ABSTRAK
PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI
JAKARTA
Ruang Terbuka Hiijau (RTH) pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting setara dengan unsur-unsur kota yang lain. Pentingnya fungsi dari RTH tersebut membuat pemerintah menetapkan aturan di dalam undang-undang penataan ruang yang menyatakan bahwa setiap kota harus memiliki RTH minimal 30 persen dari luas wilayah kotanya yang terdiri dari 10 persen RTH privat yakni RTH yang dimiliki secara pribadi dan 20 persen RTH publik yang dimiliki oleh masyarakat umum dan dikelola oleh pemerintah, sesuai dengan isi dari Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu mengenai petunjuk umum teknis pelaksanaan penataan ruang juga telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang dan juga didalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, dengan harapan tercapainya keseimbangan pola hidup manusia didalamnya.
Permasalahan yang diteliti ialah bagaimanakah pelaksanaan dan pengaturan tentang RTH berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 di DKI Jakarta dan apa yang menjadi faktor penghambat Pemda DKI Jakarta dalam menerapkan pengaturan Ruang Terbuka Hijau.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Adapun sumber data dalam penelitian yaitu Data primer berasal dari yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang berupa keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari pihak-pihak terkait dalam penelitian ini sedangkan data sekunder berasal dari penelitian pustaka melalui peraturan perundang-undangan, literatur, buku-buku dan dokumen-dokumen resmi.
Provinsi DKI Jakarta dianggap belum mampu menyediakan RTH seperti proporsi yang telah diatur di dalam undang-undang maupun peraturan daerah yang ada. Kemudian untuk RTH privat sendiri Implementasi Koefisien Dasar Hijau (KDH) dalam kaitan pengurusan IMB untuk menambah RTH privat belum sepenuhnya berjalan. Hal ini di sebabkan belum adanya kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat RTH dan belum dipahami secara benar oleh aparat pelaksana di lapangan tentang ketentuan KDH. Selain itu masih banyak faktor-faktor penghambat lainnya dalam penyediaan RTH di Jakarta seperti harga jual tanah yang terlalu mahal, minimnya ketersediaan dana APBD untuk pembebasan lahan, tumpang-tindihnya tugas-tugas dari dinas yang terkait, sehingga penyediaan serta pengelolaan RTH di Jakarta belum optimal.
PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI
JAKARTA
Oleh
Marcel Cio
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA
( Skripsi)
Oleh
MARCEL CIO
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari 1993,
penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Bapak Ir. Marbin Budiman Hutajulu, MM dan Ibu
Lince Mariana Siregar, S.Km.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDK.
Ignatius Slamet Riyadi I Jakarta Timur pada tahun 2004. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 102 Jakarta pada
tahun 2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 99 Jakarta pada
tahun 2007. Di SMAN 99 Jakarta penulis menjadi anggota OSIS angkatan XX
bidang Pendidikan Bela Negara (SEKBID 3), menjadi anggota paduan suara,
menjadi anggota Ekstrakulikuler Futsal dan penulis mengikuti Piala walikota
Jakarta Timur dan Coca-cola cup Tahun 2008.
Pada Tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan sebagai Mahasiswa Fakultas
Hukum, Universitas Lampung melalui jalur Ujian SNMPTN (Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Penulis melaksanakan Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Purwo Sari
Kecamatan Batang Hari Nuban Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2013 selama
Moto
Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh
lebih banyak dari pada yang kita doakan
atau pikirkan, seperti yang ternyata dari
kuasa yang bekerja di dalam kita.
(Efesus 3:20)
“
Berapapun sulitnya jalan hidup ini senyum
dan tawa mereka telah cukup tuk jadi
penawarnya
.”
PERSEMBAHAN
Puji Syukurku ku panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan berkat dan
anugerahNya kepadaku.
Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, dan
hormatku secara tulus
Aku mempersembahkan karya ini kepada:
Papaku tersayang Ir. Marbin Budiman Hutajulu,
MM
Mamaku tercinta Lince Mariana Siregar, S.Km.
Yang telah memberikan dukungan dan doa serta
harapan demi keberhasilanku kelak.
Kepada kakak ku yang ku kasihi Vania Margaret
Elsye.,ST (Kak Vani)
dan
Adik laki-laki ku yang ku kasihi Marentino Narade
Hutajulu (Nino)
serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan
berharap demi keberhasilanku dalam meraih
cita-cita.
Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum
Angkatan 2010
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pelaksanaan pengaturan penataan ruang terbuka hijau dalam rencana tata
ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari hambatan yang datang
baik dari dalam ataupun luar diri penulis. Penulisan skripsi ini juga tidak lepas
dari bimbingan dan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas
Lampung
2. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Administrasi
Negara, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.
3. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H.,., selaku Dosen Pembimbing Utama terima
kasih atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam
proses penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Agus Triono, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Kedua atas
bimbingan dan pengarahannya yang sangat berharga dalam proses
5. Ibu Nurmayani, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas Utama yang telah
memberikan kritikan dan masukan yang luar biasa untuk menyempurnakan
skripsi ini.
6. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahasa Kedua atas
ketersediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
7. Ibu Rehulina, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas
telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis menjadi mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah mengajar dan memberikan ilmu
yang bermanfaat.
9. Ibu Ir. Alda Erythrina S.P , Staf Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi
DKI Jakarta yang telah membantu memberikan data sekunder yang
dibutuhkan dalam penelitian serta memberikan motivasi dan masukan pada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teristimewa untuk kedua orang tuaka tersayang Papa Ir. Marbin Budiman
Hutajulu, MM dan Mamaku Lince Mariana Siregar, S.Km, untuk doa, kasih
sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari
aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi
kehidupan ku.
11. Kedua saudara kandungku Kakak ku Vania Margaret Elsye, S.T yang luar
biasa sabar menghadapi adik yang keras kepala dan panikan seperti aku dan
dan Adik ku Marentino Narede Hutajulu yang selalu menjadi tawa dan obat
rinduku dikala rindu dengan keluarga yang berada di Jakarta.
12. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan
motivasinya, terimkasih atas segalanya.
13. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus saudaraku yang selama empat tahun
terakhir ini menemani dan mengisi hari – hari dihidupku Abram Sitepu,
Adatua Simbolon, Alex Sitinjak, Bobby Debataraja, Bryan Sipayung, Elyasip
Sembiring, Hans Sembiring, Ivo Simanjuntak, Jusuf Purba, Josua
Tampubolon, Olfredo Sitorus, Richad Simanungkalit, Ricko Sihaloho, Rio
Meliala, Rizal Sinurat, Sanggam Simanullang, Saut Lumbangaol, Wiliam
Sihombing, Yoga Adrian Ibrahim, Yuri Simatupang, dan Wetson
Rumahorbo, yang tergabung dalam GEROBAK PASIR terimakasih untuk
saat – saat berharga yang telah dihadirkan dan kebersamaan kita selama ini,
terimakasih telah menjadi semangat dalam penyusunan skripsi ku dan tugas –
tugas diperkuliahan diwaktu kemarin, terimakasih telah mengajarkan arti
sebuah persahabatan selama ini kepadaku, kiranya kita bisa menjadi saudara
selamanya.
14. Putri-Putri GEROBAK PASIR, Ade Marbun, Charlyna Purba, Dede
Hutagalung, Reni Panjaitan, Rymni Tambunan, Sartika Samosir, Sonya
Harahap untuk kebersamaannya selama ini baik di Formahkris atau kuliah
Agama atau kuliah sehari-hari.
15. Keluarga Bapak Kadimin yang telah bersedia mengizinkan kami untuk
tinggal selam 40 Hari dalam menjalankan Proses Kuliah Kerja Nyata di
16. Kawan-Kawan KKN Tematik UNILA , Anggi, Pandu, Edo, Meta, Sherly,
Anindia, Diah, Arista, Mbak Lia yang selama 40 Hari telah menjadi keluarga
kecil di desa Purwosari.
17. Teman – teman Mahasiswa Fakultas Hukum, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda
tawa selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari
perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat
Viva Justicia Hukum Jaya.
18. Keluarga Besar Forum Mahasiswa Hukum Kristen (Formahkris), atas
persahabatan dan kebrsamaannya dalam pelayanan kita selama ini.
19. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yan telah banyak
membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.
Apabila terdapat kekurangan dalam penulisan maupun pada penyusunan skripsi
ini, maka penulis menerima saran, masukan, dan kritik dari pembaca sebagai
perbaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bandar Lampung, 12 Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 9
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan masalah ... 43
3.2 Sumber Data dan jenis data ... 44
3.3 Metode pengumpulan data ... 46
3.4 Metode pengolahan data ... 46
3.5 Analisis Data ... 47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum Ruang Terbuka Hijau di Jakarta ... 48
4.2 Pelaksanaan pengaturan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 ... 56
4.2.1 Pengaturan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah ... 56
4.2.2 Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilyah ... 72
4.3 Faktor-faktor penghambat dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta ... 84
BAB V. PENUTUP 5.1 Simpulan ... 93
5.2 Saran ... 94
Februari 2014
Kepada Yth,
Bapak/Ibu………
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Berikut ini saya sampaikan beberapa pertanyaan mengenai pelaksanaan pengaturan Ruang
Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data ini saya perlukan
sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pengaturan Penataan
Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta.” Hasil
dari jawaban Bapak/Ibu ini semata-mata untuk kepentingan akademis, sehingga tidak akan
berdampak apa pun pada kinerja Bapak/Ibu. Untuk itu, dimohon kepada Bapak/Ibu untuk
menjawab setiap pertanyaan dengan leluasa dan tanpa beban, dalam arti betul-betul sesuai
dengan kondisi di lapangan.
Selamat menjawab, dan terimakasih atas segenap kerjasamanya.
Hormat saya,
A. Kasus
Dalam rangka menjalankan amanat dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah merancang suatu
Peraturan Daerah yang digunakan untuk mensiasatai Penataan Ruang di Provinsi DKI
Jakarta sampai dengan tahun 2030, yakni dengan menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun
2012. Dengan adanya Perda Nomor 1 Tahun 2012 sebagai revisi dari Perda sebelumnya
yakni Perda Nomor 6 Tahun 1999, diharapkan DKI Jakarta dapat lebih tertata dan
memenuhi target Ruang Terbuka hijau sesuai dengan kebutuhan kota Jakarta saat ini.
Tetapi sampai saat ini dengan terbitnya Perda terbaru tersebut , kondisi Penataan Ruang
di Jakarta belum ada tanda-tanda membaik, apalagi yang berhubungan dengan Ruang
Terbuka Hijaunya. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dinyatakan bahwa
luasan RTH Idealnya ialah 30 persen, yang terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10
Persen RTH privat. Sedangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta
2012-2030 ditargetkan luas RTH publik di Jakarta sebesar 16 persen karena begitu
sulitnya Pemerintah Daerah untuk mengejar amanat 20 persen RTH publik , yang bahkan
kondisi nyata RTH DKI samapai saat ini hanya sekitar 10 persen.
Oleh karena itu , dirasa perlu untuk mengkaji atau mengetahui tindakan dan aturan apa
saja yan telah diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Satuan Perangkat Kerja
Daerah (SKPD) yang berwenang dalam bagian Penataan Ruang tersebut sesuai dengan
Perda Nomor 1 Tahun 2012 dan kendala-kendala apa saja yang menjadikan Pemda DKI
Jakarta sulit untuk mewujudkan RTH yang sesuai dengan aturan yang telah di
amanatkan, sehingga kita mendapatkan solusi yang terbaik untuk mensiasati penyediaan
C. Pertanyaan
1. Bagaimana Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta saat ini? Jelaskan!
Jawaban:
...
...
...
2. Bagaimanakah tanggapan Saudara mengenai pengelolaan Ruang Terbuka Hijau yang
telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini ? Jelaskan!
Jawaban:
...
...
...
3. Bagaimana distribusi Ruang Terbuka Hiaju di Provinsi DKI Jakarta saat ini ?
Jelaskan!
Jawaban:
...
...
4. Bagaimanakah Peran elit dan pengembang (developer) dalam mendukung
pelaksanaan kebijakan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta? Jelaskan!
Jawaban:
...
...
...
5. Bagaimanakah tindakan hukum pemerintah terhadap pelanggaran dalam pelanggaran
pemanfaatan ruang di wilayah DKI Jakarta? Jelaskan!
Jawaban:
...
...
...
...
6. Sejauh mana partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan-kebijakan dan
program pembangunan hijau Jakarta ? Jelaskan!
Jawaban:
...
...
7. Apakah Saudara mengetahui bentuk- bentuk penyuluhan atau sosialisasi dari Pemda
Provinsi DKI Jakarta, khususnya terhadap pembangunan hijau kota ? Jelaskan!
Jawaban:
...
...
...
8. Bagaimana pendapat Saudara mengenai pola koordinasi yang dilakukan Pemda DKI
Jakarta dalam melaksanakan program dan kebijakannya baik anatar institusi maupun
dengan masyarakat sebagai stakeholder penghijauan? Jelaskan!
Jawaban:
...
...
...
...
9. Bagaimana pendapat Saudara mengenai Implementasi (penerapan) Perda Nomor 1
Tahun 2012 tentang Penataan Ruang pada saat ini, apakah sudah lebih baik dari perda
sebelumya ? Jelaskan !
Jawaban:
...
...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju
berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan
dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi.
Lingkungan alami dikonversi menjadi lingkungan binaan tanpa
mempertimbangkan kaidah-kaidah ekosistem. Pembangunan fisik struktur kota
menuju arah maksimal, sedangkan pengembangan struktur alami kota menuju
minimal.
Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat
sebagai asset, potensi, dan investasi kota jangka panjang yang memiliki nilai
ekologi, sosial, ekonomi, edukatif, evakuasi, dan estetis. Bencana ekologis
banyak yang terjadi, seperti banjir, longsor, krisis air tanah, peningkatan suhu di
wilayah perkotaan, pemanasan bumi, serta perubahan iklim, pada umumnya
diakibatkan oleh dampak pembangunan kota yang kurang mempertimbangkan
aspek ekologis.
Dalam penataan ruang, RTH diartikan sebagai kawasan yang mempunyai unsur
2
ruang wilayah, dan rencana tata ruang regional sebagai satu kesatuan sistem. Pola
jaringan RTH dengan berbagai jenis dan fungsinya merupakan rangkaian
hubungan dan kesatuan terpadu yang membentuk infrastruktur hijau (green
infrastructure) atau infrastruktur ekologis (ecological infrastructure).
Infrastruktur hijau dengan berbagai jenis dan fungsinya berperan dalam
menciptakan keseimbangan ekosistem kota dan alat pengendali pembangunan
fisik kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah
diamanatkan bahwa proporsi luas RTH minimal adalah 30 persen dari luas kota,
terdiri atas RTH publik 20 persen, dikelola pemerintah daerah, dan RTH privat 10
persen, dimiliki masyarakat dan swasta. Luas RTH minimal 30 persen itu
bertujuan menyeimbangkan ekosistem kota, baik sistem hidrologi, klimatologi
untuk menjamin udara bersih, maupun sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga
keanekaragaman hayati dan meningkatkan estetika kota.
Semakin tipisnya ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota, tentu berakibat
fatal, yang di cirikan dengan naiknya suhu bumi tidak hanya dialami oleh suatu
pulau saja, tetapi akan terus merembet ke pulau-pulau lain, bahkan
kemancannegara melampaui batas administratifnya masing-masing.1 Apalagi di
daerah-daerah yang menjadi pusat kota seperti DKI Jakarta sudah tidak heran lagi
jika RTH nya semakin menipis karena banyak pembangunan gedung-gedung
perkantoran, mall, dan hal-hal lain yang dibangun tanpa memperdulikan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota yang telah dirancang oleh pemerintah.
1
3
RTH sejatinya ditujukan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem
lingkungan perkotaan dan mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan di perkotaan serta meningkatkan kualitas lingkungan
perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.
Tidak hanya itu, RTH juga berfungsi sebagai pengamanan keberadaan kawasan
lindung perkotaan, pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara,
tempat perlindungan keanekaragaman hayati, dan pengendali tata air serta tak
ketinggalan sebagai sarana estetika kota. Keberadaan ruang ini tak hanya
menjadikan kota menjadi sekedar tempat yang sehat dan layak huni tapi juga
nyaman dan asri.
RTH juga membawa begitu banyak manfaat yang terkandung diantaranya sarana
untuk mencerminkan identitas daerah, menumbuhkan rasa bangga, dan
meningkatkan nilai mutu suatu daerah, sarana ruang evakuasi untuk keadaan
darurat, sebagai sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan, memperbaiki
iklim mikro hingga meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan dan tak
ketinggalan bermanfaat bagi meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan.
Manfaat yang lebih bernilai sosial seperti sebagai sarana rekreasi aktif dan pasif
4
dewasa dan manula. Bisa dibilang kebutuhan akan adanya ruang semacam ini di
kota-kota besar tak hanya sekedar perlu namun kebutuhan.2
Dalam kurun waktu 10 tahun sejak dilaksanakannya Rencana Umum Tata Ruang
DKI Jakarta 1999 - 2010 yang ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999,
tentang Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta, telah terjadi berbagai
perkembangan eksternal maupun internal yang sangat berpengaruh terhadap dinamika
perkembangan Jakarta.
Perkembangan ini telah berpengaruh pula kepada sistem dan struktur perekonomian,
sosial dan politik yang berakibat kepada perubahan fisik kotanya. Dari perkembangan
ini telah muncul nilai-nilai baru serta kebutuhan akan perubahan sistem dan struktur
dari yang sebelumnya. Mengingat wilayah Kota dan Kabupaten di Provinsi DKI
Jakarta bukan daerah otonom tetapi merupakan wilayah administratif, maka RTRW
DKI Jakarta meliputi Rencana Tata Ruang Provinsi dan Rencana Tata Ruang Kota.
RTRW DKI Jakarta ini, merupakan rencana umum tata ruang, dimana selanjutnya
perlu disusun Rencana rinci tata ruang yaitu rencana detail tata ruang untuk tingkat
kecamatan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar
penetapan peraturan zonasi. Peraturan zonasi sendiri, merupakan ketentuan yang
mengatur persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendalian disusun untuk
setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zona dalam rencana rinci tata ruang.
2
5
RTRW DKI Jakarta ini, akan menjadi pedoman untuk penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang daerah; penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah daerah, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah provinsi, pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah, serta keserasian antarsektor; penetapan lokasi dan
fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional dan kawasan
strategis provinsi, kawasan khusus serta kawasan andalan kota, penataan ruang
wilayah kecamatan, dan koordinasi penataan ruang dengan provinsi/kota/kabupaten
yang berbatasan.
Rencana Struktur Ruang Provinsi yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem
jaringan prasarana dan utilitas, rencana pola ruang yang meliputi kawasan lindung
dan kawasan budidaya, kawasan-kawasan strategis provinsi, Rencana Tata Ruang
Kota/Kabupaten Adminsitrasi, arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang
berisi indikasi program utama, arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi
indikasi.3
Masih kurangnya persamaan persepsi tentang pengertian ruang terbuka hijau
sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan kerja sama dan kejelasan pembagian
wewenang dan kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing secara
lebih mendalam. Sebagai contoh, dilingkungan pemda DKI Jakarta, pada organisasi
Dinas Tata Bangunan DKI Jakarta (Perda Nomor 15 Tahun 1997) mempunyai
3
6
subdinas Bina Teknis Arsitektur Lingkungan, sementara pada organisasi Dinas
Pertamanan (Perda Nomor 7 Tahun 1997) mempunyai subdinas Teknis Taman Kota
dan Taman Rekreasi. Kedua-duanya mempunyai tugas dan wewenang yang hampir
bersamaan yakni menata ruang terbuka hijau kota.
Dari hasil kajian Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1982 tentang struktur organisasi
dinas pertamanan DKI Jakarta diketahui masih perlu disempurnakan, yaitu adanya
ketidakjelasan instansi pengelola rekreasi ruang luar, padahal rekreasi ruang luar
termasuk dalam bagian dari ruang terbuka hijau kota. Hal ini akan menyulitkan
pelaksanaan pengembangan dan pembinaannya.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah kebijakan instansi pengelola ruang terbuka
hijau di tingkat kecamatan yang hingga saat ini ditemui adanya ketidak jelasan tugas
dan kewajiban aparat yang ada baik dari segi kualitas/kuantitas personil, padahal
wadah dan aparat dilingkungan ini merupakan ujung tombak sedangkan yang menjadi
masalah kelembagaan yakni belum tersedianya data pokok atau pusat informasi yang
dapat mengindentifikasi terjadinya perusakan lingkungan, terbatasnya sarana atau
peralatan untuk menyelidik dan mencari bukti adanya kerusakan ruang terbuka hijau,
belum serasinya kerjasama antar instansi dalam melaksanakan pembangunan ruang
terbuka hijau yang akibatnya banyak berpengaruh terhadap lingkungan, belum
adanya petunjuk teknis dari penjabaran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
7
Pengelolaan-pengelolaan lahan memegang peran yang sangat penting sekali dalam
pembangunan kota, khususnya kota-kota besar yang mengalami pertumbuhan
ekonomi sangat cepat seperti kota Jakarta. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di
wilayah ini membawa dampak meningkatnya permintaan akan lahan, baik untuk
keperluan kegiatan swasta dan pemerintah. Kelemahan dan kendala bagi pemda DKI
Jakarta untuk membangun prasarana umum seperti ruang terbuka hijau, terbentur
pada ketidakmampuan untuk terlibat secara penuh dalam pembuatan pengelolaan
lahan perkotaan yang sangat kompleks.
Belum adanya model sistem informasi lahan, dan sistem informasi pemetaan yang
akurat yang dengan mudah dapat memonitor secara cepat beberapa jumlah ruang
terbuka hijau yang ada, beberapa jumlah yang terhapus, dan informasi lainnya yang
sangat diperlukan bagi pengambil keputusan serta kebutuhan informasi lainnya.
Sistem ini akan sangat diperlukan sekali untuk pengelolaan dari instansi-instansi yang
terkait mulai saat proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi dan
pengendaliannya dalam rangka pengambilan keputusan.
Adanya kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota yang ambivalen.
Disatu sisi mengakui kepentingan lingkungan hidup, namun disisi lainnya
menekankan pada pentingnya sektor perkembangan perekonomian. Para pembuat
keputusan menyakini bahwa pelaksanaan konsep keberlanjutan justru akan merusak
8
Oleh karena itu ketika harus memilih antara mempertahankan ruang terbuka hijau
atau memberikan izin pada pembangunan industri, maka yang terakhir biasanya
dimenangkan. Salah satu kasus adalah pembangunan jalan tol ke arah bandar udara,
yang merusak ruang terbuka hijau pantai utara Jakarta.
Berdasarkan hasil pra-riset penulis terhadap ketersediaan RTH di Jakarta sejauh ini
hanya berjumlah 18% secara keseluruhan baik RTH publik maupun RTH privat yang
terdiri dari taman bermain anak-anak, taman lapangan olahrga, jalur hijau, waduk dan
situ, sehingga dengan kondisi ini belum mencukupi angka minimal persentasi
ketersediaan RTH untuk Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Undang-Undang 26
Tahun 2007 Pasal 29 ayat (2). Kendala ini akan terus berjalan seiring dengan belum
sadarnya masyarakat akan arti penting dari RTH yang juga menyebabkan lahan RTH
kota dimanfaatkan dan dipergunakan secara tidak semestinya karena dirasa tidak
penting keberadaanya.4
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dalam bentuk skripsi dengan judul Pelaksanaan Pengaturan Penataan Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta.
4
9
1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
a. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau
berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 di DKI Jakarta.
b. Apa yang menjadi faktor penghambat Pemda DKI Jakarta dalam menerapkan
pengaturan Ruang Terbuka Hijau.
1.3 Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: merumuskan konsep penyediaan RTH di
provinsi DKI Jakarta, sedangkan sasaran yang ingin dicapai didalam
penelitian ini yaitu:
a. Mengetahui pengaturan dan pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau
berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana tata ruang
wilayah Provinsi DKI Jakarta 2030.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya
Pemprov DKI Jakarta dalam menerapkan kebijakan yang ada, guna
memenuhi ketersediaan Ruang terbuka hijau (RTH) di Provinsi DKI
10
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
A. Secara teoretis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan studi
Hukum Administrasi Negara khususnya mengenai Rencana Tata Ruang
Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk konsep penyediaan RTH di
Provinsi DKI Jakarta.
B. Secara Praktis
a. Memeberi masukan kepada pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk
lebih baik lagi dalam menerapkan kebijakan yang terkait terhadap
pentingnya pengembangan RTH di Provinsi DKI Jakarta.
b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat atas pentingnya peranan
mereka dalam mendukung kegiatan pemanfaatan ruang teerbuka hijau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tindakan Hukum Pemerintah
Kemampuan anggaran daerah yang seringkali terbatas membuat kemampuan
membeli lahan-lahan baru di dalam kota yang cenderung naik , apalagi jika berada di
lokasi strategis, semakin sulit terwujud. Meningkatkan keyakinan kepada para jajara
pemerintah daerah dan anggota dewan legislatif akan pentingnya pengembangan
RTH (green policy) menentukan kelancaran penyediaan anggaran yang besar untuk
membangun RTH baru (green budget).
Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan DPRD terhadap lingkungan
dibuktikan dengan dicantumkannya target RTH 30 persen dalam RTRW setiap kota
di Indonesia. Pemerintah daerah harus melakukan peningkatan kesadaran aparat lintas
sektoral dalam pengembangan RTH.
Beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan pengembangan RTH kota
telah diberlakukan, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya
12
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, serta
Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan
RTH dikawasan perkotaan.
Pemerintah daerah dan DPRD seharusnya menempatkan masalah RTH sebagai salah
satu isu penting dalam pembahasan anggaran dan program pembangunan yang
berkelanjutan. Prioritas anggaran program pengembangan RTH harus setara dengan
program transportasi masal dan prasarana pencegahan banjir agar kota tidak
mengalami bencana lingkungan, kemacetan, dan banjir. Untuk itu perlu didukung
pemerintah, pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat.
Perlu secepatnya mendorong lahirnya Peraturan daerah (Perda) tentang RTH agar
perencanaan pembangunan RTH memiliki kekuatan hukum yang jelas dan tegas .
Peraturan daerah menetapkan kawasan, area, maupun jalur/koridor hijau yang harus
dipreservasi untuk melindungi ekosistem, habitat satwa liar, dan biodiversitas agar
tidak berubah menjadi fungsi lain. selain itu perda juga menetapkan kawasan
konservasi sebagai peruntukan daerah hijau untuk pengamanan daerah rawan longsor,
pengamanan infrastruktur, fungsi fasum, budidaya pertanian, dan jalur hijau sungai,
situ, waduk, danau, tepian pantai, rawa-rawa sebagai daerah hijau alami.
Perlu insentif atau disentif (reward or punishment), jika terjadi prestasi atau
13
pengembangan RTH. Dan disarankan untuk pemerintah untuk membentuk tim audit
RTH untuk menjaga keberadaan dan pelaksanaan pengembangan RTH.5
Salah satu hal terpenting yang dimiliki oleh Undang-Undang Penataan Ruang
(UUPR) Nomor 26 Tahun 2007 dan tidak ditemukan dalam UUPR sebelumnya
adalah pemberian sanksi terhadap pelanggar tata ruang. Sanksi akan diberikan kepada
pengguna ruang yang melanggar peruntukan tata ruang. Terkait operasionalisasi
sanksi di daerah, saat ini masih belum efektif diberlakukan. Pelanggaran terhadap
penataan ruang sudah jelas diatur didalam pasal 62 dan 63 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dimana dijelaskan pada pasal 62 bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada pasal 61 yaitu mengenai pemanfaatan ruang, akan
dikenakan sanksi administratif. Kemudian pasal 63 juga menerangkan lebih lanjut
lagi mengenai sanksi administratif yang diberlakukan atau yang dimaksud didalam
ketentuan pasal 62, yakni sanksi adminstratif yang dimaksud dalam pasal 62 dapat
Nirwono Joga dan Iwan Ismaun, RTH 30%! Resolusi (kota) Hijau, Jakarta , Gramedia Pustaka
14
f. Pembatalan izin
g. Pembongkaran bangunan
h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. Denda administratif.
Tidak hanya sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran dalam
pemanfaatan ruang terdapat pula regulasi atau atauran mengenai sanksi pidananya.
Pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui tiga tingkatan.
Yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna yang sengaja
merubah peruntukan ruang, pidana 8 tahun dan denda 1,5 Milyar bagi pengguna yang
mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan bagi pelanggaran yang menimbulkan
korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda 5 Milyar.
"Sanksi-sanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam
Undang-Undang Penataan Ruang, khususnya Pasal 69 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.6
2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Rencana Tata ruang
Otonomi daerah yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan Daerah adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab , namun dengan adanya keleluasaan tersebut bukan berarti semua urusan
diserahkan kepada daerah, tetapi ada sebagian urusan yang tidak diserahkan kepada
daerah, tetapi ada sebagian urusan yang tidak diserahkan kepada daerah. Hal ini
6
15
termaktub dalam ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.
Artinya, tidak semua urusan diserahkan kepada daerah sesuai dengan asas
desentralisasi dan tugas pembantuan. Khusus mengenai rencana tata ruang, daerah
diberikan keleluasaan untuk melakukan rencana, pemanfaatan dan pengawasan
mengenai kebijakan tata ruang di daerahnya masing-masing.
Apabila melihat permasalahan yang ada, yaitu menegenai kewenangan pemerintah
daerah terhadap rencana tata ruang di daerah perbatasan, seharusnya pemerintah
daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi, masih memiliki kewenangan terhadap
kebijakan rencana tata ruang yang dibuat oleh kabupaten/kota. Untuk
permasalahan-permasalahan yang bersifat lintas administratif, pemerintah provinsi memiliki
kewenangan untuk menegeluarkan kebijakan sebagaimana mestinya.
Selain itu, untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang proporsional antara
pemerintah provinsi, kabupaten/kota terhadap permasalahan yang bersifat lintas
administratif atau daerah, perlu disusun suatu kriteria permasalahn yang meliputi
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan memepertimbangkan keserasian
hubungan pengelolaan urusan pemerintahan.7
Kriteria eksternalitas merupakan pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan memepertimbangankan damapak/akibat yang ditimbulkan dalam
7
Juniarso Ridwan , Hukum tata ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah, Bandung , Nuansa ,
16
penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulakn bersifat
lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenagan provinsi, dan apabila
bersifat nasional maka menjadi kewenangan pemerintahan pusat.
Sedangkan kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan dengan memepertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang
menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih
langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.
Sedangkan kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumberdaya (personal, dana
dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang
harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan.
Apabila kriteria eksternal, akuntabilitas, dan efisiensi dipakai dalam pelaksanaan
rencana tata ruang di daerah, maka dapat disimpulkan pemerintahan mana yang
paling dekat secara langsung dengan dampak/akibat yang ditimbulkan, maka
pemerintah tersebut yang paling berwenang. Meskipun demikian, dalam melakukan
kebijakan harus tetap memperhatikan kepentingan daerah-daerah lainya guna
terciptanya suatu keserasian dan keseimbangan serta adanya koordinasi pada
masing-masing daerah, sehingga akan terciptanya suatu masyarakat yang sejahtera, adil dan
berada pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.8
8
17
2.3 Tinjauan umum tentang Penataan Ruang dan Ruang terbuka hijau 2.3.1 Latar belakang penataan ruang kota
Pertumbuhan penduduk disuatu Negara menuntut pemerintahnya untuk mempu
menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hidup rakyatnya. Kewajiban
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, terutama Negara yang
menganut paham welfare state, sebagaimana halnya Indonesia. Negara dituntut untuk
berperan lebih jauh dan melakukan campur tangan terhadap aspek-aspek pemenuhan
kebutuhan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Dengan
adanya suatu kewajiban tersebut, maka timbullah suatu pertanyaan , bagaimanakah
pemerintah dapat mengatur dan mengelola penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya alam, baik itu darat, laut maupun udara yang tersedia, dengan selalu
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang berbeda-beda ,
sehingga akan tercapai nya suatu tujuan Negara yaitu mensejahterakan
masyarakatnya.
Keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dalam usaha memacu pertumbuhan
yang mendukung pemerataan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi , diupayakan
sejalan dengan kemampuan alam Indonesia yang beraneka ragam dan kebutuhan
masyarakat yang semakin beranekaragam sekali, ekosistem yang terdapat di
Indonesia.
Selain itu juga permasalahan lain yang timbul yaitu pada sistem pemerintahan
Indonesia, dimana saat ini terjadi perubahan dengan terdistribusinya kewenangan
18
setelah diberlakukanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, dimana daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan
potensi sumber daya yang dimilikinya.
Agar dalam memahami permasalahn tersebut tidak keluar dari kerangka UUD 1945,
maka perlu kiranya kita kembali kepada pemikiran yang fundamental mengenai
tujuan dari negara Republik Indonesia yang tedapat didalam pembukaan UUD 1945,
yang berbunyi:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia….”
Dalam mewujudkan tujuan Negara, khususnya untuk terciptanya suatu kesejahteraan
dan mencerdaskan kehidupan bangsa, berarti harus dapat melaksanakan
pembangunan dengan mengarahkan kepada substansi yang akan dituju secara terpadu
dan berdasarkan suatu perencaan yang cermat. Selain itu juga dalam melaksanakan
suatu perencanaan harus tetap berada pada kerangka peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan mengedepankan keserasian di antara daerah dan tetap berada
pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.9
9
19
2.3.2 Pengertian dan ruanglingkup Penataan Ruang
Luasnya cakupan perencanaan tata ruang mengarahkan penulis untuk
mengungkapkan pengertian dan konsep dasar yang terkandung di dalamnya.
Pengertian-pengertian yang tercakup kedalam konsep Penataan Ruang sebenarnya
sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Namun demikian untuk dapat menambah khasanah, penulis akan
mengemukakan juga pengertian dan konsep dasar dari Penataan Ruang, baik menurut
peraturan perundang-undnagan maupun menurut para ahli.
2.3.2.1 Definisi Ruang
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
yang dimaksud dengan ruang adalah:
“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.”
Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan manusia, juga
sebagai sumberdaya alam merupakan salah satu karunia Tuhan kepada bangsa
Indonesia. Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu asset yang
harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara terkoordinasi,
terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lain sperti,
ekonomi, sosial, budaya, hankam, serta kelestarian lingkungan untuk mendorong
20
Selanjutnya, dalam keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah
No.327/KPTS/2002 tentang penetapan enam pedoman bidang Penataan Ruang, yang
dimaksud dengan ruang adalah :
“wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.”
Seperti yang telah diuraikan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,
yang menyatakan bahwa ruang terbagi kedalam beberapa kategori, yang diantaranya
adalah :
a. Ruang daratan adalah ruang yang terletak diatas dan di bawah permukaan
daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut
terendah.
b. Ruang lautan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut
dimulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah termasuk dasar laut dan
bagian bumi dibawahnya, dimana Negara Indonesia memiliki hak
yuridiksinya.
c. Ruang udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang
lautan sekitar wilayah Negara dan melakat pada bumi, dimana Negara
Indonesia memiliki hak yuridiksinya.10
10 Ibid
21
2.3.2.2 Definisi Tata Ruang
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
menjelaskan yang dimaksud dengan tata ruang adalah “wujud struktural ruang dan
pola ruang”. Adapun yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang
adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial,
lingkungan buatan yang secara hirarkis berhubungan satu dengan yang lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi,
sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah
perkotaan dan pedesaan, dimana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang
direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang yang
terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung dan lain-lain.
Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu pasal 1 angka 5 yang dimaksud
dengan penataan ruang adalah “suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”.11
2.3.2.3 Rencana Penataan Ruang
Perencanaan atau planning merupakan suatu proses, sedangkan hasilnya berupa
“rencana” (plan), dapat dipandang sebagai suatu bagian dari setiap kegiatan yang
lebih sekedar refleks yang berdasarkan perasaan semata. Tetapi yang penting,
perencanaan merupakan suatu komponen yang penting dalam setiap keputusan sosial,
setiap unit keluarga, kelompok, masyarakat, maupun pemerintah terlibat dalam
11
22
perencanaan pada saat membuat keputusan atau kebijakan-kebijakan untuk mengubah
sesuatu dalam dirinya atau lingkungannya.
Pada Negara hukum dewasa ini, suatu rencana tidak dapat dihilangkan dari hukum
administrasi. Rencana dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintahan,
misalnya dalam pengaturan tata ruang. Rencana merupakan keseluruhan tindakan
yang saling berkaitan dari tata usaha Negara yang mengupayakan terlaksananya
keadaan tertentu yang tertib (teratur). Rencana yang demikian itu dapat dihubungkan
dengan stelsel perizinan (misalkan suatu perizinan pembangunan akan ditolak oleh
karena tidak sesuai dengan rencana peruntukan).
Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, sehingga dapat dikatakan bahwa
perencanaan adalah sebuah species dari genus kebijaksanaan. Masalah perencanaan
berkaitan erat dengan perihal pengambilan keputusan serta pelaksanaannya.
Perencanaan dapat dikaitkan pula sebagai pemecahan masalah secara saling terkait
serta berpedoman kepada masa depan.
Saul M. Katz, mengemukakan alasan atau dasar dari diadakannya suatu perencanaan
adalah:
a. Dengan adanya suatu perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan
kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang
ditujukan kepada pencapaian suatu perkiraan.
b. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu perkiraan terhadap hal-hal
23
mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan, tetapi juga
mengenai hambatan-hambatan dajn risiko-risiko yang mungkin dihadapi,
dengan perencanaan mengusahakan agar ketidakpastian dapat dibatasi sedikit
mungkin.
c. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif
tentang cara atau kesempatan untuk memilih kombinasi terbaik.
d. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih
urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, saran-saran maupun kegiatan
usahanya.
e. Dengan adanya rencana, maka ada nada suatu alat pengukur atau standar
untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi.12
Dalam kamus tata ruang dikemukakan yang dimaksud dengan rencana Penataan
Ruang adalah “rekayasa atau metode pengaturan perkembangan tata ruang
dikemudian hari”. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan
Ruang yang dimaksud dengan Rencana Tata Ruang adalah “hasil perencanaan
struktur dan pola pemanfaatan ruang”.
Adapun yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan
unsur-unsur pembentukan lingkungan secara hirarkis dan saling berhubungan satu sama
lainnya.
12
24
Maksud diadakannya perencanaan tata ruang adalah untuk menyerasikan berbagai
kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat
dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi. Sedangkan tujuan diadakannya suatu
perencanaan tata ruang adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta
hubungan fungsionalnya yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan
sumber daya manusia, sehingga tercapainya hasil kualitas manusia dan kualitas
lingkungan hidup secara berkelanjutan.
Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan sistem yang tidak dapat
terpisahkan satu sama lainnya. Untuk menciptakan suatu penataan ruang yang serasi
harus memerlukan suatu peraturan perundang-undangan yang serasi pula diantara
peraturan pada tingkat tinggi sampai pada peraturan pada tingkat bawah, sehingga
terjadinya suatu koordinasi dalam penataan ruang.
Dalam klasifikasi perencanaan tata ruang dikenal adanya perencanaan tata ruang kota,
dan secara awam perencanaan tata ruang kota selalu diidentifikasikan ke dalam
perencanaan fisik semata, yakni gambaran dari perencanaan kota, taman, bangunan
perumahan, bangunan perkantoran dan lain sebagainya.
Namun dengan semakin pesatnya perkembangan zaman, perencanaan fisik sudah
tidak tepat lagi, oleh karena dalam proses pembentukan perencanaan kota tidak hanya
25
suatu perencanaan kota akan dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial,
lingkungan, ekonomi, hukum, politik dan permasalahan-permasalahan lainnya lagi.
Salah satu contoh adalah seorang perencanaan yang akan melakukan kegiatan
pembangunan pusat perbelanjaan, maka ia tidak hanya melakukan perencanaan
desain fisik sementara, akan tetapi ia harus melakukan pengoptimalisasian dari akibat
yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan, baik itu lingkungan hidupmaupun
lingkungan sosial masyarakat di sekitar.13
2.3.3 Ruang Terbuka Hijau
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang,
dengan luas RTH minimal 30 persen dari wilayah kota, RTH di samping berperan
membentuk struktur kota, juga harus tercermin dalam pola ruang kota. Fungsi
manfaat , klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan menjadi sangat
penting, karena fungsi dan manfaat RTH tidak dapat digantikan dengan unsur-unsur
ruang kota lainnya karena sifatnya yang alami.
Berbagai refrensi menunjukan bahwa RTH (green open space / green space)
merupakan lahan-lahan alami yang ada diwilayah perkotaan. Bentuk RTH yang
berupa fasilitas umum/publik, sebagai tempat beraktifitas, adalah taman kota, taman
pemakaman, lapangan olah raga, hutan kota dan lain-lain yang memerlukan area
lahan/peruntukan lahan hijau secara definitif.
13 Ibid
26
RTH yang ditanami tumbuhan jenis produktif, buah, dan pangan adalah sawah,
pertanian darat, dan pekarangan rumah yang memerlukan area lahan/peruntukan
lahan hijau pertanian secara definitif.
RTH jalur hijau yang bukan untuk ditanami pohon dalam mendukung fungsi
pengaman, peneduh, dan keindahan kota adalah jalur kereta api, tegangan tinggi,
sungai/tepian kali, situ, dan pantai (pengaman); dan jalur pinggir/median jalan kota
dan lingkungan (peneduh); dan jalur jalan, kavling bangunan kantor, industri,
perdagangan, dan lain-lain (keindahan kota).
Jadi RTH merupakan suatu lahan/kawasan yang mengandung unsur dan struktur
alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis, sperti pengendali pencemaran
udara, ameliorasi iklim, pengendali tata air, dan sebagainya. Unsur alami inilah yang
menjadi ciri RTH diwilayah perkotaan, baik unsur alami berupa tumbuh-tumbuhan
atau vegetasi, badan air, maupun unsur alami lainnya.14
2.3.4 Ruang terbuka non hijau
Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di kawasan
perkotaan RTNH adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk
dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras atau maupun yang berupa badan
air. Menurut Direktorat Penataan Ruang Nasional , Ruang Terbuka Non Hijau adalah
ruang yang secara fisik bukan berbentuk bangunan gedung dan tidak dominan
ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat berupa perkerasan, badan air
14
27
ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya badan lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur,
dan lain sebagainya).
Fungsi utama RTNH adalah fungsi Sosial Budaya, dimana antara lain dapat berperan
sebagai:
a. Wadah aktifitas sosial budaya masyarakat dalam wilayah kota atau kawasan
perkotaan terbagi dan terencana dengan baik;
b. pengungkapan ekspresi budayadan/atau kultur lokal;
c. merupakan media komunikasi warga kota;
d. tempat olahraga dan rekreasi;
e. wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
Manfaat Ruang Terbuka Non Hijau secara langsung merupakan manfaat yang dalam
jangka pendek atau dapat dirasakan langsung manfaatnya seperti :
a. Berlangsungnya aktivitas masyarakat, seperti misalnya kegiatan olahraga,
kegiatan rekreasi, kegiatan parkir, dan lain-lain.
b. Keindahan dan kenyamanan, seperti misalnya penyediaan plasa, monumen,
landmark, dan lain sebagainya.
c. Keuntungan ekonomis, seperti misalnya retribusi parkir, sewa lapangan olahraga,
dan lain sebagainya.15
15
28
Kedudukan Ruang Terbuka Non Hijau di dalam Rencana Tata Ruang wilayah penting
adanya selain mengemban fungsi sekunder sebagai pelengkap keindahan kota , dalam
hal ini jika dilakukan pengelolaan dan perawatan dengan cara yang baik dan benar
akan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang keberadaan nya dapat
dimaksimalkan.
2.3.5 Ruang terbuka hijau privat
Yang dimaksud Ruang terbuka hijau privat adalah: RTH yang dimiliki institusi
tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas
antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang
ditanami oleh tumbuhan.16
2.3.6 Ruang terbuka hijau publik
Yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau publik adalah: RTH yang dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah daerah kota / kabupaten yang diginakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum.
Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota seluas minimal 20 (dua puluh)
persen dari luas wilayah kota, yang disediakan oleh pemerintah daerah kota
dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin
pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh
masyarakat. Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran
16
29
penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola
ruang.17
2.4 Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan
2.4.1 Pemanfaatan RTH pada Bangunan/Perumahan
RTH pada bangunan/ perumahan baik dipekarangan maupun halaman perkantoran,
pertokoan, dan tempat usaha berfungsi sebagai penghasil O2, peredam kebisingan,
dan penambah estetika suatu bangunan sehingga tampak asri, serta memberikan
keseimbangan dan keserasian antara bangunan dan lingkungan. Selain fungsi
tersebut, RTH dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan sebagi berikut:
a. RTH Pekarangan
Dalam rangka mengoptimalkan lahan pekarangan, maka RTH pekarangan
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan atau kebutuhan lainnya. RTH pada rumah
dengan pekarangan luas dapat dimanfaatkan sebagai tempat utilitas tertentu
(sumur resapan) dan dapat juga dipakai untuk tempat menanam tanaman hias
dan tanaman produktif (yang dapat menghasilkan buah-buahan,sayur,dan
bunga). Untuk rumah dengan RTH pada lahan pekarangan yang tidak terlalu
luas atau sempit , RTH dapat dimanfaatkan pula untuk menanam tanaman
obat keluarga/apotik hidup, dan tanaman pot sehingga dapat menambah nilai
estetika sebuah rumah. Untuk efisiensi ruang, tanaman pot dimaksud dapat
diatur dalam susunan/bentuk vertikal.
17
30
b. RTH halaman perkantoran , pertokoan, dan tempat usaha
RTH pada halaman perkantoran ,pertokoan , dan tempat usaha, selain tempat
utilitas tertentu, dapat dimanfaatkan pula sebagai area parkir terbuka, carport,
dan tempat untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas di luar ruangan seperti
upacara,bazar,olah raga , dan lain-lain.18
2.4.2 Pemanfaatan RTH pada lingkungan / permukiman
RTH pada lingkungan/ permukiman dapat dioptimalkan fungsinya menurut jenis
RTH berikut:
a. RTH Taman Rukun Tetangga
Taman Rukun Tetangga (RT) dapat dimanfaatkan penduduk sebagai tempat
melakukan berbagai kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Untuk
mendukung aktivitas penduduk dilingkungan tersebut, fasilitas yang harus
disediakan minimal bangku taman dan fasilitas mainan anak-anak. Selain
sebagi tempat untuk melakukan aktifitas sosial, RTH taman rukun tetangga
dapat pula dimanfaatkan sebagai suatu community garden dengan menanam
tanaman obat keluarga/ apotik hidup, sayur, dan buah-buahan yang dapat
dimanfaatkan oleh warga.19
b. RTH Rukun Warga
RTH rukun warga (RW) dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan remaja,
kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan sosial lainnya di lingkungan RW
tersebut. Fasilitas yang disediakan berupa lapangan untuk berbagai kegiatan,
18Ibid.,
hlm.47
19
31
baik olahraga maupun aktifitas lainnya, beberapa unit bangku taman yang
dipasang secara berkelompok sebagai sarana berkomunikasi dan bersosialisasi
antar warga, dan beberapa jenis bangunan permainan anak yang tahan dan
aman untuk dipakai pula oleh anak remaja.
c. RTH Kelurahan
RTH Kelurahan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan penduduk dalam
satu kelurahan. Taman ini dapat berupa taman aktif, dengan fasilitas utama
lapangan olahraga (serbaguna), dengan jalur trek lari di seputarnya, atau dapat
berupa taman pasif, dimana aktifitas utamanya adalah kegiatan yang lebih
bersifat pasif, misalnya duduk atau bersantai, sehingga lebih di dominasi oleh
ruang hijau dengan pohon tahuna.
d. RTH Kecamatan
RTH kecamatan dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk melakukan
berbagai aktifitas didalam satu kecamatan. Taman ini dapat berupa taman
aktif dengan fasilitas utama lapangan olahraga, dengan jalur trek lari
diseputarnya, atau dapat berupa taman pasif untuk kegiatan yang lebih bersifat
pasif, sehinngga lebih di dominasi oleh ruang hijau.20
20
32
2.5 Peran serta masyarakat dan lembaga/badan hukum dalam mengelola RTH 2.5.1 Peran serta masyarakat
Untuk mewujudkan RTH kota minimal 30 persen dari luas kota sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka partisispasi
masyarakat sangat diperlukan.
Hal ini merupakan pergeseran model pembangunan kota dari tanggung jawab
pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi tanggung jawab bersama berbagai
pihak, baik pemerintah maupun masyarakat (shareholders).
Keikutsertaan masyarakat dalam penyediaan dan penataan RTH menjadi hal penting
karena pada kenyataannya sebagian besar lahan hijau berada di bawah kepemilikan
masyarakat dan swasta (RTH privat).
Dari data yang ada, lahan Jakarta yang belum/tidak terbangun (tahun 2008), seperti
hijau halaman/pekarangan, kebun, sawah, dan lahan-lahan kosong yang dapat
dikatakan sebagai potensi RTH kota sebesar 23,59 persen, merupakan lahan milik
masyarakat dan pengembang (developer).
Untuk mengantisipasi perubahan lahan, yaitu konversi lahan hijau/alami menjadi lahan
terbangun, perlu penerapan KDH secara sadar oleh masyarakat dalam pengembangan
RTH dapat berupa penyuluhan dan pengembang. Artinya, masyarakat mempunyai
33
Program partisipasi masyarakat dalam pengembangan RTH dapat berupa
penyuluhan dan pembinaan, untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
masyarakat terhadap arti penting eksistensi RTH dalam meningkatkan kualitas
lingkungan hidup dan kehidupan mereka; penyebar luasan fungsi dan manfaat RTH
di media massa cetak dan elektronik; pelibatan masyarakat dan swasta dalam
program pengembangan RTH; dan pelibatan institusi pendidikan: program sekolah
hijau (green school) atau kampus hijau (green campus).
Program partisipasi masyarakat bertujuan menyadarkan masyarakat luas agar
memahami pentingnya RTH dalam meningkatkan kualitas lingkungan, mengubah
gaya hidup masyarakat menjadi sadar lingkungan, dan mengarahkan masyarakat
berwawasan lingkungan menuju masyarakat berwawasan ekologis. Pada akhirnya,
pencapaian kuantitas RTH kota minimal 30 persen dapat terwujud karena adanya
dukungan dan partisipasi masyarakat.21
Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan upaya
melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik
pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan
untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memeberikan kesempatan akses
dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang
yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang
oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH, dengan prinsip:
21
34
a. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam
proses pembangunan ruang-ruang terbuka hijau;
b. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pembangunan
Ruang Terbuka Hijau;
c. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal
dan keberagaman sosial budayanya;
d. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;
e. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap professional.
Mengenai peran masyarakat, swasta dan badan hukum dalam penyediaan RTH
publik meliputi penyediaan lahan, pembangunan dan pemeliharaan RTH. Peran
dalam penyediaan RTH ini dapat berupa:
a. Pengalihan hak kepemilikan lahan dari lahan privat menjadi RTH publik
(hibah);
b. Menyerahkan penggunaan lahan privat untuk digunakan sebagai RTH publik;
c. Membiayai pembangunan RTH publik;
d. Membiayai pemeliharaan RTH publik;
e. Mengawasi pemanfaatan RTH publik;
f. Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH publik dalam peningkatan
kualitas dan keamanan lingkungan, sarana interaksi sosial serta mitigasi
35
2.5.2 Peran lembaga/ Badan Hukum
Lembaga atau badan hukum yang dimaksud merupakan organisasi non pemerintah,
atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping,
menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka
mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat
serta akses masyarakat ke sumber daya.
Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
organisasi non-pemerintah antara lain:
a. Membentuk sistem mediasi fasilitasi antara pemerintah, masyarakat dan
swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi
pembangunan Ruang Terbuka Hijau;
b. Menyelengarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan pendapat atau
kepentingan antara pihak yang terlibat;
c. Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan penjelasan
mengenai proses kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta
mengenai proses pengajuan keluhan dan penyelesaian konflik yang terjadi;
d. Mendorong dan/atau menfasilitasi proses pembelajaran masyarakat untuk
memecahkan masalah yang berhubungan dengan penyusunan RTH
perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa pemberian pelatihan kepada
masyarakat dan/atau yang terkait dalam pembangunan ruang terbuka hijau,
36
e. Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang memungkinkan
masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses pemanfaatan ruang secara
proporsional, adil dan bertanggung jawab. Dengan membentuk badan atau
lembaga bersama antara pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta
untuk aktif melakukan mediasi;
f. Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan dan
disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa pengecualian.22
Organisasi yang memiliki peran dan posisi penting dalam mempengaruhi,
menyusun, melaksanakan, mengawasi kebijakan Ruang Terbuka Hijau kota, antara
lain:
a. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
b. Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi)
c. Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
d. Komunitas peduli lingkungan ( KPL)
e. Asosiasi profesi
f. CSR (Corporate Social Responsibility)
g. PPP ( Public Private Partnership)
h. Partai politik
Salah satu upaya dalam pengelolaan RTH di wilayah perkotaan adalah membentuk
Mitra RTH, sebuah institusi, lembaga, atau paguyuban yang dibentuk oleh dan untuk
22