• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan partai politik Islam dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tinjaun terhadap eksistensi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan partai politik Islam dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tinjaun terhadap eksistensi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN PARTAI POLITIK ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

BURHANUDDIN

NIM: 104045201498

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

KEDUDUKAN PARTAI POLITIK ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Burhanuddin NIM: 104045201498

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. Atep Abdurofiq, M.Si.

NIP: 150 276 211 NIP: 150 371 092

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Desember 2008 M 14 Dzulhijjah 1429 H

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga penulis diberikan kekuatan fisik dan psikis untuk dapat menyelesaiakan skripsi ini yang berjudul: "KEDUDUKAN PARTAI POLITIK ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008

(TINJAUAN TERHADAP EKSISTENSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA).”

Shalawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi Muhammad SAW. beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidan kebahagiaan, kearifan hidup manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.

Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah Syari'yyah (HTNI) Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Asmawi., M.Ag., dan Sri Hidayati, M.Ag., Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. (terima kasih atas pelayanan yang sangat memuaskan dan bantuan yang tidak terlupakan).

3. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA., dan Atep Abdulrofiq, M.Si., Dosen Pembimbing, yang telah meluangkan waktu, membimbing, memberikan masukan dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya untuk mendidik penulis. Semoga do'a dan didikannya menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi-kan pelayanan, fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

6. Dewan Pegurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera dan Redaktur Majalah Tarbawi serta semua karyawan yang telah banyak membantu terutama memberikan pelayanan dalam memperoleh bahan bacaan yang begitu besar manfaatnya untuk penulisan skripsi ini.

(6)

penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. Amiin.

8. Semua saudara penulis, yang telah membantu dengan doa dan materi yaitu: Abang Drs.Zainal Abidin beserta isteri, kakak Nureha dan suami yang telah membantu orang tua dikebun untuk biaya kuliahku, kakak Sofia S.Ag., dan suami, abang Moh. Nawawi dan isteri, kakak Heriyati S.Ag., dan suami yang selalu meluangkan waktunya untuk mentransferkan duit setiap bulannya meskipun sibuk sebagai kepala KUA di Kab. Muara Jambi., kakak Faizah yang selalu memberikan arahan dan masukan meskipun ada dikampung, dan khususnya kepada kakak Sholeha S.Ag dan suami (Drs. Andi Baharuddin, S. IPI) serta ponaanku Muannas Jamilah (Alm) yang selalu mendoakan penulis selama masa hidupnya dan telah meninggal Maret 2008, karena kecelakan kendaraan dan ponaanku yang lucu-lucu yang telah memberikan dorongan motivasi kepada penulis.

9. My Best Friend’s di markas pusat Asrama Wennang’e Amar, Gani, Herman, Shadiq, penulis ucapkan terima kasih atas parsitipasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman IKAMI SUL-SEL Jakarta, khususnya wilayah Ciputat, dan teman-teman Organisasi yang lain, penulis tidak sebutkan namanya satu persatu. Semoga apa yang kita cita-citakan dapat terlaksana.

(7)

Fauzan. dan terakhir Oyok Tolisalim yang selalu membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil, penulis panjatkan do’a semoga Allah Swt membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin

Jakarta: 12 Desember 2008 M 14 Dzulhijjah 1429 H

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metodologi Penelitian... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TEORI TENTANG PARTAI POLITIK A. Definisi Partai Politik ... 15

B. Sejarah Ideologi Partai Politik dan Perkembangan Ideologi Agama dalam Partai Politik ... 18

(9)

2. Sejarah Perkembangan Partai-Partai Politik

Islam di Indonesia ... 28

C. Fungsi Partai Politik dalam Organisasi Negara... 41

1. Fungsi di Negara Demokrasi ... 42

2. Fungsi di Negara Otoriter... 44

3. Fungsi di Negara-Negara Berkembang... 47

D. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Orde Baru ... 49

BAB III SEKILAS TENTANG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA A. Latar Belakang Berdirinya PKS ... 53

B. Perspektif Ideologi dan Program PKS ... 57

C. Visi dan Misi PKS ... 63

D. Strategi Politik PKS Menjelang Pemilu 2009 ... 67

BAB IV EKSISTENSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA PASCA LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 A. Analisis Materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008... 79

1. Masalah verifikasi partai politik menurut Undang Undang No. 2 Tahun 2008 ... 82

(10)

B. Prospek Partai Keadilan Sejahtera Pasca lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 ... 87 C. Tantangan Partai Keadilan Sejahtera Menjelang Pemilu 2009

... 106

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 115 B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 120

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Revolusi telah membawa tuntutan yang besar kepada perubahan sistem dan kehidupan politik di Indonesia, masyarakat sendiri masih mempunyai kapasitas yang relatif rendah untuk bisa melayani segala perubahan tersebut. Masyarakat yang secara minimal memperoleh kesempatan untuk mengenal berbagai sistem politik di dunia ini dan mencoba mengurus diri sendiri dengan mempraktekkan salah satu atau kombinasi dari berbagai sistem politik yang dikenalnya, demikian halnya dengan partai politik. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, masalah yang menyangkut partai politik serta kehidupannya sudah menjadi salah satu pembicaraan utama di kalangan para politisi Indonesia, terutama para perintis kemerdekaan telah memikirkan sistem kepartaian yang sesuai untuk dikembangkan kelak di Indonesia.1

Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah dia bertujuan sosial (seperti Budi Utomo dan Muhammadiah) ataukah

1

(12)

terang-terangan menganut azas politik/agama.2 Pada tahun 1918 pihak Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai badan perwakilan. Ada beberapa partai serta organisasi yang memamfaatkan kesempatan untuk bergerak melalui badan ini (yang dinamakan ko, namun ada pula yang menolak masuk didalamnya yang dinamakan non-ko). Pada awalnya partisipasi organisasi Indonesia sangat terbatas. Dari 38 anggota, disamping ketua seorang Belanda, hanya 15 orang Indonesia, diantaranya 6 anggota Budi Utomo dan Sarekat Islam. Komposisi baru berubah pada tahun 1931 waktu diterima prinsip “mayoritas pribumi”, sehingga dari 60 orang anggota ada 30 orang pribumi. Pada tahun 1939 Fraksi Pribumi terpenting dalam volksraad antara lain. Fraksi Nasional Indonesai.(FRANI) yang merupakan gabungan dari beberapa fraksi, diantaranya Parindra dan perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB). Ketua Volksraad tetap orang Belanda.3

Kehadiran partai politik dalam sejarah politik Indonesia modern dimulai pada abad ke-20. Sejalan dengan berbagai kebijakan baru pemerintah Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik etis, berbagai asosiasi yang bercorak etnis, kebudayaan, dan keagamaan bermunculan sejak tahun 1905. Partai-partai politik bermunculan setelah Gubernur Jenderal Indenburg memberikan keleluasaan kepada Sarekat Islam bergerak secara lokal, karena ia mengira organisasi ini tidak akan terlibat dalam aktivitas politik. Partai-partai lain juga bermunculan dalam

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 171.

3

(13)

kurun 1910-1930, seperti Indesche Partij, ISDV (yang kemudian berubah menjadi Partij Kominis Hindia), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927. Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20, partai-partai politik memberikan kontribusi yang besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuh dan berkembang berdasarkan ideologi politik yang berbeda-beda.4

Model demokrasi sebenarnya pernah dikemukakan pada tahun 1945-an dan bahkan sebelumnya oleh Bung Karno yang menganjurkan agar partai-partai Islam dapat menempatkan ahli-ahlinya dalam parlemen dan mengisi proses legislasi dengan hukum-hukum Islam. Dengan demikian Bung Karno dan juga Bung Hatta pun tidak menolak perjuangan penerapan syariat Islam.5 Terkait dengan hal ini perlu ditegaskan sebagaimana dipaparkan Deliar Noer, dalam bukunya “Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965” mengatakan bahwa:

“Berdirinya partai-partai Islam pada masa kemerdekaan perlu dilihat dengan latar belakang perkembangan politik Indonesia pada masa bersangkutan. Ini akan memungkinkan kita untuk melakukan penilaian tentang kedudukan partai, kekuatan dan kelemahannya. Disamping tentunya melihat kemampuan para pemimpinya serta struktur partai itu sendiri”.6

4

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Pertama, h. 17 7-172.

5 Lihat, M. Dawam Rahardjo, ”Pulangnya Si Anak Hilang” dalam Komaruddin Hidayat

dan Ahmad Gaus AF (ed) Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta : Paramadina, 2005), Cet. Pertama, h. 8.

6 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik

(14)

Bagaimanakah sekarang dengan eksistensi partai-partai Islam khususnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada pemilu 1999, ditempatkan sebagai tujuh partai besar (the big seven). Bersama dengan lahirnya Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 apakah partai tersebut dibatasi ruang geraknya atau justru memberikan ruang gerak yang luas untuk meraih suara mayoritas dalam pemilihan berikutnya?

Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 bukan saja telah membuka peluang kebebasan bagi kehidupan politik bangsa Indonesia, tetapi juga menum-buhkan hasrat para tokoh politik, agamawan, pengusaha dan kalangan intelektual untuk bangkit menggapai kekuasaan lewat partai politik.7 Salah satunya adalah PKS yang merupakan partai politik berasaskan Islam,8 memiliki visi khusus, yaitu partai yang berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Dengan bekal visi itu, partai mendasarkan prinsip kebijakannya sebagai partai dakwah. Artinya, dakwah menjadi poros utama seluruh gerak partai, sekaligus menjadi karakteristik perilaku para aktivis-nya dalam berpolitik. Dalam verifikasi faktual oleh KPU, partai ini lolos di semua provinsi yang diajukan (27 provinsi). Menghadapi pemilu 2004, PKS memenuhi kuota perempuan dalam daftar calon anggota legislatif usulannya, dengan mengusulkan calon anggota legislatif perempuan sebanyak 37,4 persen.

7 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009,

(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004 ), Cet. Pertama, h. Vii.

(15)

Salah satu sasaran PKS untuk mencapai tujuan adalah terwujudnya pemerintahan yang jujur, bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta tegaknya masyarakat Islam yang memiliki kemandirian berdasarkan sebuah konstitusi yang menjamin hak-hak rakyat dan bangsa Indonesia.9

Pada umumnya perkembangan partai sejalan dengan perkembangan demokrasi, dalam hal perluasan hak pilih dari rakyat dan perluasan hak-hak parlemen. Semakin luas pertumbuhan fungsi-fungsi dan kebebasan majelis politik, maka semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok antar-mereka dan bersaing dalam pentas politik. Semakin meluas hak individu untuk memberikan suaranya, semakin mendesak pula keperluan pembentukan komite untuk mengorganisasi dan menyalurkan suara para pemilih, serta penyedian calon-calon untuk mereka pilih.10

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam

setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens). Bahkan menurut Schattscheider (1942), dalam “Political Parties Created Democracy”,

9 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program

2004-2009, h. 304-305

10

(16)

partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, partai politik merupakan pilar yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat perlembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap

sistem demokratis. Derajat perlembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.11

Undang-undang partai politik adalah undang-undang yang pertama disahkan dari empat undang-undang bidang politik lainnya seperti: undang-undang Pemilu Legislatif, Susunan/Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, dan undang-undang yang baru (UU Pilpres)12. Hal ini dapat dimengerti karena ketentuan-ketentuan dan pengaturan tentang partai politik memang harus dibuat pertama kali sebagai awal persiapan pemilu.13 Oleh karena itu, Kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, dan tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam NKRI perlu berlandaskan hukum, sebagaimana dalam Undan-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang partai politik diperbaharui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat yaitu kedalam UU No. 2 Tahun 2008.14

11

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007 ), h. 710.

12

Maswadi Rauf, Perkembangan Undang-Undang Bidang Politik Pasca Amandemen UUD 1945. Dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali, 14-18 Juli 2003,” buku II (Jakarta: PNRI, 2003), Cet. Pertama, h. 56.

13 Ibid., h. 63.

14

(17)

Penelitian mengenai partai politik merupakan kegiatan ilmiah yang relatif baru. Sekalipun bermacam-macam penelitian telah diadakan untuk mempelajari-nya, akan tetapi hingga sekarang belum tersusun suatu teori yang mantap mengenai partai sebagai lembaga politik.15 Karena itu perlu dikaji bagaimana kedudukan partai-partai politik Islam khususnya PKS pasca lahirnya UU No. 2 Tahun 2008. Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh kedudu-kan parpol Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008 dengan PKS sebagai studi kasus, alasan penulis memilih PKS karena merupakan salah satu partai Islam yang fenomenal, dengan melihat setiap peningkatan suara pada Pemilu 1999 dengan 1% dan pada pemilu 2004 meningkat dengan perolehan 7% suara.16

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka penulis membatasi hanya pada pembahasan partai politik masa pasca orde baru, khususnya PKS salah satu parpol Islam kedudukannya di dalam UU No. 2 Tahun 2008. Kedudukannya parpol dalam setiap sistem demokrasi, yakni sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens) untuk menyampaikan aspirasi atau untuk

15 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.159

16 Oleh William Liddle Pengamat Politik Indonesia dari USA disampaikan pada acara West

(18)

mempengaruhi proses-proses penentuan kebijakan umum yang berkaitan dengan kepentingan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kemudian, apakah pasca disahkannya RUU Parpol menjadi UU No. 2 Tahun 2008 disebutkan tadi dapat berjalan dengan semestinya atau tidak. yaitu memberikan kebebasan dan tidak menimbulkan diskriminasi bagi partai politik. Baik partai besar maupun partai kecil, partai nasionalis maupun partai Islam khususnya PKS. UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik akan menjadi landasan hukum di dalam mengelola parpol sehingga menjadi parpol yang kredibel, modern dan mandiri. Untuk itu penulis memberikan batasan masalah dalam penelitian skripsi ini. Bagaimana kedudukan partai politik Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008 dan khususnya ditinjauan dari eksistensi PKS.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana eksistensi PKS pasca lahirnya UU No. 2 Tahun 2008? 2) Bagaimana konstestasi politik PKS sebelum RUU Parpol menjadi UU No.

2 Tahun 2008?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:

(19)

2) Untuk mengetahui dengan jelas mengenai konstestasi politik PKS sebelum RUU Parpol menjadi UU No.2 Tahun 2008.

2. Manfaat

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1) Sebagai sumbangan teoritas bagi masyarakat mengenai sebuah eksistensi partai politik Islam yaitu dalam hal ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 2) Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan khazanah keilmuan dibidang politik.

3) Memberikan pemahaman tersendiri khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi masyarakat luas mengenai eksistensi PKS di dalam UU No. 2 Tahun 2008.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk mendukung penelitian ini, penulis berupaya untuk mencari berbagai informasi dan tinjauan pustaka yang mendukung penelitian ini. Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya peneliti tersebut:

Buku pertama, merupakan tesis karya dari Arsyad, “Dakwah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Melalui Kaderisasi ” dalam beberapa bab menjelaskan

(20)

Buku kedua, merupakan skripsi karya dari Nor Qomariah, “Negara Islam dalam Pandangan Politik Aktivis Perempuan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Poin-poin inti pembahasannya adalah mengenai konsep negara Islam dalam pandangan politik aktivis perempuan PKS dan agenda politik partai keadilan sejahtera pada pemilu 2009.

Buku ketiga, yaitu karya yang merupakan edisi gabungan yang disusun oleh Majelis Pertimbangan Pusat PKS, “ Memperjuangkan Masyarakat Madani”. membahas mengenai falsafah dasar perjuangan dan platform kebijakan pembangunan PKS.

Buku keempat, karya Dr.Yusri Ihza Mahendra, “Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian”, menguraikan secara komperehensif tentang partai politik, mulai dari

zaman kolonial sampai kepada dinamika kepartaian di Indonesia pasca kemerdekaan.

Buku kelima, "Dasar-Dasar Ilmu Politik" yang ditulis oleh Prof. Miriam

Budiardjo, dalam buku tersebut dibahas tentang konsep-konsep seperti politik (politics), kekuasaan, pembuatan keputusan (decision making) fungsi

(21)

Buku keenam, karya Deliar Noer, “Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965”, dalam bab 2 membahas

tentang berdirinya partai-partai Islam.

Dari semua penelitian tersebut, belum ada yang secara khusus meneliti secara normatif kedudukan partai politik Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008 ditinjau terhadap eksistensi PKS.

E. Metode Penelitian

Menurut Alfian sebagaimana dikutip Abuddin Nata, permasalahan politik dapat dikaji melalui berbagai macam pendekatan. Ia dapat dipelajari dari sudut kekuasaan, struktur politik, partisipasi politik, komunikasi politik, konstitusi, pendekatan dan sosialisasi politik, pemikiran politik, dan juga kebudayaan politik.17 Dengan demikian pendekatan yang dipakai penulis merupakan gabungan pendekatan konstitusi, pendekatan pemikiran politik dan kebudayaan politik dan penulis akan menguraikan bagian-bagian metode penelitian yang digunakan, sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach) dan penelitian hukum normatif yang

bersandar pada ketentuan peraturan perundang-undangan.18 Jenis penelitian ini,

17 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam cet.IX, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),

h. 324.

(22)

diambil sesuai dengan obyek penelitian yang dikaji melalui pendekatan kualitatif19. Kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.

2. Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah Kedudukan Partai politik Islam dalam hal ini adalah PKS, sedangkan objeknya adalah di dalam UU Nomor 2 Tahun 2008.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Mengenai tehnik pengumpulan data, penulis akan memperoleh data melalui studi kepustakaan atau dokumenter dan wawancara (interview)

terhadap para praktisi politik PKS dan para pengambil keputusan politik PKS. Mencari, mengumpulkan, meneliti, dan menelaah serta mengkaji data dan informasi dari berbagai media yang relevan dan obyektif.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis akan memperoleh data dari dua sumber utama, yakni primer dan sekunder. Sumber primer dalam hal ini, adalah UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik, Risalah Sidang Pembahasan RUU Parpol serta berupa dokumentasi yang bersinggungan dan mengarah kepada

19 Lihat Dede Rosyada, Metodologi Penelitian,(T.tp., PAI Fak. Tarbiyah dan Keguruan), h.

(23)

bahasan mengenai kedudukan partai politik Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008 serta tinjauan terhadap eksistensi PKS. Sedangkan sumber data sekundernya adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan dan pembacaan terhadap berbagai literatur kepustakaan tentang permasalahan kedudukan partai politik Islam terutama yang berkenaan dengan PKS. Studi pustaka ini dimaksudkan dapat menjadi dasar penyusunan desain penelitian, kerangka pemikiran atau teori maupun proses penulisan.

5. Teknik Analisis Data

Dalam skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu pendekatan isi (content analysis), yang menekankan pada pengambilan kesimpulan dan

analisa yang bersifat deskriptif-deduktif. Seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian dikaji dan diteliti selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut.20

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

20

(24)

Kajian mengenai Kedudukan Partai Politik Islam dalam UU No. 2 Tahun 2008 (Tinjauan Terhadap Eksistensi Partai Keadilan Sejahtera), Sistematika penulisannya adalah dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusa masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi, dan sistematika penulisan.

BAB II Merupakan teori tentang partai politik. Pada bab ini diuraikan definisi partai politik, sejarah ideologi partai politik dan perkembangan ideologi agama dalam partai politik, fungsi partai politik dalam organisasi negara, serta sistem kepartaian di Indonesia pasca Orde Baru.

BAB III Merupakan bagian yang membahas sekilas tentang PKS. Di sini membahas latar belakang berdirinya PKS, perspektif ideologi dan program PKS, visi dan misi serta strategi politik PKS menjelang pemilu 2009

(25)

PKS pasca lahirnya UU No. 2 Tahun 2008 dan tantangan partai PKS menjelang pemilu 2009.

(26)

BAB II

TEORI TENTANG PARTAI POLITIK

A. Definisi Partai Politik

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.21

Untuk mengetahui apa dan bagaimana partai politik beroperasi, ada baiknya kita melihat kembali literatur yang terkait dengan partai politik. Max Weber dapat dikategorikan sebagai pendiri pemikiran politik modern (Brechon, 1999). Dalam bukunya yang berjudul Economie et Societe (1959) Max Weber menekankan aspek

profesionalisme dalam dunia politik modern. Partai politik kemudian didefinisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai politik menurut Max Weber sangat berkembang

pesat di abad ke 19 karena didukung oleh legitimasi legal-rasional.22

21

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. Pertama, h. 403-404.

22 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di

(27)

Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Para ahli ilmu politik diantaranya Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut:

“A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, throught such control ideal and material benefits and advantages”. (Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil).23

Sigmund Neumann dalam bukunya, “Modern Political Parties”,

mengemukakan definisi partai politik hampir sama dengan carl. J. Fredrich yang menekankan adanya kompetisi kekuasaan, ia menyatakan:

“A political party is the articulate organization of society’s active political agents: those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views”. (Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lainnya yang mempunyai pandangan yang berbeda).24

Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.

Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan

23 Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404.

(28)

penting. Menurut Sartori: “A party is any political group that present at elections, and is capable of placing through elections candidates for public office” (Partai

politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik).25

Menurut UU No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, yang disebut sebagai Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan. Seperti dikatakan oleh Appadorai:

“A political party is a more or less organized group of citizens who act together as a political unit, have distinctive aims and opinions on the leading political questions of controversy in the state, and who, by acting together as political unit, seek to obtain control of the government. It is based on two fundamentals of human nature: men differ in their opinions, and are gregarious; they try to achieve by combination what they cannot achieve individually.” (Partai politik adalah sedikitnya satu atau lebih kelompok yang mengorganisasi warga negara bertindak bersama-sama sebagai satu kesatuan politik, memiliki tujuan sendiri-sendiri dan pertentangan pendapat dalam negara melalui tindakan secara bersama sebagai kesatuan politik untuk memperoleh kekuasaan pemerintahan. Berdasar pada dua dasar alamiah manusia: manusia berbeda dalam pendapat mereka dan mencoba untuk mencapai tujuan bersama dengan bergabung apa-apa yang mereka tidak bisa wujudkan secara individu).26

Setelah penulis memaparkan beberapa definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana dan beberapa contoh definisi yang dibuat oleh para ahli

25 Ibid., h. 404-405

26

(29)

ilmu klasik dan kontemporer. Akhirnya dapat di simpulkan bahwa hampir keseluruhan mengartikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dengan melalui aturan-aturan yang telah ditentukan (konstitusional) guna melaksanakan programnya. Kemudian dalam konteks Indonesia, UU Republik Indonesia tentang partai politik telah diperbaharui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat yaitu kedalam UU No. 2 Tahun 2008 sebagaimana dalam bab I tentang ketentuan umum Pasal (1) menyatakan: “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”27

B. Sejarah Ideologi Partai Politik dan Perkembangan Ideologi Agama dalam

Partai Politik

Kata ideologi telah mengalami pasang surut dalam suatu zaman. Kata ini merupakan kata kunci di mana semua aspek kehidupan manusia di analisis berdasarkan kata ini. Kata ini tidak hanya bergerak mengikuti waktu.

27

(30)

Penggunaannya pun begitu meluas.28 Masing-masing disiplin ilmu menerjemah-kan secara berbeda tentang arti kata ‘ideologi’. Namun, dalam kajian ini memfokuskan diri pada ideologi politik. Dalam berbagai kajian, ideologi politik didefinisikan sebagai suatu paham dan nilai tertentu yang digunakan untuk mencakupi semua usaha mencapai suatu kondisi ideal tertentu. Kata ‘ideologi’ memiliki arti yang sangat individual, menekankan bahwa masing-masing kelompok dan sistem sosial akan membentuk ideologi29.

Aron (1965) membedakan ideologi menjadi dua konsep. Pertama, memposisikan ideologi sebagai suatu sistem global tentang penafsiran dan tindakan. Ideologi memerankan peran dan fungsi yang mengarahkan bagaimana aktor atau individu memahami dan memberikan arti pada setiap peristiwa yang terjadi. Ideologi sangat membantu aktor politik untuk menyederhanakan fenomena yang bersifat kompleks dan multi dimensi. Kedua, diasosiasikan dengan agama sekuler. Kekuatan ideologi tidak berbeda dengan agama dalam memotivasi para aktor politik untuk bertindak dan bersikap. Yang membedakan, ideologi adalah hasil konstruksi manusia dan bukan institusi kewahyuan.30

Gramsci (1971) dan Rude (1980) mencoba membangun konsep ideologi yang lebih bersifat politik. Mereka membedakan konsep ideologi menjadi dua, antara ideologi ‘organik’ dan ‘inheren’ dengan ideologi ‘tradisional’ atau

28 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di

Era Demokrasi, h. 82-83

29 Ibid.

(31)

‘turunan’. Konsep ideologi organik muncul sebagai hasil dari interaksi sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Sementara itu, ideologi tradisional merupakan hasil dari kejadian besar dalam sejarah suatu masyarakat tertentu. Menurut Finbow (1993), ideologi organik dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: Ideologi populer (populaire ideology), ideologi utama (central ideology), dan ideologi publik (public ideology). Ideologi populer mencerminkan pengalaman suatu kelompok

populer seperti petani, buruh, dan gerakan-gerakan sosial baru. Ideologi utama dibangun berdasarkan kepentingan pribadi (self interest) dan kesadaran umum,

seringkali ditemukan dalam kelompok profesional pengusaha. Sementara itu, ideologi publik dikembangkan oleh aktor-aktor publik seperti politisi dan birokrat., juga oleh aktor-aktor antara seperti media, pers, dan wartawan. Pembentukan ideologi publik ini tidak terlepas dari faktor sejarah, tekanan publik dan agenda serta kepentingan individu-individu domina31 Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo.

Ideologi juga bisa digunakan oleh para pembaharu atau pemberontak untuk menyerang status-quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negara dengan menggunakan dalih “hak ketuhanan raja” atau “kehendak sejarah”, tapi para pemberontak bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar pada prinsip “hak-hak dasar” atau “kehendak yang kuasa”. Ideologi yang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk

(32)

menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk memisahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja.32

Dengan memberikan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan politik, ideologi juga bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu gerakan yang berusaha mengubah negara. Ideologi yang memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin, untuk berjuang bahu membahu demi prinsip bukan pribadi juga merupakan suatu pedoman untuk memilih kebijakan dan prilaku politik. Bahkan, ideologi juga memberikan cara kepada mereka yang menginginkan akan arti keberadaannya dan tujuan tindakannya. Karena itu keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit banyaknya merupakan masalah kepercayaan yang lahir keyakinan yang rasional. Ini berlaku sama baik untuk ideologi yang bersifat demokratis dan otoriter.33

Ideologi juga dapat diartikan sebagai sistem kepercayaan dan norma. Sistem kepercayaan dalam hal ini melihat bahwa ideologi memberikan basis legitimasi bagi para penganutnya untuk berfikir, bersikap dan bertindak atas suatu permasalahan tertentu. Ideologi memberikan gambaran tentang alasan, kekuatan dan motivasi tindakan individu. Untuk dapat menjadi sistem kepercayaan, ideologi harus mampu meyakinkan para penganutnya mengenai 'kebenaran' (truthfulness)

pemikiran dan ajarannya. Mereka harus bisa dibuat percaya bahwa ideologi tersebut merupakan suatu keniscayaan yang menjadi bekal utama untuk

32 Carlton Clymer Roodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, cet.V (Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2002), h. 105.

(33)

mengembangkan sistem kepercayaan. Misalnya, dalam ideologi yang berlandaskan pada suatu agama tertentu (Partai Islam, Kristen, atau Katolik) ajaran-ajaran agama dipercaya akan mampu menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat. Mereka tidak dapat menggunakan ajaran agama sebagai basis ideologi politik kalau tidak mempercayai bahwa ajaran agama mereka memiliki kekuatan, kebenaran dan petunjuk untuk membawa kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Sehingga, ajaran agama mereka perlu diperjuangkan secara politis.34

Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain. Pada awal perkembangannya, pada akhir dekade 18-an di negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. 35

Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum (caucus party). Karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan

34 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di

Era Demokrasi, h. 100-101.

(34)

masyarakat, kelompok-kelompok politik di parlemen secara perlahan juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung (link) antara

rakyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain.36

Partai semacam ini dalam praktiknya hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Lagi pula partai sering tidak memiliki disiplin partai yang ketat, dan pemungutan iuran tidak terlalu dipentingkan. Partai ini dinamakan patronage party, yaitu partai lindungan yang dapat dilihat dalam rangka patron-client relationship yang juga bertindak sebagai broker. Partai mengutamakan

kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, maka dari itu sering dinamakan partai massa. Biasanya terdiri atas pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat sepakat untuk bernaung dibawahnya untuk memperjuangkan suatu program tertentu. Program ini biasanya luas dan agak kabur karena harus memperjuangkan terlalu banyak kepentingan yang berbeda-beda, misalnya Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat.37

Perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai yang lahir di luar Parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar pada suatu asas atau ideologi atau Weltanschaung tertentu seperti sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih ketat.

36 Ibid.

(35)

Pimpinan partai yang sangat sentralistis menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan. Maka dari itu partai semacam itu sering dinamakan Partai Kader, Partai Ideologi, atau Partai Asas (sosialisme, fasisme, komunisme, sosial demokrat). Ia mempunyai Pandangan hidup juga digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai secara sangat ketat dan mengikat, pendidikan kader sangat diutamakan. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap seleksi. Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan. Sehingga, partai kader biasanya lebih kecil dari partai massa.38 Akan tetapi pembagian tersebut sering dianggap kurang memuaskan karena dalam setiap partai ada unsur lindungan (patronage) serta perantara (brokerage) di samping pandangan ideologi, asas, serta pandangan hidup,

sekalipun dalam takaran yang berbeda.39

Sesudah pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789, ketika raja dengan parlemennya memperebutkan supremasi, para wakil yang duduk dalam Majelis Nasional Perancis mengelompokkan diri dalam badan tersebut sesuai dengan pandangannya yang extrem. Para wakil yang sangat anti-kerajaan duduk di ujung

38 Ibid., h. 398-399

(36)

kiri, sedang penduduk setia raja duduk di ujung kanan, dan kelompok-kelompok dengan pandangan yang lebih moderat duduk di antara mereka. Bahkan sekarang ini diparlemen Perancis dan dalam badan-badan parlemen lain di dunia, partai yang memerintah dan pejabat-pejabat kabinetnya duduk di sisi kanan ketua parlemen, sedangkan partai-partai oposisi duduk di sisi kirinya. Dewan perwakilan rakyat yang menganut sistem banyak partai, tempat duduk disusun dengan setengah lingkaran mengelilingi kursi ketua dewan, dan pengunjung yang ada di balkon majelis akan bisa mengenali delegasi partai Komunis yang biasanya duduk di ujung paling kiri ketua dewan. Dari tempat yang tidak jauh dari ketua, tampak kelompok sosialis duduk di sebelah kanan kelompok komunis. Di Perancis, yang tradisi partai kirinya amat mewarnai konflik politik negeri itu, para delegasi parlemen kerap melakukan debatan yang sengit mengenai siapa yang harus didudukan didalam suatu posisi tertentu. Dalam politik, seperti halnya agama, simbol-simbol dan upacara ritual seringkali mengalahkan hakikat kebijakan dan keyakinan.40

Jika dewasa ini pengertian ‘kiri’ atau ‘kanan’ digambar dalam suatu spektrum linier, maka terdapat di satu ujung sikap ”extrem kiri” yaitu campur tangan negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi secara total. Sedangkan diujung yang lain sikap “extrem kanan” adalah pendukung pasar bebas secara total.

(37)

Dibawah diperlihatkan secara sederhana perbedaan antara ideologi “Kiri” dan “Kanan”.41

Tabel. 1 Pembedaan ideologi ”Kiri” dan “Kanan”

“KIRI” “KANAN”

1. Sejarah dan praktik Ideologi Agama dalam Partai Politik di Indonesia

Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan sosial (Budi Utomo dan Muhammadiyah) atau terang-terangan menganut asas politik-agama (Sarekat Islam dan Partai Katolik) atau asas politik sekuler (PNI dan PKI) memainkan peran penting dalam berkembangannya pergerakan nasional.42 Pada umumnya, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam mengakui bahwa ajaran Islam mengandung ideologi. Hal ini dikemukakan antara lain oleh Soekarno ketika ia memperkenalkan Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Ia anjurkan agar kalangan Islam bekerja keras untuk mengisi (melalui pemilihan umum) kursi-kursi dewan perwakilan rakyat sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Soekarno sendiri, walau secara pribadi tidak

41 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 400.

(38)

memperjuangkan ini, tidak menafikan pendapat yang mengatakan bahwa ajaran Islam mengandung ideologi.43

Umumnya partai-partai Islam (Masyumi, PSII, NU, Perti dan PPTI) berpegang pada pendapat ini. Perumusan bisa berbeda-beda seperti yang telah kita perhatikan dari Anggaran Dasar tiap-tiap partai, baik dalam pasal yang mengenai asas, maupun maksud dan tujuan. Juga pengambilan paham atau sumber rujukan bisa berbeda: dari Al-Quran dan Sunnah ataupun dari kitab atau ajaran mazhab tidak berarti mengesampingkan Al-Quran dan Sunnah, karena mereka berpendapat bahwa (1) ajaran mazhab juga berpangkal pada Al-Quran dan Sunnah. (2) tidak semua orang mampu merujuk langsung pada Al-Quran dan Sunnah.44 Masalah mazhab dan tidak bermazhab ini sebenarnya telah selesai dalam lingkungan ummat Islam di Indonesai pada masa sebelum perang. Berbicara dalam rangka partai, masalah ini pun tidak perlu muncul. NU, Perti, (dan PPTI) berpegang pada mazhab. Dalam lingkungan partai seperti Masyumi itu soal mazhab tidak merupakan masalah, maka antara berbagai partai Islam itu pun -dipandang dari ajaran agama (Islam)- seharusnya tidak ada masalah mazhab. Tetapi kenyataan memperlihatkan sebaliknya, sekurang-kurangnya dalam mencari pengikut secara politik. Para juru kampanye partai (kecuali agaknya PSII) dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955 di berbagai tempat tidak bisa melepaskan diri untuk mendiskreditkan partai Islam lain karena soal mazhab ini. Ini terutama berlaku bagi

43 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik

Indonesia 1945-1965, h. 460

(39)

Masyumi dalam berhadapan dengan NU, dan Masyumi berhadapan dengan Perti ataupun sebaliknya.45

2. Sejarah Perkembangan Partai-Partai Politik Islam di Indonesia

Pada awal abad 20 sudah ada papol yang diawali oleh organisasi yang mencantumkan asas dan tujuan dalam kartu anggotannya. Pada mulanya Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta belum mengutamakan dibidang politik. Anjuran Dokter Wahidin Sudirohusodo tersebut masih menekankan pada bidang pendidikan dan pengajaran. Sebagai “perintis” organisasi modern. Artinya sudah mencantumkan asas dan tujuan organisasi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Oleh karena itu usaha Dokter Wahidin adalah mengadakan studiefonds. Usaha ini merupakan suatu rintisan untuk mengadakan organisasi yang lebih luas dari soal pengajaran saja. Ini merupakan ciri khas perjuangan melawan penjajah dan merupakan perubahan dari wujud perlawanan bersenjata menjadi perlawanan yang lebih menekankan pada bentuk organisasi yang lebih maju, yaitu menggu-nakan perlawanan seperti yang terdapat dinegeri Barat juga. Perkembangan menjadi lebih pesat tatkala Indische Partij (IP) memperjuangkan kemerdekaan “Kemerdekaan Indonesia” berdasarkan kebangsaan Indierschap, IP didirikan oleh Dr. E.F.E Douwes Dekker dibandung pada tanggal 25 Desember 1912.46

45 Ibid., h. 460-461.

46

(40)

Partai politik di Indonesia yang telah berdiri sejak masa kolonial telah menjalani beberapa fase perkembangan sesuai dengan rezim yang membentuknya. Pada masa kolonial, partai politik lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional.47 Masa-masa sebelumnya, seperti di era Orde Lama, kekuatan politik Islam juga mengalami keterbelahan, seperti dalam partai Nahdatul Ulama (NU), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan kekuatan lain yang lebih kecil, misalnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah Kemerdekaan (Perti) dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Bahkan diera kemerdekaan, fragmentasi sempat terjadi ditengah upaya kaum nasionalis Islam bekerjasama melawan penjajah. Sarekat Islam (SI) misalnya, yang oleh Kover dan Deliar Noer, disebut sebagai partai politik pertama di Indonesia.48 Lantaran kesadaran yang mendalam akan pentingnya memperbaiki komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berasaskan Islam, maka K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H.A Wahab Chasbullah (NU), dan pemimpin-pemimpin Islam lainnya dari SI, Irsyad, Al-Islam (organisasi Al-Islam lokal di Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka, Jawa Barat) dan lain-lain, telah berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937. Inisiatif kearah persatuan dan saling pengertian.49 Rezim pemerintahan Jepang yang sangat represif bertahan sampai tiga setengah tahun. Semua sumber daya, baik kekayaan

47 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 448.

48

Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), Cet. Pertama h. 2.

49

(41)

alam maupun tenaga manusia, dikerahkan untuk menunjang perang "Asia Timur Raya". Dalam rangka itu pula, semua partai dibubarkan dan setiap kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masyumi, disamping beberapa organisasi baru yang diprakarsai penguasa.50 Masyumi yang merupakan satu-satunya organisasi yang dalam masa rezim ini telah memamfaatkan kesempatan tersebut untuk berorganisasi secara efektif. Hal ini menyebabkan Masyumi muncul sebagai partai yang paling besar pada awal revolusi. Beberapa organisasi dari zaman kolonial yang bergabung misalnya Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama.51

Setelah mengalami penerunan peran pada masa pendudukan Jepang, peranan partai politik mengalami masa kejayaan pada masa demokrasi parlementer. Usaha kearah pembentukan pemerintahan yang demokratis dengan partai politik sebagai pilar utamanya mengalami kegagalan karena demokrasi berkembang menjadi demokrasi yang tidak terkendali (unbridled democracy). Pada

saat itu mulailah rezim otoriter yaitu Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Pada dua priode ini beberapa pasal dari UUD 1945 diberi tafsiran khusus sehingga dibuka peluang untuk berkembangnya sistem non-demokrasi. Dalam kedua rezim otoriter ini, partai politik tidak banyak memainkan peran bahkan dapat dikatakan perannya dikooptasi oleh Presiden Soekarno pada masa

50 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 424

(42)

Demokrasi Terpimpin dan oleh Presiden Soeharto pada masa Demokrasi Pancasila. Keadaan non-demokratis ini berlangsung selama hampir 40 tahun.

Dalam kaitannya dengan peran partai politik, baik rezim Soekarno maupun Soeharto melihat partai politik sebagai sumber kekacauan dari sistem politik yang mereka bangun.52 Jika dilihat dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada zaman demokrasi parlementer, mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa. Sejak tahun 1953, ketidakpuasan itu semakin meluas. Kalangan militer - yang juga mengalami keretakan karena persaingan antara pimpinannya- turut mendorong pergolakan di daerah-daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Setelah pemilu 1955, mulai terlihat tanda-tanda disintegrasi nasional dengan semakin meningkatkannya semangat regionalisme.53

Setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965, pemerintahan Demokrasi Terpimpin runtuh. Kalangan militer yang tampil pada masa awal Orde Baru berusaha dan berhasil membangun format politik baru di Indonesia. Secara perlahan mulai ditiupkan opini bahwa partai-partai politik adalah “biang keladi” ketidakstabilan politik dalam negeri dengan segala implikasi- nya. Semangat kurang menyukai partai terlihat dengan jelas dalam kampanye Golkar pada tahun

52 Ibid., h.448

53

(43)

1971. Ini pula yang menyebabkan Golkar enggan menyebut dirinya sebagai partai politik, walaupun memenuhi syarat untuk disebut demikian.54

Fragmentasi dalam politik Islam pasca Orde Baru ternyata tidak lagi berpola klasik antara sub kultur Tradisional versus Modernis. Tapi telah berkembang lebih kompleks dimana masing-masing sub kultur mengalami keterbelahan pula, seperti antara kubu Substansial versus Formalis. Kaum Formalis, sebagaimana labelnya, merupakan kelompok yang mengingkan Islam tetap dijadikan ideologi dan partai. Sedangkan, kaum Substansialis menginginkan Islam tak perlu lagi diformalkan seperti diera Orde Lama, tetapi cukup menjiwai misi dan program partai. Di lingkungan NU, kaum Formalis bersama-sama membentuk PKU dan PNU, sedangkan, kaum Substansialis bergabung dalam PKB, kendati baru sebatas retorika politik. Pengkotakan dalam dua kubu berhadapan tadi tidak saja terjadi dalam lingkungan tradisionalis, tetapi juga melanda lingkungan modernis, dimana kaum Formalis ramai-ramai membentuk PK yang sekarang berubah menjadi (PKS). Partai Bulan Bintang (PBB), dan lain-lain. Di sisi lain, kaum Substansialis membentuk partai inklusif model Partai Amanat Nasional (PAN), dan sebagainya menjadi pendukung Golkar.55

Periode reformasi bermula ketika presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei 1998. Sejak itu hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan pembaharuan kehidupan politik kearah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa

54 Ibid., h. 187

(44)

dalam usaha ini kita dapat memamfaatkan pengalaman kolektif selama tiga priode 1945 sampai 1998. Dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapat kesempatan untuk mendirikan partai. Atas dasar itu pemerintah yang dipimpin oleh B.J. Habibie dan parlemen mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Perubahan yang didambakan ialah mendirikan suatu sistem dimana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi peluang kepada eksekutif untuk menjadi terlalu kuat (executive heavy) sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan dalam UU

1945.56

Partai politik yang mendaftarkan diri di Dapartemen Kehakiman berjumlah 141 partai. Tetapi setelah diseleksi tidak semuanya dapat mengikuti pemilihan umum1999. partai politik yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum hanya 48 saja. Hasil pemilihan umum 1999 (lihat Tabel. 2) menunjukkan bahwa tidak ada partai yang secara tunggal mendominasi pemerintahan dan tidak ada partai yang memegang posisi mayoritas mutlak yang dapat mengendalikan pemerintahan. PDIP yang memperoleh suara dan kursi paling banyak (35.689.073 suara dan 153 kursi) ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarnoputri (ketua umum) Presiden RI yang ke-4. dengan adanya koalisi partai-partai Islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, posisi PDIP menjadi kalah kuat. Sebagai akibat yang dipilih oleh

(45)

MPR menjadi presiden adalah pendiri PKB, partai di DPR yang hanya memperoleh 51 kursi, yaitu KH. Abdurrahman Wahid.57

Tabel. 2 Perolehan suara dan kursi enam besar dalam pemilihan umum 1999

Partai Perolehan suara Persentase Perolehan

Kursi Persentase

PDIP 35,689.073 33,74 153 33,11

Golkar 23.741.749 22,44 120 25,97

PPP 11.329.905 10,71 58 12,55

PKB 13.336.982 12,61 51 11,03

PAN 7.528.956 7,12 34 7,35

PBB 2.049.708 1,93 13 2,81

Sumber: Komisi Pemilihan Umum RI.

Menjelang pemilihan umum 2004 partai-partai yang perolehan suaranya dalam pemilihan umum 1999 tidak memadai dan yang karena itu tidak dapat mengikuti pemilihan umum, berbenah lagi untuk dapat ikut. Ada yang bergabung, ada pula yang bermetamorfose menjadi partai baru. Pendek kata, mereka harus menyesuaikan diri dengan ketentuan UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik dan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Keenam partai yang disebutkan diatas dengan sendirinya dapat mengikuti pemilihan umum 2004, tanpa di verifikasi lagi. Selain itu, partai yang sudah ada sejak pemilihan umum 1999, menjelang pemilihan umum 2004 juga bermunculan lagi partai-partai baru. Pada awal 2003, akibatnya jumlah partai politik bertambah lagi; sampai 237 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

(46)

Manusia. Kemudahan mendirikan partai seperti yang terjadi menjelang pemilihan umum 1999 masih berlangsung saat ini.58

Dalam usaha untuk mengurangi jumlah partai, ditentukan juga persyaratan yang dinamakan Electoral Threshold. Electoral Threshold ini adalah keadaan yang

harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Electoral threshold untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah suara nasional.59

Akan tetapi, pada pemilihan umum 2004 ada dua tahap seleksi yang harus mereka lalui untuk dapat menjadi peserta pemilu. pertama, seleksi yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia. Kedua, seleksi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Mereka yang tidak lolos pada seleksi pertama tidak diperbolehkan mengikuti seleksi tahap kedua. Dari jumlah tersebut yang dapat mengikuti seleksi di KPU hanya 50 partai, sedangkan yang lolos seleksi tahap kedua sehingga dapat mengikuti pemilihan umum 2004 hanya 24 partai. Dengan demikian pada akhirnya jumlah partai yang mengikuti pemilihan umum 2004 adalah separo dari peserta pemilihan umum 1999.60

Selain kuantitas, ada hal lain yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian di Indonesia pada masa ini hal pertama berkenaan dengan konsilidasi internasional.

58 Ibid., h. 451

59 Ibid.

(47)

Seperti telah menjadi gejalah umum bahwa kalangan elit partai-partai besar tidak solid setelah pemilihan umum berlalu, dengan berbagai sebab yang melatar belakangi. Tidak jarang friksi itu kemudian menjadi perpecahan yang berujung pada munculnya pengurus tandingan atau kepengurus ganda, dan ada pula yang memisahkan diri untuk mendirikan partai baru.61

Gejala seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Pada masa demokrasi parlementer 1950-an fenomena serupa sudah terjadi. Pada masa itu elit partai yang meresa tidak terakomodasi didalam kabinet, misalnya, dapat dengan mudah memisahkan diri untuk kemudian mendirikan partai baru. Untuk masa yang akan datang kemungkinan mendirikan partai baru oleh elit yang kecewa dapat diperkecil karena beratnya persyaratan yang telah ditetapkan dalam UU. Pengalaman seleksi partai menjelang pemilihan umum 2004 menunjukkan dengan jelas betapa beratnya persyaratan bagi sebuah partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum. Akan sia-sia saja mendirikan partai jika tidak memenuhi standar sehingga tidak dapat mengikuti pemilihan umum.

Hal kedua berkenaan dengan adanya kebebasan dalam hal asas. sebelumnya, dalam UU No. 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya ditegaskan bahwa Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golkar, tanpa embel-embel lain. Sebaliknya UU No. 2 Tahun 1999, 31 Tahun 2002, dan UU yang terbaru sekarang yaitu No. 2 Tahun 2008 memberikan kebebasan kepada partai politik untuk menggunakan asas lain selain Pancasila.

(48)

Oleh karena itu bermunculanlah partai-partai politik yang berasas lain seperti nasionalisme ataupun keagamaan. Hal ketiga berkenaan dengan hubungan sipil-militer. Salah satu hal yang membedakan priode reformasi dengan sebelumnya adalah semangat untuk menghapuskan peran militer dalam politik. Hal ini mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan kepartaian. Jika masa Orde Baru militer dan (Pegawai Negeri Sipil) tidak dibenarkan menjadi anggota partai politik (namun secara diam-diam merupakan pendukung setia Golkar sesuai dengan prinsip mono-loyalitas), pada masa pasca Orde Baru banyak tokoh purnawirawan militer yang menjadi fungsionaris atau pemimpin partai.62

Hal keempat berkenaan dengan masuknya orang-orang yang berlatar belakang politik menjadi elit partai politik. Diantara mereka ada yang berasal dari kalangan pengusaha, akademisi, ulama, ataupun seniman. Gejalah ini sebenarnya sudah terjadi menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru, tetapi pada masa reformasi terjadi percepatan secara signifikan. Namun sejauh ini masih terlalu dini untuk memberikan penilaian mengenai apa dan bagaimana warna yang diberikan oleh para politisi baru itu.63

Pemilihan yang dilaksanakan 7 Juni 1999 itu juga memunculkan hasil yang polanya mirip dengan pemilihan umum 1955, yaitu hanya ada sejumlah kecil partai politik yang memperoleh dukungan besar. Hanya 5 partai yang memperoleh dukungan seperti itu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai

62 Ibid.

(49)

Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amat Nasional (PAN). Ada beberapa partai yang cukup berpengaruh tetapi tidak cukup besar perolehan suara atau kursinya, seperti Partai Keadilan (PK) dan Partai Bulan Bintang (PBB). (lihat, Tabel. 3). Sedangkan sebagian besar yang lain hanya memperoleh jumlah kursi yang tidak signifikan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR. Dengan menentukan syarat-syarat untuk menjadi peserta ditambah dengan ketentuan Electoral Threshord jumlah partai yang duduk dalam DPR dapat dikurangi secara alamiah.64

Seperti pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum 2004 juga mengeliminasi sejumlah partai dan memunculkan beberapa partai besar. Ada tujuh partai yang sama sekali tidak memiliki kursi,65 yaitu; PBS, Partai Merdeka, PPIB, PPNUI, Partai Patriot Pancasila, PSI, PPD. Tujuh partai yang memenuhi Electoral Thershord (karena memperoleh sekurang-kurangnya untuk memilih legislatif 3%

dari jumlah kursi di DPR dan untuk memilih presiden dan wakil presiden 3% dari jumlah kursi di DPR 5% dari perolehan suara sah suara nasional), dan 10 partai lainnya memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi Electoral Thershold. Tujuh partai

yang tidak memperoleh kursi dan 10 partai lainnya memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi Electoral Thershold tersebut jelas tidak dapat mengikuti pemilihan umum 2009 kecuali harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan UU. Dengan demikian pemilihan umum telah menjadi sarana pengurangan jumlah

64 Ibid.

(50)

partai secara alamiah.66 Pada pemilihan umum 2004 jumlah kursi di DPR yang diperebutkan adalah 550 kursi, jumlah pemilih terdaftar 148.000.369, jumlah suara sah 133.487.617.

Tabel. 3 Perolehan Suara dan Kursi Tujuh Besar dalam Pemilihan Umum Legislatif 2004.67

Nama Partai Suara Persentase Kursi Persentase

Golkar 24.480.757 21,58 128 23,27

Sejarah perkembangan partai politik Indonesia 1908-2006 secara ringkas dituangkan dalam tabel berikut: 68

Tabel. 4 Sejarah Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-2006

Periode Pemerintahan

Sistem Pemerintahan Sistem Partai

1908-1942 Zaman Kolonial Sistem Multi Partai

1942-1945 Zaman Pendudukan Jepang Partai politik dilarang

1945-1959 Zaman Demokrasi Parlementer

A. Masa Perjuangan

17Ags-14 Nop 1945 1. Sistem Presidensil; UUD 1945 Satu partai PNI

14 Nop 1945- 1949 2. Sistem Parlementer; UUD 1945 Sistem multi-partai

66 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 268

67 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 454

(51)

1949-1950 3. Sistem Parlementer; UUD RIS Sistem multi-partai

B. Masa Pembangunan

(Building Nation)

1950-1955 4. Sistem Parlementer; UUD 1950 Sistem multi-partai.

Pemilihan umum 1955 menghasilkan27 partai dan 1 perorangan yang memperoleh kursi di DPR

1955-1959 5. Sistem Parlementer Sistem multi-partai

Periode Pemerintahan Sistem Pemerintahan Sistem Partai

1959-1965 Demokrasi Terpimpin; UUD 1945

2. 27 Juli 1967 Konsensus Nasional

(52)

3. 1967-1969 Eksperimen dwi-partai

Periode Pemerintahan Sistem Pemerintahan Sistem Partai

4. 1971 Pemilihan umum

C. Fungsi Partai Politik dalam Organisasi Negara

Berikut ini diuraikan fungsi partai politik di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, otoriter dan negara-negara berkembang dalam transisi ke arah demokrasi.

1. Fungsi di Negara Demokrasi

(53)

Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak di tanpung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation).

Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation). Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan

mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpangsiuran dan benturan dikurangi. Agregat dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik. Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakan. Usul kebijakan ini dimasukkan kedalam program atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau disampaikan melalui parlement kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada

pemerintah melalui partai politik.69

b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Dalam ilmu politik sosialisai politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena

Gambar

Tabel. 1 Pembedaan ideologi ”Kiri” dan “Kanan”
Tabel. 2 Perolehan suara dan kursi enam besar dalam pemilihan umum 1999

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat langsung yang diperoleh dari pembangunan jembatan Suramadu ada- lah berupa nilai waktu yang pada dasar- nya merupakan penghematan waktu perjalanan yang

Kami melihat beberapa hal penting dampak lagu anak-anak yang dinyanyikan baik oleh orang tua kepada anak atau ketika anak mendengarkan lagu-lagu tersebut.  Sarana Komunikasi ,

Hubungan industrial pancasila adalah hubungan antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa ( pekerja, pengusaha dan pemerintah) didasarkan atas nilai yang

17 Mampu menjelaskan teknik- teknik analitik modern (analisis termal, analisis injeksi alir, analisis radiokimia, analisis berbasis fluida superkritis, dan analisis

Penilaian subyektif didapatkan melalui kuesioner yang diisi oleh responden atlit yang telah mendapatkan penanganan cedera lutut di Sport Clinic, baik konservatif.. maupun

Dari penilaian seluruh parameter indeks SCORAD terlihat pada kelompok usia < 1 tahun dijumpai rerata indeks SCORAD pada kelompok vitamin D SB 25,06 dan plasebo

Seluruh kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki BP3K, dan keseluruhannya tentu menjalankan tugas serta fungsinya mengacu pada peraturan yang berlaku