• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI

JAKARTA

Ruang Terbuka Hiijau (RTH) pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting setara dengan unsur-unsur kota yang lain. Pentingnya fungsi dari RTH tersebut membuat pemerintah menetapkan aturan di dalam undang-undang penataan ruang yang menyatakan bahwa setiap kota harus memiliki RTH minimal 30 persen dari luas wilayah kotanya yang terdiri dari 10 persen RTH privat yakni RTH yang dimiliki secara pribadi dan 20 persen RTH publik yang dimiliki oleh masyarakat umum dan dikelola oleh pemerintah, sesuai dengan isi dari Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu mengenai petunjuk umum teknis pelaksanaan penataan ruang juga telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang dan juga didalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, dengan harapan tercapainya keseimbangan pola hidup manusia didalamnya.

Permasalahan yang diteliti ialah bagaimanakah pelaksanaan dan pengaturan tentang RTH berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 di DKI Jakarta dan apa yang menjadi faktor penghambat Pemda DKI Jakarta dalam menerapkan pengaturan Ruang Terbuka Hijau.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Adapun sumber data dalam penelitian yaitu Data primer berasal dari yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang berupa keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari pihak-pihak terkait dalam penelitian ini sedangkan data sekunder berasal dari penelitian pustaka melalui peraturan perundang-undangan, literatur, buku-buku dan dokumen-dokumen resmi.

(2)

Provinsi DKI Jakarta dianggap belum mampu menyediakan RTH seperti proporsi yang telah diatur di dalam undang-undang maupun peraturan daerah yang ada. Kemudian untuk RTH privat sendiri Implementasi Koefisien Dasar Hijau (KDH) dalam kaitan pengurusan IMB untuk menambah RTH privat belum sepenuhnya berjalan. Hal ini di sebabkan belum adanya kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat RTH dan belum dipahami secara benar oleh aparat pelaksana di lapangan tentang ketentuan KDH. Selain itu masih banyak faktor-faktor penghambat lainnya dalam penyediaan RTH di Jakarta seperti harga jual tanah yang terlalu mahal, minimnya ketersediaan dana APBD untuk pembebasan lahan, tumpang-tindihnya tugas-tugas dari dinas yang terkait, sehingga penyediaan serta pengelolaan RTH di Jakarta belum optimal.

(3)

PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI

JAKARTA

Oleh

Marcel Cio

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(4)

PELAKSANAAN PENGATURAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA

( Skripsi)

Oleh

MARCEL CIO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari 1993,

penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari

pasangan Bapak Ir. Marbin Budiman Hutajulu, MM dan Ibu

Lince Mariana Siregar, S.Km.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDK.

Ignatius Slamet Riyadi I Jakarta Timur pada tahun 2004. Kemudian penulis

melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 102 Jakarta pada

tahun 2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 99 Jakarta pada

tahun 2007. Di SMAN 99 Jakarta penulis menjadi anggota OSIS angkatan XX

bidang Pendidikan Bela Negara (SEKBID 3), menjadi anggota paduan suara,

menjadi anggota Ekstrakulikuler Futsal dan penulis mengikuti Piala walikota

Jakarta Timur dan Coca-cola cup Tahun 2008.

Pada Tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan sebagai Mahasiswa Fakultas

Hukum, Universitas Lampung melalui jalur Ujian SNMPTN (Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Penulis melaksanakan Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Purwo Sari

Kecamatan Batang Hari Nuban Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2013 selama

(8)

Moto

Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh

lebih banyak dari pada yang kita doakan

atau pikirkan, seperti yang ternyata dari

kuasa yang bekerja di dalam kita.

(Efesus 3:20)

Berapapun sulitnya jalan hidup ini senyum

dan tawa mereka telah cukup tuk jadi

penawarnya

.”

(9)

PERSEMBAHAN

Puji Syukurku ku panjatkan kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa yang telah memberikan berkat dan

anugerahNya kepadaku.

Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, dan

hormatku secara tulus

Aku mempersembahkan karya ini kepada:

Papaku tersayang Ir. Marbin Budiman Hutajulu,

MM

Mamaku tercinta Lince Mariana Siregar, S.Km.

Yang telah memberikan dukungan dan doa serta

harapan demi keberhasilanku kelak.

Kepada kakak ku yang ku kasihi Vania Margaret

Elsye.,ST (Kak Vani)

dan

Adik laki-laki ku yang ku kasihi Marentino Narade

Hutajulu (Nino)

serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan

berharap demi keberhasilanku dalam meraih

cita-cita.

Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum

Angkatan 2010

(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pelaksanaan pengaturan penataan ruang terbuka hijau dalam rencana tata

ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari hambatan yang datang

baik dari dalam ataupun luar diri penulis. Penulisan skripsi ini juga tidak lepas

dari bimbingan dan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas

Lampung

2. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Administrasi

Negara, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.

3. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H.,., selaku Dosen Pembimbing Utama terima

kasih atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam

proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Agus Triono, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Kedua atas

bimbingan dan pengarahannya yang sangat berharga dalam proses

(11)

5. Ibu Nurmayani, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas Utama yang telah

memberikan kritikan dan masukan yang luar biasa untuk menyempurnakan

skripsi ini.

6. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahasa Kedua atas

ketersediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk

memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi

ini.

7. Ibu Rehulina, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas

telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis menjadi mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah mengajar dan memberikan ilmu

yang bermanfaat.

9. Ibu Ir. Alda Erythrina S.P , Staf Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi

DKI Jakarta yang telah membantu memberikan data sekunder yang

dibutuhkan dalam penelitian serta memberikan motivasi dan masukan pada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teristimewa untuk kedua orang tuaka tersayang Papa Ir. Marbin Budiman

Hutajulu, MM dan Mamaku Lince Mariana Siregar, S.Km, untuk doa, kasih

sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari

aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi

kehidupan ku.

11. Kedua saudara kandungku Kakak ku Vania Margaret Elsye, S.T yang luar

biasa sabar menghadapi adik yang keras kepala dan panikan seperti aku dan

(12)

dan Adik ku Marentino Narede Hutajulu yang selalu menjadi tawa dan obat

rinduku dikala rindu dengan keluarga yang berada di Jakarta.

12. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan

motivasinya, terimkasih atas segalanya.

13. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus saudaraku yang selama empat tahun

terakhir ini menemani dan mengisi hari – hari dihidupku Abram Sitepu,

Adatua Simbolon, Alex Sitinjak, Bobby Debataraja, Bryan Sipayung, Elyasip

Sembiring, Hans Sembiring, Ivo Simanjuntak, Jusuf Purba, Josua

Tampubolon, Olfredo Sitorus, Richad Simanungkalit, Ricko Sihaloho, Rio

Meliala, Rizal Sinurat, Sanggam Simanullang, Saut Lumbangaol, Wiliam

Sihombing, Yoga Adrian Ibrahim, Yuri Simatupang, dan Wetson

Rumahorbo, yang tergabung dalam GEROBAK PASIR terimakasih untuk

saat – saat berharga yang telah dihadirkan dan kebersamaan kita selama ini,

terimakasih telah menjadi semangat dalam penyusunan skripsi ku dan tugas –

tugas diperkuliahan diwaktu kemarin, terimakasih telah mengajarkan arti

sebuah persahabatan selama ini kepadaku, kiranya kita bisa menjadi saudara

selamanya.

14. Putri-Putri GEROBAK PASIR, Ade Marbun, Charlyna Purba, Dede

Hutagalung, Reni Panjaitan, Rymni Tambunan, Sartika Samosir, Sonya

Harahap untuk kebersamaannya selama ini baik di Formahkris atau kuliah

Agama atau kuliah sehari-hari.

15. Keluarga Bapak Kadimin yang telah bersedia mengizinkan kami untuk

tinggal selam 40 Hari dalam menjalankan Proses Kuliah Kerja Nyata di

(13)

16. Kawan-Kawan KKN Tematik UNILA , Anggi, Pandu, Edo, Meta, Sherly,

Anindia, Diah, Arista, Mbak Lia yang selama 40 Hari telah menjadi keluarga

kecil di desa Purwosari.

17. Teman – teman Mahasiswa Fakultas Hukum, yang tidak dapat disebutkan

satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda

tawa selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari

perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat

Viva Justicia Hukum Jaya.

18. Keluarga Besar Forum Mahasiswa Hukum Kristen (Formahkris), atas

persahabatan dan kebrsamaannya dalam pelayanan kita selama ini.

19. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yan telah banyak

membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

Apabila terdapat kekurangan dalam penulisan maupun pada penyusunan skripsi

ini, maka penulis menerima saran, masukan, dan kritik dari pembaca sebagai

perbaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandar Lampung, 12 Mei 2014

Penulis

(14)

DAFTAR ISI

1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 9

(15)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan masalah ... 43

3.2 Sumber Data dan jenis data ... 44

3.3 Metode pengumpulan data ... 46

3.4 Metode pengolahan data ... 46

3.5 Analisis Data ... 47

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum Ruang Terbuka Hijau di Jakarta ... 48

4.2 Pelaksanaan pengaturan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 ... 56

4.2.1 Pengaturan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah ... 56

4.2.2 Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilyah ... 72

4.3 Faktor-faktor penghambat dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta ... 84

BAB V. PENUTUP 5.1 Simpulan ... 93

5.2 Saran ... 94

(16)
(17)
(18)
(19)

Februari 2014

Kepada Yth,

Bapak/Ibu………

Di

Jakarta

Dengan hormat,

Berikut ini saya sampaikan beberapa pertanyaan mengenai pelaksanaan pengaturan Ruang

Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data ini saya perlukan

sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pengaturan Penataan

Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta.” Hasil

dari jawaban Bapak/Ibu ini semata-mata untuk kepentingan akademis, sehingga tidak akan

berdampak apa pun pada kinerja Bapak/Ibu. Untuk itu, dimohon kepada Bapak/Ibu untuk

menjawab setiap pertanyaan dengan leluasa dan tanpa beban, dalam arti betul-betul sesuai

dengan kondisi di lapangan.

Selamat menjawab, dan terimakasih atas segenap kerjasamanya.

Hormat saya,

(20)

A. Kasus

Dalam rangka menjalankan amanat dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah merancang suatu

Peraturan Daerah yang digunakan untuk mensiasatai Penataan Ruang di Provinsi DKI

Jakarta sampai dengan tahun 2030, yakni dengan menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun

2012. Dengan adanya Perda Nomor 1 Tahun 2012 sebagai revisi dari Perda sebelumnya

yakni Perda Nomor 6 Tahun 1999, diharapkan DKI Jakarta dapat lebih tertata dan

memenuhi target Ruang Terbuka hijau sesuai dengan kebutuhan kota Jakarta saat ini.

Tetapi sampai saat ini dengan terbitnya Perda terbaru tersebut , kondisi Penataan Ruang

di Jakarta belum ada tanda-tanda membaik, apalagi yang berhubungan dengan Ruang

Terbuka Hijaunya. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dinyatakan bahwa

luasan RTH Idealnya ialah 30 persen, yang terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10

Persen RTH privat. Sedangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta

2012-2030 ditargetkan luas RTH publik di Jakarta sebesar 16 persen karena begitu

sulitnya Pemerintah Daerah untuk mengejar amanat 20 persen RTH publik , yang bahkan

kondisi nyata RTH DKI samapai saat ini hanya sekitar 10 persen.

Oleh karena itu , dirasa perlu untuk mengkaji atau mengetahui tindakan dan aturan apa

saja yan telah diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Satuan Perangkat Kerja

Daerah (SKPD) yang berwenang dalam bagian Penataan Ruang tersebut sesuai dengan

Perda Nomor 1 Tahun 2012 dan kendala-kendala apa saja yang menjadikan Pemda DKI

Jakarta sulit untuk mewujudkan RTH yang sesuai dengan aturan yang telah di

amanatkan, sehingga kita mendapatkan solusi yang terbaik untuk mensiasati penyediaan

(21)
(22)
(23)

C. Pertanyaan

1. Bagaimana Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta saat ini? Jelaskan!

Jawaban:

...

...

...

2. Bagaimanakah tanggapan Saudara mengenai pengelolaan Ruang Terbuka Hijau yang

telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini ? Jelaskan!

Jawaban:

...

...

...

3. Bagaimana distribusi Ruang Terbuka Hiaju di Provinsi DKI Jakarta saat ini ?

Jelaskan!

Jawaban:

...

...

(24)

4. Bagaimanakah Peran elit dan pengembang (developer) dalam mendukung

pelaksanaan kebijakan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta? Jelaskan!

Jawaban:

...

...

...

5. Bagaimanakah tindakan hukum pemerintah terhadap pelanggaran dalam pelanggaran

pemanfaatan ruang di wilayah DKI Jakarta? Jelaskan!

Jawaban:

...

...

...

...

6. Sejauh mana partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan-kebijakan dan

program pembangunan hijau Jakarta ? Jelaskan!

Jawaban:

...

...

(25)

7. Apakah Saudara mengetahui bentuk- bentuk penyuluhan atau sosialisasi dari Pemda

Provinsi DKI Jakarta, khususnya terhadap pembangunan hijau kota ? Jelaskan!

Jawaban:

...

...

...

8. Bagaimana pendapat Saudara mengenai pola koordinasi yang dilakukan Pemda DKI

Jakarta dalam melaksanakan program dan kebijakannya baik anatar institusi maupun

dengan masyarakat sebagai stakeholder penghijauan? Jelaskan!

Jawaban:

...

...

...

...

9. Bagaimana pendapat Saudara mengenai Implementasi (penerapan) Perda Nomor 1

Tahun 2012 tentang Penataan Ruang pada saat ini, apakah sudah lebih baik dari perda

sebelumya ? Jelaskan !

Jawaban:

...

...

(26)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju

berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan

dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi.

Lingkungan alami dikonversi menjadi lingkungan binaan tanpa

mempertimbangkan kaidah-kaidah ekosistem. Pembangunan fisik struktur kota

menuju arah maksimal, sedangkan pengembangan struktur alami kota menuju

minimal.

Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

sebagai asset, potensi, dan investasi kota jangka panjang yang memiliki nilai

ekologi, sosial, ekonomi, edukatif, evakuasi, dan estetis. Bencana ekologis

banyak yang terjadi, seperti banjir, longsor, krisis air tanah, peningkatan suhu di

wilayah perkotaan, pemanasan bumi, serta perubahan iklim, pada umumnya

diakibatkan oleh dampak pembangunan kota yang kurang mempertimbangkan

aspek ekologis.

Dalam penataan ruang, RTH diartikan sebagai kawasan yang mempunyai unsur

(27)

2

ruang wilayah, dan rencana tata ruang regional sebagai satu kesatuan sistem. Pola

jaringan RTH dengan berbagai jenis dan fungsinya merupakan rangkaian

hubungan dan kesatuan terpadu yang membentuk infrastruktur hijau (green

infrastructure) atau infrastruktur ekologis (ecological infrastructure).

Infrastruktur hijau dengan berbagai jenis dan fungsinya berperan dalam

menciptakan keseimbangan ekosistem kota dan alat pengendali pembangunan

fisik kota.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah

diamanatkan bahwa proporsi luas RTH minimal adalah 30 persen dari luas kota,

terdiri atas RTH publik 20 persen, dikelola pemerintah daerah, dan RTH privat 10

persen, dimiliki masyarakat dan swasta. Luas RTH minimal 30 persen itu

bertujuan menyeimbangkan ekosistem kota, baik sistem hidrologi, klimatologi

untuk menjamin udara bersih, maupun sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga

keanekaragaman hayati dan meningkatkan estetika kota.

Semakin tipisnya ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota, tentu berakibat

fatal, yang di cirikan dengan naiknya suhu bumi tidak hanya dialami oleh suatu

pulau saja, tetapi akan terus merembet ke pulau-pulau lain, bahkan

kemancannegara melampaui batas administratifnya masing-masing.1 Apalagi di

daerah-daerah yang menjadi pusat kota seperti DKI Jakarta sudah tidak heran lagi

jika RTH nya semakin menipis karena banyak pembangunan gedung-gedung

perkantoran, mall, dan hal-hal lain yang dibangun tanpa memperdulikan Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota yang telah dirancang oleh pemerintah.

1

(28)

3

RTH sejatinya ditujukan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem

lingkungan perkotaan dan mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam

dan lingkungan buatan di perkotaan serta meningkatkan kualitas lingkungan

perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Tidak hanya itu, RTH juga berfungsi sebagai pengamanan keberadaan kawasan

lindung perkotaan, pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara,

tempat perlindungan keanekaragaman hayati, dan pengendali tata air serta tak

ketinggalan sebagai sarana estetika kota. Keberadaan ruang ini tak hanya

menjadikan kota menjadi sekedar tempat yang sehat dan layak huni tapi juga

nyaman dan asri.

RTH juga membawa begitu banyak manfaat yang terkandung diantaranya sarana

untuk mencerminkan identitas daerah, menumbuhkan rasa bangga, dan

meningkatkan nilai mutu suatu daerah, sarana ruang evakuasi untuk keadaan

darurat, sebagai sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan, memperbaiki

iklim mikro hingga meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan dan tak

ketinggalan bermanfaat bagi meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan.

Manfaat yang lebih bernilai sosial seperti sebagai sarana rekreasi aktif dan pasif

(29)

4

dewasa dan manula. Bisa dibilang kebutuhan akan adanya ruang semacam ini di

kota-kota besar tak hanya sekedar perlu namun kebutuhan.2

Dalam kurun waktu 10 tahun sejak dilaksanakannya Rencana Umum Tata Ruang

DKI Jakarta 1999 - 2010 yang ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999,

tentang Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta, telah terjadi berbagai

perkembangan eksternal maupun internal yang sangat berpengaruh terhadap dinamika

perkembangan Jakarta.

Perkembangan ini telah berpengaruh pula kepada sistem dan struktur perekonomian,

sosial dan politik yang berakibat kepada perubahan fisik kotanya. Dari perkembangan

ini telah muncul nilai-nilai baru serta kebutuhan akan perubahan sistem dan struktur

dari yang sebelumnya. Mengingat wilayah Kota dan Kabupaten di Provinsi DKI

Jakarta bukan daerah otonom tetapi merupakan wilayah administratif, maka RTRW

DKI Jakarta meliputi Rencana Tata Ruang Provinsi dan Rencana Tata Ruang Kota.

RTRW DKI Jakarta ini, merupakan rencana umum tata ruang, dimana selanjutnya

perlu disusun Rencana rinci tata ruang yaitu rencana detail tata ruang untuk tingkat

kecamatan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar

penetapan peraturan zonasi. Peraturan zonasi sendiri, merupakan ketentuan yang

mengatur persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendalian disusun untuk

setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zona dalam rencana rinci tata ruang.

2

(30)

5

RTRW DKI Jakarta ini, akan menjadi pedoman untuk penyusunan rencana

pembangunan jangka panjang daerah; penyusunan rencana pembangunan jangka

menengah daerah, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di

wilayah provinsi, pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan

perkembangan antar wilayah, serta keserasian antarsektor; penetapan lokasi dan

fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional dan kawasan

strategis provinsi, kawasan khusus serta kawasan andalan kota, penataan ruang

wilayah kecamatan, dan koordinasi penataan ruang dengan provinsi/kota/kabupaten

yang berbatasan.

Rencana Struktur Ruang Provinsi yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem

jaringan prasarana dan utilitas, rencana pola ruang yang meliputi kawasan lindung

dan kawasan budidaya, kawasan-kawasan strategis provinsi, Rencana Tata Ruang

Kota/Kabupaten Adminsitrasi, arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang

berisi indikasi program utama, arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi

indikasi.3

Masih kurangnya persamaan persepsi tentang pengertian ruang terbuka hijau

sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan kerja sama dan kejelasan pembagian

wewenang dan kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing secara

lebih mendalam. Sebagai contoh, dilingkungan pemda DKI Jakarta, pada organisasi

Dinas Tata Bangunan DKI Jakarta (Perda Nomor 15 Tahun 1997) mempunyai

3

(31)

6

subdinas Bina Teknis Arsitektur Lingkungan, sementara pada organisasi Dinas

Pertamanan (Perda Nomor 7 Tahun 1997) mempunyai subdinas Teknis Taman Kota

dan Taman Rekreasi. Kedua-duanya mempunyai tugas dan wewenang yang hampir

bersamaan yakni menata ruang terbuka hijau kota.

Dari hasil kajian Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1982 tentang struktur organisasi

dinas pertamanan DKI Jakarta diketahui masih perlu disempurnakan, yaitu adanya

ketidakjelasan instansi pengelola rekreasi ruang luar, padahal rekreasi ruang luar

termasuk dalam bagian dari ruang terbuka hijau kota. Hal ini akan menyulitkan

pelaksanaan pengembangan dan pembinaannya.

Hal lain yang berkaitan dengan masalah kebijakan instansi pengelola ruang terbuka

hijau di tingkat kecamatan yang hingga saat ini ditemui adanya ketidak jelasan tugas

dan kewajiban aparat yang ada baik dari segi kualitas/kuantitas personil, padahal

wadah dan aparat dilingkungan ini merupakan ujung tombak sedangkan yang menjadi

masalah kelembagaan yakni belum tersedianya data pokok atau pusat informasi yang

dapat mengindentifikasi terjadinya perusakan lingkungan, terbatasnya sarana atau

peralatan untuk menyelidik dan mencari bukti adanya kerusakan ruang terbuka hijau,

belum serasinya kerjasama antar instansi dalam melaksanakan pembangunan ruang

terbuka hijau yang akibatnya banyak berpengaruh terhadap lingkungan, belum

adanya petunjuk teknis dari penjabaran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1

(32)

7

Pengelolaan-pengelolaan lahan memegang peran yang sangat penting sekali dalam

pembangunan kota, khususnya kota-kota besar yang mengalami pertumbuhan

ekonomi sangat cepat seperti kota Jakarta. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di

wilayah ini membawa dampak meningkatnya permintaan akan lahan, baik untuk

keperluan kegiatan swasta dan pemerintah. Kelemahan dan kendala bagi pemda DKI

Jakarta untuk membangun prasarana umum seperti ruang terbuka hijau, terbentur

pada ketidakmampuan untuk terlibat secara penuh dalam pembuatan pengelolaan

lahan perkotaan yang sangat kompleks.

Belum adanya model sistem informasi lahan, dan sistem informasi pemetaan yang

akurat yang dengan mudah dapat memonitor secara cepat beberapa jumlah ruang

terbuka hijau yang ada, beberapa jumlah yang terhapus, dan informasi lainnya yang

sangat diperlukan bagi pengambil keputusan serta kebutuhan informasi lainnya.

Sistem ini akan sangat diperlukan sekali untuk pengelolaan dari instansi-instansi yang

terkait mulai saat proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi dan

pengendaliannya dalam rangka pengambilan keputusan.

Adanya kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota yang ambivalen.

Disatu sisi mengakui kepentingan lingkungan hidup, namun disisi lainnya

menekankan pada pentingnya sektor perkembangan perekonomian. Para pembuat

keputusan menyakini bahwa pelaksanaan konsep keberlanjutan justru akan merusak

(33)

8

Oleh karena itu ketika harus memilih antara mempertahankan ruang terbuka hijau

atau memberikan izin pada pembangunan industri, maka yang terakhir biasanya

dimenangkan. Salah satu kasus adalah pembangunan jalan tol ke arah bandar udara,

yang merusak ruang terbuka hijau pantai utara Jakarta.

Berdasarkan hasil pra-riset penulis terhadap ketersediaan RTH di Jakarta sejauh ini

hanya berjumlah 18% secara keseluruhan baik RTH publik maupun RTH privat yang

terdiri dari taman bermain anak-anak, taman lapangan olahrga, jalur hijau, waduk dan

situ, sehingga dengan kondisi ini belum mencukupi angka minimal persentasi

ketersediaan RTH untuk Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Undang-Undang 26

Tahun 2007 Pasal 29 ayat (2). Kendala ini akan terus berjalan seiring dengan belum

sadarnya masyarakat akan arti penting dari RTH yang juga menyebabkan lahan RTH

kota dimanfaatkan dan dipergunakan secara tidak semestinya karena dirasa tidak

penting keberadaanya.4

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dalam bentuk skripsi dengan judul Pelaksanaan Pengaturan Penataan Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta.

4

(34)

9

1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

a. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau

berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 di DKI Jakarta.

b. Apa yang menjadi faktor penghambat Pemda DKI Jakarta dalam menerapkan

pengaturan Ruang Terbuka Hijau.

1.3 Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: merumuskan konsep penyediaan RTH di

provinsi DKI Jakarta, sedangkan sasaran yang ingin dicapai didalam

penelitian ini yaitu:

a. Mengetahui pengaturan dan pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau

berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana tata ruang

wilayah Provinsi DKI Jakarta 2030.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya

Pemprov DKI Jakarta dalam menerapkan kebijakan yang ada, guna

memenuhi ketersediaan Ruang terbuka hijau (RTH) di Provinsi DKI

(35)

10

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

A. Secara teoretis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan studi

Hukum Administrasi Negara khususnya mengenai Rencana Tata Ruang

Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk konsep penyediaan RTH di

Provinsi DKI Jakarta.

B. Secara Praktis

a. Memeberi masukan kepada pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk

lebih baik lagi dalam menerapkan kebijakan yang terkait terhadap

pentingnya pengembangan RTH di Provinsi DKI Jakarta.

b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat atas pentingnya peranan

mereka dalam mendukung kegiatan pemanfaatan ruang teerbuka hijau

(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindakan Hukum Pemerintah

Kemampuan anggaran daerah yang seringkali terbatas membuat kemampuan

membeli lahan-lahan baru di dalam kota yang cenderung naik , apalagi jika berada di

lokasi strategis, semakin sulit terwujud. Meningkatkan keyakinan kepada para jajara

pemerintah daerah dan anggota dewan legislatif akan pentingnya pengembangan

RTH (green policy) menentukan kelancaran penyediaan anggaran yang besar untuk

membangun RTH baru (green budget).

Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan DPRD terhadap lingkungan

dibuktikan dengan dicantumkannya target RTH 30 persen dalam RTRW setiap kota

di Indonesia. Pemerintah daerah harus melakukan peningkatan kesadaran aparat lintas

sektoral dalam pengembangan RTH.

Beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan pengembangan RTH kota

telah diberlakukan, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

Gedung, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya

(37)

12

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, serta

Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan

RTH dikawasan perkotaan.

Pemerintah daerah dan DPRD seharusnya menempatkan masalah RTH sebagai salah

satu isu penting dalam pembahasan anggaran dan program pembangunan yang

berkelanjutan. Prioritas anggaran program pengembangan RTH harus setara dengan

program transportasi masal dan prasarana pencegahan banjir agar kota tidak

mengalami bencana lingkungan, kemacetan, dan banjir. Untuk itu perlu didukung

pemerintah, pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat.

Perlu secepatnya mendorong lahirnya Peraturan daerah (Perda) tentang RTH agar

perencanaan pembangunan RTH memiliki kekuatan hukum yang jelas dan tegas .

Peraturan daerah menetapkan kawasan, area, maupun jalur/koridor hijau yang harus

dipreservasi untuk melindungi ekosistem, habitat satwa liar, dan biodiversitas agar

tidak berubah menjadi fungsi lain. selain itu perda juga menetapkan kawasan

konservasi sebagai peruntukan daerah hijau untuk pengamanan daerah rawan longsor,

pengamanan infrastruktur, fungsi fasum, budidaya pertanian, dan jalur hijau sungai,

situ, waduk, danau, tepian pantai, rawa-rawa sebagai daerah hijau alami.

Perlu insentif atau disentif (reward or punishment), jika terjadi prestasi atau

(38)

13

pengembangan RTH. Dan disarankan untuk pemerintah untuk membentuk tim audit

RTH untuk menjaga keberadaan dan pelaksanaan pengembangan RTH.5

Salah satu hal terpenting yang dimiliki oleh Undang-Undang Penataan Ruang

(UUPR) Nomor 26 Tahun 2007 dan tidak ditemukan dalam UUPR sebelumnya

adalah pemberian sanksi terhadap pelanggar tata ruang. Sanksi akan diberikan kepada

pengguna ruang yang melanggar peruntukan tata ruang. Terkait operasionalisasi

sanksi di daerah, saat ini masih belum efektif diberlakukan. Pelanggaran terhadap

penataan ruang sudah jelas diatur didalam pasal 62 dan 63 Undang-Undang Nomor

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Dimana dijelaskan pada pasal 62 bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud pada pasal 61 yaitu mengenai pemanfaatan ruang, akan

dikenakan sanksi administratif. Kemudian pasal 63 juga menerangkan lebih lanjut

lagi mengenai sanksi administratif yang diberlakukan atau yang dimaksud didalam

ketentuan pasal 62, yakni sanksi adminstratif yang dimaksud dalam pasal 62 dapat

Nirwono Joga dan Iwan Ismaun, RTH 30%! Resolusi (kota) Hijau, Jakarta , Gramedia Pustaka

(39)

14

f. Pembatalan izin

g. Pembongkaran bangunan

h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau

i. Denda administratif.

Tidak hanya sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran dalam

pemanfaatan ruang terdapat pula regulasi atau atauran mengenai sanksi pidananya.

Pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui tiga tingkatan.

Yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna yang sengaja

merubah peruntukan ruang, pidana 8 tahun dan denda 1,5 Milyar bagi pengguna yang

mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan bagi pelanggaran yang menimbulkan

korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda 5 Milyar.

"Sanksi-sanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam

Undang-Undang Penataan Ruang, khususnya Pasal 69 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang.6

2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Rencana Tata ruang

Otonomi daerah yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang pemerintahan Daerah adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung

jawab , namun dengan adanya keleluasaan tersebut bukan berarti semua urusan

diserahkan kepada daerah, tetapi ada sebagian urusan yang tidak diserahkan kepada

daerah, tetapi ada sebagian urusan yang tidak diserahkan kepada daerah. Hal ini

6

(40)

15

termaktub dalam ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah.

Artinya, tidak semua urusan diserahkan kepada daerah sesuai dengan asas

desentralisasi dan tugas pembantuan. Khusus mengenai rencana tata ruang, daerah

diberikan keleluasaan untuk melakukan rencana, pemanfaatan dan pengawasan

mengenai kebijakan tata ruang di daerahnya masing-masing.

Apabila melihat permasalahan yang ada, yaitu menegenai kewenangan pemerintah

daerah terhadap rencana tata ruang di daerah perbatasan, seharusnya pemerintah

daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi, masih memiliki kewenangan terhadap

kebijakan rencana tata ruang yang dibuat oleh kabupaten/kota. Untuk

permasalahan-permasalahan yang bersifat lintas administratif, pemerintah provinsi memiliki

kewenangan untuk menegeluarkan kebijakan sebagaimana mestinya.

Selain itu, untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang proporsional antara

pemerintah provinsi, kabupaten/kota terhadap permasalahan yang bersifat lintas

administratif atau daerah, perlu disusun suatu kriteria permasalahn yang meliputi

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan memepertimbangkan keserasian

hubungan pengelolaan urusan pemerintahan.7

Kriteria eksternalitas merupakan pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan memepertimbangankan damapak/akibat yang ditimbulkan dalam

7

Juniarso Ridwan , Hukum tata ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah, Bandung , Nuansa ,

(41)

16

penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulakn bersifat

lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenagan provinsi, dan apabila

bersifat nasional maka menjadi kewenangan pemerintahan pusat.

Sedangkan kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan

pemerintahan dengan dengan memepertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang

menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih

langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.

Sedangkan kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan

pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumberdaya (personal, dana

dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang

harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan.

Apabila kriteria eksternal, akuntabilitas, dan efisiensi dipakai dalam pelaksanaan

rencana tata ruang di daerah, maka dapat disimpulkan pemerintahan mana yang

paling dekat secara langsung dengan dampak/akibat yang ditimbulkan, maka

pemerintah tersebut yang paling berwenang. Meskipun demikian, dalam melakukan

kebijakan harus tetap memperhatikan kepentingan daerah-daerah lainya guna

terciptanya suatu keserasian dan keseimbangan serta adanya koordinasi pada

masing-masing daerah, sehingga akan terciptanya suatu masyarakat yang sejahtera, adil dan

berada pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.8

8

(42)

17

2.3 Tinjauan umum tentang Penataan Ruang dan Ruang terbuka hijau 2.3.1 Latar belakang penataan ruang kota

Pertumbuhan penduduk disuatu Negara menuntut pemerintahnya untuk mempu

menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hidup rakyatnya. Kewajiban

pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, terutama Negara yang

menganut paham welfare state, sebagaimana halnya Indonesia. Negara dituntut untuk

berperan lebih jauh dan melakukan campur tangan terhadap aspek-aspek pemenuhan

kebutuhan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Dengan

adanya suatu kewajiban tersebut, maka timbullah suatu pertanyaan , bagaimanakah

pemerintah dapat mengatur dan mengelola penggunaan dan pemanfaatan sumber

daya alam, baik itu darat, laut maupun udara yang tersedia, dengan selalu

memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang berbeda-beda ,

sehingga akan tercapai nya suatu tujuan Negara yaitu mensejahterakan

masyarakatnya.

Keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dalam usaha memacu pertumbuhan

yang mendukung pemerataan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi , diupayakan

sejalan dengan kemampuan alam Indonesia yang beraneka ragam dan kebutuhan

masyarakat yang semakin beranekaragam sekali, ekosistem yang terdapat di

Indonesia.

Selain itu juga permasalahan lain yang timbul yaitu pada sistem pemerintahan

Indonesia, dimana saat ini terjadi perubahan dengan terdistribusinya kewenangan

(43)

18

setelah diberlakukanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, dimana daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan

potensi sumber daya yang dimilikinya.

Agar dalam memahami permasalahn tersebut tidak keluar dari kerangka UUD 1945,

maka perlu kiranya kita kembali kepada pemikiran yang fundamental mengenai

tujuan dari negara Republik Indonesia yang tedapat didalam pembukaan UUD 1945,

yang berbunyi:

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia….”

Dalam mewujudkan tujuan Negara, khususnya untuk terciptanya suatu kesejahteraan

dan mencerdaskan kehidupan bangsa, berarti harus dapat melaksanakan

pembangunan dengan mengarahkan kepada substansi yang akan dituju secara terpadu

dan berdasarkan suatu perencaan yang cermat. Selain itu juga dalam melaksanakan

suatu perencanaan harus tetap berada pada kerangka peraturan perundang-undangan

yang berlaku dengan mengedepankan keserasian di antara daerah dan tetap berada

pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.9

9

(44)

19

2.3.2 Pengertian dan ruanglingkup Penataan Ruang

Luasnya cakupan perencanaan tata ruang mengarahkan penulis untuk

mengungkapkan pengertian dan konsep dasar yang terkandung di dalamnya.

Pengertian-pengertian yang tercakup kedalam konsep Penataan Ruang sebenarnya

sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang Namun demikian untuk dapat menambah khasanah, penulis akan

mengemukakan juga pengertian dan konsep dasar dari Penataan Ruang, baik menurut

peraturan perundang-undnagan maupun menurut para ahli.

2.3.2.1 Definisi Ruang

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

yang dimaksud dengan ruang adalah:

“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang

didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.”

Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan manusia, juga

sebagai sumberdaya alam merupakan salah satu karunia Tuhan kepada bangsa

Indonesia. Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu asset yang

harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara terkoordinasi,

terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lain sperti,

ekonomi, sosial, budaya, hankam, serta kelestarian lingkungan untuk mendorong

(45)

20

Selanjutnya, dalam keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah

No.327/KPTS/2002 tentang penetapan enam pedoman bidang Penataan Ruang, yang

dimaksud dengan ruang adalah :

“wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.”

Seperti yang telah diuraikan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,

yang menyatakan bahwa ruang terbagi kedalam beberapa kategori, yang diantaranya

adalah :

a. Ruang daratan adalah ruang yang terletak diatas dan di bawah permukaan

daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut

terendah.

b. Ruang lautan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut

dimulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah termasuk dasar laut dan

bagian bumi dibawahnya, dimana Negara Indonesia memiliki hak

yuridiksinya.

c. Ruang udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang

lautan sekitar wilayah Negara dan melakat pada bumi, dimana Negara

Indonesia memiliki hak yuridiksinya.10

10 Ibid

(46)

21

2.3.2.2 Definisi Tata Ruang

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

menjelaskan yang dimaksud dengan tata ruang adalah “wujud struktural ruang dan

pola ruang”. Adapun yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang

adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial,

lingkungan buatan yang secara hirarkis berhubungan satu dengan yang lainnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi,

sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah

perkotaan dan pedesaan, dimana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang

direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang yang

terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung dan lain-lain.

Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu pasal 1 angka 5 yang dimaksud

dengan penataan ruang adalah “suatu sistem proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”.11

2.3.2.3 Rencana Penataan Ruang

Perencanaan atau planning merupakan suatu proses, sedangkan hasilnya berupa

“rencana” (plan), dapat dipandang sebagai suatu bagian dari setiap kegiatan yang

lebih sekedar refleks yang berdasarkan perasaan semata. Tetapi yang penting,

perencanaan merupakan suatu komponen yang penting dalam setiap keputusan sosial,

setiap unit keluarga, kelompok, masyarakat, maupun pemerintah terlibat dalam

11

(47)

22

perencanaan pada saat membuat keputusan atau kebijakan-kebijakan untuk mengubah

sesuatu dalam dirinya atau lingkungannya.

Pada Negara hukum dewasa ini, suatu rencana tidak dapat dihilangkan dari hukum

administrasi. Rencana dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintahan,

misalnya dalam pengaturan tata ruang. Rencana merupakan keseluruhan tindakan

yang saling berkaitan dari tata usaha Negara yang mengupayakan terlaksananya

keadaan tertentu yang tertib (teratur). Rencana yang demikian itu dapat dihubungkan

dengan stelsel perizinan (misalkan suatu perizinan pembangunan akan ditolak oleh

karena tidak sesuai dengan rencana peruntukan).

Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, sehingga dapat dikatakan bahwa

perencanaan adalah sebuah species dari genus kebijaksanaan. Masalah perencanaan

berkaitan erat dengan perihal pengambilan keputusan serta pelaksanaannya.

Perencanaan dapat dikaitkan pula sebagai pemecahan masalah secara saling terkait

serta berpedoman kepada masa depan.

Saul M. Katz, mengemukakan alasan atau dasar dari diadakannya suatu perencanaan

adalah:

a. Dengan adanya suatu perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan

kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang

ditujukan kepada pencapaian suatu perkiraan.

b. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu perkiraan terhadap hal-hal

(48)

23

mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan, tetapi juga

mengenai hambatan-hambatan dajn risiko-risiko yang mungkin dihadapi,

dengan perencanaan mengusahakan agar ketidakpastian dapat dibatasi sedikit

mungkin.

c. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif

tentang cara atau kesempatan untuk memilih kombinasi terbaik.

d. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih

urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, saran-saran maupun kegiatan

usahanya.

e. Dengan adanya rencana, maka ada nada suatu alat pengukur atau standar

untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi.12

Dalam kamus tata ruang dikemukakan yang dimaksud dengan rencana Penataan

Ruang adalah “rekayasa atau metode pengaturan perkembangan tata ruang

dikemudian hari”. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana

Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan

Ruang yang dimaksud dengan Rencana Tata Ruang adalah “hasil perencanaan

struktur dan pola pemanfaatan ruang”.

Adapun yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan

unsur-unsur pembentukan lingkungan secara hirarkis dan saling berhubungan satu sama

lainnya.

12

(49)

24

Maksud diadakannya perencanaan tata ruang adalah untuk menyerasikan berbagai

kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat

dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi. Sedangkan tujuan diadakannya suatu

perencanaan tata ruang adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta

hubungan fungsionalnya yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan

sumber daya manusia, sehingga tercapainya hasil kualitas manusia dan kualitas

lingkungan hidup secara berkelanjutan.

Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan sistem yang tidak dapat

terpisahkan satu sama lainnya. Untuk menciptakan suatu penataan ruang yang serasi

harus memerlukan suatu peraturan perundang-undangan yang serasi pula diantara

peraturan pada tingkat tinggi sampai pada peraturan pada tingkat bawah, sehingga

terjadinya suatu koordinasi dalam penataan ruang.

Dalam klasifikasi perencanaan tata ruang dikenal adanya perencanaan tata ruang kota,

dan secara awam perencanaan tata ruang kota selalu diidentifikasikan ke dalam

perencanaan fisik semata, yakni gambaran dari perencanaan kota, taman, bangunan

perumahan, bangunan perkantoran dan lain sebagainya.

Namun dengan semakin pesatnya perkembangan zaman, perencanaan fisik sudah

tidak tepat lagi, oleh karena dalam proses pembentukan perencanaan kota tidak hanya

(50)

25

suatu perencanaan kota akan dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial,

lingkungan, ekonomi, hukum, politik dan permasalahan-permasalahan lainnya lagi.

Salah satu contoh adalah seorang perencanaan yang akan melakukan kegiatan

pembangunan pusat perbelanjaan, maka ia tidak hanya melakukan perencanaan

desain fisik sementara, akan tetapi ia harus melakukan pengoptimalisasian dari akibat

yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan, baik itu lingkungan hidupmaupun

lingkungan sosial masyarakat di sekitar.13

2.3.3 Ruang Terbuka Hijau

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang,

dengan luas RTH minimal 30 persen dari wilayah kota, RTH di samping berperan

membentuk struktur kota, juga harus tercermin dalam pola ruang kota. Fungsi

manfaat , klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan menjadi sangat

penting, karena fungsi dan manfaat RTH tidak dapat digantikan dengan unsur-unsur

ruang kota lainnya karena sifatnya yang alami.

Berbagai refrensi menunjukan bahwa RTH (green open space / green space)

merupakan lahan-lahan alami yang ada diwilayah perkotaan. Bentuk RTH yang

berupa fasilitas umum/publik, sebagai tempat beraktifitas, adalah taman kota, taman

pemakaman, lapangan olah raga, hutan kota dan lain-lain yang memerlukan area

lahan/peruntukan lahan hijau secara definitif.

13 Ibid

(51)

26

RTH yang ditanami tumbuhan jenis produktif, buah, dan pangan adalah sawah,

pertanian darat, dan pekarangan rumah yang memerlukan area lahan/peruntukan

lahan hijau pertanian secara definitif.

RTH jalur hijau yang bukan untuk ditanami pohon dalam mendukung fungsi

pengaman, peneduh, dan keindahan kota adalah jalur kereta api, tegangan tinggi,

sungai/tepian kali, situ, dan pantai (pengaman); dan jalur pinggir/median jalan kota

dan lingkungan (peneduh); dan jalur jalan, kavling bangunan kantor, industri,

perdagangan, dan lain-lain (keindahan kota).

Jadi RTH merupakan suatu lahan/kawasan yang mengandung unsur dan struktur

alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis, sperti pengendali pencemaran

udara, ameliorasi iklim, pengendali tata air, dan sebagainya. Unsur alami inilah yang

menjadi ciri RTH diwilayah perkotaan, baik unsur alami berupa tumbuh-tumbuhan

atau vegetasi, badan air, maupun unsur alami lainnya.14

2.3.4 Ruang terbuka non hijau

Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di kawasan

perkotaan RTNH adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk

dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras atau maupun yang berupa badan

air. Menurut Direktorat Penataan Ruang Nasional , Ruang Terbuka Non Hijau adalah

ruang yang secara fisik bukan berbentuk bangunan gedung dan tidak dominan

ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat berupa perkerasan, badan air

14

(52)

27

ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya badan lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur,

dan lain sebagainya).

Fungsi utama RTNH adalah fungsi Sosial Budaya, dimana antara lain dapat berperan

sebagai:

a. Wadah aktifitas sosial budaya masyarakat dalam wilayah kota atau kawasan

perkotaan terbagi dan terencana dengan baik;

b. pengungkapan ekspresi budayadan/atau kultur lokal;

c. merupakan media komunikasi warga kota;

d. tempat olahraga dan rekreasi;

e. wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.

Manfaat Ruang Terbuka Non Hijau secara langsung merupakan manfaat yang dalam

jangka pendek atau dapat dirasakan langsung manfaatnya seperti :

a. Berlangsungnya aktivitas masyarakat, seperti misalnya kegiatan olahraga,

kegiatan rekreasi, kegiatan parkir, dan lain-lain.

b. Keindahan dan kenyamanan, seperti misalnya penyediaan plasa, monumen,

landmark, dan lain sebagainya.

c. Keuntungan ekonomis, seperti misalnya retribusi parkir, sewa lapangan olahraga,

dan lain sebagainya.15

15

(53)

28

Kedudukan Ruang Terbuka Non Hijau di dalam Rencana Tata Ruang wilayah penting

adanya selain mengemban fungsi sekunder sebagai pelengkap keindahan kota , dalam

hal ini jika dilakukan pengelolaan dan perawatan dengan cara yang baik dan benar

akan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang keberadaan nya dapat

dimaksimalkan.

2.3.5 Ruang terbuka hijau privat

Yang dimaksud Ruang terbuka hijau privat adalah: RTH yang dimiliki institusi

tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas

antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang

ditanami oleh tumbuhan.16

2.3.6 Ruang terbuka hijau publik

Yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau publik adalah: RTH yang dimiliki dan

dikelola oleh pemerintah daerah kota / kabupaten yang diginakan untuk kepentingan

masyarakat secara umum.

Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota seluas minimal 20 (dua puluh)

persen dari luas wilayah kota, yang disediakan oleh pemerintah daerah kota

dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin

pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh

masyarakat. Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran

16

(54)

29

penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola

ruang.17

2.4 Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan

2.4.1 Pemanfaatan RTH pada Bangunan/Perumahan

RTH pada bangunan/ perumahan baik dipekarangan maupun halaman perkantoran,

pertokoan, dan tempat usaha berfungsi sebagai penghasil O2, peredam kebisingan,

dan penambah estetika suatu bangunan sehingga tampak asri, serta memberikan

keseimbangan dan keserasian antara bangunan dan lingkungan. Selain fungsi

tersebut, RTH dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan sebagi berikut:

a. RTH Pekarangan

Dalam rangka mengoptimalkan lahan pekarangan, maka RTH pekarangan

dapat dimanfaatkan untuk kegiatan atau kebutuhan lainnya. RTH pada rumah

dengan pekarangan luas dapat dimanfaatkan sebagai tempat utilitas tertentu

(sumur resapan) dan dapat juga dipakai untuk tempat menanam tanaman hias

dan tanaman produktif (yang dapat menghasilkan buah-buahan,sayur,dan

bunga). Untuk rumah dengan RTH pada lahan pekarangan yang tidak terlalu

luas atau sempit , RTH dapat dimanfaatkan pula untuk menanam tanaman

obat keluarga/apotik hidup, dan tanaman pot sehingga dapat menambah nilai

estetika sebuah rumah. Untuk efisiensi ruang, tanaman pot dimaksud dapat

diatur dalam susunan/bentuk vertikal.

17

(55)

30

b. RTH halaman perkantoran , pertokoan, dan tempat usaha

RTH pada halaman perkantoran ,pertokoan , dan tempat usaha, selain tempat

utilitas tertentu, dapat dimanfaatkan pula sebagai area parkir terbuka, carport,

dan tempat untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas di luar ruangan seperti

upacara,bazar,olah raga , dan lain-lain.18

2.4.2 Pemanfaatan RTH pada lingkungan / permukiman

RTH pada lingkungan/ permukiman dapat dioptimalkan fungsinya menurut jenis

RTH berikut:

a. RTH Taman Rukun Tetangga

Taman Rukun Tetangga (RT) dapat dimanfaatkan penduduk sebagai tempat

melakukan berbagai kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Untuk

mendukung aktivitas penduduk dilingkungan tersebut, fasilitas yang harus

disediakan minimal bangku taman dan fasilitas mainan anak-anak. Selain

sebagi tempat untuk melakukan aktifitas sosial, RTH taman rukun tetangga

dapat pula dimanfaatkan sebagai suatu community garden dengan menanam

tanaman obat keluarga/ apotik hidup, sayur, dan buah-buahan yang dapat

dimanfaatkan oleh warga.19

b. RTH Rukun Warga

RTH rukun warga (RW) dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan remaja,

kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan sosial lainnya di lingkungan RW

tersebut. Fasilitas yang disediakan berupa lapangan untuk berbagai kegiatan,

18Ibid.,

hlm.47

19

(56)

31

baik olahraga maupun aktifitas lainnya, beberapa unit bangku taman yang

dipasang secara berkelompok sebagai sarana berkomunikasi dan bersosialisasi

antar warga, dan beberapa jenis bangunan permainan anak yang tahan dan

aman untuk dipakai pula oleh anak remaja.

c. RTH Kelurahan

RTH Kelurahan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan penduduk dalam

satu kelurahan. Taman ini dapat berupa taman aktif, dengan fasilitas utama

lapangan olahraga (serbaguna), dengan jalur trek lari di seputarnya, atau dapat

berupa taman pasif, dimana aktifitas utamanya adalah kegiatan yang lebih

bersifat pasif, misalnya duduk atau bersantai, sehingga lebih di dominasi oleh

ruang hijau dengan pohon tahuna.

d. RTH Kecamatan

RTH kecamatan dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk melakukan

berbagai aktifitas didalam satu kecamatan. Taman ini dapat berupa taman

aktif dengan fasilitas utama lapangan olahraga, dengan jalur trek lari

diseputarnya, atau dapat berupa taman pasif untuk kegiatan yang lebih bersifat

pasif, sehinngga lebih di dominasi oleh ruang hijau.20

20

(57)

32

2.5 Peran serta masyarakat dan lembaga/badan hukum dalam mengelola RTH 2.5.1 Peran serta masyarakat

Untuk mewujudkan RTH kota minimal 30 persen dari luas kota sesuai amanat

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka partisispasi

masyarakat sangat diperlukan.

Hal ini merupakan pergeseran model pembangunan kota dari tanggung jawab

pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi tanggung jawab bersama berbagai

pihak, baik pemerintah maupun masyarakat (shareholders).

Keikutsertaan masyarakat dalam penyediaan dan penataan RTH menjadi hal penting

karena pada kenyataannya sebagian besar lahan hijau berada di bawah kepemilikan

masyarakat dan swasta (RTH privat).

Dari data yang ada, lahan Jakarta yang belum/tidak terbangun (tahun 2008), seperti

hijau halaman/pekarangan, kebun, sawah, dan lahan-lahan kosong yang dapat

dikatakan sebagai potensi RTH kota sebesar 23,59 persen, merupakan lahan milik

masyarakat dan pengembang (developer).

Untuk mengantisipasi perubahan lahan, yaitu konversi lahan hijau/alami menjadi lahan

terbangun, perlu penerapan KDH secara sadar oleh masyarakat dalam pengembangan

RTH dapat berupa penyuluhan dan pengembang. Artinya, masyarakat mempunyai

(58)

33

Program partisipasi masyarakat dalam pengembangan RTH dapat berupa

penyuluhan dan pembinaan, untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman

masyarakat terhadap arti penting eksistensi RTH dalam meningkatkan kualitas

lingkungan hidup dan kehidupan mereka; penyebar luasan fungsi dan manfaat RTH

di media massa cetak dan elektronik; pelibatan masyarakat dan swasta dalam

program pengembangan RTH; dan pelibatan institusi pendidikan: program sekolah

hijau (green school) atau kampus hijau (green campus).

Program partisipasi masyarakat bertujuan menyadarkan masyarakat luas agar

memahami pentingnya RTH dalam meningkatkan kualitas lingkungan, mengubah

gaya hidup masyarakat menjadi sadar lingkungan, dan mengarahkan masyarakat

berwawasan lingkungan menuju masyarakat berwawasan ekologis. Pada akhirnya,

pencapaian kuantitas RTH kota minimal 30 persen dapat terwujud karena adanya

dukungan dan partisipasi masyarakat.21

Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan upaya

melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik

pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan

untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memeberikan kesempatan akses

dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang

yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang

oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH, dengan prinsip:

21

(59)

34

a. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam

proses pembangunan ruang-ruang terbuka hijau;

b. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pembangunan

Ruang Terbuka Hijau;

c. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal

dan keberagaman sosial budayanya;

d. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;

e. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap professional.

Mengenai peran masyarakat, swasta dan badan hukum dalam penyediaan RTH

publik meliputi penyediaan lahan, pembangunan dan pemeliharaan RTH. Peran

dalam penyediaan RTH ini dapat berupa:

a. Pengalihan hak kepemilikan lahan dari lahan privat menjadi RTH publik

(hibah);

b. Menyerahkan penggunaan lahan privat untuk digunakan sebagai RTH publik;

c. Membiayai pembangunan RTH publik;

d. Membiayai pemeliharaan RTH publik;

e. Mengawasi pemanfaatan RTH publik;

f. Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH publik dalam peningkatan

kualitas dan keamanan lingkungan, sarana interaksi sosial serta mitigasi

(60)

35

2.5.2 Peran lembaga/ Badan Hukum

Lembaga atau badan hukum yang dimaksud merupakan organisasi non pemerintah,

atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping,

menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka

mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat

serta akses masyarakat ke sumber daya.

Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan

organisasi non-pemerintah antara lain:

a. Membentuk sistem mediasi fasilitasi antara pemerintah, masyarakat dan

swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi

pembangunan Ruang Terbuka Hijau;

b. Menyelengarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan pendapat atau

kepentingan antara pihak yang terlibat;

c. Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan penjelasan

mengenai proses kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta

mengenai proses pengajuan keluhan dan penyelesaian konflik yang terjadi;

d. Mendorong dan/atau menfasilitasi proses pembelajaran masyarakat untuk

memecahkan masalah yang berhubungan dengan penyusunan RTH

perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa pemberian pelatihan kepada

masyarakat dan/atau yang terkait dalam pembangunan ruang terbuka hijau,

(61)

36

e. Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang memungkinkan

masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses pemanfaatan ruang secara

proporsional, adil dan bertanggung jawab. Dengan membentuk badan atau

lembaga bersama antara pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta

untuk aktif melakukan mediasi;

f. Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan dan

disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa pengecualian.22

Organisasi yang memiliki peran dan posisi penting dalam mempengaruhi,

menyusun, melaksanakan, mengawasi kebijakan Ruang Terbuka Hijau kota, antara

lain:

a. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

b. Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi)

c. Sarekat Hijau Indonesia (SHI)

d. Komunitas peduli lingkungan ( KPL)

e. Asosiasi profesi

f. CSR (Corporate Social Responsibility)

g. PPP ( Public Private Partnership)

h. Partai politik

Salah satu upaya dalam pengelolaan RTH di wilayah perkotaan adalah membentuk

Mitra RTH, sebuah institusi, lembaga, atau paguyuban yang dibentuk oleh dan untuk

22

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kuisioner tentang pentingnya materi hidolisis amilum enzimatis dan non-enzimatis, serta materi hidrolisis sukrosa enzimatis dan non enzimatis menunjukkan bahwa

[r]

Perubahan arah perpindahan dari stasiun pengamatan terletak di bagian utara pulau Sumatera, yang disebabkan oleh gempa bumi Aceh yang terjadi pada bulan Desember 2004

Dalam penelitian ini gempa yang terjadi pada tanggal 11 April 2012 dijadikan subjek untuk melihat pergeseran salah satu stasiun SuGAr (UMLH) yang terletak di Provinsi

Penelitian ini hanya dilakukan pada salah satu variabel yang mempengaruhi keputusan pembelian, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengukur

Sebagai Warga Negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.[4] Penyandang cacat adalah setiap orang

menjadi kota pariwisata kuliner susu, hal tersebut dikarenakan Sapi perah merupakan salah satu komoditas unggulan di kabupaten Boyolali.Pengembangan Eksistensi kota

Tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 diperoleh tingkat efektivitas penerimaan retribusi persampahan/kebersihan masih tergolong rendah dan tidak efektif, pemerintah