Oleh:
NENENG HASANAH NIM : 103070029008
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKUL T AS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS !SLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
▸ Baca selengkapnya: menurut pendapat anda, bagaimana sebaiknya sikap orang tua dito ketika nilai ipa dito tertinggal dari teman-temannya? jelaskan.
(2)Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
NENENG HASANAH '
NIM: 10307002900afffWs,·,;,.,.
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I,
Dra. Agustvawati, M. Phil, sne NIP. 132121898
Pembimbing II
Yufi Adriani, M.Si, Psi. NIP.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta rada tanggal 12 November 2007. Skripsi ini telah cli terima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 12 November 2007
Sidang Munaqasyah
Penguji I,
Dra. N_E2tt Hmtati._M.Si NIP. 150 5 938
Pembimbing I,
Dra. Agustyawati, M.Phil;Sne NIP. 132 121 898
Anggota:
Penguji II
Dra. Aaustyawati. M.Phil,Sne f\llP.
1:l2 121
898Pembimbing II
セセセᄋ@
[image:3.595.30.440.86.703.2]Saya pasti gagal
<Bifa
saya 6eifiRjr align menang
Saya pasti menang
(D) GAMBARAN SIKAP ORANG TUA YANG MEMPUNYA1 ANAK AUTISME
(D) 95 Hal + 7 Lampiran
(F) Sikap didefinisikan kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang.sikap ini dapat bersifat negatif mau pun positif. Sikap terbentuk melalui proses pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan
pengaruh faktor emosi.
Dengan memiliki anak autisme yang mengalarni gangguan dan
keterlambatan dalam bidang komunikasi, kognitif, bahasa, perilaku,dan interaksi sosial membuat orang tua mendapat ejekan dari orang lain, sehingga mengakibatkan orang tua bersikap negatif terhadap apa yang dialaminya. Fenomena yang terjadi membuat penulis tertarik untuk mengambil penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran sikap orang tua terhadap anak autisme. Sikap yang direalisasisikan adalah kognisi, afeksi dan konatif. Siki:ip yang dilihat dari bagaimana subjek dengan lingkungan, ォeセャオ。イァ。@ dan kerabat.
Dalam penelitian ini, penulis mengunakan pendekatan kualitatif ugar mendapatkan hasil penelitian yang mendalam, dengan mengunakan teknik wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode penunjang. Sampel yang digunakan sebanyak tiga orang, yaitu orang tua yang mempunyai anak autisme. Orang tua pada penelitian ini penulis memilih lbu sebagai responden dengan alasan untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya mengenai kondisi anak. Penelitian dilakukan ditempat yang berbeda, anak autisme yang tidak bersekolah, di sekolah luar biasa dan bersekolah regular.
mendengar hasil diagnosa dokter, bersikaplah positif demi kemajuan anak kelak dan buang jauh-jauh rasa malu yang dihadapi, yakinkan diri bahwa dengan memberikan pengertian kepada orang lain, minimal orang lain tahu akan kondisi anak. Dengan hasil ini dapat dijadikan referensi di dalam kehidupan orang tua yang mempunyai anak autisme.
8. Bapak (Yamin) dan mama (Minah) yang telah memberikan motivasi dan doa untuk keberhasilan penulis, kakakku (Kak Titi) dan adikku (lndah, dayink) terima kasih atas dorongan kalian, serta AA dan Nana yang membantu penulis dalam mencari responden. 9. Untuk teman-teman Psikologi angkatan 2003 terutama kelas A,
Memey, lta, Y2n, Leni, lcha, Thea-Cha, Dani, lyoez, Ramdan, dan teman-teman yang tidak bisa disebut satu persatu. Teman KKL, Lucky, lkah, lntan C, lryn serta anak-anak panti. Sohibku, Q -cool, Vtha-Chu, lntan, Ai, Bowo, Kamal, Adit dan Ira sweety yang selalu mendorong, membantu dan mendengarkan keluh kesah penulis, terutama Dian lmut yang telah memberikan judul. Sahabatku Risma, Q'ray, O'O, Ida, lbah, Abe, lndie, Mantok, B'Sur, lsmet, Breonk, anak-anak Cafe dan Qatar? makasih ya atas doanya. 10. Spesial thank you to 1-Poel yang selalu memba.ntu penulis dalam
meluangkan waktunya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan untuk karena itu kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini, dan hanya kepada Allahlah akhirnya penulis berserah diri.
Jakarta, September 2007
Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan
ii iii Motto ... 1v Abstrak Kata Pengantar v vii ix Daftar lsi
Daftar Ta be I . . . .. . . .. . . .. . . .. . . . .. . .. . . .. . . .. . . xii
Daftar Gambar xiii
BABI
BAB II
PENDAHULUAN
I. I. Latar belakang masalah 1.2. ldentifikasi masalah
l.3. Pembatasan dan perumusan masalah
1-11
1
8
Ll.1. Pembatasan masalah . . . 8
1.3.2. Perumusan masalah
1.4. Tujuan dan manfaat penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
1.4.2. Manfaat penelitian
1.5. Sistematika penulisan ... .
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Autisme
2.1.1. Definisi Autisme
9 9 9 10 12-39 12
BAB Ill
2.2.2. Ciri-ciri Sil<ap 2.2.3. Struktur Sikap
2.2.4. Proses pembentukan dan perubahan 25 27
sセー@ ... セ@ 2.2.5. Faktor-fai<tor yang mempengaruhi
Sil<ap .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . . 29 2.2.6. Fungsi Sil<ap ... 32 2.3. Sikap orang tua terhadap l<ondisi anal<
Autisme .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .... .. .. .. ... .... .. .. . 33 2.4. Kerangl<a berfikir .. .. . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .. ... 38
METODELOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan penelitian 3.1.2. Metode penelitian 3.2. Pengambilan sampel
3.2.1. Populasi dan sampel
3.2.2. Teknik pengambilan sampel 3.3. Pengumpulan data
3.3.1. Metode dan Instrument
40-51 40 41 42 43 43 3.3.2. lnstrumen penelitian .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . . 47 3.4. Prosedur penelitian
BABIV
BABV
PRESENTASI DAN ANALISA DATA 4.1. Gambaran umum subjek penelitian
52-86 52 4.2. Gamba ran dan Analisis kasus . . . .. . . 53 4.2.1. Kasus I . . . .. . . .. . . .. .. . . 53 4.2.2. Kasus II . . . .. . . 62 4.2.3. Kasus Ill
4.3. Analisis antar kasus
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
5.2. Diskusi 5.3. Saran
71
83
8-93
87
89
91
Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu) .. .... .... .... .... .. .. .... .. .... 52
Tabel 4.1.2. Data Anak .... .. ... .... .. .... ... ... 53
1.1. Latarbelakang masalah
Anak adafah karunia, kehadirannya disambut dengan suka cita dan penuh
harapan. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang
sempurna, tetapi sefalu saja ada keadaan di mana anak memperlihatkan
gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contohnya
adalah ketika Tuhan menitipkan karunia-Nya yang tidak sempurna yaitu
individu autisme kepada beberapa hamba-Nya.
Sejak beberapa tahun terakhir ini masalah autisme memang mulai
merebak di Indonesia, ini terlihat dengan mulai beredarnya informasi
mengenai autisme, dibukanya pusat-pusat terapi, terbentuknya
yayasan-yayasan yang bergerak di bidang autisme sampai seminar-seminar
nasional yang membicarakan masalah ini dengan pakar-pakar darl dalam
maupun luar negeri.
lstifah autisme sudah cukup popular di kalangan masyarakat, karena
banyaknya media massa dan efektronik yang mencoba untuk
persentasinya di Indonesia namun tetap sukar untuk menentukan angka
yang pasti. Dari kepustakaan sebelum tahun 1990-an disebutkan ada
sekitar dua sampai lima kasus per sepuluh ribu kelahiran. Kemudian
tahun 1990-an meningkat menjadi lima belas sampai dua puluh kasus per
sepuluh ribu kelahiran. Data terakhir tahun 2001 dari CDC (Centers for
Disease Control and Prevention) menunjukkan peningkatan yang _:auh
lebih banyak lagi, yaitu sekitar enam puluh kasus per sepuluh ribu
kelahiran atau satu di antara dua ratus lima puluh penduduk.
(www.suarapembaruan.com)
Menurut data Yayasan Autisme Indonesia, sekarang ini diseluruh
Indonesia terdapat dua belas klinik dan rumah sakit yang menangani
autisme, serta seratus tiga puluh dua tempat terapi dan sekolah khusus
autisme. (www.kompas.com)
Pemakaian istilah autisme kepada penderita diperkenalkan pertama kali
oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kaniner, Autistic
Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan
pengamatan terhadap sepuluh penderita yang menunjukkan gejala
kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang
gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) di mana terjadi
penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan
kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme s;eperti hidup dalam
dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu
kumpulan gejala kelainan perilaku dan perkembangan. Dengan kata lain,
pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan
(gangguan pervasif). Autisme dapat terjadi pada semua kelompok
masyarakat kaya, miskin, di desa, di kota, berpendidikan maupun tidak
serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika memegang
peranan penting pada terjadinya autisme. Bayi kembar satu telur akan
mengalami gangguan autisme yang mirip dengan saudara kembamya.
Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga yang mengalami
gangguan yang sama. Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo,
herpes; jamur; nutrisi yang buruk; perdarahan; keracunan rnakanan, dan
sebagainya yang terjadi pada kehamilan yang dapat menghambat
pertumbuhan sel otak dan yang terjadi dapat menyebabkan fungsi otak
bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi
dan interaksi. Akhir-akhir ini dari penelitian terungkap juga hubungan
antara gangguan pencernaan dan gejala autisme. Temyata lebih dari
pencernaan yang kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi
(casein) dan tepung terigu (gluten) yang tidak tercerna dengan sempurna.
Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino
tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang
seharusnya di buang lewat urine. Ternyata pada penyandang autisme,
peptida ini diserap kembali oleh tubuh, masuk ke dalam aliran darah,
masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu
casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak
dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya
adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku. (Dil<dasmen
Depdiknas)
Mengingat sifat gangguannya yang kompleks dan mengenai hampir
seluruh aspek perkembangan anak, gangguan 。オエゥウュ・セ@ tidak dapat
dipandang sebagai hal yang ringan. Gangguan autisme membutuhkan
kesabaran yang luar biasa dalam pola pengasuhan dan perawatan yang
khusus. Perilaku agresif, merusak dan menyakiti diri ウ\セョ、ゥイゥ@ merupakan
perilaku yang paling berat untuk dihadapi. Semuanya terlihat seperti di
luar kontrol anak. Walaupun anak terlihat Jelah dan cape, tetapi otaknya
meminta tubuh anak untuk terus berlari dan berlari sampai batas
energinya habis dan pada akhirnya anak tidur kelelahan. Betapa beratnya
gangguan autisme. Keadaan berat ini di perparah ka1ena sebagai orang
tua mengharapkan anaknya sehat, cerdas dan normal seperti anak-anak
lainnya. Memiliki gambaran yang ideal dan bermimpi tentang kesuksesan
yang akan diperoleh anaknya kelak di masa depannya. Dihadapkan oleh
kenyataan pahit yang mengejutkan dan rnembuyarkan impian pada anak
tercinta, maka pada saat itu muncullah kekecewaan yang mendalam dan
sulit untuk digambarkan. Kebanyakan orang tua mengalamai Shock
bercarnpur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika
pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme. Reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua
tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Setiap orang tua yang
mendengar hasil diagnosa bahwa anaknya menderita autisme akan
menunjukkan reaksi emosional yang kuat. Memang hal ini adalah
persoalan yang sangat sulit dihadapi para orang tua, dan mereka dipaksa
untuk berhadapan dengan keadaan tersebut, serta dipaksa untuk
menerima kenyataaan yang menekan ini.
Perasaan tak percaya bahwa anaknya mengalami autisme
kadang-kadang menyebabkan orang tua mencari dokter lain untuk menyangkal
diagnosa dokter sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti
dokter. Dan pada akhirnya, setelah dihadapkan pada fakta yang objektif
terpukul dan terpaksa menerima kenyataan pahit yang menimpa anaknya.
Tentu saja, hal ini sangat memukul perasaan orang tua. Bagaimana tidak,
anak yang sangat dicintainya harus menderita suatu !Jangguan autisme.
Belum lagi ketika mengetahui harapan-harapan keluarga besar, kakek dan
neneknya yang mengharapkan cucu yang sehat dan cerdas tidak
terpenuhi, orang tua pun semakin tertekan. Jelas ini bukan perasaan
yang mengenakan bagi orang tua dengan anak yang menderita autisme.
Hal ini juga dapat mempengaruhi sikap orang tua dalam berinteraksi
dengan orang lain. Sewaktu berada dalam lingkungan dan situasi sosial
selalu saja ada mekanisme mental yang mengevakuasi, membentuk
pandangan, mewarnai perasaan, dan ikut menentukan kecenderungan
perilaku terhadap manusia atau sesuatu yang kita haclapi, bahkan
terhadap diri kita sendiri. Sikap yang diartikan sebagai kesiapan,
kesediaan dan kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu objek
tertentu dan berubah sejalan dengan perkembangan individu atau dengan
kata lain sikap merupakan hasil belajar individu melalui interaksi sosial.
(Sarlito W. S, 1996)
Yang berarti bahwa sikap dapat dibentuk dan diubah rnelalui pendidikan.
Sikap positif dapat berubah menjadi negatif jika tidak rnendapatkan
pembinaan dan sebaliknya sikap negatif dapat berubah menjadi positif jika
disadari orang tua telah mengawali kelemahannya dengan menumbuhkan
kecenderungan untuk berpikir negatif didalam menilai diri dan
lingkungannya. Selanjutnya, mulai mengembangkan sikap negatif itu
didalam menjalankan kehidupannya.
Dengan orang tua merasa malu kepada khalayak ramai dan tidak ingin
anaknya yang menderita autisme diketahui banyak orang, perasa;:.in malu
pun akan muncul ketika orang tua berhadapan dengan lingkungan sosial,
dengan adanya perasaan minder bahwa orang tua memiliki anak :1ang
mengalami gangguan autisme. Seperti seorang lbu rnenuturkan, "Kadang
saya merasa dan berfikir semua orang mencemooh saya, memandang
aneh anak saya, saya jadi ragu-ragu untuk keluar rumah bersama anak
saya, saya seperti menjadi orang tua yang tidak berharga, karena tidak
mampu melahirkan anak normal .... " (Triantoro Safaria, 2005)
Ketidaknormalan serta kekurangan dengan kecacatan fisik yang
dimilikinya merupakan suatu hal yang dapat menjadikan orang tua
berfikiran negatif, untuk mengajak anaknya berinteraksi dengan
lingkungan. Namun demikian terdapat juga orang tua yang berfikiran
positif meskipun anaknya memiliki fisik yang tidak normal. Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut penulis tertarik untuk meneliti " Gambaran Sikap
1.2. ldentifikasi masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka ada beberapa permasalahan
yang dapat diidentifikasi di antaranya:
1. Bagaimanakah sikap orang tua yang rnempunyai anak autisme?
2. Apakah orang tua yang mempunyai anak autisme dalam bersikap
cenderung melakukan tindakan setelah mengetahui anaknya
menderita autisme?
3. Apakah lingkungan mempengaruhi sikap orang tua yang mempunyai
anak autisme dalam bersikap?
1.3. Pembatasan dan perumusan masalah
Dalam penelitian ini peneliti memberi batasan masalah penelitian adalah
sebagai berikut:
1.3.1. Pembatasan masalah
1.3.1.1. Sikap yang di maksud ialah bagaimana kecenderungan orang tua
(lbu) yang mempunyai anak autisme dalam bersikap. Di mana
sikap tersebut dapat bersifat positif dan negatif. Dalam sikap
positif, orang tua {lbu) cenderung menerima keadaan anak dan
selanjutnya melakukan tindakan terapi, menyekolahkan, dan
Sedangkan sikap negatif orang tua (lbu) menolak keadaan anak
dan bersikap seperti tidak menghiraukan anak.
1.3.2. Perumusan masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka perumusan masalah
penelitian adalah " Bagaimana Gambaran Sikap Orang Tua yang
Mempunyai Anak Autisme ".
1.4. Tujuan dan manfaat penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Bagaimana Gambaran Sikap
Orang Tua yang Mempunyai Anak Autisme".
1.4.2. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berrnanfaat dalam
melengkapi kajian ilmu pengetahuan khususnya bidang psikolgi klinis,
pendidikan dan perkembangan.
b. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan
pemahaman bagi orang tua yang mempunyai anak autisme dalam
bersikap.
1.5. Sistematika penulisan
Adapun inti dari keseluruhan penulisan sebagai berikut:
BAB 1 Berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latarbelakang masa:ah,
ldentifikasi masalah, Pembatasan dan perumusan masalnh,
Tujuan dan manfaat penelitian, Sistematika penulisan.
BAB 2 Berisi tentang Kajian Pustaka yang terdiri dari Definisi autisme,
Manifestasi klinis autisme, Penyebab autisme, Pengelompokkan
autisme, Definisi sikap, Ciri-ciri sikap, Struktur sikap, Proses
pembentukan dan perubahan sikap, Faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap, Fungsi sikap, Sikap orang tua terhadap
kondisi anak autisme, Kerangka berfikir dan Hipotesa.
BAB 3 Berisi Metedologi Peneliti yang terdiri dari Jenis penelitian,
Pendekatan penelitian, Metode penelitian, Pengambilan sampel,
Populasi dan sampel, Teknik pengambilan sampel, Pengumpulan
data, Metode dan instrumen, Instrument penelitian, Prosedur
penelitian, Tahap persiapan penelitian, Tahap pelaksanaan
penelitian, Tahap pengolahan data, Teknik analisis data dan Etika
BAB 4 Berisi Hasil Penelitian yang terdiri dari Gambaran umum subjek
penelitian, Gambaran dan analisis kasus, Analisis antar kasus.
BAB
5
Berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan, Diskusi danSaran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
2.1. Autisme
2.1.1. Definisi Autisme
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani "auto" bera1ii sendiri yang
ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "Hidup dalam
dunianya sendiri ". (autism.blogsome.com)
Autisme adalah gangguan dalam perkembangan neurobiologis yang berat
atau luas, terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupan.
Masalah ini bisa di mulai sejak janin berusia enam bulan (trimester II)
dalam kandungan, dan dapat terus berlanjut semasa hidupnya jikc' tidak
dilakukan intenvensi secara dini, intensif, optimal, dan komprehen:;if
(menyeluruh). Jika tidak ditangani, penyandang autisme akan ber;iantung
terus hidupnya pada orang lain atau tidak bisa hidup normal, bahkan
untuk dirinya sendiri. (www.suarapembaruan.com)
Autisme adalah suatu keadaan di mana seorang anak berbuat semuanya
Autisme adalah gangguan pada otak yang berakibat pada kemampuan
seorang anak untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.
(Dowshen, dkk, 2004).
Caplin mengungkapkan autisme sebagai berikut (Kartini Karton, 2006):
a. Cara berfikir yang dikendalikan oleh hubungan personal atau oleh
diri sendiri.
b. Menggapai dunia berdasarkan penglihatan, harapan sendiri dan
menolak realitas.
c. Keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.
Dalam PPDGJ Ill (pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
Ill) autisme dikategorikan dalam gangguan perkembangan pervasif yang
ditandai oleh adanya kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.
(Rusdi Maslim, 2001)
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
Gejalanya mulai tampal< sebelum anak berusia tiga tahun. Bahkan pada
autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir. Diperkirakan tujuh puluh
lima persen sampai delapan puluh persen penyandang autisme ini
mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu.
(www.unj.ac.id)
2.1.2. Manifestasi Klinis Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasive pada anak yang
ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang:
(autism.blogsome.com)
a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal meliputi
kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali
tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa
menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.
Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat
berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat di
mengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak
menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru
atau membeo), meniru kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya.
Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk
komunikasi dan imik datar.
b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan
menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh
bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang
orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan
sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan alengan orang lain.
Saat bermain bila didekati malah menjauh.
c. Gangguan dalam bermain di antaranya adalai1 bermain sangat
monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu
deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil clan
mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada
kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau
guling, terus dipegang dibawa ke mana saja dia pergi. Bila senang
satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka,
tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol,
gelang karet, baterai atau benda lainnya. Tidak spontan, reflek
dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tiolak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai pennainan yang
bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas
angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang
ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari,
misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila
berpergian harus melalui rute yang sama.
d. Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak
yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada
dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka
semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah,
mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya
I
•eperti boruog te,baog). ta joga •e,iog meoyakiti di,; •eodi'i /
seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding.
Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam),
duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa
alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada
satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan
akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya
sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan
perilaku lainnya.
e. Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku
tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering
mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak
mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Bahkan bisa menjadi
agresif dan merusak. Tidak dapat berbagi perasaan (empat1)
dengan anak lain.
f. Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif
terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa
(lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau
keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya.
Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak
menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong sering merosot
atau melepaskan diri dari pelukan.
" DSM-IV Diagnostic criteria for autistic disorder (Kaplan,
1996).
A. A total of six (or more) items from (1 ), (2), and (3), with at least two from (1), and one each from (2) and (3):
(1) Qualitative impairment in social interaction, as manifested by at least two of the following:
(a) Marked impairment in the use of multiple nonverbal behaviors such as eye-to-eye gaze, facial expression, body postures, and gestures to regulate social interaction.
(b) Failure to develop peer relationship appropriate to developmental level.
(c) A lack of spontaneous seeking to share enjoyment, interests, or achievements with other people (e.g., by a lack of showing, bringing, or pointing out objects of interest).
(d) Lack of social or emotional reciprocity.
(2) Qualitative impairments in communication as manifested by at least one of the following:
(a) Delay in, or total lack of, the development ()r spoken language (not accompanied by an attempt to compensate through alternative modes of communication sucn as gesture or mime).
(b) In individuals with ad equate speech, marked impairme.1t in the ability to initiate or sustain a conversation with othe1 s. (c) Stereotyped and repetitive use of language or idiosyncratic
language. ·
(d) Lack of varied, spontaneous make-believe play or social imitative play appropriate to developmental level.
(3) Restricted repetitive and stereotyped patterns or behavior, interests, and activities, as manifested by at least one of the following:
(b) Apparently inflexible adherence to specific, nonfunctional routines or rituals.
(c) Stereotyped and repetitive motor mannerisms (e.g., hand or finger flapping or twisting or complex whole-body movements). (d) Persistent preoccupation with parts of objects.
B. Delays or abnormal functioning in at least one of the following areas, with onset prior to age 3 years: (1) social interaction, (2) language as used in social communication, or (3) symbolic or imaginative play.
C. The disturbance is not better accounted for by Rett's disorder."
DSM-IV kriteria diagnosa untuk anak penyandang autisme (dalam Kaplan,
1996):
A. Dari jumlah total enam (atau lebih) item dari satu, dua dan tiga, dengan paling sedikit dua dari satu, dan satu dari setiap dua dan tiga:
1. Adanya kerusakkan kualitatif dalam interaksi sosial, yang
ditunjukkan paling sedikit dua, sebagai berikut:
a) Ditandai dengan kerusakkan dalam menggunakan perilaku non
verbal berkali-kali seperti pandangan mata, ekspresi wajah,
postur badan dan sikap untuk mengatur interaksi sosial.
b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya
secara wajar pada tahap perkembangan.
c) Kurangnya spontanitas untuk mencoba mernbagi kegembiraan,
perhatian dan prestasi dengan orang lain (contoh kurang
d) Kurangnya timbal balik sosial atau emosional.
2. Kerusakan kualitatif komunikasi yang ditunjukkan paling sedikit satu
dari hal dibawah ini:
a) Tertunda, atau kurangnya perkembangan bicara (tidak diikuti
dengan sebuah percobaan yang menggantikan kerugian melalui
cara alternatif atau komunikasi seperti sikap atau mimik).
b) Secara individual dengan persamaan pernbicaraan, ditandai
kerusakan dalam kemampuan untuk memulai sebuah
percakapan dengan orang lain.
c) Stereotip dan pengulangan dalam mengunakan bahasa yang
aneh.
d) Kurangnya variasi, spontanitas bermain khayalan atau imitasi
sosial yang wajar untuk tahap perkembangan.
3. Pengulangan larangan dan pola stereotip atau perilaku, minat dan
aktifitas yang ditunjukkan paling sedikit satu dari hal di bawah ini:
a) Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih stereotip dan pola
pelarangan dari minat yang tidak normal dari keduanya dalam
intensitas atau fokus.
b) Terbukti tidak dapat diubah ketaatannya secara spesifik,
c) Stereotip dan pengulangan gerakan perlakuan (contoh, tepuk
tangan, memutar tangan atau jari atau pergerakan seluruh
badan secara kompleks).
d) Menetap keasyikan dengan bagian objek.
8. Tertundanya fungsi yang tidak normal paling sedikit satu dari hal yang
di bawah ini, dengan permulaan lebih dan diutamakan untuk usia tiga
tahun.
a) lnteraksi sosial.
b) Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial.
c) Bermain simbol atau imajinasi.
C. Mengganggap kekacauan dengan gangguan penyandang Rett's tidak
lebih baik.
2.1.3.
Penyebab AutismeMenurut Agus Suryana (2004), selama puluhan tahun penyebab aLCtisme
tetap misteri. Baru dalam kurun waktu sepuluh tahun ini diketahui terjadi
kelainan pada struktur sel otak yakni gangguan pertumbuhan sel otak
pada saat kehamilan trimester pertama. Penelitian membuktikan bahwa
tidak ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang anak di
Ada pula ahli yang berpendapat autisme muncul karena penyandangnya
mengalami pengecilan bagian otak cerebellum. Pada tahun 1998, muncul
lagi pendapat yang melihat autisme lebih disebabkan metabolisme.
Selain itu ada pendapat bahwa autisme muncul akibat keracunan logam
berat. Perdebatan terakhir tentang penyebab autisme' masih berkisar
kemungkinan penyebab autisme adalah vaksinasi anak.
Saat ini, para peneliti dan orang tua yang mempunyai anak autisme boleh
merasa lega mengingat perhatian dari negara besar dunia mengenai
kelainan autisme menjadi serius. Sebelumnya, kelainan autisme hanya
dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yan!J otoriter terhadap
anaknya.
Disamping itu, kemajuan teknologi memungkinkan untuk malakukan
penelitian mengenai penyebab autisme secara genetik dan metabolik.
Pada bulan Mei, 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya
tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi
tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat
menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autisme sehingga
Penyebab masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti melihat
karena suatu masalah fisik yang mempengaruhi bagian-bagian dari otak
yang memproses bahasa dan informasi yang berhubungan dengan panca
indera. Mungkin juga ada ketidakseimbangan dari zat-zat kimia. Ada juga
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik.
Menurut Dr. Melly Budiman (seperti yang dikutip Agus Suryana, 2004)
penyebab autisme adalah adanya gangguan pada perkembangan
susunan saraf pusat yang mengakibatkan fungsi otak terganggu. Autisme
bisa terjadi pada siapa saja. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan diperkirakan tiga berbanding satu. Seorang ibu yang cermat
memantau perkembangan anaknya mudah melihat beberapa keganjilan
sebelum anak mencapai usia satu tahun. Dan yang paling menonjol
sangat kurangnya kontak dengan mata.
Sedangkan menurut dr. Faisal Yatim, pendapat yang menjadi kosensus
bersama para ahli belakangan ini mengakui bahwa autisme diakibatkan
terjadi kelainan fungsi luhur didalam otak, kelainan fungsi ini bisa
disebabkan oleh: Trauma sewaktu bayi dalam kandun9an, misalnya
karena keracunan kehamilan, infeksi virus rubella, virus cytomegalo;
Kejadian segera setelah lahir, seperti kekurangan oksi9en (anoksi);
misalnya vermis otak kecil yang lebih kecil atau terjadi pengerutan
jaringan otak; Kemungkinan terjadi kelainan metabolisme seperti pada
Addison, di mana bertambahnya pigmen tubuh dan kemunduran mental.
(dalam Agus Suryana, 2004)
2.1.4.
Pengelompokan AutismeMenurut Faisal Yatim autisme dapat dikelompokan rnenjadi 3 yaitu :
1.
Autisme persepsiAutisme persepsi dianggap sebagai autisme asli dan disebut juga
autisme internal (endogenous) karena kelainan sudah timbul sebelum
lahir.
2. Autisme reaktif
Pada autisme reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu
berulang-ulang dan kadang-kadang dise1tai kejang-kejang. Autisme ini
biasa mulai terlihat pada anak-anak usia lebih besar (enam sampai tujuh
tahun) sebelum anak memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga
terjadi sejak usia minggu-minggu pertama.
3. Autisme yang timbul kemudian
Kelainan dikenal setelah anal< agak besar tentu akan sulit memberikan
pelatihan dan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah
melekat, ditambah beberapa pengalaman baru dan mungkin di perberat
2.2. Sikap
2.2.1. Definisi Sikap
Sikap dalam bahasa inggris disebut attitude yaitu suatu cara berreaksi
terhadap suatu kecenderungan untuk berreaksi dengan cara tertentu
terhadap suatu perasaan atau situasi yang dihadapi.
(M. Ngalim Purwanto, 1992)
Menurut Secord dan Bacman, sikap sebagai keteraturan tertentu dalam
hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan
(konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
(dalam Saifuddin Az.war, 2003)
Sikap menurut Sarlito W. S (1996), didefinisikan sebagai kesiapan pada
seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang
bersifat positif atau negatif.
Menurut pandangan Thurstone, sikap sebagai suatu tingkatan afeksi, baik
afeksi yang positif maupun negatif. Dalam hubungannya dengan
objek-objek afeksi, yang pm,itif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif
Menurut Brino, sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif
menetap untuk berreaksi dengan cara baik atau burul< terhadap orang
atau barang tertentu. (dalam Muhibbin Syah, 2002)
Selain itu Zimbardo dan Ebbesen mendefinisikan sikap sebagai sesuatu
predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau
objek yang berisi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif.
(dalam H. Abu Ahmadi, 2002)
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, definisi sikap adalah
perbuatan yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan seseorang
terhadap objek. (Hasan Alwi, dkk, 2000).
Menurut Chaplin (2006), definisi sikap (attitude) adalah satu predisposisi
atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus
untuk bertingkah laku atau untuk merespon dengan satu cara terte:ntu
terhadap pribadi lain, atau persoalan tertentu.
2.2.2. Ciri-ciri sikap
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1996), Untuk membedakan sikap dari
aspek-aspek psikis yang lain (seperti motif, kebiasaan, pengetahuan dan
a. Dalam sikap selalu terdapat hubungan subjek-objek. Tidak ada sikap
yang tanpa objek. Objek ini berupa benda, orang, kelompok orang,
nilai- nilai sosial, pandangan hid up, hukum, lembaga masyarakat dan
sebagainya.
b. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk
melalui pengalaman-pengalaman.
c. Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai
dengan keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan
pada saat-saat yang berbeda-beda.
d. Dalam sikap tersangkut juga faktor motivasi dan perasaan. lnilah
yang membedakannya.
e. Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah terpenuhi.
f. Sikap tidak hanya satu macam saja, melainkan sangat
bermacam-macam sesuai dengan banyaknya objek yang dapat menjadi
perhatian orang yang bersangkutan.
Disamping itu, menurut Gerungan (2004) sikap mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari
sepanjang perkeri1bangan individu dalam berhubungan dengan
objeknya.
c. Sikap dapat berdiri sendiri, namun senantiasa mengandung relasi
tertentu terhadap suatu objek.
d. Sikap tidak hanya dapat berkenan dengan satu objek saja, tetapi
juga berkenan dengan sederetan objek-objek yang serupa.
e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.
2.2.3. Struktur sikap
Menurut Saifuddin AzJNar (2003), struktur sikap terdiri atas tiga komponen
yang saling menunjang yaitu:
a. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa
yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap, apa yang
dipercayai seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yang
telah terpolakan dalam fikirannya. Apabila terpolakan dalam pikiran
bermakna negatif maka membawa arti yang tidak baik.
b. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif
seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
merupakan perasaan individu terhadap objek sikap penerimaan dan
menyangkut masalah emosi.
c. Komponen perilaku atau konatif dalam struktur sikap menunjukan
bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku, bertindak atau
yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa
kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.
Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan
kepercayaan dan perasaan yang membentuk sikap individu yang
menunjukan bahwa komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang
tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, akan tetapi meliputi
pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pemyataan atau perkataan
yang diucapkan oleh seseorang.
Ketiga komponen itu merupakan dasar seseorang berreaksi atau
merespon terhadap hal-hal tertentu, walaupun belum tentu berakhir pada
tindakan nyata atau perilaku, karena sikap di sini merupakan predisposisi
untuk berperilaku.
2.2.4. Proses pembentukan dan perubahan sikap
Sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat macam cara antara
lain: (Sarlito W. S, 1996)
a. Adopsi, kejadian dan peistiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus
menerus, lama kelamaan secara bertahap di serap kedalam diri
individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.
b. Diferensiasi, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya
yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas
dari jenisnya. Terhadap objek dapat terbentuk sikap tersendiri pula.
c. lntegrasi, pembentukan sikap terjadi secara bertahap, di mulai
dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal
tertentu, sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut.
d. Trauma, trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan,
yang meningggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang
bersangkutan.
2.2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
Menurut Saifuddin Amo/ar (2003), dalam interaksi sosialnya individu
berreaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek
psikologis yang dihadapinya. Di antaranya ada berbagai faktor yang
mempengaruhi sikap antara lain:
a. Pengalaman pribadi
Pengalaman dengan objek sikap akan memberikan kesempatan
kepada individu untuk memiliki pengetahuan dan tanggapan serta
penghayatan atas objek tersebut. Pengetahuan dan tanggapan
inilah yang kemudian menjadi salah satu unsur clalam komponen
sikap seseorang. Apakah penghayatan tersebut akan membentuk
sikap positif atau negatif akan tergantung pula pada berbagai faktor
b. Kebudayaan
Kebudayaan masyarakat di mana seseorang hidup dan dibesarkan
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap
orang yang bersangkutan. Dengan nilai-nilai da11 norma-normanya
kebudayaan telah memberikan arah bagi sikap sesuai terhadap
berbagai masalah dalam kehidupan.
c. Orang lain yang dianggap penting
Seseorang yang dianggap penting, yang istimewa, yang tak ingin
dikecewakan, yang dibutuhkan persetujuannya, セォ。ョ@ banyak
mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di
antaranya orang biasanya dianggap penting bagi individu adalah
orang tua, orang yang status sosialnya lebih エゥャQqAセゥN@ teman sebaya,
teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami dan lain-lai11.
d. Media massa
lnformasi yang disampaikan oleh media massa, terselip pula
pesan-pesan sugestif yang dapat membentuk opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai suatu hal memberikan Jandasan kognitif
bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Sementara itu
pesan-pesan sugestif yang menyertainya, apabila cukup kuat, maka akan
e. lnstitusi atau Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama mempunyai pengaruh
dalam pembentukan sikap karena keduanya adalah yang meletakkan
dasar pengertian konsep moral dalam diri individu. Konsep-konsep
moral menentukan sistem kepercayaan seseorang tentang segala
sesuatu. Hal ini merupakan unsur komponen kognitif yang sangat
penting dalam sikap seseorang.
f. Emosi
Kadang-kadang suatu sikap merupakan pernyataan yang didasari
oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi
atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan cliri. Salah satu
bentuk sikap yang didasari emosi ini adalah prasangka.
Sedangkan menurut Sarlito W. S (1996), Pembentukan sikap tidal< terjadi
begitu saja, melainkan terbentuk melalui suatu proses tertentu, melalui
kontak sosial terus-menerus antara individu dengan individu lain di
sekitarnya. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
sikap adalah:
a. Faktor intern, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang
yang bersangkutan sendiri. Pilihan ini kecenderungan dalam diri
yang menyusun sikap positif terhadap satu hal clan membentuk
b. Faktor ekstern, sela.in faktor-faktor yang terdapat dalam diri sendiri,
maka pembentukan sikap juga ditentukan pula oleh faktor-faktor
dari luar, seperti: sifat objek yang dijadikan sasaran sikap,
kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap, sifat
orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut, media
komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap, dan
situasi pada saat sikap itu dibentuk.
2.2.6. Fungsi sikap
Sikap mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan. Menurut H. Abu
Ahmadi (2002), fungsi sikap dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:
a. Sikap berfungsi sebagai alat penyesuaian diri. Di mana sikap
adalah suatu yang bersifat communicabel, artinya sesuatu yang
mudah menjalar, sehingga mudah pula menjadi milik bersama.
b. Sikap berfungsi sebagai alat pengukuran tingkah laku.
c. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.
d. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadiain.
Oleh karena fungsi-fungsi sikap yang sedemikian penting ini maka sikap
yang sudah berkembang dalam diri seseorang, menjadi bagian dalam
kehidupan sehari-hari, akan cenderung mempertahankan dan sulit sekali
dirubah, mengubah sikap berarti mengadakan pj:'Hi9i:rst1aian-penyasuaian __ _
f -
baru terhadap objek atau suatu situasi yang dihadapi, memiliki
respon-respon (baru) yang tepat, memberi arti baru kepada objek yang dihadapi.
Hal ini merepotkan ketidakseimbangan yang cukup mengganggu diri
orang yang bersangkutan.
2.3. Sikap orang tua terhadap kondisi anak autisme
Salah satu syarat terbentuknya suatu keluarga adalah adanya unsur
orang tua dalam keluarga tersebut. Orang tua adalah figur utama dalam
keluarga pada umumnya, orang tua diartikan sebagai ayah atau lbu,
namun dapat juga diartikan sebagai individu dewasa yang memikul
tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami anak pada masa-masa
awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya, dan dari
merekalah anak mulai mengenal pendidikannya dan juga orang tua
dianggap mampu mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak.
Suatu kebahagiaan dalam keluarga takala diberikan kesempatan untuk
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat jasmani clan rohani, namun
tidak sedikit pula orang tua yang mendapat keturunan atau anak dengan
gangguan-gangguan tertentu, seperti Autisme. Orang tua dalam hal ini
harus ekstra memberikan perhatian, dan pemahaman yang baik sehingga
terjalin hubungan yang baik antara anak , orang tua dan lingkungan.
bimbingan serta asuhan terhadap anak autisme. Peranan dan bantuan
orang tua sangat bermanfaat didalam penyesuaian anak autisme terhadap
lingkungannya yang mana tercermin d"rdalam pola pengasuhan.
Semua orang tua menghendaki anak-anaknya terlahir dengan keadaan
yang ideal seperti yang mereka bayangkan, sehingga mereka al<an
memiliki tuntutan sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, orang tua
sering kali mengamati dan membandingkan kondisi anaknya dengan anak
yang lain. Pada sebagian orang tua yang segera menyadari kenyataan
yang ada akan lebih baik, namun tidak semua orang tua mau menerima
dan menyadarinya. lni memang sebuah cobaan berat dan tidak mudah
untuk dapat hidup secara tenang dan damai bagi orang tua ketika
mengetahui anaknya menderita autisme. Ketika pertama kali orang tua
mengetahui anaknya autisme, orang tua memunculkan beragam reaksi
emosional. Beberapa reaksi emosional yang sering climunculkan antara
lain: (Triantoro Safaria, 2005) shock, penyangkalan (merasa tidak
percaya), sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan, perasaan
menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasan marah,
perasaan bersalah serta berdosa, perasaan setahap demi setahap, dan
perjuangan belum berakhir. Dan berbagai macam reaksi negatif sudah
pasti menyelimuti perasaan orang tua sepanjang waktu bahkan setiap
banyak dampak negatif, baik secara fisik maupun secara psikis.
Walaupun setiap orang tua dapat melalui serangkaian proses untuk dapat
menerima dan menyadari kondisi anaknya dengan segala
keterbatasannya.
Rentang waktu dalam proses yang dilalui orang tua beragam, tentunya
semakin cepat tahapan-tahapan dapat mereka lalui dan akhirnya
menerima sebagai kenyataan akan membantu anak rnenjadi lebih optimal,
pula dalam penatalaksanaan. Dalam keadaan ini biasanya dikehendaki
oleh anak al<an dapat tumbuh dan kembali normal sama seperti anak
lainnya. Semal<in besar penolakan pada kondisi yang ada, semakin lama
proses ini dapat diatasi oleh orang tua. Sebagai pasangan orang tua
sering kali reaksi yang terjadi antara penolakan yang lebih panjang atas
kondisi yang ada. Pasangan orang tua yang memilil<i tahapan proses
lebih cepat biasanya akan lebih segera pula dalam mimgolah anak lebih
optimal. Hal ini di karenakan sikap orang tua yang dapat menerima
kenyataan. Sikap yang didefinisil<an sebagai kesiapan pada seseorang
untul< bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang bersifat
positif atau negatif (Sarlito W. S, 1996). Sikap positif, l<ecenderungan
tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu,
sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
Dalam kehidupan bermasyarakat, sikap penting sekali. Sikap yang
menjadi penggerak (motivator) tingkah laku dan mempengaruhi semua
nilai manusia. Efisiensinya barulah berhasil, kalau seseorang didorong
oleh sikapnya untuk memulai, meneruskan dan menyelesaikan suatu
pekerjaan bukannya malah menghindari tugasnya yang tak
menyenangkan. Demikian pula sikap terhadap orang lain akan
menentukan nilai sosialnya.
Sikap orang tua terhadap anak autisme merupakan suatu pembelcijaran.
Pola hubungan orang tua dan anak dalam kehidupan seseorang aapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Banyak faktor yang ikut
menentukan gambaran apa yang akan dipelajari untuk sikap orang tua
yang mempunyai anak autisme, dan juga meliputi hal··hal yang dianggap
normal oleh orang sebagian. Berkaitan dengan gambaran sikap orang tua
yang mempunyai anak autisme, merupakan salah satu faktor atau sumber
sikap orang tua terhadap anaknya, terutama yang hidup dengan
Para orang tua akan mempunyai banyak ide tentang bagaimana
anak-anak dapat diberikan bantuan yang lebih baik dalam perkembangannya,
dan hal ini bisa terjadi dengan baik apabila ada hubungan kerja sama
yang baik antara sekolah dengan orang tua melalui diskusi atau bantuan
nyata. Para orang tua diberi kesempatan untuk selalu mengikuti
perkembangan anaknya di sekolah. Selain dari pada itu sekolah juga
selalu mendorong dan menambah pengertian orang tua dengan anaknya,
dengan harapan agar hubungan antara orang tua dan anak selalu baik
dan berarti bagi keduanya.
Dari sini jelaslah adanya hubungan timbal balik antara orang tua
menerima kondisi anaknya yang menderita autime dengan sikap orang
tua terhadap kondisi anak yang menderita autisme, yang mempunyai
implikasi pada memperpanjang atau memperpendek masa kesembuhan
anak. Dalam arti bahwa jika orang tua dapat menerima anaknya
menderita autisme, dengan sikap positif maka mungkin orang tua akan
membantu anaknya agar dapat sembuh dengan memberikan perhatian,
terapi dan lain sebagainya agar anaknya dapat kembali normal, namun
sebaliknya jika orang tua menangapinya dengan negatif maka mungkin
2.4. Kerangka Berfikir
Sikap positif
Sikap orang tua
Kondisi anak autisme
Direalisasikan dengan 3 komponen yaitu
I
kognitif, afektif dan konatif[ Sikap negatif
Menerima Menolak
Skema 2.4. Kerangka berfikir
Secara garis besar, kerangka berfikir di atas berguna untuk
menggambarkan atau mengilustrasikan suatu rumusan masalah dengan
subjek penelitian yaitu orang tua yang mempunyai anak autisme. Autisme
adalah gangguan perkembangan pervasive pada anal< yang ditandai
dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi,
interaksi sosial, dalam bermain, perilaku, persepsi sensori, perasaan dan
Menurut Gerungan (2004), pembentukan sikap tidal< terjadi dengan
sendirinya. Pembentukan sikap disertai dengan adanya kecenderungan
untuk berkehendak yang biasanya terjadi dalam interaksi manusia dan
berkaitan dengan objek tertentu.
Pentingnya sikap orang tua terhadap kondisi anak autisme merup&kan
suatu pembelajaran, dengan orang tua berani dan segera menyadari
kenyataaan yang ada akan lebih baik. Semakin cepat orang tua melalui
tahapan-tahapan untuk dapat menerima dan menyadari kondisi anaknya
akan membantu anak menjadi lebih optimal dan semakin besar penolakan
pada kondisi yang ada, semakin lama proses ini dapat diatasi oleh orang
tua. Sebagai pasangan orang tua sering kali reaksi yang terjadi adalah
antara penerimaan dan penolakan, penolakan lebih panjang atas kondisi
yang ada dibanding penerimaan kondisi anal< dengan segala
3. 1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan Penelitian
Dalam bab ini penulis mengunakan pendekatan kualitatif dengan alasan
karena pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha
memahami gejala tingkah laku manusia dan sebagai pendekatan umum
yang menghasilkan dan mengelola data yang sifatnya deskriftif seperti
observasi terstruktur dan tidak terstruktur. lnteraksi komunikatif sebagai
alat pengumpulan data, terutama wawancara mendalam dan pedoman
wawancara instrumen utama. (Sudarwan Danim,2002)
Bogdan dan Taylor (dalam Lexy J Moleong, 2004) mengatakan bahwa
dalam penelitian kualitatif menghasilkan data deskritif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, pendekatan
ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi
individu atau subjek penelitian dipandang sebagai bagian dari suatu
keutuhan. Selanjutnya pendekatan ini juga dikenal dengan inkuiri
naturalistik atau alamiah. Dengan dasar penelitian l<ualitatif di atas maka
autisme diperlukan data-data deskriptif yang diperoleh melalui observasi
dan wawancara.
3.1.2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi kasus yang
merupakan bagian dari penelitian kualitatif, di mana data atau hasilnya
tidak diperoleh, dan disajikan dengan menggunakan angka-angka atau
data statistik, melainkan menghasilkan dan mengolah data yang bersifat
deskriptif dengan harapan dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh
tentang subjek terhadap keadaaan yang dialaminya, oleh karena itu maka
diperlukan data yang bersifat khusus dan individual untuk mendapatkan
hasil yang maksimal.
Pengunaan studi kasus ini di pilih karena seperti yang dikemukak<in
Sudarwan Danim, 2002 studi kasus (case Study) atau penelitian lapangan
(field study) di maksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar
belakang keadaan dan posisi saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial
tertentu yang bersifat apa adanya (given).
Secara umum, studi kasus merupakan metode yang dapat digunakan
untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan fokus
penelitiannya terletak pada fenomena masa kini didalam konteks
3.2. Pengambilan sampel
3.2.1. Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak
autisme. Penelitian ini difokuskan dengan jumlah subjek sangat
tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh penulis, dan sampel dalam
penelitian ini di pilih berdasarkan karakteristik yang sudah ditentukan.
Karena keterbatasan waktu serta kesulitan penulis memperoleh kasus dan
responden untuk mengetahui gambaran sikap orang tua yang mempunyai
anak autisme secara lebih mendalam, maka dalam penelitian ini
ditetapkan jumlah subjek sebanyak tiga orang yang ュゥセュゥャゥォゥ@ karakteristik
sebagai berikut:
a. Subjek penelitian adalah orang tua kandung yang anaknya telah di
diagnosa autisme dan belum menikah.
b. Orang tua yang di maksud adalah seorang lbu, dengan alasan
untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya mengenai keadaan
anak.
c. Subjek bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, hal ini agar
memudahkan penulis melakukan koordinasi.
d. Pendidikan orang tua penderita minimal SD, atau dapat membaca
maksud pertanyaan yang diajukan dan dapat memberikan jawaban
yang jelas.
3.2.2. Teknik Pengambilan sampel
Teknik pengambilan sctmpel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Purposive Sampling (sample bertujuan) di mana sample dipilih bukan
didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi clidasarkan atas adanya
tujuan tertentu (Suharsimi Arikunto, 2002), maksud sampling dalam
penelitian kualitatif adalah untuk menjaring sebanyak rnungkin informasi
dari berbagai macam sumber (Lexy J Moleong, 2004), dengan demikian tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan
yang nantinya dikembangkan kedalam generalisasi tetapi merinci
kekhususan yang ada kedalam ramuan konteks yang unik. Selain itu
dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling lebih
mernudahkan penulis dalam menentukan karakteristik batasan-batasan
yang harus dimiliki oleh si subjek.
3.3. Pengumpulan Data
3.3.1. Metode dan lnstrumen
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam
mengumpulkan data penelitiannya (Suharsimi Arikunto, 2002). Penulis
data untuk keperluan studi kasus bisa berasal dari enam sumber yaitu
dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung observasi
partisipan, dan perangkat-perangkat fisik (Robert K Yiin, 2002). Dalam
penelitian ini metode pengumpulan data yang akan di!iunakan untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan objek penelitian adalah
metode wawancara, sebagai metode utama dan observasi sebagai
metode penunjang untuk melengkapi data yang terkurnpul melalui metode
wawancara.
wawancara
Wawancara atau interview adalah teknik pengumpulan data yang
digunakan penulis untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisain
melalui bercakap-cakap dan berhadapain muka dengan orang yang dapat
memberikan keterangan pada si penulis (Mardalis, 2006).
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.
Wawancara secara garis besar dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Wawancara terstruktur
Pertanyaan-pertanyaan mengarahkan jawaban dalam pola
b. Wawancara tak terstruktur
Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara bebas oleh
responden tanpa terikat pada pola-pola tertentu.
c. Campuran
Bentuk ini merupakan campuran antara wawancara terstruktur dan
tak terstruktur.
Dari ketiga bentuk wawancara di alas dapat digunakan dalam
pengambilan data penelitian dan dilakukan sesuai dengan keperluan,
situasi dan kondisi subjek penelitian. Hal tersebut untuk menjaga
perasaan subjek penelitian. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan
pada orang tua (lbu) yang mempunyai anak autisme, untuk mengetahui
bagaimana sikap orang tua yang mempunyai anak autisme. Dalam
melakukan wawancara ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar
tidak terjadi kesalahan dalam proses wawancara di antaranya adalah
penggunaaan pedoman wawancara, agar wawancara dapat berjalan
dengan baik dan menggunakan rapport yaitu suatu situasi di mana telah
terjadi hubungan psikologis antara interviewer dan inte1wee dan terjalin
hubungan yang baik sehingga tidak ada rasa curiga dari responden.
observasi
lstilah observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka
mengumpulkan data dalam suatu penelitian yang merupakan hasil
perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya
sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang di
sengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena sosial dan
gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati, mencatat dan mempertimbangkan
hubungan antara aspek dan fenomena tersebut (Mardalis, 2006). Tujuan
observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas yang
berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna
kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang
diamati tersebut.
Metode observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang hal-hal yang
karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh responden secara terbuka
dalam wawancara, instrument yang digunakan pada observasi ini adalah
lembar observasi yang dibuat dalam bentuk catatan lapangan yang
berfungsi untuk mencatat hal-hal penting yang relevan dengan
permasalahan penelitian yang tidak didapatkan dalam wawancara ..
Catalan ini berisi kondisi fisik subjek, penampilan subjek, sikap subjek
selama proses wawancara dilakukan, ekspresi verbal dan non verbal,
terjadi selama proses wawancara berlangsung. Proses observasi ini
dilakukan penulis bersama dengan wawancara yang sudah direncanakan.
3.3.2. lnstrumen Penelitian
Adapun instrumen pengumulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pedoman wawancara, pedoman observasi dan tape recorder.
Pedoman wawancara diperlukan sebagai panduan dalam melaksanakan
wawancara yang dirancang sesuai dengan tujuan penelitian dan landasan
teoritis sehingga jalannya wawancara lebih terarah deingan apa yang ingin
di teliti. Alat perekam dan observasi sederhana sebagai instrument
penunjang, hal-hal yang dicatat dalam lembar observasi antara lain
suasana lingkungan di sekitar subjek, sikap subjek terhadap
pewawancara, sikap subjek sebelum wawancara dan sebagainya.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Tahap persiapan penelitian
Sebelum penulis melakukan penelitian harus dipersiapkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan keperluan j:Jenelitian di antaranya:
a. Menyusun instrument pengumpulan data berupa pedoman wawancara
dan pedoman observasi yang digunakan sebagai acuan dalam
b. Memilih lapangan penelitian atau lokasi penelitian yang akan dijadikan
sumber untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
c. Membuat surat izin penelitian.
d. Membuat lembar kesedian sebagai subjek penelitian.
e. Menyiapkan perlengkapan penelitian, seperti pensil, ballpoint, kertas,
buku catatan, al.at perekam atau tape recorder dan segala sesuatunya
yang berkaitan dengan penelitian.
3.4.2.
Tahap pelaksanaan penelitianDibawah ini penulis memberikan beberapa tahapan dalam pelaksanaan
penelitian:
a. Menentukan sampel penelitian dan melakukan konfirmasi dengan
pihak yang bersangkutan.
b. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta
kesediaan subjek untuk dijadikan responden penelitian.
c. Melaksanakan pengambilan data dengan menggunakan dan
merealisasikan konsep-konsep dalam pedoman wawancara dan
observasi.
d. Menyortir hasil wawancara untuk mendapatkan hasil yang relevan.
e. Melakukan analisa data dan interprestasi data.
3.4.3. Tahap Pengolahan Data
a. Membaca dan memberikan kode pada data-data yang telah di
transkrip secara verbatim.
b. Menginterprestasikan dan membahas hasil analisis berdasarkan teori.
3.5. Teknik analisa Data
Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah tahap analisa data,
menurut Patton (dalam Lexy J Moleong, 2004) analisa data adalah proses
mengatur, urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola,
kategori dan satuan uraian dasar. Dengan pendekatan kualitatifteknik
analisa data yang digunakan adalah non statistik, yaitu dengan cara
mendeskripsikan atau interprestasikan hasil yang telal1 didapat da.1
langkah-langkah dalam analisa data adalah sebagai berikut:
Organisasi data
Analisa data dimulai dengan mengorganisasikan data dengan organisasi
data yang sistematis memungkinkan penulis untuk memperoleh data yang
baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data
dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian. (Highlen dan
Koding dan analisis
Analisis seperti yang dikemukakan oleh Jorgensen yaitu langkah penting
sebelum analisis adalah memberikan kode atau koding, di maksudkan
untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara
lengkap dan mendetil sehingga data dapat memunculkan gambar tentang
topik yang dipelajari dengan menyusun transkrip secara verbatim
kemudian dilakukan penomoran. (Jorgensen, QYXAセ@ dalam Kristi
Poerwandari, 2001)
Tahap lnterprestasi
lnterpretasi yang di maksudkan di sini adalah mengac:u pada upaya
memahami data secara mendalam.
3.6. Etika Penelitian
Etika merupakan hal yang paling penting dalam penelitian, hal ini di
karenakan mengunakan manusia sebagai subjek penelitiannya. Etika
merupakan suatu kumpulan kaidah atau norma yang digunakan oleh
suatu kelompok masyarakat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat
anggotanya. Jadi etika bersifat normatif dan kontekstual. Dalam etika
penelitian hal terpenting di antaranya adalah penulis harus menjunjung
tinggi nilai-nilai ilmiah yang berlaku. Masalah etika yang harus
paksaan, kerahasian subjek dan informasi yang diberikan, penulis harus
melindungi subjek dari kemungkinan adanya ketidaknyamanan atau
bahaya, baik secara fisik atau secara psikologis dan penulis harus
memberikan kesempatan kepada subjek untuk mengetahui hasil dari
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang hasil pengolahan data, yang
didapat dari Japangan penelitian. Adapun hasil penelitian dapat dijabarkan
dalam bentuk gambaran umum subjek, gambaran dan analisa kasus, dan
analisa perbandingan kasus.
4.1. Gambaran umum subjek penelitian
Subjek yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang Jbu yang telah
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Nama-nama subjek
dalam penelitian ini sengaja di samarkan untuk menjaga kerahasiaan
subjek penelitian dan sesuai dengan etika penelitian.
Pada tabel 4.1 dibawah ini akan diuraikan gambaran umum subjek.
[image:64.595.46.445.146.473.2]Gambaran umum subjek
Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu)
No Keterangan Subyek 1 Subyek 2
01. Nam a SR RH
02. Jenis Kelamin Perempuan Perempuan
03. Usia 37 Tahun 47 Tahun
Subyek3
EK
Perempuan
04. Suku Sunda Batak Padang
Kristen
05. Agama Islam Islam
Protestan
Pendidikan
06. SMA SMA S1
terakhir
lbu rumah lbu rumah lbu rumah 07. Pekerjaan
[image:65.595.47.443.103.486.2]tangga tangga tangga
Tabel 4.1.2. Data Anak
No. Nam a Jenis Kelamin Usia Sekolah
01. M Laki-laki 7 Tahun Tidak bersekolah
02. J Laki-laki 15 Tahun 2 SLTP SLB/C
03. A Laki-laki
4.2. Gambaran dan Analisis kasus
4.2.1. Kasus I
A. Data Pribadi
a) Anak
8 Tahun 2SD
M adalah anak kedua dari pasangan lbu SR dan Bapak A. Usia M
tidak mengikuti jenjang pendidikan dan terapi. la bertempat tinggal di
daerah Pekayon Jakarta Timur.
b) Orang Tua
SR adalah lbu rumah tangga berusia tiga puluh tujuh tahun, memiliki
kulit berwarna putih, tinggi seratus lima puluh tiga dengan berat badan
lima puluh kilogram, berrambut pendek dan berwajah kecil. SR adalah
anak ke dua dari dua bersaudara, pendidikan terakhir SMA. Saal ini
pekerjaannya adalah sebagai lbu rumah tangga dan hanya mengurusi
keluarga dan kedua orang anaknya. Salah satunya adalah M, anak
laki-laki