• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik protein dan asam amino daging rajungan (Portunus pelagicus) akibat pengukusan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik protein dan asam amino daging rajungan (Portunus pelagicus) akibat pengukusan"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO DAGING

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PENGUKUSAN

LENNI ASNITA BR LINGGA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

RINGKASAN

LENNI ASNITA BR LINGGA. C34070021. Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan NURJANAH.

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan anggota kelas Crustacea yang menjadi salah satu komoditas ekspor penting dari Indonesia selain udang dan kepiting. Rajungan termasuk komoditas ekspor penting karena memiliki daging yang sangat enak dan dapat diolah menjadi berbagai macam masakan sehingga sangat diminati oleh para pecinta seafood. Rajungan biasanya diekspor dalam bentuk rajungan beku tanpa kepala dan kulit serta dalam bentuk olahan (kemas dalam kaleng). Pengukusan merupakan tahap awal yang penting dalam industri pengalengan rajungan untuk menjamin mutu daging rajungan yang akan dimasukkan ke dalam kaleng. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG), komposisi dan jumlah

asam amino serta analisis histologi daging rajungan akibat pengukusan. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi pengambilan sampel

rajungan di Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat, penentuan ukuran (panjang dan tinggi) dan bobot, rendemen tubuh (daging, jeroan, cangkang) dan pengukusan. Analisis kimia yang dilakukan pada daging rajungan, yaitu analisis proksimat, protein

larut air, protein larut garam dan asam amino serta analisis histologi. Nilai rendemen cangkang, daging dan jeroan rajungan segar berturut-turut adalah

(4)

KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO DAGING

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PENGUKUSAN

LENNI ASNITA BR LINGGA C34070021

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

SKRIPSI

Judul : Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan.

Nama : Lenni Asnita Br Lingga

NRP : C34070021

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. Dr. Ir. Nurjanah, MS NIP. 19591013 198601 2 002 NIP. 19591127 198601 1 005

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan”. Penulisan skripsi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan

dan dorongan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1 Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb. Dipl.-Biol. dan Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi

ini.

2 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi

Hasil Perairan.

3 Ir. Djoko Poernomo, B.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah

banyak membimbing penulis.

4 Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan

saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.

5 Seluruh dosen, pegawai dan tenaga kependidikan Departemen Teknologi

Hasil Perairan atas bantuannya selama ini.

6 Bapak dan Mamaku tercinta yang telah memberikan semangat, dukungan

moril dan materi serta cinta yang luar biasa kepada penulis.

7 Saudara-saudaraku tercinta (kak Vera, Bang Anton, Bang Dinand, dek siska,

dek Epit) yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian dan doa kepada penulis serta kepada ponakanku tersayang “Dinara” yang telah memberikan keceriaan kepada penulis selama menulis skripsi ini.

8 Laboran, yaitu Ibu emma, Mbak silvi, Pak Ranta, Pak Ian yang telah

(7)

9 Teman-teman THP 44 untuk kebersamaan, keceriaan, bantuan dan canda

tawa selama 3 tahun bersama di THP dan selama pelaksanaan penelitian.

10 Teman-teman ”tim karakteristik” atas kebersamaan dan bantuan selama

melaksanakan penelitian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat

diharapkan.

Bogor , Juli 2011

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Berastagi, pada tanggal 14 September

1988, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari Bapak

Oloan Lingga dan Ibu Tiarma Basaria Br Sipayung. Penulis

memulai jenjang pendidikan formal di TK Letjend Djamin

Ginting Berastagi dan lulus pada tahun 1995,

kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Letjend Djamin

Ginting Berastagi dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari

SMP Negeri 1 Berastagi, setelah itu penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas

di SMA Negeri 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun 2007.

Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Hasil

Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama

menjalani pendidikan akademik penulis aktif sebagai asisten luar biasa praktikum

mata kuliah Iktiologi pada tahun 2009/2010, Teknologi Pengolahan Tradisional

Produk Perikanan 2010/2011, dan Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan

2010/2011.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

(9)

DAFTAR ISI

2.1 Rajungan (Portunus pelagicus) ... 3

2.1.1 Klasifikasi serta deskripsi morfologi dan anatomi ... 3

2.1.3 Komposisi kimia dan pemanfaatan... 5

2.2 Protein ... 5

2.3 Asam Amino ... 8

2.4 Pengukusan ... 12

2.5 High Performance Liquid Chromathography (HPLC) ... 14

3 METODOLOGI ... 16

3.3.3.2 Analisis protein larut air dan garam (Wahyuni 1992) ... 21

3.3.3.4 Analisis asam amino (AOAC 1999) ... 22

3.3.4 Analisis histologi daging rajungan (Parafin) ...24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) ... 26

4.2 Rendemen Rajungan ... 27

4.3 Hasil Analisis Kimia ... 29

4.3.1 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam ... 29

4.3.2 Komposisi asam amino ... 35

4.4 Histologi Daging Rajungan ... 42

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA………46

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan ... .5

2 Kebutuhan manusia akan protein dan daging ikan ... ……….6

3 Asam amino esensial ... ……..10

4 Asam amino non esensial ... ……..11

5 Ukuran panjang dan bobot rajungan ... ……..26

6 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam ... ……..29

7 Perbandingan asam amino daging rajungan segar ... ……..37

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Rajungan (Portunus pelagicus)………. ... 3

2 Struktur umum asam amino ... 8

3 Asam amino konfigurasi Ldan D ... 9

4 Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon ... 16

5 Diagram alir metode penelitian ... 17

6 Rajungan secara dorsal dan ventral ... 26

7 Persentase rendemen rajungan segar ... 27

8 Kromatogram asam amino ... 36

9 Histogram kadar asam amino esensial daging rajungan ... 39

10 Histogram kadar asam amino non esensial daging rajungan ... 41

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil Pengujian analisis proksimat daging rajungan………..51

2 Data protein larut air (PLA) daging rajungan……… ... 54

3 Data protein larut garam (PLG) daging rajungan……….. ... 55

4 Retention time asam amino……… ... 56

5 Data komposisi asam amino daging rajungan ……….. ... 56

(13)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas mengandung sumber daya alam

perikanan yang sangat berlimpah. Salah satu hasil perikanan yang sangat populer

adalah kelas Crustacea. Komoditas ekspor yang potensial dari kelas Crustacea

adalah udang, kepiting dan rajungan. Rajungan termasuk komoditas ekspor karena

memiliki daging yang sangat enak dan dapat diolah menjadi berbagai macam

masakan sehingga hewan ini sangat diminati para pecinta seafood (Tangko dan Rangka 2009).

Rajungan merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang mempunyai

nilai ekonomis penting di Indonesia. Beberapa spesies rajungan yang memiliki

nilai ekonomis adalah Portunus trituberculatus, Portunus gladiator, Portunus sanguinus, Portunus hastatoides dan Portunus pelagicus. Sebagian besar rajungan diekspor dalam bentuk beku tanpa kepala dan kulit serta dalam bentuk olahan

(kemas dalam kaleng). Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP 2005)

melaporkan bahwa ekspor rajungan beku sebesar 2.813,67 ton tanpa cangkang,

dan rajungan tidak beku (bentuk segar maupun dalam kaleng) sebesar 4.312,32

ton. Sebanyak 60% produksi rajungan dari Indonesia diekspor ke Amerika,

sedangkan sisanya diekspor ke beberapa negara tujuan ekspor lainnya yakni

Singapura, Jepang, Belanda dan Eropa (Tangko dan Rangka 2009).

Daging rajungan jantan dan betina masing-masing memiliki kandungan

protein 16,85% dan 16,17%, kandungan lemak masing-masing 0,10% dan 0,35%,

kandungan air sebesar 78,78% dan 81,27% serta kandungan abu sebesar 2,04%

dan 1,82% (BBPMHP 1995). Protein yang terdapat dalam daging rajungan

disusun oleh asam amino esensial dan non esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.

Pengukusan merupakan salah satu tahap penting dalam pengolahan rajungan.

Pengukusan merupakan tahap awal yang penting untuk menjamin mutu daging

rajungan yang akan dimasukkan ke dalam kaleng. Tujuan proses pengukusan

(14)

mutu, memudahkan pengambilan daging rajungan, meningkatkan cita rasa serta

meningkatkan tekstur daging (Purwaningsih et al. 2005).

Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging rajungan dapat menyebabkan

perubahan fisik dan komposisi kimia daging rajungan. Pengaruh lama pemanasan

perlu diperhatikan terhadap komponen gizi yang terdapat dalam hasil perikanan.

Beberapa studi menunjukkan bahwa proses pemanasan mempengaruhi kadar air,

protein, lemak dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Pemanasan dapat

menyebabkan terjadinya koagulasi protein yaitu hasil denaturasi protein pada suhu

tinggi (Winarno 2008).

Informasi mengenai akibat pemanasan terhadap karakteristik rajungan terbatas

pada proksimat, umur simpan, nilai TPC serta kualitas daging rajungan. Padahal

dalam industri pengalengan daging rajungan, pengukusan selalu dilakukan untuk

mempertahankan mutu daging rajungan. Hingga saat ini belum ada informasi

akibat pengukusan terhadap kualitas protein dan asam amino pada daging

rajungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

kandungan protein dan asam amino pada daging rajungan guna memperoleh data

komposisi protein dan asam amino daging rajungan setelah pengukusan.

1.2Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen,

proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), protein larut air (PLA),

protein larut garam (PLG) dan kandungan asam amino serta analisis histologi

(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rajungan (Portunus pelagicus)

Portunus pelagicus tergolong hewan crustacea. Crustacea merupakan hewan yang dapat hidup di perairan tawar, laut dan darat. Kemampuan crustacea hidup di berbagai habitat disebabkan oleh badannya yang bersendi-sendi, sehingga

mudah berjalan dan berenang dengan cepat. Kulit crustacea yang keras dan berduri menyebabkan kelas crustacea kurang disukai oleh predator (Suwignyo et al. 1998).

2.1.1 Klasifikasi serta deskripsi morfologi dan anatomi

Portunus pelagicus termasuk ke dalam filum arthropoda dan kelas crustacea. Tubuh crustacea dapat dibedakan menjadi kepala, thorax dan abdomen. Tubuh

crustacea seperti halnya arthropoda lain dilapisi kutikula dan biasanya mengandung zat kapur dengan organ pernafasan insang (Suwignyo et al. 1998). Contoh rajungan dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Saanin (1984) diacu

dalam DKP (2004) klasifikasi rajungan adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Sub kelas : Malacostraca

Ordo : Eucaridae

Sub ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus

(16)

Portunus pelagicus bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri. Perbedaan antara hewan jantan dan betina sangat terlihat pada

rajungan. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya

lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan

jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan

betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram.

Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa

(Suwignyo et al. 1998).

Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang

sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan

yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya

terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan

antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki

jalan, yang pertama ukurannya cukup besar dan disebut capit yang berfungsi

untuk memegang dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sepasang kaki

terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih

dan membundar seperti dayung, sehingga rajungan digolongkan ke dalam

kelompok kepiting berenang (swimming crab) (Suwignyo et al. 1998).

Rajungan merupakan binatang yang aktif, namun ketika sedang tidak aktif

atau dalam keadaan tidak melakukan pergerakan, rajungan akan diam di dasar

perairan sampai kedalaman 35 meter dan hidup membenamkan diri dalam pasir di

daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu karang tetapi sekali-kali dapat juga

terlihat berenang dekat permukaan. Rajungan akan melakukan pergerakan atau

migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur dan menyesuaikan diri pada

suhu dan salinitas perairan (Nontji 1993 diacu dalamIndriyani 2006).

Rajungan sering berganti kulit secara teratur. Kulit kerangka tubuhnya terdiri

dari bahan berkapur dan karenanya tidak terus bertumbuh. Jika ia akan tumbuh

lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar individu

yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak.

2.1.2 Komposisi kimia dan pemanfaatan

Daging kepiting dan rajungan memiliki nilai gizi yang tinggi. Berdasarkan

(17)

digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu golongan kandungan lemak rendah

(kurang dari 2-3%), golongan berlemak medium (2-5%) dan golongan berlemak

tinggi dengan kandungan lemak antara 6-10%. Rajungan (crab), oyster, udang, ikan mas, ekor kuning, lemuru dan salmon termasuk golongan berlemak medium

(sedang) (Winarno 1993). Komponen gizi daging rajungan dipengaruhi oleh

musim, ukuran rajungan, kematangan gonad, suhu dan ketersediaan bahan

makanan (Sudhakar et al. 2009).

Komposisi proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina

dapat dilihat pada Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa kandungan protein

dan lemak daging rajungan lebih tinggi dari pada daging kepiting.

Tabel 1 Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan

Jenis komoditi Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)

Kepiting (Jantan) 11,45 0,04 80,68 2,45

Kepiting (Betina) 11,90 0,28 82,85 1,08

Rajungan (Jantan) 16,85 0,10 78,78 2,04

Rajungan (Betina) 16,17 0,35 81,27 1,82

Sumber : BBPMHP (1995)

Rajungan banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi manusia dan

sebagai salah satu sumber protein hewani. Rajungan biasanya tersedia dalam

bentuk segar, beku dan bentuk olahan daging rajungan dalam kaleng yang kaya

akan protein. Tangko dan Rangka (2009) menyatakan bahwa cangkang dan kepala

rajungan dapat dibuat kitosan yang bisa berfungsi sebagai bahan pengawet.

2.2 Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena

zat ini berfungsi sebagai bahan bakar serta zat pembangun dan pengatur (Winarno

2008). Berdasarkan sumbernya, protein terbagi menjadi dua, yaitu protein hewani

yang berasal dari hewan dan protein nabati yang berasal dari tumbuhan. Protein

hewani memiliki mutu lebih baik bila dibandingkan dengan protein nabati, namun

protein hewani lebih mahal.

Fungsi protein sebagai zat pembangun adalah sebagai pembentuk

jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh. Proses pembentukan jaringan-jaringan

(18)

membentuk jaringan janin dan pertumbuhan embrio pada masa kehamilan. Protein

juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang perlu dirombak.

Protein juga dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi

tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur

berbagai proses tubuh dengan membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh.

Protein mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah, yaitu

dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari

jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno 2008).

Kebutuhan setiap manusia akan protein sangat bervariasi, tergantung umur,

jenis kelamin, keadaan fisik dan aktivitas yang dilakukan (Adawyah 2007). Orang

dewasa memerlukan kira-kira 1 gram protein untuk setiap kg berat badan. Protein

dibutuhkan lebih banyak selama periode pertumbuhan, misalnya anak-anak usia

5-6 tahun membutuhkan kira-kira 2 gram untuk setiap kg berat badan. Wanita

memerlukan lebih banyak protein dalam susunan makanannya selama hamil dan

menyusui, karena harus memenuhi kebutuhan bayinya disamping keperluan

tubuhnya sendiri. Tubuh kehilangan sejumlah protein setelah sakit atau menjalani

operasi, sehingga kebutuhan energi dinaikkan sampai 14% dari seluruh asupan

energi (Gaman 1998).

Kandungan protein pada daging ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan

dengan hewan darat. Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan

protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Kebutuhan protein dan jumlah

daging ikan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein pada manusia

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kebutuhan manusia akan protein dan daging ikan

Keadaan Manusia Tingkat Kebutuhan (g/orang/hari)

Kekurangan protein bisa menimbulkan penyakit pada manusia. Kekurangan

(19)

badan, sedangkan pada orang dewasa kekurangan protein mempunyai gejala yang

kurang spesifik (Winarno 2008). Kekurangan protein dapat mengakibatkan

timbulnya penyakit kwashiorkor, busung lapar, menurunnya tingkat kecerdasan

terutama pada anak-anak, terganggunya pertumbuhan mata, kulit, dan tulang

bahkan dapat menyebabkan kematian (Adawyah 2007).

Protein pada daging ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril,

sarkoplasma dan stroma. Komposisi ketiga jenis protein pada daging ikan terdiri

dari 65-75% miofibril, 20-30% sarkoplasma dan 1-3% stroma. Protein tersebut

sangat mudah mengalami kerusakan atau denaturasi yang disebabkan oleh proses

pengolahan (Okuzumi dan Fujii 2000)

1) Protein miofibril

Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging komoditas

hasil perairan dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam (PLG)

(Junianto 2003). Penyusun utama PLG adalah miosin (sebesar 50-60% dari total

PLG), aktin (hampir 20% dari total PLG) serta protein regulasi (tropomiosin,

troponin dan aktinin). Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan

elastisitas gel protein (deMan 1997).

Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak

dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (0,5 M). Protein

miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran pH 6,5 yang berdampak pada

kemampuan pembentukan gel (Suzuki 1981). Protein yang larut dalam larutan

garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut

dalam air (Junianto 2003).

2) Protein sarkoplasma

Sarkoplasma atau protein larut air (PLA) sebagai protein terbesar kedua dalam

jaringan daging hasil perikanan. Protein sarkoplasma atau miogen terdiri dari

albumin, mioalbumin, dan mioprotein (Junianto 2003). Protein sarkoplasma tidak

berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan mengganggu proses

pembentukan gel (Suzuki 1981). Sarkoplasma memiliki bobot molekul yang

relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik

fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang

(20)

Protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan

mempunyai kapasitas pengikatan air yang rendah. Kandungan protein

sarkoplasma pada komoditas hasil perairan bervariasi berdasarkan spesiesnya.

Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah

mioglobin, yang terdiri dari dua komponen, yaitu fraksi protein yang disebut

globin dan fraksi non protein yang disebut heme. Protein ini bertanggung jawab

dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).

3) Protein stroma

Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma

tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali, atau larutan garam netral pada

konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Protein

kontraktil misalnya konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak. Kolagen dan

elastin merupakan komponen penyusun protein stroma (Suzuki 1981).

2.3 Asam Amino

Protein tersusun dari berbagai asam amino yang masing-masing dihubungkan

dengan ikatan peptida. Protein yang dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim

akan menghasilkan campuran asam-asam amino. Asam amino terdiri dari sebuah

gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang

terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α. Gugus R merupakan

rantai cabang yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya

(Winarno 2008). Struktur asam amino secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.

COOH (gugus karboksil)

H C R (gugus radikal)

NH2 (gugus amino)

Gambar 2 Struktur umum asam amino (Almatsier 2006).

Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang

berbeda, maka molekul asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi L

(21)

apabila gugus –NH2 terdapat di sebelah kiri atom karbon α dan bila posisi gugus

-NH2 disebelah kanan, maka molekul asam amino itu disebut asam amino

konfigurasi D (Lehninger 1990). Asam amino konfigurasi L dan D dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 3 Asam amino konfigurasi L (kiri) dan D (kanan) (Lehninger 1990).

Asam amino larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik non polar,

misalnya eter, aseton dan kloroform. Asam amino biasanya diklasifikasikan

berdasarkan sifat kimia rantai samping tersebut menjadi empat kelompok. Rantai

samping dapat membuat asam amino bersifat asam lemah, basa lemah, hidrofilik

jika polar dan hidrofobik jika nonpolar (Lehninger 1990).

Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk ion

dipolar atau disebut juga ion zwitter. Asam amino dipolar mengandung gugus

amino dengan tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat

ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH (Winarno 2008).

Asam amino yang terdapat di alam lebih dari 100 jenis, tetapi yang digunakan

dalam biosintesis biokimia hanya 20 jenis. Asam amino tersebut dibagi dalam dua

kelompok yaitu asam amino esensial dan asam amino non-esensial. Asam amino

esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan

dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi

dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air,

namun tidak larut dalam pelarut organik non polar (Sitompul 2004).

1) Asam amino esensial

Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibuat dalam

tubuh dan harus diperoleh dari makanan sumber protein yang disebut juga asam

amino eksogen. Asam amino seringkali disebut dan dikenal sebagai zat

pembangun yang merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Jenis asam

(22)

Tabel 3 Asam amino esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Histidin His 155,2

beberapa asam amino esensial, diuraikan sebagai berikut:

Triptofan adalah prekursor vitamin niasin dan pengantar serotonin saraf.

Metionin memberikan gugus metal guna sintesis kolin dan kreatinin serta sebagai

prekursor sistein dan ikatan yang mengandung sulfur lainnya. Fenilalanin

merupakan prekursor tirosin, dimana tirosin sendiri berperan dalam pembentukan

pigmen kulit dan rambut. Arginin dan sentrulin terlibat dalam sintesis ureum

dalam hati (Almatsier 2006).

Histidin merupakan asam amino yang bermanfaat baik untuk mendorong

pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Histidin merupakan

asam amino yang esensial bagi perkembangan bayi, tetapi tidak diketahui pasti

apakah dibutuhkan oleh orang dewasa (Linder 1992).

Lisin merupakan asam amino yang bersifat basa karena mengandung gugus

-NH (Lehninger 1990). Lisin merupakan bahan dasar antibodi darah dan

memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal

bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen. Treonin

merupakan asam amino yang mempunyai rantai cabang gugus alifatik hidroksil

(Winarno 2008).

Leusin, valin dan isoleusin merupakan jenis asam amino esensial alifatik

yang memiliki rantai cabang terdiri atas hidrokarbon dan mempunyai sifat kimia

yang hampir sama (Almatsier 2006). Leusin merupakan asam amino yang

berperan dalam menjaga sistem imun tubuh (Edison 2009). Valin merupakan

(23)

Kekurangan asam amino ini dapat menyebabkan kehilangan koordinasi otot dan

tubuh menjadi sangat sensitif terhadap rasa sakit (Edison 2009).

2) Asam amino non esensial

Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat dibuat dalam tubuh

disebut juga asam amino endogen (Winarno 2008). Beberapa asam amino non

esensial dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Asam amino non esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Alanin Ala 89

manfaat yang baik untuk makhluk hidup. Manfaat dari beberapa asam amino non

esensial diuraikan sebagai berikut.

Tirosin merupakan asam amino yang mempunyai gugus fenol dan bersifat

asam lemah. Asam amino ini dapat diperoleh dari kasein, yaitu protein utama

yang terdapat dalam keju dan susu. Tirosin memiliki beberapa manfaat, yaitu,

dapat mengurangi stress, anti depresi, serta detoksifikasi obat dan kokain

(Linder 1992). Asam glutamat dapat diperoleh dari glutamin. Gugus amida yang

terdapat pada molekul glutamin dapat diubah menjadi gugus karboksilat melalui

proses hidrolisis dengan asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk

menahan keinginan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka

pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam emosi (Linder 1992),

Asam glutamat juga bermanfaat sebagai prekursor pengantar saraf gamma

amino-asam butirat (Almatsier 2006).

Glisin dan alanin merupakan asam amino alifatik yang rantai cabangnya

terdiri atas hidrokarbon. Glisin mampu mengikat bahan-bahan toksik di dalam

tubuh dan mengubahnya menjadi bahan yang tidak berbahaya (Almatsier 2006).

(24)

glukosa menjadi energi tubuh, sedangkan asam aspartat bermanfaat untuk

penanganan pada kelelahan kronis dan peningkatan energi (Linder 1992).

Asam amino serin berfungsi membantu pembentukan lemak pelindung

serabut syaraf (myelinsheaths). Serin sangat penting dalam metabolisme lemak

dan asam lemak, pertumbuhan otot dan kesehatan sistem imun serta membantu

produksi antibodi dan immunoglobulin (Linder 1992).

Sistin dihasilkan bila dua molekul sistein berikatan kovalen sebagai

jembatan disulfida atau ikatan disulfida. Sistin digunakan sebagai prekursor

taurin. Sistin berperan pada struktur beberapa protein fungisional seperti pada

hormone insulin, imunoglobin sebagai antibodi dan keratin yang ditemukan pada

rambut, kulit dan kuku (Hawab 2007).

2.4 Pengukusan

Pemanasan merupakan perlakuan suhu tinggi yang diberikan pada suatu bahan

pangan yang bertujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme yang ada di

dalam bahan pangan. Perlakuan-perlakuan pemanasan biasanya dikombinasikan

dengan perlakuan lainnya untuk mencegah rekontaminasi oleh mikroorganisme

(Tamrin dan Prayitno 2008).

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan dengan

menggunakan banyak air, tetapi air tidak bersentuhan langsung dengan produk.

Bahan makanan dibiarkan dalam panci tertutup dan dibiarkan mendidih.

Pengukusan sebelum penyimpanan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam

bahan baku sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Suhu air pengukusan yang

digunakan harus lebih dari 66 0C tetapi kurang dari 82 0C (Harris dan Karmas

1989).

Pengukusan akan berpengaruh pada komponen gizi yang terdapat dalam bahan

makanan. Besarnya perubahan zat gizi akibat proses pengukusan tergantung dari

cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus. Keragaman susut zat gizi

diantara berbagai cara pengukusan terutama terjadi akibat degradasi oksidatif.

Proses pengolahan dengan pengukusan memiliki susut gizi yang lebih kecil

dibandingkan dengan perebusan (Harris dan Karmas 1989).

Pemanasan pada proses pengukusan kadang-kadang tidak merata karena

(25)

berlebihan, sementara di bagian tengah mengalami pengukusan sedikit.

Pengukusan sebaiknya dilakukan setengah matang untuk produk-produk sayuran.

Hal ini akan membuat sayuran tetap renyah dan mengurangi kerusakan vitamin

yang terkandung didalamnya. Produk-produk hewani misalnya daging, telur dan

ikan sebaiknya dimasak sampai matang, karena kondisi setengah matang atau

kurang matang akan menimbulkan ancaman keamanan pangan (Tamrin dan

Prayitno 2008).

Pengukusan juga sering dilakukan dalam industri mendahului proses

pengalengan bahan makanan. Tujuannya hanya untuk menonaktifkan enzim,

bukan untuk membunuh mikroba sehingga perubahan warna, cita rasa atau nilai

gizi yang tidak dikehendaki selama proses penyimpanan dapat dicegah (Tamrin

dan Prayitno 2008).

Pengukusan tradisional dilakukan menggunakan air panas atau uap panas

sebagai medium penghantar panas. Faktor yang mempengaruhi susut gizi selama

pengukusan dengan air adalah faktor yang mempengaruhi pemindahan massa

yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air.

Beberapa metode pengukusan yang sering digunakan yaitu, pengukusan dengan

uap panas, pengukusan dengan gelombang mikro dan pengukusan dengan gas

panas (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air yang

lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena adanya

pemanasan yang merata hampir di seluruh bagian bahan. Pengukusan

konvensional menyebabkan bagian tepi bahan akan mengalami pengukusan yang

berlebihan, sedangkan pada bagian tengah hanya mengalami pengukusan yang

sedikit (pengukusan tidak merata) (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan dengan gelombang mikro telah diterapkan untuk produk

makanan. Metode ini dipakai karena energi gelombang mikro tidak

mempengaruhi peningkatan degradasi komponen makanan secara langsung selain

melalui peningkatan suhu. Metode ini memiliki retensi zat gizi yang lebih besar

dibandingkan dengan metode pengukusan menggunakan air panas dan uap panas,

(26)

Pengukusan dengan gas panas juga telah dikembangkan, terutama untuk

mengurangi efluen yang timbul selama pengukusan. Suhu yang digunakan

mencapai 121 0C namun suhu produk tidak akan melampui 100 0C karena terjadi

penguapan cairan di permukaan. Produk yang dikukus menggunakan air panas

atau gas panas tidak memiliki perbedaan nyata dari kandungan gizinya

(Harris dan Karmas 1989).

2.5 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Kualitas suatu protein dapat ditentukan dengan mengetahui kandungan asam

aminonya. Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan

menghasilkan campuran asam-asam amino (Winarno 2008). Asam-asam amino

esensial harus ada dalam jumlah yang cukup dalam makanan supaya aktivitas

metabolisme tubuh tetap terjaga secara optimal (Buckle et al. 1978). Analisis asam amino bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah asam amino yang

terkandung dalam suatu protein bahan pangan.

Analisis asam amino ini sangat diperlukan, misalnya untuk menganalisis hasil

industri makanan, makanan ternak, obat-obatan, analisis cairan biologi dan

hidrolisat protein. Cara analisis asam amino yang masih lazim digunakan sampai

saat ini adalah kromatografi dengan berbagai macam teknik misalnya

kromatografi kertas, lapisan tipis, dan kolom (Rediatning dan Kartini 1987).

Akhir-akhir ini analisis asam amino menggunakan kromatografi cair dengan

kinerja tinggi atau yang dengan istilah lebih dikenal High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Muchtadi 1989). Komponen utama alat yang dipakai dalam HPLC antara lain: reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor,

kolom, detektor dan rekorder (Adnan 1997).

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan alat yang bermanfaat untuk menganalisis komposisi gizi bahan pangan secara kualitatif dan

kuantitatif (Pomeranz dan Meloan 2000). HPLC memiliki dua fase, yaitu fase

diam dan fase stasioner. Pelarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase

stasioner. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses

migrasi diferensial dimana komponen-komponen sampel ditahan secara selektif

(27)

Pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam HPLC adalah air, metanol,

asetomitril, kloroform dan pelarut-pelarut lain yang memiliki viskositas yang

rendah (Pomeranz dan Meloan 2000). Tahap awal yang dilakukan sebelum

dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi, yaitu pembuatan hidrolisat

protein yang bertujuan untuk memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis

asam atau basa. Hidrolisis asam yang umum digunakan yaitu HCl 6 N yang

menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit juga kerusakan terjadi pada serin

dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak

merusak triptofan tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain (Nur et al. 1992). Contoh Gambar HPLC bisa dilihat pada Lampiran 1.

(28)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat (1) Lokasi pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan di Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon,

Jawa Barat. Desa Gebang Mekar merupakan salah satu desa pantai yang berada di

kecamatan Babakan, berada di wilayah timur Cirebon. Secara geografis Desa

Gebang Mekar berada pada posisi 108o43’5” BT dan 6o49’ LS dan dapat

ditempuh dengan menggunakan angkutan darat 1-2jam perjalanan dari pusat kota

Cirebon. Lokasi Desa Gebang Mekar disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon

(2) Tempat penelitian utama

Penelitian utama dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2011

bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan,

Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia

Hasil Perairan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan dan

Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu rajungan dengan

panjang rata-rata 11-13 cm, tidak dalam keadaan baru berganti cangkang dan

tidak sedang bertelur. Akuades, H2SO4, NaOH, HCl dan pelarut heksana (analisis

proksimat), akuades dan NaCl (analisis PLA dan PLG), HCl, buffer kalium borat,

(29)

buffer natrium asetat (analisis asam amino), larutan Bouin’s, alkohol, xylol,

parafin, pewarna haematoxilin dan eosin (analisis histologi).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat bedah, termometer,

mortar, timbangan digital dan timbangan analitik, cawan porselen, oven,

desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung Kjeldahl, destilator, buret,

tabung sokhlet, pemanas, tanur, sentrifuse, syringe dan HPLC merk Shimadzu, mikrotom, mikroskop cahaya merk Olympus CH30 dan kamera digital merk

canon.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian tahap 1 dan tahap 2.

Penelitian tahap 1 dilakukan dengan melakukan survei/sampling bahan baku ke

lapangan untuk memperoleh informasi tentang rajungan. Rendemen rajungan

ditentukan sebelum dan setelah dilakukan pengukusan. Penelitian tahap 2

(30)

3.3.1 Persiapan contoh

Rajungan segar yang diperoleh dari Desa Gebang Mekar, Cirebon dibawa

menggunakan coolbox dan diberi es untuk menjaga kesegarannya. Rajungan diangkut ke Bogor dengan perjalanan lebih kurang enam jam. Preparasi sampel

diawali dengan pencucian rajungan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan

untuk membersihkan kotoran yang melekat pada rajungan. Rajungan yang sudah

bersih kemudian diukur morfometriknya menggunakan penggaris dengan ukuran

30 cm. Penentuan panjang rajungan dilakukan dengan mengukur bagian cangkang

dari kiri ke kanan rajungan secara dorsal dari ujung duri terpanjang, sedangkan

penentuan tinggi dengan cara mengukur bagian ujung cangkang rajungan dari atas

ke bawah bagian cangkang yang tertinggi.

Rajungan yang telah diukur dibagi menjadi dua bagian, yaitu rajungan segar

dan kukus. Pengukusan dilakukan dengan cara memasukkan rajungan ke dalam

panci berisi air yang telah dipanaskan mencapai suhu 70 0C. Pengukusan

dilakukan selama 28 menit, kemudian rajungan didinginkan selama 30 menit

(Purwaningsih et al. 2005), sebelum dan sesudah pengukusan dilakukan penimbangan untuk mengetahui perubahan berat rajungan.

Rajungan segar dan kukus kemudian dipreparasi dengan cara memisahkan

daging rajungan dari cangkang dan jeroannya. Daging rajungan dari seluruh

bagian tubuh digabungkan dan dihaluskan dengan mortar. Daging rajungan segar

dan kukus yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat

serta diberi kode masing-masing.

3.3.2 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh rajungan dari

bobot awal. Perumusan matematik rendemen adalah sebagai berikut:

Rendemen (%) = Bobot contoh (g) x 100%

Berat Total (g)

3.3.3Analisis kimia

Analisis kimia daging rajungan terdiri atas analisis proksimat, protein larut

(31)

3.3.3.1 Analisis proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan terhadap rajungan meliputi: kadar air,

abu, protein dan lemak.

1) Analisis kadar air (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar air yaitu menguapkan air yang terdapat dalam bahan

dengan oven dengan suhu 100-105 oC dalam jangka waktu tertentu hingga

diperoleh berat konstan. Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar

air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 0C

selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30

menit) hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Cawan dan sampel

seberat 1-2 gram ditimbang. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu

102-105 0C selama 6 jam (atau hingga diperoleh berat konstan bahan kering). Cawan

tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian

ditimbang.

Perhitungan kadar air:

% kadar air = B - C x 100%

B - A

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar abu yaitu membakar bahan dalam tanur dengan suhu

600 oC sehingga seluruh unsur organik habis terbakar dan berubah menjadi gas

dan sisanya yang tidak terbakar adalah abu yang merupakan kumpulan dari

mineral-mineral yang terdapat dalam bahan. Cawan abu porselen dikeringkan di

dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam

desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam

cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan

bersuhu sekitar 105 0C sampai tidak berasap (sampai abu berwarna putih).

Cawan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 2-3 jam. Cawan abu

porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang

(32)

Perhitungan kadar abu:

% Kadar abu: C - A x 100%

B - A

Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan

(gram)

3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip analisis protein yaitu penetapan protein kasar dilakukan berdasarkan

penentuan kadar nitrogen yang terdapat dalam bahan, kandungan nitrogen yang

diperoleh dikalikan dengan angka konversi menjadi nilai protein. Tahap-tahap

yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi,

destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam

tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan

ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke

dalam alat pemanas bersuhu 410 0C dan ditambahkan 10 ml air. Proses

destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan

akuades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan

ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom

cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam

erlenmeyer.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan

pada Erlenmeyer berubah warna menjadi pink.

(33)

% Nitrogen = (ml HCl sampel – ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100%

mg bahan

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar lemak adalah melarutkan lemak yang terdapat dalam

suatu bahan dengan pelarut non organik, kemudian pelarut diuapkan sehingga

yang terukur hanya kadar lemak dalam bahan saja. Sampel seberat 2 gram (W1)

dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak,

kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya

(W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan

ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak.

Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu

40 0C menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam

labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap dan pelarut akan

tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke

dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105

0

C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:

% Kadar lemak = W3– W2 x 100%

W1

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.3.3.2 Analisis protein larut air dan garam (Wahyuni 1992) 1) Analisis protein larut air

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml air, kemudian dihomogenkan

dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah (5-8 0C). Sampel disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 0C,

selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat ditampung

dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. Sebanyak 1 ml filtrat dianalisis

(34)

Perhitungan kadar protein larut air (PLA):

Kadar PLA (%) = (A - B) x Normalitas HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100%

mg bahan

Keterangan: A = Volume titrasi HCl sampel (ml)

B = Volume titrasi HCl blanko (ml)

fp = faktor pengenceran

2) Analisis protein larut garam

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian

dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah (5-8 0C). sampel disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan

suhu 10 0C kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat

ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. sebanyak 1 ml filtrat

dianalisis kandungan proteinnya dengan metode mikro Kjeldahl.

Perhitungan kadar protein larut garam (PLG):

Kadar PLG (%) = (A - B) x Normalitas HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100%

mg bahan

Keterangan: A = Volume titrasi HCl sampel (ml)

B = Volume titrasi HCl blanko (ml)

Fp = faktor pengenceran

3.3.3.4 Analisis asam amino (AOAC 1999 dengan modifikasi)

Komposisi asam amino ditentukan dengan HPLC. Sebelum digunakan,

perangkat HPLC dan syringe harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam dan akuades. Analisis asam amino dengan

menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) tahap pembuatan hidrolisat

protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; (4) tahap injeksi serta

analisis asam amino.

1)Tahap pembuatan hidrolisat protein

Sampel sebanyak 30 mg ditimbang dan dihancurkan. Sampel yang telah

hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 1 ml yang kemudian

(35)

dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel dan

mempercepat reaksi hidrolisis.

2) Tahap pengeringan

Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke dalam

labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCl 0,01 N dan cairan bilasan

dimasukkan ke dalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel

kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer dalam keadaan vakum untuk mengubah sistein menjadi sistin, ditambahkan 10-20 ml air ke dalam sampel dan

dikeringkan dengan freeze dryer. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. 3) Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan,

larutan derivatisasi dibuat dari campuran larutan stok OPA dengan larutan buffer

kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1:2. Larutan stok OPA dibuat dengan

cara mencampurkan 50 mg OPA ke dalam 4 ml metanol dan 0,025 ml

merkaptoetanol, dikocok hati-hati dan ditambahkan larutan brij-30 30% sebanyak

0,050 ml dan buffer borat 1 M, pH 10,4 sebanyak 1 ml. Larutan stok pereaksi

OPA disimpan pada botol berwarna gelap pada suhu 4 oC. Proses derivatisasi

dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel.

Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml asetonitril

60% atau buffer natrium asetat 1 M, lalu dibiarkan selama 20 menit. Kemudian

disaring menggunakan kertas saring Whatman.

4) Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 5 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.

Konsentrasi asam amino yang ada pada bahan ditentukan dengan pembuatan

kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai

yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.

Kandungan asam amino dalam 100 gram bahan dapat dihitung dengan rumus:

% asam amino = Luas daerah sampel x C x fp x BM x 100%

Luas daerah standar Bobot sampel (µg)

Keterangan: C = Konsentrasi standar asam amino (µg/ml)

fp = faktor pengenceran

(36)

Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino sebagai berikut:

Temperatur : 27 0C (suhu ruang)

Jenis kolom HPLC : Ultra techspere (Coloum C-18)

Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit

Tekanan : 3000 psi

Fase gerak : Buffer Na-Asetat dan methanol 95%

Detektor : Fluoresensi

Panjang gelombang : 254 nm

3.3.4 Analisis histologi daging rajungan (metode parafin)

Analisis histologi daging rajungan segar dan kukus (jenis daging jumbo)

diawali dengan pembuatan preparat daging rajungan (Portunus pelagicus). Pembuatan preparat sendiri dimulai dengan fiksasi selama 24-48 jam dalam

larutan bouin’s. Fiksasi dilakukan untuk mencegah kerusakan dan

mempertahankan keadaan jaringan seperti keadaan hidup. Larutan fiksatif

dibuang, sampel direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Proses dehidrasi

dilakukan dengan perendaman jaringan rajungan sebanyak lima kali dalam larutan

alkohol dengan konsentrasi masing-masing 80%, 90%, 95%, 95% dan 100%

selama masing-masing 2 jam kecuali untuk konsentrasi 100% selama satu malam.

Proses clearing dilakukan dengan cara bahan dipindahkan ke dalam wadah berisi larutan alkohol 100% baru selama satu jam. Bahan dipindahkan ke dalam

larutan alkohol-xylol (1:1), xylol I, xylol II, xylol III selama masing-masing

setengah jam. Bahan kemudian dipindahkan ke dalam larutan xylol-parafin (1:1)

selama 45 menit dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 65-70 oC.

Pergantian parafin dilakukan setiap 45 menit sekali sebanyak 3 kali pergantian.

Proses blocking dilakukan dengan memindahkan larutan parafin ke dalam cetakan dan dilakukan penyusunan jaringan di dalam cetakan. Cetakan parafin disimpan

pada suhu ruang selama satu malam. Setelah proses blocking selesai, dilakukan penyayatan dengan mikrotom Yamoto RV-240 putar setebal 7-8 µm. Hasil

sayatan kemudian direkatkan pada gelas obyek, selanjutnya direndam dalam

larutan xylol I, xylol II, alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol 95%, alkohol

90%, alkohol 80%, alkohol 70% dan alkohol 50% masing-masing selama tiga

(37)

Preparat diwarnai dengan haematoxylin selama tujuh menit dan eosin selama

satu menit. Pada proses pewarnaan, gelas obyek direndam ke dalam larutan

alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol 100% I, alkohol

100% II selama masing-masing dua menit, dilanjutkan perendaman dalam larutan

xylol I dan xylol II selama masing-masing 2 menit. Preparat direkatkan

menggunakan entellan atau Canada balsam dengan gelas penutup, kemudian

diberi label di sebelah kiri gelas obyek. Preparat diamati menggunakan mikroskop

(38)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus)

Rajungan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Desa Gebang

Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Rajungan memiliki

ciri-ciri capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri dan mempunyai karapas

berbentuk bulat pipih. Warna dasar rajungan ini adalah kebiru-biruan atau

kehijau-hijauan bercak-bercak putih. Gambar rajungan (Portunus pelagicus) secara dorsal dan ventral dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Rajungan dorsal (a) dan ventral (b).

Pengukuran yang dilakukan terhadap rajungan meliputi pengukuran panjang,

lebar dan bobot. Karakteristik ukuran dan bobot rajungan dapat dilihat pada

Tabel 5. Rajungan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 5 Ukuran panjang dan bobot rajungan

Parameter Satuan Nilai

Panjang cm 11,20 ± 0,89

Lebar cm 5,17 ± 0,49

Bobot total g 95,10 ± 9,53

Keterangan : Sampel 30 ekor rajungan

Tabel 5 menunjukkan bahwa rajungan yang ditangkap oleh nelayan di Desa

Gebang Mekar, Cirebon memiliki panjang rata-rata 11,20 cm, lebar rata-rata

5,17 cm dan bobot rata-rata 95,1 gram. Rajungan bisa mencapai panjang

maksimum 18 cm. Perbedaan antara rajungan jantan dan betina terlihat sangat

(39)

membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu

karang tetapi sekali-kali dapat juga berenang ke permukaan perairan.

Perbedaan ukuran dan bobot rajungan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya faktor pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan

yang mendukung untuk pertumbuhan. Hasil wawancara dengan nelayan

menunjukkan bahwa rajungan ditangkap pada saat kondisi gelombang laut tenang

pada pukul 08.00 WIB pagi hari dan didaratkan di tempat pengumpul pada pukul

15.00 WIB untuk kemudian ditimbang oleh pedagang pengumpul.

4.2 Rendemen Rajungan

Rendemen adalah bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan

dimanfaatkan. Rendeman merupakan parameter penting untuk mengetahui nilai

ekonomis dan efektifitas suatu bahan baku. Rajungan yang digunakan pada

penelitian ini memiliki nilai rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan

preparasi dalam keadaan segar dan setelah pengukusan.

Rendemen rajungan merupakan bagian tubuhnya yang masih bisa

dipergunakan yang diperoleh dengan cara membedah rajungan, memisahkan

daging dengan cangkang, kemudian memisahkan bagian daging dengan jeroan.

Rendemen daging rajungan dapat dihitung berdasarkan persentase perbandingan

bobot keseluruhan daging yang sudah diambil dari cangkang dan dipisahkan dari

jeroan terhadap bobot total rajungan. Rendemen rajungan segar dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7 Persentase rendemen rajungan segar. Cangkang

(51,62%) Daging

(40)

Gambar 7 menunjukkan bahwa rajungan segar memiliki persentase rendemen

tertinggi pada cangkang, yaitu sebesar 51,62%, rendemen daging sebesar 35,77%

dan rendemen jeroan mempunyai nilai yang terkecil sebesar 12,61%. Rendemen

hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari ukuran, berat dan jenisnya.

Rendemen total daging rajungan sebesar 25-35% dari berat tubuhnya dan

besarnya rendemen ini dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku, cara pengambilan

dagingnya serta jenis kelamin rajungan dimana rajungan jantan memiliki nilai

rendemen daging yang lebih besar bila dibandingkan dengan rajungan betina

(Indriyani 2006).

Rajungan memiliki cukup besar bagian yang belum dimanfaatkan yakni

bagian cangkang dan jeroannya. Tangko dan Rangka (2009) menyatakan bahwa

limbah dari rajungan dapat dibuat kitosan sebagai pengganti formalin. Limbah

yang dimaksud adalah kepala, kulit, ekor maupun kaki rajungan yang pada

umumnya 25-50% dari berat rajungan. Potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut

menjadi polisakarida, kitosan dan glukosamin. Ketiga produk ini mempunyai sifat

mudah terurai dan tidak bersifat beracun sehingga sangat ramah lingkungan.

Pemanfaatan cangkang rajungan ini menjadi bahan baku kitosan akan menerapkan

proses produksi tanpa limbah (zero waste).

Rajungan setelah pengukusan mengalami perubahan jumlah rendemen.

Pengukusan menyebabkan penyusutan berat rata-rata rajungan dari 76,69 gram

menjadi 65,19 gram, atau mengalami penyusutan sebesar 14,99% dari berat

rata-rata semula.

Penyusutan rendemen rajungan terjadi karena selama pengukusan pada suhu

70-82 oC selama 28 menit menyebabkan kandungan air bebas yang terdapat pada

daging, jeroan dan cangkang keluar sehingga terjadi pengurangan berat.

Pengukusan merupakan salah satu proses pemanfaatan perlakuan panas yang

penting dalam pengolahan rajungan melalui media air tetapi air tidak bersentuhan

langsung dengan produk. Pengukusan sebelum penyimpanan bertujuan untuk

mengurangi kadar air dalam bahan baku sehingga tekstur bahan menjadi kompak.

Keluarnya air dari rajungan juga menyebabkan beberapa komponen penting

(41)

dan mineral berkurang, namun penurunan zat gizi yang diakibatkan pengukusan

tidak sebesar perebusan (Thamrin dan Prayitno 2008).

4.3 Hasil Analisis Kimia

Hasil analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi

mengenai komposisi proksimat, komposisi protein larut air dan protein larut

garam serta asam amino daging rajungan segar dan kukus yang diperoleh dari

Desa Gebang Mekar, Cirebon.

4.3.1 Komposisi proksimat, protein larut air dan protein larut garam

Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting

dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di

dalam bahan pangan tersebut. Komposisi kimia yang terdapat dalam rajungan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan,

suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

Kandungan dalam suatu produk merupakan parameter yang penting bagi

konsumen dalam mempertimbangkan pemilihan makanan yang dikonsumsinya.

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui komposisi kimia

kandungan suatu bahan pangan. Salah satunya adalah analisis proksimat untuk

mengetahui kandungan gizi secara kasar (crude) yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat yang dihitung secara by difference. Hasil analisis proksimat, protein larut air dan protein larut garam daging rajungan dapat dilihat

pada Tabel 6. Data mentah komposisi proksimat, PLA dan PLG disajikan pada

Lampiran 3.

Tabel 6 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam daging rajungan

Jenis Gizi

Rajungan Segar (%) Rajungan kukus (%) Basis

(42)

yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rajungan kukus. Komposisi kadar abu,

lemak, protein kasar, protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG)

menggunakan basis kering. Penentuan pada berat basis kering dimaksudkan untuk

mengetahui besar perubahan sesungguhnya yang terjadi pada kadar abu, lemak

protein kasar, protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG) daging

rajungan setelah pengukusan dengan mengabaikan kadar airnya.

1) Kadar air

Air merupakan kebutuhan dasar dari seluruh makhluk hidup, manusia, hewan

dan tumbuhan termasuk bakteri. Tingginya kadar air pada suatu bahan pangan

akan mempengaruhi kesegaran bahan pangan tersebut. Produk hasil perikanan

mempunyai kadar air yang sangat tinggi sekitar 80% (Adawyah 2007) sehingga

sangat berpotensi sebagai media pertumbuhan bakteri dan menurunkan kesegaran

dan mutu produk.

Air dalam suatu bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya tahan

bahan itu sendiri. Perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air

yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu sendiri. Air yang terdapat dalam

suatu bahan makanan terdapat dalam tiga bentuk, yaitu air bebas, air yang terikat

secara lemah dan air yang dalam keadaan terikat kuat. Air bebas adalah air yang

terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan intergranular dan pori-pori yang terdapat

pada bahan. Air yang terikat secara lemah karena terserap pada permukaan koloid

makromolekul antara lain protein, pektin, pati dan selulosa. Air yang dalam

bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada

proses pembekuan. Air yang dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat.

Ikatannya bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan

(Winarno 1999).

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air bebas yang terdapat

dalam daging rajungan. Rajungan memiliki persentase kadar air yang tertinggi

dibandingkan dengan kadar abu, protein dan lemak. Kadar air daging rajungan

segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan kadar air pada daging rajungan segar yang berasal dari

Desa Gebang Mekar, Cirebon sebesar 78,47% (bb). Nilai ini lebih kecil daripada

(43)

Gegunung Wetan, Rembang, yaitu sebesar 80,59% dan 79,11% (Nurjanah et al. 2009). Perbedaan kadar air ini disebabkan oleh perbedaan habitat, kondisi

lingkungan, umur dan jenis kelamin rajungan.

Kadar air yang terdapat pada daging rajungan kukus mengalami penurunan

dibandingkan daging rajungan segar menjadi 75,43% (bb). Kadar air daging

rajungan rebus menurut penelitian Nurjanah et al. (2009) adalah sebesar 76,41%. Penurunan kadar air dipengaruhi oleh faktor pemasakan yang menyebabkan cairan

dari dalam daging rajungan merembes keluar (terjadi drip).

Setiap spesies memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda, termasuk kadar

airnya. Kadar air pada daging kepiting bakau (Scylla serrata) segar menurut penelitian Benjakul dan Sutthipan (2009) adalah sebesar 78,69%. Kadar air

daging rajungan memiliki nilai yang tidak terlalu jauh dengan kadar air pada

daging kepiting, yaitu 78,47%.

2) Kadar abu

Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang

terkandung dalam bahan tersebut. Penentuan kadar abu total sangat berguna

sebagai parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Dalam proses pembakaran,

bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut

abu (Winarno 2008).

Kadar abu daging rajungan segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada

Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan kadar abu daging rajungan segar sebesar 7,66%

(bk) dan pada daging rajungan kukus menjadi 6,02% (bk). Kadar abu daging

rajungan rebus menurut penelitian Nurjanah et al. (2009) adalah sebesar 9,53% (bk).

Pengukusan menyebabkan pecahnya partikel-partikel mineral yang terikat

pada air akibat pemanasan sehingga mineral pada daging rajungan terlarut ke

dalam air pengukusan dan terbawa bersama uap air yang keluar dari daging

selama pengukusan. Tamrin dan Prayitno (2008) menyatakan bahwa pengukusan

akan menyebabkan penurunan zat gizi pada suatu bahan. Mineral yang ikut

terbawa bersama uap selama pengukusan antara lain Co, Mg, Cu dan P (Harris

Gambar

Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Galil 2006).
Tabel 1 Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan
Gambar 5 Diagram alir metode penelitian.
Gambar 6 Rajungan dorsal (a) dan ventral (b).
+7

Referensi

Dokumen terkait

AVR akan memberikan arus medan lebih besar pada kumparan rotor generator ketika beban generator dinaikkan, besarnya kenaikkan arus medan yang diberikan dari AVR ke rotor tidak

Pada tahun ketiga program IbPE, UKM Lestari Jaya memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 25 orang, hal ini menunjukkan peningkatan yang signifikan sebesar 150 persen dibandingkan

Laju infeksi yang tinggi pada kultivar Biru yang ditanam di lahan sawah Nganjuk pada musim hujan memperlihatkan bahwa perkembangan epidemi penyakit moler pada kultivar Biru

Keterbatasan waktu menyebabkan kegiatan pendampingan yang dilakukan selama ini belum menunjukan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan mengingat penulis hanya memiliki

3) Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang- undang secara positif. Sistem

Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Pada komputer server di install Proxmox VE sebagai virtualisasi yang akan menjalankan Virtual Machine berbasis OpenVZ dan kernel- based virtual machine

Pada hasil uji pengujian sterilitas pinset anatomis didapatkan hasil negatif, dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pinset anatomis yang di kemas dengan pengemasan pouches