• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ILHAM DUNOVAN 090200490

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

TANGGUNG JAWAB NEGARA INDONESIA SELAKU NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA KOLONG (GSO)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

ILHAM DUNOVAN 090200490

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum Sutiarnoto, SH., M.Hum NIP. 195612101986012001 NIP. 195610101986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB NEGARA INDONESIA SELAKU NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA KOLONG (GSO)

Indonesia sebagai negara katulistiwa dengan jalur geostationer orbit terpanjang di dunia mempunyai kepentingan nasional yang sangat besar, termasuk resiko dari penempatan satelit di orbit ini seperti kegiatan mata-mata (spionase) yang dilakukan oleh negara lain atas wilayah kedaulatan Indonesia. Orbit Geostasioner merupakan orbit sinkron di atas katulistiwa pada ketinggian kurang lebih 36.000 km, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan tampak statis terhadap suatu titik dipermukaan bumi.

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana Kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum Internasional. Bagaimana Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong) dan Bagaimana sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum Internasional, secara yuridis, GSO oleh negara-negara dewasa ini masih mendasarkan diri pada prinsip ketentuan yang terkandung dalam Space Treaty 1967 artikel II. Walaupun pada artikel tersebut dikatakan bahwa ruang angkasa yang termasuk pula GSO karena berada dalam hampa udara, juga bulan dan benda-benda langit lainnya tidak boleh dijadikan sebagai objek pemilikan nasional dengan jalan klaim kedaulatan terhadap objek tersebut. Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong), Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datiang dari luar maupun dari dalam; Tercipta dan terpeliharanya stabilitas nasional, serta terjadinya stabilitas regional dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional Indonesia dan Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi serta keadilan sosial. Sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa, setelah ditetapkan bahwa ruang angkasa itu bebas untuk penyelidikan dan pemakaian oleh semua Negara, suatu prinsip telah diterima oleh semua masyarakat hukum yang ada hubungannya dengan hak memasuki ruang angkasa.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan

judul

TANGGUNG JAWAB NEGARA INDONESIA SELAKU

NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA KOLONG

(GSO)

. Salah

satu salah persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Ibu Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Sutiarnoto, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua orang tua ayahanda dan serta keluarga penulis yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

9. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Januari 2015 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 24

A. Sejarah Negara Kolong ... 24

B. Pengertian Negara Kolong (GSO) ... 27

C. Kedudukan Indonesia sebagai Negara Kolong dalam Hukum Internasional ... 30

BAB III SISTEM HUKUM DI RUANG ANGKASA DAN PERBATASAN WILAYAH RUANG ANGKASA ... 36

A. Sejarah Hukum Udara dan Ruang Angkasa ... 36

B. Prinsip-prinsip Hukum Udara dan Ruang Angkasa ... 44

(7)

BAB IV KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA GSO

(NEGARA KOLONG). ... 64

A. Sistem Hukum Ruang Angkasa dan Perbatasan Wilayah Ruang Angkasa ... 64

B. Pemanfaatan Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong ... 71

C. Tanggung jawab Indonesia selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong dalam Hukum Internasional ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 87

(8)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB NEGARA INDONESIA SELAKU NEGARA KHATULISTIWA DAN NEGARA KOLONG (GSO)

Indonesia sebagai negara katulistiwa dengan jalur geostationer orbit terpanjang di dunia mempunyai kepentingan nasional yang sangat besar, termasuk resiko dari penempatan satelit di orbit ini seperti kegiatan mata-mata (spionase) yang dilakukan oleh negara lain atas wilayah kedaulatan Indonesia. Orbit Geostasioner merupakan orbit sinkron di atas katulistiwa pada ketinggian kurang lebih 36.000 km, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan tampak statis terhadap suatu titik dipermukaan bumi.

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana Kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum Internasional. Bagaimana Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong) dan Bagaimana sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum Internasional, secara yuridis, GSO oleh negara-negara dewasa ini masih mendasarkan diri pada prinsip ketentuan yang terkandung dalam Space Treaty 1967 artikel II. Walaupun pada artikel tersebut dikatakan bahwa ruang angkasa yang termasuk pula GSO karena berada dalam hampa udara, juga bulan dan benda-benda langit lainnya tidak boleh dijadikan sebagai objek pemilikan nasional dengan jalan klaim kedaulatan terhadap objek tersebut. Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong), Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datiang dari luar maupun dari dalam; Tercipta dan terpeliharanya stabilitas nasional, serta terjadinya stabilitas regional dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional Indonesia dan Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi serta keadilan sosial. Sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa, setelah ditetapkan bahwa ruang angkasa itu bebas untuk penyelidikan dan pemakaian oleh semua Negara, suatu prinsip telah diterima oleh semua masyarakat hukum yang ada hubungannya dengan hak memasuki ruang angkasa.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). Penempatan satelit di wilayah GSO oleh negara-negara dengan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai sarana telekomunikasi, pemantauan lingkungan, dan cuaca. Namun seringkali penempatan satelit di orbit ini tidak dimanfaatkan sebagai mana mestinya. Penggunaan satelit mata-mata merupakan pemanfaatan satelit untuk tujuan tidak damai, penginderaan jarak jauh tanpa izin dari negara yang diindera atas data sumber-sumber alam dan siaran langsung melalui satelit dengan tujuan untuk propaganda adalah kegiatan-kegiatan dari pemanfaatan satelit yang bisa melanggar hak-hak prerogatif negara berdaulat.1

Indonesia sebagai negara khatulistiwa dengan jalur geostationer orbit terpanjang di dunia mempunyai kepentingan nasional yang sangat besar, termasuk resiko dari penempatan satelit di orbit ini seperti kegiatan mata-mata (spionase) yang dilakukan oleh negara lain atas wilayah kedaulatan Indonesia. Orbit Geostasioner merupakan orbit sinkron di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang lebih 36.000 km, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan tampak statis

1

(10)

terhadap suatu titik dipermukaan bumi.2 Dengan karakteristiknya tersebut GSO mempunyai nilai ekonomis dan strategis yang sangat penting bagi semua negara. Apalagi mengingat kenyataan bahwa GSO merupakan sumber daya alam yang terbatas (limited natural resources). Sehingga tidak mengherankan bila semua negara di dunia, baik itu negara berkembang atau negara maju berlomba -lomba untuk memanfaatkan wilayah ini untuk kepentingan nasionalnya.3

Salah satu bagian khusus yang termasuk di dalam wilayah udara dan ruang angkasa Indonesia itu adalah suatu kawasan yang disebut sebagai Geo Stationary Orbit (GSO). Adapun GSO ini adalah merupakan suatu kawasan terbatas yang terletak di sekitar garis khatulistiwa (Equator), dan hanya “dimiliki” oleh beberapa negara saja yang wilayah udaranya tepat berada di bawah kawasan GSO. Dan hanya di dalam kawasan GSO inilah dapat diletakkan posisi dari satelit-satelit agar dapat tetap pada orbitnya guna melakukan suatu fungsi tertentu.

Adanya prinsip “Common Heritage of Mankind” (Warisan bagi Seluruh

Manusia) dan “First Come First Served” (Kebebasan Mengeksploitasi.4 di dalam

pemanfaatan ruang angkasa, secara khusus mengenai kawasan GSO, membuat negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi secara berlomba-lomba ingin menguasai pemanfaatan kawasan GSO yang sifatnya terbatas tadi. Hal ini menimbulkan suatu ketidakadilan bagi negara-negara lain yang belum lagi memiliki kemampuan dalam usaha pemanfaatan wilayah udara dan ruang angkasa, khususnya GSO tersebut.

2

Supancana, I.B. dalam Seminar Aspek Regulasi Dalam Pemanfaatan Orbit Khususnya Orbit Geostationer Dan Kaitannya Dengan Kepentingan Indonesia, Bandung, 1994, hal 1-2

3

(11)

Pengaturan Geostasioner Orbit tidak diatur secara khusus dalam Space Treaty 1967 maupun konvensi-konvensi internasional lain. Letak GSO yang berada di wilayah ruang angkasa maka pengaturannya berlaku Space Treaty 1967. Dengan demikian setiap negara bisa memanfaatkan wilayah ini tanpa diskriminasi dan penguasaan secara nasional dilarang. Pasal 2 Space Treaty ”Outer space, including the moon and other celestial bodies, is not subject to national

appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any

other means”. Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya,

bukan merupakan subjek yang dapat dimiliki dengan suatu klaim kedaulatan, dengan cara apapun termasuk dengan penundukan, atau dengan cara lain. Berdasarkan ketentuan ini ruang angkasa merupakan wilayah bebas yang tidak berada dibawah kedaulatan negara, sama halnya seperti laut bebas.

(12)

landasan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih negara sebagai salah satu subjek Hukum Internasional yang telah diakui keberadaannya. Dalam bukunya yang berjudul, “An Introduction to International Law”, J. G. Starke memberikan

definisi Hukum Internasional sebagai berikut: “Adapun Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lain.5

Seorang sarjana hukum Belanda yang sangat terkenal terutama dalam Hukum Internasional, Grotius (Hugo de Groot: 1583-1645) menulis secara sistematis tentang kebijaksanaan perang dan damai dalam bukunya, “De Jure Belli

ac Pacis” (The Law of War and Peace = Perihal Hukum Perang dan Damai), membahas mengenai kebiasaan-kebiasaan (customs) yang diikuti negara-negara dari zamannya. Ia juga memperkenalkan beberapa doktrin Hukum Internasional, misal doktrin “Hukum Kodrat” (Law of Nature) yang menjadi sumber dari

Hukum Internasional itu di samping kebiasaan dan traktat. Dan hubungan dengan karangannya ini, maka Grotius dianggap sebagai “Bapak dari Hukum Internasional” (Father of The Law of Nations).6

Berdasarkan uraian di atas merasa tertarik memilih judul Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa Dan Negara Kolong (GSO)

5

J. G. Starke, An Introduction to International Law , 1999, hal 87

6

(13)

I. Perumusan Masalah

Dari beberapa penjelasan yang telah diberikan sebelumnya di dalam tulisan ini, maka mengangkat beberapa permasalahan yang terjadi yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana Kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum Internasional?

2. Bagaimana Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO (Negara Kolong)?

3. Bagaimana sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa?

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum Internasional

b. Untuk mengetahui Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa Dan Negara GSO (Negara Kolong)

c. Untuk mengetahui sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang angkasa

2. Manfaat Penelitian a. Secara teoritis

(14)

Angkasa. Berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa.

b. Secara praktis

Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru.

K. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO) belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang mirip yang penulis temukan adalah :

1. Reni Amalia, NIM 96200109 dengan judul Tinjauan Hukum Internasional terhadap Prinsip Common Heritage of Mankind pada Geostasioner Orbit 2. (GSO).

3. Hisbullah Huda, NIM 990200023 dengan judul Kedudukan GSO (Geostationary Orbit) dan Implikasinya terhadap Kedaulatan Suatu Negara. 4. Johannes R. Ritonga, NIM 990222024 dengan judul Aspek Pemanfaat

(15)

L. Tinjauan Pustaka

1. Prinsip Lahirnya Pengaturan Ruang Angkasa

Mengantisipasi perkembangan aktivitas komersialisasi ruang angkasa yang kompleks, berbagai istilah dan prinsip yang dimuat dalam Space Treaty 1967 harus mendapat klarifikasi yang tepat dan akurat. Pengunaan istilah dan penerapan prinsip yang kurang tepat kadang dianggap sebagai hal yang kurang penting bahkan usaha pembahasannya malah akan menimbulkan suatu perdebatan. Tetapi jika dibiarkan berlarut, arti yang sebenarnya akan menjalin semakin samar dan pada akhirnya ketidaktepatan atau kurang akuratnya arti suatu istilah dan prinsip akan menimbulkan kebingungan dalam memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum ruang angkasa internasional.

Beberapa perjanjian internasional muncul istilah peaceful purpose sebelum adanya Space treaty 1967, dan diartikan sebagai lawan kata dari kata “Militer”. Space treaty 1967 mengartikan bahwa ruang angkasa di gunakan hanya untuk tujuan-tujuan damai dalam arti ‘non militer’.7

Dalam prakteknya, Uni Soviet dan amerika Serikat bahkan memberikan penjelasan tentang arti ‘damai’ yang berbeda

pula. Soviet menyatakan bahwa segala aktivitas ruang angkasanya termasuk pemakaian satelit pengintai militer, bersifat damai dan menyangkal melakukan aktivitas illegal seperti memata-matai dari ruang angkasa. Semua satelitnya dikatakan bagi tujuan riset ilmiah. Amerika mengartikan damai sebagai ‘non -agresif’. Penerbangan di atas wilayah negara lain, walaupun sebenarnya tindakan

mata-mata, dinyatakan sebagai ‘pengawasan udara’ dan tujuan-tujan damai dan

7

(16)

satelit pengintaian militer berfungsi menjaga keamanan (peace-keeping). Dengan alasan-alasan tersebut, Uni Soviet dan Amerika Serikat menyakinkan dan mempengaruhi dunia bahwa aktivitas ruang angkasa mereka bertujuan damai.

Space Treaty 1967 tidak menyatakan suatu kewajiban bagi Negara-negara pesertanya untuk mempergunakan seluruh ruang angkasanya bagi tujuan-tujuan damai. Peaceful purpose ini dikaitkan dengan ‘eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa’. Dan pada ketentuan yang membatasi penggunaan bagian ruang angkasa

semata-mata untuk peaceful purpose, yakni Pasal 4 ayat 2, secara jelas dan eksplisit dikatakan bahwa, “The moon and other celestial bodies shall be used by

the States Parties to the treaty exclusively for peaceful purpose’ (Bulan dan benda

langit lainnya harus digunakan oleh negara pihak pada perjanjian internasional secara eksklusif untuk tujuan damai).

Retrikei ini tidak berlaku bagi Pasal ayat 4 ayat (1) Space Treaty 1967, yakni bagi ruang kosong yang berada diantara semua benda-benda langit. Space Treaty 1967, dalam permasalahan ‘militer’, menciptakan dua zona di ruang angkasa yang diatur oleh regin hukum yang berbeda; (1) bulan dan benda -benda langit lainnya secara total didemiliterisasi parsial.8

Berdasarkan kedua ayat (1) dari Pasal 4 Space Treaty 1967 ini, diruang angkasa (open space) negara-negara dapt secara bebas menempatkan objek-objek ruang angkasa militer, apapun jenisnya dan berapapun jumlahnya, termasuk pula satelit pengintai, satelit komunikasi, serta senjata-senjata yang bersifat defensive atau ofensif, sepanjang senjata-senjata tersebut bukanlah senjata nuklir dan senjata

(17)

perusak missal. Karena aktivitas ini dapat dilakukan secara komersial, maka klarifikasi arti dan lingkungan penerapan ‘peaceful purpose’ di ruang angkasa melalui suatu persetujuan internasional merupakan suatu hal penting bagi perkembangan komersialisasi ruang angkasa. Bila tidak ada klarifikasi, suatu aktivitas semacam itu dapat secara tiba-tiba dan tanpa dasar yang jelas dianggap sebagai pelanggaran hukum karena dinilai bukan untuk “tujuan-tujuan damai “.

Dengan demikian yang dimaksud dengan peaceful proposes” adalah proyek-proyek sipil, yaitu non militer.

Ada beberapa istilah satelit dan satelit artificial, kemudian istilah stasiun, instalasi, konstruksi, perlengkapan, fasilitas dan sebagainya yang dikaitkan dengan bulan dan benda-benda langit. Istilah dan gagasan terkait di atas tidak segera diklarifikasi dan didefenisikan, dan kemudian penggunaannya dinekukan, maka akan timbul kekacauan. Pertambahan intensitas dan kualitas aktivitas ruang angkasa terutama di bidang komersial yang tidak diikuti kejelasan arti objek ruang angkasa, yang merupakan materi fisik primer yang selalu terlibat dalam tiap kegiatan ruang angkasa, akan menimbulkan ketidaksesuaian dan kerenggngan antara peraturan dengan pelaksanaan tersebut.

(18)

Treaty 1967, yurisdiksi kuasi-teritorial ini nampaknya dilandasakan pada registrsi atau pendaftaran objek ruang angkasa.9

Istilah objek ruang angkasa atau space object dapat dianggap yang paling komperehensip walau sejauh ini, secara resmi tidak ada defenisi objek ruang angkasa, serta bila mana suatu objek dimulai dan berhenti memenuhi syarat sebagai suatu objek ruang angkasa. Pasal 1 Registration Convention 1975 hanya menyebutkan bahwa istilah ‘objek ruang angkasa’ mencakup pula bagian-bagian

komponen suatu objek ruang angkasa dan wahana peluncurnya beserta bagian-bagiannya. Dua elemen lain yang ditambahkan Pasal 2 Registration Convention 1975 bahwa suatu objek ruang angkasa (1) ‘launched into earth orbit or beyond’, dan (2) wajib didaftarkan; satu-satunya kewajiban yang dipersyaratkan bagi objek ruang angkasa. Objek-objek ruang angkasa yang tidak diluncurkan ke dalam orbit bumi atau melampaui orbit bumi, tidak wajib didaftarkan. Hal ini secara tidak langsung mengangkat kembali masalah delimitasi ruang angkasa.

Kewajiban pendaftaran bagi objek ruang angkasa mempunyai arti penting karena registrasi, selain memberikan tanda kebangsaan bagi objek ruang angkasa, juga menimbulkan ikatan yurisdiksi dengan negara tempatnya terdaftar dan merupakan titik taut antara tanggung jawab negara dengan objek ruang angkasa. Jika suatu objek ruang angkasa, misalnya satelit, telah habis masa fungsinya, maka objek tersebut akan menjadi suatu debris atau puing. Apakah ikatan yuridis tersebut masih dipertahankan ‘atau karena sudah tidak berfungsi lagi maka

dianggap sebagai benda tak bertuan (res derelictae) Melalui teknologi maju saat

(19)

ini suatu debris satelit dapat diperbaiki di ruang angkasa untuk kemudian ditempatkan kembali pada orbitnya dan dioperasikan secara normal. Alternatif ini sangat menguntungkan dan dapat dikomersialkan karena biaya yang diperlukan jauh lebih sedikit dibandingkan mengusahakan satelit baru yang diluncurkan dari bumi. Jika aktivitas komersial semacam ini berkembang, maka perubahan registrasi atas objeknya tersebut sangatmungkin terjadi. Bagi kepentingan semua pihak yang terlibat, objek-objek ruang angkasa ini harus diatur lebih lanjut.

Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 8 Space Treaty 1967 nampaknya mengaitkan yurisdiksi kepada pendaftaran objek ruang angkasa. Negara tempat objek itu terdaftar (State Registry) memegang yurisdiksi dan kontrol atau objek yang bersangkutan ketika objek itu berada di ruang angkasa atau pada suatu benda langit. Yurisdiksi dan control tersebut tetap ada baik sebelum objek itu memasuki ruang angkasa maupun setelah objek itu kembali ke bumi.

(20)

Dari segi historis, yurisdiksi dan kontrol atas objek ruang angkasa disebutkan dalam Pasal 8 Space Treaty 1967, sedangkan pendaftaran objek ruang angkasa baru dirumuskan tahun 1975 melalui Registration Convention 1875, antara tahun 1967 sampai dengan 1975 telah disepakati 2 perjanjian internasional lain, yaitu Rescue Agreement tahun 1968 dan Liability Convention tahun 1972, dimana keduanya tidak membuat acuan tentan gpendaftaran. Menyangkut yurisdiksi dan kontrol, kedua perjanjian itu menempatkan kewenangan atau objek ruang angkasa pada launching authority serta launching state, Rescue Agreement 1968 menyatakan “launching authority”, yaitu Negara ataupun suatu organisasi internasional tentunya yang ‘bertanggung jawab atau peluncuran’ objekruang

angkasa. Liability Convention 1972 Pasal 1 butir c eksplisit mendefenisikan “launching state” sebagai:10

a. A state launches or procures the launching of a space object (Sebuah negara meluncurkan atau pengadaan peluncuran benda antariksa)

b. State from territory of facility a space object is launched (Negara dari wilayah fasilitas benda antariksa diluncurkan)

Melalui Registration Convention 1975, yang sudah diteriam secara luas, nampaknya State of Registry dapat dijadikan patokan yang paling mudah bahkan satu-satunya faktor penghubung antara objek ruang angkasa dengan yurisdiksi dan kontrol. Namun, pendaftaran dan yurisdiksi tidak selalu dapat diletakkan bersama. Hal ini tampak bila mana objek ruang angkasa diluncurkan bersama-sama oleh beberapa Negara, baik secara langsung dan tidak langsung, malalui ataupun

(21)

bersama dengan suatu organisasi internasional . Pasal 2 registration Convention 1975 mengatur bahwa objek ruang angkasa itu harus didaftarkan pada sala h satu negara diantara negara-negara yang terlibat. Kemudian Negara-negara tersebut boleh membuat yurisdiksi dan control atau objek ruang angkasa serta personel yang berada di dalamnya.11

Pasal 2 Registration Convention 1975 memberikan kemudahan dan jalan penyelesaian tentang pendaftaran bila lebih dari satu Negara yang terlibat. Tetapi di pihak lain dan dikaitkan dengan Pasal 8 Space Treaty 1967 timbul keraguan, karena, sepanjang objek tersebut telah didaftarkan maka Negara-negara yang terlibat telah mempunyai keleluasan untuk merubah hubungan antar pendaftaran danyurisdiksi. Dalam praktek, jika dalam Negara-negara tanpa ada aturan yang dapat mencegah diijinkan untuk secara leluasa membuat pengaturan alternative, maka bila terjadi suatu masalah akan timbul ketidakpastian mengenai negara mana yang sebenarnya melaksanakan yurisdiksi dan control atas suatu objek ruang angkasa beserta segala konsekuensinya, seperti misalnya hukum Negara mana yang berlaku dan diterapkan bagi objek ruang angkasa itu. Registration Convention 1975 bahkan tidak mengharuskan persetujuan tersebut dilaporkan kepada PBB dan dicatat dalam registrasinya.

Klasifikasi dan pengaturan mengenai pendaftaran bagi objek ruang angksa masih perlu dijabarkan lebih tegas untuk dapat secara pasti mengaitkan yurisdiksi dan kontrol atas objek ruang angksa pada registrasi. Hal ini bagi para pihak yang terlibat dalam aktivitas komersial ruang angksa merupakan kepentingan praktis,

11

(22)

karena antara lain, yurisdiksi bertalian langsung dengan penentuan sistem hukum yang berlaku.

Hukum internasional membagi wilayah dunia dalam 3 kategori tradisional, yakni:

1. Wilayah Nasional, dimana wilayah ini negara berwenang menerapkan kedaulatannya secara penuh dan eksklusif.

2. Teritorium Nullius atau disebut juga sebagai “no-man’s land”, yaitu wilayah yang tidak merupakan milik dari Negara manapun, tetapi dapat diajdikan pemilikan dari Negara –negara menurut aturan hukum internasional.

3. Territorium Extra Commercium atau “territory outside commerce”, yaitu wilayah yang tidak merupakan milik negara manapun menurut hukum internasional wilayah ini tidak dapat dijadikan objek pemilik (not subject to appropriation) oleh Negara-negara manapun warga negaranya, anamun sumber-sumber alamnya boleh dimiliki. Sesuai dengan Pasal 2 Space Treaty 1967, ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya tergolong dalam kategori ini.

(23)

11 bahwa,”The moon an its natural resources are the commond heritage of mindkind…

Keabsahan suatu tindakan menurut hukum internasional tidak ditentukan dari sifat (nature) tindakan itu, melainkan pada dimana tindakan tersebut terjadi. Dalam wilayah nasional suatu negara, keabsahan suatu tindakan ditentukan oleh hukum Negara yang bersangkutan karena itu sepenuhnya berhak untuk mengatur segala yang terjadi di dalam wilayahnya. Tetapi ini tidak berlaku bagi kategori wilayah lainnya, dimana hak berdaulat semacam itu tidak diakui bagi Negara manapun, kecuali atas warganegara dari Negara tersebut serta atas kapal laut, pesawat udara dan pesawat atau objek ruang angkasa yang terdaftar di dalam Negara yang bersangkutan. Keadaan ini mendukung adanya kebebasan beraktivitas oleh semua negara beserta warga negara, kecuali jika ada ketentuan hukum internasional yang melarangnya.

Disamping menentukan keabsahan suatu tindakan diperlukan batas antara ruang udara dan ruang angkasa, seperti pandangan kaum spatialis, menunjukkan bahwa Negara nasional, untuk menjamin aktivitas ruang angkasa, dengan berdasarkan asas resiprositas atau asas timbale balik bersedia pada suatu waktu meluluhkan sebagai kedaulatan atas ruang udara nasionalnya untuk kepentingan aktivitas ruang angkasa suatu negara.

(24)

kemabli kebumi. Hak lintas ini haus dijamin keamanannya dan tidak dianggap suatu tindakan pelanggaran atau illegal trespass.

Dalam prakteknya kini, negara-negara yang meluncurkan bwenda-benda keruang angkasa tak pernah minta ijin sebelumnya untuk melakukna usaha-usaha tersebut. Selain it, secara resmi tidak ada negarapun yang wilayahnya udaranya dilintasi mengajukan keberatan. Sehingga kiranya dapat diartikan bahwa sikap berdiam diri itu merupakan persetujuan atau “consensus omnium”. Keadaan tersebut terus berlangsung sampai sekarang dan telah menjadi suatu kelaziman sebagai suatu kebiasaan internasional.

2. Batas wilayah ruang udara dan ruang angkasa

(25)

nasional Negara adalah sama, lepas dari ketinggian terbangnya pesawat asing tersebut.

Konvensi-konvensi Paris dan Chicago sama sekali tidak membuat ketentuan mengenai delimitasi horizontal dari ruang udara .Karena tidak ada ketentuan ini, tanpa batas udara hanya dapat ditetapkan enggan merujuk kepada tapel batas darat dan laut . Tapal batas udara harus dengan garis-garis batas darat dan laut tetapi dari segi praktis, nyatalah bahwa dengan kecepatan luar biasa pesawat-pesawat dewasa ini sulit untuk menentukan dimana persisnya batas-batas wilayah tersebut. Alat-alat teknik yang digunakan oleh kapten-kapten pesawat hanya member hasil-hasil yang kurang lengkap. Saat ini sedang dikembangkan terus alat-alat teknik dimaksud, termasuk penditeksinya untuk memperoleh data-data yang lengkap apakah terjadi pelanggaran. Kesalahan atau kehilafan mungkin saja terjadi yang merupakan asal-usul pelanggaran-pelanggaran tapal batas udara secara tidak sengaja. Hal tersebut sering pula digunakan sebagai alasana bagi pelanggar abtas.

Dewasa ini usul Uni Soviet tantang jarak 100/110 kilometer dari permukaan laut sebagai batas berakhirnya wilayah ruang udara merupakan kenyataan yang dianggap sebagai kebiasaan internasional dalam praktik aktivitas ruang angkasa Negara-negara. Namun, dengan meningkatkan aktivitas ruang angkasa, khususnya aktivitas komersial yang bernilai dan beresiko tinggi, para pihak pelaku aktivitas tersebut membutuhkan jaminankepastian hukum .

(26)

memberi suatu pandangan yang berbeda-beda antara suatu negara tentang batas wilayah udara menurut hukum ruang angkasa. Kepentingan penentu batas wilayah udara menurut hukum ruang angkasa didasarkan kepentingan atas orbit Stasioner yang diperebutkan oleh berbagai Negara yang ingin meluncurkan satelitnya. Karena rentang wilayah GSO terbatas, hanya 360 derajat, sementara sejak antara satelit minimal 2 derajat, membuat satelit yang bisa mengorbitkan hanya 180 satelit .

Kenyataan sedemikian memberikan perbedaan pendapat atas batas wilayah suatu Negara atas ruang angkasanya, sehingga dalam kenyataan ini tidak mencapai kesepakatan tentang batas wilayah suatu Negara atas wilayah ruang angkasanya. Wilayah udara nasional dan berlandaskan kedaulatan, suatu Negara memiliki kontrol yang mutlak. Tetapi kontrol tersebut berakhir bersama dengan berakhirnya ruang udara nasional dan dimulainya ruang angkasa, dimana hak semacam itu tidak diakui. Perbatasan ruang udara yang tegas mempunyai nilai dan arti penting karena berhubungan erat dengan pertimbangan-pertimbangan legal yang harus diambil dalam memutuskan suatu masalah yang terjadi dalam wilayah kelautan negara.

3. Pengaturan hukum mengenai GSO

(27)

Pasal 2 Space Treaty ”Outer space, including the moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by

means of use or occupation, or by any other means”. Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya, bukan merupakan subjek yang dapat dimiliki dengan suatu klaim kedaulatan, dengan cara apapun termasuk dengan penundukan, atau dengan cara lain. Berdasarkan ketentuan ini ruang angkasa merupakan wilayah bebas yang tidak berada dibawah kedaulatan negara, sama halnya seperti laut bebas.12

Pengaturan mengenai aspek teknis penggunaan GSO dibahas dan dikeluarkan oleh ITU. Pengaturan aspek teknis ini selalu dimutakhirkan sejalan dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan kebutuhan negara-negara, dengan maksud untuk dapat mengakomodasikan kepentingan semua negara penyelenggara dan penggunaan jasa telekomunikasi.13

M.Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,14 yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO).

(28)

Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto.

Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto, yang dimaksud.15 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

2. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan dilakukan berdasarkan data sekunder, berupa:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: peraturan perundangan internasional dan nasional antara lain : Konvensi Chicago Tahun 1944, Konvensi Geutemala Tahun 1971 Konvensi Guadalaraja Tahun 1961, Konvensi Paris Tahun 1919, Konvensi Roma tahun 1952, Konvensi Tokyo Tahun 1963, Konvesi Warsawa Tahun 1929, terkait undang-undang Nasional antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992, Undang-Undang Republik Indonesia

15

(29)

Nomor 6 Tahun 1996 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.16

3. Analisis data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

N. Sistematika Penulisan

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika

16

(30)

penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini berisikan mengenai sejarah negara kolong, pengertian Negara Kolong (GSO) dan Kedudukan Indonesia sebagai Negara Kolong dalam Hukum Internasional

BAB III SISTEM HUKUM DI RUANG ANGKASA DAN PERBATASAN WILAYAH RUANG ANGKASA

Bab ini berisikan mengenai Sejarah Hukum Udara dan Ruang Angkasa Prinsip-prinsip Hukum Udara dan Ruang Angkasa Sistem Hukum Udara dan Ruang Angkasa, secara nasional dan internasional.

BAB IV KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA

(31)

selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong dalam Hukum Internasional

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(32)

A. Sejarah Negara Kolong

Di ruang angkasa luar yang dijuga disebut antariksa terdapat orbit geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi tersebut terdapat di khatulistiwa bumi pada ketinggian sekitar 36.000 km, dengan ketebalan sekitar 75 km. dengan ciri-ciri alamiahnya yang khusus, GSO mempnyai keunggulan tertentu bila dibanding dengan bagian lainnya dari antariksa. Keunggulan tersebut antara lain ialah satelit ataupun benda-benda antariksa lainnya yang ditempatkan di GSO kelihatan stasioner bila dilihat dari permukaan bumi karena periode putarnya hampir sama dengan periode putar bumi.17

Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang di dunia mempunyai jalur geostasioner yang terpanjang pula dan karena itu ingin memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan nasional. Kepentingan Indonesia atas orbit geostasioner tersebut cukup mendasar dan strategis apalagi karena orbit tersebut merupakan berguna bagi telekomunikasi, pemantauan lingkungan dan cuaca. Mengingat manfaat yang diberikan orbit tersebut, Indonesia bersama -sama dengan Negara-negara khatulistiwa lainnya yaitu Brazil, Colombia, Congo, Equador, Kenya, Uganda dan Zaire, sejak semula telah mengambil

17

(33)

langkah dan secara aktif memperjuangkan dibuatnya suatu razim hukum khusus sui generis mengenai orbit geostasioner. Razim hukum khusus ini terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada negara-negara khatulistiwa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama dengan negara-negara lainnya dalam memanfaatkan sumber-sumber antariksa.18

Mengingat manfaat GSO tersebut bagi seluruh umat manusia, maka PBB melalui Badan Khusus ITU dan terutama Komite Penggunaan Secara Damai Angkasa Luar (Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) selalu berupaya untuk merumuskan ketentuan-ketentuan internasional sehubungan pemanfaatan GSO tersebut. GSO buat pertama kali dibahas dalam Pertemuan Internasional Astronautical Federation (IAF), International Institut of Space Law di Amsterdam Tahun 1974. Kemudian pembahasan GSO ini dilanjutkan dalam pertemuan Negara-negara ktahulistiwa yang menghasilkan Deklarasi Bogota Tahun 1976, yang juga ditanda tangani Indonesia, berisikan tuntutan kedaulatan terhadap jalur GSO yang berada di atas Negara-negara khatulistiwa. Deklarasi Bogota ini kemudian dikembangkan lagi dalam pertemuan di Quito, Equador pada tahun 1982 tetapi tidak mengeluarkan deklarasi karena terdapatnya perbedaan pandangan tentang strategi yang akan ditempuh.

Aspek hukum penggunaan GSO juga dibicarakan di sidang-sidang Komite Penggunaan Secara Damai Angkasa Luar. Persoalan pokok dalam sidang-sidang yang diselenggarakan ialah apakah perlu dibuat suatu rezim khusus sul generis tentang GSO. Dari semula terdapat perbedaan yang cukup tajam antara Negara

18

(34)

atau kelompok Negara mengenai status hukum GSO tersebut. Ada yang menggangap bahwa secara fisik GSO merupakan bagian dari antariksa dank arena itu pengaturannya sudah ada dalam Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967, di samping terdapatnya pandangan bahwa diperlukan suatu rezim hukum untuk GSO mengingat letak dan karakteristiknya yang khusus. Karena terdapatnya tantangan dari banyak Negara terutama Negara-negara barat mulai tahun 1982 negara-negara khatulistiwa mulai mengubah posisi dari tuntutan kedaulatan menjadi righ of preservation.19 Selanjutnya tuntutan kedaulatan atas GSO sulit untuk dipertahankan dan mulai tahun 1993 negara-negara khatulistiwa lebih menekankan pada penggunaan GSO yang adil dan merata bagi semua Negara dan bukan lagi tuntutan mengenai kedaulatan.

Deklarasi Bogota 1976 diadakan pada tahun 1976 di dalam suatu pertemuan yang membahas secara khusus mengenai Geostationary Orbit (GSO) diadakan di Bogota. Tujuh negara yang wilayahnya tepat berada di bawah garis khatulistiwa, yakni: Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Kenya, Zaired kesepakatan/deklarasi tentang tuntutan atas orbit geostasioner yang memang tepat berada di atas wilayah kedaulatan mereka.

Adapun yang menjadi tuntutan dari negara-negara khatulistiwa tadi bukanlah suatu tuntutan mengenai penguasaan atas wilayah (territorial claim), namun hal tersebut didasarkan oleh karena adanya ketidakadilan dalam

(35)

pemanfaatan GSO yang sebelumnya berdasar pada prinsip kebebasan untuk memanfaatkan bagi semua negara (first come first served)20

Sebagai akibatnya pemanfaatan GSO hanya didominasi oleh negara-negara maju karena memiliki kemampuan untuk itu, baik dari segi teknologi maupun finansialnya. Dan dirasakan pemanfaatan GSO itu telah menjadi suatu usaha komersialisasi oleh negara-negara maju tersebut sehiungga cenderung merugikan negara-negara lain yang belum mampu memanfaatkannya.

Deklarasi Bogota 1976 ini banyak mendapat reaksi yang luas oleh banyak negara, namun negara-negara maju menentang isi dari gagasan yang terkandung di dalamnya karena bertentangan dengan kepentingan mereka. Hal itu juga dianggap dapat menimbulkan adanya monopoli dalam pemanfaatan orbit geostasioner (larangan pada Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973), dan terutama bertentangan dengan Pasal II Space Treaty 1967.

B. Pengertian Negara Kolong (GSO)

Orbit Geostasioner merupakan anggota keluarga orbit geosinkron. Istilah geosinkron mengacu kepada semua orbit yang mempunyai periode sama dengan rotasi bumi.21 GSO merupakan orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antena penangkap di bumi tidak perlu dipindah-pindahkan atau dirubah posisinya. Dibanding dengan orbit satelit lainnya, yakni

20

E. Saefullah Wiradipradja, dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Jakarta Remadja Karya, 1988 hal. 152

21

(36)

Middle Earth Orbit (MEO), dan Low Earth Orbit (LEO), GSO merupakan tempat yang paling ekonomis dan efektif untuk menempatkan satelit, khususnya satelit komunikasi. Hal ini disebabkan satelit yang ditempatkan pada GSO dapat meliput permukaan bumi lebih luas dan dapat dimanfaatkan setiap saat.22

Orbit Geostasioner merupakan suatu orbit geosinkron di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang lebih 36.000 kilometer, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan seolah-olah stationer terhadap suatu titik dipermukaan bumi. Ada beberapa keuntungan dari pemanfaatan GSO, antara lain :

1. Beberapa bagian dari bumi dari permukaan bumi dapat diamati secara terus-menerus dari suatu titik yang tetap;

2. Karena sebuah satelit yang ditempatkan di GSO dapat meliputi sekitar 1/3 dari permukaan bumi, maka hanya diperlukan satelit yang lebih sedikit jumlahnya.

Pasal 33 menyatakan bahwa:” ……… the geostationer satellite orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently and economically so

that countries or groups of countries may have equitable access to both in

conformity with the provisions of the Radio Regulations according to their needs

and the technical facilities at their disposal ”. Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa GSO itu merupakan sumber daya alam terbatas (limited natural resources), yaitu karena hanya dapat ditempati oleh benda-benda angkasa dalam jumlah yang terbatas, sehingga apabila penempatan tersebut.

Pengertian geostationer obrit dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia:

22

(37)

1. Batasan Geostationer Orbit dalam Space Treaty 1967. Batasan GSO dalam Space Treaty tidak diatur lebih rinci. Space Treaty hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Namun dengan melihat kondisi fisik dari GSO yang merupakan bagian dari ruang angkasa maka pengaturan GSO menginduk pada Space Treaty, 1967;

2. Pengertian GSO dalam Deklarasi Bogota, 1976. Batasan GSO sebagai ”natural resource” dalam Deklarasi Bogota, 1976 : “The geostationer orbit is

a circular orbit in the Equotorial plane in which the period of sidereal

revolution of satellite is equal to the period of sidereal rotation of the Earth

and the satellite moves in the same direction as the earth ‘s rotation. When a

satellite describes this particular orbit, it is said to be geostationary such a

satellite appears to be geostationary in the sky when viewed from earth, and is

fixed at the zenith of given point on the equator whose longitude is by

definition that of satellite. This orbit is located at an approximates distance of

35,877 km above the earth‘s Equator“; (terjemahan geostationer orbit adalah

(38)

3. Pengertian GSO dalam International Telecommunication Union (ITU) 1973 dilakukan sedemikian rupa sehingga melebihi daya tampungnya, akan dapat menimbulkan kejenuhan (saturated). 23

C. Kedudukan Indonesia sebagai Negara Kolong dalam Hukum Internasional

Negara kolong adalah negara-negara yang tepat berada di bawah garis khatulistiwa yang wilayahnya juga merupakan wilayah negara yang berada tepat di bawah kawasan GSO. Kawasan orbit geostationer adalah merupakan suatu kawasan yang termasuk di dalam wilayah ruang angkasa, dan prinsip Hukum Internasional yang berlaku bagi wilayah ruang angkasa tidak ada menetapkan suatu ketentuan yang mengatur mengenai kedaulatan bagi negara-negara atas wilayah ruang angkasa.

Dalam perkembangan Hukum Ruang Angkasa dewasa ini, yang dikaitkan dengan semakin gencarnya usaha yang dilakukan negara-negara/pihak-pihak dalam pemanfaatan GSO, telah disadari tentang diperlukannya status hukum yang tegas dan berlaku secara internasional bagi objek-objek ruang angkasa yang diluncurkan. Hal ini berkaitan dengan masalah kedaulatan negara-negara yang dilintasi oleh objek-objek ruang angkasa, pada saat objek-objek ruang angkasa tersebut sedang berada di ruang udaar negara yang sedang dilintasinya, baik dalam perjalanan menuju orbit atau ketika sedang kembali kebumi.

23

(39)

Wilayah negara-negara kolong dapat saja tertimpa satelit atau benda-benda buatan manusia lainnya yang diluncurkan keluar angkasa pada waktu yang tidak diduga/ditentukan sebelumnya. Bila dipandang dari sudut akibatnya, sebagaimana diketahui benda angkasa buatan manusia yang diluncurkan keruang angkasa ada yang mempergunakan sumber tenaga nuklir, maka jika benda tersebut jatuh dapat mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan/ keselamatan umat manusia, makhluk lain dan lingkungan disekitar jatuhnya benda tersebut.

Efek yang dapat timbul oleh jatuhnya benda angkasa yang masih mengandung bahan radioaktif yang jatuh dipermukaan bumi daapat dikemukakan sebagai berikut:24

1. Efek jangka pendek, terbagi atas dua tipe yaitu tipe ringan dan tipe berat. Gejala-gejala yang nampak pada tipe ringan adalah: sakit tenggorokan, demam malaise, kelelahan, purpura dan haemoglobin serta leukosit berkurang secara drastis. Tipe berat akan ditandai dengan gejala-gejala seperti : timbulnya penyakit tertentu (kanker kulit, paru-paru, tulang dan lain-lain) yang biasanya terjadi lebih awal dan sulit pengobatannya. 2. Efek jangka panjang, yaitu terjadinya kerusakan terhadap bahan genetik

yang dapat mengakibatkan adanya kelainan pada genesis keturunan, manusia yang terkena efek jangka panjang ini akan mengakibatkan keturunannya yang lahir dalam keadaan cacat

24

(40)

3. Efek lambat, yaitu radiasi yang mengenai tubuh akan merusak organ-organ tubuh secara pelan-pelan dan baru akan menimbulkan bahaya yang fatal setelah bertahun-tahun.

4. Terjadinya kontaminasi terhadap objek-objek lain di sekitar jatuhnya benda angkasa tesebut, antara lain pada udara, air, makanan dan objek lainnya

Dalam suatu pertemuan yang diadakan di Bogota (Kolombia) pada tahun 1976) beberapa negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara khatulistiwa yaitu Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Zaire, dan Indonesia telah menuangkan kesepakatan-kesepakatan mereka dalam deklarasinya yang menyatakan suatu tuntutan atas orbit geostationer yang berada tepat diatas wilayah mereka. Adapun yang menjadi tuntutan negara-negara tersebut bukanlah merupakan suatu tuntutan yang berdasarkan pada aspek kewilayahan (teritorial claim), akan tetapi lebih merupakan reaksi terhadap ketidakadilan dalam pemanfaatan orbit geostationer yang pengaturannya selama ini lebih bertumpu pada doktrin “ first come first served”. Akibat dari penerapan doktrin ini, maka telah sebagian besar kemampuan jalur GSO didominasi oleh negara-negara maju, sebaliknya bagi negara-negara berkembang masih belum dapat memanfaatkannya disebabkan oleh banyaknya keterbatasan-keterbatasan yang ada.

(41)

mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada di atas wilayah Indonesia.25

Memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit-satelit untuk berbagai kepentingan bangsa Indonesia saat ini dan masa yang akan datang, maka kelangsungan dan kelanggengan serta keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin.26

Kepentingan Nasional Indonesia sesungguhnya secara eksplisit sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Khusus menyangkut pemanfaatan GSO, maka terkait erat dengan dukungan untuk komunikasi melalui satelit komunikasi untuk kepentingan Indonesia. Dalam kaitan ini kepentingan nasional mendasar yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah:

1. Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datiang dari luar maupun dari dalam;

2. Tercipta dan terpeliharanya stabilitas nasional, serta terjadinya stabilitas regional dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional Indonesia selanjutnya; dan

25

Ferry Junigwan Murdiansyah. Kajian Hukum Antariksa Modern: Kisah Klasik Untuk Masa Depan 2. Di http://ferryjunigwan.wordpress.com/2010/01/14/kajian-hukum-antariksa-modern-kisah-klasik-untuk-masa depan-2/diakses tanggal 1 Oktober 2014

26

(42)

3. Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi serta keadilan sosial.27

Untuk mewujudkan Kepentingan Indonesia tersebut di atas, salah satu cara adalah melalui penggunaan GSO, yaitu dengan memanfaatkan hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memanfaatkan potensi GSO seoptimal mungkin untuk mendukung pembangunan nasional, di dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Putusan Indonesia untuk memiliki sendiri satelit komunikasi merupakan suatu putusan yang sangat strategis, karena telah bersama-sama dirasakan bukan saja man- faatnya sebagai alat pemersatu bangsa dan negara, tetapi juga dapat memacu kemampuan teknologi telekomunikasi antariksa Indonesia pada khususnya, dan teknologi antariksa pada umumnya. Selain penggunaan GSO melalui pemanfaatan satelit-satelit yang memiliki dan dioperasikan sendiri, Indonesia juga memanfaatkan satelit-satelit negara lain atau organisasi internasional yang ditempatkan di GSO untuk keperluan pengamatan cuaca, pemantauan lingkungan serta navigasi lalu lintas udara dan lautan. Menyadari bahwa GSO juga potensial untuk digunakan bagi keperluan-keperluan lainnya, maka tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang Indonesia akan ikut memanfaatkan GSO untuk keperluan diluar bidang-bidang aplikasi tersebut di atas. Dengan kondisi dan status pemanfaatan GSO untuk berbagai keperluan tersebut, maka GSO telah menjadi kawasan

27

(43)

kepentingan Indonesia yang sangat vital.28

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka kepentingan Indonesia atas GSO baik saat ini maupun di masa mendatang adalah:

a. Terjaminnya kesinambungan penggunaan GSO oleh Indonesia untuk keperluan telekomunikasi, penyiaran, dan meteorologi serta kemungkinan pengembangan bidang lainnya;

b. Terjaminnya satelit-satelit Indonesia dari segala macam ancaman dan gangguan pihak-pihak lain yang dapat merugikan Indoesia; (c). Terjaminnya GSO dari penggunaan yang dapat membawa dampak negatif baik terhadap lingkungan GSO itu sendiri mau- pun bumi, khususnya terhadap wilayah In- donesia;

c. Adannya peluang bagi Indone- sia untuk setiap saat dapat menggunakan slot orbit dan spektrum frekuensi di GSO apabila sewaktu-waktu diperlakukan Indonesia bagi kepentingan nasionalnya;

d. Dapat dihindarkan penggunaan GSO dari segala bentuk kegiatan yang bukan untuk maksud damai dan kemanusiaan.29

28

Ibid

29

(44)

A. Sejarah Hukum Udara dan Ruang Angkasa

Hukum Angkasa sebagai salah satu cabang dari ilmu hukum yang relatif muda, oleh para ahli hukum maupun masyarakat internasional dirasakan perlu untuk lebih dikembangkan. Pengembangan yang dilakukan bertujuan agar Hukum Angkasa dapat menjadi cabang ilmu hukum yang mantap dan mapan terutama dalam mengantisipasi kemajuan teknologi yang sangat pesat.30

Berbagai upaya telah dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut antara lain dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul dari ditemukannya dimensi ruang angkasa hingga menelaah berbagai dampak hukum atas dimanfaatkannya dimensi tersebut oleh manusia. Hal inilah yang mendasari adanya pembagian Hukum Angkasa itu sendiri secara umum pada saat ini.

Ernest NYS merupakan orang pertama yang menggunakan istilah khusus bagi bidang ilmu hukum untuk ruang udara ini. Istilah yang ia gunakan ialah “Droit Aerien” dan dipakainya di dalam laporan-laporannya kepada Institute de

Droit Internationale pada rapat di tahun 1902 dan kemudian di dalam tulisan-tulisan ilmiahnya. Oleh karena itulah istilah-istilah yang ditemukan sebelum tahun 50-an dan sesudahnya ialah misalnya istilah “Luchtrecht, Luftrecht atau Air Law” yang banyak digunakan orang.

(45)

Hukum Ruang Angkasa dianggap lebih tepat daripada penggunaan istilah Hukum Antariksa, satu sama lain karena masih belum jelas apa yang dimaksud dengan antariksa. Secara garis besar dapat dikatakan, untuk ilmu hukum ini dipakai istilah “Hukum Angkasa”, “Air and Space Law” di Kanada, “Aerospace

Law” di Amerika Serikat, “Lucht en Ruimte Recht” di Belanda, “Droit Aerien et

de l’espace” di Perancis, “Luft und Weltraumrecht” di Jerman, yang mencakup

dua bidang ilmu hukum dan mengatur 2 sarana wilayah penerbangan yakni hukum udara yang mengatur sarana penerbangan di ruang udara yaitu ruang di sekitar bumi yang berisi gas-gas udara. Kemudian Hukum Ruang Angkasa yakni hukum yang mengatur ruang yang hampa udara (outer space).31

Tata surya secara geografis yuridis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Ruang udara ialah ruang di sekitar bumi yang berisikan gas-gas udara yang

dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya. 2. Antariksa mempunyai arti sebagai berikut:

a. Ruang angkasa yakni ruang yang kosong/hampa udara (aero space) dan berisikan langit.

b. Bulan dan benda-benda (planet-planet) lainnya. c. Orbit geostasioner (GSO). 32

Di dalam rangka penafsiran secara logika yuridis terhadap istilah ruang udara (air space) seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, perlu diteliti dahulu yakni asal usul penggunaan istilah ruang udara (air space) di dalam Konvensi Chicago 1944 dan pengertian istilah pesawat udara

31

Ibid., hal 6

32

(46)

(aircraft) oleh Lampiran (Annexes) Konvensi. Lampiran yang merupakan pelengkap dan pemenuhan kebutuhan konvensi akan penjelasan-penjelasan yang ternyata diperlukan kemudian. Teks bagi istilah ruang udara (air space) di dalam bahasa Perancis dan disetujui oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) itu adalah istilah l’espace aerien dan istilah ini merupakan istilah yang otentik dan sesuai dengan istilah otentik dalam bahasa Inggris “air space”.

Istilah ini seringkali menimbulkan salah pengertian mengenai batas jarak ketinggian di ruang udara dimana negara itu memiliki kedaulatan. Penggunaan tersebut mencontoh suatu pengaturan Konvensi Paris 1919 dan yang telah disusun di dalam Konvensi Paris 1919 ini untuk ruang udara dipakai istilah dalam bahasa Perancis “l’espace atmospherique”, teks bahasa Italia dipakai istilah “spazio

atmozferico” (atmospheric space atau ruang atmosfir), sedangkan teks bahasa Inggris mempergunakan istilah “air space” yang berarti ruang udara. Konvensi

Chicago 1944 menggunakan istilah “air space” dan ini sesuai dengan istilah yang

dipakai dalam bahasa Perancis yakni istilah “l’espace atmospherique” dalam

Konvensi Paris 1919.33 (sejak tahun 1919 telah banyak negara memasukkan ketentuan Konvensi Paris.

Pengertian hukum udara dan hukum ruang angkasa sebagai berikut:34 Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional.

33

Ibid., hal 61

34

(47)

Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan antar negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari segala aktifitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa aktifitas itu demi kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan, terrestrial dan non terrestrial, dimana pun aktifitas itu dilakukan.

Di dalam Konvensi Paris 1919 pada Pasal 1 memberikan suatu negara kedaulatan yang lengkap dan eksklusif di atas wilayahnya (termasuk dengan wilayah perairannya). Dan kedaulatan negara juga mencakup pula terhadap ruang udara yang berada di atas wilayah kedaulatannya. Pengaturan tentang kedaulatan negara di ruang udara di dalam Konvensi Paris 1919 belum mampu menentukan mengenai batas dan ketinggian wilayah udara suatu negara. Namun, yang ditetapkan di dalam konvensi ini adalah mengenai kedaulatan masing-masing negara atas wilayah udaranya.

Adanya dalil Hukum Romawi yang berbunyi, “Cuius est solom, eius usgue

ad coelum et ad inferos” melandasi dibentuknya Konvensi Paris 1919. Dalil itu

berarti: “Barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki

segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut”.35

Dengan berakhirnya Perang Dunia I maka banyak negara-negara semakin mengembangkan teknologi ruang udara, yakni berupa usaha pengembangan

35

(48)

teknologi penerbangan jarak jauh yang cepat, serta berusaha mencapai jarak ketinggian yang maksimal di ruang udara.

Pesawat udara yang pada awalnya hanya dimiliki negara dan hanya dipakai untuk kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang umum. Dan pemilikannya bukan lagi sebatas oleh negara saja, melainkan telah pula dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini terjadi ketika pada tahun 1919 perusahaan penerbangan pertama memulai pengoperasian penerbangan berjadwal (scheduled) pertama antara kota London dan Paris antara lain sebagai berikut:

1. Protokol Paris 1929

Protokol Paris 1939 adalah kelanjutan dari hasil-hasil Konvensi Paris 1919, dan mengangkat permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi akibat aktifitas-aktifitas yang dilakukan di ruang udara.

Ketentuan dasar yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian dalam Hukum Udara kemudian dimuat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang sebelumnya belum disepakati dalam Protokol Paris 1929 ini. Perjanjian-perjanjian internasional itu kemudian mengalami berbagai perkembangan, yang secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Convention for The Unification of Certain Rules Relating to International

(49)

(1971) dan Montreal Protocol (1975), sebagai tambahan: Montreal Protocol (1966) dan Malta Agreement (1976).

b. Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on

The Surface (sering disebut dengan Konvensi Roma (1952), yang menggantikan Konvensi Roma (1933) mengenai pokok masalah yang sama), dan protokol yang ditambahkan kepada Konvensi Roma (1952), yaitu Montreal Protocol (1978).

Permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi telah dikenal sejak tahun 1927. Beberapa studi mengenai persoalan itu telah dilakukan, yang pada akhirnya berpuncak dalam Konvensi Roma (1933) dan Protokol Brussels (1938). Akan tetapi tidak pernah ada usaha yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, ketentuan-ketentuan Konvensi Roma (1933) juga segera menjadi ketinggalan di belakang perkembangan-perkembangan yang pesat di bidang penerbangan, dan konvensi itu hanya berhasil menarik sejumlah kecil persetujuan bagi ratifikasi oleh beberapa negara saja.

2. Konvensi Chicago 1944 (Convention on International Civil Aviation)

(50)

Adapun maksud dari konferensi ini adalah untuk menentukan pola dari penerbangan sipil setelah perang dunia berakhir. Meskipun ada asal usul mengenai kebebasan di udara, namun pada akhirnya prinsip “absolute and

exclusive sovereignity”15 (kedaulatan yang mutlak dan absolut sifatnya) tetap dipertahankan. Prinsip tersebut adalah prinsip yang dianut sebelumnya dalam Konvensi Paris 1919.36

Namun, terdapat perbedaan penting yakni mengenai alasan untuk kedaulatan suatu negara di udara yang dahuluya adalah lebih menitikberatkan pada masalah keamanan negara, maka pada Konferensi Internasional Chicago 1944 lebih mengutamakan pada perlindungan ekonomi bagi industri angkutan udara nasional masing-masing negara yang menentukan. Salah satu hasil yang tidak kalah pentingnya dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah terbentuknya suatu badan yang kemudian menjadi suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu International Civil Aviation Organization (ICAO). Organisasi internasional ini mempunyai tugas dalam bidang teknis, ekonomis dan yuridis secara khusus dalam bidang penerbangan. Juga pada Konvensi Chicago 1944 mengatur mengenai penetapan bagi pendaftaran pesawat udara menurut nasionalitasnya dilakukan oleh organisasi internasional ini.

Hasil-hasil lain dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah berupa lampiran-lampiran (Annexes) sebanyak 16 buah, yang berisikan mengenai standar-standar internasional dan cara-cara yang dianjurkan di dalam bidang teknik penerbangan. Dimana annexes tersebut baru akan berlaku bila sudah dimasukkan

36

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis dapat atau tidaknya Malaysia Airlines sebagai perusahaan pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab membayar kompensasi atas kerugian yang

Perkembangan hukum lingkungan tidak lepas dari pandangan masyarakat internasional, permasalahan lingkungan hidup umum ditemukan dalam suatu negara, dalam kaitannya dengan

Berdasarkan dari pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu, Perlindungan hukum bagi awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing terhadap eksploitasi telah

Dengan demikian, maka tanggung jawab atas penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan bukan semata-mata tanggung jawab dari negara yang terkait secara langsung

Implikasi Hukum Internasional pada Flight Information Region (FIR) Singapura atas Wilayah Udara Indonesia Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Tetapi berdasarkan prinsip Nasionall- tas Aktif, dimana negara berhak untuk memberikan perlindu- ngan kepada warga negaranya yang berada di luar negeri, maka

dan kegiatan yang dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun Anggaran 2017 serta menindaklanjuti ketentuan dalam pasal

Pegadaian Kantor Wilayah I Medan yaitu perusahaan gadai bertanggungjawab penuh dalam menanggung segala risiko yang mengakibatkan kerugian bagi pemberi gadai atau debitur atas kerusakan