• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan dan Karakteristik Glukosamin Hidroklorida dari Kitin Cangkang Belangkas (Tachypleus gigas)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembuatan dan Karakteristik Glukosamin Hidroklorida dari Kitin Cangkang Belangkas (Tachypleus gigas)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

HIDROKLORIDA DARI KITIN CANGKANG BELANGKAS

(

Tachypleus gigas

)

SKRIPSI

AURORA KHAIRANI NASUTION

110822008

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

(

Tachypleus gigas

)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjan Sains

AURORA KHAIRANI NASUTION

110822008

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : PEMBUATAN DAN KARAKTERISTIK

GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA DARI KITIN CANGKANG BELANGKAS (Tachypleus gigas)

Kategori : SKRIPSI

Nama : AURORA KHAIRANI NASUTION

Nomor Induk Mahasiswa : 110822008

Program Studi : SARJANA (S1)KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di Medan, April 2013

Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

Prof.Dr.Zul Alfian,Msc Prof.Dr.Harry Agusnar,M. Sc,M.Phill NIP.195504051983031002 NIP.195308171983031002

Diketahui / Disetujui oleh:

Ketua Departemen Kimia FMIPA USU

(4)

PERNYATAAN

PEMBUATAN DAN KARAKTERISTIK GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA DARI KITIN CANGKANG BELANGKAS (Tachypleus gigas)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, April 2013

(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya tugas akhir ini telah selesai disusun dalam rangka memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau..

Dalam penulisan tugas akhir ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada ibunda dan ayahanda tercinta, Eny Herwanty dan Ir. H. Muhammad Faisal Nasution, buat adik-adikku Atikah Fattah Nasution, Mhd. Habib Burrahman Nasution, Aulia Zuhra Nasution, Ahmad Amir Saifullah, Radja Syahfurqon, atas cinta kasih, dukungan baik moril maupun materil, pengorbanan, serta doa tulus tiada hentinya demi kebaikan dan kebahagian penulis.

Selain itu penulis juga ingin megucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Harry Agusnar,M.Sc, M.Phill selaku pembimbing 1 yang telah memberikan topik dan tunjuk ajar dalam penelitian ini dan banyak memberikan pengarahan dan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Prof. Dr.Zul Alfian.M.Sc. selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan

saran hingga terselesaikannya penelitian ini.

3. Dr. Rumondang Bulan. MS dan Dr. Darwin Yunus, MS selaku Ketua dan Koordinator Departemen Kimia Ekstensi FMIPA USU.

4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya selama masa studi saya di FMIPA USU.

5. Dr. Eka Nuryanto M.Si staf di Lab Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang banyak membantu dalam pengerjaan penelitian

6. Pak Aman Laboran di Lab Penelitian Kimia Analitik yang banyak meluangkan waktunya dan membantu penulis dalam pengerjaan penelitian

7. Teman seperjuangan saya Dina dan teman-teman satu stambuk 2010 yang tidaklah dapat saya sebutkan satu per satu namanya, namun sungguh sangat berkesan di hati saya. Terima kasih karena kalian telah menambah warna dalam hidup saya.

8. Serta segala pihak yang telah membantu saya menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu semua, semoga Allah membalasnya dengan segala yang terbaik. Amin.

(6)

mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2013

(7)

ABSTRAK

Pembuatan glukosamin hiroklorida dari kitin cangkang belangkas dengan menggunakan metode hidrolisis kimia telah dilakukan dengan menggunakan perbandingan variasi konsentrasi HCl 20%, 25%, 30%, 37% dengan perbandingan 9:1 (v/w) selama 4 jam pada suhu 90oC. Penentuan karakteristik glukosamin hidroklorida dilakukan dengan menggunakan analisis Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FT-IR), dimana karakteristik glukosamin hidroklorida yang diperoleh pada gugus O-H glukosamin O-HCl 20% = 3446 cm-1 (s), 25% = 3448 cm-1 (s), 30% = 3450 cm-1 (s), 37% = 3448 cm-1 (s). Untuk gugus N-H pada glukosamin HCl 20% = 1557 cm-1 (s), 25% = 1559 cm-1 (s), 30% = 1556 cm-1 (s), 37% = 1560 cm-1 (s). Untuk gugus C-N pada glukosamin HCl 20% = 1379 cm-1 (m), 25% = 1379 cm-1 (m), 30% = 1379 cm-1 (m), 37% = 1379 cm-1 (m). Untuk ikatan glikosida pada glukosamin HCl 20% = 1073 cm-1 (w), 25% = 1074 cm-1 (w), 30% = 1074 cm-1 (w), 37% = 1074 cm-1 (w). Penentuan konsentrasi glukosamin hidroklorida dengan analisis Spektrofotometer UV-Visble pada panjang gelombang maksimum 197 nm dengan larutan standar N-asetilglukosamin dalam larutan asam fosfat 0,005%. Dimana diperoleh konsentrasi glukosamin hidroklorida 20% = 33,67 ppm, 25% = 36,35 ppm, 30% = 40,16 ppm, 37% = 43,97 ppm.

(8)

Determination and Characterization of Glucosamine Hydrochloride from Chitin Shells of Horseshoe Crab (Tachypleus gigas)

ABSTRACT

Preparation of glucosamine hydrochloride from chitin shells of horseshoe crab using chemical hydrolysis method has been done using HCl concentration variation ratio of 20%, 25%, 30%,37% with a ratio of 9:1 (v/w) for 4 hours at a temperature of 90oC. Determination of glucosamine hydrochloride characteristics using Spectroscopy Fourier Transform Infra Red (FT-IR), in which the characteristics of glucosamine hydrochloride obtained in the O-H group of glucosamine hydrochloride 20% = 3446 cm-1 (s), 25% = 3448 cm-1 (s), 30% = 3450 cm-1 (s), 37% = 3448 cm-1 (s). For N-H group of glucosamine hydrochloride 20% = 1557 cm-1 (s), 25% = 1559 cm-1 (s), 30% = 1556 cm-1 (s), 37% = 1560 cm-1 (s). For C-N group of glucosamine hydrochloride 20% = 1379 cm-1 (m), 25% = 1379 cm-1 (m), 30% = 1379 cm-1 (m), 37% = 1379 cm-1 (m). And for glycoside bond of glucosamine hydrochloride 20% = 1073 cm-1 (w), 25% = 1074 cm-1 (w), 30% = 1074 cm-1(w), 37% = 1074 cm-1 (w). Determination of the concentration of glucosamine hydrochloride with UV-Visble Spectrophotometer analysis at a maximum wavelength of 197 nm with standard solution of N-acetilglucosamine in a solution of phospat acid 0,005%. Where to obtained the concentration of glucosamine hydrochloride 20% = 33,67 ppm, 25% = 36,35 ppm, 30% = 40,16 ppm, 37% = 43,97 ppm.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR GAMBAR xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Pembatasan masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

1.6 Lokasi Penelitian 3

1.7 Metodologi Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glukosamin 4

2.1.1 Penyediaan Glukosamin 5

2.2 Belangkas 6

2.3 Kitin 8

2.3.1 Sifat Kitin 10

(10)

2.4 Spektrofotometer Ultraviolet (UV) 11

2.4.1 Peralatan untuk Spektrofometer 12

2.5 Spektroskopi FTIR 13

2.5.1 Peralatan untuk Spektrofotometer Inframerah 14

2.5.2 Spektrum Inframerah untuk Glukosamin 16

BAB 3 BAHAN DAN METODOLOGI

3.1. Bahan - Bahan 17

3.2. Alat – alat 17

3.3. Prosedur Penelitian 18

3.3.1 Penyediaan Larutan Pereaksi 18

3.3.1.1 Pembuatan NaOH 0,5% 18

3.3.1.2 Pembuatan NaOH 5% 18

3.3.3 Proses Hidrolisis Glukosamin Hidroklorida 19 3.3.4 Analisis Glukosamin Hidroklorida dengan FTIR 19 3.3.5 Analisis Glukosamin Hidroklorida dengan Spektrofotometer

Ultraviolet 20

3.3.5.1 Untuk larutan Asam Fospat 20

3.3.5.2 Untuk N-asetilglukosamin 20

3.3.5.3 Untuk Glukosamin Hidroklorida 20

3.4. Bagan Penelitian 21

3.4.1 Proses Penyediaan Kitin (Agusnar,H. 2006) 21 3.4.2 Proses Hidrolisis Glukosamin Hidroklorida dengan HCl

(Mojarrad et al.2006) Yang Telah Dimodifikasi 22 3.4.3 Analisis Larutan Asam Fospat dengan Spektrofotometer

(11)

3.4.4 Analisis N-asetilglukosamin dengan Spektrofotometer

Ultraviolet (Muzzarelli,1978) Yang Telah Dimodifikasi 24 3.4.5 Analisis Larutan Glukosamin Hidroklorida dengan

Spektrofotometer Ultraviolet (Muzzarelli,1978) Yang

Telah Dimodifikasi 25

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian 26

4.1.1 Penyediaan Kitin 26

4.1.2 Penentuan Karakteristik Glukosamin Hidroklorida dengan

FTIR 28

4.1.3 Penentuan Konsentrasi Glukosamin Hidroklorida dengan

Spektrofotometer Ultraviolet 28

4.1.4 Penentuan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least

Square 31

4.2. Pembahasan 35

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 39

5.2. Saran 39

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Kandungan kitin pada berbagai Crustacea 9

Tabel 4.1. Data Persen Hasil Kitin dari Cangkang Belangkas Metode

Agusnar,H. (2006) 26

Tabel 4.2. Data Karakteristik Glukosamin Hidroklorida dengan FTIR 28

Tabel 4.3. Data Pengukuran Absorbansi untuk Asam Fospat pada = 1λ7 nm 29

Tabel 4.4. Data Pengukuran Absorbansi untuk N-asetilglukosamin dalam

Asam Fospat 0,005% pada = 1λ7 nm 30

Tabel 4.5 Penurunan Persamaan Garis Regresi untuk Penentuan Konsentrasi Kadar Glukosamin Hidroklorida Berdasarkan Pengukuran Absorbansi

Standar N-asetilglukosamin 32

Tabel 4.6.Data Pengukuran Absorbansi untuk Sampel Glukosamin Hidroklorida

pada = 1λ7 nm 33

Tabel 4.7. Data Perhitungan Konsentrasi Sampel dengan Spektrofotometer

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Spektrum kitin hasil pengujian FTIR 39

Lampiran 2. Spektrum Glukosamin HCl hasil pengujian FTIR dan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 (a) Struktur kimia glukosamin dan (b) glukosamin hidrklorida

(Mojarrad,et al. 2006) 5

Gambar 2.2 Belangkas 7

Gambar 2.3 Struktur kimia kitin 8

Gambar 2.4 Bagan Alat Spektrofotometer 13

Gambar 2.5 Bagan Alat Spektroskopi Inframerah 15

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Fospat 29

Gambar 4.2. Kurva Kalibrasi N-asetilglukosamin 31

Gambar a. Spektrum FTIR Kitin Belangkas 41

Gambar b. Spektrum FTIR Glukosamin HCl dari HCl 20% 42

Gambar c. Spektrum FTIR Glukosamin HCl dari HCl 25% 43

Gambar d. Spektrum FTIR Glukosamin HCl dari HCl 30% 44

Gambar e. Spektrum FTIR Glukosamin HCl dari HCl 37% 45

Gambar f. Spektrum FTIR Glukosamin perbandingan konsentrasi HCl 46

(15)

ABSTRAK

Pembuatan glukosamin hiroklorida dari kitin cangkang belangkas dengan menggunakan metode hidrolisis kimia telah dilakukan dengan menggunakan perbandingan variasi konsentrasi HCl 20%, 25%, 30%, 37% dengan perbandingan 9:1 (v/w) selama 4 jam pada suhu 90oC. Penentuan karakteristik glukosamin hidroklorida dilakukan dengan menggunakan analisis Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FT-IR), dimana karakteristik glukosamin hidroklorida yang diperoleh pada gugus O-H glukosamin O-HCl 20% = 3446 cm-1 (s), 25% = 3448 cm-1 (s), 30% = 3450 cm-1 (s), 37% = 3448 cm-1 (s). Untuk gugus N-H pada glukosamin HCl 20% = 1557 cm-1 (s), 25% = 1559 cm-1 (s), 30% = 1556 cm-1 (s), 37% = 1560 cm-1 (s). Untuk gugus C-N pada glukosamin HCl 20% = 1379 cm-1 (m), 25% = 1379 cm-1 (m), 30% = 1379 cm-1 (m), 37% = 1379 cm-1 (m). Untuk ikatan glikosida pada glukosamin HCl 20% = 1073 cm-1 (w), 25% = 1074 cm-1 (w), 30% = 1074 cm-1 (w), 37% = 1074 cm-1 (w). Penentuan konsentrasi glukosamin hidroklorida dengan analisis Spektrofotometer UV-Visble pada panjang gelombang maksimum 197 nm dengan larutan standar N-asetilglukosamin dalam larutan asam fosfat 0,005%. Dimana diperoleh konsentrasi glukosamin hidroklorida 20% = 33,67 ppm, 25% = 36,35 ppm, 30% = 40,16 ppm, 37% = 43,97 ppm.

(16)

Determination and Characterization of Glucosamine Hydrochloride from Chitin Shells of Horseshoe Crab (Tachypleus gigas)

ABSTRACT

Preparation of glucosamine hydrochloride from chitin shells of horseshoe crab using chemical hydrolysis method has been done using HCl concentration variation ratio of 20%, 25%, 30%,37% with a ratio of 9:1 (v/w) for 4 hours at a temperature of 90oC. Determination of glucosamine hydrochloride characteristics using Spectroscopy Fourier Transform Infra Red (FT-IR), in which the characteristics of glucosamine hydrochloride obtained in the O-H group of glucosamine hydrochloride 20% = 3446 cm-1 (s), 25% = 3448 cm-1 (s), 30% = 3450 cm-1 (s), 37% = 3448 cm-1 (s). For N-H group of glucosamine hydrochloride 20% = 1557 cm-1 (s), 25% = 1559 cm-1 (s), 30% = 1556 cm-1 (s), 37% = 1560 cm-1 (s). For C-N group of glucosamine hydrochloride 20% = 1379 cm-1 (m), 25% = 1379 cm-1 (m), 30% = 1379 cm-1 (m), 37% = 1379 cm-1 (m). And for glycoside bond of glucosamine hydrochloride 20% = 1073 cm-1 (w), 25% = 1074 cm-1 (w), 30% = 1074 cm-1(w), 37% = 1074 cm-1 (w). Determination of the concentration of glucosamine hydrochloride with UV-Visble Spectrophotometer analysis at a maximum wavelength of 197 nm with standard solution of N-acetilglucosamine in a solution of phospat acid 0,005%. Where to obtained the concentration of glucosamine hydrochloride 20% = 33,67 ppm, 25% = 36,35 ppm, 30% = 40,16 ppm, 37% = 43,97 ppm.

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glukosamin merupakan senyawa pembangun penting untuk sendi tulang rawan yang berperan sebagai bantalan pada ujung tulang dan mencegah tulang dari keretakan saat bergerak. Glukosamin di dalam tubuh menjaga agar tulang rawan tidak mengalami pengapuran lebih cepat. Selain itu glukosamin juga bermanfaat untuk merangsang pembentukan dan pemulihan jaringan tulang rawan yang rusak dan membantu mengurangi rasa nyeri pada sendi. Tulang membutuhkan kalsium, sedangkan sendi membutuhkan glukosamin agar bebas bergerak dan terhindar dari nyeri sendi. Tulang rawan sangatlah berperan penting karena berfungsi sebagai pelumas, meredam benturan-benturan antartulang, dan menghambat kehancuran tulang. Tulang yang mengandung zat perekat dan sedikit zat kapur ini menjaga agar tulang-tulang keras tidak saling berbenturan sehingga dapat menimbulkan nyeri sendi.

Secara normal, rawan sendi memiliki permukaan yang licin. Biasanya terjadi robekan-robekan kecil yang kemudian dapat diperbaiki oleh tubuh sendiri. Tetapi seiring bertambahnya usia, robekan-robekan tersebut tidak bisa lagi diperbaiki oleh tubuh karena kemampuan mensintesa glukosamin berkurang. Selain itu, dengan bertambahnya usia maka sel-sel kolagen juga berkurang.

Kemampuan tubuh untuk mensintesa glukosamin akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia dan ini dapat menyebabkan penyakit osteoarthritis dan menyebabkan nyeri sendi. Oleh sebab itu agar rawan sendi tetap terpelumas dengan baik dianjurkan agar menambah glukosamin dengan asupan dari luar. Hal ini menyebabkan konsumsi glukosamin di seluruh dunia meningkat dalam jumlah yang besar, sehingga metode handal dioptimalkan untuk mempersiapkan glukosamin dengan produk kualitas tinggi.

Glukosamin (2-amino-2-deoxyglucose, chitosamine) adalah gula amino yang diperoleh dari hidrolisis kitin. Kitin terutama dihasilkan dari kulit luar golongan

(18)

cara hidrolisis rangka luar golongan Crustacea seperti udang dan kepiting. Produk glukosamin untuk penderita penyakit arthritis biasanya dirumuskan sebagai garam hidroklorida atau glukosamin sulfat dan sering digabungkan dengan chondroitin sulfat. Dimana glukosamin memiliki peran penting dalam pembentukan dan perbaikan tulang rawan, sedangkan chondroitin berperan penting dalam membantu elastisitas tulang rawan.

Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai hidrolisis glukosamin. Rotta Research Laboratorium (1978) melaporkan bahwa glukosamin sulfat telah berhasil dipreparasi dengan perendaman kitin dalam larutan asam sulfat, namun reaksi ini menghasilkan rendemen dalam jumlah yang kecil. Untuk menghindari masalah ini, Mojarrad, et al. (2006) menyampaikan bahwa glukosamin sulfat dapat dibuat terlebih dahulu dengan merefluks kitin dengan larutan asam klorida untuk menghasilkan glukosamin hidroklorida kemudian ditambahkan baik kalium sulfat atau natrium sulfat sehingga diperoleh glukosamin sulfat.

Penelitian mengenai hidrolisis glukosamin hidroklorida sebelumnya telah dilakukan oleh Mojarrad, et al. (2006) dengan menggunakan kitin dari kulit udang. Begitu juga Kralovec & Barrow (2008) telah melakukannya pada udang, kepiting, dan lobster. Dengan alasan tersebut, peneliti berkeinginan untuk membuat glukosamin hidroklorida dengan menggunakan hidrolisis kitin dari cangkang belangkas, sehingga kita dapat melihat perbandingan karakteristik glukosamin hidroklorida yang dihidrolisis dari kitin cangkang belangkas.

1.2 Permasalahan

(19)

1.3 Pembatasan Masalah

- Penelitian ini dibatasi dengan pengunaan kitin dari cangkang belangkas

- Penelitian ini hanya dibatasi pada penentuan glukosamin hidroklorida dari kitin dengan variasi konsentrasi HCl 20%, 25%, 30%, 37%, kemudian dianalisa karakteristisasi dengan FT-IR dan Spektrofotometer Ultraviolet

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk pembuatan glukosamin hidroklorida dari hidrolisis kitin cangkang belangkas dan mengetahui karakteristik serta konsentrasi glukosamin hidroklorida yang diperoleh.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pembuatan glukosamin hidroklorida dari kitin cangkang belangkas.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Analisa Spectroscopy FT-IR

(Fourier Transform-Infra Red) di Laboratorium Penelitian Pusat Penelitian Kelapa

Sawit (PPKS).

1.7 Metodologi Penelitian

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glukosamin

Glukosamin (2-amino-2-deoxyglucose, chitosamine) adalah gula amino yang diperoleh dari hidrolisis kitin. Kitin terutama dihasilkan dari kulit luar golongan

Crustacea, Artropoda, dan cendawan. Dalam industri, glukosamin diproduksi dengan

cara hidrolisis rangka luar golongan Crustacea seperti udang dan kepiting. Glukosamin pertama kali diidentifikasi oleh Dr. Georg Ledderhose pada tahun 1876, tapi struktur stereokimia tidak sepenuhnya diketahui sampai ditemukan oleh Walter Haworth pada tahun 1939. Glukosamin dalam tubuh manusia bergabung dalam struktur tulang rawan dan bekerja untuk merangsang dan memperbaiki fungsi sendi. Telah terbukti keefektifan glukosamin dalam banyak uji ilmiah yang menyatakan bahwa glukosamin dapat mengurangi rasa sakit penyakit osteoarthritis, membantu dalam rehabilitasi tulang rawan, memperbaharui cairan sinovial, dan memperbaiki sendi yang telah rusak. (Mojarrad, et al. 2006)

Glukosamin telah dievaluasi sebagai sebuah agen terapi untuk penyakit radang sendi di German sejak 1969. Senyawa glukosamin sulfat dat diturunkan dari kitin. Dapat juga dihasilkan dengan cara sintetik. Di Eropa, glukosamin tersedia sebagai obat resep. Di UK atau Amerika Utara, glukosamin tersedia sebagai makanan suplemen diet.

(21)

sinovial, kulit, tulang, kuku, katup jantung, pembuluh darah, sekresi lendir dalam pencernaan, pernafasan, dan sistem kemih.

O

Gambar 2.1. (a) Struktur kimia glukosamin dan, (b) glukosamin hidroklorida

Dalam klinis, glukosamin dapat diberikan melalui intravena, intramuskular, intra artikular dan rute oral. Sekitar 70% oral glukosamin sulfat diserap melalui usus dan dikeluarkan melalui sistem ginjal. Sebagian besar uji klinis pada oral glukosamin digunakan glukosamin dosis standar, 500 mg diminum tiga kali sehari, dengan atau tanpa mengkonsumsi obat nyeri yang disarankan untuk pasien.

Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa glukosamin dapat diserap melalui saluran pencernaan. Studi radioisotop telah menunjukkan bahwa distribusi glukosamin cepat ke seluruh tubuh dengan penyerapan selektif oleh artikular tulang rawan. Penelitian vitro menunjukkan bahwa glukosamin dapat menstimulasi glukosaminoglikan dan sintesis proteoglikan dalam gabungan jaringan. Dalam studi hewan, dosis tinggi glukosamin telah terbukti memiliki efek anti inflamasi ringan. (Martin, C.W. 2004)

2.1.1 Penyediaan Glukosamin

(22)

Glukosamin sulfat dapat dibuat dengan merefluks kitin dengan larutan asam sulfat, namun reaksi ini memiliki hasil yang rendah. larutan asam sulfat dapat mengoksidasi kelompok alkohol primer dan sekunder dalam kitin atau glukosamin. Glukosamin sulfat sangat higroskopis yang sangat cepat terdegradasi (dari putih menjadi putih kecokelatan) bila terkena uap air. Untuk menghindari masalah ini, glukosamin sulfat dibuat dari glukosamin hidroklorida dengan menambahkan baik kalium atau natrium sulfat dan hasil campurannya dikokristalisasi. Glukosamin sulfat, fosfat, dan garam hidroiodin juga disiapkan dengan melewatkan larutan glukosamin hidroklorida melalui resin penukar anion yang telah dikondisikan dengan asam sulfat, asam fosfor, asam hidroiodin, atau garam logam dari satu asam ini. Penyusunan glukosamin hidroklorida dari kitin merupakan reaksi hidrolisis sederhana. Selama reaksi ini, kitin dideasetilasi dan didepolimerisasi menjadi glukosamin hidroklorida dengan adanya larutan asam klorida.

Kamasastri dan Prabhu menyiapkan glukosamin dari kitin dengan perlakukan penambahan klorida pekat berlebih. Kocourek, et al. kitin dihidrolisis dengan asam klorida 37% dalam wadah air mendidih. Inoue mengusulkan 2,5 L asam klorida 20% untuk hidrolisis 594,7 g kitin, yang telah diperoleh dari kerangka luar udang. Alphan menggunakan asam klorida 37% pada suhu 100oC dengan larutan asam pada perbandingan larutan 5:1. Ingle, et al. menerapkan 3 bagian asam klorida 20% pada suhu 100oC selama 2 jam dengan pengadukan untuk hidrolisis kitin. (Mojarrad, et al. 2006).

2.2 Belangkas

(23)

bahasa Jawa untuk yang berkelamin jantan dan Mintuna adalah untuk yang berkelamin betina.

Belangkas di dalam tangga klasifikasi ilmiah termasuk ke dalam filum Arthropoda (hewan beruas-ruas) di mana hewan-hewan seperti kepiting, serangga, dan kelabang juga termasuk ke dalam filum ini. Dasar dari penggolongan tersebut adalah karena belangkas memiliki 6 pasang kaki dan tubuh yang beruas-ruas. Ada 4 spesies belangkas yang diketahui oleh manusia dan masih hidup di masa kini di mana keempat spesies tersebut digolongkan ke dalam famili Limulidae.

(Sumber : Abbas, 2012) Gambar 2.2. Belangkas

Klasifikasi Belangkas

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Merostomata

Ordo : Xiphosura

(24)

Jenis-jenis :

1. Genus Carcinoscorpius

Carcinoscorpius rotundicauda, hidup di perairan mangrove Asia Tenggara

2. Genus Limulus

Limulus polyphemus, menghuni pantai-pantai timur Amerika Utara

3. Genus Tachypleus

- Tachypleus gigas, menghuni pantai Asia Tenggara dan Asia Selatan

- Tachypleus tridentatus, menghuni pantai-pantai Asia Timur (Abbas, 2012)

2.3 Kitin

Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi- -(1→4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan

40% O. struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida).

O

HOH2C

HO

O

NHCOCH3

*

*

n

(25)

jamur dari gugus Mucor, Phycomyces, dan Saccharomyces (Hirano, 1986; Knorr, 1991). Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Sebagai contoh, kulit udang mengandung 25-40% protein, 40-50% CaCO3, dan 15-20% kitin, tetapi besarnya komponen tersebut masih

bergantung pada jenis udangnya (Altschul, 1976). Sebagian besar kelompok

Crustacea, seperti kepiting, udang, dan lobster, merupakan sumber utama kitin

komersial. Di dunia, kitin yang diproduksi secara komersial 120 ribu ton per tahun. Kitin yang berasal dari kepiting dan udang besar 39 ribu ton (32,5%) dan dari jamur 32 ribu ton (26,7%)(Knorr, 1991).

Tabel 2.1. Kandungan kitin pada berbagai Crustacea

Sumber : Hirano, 1986

Jenis Organisme Kandungan Kitin (%)

Kepiting Cancer 72, 1c

Kepiting (Carcinus) 0,4-3,3

Kepiting Biru (Callinectes) 14a Kepiting Matsuba (Chionecetes) 25,9d

Kepiting (Erimacrus) 18,4d

Hemigraprapsus 10,6d

Kepiting Raja (Paralithodes) 35b 10,4a Kepiting Merah (Pleuroncodes) 1,3 1,8b

Udang Alaska 28d

Udang Crangon 5,8b 11,6d 69,1c

Metapenaeus 32,4d

Lobster (Nephrops) 69,8c

Lobster (Homarus) 60,8-77,0c

Penaeus 25d

(26)

Keterangan:

a

Berdasarkan bobot bahan basah

b

Berdasarkan bobot bahan kering

c

Berdasarkan bobot bahan organik pada kulit luar

d

Berdasarkan bobot kering total kulit luar

2.3.1 Sifat Kitin

Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373 ± 0,03 kal/g/oC (Knorr, 1984) dan derajat rotasi

spesifik [α]D18

+22o pada kosentrasi asam metanasulfonat 1,0%. Sebagai biopolymer

kristalin, kitin terdapat dalam γ bentuk Kristal di alam, yaitu α, , dan . Kitin- α berbentuk Kristal ortorombik dengan setiap unit selnya mengandung 4 cincin N

-asetil-D-glukosamina yang ditautkan dengan β ikatan glikosidik -(1→4) dan tertara secara

antiparalel, rapat, dan kompak. Kitin- berbentuk kristalin monoklin dan setiap unitnya terdiri atas 2 cincin N-asetil-D-glukosamina dan 2 molekul air yang tertara secara parallel. Sementara struktur kitin- diduga dalam β penataan, yaitu β rantai paralel dan 1 antiparalel. Ketiga bentuk kristalin tersebut dapat dibedakan dengan menggunakan spektroskopi IR pada bilangan gelombang 3160 dan 3190 cm-1.

Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa, tetapi larut dalam asam formiat, asam metanasulfonat, N,N-dimetilasetalmida yang mengandung 5% litium klorida, heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 (% [v/v])(Hirano, 1986). Asam mineral pekat seperti H2SO4, HNO3, dan H3PO4 dapat melarutkan kitin sekaligus

menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil (Bastaman,1989).

2.3.2. Kegunaan Kitin dan Kitosan

(27)

mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tanin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan membran mulai terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara dibidang pertanian dan pangan kitin dan kitosan digunakan sebagai pencampur ransum pakan ternak, antimikrob, antijamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasedifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang kedokteran kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albican dan Staphvlacoccus aureus. Selain itu bipolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran di alis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom,bahan ortoprdik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, antiinfeksi. (Purwantiningsih,S. 2009).

2.4 Spektrofotometer Ultraviolet (UV)

(28)

telah kita lihat, absorpsi juga tergantung pada panjang gelombang radiasi dan tabiat jenis zat molekular dalam larutan.

Hubungan antara absorpsi radiasi dan panjang jalan melalui medium yang menyerap pertama kali dirumuskan oleh Bouguer (1729), meskipun kadang-kadang dianggap berasal dari Lambert (1768). Marilah kita membagi sebuah medium penyerap yang homogen, seperti suatu larutan kimia, menjadi lapisan-lapisan maya, masing-masing dengan ketebalan yang sama. Jika suatu sinar radiasi monokhromatik (yaitu radiasi dari satu panjang gelombang tunggal) diarahkan melewati medium, diketahui bahwa tiap lapisan menyerap bagian yang sama dari radiasi, atau tiap lapisan mengurangi tenaga radiasi sinar dengan bagian yang sama. Pernyataan persamaan ini dapat berbunyi: Tenaga radiasi yang ditransmisikan berkurang secara eksponensial jika tebal medium penyerap bertambah secara aritmatik.

Hubungan antara konsentrasi macam zat penyerap dan besarnya absorpsi dirumuskan oleh Beer dalam tahun 1859. Hukum beer analog dengan hukum Bouguer dalam menguraikan pengurangan eksponensial dalam tenaga transmisi dengan satuan peningkatan aritmatik dalam konsentrasi. Hukum Beer dapat digunakan dengan tepat hanya untuk radiasi monokhromatik dan sifat macam zat yang menyerap ditetapkan di atas jangkauan konsentrasi yang bersangkutan, maka disebut “penyimpangan” dari hukum Beer.

Hukum-hukum Baouguer dan Beer dengan mudah digabung menjadi pernyataan yang sesuai. Kita mengetahui bahwa dalam mempelajari akibat perubahan konsentrasi terhadap absorpsi, jarak jalan lewat larutan harus dibuat tetap, tetapi hasil-hasil yang diukur akan tergantung pada besarnya harga tetapan.

2.4.1 Peralatan untuk Spektrofotometer

(29)

(Sumber : Underwood,A.L. 1983) Gambar 2.4. Bagan Alat Spektrofotometer

Unsur-unsur terpenting suatu spektrofotometer yaitu:

1. Sumber energi radiasi yang kontiniu dan meliputi daerah spektrum, dimana alat ditujukan untuk dijalankan.

2. Monokhromator, yang merupakan suatu alat untuk mengisolasi suatu berkas sempit dari panjang gelombang-panjang gelombang dari spektrum yang luas yang disiarkan oleh sumber.

3. Wadah untuk contoh

4. Detektor yang merupakan suatu transducer yang mengubah energi radiasi menjadi isyarat listrik.

5. Penguat dan rangkaian yang bersangkutan yang membuat isyarat listrik cocok untuk diamati.

6. Sistem pembacaan yang dapat mempertunjukkan besarnya isyarat listrik. (Underwood,A.L. 1983)

2.5 Spektroskopi FTIR

Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Bagi kimiawan organik, sebagian besar kegunaannya terbatas di antara 4000 cm-1 dan

Sumber Monokhromator Sampel Detektor

(30)

666 cm-1 (2,5 – 15,0 m). Sebuah molekul yang paling sederhana sekalipun dapat memberikan spektrum yang sangat rumit. Kimiawan organik mengambil keuntungan dari kerumitan spektrum itu dengan membandingkan spektrum senyawa yang tidak diketahui terhadap spektrum cuplikan yang asli. Suatu kesesuaian puncak demi puncak merupakan bukti yang kuat tentang identitasnya. Selain enantiomer, dua senyawa tidak mungkin memberikan spektrum inframerah yang sama.

Pancaran infra-merah terbatas di antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5 – 15,0

m), diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi getaran molekul.

Penyerapan ini juga tercatu, namun spektrum getaran tampak bukan sebagai garis-garis melainkan berupa pita-pita. Letak pita dalam spektrum inframerah disajikan sebagai bilangan gelombang atau panjang gelombang. Satuan bilangan gelombang (cm-1, kebalikan sentimeter). Terdapat dua macam getaran molekul yaitu getaran ulur dan getaran tekuk. Getaran ulur adalah suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom bertambah atau berkurang. Getaran tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah atom. (Silverstein, R.M. 1986)

Spektroskopi IR juga digunakan untuk penentuan struktur, khususnya senyawa organik dan juga untuk analisa kuantitatif. Spektrum infra merah memberikan puncak maksimal yang jelas sebaik puncak minimumnya. Spektrum absorpsi dibuat dengan bilangan gelombang pada sumbu X dan persentase transmitan (T) pada sumbu Y. Bila dibandingkan dengan daerah UV-tampak, dimana energi dalam daerah ini dibutuhkan untuk transisi elektronik, maka radiasi infra merah hanya terbatas pada perubahan energi setingkat molekul. Untuk tingkat molekul, perbedaan dalam keadaan vibrasi dan rotasi digunakan untuk mengabsorpi sinar inframerah. Jadi, untuk dapat mengabsorpi, molekul harus memiliki perubahan momen dipole sebagai akibat dari vibrasi. Berarti radiasi medan listrik yang berubah-ubah akan berinteraksi dengan molekul dan akan menyebabkan perubahan amplitude salah satu gerakan molekul. (Khopkar,S.M.2008)

2.5.1 Peralatan untuk Spektrofotometer Inframerah

(31)

dilewatkan melalui sampel dan larutan pembanding, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray radiation). Berkas ini kemudian didispersikan melalui prisma. Dengan melewatkannya melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor. (Khopkar,S.M.2008)

(Sumber : Fessenden,R.J.1983)

Gambar 2.5. Bagan Alat Spektroskopi Inframerah

Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofotometer inframerah. Komponen alat yang khas adalah sumber cahaya yang memancarkan cahaya inframerah pada semua panjang gelombang. Cahaya dari sumber ini pecah oleh sistem cermin menjadi dua berkas cahaya, berkas rujukan (referensi) dan berkas contoh. Setelah masing-masing melewati sel rujukan (pelarut murni, jika pelarut itu digunakan dalam contoh, atau kosong jika contoh tak menggunakan pelarut) dan sel contoh, kedua berkas ini digabung kembali dalam pemenggal (chopper; suatu sistem cincin lain), menjadi suatu berkas yang berasal dari kedua berkas itu, yang selang-seling bergantian. Berkas selang-seling ini didifraksi oleh suatu kisi sehingga berkas itu terpecah menurut panjang gelombang. Detektor mengukur beda intensitas antara kedua macam berkas tadi pada tiap-tiap panjang gelombang dan meneruskan informasi ini ke perekam, yang menghasilkan spektrum. Pita-pita inframerah dalam sebuah spektrum dapat dikelompokkan menurut intensitasnya : kuat (s, strong), medium (m) dan lemah (w,

Sumber Cahaya

Sel Contoh

Sel Rujukan

(32)

weak). Suatu pita lemah yang bertumpang-tindih dengan suatu pita kuat disebut bahu (sh, shoulder). Banyaknya gugus identik dalam sebuah molekul mengubah kekuatan relatif pita absopsinya dalam suatu spektrum. (Fessenden,R.J.1983)

2.5.2 Spektrum Inframerah untuk Glukosamin

Karakterisasi glukosamin hidroklorida dapat ditentukan dengan menggunakan spektroskopi inframerah. Menurut Mojarrad et al. (2006) spektrum inframerah dari glukosamin dapat dilihat sebagai berikut:

FT-IR Kitin (KBr) : 532 (w), 565 (w), 952 (w), 1024 (m), 1074 (m), 1114 (m), 1157 (m), 1205 (w), 1261 (w), 1314 (m), 1379 (m), 1429 (m), 1559 (m), 1629 (m), 1658 (m), 2890 (m), 2930 (m), 3130 (m), 3254 (m), 3443 (s), 3471 (s) cm-1.

FT-IR Glukosamin HCl (KBr) : 570 (s), 597 (s), 698 (w), 773 (m), 854 (m), 889 (w), 912 (m), 1002 (s), 1034 (s), 1066 (s), 1095 (s), 1137 (s), 1183 (m), 1394 (m), 1421 (s), 1535 (s), 1583 (s), 1614 (s), 2943 (s), 3042 (s), 3105 (s), 3350 (s) cm-1.

Spektrum inframerah dari glukosamin hidroklorida yang diperoleh menunjukkan deasetilasi apabila bilangan gelombang ~1700 cm-1 untuk C=O, yang ada dalam spektrum inframerah kitin telah menghilang. Dimana gugus-gugus penting pada glukosamin hidroklorida adalah O-H, N-H, dan ikatan glikosida.

Menurut Silverstein, R.M. (1986) gugus O-H berada di antara 3500-3200 cm-1 untuk glukosamin 3350 cm-1. Gugus N-H berada di antara 1610-1481 cm-1, untuk glukosamin 1535 cm-1. Gugus C-N berada diantara 1342-1266 cm-1, untuk glukosamin 1334 cm-1. Dan Ikatan glukosida berada diantara 1150-1085 cm-1,untuk glukosamin 1034 cm-1.

(33)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bahan-Bahan

1. Cangkang Belangkas

2. Asam Klorida p.a( E Merck)

3. Natrium Hidroksida p.a( E Merck)

4. Asam Fosfat p.a( E Merck)

5. Asam Formiat p.a( E Merck)

6. Etanol p.a( E Merck)

7. N-asetilglukosamin p.a( E Merck)

8. Aquadest

7. Timbangan Elektrik sartorius

8. Waterbath

15.Spectroscopy Fourier Transform Infra-Red shimadzu

(34)

3.3. PROSEDUR

3.3.1. Penyediaan Larutan Pereaksi 3.3.1.1.Pembuatan NaOH 0,5%

Ditimbang sebanyak 5 g NaOH dimasukkan dalam beaker glass 1000 mL, diencerkan dengan aquadest sampai volumenya 1 L

3.3.1.2.Pembuatan NaOH 5%

Ditimbang sebanyak 50 g NaOH dimasukkan dalam beaker glass 1000 mL, diencerkan dengan aquadest sampai volumenya 1 L

3.3.1.3.Pembuatan HCl 5%

Diukur sebanyak 50 mL HCl p.a diencerkan dengan aquadest sampai volumenya 1 L

3.3.1.4.Pembuatan HCl 20%

Diukur sebanyak 10 mL HCl p.a dimasukkan dalam labu takar 50 mL, lalu diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda.

3.3.1.5.Pembuatan HCl 25%

Diukur sebanyak 12,5 mL HCl p.a dimasukkan dalam labu takar 50 mL, lalu diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda.

3.3.1.6.Pembuatan HCl 30%

Diukur sebanyak 15 mL HCl p.a dimasukkan dalam labu takar 50 mL, lalu diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda.

3.3.1.7.Pembuatan HCl 37%

(35)

3.3.2. Proses Penyediaan Kitin

Proses penyediaan kitin dilakukan dengan menggunakan metode Agusnar,H. (2006). Teknik ini diawali dengan mencuci cangkang belangkas sampai bersih, kemudian direndam dalam larutan Natrium Hidroksida 0,5 % selama 24 jam, dicuci dengan H2O sampai bersih hingga pH 6,7. Kemudian dideproteinisasi dengan larutan

Natrium Hidroksida 5% selama 24 jam, dicuci dengan H2O sampai bersih hingga pH

6,7. Dilakukan uji kelarutan dengan Asam Fosfat 85%. Didemineralisasi dengan larutan Asam Klorida 5% selama 24 jam, dicuci dengan H2O hingga pH 6,7.

Dilakukan uji kelarutan dengan Asam Formiat 37%. Dikeringkan pada suhu kamar. Kemudian dihaluskan dan diayak dengan saringan 80 mesh.

3.3.3. Proses Hidrolisis Glukosamin Hidroklorida

Proses hidrolisis glukosamin hidroklorida dilakukan dengan menggunakan hidrolisis kimiawi yang dimodifikasi dari Mojarrad et al. (2006). Teknik ini diawali dengan perendaman serbuk kitin sebanyak 5 gram dalam larutan asam hidroklorida dengan perlakuan yang sama pada perbedaan konsentrasi yaitu 20%, 25%, 30%, 37%, dengan perbandingan 9:1 selama 4 jam pada suhu 90oC. Hidrolisis dilanjutkan dengan proses sentrifugasi bubur glukosamin hidroklorida dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Endapan yang diperoleh dicuci dengan etanol p.a, kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC selama 4 jam. Glukosamin hidroklorida yang telah dihasilkan kemudian dianalisis karakteristiknya, yaitu analisis Fourier Transform Infra Red (FT-IR) Spektrum. Kemudian ditentukan tingkat konsentrasinya dengan analisis Spectrophotometer Ultraviolet.

3.3.4. Analisis Glukosamin Hidroklorida dengan FTIR

(36)

Kepingan hasil pengepresan diukur absorbansinya melalui FTIR. Kisaran scanning yang digunakan antara 450 cm-1 sampai 4000 cm-1.

3.3.5. Analisis Glukosamin Hidroklorida dengan Spektrofotometer UV-Visible. 3.3.5.1.Untuk larutan Asam Fosfat

Dibuat larutan Asam Fosfat 0,002%; 0,005%; 0,008%; dan 0,012%, kemudian

diukur absorbansinya pada maksimum = 1λ7 nm. Dimana digunakan air suling

sebagai blanko.

3.3.5.2.Untuk N-asetilglukosamin

Dibuat larutan standar N-asetilglukosamin 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 mg/L

dalam larutan Asam Fosfat 0,005%, kemudian diukur absorbansinya pada

maksimum = 197 nm.

3.3.5.3.Untuk Glukosamin Hidroklorida

Dibuat larutan glukosamin hidroklorida (20%, 25%, 30%, 37%) dan glukosamin standar masing-masing dalam Asam Fosfat 0,005%, kemudian diukur

absorbansinya pada maksimum= 1λ7 nm.

(37)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Proses Penyediaan Kitin (Agusnar,H. 2006)

Direndam dengan NaOH 0,5% selama 24 jam Dicuci dengan air hingga pH 6,7

Dideproteinisasi dengan larutan NaOH 5% selama 24 jam

Dicuci dengan air hingga pH 6,7

Dilakukan uji kelarutan dengan Asam Fosfat 85%

Didemineralisasi dengan HCL 5% selama 24 jam

Dilakukan uji kelarutan dengan Asam Formiat 37%

Dicuci dengan air hingga pH 6,7 Dikeringkan pada suhu kamar Dihaluskan

Diayak dengan saringan 80 mesh Cangkang Blangkas

(38)

3.4.2 Proses Hidrolisis Glukosamin Hidroklorida dengan HCl (Mojarrad et al. 2006) Yang Telah Dimodifikasi

Ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan dalam labu leher tiga

Ditambahkan HCl 20% dengan perbandingan 9:1 (v/w)

Direfluks selama 4 jam pada suhu 90oC Didinginkan

Disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC

Disaring

Dicuci dengan etanol 100%

(39)

3.4.3 Analisis Larutan Asam Fosfat dengan Spektrofotometer Ultraviolet (Muzzarelli, 1978) Yang Telah Dimodifikasi

Diukur absorbansinya pada λ = 190 – 240 nm, air suling sebagai blanko

0.002% 0.005% 0.008% 0.012%

Asam Fosfat

max. 1λ7 nm

Kurva kalibrasi pada

(40)

3.4.4 Analisis N-asetilglukosamin dengan Spektrofotometer Ultraviolet (Muzzarelli, 1978) Yang Telah Dimodifikasi

Dibuat larutan standar dalam Asam Fosfat 0.005%

Diukur absorbansinya pada λ = 190 – 240 nm, air suling sebagai blanko. N-asetiglukosamin

10 ppm

Kurva kalibrasi pada

max. 1λ7 nm

(41)

3.4.5 Analisis Larutan Glukosamin Hidroklorida dengan Spektrofotometer Ultraviolet (Muzzarelli, 1978) Yang Telah Dimodifikasi

Ditimbang sebanyak 50 mg Dilarutkan dalam Asam Fosfat 0,005%

Diukur absorbansinya pada λ max = 197 nm

Serbuk Glukosamin Hidroklorida

(42)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Penyediaan Kitin

(43)

Perhitungan Presentase Kadar Abu

� =w − ww x %

Dimana W = Bobot contoh sebelum diabukan (g) W1 = Bobot contoh + cawan sesudah diabukan W2 = Bobot cawan kosong (g)

� = , ,− , x %

= ,, x %

= 0,30 %

Perhitungan Presentase Kadar Air

� � =ww x %

Dimana W = Bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = Kehilangan bobot setelah dikeringkan (g)

� � �� �� = ,, x %

(44)

4.1.2. Penentuan Karakteristik Glukosamin Hidroklorida dengan FTIR

Karakteristik glukosamin hidroklorida dapat ditentukan dengan menggunakan analisis FTIR, yang didapat dilihat pada lampiran 2 dan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.2. Data Karakteristik Glukosamin Hidroklorida dengan FTIR

Sampel O-H

4.1.3. Penentuan Konsentrasi Glukosamin Hidroklorida dengan Spektrofotometer Ultraviolet

(45)

Tabel 4.3. Data Pengukuran Absorbansi untuk Asam Fosfat pada λ = 197 nm

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Fosfat

y = 220.5x + 0.047

0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014

(46)

Tabel 4.4. Data Pengukuran Absorbansi untuk N-asetilglukosamin dalam Asam

Dari data pada Tabel 4.4 menujukkan konsentrasi asam fosfat yang digunakan adalah 0,005%. Menurut Muzzarelli (1978) kelarutan kitin baik digunakan pada konsentrasi asam fosfat 0,005%, sehingga digunakan konsentrasi asam fosfat 0,005% dalam penelitian ini.

(47)

Gambar 4.2. Kurva Kalibrasi N-asetilglukosamin

4.1.4. Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square

Hasil pengukuran absorbansi standar N-asetilglukosamin pada Tabel 4.4. diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh kurva kalibrasi berupa garis linier. Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi ini dapat diturunkan dengan metode least square dengan data pada Tabel 4.5.

y = 0.097x - 0.066

-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 10 20 30 40 50 60 70 80

A

b

sor

b

an

si

(48)

Tabel 4.5 Penurunan Persamaan Garis Regresi untuk Penentuan Konsentrasi Kadar Glukosamin Hidroklorida Berdasarkan Pengukuran Absorbansi Standar N-asetilglukosamin

Konsentrasi (x)

Absorbansi (y)

xy x2

0 0,00 0 0

10 0,90 9 100

20 1,95 39 400

30 2,80 84 900

40 3,80 152 1600

50 4,70 235 2500

60 5,75 345 3600

70 6,95 486,5 4900

Ʃx = 280 Ʃy = 26,85 Ʃxy = 1350,5 Ʃx2 = 14000

Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan metode least square sebagai berikut :

=n Ʃxy − Ʃx Ʃyn Ʃx2 − Ʃx ²

= , − ,

− ²

= −

=

(49)

= Ʃx2 Ʃy − Ʃxy Ʃx

n Ʃx2 − Ʃx ²

= , − ,²

= −

=−

= - 0,066

Maka persamaan garis yang diperoleh adalah : = +

= , + − ,

Tabel 4.6. Data Pengukuran Absorbansi untuk Sampel Glukosamin

Hidroklorida pada λ = 197 nm

Sampel Glukosamin Hidroklorida

Absorbansi (H) untuk Glukosamin Hidroklorida dalam Asam Fosfat 0,005%

Absorbansi (H) Sampel Glukosamin

Hidroklorida

Glukosamin HCl 20% 4,80 3,20

Glukosamin HCl 25% 5,06 3,46

Glukosamin HCl 30% 5,43 3,83

Glukosamin HCl 37% 5,80 4,20

Glukosamin HCl

(50)

Penentuan konsentrasi Glukosamin Hidroklorida dalam sampel

=y − b

- Glukosamin HCl 20%

= , − − ,,

= 33,67

- Glukosamin HCl 25%

= , − − ,,

= 36,35

- Glukosamin HCl 30%

= , − − ,,

= 40,16

- Glukosamin HCl 37%

= , − − ,,

= 43,97

- Glukosamin HCl standar

= , − − ,,

(51)

Tabel 4.7. Data Perhitungan Konsentrasi Sampel dengan Spektrofotometer Ultraviolet

Sampel Konsentrasi (ppm)

Glukosamin HCl 20% 33,67

Glukosamin HCl 25% 36,35

Glukosamin HCl 30% 40,16

Glukosamin HCl 37% 43,97

Glukosamin HCl standar 64,59

4.2 Pembahasan

Pembuatan dan karakteristik glukosamin hidroklorida dari kitin telah dilakukan dengan menggunakan metode hidrolisis kimia. Kitin dibuat dari cangkang belangkas, dimana belangkas yang digunakan diperoleh dari tepi pantai cermin Serdang Bedagai. Pembuatan kitin dilakukan dengan metode Agusnar,H. (2006). Belangkas dibersihkan, diambil cangkangnya dan ditimbang. Direndam cangkang belangkas dalam NaOH 0,5% selama 24 jam, dicuci dengan air sampai pH 6,7. Kemudian direndam kembali dengan NaOH 5% selama 24 jam dan dicuci dengan air sampai pH 6,7. Perendaman dengan NaOH dilakukan untuk penghilangan protein, dimana pada kerangka luar golangan Crustasea (seperti belangkas) mengandung kitin yang berikatan dengan kalsium karbonat (CaCO3) dan protein, terkadang juga dengan

(52)

Kemudian dilakukan demineralisasi dengan perendaman dalam HCl 5% selama 24 jam. Johnson dan Peniston (1982) melaporkan, bahwa kerangka luar

Crustasea umumnya mengandung 30-50% mineral berdasarkan bobot kering, dan

mineral terbanyak berupa CaCO3, selain itu terdapat pula Ca3(PO4)2 dengan kadar

8-10% dari total bahan organik. Kemudian dilakukan uji kelarutan dengan asam formiat 37% dan dicuci dengan air sampai pH 6,7. Kemudian dikeringkan pada temperatur kamar. Setelah kering dihaluskan haluskan dan diayak dengan saringan 80 mesh, maka dihasilkan serbuk kitin.

Serbuk kitin yang diperoleh dihitung persentase hasil kitinnya, dimana berat kitin yang diperoleh dibagi dengan berat cangkang dikali 100%, maka diperoleh persen hasil kitin sebanyak 30,8%. Kemudian dihitung persentase kadar abu dan diperoleh kadar abu sebanyak 0,30%. Kemudian dihitung persentase kadar air dan diperoleh kadar air sebanyak 12,20%.

Setelah diperoleh kitin, kemudian dilakukan hidrolisis untuk menghasilkan glukosamin hidroklorida. Proses hidrolisis dilakukan dengan perendaman serbuk kitin belangkas dalam asam klorida dengan variasi konsentrasi HCl 20%, 25%, 30%, dan 37%. Dilakukan dengan variasi konsentrasi HCl untuk melihat perbandingan karakteristik glukosamin HCl yang diperoleh, yang manakah yang paling sesuai dengan karakteristik glukosamin HCl standar. Serbuk kitin direndam dalam HCl (20%, 25%, 30%, 37%) dengan perbandingan 9:1 (v/w) dimana 5 g serbuk kitin direndam dengan HCl 45 ml. Kemudian direfluks selama 4 jam pada temperatur 90oC, lalu didinginkan. Kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada temperatur 4oC dan disaring. Residu yang diperoleh dicuci dengan etanol 100%, dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada temperatur 4oC dan disaring. Residu yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada temperatur 40oC selama 4 jam. Kemudian dianalisis karakteristiknya dengan uji FT-IR dan ditentukan konsentrasinya dengan uji Spektrofotometer UV.

(53)

yang digunakan antara 450 cm-1 sampai 4000 cm-1. Dari hasil pengukuran spektrum inframerah menunjukkan bahwa gugus O-H pada glukosamin HCl (20%, 25%, 30%, 37%) berturut-turut 3446; 3448; 3450; 3448 cm-1, yang masing-masing memperlihatkan garis lebar dan kuat. Sedangkan glukosamin HCl standar menunjukkan garis lebar dan kuat pada spektrum 3295 cm-1. Menurut Mojarrad et al. spektrum gugus O-H pada glukosamin HCl 3350 cm-1.

Untuk gugus N-H pada glukosamin HCl (20%, 25%, 30%, 37%) berturut-turut 1557; 1559; 1556; 1560 cm-1 yang masing-masing menunjukkan garis sedang. Sedangkan glukosamin HCl standar menunjukkan garis tajam dan kuat pada spektrum 1539 cm-1. Menurut Mojarrad et al. spektrum gugus N-H pada glukosamin HCl 1535 cm-1.

Untuk gugus C-N pada glukosamin HCl (20%, 25%, 30%, 37%) berturut-turut 1379 cm-1, 1379 cm-1, 1379 cm-1, 1379 cm-1 yang masing-masing menunjukkan garis sedang. Sedangkan glukosamin HCl standar menunjukkan garis sedang pada spektrum 1334 cm-1. Menurut Mojarrad et al. spektrum gugus C-N pada glukosamin HCl 1394 cm-1.

Untuk ikatan glikosida pada glukosamin HCl (20%, 25%, 30%, 37%) berturut-turut 1073; 1074; 1074; 1074 cm-1 yang menunjukkan garis lemah. Sedangkan pada glukosamin HCl standar menunjukkan garis kuat pada spektrum 1033 cm-1. Menurut Mojarrad et al. spektrum ikatan glikosida pada glukosamin HCl 1034 cm-1.

Dari hasil pengukuran di atas menunjukkan bahwa glukosamin HCl dari hidrolisis kitin cangkang belangkas dengan perbandingan variasi konsentrasi HCl 20%, 25%, 30%, 37%, menghasilkan pita serapan yang hampir sesuai dengan glukosamin HCl standar. Menurut Mojarrad et al. hal ini dapat dikarenakan pengaruh konsentrasi HCl, suhu, dan waktu hidrolisis, sehingga glukosamin hidroklorida yang terbentuk masih dalam konsentrasi yang kecil. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh perbedaan bahan baku kitin, karena bahan baku kitin yang digunakan berbeda sehingga menghasilkan kandungan kitin yang berbeda pula.

(54)

0.00β%, 0.005%, 0.008%, 0.01β%, kemudian diukur absorbansinya pada maksimum

197 nm, dimana digunakan air suling sebagai pembanding. Muzzarelli (1978) melaporkan, pelarut yang baik untuk kitin belangkas adalah asam fosfat 0.005% sehingga digunakan asam fosfat 0.005% dalam penelitian ini. Asam fosfat 0.005% menunjukkan nilai absorbansi sebesar 1,18. Kemudian dibuat N-asetilglukosamin

dengan konsentrasi 10,β0,γ0,40,50,60,70 mg/L dalam asam fosfat 0.005% pada

maksimum 197 nm. Pengukuran absorbansi N-asetilglukosamin dan sampel glukosamin hidroklorida yang dilarutkan dalam asam fosfat 0.005% harus dikurangi dengan 1,18 untuk memperoleh absorbansi yang sebenarnya dari kedua senyawa tersebut. Kemudian dibuat kurva kalibrasi N-asetilglukosamin sehingga diperoleh y=0.097x – 0.066, dan dibuat persamaan regresi dan diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh.

(55)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Glukosamin hidroklorida telah dibuat dari dihirolisis kitin cangkang belangkas. Glukosamin hidroklorida menunjukkan karakteristik yang hampir sama dengan glukosamin hidroklorida standar. Spektrum glukosamin hidroklorida yang diperoleh hampir sesuai dengan spektrum glukosamin hidroklorida standar. Tingkat konsentrasi glukosamin hidroklorida mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi HCl.

5.2 Saran

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas. 2012. Kandungan Ketam Ladam Belangkas.

http://fennamagazine.wordpress.com

Agusnar, H. 2006. Potensi Cangkang Belangkas (Tachypleus gigas) di Perairan

Sumatera Utara Sebagai Bahan Kitin dan Kitosan. Sains Kimia. Vol 8. PP

22-2.

Bastaman S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of chitin and Chitosan

From Prawn Shell (Nephrops norvegicus) [Tesis]. Belfast: Faculty of

Engineering, The Quen’s University of Belfast.

Dr.Craig W. M. 2004. Glucosamine: Review of its Effectiveness in Treating Knee

Osteoarthritis. Worksafe Compentation and Rehabilitation Services

Division.

Fessenden,R.J & Fessenden, J.S. 1983. Kimia Organik. Edisi Kedua. Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Hirano S. 1986.Chitin and Chitosan. In Ullmann’s Encyclopedia of Industrial

Chemistry.Completly revised edition.Weinheim,New 40ork.

Khopkar, SM. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Knorr D.1991.Recovery and Utilization of Chitin and Chitosan in Food processing

Waste Management.Food Tech.45 (1):114-122

Kralovec JA, Barrow CJ. 2008. Marine Nutraceutical and Functional Foods:

Glucosamine Production and Health Benefits. Canada: CRC Press.

Mojarrad JS, Mahboob N, Valizadeh H, ansarin M, Bourbour S. 2006. Preparation of Glucosamine from Exoskeleton of Shrimp and Predicting production Yield

by Response Surface Methodology. Journal of Agricultular and Chemistry

55:2264-2250

Muzzarelli, R.A.A. 1978. Chitin. Oxford : Pergamon Press

Purwantiningsih S, Wukirsari T, Sjahriza A, Wahyono D. 2009. Kitosan: Sumber

Biomaterial Masa Depan. Cetakan Pertama. Bogor: IPB Press

Rotta Research Laboratorium. 1987. Stable Compounds Of Glucosamine Sulphate. US Patent 4,642,340.

Silverstein, Robert M. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik. Jakarta : Erlangga

(57)

Lampiran 1. Spektrum kitin hasil pengujian FTIR

Gambar a. Spektrum FTIR Kitin Belangkas

(58)

Lampiran 2. Spektrum Glukosamin HCl hasil pengujian FTIR dan Glukosamin HCl standar.

Gambar b. Spektrum FTIR Glukosamin HCl dari HCl 20%

(59)
(60)
(61)
(62)
(63)

Gambar

Gambar 2.1. (a) Struktur kimia glukosamin dan, (b) glukosamin hidroklorida
Gambar 2.3. Struktur kimia kitin
Gambar 2.5. Bagan Alat Spektroskopi Inframerah
Tabel 4.1 Data Persen Hasil Kitin dari Cangkang Belangkas Metode
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini didapatkan hasil wawancara terstruktur yang menjawab pertanyaan yang merasakan adanya perubahan kegiatan jantung dan denyut nadi tanpa stimulasi

The International Conference on Information Technology, Computer, and Electrical Engineering (ICITACEE 2014) is now held in Semarang, Indonesia and being organized under the

Merupakan kejadian klinikal atau subklinikal AIB yang dikesan dan dikenalpasti oleh Pihak Berkuasa Veterinar (PBV) pada ayam dan disahkan melalui pemencilan

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terwujudnya kerjasama ini, MK terima kasih terutama Bapak Menteri yang membawahi semua apa namanya

PERTAMA : Penyelenggara Ujian Nasional melalui rapat dewan guru menetapkan kelulusan peserta didik berdasarkan kreteria kelulusan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan

[r]

Bioac vity and gene c screening of ac nobacteria associated with red algae Gelidiella acerosa were conducted to discover new an bacterial compounds against Vibrio alginoly cus.. A

There are 4 indicators in work career development measured for the employees: (1) the company provides the opportunity for career development; (2) the company provides the