• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian tentang persistensi brachiaria humidicola (Rendle) schweick setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian tentang persistensi brachiaria humidicola (Rendle) schweick setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa"

Copied!
273
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TENTANG PERSISTENSI Brachiaria

humidicola (Rendle) Schweick SETELAH

PENGGEMBALAAN PADA LAHAN

PERKEBUNAN KELAPA

SELVIE DIANA ANIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Kajian Tentang Persistensi

Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick Setelah Penggembalaan pada Lahan Perkebunan Kelapa, adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor , Desember 2011 Selvie Diana Anis

(3)

ABSTRACT

SELVIE D. ANIS. Study of Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick

persistency growth underneath coconut plantation after grazing. Supervised by M.

AHMAD CHOZIN as the chairman, SOEDARMADI

HARDJOSOEWIGNYO, MUNIF GHULAMAHDI, and SUDRADJAT as members of the advisory committee.

Actually, a combination of pasture and cattle system on coconut plantation is not a new practice. In fact, it has been applied for years in Indonesia but no promising results yet. This practice has always ended up with the so-called pasture run down. Therefore, it is not a sustainable practice.Various pasture and grazing management combined with shade tolerant forage were applied, but the production has not reached the target yet. Previous knowledge on the goal of defoliation or grazing is to trim plant‟s shoot to fulfill cattle‟s need (herbage allowance) without considering pasture health to grow and produce forage. Furthermore, grazing time is determined based on plant‟s age. However, due to climate change phenomenon, the temperature has fluctuated irregularly affecting on plant‟s growth and development. Therefore, using plant‟s age as a threshold could be inaccurate. More accurate method can be used by measuring heat unit accummulation to produce one phyllochron.

Therefore, the main goal of this research was to increase the productivity of coconut plantation by combining pasture system with cattle. To analyse the persistency of grass plant B. Humidicola, this research was conducted with three objectives: 1) to find out the number of heat units required to produce one phyllochron of single grass plant B. Humidicola living within certain community, and growth patterns of them; 2) to find out effects of defoliation intensity and interval based on plant‟s age (callender days) and daily temperature accummulation (growing degree days) to the production of dry foliage biomass and nutrient content; 3) to measure coconut plantation productivity that has been combined with pasture and cattle, grazing experiment with different grazing methods and stocking rate was used in this study. This research was conducted from April 2008 to October 2010 in the experimental plantation of Coconut and Other Palmae Research Institute, Manado, North Sulawesi.

(4)

within plant‟s root and an increase of cattle weight. Treatments were arranged according to seperate block pattern based on randomized block design.

This research found that heat unit requirement to produce one phyllochron was different among plants. Single grass plant required 68,19 degree days to produce one phyllochron while plant growth within a community required 130,44 degree days. The growth pattern of Brachiaria humidicola showed that when this grass growth individually, grew more aggressive than those in community. It was shown that the number of seedlings, nodes, and the length of stolon developed linierely, compared to the other following a quadratic regression pattern. To ensure the persistency of this grass it should be defoliated regularly. Furthermore, interaction of defoliation intensity and interval of defoliation had a significant effect on the production and nutrient content of B. humidicola. The better interaction was found between the cutting height of 10 cm and the ages of plant of 30 and 45 days, and the accumulation of heat units of 456,54 degree days. Third experiment showed that interaction of rotational grazing system with stocking rate of three cattles produced the best pasture. Meanwhile, the best nutrient quality and the highest increase in cattle weight were found in rotational system. Furthermore, the cattle grazing in B. humidicola pasture underneath coconut plantation increased coconut production and pasture sustaianability .

(5)

RINGKASAN

SELVIE D. ANIS. Kajian Tentang Persistensi Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick Setelah Penggembalaan pada Lahan Perkebunan Kelapa. Dibimbing oleh: M. AHMAD CHOZIN sebagai ketua komisi pembimbing, SOEDARMADI HARDJOSOEWIGNYO, MUNIF GHULAMAHDI, dan SUDRAJAT sebagai anggota Komisi Pembimbing.

Integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi pada perkebunan kelapa bukanlah merupakan sistem yang baru, melainkan sudah lama diterapkan. Kenyataan di lapang sistem integrasi ini belum ada yang berhasil menguntungkan sesuai harapan, sebaliknya selalu diakhiri dengan apa yang dikenal sebagai gejala kerusakan padang penggembalaan (pasture run down), sehingga tidak berkelanjutan. Berbagai manajemen budidaya padang penggembalaan dan manajemen penggembalaan serta penggunaan jenis hijauan yang toleran terhadap naungan telah diterapkan, tetapi masalah tersebut belum terpecahkan. Pemahaman lama tentang tujuan defoliasi atau pemanenan adalah pengambilan bagian pucuk tanaman untuk memenuhi kebutuhan ternak, namun defoliasi dilakukan tanpa mempertimbangkan kesehatan padang penggembalaan. Hal yang penting diperhatikan dalam kegiatan defoliasi adalah aspek biogeokimia antara tanaman padang penggembalaan, ternak, peran mikroorganisme pada lingkungan rizosfer dan cadangan karbohidrat untuk pertumbuhan kembali.

Selama ini waktu penggembalaan ditetapkan berdasarkan umur tanaman (hari). Dengan adanya perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global, suhu udara yang berperan dalam pemunculan daun berfluktuasi tidak teratur, maka penggunaan umur tanaman sebagai patokan berpotensi terjadi kesalahan. Penetapan yang lebih akurat adalah dengan mengukur akumulasi satuan bahang yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu filokron.

Penelitian ini dibuat dengan tujuan umum untuk meningkatkan kontribusi rumput Brachiaria humidicola dalam sistem produksi hijauan pakan pada lahan perkebunan kelapa, melalui suatu pemahaman yang benar tentang persistensinya dan diterapkan sebagai strategi manajemen penggembalaan yang tepat.

Untuk mengkaji persistensi rumput B. humidicola secara khusus penelitian ini bertujuan: 1). Mendapatkan berapa besar satuan bahang yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu filokron pada rumput B. humidicola yang hidup secara tunggal, dan yang hidup dan berkembang dalam komunitas. Selanjutnya dipelajari juga pola pertumbuhan rumput ini melalui parameter jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon selama perkembangan setiap minggu. 2). Mempelajari pengaruh intensitas defoliasi dan interval defoliasi berdasarkan umur tanaman (callender days) dan akumulasi satuan bahang harian (growing degree days) terhadap produksi bobot kering biomassa hijauan dan kandungan nutrisi. 3). Untuk mengkaji produktivitas padang penggembalaan dan ternak sapi pada perkebunan kelapa, telah dilakukan percobaan penggembalaan. Rangkaian percobaan dalam penelitian ini dilaksanakan sejak April 2008 sampai Oktober 2010, di kebun percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lainnnya di Manado, Sulawesi Utara.

(6)

yang tumbuh dan berkembang secara tunggal, dan tanaman yang tumbuh dan berkembang dalam satu komunitas. Selanjutnya mempelajari pola tumbuh B. humidicola secara tunggal dan dalam komunitas melalui parameter jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon. Analisis dilakukan dengan uji rata-rata dan standar deviasi, dan analisis regresi untuk pola tumbuh rumput uji dalam umur (minggu).

Sub-penelitian kedua, mempelajari hasil bobot kering hijauan dan kandungan nutrisi rumput uji pada perlakuan intensitas defoliasi dan interval defoliasi berdasarkan umur tanaman (hari), dan berdasarkan akumulasi satuan bahang (growing degree days). Perlakuan diatur secara faktorial berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Terdapat tiga tingkat intensitas defoliasi yaitu intensitas 5 cm, 10 cm , 15 cm dan empat tingkat interval defoliasi yaitu 30 hari, 45 hari, 60 hari dan berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD. Sub-penelitian ketiga, bertujuan mempelajari pengaruh sistem penggembalaan kontinyu dan sistem penggembalaan rotasi berdasarkan akumulasi satuan bahang pada tekanan penggembalaan yang berbeda. Parameter yang diamati adalah keragaan padang penggembalaan yang diukur pada hasil populasi dan perkembangan tajuk baru, komposisi botanis, kandungan nutrisi, mikroorganisme dominan di lingkungan tanah perakaran rumput, konsentrasi karbohidrat mudah larut/siap pakai. Untuk komponen ternak diukur pertambahan bobot badan harian, dan untuk komponen kelapa menghitung jumlah buah kelapa yang dihasilkan. Perlakuan yang diuji adalah sistem penggembalaan yaitu penggembalaan kontinyu (SP1) dan penggembalaan rotasi (SP2) serta jumlah ternak yang digembalakan atau tekanan penggembalaan (stocking rate) yaitu 0,77 unit ternak (UT) ; 1,54 UT dan 2,31 UT. Perlakuan diatur menurut pola petak terpisah dengan dasar Rancangan Acak Kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan satuan bahang rumput B. humidicola yang tumbuh tunggal membutuhkan akumulasi satuan bahang harian sebanyak 68,19 degree days (0C hari), sedangkan yang tumbuh dalam komunitas membutuhkan akumulasi satuan bahang harian sebanyak 130,44 degree days (0C hari). Dalam pengamatan parameter pertumbuhan, pola tumbuh menunjukkan bahwa tanaman tunggal B. humidicola perkembangannya sangat agresif terlihat pada variabel jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon yang berkembang mengikuti pola regresi linier. Tanaman yang tumbuh dalam komunitas semua variabel berkembang mengikuti pola regresi kuadratik. Untuk keberlanjutan persistensi rumput ini, sifat agresif tersebut harus disertai dengan tindakan defoliasi yang baik. Selanjutnya, interaksi intensitas dan interval defoliasi berpengaruh nyata terhadap produksi dan kandungan nutrisi B. humidicola. Interaksi yang ideal adalah pada intensitas atau tinggi pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah, dengan umur tanaman antara 30 hari sampai 45 hari, dan pada interval defoliasi yang didasarkan pada akumulasi satuan bahang harian 456,54

degree days (0C hari). Interaksi sistem penggembalaan rotasi ( SP2 ) dengan

takanan penggembalaan 2,31 UT/ha ( SR3 ) menghasilkan keragaan padang

penggembalaan terbaik, sedangkan kandungan nutrien dan penambahan bobot badan sapi terbaik dihasilkan pada sistem penggembalaan rotasi ( SP2 ). Dengan

(7)

penambahan bobot badan ternak, juga meningkatkan hasil buah kelapa, dan tetap menjamin persistensi padang penggembalaan.

(8)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(9)

KAJIAN TENTANG PERSISTENSI Brachiaria

humidicola (Rendle) Schweick SETELAH

PENGGEMBALAAN PADA LAHAN PERKEBUNAN

KELAPA

SELVIE DIANA ANIS

Disertasi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Doktor

pada Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M. Sc.

(Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor).

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M. Sc.

(Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisidan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor).

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S.

(Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor).

Dr. Ir. Bambang Risdiono, M.S.

(11)

Judul Disertasi : Kajian Tentang Persistensi Brachiaria humidicola

(Rendle) Schweick Setelah Penggembalaan pada Lahan Perkebunan Kelapa

Nama mahasiswa : Selvie Diana Anis Nomor Pokok : A 361050061 Program Studi : Agronomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. Ketua

Prof. Dr. Ir. Soedarmadi,H.,M.Sc Anggota

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Anggota

Dr. Ir. Sudradjat, M.S. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kemurahanNya sehingga disertasi yang berjudul “kajian tentang persistensi

Brachiaria humidicola setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa”, dapat diselesaikan.

Disertasi ini disusun berdasarkan tiga topik penelitian yaitu : (1) Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput

Brachiaria humidicola, (2) Pengaruh intensitas dan interval defoliasi terhadap produksi biomassa dan kandungan nutrien rumput Brachiaria humidicola, (3) Pengaruh sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap keragaan padang penggembalaan Brachiaria humidicola dan penambahan bobot badan ternak sapi dan hasil buah kelapa.

Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan rasa hormat penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Chozin, M.Agr. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Soedarmadi, H. MSc., Prof. Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Sudradjat, MS masing-masing sebagai anggota komisi, atas semua motivasi, arahan, masukan, bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari perencanaan penelitian, pelaksanaan sampai penyelesaian penulisan disertasi ini, bahkan sampai penulis boleh mengikuti ujian terbuka. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih senantiasa melimpahkan rahmat dan berkah serta melindungi Bapak-Bapak dan keluarga.

(13)

kesempatan kepada penulis untuk studi dan telah memberikan ilmunya selama penulis mengikuti kuliah di Program Studi Agronomi IPB.

Penelitian ini dilaksanakan pada perkebunan kelapa Balai Penelitian Kelapa dan Palma lainnya (BALITKA) di Manado. Untuk itu ucapan terima kasih diucapkan kepada Kepala BALITKA dan Kepala Kebun atas kesempatan yang diberikan untuk pelaksanaan penelitian.

Terima kasih pula penulis sampaikan juga kepada Pengelola Bea Siswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan yang diberikan berupa bea siswa Pendidikan Doktor selama 3 tahun.

Terima kasih juga disampaikan kepada semua rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi Pascasarjana IPB dan semua pihak yang telah memberikan dorongan, masukan dan diskusi bersama dalam suka maupun duka.

Penulis juga menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada orang tua, suami dan anak-anak serta keluarga besar yang penulis sayangi , dengan segala ketulusan menopang doa, memberi dukungan moril dan juga kasih sayang selama penulis studi di IPB.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa menuntun kepada segala keberhasilan dan semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang agronomi.

(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 23 September 1960, sebagai anak ketiga dari pasangan Bpk. Bobby H. Anis (alm) dan Dra. Miesye Sorongan. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus tahun 1985. Pada tahun 1991, penulis mengikuti Program Pascasarjana KPK IPB – UNSRAT Program Studi Ilmu Tanaman dan menamatkannya pada tahun 1994.

Pada tahun 2005 mendapat kesempatan mengikuti Program Doktor pada Program Studi Agronomi IPB, Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, selama 3 tahun.

(15)

DAFTAR ISI

Deskripsi Morfologis dan Penyebaran ... 8

Potensi Produksi ... 9

Fenologi dan Growing degree days (GDD) ... 13

Defoliasi dan Cadangan Karbohidrat ... 14

Lahan Pertanian Perkebunan Kelapa ... 17

Manajemen Penggembalaan ... 19

Lingkungan Rizosfer dan Pertumbuhan Tajuk Baru ... 24

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN VEGETATIF TAJUK BARU RUMPUT Brachiaria humidicola ... 31

Pendahuluan ... 32

Bahan dan Metode ... 33

Hasil dan Pembahasan ... 36

Kesimpulan ... 42

PENGARUH INTENSITAS DAN INTERVAL DEFOLIASI TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN KANDUNGAN NUTRIEN 43 Pendahuluan ... 45

Bahan dan Metode ... 47

Hasil dan Pembahasan ... 50

Kesimpulan ... 60

PENGARUH SISTEM PENGGEMBALAAN DAN TEKANAN PENGGEMBALAANTERHADAP KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola SETELAH PENGGEMBALAAN DAN PENAMBAHAN BOBOT BADAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA ... Pendahuluan ... 62

Bahan dan Metode ... 65

Hasil dan Pembahasan ... 71

(16)

PEMBAHASAN UMUM ... 93

KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

Kesimpulan ... 99

Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron

Pada rumput B. humidicola di lahan perkebunan kelapa. ... 36 2. Perkembangan jumlah anakan, jumlah buku

dan panjang stolon B. humidicola ... 37

3. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi

terhadap produksi bobot kering (g/m2). ... 49 4. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi

terhadap rasio daun batang ... 51 5. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi

terhadap kandungan protein kasar (PK) (%) ... 53 6. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi ... 56 7. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval(F) defoliasi

terhadap kandungan NDF (%) dan ADF (%)... 57 8. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan

dan tekanan penggembalaan terhadap keragaan pastura B.humidicola. 75 9. Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan

terhadap komposisi botanis padang penggembalaan ... 78 10. Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan

terhadap kandungan protein kasar, serat kasar, neutral detergent fiber, acid detergent fiber dan lignin (%). ... 80 11. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan

penggembalaan terhadap Mikorisa (spora/200 g tanah),

Azotobakter (CFU/g tanah). ... 82 12. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan

penggembalaan terhadap konsentrasi glukosa (%) dan sukrosa (%) pada crown dan akar ... 84 13. Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan (SP) dan tekanan

penggembalaan (SR) terhadap penambahan bobot badan (pbb) sapi. .. 86 14. Rataan jumlah buah kelapa (butir) di luar dan di dalam lokasi

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tahapan penelitian dan keterkaitan antar percobaan ... 6

2. Skematik ruang yang tersedia untuk tumpangsari pada lahan perkebunan kelapa (Magat 1990). ... 18

3. Anakan rumput pada tahap perkembangan daun ke 3,5 ... 27

4. Hubungan antara tahapan perkembangan daun dan tingkat karbohidrat mudah larut. ... 27

5. Akar dari Bachiaria humidicola yang melepaskan penghambat melalui eksudat yang menekan nitrifikasi ... 29

6. Proses biologi dalam pengaturan penghambatan nitrifikasi dan emisi gas N2O ... 29

13. A.Pemotongan B. humidicola secara seragam ... 48

B.Penerapan perlakuan intensitas dan interval defoliasi ... 48

14. A. Penyiapan lahan ... 69

B. Penanaman rumput ... 69

C. Pemotongan seragam setelah 90 hari tumbuh ... 69

D. Pertumbuhan kembali padang penggembalaan siap masuk sapi ... 69

15. A. Perlakuan sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 2,31 UT ... 70

B. Perlakuan sistem penggembalaan kontinyu dengan tekanan penggembalaan 1,54 UT ... 70

C. Perlakuan sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 0,77 UT ... 70

16. Jumlah tanaman induk setelah penggembalaan ... 73

17. Penimbangan bobot akar dan crown ... 74

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Peta lokasi penelitian di BALITKA Manado ... 110 2. Rekapitulasi analisis keragaman (ANOVA) penelitian kajian

tentang persistensi B. humidicola setelah penggembalaan pada

lahan perkebunan kelapa. ... 11 1 3. Analisis Tanah. ... 112 4. Data suhu udara Max dan Min, curah hujan dan kelembaban

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Data dari Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian yang diterbitkan melalui pemberitaan media cetak Kompas hari Jumat tanggal 13 Agustus 2010, menunjukkan bahwa permintaan daging sapi di Indonesia tahun 2009 sebanyak 390.6 ribu ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 250,8 ribu ton. Dengan demikian untuk mengisi kekurangan harus diimpor sebanyak 139,8 ribu ton. Berbagai faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi ternak sapi. Salah satu di antaranya adalah keterbatasan lahan dan kurangnya ketersediaan hijauan pakan, baik kualitas maupun kuantitas. Progam Direktorat Jenderal Produksi Peternakan melalui integrasi ternak sapi dengan tanaman perkebunan kelapa bertujuan untuk menutupi kesenjangan permintaan daging sapi yang semakin melebar terhadap penawaran komoditi ini.

(21)

kelapa. Ditemukan bahwa Brachiaria humidicola cv.Tully termasuk salah satu jenis yang direkomendasikan untuk dikembangkan pada areal perkebunan kelapa di Manado (Kaligis dan Sumolang, 1991) , di Bali ( Rika et al, 1991). Pilihan pada rumput ini karena memiliki berbagai keunggulan seperti tumbuh baik pada musim panas, cukup persisten dan agresif, berkemampuan berkompetisi dengan gulma dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Rumput ini sangat tahan terhadap penggembalaan berat tetapi tidak toleran terhadap kebakaran. Di Kepulauan Fiji, tanpa pemupukan rumput B .humidicola dapat menghasilkan 10.929 kg bahan kering (BK) per hektar / tahun, dan dapat mencapai 34.018 kg BK/ha bila diberikan 452 kg N/ha. Sedangkan di areal perkebunan kelapa pada percobaan plot-plot kecil, tanpa pemupukan rumput ini menghasilkan 500-600 g BK/m2 atau sekitar 5.000-6.000 kg BK/ha (Kaligis dan Sumolang, 1991).

Selain berproduksi dan bernilai nutrisi yang baik untuk pakan ternak, informasi terbaru mengatakan bahwa rumput B. humidicola sebagai tanaman rumput tropis ini juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup terutama terkait dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Salah satu gas rumah kaca adalah gas N2O. Dilaporkan bahwa rumput ini melalui eksudat

akarnya menghasilkan brachialactone suatu senyawa kimia yang bersifat sebagai inhibitor biologis proses nitrifikasi dalam tanah yang melepaskan gas N2O ke atmosfir (Subramanian et al., 2007). Sifat inhibitor tersebut berperan

dalam pengaturan proses nitrifikasi sehingga lebih sedikit nitrogen yang tercuci, dengan demikian penggunaan nitrogen menjadi lebih efisien. Rumput Brachiaria humidicola sangat disukai ternak ketika masih muda tetapi menurun setelah mencapai pertumbuhan maksimum. Walaupun demikian rumput ini tetap mengalami kerusakan ketika digembalai secara bebas (free grazing) atau tanpa manajemen penggembalan yang benar.

(22)

penggembalaan berdasarkan hari kalender (Calender days / CD) memiliki potensi kesalahan 10 hari kalender dibandingkan dengan defoliasi berdasar akumulasi unit panas (degree days/DD) yang hanya 2-3 hari kalender potensi kesalahan. Adanya hubungan yang erat antara jumlah daun dan GDD mendukung pernyataan bahwa suhu adalah faktor utama yang mengontrol kecepatan munculnya daun pada tanaman rumput (Butler et al., 2002). Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penggembalaan bebas dan penggembalaan kontinyu tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis rumput untuk tumbuh dan bereproduksi. Pada tahap lebih lanjut rumput tidak cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan ternak akan hijauan berkualitas secara tetap dibandingkan dengan sistem penggembalaan rotasi. Sistem yang terakhir ini menjadi pilihan, tetapi dengan konsekuensi harus menerapkan manajemen penggembalaan yang tepat, yang oleh Gorder et al .(2005) dinamakan Biologically Effective Gazing Management Strategy.

Tujuan manajemen padang penggembalaan tidak terbatas hanya pada menjamin kesehatan padang rumput, tetapi terutama hasil hijauan tersedia untuk memenuhi kebutuhan ternak, baik jumlah maupun kualitas. Hasil ini akan terlihat pada produksi riil berupa hasil ternak, dimana hasil ini ditentukan oleh jumlah konsumsi dan nilai kecernaan rumput. Jumlah hijauan terkonsumsi ditentukan oleh palatabilitas dan tinggi kanopi, dimana keduanya dipengaruhi oleh defoliasi atau intensitas renggutan ternak (Root, 2000).

(23)

ruminansia. Dengan demikian terjadi peningkatan produksi ternak sapi daging yang dapat menutupi kesenjangan antara permintaan dan penawaran akan komoditi ini. Oleh karena itu penelitian tentang kajian persistensi B. humidicola

setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan meningkatkan kontribusi rumput Brachiaria humidicola dalam sistem produksi hijauan pakan pada lahan perkebunan kelapa, melalui suatu pemahaman yang benar tentang persistensinya dan diterapkan sebagai strategi manajemen penggembalaan yang tepat. Untuk itu beberapa rangkaian percobaan telah dilakukan dengan tujuan khusus sebagai berikut :

(1) mempelajari fenologi pertumbuhan dan perkembangan vegetatif rumput

Brachiaria humidicola dan menghitung berapa besar satuan bahang ( 0C hari /degree days )yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu filokron. (2) mempelajari respons vegetatif tajuk baru rumput Brachiaria humidicola

terhadap perlakuan intensitas dan interval defoliasi pada kondisi ternaung, yang terukur pada perkembangan vegetatif, produktivitas dan kualitas. (3) mempelajari pengaruh perenggutan (grazing) pada sistem penggembalaan

dan tekanan penggembalaan (stocking rate) yang berbeda terhadap keragaan padang penggembalaan, produksi dan kualitas, komposisi botanis padang penggembalaan, cadangan karbohidrat, mikroorganisme lingkungan rizosfer, penambahan bobot badan sapi dan hasil buah kelapa.

Hipotesis

(24)

ditanam secara tunggal dan dalam komunitas ; pertumbuhan dan perkembangan vegetatif rumput berkorelasi positif dengan umur tanaman. 2. Terdapat perbedaan dalam hasil produksi biomassa (berat kering ), kualitas

dan respons rumput Brachiaria humidicola akibat perlakuan intensitas defoliasi dan interval defoliasi berdasarkan hari kalender (CD) dan berdasarkan akumulasi satuan bahang(DD).

3. Potensi pertumbuhan tajuk baru ( keragaan pastura) B. humidicola, produksi dan kualitas, komposisi botanis, perubahan lingkungan rizosfer, hasil buah kelapa dan penambahan bobot badan sapi akan lebih baik pada padang penggemlaan yang mengalami penggembalaan rotasi dari pada penggembalaan kontinyu terutama yang berinteraksi dengan tekanan penggembalaan (stocking rate) yang lebih tinggi.

Manfaat Penelitian

1. Hasil peneltian ini dapat digunakan dalam pengembangan sistem produksi hijauan makanan ternak pada lahan perkebunan kelapa, dan juga berguna untuk kepentingan pengembangan model biologis pertumbuhan dan perkembangan rumput B. humidicola.

2. Bermanfaat dalam menentukan pola manajemen sistem padang rumput intensif dan efisien, yang dapat menjamin ketersediaan hijauan pakan dalam jumlah dan kualitas yang baik secara berkelanjutan.

Ruang Lingkup dan Kerangka Penelitian

(25)

(stocking rate), yang terukur pada keragaan pastura, kualitas hijauan, komposisi botanis, kandungan karbohidrat mudah larut, mikroorganisme dominan, pertambahan bobot harian ternak sapi serta hasil buah kelapa. Ketiga aspek kajian tersebut dirumuskan ke dalam tiga sub-penelitian sebagai berikut :

1. Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Vegetatif Tajuk Baru Rumput B. humidicola.

2. Pengaruh Intensitas dan Interval Defoliasi terhadap Produksi Biomassa dan Kandungan Nutrien B. humidicola.

(26)

Secara skematik (diagam) kerangka penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan penelitian dan keterkaitan antar percobaan.

Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput B .humidicola, serta

kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron.

B. humidicola memenuhi kriteria seleksi rumput pakan untuk lahan perkebunan kelapa (Mullen et al,

1997)

Percobaan I

Produksi biomassa, kandungan nutrien, dan respons rumput B .humidicola terhadap tingkat

intensitas dan interval defoliasi yang berbeda.

Produksi hijauan pakan, produksi ternak sapi dan produksi kelapa berkelanjutan. Percobaan III

Percobaan II

Respons pastura B. humidicola, produksi dan kualitas, perubahan lingkungan rizosfer, hasil buah kelapa dan penambahan bobot badan sapi

akibat perbedaan sistem penggembalaan (grazing) dengan jumlah ternak (stocking rate)

berbeda. Penelitian oleh

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Brachiaria humidicola

Nama ilmiah

Nama ilmiah rumput yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick, yang sinonnim dengan Urochloa humidicola (Rendle) Morrone & Zuloaga, dan Panicum humidicola (Rendle ) [basionym]. Rumput ini memiliki juga nama umum yaitu rumput koronivia, humidicola, creeping signal grass (Australia) dan creeping paspalum (English). Di Indonesia ada juga yang menyebut BH adapula yang menyebut Brahum. Deskripsi morfologis dan Penyebaran

(28)

berkompetisi dengan gulma, dan sangat tahan terhadap tekanan penggembalaan berat namun tidak toleran terhadap kebakaran.

Produksi Bahan Kering.

Produksi bahan kering (BK) sangat kuat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah. Di Kepulauan Fiji, tanpa pemupukan rumput B. humidicola

dapat menghasilkan sekitar 11 ton BK per hektar / tahun, dan dapat mencapai 34 ton BK/ha bila diberikan 452 kg N/ha (Skerman and Riveros, 1990). Sedangkan di areal perkebunan kelapa BALITKA Manado pada percobaan petak-petak kecil, dipanen setiap dua bulan selama satu tahun, tanpa pemupukan rumput ini menghasilkan 500-600 g BK/m2 atau sekitar 5-6 ton BK/ha (Kaligis dan Sumolang, 1991).

Rumput ini mampu mempertahankan kandungan nitrogen dalam tanah. Penelitian selama 8 tahun, sebagai padang penggembalaan B. humidicola tunggal tanpa legum dan tanpa pemupukan nitrogen, kandungan N tanah tidak mengalami pengurasan dan diperkirakan juga terjadi peningkatan jumlah karbon tanah rata-rata setahun sebanyak 0,66 Mg (mega gram) karbon per ha. Selanjutnya dilaporkan bahwa rumput ini mampu memberikan kenaikan jumlah suplai N dari 30 – 40 kg N/ha/tahun melalui kegiatan sebagai tanaman yang berasosiasi dengan bakteri Azotobacter dalam proses Biological Nitogen Fixation (BNF). Adanya masukan N ini yang memungkinkan rumput

B.humidicola mampu bertahan sebagai pastura tunggal yang bahkan dapat mengakumulasi unsur karbon (C) tanah yang cukup signifikan (Fisher et al., 2004). Namun demikian kemampuan mensuplai N dan akumulasi C ke tanah akan lebih meningkat ketika pastura ini diintroduksi dengan legum yang merambat seperti Desmodium ovalifolium sebagai tanaman pengikat N secara biologis (Boddey et al., 2005).

Produksi ternak.

(29)

sampai 402 kg/ha/thn pada padang penggembalaan campuran dengan legum merambat Arachis pintoi. Di daerah tropis basah Ecuador pastura B. humidicola yang ditanam monokultur dengan 2 ekor sapi / ha memberikan hasil tambahan berat badan 0,56 kg/ekor/hari atau 406 kg/ha/tahun, sedangkan di daerah tropis basah Peru pastura campuran B. humidicola dan A.pintoi dengan tekanan penggembalaan 4 ekor/ha menghasilkan 0,43 kg/ekor/hari atau 619 kg/ha/tahun , sedangkan pastura monokultur B. humidicola dengan kapasitas tampung 4 ekor per hektar memberikan penambahan berat badan (pbb) harian 308 g/ekor/hari (Pereira et al., 2009).

Nilai nutrien dan palatabilitas.

Walaupun rumput ini daunnya kelihatan keras dan berserat tetapi nilai nutrisinya tergolong baik dengan kandungan protein kasar bervariasi antara 5-17 %. Di Colombia rumput ini pada umur defoliasi 6 minggu (rata-rata dari 54 koleksi), menghasilkan protein kasar 5,2 – 8,5% pada musim hujan, tetapi menurun menjadi 3,3 – 6,3 % pada musim kering . Rumput ini memiliki nilai kecernaan 48-75 % dan menurun dengan cepat bila tidak di gembalakan ternak. Sebagai perbandingan pada satu percobaan pengaruh umur pemotongan 30, 60 dan 90 hari mendapatkan kisaran kandungan protein kasar 3,64 – 5,85 % pada panen awal (Djuned et al., 2005). Kandungan protein kasar Brachiaria hybrida ”Mulato” berfluktuasi antara 90-170 g/kg atau antara 9-17% dari bahan kering (CIAT, 2006). Selanjutnya Ginting dan Tarigan (2007) melaporkan bahwa rumput ini memiliki komposisi kimia sebagai berikut: bahan kering 321,3 g/kg berat segar. Kandungan nutrisi lainnya yang dinyatakan dalam bahan kering adalah bahan organik 916,2 g/kg, abu 83,6 g/kg, protein kasar 87,5 g/kg, NDF 709,1 g/kg dan ADF 358,6 g/kg.

(30)

Keragaan

Rumput ini dilaporkan juga sebagai jenis rumput merambat yang mampu menekan invasi gulma dan lebih persisten dibandingkan dengan rumput merambat lainnya, ketika digembalai ternak sapi secara kontinyu di areal pertanaman kelapa. Namun demikian sistem penggembalaan kontinyu mulai ditinggalkan karena meskipun jenis rumput yang toleran terhadap naungan telah digunakan, tetapi sistem ini kurang menjamin keselamatan pastura, sehingga fenomena kerusakan pastura masih tetap ada (Kaligis, 1998). Kerusakan tersebut masih terjadi diduga karena penggembalaan bebas tidak dapat memenuhi kebutuhan ternak akan hijauan berkualitas secara tetap dibandingkan dengan sistem penggembalaan rotasi. Sistem yang terakhir ini menjadi pilihan, tetapi dengan konsekuensi harus menerapkan manajemen penggembalaan tepat yang oleh Gorder et al. (2005) dinamakan Biologically Effective Gazing Management Strategy. Sistem ini merupakan suatu sistem manajemen penggembalaan yang didasarkan pada kebutuhan biologis tanaman atau berdasarkan pada proses biogeokimia dalam ekosistem padang rumput.

Persistensi

(31)

tanah dan reproduksi vegetatif rumput (Manske, 2001; Gorder et al., 2005). Hal ini terkait dengan ketersediaan nitrogen (N) untuk tanaman yang turut ditentukan oleh aktivitas mikroorganisme, sedangkan mikroorganisme itu sendiri membutuhkan suplai C mudah larut dari eksudat akar tanaman (Warembourg dan Esterlich, 2000).

Peran cadangan karbohidrat sangat penting untuk bertumbuh kembali dan pemeliharaan jaringan, khususnya ketika bagian terbesar dari jaringan fotosintesis ikut terambil pada saat defoliasi (Pedreirra et al., 2000). Faktor lain yang menentukan persistensi adalah potensi pertumbuhan tajuk baru yang berbeda antar jenis rumput. Sebagai contoh rumput padang penggembalaan B. decumbens yang tidak memiliki baik stolon maupun rizoma, tetapi menghasilkan basal dan aerial tiller untuk pertumbuhan kembali setelah direnggut (Busque dan Herrero, 2001). Namun demikian dengan tekanan penggembalaan yang berat pada musim kemarau, ternyata kemampuan tumbuh kembali jenis rumput ini di lahan perkebunan kelapa sangat rendah, dibandingkan dengan B . humidicola yang berkembang secara vegetatif dengan stolon dan rizoma(Mullen et al., 1997).

(32)

Fenologi dan Growing degree days (GDD)

Fenologi adalah studi tentang perkembangan tanaman melewati beberapa tahapan pertumbuhan (Butler et al., 2002). Beberapa studi tentang hubungan tahapan perkembangan tanaman dengan thermal time telah dilakukan dengan mengukur tahap perkembangan daun, jumlah daun, dan filokron menunjukkan hasil bervariasi yang disebabkan oleh perbedaan saat pengukuran dimulai. Perbedaan tersebut terjadi karena tidak sama waktu pengukurannya, misalnya waktu semai vs waktu kecambah, demikian juga perbedaan lokasi , temperatur dan panjang hari. Filokron adalah karakteristik morfogenetik yang didefinisikan sebagai interval waktu yang dibutuhkan antara munculnya dua daun yang berurutan dan pengukurannya konstan bila diukur dengan satuan unit panas (Butler et al., 2002; Eggers et al., 2004). Dengan memahami ritme pemunculan daun, ritme pemunculan tajuk baru, disertai dengan variasi penggembalaan, memungkinan untuk menerangkan mengapa terjadi dominasi atau sebaliknya hilangnya jenis tanaman tertentu dari komunitas pastura, yang berdampak pada komposisi botanis pastura.

Fotoperiode dan suhu adalah dua faktor lingkungan penting yang mempengaruhi perkembangan tanaman. Setiap tahapan perkembangan organisme, termasuk tanaman, mempunyai kebutuhan total panas tertentu. Perkembangan dapat diestimasi melalui besarnya akumulasi satuan bahang atau

growing degee-days (GDD). GDD ini dihitung dengan menjumlahkan rataan suhu maksimum dan minimum harian dikurangi dengan suhu dasar. Suhu dasar adalah suhu minimum dimana tanaman dapat bertumbuh (Miller et al., 2001). Adanya hubungan yang erat antara jumlah daun dan GDD mendukung pernyataan bahwa suhu adalah faktor utama yang mengontrol kecepatan munculnya daun pada tanaman rumput (Buttler et al., 2002). Pembentukan sehelai daun melalui beberapa proses di antaranya : pembelahan sel pada tingkat shoot apex

membentuk primordium, pembelahan sel dalam intercalary meristem

(33)

pengembangan sel lebih banyak oleh faktor lain dan bukan saja suhu (McMaster et al., 2003).

Komponen daun merupakan salah satu tolok ukur baik tidaknya satu jenis rumput sebagai pakan. Hal ini berarti kecepatan pemunculan daun dan panjang waktu hidup khususnya fase perkembangan vegetatifnya menjadi sangat penting. Di daerah sub tropis kecepatan pemunculan daun pada jenis rumput bervariasi sesuai dengan waktu/saat tanam, dimana nilai filokron per daun bervariasi dari 60-99 DD, sedangkan perkembangan tajuk bervariasi dari 66-95 DD, dan ini sangat dipengaruhi temperatur (Chauvel et al., 2000). Perkembangan morfologi hijauan pakan dapat digunakan untuk menetapkan saat panen tanaman alfalfa, dan memprediksi kualitas rerumputan musim panas, dan waktu penggembalaan rerumputan musim dingin (Mitchell et al., 2001).

Penggunaan growing degree days yang lazim disingkat degree days (DD) untuk prediksi tahapan perkembangan tanaman lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan hari kalender. Hal ini terjadi karena suhu dapat bervariasi sangat besar sepanjang waktu perkembangan tanaman, sehingga penggunaan

(34)

Defoliasi dan Cadangan Karbohidrat

Kemampuan hijauan untuk bertumbuh kembali setelah defoliasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya tersedia cukup titik tumbuh dan energi cadangan (Wijitphan et al., 2009), dan oleh tingkat perkembangan tanaman pada tahap perkembangan vegetatif yang optimal (Gorder et al., 2005 ). .

Nilai manfaat dari rumput sebagai hijauan pakan, tidak hanya diukur dari produksi biomassa secara potensial dan nilai kecernaan hijauan, tetapi dari produksi riil berupa hasil ternak (Humphreys, 1991). Hal ini sangat berhubungan dengan perubahan struktur dari tajuk, seperti panjangnya lamina/daun , lamanya masa pertumbuhan daun, dan kecepatan munculnya daun. Karakteristik tajuk berupa panjang dan umur lamina, dan jumlah daun per tajuk merupakan karakter spesifik jenis rerumputan, yang ditentukan juga oleh kondisi lingkungan pertumbuhan seperti temperatur dan intensitas defoliasi (Duru dan Ducrocq, 2000) . Karakteristik ini mempengaruhi nilai kecernaan rumput selama proses pertumbuhannya (Root, 2000).

Alokasi penyimpanan karbohidrat bervariasi dan menentukan kemampuan persistensi tanaman. Pada umumnya tanaman rumput yang menyimpan cadangan karbon pada bagian batang kurang persisten, dibandingkan dengan yang menyimpan pada bagian tunggul, akar dan rizoma. Dengan demikian pada kondisi ternaung dianjurkan menggunakan jenis rerumputan pastura dengan sifat tumbuh prostrat (merambat) karena jenis ini berkemampuan mempertahankan titik-titik tumbuh yang lebih banyak dibandingkan jenis rumput dengan sifat tumbuh erect (tegak). Pada rerumputan dengan sifat tumbuh tegak akan lebih banyak bagian tanaman yang rusak setelah direnggut oleh ternak ( Diaz-Filho, 2000). Namun demikian anjuran tersebut tidak berlaku pada tanaman rumput padang penggembalaan dengan sifat tumbuh merambat dan memiliki stolon maupun rizoma (Gueni et al., 2008).

(35)

ternaung. Tanaman yang toleran naungan akan menutup stomata lebih lama, dan memiliki aktifitas ensim fotosintesis yang tinggi serta relatif stabil (Chozin et al., 2000).

Penimbunan cadangan karbohidrat sangat terkait dengan intensitas proses fotosintesis dan tidak terlepas dari jumlah cahaya matahari yang terserap. Konsentrasi karbohidrat siap pakai/ TNC (total nonstructural carbohydrat) pada tanaman pastura lebih banyak bila dipanen petang hari dari pada pagi hari. Hal ini terjadi karena tanaman yang dipanen waktu petang menyimpan lebih banyak gula dan memiliki nilai makan tertinggi. Nilai tersebut terukur pada tingkat preferensi ternak yang tinggi demikian juga efisiensi kecernaan dalam rumen (Downing dan Gamroth, 2007). Meningkatnya konsentrasi TNC dalam hijauan rumput menaikkan nilai energi rumput, dan turut meningkatkan efisiensi rumput untuk produksi susu dan pertambahan berat badan ternak ruminansia.

Frekuensi defoliasi yang terlalu sering dapat mengurangi konsentrasi total karbohidrat mudah larut air pada komponen akar dan crown, yang selanjutnya mengurangi vigorositas dan produktivitas dari tanaman yang terdefoliasi (Sosebee et al., 2004). Hal ini disebabkan karena fungsi dan pertumbuhan akar sangat tergantung pada energi yang tersedia dari hasil fotosintesis. Setelah terdefoliasi, akar berfungsi terus sebagai karbon sink,

(36)

Pada kondisi lingkungan cukup cahaya, rumput B .humidicola dengan sifat tumbuh berstolon, translokasi karbonnya lebih terarah ke kolonisasi horisontal yaitu ke stolon, sedangkan B .brizantha yang tidak memiliki stolon alokasi C diarahkan ke daun dan akar . Cadangan energi pada tanaman yang akan digunakan untuk pertumbuhan kembali, akan berkurang sampai 47% bila tunggul terdefoliasi sampai lebih rendah dari 5 cm di atas permukaan tanah (Meints, et al., 2001). Hal ini disebabkan selain akar dan crown, tunggul juga tempat penyimpanan cadangan energi.

Ketika tanaman mengalami defoliasi, kandungan TNC pada crown dan tunggul pada awalnya menurun sebagai respons terhadap defoliasi, sebab proses fotosintesis dan jaringan dimana tanaman menghasilkan fotosintat terganggu (Diaz-Filho, 2000). Dalam proses pemulihan setelah terenggut berbagai mekanisme berjalan secara bersamaan. Karbon hasil fotosintesis dari tajuk yang

tidak terdefoliasi dialokasikan ke bagian jaringan meristematik aktif dari tajuk yang terenggut untuk pertumbuhan kembali (Flemmer et al., 2002). Selanjutnya diikuti dengan peningkatan aktivitas fotosintesis pada bagian tanaman yang tidak terdefoliasi karena naiknya rasio akar tajuk, yang bersinergi dengan naiknya intensitas penyinaran akibat perubahan mikroklimat pastura (Thornton et al., 2000).

Lahan Perkebunan Kelapa

(37)

pemilikan lahan lebih besar dari 3,5 ha hanya 25% memanfaatkan lahan dengan tanaman sela. Sisanya ditumbuhi gulma, yang sesungguhnya berpotensi untuk di tumpangsari dengan pastura yang tidak memerlukan biaya tenaga kerja yang tinggi. Beberapa karakteristik di bawah ini menunjukkan peluang tumpangsari dengan tanaman kelapa sebagai berikut :

1. Jarak tanam dan konfigurasi penanaman apakah rectangular, square atau triangular, apabila ditanam monokultur hanya sekitar 25% lahan yang digunakan secara efektif (Darwis dan Tarigan, 1990).

Magat (1990) menyatakan bahwa produktivitas lahan maksimum adalah sekitar 280,5 ton BK/ha/tahun (770 kg/ha/hari). Tanaman kelapa dengan hasil 100 butir kelapa/pohon/tahun produktivitas lahan hanya 18,70 ton BK/ha/tahun, atau setara 6,6% dari potensi prduktivitas maksimum. Untuk tanaman kelapa yang menghasilkan 200 butir /pohon/tahun, produktivitas lahan per tahun 35,5 ton bahan kering (BK) / ha, atau setara 12,6% dari potensi produktifitas maksimum.

2. Dari segi morfologi, tanaman kelapa hanya menggunakan kurang dari 30-40 % ruang udara yang tersedia antara kanopi dan tanah.

3. Ditinjau dari keadaan alamiah kanopi daun kelapa dan proporsi radiasi matahari yang menembus permukaan tanah, ternyata tidak semua radiasi matahari terserap oleh kanopi tanaman kelapa, dan masih tersedia sekitar 56% ruang yang dapat dimanfaatkan untuk tumpangsari, walaupun hal ini bervariasi menurut umur dan jarak tanam kelapa (Gambar 2).

4. Kedalaman perakaran kelapa kebanyakan berada antara 30-120 cm pada lapisan tanah dalam radius 2 meter sekitar pohon kelapa, berarti masih tersisa 70-75 % tanah yang tidak atau kurang dimanfaatkan (Gambar 2).

(38)

Manajemen Penggembalaan

Produksi ternak sapi daging dan sapi susu di negara berkembang dengan luas lahan yang terbatas seperti di Eropah, saat ini menjadi perhatian bidang lingkungan hidup karena dianggap bertanggung jawab terhadap kontaminasi sumber air tanah dan udara oleh polutan N dan P. Terlepasnya sejumlah besar N melalui penguapan amonia berasal dari urine, dikenal sebagai salah satu penyebab terjadinya hujan asam, yang dapat menimbulkan kontaminasi nitrat dalam air tanah. Hal yang sama terjadi juga yang terjadi di USA, Australia dan New Zealand (Follett and Reed, 2010). Ternak sapi dan padang penggembalaan juga bertanggung jawab terhadap emisi gas-gas rumah kaca terutama gas metan (CH4)

dan gas N2O.. Diperkirakan kurang lebih 20% emisi gas metan, dan antara 16%

dan 33% gas N2 berasal dari kegiatan pertanian di padang penggembalaan

(Clark et al., 2005). Dilaporkan juga bahwa padang penggembalaan yang menerapkan prinsip manajemen penggembalaan ternak dengan baik, ternyata mampu meningkatkan kandungan karbon ( C ) dalam tanah. Bahkan dilaporkan juga bahwa jika lahan pertanian yang kurang produktif dikonversi menjadi padang penggembalaan dapat meningkatkan 3%-5% karbon organik tanah. Demikian juga jika sistem penggembalaan kontinyu diganti dengan sistem penggembalaan rotasi, dapat mempertahankan tanaman berada pada fase perkembangan vegetatif, karena sistem terakhir ini mampu meningkatkan penangkapan C melalui kecepatan fotosintesis yang tinggi ketika terjadi pertumbuhan kembali setelah terenggut (NCRS, 2006).

(39)

tanah. Selanjutnya dilaporkan bahwa ternak herbivora besar dapat mengontrol ekosistem padang penggembalaan melalui dua mekanisme utama yaitu pertama perenggutan oleh ternak akan menginduksi terjadinya perubahan dalam ekofisiologi tanaman, dan yang kedua adalah ketersediaan unsur nitrogen disebabkan oleh kehadiran ternak ruminant melalui pembuangan kotoran dan air seni (Mikola et al., 2009).

Strategi penggembalaan telah dikembangkan untuk mengontrol waktu penggembalaan, intensitas dan frekuensi perenggutan, dan kesukaan ternak terhadap hijauan untuk mencapai respons optimal yang diinginkan, baik oleh tanaman maupun juga oleh ternak (Mousel et al., 2005). Pada umumnya sistem penggembalaan ternak dianggap memuaskan, apabila hanya terjadi dampak negatif yang minimal terhadap vigoritas tanaman. Selanjutnya vigorisitas tanaman sering diukur secara kuantitatif pada taraf ketersediaan cadangan karbohidrat pada organ tanaman di atas maupun di bawah tanah, yang akan digunakan oleh anakan yang terdefoliasi untuk pemulihan jaringan fotosintesis. Penggembalaan yang tidak teratur pada padang penggembalaan tropis menyebabkan ketersediaan produksi biomassa hijauan yang rendah, sebaliknya banyak tertimbun material bulky yang dapat menghambat akses ternak untuk merumput. Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput. Sebagai contoh jenis limpograss (Hemarthria altissima) dapat memenuhi kebutuhan ternak dan memberi keragaan ternak terbaik pada struktur padang penggembalaan dengan tinggi kanopi 40 cm, sebagai ukuran tinggi tanaman yang ideal untuk direnggut oleh ternak, dengan ditandai suplai hijauan tertinggi (Newman et al., 2002).

(40)

umumnya menunjukkan bahwa antara kedua sistem penggembalaan tidak selalu memberikan hasil berbeda terhadap produksi ternak. Yang menonjol adalah perbedaan stocking rate (SR) atau tekanan penggembalaan yang diterapkan pada kedua sistem penggembalaan tersebut. Walaupun demikian sistem penggembalaan rotasi selalu menunjukkan beberapa keunggulan dibandingkan dengan penggembalaan kontinyu, terutama terkait dengan perbedaan tekanan penggembalaan yang diterapkan pada kedua sistem. Keunggulan tersebut di antaranya adalah pada sistem rotasi dengan tekanan penggembalaan tinggi, memberikan kenaikan hasil susu per induk sapi sebesar 16 %, dibandingkan dengan hanya 4 % pada tekanan penggembalaan rendah, dan produksi susu tersebut lebih rendah pada sistem penggembalaan kontinyu. Selanjutnya keunggulan sistem rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan bernilai gizi, serta lebih disukai ternak (Newman et al., 2002).

Perenggutan mengurangi dengan sangat nyata biomassa rumput yang mati dan rumput kering, sedangkan tanpa perenggutan, 72% dari biomassa tanaman / rumput di atas tanah adalah mulsa dan tanaman kering (Schuman et al., 1999). Rendahnya proporsi mulsa dan material kering pada padang penggembalaan yang digembalai memiliki kecepatan pertukaran CO2 melalui

proses fotosintesis yang tinggi oleh karena penetrasi cahaya yang cukup banyak dapat mencapai bagian tanaman paling bawah yang hijau. Hal ini diikuti pula dengan naiknya suhu iklim mikro dekat permukaan tanah yang merangsang pemunculan tunas-tunas baru (McMaster et al., 2003). Peningkatan tekanan penggembalaan tidak hanya berpengaruh menurunkan jumlah mulsa dan tanaman kering, tetapi juga berpengaruh terhadap siklus nitrogen pada ternak dan tanaman. Dari satu studi yang mempelajari siklus N pada padang penggembalaan

(41)

Manske dan Caesar Ton That (2002) melaporkan bahwa penggembalaan ternak selama 135 hari dengan sistem rotasi dua kali, memberikan pertambahan berat hidup anak sapi sebesar 19,5 kg/acre atau 9,06 kg/ha, sedangkan pada penggembalaan kontinyu hanya 9,5 kg/acre atau 4,41 kg/ha. Dengan sistem penggembalaan rotasi dua kali dalam waktu 135 hari, ternyata jumlah ternak yang dapat digembalakan meningkat lebih tinggi dibandingkan pada sistem penggembalaan kontinyu. Daya tampung ternak dapat meningkat pada sistem rotasi karena sistem tersebut dapat menyediakan biomassa hijauan yang siap direnggut sebanyak 15 % lebih tinggi dari penggembalaan kontinyu sepanjang waktu penggembalaan yang sama (Manske, 2003c). Newman

et al. (2002) melaporkan bahwa sistem penggembalaan rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan bergizi.

Pencapaian penambahan berat badan ternak sapi daging di padang penggembalaan terutama ditentukan oleh jumlah hijauan yang terkonsumsi. Karena itu sistem penggembalaan sapi daging yang efisien adalah bertujuan untuk memaksimumkan jumlah hijauan yang terenggut oleh ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penentu utama hijauan yang terkonsumsi per hari oleh ternak sapi adalah jumlah hijauan setiap renggutan. Jumlah ini ditentukan juga oleh tinggi rendahnya kanopi pastura yang dapat ditentukan oleh tekanan penggembalan (Newman et al., 2002). Di daerah beriklim dingin dilaporkan bahwa berat hidup maksimum sapi daging yang digembalakan secara kontinyu diperoleh pada tinggi kanopi padang penggembalaan antara 8-10 cm. Apabila tinggi tanaman lebih dari ketinggian tersebut karena bertambahnya umur tanaman, maka pertambahan berat hidup ternak sapi mulai menurun karena berkurangnnya nilai kecernaan hijauan rumput (Mayne et al., 2000).

(42)

pertumbuhan akar akan berhenti dalam 24 jam setelah pengambilan 50% atau lebih bagian pucuk tanaman. Selanjutnya kematian dan dekomposisi akar akan terjadi 36 sampai 48 jam setelah tekanan penggembalaan berat sehingga terjadi pengurangan absorbsi unsur hara yang dapat mengancam pemulihan jaringan fotosintesis (Mousel et al., 2005). Hipotesis tersebut berbeda dengan hasil penelitian belum lama ini yang menyatakan bahwa dengan naiknya frekuensi defoliasi dari satu kali, dua kali dan tiga kali pertahun, menghasilkan bahan kering biomassa di atas dan di bawah tanah meningkat. Dilaporkan juga bahwa produksi dan dinamika akar tidak terpengaruh, bahkan konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar meningkat bila frekuensi defoliasi naik dari tiga kali menjadi lima kali setahun (Gittins et al.,2010).

Setelah perenggutan oleh ternak, komponen daun dan bagian hijau dari tanaman yang tertinggal akan terus berfotosintesis, sambil menggunakan fotosintat untuk membentuk jaringan baru pada bagian tanaman di atas tanah. Tanaman juga membangun massa organ batang dan rizoma yang akan menjadi penyimpan fotosintat dalam bentuk karbohidrat mudah larut (Interrante et al., 2009). Stocking rate atau jumlah ternak per satuan luas yang tepat dalam waktu tertentu tidak saja memberikan pengaruh morfologis pada pertumbuhan kembali tanaman, tetapi juga memberikan pengaruh positif pada proses simbiose mutualistis yang terjadi pada lingkungan perakaran rumput. Pengaruh positif ini terjadi bila perenggutan dengan tekanan penggembalaan tersebut diterapkan pada tahap pertumbuhan rumput yang tepat, akan optimal memenuhi kebutuhan biologis tanaman padang penggembalaan ( Gorder et al., 2005).

Konsentrasi protein kasar (PK) pada semua kultivar rumput bahiagrass

(43)

lain menunjukkan hasil yang sejalan, dimana terjadi penurunan kecernaan in vitro bahan organik rumput bahiagrass dari 678 g/kg (67,8%) pada umur 20 hari, menjadi 448 g/kg (44,8%) pada hari ke 50. Demikian juga dengan konsentrasi PK dari 145 g/kg pada umur 20 hari menjadi 97 g/kg pada umur 50 hari. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa untuk mempertahankan keseimbangan produksi BK dan PK rumput tersebut direkomendasikan waktu penggembalaan yang ideal pada umur 30 hari (Haddad et al., 1999). Sebelumnya dilaporkan bahwa rumput B. humidicola mempunyai nilai kecernaan in vitro bahan organik (BO) atau invitrodigestible organic matter (IVDOM) 80 g/kg (8%) lebih tinggi dibandingkan dengan rumput bahiagrass pada umur penggembalaan 21 hari. Kebutuhan hijauan segar akan semakin tersedia dengan bertambahnya umur tanaman, namun sebaliknya kualitasnya akan menurun karena adanya biomassa daun semakin lebat dan mulai terjadi keterbatasan penetrasi cahaya yang diikuti dengan turunnya kecepatan fotosintesis daun (Braga et al., 2008).

Lingkungan Rizosfer dan Pertumbuhan Tajuk Baru

(44)

menaikkan ketersediaan hara tanah yang berasal dari ekskreta ternak, yang kemudian akan merangsang pertumbuhan bakteri tanah. Dalam satu percobaan defoliasi secara reguler menurunkan total biomasa bakteri tanah, tetapi dengan penambahan urine, pertumbuhan bakteri terstimulasi dan populasi meningkat (Dawson et al., 2000). Informasi baru mengatakan bahwa komunitas bakteri lebih banyak berkembang pada kondisi padang penggembalaan dengan tingkat defoliasi sedang pada fase vegetatif (Girma et al., 2007). Ketika tanaman didefoliasi pada tahap perkembangan tersebut eksudat akar yang mengadung glukosa dan asam amino yang optimal, akan menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini terjadi karena tanaman rumput yang terdefoliasi akan melepaskan unsur C melalui eksudat akar, yang pada gilirannya akan merangsang aktivitas mikroorganisme tanah dan reproduksi vegetatif rumput (Gorder et al., 2005).

(45)

Produksi padang penggembalaan dipertahankan oleh adanya daur ulang unsur N dan P yang disebabkan oleh aktivitas mikro organisme tanah, sedangkan pertumbuhan mikro organisme tersebut tergantung pada ketersediaan unsur C rhisosfer. Kurang lebih 30-50 % dari total asimilat karbon pada tanaman rumput ditranslokasii ke struktur tanaman bagian bawah atau perakaran. Secara alamiah dari total asimilat tersebut, 10-15 % digunakan untuk respirasi akar yang menghasilkan energi bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan proses angkutan, sedangkan yang 15-25 % lainnya dilepaskan melalui eksudat akar ke dalam tanah (Kuzyakov, 2002).

Proses biogeokimia yang terjadi dalam lingkungan rizosfer lebih banyak berhubungan dengan proses simbiose mutualistis antara tanaman rumput dan kehidupan mikroorganisme tanah yang berkaitan dengan aliran C dan N (Hamilton dan Frank, 2001). Simbiose ini terlihat lebih sering terjadi pada padang penggembalaan dibandingkan pada lahan yang ditanami tanaman pangan, karena pada tanaman pangan akan dipanen pada tahap reproduksi. Pada fase reproduksi suplai C dari tanaman ke lingkungan rhisosfer sangat menurun karena karbon tersebut lebih diprioritaskan untuk keperluan pembentukan biji, dari pada untuk pertumbuhan vegetatif (Manske et al., 2002; Gorder et a.l, 2005). Pada fase vegetatif, nitrogen terakumulasi pada bagian tajuk dan karbon terakumulasi pada bagian akar dalam keadaan seimbang. Ketika defoliasi atau perenggutan akan terjadi ketidak seimbangan N dan C pada tanaman. Dengan demikian secara otomatis tanaman melepaskan C melalui eksudat akar ke lingkungan rizosfer, sampai keseimbangan tercipta kembali (Kuzyakov, 2002).

(46)

proses pertumbuhan kembali yang cepat tersebut, akan diikuti oleh penggunaan CO2 oleh tanaman lebih cepat dan dalam jumlah banyak sehingga dapat

memberikan kontribusi dalam mengurangi akumulasi CO2 atmosfir sebagai upaya mengatasi ( mitigasi) terjadinya pemanasan global (Zhao et al., 2008).

Gambar 3. Anakan rumput pada tahap perkembangan daun ke 3,5 (Sumber Manske,

(47)

Penggembalaan ternak dapat mempengaruhi interaksi antara vegetasi dan tanah melalui beberapa cara antara lain : (1) mempengaruhi arus karbon rizosfer, diversitas dan aktivitas mikroorganisme tanah, (2) urine dapat mempengaruhi dinamika unsur hara di daerah risosfer dalam hal menaikkan pH tanah, (3) penambahan N dari urine dapat mempengaruhi kompetisi pengambilan unsur hara antara mikroba dan akar rumput. Namun demikian penerapan manajemen penggembalaan yang tepat (Biologically Effective Gazing Management) ternyata dapat memberikan pengaruh positif terhadap lingkungan rhisosfer yang tercermin pada produktivitas padang penggembalaan dan ternak (Gorder et al., 2005). Rumput B. humidicola dilaporkan sangat aktif menghasilkan eksudat akar yang mempunyai kemampuan untuk inhibisi N secara biologis (biological nitrification inhibition) dalam volume yang besar yaitu antara 17 sampai 50 ATU (allylthiourea unit) per gram akar kering per hari (Gambar 5 dan 6). Aktivitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah seperti kelembaban, suhu, tekstur, pH, bahan organik dan populasi mikrobia. Banyak tanaman mempunyai kemampuan asimilasi baik NH4+ maupun NO3- , karena itu proses nitrifikasi

(48)

tidak perlu dominan dalam siklus nitrogen agar supaya terjadi peningkatan efisiensi penggunaan N karena berkurangnya N yang tercuci (CIAT, 2009; Subbarao et al., 2009).

Penggunaan pupuk nitrogen buatan secara keseluruhan dalam kegiatan pertanian pada umumnya diperkirakan kurang lebih 100 Tg (juta mega gram), dan sekitar 70% dari jumlah tersebut hilang melalui proses-proses dalam nitrifikasi (Subbarao et al., 2006a) yang setara dengan 17 miliar US $. Selain itu ditambah lagi dengan biaya yang tidak diketahui dari konsekuensi lingkungan seperti polusi nitrat pada air tanah, eutrofikasi permukaan air dan polusi atmosfir, hujan asam dan pemanasan global (Giles, 2005). Untuk mencegah hilangnya unsur nitrogen tersebut, telah dipasarkan inhibitor sintetik dengan harga yang relatif mahal seperti Nitrapyrin (Subbarao et al., 2006a) dan eco-N (Guss, 2011). Dengan adanya kemampuan Brachialactone yang dihasilkan B. humidicola sebagai bahan untuk penghambat nitrifikasi, substans ini berpeluang untuk digunakan bersama dengan pupuk nitrogen komersial (Ipinmoroti et al., 2008).

Gambar 5. Akar dari B. humidicola yang melepaskan brachialactone yang menghambat nitrifikasi ( Sumber : CIAT 2009).

(49)

Gambar 6. Proses biologi dalam pengaturan penghambatan nitrifikasi dan emisi gas N2O

oleh B .humidicola cv. Tully ( Sumber : CIAT 2009).

(50)

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN VEGETATIF TAJUK BARU RUMPUT Brachiaria humidicola

Growth and Development Characteristics of the New Tiller of Brachiaria

humidicola

ABSTRAK

Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari besarnya kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron, karakteristik pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput B. humidicola. Percobaan ini dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado, mulai April 2008 sampai dengan Juli 2008. Variabel yang diukur adalah satuan bahang harian atau growing degree days (GDD) untuk tanaman tunggal dan untuk tanaman yang tumbuh dalam komunitas, pertumbuhan dan perkembangan vegetatif yang diukur pada jumlah anakan, jumlah buku/stolon dan panjang stolon. Data dianalisis dengan menggunakan rata-rata dan standar deviasi, serta hubungan regesi antara variabel yang diukur dengan waktu tumbuh (minggu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang tumbuh dalam komunitas membutuhkan akumulasi satuan bahang harian 130,44 0C (GDD) lebih banyak dari pada tanaman tunggal 68,19 0C (GDD). Selanjutnya jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon pada tanaman yang tumbuh dalam komunitas berkembang mengikuti persamaan kuadratik terhadap waktu (minggu). Sebaliknya pada tanaman tunggal variabel jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon berkembang mengikuti persamaan regesi linier.

Kata kunci : satuan bahang, filokron, buku, stolon, anakan

ABTRACT

The aims of the study were to determine the requirements of heat unit to produced one phylochron of B. humidicola and to find-out the gowth and development characteristics of this grass. The experiment was conducted at coconut research center area (BALITKA) Manado since April 2008 until July 2008. The variables consisted of Growing degree days (GDD) for individual plant and plants were grown in community, growth and development based on the numbers of tillers, numbers of nodes, and length of stolon. Data were calculated with simple analysis of the mean and the standard deviations, and the regesion equations.The results shows that plants grown in the community needs heat unit at 130.44 0C day (GDD) , higher than those grown individually needs heat unit at 68.19 0C day. Furthermore, the numbers of tillers, the numbers of nodes and the lenght of stolon developed quadratically for the plants grown in community, while the plant grown individully developed linierly againt time (week).

Gambar

Gambar                                                                                                        Halaman
Gambar 1.  Tahapan  penelitian  dan  keterkaitan  antar  percobaan.
Gambar 3.  Anakan rumput pada tahap perkembangan daun ke 3,5 (Sumber Manske,
Gambar 5. Akar dari B.  humidicola yang melepaskan brachialactone yang menghambat  nitrifikasi ( Sumber : CIAT 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun, sampai saat ini para perempuan tersebut tidak dianggap sebagai nelayan yang mengakibatkan mereka tidak bisa mendapatkan asuransi kesehatan dan akses untuk meminjam

Rencana tindakan untuk peningkatan aspek kelembagaan juga dapat dilakukan dengan program pelatihan yang dilakukan oleh unit kerja Bidang Cipta Karya, untuk

Adat merupakan sebuah wujud dari kebudayaan yang lahir dan berproses dalam kehidupan masyarakat, sehingga adat dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat

Setelah user login pada bagian kanan atas laman akan ditampilkan kolom tahun dan jabatan (posisi pegawai), default dari nilai tersebut adalah tahun dan jabatan yang ada

Pendapat tersebut ternyata sesuai dengan apa yang terjadi di Primkopkar “Manunggal” Salatiga, yaitu disiplin berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan yang berarti

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan uji Anova menggunakan tabel F untuk mengetahui adanya pengaruh hasil ekstraksi daun

Sistem pengelolaan data dan arsip di Radio Global 101.0 FM yang dikelola oleh bagian administrasi memiliki manajemen yaitu berdasarkan kegiatan atau event pada

Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya dituangkan dalam anggaran. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh partisipasi anggaran dan asimetri