• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tembung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Determinan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tembung"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

DETERMINAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Oleh

DIAN MAYA SARI 117032068/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

DETERMINAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN MAYA SARI 117032068/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : DETERMINAN KEJADIAN DEMAM

BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

Nama Mahasiswa : Dian Maya Sari Nomor Induk Mahasiswa : 117032068

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

Tanggal Lulus : 22 Juli 2013

(drh. Hiswani, M.Kes) Anggota

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua

Dekan

(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 22 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

DETERMINAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2013 Penulis

(6)

ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang belum ada antivirus khusus untuk membasmi virus penyebabnya. DBD disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya berupa demam, perdarahan, dan syok. Menurut WHO (2010), DBD endemik di Asia Tenggara. Sejak 1968-2010, WHO mencatat Indonesia dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Kota Medan merupakan wilayah dengan kejadian DBD yang cukup tinggi setiap tahun dan tahun 2011 mencapai 2.384 kasus (IR=113/100.000 penduduk). Tahun 2011 dan 2012, kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung masing-masing sebanyak 152 dan 60 kasus.

Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan yang memengaruhi kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung. Metode penelitian adalah analitik observasional dengan desain case control. Sampel penelitian sebanyak 86 orang kasus dan 86 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat mengggunakan uji Chi-Square, dan multivariat menggunakan uji Regresi Logistik Berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang merupakan determinan kejadian DBD adalah keberadaan jentik, tata rumah, non TPA, tanaman hias/tumbuhan, membersihkan TPA, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan menggunakan anti nyamuk/repellent. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah non TPA.

Disarankan kepada masyarakat agar mau dan mampu melakukan reuse, reduse, dan recycle terhadap barang-barang bekas; Puskesmas Sering dan Mandala tetap mempertahankan bahkan meningkatkan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD melalui kegiatan penyuluhan, 3M Plus, dan Jumat Bersih.

(7)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease without special antivirus to stamp out the virus causing it. DHF is spread by dengue virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus. The symptoms are fever, bleeding, and shock. According to WHO (2010), DHF is endemic in Southeast Asia and Indonesia was noted as a country with the highest case of DHF from 1968 to 2010. The City of Medan is an area with the adequately high DHF case annualy and in 2011 it had 2,384 cases (IR = 113/100.000 persons). In 2011 and 2012, the case of DHF in Medan Tembung Subdistrict was 152 and 60 respectively.

The purpose of this analytical observational study with case control design was to analyze the determinants influencing the incidence of DHF in Medan Tembung Subdistrict. The sample for this study were 86 persons for case group and 86 persons for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interview. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-Square test, and multivariate analysis with Multiple Logistic Regression test.

The result of bivariate analysis showed that the variables playing a role as the determinants influencing the incidence of DHF were the presence of mosquito larvae, house layout, non Garbage Dump Site, ornamental plants/vegetation, cleaning Garbage Dump Site, hanging clothes, sleeping habits, and using repellent. The result of multivariate analysis showed that the most influencing variable on the incident of DHF was non Garbage Dump Site.

The community members are suggested to be willing and able to reuse, reduse, and recycle their used goods. Puskesmas Sering and Puskesmas Mandala maintain and even improve the DHF mosquito breeding place eradication program through extension, 3M Plus, and Clean Friday activities.

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Determinan

Kejadian Demam Berdarah Dengue(DBD) di Kecamatan Medan Tembung”. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara (Minat Studi Administrasi Kesehatan

Komunitas/Epidemiologi).

Penulis menyadari begitu banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan,

dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu,

dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih kepada berbagai pihak.

Terkhusus, ucapan terimakasih yang tulus dan ikhlas kepada kedua orangtua

tercinta Ayahanda H. Mukhtar Siregar S.H dan Ibunda Dra. Hj. Asnawiah yang telah

membesarkan dengan penuh pengorbanan, hati yang ikhlas, serta selalu memberikan

doa, semangat, dukungan moril dan materi bagi penulis dalam menyelesaikan seluruh

jenjang pendidikan.

Terimakasih kepada keluarga tercinta, Abangda Zainuddin Siregar S.P, Yan

Indra Siregar S.Pd, M.Pd, Irwansyah Siregar S.Pd, M.Pd serta Kakanda Sari

(9)

Nuri S.Pd atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Terimakasih pula

penulis sampaikan kepada Dimas Septi Bima Sakti, S.H atas kesetiaan, bantuan, doa,

dan dukungan yang telah diberikan. Semoga kita semua selalu bersama dalam suka

dan duka.

Dengan ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, semoga

sehat, bahagia, dan selalu dalam lindungan Tuhan kepada Prof. dr. Sori Muda

Sarumpaet, M.P.H dan drh. Hiswani, M.Kes selaku komisi pembimbing yang dengan

sabar dan tulus telah banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian, dan

pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

Terima kasih tiada terkira juga penulis sampaikan dengan tulus kepada

drh. Rasmaliah, M.Kes dan Drs. Jemadi, M.Kes selaku komisi penguji yang telah

memberi masukan dan arahan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

Disamping itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,

M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

(10)

4. drg. Hj. Usma Polita Nasutinon, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota

Medan yang telah memberikan izin bagi penulis untuk memperoleh data dari

Dinas Kesehatan yang diperlukan sehubungan dengan tesis ini.

5. dr. Hj. Rosita Nurjannah selaku Kepala Puskesmas Sering yang telah

memberikan izin bagi penulis untuk memperoleh data dari Puskesmas Sering

yang diperlukan sehubungan dengan tesis ini.

6. dr. H. Erwin Hakim Lubis selaku Kepala Puskesmas Mandala yang telah

memberikan izin bagi penulis untuk memperoleh data dari Puskesmas Mandala

yang diperlukan sehubungan dengan tesis ini.

7. H. Khairuddin Burhan Lubis, S.E selaku Camat Medan Tembung yang telah

memberikan izin bagi penulis untuk melakukan penelitian di Kecamatan Medan

Tembung.

8. Seluruh dosen dan pegawai di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara. Semoga ilmu pengetahuan dan bantuan yang

diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan mendapat balasan dari

Allah SWT.

9. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Minat Studi Administrasi

Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada para sahabat terkasih atas

persahabatan, perhatian, bantuan, doa, dan dukungan penuh yang telah diberikan.

(11)

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan

terima kasih. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari

sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga tesis ini dapat

bermanfaat.

Medan, Juli 2013 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Dian Maya Sari, lahir pada tanggal 19 Maret 1988 di Medan, beragama Islam,

dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Mukhtar

Siregar, S.H dan Ibu Dra. Hj. Asnawiah. Belum menikah dan sekarang menetap di

Jalan Tegal Sari Dusun VI/Anggrek Desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan

Kabupaten Deli Serdang.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar (SD)

Swasta Tamansiswa Medan pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000,

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 12 Medan pada tahun 2000 dan

diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Medan pada

tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara pada tahun 2006 dan diselesaikan pada tahun 2010, Strata

Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan

(13)

DAFTAR ISI

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus ... 8

1.4 Hipotesis ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)... 11

2.1.1 Definisi Penyakit DBD ... 11

2.1.2 Etiologi ... 12

2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi ... 12

2.1.4 Tanda dan Gejala Klinik ... 14

2.1.5 Siklus Penularan dan Penyebaran Penyakit DBD ... 17

2.2 Vektor Penular Penyakit DBD ... 19

2.2.1 Morfologi dan Metamorfosa Nyamuk Aedes aegypti ... 20

2.2.2 Bionomik Vektor ... 24

2.2.3 Pengamatan Kepadatan Populasi Vektor ... 26

2.3 Epdemiologi Penyakit DBD ... 30

2.3.1 Distribusi Penyakit DBD ... 30

2.3.2 Determinan Penyakit DBD ... 36

2.4 Pencegahan dan Pengendalian DBD ... 39

2.4.1 Manajemen Lingkungan ... 39

2.4.2 Pengendalian Biologis ... 41

2.4.3 Pengendalian Kimiawi ... 42

2.4.4 Partisipasi Masyarakat ... 43

(14)

2.4.6 Peraturan Perundangan ... 44

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 56

3.5.1 Variabel Penelitian ... 56

3.5.2 Definisi Operasional ... 57

3.6 Metode Pengukuran ... 59

3.7 Metode Analisis Data ... 60

3.7.1 Analisis Univariat ... 60

3.7.2 Analisis Bivariat ... 61

3.7.3 Analisis Multivariat... 62

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 63

4.2 Analisis Univariat ... 64

4.5 Population Attributable Risk... 79

BAB 5. PEMBAHASAN ... 81

5.1 Distribusi Proporsi Karakteristik Subjek Studi ... 81

5.2 Hubungan Keberadaan Jentik dengan Kejadian DBD ... 82

5.3 Faktor Lingkungan ... 84

5.3.1 Hubungan Tata Rumah dengan Kejadian DBD... 85

5.3.2 Hubungan Keberadaan TPA dengan Kejadian DBD ... 86

(15)

5.3.4 Hubungan Keberadaan TPA Alami dengan Kejadian

DBD ... 88

5.3.5 Hubungan Keberadaan Kawat Kasa pada Ventilasi dengan Kejadian DBD... 89

5.3.6 Hubungan Keberadaan Tanaman Hias/Tumbuhan dengan Kejadian DBD ... 91

5.4 Faktor Kebiasaan ... 92

5.4.1 Hubungan Kebiasaan Membersihkan / Menguras TPA dengan Kejadian DBD... 93

5.4.2 Hubungan Kebiasaan Menutup TPA dengan Kejadian DBD ... 94

5.4.3 Hubungan Kebiasaan Menabur Bubuk Abate dengan Kejadian DBD ... 96

5.4.4 Hubungan Kebiasaan Menggantung Pakaian dengan Kejadian DBD ... 97

5.4.5 Hubungan Kebiasaan Tidur dengan Kejadian DBD ... 99

5.4.6 Hubungan Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk/ Repellent dengan Kejadian DBD ... 101

5.5 Faktor yang Paling Dominan ... 102

5.6 Keterbatasan Penelitian ... 104

BAB 6. KESIMPULAN ... 106

6.1 Kesimpulan ... 106

6.2 Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur, dan Katagori Masing-Masing

Variabel Penelitian... 59

3.2. Rancangan Tabel Analisis Biavariat ... 61

4.1. Distribusi Proporsi Karakteristik Subjek Studi di Kecamatan

Medan Tembung ... 65

4.2. Tabulasi Silang antara Keberadaan Jentik dan Kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung... 67

4.3. Tabulasi Silang antara Faktor Lingkungan dan Kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung... 68

4.4. Tabulasi Silang antara Faktor Kebiasaan dan Kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung... 72

4.5. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Variabel Tata Rumah, Non TPA, Tanaman Hias/Tumbuhan, Tidur Siang, dan Menggunakan Anti Nyamuk/Repellent terhadap Kejadian DBD

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Siklus Penularan DBD ... 17

2.2. Nyamuk Aedes aegypti ... 20

2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 21

2.4. Proporsi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993- 2009 ... 31

2.5. Jumlah Absolut Kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968 – 2009 ... 35

2.6. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi... 46

2.7. Kerangka Konsep Penelitian ... 49

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Tabel dan Grafik Jumlah Kasus DBD di Kecamatan Medan

Tembung Bulan Januari 2012 - April 2013... 113

2. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 114

3. Kuesioner Penelitian ... 115

4. Jadwal Penelitian ... 120

5. Master Data ... 121

6. Output Analisis Univariat ... 127

7. Output Analisis Bivariat... 130

8. Output Analisis Multivariat ... 150

9. Perhitungan House Index dan Container Index ... 163

10. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 164

11. Surat Izin Penelitian dari Kecamatan Medan Tembung ... 165

(19)

ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang belum ada antivirus khusus untuk membasmi virus penyebabnya. DBD disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya berupa demam, perdarahan, dan syok. Menurut WHO (2010), DBD endemik di Asia Tenggara. Sejak 1968-2010, WHO mencatat Indonesia dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Kota Medan merupakan wilayah dengan kejadian DBD yang cukup tinggi setiap tahun dan tahun 2011 mencapai 2.384 kasus (IR=113/100.000 penduduk). Tahun 2011 dan 2012, kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung masing-masing sebanyak 152 dan 60 kasus.

Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan yang memengaruhi kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung. Metode penelitian adalah analitik observasional dengan desain case control. Sampel penelitian sebanyak 86 orang kasus dan 86 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat mengggunakan uji Chi-Square, dan multivariat menggunakan uji Regresi Logistik Berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang merupakan determinan kejadian DBD adalah keberadaan jentik, tata rumah, non TPA, tanaman hias/tumbuhan, membersihkan TPA, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan menggunakan anti nyamuk/repellent. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah non TPA.

Disarankan kepada masyarakat agar mau dan mampu melakukan reuse, reduse, dan recycle terhadap barang-barang bekas; Puskesmas Sering dan Mandala tetap mempertahankan bahkan meningkatkan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD melalui kegiatan penyuluhan, 3M Plus, dan Jumat Bersih.

(20)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease without special antivirus to stamp out the virus causing it. DHF is spread by dengue virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus. The symptoms are fever, bleeding, and shock. According to WHO (2010), DHF is endemic in Southeast Asia and Indonesia was noted as a country with the highest case of DHF from 1968 to 2010. The City of Medan is an area with the adequately high DHF case annualy and in 2011 it had 2,384 cases (IR = 113/100.000 persons). In 2011 and 2012, the case of DHF in Medan Tembung Subdistrict was 152 and 60 respectively.

The purpose of this analytical observational study with case control design was to analyze the determinants influencing the incidence of DHF in Medan Tembung Subdistrict. The sample for this study were 86 persons for case group and 86 persons for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interview. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-Square test, and multivariate analysis with Multiple Logistic Regression test.

The result of bivariate analysis showed that the variables playing a role as the determinants influencing the incidence of DHF were the presence of mosquito larvae, house layout, non Garbage Dump Site, ornamental plants/vegetation, cleaning Garbage Dump Site, hanging clothes, sleeping habits, and using repellent. The result of multivariate analysis showed that the most influencing variable on the incident of DHF was non Garbage Dump Site.

The community members are suggested to be willing and able to reuse, reduse, and recycle their used goods. Puskesmas Sering and Puskesmas Mandala maintain and even improve the DHF mosquito breeding place eradication program through extension, 3M Plus, and Clean Friday activities.

(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai derajat

kesehatan masyarakat yang optimal tersebut, Program Pemberantasan Penyakit

menitikberatkan kegiatannya pada upaya mencegah berjangkitnya penyakit,

menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta mengurangi akibat buruk dari

penyakit menular maupun tidak menular (UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang dapat bermanifestasi sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan

salah satu jenis penyakit menular tidak langsung. Sampai saat ini, belum ada antivirus

khusus untuk membasmi virus Dengue. Pengobatan penyakit hanya mengandalkan pemberian cairan dan tambahan darah (Nadesul, 2004).

Infeksi virus Dengue telah ada sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Pada masa itu, infeksi virus

Dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, di Filipina, infeksi virus Dengue

menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat dengan gejala-gejala panas,

(22)

28 diantaranya meninggal (CFR = 48,28%). Beberapa tahun kemudian, penyakit ini

mulai merambah ke beberapa negara Asia, seperti Thailand tahun 1958, Vietnam

Utara tahun 1958, Singapura tahun 1960, Laos tahun 1962, dan India tahun 1963

(Depkes RI, 2004a).

Menurut World Health Organization (WHO), DBD merupakan kejadian

endemik di banyak negara di wilayah Asia Tenggara yang berarti bahwa kasus DBD

terjadi setiap tahun meskipun ada variasi yang signifikan antar negara. Sampai

dengan tahun 2010, Republik Demokratik Rakyat Korea adalah satu-satunya negara

di Asia Tenggara yang tidak memiliki laporan penderita DBD pribumi.

Jumlah kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2010 di negara-negara

kawasan Asia Tenggara antara lain : Bangladesh terjadi 76 kasus (Incidence Rate/IR = 0,05 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/CFR = 0,00%); Bhutan terjadi

16 kasus (IR = 2,29 per 100.000 penduduk dan CFR = 12,50%); India terjadi 9.357

kasus (IR = 0,79 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,31%); Maldives terjadi 550

kasus (IR = 180,33 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,00%); Myanmar terjadi

11.704 kasus (IR = 21,92 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,82%); Nepal terjadi 2

kasus (IR = 0,01 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,00%); Sri Lanka terjadi 27.142

kasus (IR = 131,12 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,77%); Thailand terjadi

57.948 kasus (IR = 85,09 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,12%); dan Timor Leste

terjadi 473 kasus (IR = 39,42 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,21%) (WHO,

(23)

Di Indonesia penyakit DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 berupa

KLB di Jakarta dan Surabaya, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR = 41,5%).

Sejak saat itu, penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah hingga sampai tahun

1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit DBD (Depkes RI, 2007).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 menyebutkan bahwa

penyakit DBD merupakan salah satu jenis penyakit menular yang dapat menimbulkan

wabah dan menyebabkan malapetaka bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam

SK Menteri Kesehatan Nomor 1457 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal

Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, DBD merupakan salah satu penyakit menular

yang dicantumkan sebagai masalah yang wajib menjadi prioritas oleh daerah.

Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara

Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes

RI, 2010). Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Indonesia (Ditjen PP&PL

Kemenkes RI), pada tahun 2005 terjadi 80.837 kasus (IR = 43,38 per 100.000

penduduk dan CFR = 1,36%); tahun 2006 terjadi 104.656 kasus (IR = 52,48 per

100.000 penduduk dan CFR = 1,04%); tahun 2007 terjadi 140.000 kasus (IR = 71,78

per 100.000 penduduk dan CFR = 1,01%); tahun 2008 terjadi 137.469 kasus (IR =

59,02 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,86%); tahun 2009 terjadi 154.855 kasus

(IR = 68,22 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,89%); dan tahun 2010 terjadi

(24)

Pada tahun 2011, lima propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus DBD

tertinggi adalah : Jawa Timur dengan jumlah kasus sebesar 3.152 kasus (IR = 8,32

per 100.000 penduduk); Jawa Tengah dengan jumlah kasus sebesar 2.345 kasus (IR =

7,14 per 100.000 penduduk); Sumatera Utara dengan jumlah kasus sebesar 2.066

kasus (IR = 15,88 per 100.000 penduduk); DKI Jakarta dengan jumlah kasus sebesar

1.954 kasus (IR = 23,18 per 100.000 penduduk); dan Bali dengan jumlah kasus

sebesar 1.949 kasus (IR = 56,16 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI, 2012).

Di propinsi Sumatera Utara sendiri, penyakit DBD telah menyebar luas ke

seluruh wilayah sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif

tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Sumatera Utara, terdapat

8 daerah endemis DBD di wilayah Propinsi Sumatera Utara, yaitu; Kota Medan,

Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Asahan, Kota

Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan Kabupaten Karo. Angka kejadian DBD di

Propinsi Sumatera Utara terus meningkat. Pada tahun 2005 terjadi 3.790 kasus

dengan kematian 68 orang (CFR = 1,8%), tahun 2006 terjadi 2.222 kasus dengan

kematian 34 orang (CFR = 1,5%), tahun 2007 terjadi 4.427 kasus dengan kematian 41

orang (CFR = 1%), tahun 2008 terjadi 4.401 kasus dengan kematian 50 orang (CFR =

1,1%), tahun 2009 terjadi 4.705 kasus dengan kematian 58 orang (CFR = 1,2%),

tahun 2010 terjadi 8.889 kasus dengan kematian 87 orang (CFR=1%), dan tahun 2011

terjadi 5.987 kasus dengan kematian 78 orang (CFR=1,3%).

Kota Medan sebagai Ibu kota propinsi Sumatera Utara adalah salah satu

(25)

ada di Kota Medan semuanya sudah merupakan daerah endemis DBD. Pada tahun

2011, Kecamatan Medan Denai, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Tembung,

Medan Amplas, Medan Kota, Medan Johor, Medan Marelan, Medan Barat, dan

Medan Deli merupakan 10 kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di kota Medan

(Dinkes Kota Medan, 2012).

Adapun angka kejadian DBD di Kota Medan yang telah dirilis oleh Dinkes

Kota Medan dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut; tahun 2002 sebanyak 212

kasus dengan kematian 2 orang (CFR = 0,9%), tahun 2003 sebanyak 594 kasus

dengan kematian 9 orang (CFR = 1,5%), tahun 2004 sebanyak 742 kasus dengan

kematian 61 orang (CFR = 8,2%). Lonjakan kasus yang menonjol (KLB) terjadi pada

tahun 2005 yaitu sebanyak 1.960 kasus dengan kematian 24 orang (CFR = 1,2%),

tahun 2006 sebanyak 1.378 kasus dengan kematian 21 orang (CFR = 1,5%), tahun

2007 sebanyak 1.917 kasus dengan kematian 17 orang (CFR = 0,9%), tahun 2008

sebanyak 1.545 kasus dengan kematian 14 orang (CFR = 0,9%), dan tahun 2009

sebanyak 1.940 kasus dengan kematian 14 orang (CFR = 0,7%).

Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk

pemukiman yang stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di

tempat penampungan air (TPA)/wadah yang berada di permukiman dengan air yang

relatif jernih. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan berkembangbiak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain bak mandi, ember, vas bunga,

(26)

Sementara itu, Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu, dan sejenisnya

terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan (Sukowati, 2010).

Beberapa faktor etiologik yang ditemukan berhubungan dengan penyakit

DBD adalah faktor host (umur, jenis kelamin, mobilitas), faktor lingkungan

(kepadatan rumah, adanya tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk,

kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, curah hujan), serta faktor perilaku (pola tidur

dan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk) (Wahyono dkk, 2010). Curah hujan

yang tinggi saat musim penghujan misalnya, dapat menimbulkan banjir dan genangan

air di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti

cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang

rumah) (Kemenkes RI, 2010).

Penelitian Roose (2008) menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan

dengan kejadian DBD adalah variabel pendidikan, pekerjaan, jarak rumah, TPA

bukan untuk keperluan sehari-hari, TPA alami, dan tanaman hias/pekarangan serta

dari hasil analisis multivariat diketahui bahwa variabel yang paling dominan

berhubungan dengan kejadian DBD adalah variabel mobilisasi (p=0,000;

mOR=20,90). Sementara itu, hasil penelitian Sitio (2008) menunjukkan bahwa

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah kebiasaan

menggunakan anti nyamuk di siang hari (p=0,026; OR=4,343) dan kebiasaan

(27)

Kecamatan Medan Tembung memiliki kondisi lingkungan yang berisiko

untuk berjangkitnya penyakit DBD karena banyak terdapat TPA, Non TPA, dan TPA

alami di sekitar pemukiman masyarakat sehingga dapat menjadi tempat bagi

perindukan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, kecamatan ini mempunyai jumlah penduduk dan pemukiman yang padat sehingga akan meningkatkan risiko

penularan DBD. Kecamatan ini juga termasuk daerah semi perkotaan sehingga

karakteristik lingkungannya masih banyak terdapat kebun/tumbuh-tumbuhan yang

dapat menjadi habitat bagi nyamuk Aedes albopictus sebagai vektor sekunder bagi penularan DBD.

Kecamatan Medan Tembung merupakan salah satu kecamatan yang menjadi

daerah endemis DBD di kota Medan dan temasuk dalam kriteria Rawan I berdasarkan

stratifikasi daerah DBD yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik

Indonesia (Depkes RI). Sejak 5 tahun terakhir, kasus DBD di Kecamatan Medan

Tembung cukup tinggi dan masuk ke dalam 10 kecamatan dengan kasus DBD

tertinggi di kota Medan. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Medan, pada

tahun 2011, jumlah kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung mencapai 152 kasus

yang menjadikan kecamatan ini berada pada peringkat keempat dari sepuluh

kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di kota Medan. Pada tahun 2012, jumlah

kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung mencapai 60 kasus. Meskipun jumlahnya

menurun, hal ini tetap perlu diwaspadai mengingat DBD merupakan penyakit

(28)

tepat. Selain itu, tingginya angka kesakitan penyakit ini akan menimbulkan kerugian

ekonomi baik bagi keluarga penderita maupun negara.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi

kasus DBD yang cukup tinggi setiap tahunnya, khususnya di Kecamatan Medan

Tembung yang telah menjadi daerah endemis DBD. Untuk itu, perlu dilakukan

penelitian epidemiologi analitik terhadap determinan kejadian DBD di Kecamatan

Medan Tembung dan diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat, khusunya

pengelola program dalam rangka menanggulangi masalah ini.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan penelitian ini adalah : “Determinan apa saja yang memengaruhi

kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis determinan yang memengaruhi kejadian DBD di Kecamatan

Medan Tembung.

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Mendeskripsikan karakteristik subjek studi berdasarkan umur, jenis kelamin,

(29)

b) Mengamati keberadaan jentik nyamuk yang mengindikasikan adanya vektor

DBD di Kecamatan Medan Tembung serta menghitung besarnya House Index

dan Container Index.

c) Mengetahui apakah keberadaan jentik merupakan determinan kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung.

d) Mengetahui apakah faktor lingkungan (tata rumah, tempat penampungan air,

bukan tempat penampungan air, tempat penampungan air alami, kawat kasa pada

ventilasi, dan tanaman hias/tumbuhan) merupakan determinan kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung.

e) Mengetahui apakah faktor kebiasaan (membersihkan tempat penampungan air,

menutup tempat penampungan air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian,

kebiasaan tidur, dan pemakaian obat anti nyamuk/repellent) merupakan

determinan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

f) Mengetahui besarnya risiko masing-masing determinan terhadap kejadian DBD

di Kecamatan Medan Tembung.

1.4 Hipotesis

a) Ada pengaruh keberadaan jentik terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan

Tembung.

b) Ada pengaruh faktor lingkungan (tata rumah, tempat penampungan air, bukan

(30)

ventilasi, dan tanaman hias/tumbuhan) terhadap kejadian DBD di Kecamatan

Medan Tembung.

c) Ada pengaruh faktor kebiasaan (membersihkan tempat penampungan air,

menutup tempat penampungan air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian,

kebiasaan tidur, dan pemakaian obat anti nyamuk/repellent) terhadap kejadian

DBD di Kecamatan Medan Tembung.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Setempat

Memberikan informasi mengenai determinan kejadian DBD di Kecamatan

Medan Tembung sehingga pengambil keputusan dapat menyusun rencana dan

strategi yang efektif dalam penanggulangan kasus DBD.

1.5.2 Bagi Masyarakat

Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi dalam

upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD.

1.5.3 Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai sumber informasi mengenai determinan kejadian DBD sehingga

dapat dimanfaatkan sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan

keilmuan.

1.5.4 Bagi Peneliti Selanjtnya

Sebagai sumber informasi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi Penyakit DBD

Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, serta sering

menimbulkan wabah. Jika nyamuk menggigit orang dengan demam berdarah, virus

dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk dan

sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya ketika nyamuk menggigit orang

lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan

dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain (Soegijanto, 2006).

Demam Dengue (Dengue Fever) adalah penyakit febris - virus akut, seringkali

ditandai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam, dan leukopenia

sebagai gejalanya sedangkan penyakit DBD (Dengue Haemoragick Fever/DHF)

ditandai dengan empat gejala klinis utama, yaitu demam tinggi, fenomena haemoragi,

sering dengan hepatomegali, dan pada kasus berat disertai tanda-tanda kegagalan

(32)

Syok ini disebut Dengue Shock Syndrome (DSS) dan sering menyebabkan fatal (WHO, 1999).

2.1.2 Etiologi

DBD disebabkan oleh virus dengue yang temasuk kelompok B Arthropoda borne virus (Arboviroses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae,dan

mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Soedarto,

2010).

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang

bersangkutan sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang

sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang

lain tersebut. Dengan kata lain, infeksi oleh satu serotipe virus dengue menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada ”cross protective

terhadap serotipe virus yang lain (Soegijanto, 2006).

Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau

4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan

diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Serotipe DEN-3

berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imun rendah dengan

tingkat penyebaran yang tinggi (Depkes RI, 2004a).

2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi

(33)

limfaticus, sumsum tulang, serta paru-paru. Sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tesebut akan

difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).

Virus dengue mampu bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi di dalam sel. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus, genomnya masuk ke

dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk

komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah

komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan

virus dengue terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006).

Menurut Gubler dalam Soegijanto (2006), patofisiologi primer DBD dan DSS

adalah peningkatan akut permebilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma

ke dalam ruang ekstravaskuler sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan

penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus

berat, hal ini didukung penemuan post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura,

hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS

melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan

koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler

dan trombositopeni, serta banyak di antara penderita menunjukkan koagulogram yang

abnormal.

Pada autopsi, semua pasien yang telah meninggal karena DBD menunjukkan

suatu tingkatan hemoragi. Berdasarkan frekuensi hemoragi ditemukan pada kulit dan

(34)

serosa dengan kandungan protein tinggi umumnya terdapat pada rongga pleural dan

abdomen (WHO, 2004).

2.1.4 Tanda dan Gejala Klinik

Menurut Soegijanto (2006), gejala klinik utama pada DBD adalah demam dan

manifestasi perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis klinis DBD, WHO dalam

Soegijanto (2006) menentukan beberapa patokan gejala klinis dan laboratorium

meliputi :

a) Gejala Klinis :

- Demam mendadak yang berlangsusng selama 2-7 hari

- Manifestasi perdarahan

o Uji torniquet positif

o Perdarahan spontan berbentuk peteki, purpura, ekimosis, epistaksis,

perdarahan gusi, hematemesis, melena

- Hepatomegali

- Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi

tak teraba, kulit dingin, dan anak gelisah

b) Laboratorium

- Trombositopeni (< 100.000 sel/ml)

- Hemokonsentrasi (kenaikan Ht ≥ 20%)

Bila patokan hemokonsentrasi dan trombositopeni menurut kriteria WHO

(35)

pengawasan. Untuk mengantisipasi hal ini, Kelompok Kerja DBD sepakat jumlah

trombosit < 150.000 sel/ml sebagai batas tombositopeni.

Selain patokan trombositopeni dan hemokonsentrasi, diagnosis laboratoris

DBD juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis

didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita yang terjadi setelah infeksi.

Pemeriksaan serologis terdiri dari (Depkes RI, 2007) :

a) HI (Haemaglutination Inhibition)

Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai gold standard. Namun pemeriksaan ini memerlukan dua sampel darah (serum) dimana spesimen kedua

harus diambil pada fase konvalensen (penyembuhan) sehingga tidak dapat

memberikan hasil yang cepat. Konfirmasi serologi tergantung pada kenaikan titer

yang jelas (4 kali atau lebih) antibodi spesifik dari sampel serum antara fase akut

dan fase konvalensen.

b) ELISA (IgM/IgG)

Infeksi dengue dapat dibedakan dengan menentukan rasio limit antibodi dengue IgM terhadap IgG. Uji antibodi dengue IgM dan IgG dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga

(36)

WHO dalam Soegijanto (2006) membagi derajat DBD dalam 4 (empat)

tingkat, yaitu sebagai berikut:

- Derajat I : Demam dan tourniquet positif.

- Derajat II : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan atau

pendarahan lain.

- Derajat III : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai

hepatomegali, dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang

cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), atau hipotensi disertai

ekstremitas dingin dan gelisah.

- Derajat IV : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai

hepatomegali, dan ditemukan gejala renjatan hebat (nadi tak teraba dan tekanan

darah tak terukur).

Dalam pelaksanaan sehari-hari diagnosis DBD dapat ditegakkan jika

didapatkan demam, manifestasi perdarahan, trombositopeni, dan hemokonsentrasi

atau tanda-tanda kebocoran plasma lainnya seperti efusi pleura, ascites, dan

hipoalbuminemi. Adanya renjatan disertai Ht yang tinggi dan trombostopeni

(37)

2.1.5 Siklus Penularan dan Penyebaran Penyakit DBD

Gambar 2.1. Siklus Penularan DBD

Sumber : Depkes RI, 2007

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada

manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus (Depkes RI, 2004a).

Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat menghisap darah dari seseorang yang sedang berada pada tahap demam akut (viraemia). Setelah

melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar ludah Aedes akan menjadi terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk menggigit dan

mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan pada tubuh orang lain. Setelah

masa inkubasi instrinsik selama 3-14 hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul gejala

awal penyakit secara mendadak yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia (nyeri

(38)

nausea (mual-mual), muntah, dan rash (ruam pada kulit). Viraemia biasanya muncul pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama

kurang lebih 5 hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa

kritis dimana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang

berperan dalam siklus penularan (WHO, 2004).

Lebih jelasnya Depkes RI (2007) menjelaskan mekanisme penularan penyakit

DBD dan tempat potensial penularannya sebagai berikut :

a) Mekanisme Penularan DBD

Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari. Bila

penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terhisap

masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan

tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya.

Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk

menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan berada

dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, nyamuk Aedes yang telah menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi

karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit) sebelum menghisap darah, ia akan

mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak

(39)

b) Tempat Potensial bagi Penularan DBD

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk

penularnya. Beberapa tempat yang paling potensial untuk terjadinya penularan DBD

adalah :

- Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).

- Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang

datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran

beberapa tipe virus dengue yang cukup besar, seperti sekolah, RS/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, serta tempat umum lainnya (hotel, pertokoan,

pasar, restoran, tempat ibadah, dan lain-lain).

- Pemukiman baru di pinggir kota. Penduduk pada lokasi ini umumnya barasal dari

berbagai wilayah maka ada kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang

membawa tipe virus dengue yang berbeda dari masing-masing lokasi.

2.2 Vektor Penular Penyakit DBD

Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes dari

subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemik yang paling penting sedangkan spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, anggota

kelompok Aedes scutellaris, dan Aedes niveus diputuskan sebagai vektor sekunder. Walaupun mereka merupakan vektor bagi virus dengue, epidemi yang ditimbulkan

(40)

2.2.1 Morfologi dan Metamorfosa Nyamuk Aedes aegypti

Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti

Sumber : http://pedulidbd.com/tag/aedes-aegypti

Nyamuk Aedes aegypti disebut black-white mosquito karena tubuhnya

ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Di

Indonesia, nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk-nyamuk rumah

(WHO, 2004).

Dalam siklus hidupnya, nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu telur, larva/jentik, pupa, dan dewasa sehingga termasuk dalam metamorfosis

sempurna (WHO, 2004).

Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu 20-40oC akan menetas

menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum, larva berkembang

menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa berkembang menjadi nyamuk

(41)

pupa, dan nyamuk dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Soegijanto,

2006).

Gambar berikut menunjukkan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Sumber : Depkes RI, 2007 a) Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan

diletakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian

dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan

air. Dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA sedangkan 15%

lainnya jatuh ke permukaan air.

b) Larva/Jentik

Larva/jentik nyamuk Aedes aegypti berbentuk memanjang tanpa kaki dengan

(42)

dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I tubuhnya

sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan

corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva nstar IV telah lengkap struktur

anatominya dan tubuh dapat dibagi menjadi kepala (chepal), dada (thorax), dan perut

(abdomen).

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa

duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling

besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas, ruas perut ke-8

memiliki alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan

tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu. Ruas ke-8 juga

dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi

sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fotaksis negatif, dan waktu

istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.

c) Pupa

Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok dengan bagian

kepala-dada (cephalothorax) lebih besar dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga

tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat

(43)

yang berguna untuk berenang. Alat pegunyah tersebut berjumbai panjang. Pupa

adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan

dengan larva. Waktu istirahat, posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.

d) Nyamuk Dewasa

Tubuh nyamuk Aedes aegypti dewasa tersusun atas tiga bagian yaitu kepala,

dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena

yang berbulu. Bagian mulut nyamuk betina merupakan tipe penususk-pengisap

(piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus) sedangkan nyamuk jantan bagian mulutnya lebih lemah sehingga tidak mampu

menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai tumbuhan

(phytophagus).

Dada nyamuk ini terdiri dari 3 ruas yaitu porothorax, mesothorax, dan

metathorax. Setiap ruas dada memiliki sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih tetapi

pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga

terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Pada bagian punggung (mesontum) ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis

lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8

ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat, posisi

(44)

2.2.2 Bionomik Vektor

Menurut Sitio (2008), pengetahuan tentang bionomik vektor sangat diperlukan

dalam perencanaan pengendalian vektor. Bionomik vektor meliputi tempat

perindukan (breeding habit), kebiasaan menggigit (feeding habit), kebiasaan istirahat (resting habit), jarak terbang, dan lama hidup.

a) Tempat Perindukan (Breeding Places)

Tempat perindukan yang paling potensial adalah TPA yang digunakan

sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya. Tempat

perindukan tambahan disebut non-TPA, seperti tempat minum hewan, barang bekas,

vas bunga, perangkap semut, dan lainnya sedangkan TPA alamiah seperti lubang

pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon

pisang, potongan bambu, dan lainnya. Nyamuk Aedes aegypti lebih tertarik

meletakkan telurnya pada TPA berair yang berwarna gelap, paling menyukai warna

hitam, terbuka lebar, dan terutama terletak di tempat-tempat yang terlindung dari

sinar matahari langsung (Soegijanto, 2006).

b) Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)

Berdasarkan pendapat Soegijanto (2006) dan WHO (2004) dapat disimpulkan

bahwa nyamuk Aedes aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya; sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua

periode aktivitas menggigit dan menghisap darah, yaitu antara pukul 08.00-12.00 dan

(45)

c) Kebiasaan Istirahat (Resting Habit)

Nyamuk Aedes aegypti palingsuka beristirahat di tempat yang gelap, lembab,

dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk kamar tidur, kamar mandi,

kamar kecil, maupun dapur. Dapat juga ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau

di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang disukainya

adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta di

dinding (WHO, 2004).

d) Jarak Terbang

Menurut Sitio (2008) yang mengutip pernyataan Chapman, pergerakan

nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat

untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang

nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga penguapan air dari tubuh

nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh

dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas. Aktifitas dan jarak

terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal.

Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin, temperatur,

kelembaban, dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk,

keadaan energi, dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aeegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat

perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah.

(46)

km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau

terbawa alat transportasi.

e) Lama Hidup

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya 8 hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran

virus semakin besar. Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk

mengkaji survival alami Aedes aegypti dalam berbagai kondisi lingkungan (WHO,

2004).

2.2.3 Pengamatan Kepadatan Populasi Vektor

Untuk mengetahui kepadatan vektor disuatu lokasi dapat dilakukan beberapa

survei meliputi survei nyamuk, survei jentik, dan survei perangkap telur.

a) Survei Nyamuk

Sampling vektor nyamuk dewasa dapat memberikan data yang berharga untuk

mengetahui kecenderungan populasi musiman, dinamika penularan, risiko penularan,

dan evaluasi terhadap usaha pemberantasan nyamuk. Beberapa cara untuk survei

nyamuk dewasa antara lain (Depkes RI, 2007) :

- Landing Bitting Collection

Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan umpan

orang di dalam atau diluar rumah masing-masing 20 menit per rumah. Angka hasil

tangkapan dengan menggunakan jaring tangan atau aspirator saat nyamuk melekat

(47)

- Resting Collection

Pada periode inaktif, nyamuk dewasa istirahat di dalam rumah terutama di

kamar tidur dan di tempat yang gelap seperti tempat gantungan pakaian dan

tempat-tempat terlindung. Jumlah nyamuk dewasa yang tertangkap istirahat dengan aspirator

per rumah disebut resting rate.

b) Survei Jentik

Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua tempat air di

dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang diperiksa di suatu daerah

dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam pelaksanaan

survei ada dua metode yang meliputi (Depkes RI, 2007) :

b.1) Metode Single Larva

Metode ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan

air yang ditemukan ada jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut jenis

jentiknya.

b.2) Metode Visual

Metode ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat

(48)

penyakit DBD, survei jentik yang biasa digunakan adalah cara visual dan ukuran

yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik yaitu :

- Angka Bebas Jentik (ABJ) : persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan di

semua desa/kelurahan setiap 3 bulan oleh petugas Puskesmas pada rumah-rumah

penduduk yang diperiksa secara acak.

- House Index (HI) : presentase rumah yang ditemukan jentik terhadap seluruh

rumah yang diperiksa.

- Container Index (CI) : presentase antara kontainer yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa.

- Breteau Index (BI) : jumlah kontainer positif perseratus rumah yang diperiksa.

Angka Bebas Jentik dan House Index lebih menggambarkan luasnya

penyebaran nyamuk di suatu daerah. Tidak ada teori yang pasti yang menyebutkan

Angka Bebas Jentik dan House Index yang dipakai sebagai standard. Hanya saja,

(49)

rumah yang diperiksa jentiknya harus negatif. Ukuran tersebut digunakan sebagai

indikator keberhasilan pengendalian nyamuk penularan DBD (Depkes RI, 2007).

c) Survei Perangkap Telur

Menurut Ditjen PP&PL (2007), survei telur menggunakan ovitrap yaitu

berupa potongan bambu atau kontainer lain yang mudah diperoleh (bekas kaleng susu

dicat hitam, gelas plastik, tempurung kelapa atau lainnya) yang diberi air dan diberi

lubang ±1 cm dari tepi atas untuk menggantung ovitrap pada paku dan untuk

mencegah air agar tidak meluap. Kemudian ovitrap diberi padel yang berupa

potongan bambu atau kain yang berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi

nyamuk. Jumlah pemasangan ovitrap pada setiap rumah adalah 2 buah, 1 buah

dipasang di dalam rumah dan 1 buah lagi dipasang di luar rumah. Jumlah ovitrap

yang dipasang minimal 160 buah di 80 rumah. Pengamatan ada atau tidak adanya

telur dilakukan seminggu sekali dengan cara pemeriksaan adanya telur di padel atau

bisa juga dengan pemeriksaan adanya jentik di dalam ovitrap. Pada waktu

pemeriksaan padel, air di dalam ovitrap dibuang dan diganti air baru. Bila air tidak

diganti maka jentik yang ada akan menetas menjadi nyamuk.

(50)

2.3 Epidemiologi Penyakit DBD

2.3.1 Distribusi Penyakit DBD

a) Orang (Person)

Umur adalah salah satu faktor yang memengaruhi kepekaan terhadap infeksi

virus dengue. Pada awal epidemi di Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia

penyakit DBD kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan

berumur < 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai negara melaporkan bahwa

kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi KLB (Soegijanto, 2006).

Berdasarkan Kemenkes (2010), kasus DBD per kelompok umur di Indonesia

mengalami pergeseran dari tahun 1993-2009. Dari tahun 1993-1998 kelompok umur

terbesar kasus DBD adalah kelompok umur < 15 tahun sedangkan tahun 1999-2009

kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥ 15 tahun. Hal

(51)

Gambar 2.4. Proporsi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993-2009

Sumber : Ditjen PP&PL Depkes RI, 2009

Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD

dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di Filipina dilaporkan bahwa rasio antar jenis kelamin adalah 1:1. Di Thailand tidak ditemukan perbedaan

kerentanan terhadap serangan DBD antara laki-laki dan perempuan meskipun

ditemukan angka kematian yang lebih tinggi pada anak perempuan, tetapi perbedaan

angka tersebut tidak signifikan (Kusriastuti dalam Duma, 2007).

Distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin di Indonesia pada tahun 2008

menunjukkan bahwa proporsi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama.

Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan

perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menunjukkan bahwa risiko

terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis

(52)

Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian

infeksi di antara kelompok etnik. Kelompok penduduk Cina banyak terserang DBD

dari pada yang lain. Penemuan ini dijumpai pada awal epidemi (Soegijanto, 2006).

Mobilitas penduduk juga memegang peranan penting pada transmisi

penularan infeksi virus dengue. Salah satu faktor yang memengaruhi penyebaran

epidemi dari Queensland ke New South Wales pada tahun 1942 adalah perpindahan personil militer dan angkatan udara karena jalur transportasi yang mereka lewati

merupakan jalur penyebaran virus dengue (Sutaryo, 2005).

b)Tempat (Place)

Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai

negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 30º Lintang Utara

dan 40º Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Caribbean dengan

tingkat kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap tahunnya (Djunaedi dalam Duma,

2007). Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama

dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2010).

Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat

dengan ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi

dengan suhu yang rendah, siklus perkembangan Aedes aegypti menjadi tidak sempurna (Depkes RI, 2004b). Namun, pernah dilaporkan dilaporkan pada ketinggian

2.121 meter di India, pada 2.200 meter di Kolombia yang suhu rata-rata tahunannya

(53)

Dibandingkan dengan daerah pedesaan, nyamuk Aedes aegypti memang lebih banyak di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena habitat perindukan nyamuk

adalah air yang relatif bersih, yaitu penampungan air untuk keperluan sehari-hari,

barang-barang bekas sepeti botol, ban, kaleng, plastik, dan sebagainya yang

merupakan lingkungan buatan manusia terutama di kota-kota. Namun, dengan

semakin majunya mobilisasi manusia dan pesatnya transportasi, nyamuk juga

berimigrasi sampai ke daerah pedesaan. Selain itu, di daerah pedesaan memang

banyak terdapat nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun) yang juga dapat menularkan virus dengue (Nadesul, 2004).

Di India misalnya, Aedes aegypti merupakan vektor di perkotaan dan

populasinya berubah-ubah sesuai dengan curah hujan dan kebiasaan penyimpanan air.

Di negara-negara Asia Tenggara yang curah hujan tahunannya lebih dari 2000 mm,

menjadikan populasi Aedes aegypti lebih stabil di perkotaan, semi perkotaan, dan pedesaan. Adanya kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia dan

Thailand menyebabkan kepadatan populasi nyamuk di daerah semi perkotaan lebih

besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Di Singapura, indeks Aedes aegypti paling tinggi ditemukan di perumahan kumuh (Ditjen PP&PL dalam Sukamto, 2007).

Di Thailand, wabah DBD pertama terjadi di Bangkok dalam pola siklus 2

tahun, kemudian selanjutnya dalam siklus yang tidak teratur dengan area penyebaran

penyakit di seluruh negeri. DBD kemudian menjadi endemik di banyak kota besar di

Thailand dan akhirnya menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa selama periode

(54)

Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun

1968. Sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (CFR

= 41,5%). Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Persebaran

jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD mengalami peningkatan.

Dari 2 provinsi dan 2 kota pada tahun 1968, menjadi 32 provinsi (97%) dan 382

kabupaten/kota (77%) yang endemis pada tahun 2009 (Kemenkes RI, 2010).

c) Waktu (Time)

Selama abad ke-18, 19, dan awal abad ke-20 epidemi penyakit yang

menyerupai dengue tercatat menyerang seluruh dunia, baik di wilayah tropis maupun di beberapa wilayah beriklim sedang. KLB penyakit dengue serupa dengan DBD

yang dicatat pertama kali terjadi di Australia tahun 1897. Penyakit perdarahan serupa

juga berhasil dicatat pada tahun 1928 saat terjadi epidemi di Yunani dan kemudian di

Taiwan tahun 1931. Epidemi DBD pertama yang berhasil dipastikan, dicatat di

Filipina tahun 1953-1954. Selama 20 tahun terakhir terjadi peningkatan yang tajam

pada insidensi dan penyebaran penyakit secara geografis. Di beberapa negara Asia

Tenggara saat ini, epidemi terjadi setiap tahun (WHO, 2004).

Awal KLB DBD terjadi setiap lima tahun. Selanjutnya mengalami perubahan

menjadi tiga tahun, dua tahun, dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya

kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tetentu

(Soegijanto, 2006).

Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara

Gambar

Tabel  dan   Grafik   Jumlah  Kasus  DBD   di   Kecamatan  Medan
Gambar 2.1. Siklus Penularan DBD
Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti
Gambar berikut menunjukkan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang : DBD merupakan penyakit infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan 

penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit akibat infeksi virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak yang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akut akibat infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina.Kasus DBD di Kabupaten Kudus

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam 2 – 7 hari

Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular Demam Berdarah Dengue (Aedes Aegypti) menyebarkan virus dengue

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.. pada Fakultas

Stadium telur, larva, dan pupa dari kedua spesies nyamuk (Aedes albopictus ataupun nyamuk Aedes aegypti) membutuhkan dan berada di air, terutama air jernih atau sedikit