• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran sikap orang tua yang mempunyai anak autisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran sikap orang tua yang mempunyai anak autisme"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

NENENG HASANAH NIM : 103070029008

Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

FAKUL T AS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS !SLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

▸ Baca selengkapnya: menurut pendapat anda, bagaimana sebaiknya sikap orang tua dito ketika nilai ipa dito tertinggal dari teman-temannya? jelaskan.

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

NENENG HASANAH '

NIM: 10307002900afffWs,·,;,.,.

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I,

Dra. Agustvawati, M. Phil, sne NIP. 132121898

Pembimbing II

Yufi Adriani, M.Si, Psi. NIP.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta rada tanggal 12 November 2007. Skripsi ini telah cli terima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 12 November 2007

Sidang Munaqasyah

Penguji I,

Dra. N_E2tt Hmtati._M.Si NIP. 150 5 938

Pembimbing I,

Dra. Agustyawati, M.Phil;Sne NIP. 132 121 898

Anggota:

Penguji II

Dra. Aaustyawati. M.Phil,Sne f\llP.

1:l2 121

898

Pembimbing II

セセセᄋ@

[image:3.595.30.440.86.703.2]
(4)

Saya pasti gagal

<Bifa

saya 6eifiRjr align menang

Saya pasti menang

(5)

(D) GAMBARAN SIKAP ORANG TUA YANG MEMPUNYA1 ANAK AUTISME

(D) 95 Hal + 7 Lampiran

(F) Sikap didefinisikan kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang.sikap ini dapat bersifat negatif mau pun positif. Sikap terbentuk melalui proses pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan

pengaruh faktor emosi.

Dengan memiliki anak autisme yang mengalarni gangguan dan

keterlambatan dalam bidang komunikasi, kognitif, bahasa, perilaku,dan interaksi sosial membuat orang tua mendapat ejekan dari orang lain, sehingga mengakibatkan orang tua bersikap negatif terhadap apa yang dialaminya. Fenomena yang terjadi membuat penulis tertarik untuk mengambil penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran sikap orang tua terhadap anak autisme. Sikap yang direalisasisikan adalah kognisi, afeksi dan konatif. Siki:ip yang dilihat dari bagaimana subjek dengan lingkungan, ォeセャオ。イァ。@ dan kerabat.

Dalam penelitian ini, penulis mengunakan pendekatan kualitatif ugar mendapatkan hasil penelitian yang mendalam, dengan mengunakan teknik wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode penunjang. Sampel yang digunakan sebanyak tiga orang, yaitu orang tua yang mempunyai anak autisme. Orang tua pada penelitian ini penulis memilih lbu sebagai responden dengan alasan untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya mengenai kondisi anak. Penelitian dilakukan ditempat yang berbeda, anak autisme yang tidak bersekolah, di sekolah luar biasa dan bersekolah regular.

(6)

mendengar hasil diagnosa dokter, bersikaplah positif demi kemajuan anak kelak dan buang jauh-jauh rasa malu yang dihadapi, yakinkan diri bahwa dengan memberikan pengertian kepada orang lain, minimal orang lain tahu akan kondisi anak. Dengan hasil ini dapat dijadikan referensi di dalam kehidupan orang tua yang mempunyai anak autisme.

(7)

8. Bapak (Yamin) dan mama (Minah) yang telah memberikan motivasi dan doa untuk keberhasilan penulis, kakakku (Kak Titi) dan adikku (lndah, dayink) terima kasih atas dorongan kalian, serta AA dan Nana yang membantu penulis dalam mencari responden. 9. Untuk teman-teman Psikologi angkatan 2003 terutama kelas A,

Memey, lta, Y2n, Leni, lcha, Thea-Cha, Dani, lyoez, Ramdan, dan teman-teman yang tidak bisa disebut satu persatu. Teman KKL, Lucky, lkah, lntan C, lryn serta anak-anak panti. Sohibku, Q -cool, Vtha-Chu, lntan, Ai, Bowo, Kamal, Adit dan Ira sweety yang selalu mendorong, membantu dan mendengarkan keluh kesah penulis, terutama Dian lmut yang telah memberikan judul. Sahabatku Risma, Q'ray, O'O, Ida, lbah, Abe, lndie, Mantok, B'Sur, lsmet, Breonk, anak-anak Cafe dan Qatar? makasih ya atas doanya. 10. Spesial thank you to 1-Poel yang selalu memba.ntu penulis dalam

meluangkan waktunya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan untuk karena itu kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini, dan hanya kepada Allahlah akhirnya penulis berserah diri.

Jakarta, September 2007

(8)

Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan

ii iii Motto ... 1v Abstrak Kata Pengantar v vii ix Daftar lsi

Daftar Ta be I . . . .. . . .. . . .. . . .. . . . .. . .. . . .. . . .. . . xii

Daftar Gambar xiii

BABI

BAB II

PENDAHULUAN

I. I. Latar belakang masalah 1.2. ldentifikasi masalah

l.3. Pembatasan dan perumusan masalah

1-11

1

8

Ll.1. Pembatasan masalah . . . 8

1.3.2. Perumusan masalah

1.4. Tujuan dan manfaat penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

1.4.2. Manfaat penelitian

1.5. Sistematika penulisan ... .

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Autisme

2.1.1. Definisi Autisme

9 9 9 10 12-39 12

(9)

BAB Ill

2.2.2. Ciri-ciri Sil<ap 2.2.3. Struktur Sikap

2.2.4. Proses pembentukan dan perubahan 25 27

sセー@ ... セ@ 2.2.5. Faktor-fai<tor yang mempengaruhi

Sil<ap .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . . 29 2.2.6. Fungsi Sil<ap ... 32 2.3. Sikap orang tua terhadap l<ondisi anal<

Autisme .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .... .. .. .. ... .... .. .. . 33 2.4. Kerangl<a berfikir .. .. . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .. ... 38

METODELOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

3.1.1. Pendekatan penelitian 3.1.2. Metode penelitian 3.2. Pengambilan sampel

3.2.1. Populasi dan sampel

3.2.2. Teknik pengambilan sampel 3.3. Pengumpulan data

3.3.1. Metode dan Instrument

40-51 40 41 42 43 43 3.3.2. lnstrumen penelitian .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . . 47 3.4. Prosedur penelitian

(10)

BABIV

BABV

PRESENTASI DAN ANALISA DATA 4.1. Gambaran umum subjek penelitian

52-86 52 4.2. Gamba ran dan Analisis kasus . . . .. . . 53 4.2.1. Kasus I . . . .. . . .. . . .. .. . . 53 4.2.2. Kasus II . . . .. . . 62 4.2.3. Kasus Ill

4.3. Analisis antar kasus

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

5.2. Diskusi 5.3. Saran

71

83

8-93

87

89

91

(11)
[image:11.595.52.425.156.580.2]

Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu) .. .... .... .... .... .. .. .... .. .... 52

Tabel 4.1.2. Data Anak .... .. ... .... .. .... ... ... 53

(12)
(13)

1.1. Latarbelakang masalah

Anak adafah karunia, kehadirannya disambut dengan suka cita dan penuh

harapan. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang

sempurna, tetapi sefalu saja ada keadaan di mana anak memperlihatkan

gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contohnya

adalah ketika Tuhan menitipkan karunia-Nya yang tidak sempurna yaitu

individu autisme kepada beberapa hamba-Nya.

Sejak beberapa tahun terakhir ini masalah autisme memang mulai

merebak di Indonesia, ini terlihat dengan mulai beredarnya informasi

mengenai autisme, dibukanya pusat-pusat terapi, terbentuknya

yayasan-yayasan yang bergerak di bidang autisme sampai seminar-seminar

nasional yang membicarakan masalah ini dengan pakar-pakar darl dalam

maupun luar negeri.

lstifah autisme sudah cukup popular di kalangan masyarakat, karena

banyaknya media massa dan efektronik yang mencoba untuk

(14)

persentasinya di Indonesia namun tetap sukar untuk menentukan angka

yang pasti. Dari kepustakaan sebelum tahun 1990-an disebutkan ada

sekitar dua sampai lima kasus per sepuluh ribu kelahiran. Kemudian

tahun 1990-an meningkat menjadi lima belas sampai dua puluh kasus per

sepuluh ribu kelahiran. Data terakhir tahun 2001 dari CDC (Centers for

Disease Control and Prevention) menunjukkan peningkatan yang _:auh

lebih banyak lagi, yaitu sekitar enam puluh kasus per sepuluh ribu

kelahiran atau satu di antara dua ratus lima puluh penduduk.

(www.suarapembaruan.com)

Menurut data Yayasan Autisme Indonesia, sekarang ini diseluruh

Indonesia terdapat dua belas klinik dan rumah sakit yang menangani

autisme, serta seratus tiga puluh dua tempat terapi dan sekolah khusus

autisme. (www.kompas.com)

Pemakaian istilah autisme kepada penderita diperkenalkan pertama kali

oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kaniner, Autistic

Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan

pengamatan terhadap sepuluh penderita yang menunjukkan gejala

kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang

(15)

gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) di mana terjadi

penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan

kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme s;eperti hidup dalam

dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu

kumpulan gejala kelainan perilaku dan perkembangan. Dengan kata lain,

pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan

(gangguan pervasif). Autisme dapat terjadi pada semua kelompok

masyarakat kaya, miskin, di desa, di kota, berpendidikan maupun tidak

serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.

Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika memegang

peranan penting pada terjadinya autisme. Bayi kembar satu telur akan

mengalami gangguan autisme yang mirip dengan saudara kembamya.

Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga yang mengalami

gangguan yang sama. Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo,

herpes; jamur; nutrisi yang buruk; perdarahan; keracunan rnakanan, dan

sebagainya yang terjadi pada kehamilan yang dapat menghambat

pertumbuhan sel otak dan yang terjadi dapat menyebabkan fungsi otak

bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi

dan interaksi. Akhir-akhir ini dari penelitian terungkap juga hubungan

antara gangguan pencernaan dan gejala autisme. Temyata lebih dari

(16)

pencernaan yang kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi

(casein) dan tepung terigu (gluten) yang tidak tercerna dengan sempurna.

Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino

tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang

seharusnya di buang lewat urine. Ternyata pada penyandang autisme,

peptida ini diserap kembali oleh tubuh, masuk ke dalam aliran darah,

masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu

casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak

dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya

adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku. (Dil<dasmen

Depdiknas)

Mengingat sifat gangguannya yang kompleks dan mengenai hampir

seluruh aspek perkembangan anak, gangguan 。オエゥウュ・セ@ tidak dapat

dipandang sebagai hal yang ringan. Gangguan autisme membutuhkan

kesabaran yang luar biasa dalam pola pengasuhan dan perawatan yang

khusus. Perilaku agresif, merusak dan menyakiti diri ウ\セョ、ゥイゥ@ merupakan

perilaku yang paling berat untuk dihadapi. Semuanya terlihat seperti di

luar kontrol anak. Walaupun anak terlihat Jelah dan cape, tetapi otaknya

meminta tubuh anak untuk terus berlari dan berlari sampai batas

energinya habis dan pada akhirnya anak tidur kelelahan. Betapa beratnya

(17)

gangguan autisme. Keadaan berat ini di perparah ka1ena sebagai orang

tua mengharapkan anaknya sehat, cerdas dan normal seperti anak-anak

lainnya. Memiliki gambaran yang ideal dan bermimpi tentang kesuksesan

yang akan diperoleh anaknya kelak di masa depannya. Dihadapkan oleh

kenyataan pahit yang mengejutkan dan rnembuyarkan impian pada anak

tercinta, maka pada saat itu muncullah kekecewaan yang mendalam dan

sulit untuk digambarkan. Kebanyakan orang tua mengalamai Shock

bercarnpur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika

pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan

autisme. Reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua

tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Setiap orang tua yang

mendengar hasil diagnosa bahwa anaknya menderita autisme akan

menunjukkan reaksi emosional yang kuat. Memang hal ini adalah

persoalan yang sangat sulit dihadapi para orang tua, dan mereka dipaksa

untuk berhadapan dengan keadaan tersebut, serta dipaksa untuk

menerima kenyataaan yang menekan ini.

Perasaan tak percaya bahwa anaknya mengalami autisme

kadang-kadang menyebabkan orang tua mencari dokter lain untuk menyangkal

diagnosa dokter sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti

dokter. Dan pada akhirnya, setelah dihadapkan pada fakta yang objektif

(18)

terpukul dan terpaksa menerima kenyataan pahit yang menimpa anaknya.

Tentu saja, hal ini sangat memukul perasaan orang tua. Bagaimana tidak,

anak yang sangat dicintainya harus menderita suatu !Jangguan autisme.

Belum lagi ketika mengetahui harapan-harapan keluarga besar, kakek dan

neneknya yang mengharapkan cucu yang sehat dan cerdas tidak

terpenuhi, orang tua pun semakin tertekan. Jelas ini bukan perasaan

yang mengenakan bagi orang tua dengan anak yang menderita autisme.

Hal ini juga dapat mempengaruhi sikap orang tua dalam berinteraksi

dengan orang lain. Sewaktu berada dalam lingkungan dan situasi sosial

selalu saja ada mekanisme mental yang mengevakuasi, membentuk

pandangan, mewarnai perasaan, dan ikut menentukan kecenderungan

perilaku terhadap manusia atau sesuatu yang kita haclapi, bahkan

terhadap diri kita sendiri. Sikap yang diartikan sebagai kesiapan,

kesediaan dan kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu objek

tertentu dan berubah sejalan dengan perkembangan individu atau dengan

kata lain sikap merupakan hasil belajar individu melalui interaksi sosial.

(Sarlito W. S, 1996)

Yang berarti bahwa sikap dapat dibentuk dan diubah rnelalui pendidikan.

Sikap positif dapat berubah menjadi negatif jika tidak rnendapatkan

pembinaan dan sebaliknya sikap negatif dapat berubah menjadi positif jika

(19)

disadari orang tua telah mengawali kelemahannya dengan menumbuhkan

kecenderungan untuk berpikir negatif didalam menilai diri dan

lingkungannya. Selanjutnya, mulai mengembangkan sikap negatif itu

didalam menjalankan kehidupannya.

Dengan orang tua merasa malu kepada khalayak ramai dan tidak ingin

anaknya yang menderita autisme diketahui banyak orang, perasa;:.in malu

pun akan muncul ketika orang tua berhadapan dengan lingkungan sosial,

dengan adanya perasaan minder bahwa orang tua memiliki anak :1ang

mengalami gangguan autisme. Seperti seorang lbu rnenuturkan, "Kadang

saya merasa dan berfikir semua orang mencemooh saya, memandang

aneh anak saya, saya jadi ragu-ragu untuk keluar rumah bersama anak

saya, saya seperti menjadi orang tua yang tidak berharga, karena tidak

mampu melahirkan anak normal .... " (Triantoro Safaria, 2005)

Ketidaknormalan serta kekurangan dengan kecacatan fisik yang

dimilikinya merupakan suatu hal yang dapat menjadikan orang tua

berfikiran negatif, untuk mengajak anaknya berinteraksi dengan

lingkungan. Namun demikian terdapat juga orang tua yang berfikiran

positif meskipun anaknya memiliki fisik yang tidak normal. Berdasarkan

asumsi-asumsi tersebut penulis tertarik untuk meneliti " Gambaran Sikap

(20)

1.2. ldentifikasi masalah

Dari latar belakang masalah diatas maka ada beberapa permasalahan

yang dapat diidentifikasi di antaranya:

1. Bagaimanakah sikap orang tua yang rnempunyai anak autisme?

2. Apakah orang tua yang mempunyai anak autisme dalam bersikap

cenderung melakukan tindakan setelah mengetahui anaknya

menderita autisme?

3. Apakah lingkungan mempengaruhi sikap orang tua yang mempunyai

anak autisme dalam bersikap?

1.3. Pembatasan dan perumusan masalah

Dalam penelitian ini peneliti memberi batasan masalah penelitian adalah

sebagai berikut:

1.3.1. Pembatasan masalah

1.3.1.1. Sikap yang di maksud ialah bagaimana kecenderungan orang tua

(lbu) yang mempunyai anak autisme dalam bersikap. Di mana

sikap tersebut dapat bersifat positif dan negatif. Dalam sikap

positif, orang tua {lbu) cenderung menerima keadaan anak dan

selanjutnya melakukan tindakan terapi, menyekolahkan, dan

(21)

Sedangkan sikap negatif orang tua (lbu) menolak keadaan anak

dan bersikap seperti tidak menghiraukan anak.

1.3.2. Perumusan masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka perumusan masalah

penelitian adalah " Bagaimana Gambaran Sikap Orang Tua yang

Mempunyai Anak Autisme ".

1.4. Tujuan dan manfaat penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Bagaimana Gambaran Sikap

Orang Tua yang Mempunyai Anak Autisme".

1.4.2. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berrnanfaat dalam

melengkapi kajian ilmu pengetahuan khususnya bidang psikolgi klinis,

pendidikan dan perkembangan.

b. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan

(22)

pemahaman bagi orang tua yang mempunyai anak autisme dalam

bersikap.

1.5. Sistematika penulisan

Adapun inti dari keseluruhan penulisan sebagai berikut:

BAB 1 Berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latarbelakang masa:ah,

ldentifikasi masalah, Pembatasan dan perumusan masalnh,

Tujuan dan manfaat penelitian, Sistematika penulisan.

BAB 2 Berisi tentang Kajian Pustaka yang terdiri dari Definisi autisme,

Manifestasi klinis autisme, Penyebab autisme, Pengelompokkan

autisme, Definisi sikap, Ciri-ciri sikap, Struktur sikap, Proses

pembentukan dan perubahan sikap, Faktor-faktor yang

mempengaruhi sikap, Fungsi sikap, Sikap orang tua terhadap

kondisi anak autisme, Kerangka berfikir dan Hipotesa.

BAB 3 Berisi Metedologi Peneliti yang terdiri dari Jenis penelitian,

Pendekatan penelitian, Metode penelitian, Pengambilan sampel,

Populasi dan sampel, Teknik pengambilan sampel, Pengumpulan

data, Metode dan instrumen, Instrument penelitian, Prosedur

penelitian, Tahap persiapan penelitian, Tahap pelaksanaan

penelitian, Tahap pengolahan data, Teknik analisis data dan Etika

(23)

BAB 4 Berisi Hasil Penelitian yang terdiri dari Gambaran umum subjek

penelitian, Gambaran dan analisis kasus, Analisis antar kasus.

BAB

5

Berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan, Diskusi dan

Saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA

(24)

2.1. Autisme

2.1.1. Definisi Autisme

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani "auto" bera1ii sendiri yang

ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "Hidup dalam

dunianya sendiri ". (autism.blogsome.com)

Autisme adalah gangguan dalam perkembangan neurobiologis yang berat

atau luas, terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupan.

Masalah ini bisa di mulai sejak janin berusia enam bulan (trimester II)

dalam kandungan, dan dapat terus berlanjut semasa hidupnya jikc' tidak

dilakukan intenvensi secara dini, intensif, optimal, dan komprehen:;if

(menyeluruh). Jika tidak ditangani, penyandang autisme akan ber;iantung

terus hidupnya pada orang lain atau tidak bisa hidup normal, bahkan

untuk dirinya sendiri. (www.suarapembaruan.com)

Autisme adalah suatu keadaan di mana seorang anak berbuat semuanya

(25)

Autisme adalah gangguan pada otak yang berakibat pada kemampuan

seorang anak untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.

(Dowshen, dkk, 2004).

Caplin mengungkapkan autisme sebagai berikut (Kartini Karton, 2006):

a. Cara berfikir yang dikendalikan oleh hubungan personal atau oleh

diri sendiri.

b. Menggapai dunia berdasarkan penglihatan, harapan sendiri dan

menolak realitas.

c. Keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.

Dalam PPDGJ Ill (pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa

Ill) autisme dikategorikan dalam gangguan perkembangan pervasif yang

ditandai oleh adanya kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial,

komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.

(Rusdi Maslim, 2001)

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks

menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.

Gejalanya mulai tampal< sebelum anak berusia tiga tahun. Bahkan pada

autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir. Diperkirakan tujuh puluh

lima persen sampai delapan puluh persen penyandang autisme ini

(26)

mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu.

(www.unj.ac.id)

2.1.2. Manifestasi Klinis Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasive pada anak yang

ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang:

(autism.blogsome.com)

a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal meliputi

kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali

tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa

menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.

Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat

berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat di

mengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak

menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru

atau membeo), meniru kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya.

Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk

komunikasi dan imik datar.

b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan

menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh

bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang

(27)

orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan

sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan alengan orang lain.

Saat bermain bila didekati malah menjauh.

c. Gangguan dalam bermain di antaranya adalai1 bermain sangat

monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu

deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil clan

mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada

kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau

guling, terus dipegang dibawa ke mana saja dia pergi. Bila senang

satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka,

tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol,

gelang karet, baterai atau benda lainnya. Tidak spontan, reflek

dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tiolak dapat meniru

tindakan temannya dan tidak dapat memulai pennainan yang

bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas

angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang

ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari,

misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila

berpergian harus melalui rute yang sama.

d. Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak

yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada

(28)

dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka

semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah,

mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya

I

•eperti boruog te,baog). ta joga •e,iog meoyakiti di,; •eodi'i /

seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding.

Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam),

duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa

alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada

satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan

akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya

sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan

perilaku lainnya.

e. Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku

tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering

mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak

mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Bahkan bisa menjadi

agresif dan merusak. Tidak dapat berbagi perasaan (empat1)

dengan anak lain.

f. Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif

terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa

(lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau

(29)

keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya.

Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak

menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong sering merosot

atau melepaskan diri dari pelukan.

" DSM-IV Diagnostic criteria for autistic disorder (Kaplan,

1996).

A. A total of six (or more) items from (1 ), (2), and (3), with at least two from (1), and one each from (2) and (3):

(1) Qualitative impairment in social interaction, as manifested by at least two of the following:

(a) Marked impairment in the use of multiple nonverbal behaviors such as eye-to-eye gaze, facial expression, body postures, and gestures to regulate social interaction.

(b) Failure to develop peer relationship appropriate to developmental level.

(c) A lack of spontaneous seeking to share enjoyment, interests, or achievements with other people (e.g., by a lack of showing, bringing, or pointing out objects of interest).

(d) Lack of social or emotional reciprocity.

(2) Qualitative impairments in communication as manifested by at least one of the following:

(a) Delay in, or total lack of, the development ()r spoken language (not accompanied by an attempt to compensate through alternative modes of communication sucn as gesture or mime).

(b) In individuals with ad equate speech, marked impairme.1t in the ability to initiate or sustain a conversation with othe1 s. (c) Stereotyped and repetitive use of language or idiosyncratic

language. ·

(d) Lack of varied, spontaneous make-believe play or social imitative play appropriate to developmental level.

(3) Restricted repetitive and stereotyped patterns or behavior, interests, and activities, as manifested by at least one of the following:

(30)

(b) Apparently inflexible adherence to specific, nonfunctional routines or rituals.

(c) Stereotyped and repetitive motor mannerisms (e.g., hand or finger flapping or twisting or complex whole-body movements). (d) Persistent preoccupation with parts of objects.

B. Delays or abnormal functioning in at least one of the following areas, with onset prior to age 3 years: (1) social interaction, (2) language as used in social communication, or (3) symbolic or imaginative play.

C. The disturbance is not better accounted for by Rett's disorder."

DSM-IV kriteria diagnosa untuk anak penyandang autisme (dalam Kaplan,

1996):

A. Dari jumlah total enam (atau lebih) item dari satu, dua dan tiga, dengan paling sedikit dua dari satu, dan satu dari setiap dua dan tiga:

1. Adanya kerusakkan kualitatif dalam interaksi sosial, yang

ditunjukkan paling sedikit dua, sebagai berikut:

a) Ditandai dengan kerusakkan dalam menggunakan perilaku non

verbal berkali-kali seperti pandangan mata, ekspresi wajah,

postur badan dan sikap untuk mengatur interaksi sosial.

b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya

secara wajar pada tahap perkembangan.

c) Kurangnya spontanitas untuk mencoba mernbagi kegembiraan,

perhatian dan prestasi dengan orang lain (contoh kurang

(31)

d) Kurangnya timbal balik sosial atau emosional.

2. Kerusakan kualitatif komunikasi yang ditunjukkan paling sedikit satu

dari hal dibawah ini:

a) Tertunda, atau kurangnya perkembangan bicara (tidak diikuti

dengan sebuah percobaan yang menggantikan kerugian melalui

cara alternatif atau komunikasi seperti sikap atau mimik).

b) Secara individual dengan persamaan pernbicaraan, ditandai

kerusakan dalam kemampuan untuk memulai sebuah

percakapan dengan orang lain.

c) Stereotip dan pengulangan dalam mengunakan bahasa yang

aneh.

d) Kurangnya variasi, spontanitas bermain khayalan atau imitasi

sosial yang wajar untuk tahap perkembangan.

3. Pengulangan larangan dan pola stereotip atau perilaku, minat dan

aktifitas yang ditunjukkan paling sedikit satu dari hal di bawah ini:

a) Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih stereotip dan pola

pelarangan dari minat yang tidak normal dari keduanya dalam

intensitas atau fokus.

b) Terbukti tidak dapat diubah ketaatannya secara spesifik,

(32)

c) Stereotip dan pengulangan gerakan perlakuan (contoh, tepuk

tangan, memutar tangan atau jari atau pergerakan seluruh

badan secara kompleks).

d) Menetap keasyikan dengan bagian objek.

8. Tertundanya fungsi yang tidak normal paling sedikit satu dari hal yang

di bawah ini, dengan permulaan lebih dan diutamakan untuk usia tiga

tahun.

a) lnteraksi sosial.

b) Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial.

c) Bermain simbol atau imajinasi.

C. Mengganggap kekacauan dengan gangguan penyandang Rett's tidak

lebih baik.

2.1.3.

Penyebab Autisme

Menurut Agus Suryana (2004), selama puluhan tahun penyebab aLCtisme

tetap misteri. Baru dalam kurun waktu sepuluh tahun ini diketahui terjadi

kelainan pada struktur sel otak yakni gangguan pertumbuhan sel otak

pada saat kehamilan trimester pertama. Penelitian membuktikan bahwa

tidak ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang anak di

(33)

Ada pula ahli yang berpendapat autisme muncul karena penyandangnya

mengalami pengecilan bagian otak cerebellum. Pada tahun 1998, muncul

lagi pendapat yang melihat autisme lebih disebabkan metabolisme.

Selain itu ada pendapat bahwa autisme muncul akibat keracunan logam

berat. Perdebatan terakhir tentang penyebab autisme' masih berkisar

kemungkinan penyebab autisme adalah vaksinasi anak.

Saat ini, para peneliti dan orang tua yang mempunyai anak autisme boleh

merasa lega mengingat perhatian dari negara besar dunia mengenai

kelainan autisme menjadi serius. Sebelumnya, kelainan autisme hanya

dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yan!J otoriter terhadap

anaknya.

Disamping itu, kemajuan teknologi memungkinkan untuk malakukan

penelitian mengenai penyebab autisme secara genetik dan metabolik.

Pada bulan Mei, 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya

tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi

tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat

menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autisme sehingga

(34)

Penyebab masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti melihat

karena suatu masalah fisik yang mempengaruhi bagian-bagian dari otak

yang memproses bahasa dan informasi yang berhubungan dengan panca

indera. Mungkin juga ada ketidakseimbangan dari zat-zat kimia. Ada juga

yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik.

Menurut Dr. Melly Budiman (seperti yang dikutip Agus Suryana, 2004)

penyebab autisme adalah adanya gangguan pada perkembangan

susunan saraf pusat yang mengakibatkan fungsi otak terganggu. Autisme

bisa terjadi pada siapa saja. Perbandingan antara laki-laki dan

perempuan diperkirakan tiga berbanding satu. Seorang ibu yang cermat

memantau perkembangan anaknya mudah melihat beberapa keganjilan

sebelum anak mencapai usia satu tahun. Dan yang paling menonjol

sangat kurangnya kontak dengan mata.

Sedangkan menurut dr. Faisal Yatim, pendapat yang menjadi kosensus

bersama para ahli belakangan ini mengakui bahwa autisme diakibatkan

terjadi kelainan fungsi luhur didalam otak, kelainan fungsi ini bisa

disebabkan oleh: Trauma sewaktu bayi dalam kandun9an, misalnya

karena keracunan kehamilan, infeksi virus rubella, virus cytomegalo;

Kejadian segera setelah lahir, seperti kekurangan oksi9en (anoksi);

(35)

misalnya vermis otak kecil yang lebih kecil atau terjadi pengerutan

jaringan otak; Kemungkinan terjadi kelainan metabolisme seperti pada

Addison, di mana bertambahnya pigmen tubuh dan kemunduran mental.

(dalam Agus Suryana, 2004)

2.1.4.

Pengelompokan Autisme

Menurut Faisal Yatim autisme dapat dikelompokan rnenjadi 3 yaitu :

1.

Autisme persepsi

Autisme persepsi dianggap sebagai autisme asli dan disebut juga

autisme internal (endogenous) karena kelainan sudah timbul sebelum

lahir.

2. Autisme reaktif

Pada autisme reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu

berulang-ulang dan kadang-kadang dise1tai kejang-kejang. Autisme ini

biasa mulai terlihat pada anak-anak usia lebih besar (enam sampai tujuh

tahun) sebelum anak memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga

terjadi sejak usia minggu-minggu pertama.

3. Autisme yang timbul kemudian

Kelainan dikenal setelah anal< agak besar tentu akan sulit memberikan

pelatihan dan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah

melekat, ditambah beberapa pengalaman baru dan mungkin di perberat

(36)

2.2. Sikap

2.2.1. Definisi Sikap

Sikap dalam bahasa inggris disebut attitude yaitu suatu cara berreaksi

terhadap suatu kecenderungan untuk berreaksi dengan cara tertentu

terhadap suatu perasaan atau situasi yang dihadapi.

(M. Ngalim Purwanto, 1992)

Menurut Secord dan Bacman, sikap sebagai keteraturan tertentu dalam

hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan

(konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

(dalam Saifuddin Az.war, 2003)

Sikap menurut Sarlito W. S (1996), didefinisikan sebagai kesiapan pada

seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang

bersifat positif atau negatif.

Menurut pandangan Thurstone, sikap sebagai suatu tingkatan afeksi, baik

afeksi yang positif maupun negatif. Dalam hubungannya dengan

objek-objek afeksi, yang pm,itif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif

(37)

Menurut Brino, sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif

menetap untuk berreaksi dengan cara baik atau burul< terhadap orang

atau barang tertentu. (dalam Muhibbin Syah, 2002)

Selain itu Zimbardo dan Ebbesen mendefinisikan sikap sebagai sesuatu

predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau

objek yang berisi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif.

(dalam H. Abu Ahmadi, 2002)

Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, definisi sikap adalah

perbuatan yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan seseorang

terhadap objek. (Hasan Alwi, dkk, 2000).

Menurut Chaplin (2006), definisi sikap (attitude) adalah satu predisposisi

atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus

untuk bertingkah laku atau untuk merespon dengan satu cara terte:ntu

terhadap pribadi lain, atau persoalan tertentu.

2.2.2. Ciri-ciri sikap

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1996), Untuk membedakan sikap dari

aspek-aspek psikis yang lain (seperti motif, kebiasaan, pengetahuan dan

(38)

a. Dalam sikap selalu terdapat hubungan subjek-objek. Tidak ada sikap

yang tanpa objek. Objek ini berupa benda, orang, kelompok orang,

nilai- nilai sosial, pandangan hid up, hukum, lembaga masyarakat dan

sebagainya.

b. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk

melalui pengalaman-pengalaman.

c. Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai

dengan keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan

pada saat-saat yang berbeda-beda.

d. Dalam sikap tersangkut juga faktor motivasi dan perasaan. lnilah

yang membedakannya.

e. Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah terpenuhi.

f. Sikap tidak hanya satu macam saja, melainkan sangat

bermacam-macam sesuai dengan banyaknya objek yang dapat menjadi

perhatian orang yang bersangkutan.

Disamping itu, menurut Gerungan (2004) sikap mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:

a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari

sepanjang perkeri1bangan individu dalam berhubungan dengan

objeknya.

(39)

c. Sikap dapat berdiri sendiri, namun senantiasa mengandung relasi

tertentu terhadap suatu objek.

d. Sikap tidak hanya dapat berkenan dengan satu objek saja, tetapi

juga berkenan dengan sederetan objek-objek yang serupa.

e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.

2.2.3. Struktur sikap

Menurut Saifuddin AzJNar (2003), struktur sikap terdiri atas tiga komponen

yang saling menunjang yaitu:

a. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa

yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap, apa yang

dipercayai seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yang

telah terpolakan dalam fikirannya. Apabila terpolakan dalam pikiran

bermakna negatif maka membawa arti yang tidak baik.

b. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif

seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini

disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.

merupakan perasaan individu terhadap objek sikap penerimaan dan

menyangkut masalah emosi.

c. Komponen perilaku atau konatif dalam struktur sikap menunjukan

bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku, bertindak atau

(40)

yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa

kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.

Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan

kepercayaan dan perasaan yang membentuk sikap individu yang

menunjukan bahwa komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang

tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, akan tetapi meliputi

pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pemyataan atau perkataan

yang diucapkan oleh seseorang.

Ketiga komponen itu merupakan dasar seseorang berreaksi atau

merespon terhadap hal-hal tertentu, walaupun belum tentu berakhir pada

tindakan nyata atau perilaku, karena sikap di sini merupakan predisposisi

untuk berperilaku.

2.2.4. Proses pembentukan dan perubahan sikap

Sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat macam cara antara

lain: (Sarlito W. S, 1996)

a. Adopsi, kejadian dan peistiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus

menerus, lama kelamaan secara bertahap di serap kedalam diri

individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.

b. Diferensiasi, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya

(41)

yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas

dari jenisnya. Terhadap objek dapat terbentuk sikap tersendiri pula.

c. lntegrasi, pembentukan sikap terjadi secara bertahap, di mulai

dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal

tertentu, sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut.

d. Trauma, trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan,

yang meningggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang

bersangkutan.

2.2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Menurut Saifuddin Amo/ar (2003), dalam interaksi sosialnya individu

berreaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek

psikologis yang dihadapinya. Di antaranya ada berbagai faktor yang

mempengaruhi sikap antara lain:

a. Pengalaman pribadi

Pengalaman dengan objek sikap akan memberikan kesempatan

kepada individu untuk memiliki pengetahuan dan tanggapan serta

penghayatan atas objek tersebut. Pengetahuan dan tanggapan

inilah yang kemudian menjadi salah satu unsur clalam komponen

sikap seseorang. Apakah penghayatan tersebut akan membentuk

sikap positif atau negatif akan tergantung pula pada berbagai faktor

(42)

b. Kebudayaan

Kebudayaan masyarakat di mana seseorang hidup dan dibesarkan

mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap

orang yang bersangkutan. Dengan nilai-nilai da11 norma-normanya

kebudayaan telah memberikan arah bagi sikap sesuai terhadap

berbagai masalah dalam kehidupan.

c. Orang lain yang dianggap penting

Seseorang yang dianggap penting, yang istimewa, yang tak ingin

dikecewakan, yang dibutuhkan persetujuannya, セォ。ョ@ banyak

mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di

antaranya orang biasanya dianggap penting bagi individu adalah

orang tua, orang yang status sosialnya lebih エゥャQqAセゥN@ teman sebaya,

teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami dan lain-lai11.

d. Media massa

lnformasi yang disampaikan oleh media massa, terselip pula

pesan-pesan sugestif yang dapat membentuk opini seseorang. Adanya

informasi baru mengenai suatu hal memberikan Jandasan kognitif

bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Sementara itu

pesan-pesan sugestif yang menyertainya, apabila cukup kuat, maka akan

(43)

e. lnstitusi atau Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama mempunyai pengaruh

dalam pembentukan sikap karena keduanya adalah yang meletakkan

dasar pengertian konsep moral dalam diri individu. Konsep-konsep

moral menentukan sistem kepercayaan seseorang tentang segala

sesuatu. Hal ini merupakan unsur komponen kognitif yang sangat

penting dalam sikap seseorang.

f. Emosi

Kadang-kadang suatu sikap merupakan pernyataan yang didasari

oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi

atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan cliri. Salah satu

bentuk sikap yang didasari emosi ini adalah prasangka.

Sedangkan menurut Sarlito W. S (1996), Pembentukan sikap tidal< terjadi

begitu saja, melainkan terbentuk melalui suatu proses tertentu, melalui

kontak sosial terus-menerus antara individu dengan individu lain di

sekitarnya. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya

sikap adalah:

a. Faktor intern, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang

yang bersangkutan sendiri. Pilihan ini kecenderungan dalam diri

yang menyusun sikap positif terhadap satu hal clan membentuk

(44)

b. Faktor ekstern, sela.in faktor-faktor yang terdapat dalam diri sendiri,

maka pembentukan sikap juga ditentukan pula oleh faktor-faktor

dari luar, seperti: sifat objek yang dijadikan sasaran sikap,

kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap, sifat

orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut, media

komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap, dan

situasi pada saat sikap itu dibentuk.

2.2.6. Fungsi sikap

Sikap mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan. Menurut H. Abu

Ahmadi (2002), fungsi sikap dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:

a. Sikap berfungsi sebagai alat penyesuaian diri. Di mana sikap

adalah suatu yang bersifat communicabel, artinya sesuatu yang

mudah menjalar, sehingga mudah pula menjadi milik bersama.

b. Sikap berfungsi sebagai alat pengukuran tingkah laku.

c. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.

d. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadiain.

Oleh karena fungsi-fungsi sikap yang sedemikian penting ini maka sikap

yang sudah berkembang dalam diri seseorang, menjadi bagian dalam

kehidupan sehari-hari, akan cenderung mempertahankan dan sulit sekali

dirubah, mengubah sikap berarti mengadakan pj:'Hi9i:rst1aian-penyasuaian __ _

f -

(45)

baru terhadap objek atau suatu situasi yang dihadapi, memiliki

respon-respon (baru) yang tepat, memberi arti baru kepada objek yang dihadapi.

Hal ini merepotkan ketidakseimbangan yang cukup mengganggu diri

orang yang bersangkutan.

2.3. Sikap orang tua terhadap kondisi anak autisme

Salah satu syarat terbentuknya suatu keluarga adalah adanya unsur

orang tua dalam keluarga tersebut. Orang tua adalah figur utama dalam

keluarga pada umumnya, orang tua diartikan sebagai ayah atau lbu,

namun dapat juga diartikan sebagai individu dewasa yang memikul

tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami anak pada masa-masa

awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya, dan dari

merekalah anak mulai mengenal pendidikannya dan juga orang tua

dianggap mampu mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak.

Suatu kebahagiaan dalam keluarga takala diberikan kesempatan untuk

mendapatkan keturunan yang baik dan sehat jasmani clan rohani, namun

tidak sedikit pula orang tua yang mendapat keturunan atau anak dengan

gangguan-gangguan tertentu, seperti Autisme. Orang tua dalam hal ini

harus ekstra memberikan perhatian, dan pemahaman yang baik sehingga

terjalin hubungan yang baik antara anak , orang tua dan lingkungan.

(46)

bimbingan serta asuhan terhadap anak autisme. Peranan dan bantuan

orang tua sangat bermanfaat didalam penyesuaian anak autisme terhadap

lingkungannya yang mana tercermin d"rdalam pola pengasuhan.

Semua orang tua menghendaki anak-anaknya terlahir dengan keadaan

yang ideal seperti yang mereka bayangkan, sehingga mereka al<an

memiliki tuntutan sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, orang tua

sering kali mengamati dan membandingkan kondisi anaknya dengan anak

yang lain. Pada sebagian orang tua yang segera menyadari kenyataan

yang ada akan lebih baik, namun tidak semua orang tua mau menerima

dan menyadarinya. lni memang sebuah cobaan berat dan tidak mudah

untuk dapat hidup secara tenang dan damai bagi orang tua ketika

mengetahui anaknya menderita autisme. Ketika pertama kali orang tua

mengetahui anaknya autisme, orang tua memunculkan beragam reaksi

emosional. Beberapa reaksi emosional yang sering climunculkan antara

lain: (Triantoro Safaria, 2005) shock, penyangkalan (merasa tidak

percaya), sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan, perasaan

menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasan marah,

perasaan bersalah serta berdosa, perasaan setahap demi setahap, dan

perjuangan belum berakhir. Dan berbagai macam reaksi negatif sudah

pasti menyelimuti perasaan orang tua sepanjang waktu bahkan setiap

(47)

banyak dampak negatif, baik secara fisik maupun secara psikis.

Walaupun setiap orang tua dapat melalui serangkaian proses untuk dapat

menerima dan menyadari kondisi anaknya dengan segala

keterbatasannya.

Rentang waktu dalam proses yang dilalui orang tua beragam, tentunya

semakin cepat tahapan-tahapan dapat mereka lalui dan akhirnya

menerima sebagai kenyataan akan membantu anak rnenjadi lebih optimal,

pula dalam penatalaksanaan. Dalam keadaan ini biasanya dikehendaki

oleh anak al<an dapat tumbuh dan kembali normal sama seperti anak

lainnya. Semal<in besar penolakan pada kondisi yang ada, semakin lama

proses ini dapat diatasi oleh orang tua. Sebagai pasangan orang tua

sering kali reaksi yang terjadi antara penolakan yang lebih panjang atas

kondisi yang ada. Pasangan orang tua yang memilil<i tahapan proses

lebih cepat biasanya akan lebih segera pula dalam mimgolah anak lebih

optimal. Hal ini di karenakan sikap orang tua yang dapat menerima

kenyataan. Sikap yang didefinisil<an sebagai kesiapan pada seseorang

untul< bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang bersifat

positif atau negatif (Sarlito W. S, 1996). Sikap positif, l<ecenderungan

tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu,

sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,

(48)

Dalam kehidupan bermasyarakat, sikap penting sekali. Sikap yang

menjadi penggerak (motivator) tingkah laku dan mempengaruhi semua

nilai manusia. Efisiensinya barulah berhasil, kalau seseorang didorong

oleh sikapnya untuk memulai, meneruskan dan menyelesaikan suatu

pekerjaan bukannya malah menghindari tugasnya yang tak

menyenangkan. Demikian pula sikap terhadap orang lain akan

menentukan nilai sosialnya.

Sikap orang tua terhadap anak autisme merupakan suatu pembelcijaran.

Pola hubungan orang tua dan anak dalam kehidupan seseorang aapat

tumbuh dan berkembang secara optimal. Banyak faktor yang ikut

menentukan gambaran apa yang akan dipelajari untuk sikap orang tua

yang mempunyai anak autisme, dan juga meliputi hal··hal yang dianggap

normal oleh orang sebagian. Berkaitan dengan gambaran sikap orang tua

yang mempunyai anak autisme, merupakan salah satu faktor atau sumber

sikap orang tua terhadap anaknya, terutama yang hidup dengan

(49)

Para orang tua akan mempunyai banyak ide tentang bagaimana

anak-anak dapat diberikan bantuan yang lebih baik dalam perkembangannya,

dan hal ini bisa terjadi dengan baik apabila ada hubungan kerja sama

yang baik antara sekolah dengan orang tua melalui diskusi atau bantuan

nyata. Para orang tua diberi kesempatan untuk selalu mengikuti

perkembangan anaknya di sekolah. Selain dari pada itu sekolah juga

selalu mendorong dan menambah pengertian orang tua dengan anaknya,

dengan harapan agar hubungan antara orang tua dan anak selalu baik

dan berarti bagi keduanya.

Dari sini jelaslah adanya hubungan timbal balik antara orang tua

menerima kondisi anaknya yang menderita autime dengan sikap orang

tua terhadap kondisi anak yang menderita autisme, yang mempunyai

implikasi pada memperpanjang atau memperpendek masa kesembuhan

anak. Dalam arti bahwa jika orang tua dapat menerima anaknya

menderita autisme, dengan sikap positif maka mungkin orang tua akan

membantu anaknya agar dapat sembuh dengan memberikan perhatian,

terapi dan lain sebagainya agar anaknya dapat kembali normal, namun

sebaliknya jika orang tua menangapinya dengan negatif maka mungkin

(50)

2.4. Kerangka Berfikir

Sikap positif

Sikap orang tua

Kondisi anak autisme

Direalisasikan dengan 3 komponen yaitu

I

kognitif, afektif dan konatif

[ Sikap negatif

Menerima Menolak

Skema 2.4. Kerangka berfikir

Secara garis besar, kerangka berfikir di atas berguna untuk

menggambarkan atau mengilustrasikan suatu rumusan masalah dengan

subjek penelitian yaitu orang tua yang mempunyai anak autisme. Autisme

adalah gangguan perkembangan pervasive pada anal< yang ditandai

dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi,

interaksi sosial, dalam bermain, perilaku, persepsi sensori, perasaan dan

(51)

Menurut Gerungan (2004), pembentukan sikap tidal< terjadi dengan

sendirinya. Pembentukan sikap disertai dengan adanya kecenderungan

untuk berkehendak yang biasanya terjadi dalam interaksi manusia dan

berkaitan dengan objek tertentu.

Pentingnya sikap orang tua terhadap kondisi anak autisme merup&kan

suatu pembelajaran, dengan orang tua berani dan segera menyadari

kenyataaan yang ada akan lebih baik. Semakin cepat orang tua melalui

tahapan-tahapan untuk dapat menerima dan menyadari kondisi anaknya

akan membantu anak menjadi lebih optimal dan semakin besar penolakan

pada kondisi yang ada, semakin lama proses ini dapat diatasi oleh orang

tua. Sebagai pasangan orang tua sering kali reaksi yang terjadi adalah

antara penerimaan dan penolakan, penolakan lebih panjang atas kondisi

yang ada dibanding penerimaan kondisi anal< dengan segala

(52)

3. 1. Jenis Penelitian

3.1.1. Pendekatan Penelitian

Dalam bab ini penulis mengunakan pendekatan kualitatif dengan alasan

karena pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha

memahami gejala tingkah laku manusia dan sebagai pendekatan umum

yang menghasilkan dan mengelola data yang sifatnya deskriftif seperti

observasi terstruktur dan tidak terstruktur. lnteraksi komunikatif sebagai

alat pengumpulan data, terutama wawancara mendalam dan pedoman

wawancara instrumen utama. (Sudarwan Danim,2002)

Bogdan dan Taylor (dalam Lexy J Moleong, 2004) mengatakan bahwa

dalam penelitian kualitatif menghasilkan data deskritif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, pendekatan

ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi

individu atau subjek penelitian dipandang sebagai bagian dari suatu

keutuhan. Selanjutnya pendekatan ini juga dikenal dengan inkuiri

naturalistik atau alamiah. Dengan dasar penelitian l<ualitatif di atas maka

(53)

autisme diperlukan data-data deskriptif yang diperoleh melalui observasi

dan wawancara.

3.1.2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi kasus yang

merupakan bagian dari penelitian kualitatif, di mana data atau hasilnya

tidak diperoleh, dan disajikan dengan menggunakan angka-angka atau

data statistik, melainkan menghasilkan dan mengolah data yang bersifat

deskriptif dengan harapan dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh

tentang subjek terhadap keadaaan yang dialaminya, oleh karena itu maka

diperlukan data yang bersifat khusus dan individual untuk mendapatkan

hasil yang maksimal.

Pengunaan studi kasus ini di pilih karena seperti yang dikemukak<in

Sudarwan Danim, 2002 studi kasus (case Study) atau penelitian lapangan

(field study) di maksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar

belakang keadaan dan posisi saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial

tertentu yang bersifat apa adanya (given).

Secara umum, studi kasus merupakan metode yang dapat digunakan

untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan fokus

penelitiannya terletak pada fenomena masa kini didalam konteks

(54)

3.2. Pengambilan sampel

3.2.1. Populasi dan sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak

autisme. Penelitian ini difokuskan dengan jumlah subjek sangat

tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh penulis, dan sampel dalam

penelitian ini di pilih berdasarkan karakteristik yang sudah ditentukan.

Karena keterbatasan waktu serta kesulitan penulis memperoleh kasus dan

responden untuk mengetahui gambaran sikap orang tua yang mempunyai

anak autisme secara lebih mendalam, maka dalam penelitian ini

ditetapkan jumlah subjek sebanyak tiga orang yang ュゥセュゥャゥォゥ@ karakteristik

sebagai berikut:

a. Subjek penelitian adalah orang tua kandung yang anaknya telah di

diagnosa autisme dan belum menikah.

b. Orang tua yang di maksud adalah seorang lbu, dengan alasan

untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya mengenai keadaan

anak.

c. Subjek bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, hal ini agar

memudahkan penulis melakukan koordinasi.

d. Pendidikan orang tua penderita minimal SD, atau dapat membaca

(55)

maksud pertanyaan yang diajukan dan dapat memberikan jawaban

yang jelas.

3.2.2. Teknik Pengambilan sampel

Teknik pengambilan sctmpel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Purposive Sampling (sample bertujuan) di mana sample dipilih bukan

didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi clidasarkan atas adanya

tujuan tertentu (Suharsimi Arikunto, 2002), maksud sampling dalam

penelitian kualitatif adalah untuk menjaring sebanyak rnungkin informasi

dari berbagai macam sumber (Lexy J Moleong, 2004), dengan demikian tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan

yang nantinya dikembangkan kedalam generalisasi tetapi merinci

kekhususan yang ada kedalam ramuan konteks yang unik. Selain itu

dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling lebih

mernudahkan penulis dalam menentukan karakteristik batasan-batasan

yang harus dimiliki oleh si subjek.

3.3. Pengumpulan Data

3.3.1. Metode dan lnstrumen

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam

mengumpulkan data penelitiannya (Suharsimi Arikunto, 2002). Penulis

(56)

data untuk keperluan studi kasus bisa berasal dari enam sumber yaitu

dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung observasi

partisipan, dan perangkat-perangkat fisik (Robert K Yiin, 2002). Dalam

penelitian ini metode pengumpulan data yang akan di!iunakan untuk

memperoleh data yang berhubungan dengan objek penelitian adalah

metode wawancara, sebagai metode utama dan observasi sebagai

metode penunjang untuk melengkapi data yang terkurnpul melalui metode

wawancara.

wawancara

Wawancara atau interview adalah teknik pengumpulan data yang

digunakan penulis untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisain

melalui bercakap-cakap dan berhadapain muka dengan orang yang dapat

memberikan keterangan pada si penulis (Mardalis, 2006).

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan

seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.

Wawancara secara garis besar dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Wawancara terstruktur

Pertanyaan-pertanyaan mengarahkan jawaban dalam pola

(57)

b. Wawancara tak terstruktur

Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara bebas oleh

responden tanpa terikat pada pola-pola tertentu.

c. Campuran

Bentuk ini merupakan campuran antara wawancara terstruktur dan

tak terstruktur.

Dari ketiga bentuk wawancara di alas dapat digunakan dalam

pengambilan data penelitian dan dilakukan sesuai dengan keperluan,

situasi dan kondisi subjek penelitian. Hal tersebut untuk menjaga

perasaan subjek penelitian. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan

pada orang tua (lbu) yang mempunyai anak autisme, untuk mengetahui

bagaimana sikap orang tua yang mempunyai anak autisme. Dalam

melakukan wawancara ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar

tidak terjadi kesalahan dalam proses wawancara di antaranya adalah

penggunaaan pedoman wawancara, agar wawancara dapat berjalan

dengan baik dan menggunakan rapport yaitu suatu situasi di mana telah

terjadi hubungan psikologis antara interviewer dan inte1wee dan terjalin

hubungan yang baik sehingga tidak ada rasa curiga dari responden.

(58)

observasi

lstilah observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka

mengumpulkan data dalam suatu penelitian yang merupakan hasil

perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya

sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang di

sengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena sosial dan

gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati, mencatat dan mempertimbangkan

hubungan antara aspek dan fenomena tersebut (Mardalis, 2006). Tujuan

observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas yang

berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna

kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang

diamati tersebut.

Metode observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang hal-hal yang

karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh responden secara terbuka

dalam wawancara, instrument yang digunakan pada observasi ini adalah

lembar observasi yang dibuat dalam bentuk catatan lapangan yang

berfungsi untuk mencatat hal-hal penting yang relevan dengan

permasalahan penelitian yang tidak didapatkan dalam wawancara ..

Catalan ini berisi kondisi fisik subjek, penampilan subjek, sikap subjek

selama proses wawancara dilakukan, ekspresi verbal dan non verbal,

(59)

terjadi selama proses wawancara berlangsung. Proses observasi ini

dilakukan penulis bersama dengan wawancara yang sudah direncanakan.

3.3.2. lnstrumen Penelitian

Adapun instrumen pengumulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pedoman wawancara, pedoman observasi dan tape recorder.

Pedoman wawancara diperlukan sebagai panduan dalam melaksanakan

wawancara yang dirancang sesuai dengan tujuan penelitian dan landasan

teoritis sehingga jalannya wawancara lebih terarah deingan apa yang ingin

di teliti. Alat perekam dan observasi sederhana sebagai instrument

penunjang, hal-hal yang dicatat dalam lembar observasi antara lain

suasana lingkungan di sekitar subjek, sikap subjek terhadap

pewawancara, sikap subjek sebelum wawancara dan sebagainya.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Tahap persiapan penelitian

Sebelum penulis melakukan penelitian harus dipersiapkan segala sesuatu

yang berhubungan dengan keperluan j:Jenelitian di antaranya:

a. Menyusun instrument pengumpulan data berupa pedoman wawancara

dan pedoman observasi yang digunakan sebagai acuan dalam

(60)

b. Memilih lapangan penelitian atau lokasi penelitian yang akan dijadikan

sumber untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

c. Membuat surat izin penelitian.

d. Membuat lembar kesedian sebagai subjek penelitian.

e. Menyiapkan perlengkapan penelitian, seperti pensil, ballpoint, kertas,

buku catatan, al.at perekam atau tape recorder dan segala sesuatunya

yang berkaitan dengan penelitian.

3.4.2.

Tahap pelaksanaan penelitian

Dibawah ini penulis memberikan beberapa tahapan dalam pelaksanaan

penelitian:

a. Menentukan sampel penelitian dan melakukan konfirmasi dengan

pihak yang bersangkutan.

b. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta

kesediaan subjek untuk dijadikan responden penelitian.

c. Melaksanakan pengambilan data dengan menggunakan dan

merealisasikan konsep-konsep dalam pedoman wawancara dan

observasi.

d. Menyortir hasil wawancara untuk mendapatkan hasil yang relevan.

e. Melakukan analisa data dan interprestasi data.

(61)

3.4.3. Tahap Pengolahan Data

a. Membaca dan memberikan kode pada data-data yang telah di

transkrip secara verbatim.

b. Menginterprestasikan dan membahas hasil analisis berdasarkan teori.

3.5. Teknik analisa Data

Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah tahap analisa data,

menurut Patton (dalam Lexy J Moleong, 2004) analisa data adalah proses

mengatur, urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola,

kategori dan satuan uraian dasar. Dengan pendekatan kualitatifteknik

analisa data yang digunakan adalah non statistik, yaitu dengan cara

mendeskripsikan atau interprestasikan hasil yang telal1 didapat da.1

langkah-langkah dalam analisa data adalah sebagai berikut:

Organisasi data

Analisa data dimulai dengan mengorganisasikan data dengan organisasi

data yang sistematis memungkinkan penulis untuk memperoleh data yang

baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data

dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian. (Highlen dan

(62)

Koding dan analisis

Analisis seperti yang dikemukakan oleh Jorgensen yaitu langkah penting

sebelum analisis adalah memberikan kode atau koding, di maksudkan

untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara

lengkap dan mendetil sehingga data dapat memunculkan gambar tentang

topik yang dipelajari dengan menyusun transkrip secara verbatim

kemudian dilakukan penomoran. (Jorgensen, QYXAセ@ dalam Kristi

Poerwandari, 2001)

Tahap lnterprestasi

lnterpretasi yang di maksudkan di sini adalah mengac:u pada upaya

memahami data secara mendalam.

3.6. Etika Penelitian

Etika merupakan hal yang paling penting dalam penelitian, hal ini di

karenakan mengunakan manusia sebagai subjek penelitiannya. Etika

merupakan suatu kumpulan kaidah atau norma yang digunakan oleh

suatu kelompok masyarakat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat

anggotanya. Jadi etika bersifat normatif dan kontekstual. Dalam etika

penelitian hal terpenting di antaranya adalah penulis harus menjunjung

tinggi nilai-nilai ilmiah yang berlaku. Masalah etika yang harus

(63)

paksaan, kerahasian subjek dan informasi yang diberikan, penulis harus

melindungi subjek dari kemungkinan adanya ketidaknyamanan atau

bahaya, baik secara fisik atau secara psikologis dan penulis harus

memberikan kesempatan kepada subjek untuk mengetahui hasil dari

(64)

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang hasil pengolahan data, yang

didapat dari Japangan penelitian. Adapun hasil penelitian dapat dijabarkan

dalam bentuk gambaran umum subjek, gambaran dan analisa kasus, dan

analisa perbandingan kasus.

4.1. Gambaran umum subjek penelitian

Subjek yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang Jbu yang telah

memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Nama-nama subjek

dalam penelitian ini sengaja di samarkan untuk menjaga kerahasiaan

subjek penelitian dan sesuai dengan etika penelitian.

Pada tabel 4.1 dibawah ini akan diuraikan gambaran umum subjek.

[image:64.595.46.445.146.473.2]

Gambaran umum subjek

Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu)

No Keterangan Subyek 1 Subyek 2

01. Nam a SR RH

02. Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

03. Usia 37 Tahun 47 Tahun

Subyek3

EK

Perempuan

(65)

04. Suku Sunda Batak Padang

Kristen

05. Agama Islam Islam

Protestan

Pendidikan

06. SMA SMA S1

terakhir

lbu rumah lbu rumah lbu rumah 07. Pekerjaan

[image:65.595.47.443.103.486.2]

tangga tangga tangga

Tabel 4.1.2. Data Anak

No. Nam a Jenis Kelamin Usia Sekolah

01. M Laki-laki 7 Tahun Tidak bersekolah

02. J Laki-laki 15 Tahun 2 SLTP SLB/C

03. A Laki-laki

4.2. Gambaran dan Analisis kasus

4.2.1. Kasus I

A. Data Pribadi

a) Anak

8 Tahun 2SD

M adalah anak kedua dari pasangan lbu SR dan Bapak A. Usia M

(66)

tidak mengikuti jenjang pendidikan dan terapi. la bertempat tinggal di

daerah Pekayon Jakarta Timur.

b) Orang Tua

SR adalah lbu rumah tangga berusia tiga puluh tujuh tahun, memiliki

kulit berwarna putih, tinggi seratus lima puluh tiga dengan berat badan

lima puluh kilogram, berrambut pendek dan berwajah kecil. SR adalah

anak ke dua dari dua bersaudara, pendidikan terakhir SMA. Saal ini

pekerjaannya adalah sebagai lbu rumah tangga dan hanya mengurusi

keluarga dan kedua orang anaknya. Salah satunya adalah M, anak

laki-laki

Gambar

GAMBAR/\N SIKAP
Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu) .. .... .... .... .... .. .. .... .. .... 52
Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu)
Tabel 4.1.2. Data Anak
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan terima kasih kepada Master Cheng Yen dan kepada semua relawan Tzu Chi Indonesia, ke depan kita akan terus bersama demi

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik hidrolisis enzim yaitu pada konsentrasi enzim selulase 5% v/v selama 12 jam pada hidrolisat asam sulfat 1%

Manfaat dari kerja sama yang saling ketergantungan antarsiswa di dalam pembelajaran kooperatif berasal dari empat faktor diungkapkan oleh Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 2012:

Gambar diatas menunjukkan bahwa pada Juli 2017 terjadi peningkatan impor nonmigas, hal tersebut dikarenakan bulan sebelumnya Papua Barat tidak melakukan

Bab ini membahas tentang obyek penelitian dan menganalisis dan menguraikan praktik-praktik akuntansi komersial dalam laporan keuangan dan penyesuaian dalam

Tanaman kacang tanah tumbuh baik pada keadaan pH tanah sekitar 6-6,5 (Adisarwanto, 2007). Adapun syarat-syarat benih atau bibit kacang tanah yang baik yaitu ; a) Berasal dari

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,