• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Moral Dalam Komik Naruto Kajian : Sosiologi Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nilai Moral Dalam Komik Naruto Kajian : Sosiologi Sastra"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI MORAL DALAM KOMIK NARUTO :

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

TESIS

OLEH

HENNILAWATI

097009024/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas

rahmar dan hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Nilai Moral

Dalam Komik Naruto Kajian : Sosiologi Sastra.” Tesis ini merupakan salah satu

syarat untuk mencapai derajat magister pada Program Studi Magister (S2)

Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa mengucapkan salawat dan

salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Selama proses, pengerjaan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, selayaknyalah penulis mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., sebagai Pembimbing Akademik, dan

Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Pembimbing I. Selama penulis menjadi mahasiswa

di Program Studi Magister, Program Studi Linguistik beliau telah banyak

memberikan pelajaran yang berharga. Dengan selesainya tesis ini juga

memberikan pelajaran yang berharga bagi penulis, karena telah banyak arahan,

masukan, dan motivasi yang diberikan beliau kepada penulis dalam

penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr.

Thyrhaya Zein, M.A, yang telah bersedia menjadi pembimbing II. Beliau dengan

(3)

yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini. Perhatian beliau memberikan

dorongan semangat bagi penulis untuk segera mungkin menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Sastra, serta Ketua dan Sekretaris Program

Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan karyawan, yang

telah memberikan peluang dan berbagai kemudahan kepada penulis sejak awal

perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini.

Secara khusus, penulis rasa terima kasih yang tak terhingga kepada

ayahanda, ibunda, adik, dan orang-orang tersayang di keluarga penulis, sahabat

terdekat yang selalu memberikan dorongan dan bantuan selama penulis kuliah.

Juga tidak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman satu stambuk

di sekolah Pascasarjana Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara, serta kepada

Yayasan Al-Iman dan STKIP “Tapanuli Selatan” Padang Sidimpuan, yang turut

memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.

Medan, Juni 2011

Penulis,

(4)
(5)

2.2.2 Kebudayaan Jepang... 21

2.3.3 Sosiologi Sastra... 33

2.3.4 Resepsi Sastra ... 34

4.1 Strukturalisasi Komik Naruto ... 46

4.2 Tokoh Dalam Komik Naruto ... 64

4.3 Latar Tempat Di Dalam Komik Naruto ... 72

4.3.1 Negara Utama dan Desa Tersembunyi Dalam Komik Naruto ... 72

4.4 Tema... 78

BAB V BENTUK / WUJUD NILAI MORAL DALAM KOMIK NARUTO ... 80

(6)

1. Empati ... 84

2. Menghargai dan Menghormati Orang Lain... 92

3. Kontrol Diri... 97

4. Keadilan ... 103

BAB VI RESEPSI PEMBACA ANAK INDONESIA TERHADAP NILAI MORAL DALAM KOMIK NARUTO... 110

6.1...Makna Nilai Moral dalam Komik Naruto ... 110

6.1.1. Nilai Kekerasan dalam Komik Naruto... 112

6.1.2. Menumbuhkan Rasa Kebersamaan ... 127

6.1.3. Membangun Jiwa Kebangsaan... 120

6.2 Temuan Nilai Moral dalam Komik Naruto ... 127

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 132

7.1...Simpula n... 132

7.2...Saran ... 135

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Tokoh dan Karakterisasi dalam Komik Naruto ... 71

Tabel 2. Nilai moral empati berupa Ucapan dan tindakan orang yang

memiliki empati... 91

Tabel 3. Nilai moral menghargai dan menghormati yang ditunjukkan

dalam bentuk perkataan dan tindakan orang yang memiliki

rasa hormat ... 96

Tabel 4. Nilai moral dalam bentuk kontrol diri baik berupa perkataan dan

perbuatan orang yang memiliki kontrol diri ... 102

Tabel 5. Nilai moral dalam bentuk keadilan baik ucapan atapun tindakan

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Glossarium ... 141

Lampiran 2. Sinopsis Naruto ... 150

Lampiran 3. Pengarang Komik Naruto ... 157

Lampiran 4. Gambar Sampul Komik Naruto ... 162

(9)

ASBTRAK

Nilai Moral dalam Komik Naruto : Kajian Sosiologi Sastra

Kerangka pikir dari penelitian itu dimulai dengan sastra anak yang dikaitkan dengan nilai moral dalam komik Naruto. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan bagaimana nilai moral serta hasil resepsi pembaca anak Indonesia terhadap komik Naruto. Bentuk dan wujud nilai moral merupakan struktur dari komik Naruto diamati secara totalitasdipadukan dengan latar dan sejumlah tokoh sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu. Ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra oleh Wellek dan Warren, yakni dengan menekankan pada sosiologi karya. Sedangkan untuk resepsi pembaca anak Indonesia ditinjau berdasarkan teori resepsi Iser setelah dipadukan dengan hasil sebaran angket terhadap pembaca anak.

Komik Naruto volume 1 sampai volume 10 karya Masashi Kisimoto ini merupakan sumber data penelitian yang dianalisis dengan menggunakan teknik analisis konten dan studi pustaka. Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan, diperoleh temuan nilai moral, yaitu, (1) Empati, (2) Rasa menghargai dan menghormati orang lain, (3) Kontrol diri serta (4) Rasa keadilan. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa dari ke 10 nilai moral yang ada dalam komik Naruto, ternyata hanya empat yang berterima bagi anak Indonesia. Dalam arti tidak semua nilai moral produk Jepang bisa diterima oleh pembaca anak Indonesia.

Temuan berikutnya adalah ditemukannya Resepsi Pembaca Anak Indonesia setelah membaca komik Naruto berupa (1) Nilai kekerasan, (2) Menumbuhkan rasa kebersamaan, (3) Membangun jiwa kebangsaan. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita yang saling melengkapi dalam kemaknaan tesk sastra.

(10)

ABSTRACT

The Moral Value in Naruto Comic: A Study On Sociological Literature

The consideration in this research is begin by the children literature that related to the moral value in Naruto Comic. This research aims to expose how the moral value and the reading perception of the Indonesia child to the Naruto comic. The form and manifestation of the moral value is a structure of the Naruto Comic that observed totally and integrated to the background and the number of figures that manifest their position as the center of the structure. This review is based on the literature sociology theory by Wellek and Warren, i.e. by focus to the work sociological work. While for the reading perception of the child of Indonesia is reviewed based on the perception theory of Iser after be integrated to the questionnaire on the child reading.

The Naruto Comic volume 1 up to volume 10 by Masashi Kisimoto is a source of data that analyzed by using the content analysis method and library research. Based on the results of analysis in discussion, it found the moral value, i.e. (1) empathy. (2) respect to the other people, (3) self control and (4) Justness sense. These results indicated that of 10 moral values in Naruto comic, only four of them that accepted by the Child of Indonesia. It means that did not all of the moral value of Japan product can be accepted by the child of Indonesia.

The next results is the reading perception of the child of Indonesia after to read the Naruto Comic are (1) Harshness value, (2) Build the togetherness value, (3) to build the nationality spirit. These conditions can not be separated from the fct and meaning of the story that support in the literature text meaning.

(11)

ASBTRAK

Nilai Moral dalam Komik Naruto : Kajian Sosiologi Sastra

Kerangka pikir dari penelitian itu dimulai dengan sastra anak yang dikaitkan dengan nilai moral dalam komik Naruto. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan bagaimana nilai moral serta hasil resepsi pembaca anak Indonesia terhadap komik Naruto. Bentuk dan wujud nilai moral merupakan struktur dari komik Naruto diamati secara totalitasdipadukan dengan latar dan sejumlah tokoh sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu. Ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra oleh Wellek dan Warren, yakni dengan menekankan pada sosiologi karya. Sedangkan untuk resepsi pembaca anak Indonesia ditinjau berdasarkan teori resepsi Iser setelah dipadukan dengan hasil sebaran angket terhadap pembaca anak.

Komik Naruto volume 1 sampai volume 10 karya Masashi Kisimoto ini merupakan sumber data penelitian yang dianalisis dengan menggunakan teknik analisis konten dan studi pustaka. Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan, diperoleh temuan nilai moral, yaitu, (1) Empati, (2) Rasa menghargai dan menghormati orang lain, (3) Kontrol diri serta (4) Rasa keadilan. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa dari ke 10 nilai moral yang ada dalam komik Naruto, ternyata hanya empat yang berterima bagi anak Indonesia. Dalam arti tidak semua nilai moral produk Jepang bisa diterima oleh pembaca anak Indonesia.

Temuan berikutnya adalah ditemukannya Resepsi Pembaca Anak Indonesia setelah membaca komik Naruto berupa (1) Nilai kekerasan, (2) Menumbuhkan rasa kebersamaan, (3) Membangun jiwa kebangsaan. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita yang saling melengkapi dalam kemaknaan tesk sastra.

(12)

ABSTRACT

The Moral Value in Naruto Comic: A Study On Sociological Literature

The consideration in this research is begin by the children literature that related to the moral value in Naruto Comic. This research aims to expose how the moral value and the reading perception of the Indonesia child to the Naruto comic. The form and manifestation of the moral value is a structure of the Naruto Comic that observed totally and integrated to the background and the number of figures that manifest their position as the center of the structure. This review is based on the literature sociology theory by Wellek and Warren, i.e. by focus to the work sociological work. While for the reading perception of the child of Indonesia is reviewed based on the perception theory of Iser after be integrated to the questionnaire on the child reading.

The Naruto Comic volume 1 up to volume 10 by Masashi Kisimoto is a source of data that analyzed by using the content analysis method and library research. Based on the results of analysis in discussion, it found the moral value, i.e. (1) empathy. (2) respect to the other people, (3) self control and (4) Justness sense. These results indicated that of 10 moral values in Naruto comic, only four of them that accepted by the Child of Indonesia. It means that did not all of the moral value of Japan product can be accepted by the child of Indonesia.

The next results is the reading perception of the child of Indonesia after to read the Naruto Comic are (1) Harshness value, (2) Build the togetherness value, (3) to build the nationality spirit. These conditions can not be separated from the fct and meaning of the story that support in the literature text meaning.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan kognisi, emosi, dan keterampilan anak tidak bisa lepas dari

peran karya sastra. Buktinya, sekalipun dalam gempuran budaya elektronik (Barat),

sampai saat ini sastra masih digunakan guru dan orangtua, sebagai media untuk

menanamkan nilai-nilai edukasi dan moral pada anak. Sastra anak merupakan salah

satu jenis satra yang ditujukan kepada anak. Sebagai media tersebut, cenderung

dilupakan karena anak sering disuguhkan dengan televisi, yang secara langung dapat

menarik perhatian anak. Sastra anak yang meliputi beragam jenis dan bentuk, baik

syair maupun prosa, contohnya hikayat, beragam pantun, dongeng, legenda, dan

mitos. Ternyata karya-karya itu telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Berikut

pernyataan yang menyatakan bahwa Indonesia kaya akan karya sastra,

(14)

Berdasarkan survey terhadap penjualan buku anak di Tokoh Buku Gramedia

Matraman Jakarta, dari 100 persen buku anak dan remaja, 52 persen penjualan komik

dan sisanya buku fiksi anak. Buku fiksi ini belum terbagi lagi menjadi fiksi modern,

terjemahan, dan klasik. Penjualan komik bisa mencapai 32.000 eksemplar setiap

bulan meskipun terkadang turun menjadi 12.000. Menurut pengelola toko, hampir 80

persen dari total komik yang laku terjual adalah komik Jepang (Kulsum, 2008:1

dalam www.kompas.com).

1

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa karya sastra merupakan bagian

penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak. Anak dengan dunianya yang

penuh imajinasi menjadi begitu bersahabat dengan sastra (cerita), karena dengan

cerita, dunia imajinasi anak bisa terwakili. Oleh karena itu Nurgiyantoro (2005: vi)

mengatakan,” bahwa penyediaan buku bacaan sastra kepada anak-anak yang tepat

sejak dini, sejak masih bernama anak, diyakini akan membantu literasi dan kemauan

membaca anak pada perkembangan usia lanjut.”

Sebagai karya ciptaan manusia, hakikatnya karya sastra itu berfungsi sebagai

media komunikasi antara penulis (writer) dengan pembaca (reader). Hal ini berarti,

sastra sebagai karya mempunyai isi (content), yang berupa pesan-pesan dan makna

yang digambarkan dalam kehidupan (dunia dalam kata) dengan media bahasa yang

estetis, yaitu bahasa yang indah dan berbeda dengan bahasa sehari-hari.

Bahasa yang digunakan dalam sastra anak adalah bahasa yang mudah

(15)

pemahaman anak. Pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai moral dan pendidikan

yang disesuaikan pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak.

Dengan demikian, sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasa

sesuai dengan tingkatan perkembangan intelektual dan emosional anak, karena anak

masih mempunyai tingkatan keterbatasan kreativitas berhubungan dengan mencipta

dan memahami kehidupan. Pada aspek pembaca, sastra anak boleh, bahkan

mengharuskan untuk dibaca orang dewasa, khususnya para orangtua, guru, atau

pemerhati anak. Dengan dibaca oleh orangtua dan orang yang berhubungan dengan

anak, maka mereka bisa lebih memahami dunia anak dan bisa menyampaikan isi

karya itu sebagai bahan pengajaran.

Tentunya, dengan apresiasi yang baik, maka masyarakat akan semakin bisa

memahami dan meningkatkan kemampuan kognisi, emosi, dan psikomotorik anak.

Sastra bisa dijadikan sebagai salah satu media untuk mendidik dan mencerdaskan

anak karena anak dan cerita seperti dunia yang tidak terpisahkan. Dalam

perkembangannya anak selalu menyukai cerita (karya sastra) karena dengan cerita

anak bisa mengembangkan kemampuan imajinasi intelektual, emosional, dan belajar

mengidentifikasi dirinya.

Sosiologi dan karya sastra memiliki hubungan yang erat. Yakni sosiologi

adalah ilmu yang objek studinya adalah manusia, sedangkan sastra merupakan hasil

ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya (Endraswara,

(16)

seperangkat cara pandang dan paradigma sosiologi untuk menganalisis dan memaknai

karya sastra.

Salah satu aspek yang menjadi objek realitas peneliti disini adalah hasil

karya sastra yang ditujukan kepada anak. Sebagaimana halnya sastra dewasa,

sastra anak juga mengenal apa yang disebut genre, maka pembicaraan mengenai

genre sastra anak juga diberlakukan, karena sastra anak diyakini memiliki

kontribusi yang besar bagi kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan

sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang jelas. Komik dapat dikategorikan

sebagai kesastraan jenis sastra anak populer yang memiliki keunikan tersendiri karena

adanya gambar (Nurgiyantoro,2005 : 409). Gambar-gambar komik berbeda dengan

gambar-gambar dalam cerita yang disebut dengan buku cerita bergambar

(picture-books).

Di abad ke-21 ini, masyarakat terbiasa menikmati atau mengapresiasi suatu

karya dengan mudah. Karya fenomenal William Shakespeare Romeo and Juliet kini

jarang diapresiasi di gedung opera, tetapi di gedung bioskop atau melalui Dividi

Compact Disk (DVD) yang bisa diapresiasi secara pribadi. Cerita-cerita rakyat bisa diapresiasi melalui sarana sinetron atau film layar lebar. Bahkan, salah satunya

melalui media komik.

Mengenai komik, sejak lama, menurut Bonnef, komik merupakan bacaan

‘terlarang’. Komik tabu dibaca oleh kalangan dewasa bahkan anak-anak karena

dianggap merusak moral dan mentalitas pembacanya (2008:3). Terlebih catatan

(17)

silat yang menonjolkan kekerasan dan cerita roman remaja yang menonjolkan kisah

percintaan (2008:37).

Penelitian wajib menunjukkan sebuah penelitian serius terhadap

perkembangan komik Indonesia yang dilkukan Marcell Bonneff. Penelitian lawas

pada tahun 1971 yang dilakukan Marcel Bonnef pada bulan April dan Juli ini,

menunjukkan bahwa komik Indonesia lebih didominasi oleh komik dewasa. Kategori

komik dewasa itu adalah komik silat 48,75 persen (427 judul), roman remaja 36,75

persen (322 judul), dagelan 6,40 persen (55 judul), fiksi ilmiah dan cerita fantastik

4,20 persen (37 judul), dan lain-lain seperti komik koboi dan detektif 2,20 persen (20

judul). Kategori komik yang dapat di baca anak-anak seperti komik dongeng dan

legenda anak-anak hanya terhadap komik khusus anak-anak sangatlah minim, jauh

lebih sedikit daripada komik dewasa ( Bonnef, 2008 : 50 ).

Setelah 37 tahun kemudian, kondisi komik Indonesia tidak jauh berbeda,

tetapi persentasenya semakin menyusut. Komik dewasa dan komik anak-anak lebih

didominasi oleh komik manga dari Jepang. Data Buku Laris Pustakaloka Kompas

menyatakan sebagai berikut,

“Sejak tahun 2003 hingga kini, komik Jepang yang diterbitkan Elex Media Komputindo menempati urutan teratas atau lima best seller. Ini membuktikan bahwa komik manga sangat digemari masyarakat. Dominannya komik manga dalam industri komik Indonesia diakui oleh Sari, redaksi komik Elex Media Komputindo. Setiap bulan, Elex menerbitkan 60 judul komik, dengan proporsi 52 komik Jepang, 7 komik korea, dan 1 komik Indonesia (Kulsum, 2008 dalam

(18)

Data lain dari penerbit M&C, penerbit komik terkemuka memunculkan data

bahwa dari 40 volume yang diterbitkan setiap bulan, 70 persen adalah komik Jepang.

Selebihnya diisi oleh komik Hongkong, Amerika, Eropa, Korea, Mandarin, dan

Indonesia. Jika dalam setiap volume rata- rata dicetak 15.000-20.000, maka setiap

bulan paling tidak M&C memproduksi sekitar 420.000 eksemplar komik manga

(Kulsum,2008 dalam www.kompas.com). Sastra diyakini mampu dipergunakan

sebagai salah satu sarana untuk menanam, memupuk, mengembangkan dengan

melestarikan nilai-nilai yang diyakini baik dan berharga oleh keluarga, masyarakat,

dan bangsa.

Salah satu sarana sastra yang diyakini melestarikan nilai-nilai baik dan

berharga tersebut adalah nilai moral. Menurut Nurgiyantoro (2005 : 265) Moral,

amanat, atau messages dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan

kepada pembaca. Moral berurusan dengan masalah baik dengan masalah baik dan

buruk, namun istilah moral itu selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang buruk.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup

pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal

itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang antara lain, untuk menawarkan

model kehidupan yang diidealkannya fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap

dan tingkah laku para tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil

(19)

Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan

dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal.

Artinya, sifat-sifat itu memiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Ia

tidak hanya bersifat kesebangsaan, apalagi keseorangan, walaupun terdapat ajaran

moral kesusilaan yang hanya berlaku dan diyakini oleh kelompok tertentu.

Moral dalam karya sastra, atau hikma yang diperoleh pembaca lewat sastra,

selalu dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan

tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh

antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada

pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. (Nurgiyantoro, 2009: 232).

Dengan demikian, kehadiran unsur moral dalam sebuah cerita fiksi, apalagi fiksi

anak merupakan sesuatu yang mesti ada. Sebagai cerita fiksi bacaan komik

merupakan jenis bacaan yang digemari pembaca anak-anak tetapi juga orang

dewasa. Bacaan komik hadir dengan keunikannya.

Menurut Franz dan Meier dalam Nurgiyantoro (2005 : 410), “Komik

adalah cerita yang bertekanan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan pada

urutan gambar yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata.” Dewasa ini

Indonesia kebanjiran komik produk mancanegara khususnya dari Jepang seperti

Serial Ninja Hadori, Kapten Tsubasa, Dora Emon, Crayon Sinchan, dan lain-lain.

Istilah komik di Jepang disebut sebagai “manga” dan di Cina “Man Hua”(Mustaqin,

(20)

Aspek visual dan verbal dalam komik dapat dipandang sebagai media

representasi yang menyebabkan komik hadir dihadapan pembaca, yang memiliki

unsur-unsur struktural sebagaimana halnya cerita fiksi. Unsur-unsur struktural

yang dimaksud adalah penokohan, alur, latar, tema, pesan, bahasa dan lain-lain.

Aspek sudut pandang lebih ditekankan pada siapa yang berbicara dan bukan

sudut pandang persona karena tokoh komik mirip dengan tokoh drama.

Unsur-unsur struktural penokohan tersebut ditemukan pada komik. Adapun yang

menjadi objek kajian peneliti adalah Komik Naruto.

Komik Naruto merupakan karya Mashashi Kishimoto, yang cukup fenomenal.

Komik Naruto pertama kali diterbitkan di Jepang oleh Shueisha pada tahun 1999

dalam edisi ke-43 majalah Shonen Jump. Di Indonesia komik ini diterbitkan oleh

Elex Media Komputindo. Popularitas Naruto (terutama di Jepang) menyaingi

Dragon Ball karya Akira Toriyama. Karena keberhasilan komik Naruto di Jepang, dibuat versi animasi dan versi layar lebar, serta dan permainan game.

Sejak awal penerbitannya, Naruto telah memancing munculnya ribuan situs

penggemar yang berisi tentang informasi rinci, panduan dan forum internet tentang

komik ini. Beberapa situs terkenal muncul setelah versi Inggrisnya di terbitkan pada

Agustus 2003. Selain itu muncul pula situs-situs yang menyediakan pindaian komik

versi Jepang yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang dapat di unduh

secara gratis. Volume 7 dari serial ini berhasil memenangkan Quill Award untuk

kategori best graphic novel di Amerika Utara. Sementara, dalam sebuah poling 100

(21)

Sejatinya, Naruto Uzumaki hanyalah seorang tokoh utama dalam komik

Jepang. Karya masterpiece Masashi Khisimoto, yang mempunyi potensi besar untuk

mempengaruhi pola hidup siapapun, maka Naruto menjelma menjadi salah satu

referensi hidup, karena mengandung berbagai nilai, baik positif maupun negatif.

Kisah petualangan yang berliku itu ditulis secara menarik, melibatkan banyak tokoh

dan karakter, dengan alur cerita yang kompleks.

Pada waktu menciptakan karakter Naruto, Masashi Kishimoto

membayangkan seorang laki-laki yang nakal, tetapi tidak gampang menyerah

seperti dirinya. Masashi juga terkenal sebagai salah satu mangaka (pengarang

komik) terhebat sepanjang sejarah, hanya dalam beberapa tahun, dengan

komiknya yang sangat disukai dan populer yaitu Naruto. Komik Naruto lantas

menjadi salah satu komik yang terpopuler dan best seller, dibaca oleh jutaan

pembaca diberbagai belahan dunia. Karena dapat dinikmati dalam berbagai ragam

produk, baik berupa komik, animasi, film, suvenir, poster dan lain-lainnya maka

Naruto menjadi salah satu karya yang paling digemari di seluruh dunia (Alfi Satiti,

2009:12).

Dibalik kemunculan yang fenomenal ini, ternyata karya fiksi Masashi

Kishimoto tersebut mulai mendapatkan berbagai reaksi positif maupun reaksi negatif

dari berbagai macam kalangan masyarakat luas. Dari sisi positif, komik dan animasi

Naruto di dalamnya banyak mengajarkan nilai moral, menyangkut kebersamaan atau

kekompakan suatu tim. Selain itu, juga mengenalkan tentang berbagai macam

(22)

Naruto adalah semangat hidup. Semangat hidup merupakan alasan mendasar bagi

seseorang untuk tetap bertahan hidup dan memperjuangkan cita-cita hidupnya di

dunia ini.Dalam komik Naruto pelajaran tentang semangat hidup ditampilkan oleh

tokoh-tokoh protagonis berkarakter baik, dalam porsi yang relatif besar. Misalnya,

Sang Tokoh utama, Naruto Uzumaki, sosok yang mempunyai semangat hidup.

Sejak kecil, Naruto telah menjadi anak yatim piatu. Mayoritas penduduk

Konohagakure membencinya karena ditubuhnya bersemayam monster Kyuubi

(Rubah Ekor Sembilan). Selain itu mereka membecinya karena Naruto merupakan

pribadi yang cenderung hiperaktif, ambisius dan identik dengan karakter negatif,

seperti banyak bicara/berisik, gegabah/tidak sabaran, sok tahu dan sok usil. Naruto

sering membuat keributan di desanya karena ingin mendapatkan perhatian dari

penduduk setempat, yang membenci dan menjauhinya karena di dalam tubuhnya

bersemayam monster Kyuubi.

Namun, Naruto tidak mengeluh dengan semua keadaan itu. Justru, dengan

segala kelemahan yang dimilikinya, dia tetap mempunyai semangat hidup, yang

mampu memperteguh tekadnya untuk terus memperjuangkan cita-citanya, yaitu

menjadi hokage di desanya (Naruto, volume 1).

Adapun dari sisi negatifnya, karya fiksi Naruto ini banyak mengandung

kekerasan, sehingga anak yang notabene masih sulit membedakan antara rekayasa

dan fakta, mereka biasanya akan mudah meniru gaya Naruto yang didalamnya ada

(23)

menganggap bahwa komik bisa berdampak buruk bagi perkembangan jiwa anak.

(Musbikin, 2009: 7).

Pada dasarnya, komik Naruto bercerita tentang kehidupan tokoh utamanya,

Naruto Uzumaki yaitu ninja remaja dan liku-liku petualangannya dalam mencapai

cita-cita memperoleh gelar Hokage, yakni posisi ninja terkuat di desanya.

Fenomena merebaknya kebiasaan membaca komik di kalangan anak-anak

dan remaja menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian tentang nilai

moral pada komik Naruto, disamping itu dapat dijadikan celah sarana apresiasi satra.

Lewat resepsi pembaca anak, yang peneliti lakukan khususnya pecinta komik Naruto,

yang peneliti klasifikasikan berdasarkan gender yaitu anak laki-laki dan anak

perempuan ternyata dari sepuluh nilai moral yang disebarkan dalam bentuk angket

yang terdapat dalam komik Naruto ditemukan nilai moral tentang semangat hidup

memiliki persentase yang cukup tinggi yakni 100 persen, baik pembaca anak laki-laki

maupun anak perempuan setujuh bahwa semangat hidup merupakan nilai moral yang

bisa diambil oleh pembaca komik anak Indonesia. Sedangkan persentase terendah

bagi pembaca anak laki-laki adalah nilai moral kebencian sebesar 50 persen,

sedangkan persentase terendah bagi pembaca anak perempuan adalah nilai moral

balas dendam sebesar 63 persen. Jadi dari hasil resepsi pembaca anak dapat diambil

kesimpulan bahwa nilai moral yang ada dalam komik Naruto banyak memberikaan

contoh yang positif bagi anak.

Dengan memusatkan perhatian pada nilai moral dalam Komik Naruto,

(24)

saja bertentangan dengan teori sosiologi sastra serta bagamana hasil resepsi pembaca

anak Indonesia tentang komik Naruto, melihat nilai moral yang ada dalam komik

Naruto yang ditulis oleh mangaka Jepang mendapat respon yang positif jika

dibandingkan dengan pembelajaran lewat televisi. Komik Naruto yang akan

dianalisis pada kesempatan ini adalah Naruto Uzumaki (Vol.1), The Worst Client

(Vol. 2), For Your Dreams (Vol. 3), dan Heroes Brid (Vol.4), Para Peserta Ujian

(Vol. 5), Sakura’s Decision (Vol. 6), Jalan yang harus Kau tempuh (Vol. 7),

Pertarungan mempertaruhkan nyawa (Vol. 8), Neji and Hirarki (Vol. 9), dan a great

Ninja (Vol. 10). Adapun alasan penulis memilih ke 10 jenis volume komik tersebut, karena selain sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ke 10 komik tersebut

sudah dapat mewakili nilai moral dan cukup representatif untuk memahami bentuk

nilai moral yang terdapat dalam sastra anak dengan genre komik.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk/wujud nilai moral dalam komik Naruto?

2. Bagaimanakah resepsi pembaca anak Indonesia terhadap nilai moral dalam komik

Naruto?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan :

(25)

2. Resepsi pembaca anak Indonesia terhadap nilai moral dalam komik Naruto.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian sebagai berikut :

1. Untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan karya sastra pada umumnya,

dan memperkenalkan Komik sebagai genre sastra anak.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah penerapan

kajian sosiosastra terhadap karya sastra Indonesia dengan menggunakan teori

sosiosastra dan semiotika, khususnya pada genre sastra anak jenis komik.

3. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitan-penelitian berikutnya,

baik penelitian genre sastra anak Komik Naruto maupun genre sastra lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini sebagai berikut :

1. Membantu masyarakat, khusus orangtua agar dapat memahami aspek moral

anak, yang dikembangkan lewat komik anak khususnya nilai moral dalam Komik

Naruto.

2. Sarana komunikasi yang bersifat evolusi kepada masyarakat tentang

bagaimana konsep dan visi kehidupan yang dikemas dalam gambar dan balon teks

(26)
(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian

sebelumnya dan sebagian laporan itu telah dimuat dalam bentuk buku ataupun

jurnal. Adapun beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul

ini akan dikemukakan sebagai berikut. Dalam bentuk jurnal dilakukan oleh Siti

Hariti Sastriyani, dengan judul “Studi Gender dalam Komik-komik Perancis

Terjemahan”, dalam Diksi Jurnal Ilmiah bahasa dan Sastra , dan Pengajarannya,

Volume 16, Nomor 2, halaman 123-132. Jurnal ini sangat membantu penulis dalam

memahami karakter tokoh lewat gender dalam komik.

Penulisan dalam bentuk Buku dilakukan oleh (1) Alfi Satiti yang berjudul

Mewaspadai Misteri Gila Naruto terbit 2009. Buku ini merupakan panduan praktis menonton Naruto. Panduan tersebut merinci dan mengatur jadwal harian

anak, mempelajari, membimbing dan mengarahkan bakat serta minat anak.

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam memahami dampak

psikologi anak lewat komik. (2) Selanjutnya Imam Musbikin menulis buku dengan

judul Anakku Diasuh Naruto. Buku ini memberikan informasi tentang bagaimana

(28)

menyajikan uraian memikat dan menyeluruh tentang fenomena komik/animasi

Naruto bagi kesehatan dan psikologi (mentalis) anak. Buku yang ditulis Imam

Musbikin sangat membantu penulis dalam memahami manga atau komik tentang

Naruto. Dengan demikian diketahui bahwa pembicara tentang Nilai moral dalam

komik Naruto, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena

itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang Nilai Moral dalam

Komik Naruto dalam pendekatan sosiologi sastra.

2.2 Konsep

2.2.1 Nilai Moral

Nilai moral mencerminkan siapa diri kita yang sebenarnya, nilai moral

merefleksikan siapa diri kita yang seharusnya. Nilai moral itu mendemonstrasikan

bagian terbaik atau terburuk dari diri kita. Pertama, kita harus mengembalikan

masalah ke tempat kedudukan semula yakni perbedaan nilai moral yang seharusnya.

Kita harus tahu apa tolak ukur nilai moral.

Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasysrakat secara utuh.

Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah

perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Moral

adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang

(29)

Dilihat dari segi bentuk isi karya sasra moral merupakan unsur isi yang

ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, berupa makna yang terkandung

dalam sebuah karya. Makna moral biasanya menyarankan pengertian ajaran tentang

baik buruk berupa perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.

Namun tidak jarang pengertian baik buruk itu sendiri dalam hal-hal

tertentu bersifat relatif. Artinya, suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu

atau bangsa pada umumnya, belum tentu sama bagi orang lain, atau bangsa yang

lain. Padangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan

kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsanya.

Velazquez memberikan pemaparan pendapat para ahli etika tentang lima ciri

yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral (2005: 9-10).

Kelima ciri tersebut adalah :

1) Standar moral berkaitan dengan persoalan yang dianggap akan merugikan secara

serius atau benar-benar menguntungkan manusia. Contoh standar moral yang

dapat diterima oleh banyak orang adalah perlawanan terhadap pencurian,

pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan, dan pelanggaran hukum.

2) Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.

Meskipun demikian, validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang

digunakan untuk mendukung dan membenarkannya.

3) Standar moral harus lebih diutamakan dari pada nilai lain termasuk kepentingan

(30)

orang yang jauh di jalan, ketimbang ingin cepat sampai tempat tujuan tanpa

menolong orang tersebut.

4) Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Dengan kata

lain, pertimbangan yang dilakukan bukan berdasarkan keuntungan atau kerugian

pihak tertentu, melainkan memandang bahwa setiap masing-masing pihak

memiliki nilai yang sama.

5) Standar moral diasosiakan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu. Emosi

yang mengasumsikan adanya standr moral adalah perasaan bersalah, sedangkan

kosakata atau ungkapan yang mempresentasikan adanya standar moral yaitu “ini

salah saya”, “saya menyesal”, dan sejenisnya.

Dari kelima standar moral tersebut, nilai moral dalam komik Naruto lebih

ditekankan pada standar moral yang keempat yang tidak memihak. Moral dalam

karya sastra seperti komik Naruto biasanya mencerminkan pandangan hidup

pengarang, tentang nilai-nilai kebenaran. Ia berupa petunjuk yang sengaja diberikan

oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan,

melalui cerita, sikap dan tingkah-tingkah tokohnya.

Dalam kamus psikologi Chaplin (2001), disebutkan bahwa “Moral

mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut

hukum adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.

Sementara Kohlberg dalam Monks dan Rahayu Hotituna (2006 : 312)

(31)

(seharusnya dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) oleh anak dalam

stadium yang berbeda-beda.

Berdasarkan defenisi di atas, dapatlah disimpulkan bahwa “Moral adalah

suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk yang sesuai dengan

kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran.Nilai moral tidak

terpisah dari nilai-nilai jenis lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot

moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran, misalnya,

merupakan suatu nilai moral, tetapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak

diterapkan pada nilai lain, seperti nilai ekonomis. Kesetiaan merupakan suatu nilai

moral yang lain, tapi harus diterapkan pada nilai manusiawi lebih umum, misalnya,

cinta antara suami-istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat

“pramoral”. Nilai-nilai itu mendahului tahap moral, tapi bisa mendapat bobot moral.

Walaupun nilai moral biasanya menumpang pada nilai-nilai lain, namun ia

tampak sebagai suatu nilai baru, bahkan sebagai nilai yang paling tinggi. Menurut

Bertens (2007: 142-147) nilai moral mempunyai ciri-ciri (1) berkaitan dengan

tanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan, (4) bersifat

formal.

1. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita

Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia tetapi hal yang sama dapat

dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Khusus menandai nilai moral bahwa nilai

ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral

(32)

bertanggung jawab. Nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam

perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersangkutan. Karena

itu harus kita katakan bahwa manusia itu sendiri menjadi sumber nilai moralnya.

Manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut

moral. Hal itu tergantung pada kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai

moral, tidak lagi merupakan nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari

keputusan bebas manusia. Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga

mengandaikan peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya nilai-nilai

intelektual dan estetis.

2. Berkaitan dengan Hari Nurani

Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung

semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya, seolah-olah “minta”

supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi musik, atau cara lain. Kalau

sudah jadi, lukisan “minta” untuk dipamerkan dan musik “minta” untuk

diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih

serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani.

Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan

“suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menetang

nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai-nilai-nilai moral.

Hati nurani dapat diberi batasan sebagai keputusan praktis akalbudi yang

(33)

suatu perbuatan buruk. Menurut Poespoprodjo (1999:243). Ada tiga hal yang

tercakup dalam hati nurani, yaitu:

”a. Intelek sebagai kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan individual benar dan salah. b. Proses pemikiran yang di tempuh secara intelek guna mencapai keputusan semacam itu. c. Keputusannya sendiri merupakan kesimpulan proses pemikiran.”

Hati nurani dapat menjadi penuntun bagi perbuatan-perbuatan yang akan

datang, mendorong kita untuk melakukannya atau menghindarinya, karena

keputusan hati nurani adalah keputusan intelek dan keintelekan bias salah karena

memakai premis-premis yang menarik sebuah kesimpulan yang tidak logis.

3. Mewajibkan

Berhubungan erat dengan ciri mewajibkan adalah bahwa nilai-nilai moral

mewajibkan kita secara absolute dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai

lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai estetis, umpamanya.

Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan mengakui serta menikmati nilai

estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan yang bermutu tinggi.

Orang yang tidak mempunyai nilai-nilai ini tetap merupakan manusia

yang sungguh-sungguh dan lengkap. Tetapi diharapkan dan malah dituntut bahwa

setiap orang menjunjung tinggi dan mempraktekkan nilai-nilai moral. Orang yang

tidak mempunyai nilai moral mempunyai cacat sebagai manusia. Apalagi, setiap

orang diharapkan menerima semua nilai moral dan menolak nilai moral lainnya.

(34)

kesetiaan sebagai nilai dalam hidup saya, tetapi keadilan saya tolak.” Nilai-nilai

moral mewajibkan manusia dengan cara demikian agar setiap orang harus

menerima semuanya.

4. Bersifat Formal

Nilai moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan

begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral

merupakan nilai-nilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti

yang sudah menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa

nilai-nilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai.

Nilai-nilai moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari Nilai-nilai-Nilai-nilai

lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang lain

dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral bernilai ekonomis. Seorang

seniman berperilaku moral pada saat ia berkecimpung dalam nilai-nilai estetis.

2.2.2 Kebudayaan Jepang

Dalam kenyataan yang sesungguhnya kebudayaan Jepang dan Indonesia

merupakan suatu bangsa Asia yang kurang lebih memiliki kesamaan sifat. Salah

satunya adalah masyarakat Jepang juga menilai budaya gotong royong, serta

memiliki suatu mentalitas yang berorientasi vertikal kearah atasan, yaitu kearah

orang-orang senior dan orang-orang berpangkat tinggi. Tetapi perbandingannya

(35)

kebudayaan Jepang mempunyai beberapa sifat yang tidak ada dalam kebudayaan

Indonesia, sedangkan suatu persentase besar orang Jepang mempunyai sifat-sifat

yang jelas tidak atau belum dimiliki oleh suatu persentase besar orang Indonesia.

Koentjaraningrat (1990 : 91). Sifat-sifat itu adalah :

“1) Keseragaman amat besar dari kebudayaan Jepang, 2) Pendorong Psikologis yang memberi motivasi kepada orang Jepang untuk membangun suatu abad yang lalu, 3) Kesiap-siagaan mental orang Jepang pada saat pembangunan dimulai terutama karena sifat hemat mereka, 4) Sistem hukum adat waris dalam masyarakat Jepang sesuai untuk memecahkan masalah tenaga kerja pada permulaan pembangunan, 5) Agama Shinto yang amat mendorong kekuatan manusia dalam dunia yang panah ini cocok untuk pembangunan.”

Berbeda dengan kebudayaan Indonesia yang terdiri dari banyak kebudayaan

suku-suku bangsa yang amat berbeda satu dengan yang lain, yang mengenal banyak

agama yang berbeda-beda, yang mengenal banyak bahasa dan logat yang sulit

dipahami oleh orang yang tidak memakainya, maka kebudayaan, agama dan

bahasa Jepang adalah seram dan dipahami oleh semua orang Jepang. Sifat

keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia satu sisi sangat menguntungkan,

tetapi untuk dapat memudahkan penyusunan rencana kebijaksanaan sangat sulit.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan Koentjiraningrat (1990 : 91), “Suatu bangsa

yang seragam kebudayaannya lebih dapat mengembangkan suatu tujuan nasional

yang satu; sebaliknya suatu bangsa dengan suatu tujuan nasional yang seragam dan

(36)

memudahkan pengembangan motivasi yang perlu untuk mendorong dan memberi

semangat kepada usaha jerih payahnya dalam membangun.”

2.2.3 Pandangan Moral Bagi Jepang

Dalam pergaulannya dengan bangsa-bangsa di Asia, bangsa Jepang

berambisi untuk menjadi pemimpin. Mereka pada umumnya menganggap dirinya

berhak untuk memegang peranan sebagai satu-satunya bangsa di Asia yang telah

mencapai masyarakat yang makmur. Ambisi tersebut sudah mereka miliki sejak

lama dan sulit dihapuskan oleh kekalahan besar yang dialami dalam perang dunia

ke-II. Serta cendekiawan Jepang ambisi tersebut hidup, walaupun mereka

mencita-citakan suatu kepemimpinan yang bertanggung jawab dan kooperatif.

(Koenjtraningrat, 1990 : 99). Umumnya mereka juga mengerti semua bangsa di

Asia ingin mencapai suatu perbaikan dari taraf kemakmuran mereka melalui

pembangunan ekenomi, bahkan ada beberapa cendekiawan Jepang begitu progresif

mengemukakan agar bangsa-bangsa dan Negara-negara begitu yang sedang

berkembang hendaknya jangan didorong dengan bantuan ekonomi, melainkan justru

dengan ajakan untuk ikut serta sebagai teman dalam usaha.

Sebaliknya, gagasan-gagasan yang progresif dan praktis tidak akan

pernah dapat dilaksanakan. Dalam Koentjaningrat (1990 : 100) “Bangsa Jepang

menganggap bahwa bangsa-bangsa yang sedang berkembang sangat sulit untuk

dijadikan patner karena mentalitasnya yang tidak sesuai dengan irama kehidupan

(37)

telah maju seperti Jepang.” Sejalan dengan itu Koentjaningrat (1990 : 10)

mengatakan :

”Paham moral pada orang Jepang berbeda isinya dengan apa yang diasosiasikan dengan istilah moral tersebut. Menurut orang Jepang faham “moral” mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a) Bertanggung jawab sampai sejauh-jauhnya, kalau perlu ia dengan diri sendiri terhadap suatu tugas yang telah disanggupi, b) Loyalitas mutlak terhadap kesatuan sosial yang sudah dipilih untuk diikuti.”

Jepang mengenal moral pengabdian diri bushi sesuai dengan pendapat

Situmorang (2011 : 90) pengabdian diri bushi dibagi dua periode, yaitu ; a.

moral pengabdian diri bushi periode awal zaman feodal dan b. moral pengabdian

periode akhir feodalisme di jepang.

a. Moral pengabdian diri bushi perioe awal feodalisme muncul untuk

membedakan arti dengan petani. Dimana pada awalnya mereka hidup dengan

masyarakat Kizoku (bangsawan) pekerjaan sehari-hari mereka adalah

menbidangi seni. Sedangkan bushi memiliki profesi sebagai ahli perang.

Pada zaman Kamakura dan Muromachi istilah bushido belum dikenal.

Istilah yang dikenal pada masa itu adalah “tsumanomo nomichi” yang berarti

keterampilan berperang.

Menurut Situmorang (2011 : 91) kesetiaan bushi periode awal ini,

dipengaruhi atas : “a. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan

pengikutnya, b. Ikatan yang didasarkan pada hubungan darah / keluarga dan

(38)

Adapun isi dari perjanjian tuan dan pengikutnya adalah Ongko

(pemberian) dengan hook (pelayanan) di pihak lain, yang melahirkan kekuatan

kelompok. “Ongko” sebagai tuan berarti berkah, dan “hoko” sebagai pengikut

mengandung makna pengabdian yang mempunyai warna, “mujoken” (tidak

abadi).

Selain itu pandangan bushi oleh Watsuji Tetsuro (1976) dalam

Situmorang (2011: 93) mengatakan, bahwa pandangan bushi akan adanya

reinkarnasi, mengakibatkan bushi mempunyai cita-cita menjadi abadi tuannya

selama tujuh kali dalam reinkarnasi tersebut, sehingga melahiran pengabdian

yang mutlak dari anak buah terhadap tuan. Wujud dari pengabdian mutlak ini

adalah keberanian mengorbankan jiwa raga tuan.

Di negara Jepang, keluarga bushi yang berani mengabdikan jiwa raga

terhadap tuannya sangat disegani. Karena bushi yang disegani tersebut tidak

hanya hebat di medan tempur, tetapi juga setia terhadap tuannya. Kesetiaan

tersebut adalah kesetiaan mengabdikan jiwa raga termasuk kesetiaan melakukan

bunuh diri karena kematian tuannya. Jika tuan meninggal tetapi anak buah tidak ada

yang berani mengikuti kematian tuannya, maka bushi itu disebut pengecut,

sehingga akan menimbulkan rasa malu bagi keturunan bushi tersebut dan akhirnya

bushi tersebut memilih untuk bunuh diri mengikuti kematian tuannya dalam

masyarakat bushi disebut Junshi.

b. Moral pengabdian diri bushi periode akhir zaman Edo sangat kontras jika

(39)

Edo merupakan perpaduan dari kesetiaan pengaabdian diri bushi, zaman feudal dengan Keshogunan Tokugama.

Ajaran Tokugawa ini menuntut para bushi anak buah lebih berpikir rasional

melakukan pengabdiannya. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Hamzon

Situmorang (2011 : 105), bahwa kesetiaan bushi yang diajarkan Tokugawa

melalui Kangakusha adalah menyadari kesadaran hubungan atas dan bawah,

dimana Shogun adalah puncak penerima pengabdian yang tertinggi.

Kemudian bushi diajarkan untuk berpikir rasionil.” Artinya bushi dilarang

elakukan junshi dan adauchi, apabila bushi melakukan junshi maka wilayah

akan direbut oleh Keshogunan.

Pelajaran konfusionisme untuk dasar kekuasaan, sebagai konsep dipilih untuk

menciptakan struktur kekuasaan, dimana Shogun berada pada posisi tertinggi,

juga sebagai pusat pengabdian seluruh masyarakat Jepang. Pelajaran tersebut

disebut Kangaku, kemudian disempurnakan dengan Sushigaku. Mereka

mengembangkan ajaran dotoku (moral), yang mengajarkan pasrah untuk

menerima bagian masing-masing itu disebut gorin (lima etika) yaitu hubungan

tuan dan anak buah, orang tua dan anak, suami dan istri, abang dan adik, dan

juga menjelaskan hubungan orang yang sederajat (Hamzon Situmorang, 2011 :

105).

Selain itu, masyarakat Jepang sekarang tidak mempercayai satu ajaran agama,

mereka mempercayai banyak Tuhan. Yang paling dominan adalah pengaruh

(40)

berisikan “chu” dan balasnya “giri” masih beriaku di Jepang, yaitu

pengabdian bawah terhadap atas masih kuat di Jepang. Hal ini dapat dilihat

dalam dunia usaha di Jepang, yaitu “Karoshi” (mati karena kebanyak bekerja).

Penelitian tentang pengaruh karya sastra Jepang di Indonesia, dalam hal ini

komik Naruto terhadap pembaca anak-anak di Indonesia. Dalam karya sastra

walaupun bersifat fiksi namun juga menggambarkan pikiran dan budaya dimana

karya sastra tersebut dibuat. Oleh karena itu ukuran nilai baik buruk yang ada dalam

karya manga adalah ukuran Jepang. Oleh karena itu banyak hal yang tidak cocok

dengan ukuran nilai bangsa Indonesia. Untuk mengetahui pengaruh baik buruk atau

untuk rugi dari mangga Naruto apabila dikonsumsi anak-anak Indonesia, maka harus

diadakan penelitian lapangan di kalangan anak-anak Indonesia khususnya pecinta

Naruto. Apalagi sekarang teknologi semakin maju maka manga tersebut bukan hanya

disampaikan berupa bahan bacaan tetapi juga sudah disiarkan di TV dan bahkan

sudah dikemas berupa kaset Playstation. Sehingga banyak anak-anak baik di

perkotaan maupun di pedesaan dapat setiap saat menonton/membacanya. Setelah

dilakukan penyebaran angket secara tertutup kepada pembaca anak Indonesia, dari

komik Naruto. Setelah angket disebar maka didapat hasil , bahwa nilai moral

semangat hidup mendapat respon paling banyak dari kalangan pembaca anak.

Dari hasil angket dapat diambil suatu temuan dari komik Naruto ini. Ternyata

komik Naruto memberikan nilai yang positif yang cukup tinggi terhadap pembaca

anak Indonesia, disamping efek negatif lainnya. Selain itu jika dibandingkan dengan

(41)

diri, dapat memberikaan kontribusi yang positif bagi anak Indonesia, sehingga nilai

yang positif ini, memberikan motivasi yang tinggi kepada pembaca anak untuk dapat

meniru apa yang pantas dan di pertahankan guna mengembangkan kecerdasan moral

anak, yang terbentuk dari empati, rasa saling menghargai dan menghormati orang

lain, kontrol diri, dan rasa keadilan.

2.2.4 Komik sebagai genre

Berhadapan dengan komik selama ini terkonotasikan sebagai sesuatu yang

berkaitan dengan hal-hal yang tidak serius, hiburan ringan, lucu, dan lain-lain

yang tidak selalu memberatkan. Apalagi saat sekarang ini komik merupakan salah

satu bacaan yang paling digemari, bukan saja oleh pembaca anak-anak, tetapi

juga orang dewasa.

Sebagai sebuah bacaan, komik hadir dengan keunikannya sendiri, tampil

deretan gambar dalam panel-panel anak (kotak) dengan sedikit tulisan yang

ditempatkan dalam balon-balon.

Menurut Franz dan Meier (dalam Nurgiyantoro 2005 : 410) “Komik adalah

cerita bertekanan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat urutan gambar

yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata. Hampir seluruh teks komik

tersusun dari hubungan antara gambar (lambang) visual dan kata-kata (lambang

(42)

Sejalan dengan itu Nurgiyantoro (2005 : 409) komik dapat dikategorikan

sebagai kesusastraan (Sastra anak) popular yang memiliki keunikan tersendiri

karena gambar-gambar.

Fungsi kata-kata adalah untuk menjelaskan melengkapi dan memperdalam

penyampaian gambar dan teks secara keseluruhan, maka antara gambar dan kata

erat – padu serta merupakan satu kesatuan. Kata-kata biasanya ditampilkan dalam

gelembung-gelembung yang dikreasikan sedemikian rupa sehingga serasi dengan

gambar-gambar. Balon-balon teks itu dapat berupa ujaran atau pikiran dan

perasaan tokoh (teks gelembung bicara dan gelembung pikiran).

Macam komik menurut Nurgiyantoro (2005: 434-438) dibagi atas (1) komik

strip dan komik buku, (2) komik umur dan komik petualangan, (3) komik biografi dan komik ilmiah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, komik adalah

kategori kesusastraan sastra anak yang memiliki keunikan tersendiri karena

gambar-gambar yang ditekankan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat

urutan gambar yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata yang berfungsi

untuk menjelaskan, melengkapi dan memperdalam penyampaian gambar dan teks

(43)

2.3 Landasasan Teoretis

2.3.1 Sastra Anak

Sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak “dengan bimbingan dan

pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan

oleh orang dewasa” (Sarumpaet 1976:23). Dengan demikian, secara praktis, sastra

anak adalah satra terbaik yang mereka baca dengan karateristik berbagai ragam, tema,

dan format. Dilihat dari temanya, karya sastra anak juga beragam. Ditinjau dari

ukurannya, kita menemukan bacaan anak dari berukuran mini terkecil hingga raksasa

terbesar. Gaya ilustrasi juga menambah variasi pada sastra anak. Stewig (1980) dalam

Nurgiyantoro (2005:4) sebelumnya juga menegaskan bahwa salah satu alasan

mengapa anak diberi buku bacaan sastra adalah agar mereka memperoleh

kesenangan. Selain itu, bacaan sastra juga mampu menstimulasi imajinasi anak,

mampu membawa ke pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain bahwa orang

tersebut sama dengan kita.

Isi kandungan sastra anak dibatasi oleh pengalaman dan pengetahuan anak,

pengalaman dan pengetahuan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh anak,

pengalaman dan pengetahuan anak sesuai dengan dunia anak sesuai dengan

perkembangan emosi dan kejiwaanya. Nurgiyantoro (2005:6) mengatakan, “satra

anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami

oleh anak dan pada umumnya berangkat dari fakta yang kongret dan mudah

(44)

mewarnai buku bacaan yang memang ditulis dan disediakan untuknya. Sastra anak

tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, tentang berbagai peristiwa

yang mesti melibatkan anak. Satra anak dapat berkisah tentang apa saja yang

menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan,

maupunkehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain.

2.3.2 Genre Sastra Anak

Dalam penulisan ini apa yang disebut dengan genre mengacu kepada jenis,

tipe, atau kelompok dalam sastra berdasarkan pada bentuknya : ragam sastra

(KBBI, 2003:354). Selain berdasarkan pada bentuk, pengelompokan genre sastra

ini juga didasarkan pada bahasa dan isinya. Antara bentuk dan bahasa sepertinya

mengandung pengertian yang sama, tetapi dalam hal ini, penulis membedakannya.

Bentuk ini mengacu kepada tipografi, sedangkan bahasa mengacu pada gaya

bahasa yang digunakan dalam sastra.

Lukens (2003) dalam Nurgiyantoro (2005:13) mendefenisikan genre sebagai

suatu macam atau tipe kesastraan yang memilki seperangkat karakteristik secara

umum. Genre penting diungkapkan dalam sastra anak. Selanjutnya Lukens

memaparkan bahwa : 1) untuk memberi kesadaran kepada kita bahwa

kenyataannya terdapat berbagai genre sastra anak selain cerita atau lagu-lagu

bocah yang telah familiar, telah dikenal, dan diakrabi, 2) elemen struktural sastra

(45)

sastra yang bervariasi, yang kemudian dapat dimanfaatkan memilihkannya untuk

anak (Nurgiyantoro, 2005 : 13-14).

Dengan demikian, munculnya genre dalam sastra anak ini terjadi karena

sastra anak ini jumlahnya sangat beragam secara karakteristik, sehingga genre

sastra anak dengan sastra dewasa tentu saja berbeda. Akan tetapi, dalam genre

yang penulis uraikan ini menggunakan dasar genre sastra dewasa, yang

pengelompokannya cenderung berdasarkan pada ragam bentuk dan bahasanya.

Harus diakui bahwa sastra anak yang tumbuh dan berkembang di negeri ini

sebenarnya sangat beragam, tetapi penelitian genre setiap karakteristik dalam

sastra anak masih sangat kurang, bahkan belum ada. Oleh karena itu, untuk

memudahkan dalam mengidentifikasi ragam dan jenisnya, penulis menggunakan

genre sastra dewasa untuk mengelompokkan ragam dalam sastra anak

Sebagai sebuah bacaan komik hadir dengan keunikannya sendiri, tampil

dengan deretan gambar dalam panel-panel kotak gambar dengan sedikit tulisan

tangan yang ditempatkan dalam balon-balon. Gambar-gambar komik itu sendiri pada

umumnya sudah “berbicara”, dan dibuat menjadi deretan gambar yang menampilkan

alur cerita. Bagi pembaca anak hal itu terlihat menguntungkan karena tidak harus

terfokus membaca tulisan dan lebih banyak menatap gambar-gambarnya daripada

tulisannya. Genre satra anak dalam berbagai hal berbeda dengan satra dewasa , dan

salah satunya adalah masih dominannya unsur gambar dalam sastra anak, dan salah

satunya adalah masih sangat dominannya unsur gambar dalam sastra anak. Mengingat

(46)

merangsang membaca, mengembangkan daya imajinasi, dan mengembangkan rasa

keindahan, sedangakan hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada komik, maka

komik pun dapat dikategorikan sebagai salah satu genre sastra anak.

Selain itu, di samping untuk menyajikan cerita, komik juga mampu untuk

mengekspresikan berbagai gagasan, pemikiran atau maksud-maksud tertentu sebagai

mana halnya dengan karya sastra. Gagasan yang di ungkapkan juga dapat bervariasi:

cerita fiksi, cerita binatang, cerita faktual dan historis, biografi, dan ide-ide faktual

untuk menyindir atau menempilkan cerita lucu. Kesemua itu dikemas dalam

gambar-gambar yang berisi tulisan tangan singkat yang ditampilkan secara menarik. Jadi,

menikmati komik berarti menikmati gambar dan sekaligus cerita verbal dan keduanya

bersifat saling menguatkan dan melengkapi.

2.3.3 Sosiologi Sastra

Kajian sosiologi sastra dilatarbelakangi oleh fakta bahwa, keberadaan karya

sastra tidak terlepas dari realita sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sesuai dengan

pendapat Sapardi Djoko Damono (1979: 38), bahwa karya tidak jatuh begitu saja dari

langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra dan masyarakat.

Sebagai salah satu kajian dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu

pada cara memahami dan menilai sastra dengan menilai sastra dari segi

kemasyarakatan. Sejalan dengan itu pandangan Swingewood dalam Sapardi Djoko

(47)

harus berhati-hati mengartikan “slogan” sastra cerminan masyarakat. Selanjutnya

slogan itu merupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya.

Selanjutnya Wellek dan Warren (1993: 111) juga membuat tiga tipe dalam

pendekatan sosiologi sastra, yaitu :

1. Sosiologi pengarang, yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial,

dan lain-lain yang menyangkut pengarang.

2. Sosiologi karya sastra, yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri.

3. Sosiologi sastra, yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya

sastra.

Teori ini ditekankan pada tipe kedua yaitu sosiologi karya, karena teori ini

mendukung bagaimana nilai moral yang ada dalam komik Naruto dan yang ada

dalam sebuah karya sastra.

2.3.4 Resepsi Sastra

Resepsi sastra berasal dari kata rezeptionnaesthetik yang sejajar sebagai

penerimaan estetik. Istilah itu pada mulanya digunakan oleh Franco Maregalli pada

tahun 1980.

Mana Sikana (2009:304) mengatakan, “Teori resepsi bermakna pembaca

memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat

memberikan reaksi atau tanggung terhadap bacaannya.” Artinya teori ini

(48)

reaksi pembaca yang pada akhirnya pembaca dapat memahami makna dari

bacaannya.

Dalam teori respon pembaca atau resepsi ini, Mana Sikana (2009:312)

merumuskan beberapa faktor penerimaan tentang teori resepsi yang bisa diterima

oleh masyarakat pembaca, seperti : (1) faktor intelektual, (2) faktor perasaan atau

emosi, dan (3) faktor gender. Dalam hubungannya dengan hakekat karya dan hakekat

pembaca memerlukan adanya suatu cara penerimaan tertentu. Umar Junus (1985:115)

membuat dua klasifikasi pembaca yaitu : (1) Pembaca biasa dan (2) Pembaca ideal.

Sejalan dengan hal di atas, Iser dalam Umar Junus (1985:36) membuat tiga

langkah bagaimana hubungan teks dan pembaca, yaitu :

1. Sketsa tentang kelainan suatu teks yang membedakannya dengan teks-teks

sebelumnya;

2. Pengenalan dan penganalisaan kesan dasar dari suatu teks;

3. Pembaca memiliki kekuasaan sendiri dalam menafsirkan sendiri apa yang

dibacanya lewat teks.

Teori Iser ini peneliti jadikan untuk dapat mengetahui hasil resepsi pembaca

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian terhadap komik Naruto Karya Mashashi Khisimoto akan

dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. “Metode kualitatif

memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan

konteks keberadaannya.” (Ratna, 2004 : 47). Dalam metode ini dikenal dua

strategi analisis, yaitu model strategi deskriptif dan model strategi verifikatif

kualitatif (Bungin, 2003 : 83). Kedua model analisis ini dapat dilakukan secara

bersama-sama ataupun terpisah.

Model kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini akan disejajarkan

dengan metode hermeneutika, yakni dengan cara menafsirkan atau

menginterpretasikan teks sastra. Hasil penafsiran tersebut akan dianalisis dengan

menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu metode dengan cara menguraikan

sekaligus menganalisis.

Sejalan dengan pendapat diatas Moleong (1994 : 5) mengatakan bahwa

metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti

(50)

dalam bentuk deskripsi dan dibatasi oleh fakta-fakta sosial serta gejala sosial yang

relevan.

Selanjutnya Muhadjir (2002 : 120-121) mengatakan bahwa sosok penelitian

kualitatif berupaya melepaskan diri dari pola pikir kualitatif. Artinya teori ini

berupaya menemukan teori berdasarkan data empirik, bukan membangun teori secara

deduktif logis. Sehingga penemuan dari data empirik yang diperoleh secara

sistematis.

Hermeneutika merupakan pemahaman secara mendasar dan mendalam

pada sebuah karya, dengan prinsip interpretasi atau penafsiran. Proses ini oleh

Heidegger dan Gadamer disebut lingkaran hermeneutik. Dalam praktiknya,

lingkaran itu dipecahkan secara dialektik, sistem bertangga, atau dengan gerak

spiral. (Ratna, 2004 :46)

Tujuan hermenutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang

terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia,

melalui pemahaman dan interpretasi.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menempatkan metode

“tafsir sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan

kedua metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan.

Kedua metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan

kesadarannya sendiri atas konteks histories-kultural.

Hermeneutik juga berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik,

(51)

“makna kata” dan makna bahasa. Menurut (Djojo Suroto, 2007 : 243) mengatakan

bahwa, makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks

sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu

pemahaman makna bahasa.”

Oleh karena itu, seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, ia harus

berusaha mengubah makna yang terdapat dalam sebuah karya. Berusaha

menginterpretasikan pesan dan tujuan dari si pengarang. Sejalan dengan pernyataan

di atas Palmer (2003 : 48) mengatakan bahwa, hermeneutik adalah proses

menelaah isi dan maksud yang mengejewantah dari sebuah karya kepada makna

yang terdalam, laten dan tersembunyi.

Palmer juga menambahkan (2003 :277) bahwa, apa yang dibutuhkan

dalam interprestasi sastra adalah penalaran dialektis yang tidak menginterogasi teks

tetapi menyediakan sesuatu yang dikatakan pada teks untuk menginterogasi balik,

kemudian mengajak penafsir ke dalam pertanyaan dan melakukan transformasi

pemahaman seseorang terhadap subjek.

Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang

penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermenutik merupakan, metode yang

dilakukan secara diakletik, artinya peneliti harus bolak-balik dari ekstrinsik ke

instrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran yang berupa spiral, sehingga

menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis. Pemahaman dan interprestasi objek

dilakukan untuk mendapatan tingat objektivitas yang sebaik-baiknya. Dengan

(52)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian lebih ditekankan pada penelitian kepustakaan oleh karena itu lokasi penelitian ini lebih banyak diperpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun

perpustakaan lembaga. Perpustakaan lembaga yang dimaksud adalah perputakaan S2

dan S3 Sekolah Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara.

3.3 Teknik Pegumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka

(library research). Teknik ini digunakan karena sumber data yang bersifat tertulis lebih dominan. Teknik studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan

terhadap semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik,

gejala kejadian (Moeliono, 1990 : 713).

Metode pengumpulan data secara hermeutik dimulai dengan membaca

komik-komik tentang Naruto, karena sumber data yang dominan ada pada karya

sastra. Untuk itu peneliti membaca langsung karya sastra tersebut. Langkah

selanjutnya dapat dilakukan dengan :

1. Dengan pengetahuan, wawasan, kemampuan, dan kepekaan yang dimiliki

peneliti membaca sekritis-kritisnya, secermat-cermatnya, dan

Gambar

Tabel 1.
gambar ini mengindikasikan bahwa komflik berawal dari tes dan lewat tes ini para
Tabel 2.
Tabel 3.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi yang diharapkan dari penelitian ini adalah bagaimana siswa-siswi SMA mampu mengamati moral baik yang dimunculkan melalui aspek moral dalam novel

Skripsi yang berjudul “ Nilai-Nilai Moral dalam Novel Penari Kecil Karya Sari Safitri Mohan: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya dalam pembelajaran di SMA

Sebelum menganalisis pesan moral yang ada pada komik Happy Café , penulis akan menjelaskan juga mengenai defenisi komik, setting komik,. pendekatan moral sastra, serta konsep

Bentuk kata seru yang terdapat di dalam dialog komik serial Naruto dibedakan menjadi lima belas macam yaitu :(a) bentuk kata penyeru biasa, (b) kata seru yang menyatakan rasa heran

Berdasarkan pembahasan yng telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama: Konsep pendidikan Naruto adalah pendidikan yang

Latar sosialnya meliputi tasyakuran dan pernikahan, (3) nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel Tentang Kamu karya Tere Liye adalah (a) hubungan manusia dengan

Sastra lair saka masyarakat, mula saka kuwi sastra ora bisa dipisahake saka masyarakat. Kaya dene moral ora bisa dipisahake saka bebrayan. Ing bebrayan saiki moral ing

Sastra lair saka masyarakat, mula saka kuwi sastra ora bisa dipisahake saka masyarakat. Kaya dene moral ora bisa dipisahake saka bebrayan. Ing bebrayan saiki moral ing