• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanitasi dan Higienitas serta Dampaknya terhadap Mutu Ikan dan Pengguna Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Banda Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sanitasi dan Higienitas serta Dampaknya terhadap Mutu Ikan dan Pengguna Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Banda Aceh"

Copied!
253
0
0

Teks penuh

(1)

1

SANITASI DAN HIGIENITAS SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP MUTU IKAN DAN PENGGUNA PELABUHAN

PERIKANAN PANTAI LAMPULO BANDA ACEH

ALVI RAHMAH

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Sanitasi dan Higienitas serta Dampaknya terhadap Mutu Ikan dan Pengguna Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Banda Aceh adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(3)

3

ABSTRAK

ALVI RAHMAH, C44060118. Sanitasi dan Higienitas serta Dampaknya terhadap Mutu Ikan dan Pengguna Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Banda Aceh. Dibimbing oleh ANWAR BEY PANE dan ERNANI LUBIS.

Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo merupakan pelabuhan perikanan yang penting di Banda Aceh karena jumlah hasil tangkapan yang didaratkan cukup besar sehingga memerlukan kualitas dan pelayanan pelabuhan yang memenuhi standar seperti sanitasi dan higienitas yang baik. Namun, Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo ternyata memiliki kondisi sanitasi dan higienitas yang masih belum baik, hal ini terlihat dari kondisi tempat pelelangan ikannya yang masih dipenuhi sampah, baik di dalam gedung pelelangan ataupun di daerah sekitarnya seperti di dermaga. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kondisi aktual dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sanitasi dan higienitas tempat pelelangan ikan Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo; mengetahui tingkatan mutu hasil tangkapan yang dijual dan pengaruh sanitasi terhadap mutu ikan; serta mengetahui besaran potensi kerugian dari pengaruh faktor sanitasi dan higienitas yang tidak baik. Analisis dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan pengamatan dengan pendekatan perhitungan sampah fisik berdasarkan kotak amatan dan pengamatan organoleptik. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi sanitasi dan higienitas di dermaga dan tempat pelelangan ikan Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo masih buruk, sehingga mempengaruhi mutu hasil tangkapan yang didaratkan. Tingkatan mutu hasil tangkapan khususnya jenis ikan tongkol, tembang, dan teri yang didaratkan masing-masing berada pada kisaran skala organoleptik 6-9, 6-9, dan 6-8 atau pada mutu cukup segar hingga kondisi sangat segar untuk ikan tongkol dan tembang, cukup segar sampai segar untuk ikan teri. Penurunan mutu tersebut menyebabkan kerugian yang dialami per kapal purse seine yaitu berkisar antara Rp 325.000,00 sampai Rp 3.540.000,00 dalam sekali pendaratan. Kerugian yang dialami per nelayan berkisar antara Rp 16.250,00 sampai Rp 118.000,00; dan yang dialami per pedagang berkisar antara Rp 6.700,00 sampai Rp 70.800,00.

(4)

4

SANITASI DAN HIGIENITAS SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP MUTU IKAN DAN PENGGUNA PELABUHAN

PERIKANAN PANTAI LAMPULO BANDA ACEH

ALVI RAHMAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

5 Judul Skripsi : Sanitasi dan Higienitas serta Dampaknya terhadap Mutu

Ikan dan Pengguna Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Banda Aceh

Nama : Alvi Rahmah

NRP : C44060118

Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Anwar Bey Pane, DEA Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA NIP: 19541014 198003 1 003 NIP: 19561123 198203 2 002

Diketahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP: 19621223 198703 1 001

(6)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Sanitasi dan Higienitas serta Dampaknya terhadap Mutu Ikan dan Pengguna Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Banda Aceh. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat dalam mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Anwar Bey Pane, DEA dan Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA atas bimbingan dan arahan selama proses penulisan skripsi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh

pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(7)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :

1. Komisi pembimbing Dr. Ir. Anwar Bey Pane, DEA dan Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA atas bimbingan, kritikan, dan saran yang membangun demi kelancaran proses skripsi ini;

2. Dosen penguji tamu Bapak Iin Solihin, S.Pi, M.Si dan komisi pendidikan Ibu Vita Rumanti, S.Pi, M.Si atas kritikan dan saran untuk skripsi ini;

3. Bapak Endin Sapruddin selaku kepala UPTD PPP Lampulo atas bantuan Beliau selama penelitian berlangsung;

4. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Usman AR dan Ibunda Salmiah yang selalu mengirimkan doa dan memberikan kasih sayang yang tiada

henti-hentinya kepada penulis;

5. Nurlaila Qamari, Hadi Satriya, dan Yusairi atas doa, sayang, perhatian, dan semangat yang selalu mengiringi penulis serta kedua malaikat kecil (Shabrina dan Naura) atas tawa dan keceriaan yang memberikan energi positif bagi penulis;

6. Andi Efendi atas cinta, perhatian, semangat, tawa, dan kesabaran yang terus dibagi kepada penulis;

7. Neiliel Fitriana Anies, Kandi Jelita, Yauvina, Amnihani, dan Pipih Hadiyanti atas persahabatan yang tak berujung;

8. Penghuni kamar Hibiscus rosaniensis (Tari, Ratna, Novia, Irin, dan Nurul) atas semua cerita, kebahagiaan dan persahabatan yang telah diberikan;

9. Penghuni Malahayati (Ami, Kandi, Dara, Tia, Ira, Siti, Ana, K’Mala) atas kepercayaan, kebersamaan, dan kegembiraan selama ini, untuk penghuni Leuser (B’Arifka, B’Rian, B’Yasar, B’Naufal, Heru, Husnul, Fahrul) terima kasih atas kerjasamanya selama ini;

10. Bang Heri M. Zebua yang telah bersedia membantu penulis mengumpulkan data di lapangan;

(8)

iii 12. Antomi, Derevie, Icha, Leli, Ayu, dan semua teman-teman atas kebersamaan

dan keceriaan yang telah dibagi kepada penulis;

13. Teman seperjuangan PSP 43 (Riri, Ciwid, Yasa, Rian, Bayu, Seli, Caesar, Mertha, Rizki, Ina, Rahman, Refi, Intan, Dedy, Ratih, Daey, Ncek, Gini, Mia, Adit, Riema, Troy, Alin, Firman, Ike, Hanif, Qbee, Arif, Qkee, Fatra, Siska, Heru, Ncum, Ghea, Anggi, Ona, Maria, Lala, Mukhlis, Ari, Septa, Nene, Septi, Icha, Iniz, Enur, Uty, Shinta, Esther, Nanda, Alfian, Rezki) atas kebersamaannya selama 3 tahun ini;

14. Teman-teman IMTR tercinta khususnya angkatan 2006 (Dwi, Meri, Lia, Zatil, Wati, Cut, Winta, Nurul, Ana, Reisa, Evi, Ade, Pipit, Nuri, Aris, Kiki, Fadhlon, Resha, Mika, Hafiz, Weilmar, Sandro, Fajar, Dova, Abrar, Rizki, Bobi, Fikri, Lawi), kenangan itu takkan pernah hilang kawan;

(9)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 08 Mei 1988 dari Bapak Usman AR dan Ibu Salmiah Syama’un. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan penulis aktif di organisasi mahasiswa daerah

(10)

v

2.3 Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo ... 13

2.4 Analisis Pengaruh Penurunan Mutu Hasil Tangkapan: Diagram Sebab Akibat (fishbone diagram) ... 15

3 METODOLOGI ... 17

4.2 Kondisi Perikanan Tangkap Kota Banda Aceh ... 28

4.2.1 Unit penangkapan ikan ... 28

4.2.2 Produksi hasil tangkapan ... 34

4.2.3 Daerah penangkapan ikan ... 36

4.2.4 Prasarana perikanan tangkap di Kota Banda Aceh ... 36

4.3 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo ... 39

4.3.1 Kondisi perikanan tangkap PPP Lampulo ... 39

4.3.2 Pengelolaan PPP Lampulo ... 44

(11)

vi Halaman

5 SANITASI DAN HIGIENITAS DERMAGA DAN TEMPAT

PELELANGAN IKAN DI PPP LAMPULO ... 59

5.1 Kondisi Aktual Dermaga dan Tempat Pelelangan Ikan PPP Lampulo ... 59

5.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Sanitasi dan Higienitas Dermaga dan TPI di PPP Lampulo ... 63

5.2.1 Aktivitas yang menimbulkan dampak di dermaga dan TPI PPP Lampulo ... 64

5.2.2 Jumlah orang yang beraktivitas dan sampah fisik yang terdapat di dermaga dan TPI PPP Lampulo ... 73

5.3 Faktor-faktor Terkait Sanitasi yang Berpengaruh terhadap Mutu Hasil Tangkapan di PPP Lampulo ... 82

6 TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO ... 92

6.1 Tingkatan Mutu Hasil Tangkapan yang Paling Dominan Dipasarkan di PPP Lampulo ... 92

6.2 Besaran Potensi Kerugian Pengguna PPP Lampulo dari Pengaruh Faktor Sanitasi dan Higienitas yang Tidak Baik ... 97

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

7.1 Kesimpulan ... 100

7.2 Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(12)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai mutu organoleptik ikan basah ... 9

2 Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ikan dalam proses penanganan ... 12

3 Produksi hasil tangkapan per jenis alat tangkap di PPP Lampulo ... 15

4 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan rata-rata kepadatan penduduk per km2 di Kota Banda Aceh tahun 2008 ... 23

5 Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 ... 25

6 Jumlah armada penangkapan ikan dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 ... 29

7 Jumlah alat tangkap dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 ... 32

8 Volume dan pertumbuhan serta nilai produksi hasil tangkapan di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 ... 35

9 Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan jenis dan asal armada di PPP Lampulo tahun 2008 ... 39

10 Jumlah produksi hasil tangkapan tahunan dan pertumbuhannya di PPP Lampulo tahun 2004-2008 ... 43

11 Jumlah sampah padat di dermaga PPP Lampulo tahun 2010 ... 74

12 Jumlah sampah cair di dermaga PPP Lampulo tahun 2010 ... 76

13 Jumlah sampah padat di TPI PPP Lampulo tahun 2010 ... 78

14 Jumlah sampah cair di TPI PPP Lampulo tahun 2010 ... 79

15 Jumlah kelompok orang yang beraktivitas di dermaga dan TPI PPP Lampulo tahun 2010 ... 81

16 Pengamatan organoleptik ikan tongkol di PPP Lampulo tahun 2010 .... 91

17 Pengamatan organoleptik ikan tembang di PPP Lampulo tahun 2010 ... 93

18 Pengamatan organoleptik ikan teri di PPP Lampulo tahun 2010 ... 95

19 Besar kerugian per kapal per pendaratan pada tiap tingkatan mutu hasil tangkapan di PPP Lampulo tahun 2010 ... 98

(13)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Grafik jumlah penduduk di Kota Banda Aceh

tahun 2004-2008 ... 24

2 Grafik perkembangan jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 ... 31

3 Grafik perkembangan jumlah alat tangkap berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 ... 33

4 Diagram komposisi jumlah alat tangkap di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 ... 33

5 Histogram jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan ukuran kapal di PPP Lampulo tahun 2008 ... 40

6 Grafik jumlah produksi hasil tangkapan tahunan dan rata-rata produksi hasil tangkapan per bulan di PPP Lampulo tahun 2004-2008 ... 43

15 Pengepakan ikan menggunakan cool box di PPP Lampulo tahun 2010 ... 54

16 Dua unit tangki air di PPP Lampulo tahun 2010 ... 55

17 Tsunami Warning System (TWS) di PPP Lampulo tahun 2010 ... 56

18 Pos jaga di kompleks PPP Lampulo tahun 2010 ... 56

19 Fasilitas toilet di PPP Lampulo tahun 2010 ... 57

20 Kondisi lahan parkir besar untuk mobil dan lahan parkir kecil untuk motor di PPP Lampulo tahun 2010 ... 58

21 Cara merapat kapal di dermaga secara memanjang di PPP Lampulo tahun 2010 ... 60

(14)

ix Halaman

23 Tempat sampah yang terletak di samping bengkel dan di dekat TPI

di PPP Lampulo tahun 2010 ... 62 24 Aktivitas pembongkaran hasil tangkapan dari palka ke dek

di PPP Lampulo tahun 2010 ... 64 25 Kegiatan penyortiran hasil tangkapan di atas dek kapal di

PPP Lampulo tahun 2010 ... 66 26 Kondisi tempat pengecer menjual hasil tangkapannya di depan gedung

TPI PPP Lampulo tahun 2010 ... 69 27 Aktivitas pemasaran oleh toke bangku di dermaga pendaratan

PPP Lampulo tahun 2010 ... 70 28 Aktivitas pengangkutan ikan dengan menggunakan gerobak

di PPP Lampulo tahun 2010 ... 72 29 Histogram jumlah sampah berupa potongan sampah per kotak amatan

di dermaga PPP Lampulo tahun 2010 ... 75 30 Spanduk (di depan TPI PPP Lampulo) mengenai tata cara penanganan

ikan dengan baik tahun 2010 ... 84 31 Diagram sebab akibat penurunan mutu hasil tangkapan terkait sanitasi

(15)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta lokasi penelitian tahun 2010 ... 106 2 Layout PPP Lampulo tahun 2010 ... 107 3 Kotak amatan sampah fisik di dermaga dan TPI PPP Lampulo

tahun 2010 ... 108 4 Jenis ikan yang diuji organoleptiknya di PPP Lampulo tahun 2010 ... 109 5 Pengamatan organoleptik sampel ikan per jenis ikan dominan

yang didaratkan menurut volume di PPP Lampulo tahun 2010 ... 110 6 Hasil perhitungan nilai korelasi ikan tongkol, tembang,

dan teri dari pengolahan SPSS 12 di PPP Lampulo tahun 2010 ... 116 7 Perhitungan besar kerugian akibat sanitasi dan higienitas

(16)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebersihan yang meliputi faktor sanitasi dan higienitas merupakan hal yang sangat penting yang harus diperhatikan di dunia perikanan. Hal ini

disebabkan karena pengaruhnya yang cukup besar terhadap mutu hasil tangkapan. Produk perikanan atau hasil tangkapan memiliki sifat highly perishable atau mudah busuk, sehingga dibutuhkan perlakuan dan penanganan yang tepat agar kesegaran hasil tangkapan dapat terjaga hingga sampai ditangan konsumen akhir.

Penanganan dimulai saat hasil tangkapan dilepaskan dari alat tangkap yang kemudian dimasukkan ke dalam palka atau boks pendingin. Penanganan akan terus dilakukan hingga hasil tangkapan dikeluarkan dari dalam palka atau boks pendingin dan didaratkan di dermaga pelabuhan serta kemudian dipasarkan kepada konsumen, baik melalui proses pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) maupun secara langsung di pasar ikan.

Sanitasi dan higienitas akan mempengaruhi tingkatan mutu hasil tangkapan yang juga akan mempengaruhi nilai jualnya. Semakin bagus mutu hasil tangkapan maka harga jualnya pun akan semakin meningkat. Peningkatan harga hasil tangkapan ini akan mempengaruhi nilai produksi perikanan di suatu pelabuhan perikanan. Peningkatan nilai produksi nantinya akan membuat citra baik bagi pelabuhan perikanan secara khusus dan perikanan secara umum, dimana kemajuan perikanan di suatu negara dapat dilihat dari kemajuan atau tingkat produksi perikanan di pelabuhan perikanan yang terdapat di negara tersebut. Namun, kenyataannya saat ini aspek kebersihan yang meliputi aspek sanitasi dan higienitas masih kurang mendapat perhatian dari pihak-pihak yang terkait seperti pemerintah, pihak pelabuhan, nelayan, pedagang dan konsumen akhir, sehingga hasil tangkapan yang diperoleh cepat rusak atau busuk dan itu tentunya akan

menurunkan mutu dan harga jual hasil tangkapan yang diperoleh.

(17)

2 di TPI terdapat banyak orang yang hilir mudik sehingga secara langsung akan meningkatkan jumlah sampah yang dihasilkan di TPI yang juga akan meningkatkan potensi kekotoran di TPI. Biasanya di beberapa TPI, hasil tangkapan yang akan dilelang hanya diletakkan di lantai, tidak dimasukkan ke dalam wadah. Padahal wadah/tempat penampungan yang bersih mampu mempertahankan kesegaran hasil tangkapan hingga proses lelang selesai dan hasil tangkapan terjual kepada konsumen.

Berdasarkan pengamatan awal yang telah dilakukan peneliti, sebagai salah satu pelabuhan perikanan tipe C di Indonesia, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo merupakan pelabuhan perikanan yang penting untuk diteliti karena jumlah hasil tangkapan yang didaratkan cukup besar sehingga memerlukan kualitas dan pelayanan pelabuhan yang memenuhi standar seperti sanitasi dan higienitas yang baik. Selain itu juga terlihat bahwa PPP Lampulo ternyata memiliki kondisi sanitasi dan higienitas yang masih belum baik, hal ini terlihat masih dipenuhinya TPI dengan sampah, baik di dalam ataupun di sekitar TPI seperti di dermaga. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa fenomena yang telah

disebutkan di atas, maka sanitasi dan higienitas di PPP Lampulo dirasakan penting untuk diteliti.

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang ada di PPP Lampulo dalam kaitannya dengan sanitasi dan higienitas di pelabuhan tersebut adalah :

1) Belum diketahuinya kondisi aktual sanitasi dan higienitas di TPI dan dermaga PPP Lampulo;

2) Berdasarkan pengamatan awal, mutu hasil tangkapan yang dijual di PPP Lampulo rendah, namun belum diketahui tingkatan mutu tersebut dan bagaimana pengaruh sanitasi terhadap mutu; dan

(18)

3 1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui:

1) Kondisi aktual sanitasi dan higienitas di dermaga dan TPI PPP Lampulo; 2) Tingkatan mutu hasil tangkapan yang dijual di PPP Lampulo dan

faktor-faktor terkait sanitasi yang berpengaruh terhadap mutu hasil tangkapan; dan 3) Besaran potensi kerugian pengguna PPP Lampulo akibat pengaruh faktor

sanitasi dan higienitas yang tidak baik.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari skripsi ini adalah :

1) Sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola agar sanitasi dan higienitas di TPI PPP Lampulo menjadi lebih baik, dengan didukung oleh kesadaran dari semua pihak akan pentingnya kebersihan untuk menjaga mutu hasil tangkapan agar tahan lama (tidak cepat busuk).

2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola untuk memperbaiki dan melengkapi fasilitas-fasilitas yang mendukung kebersihan seperti penyediaan

air bersih yang cukup.

(19)

4

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan

Kebersihan terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan yaitu sanitasi dan higienitas. Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai efek merusak perkembangan fisik, kesehatan dan kelangsungan hidup. Sanitasi juga membantu mempertahankan lingkungan biologi sehingga polusi berkurang dan membantu melestarikan hubungan ekologi yang seimbang (Rusmali, 2004). Higienis secara umum menurut John (1991) vide Rusmali (2004), adalah sifat dasar dari suatu proses kebersihan. Kebersihan penting karena dapat mencegah bakteri yang timbul dari kondisi yang kotor.

Sanitasi dan higienitas memegang peranan penting dalam kegiatan perikanan karena berpengaruh langsung terhadap hasil tangkapan. Sifat dasar hasil tangkapan yang mudah busuk membuatnya membutuhkan penanganan khusus. Selain itu, alur kegiatan perikanan yang memerlukan waktu relatif lama, dimulai dari kegiatan penangkapan, pendaratan, pemasaran, dan pendistribusian hasil tangkapan membuat aspek sanitasi dan higienitas membutuhkan perhatian yang lebih besar. Kegiatan penangkapan ikan biasanya membutuhkan waktu minimal satu hari untuk melakukan beberapa kali operasi penangkapan, hal ini berpengaruh terhadap kesegaran hasil tangkapan. Setelah ditangkap, hasil tangkapan tersebut tidak dapat langsung dinikmati oleh konsumen melainkan harus didaratkan dan menunggu waktu untuk dipasarkan terlebih dahulu. Jangka waktu yang cukup lama ini dapat menurunkan mutu apabila hasil tangkapan tidak ditangani dengan baik. Oleh sebab itu, jika semua kegiatan perikanan yang dilakukan tidak memperhatikan faktor sanitasi dan higienitas maka mutu hasil tangkapan akan menjadi lebih cepat busuk.

(20)

5 1) Lokasi dan lingkungan

Lokasi dan lingkungan pelabuhan harus bersih dari sampah agar tidak ada bau busuk ataupun kotoran lainnya yang bisa mempengaruhi kualitas hasil tangkapan. Selain itu, pemilihan lokasi seharusnya tidak berdampingan langsung dengan tempat pemukiman penduduk, wilayah industri, dan pusat kegiatan publik yang banyak mencemari.

2) Konstruksi bangunan

Konstruksi setiap bangunan yang ada di suatu pelabuhan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Selain itu, harus mampu menampung orang atau barang sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan sehingga mendukung aktivitas yang berlangsung di dalamnya secara optimal.

3) Dinding, penerangan, dan ventilasi

Setiap bangunan yang ada di suatu pelabuhan harus memiliki ventilasi yang cukup agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan lancar. Selain itu, harus memiliki dinding yang kokoh serta penerangan yang cukup agar pekerjaan yang dilakukan di tempat/bangunan tersebut berjalan dengan baik.

4) Saluran pembuangan

Saluran pembuangan air kotoran serta sisa kegiatan penanganan hasil tangkapan tidak mengotori saluran drainase umum atau saluran kepentingan umum lainnya seperti irigasi, agar lingkungan sekitar pelabuhan tidak tercemar. Ukuran saluran pembuangan harus cukup besar dan lancar dalam menyalurkan kotoran serta mudah untuk dibersihkan.

5) Pasokan air dan bahan bakar

Pasokan air dan bahan bakar harus lancar agar tidak mengganggu aktivitas yang berlangsung. Air yang digunakan harus bersih agar kenyamanan dan keamanan dapat terjaga.

6) Es

(21)

6 7) Penanganan limbah

Limbah yang terdapat di suatu pelabuhan perikanan harus ditangani dengan baik. Tujuannya agar tidak mengganggu aktivitas yang berlangsung dan tidak mencemari hasil tangkapan yang didaratkan dan dipasarkan di pelabuhan tersebut. 8) Toilet

Toilet merupakan salah satu fasilitas sanitasi penting yang harus disediakan di pelabuhan agar pengguna pelabuhan merasakan kenyamanan saat beraktivitas di pelabuhan tersebut. Fasilitas toilet tidak boleh berhubungan langsung dengan sarana dalam kegiatan perikanan lainnya seperti ruang pengolahan.

9) Konstruksi dan pemeliharaan alat

Alat-alat kebersihan seperti penyemprot lantai TPI harus dijaga dengan baik sehingga tidak mengganggu aktivitas ketika pembersihan TPI dilakukan. Selain itu, konstruksi alat-alat kebersihan tersebut juga harus diperhatikan, misalnya mudah dioperasikan sehingga penggunaan alat tersebut efektif dan efisien.

10) Peralatan untuk penanganan awal

Peralatan untuk pencucian dan penanganan hasil tangkapan seperti keranjang

dan semprotan air harus disediakan. Peralatan tersebut harus mudah dibongkar pasang serta dibuat dari bahan yang tahan karat.

11) Pembersihan dan sanitasi

Semua sarana dan prasarana untuk sanitasi harus sering dibersihkan. Pembersihan tersebut dilakukan agar tidak ada kotoran yang mengendap atau menggenang yang dapat mengganggu kelancaran aktivitas perikanan.

12) Kontrol dan sanitasi

Perlu dilakukan pengawasan secara berkala dan teratur untuk seluruh sarana dan prasarana yang berhubungan dengan sanitasi agar sanitasi dapat tetap terjaga. Dengan dijalankannya program sanitasi di pelabuhan perikanan secara berkelanjutan diharapkan dapat terciptanya lingkungan kerja yang bersih, serta mutu ikan dan kebersihan para pelaku di pelabuhan perikanan tetap terjaga.

(22)

7 diturunkan dari karakteristik komoditas perikanan yang mudah busuk (highly perishable). Sifat mudah busuk ini menghendaki pelayanan khusus berupa perlakuan, penanganan, pendistribusian, ataupun pengolahan hasil tangkapan secara tepat. Oleh karena itu, diperlukan gedung, ruangan, atau luasan daratan di dalam pelabuhan yang dapat dipakai untuk kegiatan-kegiatan tersebut, baik ketika hasil tangkapan diturunkan dari kapal ataupun ketika dilakukan penanganan. Salah satu bangunan yang biasa digunakan untuk kegiatan perikanan tersebut adalah TPI, tempat ini digunakan sebagai tempat menaruh hasil tangkapan yang akan dijual dengan sistem lelang lengkap dengan kantor petugas. Tujuan pelelangan ikan adalah menarik sejumlah pembeli potensial, menjual dengan penawaran yang tinggi, menerima harga sebaik mungkin dan menjual sejumlah besar ikan dalam waktu yang singkat. Berdasarkan tujuan tersebut, tempat ini harus benar-benar diperhatikan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah lantai tempat pelelangan harus miring ke arah saluran pembuangan. Kemiringan lantai ini sekitar 20. Hal ini dimaksudkan agar penyemprotan kotoran sisa-sisa ikan setelah selesai aktivitas pelelangan dapat mengalir ke saluran pembuangan dengan

mudah sehingga kebersihan tempat pelelangan selalu terpelihara. Lantai tempat lelang harus cukup luas, mudah untuk keluar masuk orang ataupun pengangkutan ikan (dalam keranjang atau boks plastik) yang diperjualbelikan dengan konstruksi lantai yang mudah dibersihkan. Luas tempat lelang dengan sistem lelang harus diperhitungkan dengan cermat agar hasil tangkapan dapat langsung dilelang dan diproses lebih lanjut untuk mengurangi resiko kebusukan misalnya karena harus menunggu lamanya proses lelang. Pekerjaan yang biasa dilakukan di gedung pelelangan antara lain:

1) Menyortir, memilah, membersihkan dan menimbang hasil tangkapan di ruang sortir untuk persiapan penjualan dengan cara lelang;

2) Peragaan, memperagakan hasil tangkapan untuk dilelang di lantai atau di ruang lelang; dan

3) Mengepak, melakukan pengepakan hasil tangkapan yang telah selesai dilelang di ruang pengepakan ikan untuk kemudian diangkut keluar tempat pelelangan.

(23)

8 pembongkaran dan pelelangan hasil tangkapan serta limbah dari industri pengolahan dan kapal-kapal yang berlabuh yang mencemari saluran drainase dan kolam pelabuhan. Ravikumar (1993) vide Rusmali (2004), menyebutkan bahwa sampah merupakan benda yang tidak terpakai, tidak diinginkan dan dibuang, sedangkan limbah adalah sampah yang sudah mencemari. Berdasarkan bentuknya sampah dibagi menjadi:

1) Sampah padat, seperti plastik, botol bekas, kaleng bekas, puntung rokok, potongan tubuh ikan, dan lain-lain.

2) Sampah cair/ air buangan, seperti darah ikan, air kotor buangan dari wadah penampungan ikan, dan lain-lain.

3) Sampah gas dan partikel di udara, seperti asap rokok, asap kendaraan, asap mesin, dan lain-lain.

4) Kotoran manusia; 5) Kotoran hewan; dan

6) Sampah berbahaya, seperti oli, gas beracun, bahan kimia berbahaya, dan lain-lain.

2.2 Pengaruh Sanitasi Terhadap Mutu Ikan

Pengertian mutu ikan secara sederhana adalah tingkat kesegaran ikan. Mutu ikan lebih menunjukkan pada penampilan estetika atau derajat pembusukan sampai dimana telah berlangsung, termasuk juga aspek keamanan seperti bebas bakteri, parasit atau bahan kimia. Mutu ikan dapat dievaluasi dengan metode sensori dan instrumen (Hardjito, 2006 vide Faubiany, 2008). Metode sensori adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi mutu secara subjektif dengan melakukan pengamatan pada bagian tubuh ikan yang dapat dijadikan sebagai indikator kesegaran, seperti mata, insang, daging atau perut, dan konsistensi. Contoh metode sensori adalah uji organoleptik. Metode instrumen adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi mutu ikan dengan menggunakan alat khusus, biasanya digunakan untuk uji yang bersifat kimiawi (Adawyah, 2007).

(24)

9 berwarna merah segar, daging dan perut berwarna asli dan bau isi perut segar serta memiliki daging yang elastis bila ditekan dengan jari. Menurut Departemen Pertanian (1984) yang selanjutnya disempurnakan dalam SNI 01-2346-2006 oleh Badan Standardisasi Nasional (2006) vide Pane (2008a) tingkat kesegaran ikan basah memiliki 9 tingkatan bila dilihat secara organoleptik (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai mutu organoleptik ikan basah

Nilai Parameter Tanda-tanda

9

Mata Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.

Insang Warna merah cemerlang, tanpa lendir dan bakteri. Daging

dan perut

Sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dagingnya utuh, bau isi perut segar.

Konsistensi Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang.

8

Mata Cerah, bola mata rata, kornea jernih.

Insang Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir. Daging

dan perut

Sayatan daging cemerlang, warna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya masih utuh, bau netral.

Konsistensi Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadang-kadang agak lunak sesuai dengan jenisnya.

7

Mata Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh.

Insang Warna merah agak kusam, tanpa lendir. Daging

dan perut

Sayatan daging cemerlang, warna asli, sedikit ada pemerahan pada tulang belakang, perut agak lembek, ginjal merah mulai pudar, bau netral.

Konsistensi Agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang.

6

Mata Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh.

Insang Merah agak kusam, sedikit lendir. Daging

dan perut

Sayatan daging masih cemerlang, di dua perut agak lembek, agak kemerahan pada tulang belakang, perut agak lembek, sedikit bau susu.

Konsistensi Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang.

5

Mata Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh.

Insang Mulai ada diskolorasi merah muda, merah coklat, sedikit lendir.

Daging dan perut

Sayatan daging mulai pudar, di dua perut lembek, banyak pemerahan pada tulang belakang, bau seperti susu.

(25)

10 Tabel 1 Lanjutan

Nilai Parameter Tanda-tanda

4

Mata Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh.

Insang Mulai ada diskolorasi, sedikit lendir. Daging

dan perut

Sayatan daging tidak cemerlang, di dua perut lunak, pemerahan sepanjang tulang belakang, rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam.

Konsistensi Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan tetapi cepat hilang, mudah menyobek daging dari tulang belakang.

3

Mata Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh.. Insang Perubahan warna merah coklat, lendir tebal.

Konsistensi Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan dan mudah menyobek daging dari tulang belakang.

2

Insang Warna merah coklat atau kelabu, lendir tebal. Daging

dan perut

Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali pada sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak sekali, bau asam amoniak.

Konsistensi Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang.

1

Mata Bola mata tenggelam, ditutupi lendir kuning yang tebal. Insang Warna putih kelabu, lendir tebal sekali.

Daging dan perut

Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas pada sepanjang tulang belakang, dinding perut membubar, bau busuk.

Konsistensi Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang. Sumber: Deptan (1984) dan BSN ( 2006) vide Pane (2008a)

Mutu ikan yang tertangkap dipengaruhi oleh berbagai faktor yang disebabkan oleh faktor yang bersifat alamiah dan biologis serta faktor cara penanganan sejak ikan ditangkap sampai pada konsumen. Kemunduran mutu disebabkan oleh perubahan enzimatis, biokimia, mikrobiologis, dan fisik. Struktur ikan dan senyawa kimia yang menyusunnya mudah mengalami perubahan yang dapat disebabkan oleh suatu katalisator yang disebut enzim. Dibandingkan dengan hewan lainnya, daging ikan lebih mudah turun

(26)

11 Menurut Aryadi (2007), selain proses-proses tersebut, faktor fisik juga dapat mempercepat kemunduran mutu ikan, antara lain suhu yang tinggi sehingga mempercepat proses enzimatis, biokimia, dan mikrobiologis; kerusakan fisik saat ikan ditangkap dan penanganan yang kasar. Faktor fisik yang mempercepat kemunduran mutu ikan meliputi:

1) Pengaruh mikrobiologis terhadap mutu ikan

Ikan menjadi busuk disebabkan oleh pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu, faktor alamiah harus ditekan sekecil mungkin untuk menghambat aktivitas bakteri. Bakteri yang mengkontaminasi ikan hasil tangkapan dapat berupa bakteri yang berasal dari air, kapal, dan pabrik pengolahan;

2) Pengaruh cara penangkapan terhadap mutu ikan

Metode dan alat tangkap mempengaruhi mutu ikan yang ditangkap sehingga perlu penyesuaian antara cara dan jenis alat tangkap dengan jenis ikan yang ditangkap.

(a) Cara kematian: membunuh ikan dengan segera adalah lebih baik daripada membiarkan ikan mati secara perlahan atau mengadakan perlawanan,

karena rigor mortis (proses pembusukan pada tahap awal) akan datang lebih lambat dan lebih lama berlangsungnya;

(b) Lama ikan pada alat tangkap: jika jangka waktu antara ikan tertangkap dan diangkat dari air terlalu lama, maka ikan akan mati sebelum sampai di geladak dan proses kemunduran mutu sudah mulai terjadi;

(c) Temperatur air: jika ikan mati pada alat penangkap sebelum diangkat dari air, maka temperatur air merupakan faktor penting;

(d) Selektivitas pada alat tangkap: ikan yang berukuran kecil dari satu spesies cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibandingkan dengan ikan yang berukuran lebih besar. Hal ini dapat dihindari dengan memakai mata jaring yang besar sehingga ikan yang kecil tidak ikut tertangkap; (e) Faktor biologis: ikan yang tertangkap sewaktu perutnya penuh dengan

(27)

12 tangkap yang selektif atau disesuaikan menurut waktu serta daerah penangkapannya.

3) Pengaruh penanganan terhadap kualitas ikan (a) Penanganan di kapal

Ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam penanganan ikan di kapal yaitu suhu, waktu, dan kebersihan dalam bekerja;

(b) Penanganan di darat

Perubahan suhu yang terjadi selama pembongkaran ikan ke darat, dalam pelelangan, pengepakan selama transportasi ke pusat distribusi atau ke pabrik pengolahan sangat berpengaruh terhadap kesegaran ikan.

Menurut Hardjito (2006) vide Faubiany (2008), terdapat beberapa faktor yang sangat mempengaruhi mutu ikan dalam proses penanganan, yaitu (Tabel 2):

Tabel 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ikan dalam proses penanganan

Mata rantai penanganan Berbagai faktor yang mempengaruhi

Nelayan Pengetahuan, perlakuan (kebersihan dan

kehati-hatian).

Operasi penangkapan Tipe alat tangkap, metode operasi yang digunakan, metode penarikan kapal.

Kapal penangkap Penanganan di kapal, kebersihan, desain tempat penyimpanan ikan dan pengoperasiannya.

Didarat termasuk pedagang atau pengecer

Penanganan di darat, kebersihan, desain tempat penyimpanan ikan serta praktek pendistribusian;

Pengetahuan penanganan ikan, desain tempat penyimpanan untuk penjualan/ pengeceran, dan kebersihan.

Sumber: Hardjito (2006) vide Faubiany (2008)

(28)

13 Menurut Afrianto (1989) proses pendinginan ikan yang paling baik yaitu dengan menggunakan media pendingin berupa es batu. Es batu dapat menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat tanpa mengubah kualitas ikan dan biaya yang diperlukan relatif lebih rendah dibandingkan dengan media pendingin lain. Teknik pendinginan ikan dengan menggunakan es dalam suatu wadah yang baik adalah mengusahakan agar semua suhu permukaan tubuh ikan yang diberi perlakuan mengalami kontak dengan es. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan penyerapan panas dari tubuh ikan. Semakin luas permukaan tubuh ikan yang dapat melakukan kontak dengan es, maka penurunan suhu tubuh ikan akan semakin cepat.

2.3 Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo

Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas

keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan (UU Perikanan No. 31 Tahun 2004). Menurut Lubis (2006) klasifikasi pelabuhan perikanan dapat dipengaruhi oleh:

a) Luas lahan, letak, dan jenis konstruksi bangunan; b) Jenis alat tangkap yang menyertai kapal-kapalnya; c) Jenis perikanan dan skala usahanya; dan

d) Distribusi dan sajian hasil tangkapan.

(29)

14 a) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di

wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI; b) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran

sekurang-kurangnya 10 GT;

c) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 m;

d) Mampu menampung sekurang-sekurangnya 30 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 300 GT kapal perikanan sekaligus; dan

e) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 5-15 ha.

Pelabuhan perikanan yang telah dibangun sebaiknya dapat berfungsi secara optimal, dengan kata lain seluruh prasarana dan sarana pelabuhan perikanan yang ada dapat digunakan untuk mengelola aktivitas pelabuhan perikanan yang meliputi pendaratan, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan. Begitu juga halnya dengan PPP Lampulo yang memiliki beberapa fasilitas, yaitu fasilitas pokok seperti dermaga dan kolam pelabuhan; dan fasilitas fungsional seperti TPI, mushalla, toilet, dan lahan parkir. Selain itu, di PPP

Lampulo juga berlangsung beberapa aktivitas atau kegiatan perikanan seperti kegiatan pendaratan dan pemasaran ikan. Kegiatan pendaratan meliputi pembongkaran dan penyortiran ikan. Kegiatan pemasaran melalui dua alur yaitu melalui proses lelang dan tidak melalui proses lelang. Pemasaran hasil tangkapan yang melalui proses lelang biasanya memiliki mutu cukup bagus, sehingga diharapkan harga yang nantinya didapatkan adalah harga yang menguntungkan baik untuk nelayan maupun bagi konsumen.

(30)

15 Tabel 3 Produksi hasil tangkapan per jenis alat tangkap di PPP Lampulo tahun

2005 – 2008

Jenis alat tangkap Tahun (ton)

2005 2006 2007 2008

Purse seine 2.650 5.100 4.390 4.600

Pancing 153 291 196 181

Jumlah 2.803 5.391 4.586 4.781

Sumber: UPTD PPP Lampulo, 2008

Selain faktor yang telah disebutkan di atas, faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi perikanan adalah sanitasi dan higienitas, baik sanitasi saat di kapal maupun di pelabuhan ketika hasil tangkapan didaratkan dan dipasarkan. Kondisi sanitasi di TPI PPP Lampulo masih sangat kurang, hal ini tentunya mempengaruhi kondisi mutu ikan, mulai saat pembongkaran hingga pemasaran kepada konsumen. Kondisi sanitasi yang kurang ini antara lain disebabkan karena fasilitas sanitasi di PPP Lampulo yang belum memadai sehingga sampah-sampah yang terdapat di PPP Lampulo khususnya di TPI masih cukup banyak.

2.4 Analisis Pengaruh Penurunan Mutu Hasil Tangkapan: Diagram Sebab Akibat (fishbone diagram)

Analisis dengan menggunakan diagram sebab-akibat (fishbone diagram) digunakan untuk menganalisis suatu proses atau situasi dan menemukan kemungkinan penyebab timbulnya persoalan serta akibatnya (Ishikawa, 1989). Diagram ini penting untuk mengidentifikasi secara tepat hal-hal yang berpengaruh terhadap mutu hasil tangkapan, khususnya penyebab yang ditinjau dari aspek sanitasi dan higienitas di dermaga dan TPI. Adapun garis besar langkah-langkah pembuatan diagram sebab-akibat adalah:

™ Langkah 1: Menentukan karakteristik mutu. Karakteristik inilah yang harus

diperbaiki dan dikendalikan serta menemukan penyebab permasalahan yang ada (penyebab utama).

™ Langkah 2: Menempatkan karakteristik mutu pada sisi kanan panah.

Menggambar panah besar dari sisi kiri ke kanan.

(31)

16 ™ Langkah 3: Menuliskan faktor utama yang menyebabkan karakteristik mutu,

mengarahkan panah cabang ke panah utama. Lebih baik untuk mengelompokkan faktor penyebab yang mempunyai kemungkinan besar terhadap dispersi kedalam item-item.

Faktor utama

™ Langkah 4: Menuliskan faktor rinci yang dianggap sebagai penyebab pada

setiap item cabang, menyerupai ranting. Menuliskan faktor lebih rinci pada setiap ranting, untuk membuat cabang yang lebih kecil. Faktor yang lebih rinci untuk membuat cabang yang lebih kecil dapat disebut sebagai faktor cabang atau faktor penyebab akar dari suatu karakteristik mutu. Bila tidak ditulis maka tidak dapat membantu untuk menemukan penyebab

permasalahan tersebut.

Faktor utama

™ Langkah 5: Melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa semua item

yang mungkin menjadi penyebab permasalahan telah masuk ke dalam diagram. Bila tercantum dan hubungan sebab akibat telah digambarkan dengan tepat, maka diagram tersebut telah lengkap.

Mutu

Panah cabang 

(32)

17

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Maret–April 2010. Penelitian dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lampiran 1 dan 2).

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu kuesioner dan kamera. Pengisian kuesioner dilakukan oleh peneliti berdasarkan wawancara langsung terhadap responden.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kasus. Adapun aspek-aspek yang diteliti adalah kondisi aktual dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sanitasi dan higienitas di TPI dan dermaga PPP Lampulo, tingkatan mutu hasil tangkapan yang dijual di TPI dan pengaruh sanitasi terhadap mutu hasil tangkapan, serta besaran potensi kerugian dari pengaruh faktor sanitasi dan higienitas yang tidak baik.

Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan yang disertai dengan wawancara terhadap responden nelayan, konsumen, pedagang ikan, pengelola TPI, pihak pelabuhan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengenai aspek-aspek yang akan diteliti. Kondisi aktual dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sanitasi dan higienitas di TPI PPP Lampulo diketahui dengan melakukan pengamatan dan wawancara.

(1) Pengamatan

a. Aktivitas pendistribusian hasil tangkapan dari dermaga ke TPI serta penanganan yang dilakukan terhadap hasil tangkapan dalam penjagaan mutu;

(33)

18 c. Banyaknya sampah fisik yang terdapat di dermaga dan di dalam gedung TPI yaitu botol/kaleng bekas seperti botol air mineral baik berukuran besar, sedang, dan kecil; plastik bekas yang berukuran besar, sedang, dan kecil; puntung rokok, genangan lendir dan darah, serta potongan tubuh ikan (seperti potongan kepala, sisik, insang, ekor dan ikan utuh yang rusak). Banyaknya sampah fisik ini dihitung dengan membuat gambar kotakan sesuai dengan luas dermaga dan TPI yang telah diskalakan, lalu kotakan diamati berdasarkan penyebab dampak (genangan lendir, puntung rokok, dan lain-lain). Penentuan kotakan di dermaga dan TPI berdasarkan luas dermaga dan TPI yang digunakan untuk beraktivitas. Luasan amatan di dermaga dibagi menjadi 8 kotak dengan ukuran tiap kotakan sebesar 15x3 m, sedangkan di TPI sebanyak 10 kotak dengan ukuran tiap kotakan sebesar 10x5 m (Lampiran 3). Pengamatan sampah fisik dilakukan dengan metode sensus yaitu sampah diamati pada seluruh kotakan yang terdapat di dermaga dan TPI PPP Lampulo. Pengamatan sampah fisik dilakukan dalam 2 waktu yaitu pada pukul 10.00-11.00 dan 17.00-18.00 WIB,

dimana kedua waktu tersebut adalah waktu-waktu terdapatnya aktivitas perikanan di dermaga dan TPI PPP Lampulo;

d. Pola aliran limbah atau saluran pembuangan di TPI,

e. Ketersediaan fasilitas sanitasi atau fasilitas pembuangan limbah di TPI, f. Banyaknya orang yang berada di dermaga dan TPI menurut kelompok

orang (pedagang ikan, pembeli, toke bangku, dan pedagang non-ikan). Jumlah orang pada masing-masing tempat yang telah ditentukan, dihitung secara manual dengan menggunakan turus. Jumlah orang dihitung selama 2 waktu yaitu pada pukul 10.00-11.00 dan 17.00-18.00 WIB. Penentuan waktu amatan berdasarkan waktu orang-orang yang melakukan aktivitas di dermaga dan TPI PPP Lampulo.

(2) Wawancara

(34)

19 orang), pengelola TPI PPP Lampulo (2 orang), pihak PPP Lampulo (2 orang), serta Dinas Kelautan dan Perikanan NAD (1 orang). Pemilihan sampel dalam menentukan jumlah responden untuk masing-masing kelompok orang dilakukan dengan metode purposive sampling dimana jumlah responden yang diambil dianggap dapat mewakili kepentingan penelitian.

Tingkatan mutu hasil tangkapan yang dijual di TPI dan pengaruh sanitasi terhadap mutu hasil tangkapan diketahui melalui pengamatan dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Adapun pengamatan dan wawancara yang dilakukan yaitu:

1) Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap 3 jenis hasil tangkapan yang dominan didaratkan menurut volume di PPP Lampulo selama masa penelitian yaitu ikan tongkol (Auxis sp.), tembang (Sardinella gibbossa), dan teri (Stolepharus sp.) (Lampiran 4). Pengamatan organoleptik dilakukan dalam 3 hari dimana tiap harinya diamati 1 jenis ikan dengan 3 waktu pengamatan yaitu waktu pertama (09.20-10.05 WIB), waktu kedua (10.05-10.20 WIB), waktu ketiga (10.20-11.05

WIB); dan diambil 20 sampel per jenis ikan per waktu amatan. Masing-masing tingkatan mutu yang diamati dicatat dalam tabel organoleptik yang telah dibuat. Aspek yang diamati yaitu mata, insang, daging dan perut, dan konsistensi. Khusus untuk pengamatan organoleptik ikan teri dilakukan modifikasi pengamatan yaitu pada pengamatan daging dan perut tidak dilakukan pembedahan, hanya dilakukan pengamatan tubuh ikan dari bagian luarnya saja. 2) Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap pedagang ikan dan konsumen mengenai pengaruh sanitasi terhadap mutu hasil tangkapan. Pedagang ikan yang akan diwawancarai sebanyak 5 orang, sedangkan konsumen sebanyak 3 orang.

(35)

20 A.Data Utama

1)Data primer meliputi:

a. Fasilitas sanitasi (jumlah, kondisi, kapasitas) di TPI seperti saluran pembuangan, tangki air bersih, dan lain-lain;

b. Jumlah sampah fisik di dalam TPI;

c. Jumah orang yang beraktivitas di TPI menurut kelompok orang (pedagang ikan, pembeli, toke bangku, dan pedagang non-ikan);

d. Frekuensi pencucian TPI;

e. Kondisi mutu hasil tangkapan yang dilelang sesuai dengan tingkatan organoleptik; dan

f. Kondisi harga hasil tangkapan untuk setiap tingkatan organoleptik. 2)Data sekunder meliputi:

a. Aktivitas distribusi hasil tangkapan dari dermaga ke TPI; b. Aktivitas pelelangan yang berlangsung;

c. Penanganan yang dilakukan terhadap hasil tangkapan yang akan dilelang; d. Jumlah/berat hasil tangkapan yang dilelang per hari/bulan/tahun;

e. Volume sampah dan limbah per hari/bulan/tahun; dan f. Jenis dan jumlah fasilitas pelelangan.

B.Data Tambahan

Data tambahan yang dibutuhkan adalah data sekunder yang meliputi : a. Peta daerah penelitian;

b. Keadaan umum daerah penelitian berupa letak geografis lokasi penelitian dan kependudukan; dan

c. Data dan nilai produksi perikanan PPP Lampulo.

3.4Analisis Data

A) Kondisi sanitasi dan higienitas di TPI Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo, Kuta Alam, Banda Aceh dapat diketahui melalui analisis deskriptif terhadap:

(36)

21 (2) Jumlah sampah yang terdapat pada dermaga dan TPI PPP Lampulo

berdasarkan hasil pengamatan per kotak amatan dan jenis sampah.

B) Tingkatan mutu hasil tangkapan yang dijual di tempat pelelangan ikan dapat diketahui melalui 3 hal, yaitu:

(1) Pengaruh sanitasi terhadap mutu hasil tangkapan yang dilihat secara organoleptik, dianalisis secara deskriptif untuk melihat seberapa besar pengaruh sanitasi terhadap mutu hasil tangkapan.

(2) Penyebab penurunan mutu hasil tangkapan akan dianalisis dengan menggunakan diagram sebab-akibat/fishbone diagram (Ishikawa, 1989

vide Faubiany, 2008). Diagram ini penting untuk mengidentifikasi secara tepat hal-hal yang berpengaruh terhadap mutu hasil tangkapan, khususnya penyebab yang ditinjau dari aspek sanitasi dan higienitas di TPI.

(3) Pengaruh lama waktu penjualan dengan mutu hasil tangkapan diuji statistik menggunakan korelasi Pearson dengan software SPSS 12.

C) Besar kerugian terhadap pendapatan bersih nelayan dalam sekali pendaratan akibat pengaruh faktor sanitasi dan higienitas yang tidak baik, dapat diketahui

setelah dilakukan analisis dengan menghitung nilai kerugian ekonomi akibat penurunan mutu hasil tangkapan per jenisnya dengan rumus (Rusmali, 2004):

(37)

22

4.

KEADAAN UMUM

4.1 Keadaan Umum Kota Banda Aceh

4.1.1 Letak topografis dan geografis Banda Aceh

Kota Banda Aceh terletak di ujung barat Pulau Sumatera. Perairan Kota Banda Aceh secara umum dipengaruhi oleh persimpangan dan gerakan arus dari Samudera Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan Pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar. Posisi

tersebut membuat wilayah ini memiliki potensi kekayaan laut yang beranekaragam (DKP NAD, 2010). Dengan demikian Kota Banda Aceh sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki posisi strategis dalam pemanfaatan sektor perikanan laut.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) NAD (2010), secara geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05016’15” - 05036’16” LU dan 95016’15” - 95022’35” BT dengan batas-batas wilayah Kota Banda Aceh sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka,

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar,

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar,

• Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Kota Banda Aceh merupakan daerah dataran rendah dengan topografi landai yang beriklim panas dengan tekanan udara rata-rata 1.010,9 mb dan suhu udara sekitar 26,80C dengan suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Mei. Wilayah kota ini memiliki ketinggian 0,80 meter dari permukaan laut dan memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 45 km yang membentang dari Utara hingga Barat Laut. Perairan laut Kota Banda Aceh yang mencakup Selat Malaka memiliki

kedalaman mencapai 200 meter dengan tingkat penyebaran salinitas sekitar 34 ppt menjadikan perairan laut di wilayah ini cukup potensial dalam pengembangan perikanan tangkap khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Annajah, 2010).

(38)

23 Kota Banda Aceh adalah Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng. Namun, kecamatan yang memiliki wilayah pantai hanya terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Kuta Alam dan Syiah Kuala yang masing-masing memiliki luas wilayah sebesar 10,05 km2 dan 14,24 km2.

Berdasarkan total luas wilayah tersebut, penggunaan lahan dari keseluruhan luas wilayah di kota ini dibagi untuk berbagai keperluan seperti 6.262 ha untuk bangunan dan halamannya, 389 ha untuk perkebunan, 403 ha untuk tambak, dan 114 ha dijadikan rawa-rawa (BPS NAD, 2010). Namun, setelah tsunami banyak lahan di Kota Banda Aceh yang dialihkan fungsinya untuk digunakan sebagai wilayah perumahan. Ini dikarenakan seluruh wilayah yang berjarak 500 meter dari garis pantai yang dulunya merupakan daerah perumahan penduduk telah dijadikan daerah rawa-rawa yang berfungsi sebagai pelindung atau penahan dari gelombang pasang.

4.1.2 Kependudukan

Berdasarkan data dari BPS NAD (2010) diperoleh bahwa hasil proyeksi penduduk Kota Banda Aceh tahun 2008 adalah 217.918 jiwa, yang terdiri dari 112.588 orang laki-laki dan 105.330 orang perempuan. Kecamatan Kuta Alam adalah kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat dan Kecamatan Kuta Raja merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit (Tabel 4).

Tabel 4 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan rata-rata kepadatan penduduk per km2 di Kota Banda Aceh tahun 2008

Kecamatan Luas Area (km2)

Meuraxa 7,26 6.893 5.601 12.494 1.721

Jaya Baru 3,78 10.828 9.830 20.658 5.465

Banda Raya 4,79 10.581 10.326 20.907 4.365

Baiturrahman 4,54 18.027 18.097 36.124 7.957

Lueng Bata 5,34 11.065 10.960 22.025 4.125

Kuta Alam 10,05 22.893 20.899 43.792 4.375

Kuta Raja 5,21 4.690 3.386 8.076 1.550

Syiah Kuala 14,24 17.324 16.109 33.433 2.348

Ulee Kareng 6,15 10.287 10.122 20.409 3.319

Jumlah 61,36 112.588 105.330 217.918 3.551

(39)

24 Kota Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mendukung kinerja pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerah. Perkembangan tenaga kerja ini tidak terlepas dari perkembangan jumlah penduduk dan kualitas pendidikan dari penduduk itu sendiri. Semakin tinggi pendidikan yang didapat oleh seseorang maka kualitas kerja orang tersebut juga akan lebih baik. Tahun 2004-2008 jumlah penduduk di Kota Banda Aceh cenderung meningkat. Hal ini terlihat pada Gambar 1, dimana pada tahun 2005 jumlah penduduk Kota Banda Aceh adalah 19.765 jiwa dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2007 dengan jumlah 24.407 jiwa, namun pada tahun 2008 jumlah penduduk mulai mengalami penurunan dengan jumlah 22.172 jiwa. Data jumlah penduduk pada tahun 2004 tidak diketahui karena hilang setelah terjadinya tsunami.

Sumber: BPS NAD (2010), data diolah kembali

Gambar 1 Grafik jumlah penduduk di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008.

(40)

25 dapat dilihat dengan nilai pertumbuhan penduduk pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,2% dan terus meningkat pada tahun 2007 hingga mencapai 23%. Namun, pada tahun 2008 jumlah penduduk mengalami penurunan sebesar 9,2% (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan dan pertumbuhannya di Kota

Banda Aceh tahun 2004-2008

Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa)

2004 2005 2006 2007 2008

Meuraxa ... 2.221 2.320 3.719 12.494

Jaya Baru ... 12.340 12.395 15.317 20.658

Banda Raya ... 24.257 24.272 29.363 20.907

Baiturrahman ... 33.582 33.657 40.989 36.124

Lueng Bata ... 19.284 19.339 23.083 22.025

Kuta Alam ... 35.033 35.088 43.746 43.792

Kuta Raja ... 2.978 3.013 4.639 8.076

Syiah Kuala ... 25.418 25.473 30.867 33.433

Ulee Kareng ... 22.768 22.823 27.936 2.041

Sub jumlah (jiwa) - 177.881 178.380 219.659 199.550

Pertumbuhan (%) - - 0,2 23 -9,2

Keterangan: ... = data tidak tersedia

Sumber: BPS NAD (2010), data diolah kembali

4.1.3 Prasarana umum 1) Transportasi

(41)

26 jarak dekat. Namun, sampai saat ini kebutuhan masyarakat terhadap angkutan umum terpenuhi sesuai kebutuhan.

Akses jalan di Kota Banda Aceh cukup memadai, begitu juga untuk mencapai pelabuhan perikanan yang terdapat di Kota Banda Aceh. Lebar jalan berkisar antara 6-8 meter membuat angkutan umum untuk menuju pelabuhan perikanan juga tersedia sesuai kebutuhan (DKP NAD, 2010). Pelabuhan Perikanan yang terdapat di Kota Banda Aceh yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ulee Lheue dan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo. Jalan untuk menuju PPI Ulee Lheue bisa ditempuh dengan menggunakan angkutan umum “labi-labi”, sedangkan untuk menuju PPP Lampulo bisa dengan menggunakan becak motor.

Transportasi memegang peranan yang cukup penting didunia perikanan yaitu dalam mendukung kinerja atau aktivitas perikanan. Transportasi dibutuhkan untuk memasarkan atau mendistribusikan hasil perikanan, baik dalam bentuk olahan ataupun ikan segar. Adanya penyediaan transportasi yang baik di suatu pelabuhan perikanan akan membuat pemasaran hasil perikanan berjalan lancar.

Oleh karena itu, untuk menunjang perikanan tangkap agar dapat berkembang dengan baik dibutuhkan sarana pendukung seperti prasarana dan sarana transportasi yang memadai sehingga kebutuhan terhadap hasil perikanan dapat dipenuhi dengan baik.

2) Komunikasi

(42)

27 Sarana telekomunikasi lain yang banyak digunakan oleh penduduk Kota Banda Aceh adalah telepon umum, seperti telepon koin yang disediakan oleh PT.TELKOM ataupun telepon umum yang disewakan oleh penduduk seperti wartel (warung telepon). Namun saat ini jumlah sarana telepon umum ini tidak terlalu banyak tersedia disebabkan masyarakat lebih memilih sarana telepon seluler karena penggunaannya yang lebih efektif dan lebih mudah. Selain itu, sarana telepon seluler saat ini bukan lagi menjadi kebutuhan tersier, melainkan sudah menjadi kebutuhan sekunder bahkan menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang.

Sarana telekomunikasi merupakan sarana yang cukup sering digunakan untuk mendukung aktivitas perikanan di suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan jasa pos dan giro. Penggunaan telekomunikasi ini biasanya digunakan untuk pengawasan perikanan misalnya radio SSB dan handytalkie. Sarana komunikasi diharapkan dapat menunjang aktivitas perikanan khususnya perikanan tangkap menjadi lebih baik atau berjalan lancar.

3) Listrik, air, dan Bahan Bakar Minyak(BBM)

Listrik, air dan bahan bakar minyak (BBM) menjadi suatu kebutuhan penting bagi masyarakat. Oleh karena itu pemerintah daerah maupun pemerintah kota berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan sebaik-baiknya dengan terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemenuhan kebutuhan listrik di Kota Banda Aceh disuplai oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya perusahaan negara yang menangani listrik. Pemenuhan kebutuhan listrik di Kota Banda Aceh masih kurang hingga saat ini, ini terlihat dari adanya pemadaman listrik secara bergilir di setiap kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Pemadaman listrik bergilir ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan listrik yang terus meningkat diakibatkan penggunaan alat-alat elektronik yang semakin banyak.

(43)

28 memiliki air sumur, selain itu kualitas air dari PDAM lebih bagus dibandingkan air sumur sehingga pemilihan PDAM sebagai penyedia air bersih dirasakan cukup tepat.

Kebutuhan lainnya selain air bersih yang penting bagi masyarakat Kota Banda Aceh adalah kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM). Pemenuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) berasal dari PT.Pertamina yang juga merupakan perusahaan yang dikelola oleh negara. Bahan bakar yang biasa digunakan oleh penduduk Kota Banda Aceh adalah jenis premium dan solar. Hingga saat ini kebutuhan penduduk terhadap BBM terpenuhi dengan baik. Hal ini dapat diduga dengan melihat tidak adanya antrian yang panjang di SPBU dan harga jual BBM yang normal. Pertamina menyediakan beberapa unit SPBU (Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum) yang tersebar di beberapa kecamatan di Kota Banda Aceh untuk memenuhi kebutuhan BBM, diantaranya yang terdapat di Kecamatan Kuta Alam, Ulee Kareng, Meuraxa, Syiah Kuala, Baiturrahman, dan Lueng Bata.

Kebutuhan listrik, air bersih, dan BBM di sektor perikanan khususnya di pelabuhan perikanan, menjadi kebutuhan yang cukup penting yang harus

dipenuhi. Ini terkait dengan aktivitas perikanan yang membutuhkan listrik, air bersih dan BBM untuk memperlancar aktivitas perikanan tersebut, misalnya untuk aktivitas penanganan hasil tangkapan (pencucian ikan) dan kebutuhan melaut para nelayan. Dengan terpenuhinya kebutuhan akan listrik, air bersih, dan BBM diharapkan seluruh aktivitas perikanan dapat berjalan lancar, dimulai dari aktivitas penangkapan, pendaratan, distribusi hingga pemasaran.

4.2 Kondisi Perikanan Tangkap Kota Banda Aceh 4.2.1 Unit penangkapan ikan

(1) Armada penangkapan ikan

(44)

29 motor, sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah jenis perahu papan yang berukuran kecil.

Jumlah armada penangkapan ikan tahun 2008 mencapai 204 unit dimana jenis armada penangkapan yang dominan adalah jenis kapal motor yang berukuran 20-50 GT dengan jumlah 73 unit atau sekitar 36% dari jumlah total armada penangkapan ikan yang terdapat di Kota Banda Aceh pada tahun tersebut. Jenis armada penangkapan yang memiliki jumlah kedua terbanyak pada tahun 2008 adalah kapal motor yang berukuran 5-10 GT dengan jumlah 57 unit atau sekitar 28% dari total keseluruhan armada (Tabel 6).

Tabel 6 Jumlah armada penangkapan ikan dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008

Jenis Armada Tahun (unit)

2004 2005 2006 2007 2008 Perahu Tanpa

Rata-rata per tahun (unit) 121

Kisaran (unit) 3 – 73

Keterangan: ... = data tidak tersedia

Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali

(45)

30 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah armada per tahun sebanyak 121 unit. Armada jenis kapal motor yang berukuran 10-50 GT biasanya digunakan untuk penangkapan dengan menggunakan purse seine (jaring lingkar), sedangkan untuk motor tempel atau kapal motor berukuran 5 GT biasanya digunakan untuk penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pancing.

Jenis perahu tanpa motor dan motor tempel tidak mengalami pertumbuhan selama 5 tahun terakhir, yang mengalami pertumbuhan adalah jenis kapal motor yaitu sebesar 43% pada tahun 2006, namun pada tahun 2007 jenis kapal motor ini tidak mengalami pertumbuhan, pada tahun 2008 jenis armada ini mengalami peningkatan kembali dengan persentase pertumbuhan sebesar 44%. Jika dilihat dari keseluruhan jenis armada, pada tahun 2006 jumlah armada mengalami pertumbuhan sebesar 36%, sedangkan pada tahun 2007 jumlah keseluruhan armada tetap/sama seperti tahun 2006, dan pada tahun 2008 jumlah armada mengalami pertumbuhan hingga mencapai 39% (Tabel 6).

Selama 5 tahun terakhir yaitu sejak tahun 2004 sampai tahun 2008, jumlah armada penangkapan yang ada di Kota Banda Aceh hampir tidak mengalami

(46)

31 Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali

Gambar 2 Grafik perkembangan jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008.

(2) Alat tangkap

Kegiatan usaha penangkapan yang banyak dilakukan oleh nelayan yang ada di Kota Banda Aceh adalah penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin (purse seine), rawai, jaring insang (gillnets), dan pancing. Menurut

data dari DKP NAD (2010) terlihat bahwa pada tahun 2008 jumlah alat tangkap

purse seine di Kota Banda Aceh mencapai 90 unit, jaring klitik berjumlah 19 unit, jaring insang tetap berjumlah 60 unit, rawai tuna berjumlah 10 unit dan pancing berjumlah 35 unit (Tabel 7). Alat tangkap yang paling dominan digunakan pada tahun 2008 adalah alat tangkap purse seine, yang diikuti dengan jaring insang tetap sebagai kedua terbanyak, sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah rawai tuna.

(47)

32 jaring insang tetap mengalami peningkatan yang cukup drastis yaitu langsung meningkat dengan dioperasikan sebanyak 60 unit. Alat tangkap pancing ulur terlihat pada Tabel 4 bahwa terjadi penurunan yang cukup drastis untuk jumlahnya yaitu dari 168 unit pada tahun 2005 dan mulai menurun hingga berjumlah 25 unit pada tahun 2006 dan 2007 serta sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2008 hingga berjumlah 35 unit. Diduga alasan nelayan memilih alat tangkap lain disebabkan biaya operasional alat tangkap yang sebelumnya lebih mahal dibandingkan alat tangkap yang baru, jumlah produksi hasil tangkapan alat tangkap yang sebelumnya mulai menurun, atau bisa dikarenakan teknologi alat tangkap baru yang lebih baik dan lebih efektif.

Tabel 7 juga menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan alat tangkap pada tahun 2004-2008 cenderung mengalami penurunan. Tahun 2006, jumlah alat tangkap mengalami penurunan sebesar 49% dan terus menurun sebesar 14% pada tahun 2007, namun tahun 2008 jumlah keseluruhan alat tangkap kembali meningkat sebesar 46%.

Tabel 7 Jumlah alat tangkap dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008

Jenis alat tangkap Tahun (unit)

2004 2005 2006 2007 2008

Purse seine ... 34 90 90 90

Rata-rata per tahun (unit) 145

Kisaran (unit) 13 – 168

Keterangan: ... = data tidak tersedia

Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali

(48)

33 Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali

Gambar 3 Grafik perkembangan jumlah alat tangkap berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008.

Dibandingkan dari alat tangkap lainnya yang terdapat di Kota Banda Aceh, jumlah yang paling dominan digunakan adalah purse seine (pukat cincin) yaitu 42%, lalu yang kedua terbanyak adalah jaring insang tetap sebesar 28% dan yang paling sedikit digunakan adalah rawai tuna sebesar 5 % (Gambar 4).

Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali

(49)

34 (3) Nelayan

Dalam menjalankan suatu usaha penangkapan ikan terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi yaitu kapal, alat tangkap, dan nelayan. Nelayan adalah seseorang yang bekerja setengah hari atau sehari penuh untuk menangkap ikan. Berdasarkan waktu tersebut nelayan dibagi atas beberapa kategori yaitu:

1) Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktunya digunakan untuk bekerja menangkap ikan;

2) Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang pekerjaan utamanya digunakan untuk menangkap ikan, namun hanya setengah hari, sebagian waktu lainnya digunakan untuk bekerja yang lain; dan

3) Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang pekerjaan sampingannya digunakan untuk menangkap ikan, namun hanya setengah hari, sebagian waktu lainnya digunakan untuk melakukan pekerjaan utama.

Jumlah nelayan di Kota Banda Aceh pada tahun 2007 sebanyak 1.370 orang dan meningkat 4,3% atau sebanyak 1.493 orang pada tahun 2008. Jumlah nelayan pada tahun 2008 tersebut terbagi atas nelayan penuh sebanyak 1.146

orang, nelayan sambilan utama berjumlah 231 orang, dan nelayan sambilan tambahan berjumlah 116 orang. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa nelayan yang dominan yang terdapat di Kota Banda Aceh adalah jenis nelayan penuh (DKP NAD, 2010). Pada tahun 2004-2006 tidak terdapat data mengenai jumlah nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh sehingga tidak diketahui besarnya peningkatan atau penurunan jumlah nelayan.

4.2.2 Produksi hasil tangkapan

(50)

35 tongkol, cakalang, kembung dan bawal (DKP NAD, 2010). Produksi perikanan tangkap Kota Banda Aceh tahun 2008 mencapai 6.136,3 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 83.428.854,00.

Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kota Banda Aceh mengalami fluktuasi sejak tahun 2004 sampai tahun 2008. Tahun 2004 produksi hasil tangkapan Kota Banda Aceh adalah 7.203,2 ton dan mengalami penurunan pada tahun 2005 sebesar 3.980 ton, dan pada tahun 2006 mulai meningkat lagi dengan jumlah produksi 7.213 ton. Namun, tahun 2007 jumlah produksi kembali menurun yaitu 5.919 ton dan tahun 2008 mengalami peningkatan produksi hingga mencapai 6.136,3 ton (Tabel 8).

Berbeda dengan produksi, nilai produksi dari tahun 2004 hingga tahun 2008 cenderung mengalami peningkatan. Dimulai dari tahun 2004 nilai produksi hasil tangkapan sebesar Rp 51.688.950,00; sementara itu pada tahun 2005 mengalami penurunan dengan nilai produksi Rp 26.943.909,00. Namun, pada tahun 2006 kembali meningkat hingga tahun 2008 nilai produksi hasil tangkapan yang terdapat di Kota Banda Aceh mencapai Rp 83.428.853,00 (Tabel 8).

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah produksi pada tahun 2004-2008 cenderung fluktuatif. Tahun 2005 jumlah produksi menurun 55%, dan tahun 2006 jumlah produksi meningkat cukup tajam hingga mencapai 123%. Namun pada tahun 2007 jumlah produksi menurun 18% dan kembali meningkat pada tahun 2008 sebesar 3,7%. Peningkatan jumlah produksi secara signifikan yang terjadi pada tahun 2006 diduga karena adanya penambahan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Banda Aceh.

Tabel 8 Volume dan pertumbuhan serta nilai produksi hasil tangkapan di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008

Tahun Produksi Nilai Produksi (Rp)

Volume (ton) Pertumbuhan (%)

2004 7.203,2 - 51.688.950,00

rata/tahun 5.938,9 - 50.378.705,00

(51)

36 4.2.3 Daerah penangkapan ikan

Nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh biasanya melakukan kegiatan penangkapan di Pantai Utara Aceh dan Perairan Barat Sumatera. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap purse seine biasanya menangkap ikan di perairan sekitar Sabang dan Kabupaten Aceh Barat, sedangkan untuk nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pancing dan jaring insang menangkap ikan di sekitar Perairan Banda Aceh atau Aceh Sigli. Perairan Sabang dan Kabupaten Aceh Barat adalah area penangkapan jenis ikan karang, pelagis kecil, pelagis besar dan krustacea, sedangkan Perairan Banda Aceh atau Aceh Sigli adalah area penangkapan jenis ikan pelagis kecil dan demersal (DKP NAD, 2010).

Dalam pencarian daerah penangkapan ikan, nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh biasanya hanya mengandalkan pengalaman dan informasi dari nelayan lain dan panglima laot (sejenis lembaga adat yang mengatur hukum adat laut). Tidak ada alat bantu untuk penangkapan seperti fish finder untuk menentukan DPI. Biasanya DPI yang ditentukan nelayan juga berpindah-pindah, bergantung pada musim ikan, musim puncak biasanya terjadi pada bulan

April-Oktober, musim sedang/biasa pada bulan Januari-Desember, sedangkan pada musim paceklik terjadi pada bulan November. Perbedaan jumlah hasil tangkapan yang didapat oleh nelayan untuk masing-masing musim tidak mempengaruhi jumlah trip penangkapan yang dilakukan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan diketahui bahwa nelayan melakukan trip penangkapan dengan jumlah trip tiap bulannya sekitar 27 kali. Nelayan di Aceh tidak melakukan penangkapan hanya pada hari jumat, hari libur idul fitri/idul adha, dan tanggal 26 Desember untuk memperingati tsunami yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004 silam.

4.2.4 Prasarana perikanan tangkap di Kota Banda Aceh

Gambar

Gambar 2   Grafik perkembangan jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan
Gambar 3  Grafik perkembangan jumlah alat tangkap berdasarkan jenisnya di
Tabel 10  Jumlah produksi hasil tangkapan tahunan dan pertumbuhannya di PPP Lampulo tahun 2004-2008
Gambar 7 Struktur organisasi UPTD PPP Lampulo tahun 2010.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi Pengendalian Pencemaran Organik di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung Rembang Jawa Tengah. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan HEFNI EFFENDI.

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang ada di Tumumpa adalah tempat yang disediakan untuk pelaksana sistem bisnis perikanan dan didukung dengan kegiatan pemerintah, pelabuhan

Dari Fasilitas pokok merupakan sarana penyelenggaraan dan operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tambakrejo Blitar, Fasilitas fungsional adalah Fasilitas yang

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tawang memegang peranan penting sebagai basis perikanan dalam menunjang perkembangan usaha perikanan terutama penangkapan ikan yang

PPP Wonokerto awalnya merupakan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang diresmikan pada tahun 1986, kemudian mulai operasional menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai pada

Karakteristik pasang surut (MSL, HWL, LWL dan tipe pasang surut) di sekitar perairan Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Saleh adalah tipe pasang surut Campuran

Modal yang diperlukan dalam usaha perikanan dengan menggunakan jaring payang dan cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tawang adalah kapal, mesin,

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tawang memegang peranan penting sebagai basis perikanan dalam menunjang perkembangan usaha perikanan terutama penangkapan ikan yang