• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Trayektori Asap Kebakaran Hutan Menggunakan The Air Pollution Model (Studi Kasus Kebakaran Hutan Kalimantan 2006)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Trayektori Asap Kebakaran Hutan Menggunakan The Air Pollution Model (Studi Kasus Kebakaran Hutan Kalimantan 2006)"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN

MENGGUNAKAN

THE AIR POLLUTION MODEL

(STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN KALIMANTAN 2006)

OLEH :

DICKY FAJAR ANUGRAH

G24103029

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN

MENGGUNAKAN

THE AIR POLLUTION MODEL

(STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN KALIMANTAN 2006)

DICKY FAJAR ANUGRAH

G24103029

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

Pada Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul : ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN THE AIR POLUTTION MODEL (STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN KALIMANTAN 2006)

Nama : Dicky Fajar Anugrah

NRP : G24103029

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ana Turyanti, S.Si., MT. NIP. 132215102

Guswanto, M.Si. NIP. 120154616

Tanggal Lulus:

Mengetahui,

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

(4)

RINGKASAN

DICKY FAJAR ANUGRAH. ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN THE AIR POLLUTION MODEL (STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN KALIMANTAN 2006). Dibimbing oleh ANA TURYANTI dan GUSWANTO.

Kerusakan hutan yang terjadi selama ini di Indonesia umumnya diakibatkan karena kebakaran. Hutan yang terbakar mengakibatkan pencemaran udara, karena menghasilkan gas pencemar seperti CO2 (karbon dioksida, CO (karbon monoksida), NOx (nitrogen oksida), SO2

(sulfur dioksida) serta pencemar berupa partikel seperti PM10 dan PM2,5. Produksi asap dan gas

yang dihasilkan akibat kebakaran hutan akan terbawa angin dan penyebarannya akan menurunkan jarak pandang sehingga menggangu aktifitas dan kesehatan masyarakat.

Proses transportasi maupun transformasi polutan sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi suhu udara, arah dan kecepatan angin, kelembaban udara, dan curah hujan serta

mixing height. Seberapa besar suatu sumber emisi polutan mempengaruhi kualitas udara ambien dapat diduga menggunakan model, salah satunya adalah The Air Pollution Model (TAPM) yang dikembangkan oleh CSIRO-Australia. TAPM merupakan salah satu model tiga dimensi pencemaran udara yang dapat digunakan untuk menentukan proses dispersi dan trayektori polutan dengan memperhitungkan faktor meteorologis. TAPM juga dapat digunakan untuk menentukan pencemaran udara yang diakibatkan kebakaran hutan.

Data laju emisi kebakaran hutan digunakan berdasarkan estimasi emisi kebakaran hutan yang dikembangkan oleh GFEDv 2. Data laju emisi menunjukkan bahwa pada bulan Mei 2006 rata-rata emisi PM2,5 2,36 g s-1, NOX 0,06 g s-1, CO 1,58 g s-1. Data rata-rata laju emisi pada bulan

Juli 2006 lebih tinggi dibandingkan di bulan Mei dimana laju emisi rata-rata PM2,5 10,46 g s-1,

NOX 5,19 g s-1, dan CO 159,77 g s-1. Bulan September 2006 merupakan salah satu puncak

terjadinya kebakaran hutan dimana laju emisi rata-rata PM2,5 81,18 g s-1, NOX 17,06 g s-1, dan CO

144,65 g s-1. Bulan Desember 2006 nilai rata-rata laju emisi kembali mengalami penurunan, dimana laju emisi rata-rata PM2,5 4,39 g s-1, NOX 0,82 g s-1, dan CO 13,49 g s-1. Rendahnya nilai

rata-rata laju emisi pada bulan Mei dan Desember 2006 diakibatkan masih cukup tingginya curah hujan sehingga proses pembentukan area kebakaran hutan dari titik-titik api dapat teredam.

Pengaruh stabilitas atmosfer dan mixing height sangat besar dalam mempengaruhi nilai konsentrasi polutan. Kondisi stabilitas atmosfer dalam TAPM menggunakan rasio Obukhov Length Scale. Siang hari karena adanya pemanasan permukaan menyebabkan perbedaan suhu vertikal yang cukup tinggi sehingga pada siang hari terjadi pergerakan vertikal parsel udara tersebut, sedangkan pada malam hari terjadi kondisi sebaliknya. Kestabilan atmosfer sangat mempengaruhi

mixing height yang mencerminkan suatu ketinggian dimana parsel udara yang berisi polutan dari permukaan bumi dapat bergerak maksimum secara vertikal. Kondisi udara tidak stabil akan membuat mixing height cukup tinggi bahkan hingga mencapai 1000 meter, sedangkan pada kondisi stabil di malam hari mixing height hanya berkisar 40 hingga 80 meter. Kedua faktor meteorologi ini mempengaruhi konsentrasi polutan di udara. Konsentrasi rata-rata PM2,5, NOX, dan

CO hasil output TAPM menunjukkan pengaruh kedua faktor meteorologi tersebut. Konsentrasi rata-rata PM2,5 pada siang hari hanya berkisar antara 0 hingga 50 µg m-3, sedangkan pada malam

hari konsentrasinya dapat mencapai titik maksimumnya sebesar 305 µg m-3. Konsentrasi rata-rata NOX pada siang hari hanya berkisar pada rentang sempit 0 hingga 2 µg m-3, sedangkan pada

malam hari konsentrasi NOX dapat mencapai 51,30 µg m-3. Konsentrasi rata-rata CO pada siang

hari berkisar 0 hingga 50 µg m-3, sedangkan pada malam hari konsentrasi CO mencapai titik maksimumnya hingga 469,64 µg m-3.

(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Trayektori Asap Kebakaran Hutan Menggunakan The Air Pollution Model (Studi Kasus Kebakaran Hutan Kalimantan 2006)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar Sarjana Sains di Program Studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mendapatkan banyak masukan, saran, kritik serta bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Ana Turyanti, S.Si., MT., dan Bapak Guswanto M.Si., selaku pembimbing, untuk setiap tetes ilmu pengetahuan dan deraian bimbingan serta motivasi yang telah dicurahkan kepada penulis.

2. Bapak Prof. Ahmad Bey selaku kepala Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara atas bimbingan dan sarannya, dan terima kasih pula atas kesediaannya selaku dosen penguji. 3. Prof. Dr. Metag A Razak selaku kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (PUSLITBANG)

BMG Jakarta, atas izinnya sehingga penulis dapat melakukan penelitian di PUSLITBANG BMG Jakarta.

4. Eko Heriyanto, ST., serta rekan-rekan staf PUSLITBANG BMG Jakarta, terima kasih untuk kesediaannya memberikan jalan keluar ketika penelitian ini berjalan stagnan.

5. Papa, Bunda, Riri, dan Dede yang memberikan makna akan kata “rumah” dalam kehidupan penulis, dimana penulis mendapatkan rasa nyaman dan hidup.

6.

Keluarga Alm. H. Isnan Ismail dan Alm. Hasan Acil untuk setiap butir doa dan dukungan bagi penulis.

7. Civitas dan para Dosen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan cahaya penerang bagi penulis ketika berada dalam kegelapan tanpa ilmu.

8. Rizky Andika Septiyanzar, rekan seperjuangan untuk menaklukan yang tak mungkin ditaklukan.

9. Akhyar, Kulu, Bonang, Manto, Latief serta para sahabatku di AIDA Community, untuk setiap detik yang terasa indah dan semoga semua yang terjadi disini akan tetap tertulis di langit. 10. Hakiki, Budi, Ponco, Yetti, Nunun, Congky, teman-temanku di Lab. Meteorologi dan Kualitas

Udara untuk kerja samanya dan atas dukungan semangatnya.

11. Shandy, ayo tetap semangat jangan menyerah dari Pak Bre. Yeti, Ria, dan Ida terima kasih sudah menjadi panutan bagi penulis dalam hal akademik. Nanik terima kasih akan info tentang NDVI, Jurick sang “jurick”, Iqo yang sedang berjuang bersama Bu Ana, Mia, Yuni, Yusuf dan Tria,Tri, Mamat, Kolay, Rifky, Wiranto, Dwi, Bismi, Mega, Dhadha dan Harry, terima kasih telah memberikan 4 tahun yang penuh kepingan-kepingan kenangan yang telah terbingkai rapi di sudut hati penulis.

12. Juliana Anggraini, untuk setiap adrenalin dan dopamin yang disumbangkan kepada penulis. Juga untuk setiap guliran doa dan dukungan yang tiada henti bagi penulis untuk meyakinkan penulis bahwa ia bisa.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu kritik serta saran dari berbagai pihak sangat diharapkan penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan tambahan dalam 3000 tahun sejarah ilmu pengetahuan manusia.

Bogor, Mei 2008

(6)

RIWAYAT HIDUP

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN... i

RINGKASAN... ii

PRAKATA... iii

RIWAYAT HIDUP... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan... 1

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan... 2

2.2 Pencemar Udara. Dari Kebakaran Hutan... 3

2.2.1 CO (Carbon Monoxide)... 3

2.2.2 NOx (Nitrogen Oxide)... 4

2.2.3 PM2,5 (Particulate Matter)... 4

2.3 Faktor Alam yang Mempengaruhi Polutan... 5

2.3.1 Faktor Meteorologis... 5

2.3.2 Faktor Topografi... 7

2.4 Kalimantan... 7

2.5 Kebakaran Hutan dan Sejarahnya di Indonesia dan Kalimantan... 9

2.5.1 Kebakaran Hutan 1982-1983 dan 1987... 10

2.5.2 Kebakaran Hutan 1991 dan 1994... 10

2.5.3 Kebakaran Hutan 1997... 11

2.6 The Air Pollution Model (TAPM)... 12

2.7 Global Fire Emissions Database version 2... 14

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat... 15

3.2 Alat dan Bahan... 15

3.2.1 Alat... 15

3.2.2 Bahan... 15

3.3 Metodologi... 15

3.3.1 Perhitungan dan Konversi Data... 15

3.3.2 Running Model TAPM... 16

3.4 Asumsi... 18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Area Kebakaran Hutan... 19

4.2 Laju Emisi... 20

4.2.1 Laju Emisi PM2,5... 20

4.2.2 Laju Emisi NOX... 20

4.2.3 Laju Emisi CO... 21

4.3 Kondisi Meteorologi Hasil Output TAPM... 22

4.3.1 Suhu Udara... 22

4.3.2 Kelembaban Udara... 23

4.3.3 Intensitas Hujan... 24

4.3.4 Radiasi Matahari Total... 26

4.3.5 Kecepatan Angin... 27

4.3.6 Stabilitas Atmosfer... 28

(8)

4.4 Analisa Output TAPM untuk Konsentrasi Polutan... 30

4.4.1 Konsentrasi PM2,5... 30

4.4.2 Konsentrasi NOx... 31

4.4.3 Konsentrasi CO... 32

4.5 Pola Dispersi dan Trayektori Polutan Hasil Output TAPM... 32

4.5.1 Musim Transisi 1... 32

4.5.2 Musim Kemarau... 34

4.5.3 Musim Transisi 2... 36

4.5.4 Musim Hujan... 38

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran... 41

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Konversi Hutan menjadi Perkebunan... 2

Gambar 2. Sumber Emisi CO... 3

Gambar 3. Kalimantan... 7

Gambar 4. Curah Hujan Kalimantan 2006... 8

Gambar 5. Sebaran Hutan Hujan Tropis... 8

Gambar 6. Domain 1 (1.500 × 1.500 km)... 16

Gambar 7. Domain 2 (1.087,5×1.087,5 km)... 16

Gambar 8. Area Kebakaran Hutan Musim Transisi 1 (Mei 2006)... 19

Gambar 9. Area Kebakaran Hutan Musim Kemarau (Juli 2006)... 19

Gambar 10. Area Kebakaran Hutan Musim Transisi 2 (September 2006)... 19

Gambar 11. Area Kebakaran Hutan Musim Basah (Desember 2006)... 20

Gambar 12. Laju Emisi PM2,5... 20

Gambar 13. Laju Emisi NOX... 21

Gambar 14. Laju Emisi CO... 21

Gambar 15. Suhu Udara; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim... 22

Gambar 16. Kelembaban Udara; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim... 24

Gambar 17. Intensitas Hujan; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim... 25

Gambar 18. Pola Curah Hujan di Indonesia... 25

Gambar 19. Radiasi Total Matahari; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim... 26

Gambar 20. Kecepatan Angin; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim... 27

Gambar 21. Obukhov Length Scale; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim... 28

Gambar 22. Mixing Height; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim... 29

Gambar 23. Konsentrasi Rata-rata PM2,5 dari Kebakaran Hutan Kalimantan 2006... 30

Gambar 24. Konsentrasi Rata-rata NOx Kebakaran Hutan Kalimantan 2006... 31

Gambar 25. Konsentrasi Rata-rata CO Kebakaran Hutan Kalimantan 2006... 32

Gambar 26. Konsentrasi Polutan Mei 2006... 33

Gambar 27. Trayektori Asap Mei 2006... 34

Gambar 28. Konsentrasi Polutan Juli 2006... 35

Gambar 29. Trayektori Asap Juli 2006... 36

Gambar 30. Konsentrasi polutan September 2006... 37

Gambar 31. Trayektori Asap September 2006... 38

Gambar 32. Konsentrasi Polutan Desember 2006... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Luas Hutan Kalimantan... 1

Tabel 2. Kestabilan atmosfer skala panjang Obukhov... 6

Tabel 3. Luas Kebakaran Hutan Tahun 1984 – 1997 (dalam Hektar)... 7

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tabel Curah Hujan Kalimantan 2006... 43

Lampiran 2. Bagan Penelitian... 44

Lampiran 3. Nilai Emisi Kebakaran Hutan Mei 2006... 45

Lampiran 4. Nilai Emisi Kebakaran Hutan Juli 2006... 46

Lampiran 5. Nilai Emisi Kebakaran Hutan September 2006... 47

Lampiran 6. Nilai Emisi Kebakaran Hutan Desember 2006... 48

Lampiran 7. Tabel Data Lokasi Hotspot dan Laju Emisi (gr s-1) 10 - 16 Mei 2006... 49

Lampiran 8. Tabel Data Lokasi Hotspot dan Laju Emisi (gr s-1) 14 - 20 Juli 2006... 50

Lampiran 9. Tabel Data Lokasi Hotspot dan Laju Emisi (gr s-1) 18 - 24 September 2006.... 52

Lampiran 10. Tabel Data Lokasi Hotspot dan Laju Emisi (gr s-1) 6 - 12 Desember 2006... 54

Lampiran 11. Hasil Running Faktor Meteorologi TAPM 10 - 16 Mei 2006... 55

Lampiran 12. Hasil Running Faktor Meteorologi TAPM 14 - 20 Juli 2006... 60

Lampiran 13. Hasil Running Faktor Meteorologi TAPM 18 - 24 September 2006... 65

Lampiran 14. Hasil Running Faktor Meteorologi TAPM 6 - 12 Desember 2006... 70

Lampiran 15. Konsentrasi PM2,5 Hasil Running TAPM... 75

Lampiran 16. Konsentrasi NOx Hasil Running TAPM... 79

Lampiran 17. Konsentrasi COHasil Running TAPM... 83

Lampiran 18. Hasil Visualisasi Running Konsentrasi TAPM 10 - 16 Mei 2006... 87

Lampiran 19. Pola Windrose hasil Output TAPM 10 - 16 Mei 2006... 93

Lampiran 20. Hasil Visualisasi Running Konsentrasi TAPM 14 - 20 Juli 2006... 94

Lampiran 21. Pola Windrose hasil Output TAPM 14 - 20 Juli 2006... 100

Lampiran 22. Hasil Visualisasi Running Konsentrasi TAPM 18 - 24 September 2006... 101

Lampiran 23. Pola Windrose hasil Output TAPM 18 - 24 September 2006... 107

Lampiran 24. Hasil Visualisasi Running Konsentrasi TAPM 6 - 12 Desember 2006... 108

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan dapat didefinisikan sebagai suatu daerah yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan tingkat kerapatan yang cukup tinggi. Hutan memiliki berbagai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi berbagai jenis hewan dan juga sebagai pengatur aliran hidrologis. Hutan juga memiliki fungsi ekologis sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penyangga kehidupan bagi jutaan spesies hewan dan tumbuhan. Kerusakan hutan dapat mengakibatkan punahnya ribuan spesies tanaman dan hewan yang hidup di kawasan tersebut (Hyde, 2002).

Indonesia merupakan negara dengan luas hutan tropik kedua terbesar setelah Brazil. Hutan tropis di Indonesia memiliki tingkat keragaman hayati yang sangat tinggi, sehingga sumber daya alam hayati yang dikandungnya mempunyai nilai yang sangat tinggi. Kalimantan merupakan pulau di Indonesia yang masih memiliki hutan hujan tropis yang cukup luas, seperti dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Hutan Kalimantan

Provinsi Luas (Ha) Kalimantan Barat 9.101.760

Kalimantan Tengah 15.300.000 Kalimantan Selatan 1.839.494

Kalimantan Timur 14.651.053

Jumlah 40.892.307 Sumber : Badan Planologi Kehutanan (2007)

Kerusakan hutan yang terjadi selama ini di Indonesia umumnya diakibatkan karena kebakaran. Hutan yang terbakar mengakibatkan pencemaran udara, karena menghasilkan gas pencemar seperti CO2

(karbon dioksida, CO (karbon monoksida), NOx (nitrogen oksida), SO2 (sulfur dioksida)

serta pencemar berupa partikel seperti PM10

dan PM2,5. Produksi asap dan gas yang

dihasilkan akibat kebakaran hutan akan terbawa angin dan penyebarannya akan menurunkan jarak pandang sehingga menggangu aktifitas masyarakat. Produksi asap dan gas juga dapat memicu timbulnya berbagai macam gangguan kesehatan terutama gangguan pernapasan pada masyarakat yang terkena imbasnya secara langsung.

Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan pada tahun 1997 merupakan salah satu kebakaran hutan terbesar dan berlangsung dalam periode yang panjang. Kondisi ini menyebabkan mutu kualitas udara di daerah

Kalimantan pada saat terjadi kebakaran hutan menurun tajam (Glover, et al,. 1999) sehingga menimbulkan keresahan dari berbagai pihak terutama akibat asap tebal yang menyelimuti sebagian besar daratan Kalimantan bahkan hingga mencapai daratan Singapura dan Malaysia. Asap dan gas yang berasal dari kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera juga dapat memicu timbulnya ketegangan antara Indonesia dengan negara-negara yang terkena imbas kabut asap seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran sangat besar, selain musnahnya sekitar 8 juta hektar areal hutan beserta semua potensi sumber daya alam hayati yang dikandungnya, kebakaran hutan juga telah menimbulkan dampak negatif pada lingkungan fisik, kesehatan, serta kehidupan sosial masyarakat yang terkena dampaknya (Glover, et al., 1999).

Polusi udara di suatu area dipengaruhi oleh kondisi sumber polutan serta dipengaruhi juga oleh proses transportasi maupun transformasi (reaksi kimiawi) polutan di atmosfer. Proses transportasi maupun transformasi polutan sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi suhu udara, arah dan kecepatan angin, kelembaban udara, dan curah hujan serta mixing height. Seberapa besar suatu sumber emisi polutan mempengaruhi kualitas udara ambien dapat diduga menggunakan model, salah satunya adalah The Air Pollution

Model (TAPM) yang dikembangkan oleh

CSIRO-Australia. TAPM merupakan model 3 dimensi berbasis PC untuk penelitian tentang polusi udara sekaligus dapat memperkirakan unsur-unsur meteorologi di suatu wilayah. TAPM terdiri dari komponen distribusi polusi yang berpasangan dengan komponen meteorologi.

1.2 Tujuan

1. Memetakan arah penyebaran (trayektori) sebaran polutan akibat kebakaran hutan Kalimantan tahun 2006.

2.a. Menganalisa pengaruh stabilitas atmosfer dan mixing height terhadap konsentrasi polutan akibat kebakaran hutan Kalimantan tahun 2006.

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan adalah jenis pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengkonsumsi bahan bakar yang terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, batang kayu, tunggak, daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih hidup (Fuller, 1991)

Tiga komponen diperlukan bagi api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran. Pertama, harus tersedia bahan bakar yang dapat terbakar. Selain itu, panas yang cukup, yang digunakan untuk menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan. Selain itu juga harus terdapat cukup udara untuk menyuplai oksigen yang diperlukan. Oksigen diperlukan untuk menjaga proses pembakaran agar tetap berjalan dan untuk mempertahankan suplai panas yang cukup sehingga memungkinkan terjadinya penyalaan bahan bakar yang sulit terbakar (Countryman, 1975 dalam Saharjo, 2007).

Dasar dari proses terjadinya kebakaran adalah proses pembakaran secara kimia dan fisika. Energi yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan pada saat bahan-bahan seperti daun, rumput, atau kayu berkombinasi dengan oksigen membentuk karbondioksida (CO2), air, dan sejumlah substansi lain. Dalam

kata lain, reaksi ini merupakan reaksi kebalikan dari fotosintesis, dimana CO2, air,

dan energi matahari berkombinasi memproduksi suatu energi kimia simpanan dan oksigen (Saharjo, 2007).

Secara garis besar penyebab timbulnya kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga bagian :

1. Faktor kesengajaan a. Pembersihan lahan

Api merupakan alat yang murah dan efektif untuk membersihkan lahan dan banyak digunakan oleh usaha-usaha berskala besar seperti perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit.

b. Memperbaiki jalan masuk

Seringkali penduduk setempat menggunakan api untuk membersihkan semak belukar untuk memperbaiki jalan masuk untuk memanen sumber daya alam yang ada di hutan.

c. Perpindahan penduduk

Api digunakan secara meluas baik oleh transmigran maupun oleh aparat yang berwenang dalam membuka lahan berhutan untuk pemukiman.

d. Kurangnya pencegahan kebakaran

Tidak adanya lembaga yang berkompeten untuk mencegah kebakaran secara cepat menyebabkan kebakaran yang terjadi sulit diatasi. e. Praktik-praktik kehutanan yang buruk

Kebiasaan penebang kayu yang meninggalkan kayu-kayu sisa pembalakan dibiarkan berserakan diatas tanah menjadikan bahan bakar yang dapat mengobarkan api membakar hutan.

2. Faktor ketidaksengajaan,

Faktor kelalaian manusia seperti api dari kereta api atau pekerja hutan, api dari perkemahan, api dari pembuatan arang, puntung rokok/ korek api dan obor yang dibuang tanpa dipadamkan.

3. Faktor alam

Faktor alam seperti api dari petir, api dari kawah gunung berapi dan cuaca kering serta panas yang berkepanjangan seperti pada kondisi El Niño.

Gambar 1. Konversi Hutan menjadi Perkebu- nan (WWF, 2007)

Gambar 1 menunjukkan proses pembukaan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan dengan cara pembakaran. Kebakaran juga lebih parah ketika muncul kemarau ekstrim yang memberi kondisi ideal untuk kebakaran. Kondisi ini seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim ektrim El Nino dan pemansan global (WWF, 2007).

Berdasarkan tipe penjalaran apinya kebakaran dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :

a. Kebakaran bawah (ground fire). Api berasal dari bahan organik yang terbakar di bawah serasah. Sifat kebakaran menjalar sangat pelan dan bergerak ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh arah angin. Lahan bekas terbakar umumnya berbentuk lingkaran.

(13)

semak yang terbakar. Api menjalar dengan cepat dan dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin, sehingga lahan bekas terbakar sering berbentuk lonjong.

c. Kebakaran tajuk (crown fire). Api berasal dari kebakaran permukaan yang merambat ke tajuk. Api menjalar searah angin dan lahan bekas terbakar berbentuk memanjang.

Bahaya utama dari kebakaran maupun pembakaran hutan dan lahan adalah produksi asap disertai dengan pelepasan sejumlah

partikulat matter (Debano et al., 1998 dalam Saharjo, 2007). Dampak asap dan gas-gas yang dihasilkan dapat bervariasi, mulai dari yang bersifat lokal, yaitu menghalangi pemandangan, hingga kemungkinan pemanasan iklim global. Dampak ini sebagian besar merupakan hasil dari produk kimia utama dan emisi sekunder dari pembakaran.

2.2 Pencemar Udara dari Kebakaran Hutan

Pencemaran udara yang diakibatkan oleh kebakaran hutan didominasi oleh asap dan partikulat. Asap kebakaran hutan terbentuk dari percampuran yang rumit antara gas dan partikulat-partikulat saat kayu dan material organik lainnya terbakar. Ancaman bahaya terbesar dari asap kebakaran hutan terletak pada kandungan partikulat-partikulatnya yang dapat memicu timbulnya kanker paru-paru dan jantung koroner, bahkan dapat mengakibatkan kematian prematur bagi para pengidapnya. Asap juga dapat menyebabkan iritasi mata, radang tenggorokan, batuk, sakit kepala, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Kebakaran hutan juga mengemisikan beberapa jenis gas yang berbahaya bagi kesehatan seperti CO2

(karbon dioksida), CO (karbon monoksida), NOx (nitrogen oksida), SO2 (sulfur dioksida)

serta pencemar berupa partikel seperti PM10

dan PM2,5. CO (karbon monoksida), NOx

(nitrogen oksida) dan Particulate Matter

merupakan pencemar utama dan dapat membahayakan ekosistem serta lingkungan di sekitar kebakaran hutan.

2.2.1 CO (Carbon Monoxide)

Carbon monoxide (CO) merupakan

senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna, sehingga sulit untuk mendeteksi karbon monoksida yang diemisikan akibat kebakaran hutan.

Karbon monoksida (CO) terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang lembab (basah) pada kebakaran hutan, selain itu bahan bakar utama kebakaran hutan yang berasal dari kayu, serasah, dan bagian tumbuhan lainnya yang terdiri dari unsur kimiawi karbon menghasilkan produksi karbon monoksida.

Jumlah CO yang dilepaskan oleh api adalah fungsi efisiensi pembakaran, sehingga emisi CO akan meningkat jika pembakaran terjadi tidak efisien. Dampak CO terhadap kesehatan manusia sebagian besar bergantung pada lamanya penyebaran, konsentrasi CO dan tingkatan aktivitas fisik. Pemadam kebakaran yang terlibat langsung dalam kegiatan pemadaman atau pembangunan sekat bakar dekat lokasi pembakaran, harus berhati-hati terhadap dampak CO, yaitu pusing, lelah/lesu, dan kehilangan konsentrasi dan orientasi (Saharjo, 2003).

Menurut EPA (2007), kebakaran hutan merupakan salah satu sumber polusi CO

(14)

terbesar selain emisi kendaraan bermotor dan industri (Gambar 2).

CO merupakan salah satu gas yang dapat mempengaruhi pemanasan global. Reaksi CO dengan OH- dapat membentuk ikatan CO2, yang dapat memicu naiknya suhu

permukaan secara global.

CO + OH- CO2 + H+

Kadar CO di atmosfer antara Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan berbeda karena perbedaan jumlah emisi CO. Daerah Belahan Bumi Utara yang memiliki lebih banyak daerah perkotaan menyebabkan kadar CO lebih tinggi sekitar 120 – 180 p.p.b. sedangkan di Belahan Bumi Selatan 60 – 70 p.p.b. Waktu tinggal gas CO secara global sekitar 2 bulan, sehingga dapat menyebabkan penumpukan gas CO di atmosfer (Hewitt, et al., 2003).

2.2.2 NOx (Nitrogen Oxide)

Nitrogen oxide (NOx) adalah suatu

bentuk umum dari sekumpulan gas yang sangat reaktif, yang terdiri dari nitrogen dan oksigen dalam jumlah yang variatif. NOx

sebagian besar merupakan jenis gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, tetapi salah satu jenis polutan turunannya yaitu NO2 yang

terdispersi di udara dapat terlihat berwarna coklat kemerahan. NOx terbentuk ketika bahan

bakar di hutan seperti kayu kering dan serasah terbakar adalah suhu tinggi.

NOx dapat menimbulkan masalah

kesehatan dan lingkungan yang disebabkan oleh gas-gas turunan dari Nitrogen oksida, seperti Nitrgen dioksida (NO2), asam nitrit,

Nitrous oksida (N2O), dan lain-lain.

Ground-level Ozone atau yang lebih populer dengan sebutan Smog (smoke dan fog) terbentuk ketika NOx bereaksi dengan VOC (volatile

organic compounds) dengan bantuan cahaya matahari. NOx dan Ozon di permukaan

merupakan polutan yang bersifat toksik bagi kehidupan. NOx dan SO2 yang bereaksi dengan

berbagai subtansi konsentrat dan air dapat menyebabkan terjadinya hujan asam.

Siklus global nitrogen yang dinamis menyebabkan rata-rata waktu tinggal gas NOx

di udara realtif pendek. NOx rata-rata berada di

atmosfer hanya berkisar antara 1 hingga 4 hari. Waktu tinggal atmosfer yang relatif pendek ini menyebabkan efek terbesar NOx terjadi dalam

skala regional dan lokal (Seinfeld, 1986).

2.2.3 PM2,5 (Particulate Matter)

Particle pollution atau Particulate matter adalah suatu campuran partikel-partikel solid dan tetesan air yang dapat ditemukan di

udara. Beberapa jenis partikel seperti debu, kotoran, jelaga, atau asap cukup besar atau cukup gelap untuk dapat dilihat oleh mata, sedangkan sebagian besar lainnya sangat kecil hingga hanya dapat dideteksi melalui mikroskop elektron.

Partikel-partikel ini dapat memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran dan dapat terbentuk dari ratusan jenis zat kimia. Ukuran partikulat di atmosfer biasanya dibagi menjadi dua yaitu fine particles yang memiliki ukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer atau biasa disebut PM2,5 dan coarse particles yang

berukuran lebih besar dari 2,5 mikrometer dan lebih kecil dari 10 mikrometer atau biasa disebut PM10 (Hewitt, et al., 2003). Partikulat

dapat dibagi menjadi primary particles dan

secondary particles.

Primary particles atau

partikel-partikel utama merupakan partikel-partikel polutan yang diemisikan secara langsung dari sumber emisi, seperti situs-situs pembangunan, perbaikan jalan, ladang, dan kebakaran hutan.

Secondary particle merupakan partikel yang terbentuk hasil reaksi kimiawi rumit yang mentransformasikan gas menjadi partikel yang terjadi di atmosfer seperti sulfur dioksida dan nitrogen oksida yang diemisikan oleh pembangkit energi, industri, dan kendaraan bermotor (Hewitt, et al., 2003).

Partikulat yang teremisikan ke atmosfer akan mengalami proses perubahan bentuk, ukuran, dan komposisi kimiawinya oleh beberapa mekanisme yang akan terus terjadi hingga partikel-partikel tersebut akan mengalami proses deposisi. Adanya mekanisme transformasi menyebabkan waktu tinggal rata-rata partikulat di atmosfer bawah bertahan hingga satu minggu. Ketinggian berpengaruh terhadap proses deposisi partikulat, pada ketinggian rendah biasanya terjadi deposisi secara langsung ata deposisi kering, sedangkan di ketinggian lebih dari 100 meter biasanya terjadi deposisi basah (Seinfeld, 1986).

Polusi partikel terutama jenis PM2,5

yang mengandung konsentrat solid berukuran mikroskopis atau tetesan cairan yang berukuran sangat kecil dapat masuk ke dalam sistem pernapasan hingga ke paru-paru dan dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius bahkan dapat memicu timbulnya kanker paru-paru dan jantung koroner hingga menyebabkan kematian. PM2,5 juga

(15)

keseimbangan hara tanah dan tanaman. PM2,5

juga dapat merusak bebatuan dan berbagai material lainnya termasuk objek-objek penting seperti monumen dan patung.

Pencemaran udara yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dipengaruhi oleh faktor alam. Proses transportasi polutan dan penyebaran gas maupun partikulat sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan topografi di sekitar sumber pencemar.

2.3 Faktor Alam yang Mempengaruhi Polutan

Alam secara natural memiliki kemampuan untuk menetralisasi dan memperbaiki dan menjaga kondisi keseimbangan keberadaan suatu zat pencemar yang diemisikan ke alam. Alam memiliki kemampuan untuk menyebarkan (dispersi) zat-zat pencemar dengan bantuan angin sehingga tidak terjadi penumpukan konsentrasi zat pencemar di daerah tertentu.

Beberapa cara untuk mengurangi konsentrasi gas-gas pencemar yang diemisikan, seperti dengan keberadaan hujan yang membantu proses pencucian gas-gas pencemar atau angin yang membantu atmosfer untuk mendispersikan gas-gas pencemar. Namun, pembangunan yang berjalan cepat dan emisi gas-gas pencemar yang terus bertambah dengan cepat membuat atmosfer hampir kehilangan kemampuan untuk menetralisasi kondisi udara.

Proses pendistribusian asap kebakaran hutan atau gas-gas pencemar dipengaruhi oleh faktor meteorologi dan topografi.

2.3.1 Faktor Meteorologis a. Arah dan Kecepatan Angin

Arah dan kecepatan angin memegang peranan penting dalam proses pengenceran

(dilution) dan pemindahan (transportation). Peningkatan kecepatan angin akan menyebabkan penambahan jumlah volume udara bersama gas-gas polutan yang terkandung dalam suatu kurun waktu tertentu. Proses penyebaran (dispersion) banyak dipengaruhi oleh variasi arah angin, jika arah angin secara kontinu menyebar ke berbagai arah maka area sebaran polutan semakin luas sedangkan apabila arah angin dominan tetap bergerak hanya ke satu arah tertentu maka daerah tersebut akan memiliki tingkat paparan polutan yang tinggi (Liptak et al., 2000). b. Turbulensi Atmosfer

Aliran udara yang bergerak dipengaruhi oleh kekasapan permukaan sehingga membentuk pergerakan tiga

dimensional yang disebut turbulensi. Turbulensi eddy dihasilkan dari dua proses: (1) turbulensi termal yang dihasilkan dari pemanasan atmosfer, dan (2) turbulensi mekanik yang dihasilkan pergerakan udara yang melalui suatu permukaan yang kasap dalam aliran angin. Turbulensi membantu proses dispersi polutan dengan menyebarkan ke segala arah (Liptak et al., 2000).

c. Suhu Udara

Profil suhu udara lapisan troposfer memegang peranan penting dalam proses dispersi polutan. Profil suhu dari permukaan bumi hingga tropopause akan berbanding terbalik (lapse rate) terhadap ketinggian. Variasi suhu udara akan memicu terjadinya gradien tekanan di permukaan yang akan mengakibatkan variasi arah dan kecepatan angin. Variasi suhu udara juga dapat mempengaruhi stabilitas udara yang terbentuk, yang kemudian akan berperan dalam proses dispersi vertikal polutan.

d. Kelembaban Udara

Kelembaban udara sangat berpengaruh dalam proses terjadinya kebakaran hutan. Pada kondisi kelembaban udara rendah ranting-ranting mengering sehingga kebakaran semakin mudah terbentuk dan kebakaran hutan meluas lebih cepat (Fuller, 1991).

Kelembaban udara juga sangat berpengaruh dalam menentukan konsentrasi polutan di atmosfer. Kondisi kelembaban yang rendah maka konsentrasi polutan semakin tinggi.

e. Radiasi Matahari

Radiasi matahari berperan penting dalam memanaskan permukaan bumi dan menentukan suhu permukaan bumi. Radiasi matahari yang tinggi akan meningkatkan suhu permukaan dan sebaliknya. Kenaikan suhu permukaan akan menyebabkan terjadinya distribusi tekanan udara sehingga memicu timbulnya angin. Angin yang berhembus pada musim kemarau dapat menimbulkan gesekan ranting-ranting kering yang merupakan salah satu bahan bakar terjadinya titik-titik api. f. Presipitasi

(16)

3 3 * 0 ˆ q Kg u T C L= −ρ p

3 * 0 3 3 u T Cˆ q Kgx Rf

ρ

− =

efisiensi proses ini bergantung pada kompleksitas hubungan antara kandungan polutan dan karakteristik presipitasi. Proses yang banyak terjadi dan sangat efektif adalah proses wash out partikel-partikel besar di lapisan bawah atmosfer dimana sebagian besar polutan diemisikan (Liptak et al., 2000). g. Stabilitas Udara

Stabilitas udara sangat dipengaruhi oleh perbedaan antara nilai dry adiabatic lapse rate dan environmental lapse rate. Kondisi udara tidak stabil terjadi apabila parsel udara bergerak naik atau turun dengan nilai penurunan suhu yang lebih rendah dibandingkan nilai dry adiabatic lapse rate, kondisi ini meningkatkan tingginya pergerakan vertikal parsel udara dan terjadinya turbulensi. Kondisi udara stabil terjadi apabila parsel udara bergerak naik dan memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan kondisi sekitarnya ataupun sebaliknya. Pada kondisi ini pergerakan vertikal udara tertahan oleh pendinginan atau pemanasan adiabatic (Liptak et al,. 2000)

Variasi diurnal radiasi matahari yang mempengaruhi suhu udara memegang peranan penting dalam menentukan kestabilan atmosfer. Pada malam hari kondisi udara stabil karena suhu permukaan tanah lebih rendah daripada suhu udara. Pada saat matahari terbit dan kondisi udara cerah radiasi matahari memanaskan permukaan tanah lebih cepat dibandingkan udara, kondisi ini memicu timbulnya turbulensi udara. Ketebalan lapisan konvektif semakin meningkat pada siang hari akibat pemanasan lapisan permukaan tanah, sehingga kondisi atmosfer menjadi tidak stabil karena pergerakan udara menjadi sangat dinamis. Pada sore hari suhu udara sama dengan suhu permukaan tanah, sehingga profil suhu udara menjadi adiabatik karena tidak adanya fluks bahang dari permukaan tanah (Seinfeld, 1986).

Kriteria kestabilan udara dapat ditentukan melaui Obukhov Length Scale. Nilai Obukhov Length Scale dapat didekati berdasarkan nilai Richardson fluks Rf, nilai

Reynold stress adalah konstan dan sama dengan , dan rata-rata fluks bahang turbulen adalah konstan, sehingga nilai Rf :

2.1

Nilai Rf merupakan panjang tanpa dimensi geometri,

2.2

Dimana nilai L adalah Obukhov Length Scale

2.3

L adalah ketinggian diatas permukaan tanah dimana turbulensi terjadi akibat energi mekanik dan buoyancy sebanding (Seinfeld, 1986).

Penentuan kestabilan udara dengan menggunakan skala panjang Obukhov dibagi menjadi lima kriteria, yaitu sangat tidak stabil, tidak stabil, netral, stabil dan sangat stabil. Tabel 3 menunjukkan kriteria penentuan kestabilan atmosfer dengan skala panjang Obukhov.

Tabel 2. Kestabilan atmosfer skala panjang Obukhov

Panjang Obukhov (L dalam meter)

Kriteria Kestabilan Kecil Negatif -100 < L

L < 0

Sangat Tidak Stabil Besar Negatif -105≤ L

L ≤ -100

Tidak Stabil

Sangat Besar (+ / -)

│L│> 105 Netral

Besar Positif 10 ≤ L L ≤ 105

Stabil

Kecil Positif 0 < L < 10 Sangat Stabil Sumber : Seinfeld (1986)

Penyebaran asap sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca terutama angin (kecepatan dan arah) dan stabilitas atmosfer (stabil, tidal stabil dan netral). Pada keadaan atmosfer tidak stabil dimana massa udara dari permukaan mengalami pengangkatan dan massa udara akan cenderung naik terus, maka asap akan mudah menyebar dan mengalami pencampuran dengan udara sehingga asap tidak tertahan pada lapisan troposfer bawah dekat permukaan. Situasi seperti ini tidak membahayakan dari segi pencemaran akibat asap. Pada keadaan atmosfer stabil di mana massa udara akan mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu dan akan turun kembali, maka hal ini akan sangat berbahaya karena akan menyebabkan asap terangkat, tetapi kemudian dapat turun kembali di daerah lain. Hal ini menjelaskan mengapa asap di Indonesia dapat mencapai negara tetangga atau yang biasa kita kenal dengan istilah ' ' 3 1u u

ρ

− 3 * u ρ ' ' ˆ 3 3 ρC u θ

q = p

(17)

transboudary haze pollution. Pada keadaan atmosfer netral di mana massa udara akan tetap (tidak mengalami pengangkatan dan tidak turun), maka asap yang timbul akan bertahan di daerah asalnya sehingga hal itu juga berbahaya bagi kesehatan dan dapat mengganggu aktivitas (Saharjo, 2003).

h. Mixing Height

Stabilitas atmosfer menentukan batas ketinggian terjadinya pencampuran antara polutan dengan udara yang lebih bersih yang berada di atasnya. Jarak vertikal antara permukaan bumi dan suatu ketinggian maksimum dimana terjadinya pergerakan konveksional disebut mixing height. Secara umum, semakin tinggi mixing height maka kondisi kualitas udaranya semakin baik. Ketinggian mixing height yang mencapai beberapa kilometer akan menyebabkan polutan bercampur dengan jumlah massa udara bersih yang banyak dan mengalami proses pengenceran yang lebih cepat. Saat mixing height relatif rendah maka polutan hanya tercampur dengan massa udara bersih yang sedikit, sehingga konsentrasi polutan dapat menyentuh level berbahaya bagi kesehatan. Saat kondisi udara stabil, pergerakan konveksional tertekan dan mixing height

menjadi rendah. Sebaliknya kondisi atmosfer tidak stabil menyebabkan udara bergerak naik dan mixing height yang lebih tinggi. Pemanasan permukaan bumi yang sebagian besar terjadi karena radiasi matahari membantu pergerakan konveksional, sehingga mixing height biasanya lebih tinggi pada siang dan sore hari (Lutgens, et al., 2004).

2.3.2 Faktor Topografi

Topografi pada suatu daerah terdiri dari baik kondisi alamiah (bukit, laut, sungai, danau, lembah, dan muara) dan kondisi buatan manusia (kota, jembatan, jalan, dan kanal). Topografi sangat mempengaruhi elemen-elemen meteorologi, terutama meteorologi skala lokal.

Topografi juga mempengaruhi

kondisi meteorologi skala mikro dan meso di sekitar sumber emisi polutan. Pola aliran udara lokal memiliki efek signifikan dalam proses dispersi polutan. Pegunungan dan perbukitan juga dapat mempengaruhi aliran udara lokal seiring dengan peningkatan kekasapan permukaan dan memperlambat kecepatan angin. Pegunungan dan perbukitan merupakan penahan alamiah dalam pola pergerakan aliran udara (Liptak et al., 2000).

Daerah yang memiliki banyak pegunungan dan perbukitan akan menyebabkan aliran udara melambat sehingga proses dispersi polutan menurun dan tingkat konsentrasi polutan di daerah tersebut meningkat. Daerah yang tidak memiliki pegunungan dan perbukitan tidak memiliki tahanan alamiah sehingga aliran udara lancar dan proses dispersi polutan berjalan baik dan sebaran polutan akan semakin luas dan menurunkan tingkat konsentrasi polutan pada suatu daerah.

2.4 Kalimantan

Kalimantan adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat Pulau Sulawesi. Pulau Kalimantan dimiliki oleh 3 negara yaitu, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Pulau Kalimantan juga merupakan pulau ketiga terbesar di dunia setelah Greenland dan seluruh pulau Papua.

Gambar 3. Kalimantan

Pulau Kalimantan atau sebelumnya dikenal dengan nama Borneo terbentang di katulistiwa antara 70° LU dan 40° LS, merupakan kawasan bercurah hujan konstan dan bersuhu tinggi sepanjang tahun. Oleh karena itu, pulau ini memiliki beberapa habitat tropis tersubur di muka bumi dan memiliki hutan basah tropis terluas di kawasan Indomalaya. Pulau ini kaya akan keragaman hayati. Bagian terbesar Borneo (539.460 km2 atau 73%) terletak di wilayah Indonesia dan disebut Kalimantan.

(18)

539.460 km2. Luas ini merupakan 28% seluruh daratan Indonesia. Bagian utara Borneo meliputi dua negara bagian Malaysia, yaitu Sarawak dan Sabah, dan Kesultanan Brunei Darussalam.

Kalimantan memiliki kekayaan hutan yang berlimpah ruah. Pada tahun 1968, Kalimantan ditaksir mempunyai 41.470.000 ha hutan atau kira-kira 70%. Luas ini mencakup 34% seluruh luas hutan di Indonesia. Menjelang tahun 1990, dengan basis data yang lebih baik, luas lahan di Kalimantan yang masih tertutup hutan hanya 34.730.000 hektare atau 63%. Angka ini menunjukkan kehilangan hutan tujuh juta hektar selama dua puluh tahun (Rico, 2004).

Curah Hujan Kalimantan 2006

0 200 400 600 800 1000 1200 Janu ari Feb

ruariMaret April Mei Juni Juli Agu

stus Sept

embe r Oktob

er Nove mber Desem ber Bulan Cu ra h   Hu ja n   (m m) PONTIANAK/SUPADIO PALANGKARAYA/PANARUNG

BANJARMASIN/SYAMSUDDIN NOOR SAMARINDA/TEMINDUNG

Gambar 4. Curah Hujan Kalimantan 2006 Sumber : BMG (2008)

Kalimantan memiliki tipe curah hujan yang relatif serupa di setiap provinsi. Rata-rata curah hujan di Kalimantan tinggi pada bulan Desember, Januari, dan Februari sedangkan curah hujan relatif rendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Tabel curah hujan Kalimantan pada tahun 2006 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kalimantan juga memiliki beberapa kawasan Taman Nasional yang relatif tidak terganggu dan memiliki nilai alami khusus dengan kepentingan konservasi yang tinggi, seperti Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Gunung Palung, dan Taman Nasional Bukit Baka.

Hutan Hujan Tropis merupakan jenis hutan yang dominan terdapat di Indonesia, hutan hujan tropis dapat ditemukan di sekitar garis equator seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan di sebagian daratan Papua. Hutan Hujan Tropis di Kalimantan dan Sumatera merupakan hutan hujan tropis terbesar dan memiliki tingkat keragaman hayati yang tertinggi di Asia Tenggara, dan merupakan hutan yang memiliki kekayaan spesies flora yang terbanyak di dunia (Glover, et al,. 1999). Hutan hujan tropis di Kalimantan memiliki ciri

khas tersendiri karena sebagian besar tumbuh di atas tanah gambut. Hutan hujan tropis juga terdapat di sekitar equator di Afrika dan Amerika Selatan.

Gambar 5. Sebaran Hutan Hujan Tropis (Michael G., 2001)

Hutan hujan tropis merupakan biomassa yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam hal struktur dan keragaman hayati. Kondisi sangat memungkinkan untuk pertumbuhan spesies tanaman dan hewan yaitu tingkat presipitasi yang tinggi dan temperatur tahunan yang relatif hangat.

Menurut pembagian iklim Koeppen hutan hujan tropis termasuk tipe iklim Af dan Am. Iklimnya dipengaruhi oleh sistem angin maritim yang berasal dari Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan, dan memiliki dua musim. Fluktuasi temperatur hutan hujan tropis kecil berkisar antara 34 °C dan 20 °C. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1250 hingga 6600 mm per tahun dan kelembaban udaranya berkisar antara 77 hingga 88 %. Hutan hujan tropis yang berada di daerah yang dipengaruhi oleh pola monsoonal akan memiliki satu musim kemarau (Hyde, 2002).

Luas hutan hujan tropis di dunia hanya berkisar sekitar 6 % dari luas dataran permukaan Bumi. Gambar 4 menunjukkan sebaran hutan hujan tropis yang merupakan rumah bagi lebih dari setengah spesies tumbuhan dan hewan yang hidup di Bumi.

National Academy of Science Amerika Serikat melaporkan bahwa dalam 1.000 hektare hutan hujan tropis mengandung sekitar 1.500 spesies tumbuhan berbunga, dan lebih dari 750 spesies tanaman, 125 spesies mamalia, 400 spesies burung, 150 spesies kupu-kupu, 100 spesies reptil, dan sekitar 60 spesies amfibi (Bagheera, 2007).

(19)

Kalimantan, merupakan hutan hujan tropis tertua yang terbentuk sejak zaman Pleistocene, 70 juta tahun yang lalu. Hutan hujan tropis di Malaysia, Kalimantan, dan Sumatera memiliki keistimewaan karena didominasi oleh family

Dipterocarpaceae. Tumbuhan jenis

Dipterocarp merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh hingga ketinggian 35 meter dan memiliki percabangan yang sangat luas. Ratusan spesies tanaman dan hewan yang hidup di hutan hujan tropis Asia Tenggara berada di ambang kepunahan akibat kerusakan hutan yang tak terkendali (Hyde, 2002).

Hutan Hujan Tropis alamiah memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap api, tetapi hutan hujan tropis dapat terbakar apabila musim kering yang panjang dan parah, terutama apabila kawasan hutan hujan tropis tersebut telah mengalami pembalakan atau telah terganggu. Hutan Hujan Tropis tidak mampu beradaptasi dengan kebakaran, dan proses pemulihannya sangat lambat setelah mengalami kebakaran dengan intensitas yang relatif tinggi.

Kalimantan dengan wilayah hutan yang sangat luas merupakan wilayah rawan kebakaran hutan Kebakaran hutan di Kalimantan diperparah dengan karakteristik sebagian besar tanah di pulau Kalimantan yang merupakan tanah gambut. Kebakaran hutan di Kalimantan sangat erat dengan kaitan pembukaan lahan baik karena illegal logging, pembukaan area pertanian maupun praktek-praktek pembersihan lahan untuk digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit.

Kebakaran hutan merupakan salah satu sumber emisi polutan berbentuk area atau wilayah. Penyebaran arah kebakaran hutan dipengaruhi oleh hembusan angin sehingga kebakaran yang awalnya bebentuk titik-titik api kemudian meluas menjadi kebakaran dalam suatu wilayah. Kondisi topografi pulau Kalimantan yang relatif rata dan tidak memiliki banyak gugusan pegunungan dan perbukitan menyebabkan kebakaran hutan meluas dengan sangat efektif.

2.5 Kebakaran Hutan dan Sejarahnya di Indonesia dan Kalimantan

Data-data dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa 60% dari polusi asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, berasal dari kebakaran di lahan-lahan gambut yang menutupi hanya 10-14% dari daratan Indonesia, terutama di pulau Kalimantan. (Project FireFight Southeast Asia Publication, 2003). Oleh karena itu, mencegah terbakarnya lahan gambut tersebut akan sangat mengurangi

polusi asap. Pencegahan kebakaran menjadi semakin penting karena pemadaman kebakaran di lahan gambut sangat problematis. Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut adalah dengan cara mengkonservasi lahan tersebut dalam keadaan alaminya karena (setelah terbakar) mereka tidak dapat direhabilitasi dan kondisi alaminya yang ‘tahan api’ tidak dapat diciptakan kembali.

Lahan-lahan gambut merupakan areal “penyimpan” karbon yang sangat penting. Mereka hanya menutupi sekitar 3% dari luas bumi, namun mengandung 20-35% dari semua karbon yang tersimpan di permukaan bumi. Lahan-lahan gambut tropik, seperti di Asia Tenggara, mempunyai kapasitas penyimpanan karbon yang sangat tinggi (3-6 kali lebih tinggi daripada lahan-lahan gambut di daerah beriklim sedang). Mereka juga sangat kaya akan keanekaragaman jenis hayati dengan banyak jenis yang unik dan hanya dijumpai di daerah rawa-rawa gambut (Project FireFight Southeast Asia Publication, 2003).

Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasan-kawasan gambut yang dibalak dan dikeringkan. Kegiatan ini menggali kanal-kanal di kawasan-kawasan tersebut untuk mengeringkan lahan gambut, menyediakan akses untuk pembalakan, dan untuk meyiapkan lahan bagi usaha-usaha pertanian. Langkah pertama ini bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi atau pengairan di lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah. Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon dan dengan demikian juga kemampuannya untuk mengatur keluar-masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi.

(20)

(Project FireFight Southeast Asia Publication, 2003).

Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala di bawah permukaan dalam waktu yang lama (bahkan tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih kering lagi. Api yang menyala di bawah permukaan merusak sistem perakaran pohon. Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar yang potensil bagi kebakaran berikutnya.

Penelitian yang dilakukan terhadap arang yang terdapat di tanah mengindikasikan bahwa kebakaran hutan secara periodik terjadi semenjak 17.500 tahun yang lalu. Penyebab utama kebakaran hutan saat itu mungkin terjadi secara alamiah karena kondisi iklim saat itu yang lebih kering dibanding saat ini, tetapi manusia juga telah mulai membakar hutan lebih dari puluhan ribu tahun yang lalu untuk perburuan dan pertanian (Glover, et al., 1999).

Pada abad 20, Statistik Kehutanan Indonesia pertama kali memuat luas hutan yang terbakar pada tahun 1978-1979. Kejadian kebakaran hutan besar yang terekam paling awal dan cukup lengkap adalah kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983, semenjak itu, kebakaran hutan merupakan kejadian yang rutin di Indonesia pada umumnya dan Kalimantan khususnya hingga kini.

2.5.1 Kebakaran Hutan 1982-1983 dan 1987

Kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983 merupakan kebakaran hutan paling besar dalam sejarah. Kebakaran hutan yang menghancurkan 3,5 juta hektar hutan atau setara dengan 56 kali luas Singapura. Penyebabnya adalah perubahan struktur vegetasi akibat pembalakan kayu yang telah dimulai sekitar tahun 1970-an. Pembalakan menyisakan limbah kayu dalam jumlah besar yang menjadi bahan bakar. El Nino yang terjadi pada tahun 1982-1983 mengakibatkan terjadinya musim kemarau panjang sehingga memperparah kebakaran hutan. Rincian tipe vegetasi yang terbakar yaitu 800.000 ha hutan primer, 1.400.000 ha hutan yang sudah dibalak, 750.000 hutan sekunder atau ladang berpindah atau pemukiman, dan 550.000 ha lahan dan hutan rawa gambut (KLH, 2001).

Asap yang ditimbulkan menyebabkan transportasi udara lumpuh di Kalimantan

Timur, bahkan Surabaya. Asap juga menggangu penerbangan dari dan ke Jakarta maupan dari dan ke Singapura serta melumpuhkan transportasi air di Balikpapan. Asap menimbulkan iritasi mata dan tenggorokan walaupun tidak ada catatan adanya korban jiwa. Masyarakat juga mengalami kerugian sosial ekonomi, diantaranya adalah berkurangnya cadangan makanan dan pasokan air bersih, terhambatnya akses ke desa terpencil, berkurangnya hasil hutan, dan dampak pada pendapatan tunai serta pekerjaan alternatif.

Kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1987 yang melanda hampir semua propinsi terutama bagian timur Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Timor, serta Sulawesi dan Kalimantan Tengah. Indonesia kembali mengalami El Nino yang mengakibatkan terjadinya kemarau panjang sejak pertengahan bulan Juni 1987. Penyebab kebakaran hutan tahun 1987 disebabkan oleh kemarau panjang, perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat setempat, areal HPH yang tidak dikelola dengan baik, dan batu bara yang menyala terus menerus di Kalimantan Timur (KLH, 2001).

2.5.2 Kebakaran Hutan 1991 dan 1994 Kebakaran hutan terjadi lagi pada tahun 1991 dan dampaknya lebih luas hingga mencakup 23 propinsi dibandingkan kebakaran hutan pada tahun 1987. Pada tahun 1991 juga mulai muncul kesadaran bahwa kebakaran hutan juga menimbulkan kerugian di berbagai sektor non-kehutanan terutama perhubungan. Kerugian ini berkaitan dengan asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan.

Maskapai Merpati Nusantara Airlines melaporkan 337 pembatalan penerbangan dari dan ke Sumatera dan Kalimantan dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp 6,5 milyar. Tingkat hunian di berbagai hotel di Kalimantan dan Sumatera turun 20 hingga 70 persen karena bandara-bandara harus ditutup akibat kabut asap yang menurunkan jarak apandang atau visibilitas. Penyebaran asap ke negara tetangga di Asia Tenggara mulai dirasakan. Pemerintah Malaysia melaporkan kasus iritasi mata dan penyakit pernafasan meningkat. Singapura juga mengalami peningkatan penyakit pernafasan dan iritasi mata pada bulan September 1991 dan jarak pandang hanya satu kilometer (Skpehi, 1992 dalam KLH, 2001).

(21)

masih belum menyentuh dua akar permasalahan utama yaitu perubahan vegetasi serta pembukaan lahan dengan menggunakan api, sehingga berakibat kembali terjadinya kebakaran hutan besar pada tahun 1994. Kebakaran hutan meluas hingga menghancurkan sekitar 4 juta hektar namun hanya sekitar 8000 hektare lahan hutan alam yang terbakar sedangkan sisanya merupakan daerah hutan produksi dan perkebunan serta pertanian (Goldammer, 1997 dalam KLH, 2001).

Peristiwa kebakaran tahun 1994 memproduksi asap yang dirasakan semakin menggangu kehidupan dan aktifitas sehari-hari. Banyak bandara di Sumatera dan Kalimantan yang ditutup karena jarak pandang pendek karena tertutup kabut asap. Asap tebal yang disebabkan kebakaran hutan di Indonesia menyelimuti wilayah Malaysia dan Singapura sejak pertengan September 1994. Asap itu juga menyebar ke Brunei Darussalam dan diperkirakan bergerak menuju Thailand (KLH, 2001).

2.5.3 Kebakaran Hutan 1997

Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 meliputi 25 propinsi di Indonesia, hanya di Jakarta dan Timtim yang tidak melaporkan adanya kebakaran hutan. Propinsi yang kondisinya paling buruk adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada akhir

September 1997, dapat diidentifikasikan sebanyak 167 titik api. Pada bulan Oktober 1997 api telah mebakar sedikitya 627.280 ha lahan. Sebesar 72 persen dari areal yang terbakar berlokasi di kalimantan, termasuk 260.000 lahan gambut di kalimantan Tengah (KLH, 2001).

Beberapa hal menjadi catatan penting dari kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997. Pertama pemerintah mulai menyadari sebagian besar api disebabkan oleh pembukaan lahan skala besar untuk perkebunan, HTI (Hutan Tanaman Industri), dan transmigrasi.

Kedua, dampak asap pada kesehatan mulai dikhawatirkan terutama merebaknya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) akibat kabut asap. Ketiga, asap yang meluas ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga lebih serius dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Keempat, untuk pertama kalinya kebakaran hutan dan lahan dinyatakan sebagai bencana nasional. Kelima, informasi mengenai luas lahan yang terbakar, bandara yang tertutup, kualitas udara, dampak ekonomi dan ekologi lainnya cukup terbuka dibicarakan. Tabel 3 menunjukkan sebaran luas kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1984 hingga tahun 1997. Tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997 Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan yang luas, lebih dari 50.000 hektar.

Luas kebakaran hutan di seluruh Pulau Kalimantan sebelum tahun 1990

1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990

Sumatra 4,808.34 17,747.40 10,235.67 12,582.90 6,123.30 6,123.30 13,928.65

Jawa 10,263.40 5,095.06 5,064.97 17,984.40 10,156.10 10,156.10 5,423.90

Nusa Tenggara 8.00 12,111.50 969.56 6,344.30 609.20 609.20 2,829.00

Kalimantan 0.00 0.00 4,689.00 2,368.10 745.00 745.00 1,314.99

Sulawesi 0.00 1,516.00 879.00 9,760.70 27.80 27.80 1,454.00

Maluku & Irja 1,984.00 8,085.00 2,236.00 2,021.00 1,988.00 1,989.00 2,613.00

Jumlah 17,063.74 44,554.96 24,074.20 51,061.40 19,649.40 19,650.40 27,563.54

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Sumatra 25,685.92 2,911.50 27,244.00 32,054.00 303.65 2,280.00 72,306.27

Jawa 35,071.77 5,791.10 4,704.20 95,364.00 5,722.18 5,519.90 26,965.59

Nusa Tenggara 19,455.87 5,303.05 8,591.28 10,435.00 548.00 1,012.35 9,398.07

Kalimantan 29,901.62 356.00 352.00 18,292.00 75.50 1,101.96 73,990.14

Sulawesi 8,501.00 0.00 6.00 4,521.00 56.25 442.00 25,879.83

Maluku & Irja 2,256.00 1,992.00 1,993.00 3,126.00 1,995.00 1,996.00 44,701.07

Jumlah 120,872.20 16,353.65 42,890.48 163,792.00 8,700.58 12,352.21 253,241.97 Tabel 3. Luas Kebakaran Hutan (Ha) Tahun 1984 – 1997

(22)

rata 1600 ha per hutan, namun setelah tahun 1990 khususnya tahun 1991, 1994, dan 1997 mencapai luas rata-rata 19.998 ha. Provinsi Kalimantan Timur mengalami kebakaran hutan setiap tahun semenjak 1990, nampaknya hal ini terjadi karena perubahan ekologi semakin cepat terjadi di Kalimantan dan juga luas konversi lahan semakin meningkat (KLH, 2001).

Beberapa model telah dikembangkan untuk memodelkan dispersi dan trayektori polutan, salah satunya adalah TAPM. TAPM dikembangkan pertama kali digunakan untuk memodelkan urban polutan namun pada perkembangannya TAPM juga dapat digunakan untuk memodelkan kebakaran hutan.

2.6 The Air Pollution Model (TAPM)

TAPM dikembangkan oleh para ilmuwan Australia’s Commonwealth Scientific and Research Organization (CSIRO), adalah model simulasi tiga dimensi untuk bidang pencemaran udara, TAPM juga mampu memprediksikan seluruh parameter meteorologi yang dibutuhkan untuk kajian studi lebih lanjut tanpa membutuhkan data-data lokal. Termasuk pula fenomena meteorogi lokal seperti angin laut dan aliran udara di atas permukaan dengan menggunakan analisis atau prediksi pergerakan sinoptik yang telah disediakan. TAPM juga dilengkapi GUI

(Graphical User Interface) dan GIS

(Graphical Information System) yang mampu menghasilkan animasi dari hasil simulasi. Software TAPM merupakan pengembangan dari LADM (Lagrangian Atmospheric Dispersion Model) yang keduanya dikembangkan oleh CSIRO, Australia. TAPM ini bekerja pada sistem Windows, sehingga lebih memudahkan bagi pengguna. Besarnya konsentrasi polutan dan parameter meteorologi dapat dilihat pada tiap grid dan level ketinggian.

Pengguna TAPM tidak memerlukan data hasil observasi meteorologis, karena akan sangat sulit untuk memenuhi standar presisi yang diberlakukan dengan software ini, sebagai gantinya TAPM menggunakan

database meteorologi yang dikeluarkan oleh CSIRO sebagai pengembang TAPM untuk memudahkan penggunanya. Database TAPM menggunakan citra satelit untuk menduga data meteorologi sinoptik setiap 6 jam. Data TAPM ini mencakup wilayah seluruh dunia, termasuk Indonesia.

TAPM sebagai model prediksi polusi udara memiliki batasan dalam penggunaannya, yaitu :

a. Analisa optimum diperoleh untuk luas area horizontal kurang dari 1000 x 1000 kilometer karena TAPM mengabaikan gaya Coriolis sehingga bentuk bumi dianggap datar dalam memproyeksikan hasil trayektori.

b. Analisa optimum diperoleh untuk ketinggian atmosfer vertikal di bawah 5000 meter dan terbatas hingga 8000 meter.

c. TAPM tidak terlalu sesuai untuk daerah dengan topografi curam dan berbukit.

Metodologi yang dapat digunakan untuk mensimulasikan faktor meteorologi dengan menggunakan TAPM :

Deep Soil Volumetric Moisture Content: Kelembaban tanah memegang peranan penting dalam keseimbangan energi permukaan, karena dapat menghasilkan

overestimate fluks bahang terasa.

Kelembaban tanah memiliki pengaruh yang kuat terhadap suhu dan kecepatan angin.

Deep Soil & Sea Surface Temperature: SST dapat mempengaruhi kecepatan angin, di Canterbury Plains SST turun hingga 5 °C kurang dari 24 jam. Hal ini disebabkan oleh naiknya udara pada daerah pantai.

Rain or No Rain Process: Perubahan in awalnya karena pada TAPM version 2 hujan tidak dimasukkan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dispersi polutan.

Synoptic Presure Gradient Scaling Factor

Modifikasi nilai Synoptic Presure Gradient Scaling Factor, yang bernilai antara 0,5 hingga 1,5.

Parameter pencemaran udara TAPM yang menggunakan data prediksi meteorologi dan turbulensi, memiliki empat bagian penyusun yaitu

1. EGM (Eulerian Grid Module) untuk memecahkan persamaan rata-rata dan variasi konsentrasi, dan untuk korelasi silang antara konsentrasi dan suhu potensial.

2. LPM (Lagrangian Particle Module) dapat digunakan untuk merepresentasikan dispersi di dekat sumber pencemar dengan lebih akurat.

(23)

4. Building Wake Module memudahkan perhitungan penyebaran dan dispersi polutan dengan mempertimbangkan aspek meteorologi dan turbulensi.

Berbagai penelitian telah banyak memanfaatkan TAPM, terutama di Australia dan Selandia Baru untuk menentukan pengaruh faktor meteorologi terhadap trayektori pergerakan gas-gas pencemar udara. TAPM digunakan oleh Malaysia untuk menentukan asal asap kebakaran hutan yang menimpa wilayahnya.

Berbagai departemen yang terkait dengan masalah lingkungan di Malaysia bekerja sama dengan CSIRO melakukan penelitian hingga mendapatkan kesimpulan bahwa asap yang menyelimuti Asia Tenggara berasal dari kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera yang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan menggunakan api. Selain itu di Malaysia juga terjadi kebakaran hutan domestik yang menambah parah kondisi pencemaran udara yang terjadi.

Kebakaran hutan besar yang terjadi di Sumatera pada tahun 1997 menyelimuti lebih dari tiga juta kilometer persegi daerah Asia Tenggara dengan asap putih pekat, ribuan orang di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Indonesia mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan pernafasan. Hal ini menyebabkan kebakaran hutan tahun 1997 merupakan bencana lingkungan terbesar sejak perang Vietnam. Malaysia merupakan negara yang paling parah menerima akibatnya, nilai indeks polusi udara di Malaysia mencapai angka 650 pada bulan September 1998, melampaui tingkat berbahaya dengan nilai 300 – 500 (Pyper, 2002).

Uji sensitifitas TAPM juga telah dilakukan pada simulasi model TAPM di daerah Christchurch dimana kota di daerah Selandia Baru ini mengalami smog (smoke and gas) yang berasal dari kondisi dispersi polutan yang relatif buruk. TAPM digunakan untuk menjelaskan dan memprediksikan beberapa skenario dispersi smog berbeda, maka digunakan TAPM model pencemaran udara mesoscale. TAPM memiliki dua komponen utama yaitu komponen meteorologi dan komponen dispersi polutan. Tetapi dalam jurnal tersebut hanya komponen meteorologi yang akan dipelajari lebih lanjut.

Angin horizontal pada TAPM ditentukan melalui persamaan momentum dan untuk angin vertikal menggunakan

incompressible econtinuity equation. Suhu potensial virtual dan kelembaban spesifik dari

uap air, butir awan/es, air hujan, dan salju ditentukan melalui persamaan skalar. Tekanan udara yang digunakan (Tekanan Udara Exner) yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen hidrostatis dan komponen non-hirostatis. Persamaan Poison digunakan untuk memecahkan komponen non-hidrostatis. Persamaan energi kinetik turbulensi dan eddy disipation rate digunakan untuk menentukan turbulensi yang terjadi, termasuk proses mikrofisik untuk awan serta untuk estimasi fluks vertikal dengan menggunakan pendekatan difusi gradien termasuk counter-gradient expression untuk fluks panas. Pada permukaan, TAPM menggunakan pendekatan yang berbeda untuk tanah, tajuk tanaman, dan area urban (Hirdman, 2006).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya beberapa modifikasi untuk

meningkatkan keakuratan TAPM, yaitu: a. Proses hujan sebaiknya dimasukkan dalam

simulasi.

b. Modifikasi nilai Deep Soil Volumetric

Moisture Content (DSVMC) akan

menunjukkan nilai yang sangat berbeda-beda terhadap hasil akhir simulasi. Jika DSVMC dinaikkan maka terjadi ketidakakuratan kecil terhadap nilai kecepatan angin tetapi nilai kelembaban udara akan relatif lebih akurat. Namun, peningkatan ini akan menaikkan nilai error TAPM, sehingga non-modifikasi atau penurunan nilai DSVMC lebih disarankan. c. Penurunan nilai Sea Surface Temperature

yang akan mempengaruhi komponen arah angin akan menaikkan tingkat keakuratan hasil simulasi dibandingkan dengan data hasil observasi.

d. Perubahan Synoptic Presure Gradient

Scaling Factor sama sekali tidak

memberikan pada hasil akhir, sehingga model TAPM tidak sensitif terhadap modifikasi parameter ini. (Hirdman, 2006)

Evaluasi terhadap TAPM version 2 juga dilakukan di Australia dengan studi kasus daerah Adelaide. Evaluasi dilakukan terhadap dua komponen utam TAPM yaitu komponen meteorologi dan pencemaran udara untuk ozon. Evaluasi TAPM dilaksanakan di dua titik pengamatan, yaitu Bandara Internasional Adelaide yang mewakili daerah pesisir dan Kent Town yang mewakili daerah pedalaman.

(24)

Kent Town TAPM lebih baik dalam mengestimasi nilai ekstrim suhu daripada di Bandara Adelaide. Perbedan ini disebabkan oleh efek-efek meteorologis lokal yang sangat kuat pengaruhnya di daerah pesisir sehingga menyebabkan menurunnya tingkat akurasi simulasi (Adeeb, 2004).

Hasil evaluasi TAPM untuk perubahan arah angin menunjukkan kecepatan angin hasil simulasi lebih rendah di daerah pesisir dibandingkan dengan kondisi sebenarnya dan puncak kecepatan angin hasil simulasi di daerah pedalaman lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Beberapa aspek meteorologi skala meso seperti kecepatan hembusan angin laut dan gully winds

(hembusan angin yang bergerak dari utara ke arah timur) tidak terekam dengan baik. Angin skala meso dan stabilitas lapisan pembatas seharusnya dapat diperbaiki secara lebih komprehensif untuk proses estimasi pengaruh faktor meteorologis skala lokal terhadap kualitas udara dan distribusi polutan (Adeeb, 2004).

Pemodelan pencemaran asap kebakaran hutan merupakan hal yang sulit karena tidak ada yang mengukur nilai laju emisi kebakaran hutan sebagai input TAPM.

Global Fire Emissions Database ver 2

merupakan hasil model untuk mengukur laju emisi dan emisi kebakaran hutan yang dapat digunakan di seluruh dunia. Input laju emisi TAPM dapat ditentukan dengan menggunakan

Global Fire Emissions Database ver 2.

2.7 Global Fire Emissions Database ver 2

Global Fire Emissions Database

version 2 (GFEDv2) merupakan suatu dataset yang dikembangkan oleh para ilmuwan dari Belanda dan Amerika Serikat untuk menentukan estimasi emisi kebakaran hutan dan lahan. Proses estimasi dilakukan karena hasil observasi langsung sangat sulit dilakukan sehingga untuk mempermudah berbagai studi yang berkaitan dengan emisi kebakaran hutan dikembangkanlah suatu set data hasil analisa citra satelit MODIS dan pendekatan model

biogeochemical Carnegie-Ames-Stanford-Approach (CASA).

Model biosfer Carnegie-Ames-Stanford-Approach (CASA) merupakan model yang dapat menghitung fluks karbon global dengan menggunakan input model cuaca untuk menjalankan proses biofisik, seperti juga hasil observasi citra satelit Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk mencari fenologi tumbuhan. Versi output CASA yang telah digunakan, didasarkan pada kondisi cuaca

spesifik per tahun dan observasi citra satelit, dan termasuk efek api kebakaran terhadap fotosintesis dan respirasi tumbuhan (van der Werf et al., 2006).

GFEDv2 merupakan set data yang terdiri dari 1×1 derajat area lahan yang terbakar bulanan, fuel loads, combustion completeness, dan emisi kebakaran hutan (Karbon, CO2, CO,

CH4, NMHC, H2, NOx, N2O, PM2,5, TPM, TC,

OC, BC) untuk periode Januari 1997 – Desember 2005, kemudian diperbaharui hingga Desember 2006.

(25)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2007 sampai dengan bulan Desember 2007, yang dilaksanakan di Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara, Departemen Geofisika dan Meteorologi dan di Pusat Penelitian dan Pengembangan (PUSLITBANG) Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, seperangkat Personal Computer

(PC) didukung dengan software TAPM_GUI

ver. 3.7 dan Graphical Information System (GIS) ver 3.0 dari CSIRO-Australia, Arc View 3.3, Windrose dari Enviroware, dan Microsoft Office 2003. Software-software program digunakan dalam analisa pemodelan meteorologi dan polutan, serta penentuan arah trayektorinya.

3.2.2 Bahan

Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Data Input Utama TAPM

Data input utama TAPM adalah data yang tersimpan dalam database utama TAPM dengan file berekstensi *.sas dengan penamaan file tersebut merujuk pada tanggal perekaman data. File-file tersebut terdiri dari :

• Database topografi dan karakteristik tanah Keadaan topografi dan karakteristik tanah setiap 1 kilometer persegi, didapat dari US Geological Survey, Earth Resource Observation System, Data Center Distributed Active Archive Center.

• Vegetasi dan tipe tanah

Karakteristik daratan dan pola tutupan lahan setiap 1 kilometer persegi, didapat dari US Geological Survey, Earth Resource Observation System, Data Center Distributed Active Archive Center. • Suhu permukaan laut

Rata-rata bulanan suhu permukaan laut setiap 1 kilometer persegi, didapat dari US National Center for Atmospheric Research

(NCAR).

• Analisa sinoptik meteorologi

Analisa sinoptik meteorologi dengan interval waktu 6 jam setiap 75 s/d 100 km persegi, didapat dari analisa LAPS atau

GASP Bureau of Meteorology. b. Data Lokasi Hotspot Tahun 2006

Data lokasi titik-titik hotspot yang terdeteksi pada bulan Mei yang mewakili

musim transisi 1, bulan Juli yang mewakili musim kemarau (kering), bulan September yang mewakili musim transisi 2, dan bulan Desember yang mewakili musim hujan (basah). Data lokasi titik-titik hotspot didapatkan dari situs Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

c. Data Emisi Kebakaran Hutan

Data emisi kebakaran hutan merupakan hasil estimasi yang terdiri dari data emisi CO, NOx, dan PM2,5 merupakan hasil

analisa citra satelit MODIS dan dengan pendekatan model biogeochemical Carnegie-Ames-Stanford-Approach (CASA). Data emisi kebakaran hutan yang digunakan suatu set data global yang diemisikan setiap satu grid koordinat Bumi sehingga untuk mendapatkan emisi yang sesuai setiap area kebakaran hutan maka luas area kebakaran hutan h

Gambar

Gambar 11. Area Kebakaran Hutan Musim
Gambar 14. Laju Emisi CO
Gambar 19. Radiasi Total Matahari; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim
Gambar 20. Kecepatan Angin; a. Kalbar, b. Kalteng, c. Kalsel, d Kaltim
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemesanan barang yang saat ini digunakan oleh Kantor Cabang Rajawali Hiyoto, Cirebon adalah sistem persediaan dengan interval waktu pemesanan yang tetap yaitu setiap 4

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui profil mahasiswa Kalimantan Barat di Yogyakarta pengguna layanan jasa tiket pesawat Batavia Air pada PT Mitra Persada

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui profil mahasiswa Kalimantan Barat di Yogyakarta pengguna layanan jasa tiket pesawat Batavia Air pada PT Mitra Persada

Atribut-atribut yang berada pada kuadran IV (tingkat kepentingan tinggi, tetapi tingkat performansinya rendah), yaitu: air dapat langsung digunakan untuk minum,

vegetasi dari satelit ditempelkan di atas citra foto udara pada area yang sama. Penajaman kontras, yaitu memperbaiki tampilan citra

Hasil penelitian ini ditemukan bentuk perbuatan yang mengakibatkan kebakaran hutan di Gunung Arjuno-Welirang Kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo Jawa Timur yaitu