GAMBARAN PENGGUNAAN BAHAN PADA PERAWATAN
LUKA DI RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH
PEMATANGSIANTAR
SKRIPSI
MEIDINA SINAGA
081101044
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Gambaran Penggunaan Bahan pada Perawatan Luka di RSUD Dr. Djasamen
Saragih Pematangsiantar ” untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar
kesarjanaan pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan pemikiran yang sangat berharga
bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp. KMB, CWCC selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, dan
ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Ikhsanuddin Harahap, S.Kp, MNS selaku penguji I dan Bapak Asrizal,
S.Kep, Ns, WOC(ET)N selaku penguji II yang telah memberikan masukan yang
berharga dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Asrizal, S.Kep, Ns, WOC(ET)N, Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes, dan
Ibu Sukarni, S.Kep, Ns, CWCS yang telah bersedia memvalidasi instrumen
5. Ibu Allen dan Ibu Endang yang telah memberikan izin penelitian dan juga
seluruh perawat di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dan RSUD.
dr. Pirngadi Medan yang telah bersedia berpartisipasi menjadi responden
selama proses penelitian berlangsung.
6. Teristimewa penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
orangtua tercinta Bapak S. Sinaga dan Ibu R. Pasaribu, Abang Anri Sinaga dan
Adikku Riski Sinaga yang telah memberikan dukungan moril, materil, doa, dan
segala yang terbaik untuk penulis.
7. Teman-teman stambuk 2008 Fakultas Keperawatan USU yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, khususnya untuk sahabat-sahabat terbaikku Ira, Septa,
Juli, dan Gita yang menjadi tempat untuk berbagi keluh kesah, memberikan
semangat, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
8. Kak Yunita dan Ibu Damaris Gultom yang telah membantu dan memberi
masukan selama proses penelitian.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mencurahkan berkat dan kasih
karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan
penulis skripsi bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi
keperawatan.
Medan, Juli 2012
DAFTAR ISI
1.3Proses Fisiologi Penyembuhan Luka ... 8
1.4Faktor-Faktor Penyebab Terambatnya Penyembuhan Luka ... 10
1.5Komplikasi Penyembuhan Luka ... 11
2. Perawatan Luka... 12
2.1Pengertian Perawatan Luka... 12
2.2Bahan-Bahan yang digunakan pada Perawatan Luka ... 12
2.3Pengunaan Bahan pada Berbagai Jenis Luka ... 20
Bab 3. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Konsep... 26
2. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 27
Bab 5. Hasil dan Pembahasan ... ... 35
1. Hasil Penelitian ... 35
2. Pembahasan………. 37
Bab 6. Kesimpulan dan Saran ... 43
1. Kesimpulan ... 43
2. Saran ... 43
Daftar Pustaka ... 46
Lampiran 1. Formulir Persetujuan Peserta Penelitian ... 49
2. Jadwal Tentatif Penelitian ... 50
3. Taksasi Dana ... 51
4. Instrumen Penelitian ... 52
5. Surat izin Penelitian dari Fakultas Keperawatan USU……….. 54
6. Surat Keterangan Pengambilan data dari RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar... 55
7 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar ... 56
8 Hasil Uji Validitas Instrumen ... 57
9. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 58
10. Hasil Analisa Data ... 59
11 Hasil Analisa Data Responden ... 63
DAFTAR SKEMA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Defenisi Operasional Variabel Penelitian……… 27
Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penggunaan Bahan-Bahan pada
Judul : Gambaran Penggunaan Bahan pada Perawatan Luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
Nama Mahasiswa : Meidina Sinaga
NIM : 081101044
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun Akademik : 2012
Abstrak
Metode perawatan luka berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini ditandai dengan munculnya bahan-bahan perawatan luka modern yang telah dirancang sesuai dengan karakteristik luka, sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi secara maksimal. Di Indonesia, penerapan metode perawatan luka modern masih minim. Pelayanan kesehatan cenderung menggunakan metode perawatan luka konvensional. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan bahan pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang perawat yang dipilih melalui metode purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pengambilan data dilakukan pada Februari hingga Maret 2012. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan perawatan
luka di RSUD Dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar seluruhnya (100.00%) tidak
sesuai dengan karakteristik luka. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan agar perawat menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan karakteristik luka pasien.
Judul : Description Usage of The Material Wound Care In General Hospital Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
Name : Meidina Sinaga
NIM : 081101044
Departement : Bachelor of Nursing (S.Kep)
Academic Year : 2012
Abstract
Wound care methods evolve with developments in science and technology. It is characterized by the emergenc of the material of modern wound care has been designed in accordance with the characteristics of the wound, so that the wound healing process can occur to the fullest. In Indonesia, the application of modern methods of wound care is minimal. Health care services tend to use conventional methods of wound care. This descriptive study aimed to identify the use of materials on wound care in RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. The number of samples in this study were 30 nurses selected through purposive sampling method. Data collection techniques using questionnaires. Data is collected in February and March 2012. The results are presented in the form of a frequency distribution table. The results of this study showed that the use of wound care materials in RSUD Dr Djasamen Saragih Pematangsiantar entirely (100.00%) did not match the characteristics of the wound. The results of this study can be used as input to the wound care nurse to use materials that match with characteristics of wound.
Judul : Gambaran Penggunaan Bahan pada Perawatan Luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
Nama Mahasiswa : Meidina Sinaga
NIM : 081101044
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun Akademik : 2012
Abstrak
Metode perawatan luka berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini ditandai dengan munculnya bahan-bahan perawatan luka modern yang telah dirancang sesuai dengan karakteristik luka, sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi secara maksimal. Di Indonesia, penerapan metode perawatan luka modern masih minim. Pelayanan kesehatan cenderung menggunakan metode perawatan luka konvensional. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan bahan pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang perawat yang dipilih melalui metode purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pengambilan data dilakukan pada Februari hingga Maret 2012. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan perawatan
luka di RSUD Dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar seluruhnya (100.00%) tidak
sesuai dengan karakteristik luka. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan agar perawat menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan karakteristik luka pasien.
Judul : Description Usage of The Material Wound Care In General Hospital Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
Name : Meidina Sinaga
NIM : 081101044
Departement : Bachelor of Nursing (S.Kep)
Academic Year : 2012
Abstract
Wound care methods evolve with developments in science and technology. It is characterized by the emergenc of the material of modern wound care has been designed in accordance with the characteristics of the wound, so that the wound healing process can occur to the fullest. In Indonesia, the application of modern methods of wound care is minimal. Health care services tend to use conventional methods of wound care. This descriptive study aimed to identify the use of materials on wound care in RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. The number of samples in this study were 30 nurses selected through purposive sampling method. Data collection techniques using questionnaires. Data is collected in February and March 2012. The results are presented in the form of a frequency distribution table. The results of this study showed that the use of wound care materials in RSUD Dr Djasamen Saragih Pematangsiantar entirely (100.00%) did not match the characteristics of the wound. The results of this study can be used as input to the wound care nurse to use materials that match with characteristics of wound.
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut
maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan
prevalensi pasien dengan luka adalah 3.50 per 1000 populasi penduduk. Mayoritas
luka pada penduduk dunia adalah luka karena pembedahan/trauma (48.00%),
ulkus kaki (28.00%), luka dekubitus (21.00%). Pada tahun 2009, MedMarket
Diligence, sebuah asosiasi luka di Amerika melakukan penelitian tentang insiden
luka di dunia berdasarkan etiologi penyakit. Diperoleh data untuk luka bedah ada
110.30 juta kasus, luka trauma 1.60 juta kasus,luka lecet ada 20.40 juta kasus,
luka bakar 10 juta kasus, ulkus dekubitus 8.50 juta kasus, ulkus vena 12.50 juta
kasus, ulkus diabetik 13.50 juta kasus, amputasi 0.20 juta pertahun, karsinoma
0.60 juta pertahun, melanoma 0.10 juta, komplikasi kanker kulit ada sebanyak
0.10 juta kasus (Diligence, 2009).
Berdasarkan tingkat keparahan luka, luka di bagi atas luka akut dan luka
kronik. Luka akut dan kronik beresiko terkena infeksi. Luka akut memiliki
serangan yang cepat dan penyembuhannya dapat diprediksi (Lazarus,et al., 1994).
Contoh luka akut adalah luka jahit karena pembedahan, luka trauma dan luka
lecet. Di Indonesia angka infeksi untuk luka bedah mencapai 2.30 sampai dengan
Pada luka kronik, waktu penyembuhannya tidak dapat diprediksi dan
dikatakan sembuh jika fungsi dan struktural kulit telah utuh. Jenis luka kronik
yang paling banyak adalah luka dekubitus, luka diabetikum, luka kanker. Jumlah
penderita luka kronik setiap tahun semakin meningkat. Prevalensi penderita ulkus
diabetika di Indonesia sekitar 15.00%, angka amputasi 30.00%, angka kematian
32.00% dan ulkus diabetika merupakan sebab perawatan rumah sakit terbanyak
sebesar 80.00% untuk diabetes mellitus. Angka kematian dan angka amputasi
masih cukup tinggi, masing-masing sebesar 32.50% dan 23.50% (Hastuti, 2008)
Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat
luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa
jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma, fraktur, luka operasi yang
dapat merusak permukaan kulit. Serangkaian kegiatan tersebut meliputi
pembersihan luka, memasang balutan, mengganti balutan, pengisian (packing)
luka, memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi
membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase,
pemasangan perban (Bryant, 2007).
Luka akut dan kronis membutuhkan perawatan. Perawatan luka akut dan
kronis sangat berbeda. Pada luka kronik prioritas perawatan luka adalah
mengeluarkan benda asing yang dapat bertindak sebagai fokus infeksi;
melepaskan jaringan yang mengalami devitalisasi, krusta yang tebal, pus,
epitelisasi. Seringkali hal ini memerlukan bahan perawatan luka yang harus
disesuaikan dengan karakteristik luka klien.
Pada awalnya para ahli berpendapat bahwa penyembuhan luka akan sangat
baik bila luka dibiarkan tetap kering . Mereka berpikir bahwa infeksi bakteri dapat
dicegah apabila seluruh cairan yang keluar dari luka terserap oleh pembalutnya.
Akibatnya sebagian besar luka dibalut oleh bahan kapas pada kondisi kering.
Namun ternyata pada tahun 1962 hasil penelitian yang dilakukan oleh Professor
G.D Winter yang dipublikasikan dalam jurnal Nature tentang keadaan lingkungan
yang optimal untuk penyembuhan luka menjadi dasar diketahuinya konsep “Moist
Wound Healing”. ”Moist Wound Healing” adalah metode untuk mempertahankan
kelembaban luka dengan menggunakan balutan penahan kelembaban, sehingga
penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami.
Munculnya konsep “Moist Wound Healing” disertai dengan teknologi yang
mendukung, hal tersebut menjadi dasar munculnya pembalut luka modern.
(Mutiara, 2009).
Sebuah penelitian di Departemen Kulit, Rumah Sakit Militer Wroclaw,
Polandia tahun 2009 yang dilakukan pada 30 orang klien penderita ulkus vena (16
perempuan, 14 laki-laki, rata-rata umur 68 ± 10 hari). Pada awalnya ketigapuluh
klien ini dirawat dengan menggunakan kasa dan salin normal, tetapi selama 4
minggu perawatan tidak ada dampak penyembuhan yang positif, kemudian
peneliti mengganti metode perawatan dengan menggunakan bahan balutan
vena mencapai 40.00% dengan pengurangan luas luka mencapai 53.00%,
pengurangan cairan eksudat mencapai 66.00% dan pengurangan nyeri mencapai
96.00% dengan lama waktu penyembuhan 12 minggu (Katarzyna, 2009).
Dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan dan pemilihan
produk-produk perawatan luka kurang sesuai sangat sering ditemukan. Penggunaan dan
pemilihan produk-produk perawatan luka kurang sesuai akan menyebabkan proses
inflamasi yang memanjang dan kurangnya suplai oksigen di tempat luka. Hal-hal
tersebut akan memperpanjang waktu penyembuhan luka. Luka yang lama sembuh
disertai dengan penurunan daya tahan tubuh pasien membuat luka semakin rentan
untuk terpajan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi (Morrison, 2004).
Munculnya infeksi akan memperpanjang lama hari rawat. Hari rawat yang lebih
lama akan meningkatkan risiko pasien terkena komplikasi penyakit lain seperti
seperti hiponatremi, hipotensi, pendarahan saluran pencernaan bagian atas, diare
dan gagal ginjal kronik. Hari rawat yang lama juga akan menambah biaya
perawatan dan perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh luka yang dialami
pasien (Allman, 2009).
Berdasarkan data indikator mutu pelayanan, yang diperoleh dari RSUD. Dr.
Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2011 (periode April sampai September)
terdapat angka kejadian dekubitus 0.00%, infeksi luka infus sebesar 1,11%,
infeksi luka operasi sebesar 0.30 %. Dari data yang diperoleh, terdapat sebuah
ruangan yaitu ruang C1 yang memiliki tingkat infeksi tertinggi yaitu untuk luka
tinggi sebagai indikator kejadian infeksi paska operasi memiliki standar
maksimal 1.50% (Kuntjoro, 2007).
Salah satu penyebab tingginya angka infeksi tersebut dapat terjadi akibat
penggunaan bahan-bahan perawatan luka yang tidak sesuai dengan karakteristik
luka. Berdasarkan alasan diatas peneliti ingin mengidentifikasi penggunaan bahan
dalam perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.
2. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana penggunaan bahan-bahan perawatan luka di RSUD Dr.
Djasamen Saragih Pematangsiantar ?
3. Tujuan penelitian
Mengidentifikasi penggunaan bahan pada perawatan luka di RSUD Dr.
Djasamen Saragih Pematangsiantar.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Manajemen Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak
Manajemen RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar untuk menerapkan
metode perawatan luka modern pada Standar Operasional Prosedur (SOP)
perawatan luka dengan menyediakan bahan balutan oklusif dan membuat suatu
4.2 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang dapat memberikan
penjelasan mengenai kondisi perawatan luka di sebagian rumah sakit, dan dapat
menjadi informasi penggunaan bahan perawatan luka yang sesuai dengan
karakteristik luka.
4.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi informasi tambahan bagi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.Luka
1.1 Pengertian
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ
tertentu (Lazarus,et al., 1994 dalam Potter & Perry, 2006). Luka adalah kerusakan
kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh yang lain.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul seperti hilangnya seluruh atau
sebagian fungsi organ, respon stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah,
kontaminasi bakteri, dan kematian sel (Kozier, 1995).
1.2. Jenis Luka
Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu:
a. Luka Akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan
dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria
luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu
b. Luka Kronik
Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka gagal
sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan
punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus
vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus, neuropati
perifer ulkus dekubitus (Briant, 2007).
1.3 Proses Fisiologis Penyembuhan Luka
Proses fisiologis Penyembuhan Luka dapat dibagi ke dalam 4 fase utama, yaitu:
a. Hemostasis
Hemostatis : Pada fase ini terjadi peningkatan perlekatan platelet. Platelet
akan bekerja untuk menutup kerusakan pembuluh darah. Jaringan yang rusak akan
merangsang adenosin diphosphat (ADP) membentuk platelet. Platelet yang
dibentuk berfungsi untuk merekatkan kolagen dan mensekresi faktor yang
merangsang pembekuan darah. Pembekuan darah diawali dengan produksi
trombin yang akan membentuk fibrin dari fibrinogen. Hubungan fibrin diperkuat
oleh agregasi platelet menjadi hemostatik yang stabil. Platelet juga mensekresi
platelet yang terkait dengan faktor pertumbuhan jaringan (platelet-associated
growth factor). Hemostatis terjadi dalam waktu beberapa menit setelah injuri
b. Inflamasi
Pada proses penyembuhan ini biasanya terjadi proses pembersihan debris.
Respon jaringan yang rusak : jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan
plasma dan polimorfonuklear ke sekitar jaringan. Neutropil memfagositosis
mikroorganisme dan berperan sebagai pertahanan awal terhadap infeksi. Jaringan
yang rusak juga akan menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling
yang masih utuh serta meningkatkan penyediaan darah ke daerah tersebut,
sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler darah
meningkat dan cairan yang kaya akan protein mengalir kedalam spasium
intertisial, menyebabkan edema lokal dan mungkin hilangnya fungsi di atas sendi
tersebut. Makrofag mengadakan migrasi ke luar dari kapiler dan masuk ke dalam
darah yang rusak sebagai reaksi terhadap agens kemotaktik yang dipacu oleh
adanya cedera. Makrofag mampu memfagosit bakteri. Makrofag juga mensekresi
faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibrobalas (FGF), faktor
pertumbuhan epidermal (EGF), faktor pertumbuhan beta trasformasi (tgf) dan
interleukin-1 (IL-1).
c. Fase Proliferasi
Fibroblas meletakkan subtansi dasar dan serabut-serabut kolagen serta
pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen diletakkan, maka
terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka. Kapiler-kapiler
dibentuk oleh tunas endothelial, suatu proses yang disebut angiogenesis. Bekuan
enzim yang diperlukan. Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang. Jaringan yang
dibentuk dari gelung kapiler baru, yang menopang kolagen dan subtansi dasar,
disebut jaringan granulasi karena penampakannya yang granuler dan warnanya
merah terang. Fase ini berlangsung selama 3-24 hari.
d. Maturasi (Remodelling)
Pada tahap maturasi terjadi proses epitelisasi, kontraksi dan reorganisasi
jaringan ikat. Setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada
pinggir luka dan sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea dan glandula
sudorivera membelah dan mulai bermigrasi diatas jaringan glandula baru. Karena
jaringan tersebut hanya dapat bergerak diatas jaringan yang hidup, maka mereka
hidup dibawah eskar atau dermis yang mengering. Apabila jaringan tersebut
bertemu dengan sel-sel epitel lain, yang juga mengalami migrasi, maka mitosis
berhenti, akibat inhibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan karena miofibroblas
kontraktil membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penurunan
progresif alam vaskularitas jaringan parut, yang berubah dalam penampilannya
dari merah kehitaman menjadi putih. Serabut- serabut kolagen mengadakan
reorganisasi dan kekuatan regangan meningkat (O’Leary, 2007).
1.4 Faktor-Faktor yang dapat Penghambat Penyembuhan Luka
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, ada banyak
faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, yaitu (Morrison, 2004):
a. Faktor intrinsik
Faktor intrinstik meliputi faktor- faktor patofisiologi umum (misalnya,
penurunan daya tahan terhadap infeksi) dan faktor fisiologi normal yang berkaitan
dengan usia dan kondisi lokal yang merugikan pada tempat luka (misalnya,
eksudat yang berlebihan, dehidrasi, infeksi luka, trauma kambuhan, penurunan
suhu luka, pasokan darah yang buruk, edema, hipoksia lokal, jaringan nekrotik,
pengelupasan jaringan yang luas, produk metabolik yang berlebihan, dan benda
asing).
b. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik meliputi penatalaksanaan luka yang tidak tepat (misalnya,
pengkajian luka yang tidak tepat, penggunaan bahan perawatan luka primer yang
tidak sesuai, dan teknik penggantian balutan yang ceroboh).
1.5 Komplikasi Penyembuhan Luka
Menurut Potter & Perry (2006) komplikasi penyembuhan luka meliputi :
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan
atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2-7 hari setelah
pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulen, peningkatan
drainase, nyeri, kemerahan, bengkak disekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Dehisen
Dehisen adalah terpisahnya lapisan luka secara parsial atau total. Dehisen
sering terjadi pada luka pembedahan abdomen dan terjadi setelah regangan
c. Eviserasi
Terpisahnya lapisan luka secara total dapat menimbulkan eviserasi
(keluarnya organ viseral melalui luka yang terbuka). Bila terjadi evisersasi,
perawat meletakkan handuk steril yang dibasahi dengan salin normal steril di atas
jaringan yang keluar untuk mencegah masuknya bakteri dan kekeringan pada
jaringan tersebut.
d. Fistul
Fistul adalah saluran abnormal yang berada diantara dua buah organ atau
diantara organ dan bagian luar tubuh.
2. Perawatan Luka
2.1 Pengertian
Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat
luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa
atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit.
Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan luka, memasang balutan,
mengganti balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan
pemberian rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit dan daerah drainase,
irigasi, pembuangan drainase, pemasangan perban (Briant, 2007).
2.2 Bahan-bahan pada Perawatan Luka
Perawatan luka menggunakan berbagai bahan perawatan antara lain balutan,
a. Pembalut luka
Pembalutan luka bertujuan untuk mengabsorsi eksudat dan melindungi luka
dari kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus disesuaikan dengan
karakteristik luka.
Jenis-jenis balutan antara lain :
1. Balutan kering
Luka-luka dengan kulit yang masih utuh atau tepi kulit yang dipertautkan
mempunyai permukaan yang kering sehingga balutan tidak akan melekat, maka
pada keadaan seperti ini paling sering digunakan kasa dengan jala-jala yang lebar,
kasa ini akan melindungi luka dan memungkinkan sirkulasi udara yang baik
melalui balutan. Dengan demikian uap lembab dari kulit dapat menguap dan
balutan tetap kering (Schrock, 1995).
2. Balutan basah kering
Balutan kasa terbuat dari tenunan dan serat non tenunan, rayon, poliester, atau
kombinasi dari serat lainnya. Kasa dari kapas digunakan sebagai pembalut
pertama dan kedua, kasa tersedia sebagai pembalut luka, spons, pembalut
melingkar dan kaus kaki. Berbagai produk tenunan ada yang kasar dan berlubang,
tergantung pada benangnya. Kasa berlubang yang baik sering digunakan untuk
membungkus, seperti balutan basah lembab normal salin. Kasa katun kasar,
seperti balutan basah lembab normal salin, digunakan untuk debridemen non
selektif (mengangkat debris atau jaringan yang mati).
3. Balutan modern
Kemajuan ilmu pengetahuan dalam perawatan luka telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas dari dukungan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu tersebut
dapat dilihat dari banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk bahan
pembalut luka modern. Bahan pembalut luka modern adalah produk pembalut
hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembapan disekitar luka. Bahan
balutan luka modern ini di disesuaikan dengan jenis luka dan eksudat yang
menyertainya.
Jenis-jenis balutan luka yang mampu mempertahankan kelembaban antara lain
(Briant, 2007) :
a. Alginat
Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat dan kualitasnya
bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk bahan regenerasi pembuluh darah,
kulit, tulang rawan, ikatan sendi dan sebagainya. Apabila pembalut luka dari
alginat kontak dengan luka, maka akan terjadi infeksi dengan eksudat,
menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini bersifat hidrofilik, dapat ditembus
oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan jaringan
baru. Selain itu bahan yang berasal dari alginat memiliki daya absorpsi tinggi,
dapat menutup luka, menjaga keseimbangan lembab disekitar luka, mudah
digunakan, bersifat elastis. antibakteri, dan nontoksik.
Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan balutan sekunder seperti
menyerap eksudat, memberi kelembaban, dan melindungi kulit di sekitarnya agar
tidak mudah rusak. Untuk memperoleh hasil yang optimal balutan ini harus
diganti sekali sehari. Balutan ini dindikasi untuk luka superfisial dengan eksudat
sedang sampai banyak dan untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai
banyak sedangkan kontraindikasinya adalah tidak dinjurkan untuk membalut luka
pada luka bakar derajat III.
b. Hidrogel
Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat kasa, atau jel) yang
tidak berperekat yang mengandung polimer hidrofil berikatan silang yang dapat
menyerap air dalam volume yang cukup besar tanpa merusak kekompakkan atau
struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin pada luka, yang akan
meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel diletakkan langsung diatas permukaan
luka, dan biasanya dibalut dengan balutan sekunder (foam atau kasa) untuk
mempertahankan kelembaban sesuai level yang dibutuhkan untuk mendukung
penyembuhan luka. Indikasi balutan ini adalah digunakan pada jenis luka dengan
cairan yang sedikit sedangkan kontraindikasinya adalah luka yang banyak
mengeluarkan cairan
c. Foam Silikon Lunak
Balutan jenis ini menggunakan bahan silikon yang direkatkan, pada
permukaan yang kontak dengan luka. Silikon membantu mencegah balutan foam
Hasilnya menghindarkan luka dari trauma akibat balutan saat mengganti balutan,
dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka silikon lunak ini dirancang
untuk luka dengan drainase dan luas.
d. Hidrokoloid
Balutan hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang elastis dan merekat
yang mengandung jell seperti pektin atau gelatin dan bahan-bahan absorben atau
penyerap lainnya. Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel, semipoliuretan
padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang atau membentuk
jel karena menyerap cairan luka. Bila dikenakan pada luka, drainase dari luka
berinteraksi dengan komponen-komponen dari balutan untuk membentuk seperti
jel yang menciptakan lingkungan yang lembab yang dapat merangsang
pertumbuhan jaringan sel untuk penyembuhan luka. Balutan hidrokoloid ada
dalam bermacam bentuk, ukuran, dan ketebalan. Balutan hidrokoloid digunakan
pada luka dengan jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini biasanya
diganti satu kali selama 5-7 hari, tergantung pada metode aplikasinya, lokasi luka,
derajat paparan kerutan-kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia.
Balutan ini diindikasi kan pada luka pada kaki, luka bernanah, sedangkan
kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan pada luka yang terinfeksi.
e. Hidrofiber
Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan tenunan atau
balutan pita yang terbuat dari serat sodium carboxymethylcellusole, beberapa
bahan penyerap sama dengan yang digunakan pada balutan hidrokoloid.
membentuk jel yang lunak yang sangat mudah dieliminasi dari permukaan luka.
Hidrofiber digunakan pada luka dengan drainase yang sedang atau banyak, dan
luka yang dalam dan membutuhkan balutan sekunder. Hidrofiber dapat juga
digunakan pada luka yang kering sepanjang kelembaban balutan tetap
dipertahankan (dengan menambahkan larutan normal salin). Balutan hidrofiber
dapat dipakai selama 7 hari, tergantung pada jumlah drainase pada luka (Briant,
2007).
b. Larutan pembersih
Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk
membersihkan luka dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk
memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cedera pada jaringan luka
(AHPCR, 1994). Tujuan pembersih luka adalah untuk menegeluarkan debris
organik maupun anorganik sebelum menggunakan balutan untuk mempertahankan
lingkungan yang optimum pada tempat luka untuk proses penyembuhan. Adanya
debris yang terus menerus, termasuk benda asing, jaringan lunak yang mengalami
devitalisasi, krusta, dan jaringan nekrotik dapat memperlambat penyembuhan dan
menjadi fokus infeksi. Membersihkan luka dengan lembut tetapi mantap akan
membuang kontaminan yang mungkin akan menjadi sumber infeksi.
Menurut pedoman AHCPR 1994, cairan pembersih yang dianjurkan adalah
Sodium klorida. Normal salin aman digunakan pada kondisi apapun
(Lilley&Aucker, 1999). Sodium klorida atau natrium klorida tersusun atas Na dan
(Henderson, 1992). Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang
paling sering adalah sodium klorida 0,90 %. Ini adalah konsentrasi normal dari
sodium klorida dan untuk alasan ini Sodium Klorida disebut juga salin normal
(Lilley& Aucker, 1999). Normal salin merupakan larutan isotonis yang aman
untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering,
menjaga kelembapan disekitar luka, membantu luka menjalani proses
penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah (Bryant, 2007).
c. Agen topikal
Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik adalah
bahan-kimia yang dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup untuk menghambat dan
membunuh mikroorganisme (baik yang bersifat sementara maupun yang tinggal
menetap pada luka) dengan demikian akan mengurangi jumlah total bakteri yang
ada pada luka.
Pada perawatan luka modern, pemakaian antiseptik yang diperkenalkan oleh
Lister, seperti povidone-iodine, hypoclorite, asam asetat tidak digunakan lagi
pada luka-luka terbuka dan luka bersih seperti luka bedah (akut) dan luka-luka
kronik. Pemakaian povidone iodine hanya digunakan pada luka-luka akut maupun
kronik yang dapat menunjukkan kesembuhan (healable wound), luka yang
mengalami infeksi. Povidone iodine juga digunakan untuk mensterilkan alat dan
permukaan kulit yang utuh yang akan dioperasi. Sehingga, untuk mencegah
kerusakan jaringan baru pada luka, WHO menyarankan agar tidak lagi
menggunakan antiseptik pada luka bersih, tetapi menggunakan normal salin
Agen topikal golongan antibiotik yang sering digunakan adalah bacitracin,
silver sulfadiazine, neomysin, polymyxin. Pemberian antibakteri diindikasikan
pada luka yang memiliki tanda-tanda infeksi (Moon, 2003).
d. Balutan sekunder (Secondary dressing)
Balutan sekunder adalah bahan perawatan luka yang memberikan efek
terapi atau berfungsi melindungi, megamankan dan menutupi balutan primer.
Jenis-jenis balutan sekunder antara lain:
a. Pita perekat (adhesive tape)
Beberapa pita perekat yang sering digunakan dalam perawatan luka antara
lain (Knottenbelt, 2003) :
1. Plester cokelat terdiri dari bahan tenunan katun sewarna kulit dengan perekat
Zinc oksida berpori dengan daya lekat kuat namun tidak sakit saat dilepas.
Plester ini diindikasikan untuk plester serbaguna, retensi bantalan penutup luka,
fiksasi infus.
2. Plester luka Non Woven, terbuat dari bahan akrilik yang hipoalergenik. Kertas
pelindung terbuat dari silikon bergaris dan memiliki crack back, yang
memudahkan pemakaian (teknik asepsis), mengikuti lekuk tubuh, perlindungan
menyeluruh untuk mencegah kontaminasi. Plester ini memiliki daya lekat
optimal (tidak terlalu lengkat dikulit namun tidak mudah lepas). Plester ini
diindikasikan untuk retensi bantalan penutup luka, fiksasi infus. Contoh :
b. Balutan Perekat (Adhesive Dressing)
Contohnya : Perekat Alginat, perekat hidrokoloid, transparent film.
c. Perban
Contohnya: Balutan tubular, balutan kompresi tinggi.
e. Semprotan perekat
Semprotan perekat merupakaan cara lain untuk mempertahankan balutan
agar tetap pada tempatnya. Beberapa lapis kasa diletakkan langsung pada luka,
kemudian balutan dipenuhi dengan semprotan perekat, dan setelah mengering,
kelebihan kasa digunting. Jenis ini disemprotkan langsung pada luka yang akan
segera mengering dan memberikan perlindungan yang baik (Morrison, 2004).
2.3 Penggunaan Bahan pada Berbagai Luka
a. Perawatan luka berdasarkan karakteristik luka
1 Perawatan luka yang memiliki jaringan nekrotik
Jaringan nekrotik sering dijumpai pada luka kronis seperti ulkus iskemi,
ulkus neuropatik, ulkus vena, dan ulkus dekubitus. Debridemen adalah
pengangkatan jaringan yang sudah mengalami nekrosis yang bertujuan untuk
menyokong pemulihan luka. Indikasi debridemen adalah luka akut atau kronik
dengan jaringan nekrosis, luka terinfeksi dengan jaringan nekrotik. Pemilihan
metode debridemen harus berdasarkan karakteristik jaringan nekrotik yang ada
pada luka klien.
1. Debridemen mekanik, yaitu dengan kompres basah kering (wet to dry),
hidroterapi, dan irigasi luka. Metode debridemen mekanik ini diindikasikan
untuk luka dengan jumlah jaringan nekrotik yang banyak dan luka infeksi.
Dengan demikian pemantauaan untuk daerah yang terkena mudah untuk
dilakukan.
2. Debridemen pembedahan (surgical), yaitu dengan bedah insisi. Metode ini
merupakan cara yang paling cepat untuk membuang jaringan nekrotik dalam
jumlah banyak. Dampak negatif dari debridemen ini adalah peningkatan
resiko pasien terhadap perdarahan, anestesi, dan sepsis. Fakta yang sering
terjadi adalah banyak infeksi yang terjadi setelah operasi terutama pada
orang-orang yang memiliki status kesehatan yang tidak optimal.
3. Debridemen autolisis, yaitu lisisnya jaringan nekrotik dengan sendirinya oleh
enzim badan sel darah putih, yang memasuki daerah luka selama proses
inflamasi. Debridemen autolisis hanya digunakan pada klien yang tidak
terinfeksi dengan jumlah jaringan nekrotik yang terbatas. Debridemen
autolisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan balutan yang dapat
mempertahankan kelembaban seperti hidrokoloid, hidrogel, alginat.
2. Penatalaksanaan luka yang terinfeksi
Kebanyakan luka kronis dikontaminasi oleh mikroorganisme yang sangat
banyak yang tampaknya tidak memperlambat proses penyembuhan.Pada luka
charcoal dressing) sebagai penghilang rasa bau (deodoriser) yang efektif. Jika
terdapat eksudat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, maka balutan busa yang
menyerap dan dilapisi arang (Morrison, 2004).
3. Penatalaksanaan luka dengan banyak eksudat
Sekalipun jaringan nekrotik dan jaringan tampak jelas terinfeksi telah
diangkat dari bidang luka, luka dapat terus menghasilkan eksudat dalam jumlah
banyak yang dapat menembus balutan non-oklusif dan meningkatkan risiko
infeksi luka. Eksudat dapat juga mengikis tepi luka jika jaringan sekitarnya
menjadi terendam air. Volume eksudat berkurang pada waktunya, tetapi sampai
stadium tersebut diperlukan balutan yang bisa menyerap dan tidak melekat.
(Morrison, 2004).
Luka-luka yang bereksudat dibagi ke dalam tiga kategori, tergantung kedalaman
dan tingkat eksudat yang dihasilkan (Morrison, 2004), antara lain :
a. Untuk luka-luka superfisial dengan eksudat sedikit sampai sedang,
pemilihan balutan meliputi: Lembaran hidrokoloid. Lembar balutan ini
tidak memerlukan balutan sekunder dan cukup mudah untuk melihat kapan
balutan tersebut perlu diganti.
b. Untuk luka superfisial dengan eksudat sedang sampai banyak, pilihan
balutan seperti balutan alginat.
c. Untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai banyak, pilihan balutan
meliputi: granula atau pasta hidrokoloid, hidrogel yang bergranulasi
balutan alginat, balutan alginat dalam bentuk pita atau tali sangat berguna
4. Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat
Bila jumlah eksudat sudah berkurang, maka silastic foam merupakan suatu
cara pembalutan yang sangat bermanfaat khususnya pada luka dalam yang bersih
berbentuk cawan, seperti sinus pilonidal yang sudah dieksisi, atau dekubitus luas
didaerah sakrum. Untuk luka yang lebih kecil, pasien atau yang memberi
perawatan, dapat melakukan desinfeksi dua kali sehari dengan foam stent atau
menutup luka tersebut.
b. Perawatan luka berdasarkan etiologinya (Suriadi, 2004)
1. Luka insisi bedah
Lakukan pengkajian kondisi area operasi yang meliputi kondisi balutan,
adanya perdarahan, drain, insisi atau jahitan. Lakukan pembersihan luka dimulai
pada pusat luka ke arah keluar dan secara perlahan-lahan karena luka setelah
operasi terdapat sedikit edema. Gunakan normal salin untuk membersihkan luka.
Hindari penggunaan larutan yang bersifat sitotoksik seperti hydrogen perokside
dan povidone iodine karena dapat merusak jaringan dan memperlambat
penyembuhan luka. Pertahankan kondisi luka tetap bersih dan termasuk
lingkungan tempat tidur pasien. Penggantian balutan tergantung pada kondisi
balutan bersih atau kotor. Bila kondisi balutan kering dan bersih balutan diganti 2
atau 3 hari sekali setelah operasi dan juga tergantung jenis balutan yang
digunakan. Jenis balutan yang disarankan adalah balutan yang dapat
penggantian balutan kering akan menekan permukaan yang mengakibatkan
pertumbuhan jaringan sehat yang terganggu dan menimbulkan rasa nyeri.
2. Ulkus Arteri
Lakukan pengkajian tanda-tanda infeksi, bila keadaan luka kering dan eskar
keras, jangan lakukan debridemen. Hindari terapi (kompresi) karena dapat
menghambat aliran darah. Lakukan balutan dengan teknik steril dan pertahankan
lingkungan dalam keadaan lembab. Gunakan balutan hidrokoloid jika ada untuk
menjaga kelembaban lingkungan luka. Pada saat berbaring posisi kepala
ditinggikan 5 sampai 7 derajat yang bertujuan untuk menyokong sirkulasi daerah
kulit dan ke bagian ekstremitas.
3. Ulkus Vena
Lakukan pengkajian kondisi area luka. Ganti balutan dengan teknik steril.
Bersihkan luka dengan salin normal. Bila terdapat jaringan nekrotik lakukan
debridemen. Lakukan terapi kompresi, yang bertujuan untuk memperlancar aliran
limfatik, reduksi tekanan vena superfisial dan mengurangi aliran balik ke
pembuluh vena yang dalam. Pemberian obat topikal tergantung jumlah eksudat
dan ukuran luka, ada tidaknya infeksi dan karakteristik sekeliling luka. Apabila
menggunakan balutan untuk kelembaban lingkungan dapat menggunakan
hidrokoloid, transparan film, dan foam. Lakukan peninggian posisi pada daerah
kaki, hal yang dapat meningkatkan sensitivitas pada sekeliling luka.; hindari
larutan atimikrobial, hindari bahan yang sifatnya lengket. Prinsip perawatan luka
pada ulkus vena adalah meningkatkan pengisian kembali ke vena, yang akan
4. Neuropati perifer ulkus diabetik
Penggunaan balutan pada neoropatik perifer ulkus diabetik dapat
disesuaikan dengan jumlah eksudat yang dihasilkan oleh luka. Balutan yang
sering digunakan adalah hidrogel. Balutan ini digunakan ketika luka sedang
kering dengan tujuan menghasilkan sedikit cairan untuk melembabkan permukaan
luka. Balutan foam digunakan ketika luka menghasilkan cairan eksudat yang
banyak sampai sedang dan balutan alginat digunakan ketika luka menghasilkan
banyak cairan eksudat.
5. Ulkus Dekubitus
Perawatan luka dekubitus mencakup 3 prinsip : debridemen, pembersihan
dan dressing. Debridemen dilakukan untuk mencegah infeksi yang lebih luas.
Debridemen bertujuan untuk mengangkat jaringan yang sudah mengalami
nekrosis. Pada setiap luka yang akan diganti selalu dibersihkan. Bahan-bahan
yang perlu dihindari untuk membersihkan luka seperti povidone iodine, larutan
sodium hypoclorite. Gunakan normal salin sebagai larutan pembersih luka.
Gunakan balutan hidrokoloid, tetapi jika luka menghasilkan banyak cairan
eksudat (lebih dari 50% balutan primer dalam rentang waktu kurang dari 24 jam
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan
bagaimana seseorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis
beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2009). Kerangka
konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan bahan
perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
2. Definisi Operasional
Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
murni yang bertujuan mengidentifikasi gambaran penggunaan bahan pada
perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.
2. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi
dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruang inap dimana terdapat
pasien yang mengalami luka. Ruang rawat tersebut adalah paviliun A, paviliun B,
paviliun C dan paviliun Anak, ICU, ruang 12, ruang 17, ruang C1, ruang C2,
ruang C3, ruang paviliun kebidanan, ruang nifas, dan poli bedah. Jumlah
keseluruhan perawat pelaksana pada ruang rawat tersebut adalah 167 orang (data
tahun 2010).
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu
juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap dan dianggap bisa
mewakili populasi (Hasan, 2008). Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan cara purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan responden
dengan cara memilih responden di antara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti sehingga responden tersebut dapat mewakili karakteristik
responden yang digunakan adalah kriteria inklusi, yaitu karakteristik responden
yang layak diambil untuk penelitian, antara lain perawat pelaksana di ruang rawat
inap di mana terdapat luka pada pasien, perawat yang bertugas melakukan
perawatan luka dan bersedia menjadi responden penelitian.
Bailey menyatakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisa
statistik, ukuran sampel yang paling minimum adalah 30. Berhubung penelitian
ini akan menggunakan analisa data statistik univariat, maka jumlah sampel pada
penelitian ini adalah 30 orang (Hasan, 2002).
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
dengan alasan tersedianya sampel yang memadai, dan penelitian mengenai
penggunaan bahan pada perawatan luka di rumah sakit tersebut belum pernah
diteliti. Penelitian ini telah dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada Februari
sampai dengan Juni 2012.
4. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan etik yaitu, peneliti meminta
kesediaan calon responden untuk mengikuti penelitian dengan menandatangani
informed concent. Jika calon responden tidak bersedia peneliti tetap menghargai
hak-hak responden untuk tidak terlibat dalam penelitian.
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan
namanya, pada lembar pengumpulan data. Peneliti cukup memberikan kode pada
dijaga dengan tidak menuliskan nama responden pada instrumen penelitian tetapi
hanya menuliskan inisial namanya saja untuk menjaga kerahasiaan semua
informasi yang diberikan. Data-data yang telah diperoleh dari calon responden
juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian (Nursalam, 2008).
5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket (kuesioner),
yaitu kuesioner penggunaan bahan-bahan pada perawatan luka yang disusun oleh
peneliti mengacu kepada tinjauan pustaka. Kuesioner ini menggunakan
pernyataan tertutup dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Kuesioner ini
terdiri dari 13 pernyataan. Dari 13 pernyataan, terdapat 1 pernyataan negatif yaitu
pada nomor 10, dan 12 pernyataan positif yaitu pada nomor 1-9,11-12 dan 13.
Penilaian kuesioner ini menggunakan skala Dichotomy dengan skor pilihan untuk
pernyataan positif nomor 2,4,5,9 dan pernyataan negatif, benar (B)=0, salah (S)=1
dan untuk penyataan positif nomor 1,3,6,7 dan 8, benar (B) = 1, salah (S)=0. Total
skor berkisar antara 0-13 untuk setiap pernyataan, sehingga nilai terendah yang
mungkin dicapai adalah 0 dan nilai tertinggi yang mungkin dicapai adalah 13.
Semakin tinggi jumlah skor maka penggunaan bahan perawatan luka di RSUD Dr.
Djasamen Saragih Pematangsiantar semakin sesuai dengan jenis luka.
Berdasarkan rumus statistik Sudjana (2002), P = ������� ����� �����������
P merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi dikurang nilai
penggunaan (sesuai atau tidak sesuai), maka akan diperoleh panjang kelas sebesar
7. Dengan menggunakan nilai P, maka penggunaan bahan-bahan perawatan luka
dikategorikan sebagai berikut :
0-6 = Penggunaan bahan-bahan perawatan luka tidak sesuai jenis luka
7-13 = Penggunaan bahan-bahan perawatan luka sesuai jenis luka.
6. Validitas dan Realibilitas Instrumen
Instrumen untuk variabel penggunaan bahan-bahan perawatan luka dibuat
oleh peneliti, sehingga perlu dilakukan uji validitas untuk mengetahui seberapa
besar derajat kemampuan alat ukur dalam mengukur secara konsisten sasaran
yang akan diukur. Pengujian validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah
pengujian validitas isi. Validitas isi adalah suatu keputusan tentang bagaimana
instrumen dengan baik mewakili karakteristik yang diteliti. Pengujian validitas isi
dilakukan dengan memberikan instrumen penelitian, kriteria dan lembar penilaian
Content Validity Index (CVI) kepada tiga orang ahli perawatan luka yaitu dua
orang dosen keperawatan medikal bedah, Bapak Asrizal, S.Kep, Ns,WOC(ET)N,
Bapak Mula Tarigan S.Kp, M.Kes, dan seorang perawat Ibu Sukarni S. Kep, Ns,
CWCS. Hasil uji validitas dikatakan valid dilihat berdasarkan Coefisient Validity
Index (CVI ). Kriteria Penilaian CVI (Content Validity Index) menurut Polite &
Beck, 2006 adalah sebagai berikut, setiap pernyataan diberi skor 1 jika pernyataan
dinyatakan tidak valid, skor 2 diberi jika pernyataan dinyatakan valid tetapi
membutuhkan revisi, dan skor 3 diberikan jika pernyataan valid tidak
membutuhkan revisi. Setelah itu, nilai validitas dihitung dengan mengunakan
Nilai validitas (r) = ∑ ���������������ℎ��
∑ �������������������������������ℎ���������
Suatu instrumen dikatakan valid jika nilai Coefisient Validity Index mencapai
0.70. Hasil uji validitas yang didapat, kuesioner penggunaan bahan perawata luka
memiliki nilai Coefisient Validity Index sebesar 0.78 sehingga instrumen yang
digunakan peneliti telah valid.
Uji realibilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui tingkat
konsistensi sebuah instrumen untuk memberikan hasil ukuran yang sama tentang
sesuatu yang diukur pada waktu yang berlainan (Hasan, 2002). Uji realibilitas ada
dua, yaitu realibilitas eksternal dan realibilitas internal. Uji reliabilitas eksternal
dilakukan pada 10 orang responden (Azwar,2003). Pengambilan data untuk uji
reliabel dilakukan di RSUD dr. Pirngadi Medan, dengan pertimbangan kedua
rumah sakit tersebut memiliki kriteria yang sama. Realibilitas internal instrumen
penelitian ini diuji dengan menggunakan uji KR-20 karena jenis pernyataan pada
kuesioner adalah pernyataan dengan jawaban dikotomi (Arikunto, 2006). Hasil uji
reliabilitas KR-20 dari instrumen di dapatkan nilai reliabilitas 0.78. Instrumen
yang baru akan reliabel jika memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0.70 (Polite &
Hungler, 1995), sehingga instrumen penelitian ini dapat dinyatakan reliabel.
7. Prosedur pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengisi
penelitian dari Fakultas Keperawatan USU dan surat izin dari lokasi penelitian,
yaitu RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.
Setelah mendapat izin dari RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
peneliti bertemu dengan calon responden dan menjelaskan terlebih dahulu kepada
responden tentang maksud, tujuan dan prosedur penelitian serta menanyakan
kesediaan calon responden. Calon responden yang bersedia, diminta untuk
menandatangani informed concent (surat persetujuan). Responden dipersilahkan
untuk mengisi kuesioner yang diajukan peneliti. Selama pengisian kuesioner,
peneliti mendampingi responden dan responden diberi kesempatan untuk bertanya
pada peneliti bila ada pernyataan yang tidak dimengerti. Setelah kuesioner selesai
diisi oleh responden, peneliti mengumpulkan kembali kuesioner dengan terlebih
dahulu memeriksa kelengkapan jawaban.
8. Analisa Data
Setelah seluruh data terkumpul, maka peneliti mengadakan analisa data
melalui beberapa tahap. Pertama mengecek kelengkapan data responden dan
memastikan jawaban telah diisi, kemudian data yang sesuai diberi kode untuk
memudahkan peneliti dalam melakukan tabulasi dan analisa data. Langkah
selanjutnya yaitu pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan
komputerisasi. Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah statistik univariat. Statistik univariat adalah suatu prosedur
untuk menganalisa data dari satu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan
suatu hasil penelitian (Polite & Hungler, 1999). Pengolahan data penggunaan
mana hasilnya akan dibagi menjadi dua kategori penggunaan yaitu penggunaan
bahan-bahan perawatan luka belum sesuai jenis luka dengan skor 0-6 dan
penggunaan bahan-bahan perawatan luka sudah sesuai jenis luka dengan skor
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang deskripsi
penggunaan bahan pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Pematangsiantar.
Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Juni 2012 dengan
jumlah responden sebanyak 30 orang perawat. Hasil penelitian ini menguraikan
karakteristik demografi responden dan penggunaan bahan pada perawatan luka.
1.1. Karakteristik Demografi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan diketahui bahwa
sebanyak 3 orang responden berada pada rentang usia 25 sampai 29 tahun, lama
bekerja 1-5 tahun sebanyak 2 responden (6.70%). Responden yang berumur 35
sampai 40 tahun ada sebanyak 9 orang (3.00%), lama bekerja lebih dari 10 tahun
ada sebanyak 8 orang (26.70%). Mayoritas responden berada pada rentang usia
30-34 tahun yaitu sebanyak 18 responden (60.00 %). Pendidikan dari perawat
adalah DIII Keperawatan (100.00%) dan lama bekerja kebanyakan diantara 5
sampai 10 tahun sebanyak 20 responden (66.70%). Untuk lebih jelasnya tentang
Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik data demografi di RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
No. Karakteristik Frekuensi Persentase
1.2 Deskripsi Penggunaan Bahan pada Perawatan Luka
Deskripsi penggunaan bahan-bahan pada perawatan luka berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
diketahui bahwa seluruh perawat tidak menggunakan bahan perawatan luka yang
sesuai dengan karakteristik luka pasien (100.00%), gambaran penggunaan bahan
pada perawatan luka dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penggunaan Bahan-Bahan pada Perawatan Luka
No. Karakteristik Frekuensi Persentase
1. Sesuai karakteristik luka 0.00 100.00
3. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 30 orang perawat,
ditemukan bahwa seluruh perawat (100.00%) di RSUD Dr. Djasamen Saragih
Pematangsiantar tidak menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan
karakteristik luka pasien. Walaupun penggunaan bahan perawatan luka mayoritas
tidak sesuai dengan karakteristik luka, masih ada penggunaan bahan yang tepat
yaitu pemakaian salin normal sebagai larutan pembersih luka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa seluruh perawat (30 orang) menggunakan salin normal
sebagai cairan pembersih pada perawatan luka akut seperti luka operasi, luka
superfisial, dan luka kronik, termasuk luka kronik yang menghasilkan jaringan
nekrotik. Menurut pedoman AHCPR 1994 menyatakan bahwa cairan pembersih
yang dianjurkan adalah normal salin (Sodium klorida). Sodium klorida atau
Natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang memiliki komposisi sama seperti
plasma darah, dengan demikian aman bagi tubuh (Morrison, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian ini seluruh perawat (100.00%) menggunakan
povidone iodine sebagai larutanantiseptik pada luka bedah (akut) dan 23 perawat
(76.60%) menggunakan povidone iodine sebagai larutan antiseptik pada luka
kronik, termasuk juga pada luka kronik yang menghasilkan jaringan nekrotik.
Penggunaan povidone iodine di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
belum tepat karena tidak sejalan dengan WHO yang tidak menyarankan
penggunaan povidone iodine pada luka bersih seperti luka hasil pembedahan dan
luka kronis. Hal ini disebabkan povidone iodine bersifat toksik yang dapat
dilakukan oleh Brena, et al., 1980 menunjukkan bahwa pengunaan antiseptik
menunjukkan efek buruk terhadap fisiologi penyembuhan luka. Penggunaan
povidone iodine pada luka bersih seperti luka operasi dapat menyebabkan
berhentinya aliran pembuluh darah kecil. Berdasarkan pemaparan diatas dapat
disimpulkan penggunaan antiseptik pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen
Saragih Pematangsiantar belum tepat.
Berdasarkan hasil penelitian ini penggunaan balutan di RSUD Dr. Djasamen
Saragih Pematangsiantar menunjukkan bahwa 30 perawat (100.00 %)
menggunakan balutan basah kering untuk merawat semua jenis luka akut.
Penggunaan balutan basah kering dapat menghambat proses penyembuhan luka.
Hal ini disebabkan karena kasa konvensional terbuat dari material tekstil katun
yang tersusun dari serabut-serabut anyaman yang akan menyebabkan kasa
melekat pada permukaan luka. Hal ini akan menyebabkan luka kembali ke fase
inflamasi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gates
dan Holloway (2002) yang dilakukan pada 40 orang ibu yang menjalani operasi
Caesar menunjukkan bahwa luka yang dirawat dengan balutan yang dapat
mempertahankan kelembaban lebih cepat menutup (5 hari) jika dibandingkan
dengan luka yang dibalut dirawat dengan balutan basa kering (8 hari).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan balutan
pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen belum tepat.
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa 93.38% (28 perawat)
kronik yang disertai dengan jaringan nekrotik. Penggunaan balutan basah kering
dapat menyebabkan trauma pada jaringan yang akan sembuh dan menimbulkan
nyeri pada pasien. Penelitian yang dilakukan Mwipatayi (2004) pada 10 orang
pasien luka kronik dengan jaringan nekrotik, dua diantaranya dilakukan
debridemen autolisis menggunakan balutan polyacrylate mengalami penurunan
luas area luka dari 26,4 cm2 menjadi 21,4 cm2 dalam waktu 5 hari. Sedangkan
delapan orang pasien lagi dirawat menggunakan balutan basah kering mengalami
penurunan luas area luka dari 25 cm2 menjadi 23 cm2 dalam waktu 5 hari.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa debridemen autolisis dengan balutan
polyacrylate sangat efektif pada semua jenis luka.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa manajemen
luka modern tidak lagi menyarankan penggunaan debridemen mekanik sebagai
pilihan utama. Peneliti lebih menyarankan penggunaan debridemen autolisis pada
luka yang memiliki jaringan nekrotik. Penggunaan debridemen autolisis
memberikan banyak manfaat seperti cara pemakaian yang efektif, lebih aman,
karena debridemen ini menggunakan mekanisme pertahanan tubuh sendiri untuk
membersihkan jaringan nekrotik, tidak menimbulkan nyeri.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 100,00% (30 perawat) di
RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tidak menggunakan balutan yang
dapat mempertahankan kelembaban (moist wound healing) seperti balutan oklusif
ataupun balutan yang menyerap cairan (absorben dressing). Penggunaan balutan
oklusif dapat mempercepat proses penyembuhan luka karena balutan ini dapat
makrofag tetap hidup dan penting untuk reaksi enzim yang tergantung terhadap
air dan oksigen sehingga proses penyembuhan luka tidak terganggu (Novriansyah,
2008).
Manfaat lain yang didapatkan dari penggunaan balutan yang dapat
mempertahankan kelembaban adalah frekuensi pergantian balutan yang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan balutan basah kering (wet to dry). Berkurangnya
frekuensi penggantian balutan di rumah sakit akan mengurangi waktu perawat
dalam merawat luka, dengan demikian perawat bisa mengerjakan pekerjaan lagi
lebih efektif. David (2010) menyatakan bahwa tidak banyak rumah sakit yang
menerapkan metode perawatan luka modern. Di Indonesia sendiri hanya ada 25
rumah sakit atau 2.47% dari total 1012 rumah sakit yang ada dan RSUD Dr.
Djasamen Saragih Pematangsiantar merupakan salah satu rumah sakit yang tidak
menerapkan perawatan luka modern. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar belum menggunakan
balutan yang sesuai dengan karakteristik luka.
Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa seluruh perawat (30 responden)
tidak menggunakan silastic foam untuk menutup luka kronik yang berbentuk
cawan. Silastic foam adalah balutan yang direkomendasikan untuk luka yang
berada di daerah yang sulit di mana proteksi dan immobilisasi sangat bermanfaat.
Balutan ini juga dapat digunakan pada luka dengan jumlah eksudat sudah
pilonidal yang sudah dieksisi, atau dekubitus luas didaerah sakrum (Morrison,
2004).
RSUD Dr. Djasamen tidak menyediakan balutan silastic foam pada luka
yang berbentuk cawan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan
perawat, perawat biasanya menggunakan kasa deeper sebagai pengisi lukanya.
Pengisian luka menggunakan kasa deeper bertujuan untuk menyerap cairan yang
berlebih dan mengontrol perdarahan. Pengunaan kasa deeper pada perawatan luka
menyebabkan pergantian balutan yang lebih sering, Pergantian balutan yang
sering akan menyebabkan jaringan granulasi yang tumbuh menjadi rusak. Hal ini
akan membuat penyembuhan luka menjadi terlambat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh perawat (100.00%) di
RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar menggunakan plester cokelat
sebagai perekat balutan pada perawatan luka akut dan kronik. Penelitian yang
dilakukan Cutting (2007) menunjukkan bahwa luka yang dirawat menggunakan
plester cokelat menyebabkan peningkatan pelapasan kulit secara paksa (peel
force) selama dua minggu pertama periode perawatan, dan meningkat secara
signifikan jika dibandingkan dengan luka yang dirawat menggunakan perekat
hidrokoloid. Pada penggunaan perekat hidrokoloid pegangkatan kulit secara paksa
dapat dicegah, karena perekat ini dapat mempertahankan kelembaban kulit secara
konsisten. Plester cokelat lebih cocok digunakan sebagai fiksasi infus atau kateter.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan penggunaan balutan sekunder jenis
perekat (adhesive tape). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan penggunaan
balutan sekunder di RSUD Dr. Djasmen Pematangsiantar belum tepat.
Pada luka yang megalami infeksi yang menghasilkan eksudat yang berbau
busuk, dapat digunakan balutan arang aktif (activated charcoal dressing), sebagai
penghilang bau (deodoriser) yang efektif (Morrison, 2004). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 100.00% (30 responden) perawat tidak menggunakan
balutan arang aktif sebagai penghilang rasa bau pada luka yang menghasilkan bau.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hamptomp (2003) yang
melakukan penelitian pada 20 orang pasien luka kronik yang menghasilkan bau,
diperoleh bahwa 50.00% dari pasien menyatakan bau pada luka pasien hilang
sama sekali, dan 35.00 % menyatakan bau pada luka bisa dikontrol.
Menurut peneliti, bau yang ditimbulkan oleh luka dapat mempengaruhi
psikologi pasien. Pasien dapat mengalami perubahan citra diri, merasa malu, dan
depresi. Perawatan luka yang holistik tidak hanya berpusat pada kesembuhan luka
pasien tapi juga berusaha untuk mengatasi akibat dari luka yang dialami pasien.
Dengan demikian peneliti menyarankan manajemen luka RSUD Dr. Djasamen
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
dan saran mengenai gambaran penggunaan bahan pada perawatan luka di RSUD
Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.
1. Kesimpulan
Gambaran pengunaaan bahan pada perawatan luka dikategorikan tidak sesuai
dengan karakteristik luka (100,00%). Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa manajemen luka RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
masih menerapkan metode perawatan luka konvensional. Perawat di RSUD Dr.
Djasamen Saragih Pematangsiantar membersihkan luka menggunakan normal salin,
menggunakan povidone iodine sebagai antiseptik. Untuk penggunaan balutan,
manajemen luka RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar masih
mengandalkan balutan basah kering (wet to dry) baik pada luka akut maupun luka
kronik. Balutan basah kering (wet to dry) adalah balutan yang menggunakan kasa
yang dibasahi dengan normal salin dan difiksasi menggunakan plester cokelat.
Perawat menggunakan bahan yang sama untuk merawat semua jenis luka akut dan