• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Partai Politik Untuk Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Dalam Kepengurusan Partai Sebagai Implementasi dari UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik ( Studi Kasus terhadap DPC PDIP Kota Medan )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Strategi Partai Politik Untuk Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Dalam Kepengurusan Partai Sebagai Implementasi dari UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik ( Studi Kasus terhadap DPC PDIP Kota Medan )"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

Strategi Partai Politik Untuk Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Dalam Kepengurusan Partai Sebagai Implementasi dari UU No. 2

Tahun 2008 Tentang Partai Politik

( Studi Kasus terhadap DPC PDIP Kota Medan )  

  Oleh:

Yova Angela Daniati Sianturi

080906078

Dosen Pembimbing : Warjio, Ph.D

Dosen Pembaca : Dra. Evi Novida Ginting, M.SP

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

YOVA ANGELA DANIATI SIANTURI (080906078)

STRATEGI PARTAI POLITIK UNTUK MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI UU NO. 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK- STUDI KASUS DPC PDIP MEDAN

Rincian isi Skripsi ix, 76 halaman, 22 buku, 6 dokumen, 2 jurnal, 6 situs internet, 5 orang narasumber

(Kisaran buku dari tahun 1984-2011)

ABSTRAK

Diberlakukannya kuota 30% keterwakilan perempuan dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, telah memberikan peluang kepada perempuan untuk berapresiasi di kancah politik. Selama ini, kepengurusan partai politik didominasi oleh laki-laki karena kegiatan politik dianggap sebagai kegiatan yang maskulin. Jika keterwakilan perempuan sepenuhnya diserahkan kepada kaum laki-laki sebagai pembuat kebijakan, tentunya akan menghasilkan kondisi yang bias jender dan sangat kecil peluang laki-laki dalam memperjuangkan aspirasi kaum perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dialami perempuan kebanyakan. Hal tersebut seharusnya mendorong perempuan untuk terlibat dalam keanggotan dari sebuah partai politik agar selanjutnya mampu melibatkan diri dalam parlemen.

Keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan ternyata tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh DPC PDIP Kota Medan. PDI Perjuangan sebagai salah satu partai besar di Indonesia dan perempuan sebagi ketua umum hanya memenuhi 3 kursi kepengurusan perempuan dari total 15 kursi. Belum adanya kesiapan diri dan komitmen dari kader perempuan apabila terpilih sebagai pengurus partai, peran ganda yang menyebabkan mereka tidak mempunyai waktu yang cukup, pendidikan politik yang masih rendah dan pengalaman yang sedikit dalam berpolitik mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepengurusan DPC PDIP Kota Medan. Untuk itu perlu adanya strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan yaitu meningkatkan pendidikan politik, meningkatkan rekrutmen politiknya, mengoptimalkan peran organisasi sayap partai, pengembangan sistem partai yang lebih demokratis dan melakukan pemberdayaan ekonomi.

(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA 

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

YOVA ANGELA DANIATI SIANTURI (080906078)

THE STRATEGY OF POLITICAL PARTY TO INCREASE WOMAN REPRESENTATION IN THE STEWARDSHIP AS AN IMPLEMENTATION OF 2008 POLITICAL PARTIES ROLE POINT 2 – DESCRIBE OF DPC PDIP MEDAN

(Contents: ix, 76 pages, 22 books, 6 documents, 2 journals, 6 websites, 5 informan)

ABSTRACT

Enactment of a quota of 30% woman representation in 2008 Political Parties point 2, has provided an opportunity for women to participate in political arena. During this time, the management of political parties dominated by men due to political activities considered as a masculine activity. If the representation of women is left entirely to men as policy makers, of course, will result in an equitable conditions and a very small chance of men fight for the women interest because men do not act like women concept. It should encourages women to get involved in the membership of a political party that is able to involve themselves in the next parliament.

30% woman representation in the management of turns cannot be implemented properly by the DPC PDIP Medan. PDI-P as one of the big party in Indonesia and woman as a leader of the party have only 3 seats out of 15 women stewardship positions. If elected as party officials, lack of preparedness and commitment of women cadres make the multiple roles of women caders, they do not have enough time, the low level of political education and little experience in politics resulted in low representation of women in the management of DPC PDIP Medan. Then we need a strategy to increase the representation of women in management such as increasing political education, increasing the political recruitment, optimizing the role of party branch organization, develop the party system to be more democratic and do economic empowerment.

(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... .. ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Rumusan Masalah ... ... ... 8

I.3. Pembatasan Masalah ... 9

I.4. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 9

I.5. Kerangka Teori ... 10

I.5.1. Teori Strategi Politik ... 10

I.5.2. Partai Politik ... 12

I.5.3. Keterwakilan Politik ... ... 17

I.6. Metodologi Penelitian ... 19

I.6.1. Jenis Penelitian ... . 19

I.6.2. Lokasi Penelitian ... 19

I.6.3. Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 20

I.6.4. Teknik Analisis Data ... 20

I.7. Sistematika Penulisan ... ... 20

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... ... 22

II.1. Profil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ... 22

II.1.1. Sejarah Berdirinya Partai ... 22

II.1.2. Kemunculan Megawati Soekarno Putri ... 29

II.1.3. Visi - Misi Partai ... . 33

II.1.4. Perspektif Ideologi dan Program Partai ... 35

II.1.5. Tugas Partai ... 37

II.1.6. Otonomi dalam Partai ... 38

II.1.7. Tujuan Partai ... 38

(5)

II.1.9. Agenda Partai ... 40

II.1.10. Program Partai ... 41

II.1.11. Pengambilan Keputusan ... 43

II.2. Struktur Organisasi ... 46

II.2.1. Kepengurusan DPC PDIP Kota Medan ... 47

II.2.2. Kewenangan DPC ... 49

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ... 50

III.1. Perspektif Partai terhadap Kuota 30% Keterwakilan Perempuan .. 50

III.2. Kendala yang Dialami terkait dengan Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Kepengurusan ... 55

III.3. Komitmen DPC dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Memenuhi kuota 30% ... 58

III.4. Strategi PDIP Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Kepengurusan ... 60

III.4.1. Meningkatkan Pendidikan Politik ... 60

III.4.2. Meningkatkan Proses Rekrutmen dan Kaderisasi ... 62

III.4.3. Mengoptimalisasikan Peran Organisasi Sayap Partai ... 64

III.4.4. Mengembangkan Sistem Partai yang Lebih Demokratis 65 III.4.5. Pemberdayaan Ekonomi untuk Wong Cilik ... 66

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN ... 73

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

YOVA ANGELA DANIATI SIANTURI (080906078)

STRATEGI PARTAI POLITIK UNTUK MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI UU NO. 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK- STUDI KASUS DPC PDIP MEDAN

Rincian isi Skripsi ix, 76 halaman, 22 buku, 6 dokumen, 2 jurnal, 6 situs internet, 5 orang narasumber

(Kisaran buku dari tahun 1984-2011)

ABSTRAK

Diberlakukannya kuota 30% keterwakilan perempuan dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, telah memberikan peluang kepada perempuan untuk berapresiasi di kancah politik. Selama ini, kepengurusan partai politik didominasi oleh laki-laki karena kegiatan politik dianggap sebagai kegiatan yang maskulin. Jika keterwakilan perempuan sepenuhnya diserahkan kepada kaum laki-laki sebagai pembuat kebijakan, tentunya akan menghasilkan kondisi yang bias jender dan sangat kecil peluang laki-laki dalam memperjuangkan aspirasi kaum perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dialami perempuan kebanyakan. Hal tersebut seharusnya mendorong perempuan untuk terlibat dalam keanggotan dari sebuah partai politik agar selanjutnya mampu melibatkan diri dalam parlemen.

Keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan ternyata tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh DPC PDIP Kota Medan. PDI Perjuangan sebagai salah satu partai besar di Indonesia dan perempuan sebagi ketua umum hanya memenuhi 3 kursi kepengurusan perempuan dari total 15 kursi. Belum adanya kesiapan diri dan komitmen dari kader perempuan apabila terpilih sebagai pengurus partai, peran ganda yang menyebabkan mereka tidak mempunyai waktu yang cukup, pendidikan politik yang masih rendah dan pengalaman yang sedikit dalam berpolitik mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepengurusan DPC PDIP Kota Medan. Untuk itu perlu adanya strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan yaitu meningkatkan pendidikan politik, meningkatkan rekrutmen politiknya, mengoptimalkan peran organisasi sayap partai, pengembangan sistem partai yang lebih demokratis dan melakukan pemberdayaan ekonomi.

(7)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA 

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

YOVA ANGELA DANIATI SIANTURI (080906078)

THE STRATEGY OF POLITICAL PARTY TO INCREASE WOMAN REPRESENTATION IN THE STEWARDSHIP AS AN IMPLEMENTATION OF 2008 POLITICAL PARTIES ROLE POINT 2 – DESCRIBE OF DPC PDIP MEDAN

(Contents: ix, 76 pages, 22 books, 6 documents, 2 journals, 6 websites, 5 informan)

ABSTRACT

Enactment of a quota of 30% woman representation in 2008 Political Parties point 2, has provided an opportunity for women to participate in political arena. During this time, the management of political parties dominated by men due to political activities considered as a masculine activity. If the representation of women is left entirely to men as policy makers, of course, will result in an equitable conditions and a very small chance of men fight for the women interest because men do not act like women concept. It should encourages women to get involved in the membership of a political party that is able to involve themselves in the next parliament.

30% woman representation in the management of turns cannot be implemented properly by the DPC PDIP Medan. PDI-P as one of the big party in Indonesia and woman as a leader of the party have only 3 seats out of 15 women stewardship positions. If elected as party officials, lack of preparedness and commitment of women cadres make the multiple roles of women caders, they do not have enough time, the low level of political education and little experience in politics resulted in low representation of women in the management of DPC PDIP Medan. Then we need a strategy to increase the representation of women in management such as increasing political education, increasing the political recruitment, optimizing the role of party branch organization, develop the party system to be more democratic and do economic empowerment.

(8)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan yang oleh budaya/ masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi, jender tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa.1 Jika dicermati, berbagai bentuk perbedaan jender telah menyatu dalam kehidupan manusia demikian kuat sehingga seolah-olah tidak dapat berubah. Perbedaan jender sebenarnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender.2 Namun, ternyata perbedaan jender ini justru yang mengantarkan pada ketidakadilan jender. Ketidakadilan jender adalah suatu sistem dan struktur dimana kaum lelaki dan kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.3 Ketidakadilan jender merupakan segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin.

Permasalahan ketidakadilan jender yang terjadi di antara perempuan dan laki-laki ini menjadi permasalahan besar yang belum dapat diselesaikan hingga saat ini. Bahkan sejak dua dasawarsa terakhir, jender telah menjadi bahasa yang menjadi analisis sosial dan menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial serta menjadi topik penting dalam setiap dimensi kehidupan manusia, termasuk di dunia politik.

Politik sebagaimana dipahami bersama adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Dalam pemahaman tersebut, maka tidak ada perbedaaan sama sekali antara

laki-       1

Harmona Daulay, Perempuan Dalam Kemelut Gender, Medan: USUPress, 2007, hal. 4

2

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 12

3

(9)

laki dan negara terhadap perempuan, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip perempuan. Perempuan, seperti juga laki-laki adalah warga negara dengan hak-hak kewarganegaraan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang universal. Setiap orang dengan jenis kelamin apapun punya peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam ranah politik.

 Partai politik merupakan salah satu unsur penting dari berdirinya demokrasi, dimana partai politik dapat meningkatkan kualitas dari demokrasi, yaitu melalui pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu. Dimana pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.4

Diakui bahwa banyaknya persoalan perempuan memang telah memunculkan simpati yang sangat besar pada berbagai kalangan. Simpati ini kemudian terkristal menjadi sebuah kesadaran untuk memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metode tertentu. 5 Gerakan kesadaran inilah yang disebut dengan gerakan feminisme. Gerakan-gerakan untuk memperjuangkan kedudukan dan peranan perempuan di Indonesia ini, telah cukup lama dilakukan.

Perempuan Indonesia sesungguhnya memiliki peranan dan kedudukan yang cukup penting sepanjang perjalanan sejarah Indonesia. Perjuangan kepahlawanan perempuan dimulai dari oleh beberapa pendekar kaum perempuan seperti Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Kartini, Dewi Sartika dan lain-lain. Khususnya Kartini, yang telah merintis untuk membebaskan kaumnya dari kegelapan melalui pendidikan, yang sampai saat ini merupakan suatu hal yang memancarkan nilai-nilai luhur dan menjiwai setiap insan Indonseia untuk meneruskan perjuangan memajukan rakyat dan dijadikan landasan tujuan dari berbagai organisasi perempuan.6

       4

Dikutip dari Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD

5

Najma Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003, hal. 30

6

(10)

Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perem`puan pun semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Sampai saat inipun banyak berdiri organisasi LSM perempuan yang bergerak di bidang politik dan mulai berusaha meningkatkan kesadaran politik kaum perempuan. Oleh karenanya, kini lembaga-lembaga politik di Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu gender itu sebagai unsur yang penting di dalam proses demokratisasi.

Pada masa reformasi, harapan bagi terwujudnya kehidupan demokrasi sejati di Indonesia, masih menjadi mimpi di banyak kalangan. Dalam proses demokratisasi, persoalan partisipasi perempuan yang lebih besar, representasi dan persoalan akuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia, dimana demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia, termasuk perempuan. Jadi, demokrasi tanpa melibatkan perempuan sudah pasti bukan demokrasi yang sesungguhnya.

(11)

Jika keterwakilan perempuan sepenuhnya diserahkan kepada kaum laki-laki sebagai pembuat kebijakan, tentu saja akan menghasilkan suatu kondisi yang bias gender dan akan sangat kecil peluang laki-laki untuk memperjuangkan aspirasi kaum perempuan, karena kaum laki-laki tidak mengalami apa yang dialami oleh para perempuan umumnya. Dengan dasar inilah yang semakin mendorong perempuan untuk dapat terlibat dalam lembaga perwakilan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang dapat membantu perempuan keluar dari permasalahannya selama ini.

Dalam kerangka perpolitikan saat ini, maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam lembaga perwakilan (legislatif) hanya dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni partai politik ataupun utusan golongan. Dari dua kemungkinan tersebut, maka partai politik merupakan jalur paling efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan saat ini. Permasalahan perempuan ini mempunyai keterkaitan dengan perangkat lain.7

Berkat perjuangan gigih koalisi para aktivis permasalahan perempuan dan koalisi perempuan anggota parlemen, di tengah berseminya alam demokrasi dan keterbukaan di era reformasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di legislative melaui kebijakan afirmasi kemudian dikenal sistem kuota, yakni penetapan sejumlah tertentu atau prosentase dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite, atau suatu pemerintahan. Kuota untuk perempuan ini bertujuan untuk setidaknya, perempuan akan menjadi “minoritas kritis” (critical minority) yang terdiri dari 30 atau 40 persen. Ide dasar kuota ini ialah memastikan bahwa perempuan akan masuk dan terlibat dalam politik, sekaligus tidak akan menjadi kelompok masyarakat yang mengalami isolasi.

Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik harus secara nyata dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Selama ini pelaksanaan kuota dilakukan melalui cara penetapan dalam Konstitusi, peraturan-peraturan dalam undang-undang pemilu atau partai politik, dan komitmen informal partai politik.

       7

(12)

Konstitusi mengakui adanya kebijakan afirmasi dan penerapan kebijakan ini di beberapa negara ternyata efektif meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.8

Kebijakan afirmatif dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil diundangkan secara formal dalam pasal 65 undang-undang pemilu No. 12 tahun 2003. Undang – undang ini mengatur fungsi dan kewajiban partai politik dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan dibidang politik, yaitu dengan mencantumkan ketentuan kuota. Pasal 65 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.

Hal ini merupakan momentum berharga bagi perempuan Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya di panggung politik. Sebuah pertanda baik di mana Indonesia memasuki era pencerahan karena hal ini merupakan titik awal menuju terciptanya kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik. Dengan hadirnya wakil-wakil perempuan dalam jumlah yang pantas (proposional) di lembaga legislatif sangat memberi peluang kepada perempuan untuk ikut membuat kebijakan - kebijakan yang dapat menolong perempuan untuk keluar dari permasalahannya selama ini dan membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai permasalahan yang selama ini tidak mendapat perhatian di Indonesia, yang sensitif gender. Atas dasar itu, maka hanya dengan jumlah kursi mereka yang signifikan dalam lembaga politik formal, kaum perempuan dapat menciptakan perubahan yang berarti.9

Walaupun telah menerapkan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen melalui tindakan afirmasi, namun hingga kini belum memperoleh hasil nyata. Bahkan hingga kini, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif belum

       8

Nadezha Shedova, “Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen,” dalam Julie Balington (ed.), (terj.), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar Jumlah, Jakarta: IDEA, 2002, hal. 20-22.

9

(13)

pernah mencapai 30%. Pada periode antara tahun 1950 dan 1955, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya sebesar 3,8%, dan 6,3% antara tahun 1955 dan 1960. Kemudian selama 30 tahun berikutnya, keterwakilan perempuan di parlemen merupakan yang tertinggi selama ini, yakni mencapai 13% pada periode 1987 sampai 1992. Selama periode 1992 sampai 1997, representasi perempuan sebesar 12,5%. Jumlah ini menurun ke 10,8% pada periode 1997-1998. Kecenderungan ini terus berlanjut pada periode 1999-2000 yang turun menjadi 9,0%. Pada periode 2004-2009 mengalami peningkatan menjadi 11% dan periode 2009-2014 meningkat lagi menjadi 18%. Namun peningkatan itu tidak secara otomatis terjadi pada jenjang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ternyata semakin ke bawah, keterwakilan perempuan makin menciut pula. Saat ini, keterwakilan perempuan di DPRD Propinsi berkisar antara 6,7% hingga 26,1% dan di Kabupaten/Kota jumlahnya kian sedikit, bahkan di beberapa wilayah tidak memiliki keterwakilan perempuan sama sekali.

Partai politik masih memandang sebelah mata terhadap perempuan, dan hanya mengusung perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai pelengkap syarat undang-undang saja.10 Selama ini memang banyak perempuan yang kandas di tengah jalan sewaktu diajukan sebagai calon legislatif maupun eksekutif, sebab ditolak dengan alasan yang dicari-cari. Alasan klasik yang kerap yang kerap dipakai untuk mendiskreditkan perempuan adalah tidak berkualitas, kesibukan mengurus anak dan keluarga, serta stereotipe negatif lainnya yang merugikan perempuan. Padahal, realitas di masyarakat menunjukkan, banyak wanita karir yang sukses melakukan peran gandanya dengan baik.

Dalam hal ini juga, parpol dianggap masih menjadi hambatan bagi partisipasi dan keterwakilan perempuan, meskipun parpol mengatakan tidak ada masalah dengan keterwakilan perempuan. Persoalan politik uang, struktur kepemimpinan yang tidak demokratis, dan agenda politik parpol yang tidak sensitif gender menjadi penghambat keterlibatan perempuan dalam struktur

       10

Evi Novida Ginting, Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia, Jurnal politeia volume 3 No.2,

(14)

organisasi partai. Sedikitnya perempuan yang menjabat dalam kepengurusan parpol juga membuat perempuan kurang berperan dalam setiap proses pengambilan keputusan dalam parpol dan dalam setiap kegiatan organisasi partai. Melihat kondisi ini, maka kebijakan afirmatif 30% keterwakilan perempuan masih sangat dibutuhkan, terutama di dalam partai-partai politik, karena dengan meningkatnya keterwakilan perempuan dalam partai politik, juga akan membuka peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk dapat duduk di lembaga legislatif.

Untuk itu pemerintah telah membuat kebijakan afirmatif untuk memperhatikan keterwakilan perempuan dalam partai politik. UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik menyebutkan, “Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dan kemudian untuk mempertegas lagi tentang keterwakilan perempuan dalam parpol, di dalam pasal 20 disebutkan, “Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”

(15)

Mengacu pada struktur kepengurusan DPC PDIP Kota Medan, ternyata dari 15 orang pengurus dalam daftar kepengurusan DPC PDIP Kota Medan Masa Bakti 2010-2015, hanya 3 orang saja yang merupakan perempuan. Tiga orang pengurus perempuan tersebut menduduki posisi sebagai Wakil Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan dan Anak, kemudian posisi sebagai Wakil Ketua Bidang Hukum, HAM & Perundang – Undangan dan terakhir menjabat posisi sebagai Wakil Bendahara Bidang Internal dan Program. Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan hanya mencapai angka 20%. Hal ini tidak sesuai dengan kebijakan afirmatif tentang ketentuan kuota yaitu 30% dalam kepengurusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam UU No. 2 Tahun 2008 tersebut.

Melihat kondisi keterwakilan perempuan dalam kepengurusan DPC PDIP Kota Medan yang masih rendah tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap DPC PDIP Kota Medan dengan judul : “Strategi Partai Politik untuk Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Kepengurusan Partai Sebagai Implementasi dari UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik : Studi Kasus Terhadap DPC PDIP Kota Medan”

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah dan pembatasan masalah.11

Bertitik tolak pada latar belakang yang menjelaskan tentang rendahnya keterwakilan perempuan dalam institusi kepartaian yang hanya mencapai angka 20%, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah “Bagaimana Strategi

       11 

(16)

DPC PDIP Kota Medan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan sesuai dengan kuota 30% yang telah ditetapkan oleh pemerintah?”

I.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan Masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Oleh sebab itu, agar penelitian ini lebih fokus dan lebih sistematis peneliti merumuskan batasan masalahnya yaitu:

1. Penelitian ini mengkaji tentang kondisi keterwakilan perempuan dalam Kepengurusan partai PDIP Kota Medan

2. Permasalahan yang dibahas yaitu komitmen dari DPC PDIP Kota Medan dan strategi apa yang digunakan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan sesuai dengan kuota 30% yang ditetapkan oleh pemerintah.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kondisi keterwakilan perempuan dalam kepengurusan DPC PDIP Kota Medan

2. Mengetahui kendala yang dihadapi DPC PDIP Kota Medan terkait dengan rendahnya keterwakilan perempuan dalam internal partai 3. Mengetahui Strategi DPC PDIP Kota Medan untuk meningkatkan

keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai sesuai dengan ketentuan kuota 30% yang telah ditetapkan oleh pemerintah

I.4.2 Manfaat Penelitian

(17)

2. Manfaat bagi lembaga yaitu penelitian ini dapat menjadi referensi baru dalam pengembangan khasanah ilmu politik

3. Manfaat bagi masyarakat adalah agar hasil penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat khususnya perempuan agar lebih menyadari perannya dalam politik serta pentingnya kesetaraan perempuan dalam dunia politik

I.5. Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada umumnya.12 Teori memiliki arti penting bagi suatu penelitian adalah karena teori yang digunakan berfungsi untuk menerangkan suatu fenomena yang ada secara sistematis.

Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam penelitian ini yaitu:

I.5.1 Teori Strategi Politik

Strategi berasal dari bahasa Yunani strategia yang diartikan sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan. Karl von Clausewitz (1780-1831) berpendapat bahwa strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Sedangkan politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Jadi dapat dikatakan bahwa strategi politik adalah ilmu tentang teknik, taktik, cara, kiat yang dikelola oleh politisi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber-sumber kekuasaan, merumuskan dan melaksanakan keputusan politik sesuai yang diinginkan. Menurut Peter Schorder (2009), dalam bukunya yang berjudul Strategi Politik, Strategi politik itu sendiri merupakan

      

(18)

strategi atau tehnik yang digunakan untuk mewujudkan suatu cita-cita politik. Contohnya adalah pemberlakuan peraturan baru, pembentukan suatu struktur baru dalam administrasi pemerintahan atau dijalankannya program deregulasi, privatisasi atau desentralisasi.13

Tanpa strategi politik perubahan jangka panjang atau proyek-proyek besar sama sekali tidak dapat diwujudkan. Politisi yang baik berusaha merealisasikan rencana yang ambisius tanpa strategi, seringkali menjadi pihak yang harus bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi sosial yang menyebabkan jutaan manusia menderita.

Strategi politik sangat penting untuk sebuah partai politik, tanpa adanya strategi politik, perubahan jangka panjang sama sekali tidak akan dapat diwujudkan. Perencanaan strategi suatu proses dan perubahan politik merupakan analisis yang gamblang dari keadaan kekuasaan, sebuah gambaran yang jelas mengenai tujuan akhir yang ingin dicapai dan juga segala kekuatan untuk mencapai tujuan tersebut.

Von Clausewitz menjelaskan bahwa tujuan strategi itu sendiri bukanlah merupakan suatu kemenangan yang tampak di permukaan, melainkan kedamaian yang terletak di belakangnya. Pengertian ini juga sangat penting dan erat kaitannya bagi strategi politik yang dijalankan suatu partai politik, dalam hal ini adalah strategi yang dilakukan partai dengan cara mempengaruhi dan merekrut individu-individu dalam masyarakat. Strategi itu sendiri memiliki tujuan yang paling utama adalah “kemenangan”. Kemenangan akan tetap menjadi fokus partai politik dalam memperoleh suara terbanyak pada pemilihan umum dan akan berhasil memenangkan setiap calon-calon yang diajukan partai.

Strategi ofensif merupakan strategi memperluas pasar dan strategi menembus pasar. Dalam strategi ofensif, digunakan untuk mengimplementasikan politik, yang harus dijual di sini adalah perbedaan terhadap keadaan yang berlaku saat itu serta keuntungan yang dapat diterapkan. Dalam meningkatkan dan

       13

(19)

menambah jumlah massa, dalam konteks ini partai politik sangat membutuhkan strategi ofensif ini. Lebih banyak orang yang memiliki pandangan dan pemikiran positif terhadap partai tersebut, sehingga pada akhirnya kampanye yang dilaksanakan oleh partai politik akan lebih efektif dan maksimal.

I.5.2 Partai Politik

Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik memainkan peranannya dalam pilar demokrasi. Partai politik untuk pertama kali lahir di Negara Eropa Barat. Dengan timbul dan berkembangnya suatu gagasan bahwa rakyat merupakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses kegiatan politik, maka lahirlah partai politik sebagai wadah aspirasi dan kepentingan yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan berkembang hingga sekarang sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Bahwa keikutsertaan rakyat dalam proses kehidupan politik adalah penting di dalam suatu Negara sehingga kehidupan demokrasi dapat terus berlanjut dan kedaulatan rakyat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Partai politik merupakan keharusan dalam sistem politik yang demokratis terkecuali masyarakat tradisional yakni suatu sistem yang otoritarian dimana seorang raja tergantung pada tentara atau polisi dalam melangsungkan pemerintahannya. Sedangkan fungsi mendirikan partai politik pada umumnya adalah representasi (keterwakilan), konversi dan agregasi; integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi); persuasi, represi, rekrutmen (pengangkatan tenaga-tenaga baru), pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijakan serta kontrol terhadap pemerintah.14

Upaya demokratisasi membutuhkan sarana saluran politik yang koheren dengan kepentingan masyarakat di suatu Negara. Salah satu sarana yang dimaksud adalah partai politik, yang memiliki ragam fungsi, platform dan dasar pemikiran. Selanjutnya perjalanan partai politik di Barat mengalami perubahan

      

14 

(20)

sedikit demi sedikit. Ide dasar pembentukan partai politik sudah menunjukkan indikasinya pada era Reinassance dan Aufklarung, manakala kekuasaan para raja dikecam dan mulai dibatasi, sebenarnya keinginan untuk membentuk partai politik sudah bermunculan, terlebih hak pilih rakyat sudah diberikan secara luas. Adapun keterlibatan rakyat dalam proses politik yang ada pada waktu itu sudah dianggap sebagai sesuatu yang mendesak. Sebagai wujud interaksi antara pemerintah dan rakyat, diperlukan kendaaraan politik yang diasumsikan mampu menjaga simbiosis di antara keduanya.

Menurut pengertian dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita -cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Partai Politik artinya suatu organisasi yang berorientasi kepada pencapaian legitimasi kekuasaan atas pemerintahan melalui proses pemilu. Menurut Miriam Budiardjo (2008), partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan berebut kekuatan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.15

Istilah partai bila ditelusuri dari asal katanya berarti bagian atau pihak di dalam masyarakat dimanapun secara alamiah terdapat pengelompokan-pengelompokan, salah satu pengelompokan masyarakat yang didasarkan atas persamaaan paham dan ideologi dalam bentuk doktrin oleh Benyamin Constan disebut sebagi partai. Pendapat ini kemudian menjadi popular untuk memberikan batasan pengertian partai politik, dimana ia mengatakan “A Party is a group of

       15 

(21)

men professing the same political doctrine”16 Carl J. Friedrick dalam bukunya Constitutional Goverments and Democracy merumuskan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan. Dan Raymond Gartfied mengatakan bahwa partai politik terdiri dari sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik.17

Dari beberapa pendapat di atas, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama dan mempunyai sebuah kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan mereka dalam suatu pemerintahan yang sedang berjalan. Adanya partai politik dianggap sebagai suatu yang wajar-wajar saja terutama dalam konteks nilai-nilai essensial sebuah demokrasi. Pada dasarnya mengatakan bahwa kedudukan partai politik dalam hubungan ini lebih cenderung mengarah kepada wacana sistem politik, dan sisi lain mengatakan bahwa kehadiran partai politik dilihat sebagai sarana untuk berpartisipasi. Sebagai sebuah organisasi, partai politik diharapkan menjadi wadah yang mengartikulasikan kepentingan rakyat.

Partai Politik sebagai sebuah organisasi memerlukan anggota dalam menjalankan setiap program-program yang disusun berdasarkan ideologi partainya, ini merupakan kelanjutan dari fungsi utama partai politik yaitu mencari anggota yang berkualitas dalam mencari serta mempertahankan kekuasaan.18

       16 

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor, 1998, hal.16 

17 

Widagdo,H.B, Managemen Pemasaran Partai Politik Era Reformasi, Jakarta: PT.Gramedia. 1999, hal.206 

18 

(22)

Adapun fungsi partai politik itu sendiri adalah :19 1. Sebagai Sarana Komunikasi Politik

Yaitu berfungsi sebagai komunikator politik berkaitan dengan kapasitas dan kebijakan pemerintah dalam menyampaikan aspirasi dan kepentingan kelompok masyarakat

2. Sebagai Rekrutmen Politik

Mencari anggota yang berkompeten dalam menjalankan kegiatan partai. Fungsi ini merupakan kelanjutan dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan. Rekruitmen politik menjamin kontiniutas dan kelestarian partai, sehingga sekaligus merupakan salah satu cara untuk mencari anggota. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender

3. Sebagai Pengatur Konflik

Dalam kehidupan yang demokratis, tiap negara dan tiap kelompok masyarakat berhak menyampaikan aspirasi serta memperjuangkan kepentingan masing-masing. Akibat dari kehidupan yang demokratis tersebut dapat menimbulkan pergeseran, perbenturan, pertentangan antar kepentingan dalam masyarakat. Pengatur konflik juga bertujuan untuk mengakumulasikan berbagai aspirasi dan kepentingan melalui dialog antar kelompok untuk memusyawarahkan dan mencari keputusan politik yang memuaskan kepentingan berbagai kelompok. 4. Sebagai Sarana Sosialisasi politik/ Pendidikan Politik

Yaitu proses pembentukan dari orientasi politik para anggota masyarakat terhadap kehidupan politik yang berlangsung. Proses ini mencakup proses dimana masyarakat mewariskan norma-norma dan

       19 

(23)

nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Proses sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan non formal. Dalam fungsi sosialisasi politik ini, anggota maupun masyarakat luas diberikan kesadaran agar dapat menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kehadiran suatu partai politik dapat dilihat dari kemampuan partai tersebut melaksanakan fungsinya. Salah satu fungsi yang terpenting yang dimiliki oleh partai politik adalah fungsi rekrutmen politik. Seperti yang dikemukakan oleh Ramlan surbakti bahwa rekrutmen politik itu adalah mencakup pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Untuk itu partai politik memiliki cara tersendiri dalam melakukan pengrekrutan terutama dalam pelaksanaan sistem dan prosedural pengrekrutan yang dilakukan partai politik tersebut. Tak hanya itu proses rekrutmen juga merupakan fungsi mencari dan mengajak orang-orang yang memiliki kemampuan untuk turut aktif dalam kegiatan politik, yaitu dengan cara menempuh berbagai proses penjaringan.

(24)

partai itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang kompetitif. Hal ini menyebabkan demokrasi berfungsi sebagai sarana elit memperbaharui legitimasinya

I.5.3 Keterwakilan Politik

Untuk mengetahui definisi keterwakilan, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai definisi perwakilan, dimana secara sederhana perwakilan diartikan sebagai suatu proses interaksi wakil dengan yang diwakili. Dalam perwakilan ini, yang diwakili adalah sejumlah warga negara yang bertempat tinggal di suatu daerah atau distrik tertentu. Hal ini mencakup berbagai kepentingan, sedangkan yang mewakili adalah seorang atau lebih wakil rakyat yang bergabung ke dalam satu atau lebih partai politik.

Dalam sistem perwakilan, seorang warga negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seorang calon wakil rakyat atau partai politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Sedangkan pengertian perwakilan dalam buku Perwakilan Politik Indonesia karangan Drs. Arbi Sanit, yaitu: “Perwakilan adalah bahwa seseorang atau sekelompok orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan baik diperuntukkan bagi, maupun yang mengatasnamakan pihak lain”20

Dari segi keterikatan wakil rakyat dan keinginan rakyat yang diwakili, konsep perwakilan dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama perwakilan tipe delegasi (mandat), yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat. Wakil rakyat harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat yang diwakili. Wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk berbicara lain daripada apa yang dikehendaki konstituennya. Fungsi wakil rakyat menurut tipe perwakilan ini menyuarakan pendapat dan para pemilihnya serta memperjuangkan kepentingan para pemilihnya. Keinginan konstituennya dapat diketahui melalui

       20

(25)

kontak langsung yang secara periodic dilakukan. Dan keinginan yang harus diikuti wakil rakyat ialah suara mayoritas konstituen.

Kedua, perwakilan tipe trustee (independen) berpendirian wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan secara baik. Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan hal ini wakil rakyat memerlukan kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, tipe perwakilan ini berpandangan tugas wakil rakyat adalah memperjuangkan kepentingan nasional. Dengan demikian, manakala terdapat pertentangan antara keinginan local atau para pemilih kepentingan nasional maka wakil rakyat harus memihak kepada kepentingan nasional. Jadi, keinginan para pemilih tetap ikut dipertimbangkan tetapi tidak mengikat. Tipe perwakilan ini disebut trustee karena wakil rakyat dipercaya sebagai pemegang kekuasaan. Setelah mempercayakan kekuasaan kepada wakilnya melalui proses pemilihan umum, dan para pemilih tidak lagi mempunyai kekuasaan sampai kepada pemilihan yang selanjutnya. Secara implisit terkadang penilaian bahwa wakil rakyat memiliki kemampuan politik yang lebih tinggi daripada para pemilihnya.

Sedangkan pengertian keterwakilan di sini adalah sebagai terwakilnya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam suatu lembaga dan proses politik.21 Kadar keterwakilan tersebut ditentukan oleh sistem perwakilan yang berlaku di dalam masyarakat bersangkutan. Sistem perwakilan politik yang formalistis seringkali tidak menghasilkan tingkat keterwakilan politik yang cukup. Kemungkinan menciptakan tingkat keterwakilan yang cukup menjadi lebih besar dapat terealisasi jika terdapat keserasian di antara segi formal dengan aspek actual dari sistem perwakilan politik.

Karena keterwakilan diukur dari kemampuan wakil bertindak atas pihak yang diwakili, maka konsep ini menyangkut himpunan elit di dalam lembaga-lembaga politik yang berwenang bertindak atas nama anggota masyarakat, untuk menentukan kebijakan guna mencapai tujuan dan kepentingan masyarakat

       21

(26)

tersebut. Dan dua lembaga politik utama yang dimaksud ialah Badan Perwakilan (legislatif) dan Pemerintah (eksekutif)

I.6 Metodologi Penelitian

Penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar teori di atas, penelitian ini memiliki tujuan metodologis deskriptif yaitu melukiskan. Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.22 Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

I.6.1 Jenis Penelitian

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat. Yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.23

I.6.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di kantor Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Medan, yaitu di Jl. Sekip Baru No 26 Medan.

       22

Bambang Prasetyo, dkk., Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 42 

23

(27)

I.6.3 Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari interview (wawancara) terhadap informan Bapak Henry Jhon Hutagalung selaku Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Medan dan beberapa staff pengurus DPC PDIP Kota Medan yang perempuan. Dan data sekunder diperoleh dan dikumpulkan peneliti dari Sekretariat DPC PDIP Kota Medan dan juga melalui studi kepustakaan. I.6.4 Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif, di mana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

I.7. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci serta untuk mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri ke dalam empat bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

(28)

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Pada Bab ini akan memberikan gambaran secara umum terhadap lokasi penelitian yaitu DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Medan dan kondisi keterwakilan perempuan dalam institusi partai

BAB III : KAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian dan memperoleh tujuan dari penelitian.

BAB IV : PENUTUP

(29)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

II.1. Profil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

II.1.1 Sejarah Berdirinya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

PDI Perjuangan merupakan salah satu dari tiga partai besar yang mewarnai kancah dunia politik di Indonesia. PDI Perjuangan merupakan kepanjangan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan partai politik yang memiliki sejarah panjang dengan basis massa yang kuat. PDI Perjuangan sebetulnya adalah partai yang memiliki pertalian erat dengan partai politik yang berdiri di masa Orde Baru. Diawali pada masa pemerintahan Orde Baru dimana keadaan perpolitikan tidak mencerminkan semangat demokrasi dikarenakan pemerintahan yang otoriter. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indoneia (PDI) yang berdiri tanggal 10 Jauari 1973. PDI sendiri merupakan hasil fusi dari 5 partai yaitu 24: a. Partai Nasional Indonesia (PNI)

PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan Gatot Mangkupraja ditangkap. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan Raad van Justitie tanggal 17 April 1931, mereka dipidana penjara. Keputusan ini diartikan mencap PNI sebagai suatu organisasi yang terlarang.

      

24 

(30)

Setelah tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Dengan landasan tersebut, tanggal 29 Januari 1946 di Kediri PNI dibentuk yang merupakan fusi dari partai Serikat Rakyat Indonesia atau di kenal dengan Serrindo pada waktu itu, PNI Pati, PNI Madiun, PNI Palembang, PNI Sulawesi, kemudian Partai Republik Indonesia Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, dan ada beberapa lagi partai kecil lainnya yang berada di Kediri, serta beberapa partai lokal kecil lainnya.  Fusi dilakukan ketika diselenggarakannya Kongres Serindo I di Kediri, 29 Januari s/d 1 Pebruari 1946. Dalam Kongres tersebut PNI dinyatakan memiliki ciri Sosio-Nasionalisne-Demokrasi yang merupakan asas, ideologi dan cara perjuangan yang dicetuskan Bung Karno untuk menghapuskan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.  Penggunaan azas ini mencerminkan keinginan para pendirinya untuk mengasosiasikan diri dengan Bung Karno sebagai pendiri PNI di masa lalu.

Ideologi partai ini menggunakan apa yang dikembangkan oleh Bung Karno yaitu Marhaenisme, sebuah istilah yang di bangun atau dipakai oleh beliau ketika beliau melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jawa Barat dan bertemu dengan seorang petani yang namanya Marhaen. PNI merupakan partai pemenang pemilu nomor satu dalam pemilu tahun 1955 dengan komposisi suara kurang lebih 22,3%. Basis sosial dari partai ini pertamatama adalah masyarakat abangan di Jawa. Kekuatan mobilisasi terletak pada penguasaan atas birokrasi dan yang kedua adalah para pamong praja, lurah dan para kepala desa. Ini menjelaskan kenapa Golkar mengambil alih itu, PNI ambruk secara total.

(31)

Di Bandung daerah selatan itu merupakan kantong utama. Jawa Tengah adalah kantong-kantong utama, dan kontestan yang paling serius itu datang dari Partai Komunis Indonesia yang berada di beberapa daerah segitiga seperti Jelanggur dan seterusnya. Blitar bagian selatan dan sebagainya.

b. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

Parkindo adalah partai kedua terbesar dalam PDI menurut hasil Pemilu 1955. Partai ini didirikan pada 18 November 1945 sebagai respons atas Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Partai ini merupakan fusi dari sejumlah partai Kristen lokal seperti Partai Kristen Indonesia (Parki) di Sumut, Partai Kristen Nasional di Jakarta, Persatuan Masehi Indonesia (PMI), Partai Politik Masehi (PPM) di Pematang Siantar. Partai ini mendasarkan legitimasi dan identitasnya pada agama, yakni Kristen yang merupakan kelompok minoritas permanen dalam konstelasi politik nasional. Paham kekristenan dijadikan sebagai azas partai. Basis dukungan partai ini menyebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Timor, Minahasa, Toraja, dan sebagainya. Sebagai partai pemenang pemilu kedua terbesar yang bergabung dalam PDI, partai ini diberi hak atas posisi Sekjen dalam struktur PDI.

c. Partai Katolik Republik Indonesia

(32)

Partai ini adalah pemenang ketiga terbesar Pemilu 1955 yang berfusi dalam tubuh PDI. Karenanya konsensus dalam proses fusi memberikan “hak” atas jabatan Bendahara bagi parpol ini. Pada Pemilu 1971 Partai Katolik meraih 606.740 suara (1,11%) sehingga di DPR mendapat 3 kursi.

d. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

IPKI dibentuk oleh tokoh-tokoh yang umumnya berasal dari lingkungan TNI. Awalnya partai ini merupakan “kumpulan pemilih” yang berinisiatif untuk menghimpun tenaga-tenaga pejuang kemerdekaan, terutama dari lingkungan TNI AD untuk mempelopori perjuangan rakyat setelah revolusi fisik. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirinya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH Nasution, Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu 1955 Dalam pemilu itu anggota ABRI aktif dapat dipilih melalui pemilu dan duduk di Konstituante.

(33)

Kedekatan dengan Golkar, menjelang Deklarasi PDI 1973 IPKI pernah berpikir untuk bergabung ke Golkar. Tanggal 12 Maret 1970 Presiden Soeharto memberi jawaban atas permintaan Achmad Sukarmadidjaja bahwa IPKI bisa bergabung ke Golkar dengan syarat harus membubarkan diri lebih dahulu. IPKI cukup spesifik dan memiliki dukungan yang konkrit menurut pemilu 1955 kecuali sedikit di Jawa Barat, demikian juga dengan Murba. Hanya memiliki dukungan yang sangat sedikit di Jawa Barat kurang lebih 290.000-an orang. Pada Pemilu 1971 IPKI hanya mampu memperoleh 388.403 (0,62 %) sehingga tidak mendapat satupun kursi di DPR.

e. Murba

Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar dari penjara Murba adalah gabungan dari partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka. Murba sebagai sebuah istilah mengacu pada “golongan rakyat yang terbesar, tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri”. Istilah ini kurang lebih sama dengan istilah proletar, akan tetapi seperti ditegaskan dalam dokumen Kementrian Penerangan memiliki sejarah hidup, corak dan musuh yang berbeda dengan proletar. Murba sebagai ideologi berbeda dengan Marhaenisme Bung Karno karena adanya pengakuan Bung Karno atas kepemilikan alat-alat produksi oleh kaum marhaen, sekalipun dalam skala yang sangat kecil dan subsisten. Azas Murba adalah anti fasisme, sebuah paham yang dikembangkan oleh Jepang dan Italia sebelum perang Dunia II, anti imperialisme dan kapitalisme.

(34)

dirayakan sebagai hari ultah PDI Perjuangan. Beberapa fenomena penting sebelum fusi dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Proses ke arah fusi merupakan inisiatif presiden yang diwujudkan dalam bentuk rangkaian konsultasi antara presiden dengan tokoh-tokoh parpol. Konsultasi pertama dilakukan secara kolektif dengan tokoh-tokoh dari 9 parpol pada 7 Januari 1970. Dalam kesempatan ini Presiden melontarkan gagasan pengelompokan parpol ke dalam dua kelompok, masing-masing menekankan pada aspek materiil dan spirituil. Dengannya, akan terbentuk dua kelompok, materiil-spirituil dan spirituil-materiil. Dalam pertemuan ini juga terungkap bahwa ide tersebut berkaitan dengan keinginan Presiden untuk menciptakan stabilitas yang disebutkan sebagai “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu 1971. Dalam Pemilu 1971 partai ini tidak memperoleh satu pun kursi di DPR karena hanya mampu meraih 48.126 suara (0,09 %).

Kelima partai ini akhirnya sepakat untuk melakukan fusi dengan nama Partai Demokrasi Indonesia pada 10 Januari 1973. Deklarasi ditandatangani oleh wakil kelima partai yaitu MH. Isnaeni dan Abdul Madjid mewakili Partai Nasional Indonesia, A. Wenas dan Sabam Sirait mewakili Partai Kristen Indonesia, Beng Mang Rey Say dan FX. Wignyosumarsono mewakili Partai Katolik, S. Murbantoko R. J. Pakan mewakili Partai Murba dan Achmad Sukarmadidjaja dan Drs. Mh. Sadri mewakili Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pada tanggal 13 Januari 1973 Majelis Pimpinan Partai (MPP) terbentuk, Sabtu 14 Januari 1973 jam 01.20 pagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berhasil menyusun struktur dan personalia Dewan Pimpinan Pusat sampai terselenggaranya Kongres Nasional. Susunan kepengurusan DPP PDI sebagai berikut :

(35)

Sebuah partai fusi, seperti PDI tidak akan pernah lepas dengan konflik di dalamnya Perbedaan ideologis hingga latar belakang adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik tersebut. Belum lagi adanya rivalitas antar elit dalam internal parpol serta tekanan yang diberikan pemerintah Orde Baru dalam menyempitkan ruang gerak parpol.

Perkembangan PDI terbentuk dalam 3 periode yaitu dari tahun 1973 hingga 1986. Periode pertama, 10 Januari 1973 hingga 13 April 1976 merupakan periode pemantapan fusi atau unifikasi. Periode kedua, dari tahun 1976 hingga 1981, dikenal sebagai masa krisis bagi internal partai. Hal ini dilihat dari konflik dan perseteruan yang terus terjadi dalam tubuh PDI. Ini juga dijadikan kesempatan bagi pemerintah Orde Baru untuk ikut mengintervensi permasalahan internal PDI. Salah satunya adalah terkait masalah DPP ganda partai dimana pemerintah ikut masuk untuk menyelesaikan masalah yang dikenal dengan sebutan “Penyelesaian Politis 16 Januari”. Selain itu masih banyak lagi cara yang dilakukan oleh Orde Baru untuk “menundukkan” PDI. Semua itu dilakukan pemerintah agar PDI menjadi partai pendukung Orde Baru.

Dan periode terakhir, dari 1981 hingga 1986, dikenal sebagai masa re-unifikasi. Melalui periode ketiga inilah, PDI memulai untuk kembali menyatukan unsur-unsur partai yang selama ini berkonflik sekaligus mulai memantapkan Pancasila sebagai ideologi partai. Oleh karena itu persatuan internal partai menjadi fokus penting PDI ketimbang bersikap keras pada pemerintah. PDI bahkan membuat 4 komitmen yang terkesan pro pemerintah, yaitu komitmen terhadap Orde Baru, pengakuan atas dwifungsi ABRI, penyatuan diri dengan kepemimpinan nasional, serta partisipasi aktif dalam pembangunan nasional. Namun akhirnya, reunifikasi parpol kembali menemui kegagalan. Lagi-lagi hal tersebut disebabkan oleh konflik internal terkait pemberian sikap terhadap politik Orde Baru.25

      

25 

(36)

II.1.2 Kemunculan Megawati Soekarno Putri

Terjunnya sosok Megawati dalam perpolitikan dimulai pada tahun 1986 ketika ia mengetuai PDI cabang Jakarta Pusat. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Dukungan tersebut muncul dari DPC berbagai daerah yang datang kekediamannya pada tanggal 11 September 1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada tanggal 1-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Hal ini tentu saja menjadi ancaman bagi pemerintah Orde Baru.

Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk menghadang laju Megawati ke dalam bursa pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati. Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto. Akhirnya Musyawarah Nasional (Munas) dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI. Dalam Munas ini dihasilkan kepengurusan DPP PDI periode 1993-1998.

(37)

Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas diselenggarakannya "Kongres", kemudian pada tanggal 5 Juni 1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres. Kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh Pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada tanggal 2-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan dengan didukung penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan lengkap dengan panser. Pagar Asrama Haji tempat kegiatan berlangsung ditinggikan dengan kawat berduri setinggi dua meter. Disamping itu di persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap orang-orang yang melintas. Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrasi itu berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan "Peristiwa Gambir Berdarah".

Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun Pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut, melalui Kongres Luar Biasa PDI di Medan, Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Tanggal 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin oleh Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal. Hal ini semakin membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok.

(38)

menyerang massa pendukung Mega yang bertahan di kantor DPP yang terletak di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat. Dari peristiwa ini banyak korban jiwa dan harta benda yang berjatuhan. Terlebih lagi, peristiwa ini sendiri akhirnya terus meluas ke daerah-daerah lain.

Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan dibawah pantauan Pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil Pemilu PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.

Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati. Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar Negara sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres Rakyat". Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa, Denpasar sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut.

(39)

tetap PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal, kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran Senayan Jakarta.

Pemilu tahun 1999 membawa berkah bagi PDI Perjuangan, dukungan yang begitu besarnya dari masyarakat menjadikan PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Dalam perjalanannya kemudian, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia Ke - 4. Untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI menjadi PDI Perjuangan, pengurus DPP PDI Perjuangan memutuskan melaksanakan Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP sebelumnya baru selesai tahun 2003. Salah satu alasan diselenggarakannya Kongres ini adalah untuk memantapkan konsolidasi organisasi Pasca terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presiden RI.

Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 27 Maret – 1 April 2000 di Hotel Patra Jasa Semarang-Jawa Tengah. Menjelang Kongres I PDI Perjuangan, sudah muncul calon-calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, nama yang muncul antara lain Dimyati Hartono yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan, kemudian muncul pula nama Eros Jarot yang sempat menggalang DPC-DPC untuk mendukungnya. Di dalam pemandangan umum Cabang-Cabang, dari 243 DPC, hanya 2 DPC yang mengusulkan nama lain yaitu DPC Kota Jayapura dalam pemandangan umumnya mengusulkan 3 orang calon Ketua Umum yaitu Megawati, Dimyati Hartono dan Eros Jarot, kemudian DPC Kota Banjarmasin mengusulkan Eros Jarot sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.

(40)

Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. Setelah Kongres I PDI Perjuangan tahun 2000, pada tahun 2001 Megawati diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Ke - 5 menggantikan KH Abdurahman Wahid yang diturunkan dalam Sidang Istimewa MPR-RI. Diangkatnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke - 5 membawa perubahan pada sikap politik PDI Perjuangan dan cap sebagai partai penguasa melekat di PDI Perjuangan. Meski sebagai partai penguasa, PDI Perjuangan ternyata tidak mampu meraih kemenangan di dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004. PDI Perjuangan hanya mampu memperoleh suara diurutan kedua dengan 109 kursi di DPR.

Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 28 - 31 Maret 2005 di Hotel Grand Bali Beach. Kongres II PDI Perjuangan akhirnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2005setelah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan Megawati menjadi Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010. Pada tanggal 25 April 2005, kepengurusan DPP PDI Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan dilaporkan ke Departenmen Kehakiman dan HAM dan pada tanggal 30 Mei 2005 Menteri Hukum dan HAM menerbitkan surat keputusan nomor:M-01.UM.06.08 Tahun 2005 yang menerima perubahan kepengurusan dan AD-ART hasil Kongres tersebut.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebetulnya adalah partai yang memiliki pertalian erat dengan partai politik yang berdiri di masa Orde Baru. Partai ini merupakan lanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dibentuk 10 Januari 197326

II.1.3 Visi Misi PDI Perjuangan

Bahwa sesungguhnya cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta berkeadaban dan berketuhanan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD

      

26 

(41)

1945 merupakan cita-cita bersama dari seluruh rakyat Indonesia. Sebagai partai ideologis berasaskan Pancasila 1 Juni 1945 PDI Perjuangan berperan aktif dalam usaha-usaha untuk mencapai cita-cita bersama di atas. Untuk itu PDI Perjuangan berketetapan menjadi alat perjuangan dan pengorganisasian rakyat.

II.1.3.1 Visi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

1. Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Membanguan masyarakat Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis, adil dan makmur.27

II.1.3.2 Misi PDI Perjuangan

Dalam perjuangan mewujudkan cita-cita bersama bangsa, PDI Perjuangan melaksanakannya melalui pengorganisasian dan perjuangan rakyat untuk mencapai kekuasaan politik dan mempengaruhi kebijakan dengan cara-cara damai, demokratis, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. Menghimpun dan membangun kekuatan politik rakyat;

2. Memperjuangkan kepentingan rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara demokratis; dan berjuang mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional guna mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.Menjadi alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa;

       27 

(42)

3. Mendidik dan mencerdaskan rakyat agar bertanggung jawab menggunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara; 4. Menghimpun, merumuskan, dan memperjuangkan aspirasi

rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; 5. Menghimpun, membangun dan menggerakkan kekuatan rakyat

guna membangun masyarakat Pancasila; dan

6. Melakukan komunikasi politik dan partisipasi politik warga negara.28

II.1.4 Perspektif Ideologi dan Program Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Beberapa landasan pokok yang menjadi pedoman dari partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam melangkah tertulis sebagai berikut 29:

a. Asas

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berasaskan Pancasila seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 sesuai jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945.

b. Jati diri

Jati diri Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial

c. Watak

Watak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah Kebangsaan Indonesia dan Keadilan Sosial yang perjuanganya berlandaskan Pancasila

       28 

www.kpu.go.id/ agenda.kpu 

29 

(43)

d. Pokok usaha

PDI Perjuangan melakukan pokok usaha mendidik, mencerdaskan dan menyadarkan rakyat sehingga menjadi insan Pancasilais sejati. Mempersiapkan konsepsi-konsepsi yang bernilai dalam segala bidang kegiatan kemasyarakatan, bangsa dan negara, dalam dan luar negeri dan memperjuangkan terlaksananya konsepsi-konsepsi tersebut di atas serta berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam pelaksanaan pembangunan yang demokratis, seimbang dan progresif.

e. Pandangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan : 1. Politik dan Ketatanegaraan

a). Ideologi Partai

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memiliki ideologi Negara yaitu Pancasila tidak diubah, karena Pancasila berasal dari dan mencirikan masyarakat Indonesia, lengkap dengan kemajemukannya. Kemajemukan ini merupakan salah satu kekuatan Indonesia.

b). Bentuk Negara

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menghendaki bentuk Negara kesatuan dengan pemerintahan republik. Dengan mempertahankan Negara kesatuan dan pemerintahan republik Indonesia yang sekarang maupun yang akan datang setelah Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan yang lain.

c). Undang-Undang Dasar

(44)

UUD 1945 mempunyai jiwa yang luhur yang telah dirumuskan oleh para pendiri republik dengan jiwa kenegarawanan yang sangat tinggi, terlepas dari kepentingan pribadi atau golongannya. Apabila ada kelemahan pada UUD 1945, hal tersebut bukan karena ada pesan titipan uang diselipkan di dalamnya pada saat penyusunannya, namun karena UUD 1945 itu dipersiapkan di bawah suasana perang besar Asia Timur, persaingan blok-blok di dunia, serta belum adanya pengalaman sama sekali dalam mengelola Negara sendiri.

d). Kepartaian

Ada empat parameter untuk menilai partai politik yaitu :

1. Konsistensi Sikap. Apakah partai konsistensi antara ucapan dan tindakannya. Apakah konsisten antara janji kampanye dengan perilaku setelah menang.

2. Jarak partai dengan rakyat. Apakah partai memahami aspirasi masyarakat luas.

3. Visi ke depan apakah partai mempunyai visi ke depan atau hanya terbelit dengan persoalan jangka pendek. Terbelit dengan perebutan kekuasaan dan kekayaan. Terbelit pada perseteruan antara elite dalam partai.

4. Penguasaan atas rakyat. Apakah partai berhasil memberdayakan rakyat keluar dari kesulitan ataukah malahan menambah kesulitan rakyat.

II.1.5. Tugas Partai

Partai Demokrasi Indonesia Perjuanga berpendapat bahwa tugas utama partai adalah sebagai berikut 30:

       30 

(45)

1) Mempertahankan dan mewujudkan cita-cita negara Proklamasi 17 Agustus 1945 di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) Melaksanakan, mempertahankan dan menyebarluaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa;

3) Menghimpun dan memperjuangkan aspirasi rakyat sebagai arah kebijakan politik Partai;

4) Memperjuangkan kebijakan politik Partai menjadi kebijakan politik penyelenggaraan Negara;

5) Mempersiapkan kader Partai dalam pengisian jabatan politik dan jabatan publik melalui mekanisme demokrasi, dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender;

6) Mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar terwujud pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

II.1.6. Otonomi dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

DPP memberikan kekuasaan penuh kepada DPD untuk menetapkan kebijakannya dalam garis perjuangan partai. DPP Partai dapat melakukan pembekuan atau pembubaran kepengurusan Partai di bawahnya. DPD-lah yang berwenang membentuk DPC. DPP tidak mencampuri urusan DPD, DPD hanya akan turun jika diminta oleh DPD untuk membantu menyelesaikan persoalan. DPD harus mampu menjadi partai lokal untuk menangkap aspirasi di wilayahnya. DPD Partai dapat membekukan dan membubarkan PAC Partai. DPC Partai dapat membubarkan Pengurus Ranting Partai dan Pengurus Anak Ranting partai.

II.1.7. Tujuan PDI Perjuangan

(46)

1. Tujuan Umum

a. Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Membangun masyarakat Pancasila 1 Juni 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil, dan makmur.

2. Tujuan Khusus

a. Menghimpun dan membangun kekuatan politik rakyat;

b. Memperjuangkan kepentingan rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara demokrati

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi dan aktivitas belajar siswa terhadap hasil belajar kognitif siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif

baik tentang pengaruh dari faktor tarif , pelayanan , dan fasilitas terhadap keputusan konsumen dalam menggunakan jasa transportasi bus malam pada P.O.Gunung Harta jurusan Surabaya

Kemudian siswa akan mencari solusi dari permasalahan tersebut berdasarkan pengetahuan yang telah mereka peroleh dari tahap read (Iswahyudi, 2016 : 35). Kelebihan

Dalam acara dimaksud harus membawa dokumen asli yang saudara upload pada Aplikasi LPSE Kabupaten Deli Serdang dan membawa Surat Keterangan Domisili Perusahaan dari

Informasi diperoleh kader dalam mengikuti pertemuan kader yang dilaksanakan di Balai Desa setiap bulannya, seperti penyuluhan dari Kepala Puskesmas, Petugas

Dari penilaian seluruh parameter indeks SCORAD terlihat pada kelompok usia < 1 tahun dijumpai rerata indeks SCORAD pada kelompok vitamin D SB 25,06 dan plasebo

Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S5 menunjukkan bahwa S5 mulai dengan mengamati kasus dan langsung mencari dan memprediksi pola dengan menggambar segi tiga

Bagi Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bogor, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak organisasi dalam hal