• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEPATUHAN DAN KEMANDIRIAN SANTRI REMAJA

DI PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH

NURLAILI RAHMAH DINI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ABSTRAK

NURLAILI RAHMAH DINI. The Relationship between Emotional Intelligence with Adolescent Santri’s Obedience and Autonomy in Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. Supervised by DIAH KRISNATUTI and TIN HERAWATI.

Pesantren is one of national education institution which focuses not only in general knowledge but also religion knowledge. Obedience and autonomy are two things which popularly in boarding school life. There are many activities and rules that students have to do well. The main objective of this research was to observe the relation between emotional intelligence with obedience and autonomy of santri. The method of this research was cross sectional study with 63 samples. Analysis data which used was Sample’s Independent T-test, Spearman’s Correlation, and Chi-Square’s Correlation. The results of this research showed that emotional intelligence level of females was higher than males. Obedience level of females was classified as middle level and males was classified as low level. Autonomy level of females and males was classified as high level. There was correlation between emotional intelligence with obedience and autonomy. Despite of that, there was also correlation between quantities of family with emotional intelligence. If students had good emotional intelligence, they also had good obedience and autonomy.

(3)

RINGKASAN

NURLAILI RAHMAH DINI. I24052395. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan TIN HERAWATI.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian pada santri remaja di pondok pesantren. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : (1) Mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, (2) Mengidentifikasi kecerdasan emosional contoh, (3) Mengidentifikasi kepatuhan dan kemandirian contoh, (4) Mengidentifikasi persepsi contoh terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren, (5) Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga dengan tingkat kecerdasan emosional, (6) Menganalisis hubungan antara tingkat kecerdasan emosional, kepatuhan, dan kemandirian contoh.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di SMP Manba’ul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi penelitian merupakan pondok pesantren modern. Pengumpulan data dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2009. Total contoh dalam penelitian ini sebanyak 63 santri dengan 32 santri laki-laki dan 31 santri perempuan. Data primer meliputi kecerdasan emosional, kepatuhan, kemandirian, persepsi pola asuh emosi, karakteristik pribadi dan keluarga contoh. Data sekunder yang digunakan adalah karakteristik pondok pesantren. Data yang diperoleh melalui proses editing, coding, scoring, entry data ke computer, cleaning, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS for windows versi 13. Setelah itu, data dianalisis dengan menggunakan uji deskriptif, beda mean, dan korelasi.

Lebih dari separuh contoh berusia 13 tahun, tergolong pada kategori anak pertama, dan berasal dari keluarga dengan ukuran sedang (5-6 orang). Lebih dari separuh contoh memiliki orangtua dengan kategori usia dewasa madya (40-60 tahun) untuk ayah dan dewasa awal (18-40 tahun) untuk ibu. Persentase terbesar contoh memiliki orangtua dengan pendidikan tertinggi adalah SMA/sederajat, pendapatan yang berkisar antara Rp 1 juta – Rp 3 juta, dan pekerjaan ayah sebagai wiraswasta serta ibu sebagai ibu rumah tangga.

Sebagian besar contoh memiliki kecerdasan emosional yang tergolong baik. Lebih dari separuh contoh memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Hampir seluruh contoh memiliki kemandirian yang baik dan tidak terkecuali dalam kemandirian emosi, kemandirian perilaku serta kemandirian nilai. Hampir seluruh contoh menyimpulkan bahwa pola asuh emosi di pondok pesantren termasuk dalam kategori baik. Selain itu, pengasuh atau ustad/ustadzah ternyata cenderung menerapkan jenis pola asuh pelatih emosi atau coaching kepada para santri.

Mengenai hubungan antar variabel, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik contoh dengan kecerdasan emosional. Karakteristik keluarga memiliki hubungan dengan kecerdasan emosional, walaupun hanya besar keluarga saja sehingga semakin banyak anggota keluarga contoh maka kecerdasan emosional contoh juga semakin meningkat.

(4)

emosi yang dimiliki contoh sudah berada pada tingkat baik maka kepatuhan dan kemandiriannya pun akan baik pula.

(5)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEPATUHAN DAN KEMANDIRIAN SANTRI REMAJA

DI PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH

NURLAILI RAHMAH DINI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul : HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEPATUHAN DAN KEMANDIRIAN SANTRI REMAJA DI PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH

Nama : Nurlaili Rahmah Dini

NRP : I24052395

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS Tin Herawati, SP. M.Si NIP. 19601007 198503 2 001 NIP. 19720428 200604 2 007

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc NIP. 19630714 198703 1 002

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah dengan baik. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS dan Tin Herawati, SP. M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, waktu, kesabaran, dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih karena ibu telah memberikan dukungan, semangat, keceriaan, dan optimisme kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Hartoyo, M.Si selaku dosen pembimbing akademik selama 3 tahun di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas perhatian, motivasi, dan keceriaan yang telah diberikan kepada penulis.

3. Neti Hernawati, SP. M.Si selaku dosen pemandu seminar dan Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc selaku dosen penguji sidang atas waktu dan masukan yang telah diberikan kepada penulis selama seminar dan ujian sidang.

4. Orangtuaku, Teteh, Riri, dan Bullah yang selalu dan tak pernah putus memberi semua dukungan, kasih sayang dan doa kepada penulis.

5. Keluarga besarku, Nenek, Kakek yang tidak pernah putus mendoakan penulis dan selalu mengingatkan penulis agar tetap ikhtiar dan tawakal kepada Allah SWT.

6. Kepala sekolah dan guru SMP Manba’ul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah yang telah memberikan waktu, izin, dan bantuan dalam pengambilan data kepada penulis.

7. Sahabat-sahabatku di IKK’42 : Tika, Anne, Sri, Asro, Bu Endah, Anna, Maul dan semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk dukungan, semangat, tawa serta canda yang telah diberikan kepada penulis.

8. Sahabat-sahabatku di Ash-Shohwah tercinta : Ais, Vivit, Tante, Chila dan semuanya yang selalu memberikan semangat, bantuan, dan perhatian kepada penulis.

(8)

Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah luput dari kesalahan. Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaikinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1987. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Samsudin dan Ibu Siti Asnawati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Ceger 02 Pagi pada tahun 1999. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, penulis melanjutkan pendidikan di MTs Manba’ul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Tangerang dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2002. Pada tahun 2005, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas di MAN 2 Jakarta.

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis berhasil diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia dengan minor Komunikasi.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kepatuhan... 6

Kemandirian... 7

Kecerdasan Emosi ... 11

Pola Asuh... 13

Pondok Pesantren... 17

Remaja ... 19

Karakteristik keluarga... 23

KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, Waktu, dan cara pemilihan contoh ... 27

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 28

Pengolahan dan Analisa Data ... 29

Definisi Operasional ... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 34

Karakteristik Contoh ... 37

Karakteristik Keluarga ... 38

Kecerdasan Emosional ... 41

Kepatuhan ... 51

Kemandirian... 54

Pola asuh emosi... 60

Hubungan Antar Variabel ... 65

KESIMPULAN DAN SARAN... 70

DAFTAR PUSTAKA... 72

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Era globalisasi merupakan suatu zaman dimana pertukaran budaya, seni dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi sangat pesat dan bebas. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki era ini. Salah satunya adalah memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas tidak hanya dari segi IQ (Intelligence Quotient) melainkan juga EI (Emotional Intelligence) serta berdayasaing tinggi. Menurut Kuncoro (2008) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara yang menggambarkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih sangat rendah.

Setiap individu, pada dasarnya dituntut untuk memiliki beragam keterampilan yang dapat menunjang kemampuan agar berdayasaing tinggi. Terampil tidak hanya dalam bekerja (bagian dari IQ) tetapi juga secara emosi (bagian dari EI). Di negara Indonesia ternyata kedua hal ini belum mendapat dukungan yang maksimal oleh sistem pendidikan yang ada. Selama ini para siswa ditekankan untuk mengerti dan memahami materi pelajaran hanya agar dapat menjawab soal ujian dengan benar. Padahal sesungguhnya, dalam dunia kerja tidak hanya kecerdasan inteligensi yang dibutuhkan melainkan juga kemampuan-kemampuan secara psikis seperti memiliki kepribadian yang baik, tangguh, disipilin, beretos kerja, profesional, mandiri, bertanggung jawab, dan produktif.

Hartono (2006) menjelaskan bahwa pondok pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki fokus tidak hanya pada ilmu pengetahuan umum tetapi juga ilmu agama. Selain itu sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren juga tidak sama dengan sekolah umum biasa. Hal itu terlihat bahwa pondok pesantren lebih menekankan sistem pengajaran yang berlandaskan kekeluargaan. Hal ini dilakukan karena sebagian besar santrinya berusia belasan tahun atau biasa dikenal dengan masa remaja dimana dipenuhi oleh gejolak emosi yang meluap-luap dan sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain.

(12)

tidak hanya secara emosi melainkan juga tingkah laku dan nilai dalam membangun pandangan hidup.

Sebagian besar santri dapat dikatakan berasal dari keluarga dengan adat dan budaya yang berbeda-beda, sehingga tugas kiai atau ustad/ustadzah adalah sebagai orangtua pengganti, yang berkewajiban menjaga, memberi kasih sayang dan mendidik para santri selama berada di pondok pesantren. Pesantren mengajarkan santri bahwa mereka harus memiliki disiplin dan kesadaran diri dalam melakukan kegiatan apa pun, sehingga nantinya mereka dapat memahami manfaat dari apa yang telah mereka lakukan. Hal itu terlihat jelas dari beberapa peraturan dan sanksi di pondok pesantren yang secara sengaja diadakan untuk menunjang terciptanya kepatuhan dan kemandirian santri dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari, walaupun tetap saja semua itu kembali kepada kepribadian masing-masing santri dan kecerdasan emosi yang dimilikinya.

Kepatuhan dan kemandirian merupakan bagian dari kehidupan pesantren yang mengajarkan sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral kepada santri serta menyiapkan mereka untuk hidup sederhana dan bersih hati. Santri remaja terkenal dengan sebutan fase “mencari jati diri” dan fase perkembangan yang amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan kepatuhan dan kemandirian para santri remaja di pondok pesantren.

Perumusan Masalah

Data HDI (Human Development Index) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara (Kuncoro 2008). Berdasarkan data di atas maka pembangunan manusia di Indonesia dapat dikatakan berada pada tingkat mediumatau sedang. Hal ini merupakan petunjuk sekaligus tanda bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih sangat perlu ditingkatkan.

Individu yang mulai memasuki masa remaja akan menghadapi masa yang penuh konflik. Hal ini menimbulkan keresahan dan kontradiksi pada diri remaja. Kemandirian dan kepatuhan yang merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan remaja dirasa mulai perlu diperhatikan. Hal ini juga berlaku bagi santri remaja yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren.

(13)

Santri tidak bisa mengandalkan orang lain karena setiap santri mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa para santri tidak saling peduli satu sama lain.

Terlepas dari latar belakang keluarga yang berbeda, seluruh santri dihadapkan pada sejumlah peraturan yang harus dipatuhi dan sanksi-sanksi jika ada yang melanggar. Kepatuhan pada taraf tertentu diduga dapat menghambat perkembangan kemandirian dari seorang santri (Hartono 2006). Hal ini dikarenakan kepatuhan menuntut santri untuk mengikuti peraturan yang ada tanpa memikirkan manfaat yang akan diperolehnya. Meskipun demikian, peraturan sebenarnya sengaja diadakan agar santri mematuhi dengan kesadaran sendiri dan memiliki kemandirian untuk dapat menjalankan kehidupannya kelak dengan baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan santri remaja di pesantren sudah berada pada tingkat yang cukup tinggi. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik remaja yang cenderung menyesuaikan tingkah laku dengan norma yang berlaku di dalam lingkungannya sehingga santripun cenderung untuk melaksanakan perintah (aturan pondok pesantren) atau permintaan kiai yang dianggapnya sebagai pimpinan dari pondok pesantren. Akan tetapi kemandirian santri masih dalam tingkat sedang dan rendah yang berarti santri belum benar-benar mandiri baik dalam hal emosi, tingkah laku maupun nilai untuk membangun kepercayaan dan pandangan hidup yang sesuai dengan nilainya sendiri.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana karakteristik santri dan keluarganya?

2. Bagaimana santri mempersepsikan pola asuh emosi di pondok pesantren?

3. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional santri di pondok pesantren?

4. Bagaimana kepatuhan santri terhadap aturan sekolah dan aturan pondok pesantren?

(14)

Tujuan Penelitian Tujuan Umum :

Mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian santri di pondok pesantren.

Tujuan Khusus :

1. Mengidentifikasi karakteristik anak (usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran) dan karakteristik keluarga (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan besar keluarga)

2. Mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial)

3. Mengidentifikasi kepatuhan contoh (patuh terhadap aturan di sekolah dan pondok pesantren) dan kemandirian contoh (tingkah laku, emosi dan nilai dalam membangun pandangan hidup)

4. Mengukur persepsi contoh terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren

5. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak dan keluarga dengan tingkat kecerdasan emosional

6. Menganalisis hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian contoh

Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk mempelajari fenomena yang ada di masyarakat sehingga diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah agar bermanfaat bagi orang banyak.

2. Bagi para orangtua dan generasi muda, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu sarana kajian mengenai kecerdasan emosional dan hubungannya dengan kepatuhan dan kemandirian yang dimiliki remaja.

3. Bagi institusi pendidikan, khususnya pondok pesantren, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kualitas yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, kepatuhan dan kemandirian santri. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

(15)
(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepatuhan

Menurut Hartono (2006) kepatuhan adalah perubahan sikap dan tingkah-laku seseorang untuk mengikuti permintaan atau perintah orang lain. Seseorang dikatakan patuh terhadap orang lain apabila orang tersebut dapat: (1) mempercayai (belief), (2) menerima (accept), dan (3) melakukan (act) sesuatu atas permintaan atau perintah orang lain. “Belief” dan “accept” merupakan dimensi kepatuhan yang terkait aspek tingkah-laku patuh seseorang.

McKendry (2009) menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan kecenderungan dan kerelaan seseorang untuk memenuhi dan menerima permintaan, baik yang berasal dari seorang pemimpin atau yang bersifat mutlak sebagai sebuah tata tertib atau perintah. Ada dua macam istilah kepatuhan yaitu kepatuhan baik yang biasa disebut kepatuhan bermanfaat dan kepatuhan yang kurang baik atau merusak.

Kepatuhan bermanfaat ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari seperti seorang anak yang patuh kepada orangtua dan guru atau karyawan yang harus secara rutin menjalankan instruksi yang diberikan oleh pemimpin atau bos mereka. Sedangkan kepatuhan yang kurang baik atau kepatuhan yang merusak terlihat pada suatu kelompok yang mempengaruhi orang lain serta perilaku orang tersebut. Selain itu, jika ada seseorang yang patuh kepada orang lain dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut yang sebenarnya tidak ingin ia sakiti ketika berada dibawah suatu ancaman maka hal itu bisa dikatakan sebagai kepatuhan yang merusak.

(17)

Harrison (2009) menjelaskan cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kepatuhan yang merusak :

1. Memberikan dukungan atas perselisihan atau perbedaan di depan umum Banyak sekali individu yang memiliki kelemahan dalam mengutarakan pendapat karena tidak yakin bahwa orang lain memiliki pendapat yang sama dengan dirinya. Jika seseorang dalam suatu forum diberi dukungan untuk mengutarakan pendapat tanpa tekanan akan adanya tindakan balasan terhadap tindakannya tersebut maka ada banyak anggota lain yang akan ikut mengutarakan pendapat mereka. Jika sudah banyak anggota, dalam forum, yang mengutarakan perhatian-perhatian mereka, maka cara tersebut akan mengurangi kekuatan suatu forum atau kelompok dalam menarik anggota untuk sekedar mengikuti tanpa adanya pemahaman dan penjelasan (Baron & Byrne 2004, diacu dalam Harrison 2009).

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya kepatuhan yang merusak

Pengetahuan terbukti dapat menjadikan individu memiliki cara dalam melawan tekanan buruk yang berasal dari lingkungan sekitar (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Ketakutan akan hukuman, biasanya membuat individu merasakan efek psikologis yang ternyata dapat menguatkan hubungannya dengan suatu kelompok tertentu. Pada umumnya individu, yang termasuk dalam kelompok tertentu, sungguh dibatasi pengetahuannya terlebih yang berasal dari luar sehingga individu semakin kesulitan dalam membuat keputusan-keputusan yang bijaksana (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Mendidik masyarakat dengan baik sebelum mereka menjadi korban dari lingkungan yang tidak baik adalah kunci dalam menghindari kepatuhan yang merusak.

Kemandirian

(18)

masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

Harter (1999) diacu dalam Zimmer-Gembeck (2001) menyatakan bahwa rata-rata laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam mengeluarkan pendapat ketika mereka berada di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada kenyataannya, remaja laki-laki mempunyai cara yang berbeda dengan remaja perempuan ketika mengeluarkan pendapat tentang apa yang dipikirkan dan ketika berinteraksi dengan berbagai orang seperti teman, orangtua ataupun guru. Remaja perempuan memiliki kepercayaan yang rendah ketika harus mengekspresikan pendapat didepan khalayak banyak dibanding laki-laki, meskipun perempuan terbukti memiliki kualitas hubungan yang lebih baik dibanding laki-laki.

Steinberg (2001) menjelaskan bahwa kemandirian terbagi menjadi tiga dimensi yaitu :

1. Kemandirian emosi (emotional autonomy)

Dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan atau keterikatan hubungan emosional antara anak dengan orangtua. Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan dengan orang tua.

Hubungan antara orangtua dan anak akan mengalami perubahan dengan sangat cepat, terutama sekali pada saat anak memasuki usia remaja dimana pada usia ini anak sudah dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga waktu yang diluangkan orang tua untuk anak remajanya akan semakin berkurang disamping menyusul semakin tingginya kemandirian emosi remaja, meskipun tidak dapat diputuskan secara sempurna (Berk 1994; Rice 1996).

Kemandirian emosi harus dicapai oleh para remaja dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, belajar mengontrol diri sendiri dan mengidentifikasi orang tua sebagai teman yang dapat dipercaya, bukan lagi sebagai model (Beyers & Goosens 1999).

(19)

permasalahan di luar keluarga dan dalam kenyataannya remaja merasa lebih dekat dengan teman dibanding orangtua; dan (4) remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik sebagai orang tua sesungguhnya maupun sebagai teman dalam mendiskusikan berbagai hal (Steinberg 2001).

Steinberg (2001) menyatakan bahwa ada empat komponen kemandirian emosi antara lain :

a. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk tidak terlalu mengidealkan (“de-idealized”) orang tua

b. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk memandang orang tua sebagai orang dewasa atau orang lain pada umumnya (parent as people)

c. Suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap no dependency artinya remaja lebih bersandar kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan kepada orang tua

d. Suatu tingkat dimana remaja menampilkan perilaku bertanggung jawab dalam hubungannya dengan orang tua (individuated)

2. Kemandirian perilaku (behavioral autonomy)

Kemandirian perilaku merupakan dimensi kemandirian dalam bentuk fungsi individu yang aktif dan nyata, dimana individu memiliki kebebasan untuk berbuat dan bertindak tanpa harus bergantung pada orang lain (Sprinthal & Collins 1995). Steinberg (2001) menjelaskan individu yang mandiri secara perilaku memiliki kemampuan untuk membuat suatu keputusan sendiri dan dapat melaksanakan keputusannya tersebut. Ada tiga karakteristik remaja yang memiliki kemandirian perilaku yaitu : (1) Memiliki kemampuan mengambil keputusan; (2) Memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain; dan (3) Memiliki rasa percaya diri (self-reliance).

3. Kemandirian nilai (values autonomy)

(20)

prinsip (principle belief); dan (c) keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri, bukan hanya dalam sistem nilai yang diajarkan oleh orang tua melainkan juga orang dewasa disekitarnya (independent belief). Dari ketiga dimensi kemandirian di atas, kemandirian nilailah yang paling kompleks karena terjadi melalui proses internal yang biasanya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir serta paling sulit dicapai (Karma 2002).

Moore (1987) dan Smolak (1993) menjelaskan kemandirian sebagai ketidaktergantungan (independence) yang terdiri dari 4 bentuk yaitu :

1. Ketidaktergantungan secara fungsional (functional independence) yaitu kemampuan seorang remaja untuk mengatur dan mengarahkan diri sendiri tanpa bantuan dari ayah dan ibu

2. Ketidaktergantungan dalam sikap (attitudinal independence) artinya remaja mampu menjadi diri yang unik yaitu memiliki keyakinan, nilai-nilai dan pendapat sendiri

3. Ketidaktergantungan dalam hal emosi (emotional independence) artinya seseorang bebas dari kebutuhan yang berlebihan akan penerimaan, keakraban dan dukungan emosi dari orangtua

4. Ketidaktergantungan konfliktual (conflictual independence) artinya bebas dari rasa bersalah dan cemas yang berlebihan.

Ali dan Asrori (2009) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian remaja yaitu:

1. Gen atau keturunan orangtua

Orangtua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orangtua yang menurun kepada anak melainkan sifat orangtua yang muncul berdasarkan cara orangtua dalam mendidik anak.

2. Pola asuh orangtua

Cara orangtua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remaja. Orangtua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarga akan dapat mendorong kelancaran perkembangan bagi seorang anak.

3. Sistem pendidikan di sekolah

(21)

terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi yang positif.

4. Sistem kehidupan di masyarakat

Sistem kehidupan yang dapat merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja adalah lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis.

Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merupakan suatu kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman 1999).

Emosi ternyata banyak mempengaruhi fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Seseorang akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Seseorang juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif pula. Sebaliknya, seseorang akan melakukan pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek, jika disertai oleh emosi yang negatif terhadap objek tersebut (Ali & Asrori 2009).

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya (Fitri 2008).

(22)

memahami emosi orang lain; (2) kemampuan mengelola emosi; (3) kemampuan memberikan empati pada orang lain; (4) bersikap mandiri; (5) mudah beradaptasi dengan beragam situasi dan kondisi; (6) disukai lingkungannya; (7) memiliki orientasi untuk mencari solusi; (8) mudah berteman dan berbagi; (9) bersikap gigih; (10) bersikap penolong; dan (11) menghormati orang lain.

Lima dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman 1999) :

1. Kesadaran diri : mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat

2. Pengaturan diri : menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi

3. Motivasi : menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi 4. Empati : merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami

perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang

5. Keterampilan sosial : menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.

Menurut Goleman (2007) IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan sisanya yaitu 80 persen diperoleh dari EQ. Ia juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional seseorang dapat dilihat dari kemampuan dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.

(23)

maupun sosial. Sifat bawaan atau temperamen anak, serta pola asuh dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosinya.

Hasil penelitian Ktyal dan Awasthi (2005) menjelaskan bahwa 61.33 persen remaja laki-laki dan 64.00 persen perempuan memiliki kecerdasan emosional yang termasuk kategori baik. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih emosi dan lebih ingin mengenal baik dalam suatu hubungan dibanding laki-laki sehingga perempuan diharuskan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Selain itu, ada fakta yang juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengekspresikan emosi yang dimiliki sebagai kemampaun sosial.

Tapia (1999) dan Dunn (2002) diacu dalam Katyal dan Awasthi (2005) menyatakan bahwa perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Perempuan juga lebih sensitif terhadap hubungan dengan orangtua, teman, dan saudara kandung.

Pola asuh

Hastuti (2008) menjelaskan gaya pengasuhan adalah cara berinteraksi orangtua-anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak. Gaya pengasuhan terbagi menjadi dua yaitu gaya pelatihan emosi dan gaya pendisiplinan. Gaya pelatihan emosi terdiri atas :

1. Coaching(pelatih emosi)

Gaya ini merupakan cara terbaik untuk mengajarkan anak-anak tentang apa yang mereka rasakan dan bagaimana mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang positif (Gottman 2004). Ciri-ciri orangtua atau pengasuh yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) adalah :

a. Orangtua menghargai emosi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab

b. Orangtua sabar dan bersedia menghabiskankan waktu bersama anak yang sedang sedih, marah dan takut

(24)

d. Orangtua sadar dan peka terhadap keadaan emosi anak bahkan bila emosi tersebut tidak terlalu kelihatan

e. Orangtua tidak merasa bingung ataupun cemas menghadapi ungkapan emosi anak serta mengetahui apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi emosi tersebut

f. Orangtua menghormati emosi yang dialami anak

g. Orangtua tidak meremehkan perasaan atau emosi negatif anak h. Orangtua tidak memerintahkan apa yang harus dirasakan oleh anak

i. Orangtua tidak merasa bahwa ia harus menyelesaikan segala masalah bagi anak

j. Orangtua menggunakan saat emosi anak sebagai saat mendengarkan anak, berempati dengan kata-kata yang menyejukkan dan penuh kemesraan, menolong anak memberikan nama pada emosi yang dirasakannya, memberikan petunjuk untuk mengatur emosi, menentukan batas dan mengajarkan cara mengungkapkan emosi yang dapat diterima orang lain dan mengajarkan keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Akibat dari penerapan pola asuh pelatih emosi terhadap anak-anak antara lain mereka belajar mempercayai perasaan-perasaan mereka, mengatur emosi-emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Selain itu, mereka juga mempunyai harga diri yang tinggi, dapat belajar dengan baik, dan bergaul dengan orang lain secara baik-baik.

2. Dismissing parenting style(gaya pengabai emosi)

Menurut Gottman (2004) para orangtua, pengasuh dan guru meyakini bahwa cara terbaik untuk mengatasi emosi seorang anak adalah dengan mengatakan kalimat “sudah lupakan saja” kepada anak. Mereka cenderung tidak peduli terhadap apa yang dirasakan oleh seorang anak karena mereka menganggap bahwa perasaan itu tidak penting atau mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka. Mereka sering merasa tidak nyaman jika anak-anak sedih atau marah. Mereka sangat yakin bahwa emosi negatif merupakan sesuatu yang berbahaya atau tidak penting, dan sebaiknya dihindari.

Ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan pengasuhan perilaku pengabai emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) yaitu :

(25)

b. Orangtua melepaskan diri atau mengabaikan perasaan-perasaan anak c. Orangtua menginginkan agar emosi-emosi negatif anak hilang dengan

cepat

d. Orangtua menggunakan pengalih perhatian untuk menutup emosi anak e. Orangtua memperlihatkan sedikit minat pada apa yang ingin disampaikan

oleh anak

f. Orangtua barangkali tidak mempunyai kesadaran akan emosi-emosinya sendiri dan orang lain

g. Orangtua merasa tidak nyaman, penuh rasa takut, cemas, terganggu, sakit hati, atau kewalahan dengan emosi-emosi anak

h. Orangtua takut lepas kendali secara emosional

i. Orangtua memusatkan perhatian lebih pada bagaimana mengatasi emosi-emosi dan bukan pada makna emosi-emosi itu sendiri

j. Orangtua berpendapat bahwa emosi-emosi itu merugikan atau beracun k. Orangtua berpendapat bahwa jika memusatkan perhatian pada emosi

negatif maka hanya akan memperburuk keadaan

l. Orangtua tidak mengetahui dengan pasti bagaimana atau apa yang harus dilakukan untuk menghadapi emosi anak

m. Orangtua percaya bahwa emosi negatif berarti bahwa seorang anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik

n. Orangtua berpendapat emosi negatif anak secara buruk mencerminkan orangtua mereka

o. Orangtua menganggap kecil perasaan-perasaan anak dan meremehkan peristiwa yang menimbulkan emosi tersebut

p. Orangtua tidak menyelesaikan masalah bersama dengan anak melainkan membiarkannya karena seiring berjalannya waktu maka sebagian besar masalah akan selesai dengan sendirinya

3. Disapproving style(gaya tidak menyetujui)

(26)

Ciri dari orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan tidak menyetujui :

a. Orangtua memeragakan banyak tingkah laku orangtua yang meremehkan tetapi dengan cara yang lebih negatif

b. Orangtua menilai dan mengecam ungkapan emosional anak

c. Orangtua terlampau sadar akan perlunya menentukan batas-batas terhadap anak-anak mereka

d. Orangtua menekankan kepatuhan terhadap pedoman-pedoman ang baik atau tingkah laku yang baik

e. Orangtua menghardik, menertibkan, atau menghukum anak karena mengungkapkan emosi, entah anak itu nakal atau tidak

f. Orangtua percaya bahwa ungkapan emosi negatif harus dibatasi waktunya g. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif harus dikendalikan

h. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif mencerminkan perangai buruk i. Orangtua berpendapat bahwa anak menggunakan emosi negatif untuk

memanfaatkan orangtua; kepercayaan ini menghasilkan perebutan kekuasaan

j. Orangtua berpendapat bahwa emosi membuat orang lemah; anak-anak harus melawan emosinya supaya dapat bertahan hidup

k. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif tidak produktif dan merupakan pemborosan waktu

l. Orangtua menganggap emosi negatif (terutama kesedihan) sebagai sebuah komoditas yang tidak boleh diboroskan

m. Orangtua memprihatinkan ketaatan anak terhadap orangtua atau guru Akibat dari penerapan pola asuh mengabaikan dan tidak menyetujui terhadap anak antara lain mereka belajar bahwa perasaan-perasaan yang mereka rasa keliru, tidak tepat, atau tidak sah. Hal ini dikarenakan menurut pemahaman mereka bahwa “dari sananya” ada sesuatu yang salah dengan mereka karena cara mereka dan mereka menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi-emosi mereka sendiri.

4. Gaya pengasuhan Laissez-faire

(27)

bimbingan agar anak dapat memahami bahwa emosi mereka baik dan tidak diajarkan bagaimana mengatasi emosi tersebut. Sedangkan menurut Gottman dan De Claire (1997) ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan laissez-faireantara lain :

a. Orangtua dengan bebas menerima semua ungkapan emosi anak

b. Orangtua menawarkan hiburan kepada anak yang sedang mengalami kesedihan dan perasaan negatif lainnya

c. Orangtua tidak mampu mengajarkan cara mengenal emosi

d. Orangtua sedikit memberikan arahan tentang tingkah laku tertentu

e. Orangtua tidak menentukan batasan sehingga terlalu mudah memberikan ijin

f. Orangtua tidak dapat membantu anak dalam menyelesaikan masalah ataupun meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah

g. Orangtua percaya bahwa hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk emosi-emosi negatif selain bertahan dari emosi-emosi tersebut

h. Orangtua berpendapat bahwa mengelola emosi negatif merupakan masalah ilmu hidrolika; lepaskanlah emosi, maka masalahnya akan selesai Akibat dari penerapan pola asuh Laissez-Faire terhadap anak antara lain mereka tidak belajar cara mengatur emosi mereka sendiri; mereka menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, menjalin persahabatan, dan bergaul dengan anak lain.

Pondok Pesantren

Kata pesantren, secara etimologis, berasal dari kata pesantrian yang berarti ’tempat santri’ (Dhofier 1982, diacu dalam Ma’arif 2008). Sementara menurut Clifford Geertz (1983) diacu dalam Ma’arif (2008) istilah pesantren yang lazim disebut pondok memiliki kata dasar ’santri’ yang berarti seorang murid atau sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Lalu kata itu mendapat imbuhan berupa prefiks ’pe’ dan sufiks ’an’ yang kemudian berarti tempat tinggal para santri.

(28)

ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. Mastuhu (1994) diacu dalam Ma’arif (2008) menambahkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

Berdasarkan kenyataan di lapangan terdapat lima unsur pokok pesantren yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran ilmu-ilmu agama, dan kiai (Daulay 2004). Adapun ciri-ciri pesantren menurut pendapat Ziemek (1986) diacu dalam Ma’arif (2008) terbagi menjadi tiga yaitu (1) kiai sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; (2) pelajar (santri) secara pribadi diajari berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, paham, dan akidah keislaman; (3) kiai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama, membentuk satu komunitas seperti asrama, tempat mereka sering disebut ’pondok.’

Tujuan dasar didirikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Ma’arif 2008). Selain itu, Dhofier (1982) diacu dalam Ma’arif (2008) juga menjelaskan bahwa pesantren bertujuan untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang juga ditanamkan pada setiap santri (Bruinessen 1995, diacu dalam Ma’arif 2008).

Nilai-nilai khas kepesantrenan yang dikembangkan oleh pondok pesantren, sebagaimana telah ditunjukkan Fakih (2004) diacu dalam Ma’arif (2008) adalah (1) nilai teosentris; (2) sukarela dan mengabdi; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) mandiri; (9) tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama dan (11) restu kiai.

(29)

Al-Quran dan kenyataannya merupakan bagian yang paling sulit karena menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Lalu selanjutnya adalah sistem bandongan atau wetonan yang merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Kelompok kelas dari sistem bandongan disebut halaqah atau sekelompok santri yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Murid-murid mendengarkan guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Sistem soroganbiasanya hanya digunakan untuk santri baru yang memerlukan bantuan secara individual (Dhofier 1985).

Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pesantren tradisional sering disebut sistem salafi, yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah) (Walsh 2002).

Remaja

Kata adolescenceatau remaja berasal dari bahasa latin adolescere(kata bendanya, adolescentiayang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1980). Orang-orang Barat menyebut remaja dengan istilah ”puber” sedangkan orang Amerika menyebutnya ”adolesensi” dan keduanya merupakan transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa (Zulkifli 1995).

Menurut Zulkifli (1995), anak-anak yang berusia 12 atau 13 tahun sampai dengan 19 tahun berada dalam masa pertumbuhan remaja sehingga tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Sedangkan Monks (2001) menjelaskan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

(30)

tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Steinberg (1993) menyatakan bahwa remaja perempuan lebih mudah terkena pengaruh orang lain atau figur otoritas, apabila dibandingkan dengan remaja laki-laki.

Ali dan Asrori (2009) membagi masa remaja menjadi empat periode yaitu: 1. Periode praremaja

Selama periode ini remaja perempuan dan laki-laki mengalami gejala yang hampir sama. Para remaja lebih mudah tersinggung dan cengeng tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak.

2. Periode remaja awal

Selama periode ini remaja merasa cemas terhadap dirinya sendiri karena merasa kurang mendapat perhatian dari orang lain atau bahkan merasa tidak ada orang yang mempedulikannya sehingga mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar.

3. Periode remaja tengah

Pada periode ini remaja harus meningkatkan rasa tanggung jawab agar mampu memikul sendiri masalah yang sedang mereka hadapi. Tuntutan tanggung jawab tersebut tidak hanya datang dari orangtua atau anggota keluarga tetapi juga dari masyarakat sekitar. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi remaja. Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orangtua atau orang dewasa di sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka.

4. Periode remaja akhir

(31)

semakin jelas dan mulai mampu mengambil pilihan dan keputusan tentang arah hidupnya secara lebih bijaksana meskipun belum bisa secara penuh. Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap dirinya sendiri, orangtua, dan masyarakat.

Ciri-ciri masa remaja menurut Zulkifli (1995) antara lain :

1. Pertumbuhan fisik terjadi dengan cepat bahkan lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa yang jelas terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, dan otot-otot tubuh sehingga anak kelihatan bertubuh tinggi tetapi kepalanya masih mirip dengan anak-anak. 2. Perkembangan seksual kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi

penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya. Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki-laki diantaranya alat produksi sperma mulai beroperasi, mengalami mimpi pertama yang tanpa sadar mengeluarkan sperma (biasanya terjadi ketika usia 13 tahun yang merupakan awal dari masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 21 tahun), pada leher menonjol buah jakun yang membuat nada suara menjadi pecah, dan di atas bibir serta di sekitar kemaluannya mulai tumbuh bulu-bulu (rambut). Sedangkan pada anak perempuan antara lain mendapatkan menstruasi (datang bulan) yang pertama sehingga rahim sudah bisa dibuahi (biasanya terjadi ketika usia 12 tahun yang merupakan awal masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 19 tahun), tumbuhnya jerawat di permukaan wajah dan terjadi penimbunan lemak yang membuat buah dada tumbuh, pinggul melebar dan paha membesar.

3. Cara berpikir kausalitas yang menyangkut hubungan sebab dan akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil.

4. Emosi yang meluap-luap atau keadaan emosi yang masih labil sangat erat kaitannya dengan keadaan hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis.

5. Mulai tertarik kepada lawan jenis dan mulai berpacaran. Secara biologis anak perempuan lebih cepat matang daripada anak laki-laki.

Tabel 1 Perbedaan sikap antara anak laki-laki dan perempuan

No Sikap Anak Laki-Laki Sikap Anak Perempuan

1 Aktif memberi, melindungi, dan menolong

(32)

Tabel 1 (Lanjutan)

No Sikap Anak Laki-Laki Sikap Anak Perempuan

2 Ingin memberontak dan mengeritik Dorongan itu dilunakkan oleh perasaan terikat kepada aturan-aturan dan tradisi 3 Ingin mencari kemerdekaan berpikir,

bertindak, dan memperoleh hak-hak turut berbicara

Ingin dicintai dan menyenangkan hati orang lain

4 Suka meniru perbuatan orang-orang yang dipujanya

Tidak ingin meniru, lebih suka bersikap pasif

5 Minatnya tertuju kepada hal-hal yang abstrak

Minatnya ditujukan kepada hal-hal yang nyata

6 Lebih memuja kepandaian yang dimiliki seseorang daripada orangnya

Langsung memuja orangnya

6. Menarik perhatian lingkungan dengan berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kampung-kampung yang diberi peranan 7. Terikat dengan kelompok sehingga tidak jarang orangtua dinomorduakan

sedangkan kelompoknya dinomorsatukan. Kelompok atau gang sebenarnya tidak berbahaya asal saja kita bisa mengarahkannya.

Tugas-tugas perkembangan bagi seorang remaja menurut Havighurst (1972) diacu dalam Hurlock (1980) antara lain :

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

6. Mempersiapkan karier ekonomi

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.

Urutan kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga bisa dijadikan pertimbangan untuk menggambarkan perilaku dari anak tersebut. Contohnya adalah anak pertama yang digambarkan sebagai anak yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan dengan saudaranya (Santrock 2003).

(33)

agresivitas, mudah dipengaruhi, mudah merasa senang, sensitif, murung, introvert, sangat terdorong berprestasi, membutuhkan afiliasi, pemarah, manja, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku. Lalu ciri anak kedua antara lain mandiri, agresif, ekstrovert, suka melucu, suka berteman, suka berpetualang, dapat dipercaya, dan mudah menyesuaikan diri. Anak tengah memiliki ciri agresif, mudah dialihkan perhatiannya, sangat membutuhkan pernyataan kasih sayang, iri hati, terganggu oleh perasaan ditolak orangtua, rendah diri, merasa tidak mampu, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku. Selain itu, anak bungsu memiliki ciri aman, percaya diri, spontan, bersifat baik, murah hati, manja, tidak matang, ekstrovert, kemampuan berempati, merasa tidak mampu dan rendah diri, memusuhi saudaranya yang lebih tua, iri hati, tidak bertanggung jawab, dan bahagia.

Karakteristik Keluarga Usia orangtua

Menurut Hurlock (1991) usia orangtua dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Usia orangtua sangat berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Ketidakstabilan ekonomi dan emosi, tekanan rasa malu, dan ketidaksiapan menjadi orangtua adalah faktor utama yang menentukan kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anaknya (Hastuti 2008).

Pendidikan orangtua

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Orangtua berpenidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan masyarakat, dan perkembangan informasi dibandingkan dengan orangtua berpendidikan rendah. Selain itu, para orangtua berpendidikan tinggi juga sanggup memberikan rangsangan-rangsangan fisik maupun mental sejak dini, mereka juga akan melatih anak-anaknya untuk memiliki sikap sosial yang baik, dan membiasakan untuk hidup disiplin, sehingga anak-anak memiliki sikap atau nilai sosial yang tinggi (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Pekerjaan Orangtua

(34)

terhadap ayah dan secara tidak langsung terhadap dirinya sendiri. Kedua, pekerjaan ayah mempengaruhi status sosial ekonomi keluarga. Ketiga, pekerjaan ayah mempengaruhi hubungan ayah dengan anak remaja laki-laki, menjadi kurang luas, dan anak remaja perempuan sepanjang pengaruhnya terhadap aspirasi dan standar yang diberikan kepada mereka misalnya dalam dunia kerja. Keempat, jika pekerjaan ayah mengharuskan dirinya untuk absen dari rumah dalam waktu yang cukup lama, maka akan ada keretakan sementara dalam keluarga dan perubahan dalam lingkungan rumah. Ketika ayah kembali ke rumah maka penyesuaian ulang mungkin membuat semua anggota keluarga menjadi cukup stres (Hurlock 1973).

Status pekerjaan ibu mempengaruhi anggota keluarga dengan cara yang berbeda. Ketika ibu bekerja, anak laki-laki memiliki waktu senggang yang lebih karena ia tidak perlu bekerja setelah pulang sekolah untuk mencari uang atau berkontribusi dalam pendapatan keluarga. Sedangkan bagi anak perempuan diharapkan untuk menerima tanggung jawab yang lebih di rumah. Sejauh ini, anak perempuan yang memiliki ibu bekerja seringkali merasa bahwa ia dibatasi secara sosial (Hurlock 1973).

Besar keluarga

Kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan interaksi antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih (Gunarsa dan Gunarsa 2000). Hal ini dapat menimbulkan kepatuhan yang kurang baik karena tidak adanya kontrol yang intens yang dilakukan orangtua kepada anak-anak mereka.

(35)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kehidupan pondok pesantren sangat terkenal dengan kepatuhan dan kemandirian para santrinya (Hartono 2006). Kepatuhan dan kemandirian merupakan dua dari beberapa tugas perkembangan yang harus dicapai oleh para santri. Berdasarkan hasil penelitian Hartono (2006) dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan dan kemandirian, akan tetapi hanya hubungan yang saling tergantung atau hubungan yang berada pada taraf sedang.

Tuntutan banyaknya kegiatan dan aturan yang terdapat di pondok pesantren terpaksa mengharuskan para santri untuk menjalankan semua kegiatan dan rutinitas sesuai aturan dengan baik. Kepatuhan dan kemandirian diduga ditentukan oleh tingkat kecerdasan emosionalnya. Jika seseorang sudah memiliki emosi yang baik maka diharapkan dapat melakukan pengamatan dan pemahaman terhadap suatu hal dengan baik sehingga nantinya dapat memberikan tanggapan yang positif terhadap hal tersebut (Ali & Asrori 2009).

Daengsari (2009) menyatakan bahwa perkembangan emosi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, dan sosial. Selain itu, sifat bawaan atau temperamen anak, pola asuh, dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosi. Sifat bawaan atau temperamen anak dapat dilihat dari karakteristik anak yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran dalam keluarga. Lalu lingkungan sosial juga dapat dilihat dari karakteristik keluarga santri yaitu usia orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga dan besar keluarga. Sedangkan untuk pola asuh dilihat dari persepsi santri terhadap pola asuh emosi yang diterapkan oleh pihak pondok pesantren dengan mengaitkan peraturan, jumlah santri, dan sistem pendidikan.

(36)

Keterangan :

= variabel yang diteliti = hubungan yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren Karakteristik anak :

 Usia anak  Jenis kelamin  Urutan kelahiran

Karakteristik keluarga :  Usia orangtua  Pendidikan orangtua  Pekerjaan orangtua  Pendapatan

keluarga  Besar keluarga

Karakteristik pondok:  Sistem pendidikan  Jumlah santri  Peraturan dan

sanksi

 Peran Kiai atau Ustad/ustadzah

Persepsi anak terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren

Kecerdasan Emosional :  Kesadaran diri  Pengaturan diri  Motivasi  Empati

 Keterampilan sosial

Kepatuhan :  Aturan pondok

pesantren

(37)

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan lokasi penelitian adalah salah satu lembaga pendidikan Islam modern yang sudah cukup lama dan terkenal serta memiliki santri yang berasal dari daerah dengan latar belakang keluarga dan budaya yang beraneka ragam. Dalam proses belajar mengajarnya, pondok pesantren mengkombinasikan sistem pendidikan umum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan sistem pendidikan pesantren. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta Barat. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2009.

Cara Pemilihan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah santri yang telah belajar di pondok pesantren, minimal 1 tahun, sehingga dirasa cukup memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan di pondok pesantren. Pemilihan contoh diawali dengan memberikan kuesioner kepada seluruh santri kelas VII-VIII sejumlah 178 santri. Dari kuesioner yang dibagikan, kuesioner yang diisi dan dikembalikan sejumlah 116 buah. Kemudian dipilih lagi berdasarkan kelengkapan dan ketepatan pengisian, sehingga akhirnya diperoleh 63 kuesioner dengan 32 contoh laki-laki dan 31 perempuan (Gambar 2).

Purposive

Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Pemilihan Pondok Pesantren Modern

Santri telah tinggal 1 tahun di pondok pesantren

Laki-laki Perempuan

(38)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer (Tabel 2) yang dikumpulkan meliputi (1) kecerdasan emosional santri (2) kepatuhan santri , (3) kemandirian santri, (4) persepsi santri terhadap pola asuh emosi, (5) karakteristik santri, dan (6) karakteristik keluarga, adapun data sekunder meliputi karakteristik pondok pesantren seperti sistem pendidikan, jumlah santri, peraturan dan sanksi yang berlaku. Data dikumpulkan dari penyebaran kuesioner yang diisi oleh masing-masing santri kelas VII dan VIII dengan penjelasan yang diberikan langsung selama proses pengisian kuesioner tersebut.

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis Keterampilan dalam membina hubungan

Ginting (2005) dan Arisandi (2007)

Kuesioner

Kepatuhan santri

Kepatuhan santri terhadap peraturan yang ada di pondok pesantren

(39)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing, koding, scoring, entry data ke komputer, cleaning dan analisis data. Selanjutnya data diolah secara komputerisasi dengan menggunakan Program Microsoft Excel 2007 dan Program SPSS 13for Windows. Analisis statistik yang digunakan yaitu analisis deskriptif, dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman dan Uji Sebaran Hubungan Chi-Square untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti, Uji Cronbach Alpha untuk melihat reliabilitas dari kuesioner yang digunakan (Lampiran 1), dan Uji beda t-test untuk melihat perbedaan beberapa variabel berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 3 Variabel dan cara pengkategorian Data Primer

Variabel Dasar Pengukuran Kategori Jenis

Data karakteristik santri

Usia santri Sebaran contoh 12-15 tahun (remaja awal) Rasio

Jenis kelamin Sebaran contoh 1. Laki-laki Nominal 2. Perempuan

Urutan kelahiran Sebaran contoh Ordinal

karakteristik keluarga

Usia orang tua Sebaran contoh 1. 18-40 tahun (dewasa muda) Rasio 2. 40-60 tahun (dewasa madya) Besar keluarga Sebaran contoh 1. Keluarga kecil (≤4 orang)

2. Keluarga sedang (5-6 orang) 3. Keluarga besar (≥ 7 orang)

Rasio

Pendidikan orangtua Sebaran contoh 1. SD/sederajat 2. SMP/sederajat 3. SMA/sederajat 4. Akademi/Diploma 5. Sarjana

Ordinal

Pekerjaan orangtua Sebaran contoh 1. PNS

2. Karyawan swasta 3. Wiraswasta 4. ABRI/Polisi 5. Ibu rumah tangga

Nominal

(40)

Tabel 3 (lanjutan)

Variabel Dasar Pengukuran Kategori Jenis

Data

Mengelola emosi diri Standar deviasi Kurang (0-10) Sedang (11-20) Baik (21-30)

Ordinal

Motivasi Standar deviasi Kurang (0-10) Sedang (11-20) Baik (21-30)

Ordinal

Empati Standar deviasi Kurang (0-7) Sedang (8-14) Baik (15-21)

Ordinal

Membina hubungan Standar deviasi Kurang (0-7) Sedang (8-14) Baik (15-21)

Ordinal

Persepsi terhadap pola asuh emosi

Pelatih emosi Standar Deviasi Kurang (1-26) Ordinal

Pengabai emosi Sedang (27-53)

Tidak menyetujui Tinggi (54-80)

Laissez Faire

Data Sekunder

Pendapatan keluarga Sebaran contoh 1. < 500 ribu Ordinal 2. 500.001 – 1.000.000

3. 1.000.001 – 3.000.000 4. 3.000.001 – 5.000.000 5. > 5.000.001

Ket : dilakukan invers nilai

Kecerdasan emosi

(41)

Kepatuhan

Kepatuhan dalam penelitian ini terbagi menjadi 12 pernyataan dengan pilihan jawaban pertama yaitu pernah (nilai 0) atau tidak (nilai 1), pilihan jawaban kedua yaitu alasan yang disesuaikan dengan pernyataan berkaitan dengan apakah contoh pernah mengalami peristiwa tersebut atau tidak, dan yang terakhir adalah pilihan jawaban terkait apakah contoh merasa bersalah atau tidak setelah melakukan hal tersebut (alasan yang dipilih). Jawaban atas perasaan bersalah karena telah melakukan hal-hal tersebut terdiri dari pilihan jawaban tidak (nilai 0) dan ya (nilai 1).

Kemandirian

Pernyataan untuk melihat kemandirian contoh dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga aspek yang dimodifikasi dari Ruhidawati (2005) yaitu 5 pernyataan tentang emosi, 5 pernyataan perilaku, dan 5 pernyataan nilai. Pilihan jawaban untuk setiap pernyataan dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama, jawaban pernah (nilai 1) atau tidak (nilai 0) dan kedua, pilihan atas hal yang dilakukan contoh ketika mengalami peristiwa tertentu yang telah disesuaikan dengan pernyataan.

Pola asuh emosi

Kuesioner pola asuh dalam penelitian ini terdiri dari 20 pernyataan dengan 4 pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Instrumen tersebut terdiri dari 5 pernyataan yang diacu dari Hastuti (2008) untuk setiap jenis pola asuh (mengabaikan, tidak menyetujui, Laissez Faire dan pelatih emosi). Untuk mengetahui kecenderungan setiap jenis pola asuh tertentu dilakukan skoring yaitu skor 4 untuk pernyataan sangat setuju, skor 3 untuk setuju, skor 2 untuk kurang setuju dan skor 1 untuk tidak setuju. Selanjutnya skor dijumlahkan sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 20. Semakin tinggi skor pola asuh tertentu maka semakin kuat kecenderungan pengasuh terhadap pola asuh tersebut.

(42)

diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 80. Semakin tinggi skor pola asuh maka semakin baik pula pola asuh yang diterapkan pengasuh terhadap santri.

Definisi Operasional

Santri adalah seluruh contoh berusia 13-16 tahun yang sedang menuntut ilmu dan minimal sudah tinggal 1 tahun di pondok pesantren.

Pondok Pesantrenadalah lembaga pendidikan agama Islam yang diasuh oleh seorang kiai atau yayasan atau organisasi dengan sistem asrama, pengajarannya berlangsung dalam bentuk sekolah atau madrasah dengan masa belajar disesuaikan dengan jenis dan tingkatan sekolah atau program kitab yang ingin dicapai.

Karakteristik contoh adalah identitas contoh yang terdiri dari jenis kelamin, usia, dan urutan kelahiran dalam keluarga.

Karakteristik keluarga adalah identitas seluruh anggota keluarga yang terdiri dari usia orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga.

Pendidikan adalah lama pendidikan formal yang pernah ditempuh, mulai dari SD, SLTP, SLTA sampai Perguruan Tinggi.

Pekerjaan adalah jenis kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga yang meliputi pekerjaan utama dan sampingan.

Pendapatan adalah jumlah pendapatan yang dihasilkan oleh keluarga dan dinyatakan dalam rupiah per bulan.

Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang tinggal dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak atau yang lainnya yang penghidupannya berdasarkan pengelolaan dari sumberdaya yang sama. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam hal kesadaran diri,

pengaturan diri, mengelola motivasi, berempati dan keterampilan sosial. Persepsi terhadap pola asuh emosi adalah cara pandang santri terhadap

interaksi yang terjadi antara kiai/ustad/ustadzah dengan santri dalam hal pola asuh secara emosi.

(43)
(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah

Pondok pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada bulan Rabiul Awal 1406 H (Juli 1985) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ di jalan Surya Sarana No.6C, Kedoya Kebon Jeruk Jakarta Barat. Asshiddiqiyah memiliki beberapa cabang antara lain Batu Ceper Tangerang, Karawang, Serpong Tangerang, Cijeruk Bogor, Sukabumi Jawa Barat, Lampung, Bayung Lencir Musi Banyuasin dan Gunung Sugih Lampung.

Sistem pendidikan yang diterapkan di Asshiddiqyah pusat ini merupakan gabungan dari sistem tradisional dan modern dengan tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik penekanan ubudiyah seperti keharusan tahajud tiap malam dan menyediakan sekolah formal di dalam pesantren untuk para santri serta membiasakan mereka menggunakan bahasa Arab dan Inggris selama berada di lingkungan pesantren.

Visi pondok pesantren Asshiddiqiyah yaitu meneladani akhlaq Nabi dan unggul dalam prestasi. Sedangkan misi yang diembannya antara lain (1) menanamkan akhlaqul karimah yang dicontohkan Nabi dalam kehidupan sehari-hari; (2) melaksanakan pengajaran dan bimbingan bahasa Inggris dan Arab sehari-hari secara aktif dengan menggunakan metode langsung (Direct Methode); (3) menumbuhkan semangat berkomunikasi bahasa resmi pesantren kepada warga sekolah dalam pembinaan dan monitoring 24 jam; (4) menyelenggarakan bimbingan belajar kepada santri oleh guru yang profesional secara aktif dan efektif; (5) menyelenggarakan bimbingan belajar khusus diluar PBM (Proses Belajar Mengajar) formal bagi kelas tiga dalam persiapan menghadapi UAN; (6) menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler dalam menyalurkan minat dan bakat santri; dan (7) menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dalam menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman, aman dan kekeluargaan.

Gambar

Tabel 1 (Lanjutan)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan Kecerdasan Emosional dengan
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan dataJenis
Tabel 3 Variabel dan cara pengkategorian
+7

Referensi

Dokumen terkait

sebesar -0,329, nilai p-value 0,001&lt;0,05, arah hubungan antara dua variabel adalah negatif artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan

Sehingga kegiatan santri remaja yang tinggal di Pondok Pesantren sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian dan kecerdasan emosi, selain itu mereka juga lebih

Angket non-test digunakan untuk memperoleh data kuantitatif dari variabel X (bebas) pola asuh laissez faire dan variabel Y (terikat) kemandirian belajar. Skala

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian, yaitu ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan

Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan; (2) kemampuan mengelola emosi : kemampuan yang bergantung

19 Seringkali saya tidak memperhatikan perkataan saya bisa menyakiti orang lain apa tidak 20 Saya mempunyai dasar pemikiran dalam menentukan suatu pandangan hidup saya sendiri 21

hubungan negatif atau tidak searah antara variabel regulasi emosi dan perilaku bullying, artinya hipotesis diterima berarti semakin buruk regulasi emosi santri

Terdapat perbedaan juga pada penyesuaian diri dan kecerdasan emosional antara santri MTs dan santri SMP, yaitu lebih tinggi kelompok santri MTs.. Kata kunci : kecerdasan