KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO DAGING
RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PENGUKUSAN
LENNI ASNITA BR LINGGA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
RINGKASAN
LENNI ASNITA BR LINGGA. C34070021. Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan NURJANAH.
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan anggota kelas Crustacea yang menjadi salah satu komoditas ekspor penting dari Indonesia selain udang dan kepiting. Rajungan termasuk komoditas ekspor penting karena memiliki daging yang sangat enak dan dapat diolah menjadi berbagai macam masakan sehingga sangat diminati oleh para pecinta seafood. Rajungan biasanya diekspor dalam bentuk rajungan beku tanpa kepala dan kulit serta dalam bentuk olahan (kemas dalam kaleng). Pengukusan merupakan tahap awal yang penting dalam industri pengalengan rajungan untuk menjamin mutu daging rajungan yang akan dimasukkan ke dalam kaleng. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG), komposisi dan jumlah
asam amino serta analisis histologi daging rajungan akibat pengukusan. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi pengambilan sampel
rajungan di Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat, penentuan ukuran (panjang dan tinggi) dan bobot, rendemen tubuh (daging, jeroan, cangkang) dan pengukusan. Analisis kimia yang dilakukan pada daging rajungan, yaitu analisis proksimat, protein
larut air, protein larut garam dan asam amino serta analisis histologi. Nilai rendemen cangkang, daging dan jeroan rajungan segar berturut-turut adalah
KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO DAGING
RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PENGUKUSAN
LENNI ASNITA BR LINGGA C34070021
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SKRIPSI
Judul : Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan.
Nama : Lenni Asnita Br Lingga
NRP : C34070021
Departemen : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui:
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. Dr. Ir. Nurjanah, MS NIP. 19591013 198601 2 002 NIP. 19591127 198601 1 005
Mengetahui:
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan”. Penulisan skripsi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
dan dorongan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yaitu:
1 Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb. Dipl.-Biol. dan Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi
ini.
2 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
3 Ir. Djoko Poernomo, B.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah
banyak membimbing penulis.
4 Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.
5 Seluruh dosen, pegawai dan tenaga kependidikan Departemen Teknologi
Hasil Perairan atas bantuannya selama ini.
6 Bapak dan Mamaku tercinta yang telah memberikan semangat, dukungan
moril dan materi serta cinta yang luar biasa kepada penulis.
7 Saudara-saudaraku tercinta (kak Vera, Bang Anton, Bang Dinand, dek siska,
dek Epit) yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian dan doa kepada penulis serta kepada ponakanku tersayang “Dinara” yang telah memberikan keceriaan kepada penulis selama menulis skripsi ini.
8 Laboran, yaitu Ibu emma, Mbak silvi, Pak Ranta, Pak Ian yang telah
9 Teman-teman THP 44 untuk kebersamaan, keceriaan, bantuan dan canda
tawa selama 3 tahun bersama di THP dan selama pelaksanaan penelitian.
10 Teman-teman ”tim karakteristik” atas kebersamaan dan bantuan selama
melaksanakan penelitian.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
diharapkan.
Bogor , Juli 2011
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Berastagi, pada tanggal 14 September
1988, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari Bapak
Oloan Lingga dan Ibu Tiarma Basaria Br Sipayung. Penulis
memulai jenjang pendidikan formal di TK Letjend Djamin
Ginting Berastagi dan lulus pada tahun 1995,
kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Letjend Djamin
Ginting Berastagi dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari
SMP Negeri 1 Berastagi, setelah itu penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas
di SMA Negeri 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun 2007.
Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama
menjalani pendidikan akademik penulis aktif sebagai asisten luar biasa praktikum
mata kuliah Iktiologi pada tahun 2009/2010, Teknologi Pengolahan Tradisional
Produk Perikanan 2010/2011, dan Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan
2010/2011.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
DAFTAR ISI
2.1 Rajungan (Portunus pelagicus) ... 3
2.1.1 Klasifikasi serta deskripsi morfologi dan anatomi ... 3
2.1.3 Komposisi kimia dan pemanfaatan... 5
2.2 Protein ... 5
2.3 Asam Amino ... 8
2.4 Pengukusan ... 12
2.5 High Performance Liquid Chromathography (HPLC) ... 14
3 METODOLOGI ... 16
3.3.3.2 Analisis protein larut air dan garam (Wahyuni 1992) ... 21
3.3.3.4 Analisis asam amino (AOAC 1999) ... 22
3.3.4 Analisis histologi daging rajungan (Parafin) ...24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
4.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) ... 26
4.2 Rendemen Rajungan ... 27
4.3 Hasil Analisis Kimia ... 29
4.3.1 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam ... 29
4.3.2 Komposisi asam amino ... 35
4.4 Histologi Daging Rajungan ... 42
5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
DAFTAR PUSTAKA………46
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan ... .5
2 Kebutuhan manusia akan protein dan daging ikan ... ……….6
3 Asam amino esensial ... ……..10
4 Asam amino non esensial ... ……..11
5 Ukuran panjang dan bobot rajungan ... ……..26
6 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam ... ……..29
7 Perbandingan asam amino daging rajungan segar ... ……..37
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Rajungan (Portunus pelagicus)………. ... 3
2 Struktur umum asam amino ... 8
3 Asam amino konfigurasi Ldan D ... 9
4 Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon ... 16
5 Diagram alir metode penelitian ... 17
6 Rajungan secara dorsal dan ventral ... 26
7 Persentase rendemen rajungan segar ... 27
8 Kromatogram asam amino ... 36
9 Histogram kadar asam amino esensial daging rajungan ... 39
10 Histogram kadar asam amino non esensial daging rajungan ... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Hasil Pengujian analisis proksimat daging rajungan………..51
2 Data protein larut air (PLA) daging rajungan……… ... 54
3 Data protein larut garam (PLG) daging rajungan……….. ... 55
4 Retention time asam amino……… ... 56
5 Data komposisi asam amino daging rajungan ……….. ... 56
1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas mengandung sumber daya alam
perikanan yang sangat berlimpah. Salah satu hasil perikanan yang sangat populer
adalah kelas Crustacea. Komoditas ekspor yang potensial dari kelas Crustacea
adalah udang, kepiting dan rajungan. Rajungan termasuk komoditas ekspor karena
memiliki daging yang sangat enak dan dapat diolah menjadi berbagai macam
masakan sehingga hewan ini sangat diminati para pecinta seafood (Tangko dan Rangka 2009).
Rajungan merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang mempunyai
nilai ekonomis penting di Indonesia. Beberapa spesies rajungan yang memiliki
nilai ekonomis adalah Portunus trituberculatus, Portunus gladiator, Portunus sanguinus, Portunus hastatoides dan Portunus pelagicus. Sebagian besar rajungan diekspor dalam bentuk beku tanpa kepala dan kulit serta dalam bentuk olahan
(kemas dalam kaleng). Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP 2005)
melaporkan bahwa ekspor rajungan beku sebesar 2.813,67 ton tanpa cangkang,
dan rajungan tidak beku (bentuk segar maupun dalam kaleng) sebesar 4.312,32
ton. Sebanyak 60% produksi rajungan dari Indonesia diekspor ke Amerika,
sedangkan sisanya diekspor ke beberapa negara tujuan ekspor lainnya yakni
Singapura, Jepang, Belanda dan Eropa (Tangko dan Rangka 2009).
Daging rajungan jantan dan betina masing-masing memiliki kandungan
protein 16,85% dan 16,17%, kandungan lemak masing-masing 0,10% dan 0,35%,
kandungan air sebesar 78,78% dan 81,27% serta kandungan abu sebesar 2,04%
dan 1,82% (BBPMHP 1995). Protein yang terdapat dalam daging rajungan
disusun oleh asam amino esensial dan non esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.
Pengukusan merupakan salah satu tahap penting dalam pengolahan rajungan.
Pengukusan merupakan tahap awal yang penting untuk menjamin mutu daging
rajungan yang akan dimasukkan ke dalam kaleng. Tujuan proses pengukusan
mutu, memudahkan pengambilan daging rajungan, meningkatkan cita rasa serta
meningkatkan tekstur daging (Purwaningsih et al. 2005).
Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging rajungan dapat menyebabkan
perubahan fisik dan komposisi kimia daging rajungan. Pengaruh lama pemanasan
perlu diperhatikan terhadap komponen gizi yang terdapat dalam hasil perikanan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa proses pemanasan mempengaruhi kadar air,
protein, lemak dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Pemanasan dapat
menyebabkan terjadinya koagulasi protein yaitu hasil denaturasi protein pada suhu
tinggi (Winarno 2008).
Informasi mengenai akibat pemanasan terhadap karakteristik rajungan terbatas
pada proksimat, umur simpan, nilai TPC serta kualitas daging rajungan. Padahal
dalam industri pengalengan daging rajungan, pengukusan selalu dilakukan untuk
mempertahankan mutu daging rajungan. Hingga saat ini belum ada informasi
akibat pengukusan terhadap kualitas protein dan asam amino pada daging
rajungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
kandungan protein dan asam amino pada daging rajungan guna memperoleh data
komposisi protein dan asam amino daging rajungan setelah pengukusan.
1.2Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen,
proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), protein larut air (PLA),
protein larut garam (PLG) dan kandungan asam amino serta analisis histologi
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rajungan (Portunus pelagicus)
Portunus pelagicus tergolong hewan crustacea. Crustacea merupakan hewan yang dapat hidup di perairan tawar, laut dan darat. Kemampuan crustacea hidup di berbagai habitat disebabkan oleh badannya yang bersendi-sendi, sehingga
mudah berjalan dan berenang dengan cepat. Kulit crustacea yang keras dan berduri menyebabkan kelas crustacea kurang disukai oleh predator (Suwignyo et al. 1998).
2.1.1 Klasifikasi serta deskripsi morfologi dan anatomi
Portunus pelagicus termasuk ke dalam filum arthropoda dan kelas crustacea. Tubuh crustacea dapat dibedakan menjadi kepala, thorax dan abdomen. Tubuh
crustacea seperti halnya arthropoda lain dilapisi kutikula dan biasanya mengandung zat kapur dengan organ pernafasan insang (Suwignyo et al. 1998). Contoh rajungan dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Saanin (1984) diacu
dalam DKP (2004) klasifikasi rajungan adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Sub ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
Portunus pelagicus bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri. Perbedaan antara hewan jantan dan betina sangat terlihat pada
rajungan. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya
lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan
jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan
betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram.
Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa
(Suwignyo et al. 1998).
Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang
sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan
yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya
terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan
antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki
jalan, yang pertama ukurannya cukup besar dan disebut capit yang berfungsi
untuk memegang dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sepasang kaki
terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih
dan membundar seperti dayung, sehingga rajungan digolongkan ke dalam
kelompok kepiting berenang (swimming crab) (Suwignyo et al. 1998).
Rajungan merupakan binatang yang aktif, namun ketika sedang tidak aktif
atau dalam keadaan tidak melakukan pergerakan, rajungan akan diam di dasar
perairan sampai kedalaman 35 meter dan hidup membenamkan diri dalam pasir di
daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu karang tetapi sekali-kali dapat juga
terlihat berenang dekat permukaan. Rajungan akan melakukan pergerakan atau
migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur dan menyesuaikan diri pada
suhu dan salinitas perairan (Nontji 1993 diacu dalamIndriyani 2006).
Rajungan sering berganti kulit secara teratur. Kulit kerangka tubuhnya terdiri
dari bahan berkapur dan karenanya tidak terus bertumbuh. Jika ia akan tumbuh
lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar individu
yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak.
2.1.2 Komposisi kimia dan pemanfaatan
Daging kepiting dan rajungan memiliki nilai gizi yang tinggi. Berdasarkan
digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu golongan kandungan lemak rendah
(kurang dari 2-3%), golongan berlemak medium (2-5%) dan golongan berlemak
tinggi dengan kandungan lemak antara 6-10%. Rajungan (crab), oyster, udang, ikan mas, ekor kuning, lemuru dan salmon termasuk golongan berlemak medium
(sedang) (Winarno 1993). Komponen gizi daging rajungan dipengaruhi oleh
musim, ukuran rajungan, kematangan gonad, suhu dan ketersediaan bahan
makanan (Sudhakar et al. 2009).
Komposisi proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina
dapat dilihat pada Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa kandungan protein
dan lemak daging rajungan lebih tinggi dari pada daging kepiting.
Tabel 1 Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan
Jenis komoditi Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)
Kepiting (Jantan) 11,45 0,04 80,68 2,45
Kepiting (Betina) 11,90 0,28 82,85 1,08
Rajungan (Jantan) 16,85 0,10 78,78 2,04
Rajungan (Betina) 16,17 0,35 81,27 1,82
Sumber : BBPMHP (1995)
Rajungan banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi manusia dan
sebagai salah satu sumber protein hewani. Rajungan biasanya tersedia dalam
bentuk segar, beku dan bentuk olahan daging rajungan dalam kaleng yang kaya
akan protein. Tangko dan Rangka (2009) menyatakan bahwa cangkang dan kepala
rajungan dapat dibuat kitosan yang bisa berfungsi sebagai bahan pengawet.
2.2 Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena
zat ini berfungsi sebagai bahan bakar serta zat pembangun dan pengatur (Winarno
2008). Berdasarkan sumbernya, protein terbagi menjadi dua, yaitu protein hewani
yang berasal dari hewan dan protein nabati yang berasal dari tumbuhan. Protein
hewani memiliki mutu lebih baik bila dibandingkan dengan protein nabati, namun
protein hewani lebih mahal.
Fungsi protein sebagai zat pembangun adalah sebagai pembentuk
jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh. Proses pembentukan jaringan-jaringan
membentuk jaringan janin dan pertumbuhan embrio pada masa kehamilan. Protein
juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang perlu dirombak.
Protein juga dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi
tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur
berbagai proses tubuh dengan membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh.
Protein mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah, yaitu
dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari
jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno 2008).
Kebutuhan setiap manusia akan protein sangat bervariasi, tergantung umur,
jenis kelamin, keadaan fisik dan aktivitas yang dilakukan (Adawyah 2007). Orang
dewasa memerlukan kira-kira 1 gram protein untuk setiap kg berat badan. Protein
dibutuhkan lebih banyak selama periode pertumbuhan, misalnya anak-anak usia
5-6 tahun membutuhkan kira-kira 2 gram untuk setiap kg berat badan. Wanita
memerlukan lebih banyak protein dalam susunan makanannya selama hamil dan
menyusui, karena harus memenuhi kebutuhan bayinya disamping keperluan
tubuhnya sendiri. Tubuh kehilangan sejumlah protein setelah sakit atau menjalani
operasi, sehingga kebutuhan energi dinaikkan sampai 14% dari seluruh asupan
energi (Gaman 1998).
Kandungan protein pada daging ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan
dengan hewan darat. Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan
protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Kebutuhan protein dan jumlah
daging ikan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein pada manusia
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kebutuhan manusia akan protein dan daging ikan
Keadaan Manusia Tingkat Kebutuhan (g/orang/hari)
Kekurangan protein bisa menimbulkan penyakit pada manusia. Kekurangan
badan, sedangkan pada orang dewasa kekurangan protein mempunyai gejala yang
kurang spesifik (Winarno 2008). Kekurangan protein dapat mengakibatkan
timbulnya penyakit kwashiorkor, busung lapar, menurunnya tingkat kecerdasan
terutama pada anak-anak, terganggunya pertumbuhan mata, kulit, dan tulang
bahkan dapat menyebabkan kematian (Adawyah 2007).
Protein pada daging ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril,
sarkoplasma dan stroma. Komposisi ketiga jenis protein pada daging ikan terdiri
dari 65-75% miofibril, 20-30% sarkoplasma dan 1-3% stroma. Protein tersebut
sangat mudah mengalami kerusakan atau denaturasi yang disebabkan oleh proses
pengolahan (Okuzumi dan Fujii 2000)
1) Protein miofibril
Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging komoditas
hasil perairan dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam (PLG)
(Junianto 2003). Penyusun utama PLG adalah miosin (sebesar 50-60% dari total
PLG), aktin (hampir 20% dari total PLG) serta protein regulasi (tropomiosin,
troponin dan aktinin). Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan
elastisitas gel protein (deMan 1997).
Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak
dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (0,5 M). Protein
miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran pH 6,5 yang berdampak pada
kemampuan pembentukan gel (Suzuki 1981). Protein yang larut dalam larutan
garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut
dalam air (Junianto 2003).
2) Protein sarkoplasma
Sarkoplasma atau protein larut air (PLA) sebagai protein terbesar kedua dalam
jaringan daging hasil perikanan. Protein sarkoplasma atau miogen terdiri dari
albumin, mioalbumin, dan mioprotein (Junianto 2003). Protein sarkoplasma tidak
berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan mengganggu proses
pembentukan gel (Suzuki 1981). Sarkoplasma memiliki bobot molekul yang
relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik
fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang
Protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan
mempunyai kapasitas pengikatan air yang rendah. Kandungan protein
sarkoplasma pada komoditas hasil perairan bervariasi berdasarkan spesiesnya.
Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah
mioglobin, yang terdiri dari dua komponen, yaitu fraksi protein yang disebut
globin dan fraksi non protein yang disebut heme. Protein ini bertanggung jawab
dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).
3) Protein stroma
Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma
tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali, atau larutan garam netral pada
konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Protein
kontraktil misalnya konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak. Kolagen dan
elastin merupakan komponen penyusun protein stroma (Suzuki 1981).
2.3 Asam Amino
Protein tersusun dari berbagai asam amino yang masing-masing dihubungkan
dengan ikatan peptida. Protein yang dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim
akan menghasilkan campuran asam-asam amino. Asam amino terdiri dari sebuah
gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang
terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α. Gugus R merupakan
rantai cabang yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya
(Winarno 2008). Struktur asam amino secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.
COOH (gugus karboksil)
H C R (gugus radikal)
NH2 (gugus amino)
Gambar 2 Struktur umum asam amino (Almatsier 2006).
Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang
berbeda, maka molekul asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi L
apabila gugus –NH2 terdapat di sebelah kiri atom karbon α dan bila posisi gugus
-NH2 disebelah kanan, maka molekul asam amino itu disebut asam amino
konfigurasi D (Lehninger 1990). Asam amino konfigurasi L dan D dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3 Asam amino konfigurasi L (kiri) dan D (kanan) (Lehninger 1990).
Asam amino larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik non polar,
misalnya eter, aseton dan kloroform. Asam amino biasanya diklasifikasikan
berdasarkan sifat kimia rantai samping tersebut menjadi empat kelompok. Rantai
samping dapat membuat asam amino bersifat asam lemah, basa lemah, hidrofilik
jika polar dan hidrofobik jika nonpolar (Lehninger 1990).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk ion
dipolar atau disebut juga ion zwitter. Asam amino dipolar mengandung gugus
amino dengan tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat
ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH (Winarno 2008).
Asam amino yang terdapat di alam lebih dari 100 jenis, tetapi yang digunakan
dalam biosintesis biokimia hanya 20 jenis. Asam amino tersebut dibagi dalam dua
kelompok yaitu asam amino esensial dan asam amino non-esensial. Asam amino
esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan
dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi
dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air,
namun tidak larut dalam pelarut organik non polar (Sitompul 2004).
1) Asam amino esensial
Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibuat dalam
tubuh dan harus diperoleh dari makanan sumber protein yang disebut juga asam
amino eksogen. Asam amino seringkali disebut dan dikenal sebagai zat
pembangun yang merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Jenis asam
Tabel 3 Asam amino esensial
Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)
Histidin His 155,2
beberapa asam amino esensial, diuraikan sebagai berikut:
Triptofan adalah prekursor vitamin niasin dan pengantar serotonin saraf.
Metionin memberikan gugus metal guna sintesis kolin dan kreatinin serta sebagai
prekursor sistein dan ikatan yang mengandung sulfur lainnya. Fenilalanin
merupakan prekursor tirosin, dimana tirosin sendiri berperan dalam pembentukan
pigmen kulit dan rambut. Arginin dan sentrulin terlibat dalam sintesis ureum
dalam hati (Almatsier 2006).
Histidin merupakan asam amino yang bermanfaat baik untuk mendorong
pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Histidin merupakan
asam amino yang esensial bagi perkembangan bayi, tetapi tidak diketahui pasti
apakah dibutuhkan oleh orang dewasa (Linder 1992).
Lisin merupakan asam amino yang bersifat basa karena mengandung gugus
-NH (Lehninger 1990). Lisin merupakan bahan dasar antibodi darah dan
memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal
bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen. Treonin
merupakan asam amino yang mempunyai rantai cabang gugus alifatik hidroksil
(Winarno 2008).
Leusin, valin dan isoleusin merupakan jenis asam amino esensial alifatik
yang memiliki rantai cabang terdiri atas hidrokarbon dan mempunyai sifat kimia
yang hampir sama (Almatsier 2006). Leusin merupakan asam amino yang
berperan dalam menjaga sistem imun tubuh (Edison 2009). Valin merupakan
Kekurangan asam amino ini dapat menyebabkan kehilangan koordinasi otot dan
tubuh menjadi sangat sensitif terhadap rasa sakit (Edison 2009).
2) Asam amino non esensial
Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat dibuat dalam tubuh
disebut juga asam amino endogen (Winarno 2008). Beberapa asam amino non
esensial dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Asam amino non esensial
Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)
Alanin Ala 89
manfaat yang baik untuk makhluk hidup. Manfaat dari beberapa asam amino non
esensial diuraikan sebagai berikut.
Tirosin merupakan asam amino yang mempunyai gugus fenol dan bersifat
asam lemah. Asam amino ini dapat diperoleh dari kasein, yaitu protein utama
yang terdapat dalam keju dan susu. Tirosin memiliki beberapa manfaat, yaitu,
dapat mengurangi stress, anti depresi, serta detoksifikasi obat dan kokain
(Linder 1992). Asam glutamat dapat diperoleh dari glutamin. Gugus amida yang
terdapat pada molekul glutamin dapat diubah menjadi gugus karboksilat melalui
proses hidrolisis dengan asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk
menahan keinginan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka
pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam emosi (Linder 1992),
Asam glutamat juga bermanfaat sebagai prekursor pengantar saraf gamma
amino-asam butirat (Almatsier 2006).
Glisin dan alanin merupakan asam amino alifatik yang rantai cabangnya
terdiri atas hidrokarbon. Glisin mampu mengikat bahan-bahan toksik di dalam
tubuh dan mengubahnya menjadi bahan yang tidak berbahaya (Almatsier 2006).
glukosa menjadi energi tubuh, sedangkan asam aspartat bermanfaat untuk
penanganan pada kelelahan kronis dan peningkatan energi (Linder 1992).
Asam amino serin berfungsi membantu pembentukan lemak pelindung
serabut syaraf (myelinsheaths). Serin sangat penting dalam metabolisme lemak
dan asam lemak, pertumbuhan otot dan kesehatan sistem imun serta membantu
produksi antibodi dan immunoglobulin (Linder 1992).
Sistin dihasilkan bila dua molekul sistein berikatan kovalen sebagai
jembatan disulfida atau ikatan disulfida. Sistin digunakan sebagai prekursor
taurin. Sistin berperan pada struktur beberapa protein fungisional seperti pada
hormone insulin, imunoglobin sebagai antibodi dan keratin yang ditemukan pada
rambut, kulit dan kuku (Hawab 2007).
2.4 Pengukusan
Pemanasan merupakan perlakuan suhu tinggi yang diberikan pada suatu bahan
pangan yang bertujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme yang ada di
dalam bahan pangan. Perlakuan-perlakuan pemanasan biasanya dikombinasikan
dengan perlakuan lainnya untuk mencegah rekontaminasi oleh mikroorganisme
(Tamrin dan Prayitno 2008).
Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan dengan
menggunakan banyak air, tetapi air tidak bersentuhan langsung dengan produk.
Bahan makanan dibiarkan dalam panci tertutup dan dibiarkan mendidih.
Pengukusan sebelum penyimpanan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam
bahan baku sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Suhu air pengukusan yang
digunakan harus lebih dari 66 0C tetapi kurang dari 82 0C (Harris dan Karmas
1989).
Pengukusan akan berpengaruh pada komponen gizi yang terdapat dalam bahan
makanan. Besarnya perubahan zat gizi akibat proses pengukusan tergantung dari
cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus. Keragaman susut zat gizi
diantara berbagai cara pengukusan terutama terjadi akibat degradasi oksidatif.
Proses pengolahan dengan pengukusan memiliki susut gizi yang lebih kecil
dibandingkan dengan perebusan (Harris dan Karmas 1989).
Pemanasan pada proses pengukusan kadang-kadang tidak merata karena
berlebihan, sementara di bagian tengah mengalami pengukusan sedikit.
Pengukusan sebaiknya dilakukan setengah matang untuk produk-produk sayuran.
Hal ini akan membuat sayuran tetap renyah dan mengurangi kerusakan vitamin
yang terkandung didalamnya. Produk-produk hewani misalnya daging, telur dan
ikan sebaiknya dimasak sampai matang, karena kondisi setengah matang atau
kurang matang akan menimbulkan ancaman keamanan pangan (Tamrin dan
Prayitno 2008).
Pengukusan juga sering dilakukan dalam industri mendahului proses
pengalengan bahan makanan. Tujuannya hanya untuk menonaktifkan enzim,
bukan untuk membunuh mikroba sehingga perubahan warna, cita rasa atau nilai
gizi yang tidak dikehendaki selama proses penyimpanan dapat dicegah (Tamrin
dan Prayitno 2008).
Pengukusan tradisional dilakukan menggunakan air panas atau uap panas
sebagai medium penghantar panas. Faktor yang mempengaruhi susut gizi selama
pengukusan dengan air adalah faktor yang mempengaruhi pemindahan massa
yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air.
Beberapa metode pengukusan yang sering digunakan yaitu, pengukusan dengan
uap panas, pengukusan dengan gelombang mikro dan pengukusan dengan gas
panas (Harris dan Karmas 1989).
Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air yang
lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena adanya
pemanasan yang merata hampir di seluruh bagian bahan. Pengukusan
konvensional menyebabkan bagian tepi bahan akan mengalami pengukusan yang
berlebihan, sedangkan pada bagian tengah hanya mengalami pengukusan yang
sedikit (pengukusan tidak merata) (Harris dan Karmas 1989).
Pengukusan dengan gelombang mikro telah diterapkan untuk produk
makanan. Metode ini dipakai karena energi gelombang mikro tidak
mempengaruhi peningkatan degradasi komponen makanan secara langsung selain
melalui peningkatan suhu. Metode ini memiliki retensi zat gizi yang lebih besar
dibandingkan dengan metode pengukusan menggunakan air panas dan uap panas,
Pengukusan dengan gas panas juga telah dikembangkan, terutama untuk
mengurangi efluen yang timbul selama pengukusan. Suhu yang digunakan
mencapai 121 0C namun suhu produk tidak akan melampui 100 0C karena terjadi
penguapan cairan di permukaan. Produk yang dikukus menggunakan air panas
atau gas panas tidak memiliki perbedaan nyata dari kandungan gizinya
(Harris dan Karmas 1989).
2.5 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
Kualitas suatu protein dapat ditentukan dengan mengetahui kandungan asam
aminonya. Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan
menghasilkan campuran asam-asam amino (Winarno 2008). Asam-asam amino
esensial harus ada dalam jumlah yang cukup dalam makanan supaya aktivitas
metabolisme tubuh tetap terjaga secara optimal (Buckle et al. 1978). Analisis asam amino bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah asam amino yang
terkandung dalam suatu protein bahan pangan.
Analisis asam amino ini sangat diperlukan, misalnya untuk menganalisis hasil
industri makanan, makanan ternak, obat-obatan, analisis cairan biologi dan
hidrolisat protein. Cara analisis asam amino yang masih lazim digunakan sampai
saat ini adalah kromatografi dengan berbagai macam teknik misalnya
kromatografi kertas, lapisan tipis, dan kolom (Rediatning dan Kartini 1987).
Akhir-akhir ini analisis asam amino menggunakan kromatografi cair dengan
kinerja tinggi atau yang dengan istilah lebih dikenal High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Muchtadi 1989). Komponen utama alat yang dipakai dalam HPLC antara lain: reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor,
kolom, detektor dan rekorder (Adnan 1997).
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan alat yang bermanfaat untuk menganalisis komposisi gizi bahan pangan secara kualitatif dan
kuantitatif (Pomeranz dan Meloan 2000). HPLC memiliki dua fase, yaitu fase
diam dan fase stasioner. Pelarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase
stasioner. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses
migrasi diferensial dimana komponen-komponen sampel ditahan secara selektif
Pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam HPLC adalah air, metanol,
asetomitril, kloroform dan pelarut-pelarut lain yang memiliki viskositas yang
rendah (Pomeranz dan Meloan 2000). Tahap awal yang dilakukan sebelum
dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi, yaitu pembuatan hidrolisat
protein yang bertujuan untuk memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis
asam atau basa. Hidrolisis asam yang umum digunakan yaitu HCl 6 N yang
menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit juga kerusakan terjadi pada serin
dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak
merusak triptofan tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain (Nur et al. 1992). Contoh Gambar HPLC bisa dilihat pada Lampiran 1.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat (1) Lokasi pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan di Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon,
Jawa Barat. Desa Gebang Mekar merupakan salah satu desa pantai yang berada di
kecamatan Babakan, berada di wilayah timur Cirebon. Secara geografis Desa
Gebang Mekar berada pada posisi 108o43’5” BT dan 6o49’ LS dan dapat
ditempuh dengan menggunakan angkutan darat 1-2jam perjalanan dari pusat kota
Cirebon. Lokasi Desa Gebang Mekar disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon
(2) Tempat penelitian utama
Penelitian utama dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2011
bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan,
Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia
Hasil Perairan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan dan
Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu rajungan dengan
panjang rata-rata 11-13 cm, tidak dalam keadaan baru berganti cangkang dan
tidak sedang bertelur. Akuades, H2SO4, NaOH, HCl dan pelarut heksana (analisis
proksimat), akuades dan NaCl (analisis PLA dan PLG), HCl, buffer kalium borat,
buffer natrium asetat (analisis asam amino), larutan Bouin’s, alkohol, xylol,
parafin, pewarna haematoxilin dan eosin (analisis histologi).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat bedah, termometer,
mortar, timbangan digital dan timbangan analitik, cawan porselen, oven,
desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung Kjeldahl, destilator, buret,
tabung sokhlet, pemanas, tanur, sentrifuse, syringe dan HPLC merk Shimadzu, mikrotom, mikroskop cahaya merk Olympus CH30 dan kamera digital merk
canon.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian tahap 1 dan tahap 2.
Penelitian tahap 1 dilakukan dengan melakukan survei/sampling bahan baku ke
lapangan untuk memperoleh informasi tentang rajungan. Rendemen rajungan
ditentukan sebelum dan setelah dilakukan pengukusan. Penelitian tahap 2
3.3.1 Persiapan contoh
Rajungan segar yang diperoleh dari Desa Gebang Mekar, Cirebon dibawa
menggunakan coolbox dan diberi es untuk menjaga kesegarannya. Rajungan diangkut ke Bogor dengan perjalanan lebih kurang enam jam. Preparasi sampel
diawali dengan pencucian rajungan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan
untuk membersihkan kotoran yang melekat pada rajungan. Rajungan yang sudah
bersih kemudian diukur morfometriknya menggunakan penggaris dengan ukuran
30 cm. Penentuan panjang rajungan dilakukan dengan mengukur bagian cangkang
dari kiri ke kanan rajungan secara dorsal dari ujung duri terpanjang, sedangkan
penentuan tinggi dengan cara mengukur bagian ujung cangkang rajungan dari atas
ke bawah bagian cangkang yang tertinggi.
Rajungan yang telah diukur dibagi menjadi dua bagian, yaitu rajungan segar
dan kukus. Pengukusan dilakukan dengan cara memasukkan rajungan ke dalam
panci berisi air yang telah dipanaskan mencapai suhu 70 0C. Pengukusan
dilakukan selama 28 menit, kemudian rajungan didinginkan selama 30 menit
(Purwaningsih et al. 2005), sebelum dan sesudah pengukusan dilakukan penimbangan untuk mengetahui perubahan berat rajungan.
Rajungan segar dan kukus kemudian dipreparasi dengan cara memisahkan
daging rajungan dari cangkang dan jeroannya. Daging rajungan dari seluruh
bagian tubuh digabungkan dan dihaluskan dengan mortar. Daging rajungan segar
dan kukus yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat
serta diberi kode masing-masing.
3.3.2 Rendemen
Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh rajungan dari
bobot awal. Perumusan matematik rendemen adalah sebagai berikut:
Rendemen (%) = Bobot contoh (g) x 100%
Berat Total (g)
3.3.3Analisis kimia
Analisis kimia daging rajungan terdiri atas analisis proksimat, protein larut
3.3.3.1 Analisis proksimat
Analisis proksimat yang dilakukan terhadap rajungan meliputi: kadar air,
abu, protein dan lemak.
1) Analisis kadar air (AOAC 1995)
Prinsip analisis kadar air yaitu menguapkan air yang terdapat dalam bahan
dengan oven dengan suhu 100-105 oC dalam jangka waktu tertentu hingga
diperoleh berat konstan. Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar
air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 0C
selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30
menit) hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Cawan dan sampel
seberat 1-2 gram ditimbang. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
102-105 0C selama 6 jam (atau hingga diperoleh berat konstan bahan kering). Cawan
tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian
ditimbang.
Perhitungan kadar air:
% kadar air = B - C x 100%
B - A
Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Prinsip analisis kadar abu yaitu membakar bahan dalam tanur dengan suhu
600 oC sehingga seluruh unsur organik habis terbakar dan berubah menjadi gas
dan sisanya yang tidak terbakar adalah abu yang merupakan kumpulan dari
mineral-mineral yang terdapat dalam bahan. Cawan abu porselen dikeringkan di
dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam
cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan
bersuhu sekitar 105 0C sampai tidak berasap (sampai abu berwarna putih).
Cawan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 2-3 jam. Cawan abu
porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang
Perhitungan kadar abu:
% Kadar abu: C - A x 100%
B - A
Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)
B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)
C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan
(gram)
3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)
Prinsip analisis protein yaitu penetapan protein kasar dilakukan berdasarkan
penentuan kadar nitrogen yang terdapat dalam bahan, kandungan nitrogen yang
diperoleh dikalikan dengan angka konversi menjadi nilai protein. Tahap-tahap
yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi,
destilasi dan titrasi.
(1) Tahap destruksi
Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan
ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke
dalam alat pemanas bersuhu 410 0C dan ditambahkan 10 ml air. Proses
destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.
(2) Tahap destilasi
Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan
akuades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan
ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.
Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom
cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam
erlenmeyer.
(3) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
pada Erlenmeyer berubah warna menjadi pink.
% Nitrogen = (ml HCl sampel – ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100%
mg bahan
% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)
4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)
Prinsip analisis kadar lemak adalah melarutkan lemak yang terdapat dalam
suatu bahan dengan pelarut non organik, kemudian pelarut diuapkan sehingga
yang terukur hanya kadar lemak dalam bahan saja. Sampel seberat 2 gram (W1)
dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak,
kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya
(W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan
ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak.
Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu
40 0C menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam
labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap dan pelarut akan
tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke
dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105
0
C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak:
% Kadar lemak = W3– W2 x 100%
W1
Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3.3.3.2 Analisis protein larut air dan garam (Wahyuni 1992) 1) Analisis protein larut air
Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml air, kemudian dihomogenkan
dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah (5-8 0C). Sampel disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 0C,
selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat ditampung
dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. Sebanyak 1 ml filtrat dianalisis
Perhitungan kadar protein larut air (PLA):
Kadar PLA (%) = (A - B) x Normalitas HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100%
mg bahan
Keterangan: A = Volume titrasi HCl sampel (ml)
B = Volume titrasi HCl blanko (ml)
fp = faktor pengenceran
2) Analisis protein larut garam
Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian
dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah (5-8 0C). sampel disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan
suhu 10 0C kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat
ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. sebanyak 1 ml filtrat
dianalisis kandungan proteinnya dengan metode mikro Kjeldahl.
Perhitungan kadar protein larut garam (PLG):
Kadar PLG (%) = (A - B) x Normalitas HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100%
mg bahan
Keterangan: A = Volume titrasi HCl sampel (ml)
B = Volume titrasi HCl blanko (ml)
Fp = faktor pengenceran
3.3.3.4 Analisis asam amino (AOAC 1999 dengan modifikasi)
Komposisi asam amino ditentukan dengan HPLC. Sebelum digunakan,
perangkat HPLC dan syringe harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam dan akuades. Analisis asam amino dengan
menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) tahap pembuatan hidrolisat
protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; (4) tahap injeksi serta
analisis asam amino.
1)Tahap pembuatan hidrolisat protein
Sampel sebanyak 30 mg ditimbang dan dihancurkan. Sampel yang telah
hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 1 ml yang kemudian
dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel dan
mempercepat reaksi hidrolisis.
2) Tahap pengeringan
Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke dalam
labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCl 0,01 N dan cairan bilasan
dimasukkan ke dalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel
kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer dalam keadaan vakum untuk mengubah sistein menjadi sistin, ditambahkan 10-20 ml air ke dalam sampel dan
dikeringkan dengan freeze dryer. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. 3) Tahap derivatisasi
Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan,
larutan derivatisasi dibuat dari campuran larutan stok OPA dengan larutan buffer
kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1:2. Larutan stok OPA dibuat dengan
cara mencampurkan 50 mg OPA ke dalam 4 ml metanol dan 0,025 ml
merkaptoetanol, dikocok hati-hati dan ditambahkan larutan brij-30 30% sebanyak
0,050 ml dan buffer borat 1 M, pH 10,4 sebanyak 1 ml. Larutan stok pereaksi
OPA disimpan pada botol berwarna gelap pada suhu 4 oC. Proses derivatisasi
dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel.
Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml asetonitril
60% atau buffer natrium asetat 1 M, lalu dibiarkan selama 20 menit. Kemudian
disaring menggunakan kertas saring Whatman.
4) Injeksi ke HPLC
Hasil saringan diambil sebanyak 5 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.
Konsentrasi asam amino yang ada pada bahan ditentukan dengan pembuatan
kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai
yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.
Kandungan asam amino dalam 100 gram bahan dapat dihitung dengan rumus:
% asam amino = Luas daerah sampel x C x fp x BM x 100%
Luas daerah standar Bobot sampel (µg)
Keterangan: C = Konsentrasi standar asam amino (µg/ml)
fp = faktor pengenceran
Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino sebagai berikut:
Temperatur : 27 0C (suhu ruang)
Jenis kolom HPLC : Ultra techspere (Coloum C-18)
Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit
Tekanan : 3000 psi
Fase gerak : Buffer Na-Asetat dan methanol 95%
Detektor : Fluoresensi
Panjang gelombang : 254 nm
3.3.4 Analisis histologi daging rajungan (metode parafin)
Analisis histologi daging rajungan segar dan kukus (jenis daging jumbo)
diawali dengan pembuatan preparat daging rajungan (Portunus pelagicus). Pembuatan preparat sendiri dimulai dengan fiksasi selama 24-48 jam dalam
larutan bouin’s. Fiksasi dilakukan untuk mencegah kerusakan dan
mempertahankan keadaan jaringan seperti keadaan hidup. Larutan fiksatif
dibuang, sampel direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Proses dehidrasi
dilakukan dengan perendaman jaringan rajungan sebanyak lima kali dalam larutan
alkohol dengan konsentrasi masing-masing 80%, 90%, 95%, 95% dan 100%
selama masing-masing 2 jam kecuali untuk konsentrasi 100% selama satu malam.
Proses clearing dilakukan dengan cara bahan dipindahkan ke dalam wadah berisi larutan alkohol 100% baru selama satu jam. Bahan dipindahkan ke dalam
larutan alkohol-xylol (1:1), xylol I, xylol II, xylol III selama masing-masing
setengah jam. Bahan kemudian dipindahkan ke dalam larutan xylol-parafin (1:1)
selama 45 menit dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 65-70 oC.
Pergantian parafin dilakukan setiap 45 menit sekali sebanyak 3 kali pergantian.
Proses blocking dilakukan dengan memindahkan larutan parafin ke dalam cetakan dan dilakukan penyusunan jaringan di dalam cetakan. Cetakan parafin disimpan
pada suhu ruang selama satu malam. Setelah proses blocking selesai, dilakukan penyayatan dengan mikrotom Yamoto RV-240 putar setebal 7-8 µm. Hasil
sayatan kemudian direkatkan pada gelas obyek, selanjutnya direndam dalam
larutan xylol I, xylol II, alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol 95%, alkohol
90%, alkohol 80%, alkohol 70% dan alkohol 50% masing-masing selama tiga
Preparat diwarnai dengan haematoxylin selama tujuh menit dan eosin selama
satu menit. Pada proses pewarnaan, gelas obyek direndam ke dalam larutan
alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol 100% I, alkohol
100% II selama masing-masing dua menit, dilanjutkan perendaman dalam larutan
xylol I dan xylol II selama masing-masing 2 menit. Preparat direkatkan
menggunakan entellan atau Canada balsam dengan gelas penutup, kemudian
diberi label di sebelah kiri gelas obyek. Preparat diamati menggunakan mikroskop
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus)
Rajungan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Desa Gebang
Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Rajungan memiliki
ciri-ciri capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri dan mempunyai karapas
berbentuk bulat pipih. Warna dasar rajungan ini adalah kebiru-biruan atau
kehijau-hijauan bercak-bercak putih. Gambar rajungan (Portunus pelagicus) secara dorsal dan ventral dapat dilihat pada Gambar 6.
(a) (b)
Gambar 6 Rajungan dorsal (a) dan ventral (b).
Pengukuran yang dilakukan terhadap rajungan meliputi pengukuran panjang,
lebar dan bobot. Karakteristik ukuran dan bobot rajungan dapat dilihat pada
Tabel 5. Rajungan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 5 Ukuran panjang dan bobot rajungan
Parameter Satuan Nilai
Panjang cm 11,20 ± 0,89
Lebar cm 5,17 ± 0,49
Bobot total g 95,10 ± 9,53
Keterangan : Sampel 30 ekor rajungan
Tabel 5 menunjukkan bahwa rajungan yang ditangkap oleh nelayan di Desa
Gebang Mekar, Cirebon memiliki panjang rata-rata 11,20 cm, lebar rata-rata
5,17 cm dan bobot rata-rata 95,1 gram. Rajungan bisa mencapai panjang
maksimum 18 cm. Perbedaan antara rajungan jantan dan betina terlihat sangat
membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu
karang tetapi sekali-kali dapat juga berenang ke permukaan perairan.
Perbedaan ukuran dan bobot rajungan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya faktor pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan
yang mendukung untuk pertumbuhan. Hasil wawancara dengan nelayan
menunjukkan bahwa rajungan ditangkap pada saat kondisi gelombang laut tenang
pada pukul 08.00 WIB pagi hari dan didaratkan di tempat pengumpul pada pukul
15.00 WIB untuk kemudian ditimbang oleh pedagang pengumpul.
4.2 Rendemen Rajungan
Rendemen adalah bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan
dimanfaatkan. Rendeman merupakan parameter penting untuk mengetahui nilai
ekonomis dan efektifitas suatu bahan baku. Rajungan yang digunakan pada
penelitian ini memiliki nilai rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan
preparasi dalam keadaan segar dan setelah pengukusan.
Rendemen rajungan merupakan bagian tubuhnya yang masih bisa
dipergunakan yang diperoleh dengan cara membedah rajungan, memisahkan
daging dengan cangkang, kemudian memisahkan bagian daging dengan jeroan.
Rendemen daging rajungan dapat dihitung berdasarkan persentase perbandingan
bobot keseluruhan daging yang sudah diambil dari cangkang dan dipisahkan dari
jeroan terhadap bobot total rajungan. Rendemen rajungan segar dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7 Persentase rendemen rajungan segar. Cangkang
(51,62%) Daging
Gambar 7 menunjukkan bahwa rajungan segar memiliki persentase rendemen
tertinggi pada cangkang, yaitu sebesar 51,62%, rendemen daging sebesar 35,77%
dan rendemen jeroan mempunyai nilai yang terkecil sebesar 12,61%. Rendemen
hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari ukuran, berat dan jenisnya.
Rendemen total daging rajungan sebesar 25-35% dari berat tubuhnya dan
besarnya rendemen ini dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku, cara pengambilan
dagingnya serta jenis kelamin rajungan dimana rajungan jantan memiliki nilai
rendemen daging yang lebih besar bila dibandingkan dengan rajungan betina
(Indriyani 2006).
Rajungan memiliki cukup besar bagian yang belum dimanfaatkan yakni
bagian cangkang dan jeroannya. Tangko dan Rangka (2009) menyatakan bahwa
limbah dari rajungan dapat dibuat kitosan sebagai pengganti formalin. Limbah
yang dimaksud adalah kepala, kulit, ekor maupun kaki rajungan yang pada
umumnya 25-50% dari berat rajungan. Potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut
menjadi polisakarida, kitosan dan glukosamin. Ketiga produk ini mempunyai sifat
mudah terurai dan tidak bersifat beracun sehingga sangat ramah lingkungan.
Pemanfaatan cangkang rajungan ini menjadi bahan baku kitosan akan menerapkan
proses produksi tanpa limbah (zero waste).
Rajungan setelah pengukusan mengalami perubahan jumlah rendemen.
Pengukusan menyebabkan penyusutan berat rata-rata rajungan dari 76,69 gram
menjadi 65,19 gram, atau mengalami penyusutan sebesar 14,99% dari berat
rata-rata semula.
Penyusutan rendemen rajungan terjadi karena selama pengukusan pada suhu
70-82 oC selama 28 menit menyebabkan kandungan air bebas yang terdapat pada
daging, jeroan dan cangkang keluar sehingga terjadi pengurangan berat.
Pengukusan merupakan salah satu proses pemanfaatan perlakuan panas yang
penting dalam pengolahan rajungan melalui media air tetapi air tidak bersentuhan
langsung dengan produk. Pengukusan sebelum penyimpanan bertujuan untuk
mengurangi kadar air dalam bahan baku sehingga tekstur bahan menjadi kompak.
Keluarnya air dari rajungan juga menyebabkan beberapa komponen penting
dan mineral berkurang, namun penurunan zat gizi yang diakibatkan pengukusan
tidak sebesar perebusan (Thamrin dan Prayitno 2008).
4.3 Hasil Analisis Kimia
Hasil analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi
mengenai komposisi proksimat, komposisi protein larut air dan protein larut
garam serta asam amino daging rajungan segar dan kukus yang diperoleh dari
Desa Gebang Mekar, Cirebon.
4.3.1 Komposisi proksimat, protein larut air dan protein larut garam
Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting
dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di
dalam bahan pangan tersebut. Komposisi kimia yang terdapat dalam rajungan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan,
suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).
Kandungan dalam suatu produk merupakan parameter yang penting bagi
konsumen dalam mempertimbangkan pemilihan makanan yang dikonsumsinya.
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui komposisi kimia
kandungan suatu bahan pangan. Salah satunya adalah analisis proksimat untuk
mengetahui kandungan gizi secara kasar (crude) yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat yang dihitung secara by difference. Hasil analisis proksimat, protein larut air dan protein larut garam daging rajungan dapat dilihat
pada Tabel 6. Data mentah komposisi proksimat, PLA dan PLG disajikan pada
Lampiran 3.
Tabel 6 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam daging rajungan
Jenis Gizi
Rajungan Segar (%) Rajungan kukus (%) Basis
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rajungan kukus. Komposisi kadar abu,
lemak, protein kasar, protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG)
menggunakan basis kering. Penentuan pada berat basis kering dimaksudkan untuk
mengetahui besar perubahan sesungguhnya yang terjadi pada kadar abu, lemak
protein kasar, protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG) daging
rajungan setelah pengukusan dengan mengabaikan kadar airnya.
1) Kadar air
Air merupakan kebutuhan dasar dari seluruh makhluk hidup, manusia, hewan
dan tumbuhan termasuk bakteri. Tingginya kadar air pada suatu bahan pangan
akan mempengaruhi kesegaran bahan pangan tersebut. Produk hasil perikanan
mempunyai kadar air yang sangat tinggi sekitar 80% (Adawyah 2007) sehingga
sangat berpotensi sebagai media pertumbuhan bakteri dan menurunkan kesegaran
dan mutu produk.
Air dalam suatu bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya tahan
bahan itu sendiri. Perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air
yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu sendiri. Air yang terdapat dalam
suatu bahan makanan terdapat dalam tiga bentuk, yaitu air bebas, air yang terikat
secara lemah dan air yang dalam keadaan terikat kuat. Air bebas adalah air yang
terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan intergranular dan pori-pori yang terdapat
pada bahan. Air yang terikat secara lemah karena terserap pada permukaan koloid
makromolekul antara lain protein, pektin, pati dan selulosa. Air yang dalam
bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada
proses pembekuan. Air yang dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat.
Ikatannya bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan
(Winarno 1999).
Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air bebas yang terdapat
dalam daging rajungan. Rajungan memiliki persentase kadar air yang tertinggi
dibandingkan dengan kadar abu, protein dan lemak. Kadar air daging rajungan
segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan kadar air pada daging rajungan segar yang berasal dari
Desa Gebang Mekar, Cirebon sebesar 78,47% (bb). Nilai ini lebih kecil daripada
Gegunung Wetan, Rembang, yaitu sebesar 80,59% dan 79,11% (Nurjanah et al. 2009). Perbedaan kadar air ini disebabkan oleh perbedaan habitat, kondisi
lingkungan, umur dan jenis kelamin rajungan.
Kadar air yang terdapat pada daging rajungan kukus mengalami penurunan
dibandingkan daging rajungan segar menjadi 75,43% (bb). Kadar air daging
rajungan rebus menurut penelitian Nurjanah et al. (2009) adalah sebesar 76,41%. Penurunan kadar air dipengaruhi oleh faktor pemasakan yang menyebabkan cairan
dari dalam daging rajungan merembes keluar (terjadi drip).
Setiap spesies memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda, termasuk kadar
airnya. Kadar air pada daging kepiting bakau (Scylla serrata) segar menurut penelitian Benjakul dan Sutthipan (2009) adalah sebesar 78,69%. Kadar air
daging rajungan memiliki nilai yang tidak terlalu jauh dengan kadar air pada
daging kepiting, yaitu 78,47%.
2) Kadar abu
Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang
terkandung dalam bahan tersebut. Penentuan kadar abu total sangat berguna
sebagai parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Dalam proses pembakaran,
bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut
abu (Winarno 2008).
Kadar abu daging rajungan segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada
Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan kadar abu daging rajungan segar sebesar 7,66%
(bk) dan pada daging rajungan kukus menjadi 6,02% (bk). Kadar abu daging
rajungan rebus menurut penelitian Nurjanah et al. (2009) adalah sebesar 9,53% (bk).
Pengukusan menyebabkan pecahnya partikel-partikel mineral yang terikat
pada air akibat pemanasan sehingga mineral pada daging rajungan terlarut ke
dalam air pengukusan dan terbawa bersama uap air yang keluar dari daging
selama pengukusan. Tamrin dan Prayitno (2008) menyatakan bahwa pengukusan
akan menyebabkan penurunan zat gizi pada suatu bahan. Mineral yang ikut
terbawa bersama uap selama pengukusan antara lain Co, Mg, Cu dan P (Harris