• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan anak nakal berbasis masyarakat dengan Restorative Justice: kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanganan anak nakal berbasis masyarakat dengan Restorative Justice: kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS

MASYARAKAT DENGAN

RESTORATIVE JUSTICE

(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung)

B U D I A N A

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice ( Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2009

(3)

RINGKASAN

BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS.

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.

Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.

Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga.

Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.

(4)

Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA, mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice, mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA

Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus.

Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal.

Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se- Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik

Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya

Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal.

Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.

(5)
(6)

PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS

MASYARAKAT DENGAN

RESTORATIVE JUSTICE

(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung)

B U D I A N A

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R

(7)

Judul Tugas Akhir : Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice

(Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung )

Nama : Budiana NRP : I354070315

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Ketua Anggota

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan

Masyarakat,

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

P R A K A T A

Puji dan syukur sepatutnya senantiasa dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT. karena atas berkat, rahmat dan karunia-NYA maka penulisan tugas akhir dapat diselesaikan sesuai waktunya. Karya tulis Pengembangan masyarakat ini diberi judul “Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice sebuah karya studi kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung.

Penulisan studi kasus ini merupakan tugas akhir bagi Mahasiswa Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional (MP). Penulisan ini juga sebagai aplikasi dari materi perkuliahan dan diantaranya melalui proses Praktek Lapangan berupa Pemetaan sosial dan Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat di lokasi kajian. Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak, dan karenanya atas segala kebaikan yang diterima pada kesempatan yang baik ini ingin disampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1. Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku komisi pembimbing, yang mana disela kesibukannya senantiasa meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi penyelesaian kajian ini.

2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku Dosen Penguji luar komisi yang banyak memberikan masukan-masukan bagi perbaikan kajian ini.

3. Bapak Ketua Program Studi beserta seluruh Dosen pendukung perkuliahan pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat (MPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB).

4. Bapak Agus Wiryawan, Bc.IP, SH selaku Kepala Bapas Klas I Bandung dan Bapak Mardjuki, M.Si, selaku Kepala Administrasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat, atas dukungannya penulis memiliki kesempatan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana pada Institut Pertanian Bogor (IPB).

5. Bapak dan Ibu tokoh masyarakat di Pasanggrahan yang telah memberi dukungan mendalam selama pengumpulan data untuk kajian ini.

7. Ibunda dan Ayahanda yang mulia, Istri tercinta serta anak- anakku tersayang yang senantiasa memberi do’a dan semangat sejak awal perkuliahan hingga berakhirnya masa studi.

8. Rekan-rekan angkatan V Program Beasiswa Departemen Sosial pada studi Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah senantiasa banyak memberi dukungan dan bantuan moril dan spirituil selama masa perkuliahan berlangsung hingga selesainya penulisan kajian ini.

(9)

saya kiranya kajian ini memberi manfaat dan menjadi inspirasi bagi penggiat pengembangan masyarakat kini dan yang akan datang.

Bogor, Nopember 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 20 Oktober 1969 dari pasangan Adun dan Yayah Haryati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Desa Sukamukti Kecamatan Cilawau Garut tahun 1982, kemudian melanjutkan ke SMP Cilawu Garut tamat tahun 1985. Pada tahun 1988 lulus dari SMAN 2 Garut jurusan Biologi, selanjutnya melanjutkan ke STKS Bandung dan selesai pada tahun 1993.

Sejak tahun 1996 bekerja pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Tengah di Palu, dan pada tahun 2000 alih tugas ke Pemda Tk. I Jawa Barat selama 6 bulan, selanjutnya pada Bulan Juli 2000 alih tugas ke Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat dan ditempatkan pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung

(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

2.1 Pengembangan Masyarakat ... 5

2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal ... 7

2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Anak Nakal ... 9

2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana restorative justice... 14

2.5. Kenakalan Anak ... 15

2.6. Kerangka Pemikiran ... 26

III. METODOLOGI KAJIAN ... 27

3.1 Metode Kajian ... 27

3.2 Teknik Kajian ... 28

3.3 Metode Penyusunan Program ... 30

3.4 Prosedur dan Penyajian Data ... 30

IV. PETA SOSIAL DAERAH PENELITIAN ... 34

4.1 Kondisi Demografi dan kependudukan... 34

4.2 Sistem Ekonomi ... 40

4.3 Struktur Komunitas ... 41

4.4 Masalah Komunitas ... 48

V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK ... 50

5.1 Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justice ... 50

5.1.1 Proses Pembentukan ... 50

5.1.2 Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung ... 60

5.2 Kinerja Forum di Kelurahan ... 64

5.2.1 Perkembangan Forum ... 64

5.2.2 Proses Musyawarah Forum ... 66

5.2.3. Proses Relationship Building ... 68

5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi ... 70

VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM ... 73

6.1 Kinerja Anggota FMPA ... 74

6.1.1. Motivasi ... 74

(14)

6.1.3. Pengalaman ... 78

6.2. Peranan Inisiator FMPA ... 79

6.2.1. Unicef Jabar ... 79

6.2.2. LPA Jabar ... 80

6.2.3. LSM Saudara Sejiwa ... 81

6.3. Partisipasi Masyarakat ... 81

6.3.1. Orang Tua ... 82

6.3.2. Masyarakat Umum ... 84

6.3.3. Kelembagaan Masyarakat ... 84

VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM ... 87

7.1. Kasus Yang Ditangani FMPA ... 88

7.2. Evaluasi Masyarakat ... 93

7.3. Evaluasi Keluarga Korban ... 97

7.4. Evaluasi Keluarga Pelaku ... 99

VIII. PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS FORUM ... 100

8.1 Identifikasi Potensi, Permasalahan dan Kebutuhan ... 101

8.1.1. Identifikasi Potensi ... 101

8.1.2. Identifikasi Masalah ... 102

8.1.3. Identifikasi kebutuhan ... 103

8.2. Analisis Pohon Masalah ... 103

8.3. Rancangan Program ... 106

8.3.1. Program Jangka Pendek ... 108

8.3.2. Progam Jangka Panjang ... 109

8.3.3. Program Monitoring dan Evaluasi ... 112

IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 115

9.1 Kesimpulan ... 115

9.2 Rekomendasi ... 115

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data

Kajian Pengembangan Masyarakat di kelurahan Passanggrahan ... 31

2 Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Ke lamin Tahun 2008...

35

3 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Agama Tahun 2008...

37

4 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan kelompok Usia Tenaga Kerja Tahun 2008 ...

37

5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Umum Tahun 2008...

38

6 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Khusus

Tahun 2008 ... 39

7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk Tahun 2008 ...

39

8 Jumlah Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2008 ...

43 9 Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum

di Jawa Barat Tahun 2008 ... 54

10 Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa Barat Tahun 2008 ...

55

11 Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak Tahun 2008 di Jawa Barat...

56

12 Sosialisasi Program Restorative Justice ……….. 109 13 Pembentukan Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW

se-Kelurahan Pasanggrahan ………. 112

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Prinsip-prinsip Hak Anak ... 25 2 Kerangka Pemikiran ………. 26 3 Piramida Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan

Ujungberung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008 ...

36

4 Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum ...

73

(17)

Daftar Lampiran

Halaman 1 Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan

(18)

RINGKASAN

BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS.

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang mender ita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban

Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana

Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga

Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.

Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat

(19)

nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA

Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus

Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal

Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se- Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik.

Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya.

Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal

Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.

(20)

Rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan dalam penanganan anak nakal adalah sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat apabila menemukan kasus kenakalan anak terjadi didaerahnya, hendaknya digunakan restorative justice dalam proses penanganannya.

2. Bagi penegak hukum (pihak kepolisian), restorative justice dapat dijadikan acuan dalam penanganan anak nakal, sebelum anak tersebut diproses melalui proses hukum (peradilan formal)

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

(22)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan individu yang memiliki posisi penting dalam

keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan terhadap anak

sebagai generasi penerus ini memiliki konsekuensi perlunya upaya perlindungan

dan jaminan terhadap terpenuhinya kebutuhan anak. Dengan demikian kita masih

harus prihatin terhadap potret buram anak-anak Indonesia. Potret buram ini dapat

dilihat dari masih banyak ditemukannya permasalahan sosial yang dialami oleh

anak. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 mencatat setidaknya 3,5 juta

anak usia 5 sampai dengan 8 tahun mengalami keterlantaran, 1,2 juta anak balita

terlantar, 6,7 juta anak membutuhkan perlindungan khusus, 2 sampai dengan 8

juta jiwa anak menjadi pekerja, 3,5 juta anak Indonesia hidup dibawah garis

kemiskinan dan anak nakal sebanyak 193.155 jiwa (Suharto, 2007)

Fenomena kenakalan anak merupakan permasalahan sosial yang

belakangan ini cepat berkembang. Balai Pemasyarakatan Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia Propinsi Jawa Barat pada tahun 2005 mencatat 150 kasus

anak nakal yang masuk dalam persidangan, pada tahun 2006 meningkat menjadi

188 anak, tahun 2007 meningkat menjadi 345 anak dan tahun 2008 meningkat lagi

menjadi 435 anak.

Pemenjaraan atau penahanan terhadap anak adalah sesuatu yang harus

dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum.

Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan

yang diberikan kepada anak nakal masih kurang terutama bila dilihat dari

indikator dilakukannya penahanan atau pemenjaraan terhadap anak oleh aparat

penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di

kejaksanaan, dan persidangan di pengadilan. Untuk mengatasi hal tersebut timbul

gagasan agar tidak semua permasalahan kenakalan anak diproses secara hukum,

tetapi diupayakan diselesaikan di tingkat masyarakat yang disebut dengan nama

(23)

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice

mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan

komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan

bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun

dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat

terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses

musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil

yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.

Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat

penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas

kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab

untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk

memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak

terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari

kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.

Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan

bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta

dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai

dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang

berkepanjangan antara warga.

Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.

(24)

kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef

bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan

masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama

Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat

setempat. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih

jauh tentang konsep restorative justice dalam penanganan anak nakal.

1.2. Rumusan Masalah adalah :

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah :

1. Bagaimana kinerja FMPA dalam menangani anak nakal dengan model

restorative justice ?

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kinerja FMPA?

3. Bagaimana rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam

peningkatan kapasitas FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak)?

1.3. Tujuan Kajian adalah :

Tujuan kajian ini dilakukan adalah:

1. Mendeskripsikan kinerja anggota FMPA

2. Mendeskripsikan peranan inisiator FMPA

3. Mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice

4. Mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak

nakal dengan restorative justice

5. Merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam

peningkatan kapasitas FMPA

1.4. Manfaat Kajian

Hasil kajian pengembangan masyarakat yang dilakukan di Kelurahan

(25)

1. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat menumbuhkan rasa kesadaran

dan tanggung jawab sosial dalam menangani anak nakal, sehingga tidak

semua masalah kenakalan anak diproses secara hukum

2. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat berpartisipasi dalam mencegah

terjadinya kenakalan anak khususnya yang terjadi di kelurahan Pasanggrahan

3. Bagi instansi pemerintah khususnya penegak hukum seperti pihak kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan, kiranya kajian ini dapat dijadikan solusi terhadap

penanganan anak nakal yang selama ini masih bersifat persial.

4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

terciptanya peraturan perundang-undangan yang ada khususnya Revisi

terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997

(26)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia yang merupakan potensi, dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang

memiliki peranan strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan

pembinaan, dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, dan

perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

Anak adalah bagian dari keluarga, anak dilahirkan dalam keluarga, menerima

status sosial awal dari keluarga, , dilindungi, dibesarkan, disosialisasikan dalam

keluarga, untuk kemudian menjadi warga dalam masyarakat. Kondisi anak pada

saat ini, akan sangat menentukan pada kondisi keluarga, masyarakat dan bangsa di

masa yang akan datang.

Menurut Heny (2005) dalam perspektif sosiologi kesejahteraan anak

terlihat dalam bentuk perkembangan fisik dan kepribadian yang ditandai pola

perilaku anak yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Goode (1995) yang dikutip oleh Heny (2005) menyebutkan masyarakat dan

kebudayaannya menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi yaitu sejauhmana

sang anak mempelajari nilai-nilai, sikap-sikap dan tingkah laku masyarakat dan

keluarganya. Di sinilah pentingnya keluarga, karena keluarga adalah titik awal

perkembangan fisik dan kepribadian anak, sehingga seorang anak harus mendapat

kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh kembang secara wajar baik secara

jasmani, rohani dan sosialnya.

2.1. Pengembangan Masyarakat

Alimusa (2003) mengemukakan bahwa : ”Pengembangan masyarakat

adalah pengembangan swadaya masyarakat dan peran aktif masyarakat dalam

pembangunan”. Menurut Cary (1970), pengembangan masyarakat pada intinya

merupakan : 1) usaha yang disengaja dan dilakukan bersama-sama oleh

orang-orang dalam masyarakat, 2) mengarahkan masyarakat masa depan dan

membangun serangkaian teknik yang diakui dan didukung masyarakat, 3)

(27)

Pengertian diatas menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat

ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas dalam memenuhi

kebutuhannya. Prakteknya proses pengembangan masyarakat hendaknya

mempertimbangkan aspek kehidupan masyarakat sehingga keputusan apapun

mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh masyarakat

itu sendiri, dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki oleh

masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat. Menurut Korten (1984),

pengembangan masyarakat adalah suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi

pada kerakyatan, dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan

sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat. Jadi dalam pengembangan

masyarakat terkandung esensi partisipasi.

Partisipasi menurut Sumarjo dan Saharudin (2003), mengandung makna

peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu

kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh

pihak yang berperan serta tersebut. Agung dan Purnaningsih (2003), memberikan

karakteristik partisipasi, yaitu : 1) masyarakat berperan dalam analisis untuk

perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, 2)

cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif

dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, 3) masyarakat memiliki

peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan mereka sehingga memiliki

andil dalam keseluruhan proses kegiatan.

Menumbuhkan partisipasi dalam pengembangan masyarakat tidak dapat

tumbuh begitu saja. Masyarakat perlu di ajak untuk menyadari kelemahan dan

potensi yang dimiliki dengan cara menumbuhkan kesadaran kritis. Upaya tersebut

dapat dilakukan dengan pendekatan komunitas. Pendekatan ini menurut Cary

(1973), seperti dikutip Gunardi (2003), menampilkan tiga ciri utama, yaitu : 1)

partisipasi yang berbasis luas; 2) komunitas merupakan konsep yang penting; 3)

kepeduliannya bersifat holistik. Keunggulan menggunakan pendekatan komunitas

ini adalah adanya partisipasi tinggi dari warga dalam pengambilan keputusan dan

(28)

perubahan yang didasari oleh pengertian, dukungan moral pelaksanaan oleh

seluruh warga.

2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal

Pekerjaan sosial adalah suatu profesi pemberian bantuan yang dilaksanakan

melalui pengembangan interaksi timbal balik yang saling menguntungkan antara

orang dan lingkungan sosialnya (perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi

dan masyarakat) untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan

masyarakat sebagai satu kesatuan harmonis yang berlandaskan hak asasi manusia

dan keadilan sosial

Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa Pekerjaan Sosial yang

diterapkan dalam usaha kesejahteraan anak, termasuk penanganan anak nakal :

1. Berlandaskan prinsip dan metode ilmu pengetahuan;

2. Berintikan pemberian bantuan;

3. Menggunakan hubungan anta manusia sebagai alat;

4. Ditujukan guna pengembangan personal dan sosial sebagai satu kesatuan;

5. Mencakup juga pengembangan kualitas lingkungan sosial dan fisik

(lingkungan hidup);

6. Demi terciptanya kesejahteraan sosial yang berlandaskan has asasi manusia

dan keadilan sosial.

Dalam penanganan anak nakal ini, pekerjaan sosial dengan beberapa

metodenya dapat dijadikan acuan dalam memcahkan berbagai masalah anak

nakal, terutama dalam merubah sikap dan perilakunya

Dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih

dahulu, yaitu :

a. Prinsip Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal

1) Pelayanan yang diberikan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat

anak nakal

2) Melaksanakan dan mewujudkan hak asasi anak nakal

3) Memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk menentukan pilihan

(29)

4) Mengupayakan kehidupan anak nakal agar lebih bermakna bagi diri,

keluarga dan masyarakat

b. Beberapa Metode Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal

1). Bimbingan Sosial Individu

Metode bimbingan sosial individu ditujukan kepada anak nakal dilakukan

secara tatap muka antara pekerja sosial dengan anak. Bimbingan ini

dimaksudkan untuk mengungkapkan atau menggali permasalahanyang

bersifat mendasar yang dapat mengganggu proses pelayanan. Selanjutnya

proses konsultasi dilakukan untuk menemukan kemampuan serta alternatif

pemecahan masalah anak dan kehidupannya. Dalam metode ini pekerja

sosial mendorong anak untuk mengungkapkan masalahnya baik yang

bersifat individu maupun masalah-masalah lainnya seperti masalah

keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu pekerja sosial juga

memfasilitasi anak dalam mencari berbagai alternatif dan solusi

pemecahannya.

2) Bimbingan Sosial Kelompok

Bimbingan sosial kelompok merupakan suatu metode pekerjaan sosial

untuk memperbaiki dan meningkatkan peranan sosial individu melalui

pengalaman kelompok yang disusun secara sadar dan bertujuan.

Dengan perkataan lain, pekerja sosial menggunakan kelompok sebagai alat

intervensi untuk memenuhi kebutuhan individu yang akan dipengaruhinya,

karena pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan

mekanisme yang lebih baik dari pada mekanisme lainnya, dan bahwa

kelompok memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila igali dan

dikembangkan dengan kerjasama kelompok dapat merupakan sumber

untuk penyembuhan dan pengembangan anggotanya

3) Bimbingan Sosial Masyarakat

Metode bimbingan sosial masyarakat ini menggunakan kehidupan dan

interaksi masyarakat yang menjadi lingkungan sosial anak. Melalui

(30)

dapat menerima dan mendukung kehadiran dan permasalahan anak nakal.

Disamping itu, pekerja sosial memotivasi anak untuk menerima dan hidup

bersama lingkungannya. Bimbingan sosial masyarakat merupakan metode

yang bersifat komprehensif yang diarahkan pada pemberdayaan

masyarakat melalui pendekatan partisipatoris untuk mempersatukan

seluruh segmen masyarakat dalam penanganan permasalahan anak.

2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Kenakalan Anak

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang viktimologi dan kriminologi. Konsep ini mengakui bahwa kejahatan

dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat

diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat

kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Program ini

memungkinkan korban, pelaku dan komunitas dapat terlihat langsung dalam

merespon kejahatan, proses pemulihan yang melibatkan semua pihak adalah dasar

untuk mencapai hasil yang memulihkan bagi anak.

Kelompok Kerja Peradilan Pidana Anak perserikatan Bangsa-Bansa

(PBB) yang dikutip oleh Melani (2006) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana

tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan

bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan datang”.

Menurut Tony Marshal yang dikutip oleh Hidayat (2005) restorative justice

adalah proses yang melibatkan semua pihak pada kejahatan, khususnya untuk

memecahkan secara bersama-sama begaimana mengatasi akibat dari suatu

kejahatan dan implikasinya di masa mendatang

Kevin I Minor and J.T. Morrison yang dikutip oleh Hidayat (2005)

restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kriminal dengan memulihkan kerugian yang dialami oleh korban kejahatan dan untuk

memfasilitasi perdamaian dan kesentosaan di antara kelompok yang menentang.

(31)

” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process.

(Daly and Immarigeon, 1998)

Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa :

” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process.

(Daly and Immarigeon, 1998)

Menurut Daly dan Immarigeon bahwa restorative justice telah mulai bermunculan di beberapa negara dengan nama yang berbeda. Konsep dasarnya

adalah adanya proses alternatif untuk memecahkan permasalahan dan

menghindari penghukuman lewat peradilan pidana dengan menerapkan bentuk

diversi (pengalihan) bentuk hukuman dan menghindari proses peradilan formal.

Menurut Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) bahwa dalam

Proses restorative justice ada tiga hal yang harus ditempuh yaitu :

1. Family Group Cenference (FGC) yaitu adanya musyawarah dalam keluarga untuk membahas permasalahan antara pihak korban dengan

pelaku

2. Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban yang difasilitasi oleh mediator. Yang menjadi

(32)

3. Peacemaking and sentencing circles yaitu tercapainya (terbangunnya) proses perdamaian antara pelaku tindak kejahatan dengan pihak korban

dan masyarakat

Selanjutnya Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) menyebutkan bahwa

dari ketiga bentuk yang tersebut di atas harus mengandung unsur-unsur :

1. Adanya dialog, yang terlibat dalam dialog adalah pihak korban dan pelaku,

korban dan aparat penegak hukum, korban dan anggota masyarakat dan

antara pelaku dengan anggota masyarakat serta pihak-pihak lain yang

dibutuhkan

2. Relationship building (membangun hubungan) antara pelaku dengan korban dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu

3. Restorasi yaitu adanya pemulihan khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya, serta ganti

rugi bagi korban

Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI (2008)

mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan

masalah, tentang bagaimana menangani akibat perbuatan anak dimasa yang

akanm datang. Tindak pidana dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia

dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk

membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku

dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki rekonsiliasi dan

mententramkan hati”

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kenakalan anak dengan

memulihkan kerugian yang dialami oleh korban dan untuk memfasilitasi

perdamaian. Upaya ini menekankan pemulihan atas kenakalan seorang anak harus

dilakukan dalam lingkungan yang layak, masyarakat di lingkungan sekitar anak

perlu berpartisipasi terlibat dalam penanganan anak tersebut, jadi kasus hukum

(33)

diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau

komunitas di masyarakat dengan jalan musyawarah. Penyelesaian di pengadilan

hanya diterapkan pada jenis kejahatan yang belum ditolerir, seperti kejahatan

terhadap asusila, pengrusakan atau penganiayaan terhadap tubuh hingga

penghilangan nyawa.

Restorative justice menekankan pada proses pemulihan atas kenakalan seorang anak melalui penyelesaian secara musyawarah. Dasar pemikirannya

bahwa masyarakat di lingkungan sekitar anak perlu berpartisipasi dalam

penanganannya. Dengan ini kasus-kasus hukum yang ringan diharapkan tidak

perlu sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tetapi cukup dilakukan di

lingkungan setempat.

Manfaat restorative justice menurut Wright (1992) yang dikutip oleh Hidayat (2005) adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan pemahaman, menekankan pertanggungjawaban dan menaikkan

daya terima masyarakat terhadap pelaku kejahatan

2. Menggabungkan kebijakan sosial dengan kebijakan pencegahan kejahatan

3. Memberikan contoh untuk perilaku yang baik

4. Menaikkan komunikasi dan partisipasi bagi korban, pelaku dan masyarakat

5. Melakukan penahanan hanya jika diperlukan

Program restorative justice (Wright, 1991) yang dikutip oleh Hidayat (2005) dikatagorikan menjadi tiga nilai yaitu :

1. Encounter, memberikan kesempatan bagi korban (pelaku) dan komunitas untuk bertemu, berdiskusi tentang kejahatan dan akibat yang ditimbulkan.

2. Amneds, mengharapkan pelaku untuk melakukan langkah-langkah guna memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.

3. Reintegration, mencari cara untuk memulihkan korban dan pelaku secara menyeluruh bagi korban, pelaku dan masyarakat.

Penerapan konsep restorative justice mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku

(34)

di luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku; adanya persetujuan dari

kepolisian sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan diskresi (penghentian

penyidikan) khusus untuk kasus yang sudah dilaporkan di Polisi; dan

mendapatkan dukungan masyarakat setempat

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang

dapat dilaksanakan melalui restorative justice” adalah bukan kasus kenakalan yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas,

kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak

menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan

merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan. Sedangkan katagori kasusnya

bisa yang telah dilaporkan ke polisi ataupun yang belum dilaporkan ke polisi.

Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses musyawarah yaitu pihak

korban dan keluarga korban, pelaku (anak nakal) dan keluarganya serta wakil dari

masyarakat yaitu diwakili oleh suatu forum yang beranggotakan tokoh atau yang

mewakili masyarakat.

Manfaat penerapan konsep restorative justice bagi pelaku di antaranya tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku

bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki

kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang

tua/tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari

kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana

Manfaat konsep restorative justice bagi pihak korban adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, kerugian dapat segera dipulihkan, terhindar

dari pemberitaan sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu

masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak

nakal didaerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat

menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga, dapat menyampaikan

dan mewujudkan kepentingannya.

Bagi Penegak Hukum manfaat penerapan konsep restorative justice”

adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk, dan menghemat

(35)

2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana

Restorative Justice

Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) adalah suatu lembaga

yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat untuk menangani anak yang

bermasalah dengan hukum dalam konteks restorative justice. Prinsip restorative justice yang menekankan adanya proses alternatif untuk memecahkan permasalahan dan menghindari penghukuman lewat peradilan formal. Proses

alternatif tersebut adalah melalui jalur musyawarah yang difasilitasi oleh

sukarelawan (volunteer). Musyawarah ini diperlukan dalam proses Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban, dan proses Peacemaking and Sentencing Circles agar tercipta perdamaian sehingga masing-masing pihak merasa terpuaskan dan tercapai win-win solution.

Penerapan restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan melibatkan masyarakat sebagai volunteer, yang dilembagakan dalam bentuk forum yang disebut FMPA. Forum dimaksud beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh agama,

dan figur-figur lain yang dianggap mampu bertindak sebagai mediator, dipercaya

oleh pihak korban maupun pelaku, serta mampu menjembatani masyarakat

dengan penegak hukum. Dengan kata lain, FMPA adalah forum yang dibentuk

oleh masyarakat untuk menangani kasus anak nakal agar tidak sampai diproses di

tingkat peradilan formal, terhadap kasus-kasus hukum yang ringan dan dapat

ditolerir.

FMPA merupakan bentuk pengembangan masyarakat, di mana partisipasi

aktif masyarakat mempunyai andil yang besar terhadap keberlangsungan forum

ini. Partisipasi dapat terjadi apabila timbul motivasi dan kesadaran warga

masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Partisipasi merupakan

keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam

kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan

pembangunan kesejahteraan sosial di dalam atau di luar lingkungan

(36)

2.5. Kenakalan Anak

Kenakalan anak merupakan bentuk perilaku anak yang bertentangan dengan

norma-norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang ini bersifat dinamis dan

cenderung mengikuti perkembangan suatu komunitas. Perkembangan tersebut

mengarah pada adanya peningkatan baik dari segi jumlah, kualitas, dan tingkat

kesadisannya. Peningkatan pada tingkat kesadisan dan kebengisan ini terutama

terjadi pada aksi-aksi yang dilakukan dalam bentuk kelompok. Perkembangan ini

terjadi seiring dengan lajunya industrialisasi dan urbanisasi (Kartono, 1986).

Istilah yang banyak digunakan berkaitan dengan masalah perilaku

menyimpang pada anak (remaja) adalah kenakalan remaja (juvenile delinguency). Kenakalan ditandai dengan adanya perilaku yang ilegal atau berlawanan dengan

norma sosial, tetapi tidak selalu berupa kekerasan. Beberapa perilaku antisosial

yang biasanya dilakukan oleh anak-anak atau remaja meliputi : tindakan agresif

dan kekerasan di dalam keluarga, di sekolah dalam bentuk perkelahian dan

perusakan barang-barang; pelanggaran hukum ringan (vandalisme,

penyalahgunaan obat, kabur dari rumah); pelanggaran hukum berat (mencuri,

merampok, pemerkosaan dengan kekerasan); kekerasan terhadap diri sendiri

termasuk bunuh diri; dan keanggotaan dalam geng (Mc Whirter, 1998)

Pendapat Whirter mengisyaratkan bahwa perilaku antisosial yang dilakukan

hanya dipandang sebagai kenakalan, meskipun beberapa sudah termasuk kategori

berupa tindakan pelanggaran hukum yang berat. Ini berarti penanganannya pun

tidak dapat disamakan dengan penanganan kasus kriminal sebagaimana

umumnya. Pandangan ini sekaligus mengisyaratkan bahwa anak merupakan

individu yang belum matang, sehingga dipandang belum mampu

mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum.

Waegel (1989) mengidentifikasikan beberapa ciri-ciri sosial dari pelaku

kenakalan. Ciri-ciri tersebut terdiri dari usia, jenis kelamin, tempat tinggal, status

sosial, dan struktur keluarga. Menurut Waegel, pelaku kenakalan pada anak

paling banyak berusia 15 sampai 18 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tinggal di

kota, berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan hanya memiliki satu orang

(37)

Di Indonesia, istilah yang digunakan adalah anak nakal dan anak yang

berhadapan dengan hukum. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak yang

berkonflik dengan hukum sebagai anak yang termasuk pada kategori anak nakal,

pelaku tindak pidana yang berdasarkan hasil penyelidikan/pemeriksaan aparat

penegak hukum membutuhkan pembinaan di panti sosial anak, sedangkan anak

nakal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

pasal 1 ayat 2 didefenisikan sebagai :

”Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”

Pemberian sebutan anak nakal sebenarnya merupakan hukuman yang sudah

diberikan sebelum anak yang bersangkutan menjalani proses hukum, yaitu berupa

pemberian label atau sebutan sebagai ”anak nakal”. Dalam UU No. 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, dikatakan bahwa seorang anak yang sudah berusia 8

tahun sudah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya.

Batasan usia minimal ini jelas sangat memberatkan anak, karena pada usia

tersebut anak baru memasuki usia sekolah. Dimana pada usia tersebut, seorang

anak semestinya baru mulai mendapatkan pendidikan formal untuk bekal

kemampuan kognisinya, dan juga dilakukan penanaman nilai-nilai yang berlaku

secara umum.

2.5.1. Tipe Kenakalan Anak

Kenakalan pada anak tidak berlangsung dalam keterisolasian, tetapi terjadi dalam

konteks antar personal dan sosio kultural. Oleh karenanya kenakalan anak

bersifat organismis, psikis, interpersonal, antar personal dan budaya (Kartono,

2006). Sehubungan dengan sifat-sifat tersebut, Kartono (2006) membagi

kenakalan anak dalam 4 kelompok yaitu :

b. Delikuensi individual

Kenakalan yang dilakukan individu dengan ciri-ciri khas jahat, biasanya

(38)

a-sosial). Pelaku kenakalan tipe ini biasanya memiliki kelainan jasmaniah dan

mental yang dibawa sejak lahir. Kenakalan yang mereka lakukan cenderung

berupa tindak kriminal dan kekejaman yang dilakukan tanpa motif apapun.

c. Delikuensi situasional

Tipe kenakalan ini dilakukan oleh anak normal, yang menerima pengaruh

yang sangat kuat dari lingkungan dan situasi sosial disekitarnya. Pengaruh

tersebut bersifat memaksa dan menekan individu sehingga membentuk

perilaku buruk. Sebagai hasilnya anak yang seperti ini suka menampilkan

perilaku melanggar aturan, norma sosial dan hukum formal. Interaksi yang

terus menerus antara anak dengan situasi dan kondisi lingkungan yang buruk

akan memperkuat perilaku nakal pada remaja. Pada situasi seperti ini

kenakalan akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang wajar diterima oleh

lingkungan sosialnya. Bentuk kenakalan seperti tawuran antar pelajat atau

antar kampung, pesta minuman keras atau narkoba yang dilakukan

bersama-sama teman sebaya merupakan contoh dari delikuensi situasional.

Delikuensi situasional merupakan jenis delikuensi yang paling mudah

menular kepada anak secara meluas, sehingga masalah ini dapat menjadi

masalah sosial yang serius. Untuk mengatasi hal ini Kartono (2006)

menyarankan untuk melakukan reorganisasi secara mendasar terhadap :

1) Struktur kejiwaan anak-anak remaja dengan bantuan proses pendidikan

2) Struktur sosial masyarakatnya lewat pendidikan preventif, represif

(penekanan) dan punitif (hukuman), dan

3) Penataan ulang terhadap kebudayaan bangsa

d. Delikuensi sistematis

Tipe kenakalan ini merupakan kenakalan yang dioganisir dalam bentuk

geng. Pengorganisasian perilaku tersebut disertai dengan aturan tertentu, status formal, peranan tertentu, nilai-nilai dan norma tertentu, rasa kebanggaan

dan moral delikuen yang berbeda dengan yang berlaku pada umumnya.

Semua bentuk kenakalan tersebut dirasionalisasi dan dibenarkan sendiri oleh

(39)

Peraturan yang dibuat dalam geng tersebut biasanya sangat keras

dengan sanksi hukuman yang berat, bertujuan untuk menegakkan kepatuhan

anggota. Geng biasanya cenderung memiliki tujuan organisasi, wilayah

operasi, ritual-ritual tertentu, kode-kode rahasia dan nama organisasi yang

eksklusif yang bertujuan untuk menegakkan gengsi organisasinya. Bentuk

perilaku kenakalan yang menjurus kriminal dan anarkis seperti yang dilakukan

oleh beberapa geng motor di Kota Bandung merupakan salah satu contoh

delikuensi sistematis.

e. Delikuensi kumulatif

Tipe ini merupakan bentuk kenakalan anak yang terjadi secara meluas

ditengah masyarakat, sehingga memunculkan adanya fenomena

disorganisasi/disintegrasi sosial dengan ciri yang mencolok yaitu terbentuk

sub kultur delikuen di tengah kebudayaan suatu masyarakat. Delikuensi

kumulatif biasanya paling mudah terjadi pada wilayah-wilayah dengan

pemukiman yang terlalu padat, terjadi melalui suatu proses intimidasi maupun

paksaan dari orang dewasa. Perilaku delinkuen yang membudaya di tengah

masyarakat ini menurut Kartono (2006) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1) Mengandung banyak dimensi ketegangan syaraf, kegelisahan batin dan keresahan hati pada para remaja, yang kemudian disalurkan atau dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan dan agresivitas tidak terkendali

2) Merupakan adolescence revolt (pemberontakan adolesensi) terhadap kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa, dalam usaha mereka menemukan indentitas-diri lewat tingkah laku yang melanggar norma sosial dan hukum

3) Banyak terdapat penyimpangan seksual disebabkan oleh penundaan saat kawin jauh sesudah kematangan biologis, antara lain berupa promiskuitas, cinta bebas dan seks bebas, ”kumpul kebo”, perkosaan seksual, pembunuhan berlatarkan motivasi seks.

4) Banyak terdapat tindak ekstrim radikal yang dilakukan oleh para remaja yang menggunakan cara-cara kekerasan, pembunuhan, zibaku, tindak bunuh-diri, meledakka bom dan dinamit, penculikan, penyanderaan, dan lain-lain

Gunarsa (1988) melakukan pengelompokkan kenakalan anak dari segi hukum,

(40)

1) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Jenis kenakalan ini antara lain berupa berbohong, membantah perintah orang tua karena tidak mau diatur oleh orang tua, berkelahi, meninggalkan rumah dan tinggal bersama dengan beberapa orang teman sebaya

2) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan oleh orang dewasa. Jenis ini berupa beberapa kenakalan yang merupakan tindakan kriminal yang cenderung pada penganiayaan, dan tindakan mengganggu ketertiban umum merupakan beberapa contoh kenakalan yang menjurus kearah kriminal

Lebih lanjut Jensen (1985) seperti dikutip oleh Sarwono (2007),

membagi kenakalan anak menjadi empat jenis, yaitu :

a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan,

pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain

c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain : pelacuran, penyalahgunaan obat, melakukan hubungan seks sebelum nikah

d) Kenakalan yang melawan status, misanya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, menghindari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya

Berdasarkan jenis-jenis kenakalan yang disampaikan oleh Jensen tersebut,

kenakalan anak dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu

kenakalan yang berupa pelanggaran hukum dan kenakalan berupa pelanggaran

status. Kenakalan dalam bentuk pelanggaran hukum merupakan jenis

kenakalan pada point a,b dan c. Ketiga jenis kenakalan tersebut diatur dalam

hukum dan akan dikenakan sanksi hukum apabila dilakukan, sedangkan

kenakalan dalam bentuk pelanggaran status bukan termasuk perbuatan

melanggar hukum karena pelanggaran tersebut dilakukan pada lingkungan

keluarga dan sekolah, dimana tidak diatur secara rinci dalam hukum. Dengan

demikian jenis kenakalan ini tidak dapat dikenakan sanksi atau tindakan

(41)

Sementara itu Sunarwiyati (1985) seperti dikutip oleh Masngudin

(2004) mengelompokkan kenakalan anak berdasarkan bentuknya.

Pengelompiokkan ini dilakukan secara bertingkat yang dimulai dari tingkat

ringan menuju ke tingkat yang berat. Bentuk-bentuk kenakalan anak menurut

Sunarwiyati meliputi :

1) Kenakalan biasa, merupakan jenis kenakalan yang paling banyak dilakukan oleh remaja. Kenakalan jenis ini cenderung tidak memiliki dampak yang terlalu berbahaya bagi anak dan tidak meresahkan kentraman umum. Bentuk kenakalan biasa antara lain berkelahi, membolos sekolah, keluyuran, begadang sampai larut malam, dan pergi dari rumah tanpa memberitahu pada orang tua

2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, merupakan jenis kenakalan yang sudah mendekati tindakan kriminal. Jenis kenakalan ini bila tidak segera mendapatkan penanganan dan perhatian yang baik dari orang tua akan memudahkan anak untuk menjadi pelaku tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini meliputi pelanggaran aturan berlalu-lintas dengan mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM, mencuri barang-barang milik orang tua, mencuri buah-buahan milik tetangga, termasuk mencuri sandal atau sepatu milik teman bermain.

3) Kenakalan khusus, merupakan jenis kenakalan yang sudha berkaitan dengan tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini antara lain terlibat dalam pengedaran dan penyalahgunaan narkotika, melakukan perusakan fasilitas umum, mencuri, memperkosa, melakukan hubungan seks di luar nikah dan lain-lain

Memperhatikan pada pengelompokkan kenakalan anak oleh anak di

Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung termasuk

jenis kenakalan biasa dan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan

kejahatan. Bentuk-bentuk kenakalan tersebut masih memungkinkan untuk

(42)

sebagai tempat terbaik membentuk perilaku anak. Selain itu upaya

pembinaan terhadap anak melalui kegiatan-kegiatan kepemudaan yang ada,

misalnya pengajian untuk remaja muslim, dapat dioptimalkan untuk

mengarahkan perilaku anak agar sesuai dengan harapan masyarakat.

2.5.2. Analisis Faktor Penyebab Kenakalan Anak dalam Perspektif

Ekosistem

Anak nakal merupakan salah satu masalah sosial yang mendapat perhatian

cukup serius dari pemerintah. Masalah sosial tidak muncul dengan sendirinya

tetapi karena adanya sebab. Penyebab masalah ini biasanya tidak tunggal dan

terjadi karena adanya sesuatu yang salah dalam proses interaksi antara individu

dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain penyebab masalah sosial adalah

suatu hal yang bersifat sistemik, sehingga perlu dilakukan pencegahan secara

sistematis.

Analisis terhadap faktor-faktor penyebab kenakalan dilakukan dengan

menggunakan perspektif ekosistem. Hal ini merupakan kombinasi antara

perspektif ekologi dengan teori sistem. Perspektif ini memfokuskan interaksi

antara sub-sub sistem dengan lingkungan sosialnya. Beckert and Johnson (1995)

dan Kirst-Ashman (2000) seperti dikutip Zastrow (2004) mendefinisikan teori

ekosistem sebagai berikut : ”systems thoery used to describle and analyze people and other living systems and their transactions” (Zastrow, 2005:7). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa teori ekosistem merupakan sistem teori yang

digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa orang-orang dan sistem yang

ada di sekitarnya serta transaksi diantara orang dengan sistem tersebut.

Menurut teori ekosistem bahwa :

a. Setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan akan

berfungsi secara lebih baik apabila berada dalam suatu lingkungan atau

setting tertentu, dari pada ketika berada seorang diri

b. Ekosistem bersifat dinamis, setiap anggotanya secara perlahan namun pasti

(43)

Berdasarkan asumsi tersebut, perilaku yang ditampilkan oleh individu

dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan sistem-sistem lain

dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian perilaku nakal pada anak

merupakan hasil dari proses interaksi tersebut. Dalam hal ini terdapat dua

kemungkinan sehingga memunculkan perilaku nakal pada anak. Kemungkinan

pertama adalah adanya kegagalan anak dalam melakukan adaptasi terhadap

lingkungan, sehingga anak tidak mampu menampilkan peran sesuai dengan

harapan lingkungan sosialnya akhirnya perilakunya menyimpang dari

norma-norma yang berlaku pada lingkungan sosial tersebut.

Kemungkinan kedua adalah adanya disorganisasi sosial pada lingkungan

sosial dimana anak berinteraksi. Disorganisasi sosial ini menyebabkan beberapa

fungsi lingkungan sosial, terutama fungsi sosialisasi dan fungsi kontrol sosial dari

lingkungan sosial tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini sebagaimana

disampaikan oleh Eitzen (1986) dalam Masngudin (2004) bahwa lingkungan

masyarakat yang buruk akan menyebabkan seseorang berpeilaku buruk. Ini dapat

terjadi karena pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma

dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikatnya.

Lingkungan sosial yang terdekat dengan anak adalah keluarga, kemudian

yang lebih luas adalah teman bermain, teman di sekolah dan teman di lingkungan

ketetanggaan. Lingkungan inilah akan turut membentuk perilaku yang akan

ditampilkan oleh seorang anak dalam kehidupan sehari-hari, deengan demikian

agar anak nantinya dapat menampilkan perilaku yang pro-sosial, maka lingkungan

sosial tersebut harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan memberikan

tempat yang dapat mendukung perkembangan anak secara optimal.

2.5.3. Hak-Hak Anak

Sebagai salah satu negara penandatangan Konvensi Hak-hak Anak

(Convention on the Rights of the Child / CRC) yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 yang selanjutnya disahkan melalui Keputusan

Presiden No. 36 Tahun 1990, Indonesia menyetujui untuk melaksanakan

(44)

sosial dan pendidikan yang layak dan maksimal guna melindungi anak dari semua

bentuk kekerasan fisik atau mental atau penyalahgunaan, penelantaran atau

perlakuan salah, cedera atau terjadinya eksploitasi terhadap anak.

Empat prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak ( KHA )

adalah :

1). Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam

KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.

Prinsip ini tertuang dalam pasal 2 KHA yang selengkapnya berbunyi :

”Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang

ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah

hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau

pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status

kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak

sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah” (ayat 1)

Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk

menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau

hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang

dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah, atau

anggota keluarganya” (ayat 2)

2) Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), yaitu bahwa ” Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh

lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga-lembaga

peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang

terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”

(pasal 3 ayat 1 )

3) Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life, survivbal and development), artinya, ” Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan”

Gambar

Tabel 1. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
Tabel 2.  Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin  Tahun 2008
Gambar 3.  Piramida penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Tabel 5.  Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan  Kecamatan Ujung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan bunyi pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 Nomor 3) bahwa yang dimaksud dengan notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

Pengumpulan data-data yang nantinya akan digunakan pada tahap pengolahan data yaitu data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung dari proses produksi Chip

Selain itu, penulis menganggap bahwa Museum Benteng Vredeburg memiliki keunikan yakni bangunannya berupa bangunan bekas Belanda yang sudah termasuk dalam Benda

Karena itu sikap disiplin menjadi terbangun dengan sendirinya dikalangan masyarakat Iboih akibat proses interaksi dengan para wisatawan asing yang menggunakan

Utilization of Waste Defatted Rice Bran in Formulation of Functional Cookies and Its Effect on Physicochemical Characteristic of Cookies, International Journal of Advanced

Hanya 5 strain mampu memfermentasi biji-biji benguk; tetapi tempe yang dihasilkannya mempunyai aroma yang tidak menyenangkan (berbau apak). Jenis jamur ini

Undang-Undang Darurat No 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, memang sudah banyak obyek yang merupakan kewenangan Undang - Undang ini tapi telah diatur

Pemkot dapat membentuk suatu lembaga atau tim penataan terpadu kawasan Arjuna untuk fungsi tersebut di atas yang terdiri dari perwakilan para pihak yang terlibat langsung