PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS
MASYARAKAT DENGAN
RESTORATIVE JUSTICE
(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung)
B U D I A N A
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice ( Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Nopember 2009
RINGKASAN
BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS.
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.
Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.
Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga.
Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.
Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA, mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice, mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA
Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus.
Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal.
Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se- Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik
Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya
Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal.
Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS
MASYARAKAT DENGAN
RESTORATIVE JUSTICE
(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung)
B U D I A N A
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Program Studi Pengembangan Masyarakat
S E K O L A H P A S C A S A R J A N A I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R
Judul Tugas Akhir : Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice
(Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung )
Nama : Budiana NRP : I354070315
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Ketua Anggota
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan
Masyarakat,
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dekan sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
P R A K A T A
Puji dan syukur sepatutnya senantiasa dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT. karena atas berkat, rahmat dan karunia-NYA maka penulisan tugas akhir dapat diselesaikan sesuai waktunya. Karya tulis Pengembangan masyarakat ini diberi judul “Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice sebuah karya studi kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung.
Penulisan studi kasus ini merupakan tugas akhir bagi Mahasiswa Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional (MP). Penulisan ini juga sebagai aplikasi dari materi perkuliahan dan diantaranya melalui proses Praktek Lapangan berupa Pemetaan sosial dan Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat di lokasi kajian. Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak, dan karenanya atas segala kebaikan yang diterima pada kesempatan yang baik ini ingin disampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :
1. Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku komisi pembimbing, yang mana disela kesibukannya senantiasa meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi penyelesaian kajian ini.
2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku Dosen Penguji luar komisi yang banyak memberikan masukan-masukan bagi perbaikan kajian ini.
3. Bapak Ketua Program Studi beserta seluruh Dosen pendukung perkuliahan pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat (MPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB).
4. Bapak Agus Wiryawan, Bc.IP, SH selaku Kepala Bapas Klas I Bandung dan Bapak Mardjuki, M.Si, selaku Kepala Administrasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat, atas dukungannya penulis memiliki kesempatan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana pada Institut Pertanian Bogor (IPB).
5. Bapak dan Ibu tokoh masyarakat di Pasanggrahan yang telah memberi dukungan mendalam selama pengumpulan data untuk kajian ini.
7. Ibunda dan Ayahanda yang mulia, Istri tercinta serta anak- anakku tersayang yang senantiasa memberi do’a dan semangat sejak awal perkuliahan hingga berakhirnya masa studi.
8. Rekan-rekan angkatan V Program Beasiswa Departemen Sosial pada studi Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah senantiasa banyak memberi dukungan dan bantuan moril dan spirituil selama masa perkuliahan berlangsung hingga selesainya penulisan kajian ini.
saya kiranya kajian ini memberi manfaat dan menjadi inspirasi bagi penggiat pengembangan masyarakat kini dan yang akan datang.
Bogor, Nopember 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 20 Oktober 1969 dari pasangan Adun dan Yayah Haryati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Desa Sukamukti Kecamatan Cilawau Garut tahun 1982, kemudian melanjutkan ke SMP Cilawu Garut tamat tahun 1985. Pada tahun 1988 lulus dari SMAN 2 Garut jurusan Biologi, selanjutnya melanjutkan ke STKS Bandung dan selesai pada tahun 1993.
Sejak tahun 1996 bekerja pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Tengah di Palu, dan pada tahun 2000 alih tugas ke Pemda Tk. I Jawa Barat selama 6 bulan, selanjutnya pada Bulan Juli 2000 alih tugas ke Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat dan ditempatkan pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DAFTAR ISI
2.1 Pengembangan Masyarakat ... 5
2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal ... 7
2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Anak Nakal ... 9
2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana restorative justice... 14
2.5. Kenakalan Anak ... 15
2.6. Kerangka Pemikiran ... 26
III. METODOLOGI KAJIAN ... 27
3.1 Metode Kajian ... 27
3.2 Teknik Kajian ... 28
3.3 Metode Penyusunan Program ... 30
3.4 Prosedur dan Penyajian Data ... 30
IV. PETA SOSIAL DAERAH PENELITIAN ... 34
4.1 Kondisi Demografi dan kependudukan... 34
4.2 Sistem Ekonomi ... 40
4.3 Struktur Komunitas ... 41
4.4 Masalah Komunitas ... 48
V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK ... 50
5.1 Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justice ... 50
5.1.1 Proses Pembentukan ... 50
5.1.2 Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung ... 60
5.2 Kinerja Forum di Kelurahan ... 64
5.2.1 Perkembangan Forum ... 64
5.2.2 Proses Musyawarah Forum ... 66
5.2.3. Proses Relationship Building ... 68
5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi ... 70
VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM ... 73
6.1 Kinerja Anggota FMPA ... 74
6.1.1. Motivasi ... 74
6.1.3. Pengalaman ... 78
6.2. Peranan Inisiator FMPA ... 79
6.2.1. Unicef Jabar ... 79
6.2.2. LPA Jabar ... 80
6.2.3. LSM Saudara Sejiwa ... 81
6.3. Partisipasi Masyarakat ... 81
6.3.1. Orang Tua ... 82
6.3.2. Masyarakat Umum ... 84
6.3.3. Kelembagaan Masyarakat ... 84
VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM ... 87
7.1. Kasus Yang Ditangani FMPA ... 88
7.2. Evaluasi Masyarakat ... 93
7.3. Evaluasi Keluarga Korban ... 97
7.4. Evaluasi Keluarga Pelaku ... 99
VIII. PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS FORUM ... 100
8.1 Identifikasi Potensi, Permasalahan dan Kebutuhan ... 101
8.1.1. Identifikasi Potensi ... 101
8.1.2. Identifikasi Masalah ... 102
8.1.3. Identifikasi kebutuhan ... 103
8.2. Analisis Pohon Masalah ... 103
8.3. Rancangan Program ... 106
8.3.1. Program Jangka Pendek ... 108
8.3.2. Progam Jangka Panjang ... 109
8.3.3. Program Monitoring dan Evaluasi ... 112
IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 115
9.1 Kesimpulan ... 115
9.2 Rekomendasi ... 115
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
Kajian Pengembangan Masyarakat di kelurahan Passanggrahan ... 31
2 Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Ke lamin Tahun 2008...
35
3 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Agama Tahun 2008...
37
4 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan kelompok Usia Tenaga Kerja Tahun 2008 ...
37
5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Umum Tahun 2008...
38
6 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Khusus
Tahun 2008 ... 39
7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk Tahun 2008 ...
39
8 Jumlah Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2008 ...
43 9 Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum
di Jawa Barat Tahun 2008 ... 54
10 Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa Barat Tahun 2008 ...
55
11 Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak Tahun 2008 di Jawa Barat...
56
12 Sosialisasi Program Restorative Justice ……….. 109 13 Pembentukan Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW
se-Kelurahan Pasanggrahan ………. 112
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Prinsip-prinsip Hak Anak ... 25 2 Kerangka Pemikiran ………. 26 3 Piramida Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Ujungberung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008 ...
36
4 Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum ...
73
Daftar Lampiran
Halaman 1 Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan
RINGKASAN
BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS.
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang mender ita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban
Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana
Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga
Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.
Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat
nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA
Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus
Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal
Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se- Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik.
Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya.
Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal
Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
Rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan dalam penanganan anak nakal adalah sebagai berikut :
1. Bagi masyarakat apabila menemukan kasus kenakalan anak terjadi didaerahnya, hendaknya digunakan restorative justice dalam proses penanganannya.
2. Bagi penegak hukum (pihak kepolisian), restorative justice dapat dijadikan acuan dalam penanganan anak nakal, sebelum anak tersebut diproses melalui proses hukum (peradilan formal)
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan individu yang memiliki posisi penting dalam
keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan terhadap anak
sebagai generasi penerus ini memiliki konsekuensi perlunya upaya perlindungan
dan jaminan terhadap terpenuhinya kebutuhan anak. Dengan demikian kita masih
harus prihatin terhadap potret buram anak-anak Indonesia. Potret buram ini dapat
dilihat dari masih banyak ditemukannya permasalahan sosial yang dialami oleh
anak. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 mencatat setidaknya 3,5 juta
anak usia 5 sampai dengan 8 tahun mengalami keterlantaran, 1,2 juta anak balita
terlantar, 6,7 juta anak membutuhkan perlindungan khusus, 2 sampai dengan 8
juta jiwa anak menjadi pekerja, 3,5 juta anak Indonesia hidup dibawah garis
kemiskinan dan anak nakal sebanyak 193.155 jiwa (Suharto, 2007)
Fenomena kenakalan anak merupakan permasalahan sosial yang
belakangan ini cepat berkembang. Balai Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Propinsi Jawa Barat pada tahun 2005 mencatat 150 kasus
anak nakal yang masuk dalam persidangan, pada tahun 2006 meningkat menjadi
188 anak, tahun 2007 meningkat menjadi 345 anak dan tahun 2008 meningkat lagi
menjadi 435 anak.
Pemenjaraan atau penahanan terhadap anak adalah sesuatu yang harus
dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum.
Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan
yang diberikan kepada anak nakal masih kurang terutama bila dilihat dari
indikator dilakukannya penahanan atau pemenjaraan terhadap anak oleh aparat
penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di
kejaksanaan, dan persidangan di pengadilan. Untuk mengatasi hal tersebut timbul
gagasan agar tidak semua permasalahan kenakalan anak diproses secara hukum,
tetapi diupayakan diselesaikan di tingkat masyarakat yang disebut dengan nama
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice
mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan
komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan
bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun
dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat
terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses
musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil
yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.
Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat
penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas
kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab
untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk
memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak
terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari
kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.
Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan
bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai
dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang
berkepanjangan antara warga.
Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.
kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef
bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan
masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama
Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat
setempat. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
jauh tentang konsep restorative justice dalam penanganan anak nakal.
1.2. Rumusan Masalah adalah :
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah :
1. Bagaimana kinerja FMPA dalam menangani anak nakal dengan model
restorative justice ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kinerja FMPA?
3. Bagaimana rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam
peningkatan kapasitas FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak)?
1.3. Tujuan Kajian adalah :
Tujuan kajian ini dilakukan adalah:
1. Mendeskripsikan kinerja anggota FMPA
2. Mendeskripsikan peranan inisiator FMPA
3. Mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice
4. Mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak
nakal dengan restorative justice
5. Merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam
peningkatan kapasitas FMPA
1.4. Manfaat Kajian
Hasil kajian pengembangan masyarakat yang dilakukan di Kelurahan
1. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat menumbuhkan rasa kesadaran
dan tanggung jawab sosial dalam menangani anak nakal, sehingga tidak
semua masalah kenakalan anak diproses secara hukum
2. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat berpartisipasi dalam mencegah
terjadinya kenakalan anak khususnya yang terjadi di kelurahan Pasanggrahan
3. Bagi instansi pemerintah khususnya penegak hukum seperti pihak kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan, kiranya kajian ini dapat dijadikan solusi terhadap
penanganan anak nakal yang selama ini masih bersifat persial.
4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
terciptanya peraturan perundang-undangan yang ada khususnya Revisi
terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi, dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang
memiliki peranan strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan, dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Anak adalah bagian dari keluarga, anak dilahirkan dalam keluarga, menerima
status sosial awal dari keluarga, , dilindungi, dibesarkan, disosialisasikan dalam
keluarga, untuk kemudian menjadi warga dalam masyarakat. Kondisi anak pada
saat ini, akan sangat menentukan pada kondisi keluarga, masyarakat dan bangsa di
masa yang akan datang.
Menurut Heny (2005) dalam perspektif sosiologi kesejahteraan anak
terlihat dalam bentuk perkembangan fisik dan kepribadian yang ditandai pola
perilaku anak yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Goode (1995) yang dikutip oleh Heny (2005) menyebutkan masyarakat dan
kebudayaannya menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi yaitu sejauhmana
sang anak mempelajari nilai-nilai, sikap-sikap dan tingkah laku masyarakat dan
keluarganya. Di sinilah pentingnya keluarga, karena keluarga adalah titik awal
perkembangan fisik dan kepribadian anak, sehingga seorang anak harus mendapat
kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh kembang secara wajar baik secara
jasmani, rohani dan sosialnya.
2.1. Pengembangan Masyarakat
Alimusa (2003) mengemukakan bahwa : ”Pengembangan masyarakat
adalah pengembangan swadaya masyarakat dan peran aktif masyarakat dalam
pembangunan”. Menurut Cary (1970), pengembangan masyarakat pada intinya
merupakan : 1) usaha yang disengaja dan dilakukan bersama-sama oleh
orang-orang dalam masyarakat, 2) mengarahkan masyarakat masa depan dan
membangun serangkaian teknik yang diakui dan didukung masyarakat, 3)
Pengertian diatas menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat
ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas dalam memenuhi
kebutuhannya. Prakteknya proses pengembangan masyarakat hendaknya
mempertimbangkan aspek kehidupan masyarakat sehingga keputusan apapun
mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh masyarakat
itu sendiri, dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki oleh
masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat. Menurut Korten (1984),
pengembangan masyarakat adalah suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi
pada kerakyatan, dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan
sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat. Jadi dalam pengembangan
masyarakat terkandung esensi partisipasi.
Partisipasi menurut Sumarjo dan Saharudin (2003), mengandung makna
peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu
kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh
pihak yang berperan serta tersebut. Agung dan Purnaningsih (2003), memberikan
karakteristik partisipasi, yaitu : 1) masyarakat berperan dalam analisis untuk
perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, 2)
cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif
dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, 3) masyarakat memiliki
peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan mereka sehingga memiliki
andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
Menumbuhkan partisipasi dalam pengembangan masyarakat tidak dapat
tumbuh begitu saja. Masyarakat perlu di ajak untuk menyadari kelemahan dan
potensi yang dimiliki dengan cara menumbuhkan kesadaran kritis. Upaya tersebut
dapat dilakukan dengan pendekatan komunitas. Pendekatan ini menurut Cary
(1973), seperti dikutip Gunardi (2003), menampilkan tiga ciri utama, yaitu : 1)
partisipasi yang berbasis luas; 2) komunitas merupakan konsep yang penting; 3)
kepeduliannya bersifat holistik. Keunggulan menggunakan pendekatan komunitas
ini adalah adanya partisipasi tinggi dari warga dalam pengambilan keputusan dan
perubahan yang didasari oleh pengertian, dukungan moral pelaksanaan oleh
seluruh warga.
2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal
Pekerjaan sosial adalah suatu profesi pemberian bantuan yang dilaksanakan
melalui pengembangan interaksi timbal balik yang saling menguntungkan antara
orang dan lingkungan sosialnya (perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi
dan masyarakat) untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan
masyarakat sebagai satu kesatuan harmonis yang berlandaskan hak asasi manusia
dan keadilan sosial
Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa Pekerjaan Sosial yang
diterapkan dalam usaha kesejahteraan anak, termasuk penanganan anak nakal :
1. Berlandaskan prinsip dan metode ilmu pengetahuan;
2. Berintikan pemberian bantuan;
3. Menggunakan hubungan anta manusia sebagai alat;
4. Ditujukan guna pengembangan personal dan sosial sebagai satu kesatuan;
5. Mencakup juga pengembangan kualitas lingkungan sosial dan fisik
(lingkungan hidup);
6. Demi terciptanya kesejahteraan sosial yang berlandaskan has asasi manusia
dan keadilan sosial.
Dalam penanganan anak nakal ini, pekerjaan sosial dengan beberapa
metodenya dapat dijadikan acuan dalam memcahkan berbagai masalah anak
nakal, terutama dalam merubah sikap dan perilakunya
Dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih
dahulu, yaitu :
a. Prinsip Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal
1) Pelayanan yang diberikan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat
anak nakal
2) Melaksanakan dan mewujudkan hak asasi anak nakal
3) Memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk menentukan pilihan
4) Mengupayakan kehidupan anak nakal agar lebih bermakna bagi diri,
keluarga dan masyarakat
b. Beberapa Metode Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal
1). Bimbingan Sosial Individu
Metode bimbingan sosial individu ditujukan kepada anak nakal dilakukan
secara tatap muka antara pekerja sosial dengan anak. Bimbingan ini
dimaksudkan untuk mengungkapkan atau menggali permasalahanyang
bersifat mendasar yang dapat mengganggu proses pelayanan. Selanjutnya
proses konsultasi dilakukan untuk menemukan kemampuan serta alternatif
pemecahan masalah anak dan kehidupannya. Dalam metode ini pekerja
sosial mendorong anak untuk mengungkapkan masalahnya baik yang
bersifat individu maupun masalah-masalah lainnya seperti masalah
keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu pekerja sosial juga
memfasilitasi anak dalam mencari berbagai alternatif dan solusi
pemecahannya.
2) Bimbingan Sosial Kelompok
Bimbingan sosial kelompok merupakan suatu metode pekerjaan sosial
untuk memperbaiki dan meningkatkan peranan sosial individu melalui
pengalaman kelompok yang disusun secara sadar dan bertujuan.
Dengan perkataan lain, pekerja sosial menggunakan kelompok sebagai alat
intervensi untuk memenuhi kebutuhan individu yang akan dipengaruhinya,
karena pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan
mekanisme yang lebih baik dari pada mekanisme lainnya, dan bahwa
kelompok memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila igali dan
dikembangkan dengan kerjasama kelompok dapat merupakan sumber
untuk penyembuhan dan pengembangan anggotanya
3) Bimbingan Sosial Masyarakat
Metode bimbingan sosial masyarakat ini menggunakan kehidupan dan
interaksi masyarakat yang menjadi lingkungan sosial anak. Melalui
dapat menerima dan mendukung kehadiran dan permasalahan anak nakal.
Disamping itu, pekerja sosial memotivasi anak untuk menerima dan hidup
bersama lingkungannya. Bimbingan sosial masyarakat merupakan metode
yang bersifat komprehensif yang diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat melalui pendekatan partisipatoris untuk mempersatukan
seluruh segmen masyarakat dalam penanganan permasalahan anak.
2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Kenakalan Anak
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang viktimologi dan kriminologi. Konsep ini mengakui bahwa kejahatan
dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat
diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat
kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Program ini
memungkinkan korban, pelaku dan komunitas dapat terlihat langsung dalam
merespon kejahatan, proses pemulihan yang melibatkan semua pihak adalah dasar
untuk mencapai hasil yang memulihkan bagi anak.
Kelompok Kerja Peradilan Pidana Anak perserikatan Bangsa-Bansa
(PBB) yang dikutip oleh Melani (2006) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan
bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan datang”.
Menurut Tony Marshal yang dikutip oleh Hidayat (2005) restorative justice
adalah proses yang melibatkan semua pihak pada kejahatan, khususnya untuk
memecahkan secara bersama-sama begaimana mengatasi akibat dari suatu
kejahatan dan implikasinya di masa mendatang
Kevin I Minor and J.T. Morrison yang dikutip oleh Hidayat (2005)
restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kriminal dengan memulihkan kerugian yang dialami oleh korban kejahatan dan untuk
memfasilitasi perdamaian dan kesentosaan di antara kelompok yang menentang.
” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process.
(Daly and Immarigeon, 1998)
Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa :
” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process.
(Daly and Immarigeon, 1998)
Menurut Daly dan Immarigeon bahwa restorative justice telah mulai bermunculan di beberapa negara dengan nama yang berbeda. Konsep dasarnya
adalah adanya proses alternatif untuk memecahkan permasalahan dan
menghindari penghukuman lewat peradilan pidana dengan menerapkan bentuk
diversi (pengalihan) bentuk hukuman dan menghindari proses peradilan formal.
Menurut Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) bahwa dalam
Proses restorative justice ada tiga hal yang harus ditempuh yaitu :
1. Family Group Cenference (FGC) yaitu adanya musyawarah dalam keluarga untuk membahas permasalahan antara pihak korban dengan
pelaku
2. Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban yang difasilitasi oleh mediator. Yang menjadi
3. Peacemaking and sentencing circles yaitu tercapainya (terbangunnya) proses perdamaian antara pelaku tindak kejahatan dengan pihak korban
dan masyarakat
Selanjutnya Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) menyebutkan bahwa
dari ketiga bentuk yang tersebut di atas harus mengandung unsur-unsur :
1. Adanya dialog, yang terlibat dalam dialog adalah pihak korban dan pelaku,
korban dan aparat penegak hukum, korban dan anggota masyarakat dan
antara pelaku dengan anggota masyarakat serta pihak-pihak lain yang
dibutuhkan
2. Relationship building (membangun hubungan) antara pelaku dengan korban dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu
3. Restorasi yaitu adanya pemulihan khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya, serta ganti
rugi bagi korban
Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI (2008)
mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan
masalah, tentang bagaimana menangani akibat perbuatan anak dimasa yang
akanm datang. Tindak pidana dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia
dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku
dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki rekonsiliasi dan
mententramkan hati”
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kenakalan anak dengan
memulihkan kerugian yang dialami oleh korban dan untuk memfasilitasi
perdamaian. Upaya ini menekankan pemulihan atas kenakalan seorang anak harus
dilakukan dalam lingkungan yang layak, masyarakat di lingkungan sekitar anak
perlu berpartisipasi terlibat dalam penanganan anak tersebut, jadi kasus hukum
diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau
komunitas di masyarakat dengan jalan musyawarah. Penyelesaian di pengadilan
hanya diterapkan pada jenis kejahatan yang belum ditolerir, seperti kejahatan
terhadap asusila, pengrusakan atau penganiayaan terhadap tubuh hingga
penghilangan nyawa.
Restorative justice menekankan pada proses pemulihan atas kenakalan seorang anak melalui penyelesaian secara musyawarah. Dasar pemikirannya
bahwa masyarakat di lingkungan sekitar anak perlu berpartisipasi dalam
penanganannya. Dengan ini kasus-kasus hukum yang ringan diharapkan tidak
perlu sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tetapi cukup dilakukan di
lingkungan setempat.
Manfaat restorative justice menurut Wright (1992) yang dikutip oleh Hidayat (2005) adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan pemahaman, menekankan pertanggungjawaban dan menaikkan
daya terima masyarakat terhadap pelaku kejahatan
2. Menggabungkan kebijakan sosial dengan kebijakan pencegahan kejahatan
3. Memberikan contoh untuk perilaku yang baik
4. Menaikkan komunikasi dan partisipasi bagi korban, pelaku dan masyarakat
5. Melakukan penahanan hanya jika diperlukan
Program restorative justice (Wright, 1991) yang dikutip oleh Hidayat (2005) dikatagorikan menjadi tiga nilai yaitu :
1. Encounter, memberikan kesempatan bagi korban (pelaku) dan komunitas untuk bertemu, berdiskusi tentang kejahatan dan akibat yang ditimbulkan.
2. Amneds, mengharapkan pelaku untuk melakukan langkah-langkah guna memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.
3. Reintegration, mencari cara untuk memulihkan korban dan pelaku secara menyeluruh bagi korban, pelaku dan masyarakat.
Penerapan konsep restorative justice mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku
di luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku; adanya persetujuan dari
kepolisian sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan diskresi (penghentian
penyidikan) khusus untuk kasus yang sudah dilaporkan di Polisi; dan
mendapatkan dukungan masyarakat setempat
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang
dapat dilaksanakan melalui restorative justice” adalah bukan kasus kenakalan yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas,
kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak
menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan
merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan. Sedangkan katagori kasusnya
bisa yang telah dilaporkan ke polisi ataupun yang belum dilaporkan ke polisi.
Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses musyawarah yaitu pihak
korban dan keluarga korban, pelaku (anak nakal) dan keluarganya serta wakil dari
masyarakat yaitu diwakili oleh suatu forum yang beranggotakan tokoh atau yang
mewakili masyarakat.
Manfaat penerapan konsep restorative justice bagi pelaku di antaranya tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku
bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki
kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang
tua/tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari
kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana
Manfaat konsep restorative justice bagi pihak korban adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, kerugian dapat segera dipulihkan, terhindar
dari pemberitaan sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu
masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak
nakal didaerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat
menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga, dapat menyampaikan
dan mewujudkan kepentingannya.
Bagi Penegak Hukum manfaat penerapan konsep restorative justice”
adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk, dan menghemat
2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana
Restorative Justice
Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) adalah suatu lembaga
yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat untuk menangani anak yang
bermasalah dengan hukum dalam konteks restorative justice. Prinsip restorative justice yang menekankan adanya proses alternatif untuk memecahkan permasalahan dan menghindari penghukuman lewat peradilan formal. Proses
alternatif tersebut adalah melalui jalur musyawarah yang difasilitasi oleh
sukarelawan (volunteer). Musyawarah ini diperlukan dalam proses Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban, dan proses Peacemaking and Sentencing Circles agar tercipta perdamaian sehingga masing-masing pihak merasa terpuaskan dan tercapai win-win solution.
Penerapan restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan melibatkan masyarakat sebagai volunteer, yang dilembagakan dalam bentuk forum yang disebut FMPA. Forum dimaksud beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan figur-figur lain yang dianggap mampu bertindak sebagai mediator, dipercaya
oleh pihak korban maupun pelaku, serta mampu menjembatani masyarakat
dengan penegak hukum. Dengan kata lain, FMPA adalah forum yang dibentuk
oleh masyarakat untuk menangani kasus anak nakal agar tidak sampai diproses di
tingkat peradilan formal, terhadap kasus-kasus hukum yang ringan dan dapat
ditolerir.
FMPA merupakan bentuk pengembangan masyarakat, di mana partisipasi
aktif masyarakat mempunyai andil yang besar terhadap keberlangsungan forum
ini. Partisipasi dapat terjadi apabila timbul motivasi dan kesadaran warga
masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Partisipasi merupakan
keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam
kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan
pembangunan kesejahteraan sosial di dalam atau di luar lingkungan
2.5. Kenakalan Anak
Kenakalan anak merupakan bentuk perilaku anak yang bertentangan dengan
norma-norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang ini bersifat dinamis dan
cenderung mengikuti perkembangan suatu komunitas. Perkembangan tersebut
mengarah pada adanya peningkatan baik dari segi jumlah, kualitas, dan tingkat
kesadisannya. Peningkatan pada tingkat kesadisan dan kebengisan ini terutama
terjadi pada aksi-aksi yang dilakukan dalam bentuk kelompok. Perkembangan ini
terjadi seiring dengan lajunya industrialisasi dan urbanisasi (Kartono, 1986).
Istilah yang banyak digunakan berkaitan dengan masalah perilaku
menyimpang pada anak (remaja) adalah kenakalan remaja (juvenile delinguency). Kenakalan ditandai dengan adanya perilaku yang ilegal atau berlawanan dengan
norma sosial, tetapi tidak selalu berupa kekerasan. Beberapa perilaku antisosial
yang biasanya dilakukan oleh anak-anak atau remaja meliputi : tindakan agresif
dan kekerasan di dalam keluarga, di sekolah dalam bentuk perkelahian dan
perusakan barang-barang; pelanggaran hukum ringan (vandalisme,
penyalahgunaan obat, kabur dari rumah); pelanggaran hukum berat (mencuri,
merampok, pemerkosaan dengan kekerasan); kekerasan terhadap diri sendiri
termasuk bunuh diri; dan keanggotaan dalam geng (Mc Whirter, 1998)
Pendapat Whirter mengisyaratkan bahwa perilaku antisosial yang dilakukan
hanya dipandang sebagai kenakalan, meskipun beberapa sudah termasuk kategori
berupa tindakan pelanggaran hukum yang berat. Ini berarti penanganannya pun
tidak dapat disamakan dengan penanganan kasus kriminal sebagaimana
umumnya. Pandangan ini sekaligus mengisyaratkan bahwa anak merupakan
individu yang belum matang, sehingga dipandang belum mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum.
Waegel (1989) mengidentifikasikan beberapa ciri-ciri sosial dari pelaku
kenakalan. Ciri-ciri tersebut terdiri dari usia, jenis kelamin, tempat tinggal, status
sosial, dan struktur keluarga. Menurut Waegel, pelaku kenakalan pada anak
paling banyak berusia 15 sampai 18 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tinggal di
kota, berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan hanya memiliki satu orang
Di Indonesia, istilah yang digunakan adalah anak nakal dan anak yang
berhadapan dengan hukum. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak yang
berkonflik dengan hukum sebagai anak yang termasuk pada kategori anak nakal,
pelaku tindak pidana yang berdasarkan hasil penyelidikan/pemeriksaan aparat
penegak hukum membutuhkan pembinaan di panti sosial anak, sedangkan anak
nakal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
pasal 1 ayat 2 didefenisikan sebagai :
”Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”
Pemberian sebutan anak nakal sebenarnya merupakan hukuman yang sudah
diberikan sebelum anak yang bersangkutan menjalani proses hukum, yaitu berupa
pemberian label atau sebutan sebagai ”anak nakal”. Dalam UU No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, dikatakan bahwa seorang anak yang sudah berusia 8
tahun sudah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya.
Batasan usia minimal ini jelas sangat memberatkan anak, karena pada usia
tersebut anak baru memasuki usia sekolah. Dimana pada usia tersebut, seorang
anak semestinya baru mulai mendapatkan pendidikan formal untuk bekal
kemampuan kognisinya, dan juga dilakukan penanaman nilai-nilai yang berlaku
secara umum.
2.5.1. Tipe Kenakalan Anak
Kenakalan pada anak tidak berlangsung dalam keterisolasian, tetapi terjadi dalam
konteks antar personal dan sosio kultural. Oleh karenanya kenakalan anak
bersifat organismis, psikis, interpersonal, antar personal dan budaya (Kartono,
2006). Sehubungan dengan sifat-sifat tersebut, Kartono (2006) membagi
kenakalan anak dalam 4 kelompok yaitu :
b. Delikuensi individual
Kenakalan yang dilakukan individu dengan ciri-ciri khas jahat, biasanya
a-sosial). Pelaku kenakalan tipe ini biasanya memiliki kelainan jasmaniah dan
mental yang dibawa sejak lahir. Kenakalan yang mereka lakukan cenderung
berupa tindak kriminal dan kekejaman yang dilakukan tanpa motif apapun.
c. Delikuensi situasional
Tipe kenakalan ini dilakukan oleh anak normal, yang menerima pengaruh
yang sangat kuat dari lingkungan dan situasi sosial disekitarnya. Pengaruh
tersebut bersifat memaksa dan menekan individu sehingga membentuk
perilaku buruk. Sebagai hasilnya anak yang seperti ini suka menampilkan
perilaku melanggar aturan, norma sosial dan hukum formal. Interaksi yang
terus menerus antara anak dengan situasi dan kondisi lingkungan yang buruk
akan memperkuat perilaku nakal pada remaja. Pada situasi seperti ini
kenakalan akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang wajar diterima oleh
lingkungan sosialnya. Bentuk kenakalan seperti tawuran antar pelajat atau
antar kampung, pesta minuman keras atau narkoba yang dilakukan
bersama-sama teman sebaya merupakan contoh dari delikuensi situasional.
Delikuensi situasional merupakan jenis delikuensi yang paling mudah
menular kepada anak secara meluas, sehingga masalah ini dapat menjadi
masalah sosial yang serius. Untuk mengatasi hal ini Kartono (2006)
menyarankan untuk melakukan reorganisasi secara mendasar terhadap :
1) Struktur kejiwaan anak-anak remaja dengan bantuan proses pendidikan
2) Struktur sosial masyarakatnya lewat pendidikan preventif, represif
(penekanan) dan punitif (hukuman), dan
3) Penataan ulang terhadap kebudayaan bangsa
d. Delikuensi sistematis
Tipe kenakalan ini merupakan kenakalan yang dioganisir dalam bentuk
geng. Pengorganisasian perilaku tersebut disertai dengan aturan tertentu, status formal, peranan tertentu, nilai-nilai dan norma tertentu, rasa kebanggaan
dan moral delikuen yang berbeda dengan yang berlaku pada umumnya.
Semua bentuk kenakalan tersebut dirasionalisasi dan dibenarkan sendiri oleh
Peraturan yang dibuat dalam geng tersebut biasanya sangat keras
dengan sanksi hukuman yang berat, bertujuan untuk menegakkan kepatuhan
anggota. Geng biasanya cenderung memiliki tujuan organisasi, wilayah
operasi, ritual-ritual tertentu, kode-kode rahasia dan nama organisasi yang
eksklusif yang bertujuan untuk menegakkan gengsi organisasinya. Bentuk
perilaku kenakalan yang menjurus kriminal dan anarkis seperti yang dilakukan
oleh beberapa geng motor di Kota Bandung merupakan salah satu contoh
delikuensi sistematis.
e. Delikuensi kumulatif
Tipe ini merupakan bentuk kenakalan anak yang terjadi secara meluas
ditengah masyarakat, sehingga memunculkan adanya fenomena
disorganisasi/disintegrasi sosial dengan ciri yang mencolok yaitu terbentuk
sub kultur delikuen di tengah kebudayaan suatu masyarakat. Delikuensi
kumulatif biasanya paling mudah terjadi pada wilayah-wilayah dengan
pemukiman yang terlalu padat, terjadi melalui suatu proses intimidasi maupun
paksaan dari orang dewasa. Perilaku delinkuen yang membudaya di tengah
masyarakat ini menurut Kartono (2006) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Mengandung banyak dimensi ketegangan syaraf, kegelisahan batin dan keresahan hati pada para remaja, yang kemudian disalurkan atau dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan dan agresivitas tidak terkendali
2) Merupakan adolescence revolt (pemberontakan adolesensi) terhadap kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa, dalam usaha mereka menemukan indentitas-diri lewat tingkah laku yang melanggar norma sosial dan hukum
3) Banyak terdapat penyimpangan seksual disebabkan oleh penundaan saat kawin jauh sesudah kematangan biologis, antara lain berupa promiskuitas, cinta bebas dan seks bebas, ”kumpul kebo”, perkosaan seksual, pembunuhan berlatarkan motivasi seks.
4) Banyak terdapat tindak ekstrim radikal yang dilakukan oleh para remaja yang menggunakan cara-cara kekerasan, pembunuhan, zibaku, tindak bunuh-diri, meledakka bom dan dinamit, penculikan, penyanderaan, dan lain-lain
Gunarsa (1988) melakukan pengelompokkan kenakalan anak dari segi hukum,
1) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Jenis kenakalan ini antara lain berupa berbohong, membantah perintah orang tua karena tidak mau diatur oleh orang tua, berkelahi, meninggalkan rumah dan tinggal bersama dengan beberapa orang teman sebaya
2) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan oleh orang dewasa. Jenis ini berupa beberapa kenakalan yang merupakan tindakan kriminal yang cenderung pada penganiayaan, dan tindakan mengganggu ketertiban umum merupakan beberapa contoh kenakalan yang menjurus kearah kriminal
Lebih lanjut Jensen (1985) seperti dikutip oleh Sarwono (2007),
membagi kenakalan anak menjadi empat jenis, yaitu :
a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain
c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain : pelacuran, penyalahgunaan obat, melakukan hubungan seks sebelum nikah
d) Kenakalan yang melawan status, misanya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, menghindari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya
Berdasarkan jenis-jenis kenakalan yang disampaikan oleh Jensen tersebut,
kenakalan anak dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu
kenakalan yang berupa pelanggaran hukum dan kenakalan berupa pelanggaran
status. Kenakalan dalam bentuk pelanggaran hukum merupakan jenis
kenakalan pada point a,b dan c. Ketiga jenis kenakalan tersebut diatur dalam
hukum dan akan dikenakan sanksi hukum apabila dilakukan, sedangkan
kenakalan dalam bentuk pelanggaran status bukan termasuk perbuatan
melanggar hukum karena pelanggaran tersebut dilakukan pada lingkungan
keluarga dan sekolah, dimana tidak diatur secara rinci dalam hukum. Dengan
demikian jenis kenakalan ini tidak dapat dikenakan sanksi atau tindakan
Sementara itu Sunarwiyati (1985) seperti dikutip oleh Masngudin
(2004) mengelompokkan kenakalan anak berdasarkan bentuknya.
Pengelompiokkan ini dilakukan secara bertingkat yang dimulai dari tingkat
ringan menuju ke tingkat yang berat. Bentuk-bentuk kenakalan anak menurut
Sunarwiyati meliputi :
1) Kenakalan biasa, merupakan jenis kenakalan yang paling banyak dilakukan oleh remaja. Kenakalan jenis ini cenderung tidak memiliki dampak yang terlalu berbahaya bagi anak dan tidak meresahkan kentraman umum. Bentuk kenakalan biasa antara lain berkelahi, membolos sekolah, keluyuran, begadang sampai larut malam, dan pergi dari rumah tanpa memberitahu pada orang tua
2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, merupakan jenis kenakalan yang sudah mendekati tindakan kriminal. Jenis kenakalan ini bila tidak segera mendapatkan penanganan dan perhatian yang baik dari orang tua akan memudahkan anak untuk menjadi pelaku tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini meliputi pelanggaran aturan berlalu-lintas dengan mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM, mencuri barang-barang milik orang tua, mencuri buah-buahan milik tetangga, termasuk mencuri sandal atau sepatu milik teman bermain.
3) Kenakalan khusus, merupakan jenis kenakalan yang sudha berkaitan dengan tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini antara lain terlibat dalam pengedaran dan penyalahgunaan narkotika, melakukan perusakan fasilitas umum, mencuri, memperkosa, melakukan hubungan seks di luar nikah dan lain-lain
Memperhatikan pada pengelompokkan kenakalan anak oleh anak di
Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung termasuk
jenis kenakalan biasa dan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan. Bentuk-bentuk kenakalan tersebut masih memungkinkan untuk
sebagai tempat terbaik membentuk perilaku anak. Selain itu upaya
pembinaan terhadap anak melalui kegiatan-kegiatan kepemudaan yang ada,
misalnya pengajian untuk remaja muslim, dapat dioptimalkan untuk
mengarahkan perilaku anak agar sesuai dengan harapan masyarakat.
2.5.2. Analisis Faktor Penyebab Kenakalan Anak dalam Perspektif
Ekosistem
Anak nakal merupakan salah satu masalah sosial yang mendapat perhatian
cukup serius dari pemerintah. Masalah sosial tidak muncul dengan sendirinya
tetapi karena adanya sebab. Penyebab masalah ini biasanya tidak tunggal dan
terjadi karena adanya sesuatu yang salah dalam proses interaksi antara individu
dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain penyebab masalah sosial adalah
suatu hal yang bersifat sistemik, sehingga perlu dilakukan pencegahan secara
sistematis.
Analisis terhadap faktor-faktor penyebab kenakalan dilakukan dengan
menggunakan perspektif ekosistem. Hal ini merupakan kombinasi antara
perspektif ekologi dengan teori sistem. Perspektif ini memfokuskan interaksi
antara sub-sub sistem dengan lingkungan sosialnya. Beckert and Johnson (1995)
dan Kirst-Ashman (2000) seperti dikutip Zastrow (2004) mendefinisikan teori
ekosistem sebagai berikut : ”systems thoery used to describle and analyze people and other living systems and their transactions” (Zastrow, 2005:7). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa teori ekosistem merupakan sistem teori yang
digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa orang-orang dan sistem yang
ada di sekitarnya serta transaksi diantara orang dengan sistem tersebut.
Menurut teori ekosistem bahwa :
a. Setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan akan
berfungsi secara lebih baik apabila berada dalam suatu lingkungan atau
setting tertentu, dari pada ketika berada seorang diri
b. Ekosistem bersifat dinamis, setiap anggotanya secara perlahan namun pasti
Berdasarkan asumsi tersebut, perilaku yang ditampilkan oleh individu
dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan sistem-sistem lain
dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian perilaku nakal pada anak
merupakan hasil dari proses interaksi tersebut. Dalam hal ini terdapat dua
kemungkinan sehingga memunculkan perilaku nakal pada anak. Kemungkinan
pertama adalah adanya kegagalan anak dalam melakukan adaptasi terhadap
lingkungan, sehingga anak tidak mampu menampilkan peran sesuai dengan
harapan lingkungan sosialnya akhirnya perilakunya menyimpang dari
norma-norma yang berlaku pada lingkungan sosial tersebut.
Kemungkinan kedua adalah adanya disorganisasi sosial pada lingkungan
sosial dimana anak berinteraksi. Disorganisasi sosial ini menyebabkan beberapa
fungsi lingkungan sosial, terutama fungsi sosialisasi dan fungsi kontrol sosial dari
lingkungan sosial tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Eitzen (1986) dalam Masngudin (2004) bahwa lingkungan
masyarakat yang buruk akan menyebabkan seseorang berpeilaku buruk. Ini dapat
terjadi karena pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma
dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikatnya.
Lingkungan sosial yang terdekat dengan anak adalah keluarga, kemudian
yang lebih luas adalah teman bermain, teman di sekolah dan teman di lingkungan
ketetanggaan. Lingkungan inilah akan turut membentuk perilaku yang akan
ditampilkan oleh seorang anak dalam kehidupan sehari-hari, deengan demikian
agar anak nantinya dapat menampilkan perilaku yang pro-sosial, maka lingkungan
sosial tersebut harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan memberikan
tempat yang dapat mendukung perkembangan anak secara optimal.
2.5.3. Hak-Hak Anak
Sebagai salah satu negara penandatangan Konvensi Hak-hak Anak
(Convention on the Rights of the Child / CRC) yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 yang selanjutnya disahkan melalui Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990, Indonesia menyetujui untuk melaksanakan
sosial dan pendidikan yang layak dan maksimal guna melindungi anak dari semua
bentuk kekerasan fisik atau mental atau penyalahgunaan, penelantaran atau
perlakuan salah, cedera atau terjadinya eksploitasi terhadap anak.
Empat prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak ( KHA )
adalah :
1). Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam
KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.
Prinsip ini tertuang dalam pasal 2 KHA yang selengkapnya berbunyi :
”Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang
ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah
hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau
pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status
kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak
sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah” (ayat 1)
Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk
menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau
hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang
dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah, atau
anggota keluarganya” (ayat 2)
2) Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), yaitu bahwa ” Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga-lembaga
peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”
(pasal 3 ayat 1 )
3) Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life, survivbal and development), artinya, ” Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan”