• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

T E S I S

Oleh:

YUSHFI MUNIF NASUTION

067005014/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

T E S I S

Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh:

YUSHFI MUNIF NASUTION

067005014/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA

PENYELUNDUPAN

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH K e t u a

Prof. Dr.Alvi Syahrin, SH, MS Syafruddin Sulung, SH, MH

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSC

(4)

PANITIA UJIAN TESIS :

KETUA : Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH. ANGGOTA : 1. Prof. Dr.Alvi Syahrin, SH, MS.

(5)

menjadi sumber hukum utama di Indonesia hanya mengenal tindak pidana yang dilakukan oleh orang-perorangan, padahal tindak pidana tidak hanya dapat dilakukan oleh orang, badan hukum pun juga dapat melakukan kejahatan, bahkan mengakibatkan kerugian yang lebih parah bagi masyarakat.

Permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai ketentuan peraturan Tindak Pidana Penyelundupan dan sinkronisasinya, bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap Tindak Pidana Penyelundupan dan hambatan yang ditemui serta solusi hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan. Teori yang menjelaskan pertanggungjawaban pidana pada tingkat pidana korporasi yaitu yang menganut pemahaman bahwa korporasi mampu bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan seperti halnya orang. Di lain pihak ada yang menganut paham yang mengatakan bahwa atas tindak pidana yang dilakukan korporasi, yang bertanggungjawab adalah orang dalam organisasi badan hukum tersebut yang bertanggungjawab atas jalannya kegiatan usaha badan hukum yang bertanggungjawab atas tindak pidana tersebut.

Meningkatnya Tindak Pidana Penyelundupan merupakan salah satu kendala yang dapat menghambat pembangunan nasional. Tindak Pidana Penyelundupan yang meningkat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain luasnya wilayah kepulauan nusantara dan begitu banyaknya pintu masuk dan keluar yang harus diamankan, kondisi industri dalam negeri yang belum mampu bersaing dengan produksi impor dan kemampuan dan kemauan aparatur penegak hukum, serta rendahnya partisipasi warga masyarakat dalam bekerja sama dengan aparatur pemerintah.

(6)

only recommended crime that has been done by person, but also done by law corporation that can do crime even can be worse damage for society. Because the principal of corporation is get so mach money.

The problems appear when we looks for who law of smuggle criminal and its syncronized, how about corporate criminal liability and obstacles and law solution in efforts to eliminate smuggle criminality. The theory who explained corporate criminal liability is a one that gave explanation that corporation can have liability on criminal likes done by person. In different side, there is a theory who explained that in corporate criminal liability is law corporation organization’s liability of that crime, whatever theory that we choose. Indonesia’s criminal law is not recognize law corporation as criminal law subject. Although since the born of UU darurat no. 7/drt/1955 about Economic Criminal Law and then the born of UU no. 23 tahun 1977 about Life Environment Management, it have been recognized law corporation is also pretended as criminal law subject that can do crime and must have liability of they activities.

The increasing of smuggle criminal is one of obstacle that abstract national Development. The increase of Smuggle criminal is probably influenced by many factor include, the wide area of archipelago islands and so many gate in and out that must be protected, industry condition of our country that cannot challenge with import product, ability and intention of law executors. And lack of society participation in cooperation with law executors and government, and many other factor that have causal relation each other.

(7)

Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Penyelesaian tesis ini yang mengenai ”PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN,” tidak akan rampung tanpa bantuan saran ataupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing ataupun penguji. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada pembimbing yakni Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS., dan Bapak Syafrudin Sulung Hasibuan, SH, MH., yang tidak bosan-bosannya mengingatkan penulis untuk segera merampungkan hasil penelitian tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang menerima penulis untuk mengikuti studi di Universitas Sumatera Utara

(8)

4. Ibu Dr. Sunarmi SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan selaku penguji penulis dalam penelitian tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin SH, MS., selaku pembimbing yang banyak memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Syafrudin Sulung Hasibuan SH, MH., selaku pembimbing yang juga banyak memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, MH., selaku penguji yang dengan kritik dan sarannya sehingga penulis banyak terbantu dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis juga sangat berterima kasih terhadap pendamping setia Fadilla Maria Ulfa yang dengan bantuan serta dorongannya sehingga penulis dapat segera menyelesaikan tesis ini. Serta putra putri penulis Anisa Nabila Difla Nasution dan Irzan Althaf Munif Nasution yang dengan kelucuan dan tertawanya menambah semangat penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.

(9)

Medan, Pebruari 2008

(10)

Temp/Tgl. Lahir : Jakarta/ 9 Agustus 1974 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Instansi : Polda Sumatera Utara Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Putra I, Jakarta Timur (lulus tahun 1987)

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 109, Jakarta Timur (lulus tahun 1990) 3. Sekolah Menengah Atas Taruna Nusantara, Magelang (lulus tahun 1993) 4. Jurusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Indonesia (lulus tahun 2003)

5. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (lulus tahun 2004)

(11)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 14

G. Metode Penelitian ... 24

BAB II KETENTUAN PERATURAN YANG MENGATUR TENTANG TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN ... 30

A. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Penyelundupan didalam KUHP ... 33

B. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Penyelundupan diluar KUHP ... 38

C. Pengaturan Tentang Tindak Pidana yang dilakukan oleh Perusahaan (Korporasi) pada Sumber-Sumber Hukum Pidana diluar KUHP ... 53

(12)

B. Jenis dan Bentuk Tindak Pidana Penyelundupan... 68

C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan ... 70

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI PENYIDIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN DAN SOLUSI HUKUMNYA ... 91

A. Hambatan-Hambatan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan ... 91

B. Upaya Penanggulangan dan Solusi Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran... 121

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan korporasi sebelum krisis moneter tahun 1997 nampak semakin pesat, baik dalam kuantitas, kualitas maupun macam-macam bidang usaha. Korporasi bergerak dalam berbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, perbankan, otomotif, elektronik, hiburan, dan sebagainya. Setiap saat produk-produk baru mulai dari produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga untuk kepentingan investasi.1 Disamping itu kemajuan teknologi dan komunikasi mengakibatkan aktivitas ekonomi tidak lagi terkungkung oleh batas-batas negara. Fenomena-fenomena regionalisme yang terjadi diberbagai belahan dunia dewasa ini, seperti ASEAN atau Uni Eropa juga makin mengurangi ikatan batas-batas negara. Fenomena tersebut sebagian besar diwarnai oleh semakin meningkatnya saling ketergantungan (interdependensi) ekonomi di dunia. Ketergantungan ini disebabkan karena bervariasinya sumber-sumber alam atau faktor-faktor dominan lainnya, misalnya jumlah penduduk, teknologi atau ekonomi, antara satu negara dengan negara yang lainnya.2 Jenks berpendapat bahwa kompleksitas dan saling ketergantungan antar bangsa yang semakin intens, keterlibatan individu yang semakin besar dalam hubungan

1

H. Setiono, Kejahatan Korporasi; Analisis Victimologi Dan Pertanggungjawaban

Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Malang : Bayu Media, 2003), hal. 1.

2

(14)

internasional merupakan pendorong kearah terciptanya hukum universal bagi manusia.3

Ekonomi dalam kaitannya dengan hukum yang disebut hukum ekonomi terdiri atas peraturan-peraturan yang sebagian dapat digolongkan dalam peraturan-peraturan hukum privat, sedangkan sebagian lagi dalam peraturan hukum publik, yang mengatur dan memimpin segala aktifitas individu maupun aktifitas pemerintah di bidang perekonomian. Disamping itu hukum ekonomi adalah keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh pemerintah atau pengusaha sebagai personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi dimana kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan.4 Ada pula yang menyebutnya hukum bisnis. Hukum Bisnis lahir karena adanya istilah “bisnis.” Secara luas kegiatan bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan usaha (perusahaan) secara teratur dan terus-menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan atau disewakan. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan. Kegiatannya berupa kegiatan perdagangan, kegiatan industri dan kegiatan melaksanakan jasa-jasa.5

Secara yuridis pengertian “kejahatan bisnis” menunjukkan terdapatnya dua sisi mata uang, yaitu disatu sisi terdapat aspek hukum perdata, dan disisi lain terdapat aspek hukum pidana. Aspek hukum perdata lebih mementingkan perdamaian diantara

3

Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GAAT dan WTO (Bandung : PT. Refika Aditama, 2006), hal. 12.

4

Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi (Medan : Bina Media, 2006), hal. 59. 5

(15)

para pihak, sedangkan aspek hukum pidana lebih mementingkan melindungi kepentingan umum atau masyarakat luas atau negara, sehingga lebih bersifat memaksa. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam bidang keuangan dan perbankan, dapat diterapkan tiga macam sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi keperdataan dan sanksi pidana.6 Perlakuan terhadap ketiga macam sanksi tersebut tidak selamanya mencerminkan asas kepastian hukum dan keadilan, karena sering terjadi penerapannya dianggap kurang proporsional dan kurang akurat. Pengertian kejahatan bisnis sesungguhnya merupakan hasil kepanikan para pelaku bisnis yang melihat kegiatan bisnis sudah menyimpang jauh dari tujuan dan cita-cita semula, yaitu menimbulkan kepercayaan dan kejujuran dalam memperoleh keuntungan.

Masih berkutat pada penegakan hukum yang tidak pernah habis untuk dibicarakan, kejahatan korporasi merupakan salah satu bagian dari sekian banyak persoalan hukum, namun belum banyak mendapat perhatian masyarakat luas dibandingkan dengan persoalan-persoalan hukum lainnya.7 Akibatnya, perkembangan terhadap pemahaman tentang kejahatan korporasi berjalan lamban, baik oleh para penegak hukum, lebih-lebih oleh masyarakat dalam arti luas. Bahkan keputusan-keputusan hakim mengenai hal tersebut tidak jarang seperti “menembak bayangan” (tidak tepat sasaran) baik dari aspek subyeknya maupun dari aspek substansinya. Dalam kasus penyelundupan, beberapa kali terjadi keputusan yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku teknis/pelaku lapangan penyelundupan karena

6

Romli Atmasasmita, Pengantar Kejahatan Bisnis, (Jakarta : Kencana, 2003), hal. 25. 7

(16)

tindakannya, dianggap menimbulkan kerugian terhadap negara. Hal ini menunjukan kekurangpahaman hakim terhadap karakter korporasi sebagai suatu organisasi. Disamping itu dengan menghukum seorang pelaku teknis/pelaku lapangan yang bukan pengambil keputusan, apakah penyelundupan berhenti ketika perusahaan tersebut berjalan terus? Bukankah seorang pelaku teknis/pelaku lapangan bekerja atas perintah direkturnya dan bertanggungjawab kepadanya? Kejahatan korporasi dalam

Black’s Law Dictionary mempunyai definisi bahwa corporate crime is any crime is

any criminal offence committed by and hence chargeable to a corporation because

activities of is officers or employees (e.g. price fixing, toxic waste dumping) often

referred to as “white collar crime.”8 Pemahaman terhadap kejahatan korporasi perlu ditingkatkan, utamanya oleh penegak hukum dan juga masyarakat sebagai pemegang hak (yang sering dirugikan) dalam ruang lingkup negara. Hal ini tidak kalah pentingnya karena sebagian besar masyarakat memang kurang mengenal kejahatan korporasi termasuk bahaya yang bisa menimpanya.

Isu penyelundupan dewasa ini menjadi semakin penting karena penyelundupan itu sendiri menyangkut kegiatan banyak hal. Oleh karena itu definisi penyelundupan tentunya harus dieliminasi guna menghindari misinterpretasi. Sanksi pidana juga harus lebih tegas selain sanksi adminisratif dan sanksi disiplin, karena praktek penyelundupan selalu merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Tentunya aparat Ditjen Bea dan Cukai yang terlibat juga harus dikenai sanksi pidana,

8

(17)

karena ikut serta dalam praktek penyelundupan. Fungsi Bea dan Cukai sebenarnya sebagai pelayanan pengguna jasa, tapi justru pengguna jasa sering merasa dirugikan.9

Praktek-praktek penyelundupan meliputi berbagai kegiatan yang pada akhirnya akan merugikan perekonomian dan stabilitas suatu negara. Pengawasan secara ketat perlu diberlakukan pada sektor transportasi, seperti pada angkutan udara di bidang kargo, yang dapat dimanfaatkan untuk menyelundupkan senjata dalam suatu kontainer. Adapula kegiatan ekspor secara ilegal barang berupa pupuk urea dan kayu gelondongan di sejumlah pelabuhan.10 Selain itu banyak pula kasus-kasus penyelundupan manusia khususnya wanita dan anak-anak yang setiap tahun meningkat, untuk diperdagangkan dan diekploitasi secara ilegal dalam praktek-praktek pekerja migran atau prostitusi. Kemudian terlihat sejumlah industri garmen dalam negeri yang hampir bangkut karena maraknya penyelundupan pakaian bekas, beberapa perusahaan elektronik merana lantaran masuknya barang-barang elektronik ilegal dan murah dari Cina serta banyaknya petani yang sengsara karena aparat tidak kuasa menahan masuknya beras dan gula selundupan.11 Kesemua hal ini tersebut tentunya melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang industri dan perdagangan di suatu negara.

Dalam perdagangan internasional, subyek hukum telah dikenal dan diatur dalam hukum-hukumnya, seperti ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis

9

Diakses melalui http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=92907, 22 Oktober 2007 dan http://www.balipostcetak.co.id/BaliPostcetak/2006/10/12e5.htm, 22 Oktober 2007.

10

Diakses melalui http://www.legalitas.org/?q=node/168, 22 Oktober 2007. 11

Diakses melalui http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita &id=317, 22 Oktober 2007

dan http://www.nakertrans.go.id/newsdetail.php?id-228, 22 Oktober 2007 dan

(18)

internasional dan hukum komersial internasional. Walaupun hukum ekonomi internasional lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy), seperti hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh negara atau suatu organisasi internasional, sementara itu hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan privat.12 Tetapi meskipun demikian aturan-aturan tersebut akan berdampak pada individu atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara. Sehingga subyek hukum tersebut nantinya akan berimplikasi pada adanya pertanggungjawaban dalam dirinya. Badan hukum adalah suatu badan yang diciptakan manusia dan kepadanya dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku sehingga disebut subyek hukum ciptaan, subyek hukum yuridis (rechtpersoon). Unsur terpenting dari badan hukum menjadi subyek hukum adalah penetapan hak dan kewajibannya dalam anggaran dasarnya yang disahkan oleh pemerintah.13 Sedangkan menurut Gierke (1973) badan hukum itu tidak berbeda dengan manusia, mempunyai sifat kepribadian yang sama dengan manusia. Karena badan hukum mempunyai kehendak yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya seperti rapat pemegang saham, pengurus dan komisaris.14

Dilihat dari viktimologi, kejahatan korporasi itu akan mengakibatkan kerugian yang sangat luas. Kerugian dapat timbul baik terhadap negara (tindak pidana pajak),

12

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 13.

13

Janus Sidabalok, op.cit., hal. 32. 14

Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan, Sebagai Subyek dalam Gugatan Perdata di

(19)

masyarakat (tindak pidana lingkungan), perusahaan (kompetisi tidak jujur), karyawan (tindak pidana perburuhan) dan konsumen (tindak pidana penipuan melalui advertisi).15 Apabila ditinjau dari bentuk subyek dan motifnya, kejahatan korporasi dapat dikatagorikan dalam white color crime dan merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris. Oleh karena itu dalam rangka membela hak masyarakat dalam penegakan hukum, terlebih dahulu harus dipahami tentang struktur korporasi, hak dan kewajiban serta pertanggungjawabannya, sehingga bisa dikenali karakter kejahatan korporasi dan letak pertanggungjawabannya yang pada akhirnya ditemukan solusi yuridisnya.

Sebagai kejahatan organisatoris, kejahatan korporasi dapat menimbulkan dampak negatif yang demikian luas, baik yang menimpa perorangan maupun kolektif, bahkan masyarakat luas. Antara lain meliputi kerugian dibidang materi, kerugian dibidang sosial maupun moral. Namun, betapapun ternyata besarnya kerugian yang ditimbulkan, bahkan sulit untuk dihitung, ternyata penegakan hukumnya berjalan terseok-seok. Setidaknya, fakta ini disebabkan beberapa hal.16

Pertama, peran korporasi dalam bidang perekonomian cukup besar dan

didalamnya secara langsung melibatkan banyak orang, sehingga menciptakan kondisi dilematik bagi penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas. Ironisnya, justru kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku korporasi untuk meraih keuntungan yang

15

Made Darma Weda, “Beberapa Catatan Tentang Kejahatan Korporasi” (Makalah Seminar Nasional Viktimologi III), Surabaya : Fakultas Hukum Airlangga Surabaya bekerja sama dengan Miyazawa Foundation, Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Masumoto Foundation, 29-21 Desember), hal. 4.

16

(20)

sebesar-besarnya, kendati tindakannya berdampak negatif.

Kedua, karakter kejahatan koporasi yang masih belum dipahami sepenuhnya

oleh penegak hukum maupun masyarakat berakibat tidak jarang penyelesaian terhadap kejahatan korporasi menjadi tidak tuntas, bahkan sanksi yang diterapkan pun tidak membuat jera.

Ketiga, luasnya lingkup permasalahan kejahatan korporasi menuntut

penyikapan dari berbagai aspek hukum, sehingga penegakannya pun tidak bisa sepotong-potong. Pelaku kejahatan korporasi yang dijatuhkan sanksi pidana saja, belum tentu persoalan menjadi selesai manakala pelaku dipidana, sementara operasional korporasinya terus berjalan. Sanksi perdata saja, misalkan berupa ganti rugi terhadap dampak yang ditimbulkan dari kejahatannya tidak banyak berarti.17

Sebuah korporasi menurut hukum perdata adalah suatu legal person

(rechtspersoon), yang merupakan suatu badan hukum dan memiliki sifat sebagai

legal personality. Artinya, dapat melakukan perbuatan hukum serupa halnya dengan

manusia (natuurlijke persoon).18 Pada awalnya pembuat undang-undang pidana berpandangan hanya manusia yang dapat menjadi subjek tindak pidana. Namun seiring perkembangan zaman, tindak pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi. Seperti contohnya Perseroan Terbatas atau PT adalah merupakan badan hukum atau

artifificial person yang mampu bertindak dan melakukan perbuatan hukum melalui

“wakilnya.” Oleh karena itu Perseroan Terbatas atau PT juga merupakan subyek

17

Made Darma Weda, op. cit., hal.. 28. 18

(21)

hukum, yaitu subyek hukum mandiri (persona standi in judicio). Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum.19 Jadi disamping manusia (natuurlijke

persoon atau natural person), ada “manusia” lain yang disebut “recht-persoon”

yang merupakan “artificial persoon” yang merupakan “orang tiruan” atau orang yang diciptakan oleh hukum.20

Perkembangan ekonomi akhir-akhir ini membuat dunia usaha semakin kompleks dan bervariasi. Persaingan usaha di antara korporasi yang satu dengan yang lain semakin tajam dengan munculnya berbagai macam jenis barang dan jasa yang ditawarkan.21 Berdasarkan pengamatan terhadap kemajuan-kemajuan yang dicapai di bidang ekonomi, Sudarto mengingatkan bahwa suatu hal yang tidak boleh dilupakan ialah adanya gangguan-gangguan atas kesejahteraan masyarakat. Sebab kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi tidak akan melenyapkan kejahatan, bahkan hampir dapat dipastikan bahwa kemajuan ekonomi itu sendiri adalah faktor dominan yang menyebabkan perkembangan kejahatan.22

Prinsip pertanggungjawaban korporasi pertama kali diatur pada tahun 1951 yaitu dalam UU tentang Penimbunan Barang, dan dikenal secara lebih luas lagi dalam UU no. 71 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.23 Dalam perkembangannya

19

I.G. Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas (Jakarta : Kesain Blanc, 2006), hal. 165.

20

I.G. Widjaya, Hukum Perusahaan dan Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaan di

Bidang Usah, (Jakarta : Kesain Blanc, 2006), hal. 127.

21

Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005) hal 57.

22

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung : Alumni, 1986), hal. 75. 23

(22)

kemudian, prinsip pertanggungjawaban korporasi banyak diadopsi dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU no. 5 th. 1984 tentang Perindustrian, UU no. 8 th. 1985 tentang Pasar Modal, UU no. 5 th. 1997 tentang Psikotropika, UU no. 22 th. 1997 tentang Narkotika, UU no. 23 th. 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU no. 5 th. 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU no. 8 th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU no. 20 th. 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU no. 22 th. 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU no. 15 th. 2002 tentang Tindak Pidana Pencucuian Uang dan UU no. 20 th. 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Dalam literatur hukum pidana, penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini telah mengalami perkembangan yang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya kejahatan korporasi itu sendiri. Pada awalnya, korporasi belum diakui sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, karenanya tanggungjawab atas tindak pidana dibebankan kepada pengurus korporasi. Selanjutnya korporasi mulai diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya, seperti dianut dalam UU no. 12/Drt/1952 tentang Senjata Api.24 Dalam perkembangan terakhir, selain sebagai pelaku, korporasi juga dapat dituntut pertanggungjawabannya atas suatu tindak pidana. Peraturan perundang-undangan yang menganut model ini diantaranya UU no. 7 Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU no. 6 tahun 1984 tentang Pos, UU no. 23 tahun 1997 tentang

24

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian

(23)

Lingkungan Hidup, UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU no. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain-lain.25

Oleh karena itu eksistensi pertanggungjawaban pidana korporasi walaupun masih terdapat kekurangan tetap perlu ada karena :

1. KUHP yang berlaku sampai saat ini tidak dapat diterapkan kepada perusahaan yang melakukan tindak pidana karena KUHP tidak mengenal perusahaan sebagai subyek hukum pidana. Sehingga banyak perusahaan yang akan lolos dari peraturan hukum pidana.

2. Di lain pihak, dengan adanya bentuk pertanggungjawaban korporasi, tidak ada lagi individu yang dipidana atas delik yang sesungguhnya bukan kesalahannya atau tidak dilakukan olehnya, tetapi dilakukan oleh perusahaan. Hal ini karena tindak pidana korporasi bukan hanya karena individu dalam perusahaan yang memang secara sengaja melakukan tindak pidana, tetapi dapat merupakan dampak dari kesalahan manajemen yang menyebabkan karyawan melakukan perbuatan melawan hukum. 3. Dalam kasus-kasus tertentu seperti tindak pidana penyelundupan akan

lebih tepat meminta pertanggungjawaban pidana kepada korporasi daripada kepada karyawannya.

25

(24)

4. Perlu kiranya pemerintah lebih konsisten lagi dalam menerapkan hukum dan memperhatikan masalah tindak pidana yang dilakukan korporasi sebagai badan usaha yang telah berbadan hukum.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Ketentuan peraturan apa saja yang mengatur tentang tindak pidana penyelundupan dan apakah ketentuan tersebut telah sinkron satu dengan lainnya.

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana penyelundupan.

3. Hambatan apa yang dihadapi penyidik dalam pemberantasan tindak pidana penyelundupan dan bagaimana solusi hukum yang digunakan untuk mengatasinya.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

(25)

2. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana penyelundupan

3. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi penyidik dalam pemberantasan tindak pidana penyelundupan dan alternatif solusi hukum yang dipergunakan untuk mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi dibidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan perkembangan hukum pidana serta proses penanganannya, khususnya masalah penyelundupan yang kerap kali terjadi pada korporasi. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam penanggulangan tindak pidana korporasi.

2. Secara Praktis

(26)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan,” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana korporasi, namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Pengertian dari konsep korporasi ada berbagai macam, salah satunya

menurut terminologi hukum korporasi (corporation) adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama melaksanakan urusan finansial, keuangan, ideologi atau urusan pemerintahan.26 Di lain pihak pengertian korporasi termasuk di dalamnya pengertian dari badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan dan organisasi.27 Sedangkan pengertian perusahaan yang dipandang dari sudut pandang ekonomi, menurut Molengraaft diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan dengan

26

I. P. M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 176. 27

(27)

memperniagakan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perniagaan.28 Seperti yang telah disebutkan bahwa suatu korporasi adalah suatu legal person (rechts-persoon) menurut hukum perdata, yang juga merupakan suatu badan hukum. Pengertian badan hukum itu sendiri menurut Wiryono Prodjodikoro adalah suatu badan yang disamping manusia perseorangan, juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.29

Aspek hukum pidana merupakan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada beserta segala sesuatu yang terkait didalamnya. Aspek hukum pidana ini juga mempunyai pengertian yang berdekatan dengan sistem peradilan pidana yaitu sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti sebagai usaha guna mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.30 Salah satu aspek hukum pidana yang menarik dibandingkan dengan bidang hukum lainnya ialah, bahwa hukum pidana mengandung sifat kontradiktif,

dualistik atau paradoksal.31 Di satu pihak hukum pidana bermaksud melindungi kepentingan/benda hukum dan hak asasi manusia dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang, namun di lain pihak hukum pidana menyerang kepentingan hukum/HAM seseorang dengan menggunakan sanksi (pidana/tindakan) kepada si pelanggar norma. Sifat paradoksal dari hukum pidana ini sering digambarkan dengan

28

Gatot Supramono, op. cit., hal. 2. 29

Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung : Alumni, 2005), hal. 20. 30

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan (Bandung : Alumni, 2002), hal. 13 dan 74.

31

(28)

ungkapan yang sangat terkenal, “Rechts guterschutz durch Rechtsguterverletzung” (perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum). Oleh karena itu sering dikatakan, bahwa ada sesuatu yang menyedihkan (tragik) dalam hukum pidana, sehingga hukum pidana sering dinyatakan pula sebagai “pedang bermata dua.”32

Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti strafbaar feit. Dalam perundang-undangan dijumpai istilah-istilah lain yang maksudnya juga strafbaar feit, misalnya :

1. Peristiwa Pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 14 ayat 1).

2. Perbuatan Pidana (Undang-Undang no. 1 tahun 1951, Undang-Undang

mengenai tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuatan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, pasal 5 ayat 3b).

3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat no. 2

tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie tijdekijke byzondere straf

bepalingen S.1948 dan Undang-Undang RI (dahulu) no. 8 tahun 1948 Pasal

3).

4. Hal yang diancam dengan hukuman dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman (Undang-Undang Darurat no. 16 tahun 1951

tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Pasal 19, 21, 22).

5. Tindak Pidana (Undang-Undang Darurat no. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan

Umum, pasal 129).

6. Tindak pidana (Undang-Undang Darurat no. 7 tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pasal 1) 7. Tindak pidana (Penetapan Presiden no. 4 tahun 1964 tentang Kewajiban

kerja bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan, pasal 1).

Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana. Istilah ini karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata tindak lebih pendek dari perbuatan tapi

32

(29)

tindak tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya

menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai ditindak.33 Oleh karena itu tindak

sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendirinya, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai kata perbuatan.

Jika melihat pengertian-pengertian di atas maka dalam pokoknya ternyata : 1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah

laku;

2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.

Jadi untuk menyimpulkan apa yang diajukan di atas, maka merupakan unsur atau elemen tindak pidana adalah :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. d. Unsur melawan hukum yang obyektif.

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.34

33

Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana (Yogyakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 75.

34

(30)

Perlu ditekankan bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan tadi sudah sedemikian wajarnya sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk diyatakan tersendiri.

Sehingga pengertian tindak pidana adalah sesuatu atau seseorang yang melakukan atau bertingkah laku serta melakukan kesalahan terhadap orang lain atau sesuatu hal yang menurut undang-undang dapat dikenakan sanksi pidana. Akhirnya ditekankan bahwa meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yang sifatnya melawan hukum yang subyektif.35

Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem hukum di suatu negara. Meskipun masih dipertanyakan manfaatnya dalam menyusun tata masyarakat yang tertib dan damai, tetapi semakin penting dipelajari segi-seginya untuk menunjang seluruh sistem kehidupan di masyarakat. Masalah

pertanggungjawaban pidana tidak semudah untuk merumuskannya seperti disangka

orang semula. Istilah pidana dapat diberikan definisi menurut sudut pandang seseorang dari mana aspek hukum diperhatikan serta begitu pula halnya dengan pengertian “pertanggungjawaban.”

Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal melalui dari beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada

35

(31)

itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis dan harmonis. Dapat dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu

perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana dan

perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi

kesalahan.

Masalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum adalah persoalan yang perlu diketahui dan sangat penting bagi badan hukum. Bahwa badan hukum adalah bertanggungjawab (aansprakelijkheid), artinya dapat digugat untuk

perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan oleh organ-nya

sebagai orgaan (als zodenig door de orgaan). Mengenai pertanggungjawaban ini

dasarnya kalau menurut Theorie Juridiesche Realiteit dari badan hukum, adalah

bahwa segala yang diperbuat oleh pengurus dalam fungsinya (in functie) dapat

dipertanggungjawabkan terhadap badan hukum itu sendiri.36

Di Amerika Serikat dikenal konsep untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu doktrin respondeat superior atau vicarious liability. Menurut doktrin ini, apabila pekerja suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana

dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud menguntungkan korporasi,

tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi. Ini bertujuan

mencegah perusahaan melindungi diri dan melepas tanggung jawab dengan melimpahkannya pada para pekerjanya/pelaku lapangan/pelaku teknis. Ajaran

36

(32)

vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan

hukum (the law of tort), yang kemudian diterapkan pada hukum pidana. Namun, belum diaturnya korporasi sebagai subyek hukum dalam KUHP, mengakibatkan korporasi menikmati impunity (kejahatan tanpa hukuman) atas berbagai kejahatannya. Ini juga disebabkan adanya pandangan pentingnya keberadaan korporasi bagi perekonomian dan adanya anggapan kejahatan korporasi hanyalah kesalahan administratif saja.

Dalam RUU KUHP mengadopsi pendirian bahwa korporasi dapat menjadi

subyek tindak pidana, sebagaimana terdapat pada pasal 47 RUU KUHP yang

bunyinya adalah: “korporasi merupakan subyek tindak pidana.” Pengaturan tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam RUU KUHP terdapat dalam

pasal 47-53.37 Meskipun dalam RUU tersebut pidana pokok hanya berupa denda, namun ancaman sanksi maksimum bagi korporasi dapat lebih berat dibanding terhadap perseorangan.38 Pidana denda yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun sampai dengan 15 tahun adalah denda Kategori V, yaitu sebesar tiga ratus juta rupiah. Sedangkan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun adalah denda Kategori VI, yaitu sebesar tiga miliar rupiah. Selain denda maksimum, telah pula ditetapkan denda minimum bagi korporasi, yaitu denda Kategori IV sebesar tujuh puluh lima juta rupiah. Jika sanksi pidana denda tak dibayar, maka korporasi dikenai pidana pengganti berupa

37

Sudarto, op. cit., hal. 82. 38

(33)

pencabutan izin usaha atau pembubaran.

Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya dalam hal ini tanggung jawab pidana. Apalagi korporasi kedepannya akan dibebani lebih banyak corporate social responsibility untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkungan hidup. Hal ini juga bisa dilihat dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang baru no. 40 tahun 2007 pengganti UU Perseroan Terbatas no.1 tahun 1995 yang sudah tidak berlaku lagi. Dalam undang-undang yang baru tersebut tercantum jelas mengenai corporate social

responsibility (CSR) atau disebut juga “tanggung jawab sosial perusahaan.”

Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subyek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang

dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP

juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.39

Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU drt. no. 7 tahun 1995) dan Ordonansi Bea maupun INPRES no. 4 tahun 1985 tidak dijumpai pengertian

39

(34)

penyelundupan. Pengertian penyelundupan terdapat dalam Keputusan Presiden no. 73 tahun 1967 (Pasal 1 ayat 2) yang berbunyi, “Tindak Pidana Penyelundupan ialah tindak pidana yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang

dari luar negeri (ekspor) atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke

Indonesia (impor).”40

Pengertian penyelundupan sebagaimana yang dimuat dalam Kepres no. 73 tahun 1967 mirip dengan pengertian penyelundupan yang dimuat dalam The New

Grolier Webster International Dictionary of English Languange (Vol. II hal. 196)

yang dalam terjemahannya berbunyi, “mengimpor atau mengekspor secara

diam-diam yang bertentangan dengan hukum, tanpa membayar bea yang

diharuskan.” Dalam Law Dictionary, penyelundupan diartikan dalam

terjemahannya adalah pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang

dilarang atau pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang tidak

dilarang, tanpa membayar bea yang diharuskan.41 Dari pengertian penyelundupan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat dari penyeludupan adalah untuk menghindari bea masuk atau bea keluar, supaya mendapatkan

keutungan yang besar.42

40

Baharudin Lopa, Tindak Pidana Ekonomi, Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan (Jakarta : Pradnya Paramita, 1992), hal. 23.

41

Ibid. hal. 39. 42

Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lani, Amir Muhsin, Kejahatan-kejahatan yang

(35)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia no. 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang no. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, dijelaskan dalam pasal 102 bahwa penyelundupan di bidang impor adalah :

1. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2).

2. Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean.

3. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat (3).

4. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan/diizinkan.

5. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum.

6. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat yang lain di bawah pabean persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini.

7. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang sampai ke kantor pabean dan tidak dapat membuktikan hal tersebut di luar kemampuannya.

8. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah.

Selanjutnya penyelundupan di bidang ekspor dijelaskan dalam Pasal 102A yaitu :

1. Mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean.

2. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor.

3. Memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).

4. Membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean.

(36)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.43 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge

through judicial process).44 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.45

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah serta sumber data sekunder lainnya. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

43

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20 (Bandung : Alumni, 1994), hal. 105.

44

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 118.

45

(37)

Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.46 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hierarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.47 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan

46

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang : Bayumedia Publishing, 2007), hal. 57.

47

(38)

perundang-undangan dalam kasus pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana penyelundupan.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute

approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.48 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan korporasi dan tindak pidana penyelundupan.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer :

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan. Badan hukum primer yang otoritasnya dibawah undang-undang adalah peraturan

48

(39)

pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara.

b. Bahan Hukum Sekunder :

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus- kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan- pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.49

c. Bahan Hukum Tersier :

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum dan jurnal ilmiah.50

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber bahan hukum penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, ujian, dokumen dan

49

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 141. 50

(40)

lainnya.51 Wawancara merupakan teknik yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. Pada dasarnya wawancara bukan merupakan bahan hukum, akan tetapi dapat dimasukkan sebagai bahan non-hukum.52 Penelitian ini tidak menggunakan wawancara dalam pengumpulan data.

Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan bahan hukum sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum dan bahan kuliah yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Metode Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.53 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif yaitu dengan melakukan :

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

51

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 97. 52

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), hal. 95. 53

(41)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana penyelundupan.

c. Menemukan hubungan diantara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah.

(42)

BAB II

KETENTUAN PERATURAN YANG MENGATUR TENTANG

TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN

Sebelum memasuki ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Penyelundupan, terlebih dahulu akan diuraikan apa yang menjadi subyek dan obyek dari tindak pidana penyelundupan.

Subyek Dalam Tindak Pidana Penyelundupan

Yang dapat ditindak atau dituntut kerena melakukan Tindak Pidana Penyelundupan sesuai dengan undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU drt. no. 7 tahun 1955) adalah :

1. Seseorang yang melakukan tindak pidana ekonomi (misalnya melakukan Tindak Pidana Penyelundupan)

2. Beberapa orang yang secara bersama-sama (turut serta) melakukan Tindak Pidana Ekonomi.

Dalam hal ini mereka bersama-sama melakukan Tindak Pidana, di sini disyaratkan bahwa semua pelaku telah melakukan perbuatan pelaksanaan atau melakukan elemen dari peristiwa pidana, walaupun masing-masing peserta

(43)

3. Seseorang yang memberikan bantuan pada atau melakukan Tindak Pidana (Pasal 26b RO jo Pasal 4 dan 6 Undang-Undang drt. no. 7 tahun 1955 jo Pasal 56 KUHP).

4. Percobaan melakukan Tindak Pidana.

Dengan lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU drt. no. 7 tahun 1995), disamping perorangan, badan hukum atau korporasi dapat juga melakukan tindak pidana ekonomi dan dapat dijatuhi hukuman pidana.54

Didalam hukum pidana (KUHP) pada prinsipnya hanya mengenal orang sebagai subyek hukum. Hal ini sesuai dengan hampir setiap kalimat yang terdapat pada setiap pasal dalam KUHP dimulai dengan kalimat “barang siapa.” Kata “barang siapa” menunjuk kepada orang, misalnya dalam Pasal 342 KUHP yang dimulai dengan kalimat “seorang ibu,” Pasal 413 mulai dengan “panglima tentara,” Pasal 414, 415, 418 dan 419 mulai dengan “pegawai negeri,” Pasal 420 mulai dengan “hakim yang menerima hadiah………dan seterusnya.” Bukankah seorang ibu, panglima tentara, pegawai negeri dan hakim, menunjukkan orang? Hanya orang/manusia merupakan subyek hukum dalam KUHP yang dapat dituntut dan dihukum. Sedangkan badan hukum tidak dapat dikatakan sebagai subyek hukum dalam KUHP. Hal ini sesuai dengan Pasal 59 KUHP yang berbunyi :

“Dalam hal-hal di mana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.”

54

(44)

Sedangkan dalam Tindak Pidana Ekonomi, badan hukum seperti perseroan, perserikatan, orang atau yayasan, dianggap dapat melakukan tindak pidana ekonomi, badan-badan tersebut dapat juga dipertanggungjawabkan atas tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan-badan tersebut in de

sfeer van een rechtsperson.55 Hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUTPE yang menyatakan bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dapat dijatuhkan, baik terhadap badan hukum dan lain-lain itu maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan delik ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun keduanya.

Salah satu perbedaan yang menonjol antara KUHP dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ini (dalam hal ini penyelundupan) ialah bahwa dalam KUHP Pasal 54 dan Pasal 60 ditetapkan “percobaan pelanggaran tidak dihukum,” sedangkan dalam Undang drt. no. 7 tahun 1955 Pasal 4 berbunyi, jika dalam Undang-Undang Darurat ini disebut Tindak Pidana Ekonomi pada umumnya atau tindak pidana khususnya, maka didalamnya termasuk pemberian bantuan atau untuk melakukan tindak pidana itu dan percobaan untuk melakukan tindak pidana itu, sekedar suatu ketentuan tidak menetapkan sebaliknya dan oleh karena dalam Rechten Pasal 4 Undang-Undang drt. no. 7 tahun 1955 tersebut.56

55

Ibid. 56

(45)

Obyek Dalam Tindak Pidana Penyelundupan

Yang menjadi obyek dalam Penyelundupan ialah semua “barang-barang” seperti yang termasuk dalam pengertian dan definisi penyelundupan itu sendiri.

A. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Penyelundupan didalam KUHP

Antara KUHP dengan Tindak Pidana lainnya di luar KUHP terdapat titik pertalian. Pertalian ini terletak pada aturan Buku I KUHP, yang dalam Pasal 103-nya berbunyi sebagai berikut, “ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII, buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”

Hal ini berarti, bahwa ketentuan dalam delapan Bab Buku I KUHP berlaku juga bagi tindak pidana yang diatur di luar KUHP, kecuali jika undang-undang menentukan lain. Artinya undang-undang yang bersangkutan itu sendiri menentukan aturan-aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum (delapan bab KUHP tersebut) atas dasar “lex specialis derogate lex generalis” (aturan-aturan khusus dapat mengesampingkan aturan-aturan yang umum).57

Adanya dasar pemikiran peraturan perundang-undangan pidana khusus yang diatur diluar KUHP adalah sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan akan kebutuhan dan perkembangan akan kebutuhan hukum masyarakat, mengingat

57

(46)

betapapun tuntas dan sempurnanya perundang-undangan dikodifikasi, namun suatu saat pasti tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan hukum dalam menghadapi perkembangan masyarakat.

Oleh karena itu, maka antara perundang-undangan pidana khusus (yang diluar KUHP) dengan KUHP dapat digambarkan sebagai berikut : “bahwa KUHP merupakan induk peraturan perundang-undangan pidana, karenanya ia merupakan kedudukan sentral, sebab di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP yang berlaku juga bagi perundang-undangan pidana khusus yang diatur diluar KUHP, kecuali jika perundang-undangan khusus tersebut menentukan lain.”

Berdasarkan penjelasan diatas, maka undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat 2 KUHAP yaitu :

“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”

(47)

Apabila dihubungkan dengan berlakunya KUHAP, yaitu dengan adanya ketentuan peralihan Pasal 284 ayat 2 maka hal-hal yang merupakan penyimpangan-penyimpangan tersebut masih tetap berlaku pada perundang-undangan pidana khusus sepanjang belum diubah atau dicabut. Untuk memperjelas uraian ini dapat diperhatikan ketentuan materi Pasal 25 Undang-Undang Darurat no. 7 tahun 1955 yang berbunyi.

“Terhadap pengusutan Tindak Pidana Ekonomi selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam “Het Herzine Indonesische Reglement” (baca : KUHAP, karena HIR telah digantikan KUHAP), kecuali jika Undang-Undang Darurat ini menentukan lain.”

Adanya kalimat “kecuali” jika Undang-Undang Darurat ini menentukan lain, menyimpulkan adanya penyimpangan dalam Undang-Undang Darurat tersebut, baik dari segi hukum pidana materiilnya maupun hukum acaranya/formalnya dan hal inilah yang merupakan tetap melekat pada undang-undang yang bersangkutan dan tetap berlaku sekalipun sifatnya sementara, sepanjang belum diubah atau dicabut.

Selanjutnya selain dari yang disebutkan diatas, apabila diteliti secara lebih cermat, masih terdapat beberapa penyimpangan yang merupakan kekhususan dari Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ini dalam hukum acaranya antara lain :

(48)

kepada petugas pengusut untuk menyita setiap barang yang dapat digunakan dalam rangka berhasilnya penyelidikan. Masih banyak lagi wewenang pegawai/penyidik yang apabila diperhatikan sangat luas, melampaui wewenang penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP.

2. Banyaknya tindakan tata tertib sementara yang tidak terdapat dalam KUHAP. 3. Pengadilan Ekonomi dapat bersidang diluar tempat kedudukan Pengadilan

Ekonomi.

4. Seorang Hakim, Jaksa dan Panitera Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi.

Disamping itu seiring perkembangan zaman dalam hal peraturan mengenai kepabeanan sudah banyak peraturan-peraturan baru tentang kebeacukaian misalnya Undang-Undang no. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dan perlu diketahui juga dari undang-undang tersebut lahir berbagai peraturan kebeacukaiaan yang berhubungan dengan perbuatan penyelundupan yang antara lain adalah Undang-Undang no. 11 tahun 1995 tentang Cukai, Peraturan Pemerintah RI no. 22 tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Kepabeanan, Peraturan Pemerintah no. 55 tahun 1996 tentang Penyidikan Tindakan di Bidang Kepabeaan dan Cukai.

(49)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat beberapa pasal yang mengatur perbuatan pidana yang berhubungan dengan korporasi. Pasal-pasal tersebut antara lain :

a. Pasal 204 KUHP tentang menjual barang yang membahayakan nyawa atau kesehatan.

b. Pasal 382 KUHP tentang persaingan curang. c. Pasal 383 KUHP tentang penjualan curang.

d. Pasal 387 KUHP tentang pekerjaan pemborongan curang.

e. Pasal 392 KUHP tentang pengumuman neraca rugi laba yang tidak benar. f. Pasal 393 KUHP tentang perbuatan curang dengan barang dagangan yang

palsu/dipalsukan.

g. Pasal 396-399 KUHP tentang keadaan curang dalam keadaan pailit.

Pasal-pasal tersebut diatas merupakan pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan dunia usaha yang mana juga berkaitan dengan korporasi. Sebenarnya bentuk-bentuk tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi tidak hanya terbatas pada pasal-pasal tersebut diatas atau hanya delik-delik yang berkaitan dengan dunia perekonomian. Bentuk-bentuk delik yang konvensional lainnya seperti pembunuhan, pencurian, penipuan kejahatan terhadap kemerdekaan orang, pemerasan dan yang lainnya dimungkinkan dilakukan oleh korporasi.

(50)

bukan badan hukum atau perusahaan. KUHP yang berlaku sekarang tidak dapat digunakan terhadap perusahaan sebagai pelaku tindak pidana.

B. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Penyelundupan diluar KUHP

Yang menjadi dasar hukum peraturan Tindak Pidana Penyelundupan adalah sebagai berikut :

1. Ordonansi Bea

Sebagaimana diutarakan diatas, bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Penyelundupan adalah merupakan perbuatan yang melanggar suatu ketentuan peraturan yakni ordonansi bea dan dapat diancam dengan hukuman pidana. Oleh karena itu perlu dikemukakan disini bahwa untuk mengetahui seluk-beluk delik penyelundupan kita harus mengetahui dan menelaah terlebih dahulu apa itu Ordonansi Bea atau Rechten Ordonantie (OB/RO).

Ordonansi bea diciptakan sejak tahun 1882, yaitu Stbld nomor 240, yang diumumkan lagi dalam tahun 1931 dengan Stbld nomor 471 dan sejak itu telah diubah berkali-kali, dengan Stbld 1932 nomor 212, 1935 nomor 149, 1935 nomor 584, 1936 nomor 702 dan 1948 nomor 11. Pada ordonansi dilampirkan Reglement A dan Reglement B.

(51)

Ordonansi Bea sub 1 sampai 6 dimulai dengan kalimat “berkenaan dengan pelanggaran yang diuraikan dalam Pasal 25 dan seterusnya.”58

Pasal 25 :

1. Dapat dipidana nahkoda yang dengan sengaja atau bersalah karena kelalaian :

a. Tidak memenuhi peraturan-peraturan tentang penyerahan dokumen pada waktu kedatangan kapal.

b. Tidak menyebutkan barang-barang pada pemberitahuan atau daftar-daftar yang dimaksud pada huruf a, termasuk didalamnya pemberitahuan kurang jumlah-jumlah barang yang dikemas lebih dari 10% kurangnya, tidak menyelesaikan pemberitahuan umum atau bukti pindah kapal dari barang-barang yang dibongkar dalam daerah Pabean, sebelum berangkat keluar dari daerah Pabean pada tuntutan pertama tidak menunjukkan barang-barang yang menurut bukti pindah kapal yang bertujuan keluar dari daerah Pabean, memberi keterangan palsu tentang pemuatan yang masih tinggal dalam kapal, mempunyai kekurangan atas banyaknya bekal kapal yang diberitahukan, menurut pertimbangan melebihi pemakaian dikapal sejak pemberitahuan itu.

c. Memuat barang-barang tanpa dokumen yang disebut dalam tarif bea keluar.

2. Selanjutnya dapat dipidana barang siapa dengan sengaja atau bersalah karena kelalaian:

a. Tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perlindungan pengangkutan, kecuali ketentuan-ketentuan yang dibuat berdasarkan ayat kedua pasal 3…..maka ketiga hal dimaksud terakhir barang siapa yang melakukan atau atas nama siapa dilakukan pemberitahuan yang menyebabkan pemberian jangka waktu ini, dianggap sebagai pelanggar.

b. Merintangi, mempersulit atau tidak memungkinkan pemeriksaan atau pekerjaan lain-lain yang boleh atau harus dijalankan pegawai-pegawainya.

c. Memberitahukan salah tentang jumlah, jenis atau harga barang-barang dalam pemberitahuan impor……….

d. Merusak materai atau timah atau membuat perobahan-perobahan atau tambahan didalam dokumen….59

58

Departemen Kehakiman RI, Laporan Detik-Detik Ekonomi dan Latar Belakang

Permasalahannya (Jakarta, BPHN), hal. 11.

59

(52)

Sedangkan pada Pasal 26 Ordonansi Bea ini terdapat mengenai sanksi denda yang diberikan bagi pelanggar ketentuan yang terdapat pada Pasal 25 tersebut diatas. Dengan demikian, pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dengan sendirinya menjadi suatu delik ekonomi. Akibat yuridis dari ketentuan ini adalah bahwa semua ketentuan-ketentuan khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi tersebut juga berlaku bagi delik Penyelundupan (delik yang melanggar Ordonansi Bea).

Ketentuan tersebut antara lain mengenai sanksi pidana didalam Ordonansi Bea menjadi larut dan tidak berlaku lagi, dihisap oleh ketentuan mengenai sanksi pidana dan tindakan tata tertib yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Misalnya pasal itu disebut dalam Pasal 21 KUHAP sebagai delik yang pelakunya dapat ditahan, padahal pasal tersebut tidak ada artinya lagi. Khusus untuk Pasal 26b perumusan delik yang tercantum disitu masih tetap berlaku, hanya ancaman pidananya yang dicabut disitu tidak berlaku lagi. Tetapi ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi dan pasal 1 dan 2 Undang-Undang-Undang-Undang nomor 21 (Prp) tahun 1959-lah yang berlaku ditambah dengan kemungkinan penjatuhan tindak pidana tertib dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi.60

2. Undang-Undang Drt nomor 7 tahun 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

Sesuai dengan ruang lingkup masalah dalam tesis ini, yang dibahas adalah mengenai Tindak Pidana Ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang drt no. 7 tahun 1995 dan selanjutnya dari sekian banyak Tindak Pidana Ekonomi yang akan

60

(53)

dibahas adalah tentang Tindak Pidana Penyelundupan mengingat masalah penyelundupan merupakan masalah yang penting untuk dicarikan solusi hukum untuk penegakannya.

Undang no. 7 drt tahun 1995 sejak dilahirkan melalui Undang-Undang Darurat no. 7 tahun 1995 hingga sah berlaku sebagai Undang-Undang-Undang-Undang melalui Undang-Undang no. 1 tahun 1961, telah banyak mengalami perubahan-perubahan baik mengenai sanksi pidananya maupun mengenai materilnya sendiri. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan pada waktu itu, yaitu disesuaikan dengan politik pemerintah dibidang perekonomian.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, maka sanksi Tindak Pidana Penyelundupan mengikuti sanksi yang berlaku bagi tindak pidana ekonomi. Dengan berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU drt. no. 7 tahun 1995) maka sanksi tindak pidana ekonomi menjadi lebih berat dari sanksi-sanksi pidana RO, karena dalam RO sebelum berlakunya UUTPE, yang selama-lamanya 2 tahun atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah; sesuai dengan berlakunya UU TPE, menjadi tahun denda tiga puluh juta rupiah sesudah mengalami perubahan. Perlu juga ditegaskan disini bahwa ancaman pidana yang tercantum dalam Rechten Ordonantie itu telah hilang lenyap dihisap oleh Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU drt no. 7 tahun 1995).61

61

(54)

Adapun sanksi tindak pidana ekonomi tersebut dimuat dalam Bab II UUTPE, yaitu berupa Hukuman Pidana dan Tindakan Tata Tertib. Sedangkan tindakan tata tertib sendiri dapat bersifat tetap (berdasarkan putusan hakim) dan dapat bersifat sementara, yang dikenakan pada waktu pemeriksaan pendahuluan (sebelum pemeriksaan dimuka pengadilan) oleh jaksa maupun hakim.

Terhadap hukuman pidana tindak pidana ekonomi sama dengan yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, hanya saja di dalam UUTPE terdapat lebih banyak hukuman tambahan dibandingkan dengan yang tercantum di dalam KUHP, yaitu berdasarkan Pasal 7 UUTPE :

(1). Hukuman tambahan adalah:

a. Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 KUHP untuk waktu sekurang-kurangnya 6 bulan dan selama-lamanya 6 tahun.

b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terpidana di mana tindak pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selama-lamanya 1 tahun.

c. Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana ekonomi itu, begitu pula harga barang lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan.

d. Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud, yang termasuk perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, begitu pula harga lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang-barang-barang itu sejenis dan, mengenai tindak pidananya, bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c di atas.

e. Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubung dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan kewirausahaan, tidak dapat dipungkiri bahwa jika guru ingin siswa-siswi mereka memiliki intensi berwirausaha yang kuat, maka guru juga perlu untuk

Faktor-faktor yang menyebabkan pengusaha melakukan perebutan pesisir dalam Pembangunan Center Poin Of Indonesia di Kota Makassar ada dua faktor yakni, Pertama,

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta dan di Posyandu Lansia Abadi IV tentang pengaruh brain gym

Suatu perbuatan yang memang diinginkan karena seseorang senang melakukannya. Minat datang dari dalam diri orang itu sendiri dan orang itu senang melakukan perbuatan itu.

sebagai cemilan khas Samarinda dan bahkan Kalimantan Timur adalah Amplang/ Kuku Macan. Oleh sebab itu keripik Sulis lebih menspesifikan diri.. menjadi cemilan yang

Wayang ritual Mbah Gandrung adalah wayang yang terbuat dari kayu cendana dan berasal dari desa Pagung, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Berkembang di tengah penduduk

Hal ini menunjukkan bahwa indikator iklan (advertising) tersebut dalam pelaksanaannya masih dianggap ragu- ragu oleh responden. b) Indikator hubungan masyarakat (public

Hasil uji hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi sederhana didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap gaya