 Februari 1977 yang menjadi landasan untuk mengadopsi berbagai instrumen dalam liberalisasi perdagangan.

(23)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menganalisis norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dan menurut Jhonny Ibrahim, metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.14 Melalui metode penelitian hukum normatif, penelitian ini menganalisis norma-norma hukum nasional dan hukum internasional yang terdapat dalam deklarasi, konvensi dan peraturan perundang-undangan.

2. Sumber Data

Penelitian hukum pada umumnya membedakan sumber data ke dalam dua bagian, yaitu data primer yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sumber data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang terdiri dari:15

a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini berupa;

14

Jhonny Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia Publishing 2005) hal. 47

15

(24)

1) Piagam ASEAN (ASEAN Charter 2007)

2) Protokol Piagam ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanism);

3) Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 71 Tahun 2014 tentang Pengesahan Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanism (Protokol Piagam ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa)

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan acuan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti;

1) Buku-buku teks; 2) Artikel internet; 3) Jurnal-jurnal hukum; 4) Hasil penelitian.

c) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti;

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia; 2) Ensiklopedia

(25)

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen atau bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis. Pengertian lain, menyatakan bahwa Studi Kepustakaan (Library Research), yaitu studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

(26)

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ” sistematika penulisannya

adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan memaparkan latar belakang lahirnya permasalahan hingga mampu dirumuskan ke dalam 3 (tiga) inti masalah, serta menguraikan tujuan, manfaat, keaslian penelitian dan menjabarkan kerangka teori dan konsep serta metode penelitian.

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Dalam bab ini akan membahas tentang Pengertian Hukum Internasional dan Sumber-Sumber Hukum Internasional, Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional dan Pengaturan Status Pulaudari Wilayah Negara Berdasarkan Hukum Internasional BAB III PENYELESAIAN SENGKETA OLEH ORGANISASI

(27)

Pada bab ini akan membahas sejarah penyelesaian sengketa internasional, prinsip-prinisp, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa, serta penyelesaian sengketa berdasarkan Piagam PBB. BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DI ASEAN MENURUT

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA ASEAN

Pada bab ini membahas membahas permasalahan akhir, yaitu cara penyelesaian sengketa yang dilakukan menurut mekanisme instrumen ASEAN sebagaimana terdapat dalam Piagam ASEAN, Protokol Mekanisme Penyelesaian Sengketa, dan TAC.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(28)
(29)

BAB II

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional

Dalam realita, hubungan-hubungan internasional yang dilakukan antar negara, negara dengan individu, maupun negara dengan organisasi internasional tak selamanya terjalin dengan baik. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi. Adapun sumber potensi tersebut diantaranya dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lainnya.

Usaha-usaha penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian bahkan sejak awal abad ke-20 dimana usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip keamanan internasional.

Adapaun yang dilakukan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional yaitu dengan memberikan cara agar para pihak menyelesaikan sengketa tersebut sesuai dengan aturan hukum internasional. Hukum internasional pada awalnya mengenal penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara perang.

(30)

Semakin berkembanganya zaman, maka kekuatan militer dan perkembangan teknologi persenjataan pemusnah massal juga semakin berkembang. Sehingga masyarakat internasional menyadari akan dampak dan bahaya dari perang tersebut dan berusaha agar cara penyelesaian sengketa dengan perang ini dapat dihentikan.

Awal perkembangan lahirnya cara penyelesaian sengketa secara damai secara formal bermula dengan lahirnya the Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian Den Haag) pada tahun 1899 dan 1907 yang menghasilkan the Convention on Pacific Settlement of International Disputes pada tahun 1907.16

Inisiatif dilaksanakannya konferensi tersebut dilakukan oleh Tsar Rusia Nicholas II tahun 1898 yang mengusulkan diperlukannya sutau konferensi untuk mengurangi gencatan senjata dan kemungkinan penghentiaan perkembangan persenjataan. Inisiatif ini kemudian disambut oleh Ratu Belanda, dimana mereka mengundang negara-negara lain dalam membahas usulan konferensi tersebut.17

Adanya Konferensi Perdamaian Den Haag memiliki arti penting diantaranya:

1. Memberikan sumbangan penting bagi hukum humaniter;

2. Memberikan sumbangan penting bagi aturan penyelesaian sengketa secara damai.

Dengan lahirnya konvensi perdamaian tersebut, maka para negara anggota telah sepakat bahwa penyelesaian sengketa dengan cara-cara seperti jasa-jasa baik, mediasi, komisi penyelidik, jika dimungkinkan, akan lebih diutamakan. Jika

16

(31)

cara-cara tersebut gagal, maka penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase dimungkinkan.

Perkembangan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa secara damai dapat dilihat dari pengesahan perjanjian-perjanjian internasional berikut:18

1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919; 2. Statuta Mahkamah Internasional Permanen 1921;

3. The General Treaty for the Renunciation of War 1928;

4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928; 5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945;

6. Deklarasi Bandung 1955;

7. The Declaration of the United Nations on Principle of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in

Accordance with the Charter of the United Nations 1970;

8. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States 1982.

Deklarasi Manila memiliki arti penting karenanya sebagai inisiatif dan upaya dari Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penyelesaian sengketa secara damai. Dalam deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa wajib bagi negara-negara yang bersengketa untuk mencari jalan dalam penyelesaian sengketanya dengan secepat mungkin dan seadil-adilnya. Negara juga diharapkan untuk mempertimbangkan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Mahkamah Internasional dan Sekretaris Jenderal PBB dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

18

(32)

Sekarang ini, hukum internasional telah mewajibkan kepada semua negara (khususnya negara anggota PBB) untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui cara damai yang termuat dalam pasal 1, 2, dan 33 Piagam PBB. Dalam ketiga pasal tersebut menyebutkan bahwa sebagai bagian dari tujuan PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan inetrnasional maka setiap perselisihan harus menyelesaikan sengketa dengan cara-cara damai dengan mengedepankan perdamaian dan keadilan serta menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan.

B. Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa

Perkembangan Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penggunaan cara damai dalam penyelesaian sengketa menjadi dasar bagi lahirnya Manila Declaration atau Deklarasi Manila. Sehingga dalam inti sari dari Deklarasi tersebut ditemukan esensi yang mendasari penyelesaian sengketa untuk menemukan solusi. Adapun prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa tersebut diantaranya:

1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)

(33)

sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak untuk menyelesaian sengketa yang terjadi. 20

Sebagai tonggak dari lahirnya prinsip tersebut, dalam Section 1 paragraph

1 Deklarasi Manila telah mencantumkan prinsip itikad baik ini sebagai prinsip awal yang menyebutkan:

... all states shall act in good faith and in conformity with the purposes and

principles enshrined in the Charter of the United Nations with a view to

avoiding disputes among themselves likely to affect friendly relations

among States, thus contributing to the maintenance of international peace

and security. They shall live together in peace with one another as good

neighbours and strive for the adoption of meaningful measures for

strenghtening international peace and security...

Prinsip itikad baik dalam kutipan Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa negara-negara wajib dengan itikad baik sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam PBB untuk menghindari terjadinya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan antarnegara. Sehingga itikad baik dipandang sebagai suatu sikap negara untuk menjaga perdamaian dengan mengedepankan cara-cara bersahabat dengan tujuan untuk menyelesaikan perselisihan dan juga menjaga perdamaian.

Dan dalam pasal 13 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia / TAC (Bali Concord 1976) menyebutkan:

20

(34)

...The high contracting parties shall have the determination and good faith

to prevent disputes from arising.

Terjemahan:

Pihak-pihak yang terkait wajib memiliki tekad dan itikad baik dalam mencegah timbulnya perselisihan.

Dengan adanya prinsip ini dapat mencegah terjadinya sengketa yang dapat mengakibatkan renggangnya hubungan antarnegara dan dapat menyelesaikan sengketa secara lebih dini serta mensyaratkan bahwa sengketa yang terjadi hendaknya diselesaikan melalui cara-cara penyelesaian yang dikenal dalam hukum internasional (negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan) atau cara-cara yang dipilih oleh para pihak.21

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa Sebagaimana dalam pasal 13 TAC yang memuat prinsip ini, menyatakan:

... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes

among themselves through friendly negotiations.

(35)

Prinsip ini juga dapat ditemui di Pembukaan ke-4 Deklarasi Manila. Dan dalam perjanjian internasional lainnya dapat dilihat dalam Pasal 5 Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 (Pact of the League of Arab States), Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of Reciprocal Assistance (1947), dan lain-lain.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Prinsip ini memberikan para pihak untuk memiliki kebebasan dalam memilih cara penyelesaian sengketa yang mereka sepakati (principle of free choice means).

Prinsip ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan

Section 1 Paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5 dari Friendly Declaration. Dengan adanya pengaturan tersebut mejadikan prosedur penyelesaian sengketa harus didasarkan kepada pihak yang bersengketa dimana hal ini berlaku bagi sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang.

4. Prinisp Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa

(36)

kelayakan (ex aequo et bono).22 Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan.

5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak. Sebaliknya. prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.

6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi Manila. Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh.

7. Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara

(37)

melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara.

Adapun prinsip yang terdapat di Office of the Legal Affairs PBB memuat diantaranya:

a. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;

b. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; c. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;

d. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional, yang semata-mata merupakan penjelmaan lebih lanjut dari prinsip ke-7, yaitu prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa

Menurut J.G. Starke, bentuk- bentuk dalam penyelesaian sengketa dapat digolongkan menjadi 2 bentuk23;

1. Penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan solusi yang bersahabat.

2. Penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau diterapkan adalah melalui kekerasan.

23

(38)

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai 1. Negosiasi

Merupakan cara penyelesaian sengketa yang banyak ditempuh serta efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi adalah

perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui perundingan tanpa melibatkan pihak ketiga. Penyelesaian sengketa dengan cara ini meskipun terlihat mudah namun juga sering mengalami kegagalan seperti adanya penolakan salah satu pihak untuk melakukan negosiasi.

Beberapa kelemahan menggunakan cara negosiasi:

a. Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang; b. Kadang-kadang sangat memerlukan waktu yang lama untuk

mengajak pihak lain mau bernegosiasi; c. Jika salah satu pihak kontra produktif.

(39)

Dalam penyelesaian cara ini sering ditemui bahwa inilah satu-satunya cara yang dipakai karena negara sering merasakan keuntungannya meskipun sengketa itu rumit dan sulit untuk didamaikan.24

2. Jasa Baik (Good Offices)

Dalam hal negosiasi tidak berjalan, maka pada umumnya dibutuhkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa. Dalam Jasa Baik ini, pihak ketiga tersebut berusaha mengupayakan pertemuan para pihak-pihak bersengketa untuk berunding, tanpa adanya keterlibatan dalam perundingan tersebut.

Tujuan dari jasa baik ini agar kontak antar pihak tetap terjamin dengan mempertemukan para pihak agar mau berunding melalui keikutsertaan pihak ke-3. Setiap pihak dapat meminta kehadiran jasa baik meskipun tidak ada kewajiban bagi pihak lainnya untuk menerima hal tersebut. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.25

Sebagai contoh Finlandia sebagai good offices terhadap Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Dan PBB dalam

mempertemukan Indonesia dengan Belanda pada tahun 1947. Indikator keberhasilan dari good offices dapat dilihat melalui kemampuan untuk dapat mempertemukan para pihak yang bersengketa.

3. Mediasi

24

Huala Adolf, Hukum..., Op.Cit, hlm. 27

25

(40)

Keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih kuat dimana mediator berperan aktif dalam mendamaikan pihak yang bersengketa dan dapat memberikan rekomendasi untuk penyelesaian sengketa. Mediasi bertujuan menciptakan hubungan langsung antara pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mengurangi ketegangan antara pihak bersengketa dan menjadi saluran informasi bagi pihak yang bersengketa serta dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa yang dapat

memuaskan pihak yang bersengketa.

Negara, NGO, individu atau organisasi regional maupun internasional yang dianggap netral dan bisa diterima oleh pihak yang bersengketa. Penetapan mediator dapat dipilih langsung oleh pihak yang bersengketa ataupun atas usul masyarakat internasional, adapun yang menawarkan jasanya untuk menjadi mediator dalam sebuah sengketa. Dalam mediasi harus dilakukan atas persetujuan para pihak yang bersengketa.

Seorang mediator diberikan kebebasan dalam menentukan proses

penyelesaian sengketanya dengan memberikan saran maupun usulan yang diperolehnya dari hasil laporan para pihak terhadap sengketa tersebut. Mediator juga dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan kelayakan) sehingga tidak terbatas oleh hukum yang ada.

4. Pencari Fakta (Fact Finding/ Inquiry)

(41)

secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak lain. Negara dan organisasi sering kali menggunakan inquiry.

Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya. Tugas komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan pernyataan

menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan suatu putusan (award). Pemilihan penyelesaian sengketa dengan cara inquiry harus dilakukan atas kesepakatan para pihak untuk memilih cara tersebut.

Meskipun di lapangan, tim pencari fakta sering menemui kesulitan jika negara teritorial tempat penyelidikan diadakan kurang kooperatif. Maka dengan adanya ketentuan Pasal 39 Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB dapat mengirimkan komisi pencari fakta atas nama PBB tanpa persetujuan negara teritorial bila menurut Dewan Keamanan sengketa yang muncul sudah termasuk kategori mengancam atau melanggar perdamaian keamanan internasional atau juga tindakan agresi.

Pasal 39 Piagam PBB:

(42)

yang harus diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.

5. Konsiliasi (Conciliation)

Merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik yang

menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam cara ini, juga menggunakan pihak ketiga dalam menyelesaiakan sengketa. Melalui cara ini, pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang

dipermasalahkan lalu memberikan usulan-usulan formal mengenai penyelesaian sengketanya. Usulan ini tidak mengikat para pihak yang bersengketa. Konsiliasi dapat dilakukan oleh lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc. 26

Yang membedakan konsiliasi dengan mediasi adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal yang dapat diterapkan dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi sedangkan mediasi tidak ada hukum acara formal yang mengaturnya.

2. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan

(43)

Penyelesaian ini sering juga disebut dengan penyelesaian secara tidak damai, diantaranya berupa:

a. Perang

Bertujuan untuk menaklukan negara lawan dimana negara yang dikalahkan tersebut akan menerima syarat penyelesaian-penyelesaian dan tidak memiliki alternatif lain selain mematuhi hal tersebut.

Yang disebut dengan perang adil pada awal perkembangan hukum internasional adalah perang yang dilakukan dengan penggunaan senjata yang sederhana yang disertai pernyataan perang oleh satu pihak kepada pihak yang lain dan pihak lain tersebut akan bersiap untuk membela dirinya. 27 Pada abad ke-18, hak berdaulat untuk menyelesaikan sengketa dengan perang lebih ditekankan dan tidak mempermasalahkan parameter hak negara dalam menggunakan kekerasan.

b. Retorsi

Merupakan istilah pembalasan dendam oleh suatu negara atas tindakan kurang bersahabat dari negara lain. Bentuk retorsi dapat dicontohkan diantaranya: pemutusan hubungan diplomatik; pencabutan privilege-privilege diplomatik; deportasi dibalas deportasi; persona non grata dibalas persona non grata; dan lain sebagainya. Retorsi sah dan dibenarkan asalkan tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan.

c. Reprisal

Merupakan metode oleh negara-negara untuk mengupayakan ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan. Pada

27

(44)

zaman dahulu, reprisal ini merupakan penyitaan harta benda maupun penahanan orang. Namun pada zaman sekarang ini, tindakan reprisal merujuk pada tindakan pemaksaan oleh satu negara kepada negara lain bertujuan menyelesaikan sengketa yang diakibatkan tindakan tidak sah negara tersebut.

Perbedaan antara reprisal dengan retorsi menurut Starke adalah bahwa reprisal adalah pembalasan yang meliputi tindakan yang boleh dikatakan merupakan perbuatan ilegal sedangkan dalam retorsi tindakan balas dendam tersebut dibenarkan oleh hukum.28

Reprisal dapat berupa suatu pemboikotan berang terhadap suatu negara tertentu; embargo; demonstrasi angkatan laut; atau pemboman. Dalam perkembangan praktek internasional, reprisal dibenarkan dalam hal negara lawan tersebut bersalah atas tindakan suatu pelanggaran internasional. Reprisal tidak dibenarkan dalam hal negara pelanggar tanpa diminta memberikan ganti rugi atas kesalahannya atau tindakan reprisal itu melebihi proporsi atas kerugian yang diderita.

d. Blokade secara damai

(45)

e. Embargo

Merupakan larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo. Embargo juga ditetapkan sebagai sanksi bagi negara pelanggar hukum internasional.

f. Intervensi

Menurut Starke, intervensi termasuk dalam cara penyelesaian sengketa dengan kekerasan.29 Intervensi yang dalam kaitan ini berarti suatu tindakan yang melebihi campur tangan saja, yang lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik. 30Campur tangan yang bertentangan dengan kepentingan negara tersebut dilarang dan sudah termasuk kategori intervensi. Adapun bentuk intervensi yang dibenarkan dalam hukum internasional yaitu:31

1) Intervensi kolektif, merupakan intervensi dibawah kewenangan Dewan Keamanan PBB sesuai dengan bab VIII Piagam PBB; 2) Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan serta jiwa

warga negara di luar negeri;

3) Intervensi untuk pertahanan diri, diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata;

4) Intervensi dalam urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaan negara tersebut;

29

JG Starke, Pengantar....,Op.Cit., hlm. 679

30

JG Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm. 135

31

(46)

5) Intervensi dalam hal negara pengintervensi telah melakukan pelanggaran berat dalam hukum internasional dalam melakukan operasi intervensinya.

3. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum a. Melalui Jalur Arbitrase

Menurut Komisi Hukum Internasional, penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa antar negara yang bersifat mengikat berdasar hukum dan hasilnya dapat diterima secara sukarela.

Prinisip kesukarelaan terlihat dalam Arbitrase, yaitu para pihak sepakat untuk membawa sengketanya ke arbitrase.

Permanent Court of Arbitration (PCA) dibentuk melalui Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 yang mengatur proses beracara di PCA. Kompetensi PCA juga meliputi sengketa yang terjadi antara negara dengan subjek hukum internasional non negara yang mana tidak dapat ditangani oleh Mahkamah Internasional.

Arbitrase berfokus pada masalah hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dilihat dari hukum internasional. Dengan penerapan hukum sesuai dengan fakta yang ada, maka diharapkan penyelesaian sengketa akan tercapai.

(47)

Para pihak dalam proses arbitrase dapat memilih atbitrator nya sendiri. Serta juga dapat memasukkan ahli-ahli teknis yang diperlukan dan menentukan sendiri prosedur yang harus dijalani seperti untuk tidak mempublikasi putusan arbitrase.

b. Melalui Pengadilan Internasional

Ada beberapa pengadilan internasional, diantaranya:

1) International Court of Justice (ICJ)

Adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara di bidang hukum internasional;

2) International Tribunal for the Law of the Sea

Khusus untuk mengadili sengketa di bidang hukum laut internasional;

3) International Criminal Court (ICC) dan Ad Hoc Tribunal

Mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan kejahatan internasional.

ICJ merupakan salah satu organ penting PBB yang diatur oleh Statuta Mahkamah Internasional. Meskipun negara anggota PBB juga merupakan anggota statuta tapi tidak ada kewajiban negara anggota untuk membawa sengketanya ke hadapan ICJ.

(48)

Adapun alasan mengapa masyarakat internasional jarang menyelesaikan sengketa melalui ICJ dipengaruhi beberapa faktor:

1) Proses ICJ dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah;

2) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi;

3) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) Adapun sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ diantaranya menyangkut:

 Penafsiran suatu perjanjian;

 Setiap masalah hukum internasional;

 Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi akan merupakan suatu

pelanggaran kewajiban hukum internasional;

 Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran

kewajiban hukum internasional.

(49)
(50)

BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA OLEH ORGANISASI INTERNASIONAL

A. Penyelesaian Sengketa oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa

Sebagaimana tercantum dalam pembukaan piagam PBB yang bertujuan untuk menyelamatkan generasi penerus dari ancaman terhadap perang serta dalam pasal 1 Piagam PBB, PBB bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karena itu PBB mendorong agar sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara damai. Dalam konteks ini meliputi semua negara anggota PBB (Pasal 43 Piagam PBB) maupun bukan anggota PBB (pasal 2 ayat (6) piagam PBB)32 dan pembatasan akan kewenangan PBB yang luas tersebut dibatasi oleh pasal 2 (7) piagam PBB yang berbunyi:

Tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang memberi kuasa kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara atau mewajibkan angota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam Bab VII.

Pengaturan mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Damai dapat terdapat di Bab VI Piagam PBB Pasal 33-38 menguraikan langkah damai yang harus dilakukan guna penyelesaian sengketa secara damai.

(51)

Alat atau organ PBB yang berwenang dalam perdamaian dan keamanan internasional adalah:

a. Dewan Keamanan (Pasal 24 – Bab VII Piagam PBB); b. Majelis Umum (Pasal 11 ayat 2 Piagam PBB);

c. Sekretaris Jenderal PBB (Pasal 99 Piagam PBB).33

1. Dewan Keamanan

Dewan Keamanan (Dewan) adalah salah satu dari enam organ utama PBB dimana negara-negara anggota PBB telah memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB.34 Dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan sengketa, Dewan dapat memroses sengketa atas:

a. Inisiatif sendiri (pasal 34 Piagam PBB);

b. Permintaan negara anggota (pasal 35 ayat 1 Piagam PBB);

c. Permintaan negara bukan anggota PBB (pasal 35 ayat 2 Piagam PBB);

d. Permintaan Majelis Umum (pasal 11 Piagam PBB); e. Permintaan Sekjen PBB (Pasal 99 Piagam PBB).

Berdasarkan pasal 24 ayat 1 Piagam PBB, Dewan Keamanan berfungsi memberikan rekomendasi untuk penyelesaian sengketa dengan damai dan dalam menjalankan tugasnya Dewan bertindak atas nama negara-negara anggota PBB.

33

Bouer Mauna. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. (Bandung: PT.Alumni 2011) hlm. 217.

34

(52)

Maka dapat disimpulkan bahwa tugas dari Dewan Keamanan dalam menyelesaikan sengket diantaranya sebagai berikut:

a. Memelihara perdamaian dan keamanan sesuai dengan asas dan tujuan PBB;

b. Mengadakan penyelidikan setiap perselisihan yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional;

c. Memberi saran atau rekomendasi kepada para pihak tentang cara-cara yang dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu sengketa; d. Menentukan apakah terjadi suatu keadaan yang mengganggu

perdamaian internasional atau tindakan agresi dan menyarankan tindakan apa yang dapat diambil untuk menyelesaikan sengketa tersebut;

e. Menganjurkan para anggota untuk mengambil sanksi ekonomi atau tindakan lain yang bersifat kekerasan untuk mencegah atau menghentikan suatu agresi serta mengambil tindakan militer terhadap adanya agresi.

(53)

dilaksanakan. Embargo yang dijatuhkan dapat berupa pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio dan alat-alat komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik.35

Dengan diberlakukannya Sanksi embargo ini tentunya akan menimbulkan dampak yang dampak tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh pemerintahan negara yang dijatuhkan sanksi, namun juga berdampak terhadap rakyat negara tersebut. Pada pasal 4 Piagam PBB dinyatakan:

“Dewan Keamanan memiliki hak menjatuhkan sanksi-sanksi udara

dan darat menentang setiap negara yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional”.

Pasal 16 menyatakan: “Dewan Keamanan memiliki kekuasaan

untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat mengikat bagi negara-negara anggota PBB untuk menghentikan hubungan ekonomi, transportasi darat, udara, pos, telegram, dan radio secara total, baik keseluruhan atau sebagian, melawan negara yang mengancam perdamaian atau melakukan agresi,

Dalam hal tindakan yang menggunakan kekuatan militer dapat dilakukan jika tindakan sebelumnya tidak cukup, maka Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan

35

(54)

angkatan darat, laut, dan udara yang mungkin diperlukan dalam menjaga perdamaian. Selain itu tindakan seperti blokade, demonstrasi, dan tindakan lain mempergunakan angkatan darat, laut, dan udara dari anggota-anggota PBB. 36

Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuasaan untuk memutuskan keputusan yang mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana tertuang dalam pasal 25 Piagam PBB:

The Members of the United Nations agree to accept and carry out the

decisions of the Security Council in accordance with the present Charter.

Kekuatan memaksa yang dimiliki oleh Dewan Keamanan memiliki batasan yaitu:37

a. Hak membela diri secara unilateral maupun secara kolektif secara Dalam pasal 51 Piagam PBB memberikan pembatasan bahwa dalam hal terjadi serangan bersenjata terhadap negara anggota PBB, tidak dibenarkan adanya tindakan yang dapat merugikan hak perseorangan maupun kolektif dalam membela diri hingga adanya tindakan dari Dewan Keamanan yang diperlukan dalam memelihara perdamaian dan kemaanan internasional. Jika tindakan yang dilakukan negara anggota tersebut merugika hak perseorangan maupun hak kolektif, maka tindakan tersebut wajib dilaporkan kepada Dewan Keamanan.

(55)

b. Tindakan pemaksaan yang dilakukan oleh organisasi regional atas kewenangan yang diberikan oleh Dewan Keamanan

c. Dalam pasal 53 Piagam PBB, mengartikan bahwa tindakan pemaksaan dapat dilakukan oleh organisasi regional dengan kekuasaan organisasi tersebut harus dilakukan dengan adanya wewenang yang diberikan oleh Dewan Keamanan untuk melakukannya.

Dewan Keamanan menjalankan kewenangan ekstensif dibandingkan Majelis Umum yang berarti kewenangan Dewan Keamanan untuk menyelesaikan sengketa jauh lebih besar wewenang dan perannya dan dapat memaksa atas hasil keputusan yang dikeluarkannya. Hal ini berarti wewenang Dewan Keamanan lebih luas dibandingkan dengan Majelis Umum yang kewenangannya dalam penyelesaian sengketa masih terbatas.38

2. Majelis Umum PBB

Majelis Umum memiliki wewenang luas dalam memberikan saran dan rekomendasi berdasarkan Bab IV Pasal 9-14 Piagam PBB. Dalam pasal 10 Piagam PBB menyatakan bahwa Majelis mempunyai kewenangan yang luas dalam membahas semua persoalan termasuk dalam kerangka Piagam atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan fungsi organ PBB lainnya dan membuat rekomendasi kepada anggota-anggota PBB atau ke Dewan Keamanan.

38

(56)

Dapat disimpulkan bahwa kewenangan Majelis Umum dalam penyelesaian sengketa mencakup hal-hal berikut:39

a. Membahas setiap masalah atau urusan yang termasuk dalam ruang lingkup Piagam atau yang berkaitan dengan kekuasaan atau fungsi dari organ-organ yang terdapat dalam Piagam termasuk masalah-masalah yang terkait dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional yang dibawa ke hadapannya oleh negara-negara anggota atau Dewan Keamanan dan dapat membuat rekomendasi mengenai masalah atau urusan tersebut (pasal 10, pasal 11 ayat (2) piagam PBB); b. Mengangkat suatu situasi yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional ke hadapan Dewan Keamanan (pasal 11 ayat 3 Piagam PBB);

c. Mempertimbangkan prinsip-prinsip umum mengenai kerja sama dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan membuat rekomendasi guna mendorong perkembangan progresif hukum internasional dan pengkodifikasiannya (pasal 13 Piagam PBB);

d. Memberikan rekomendasi mengenai upaya-upaya untuk penyelesaian sengketa setiap situasi, yang tampaknya dapat membahayakan kesejahteraan umum atau hubungan-hubungan bersahabat antarnegara (pasal 14).

(57)

sebagai badan politis menempatkan hukum internasional sebagai pertimbangan kedua dengan memprioritaskan penyelesaian sengketa yang bersifat politis seperti kepentingan ekonomi.

3. Sekretaris Jenderal

Selain Dewan Keamanan dan Majelis Umum, Sekjen PBB juga sebagai organ dalam penyelesaian sengketa di PBB. Pasal 99 Piagam PBB:

Sekretaris Jenderal dapat menarik perhatian Dewan Keamanan atas semua masalah, yang menurut pendapatnya, dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia.

Jika dalam Liga Bangsa-Bangsa (Pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa), Sekretaris Jenderal hanya merupakan pejabat administratif tertinggi organisasi dan tidak berdaya dalam menghadapi kelambanan yang disengaja dan kadang-kadang diperhitungkan negara anggotanya, maka dalam PBB, Sekretaris Jenderal dapat melancarkan tanda bahaya dan memainkan peranan penting dalam masalah yang tidak hanya menyangkut perdamaian dan keamanan internasional, namun juga kepentingan masyarakat pada umumnya. Sekretaris Jenderal juga dapat melaksanakan fungsi diplomatiknya atas mandat dari Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.40

Sehingga tugas Sekretaris Jenderal PBB dalam masalah perdamaian dan kemanan internasional dapat dilakukan atas kapasitas menjalankan tugas yang didelegasikan oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan, dan kapasitas atas permintaan para pihak atau inisiatif sendiri.

40

(58)

B. Penyelesaian Sengketa oleh Organisasi Negara-Negara Amerika

Piagam Organization of American States (OAS) pada 30 April 1948 menjadi landasan berdirinya Organisasi Negara-Negara Amerika. Dalam pasal 1 Piagam ini menegaskan tujuan berdirinya OAS yaitu untuk mencapai kedamaian dan mempromosikan solidaritas, untuk memperkuat kolaborasi antar anggota dan untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemandirian.

Penyelesaian sengketa diatur dalam bab VI (pasal 23-26) piagam tersebut yang menyatakan bahwa jika terjadi suatu sengketa antara dua atau lebih negara makan penyelesaian terlebih dahulu dilakukan melalui jalur diplomatik yang dapat berupa negosiasi, mediasi, ad hoc committee, atau cara lain yang disepakati para pihak. Jika gagal mencapai kesepakatan maka para pihak akan memilih cara penyelesaian sengketa lainnya atas persetujuan bersama.

Negara-negara Amerika juga menandatangani Pakta Bogota atau the American Treaty on Pacific Settlement yang mengatur khusus tentang penyelesaian sengketa. Dalam pakta tersebut, Council OAS dan the Inter-American Peace (Committee) yang berwenang dalam menangani sengketa yang terjadi. Committee berfungsi melakukan pencarian fakta, mediasi, dan konsiliasi.

Saat Piagam OAS diubah ke Protokol Buenos Aires pada 27 Februari 1967, the Inter-American Peace Committee digantikan oleh the Inter-American on Peaceful Settlements (Committee) yang berada di bawah the Council OAS.

(59)

mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang tepat akan diberikan. Komisi dapat pula menyerahkan persoalan tersebut ke the Inter-American Committee on Peaceful Settlements. Committee ini terdiri dari beberapa perwakilan negara anggota OAS dalam menyelesaikan sengketa yang disepakati para pihak.

Council OAS akan menyerahkan permasalahan kepada the Committee agar diadakan penyelidikan, memberikan jasa-jasa baik atau memberikan rekomendasi prosedur penyelesaian sengketa. Jika penyerahan sengketa ini tidak disetujui oleh pihak yang bertentangan maka committee akan melaporkan kepada the Council OAS lalu jika hal ini terus berlanjut maka akan dibuat laporan kepada Assembly OAS. Upaya dari OAS berakhir di tahap ini saja.

Dalam pasal 31 Pakta Bogota memberikan dan mengakui semua sengketa kepada yurisdiksi ICJ, sesuai dengan pasal 36 ayat (2) Statuta ICJ Optional Clause. Dan dalam pasal 32 menyatakan bahwa ICJ dapat berwenang bila suatu prosedur konsiliasi tidak berhasil mencapai kesepakatan atau para pihak tidak menyerahkan sengketanya ke arbitrase.41

C. Penyelesaian Sengketa oleh Uni Eropa

Uni Eropa merupakan organisasi internasional regional yang berada di lingkungan negara-negara Eropa. Perjanjian Roma menjadi cikal bakal Uni Eropa dan juga dalam mendirikan Masyarakat Ekonomi Eropa. Dalam perjanjian tersebut mensyaratkan negara anggotanya untuk tidak menyerahkan sengketanya

41

(60)

mengenai penafsiran dan pelaksanaaan Perjanjian Roma 1957, sesuai dengan cara atau prosedur yang terdapat dalam Perjanjian Roma.

Adapun badan yang berwenang dalam menangani sengketa yang terjadi dia antara negara anggota Uni Eropa adalah:

1. The European Comission; dan

2. The Court of Justice.

The European Comission (Comission) bertugas mengeluarkan usulan pengaturan kepada the Council dan the European Parliament. Selain itu juga Comission juga berperan sebagai an enforcing mechanism of Community Laws. The Comission juga dapat mengenakan sanksi denda kepada negara yang melanggar hukum Uni Eropa.

Dalam hal suatu anggota menganggap bahwa anggota lainnya telah gagal dalam melaksanakan kewajibannya menyelesaikan masalah tersebut dapat dibawa ke the Comission dan selanjutnya akan mengeluarkan pendapat atas hal tersebut dalam jangka waktu 3 bulan dan pendapat ini tidak mengikat.

Pihak penuntut dapat membawa masalah tersebut ke hadapan the Court (the Court of Justice) apabiila the Commission tidak dapat memenuhi batas waktu tersebut atau apabila negara penuntut tidak sepakat dengan pendapat the Commission atau apabila negara tergugat tidak melaksanakan pendapat tersebut.

(61)

kewajibannya maka negara tersebut akan diminta melakukan tindakan yang diperlukan untuk mematuhi putusan the Court.

Dalam The Single European Act 1986 memperkenalkan suatu pengadilan baru, yaitu the Court of First Instance, yang mulai bekerja pada 1 September 1989, berfungsi mendengar dan mengadili sengketa di antara Uni Eropa dengan pegawainya (semacam peradilan administratif Uni Eropa), sengketa mengenai hukum persaingan, atau sengketa-sengketa yang tergolong kecil. Badan ini terdiri dari 15 orang hakim dan bertugas dengan jangka waktu 6 tahun. 42

D. Penyelesaian Sengketa oleh Organisasi Persatuan Afrika

Organisasi Persatuan Afrika atau the Organization of African Unity (OAU) berdiri pada 23 Mei 1963 didasarkan pada Piagam Addis Abbaba. Pembentuka organisasi ini digagas oleh Gamal Abdul Naser dari Mesir, Kwame Nkrumah dari Ghana, dan Ahmad Sekouture dari Guinea. Adapun tujuan dari OAU terdapat dalam pasal 2 Piagam OAU yang menyatakan:

1. Memajukan persatuan dan solidaritas negara-negara Afrika;

2. Mengoordinasi dan meningkatkan kerja sama dan usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi bangsa-bangsa Afrika;

3. Membela kedaulatan, keutuhan wilayah, dan kemerdekaan Afrika; 4. Menghapuskan segala bentuk kolonialisme dari Afrika;

5. Memajukan kerja sama internasional.

42

(62)

Maka dapat disimpulkan bahwa OAU memiliki tujuan dalam mengumpulkan negara-negara Afrika menjadi satu entitas politik dan berusaha menyelesaikan segala bentuk konflik dan perselisihan yang terjadi di antara negara Afrika.

Dalam pasal 19 Piagam memuat menegenai pengaturan penyelesaian sengketa dimana memuat batasan penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan dengan pembe

Referensi

Dokumen terkait