NILAI MORAL DALAM KOMIK NARUTO :
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
TESIS
OLEH
HENNILAWATI
097009024/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas
rahmar dan hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Nilai Moral
Dalam Komik Naruto Kajian : Sosiologi Sastra.” Tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk mencapai derajat magister pada Program Studi Magister (S2)
Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa mengucapkan salawat dan
salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Selama proses, pengerjaan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, selayaknyalah penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., sebagai Pembimbing Akademik, dan
Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Pembimbing I. Selama penulis menjadi mahasiswa
di Program Studi Magister, Program Studi Linguistik beliau telah banyak
memberikan pelajaran yang berharga. Dengan selesainya tesis ini juga
memberikan pelajaran yang berharga bagi penulis, karena telah banyak arahan,
masukan, dan motivasi yang diberikan beliau kepada penulis dalam
penyempurnaan tesis ini.
Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr.
Thyrhaya Zein, M.A, yang telah bersedia menjadi pembimbing II. Beliau dengan
yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini. Perhatian beliau memberikan
dorongan semangat bagi penulis untuk segera mungkin menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Sastra, serta Ketua dan Sekretaris Program
Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan karyawan, yang
telah memberikan peluang dan berbagai kemudahan kepada penulis sejak awal
perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini.
Secara khusus, penulis rasa terima kasih yang tak terhingga kepada
ayahanda, ibunda, adik, dan orang-orang tersayang di keluarga penulis, sahabat
terdekat yang selalu memberikan dorongan dan bantuan selama penulis kuliah.
Juga tidak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman satu stambuk
di sekolah Pascasarjana Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara, serta kepada
Yayasan Al-Iman dan STKIP “Tapanuli Selatan” Padang Sidimpuan, yang turut
memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.
Medan, Juni 2011
Penulis,
2.2.2 Kebudayaan Jepang... 21
2.3.3 Sosiologi Sastra... 33
2.3.4 Resepsi Sastra ... 34
4.1 Strukturalisasi Komik Naruto ... 46
4.2 Tokoh Dalam Komik Naruto ... 64
4.3 Latar Tempat Di Dalam Komik Naruto ... 72
4.3.1 Negara Utama dan Desa Tersembunyi Dalam Komik Naruto ... 72
4.4 Tema... 78
BAB V BENTUK / WUJUD NILAI MORAL DALAM KOMIK NARUTO ... 80
1. Empati ... 84
2. Menghargai dan Menghormati Orang Lain... 92
3. Kontrol Diri... 97
4. Keadilan ... 103
BAB VI RESEPSI PEMBACA ANAK INDONESIA TERHADAP NILAI MORAL DALAM KOMIK NARUTO... 110
6.1...Makna Nilai Moral dalam Komik Naruto ... 110
6.1.1. Nilai Kekerasan dalam Komik Naruto... 112
6.1.2. Menumbuhkan Rasa Kebersamaan ... 127
6.1.3. Membangun Jiwa Kebangsaan... 120
6.2 Temuan Nilai Moral dalam Komik Naruto ... 127
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 132
7.1...Simpula n... 132
7.2...Saran ... 135
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Tokoh dan Karakterisasi dalam Komik Naruto ... 71
Tabel 2. Nilai moral empati berupa Ucapan dan tindakan orang yang
memiliki empati... 91
Tabel 3. Nilai moral menghargai dan menghormati yang ditunjukkan
dalam bentuk perkataan dan tindakan orang yang memiliki
rasa hormat ... 96
Tabel 4. Nilai moral dalam bentuk kontrol diri baik berupa perkataan dan
perbuatan orang yang memiliki kontrol diri ... 102
Tabel 5. Nilai moral dalam bentuk keadilan baik ucapan atapun tindakan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Glossarium ... 141
Lampiran 2. Sinopsis Naruto ... 150
Lampiran 3. Pengarang Komik Naruto ... 157
Lampiran 4. Gambar Sampul Komik Naruto ... 162
ASBTRAK
Nilai Moral dalam Komik Naruto : Kajian Sosiologi Sastra
Kerangka pikir dari penelitian itu dimulai dengan sastra anak yang dikaitkan dengan nilai moral dalam komik Naruto. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan bagaimana nilai moral serta hasil resepsi pembaca anak Indonesia terhadap komik Naruto. Bentuk dan wujud nilai moral merupakan struktur dari komik Naruto diamati secara totalitasdipadukan dengan latar dan sejumlah tokoh sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu. Ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra oleh Wellek dan Warren, yakni dengan menekankan pada sosiologi karya. Sedangkan untuk resepsi pembaca anak Indonesia ditinjau berdasarkan teori resepsi Iser setelah dipadukan dengan hasil sebaran angket terhadap pembaca anak.
Komik Naruto volume 1 sampai volume 10 karya Masashi Kisimoto ini merupakan sumber data penelitian yang dianalisis dengan menggunakan teknik analisis konten dan studi pustaka. Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan, diperoleh temuan nilai moral, yaitu, (1) Empati, (2) Rasa menghargai dan menghormati orang lain, (3) Kontrol diri serta (4) Rasa keadilan. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa dari ke 10 nilai moral yang ada dalam komik Naruto, ternyata hanya empat yang berterima bagi anak Indonesia. Dalam arti tidak semua nilai moral produk Jepang bisa diterima oleh pembaca anak Indonesia.
Temuan berikutnya adalah ditemukannya Resepsi Pembaca Anak Indonesia setelah membaca komik Naruto berupa (1) Nilai kekerasan, (2) Menumbuhkan rasa kebersamaan, (3) Membangun jiwa kebangsaan. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita yang saling melengkapi dalam kemaknaan tesk sastra.
ABSTRACT
The Moral Value in Naruto Comic: A Study On Sociological Literature
The consideration in this research is begin by the children literature that related to the moral value in Naruto Comic. This research aims to expose how the moral value and the reading perception of the Indonesia child to the Naruto comic. The form and manifestation of the moral value is a structure of the Naruto Comic that observed totally and integrated to the background and the number of figures that manifest their position as the center of the structure. This review is based on the literature sociology theory by Wellek and Warren, i.e. by focus to the work sociological work. While for the reading perception of the child of Indonesia is reviewed based on the perception theory of Iser after be integrated to the questionnaire on the child reading.
The Naruto Comic volume 1 up to volume 10 by Masashi Kisimoto is a source of data that analyzed by using the content analysis method and library research. Based on the results of analysis in discussion, it found the moral value, i.e. (1) empathy. (2) respect to the other people, (3) self control and (4) Justness sense. These results indicated that of 10 moral values in Naruto comic, only four of them that accepted by the Child of Indonesia. It means that did not all of the moral value of Japan product can be accepted by the child of Indonesia.
The next results is the reading perception of the child of Indonesia after to read the Naruto Comic are (1) Harshness value, (2) Build the togetherness value, (3) to build the nationality spirit. These conditions can not be separated from the fct and meaning of the story that support in the literature text meaning.
ASBTRAK
Nilai Moral dalam Komik Naruto : Kajian Sosiologi Sastra
Kerangka pikir dari penelitian itu dimulai dengan sastra anak yang dikaitkan dengan nilai moral dalam komik Naruto. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan bagaimana nilai moral serta hasil resepsi pembaca anak Indonesia terhadap komik Naruto. Bentuk dan wujud nilai moral merupakan struktur dari komik Naruto diamati secara totalitasdipadukan dengan latar dan sejumlah tokoh sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu. Ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra oleh Wellek dan Warren, yakni dengan menekankan pada sosiologi karya. Sedangkan untuk resepsi pembaca anak Indonesia ditinjau berdasarkan teori resepsi Iser setelah dipadukan dengan hasil sebaran angket terhadap pembaca anak.
Komik Naruto volume 1 sampai volume 10 karya Masashi Kisimoto ini merupakan sumber data penelitian yang dianalisis dengan menggunakan teknik analisis konten dan studi pustaka. Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan, diperoleh temuan nilai moral, yaitu, (1) Empati, (2) Rasa menghargai dan menghormati orang lain, (3) Kontrol diri serta (4) Rasa keadilan. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa dari ke 10 nilai moral yang ada dalam komik Naruto, ternyata hanya empat yang berterima bagi anak Indonesia. Dalam arti tidak semua nilai moral produk Jepang bisa diterima oleh pembaca anak Indonesia.
Temuan berikutnya adalah ditemukannya Resepsi Pembaca Anak Indonesia setelah membaca komik Naruto berupa (1) Nilai kekerasan, (2) Menumbuhkan rasa kebersamaan, (3) Membangun jiwa kebangsaan. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita yang saling melengkapi dalam kemaknaan tesk sastra.
ABSTRACT
The Moral Value in Naruto Comic: A Study On Sociological Literature
The consideration in this research is begin by the children literature that related to the moral value in Naruto Comic. This research aims to expose how the moral value and the reading perception of the Indonesia child to the Naruto comic. The form and manifestation of the moral value is a structure of the Naruto Comic that observed totally and integrated to the background and the number of figures that manifest their position as the center of the structure. This review is based on the literature sociology theory by Wellek and Warren, i.e. by focus to the work sociological work. While for the reading perception of the child of Indonesia is reviewed based on the perception theory of Iser after be integrated to the questionnaire on the child reading.
The Naruto Comic volume 1 up to volume 10 by Masashi Kisimoto is a source of data that analyzed by using the content analysis method and library research. Based on the results of analysis in discussion, it found the moral value, i.e. (1) empathy. (2) respect to the other people, (3) self control and (4) Justness sense. These results indicated that of 10 moral values in Naruto comic, only four of them that accepted by the Child of Indonesia. It means that did not all of the moral value of Japan product can be accepted by the child of Indonesia.
The next results is the reading perception of the child of Indonesia after to read the Naruto Comic are (1) Harshness value, (2) Build the togetherness value, (3) to build the nationality spirit. These conditions can not be separated from the fct and meaning of the story that support in the literature text meaning.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan kognisi, emosi, dan keterampilan anak tidak bisa lepas dari
peran karya sastra. Buktinya, sekalipun dalam gempuran budaya elektronik (Barat),
sampai saat ini sastra masih digunakan guru dan orangtua, sebagai media untuk
menanamkan nilai-nilai edukasi dan moral pada anak. Sastra anak merupakan salah
satu jenis satra yang ditujukan kepada anak. Sebagai media tersebut, cenderung
dilupakan karena anak sering disuguhkan dengan televisi, yang secara langung dapat
menarik perhatian anak. Sastra anak yang meliputi beragam jenis dan bentuk, baik
syair maupun prosa, contohnya hikayat, beragam pantun, dongeng, legenda, dan
mitos. Ternyata karya-karya itu telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Berikut
pernyataan yang menyatakan bahwa Indonesia kaya akan karya sastra,
Berdasarkan survey terhadap penjualan buku anak di Tokoh Buku Gramedia
Matraman Jakarta, dari 100 persen buku anak dan remaja, 52 persen penjualan komik
dan sisanya buku fiksi anak. Buku fiksi ini belum terbagi lagi menjadi fiksi modern,
terjemahan, dan klasik. Penjualan komik bisa mencapai 32.000 eksemplar setiap
bulan meskipun terkadang turun menjadi 12.000. Menurut pengelola toko, hampir 80
persen dari total komik yang laku terjual adalah komik Jepang (Kulsum, 2008:1
dalam www.kompas.com).
1
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa karya sastra merupakan bagian
penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak. Anak dengan dunianya yang
penuh imajinasi menjadi begitu bersahabat dengan sastra (cerita), karena dengan
cerita, dunia imajinasi anak bisa terwakili. Oleh karena itu Nurgiyantoro (2005: vi)
mengatakan,” bahwa penyediaan buku bacaan sastra kepada anak-anak yang tepat
sejak dini, sejak masih bernama anak, diyakini akan membantu literasi dan kemauan
membaca anak pada perkembangan usia lanjut.”
Sebagai karya ciptaan manusia, hakikatnya karya sastra itu berfungsi sebagai
media komunikasi antara penulis (writer) dengan pembaca (reader). Hal ini berarti,
sastra sebagai karya mempunyai isi (content), yang berupa pesan-pesan dan makna
yang digambarkan dalam kehidupan (dunia dalam kata) dengan media bahasa yang
estetis, yaitu bahasa yang indah dan berbeda dengan bahasa sehari-hari.
Bahasa yang digunakan dalam sastra anak adalah bahasa yang mudah
pemahaman anak. Pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai moral dan pendidikan
yang disesuaikan pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak.
Dengan demikian, sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasa
sesuai dengan tingkatan perkembangan intelektual dan emosional anak, karena anak
masih mempunyai tingkatan keterbatasan kreativitas berhubungan dengan mencipta
dan memahami kehidupan. Pada aspek pembaca, sastra anak boleh, bahkan
mengharuskan untuk dibaca orang dewasa, khususnya para orangtua, guru, atau
pemerhati anak. Dengan dibaca oleh orangtua dan orang yang berhubungan dengan
anak, maka mereka bisa lebih memahami dunia anak dan bisa menyampaikan isi
karya itu sebagai bahan pengajaran.
Tentunya, dengan apresiasi yang baik, maka masyarakat akan semakin bisa
memahami dan meningkatkan kemampuan kognisi, emosi, dan psikomotorik anak.
Sastra bisa dijadikan sebagai salah satu media untuk mendidik dan mencerdaskan
anak karena anak dan cerita seperti dunia yang tidak terpisahkan. Dalam
perkembangannya anak selalu menyukai cerita (karya sastra) karena dengan cerita
anak bisa mengembangkan kemampuan imajinasi intelektual, emosional, dan belajar
mengidentifikasi dirinya.
Sosiologi dan karya sastra memiliki hubungan yang erat. Yakni sosiologi
adalah ilmu yang objek studinya adalah manusia, sedangkan sastra merupakan hasil
ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya (Endraswara,
seperangkat cara pandang dan paradigma sosiologi untuk menganalisis dan memaknai
karya sastra.
Salah satu aspek yang menjadi objek realitas peneliti disini adalah hasil
karya sastra yang ditujukan kepada anak. Sebagaimana halnya sastra dewasa,
sastra anak juga mengenal apa yang disebut genre, maka pembicaraan mengenai
genre sastra anak juga diberlakukan, karena sastra anak diyakini memiliki
kontribusi yang besar bagi kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan
sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang jelas. Komik dapat dikategorikan
sebagai kesastraan jenis sastra anak populer yang memiliki keunikan tersendiri karena
adanya gambar (Nurgiyantoro,2005 : 409). Gambar-gambar komik berbeda dengan
gambar-gambar dalam cerita yang disebut dengan buku cerita bergambar
(picture-books).
Di abad ke-21 ini, masyarakat terbiasa menikmati atau mengapresiasi suatu
karya dengan mudah. Karya fenomenal William Shakespeare Romeo and Juliet kini
jarang diapresiasi di gedung opera, tetapi di gedung bioskop atau melalui Dividi
Compact Disk (DVD) yang bisa diapresiasi secara pribadi. Cerita-cerita rakyat bisa diapresiasi melalui sarana sinetron atau film layar lebar. Bahkan, salah satunya
melalui media komik.
Mengenai komik, sejak lama, menurut Bonnef, komik merupakan bacaan
‘terlarang’. Komik tabu dibaca oleh kalangan dewasa bahkan anak-anak karena
dianggap merusak moral dan mentalitas pembacanya (2008:3). Terlebih catatan
silat yang menonjolkan kekerasan dan cerita roman remaja yang menonjolkan kisah
percintaan (2008:37).
Penelitian wajib menunjukkan sebuah penelitian serius terhadap
perkembangan komik Indonesia yang dilkukan Marcell Bonneff. Penelitian lawas
pada tahun 1971 yang dilakukan Marcel Bonnef pada bulan April dan Juli ini,
menunjukkan bahwa komik Indonesia lebih didominasi oleh komik dewasa. Kategori
komik dewasa itu adalah komik silat 48,75 persen (427 judul), roman remaja 36,75
persen (322 judul), dagelan 6,40 persen (55 judul), fiksi ilmiah dan cerita fantastik
4,20 persen (37 judul), dan lain-lain seperti komik koboi dan detektif 2,20 persen (20
judul). Kategori komik yang dapat di baca anak-anak seperti komik dongeng dan
legenda anak-anak hanya terhadap komik khusus anak-anak sangatlah minim, jauh
lebih sedikit daripada komik dewasa ( Bonnef, 2008 : 50 ).
Setelah 37 tahun kemudian, kondisi komik Indonesia tidak jauh berbeda,
tetapi persentasenya semakin menyusut. Komik dewasa dan komik anak-anak lebih
didominasi oleh komik manga dari Jepang. Data Buku Laris Pustakaloka Kompas
menyatakan sebagai berikut,
“Sejak tahun 2003 hingga kini, komik Jepang yang diterbitkan Elex Media Komputindo menempati urutan teratas atau lima best seller. Ini membuktikan bahwa komik manga sangat digemari masyarakat. Dominannya komik manga dalam industri komik Indonesia diakui oleh Sari, redaksi komik Elex Media Komputindo. Setiap bulan, Elex menerbitkan 60 judul komik, dengan proporsi 52 komik Jepang, 7 komik korea, dan 1 komik Indonesia (Kulsum, 2008 dalam
Data lain dari penerbit M&C, penerbit komik terkemuka memunculkan data
bahwa dari 40 volume yang diterbitkan setiap bulan, 70 persen adalah komik Jepang.
Selebihnya diisi oleh komik Hongkong, Amerika, Eropa, Korea, Mandarin, dan
Indonesia. Jika dalam setiap volume rata- rata dicetak 15.000-20.000, maka setiap
bulan paling tidak M&C memproduksi sekitar 420.000 eksemplar komik manga
(Kulsum,2008 dalam www.kompas.com). Sastra diyakini mampu dipergunakan
sebagai salah satu sarana untuk menanam, memupuk, mengembangkan dengan
melestarikan nilai-nilai yang diyakini baik dan berharga oleh keluarga, masyarakat,
dan bangsa.
Salah satu sarana sastra yang diyakini melestarikan nilai-nilai baik dan
berharga tersebut adalah nilai moral. Menurut Nurgiyantoro (2005 : 265) Moral,
amanat, atau messages dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan
kepada pembaca. Moral berurusan dengan masalah baik dengan masalah baik dan
buruk, namun istilah moral itu selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang buruk.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal
itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang antara lain, untuk menawarkan
model kehidupan yang diidealkannya fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap
dan tingkah laku para tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil
Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan
dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal.
Artinya, sifat-sifat itu memiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Ia
tidak hanya bersifat kesebangsaan, apalagi keseorangan, walaupun terdapat ajaran
moral kesusilaan yang hanya berlaku dan diyakini oleh kelompok tertentu.
Moral dalam karya sastra, atau hikma yang diperoleh pembaca lewat sastra,
selalu dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan
tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh
antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada
pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. (Nurgiyantoro, 2009: 232).
Dengan demikian, kehadiran unsur moral dalam sebuah cerita fiksi, apalagi fiksi
anak merupakan sesuatu yang mesti ada. Sebagai cerita fiksi bacaan komik
merupakan jenis bacaan yang digemari pembaca anak-anak tetapi juga orang
dewasa. Bacaan komik hadir dengan keunikannya.
Menurut Franz dan Meier dalam Nurgiyantoro (2005 : 410), “Komik
adalah cerita yang bertekanan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan pada
urutan gambar yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata.” Dewasa ini
Indonesia kebanjiran komik produk mancanegara khususnya dari Jepang seperti
Serial Ninja Hadori, Kapten Tsubasa, Dora Emon, Crayon Sinchan, dan lain-lain.
Istilah komik di Jepang disebut sebagai “manga” dan di Cina “Man Hua”(Mustaqin,
Aspek visual dan verbal dalam komik dapat dipandang sebagai media
representasi yang menyebabkan komik hadir dihadapan pembaca, yang memiliki
unsur-unsur struktural sebagaimana halnya cerita fiksi. Unsur-unsur struktural
yang dimaksud adalah penokohan, alur, latar, tema, pesan, bahasa dan lain-lain.
Aspek sudut pandang lebih ditekankan pada siapa yang berbicara dan bukan
sudut pandang persona karena tokoh komik mirip dengan tokoh drama.
Unsur-unsur struktural penokohan tersebut ditemukan pada komik. Adapun yang
menjadi objek kajian peneliti adalah Komik Naruto.
Komik Naruto merupakan karya Mashashi Kishimoto, yang cukup fenomenal.
Komik Naruto pertama kali diterbitkan di Jepang oleh Shueisha pada tahun 1999
dalam edisi ke-43 majalah Shonen Jump. Di Indonesia komik ini diterbitkan oleh
Elex Media Komputindo. Popularitas Naruto (terutama di Jepang) menyaingi
Dragon Ball karya Akira Toriyama. Karena keberhasilan komik Naruto di Jepang, dibuat versi animasi dan versi layar lebar, serta dan permainan game.
Sejak awal penerbitannya, Naruto telah memancing munculnya ribuan situs
penggemar yang berisi tentang informasi rinci, panduan dan forum internet tentang
komik ini. Beberapa situs terkenal muncul setelah versi Inggrisnya di terbitkan pada
Agustus 2003. Selain itu muncul pula situs-situs yang menyediakan pindaian komik
versi Jepang yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang dapat di unduh
secara gratis. Volume 7 dari serial ini berhasil memenangkan Quill Award untuk
kategori best graphic novel di Amerika Utara. Sementara, dalam sebuah poling 100
Sejatinya, Naruto Uzumaki hanyalah seorang tokoh utama dalam komik
Jepang. Karya masterpiece Masashi Khisimoto, yang mempunyi potensi besar untuk
mempengaruhi pola hidup siapapun, maka Naruto menjelma menjadi salah satu
referensi hidup, karena mengandung berbagai nilai, baik positif maupun negatif.
Kisah petualangan yang berliku itu ditulis secara menarik, melibatkan banyak tokoh
dan karakter, dengan alur cerita yang kompleks.
Pada waktu menciptakan karakter Naruto, Masashi Kishimoto
membayangkan seorang laki-laki yang nakal, tetapi tidak gampang menyerah
seperti dirinya. Masashi juga terkenal sebagai salah satu mangaka (pengarang
komik) terhebat sepanjang sejarah, hanya dalam beberapa tahun, dengan
komiknya yang sangat disukai dan populer yaitu Naruto. Komik Naruto lantas
menjadi salah satu komik yang terpopuler dan best seller, dibaca oleh jutaan
pembaca diberbagai belahan dunia. Karena dapat dinikmati dalam berbagai ragam
produk, baik berupa komik, animasi, film, suvenir, poster dan lain-lainnya maka
Naruto menjadi salah satu karya yang paling digemari di seluruh dunia (Alfi Satiti,
2009:12).
Dibalik kemunculan yang fenomenal ini, ternyata karya fiksi Masashi
Kishimoto tersebut mulai mendapatkan berbagai reaksi positif maupun reaksi negatif
dari berbagai macam kalangan masyarakat luas. Dari sisi positif, komik dan animasi
Naruto di dalamnya banyak mengajarkan nilai moral, menyangkut kebersamaan atau
kekompakan suatu tim. Selain itu, juga mengenalkan tentang berbagai macam
Naruto adalah semangat hidup. Semangat hidup merupakan alasan mendasar bagi
seseorang untuk tetap bertahan hidup dan memperjuangkan cita-cita hidupnya di
dunia ini.Dalam komik Naruto pelajaran tentang semangat hidup ditampilkan oleh
tokoh-tokoh protagonis berkarakter baik, dalam porsi yang relatif besar. Misalnya,
Sang Tokoh utama, Naruto Uzumaki, sosok yang mempunyai semangat hidup.
Sejak kecil, Naruto telah menjadi anak yatim piatu. Mayoritas penduduk
Konohagakure membencinya karena ditubuhnya bersemayam monster Kyuubi
(Rubah Ekor Sembilan). Selain itu mereka membecinya karena Naruto merupakan
pribadi yang cenderung hiperaktif, ambisius dan identik dengan karakter negatif,
seperti banyak bicara/berisik, gegabah/tidak sabaran, sok tahu dan sok usil. Naruto
sering membuat keributan di desanya karena ingin mendapatkan perhatian dari
penduduk setempat, yang membenci dan menjauhinya karena di dalam tubuhnya
bersemayam monster Kyuubi.
Namun, Naruto tidak mengeluh dengan semua keadaan itu. Justru, dengan
segala kelemahan yang dimilikinya, dia tetap mempunyai semangat hidup, yang
mampu memperteguh tekadnya untuk terus memperjuangkan cita-citanya, yaitu
menjadi hokage di desanya (Naruto, volume 1).
Adapun dari sisi negatifnya, karya fiksi Naruto ini banyak mengandung
kekerasan, sehingga anak yang notabene masih sulit membedakan antara rekayasa
dan fakta, mereka biasanya akan mudah meniru gaya Naruto yang didalamnya ada
menganggap bahwa komik bisa berdampak buruk bagi perkembangan jiwa anak.
(Musbikin, 2009: 7).
Pada dasarnya, komik Naruto bercerita tentang kehidupan tokoh utamanya,
Naruto Uzumaki yaitu ninja remaja dan liku-liku petualangannya dalam mencapai
cita-cita memperoleh gelar Hokage, yakni posisi ninja terkuat di desanya.
Fenomena merebaknya kebiasaan membaca komik di kalangan anak-anak
dan remaja menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian tentang nilai
moral pada komik Naruto, disamping itu dapat dijadikan celah sarana apresiasi satra.
Lewat resepsi pembaca anak, yang peneliti lakukan khususnya pecinta komik Naruto,
yang peneliti klasifikasikan berdasarkan gender yaitu anak laki-laki dan anak
perempuan ternyata dari sepuluh nilai moral yang disebarkan dalam bentuk angket
yang terdapat dalam komik Naruto ditemukan nilai moral tentang semangat hidup
memiliki persentase yang cukup tinggi yakni 100 persen, baik pembaca anak laki-laki
maupun anak perempuan setujuh bahwa semangat hidup merupakan nilai moral yang
bisa diambil oleh pembaca komik anak Indonesia. Sedangkan persentase terendah
bagi pembaca anak laki-laki adalah nilai moral kebencian sebesar 50 persen,
sedangkan persentase terendah bagi pembaca anak perempuan adalah nilai moral
balas dendam sebesar 63 persen. Jadi dari hasil resepsi pembaca anak dapat diambil
kesimpulan bahwa nilai moral yang ada dalam komik Naruto banyak memberikaan
contoh yang positif bagi anak.
Dengan memusatkan perhatian pada nilai moral dalam Komik Naruto,
saja bertentangan dengan teori sosiologi sastra serta bagamana hasil resepsi pembaca
anak Indonesia tentang komik Naruto, melihat nilai moral yang ada dalam komik
Naruto yang ditulis oleh mangaka Jepang mendapat respon yang positif jika
dibandingkan dengan pembelajaran lewat televisi. Komik Naruto yang akan
dianalisis pada kesempatan ini adalah Naruto Uzumaki (Vol.1), The Worst Client
(Vol. 2), For Your Dreams (Vol. 3), dan Heroes Brid (Vol.4), Para Peserta Ujian
(Vol. 5), Sakura’s Decision (Vol. 6), Jalan yang harus Kau tempuh (Vol. 7),
Pertarungan mempertaruhkan nyawa (Vol. 8), Neji and Hirarki (Vol. 9), dan a great
Ninja (Vol. 10). Adapun alasan penulis memilih ke 10 jenis volume komik tersebut, karena selain sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ke 10 komik tersebut
sudah dapat mewakili nilai moral dan cukup representatif untuk memahami bentuk
nilai moral yang terdapat dalam sastra anak dengan genre komik.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk/wujud nilai moral dalam komik Naruto?
2. Bagaimanakah resepsi pembaca anak Indonesia terhadap nilai moral dalam komik
Naruto?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan :
2. Resepsi pembaca anak Indonesia terhadap nilai moral dalam komik Naruto.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian sebagai berikut :
1. Untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan karya sastra pada umumnya,
dan memperkenalkan Komik sebagai genre sastra anak.
2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah penerapan
kajian sosiosastra terhadap karya sastra Indonesia dengan menggunakan teori
sosiosastra dan semiotika, khususnya pada genre sastra anak jenis komik.
3. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitan-penelitian berikutnya,
baik penelitian genre sastra anak Komik Naruto maupun genre sastra lainnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini sebagai berikut :
1. Membantu masyarakat, khusus orangtua agar dapat memahami aspek moral
anak, yang dikembangkan lewat komik anak khususnya nilai moral dalam Komik
Naruto.
2. Sarana komunikasi yang bersifat evolusi kepada masyarakat tentang
bagaimana konsep dan visi kehidupan yang dikemas dalam gambar dan balon teks
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian
sebelumnya dan sebagian laporan itu telah dimuat dalam bentuk buku ataupun
jurnal. Adapun beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul
ini akan dikemukakan sebagai berikut. Dalam bentuk jurnal dilakukan oleh Siti
Hariti Sastriyani, dengan judul “Studi Gender dalam Komik-komik Perancis
Terjemahan”, dalam Diksi Jurnal Ilmiah bahasa dan Sastra , dan Pengajarannya,
Volume 16, Nomor 2, halaman 123-132. Jurnal ini sangat membantu penulis dalam
memahami karakter tokoh lewat gender dalam komik.
Penulisan dalam bentuk Buku dilakukan oleh (1) Alfi Satiti yang berjudul
Mewaspadai Misteri Gila Naruto terbit 2009. Buku ini merupakan panduan praktis menonton Naruto. Panduan tersebut merinci dan mengatur jadwal harian
anak, mempelajari, membimbing dan mengarahkan bakat serta minat anak.
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam memahami dampak
psikologi anak lewat komik. (2) Selanjutnya Imam Musbikin menulis buku dengan
judul Anakku Diasuh Naruto. Buku ini memberikan informasi tentang bagaimana
menyajikan uraian memikat dan menyeluruh tentang fenomena komik/animasi
Naruto bagi kesehatan dan psikologi (mentalis) anak. Buku yang ditulis Imam
Musbikin sangat membantu penulis dalam memahami manga atau komik tentang
Naruto. Dengan demikian diketahui bahwa pembicara tentang Nilai moral dalam
komik Naruto, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang Nilai Moral dalam
Komik Naruto dalam pendekatan sosiologi sastra.
2.2 Konsep
2.2.1 Nilai Moral
Nilai moral mencerminkan siapa diri kita yang sebenarnya, nilai moral
merefleksikan siapa diri kita yang seharusnya. Nilai moral itu mendemonstrasikan
bagian terbaik atau terburuk dari diri kita. Pertama, kita harus mengembalikan
masalah ke tempat kedudukan semula yakni perbedaan nilai moral yang seharusnya.
Kita harus tahu apa tolak ukur nilai moral.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasysrakat secara utuh.
Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah
perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Moral
adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang
Dilihat dari segi bentuk isi karya sasra moral merupakan unsur isi yang
ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, berupa makna yang terkandung
dalam sebuah karya. Makna moral biasanya menyarankan pengertian ajaran tentang
baik buruk berupa perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.
Namun tidak jarang pengertian baik buruk itu sendiri dalam hal-hal
tertentu bersifat relatif. Artinya, suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu
atau bangsa pada umumnya, belum tentu sama bagi orang lain, atau bangsa yang
lain. Padangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan
kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsanya.
Velazquez memberikan pemaparan pendapat para ahli etika tentang lima ciri
yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral (2005: 9-10).
Kelima ciri tersebut adalah :
1) Standar moral berkaitan dengan persoalan yang dianggap akan merugikan secara
serius atau benar-benar menguntungkan manusia. Contoh standar moral yang
dapat diterima oleh banyak orang adalah perlawanan terhadap pencurian,
pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan, dan pelanggaran hukum.
2) Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.
Meskipun demikian, validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang
digunakan untuk mendukung dan membenarkannya.
3) Standar moral harus lebih diutamakan dari pada nilai lain termasuk kepentingan
orang yang jauh di jalan, ketimbang ingin cepat sampai tempat tujuan tanpa
menolong orang tersebut.
4) Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Dengan kata
lain, pertimbangan yang dilakukan bukan berdasarkan keuntungan atau kerugian
pihak tertentu, melainkan memandang bahwa setiap masing-masing pihak
memiliki nilai yang sama.
5) Standar moral diasosiakan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu. Emosi
yang mengasumsikan adanya standr moral adalah perasaan bersalah, sedangkan
kosakata atau ungkapan yang mempresentasikan adanya standar moral yaitu “ini
salah saya”, “saya menyesal”, dan sejenisnya.
Dari kelima standar moral tersebut, nilai moral dalam komik Naruto lebih
ditekankan pada standar moral yang keempat yang tidak memihak. Moral dalam
karya sastra seperti komik Naruto biasanya mencerminkan pandangan hidup
pengarang, tentang nilai-nilai kebenaran. Ia berupa petunjuk yang sengaja diberikan
oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan,
melalui cerita, sikap dan tingkah-tingkah tokohnya.
Dalam kamus psikologi Chaplin (2001), disebutkan bahwa “Moral
mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut
hukum adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.
Sementara Kohlberg dalam Monks dan Rahayu Hotituna (2006 : 312)
(seharusnya dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) oleh anak dalam
stadium yang berbeda-beda.
Berdasarkan defenisi di atas, dapatlah disimpulkan bahwa “Moral adalah
suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk yang sesuai dengan
kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran.Nilai moral tidak
terpisah dari nilai-nilai jenis lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot
moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran, misalnya,
merupakan suatu nilai moral, tetapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak
diterapkan pada nilai lain, seperti nilai ekonomis. Kesetiaan merupakan suatu nilai
moral yang lain, tapi harus diterapkan pada nilai manusiawi lebih umum, misalnya,
cinta antara suami-istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat
“pramoral”. Nilai-nilai itu mendahului tahap moral, tapi bisa mendapat bobot moral.
Walaupun nilai moral biasanya menumpang pada nilai-nilai lain, namun ia
tampak sebagai suatu nilai baru, bahkan sebagai nilai yang paling tinggi. Menurut
Bertens (2007: 142-147) nilai moral mempunyai ciri-ciri (1) berkaitan dengan
tanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan, (4) bersifat
formal.
1. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia tetapi hal yang sama dapat
dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Khusus menandai nilai moral bahwa nilai
ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral
bertanggung jawab. Nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam
perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersangkutan. Karena
itu harus kita katakan bahwa manusia itu sendiri menjadi sumber nilai moralnya.
Manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut
moral. Hal itu tergantung pada kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai
moral, tidak lagi merupakan nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari
keputusan bebas manusia. Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga
mengandaikan peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya nilai-nilai
intelektual dan estetis.
2. Berkaitan dengan Hari Nurani
Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung
semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya, seolah-olah “minta”
supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi musik, atau cara lain. Kalau
sudah jadi, lukisan “minta” untuk dipamerkan dan musik “minta” untuk
diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih
serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani.
Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan
“suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menetang
nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai-nilai-nilai moral.
Hati nurani dapat diberi batasan sebagai keputusan praktis akalbudi yang
suatu perbuatan buruk. Menurut Poespoprodjo (1999:243). Ada tiga hal yang
tercakup dalam hati nurani, yaitu:
”a. Intelek sebagai kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan individual benar dan salah. b. Proses pemikiran yang di tempuh secara intelek guna mencapai keputusan semacam itu. c. Keputusannya sendiri merupakan kesimpulan proses pemikiran.”
Hati nurani dapat menjadi penuntun bagi perbuatan-perbuatan yang akan
datang, mendorong kita untuk melakukannya atau menghindarinya, karena
keputusan hati nurani adalah keputusan intelek dan keintelekan bias salah karena
memakai premis-premis yang menarik sebuah kesimpulan yang tidak logis.
3. Mewajibkan
Berhubungan erat dengan ciri mewajibkan adalah bahwa nilai-nilai moral
mewajibkan kita secara absolute dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai
lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai estetis, umpamanya.
Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan mengakui serta menikmati nilai
estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan yang bermutu tinggi.
Orang yang tidak mempunyai nilai-nilai ini tetap merupakan manusia
yang sungguh-sungguh dan lengkap. Tetapi diharapkan dan malah dituntut bahwa
setiap orang menjunjung tinggi dan mempraktekkan nilai-nilai moral. Orang yang
tidak mempunyai nilai moral mempunyai cacat sebagai manusia. Apalagi, setiap
orang diharapkan menerima semua nilai moral dan menolak nilai moral lainnya.
kesetiaan sebagai nilai dalam hidup saya, tetapi keadilan saya tolak.” Nilai-nilai
moral mewajibkan manusia dengan cara demikian agar setiap orang harus
menerima semuanya.
4. Bersifat Formal
Nilai moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan
begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral
merupakan nilai-nilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti
yang sudah menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa
nilai-nilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai.
Nilai-nilai moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari Nilai-nilai-Nilai-nilai
lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang lain
dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral bernilai ekonomis. Seorang
seniman berperilaku moral pada saat ia berkecimpung dalam nilai-nilai estetis.
2.2.2 Kebudayaan Jepang
Dalam kenyataan yang sesungguhnya kebudayaan Jepang dan Indonesia
merupakan suatu bangsa Asia yang kurang lebih memiliki kesamaan sifat. Salah
satunya adalah masyarakat Jepang juga menilai budaya gotong royong, serta
memiliki suatu mentalitas yang berorientasi vertikal kearah atasan, yaitu kearah
orang-orang senior dan orang-orang berpangkat tinggi. Tetapi perbandingannya
kebudayaan Jepang mempunyai beberapa sifat yang tidak ada dalam kebudayaan
Indonesia, sedangkan suatu persentase besar orang Jepang mempunyai sifat-sifat
yang jelas tidak atau belum dimiliki oleh suatu persentase besar orang Indonesia.
Koentjaraningrat (1990 : 91). Sifat-sifat itu adalah :
“1) Keseragaman amat besar dari kebudayaan Jepang, 2) Pendorong Psikologis yang memberi motivasi kepada orang Jepang untuk membangun suatu abad yang lalu, 3) Kesiap-siagaan mental orang Jepang pada saat pembangunan dimulai terutama karena sifat hemat mereka, 4) Sistem hukum adat waris dalam masyarakat Jepang sesuai untuk memecahkan masalah tenaga kerja pada permulaan pembangunan, 5) Agama Shinto yang amat mendorong kekuatan manusia dalam dunia yang panah ini cocok untuk pembangunan.”
Berbeda dengan kebudayaan Indonesia yang terdiri dari banyak kebudayaan
suku-suku bangsa yang amat berbeda satu dengan yang lain, yang mengenal banyak
agama yang berbeda-beda, yang mengenal banyak bahasa dan logat yang sulit
dipahami oleh orang yang tidak memakainya, maka kebudayaan, agama dan
bahasa Jepang adalah seram dan dipahami oleh semua orang Jepang. Sifat
keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia satu sisi sangat menguntungkan,
tetapi untuk dapat memudahkan penyusunan rencana kebijaksanaan sangat sulit.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Koentjiraningrat (1990 : 91), “Suatu bangsa
yang seragam kebudayaannya lebih dapat mengembangkan suatu tujuan nasional
yang satu; sebaliknya suatu bangsa dengan suatu tujuan nasional yang seragam dan
memudahkan pengembangan motivasi yang perlu untuk mendorong dan memberi
semangat kepada usaha jerih payahnya dalam membangun.”
2.2.3 Pandangan Moral Bagi Jepang
Dalam pergaulannya dengan bangsa-bangsa di Asia, bangsa Jepang
berambisi untuk menjadi pemimpin. Mereka pada umumnya menganggap dirinya
berhak untuk memegang peranan sebagai satu-satunya bangsa di Asia yang telah
mencapai masyarakat yang makmur. Ambisi tersebut sudah mereka miliki sejak
lama dan sulit dihapuskan oleh kekalahan besar yang dialami dalam perang dunia
ke-II. Serta cendekiawan Jepang ambisi tersebut hidup, walaupun mereka
mencita-citakan suatu kepemimpinan yang bertanggung jawab dan kooperatif.
(Koenjtraningrat, 1990 : 99). Umumnya mereka juga mengerti semua bangsa di
Asia ingin mencapai suatu perbaikan dari taraf kemakmuran mereka melalui
pembangunan ekenomi, bahkan ada beberapa cendekiawan Jepang begitu progresif
mengemukakan agar bangsa-bangsa dan Negara-negara begitu yang sedang
berkembang hendaknya jangan didorong dengan bantuan ekonomi, melainkan justru
dengan ajakan untuk ikut serta sebagai teman dalam usaha.
Sebaliknya, gagasan-gagasan yang progresif dan praktis tidak akan
pernah dapat dilaksanakan. Dalam Koentjaningrat (1990 : 100) “Bangsa Jepang
menganggap bahwa bangsa-bangsa yang sedang berkembang sangat sulit untuk
dijadikan patner karena mentalitasnya yang tidak sesuai dengan irama kehidupan
telah maju seperti Jepang.” Sejalan dengan itu Koentjaningrat (1990 : 10)
mengatakan :
”Paham moral pada orang Jepang berbeda isinya dengan apa yang diasosiasikan dengan istilah moral tersebut. Menurut orang Jepang faham “moral” mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a) Bertanggung jawab sampai sejauh-jauhnya, kalau perlu ia dengan diri sendiri terhadap suatu tugas yang telah disanggupi, b) Loyalitas mutlak terhadap kesatuan sosial yang sudah dipilih untuk diikuti.”
Jepang mengenal moral pengabdian diri bushi sesuai dengan pendapat
Situmorang (2011 : 90) pengabdian diri bushi dibagi dua periode, yaitu ; a.
moral pengabdian diri bushi periode awal zaman feodal dan b. moral pengabdian
periode akhir feodalisme di jepang.
a. Moral pengabdian diri bushi perioe awal feodalisme muncul untuk
membedakan arti dengan petani. Dimana pada awalnya mereka hidup dengan
masyarakat Kizoku (bangsawan) pekerjaan sehari-hari mereka adalah
menbidangi seni. Sedangkan bushi memiliki profesi sebagai ahli perang.
Pada zaman Kamakura dan Muromachi istilah bushido belum dikenal.
Istilah yang dikenal pada masa itu adalah “tsumanomo nomichi” yang berarti
keterampilan berperang.
Menurut Situmorang (2011 : 91) kesetiaan bushi periode awal ini,
dipengaruhi atas : “a. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan
pengikutnya, b. Ikatan yang didasarkan pada hubungan darah / keluarga dan
Adapun isi dari perjanjian tuan dan pengikutnya adalah Ongko
(pemberian) dengan hook (pelayanan) di pihak lain, yang melahirkan kekuatan
kelompok. “Ongko” sebagai tuan berarti berkah, dan “hoko” sebagai pengikut
mengandung makna pengabdian yang mempunyai warna, “mujoken” (tidak
abadi).
Selain itu pandangan bushi oleh Watsuji Tetsuro (1976) dalam
Situmorang (2011: 93) mengatakan, bahwa pandangan bushi akan adanya
reinkarnasi, mengakibatkan bushi mempunyai cita-cita menjadi abadi tuannya
selama tujuh kali dalam reinkarnasi tersebut, sehingga melahiran pengabdian
yang mutlak dari anak buah terhadap tuan. Wujud dari pengabdian mutlak ini
adalah keberanian mengorbankan jiwa raga tuan.
Di negara Jepang, keluarga bushi yang berani mengabdikan jiwa raga
terhadap tuannya sangat disegani. Karena bushi yang disegani tersebut tidak
hanya hebat di medan tempur, tetapi juga setia terhadap tuannya. Kesetiaan
tersebut adalah kesetiaan mengabdikan jiwa raga termasuk kesetiaan melakukan
bunuh diri karena kematian tuannya. Jika tuan meninggal tetapi anak buah tidak ada
yang berani mengikuti kematian tuannya, maka bushi itu disebut pengecut,
sehingga akan menimbulkan rasa malu bagi keturunan bushi tersebut dan akhirnya
bushi tersebut memilih untuk bunuh diri mengikuti kematian tuannya dalam
masyarakat bushi disebut Junshi.
b. Moral pengabdian diri bushi periode akhir zaman Edo sangat kontras jika
Edo merupakan perpaduan dari kesetiaan pengaabdian diri bushi, zaman feudal dengan Keshogunan Tokugama.
Ajaran Tokugawa ini menuntut para bushi anak buah lebih berpikir rasional
melakukan pengabdiannya. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Hamzon
Situmorang (2011 : 105), bahwa kesetiaan bushi yang diajarkan Tokugawa
melalui Kangakusha adalah menyadari kesadaran hubungan atas dan bawah,
dimana Shogun adalah puncak penerima pengabdian yang tertinggi.
Kemudian bushi diajarkan untuk berpikir rasionil.” Artinya bushi dilarang
elakukan junshi dan adauchi, apabila bushi melakukan junshi maka wilayah
akan direbut oleh Keshogunan.
Pelajaran konfusionisme untuk dasar kekuasaan, sebagai konsep dipilih untuk
menciptakan struktur kekuasaan, dimana Shogun berada pada posisi tertinggi,
juga sebagai pusat pengabdian seluruh masyarakat Jepang. Pelajaran tersebut
disebut Kangaku, kemudian disempurnakan dengan Sushigaku. Mereka
mengembangkan ajaran dotoku (moral), yang mengajarkan pasrah untuk
menerima bagian masing-masing itu disebut gorin (lima etika) yaitu hubungan
tuan dan anak buah, orang tua dan anak, suami dan istri, abang dan adik, dan
juga menjelaskan hubungan orang yang sederajat (Hamzon Situmorang, 2011 :
105).
Selain itu, masyarakat Jepang sekarang tidak mempercayai satu ajaran agama,
mereka mempercayai banyak Tuhan. Yang paling dominan adalah pengaruh
berisikan “chu” dan balasnya “giri” masih beriaku di Jepang, yaitu
pengabdian bawah terhadap atas masih kuat di Jepang. Hal ini dapat dilihat
dalam dunia usaha di Jepang, yaitu “Karoshi” (mati karena kebanyak bekerja).
Penelitian tentang pengaruh karya sastra Jepang di Indonesia, dalam hal ini
komik Naruto terhadap pembaca anak-anak di Indonesia. Dalam karya sastra
walaupun bersifat fiksi namun juga menggambarkan pikiran dan budaya dimana
karya sastra tersebut dibuat. Oleh karena itu ukuran nilai baik buruk yang ada dalam
karya manga adalah ukuran Jepang. Oleh karena itu banyak hal yang tidak cocok
dengan ukuran nilai bangsa Indonesia. Untuk mengetahui pengaruh baik buruk atau
untuk rugi dari mangga Naruto apabila dikonsumsi anak-anak Indonesia, maka harus
diadakan penelitian lapangan di kalangan anak-anak Indonesia khususnya pecinta
Naruto. Apalagi sekarang teknologi semakin maju maka manga tersebut bukan hanya
disampaikan berupa bahan bacaan tetapi juga sudah disiarkan di TV dan bahkan
sudah dikemas berupa kaset Playstation. Sehingga banyak anak-anak baik di
perkotaan maupun di pedesaan dapat setiap saat menonton/membacanya. Setelah
dilakukan penyebaran angket secara tertutup kepada pembaca anak Indonesia, dari
komik Naruto. Setelah angket disebar maka didapat hasil , bahwa nilai moral
semangat hidup mendapat respon paling banyak dari kalangan pembaca anak.
Dari hasil angket dapat diambil suatu temuan dari komik Naruto ini. Ternyata
komik Naruto memberikan nilai yang positif yang cukup tinggi terhadap pembaca
anak Indonesia, disamping efek negatif lainnya. Selain itu jika dibandingkan dengan
diri, dapat memberikaan kontribusi yang positif bagi anak Indonesia, sehingga nilai
yang positif ini, memberikan motivasi yang tinggi kepada pembaca anak untuk dapat
meniru apa yang pantas dan di pertahankan guna mengembangkan kecerdasan moral
anak, yang terbentuk dari empati, rasa saling menghargai dan menghormati orang
lain, kontrol diri, dan rasa keadilan.
2.2.4 Komik sebagai genre
Berhadapan dengan komik selama ini terkonotasikan sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan hal-hal yang tidak serius, hiburan ringan, lucu, dan lain-lain
yang tidak selalu memberatkan. Apalagi saat sekarang ini komik merupakan salah
satu bacaan yang paling digemari, bukan saja oleh pembaca anak-anak, tetapi
juga orang dewasa.
Sebagai sebuah bacaan, komik hadir dengan keunikannya sendiri, tampil
deretan gambar dalam panel-panel anak (kotak) dengan sedikit tulisan yang
ditempatkan dalam balon-balon.
Menurut Franz dan Meier (dalam Nurgiyantoro 2005 : 410) “Komik adalah
cerita bertekanan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat urutan gambar
yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata. Hampir seluruh teks komik
tersusun dari hubungan antara gambar (lambang) visual dan kata-kata (lambang
Sejalan dengan itu Nurgiyantoro (2005 : 409) komik dapat dikategorikan
sebagai kesusastraan (Sastra anak) popular yang memiliki keunikan tersendiri
karena gambar-gambar.
Fungsi kata-kata adalah untuk menjelaskan melengkapi dan memperdalam
penyampaian gambar dan teks secara keseluruhan, maka antara gambar dan kata
erat – padu serta merupakan satu kesatuan. Kata-kata biasanya ditampilkan dalam
gelembung-gelembung yang dikreasikan sedemikian rupa sehingga serasi dengan
gambar-gambar. Balon-balon teks itu dapat berupa ujaran atau pikiran dan
perasaan tokoh (teks gelembung bicara dan gelembung pikiran).
Macam komik menurut Nurgiyantoro (2005: 434-438) dibagi atas (1) komik
strip dan komik buku, (2) komik umur dan komik petualangan, (3) komik biografi dan komik ilmiah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, komik adalah
kategori kesusastraan sastra anak yang memiliki keunikan tersendiri karena
gambar-gambar yang ditekankan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat
urutan gambar yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata yang berfungsi
untuk menjelaskan, melengkapi dan memperdalam penyampaian gambar dan teks
2.3 Landasasan Teoretis
2.3.1 Sastra Anak
Sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak “dengan bimbingan dan
pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan
oleh orang dewasa” (Sarumpaet 1976:23). Dengan demikian, secara praktis, sastra
anak adalah satra terbaik yang mereka baca dengan karateristik berbagai ragam, tema,
dan format. Dilihat dari temanya, karya sastra anak juga beragam. Ditinjau dari
ukurannya, kita menemukan bacaan anak dari berukuran mini terkecil hingga raksasa
terbesar. Gaya ilustrasi juga menambah variasi pada sastra anak. Stewig (1980) dalam
Nurgiyantoro (2005:4) sebelumnya juga menegaskan bahwa salah satu alasan
mengapa anak diberi buku bacaan sastra adalah agar mereka memperoleh
kesenangan. Selain itu, bacaan sastra juga mampu menstimulasi imajinasi anak,
mampu membawa ke pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain bahwa orang
tersebut sama dengan kita.
Isi kandungan sastra anak dibatasi oleh pengalaman dan pengetahuan anak,
pengalaman dan pengetahuan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh anak,
pengalaman dan pengetahuan anak sesuai dengan dunia anak sesuai dengan
perkembangan emosi dan kejiwaanya. Nurgiyantoro (2005:6) mengatakan, “satra
anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami
oleh anak dan pada umumnya berangkat dari fakta yang kongret dan mudah
mewarnai buku bacaan yang memang ditulis dan disediakan untuknya. Sastra anak
tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, tentang berbagai peristiwa
yang mesti melibatkan anak. Satra anak dapat berkisah tentang apa saja yang
menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan,
maupunkehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain.
2.3.2 Genre Sastra Anak
Dalam penulisan ini apa yang disebut dengan genre mengacu kepada jenis,
tipe, atau kelompok dalam sastra berdasarkan pada bentuknya : ragam sastra
(KBBI, 2003:354). Selain berdasarkan pada bentuk, pengelompokan genre sastra
ini juga didasarkan pada bahasa dan isinya. Antara bentuk dan bahasa sepertinya
mengandung pengertian yang sama, tetapi dalam hal ini, penulis membedakannya.
Bentuk ini mengacu kepada tipografi, sedangkan bahasa mengacu pada gaya
bahasa yang digunakan dalam sastra.
Lukens (2003) dalam Nurgiyantoro (2005:13) mendefenisikan genre sebagai
suatu macam atau tipe kesastraan yang memilki seperangkat karakteristik secara
umum. Genre penting diungkapkan dalam sastra anak. Selanjutnya Lukens
memaparkan bahwa : 1) untuk memberi kesadaran kepada kita bahwa
kenyataannya terdapat berbagai genre sastra anak selain cerita atau lagu-lagu
bocah yang telah familiar, telah dikenal, dan diakrabi, 2) elemen struktural sastra
sastra yang bervariasi, yang kemudian dapat dimanfaatkan memilihkannya untuk
anak (Nurgiyantoro, 2005 : 13-14).
Dengan demikian, munculnya genre dalam sastra anak ini terjadi karena
sastra anak ini jumlahnya sangat beragam secara karakteristik, sehingga genre
sastra anak dengan sastra dewasa tentu saja berbeda. Akan tetapi, dalam genre
yang penulis uraikan ini menggunakan dasar genre sastra dewasa, yang
pengelompokannya cenderung berdasarkan pada ragam bentuk dan bahasanya.
Harus diakui bahwa sastra anak yang tumbuh dan berkembang di negeri ini
sebenarnya sangat beragam, tetapi penelitian genre setiap karakteristik dalam
sastra anak masih sangat kurang, bahkan belum ada. Oleh karena itu, untuk
memudahkan dalam mengidentifikasi ragam dan jenisnya, penulis menggunakan
genre sastra dewasa untuk mengelompokkan ragam dalam sastra anak
Sebagai sebuah bacaan komik hadir dengan keunikannya sendiri, tampil
dengan deretan gambar dalam panel-panel kotak gambar dengan sedikit tulisan
tangan yang ditempatkan dalam balon-balon. Gambar-gambar komik itu sendiri pada
umumnya sudah “berbicara”, dan dibuat menjadi deretan gambar yang menampilkan
alur cerita. Bagi pembaca anak hal itu terlihat menguntungkan karena tidak harus
terfokus membaca tulisan dan lebih banyak menatap gambar-gambarnya daripada
tulisannya. Genre satra anak dalam berbagai hal berbeda dengan satra dewasa , dan
salah satunya adalah masih dominannya unsur gambar dalam sastra anak, dan salah
satunya adalah masih sangat dominannya unsur gambar dalam sastra anak. Mengingat
merangsang membaca, mengembangkan daya imajinasi, dan mengembangkan rasa
keindahan, sedangakan hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada komik, maka
komik pun dapat dikategorikan sebagai salah satu genre sastra anak.
Selain itu, di samping untuk menyajikan cerita, komik juga mampu untuk
mengekspresikan berbagai gagasan, pemikiran atau maksud-maksud tertentu sebagai
mana halnya dengan karya sastra. Gagasan yang di ungkapkan juga dapat bervariasi:
cerita fiksi, cerita binatang, cerita faktual dan historis, biografi, dan ide-ide faktual
untuk menyindir atau menempilkan cerita lucu. Kesemua itu dikemas dalam
gambar-gambar yang berisi tulisan tangan singkat yang ditampilkan secara menarik. Jadi,
menikmati komik berarti menikmati gambar dan sekaligus cerita verbal dan keduanya
bersifat saling menguatkan dan melengkapi.
2.3.3 Sosiologi Sastra
Kajian sosiologi sastra dilatarbelakangi oleh fakta bahwa, keberadaan karya
sastra tidak terlepas dari realita sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sesuai dengan
pendapat Sapardi Djoko Damono (1979: 38), bahwa karya tidak jatuh begitu saja dari
langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra dan masyarakat.
Sebagai salah satu kajian dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu
pada cara memahami dan menilai sastra dengan menilai sastra dari segi
kemasyarakatan. Sejalan dengan itu pandangan Swingewood dalam Sapardi Djoko
harus berhati-hati mengartikan “slogan” sastra cerminan masyarakat. Selanjutnya
slogan itu merupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya.
Selanjutnya Wellek dan Warren (1993: 111) juga membuat tiga tipe dalam
pendekatan sosiologi sastra, yaitu :
1. Sosiologi pengarang, yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial,
dan lain-lain yang menyangkut pengarang.
2. Sosiologi karya sastra, yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri.
3. Sosiologi sastra, yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya
sastra.
Teori ini ditekankan pada tipe kedua yaitu sosiologi karya, karena teori ini
mendukung bagaimana nilai moral yang ada dalam komik Naruto dan yang ada
dalam sebuah karya sastra.
2.3.4 Resepsi Sastra
Resepsi sastra berasal dari kata rezeptionnaesthetik yang sejajar sebagai
penerimaan estetik. Istilah itu pada mulanya digunakan oleh Franco Maregalli pada
tahun 1980.
Mana Sikana (2009:304) mengatakan, “Teori resepsi bermakna pembaca
memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat
memberikan reaksi atau tanggung terhadap bacaannya.” Artinya teori ini
reaksi pembaca yang pada akhirnya pembaca dapat memahami makna dari
bacaannya.
Dalam teori respon pembaca atau resepsi ini, Mana Sikana (2009:312)
merumuskan beberapa faktor penerimaan tentang teori resepsi yang bisa diterima
oleh masyarakat pembaca, seperti : (1) faktor intelektual, (2) faktor perasaan atau
emosi, dan (3) faktor gender. Dalam hubungannya dengan hakekat karya dan hakekat
pembaca memerlukan adanya suatu cara penerimaan tertentu. Umar Junus (1985:115)
membuat dua klasifikasi pembaca yaitu : (1) Pembaca biasa dan (2) Pembaca ideal.
Sejalan dengan hal di atas, Iser dalam Umar Junus (1985:36) membuat tiga
langkah bagaimana hubungan teks dan pembaca, yaitu :
1. Sketsa tentang kelainan suatu teks yang membedakannya dengan teks-teks
sebelumnya;
2. Pengenalan dan penganalisaan kesan dasar dari suatu teks;
3. Pembaca memiliki kekuasaan sendiri dalam menafsirkan sendiri apa yang
dibacanya lewat teks.
Teori Iser ini peneliti jadikan untuk dapat mengetahui hasil resepsi pembaca
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian terhadap komik Naruto Karya Mashashi Khisimoto akan
dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. “Metode kualitatif
memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan
konteks keberadaannya.” (Ratna, 2004 : 47). Dalam metode ini dikenal dua
strategi analisis, yaitu model strategi deskriptif dan model strategi verifikatif
kualitatif (Bungin, 2003 : 83). Kedua model analisis ini dapat dilakukan secara
bersama-sama ataupun terpisah.
Model kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini akan disejajarkan
dengan metode hermeneutika, yakni dengan cara menafsirkan atau
menginterpretasikan teks sastra. Hasil penafsiran tersebut akan dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu metode dengan cara menguraikan
sekaligus menganalisis.
Sejalan dengan pendapat diatas Moleong (1994 : 5) mengatakan bahwa
metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti
dalam bentuk deskripsi dan dibatasi oleh fakta-fakta sosial serta gejala sosial yang
relevan.
Selanjutnya Muhadjir (2002 : 120-121) mengatakan bahwa sosok penelitian
kualitatif berupaya melepaskan diri dari pola pikir kualitatif. Artinya teori ini
berupaya menemukan teori berdasarkan data empirik, bukan membangun teori secara
deduktif logis. Sehingga penemuan dari data empirik yang diperoleh secara
sistematis.
Hermeneutika merupakan pemahaman secara mendasar dan mendalam
pada sebuah karya, dengan prinsip interpretasi atau penafsiran. Proses ini oleh
Heidegger dan Gadamer disebut lingkaran hermeneutik. Dalam praktiknya,
lingkaran itu dipecahkan secara dialektik, sistem bertangga, atau dengan gerak
spiral. (Ratna, 2004 :46)
Tujuan hermenutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang
terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia,
melalui pemahaman dan interpretasi.
Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menempatkan metode
“tafsir sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan
kedua metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan.
Kedua metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan
kesadarannya sendiri atas konteks histories-kultural.
Hermeneutik juga berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik,
“makna kata” dan makna bahasa. Menurut (Djojo Suroto, 2007 : 243) mengatakan
bahwa, makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks
sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu
pemahaman makna bahasa.”
Oleh karena itu, seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, ia harus
berusaha mengubah makna yang terdapat dalam sebuah karya. Berusaha
menginterpretasikan pesan dan tujuan dari si pengarang. Sejalan dengan pernyataan
di atas Palmer (2003 : 48) mengatakan bahwa, hermeneutik adalah proses
menelaah isi dan maksud yang mengejewantah dari sebuah karya kepada makna
yang terdalam, laten dan tersembunyi.
Palmer juga menambahkan (2003 :277) bahwa, apa yang dibutuhkan
dalam interprestasi sastra adalah penalaran dialektis yang tidak menginterogasi teks
tetapi menyediakan sesuatu yang dikatakan pada teks untuk menginterogasi balik,
kemudian mengajak penafsir ke dalam pertanyaan dan melakukan transformasi
pemahaman seseorang terhadap subjek.
Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang
penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermenutik merupakan, metode yang
dilakukan secara diakletik, artinya peneliti harus bolak-balik dari ekstrinsik ke
instrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran yang berupa spiral, sehingga
menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis. Pemahaman dan interprestasi objek
dilakukan untuk mendapatan tingat objektivitas yang sebaik-baiknya. Dengan
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian lebih ditekankan pada penelitian kepustakaan oleh karena itu lokasi penelitian ini lebih banyak diperpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun
perpustakaan lembaga. Perpustakaan lembaga yang dimaksud adalah perputakaan S2
dan S3 Sekolah Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara.
3.3 Teknik Pegumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka
(library research). Teknik ini digunakan karena sumber data yang bersifat tertulis lebih dominan. Teknik studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan
terhadap semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik,
gejala kejadian (Moeliono, 1990 : 713).
Metode pengumpulan data secara hermeutik dimulai dengan membaca
komik-komik tentang Naruto, karena sumber data yang dominan ada pada karya
sastra. Untuk itu peneliti membaca langsung karya sastra tersebut. Langkah
selanjutnya dapat dilakukan dengan :
1. Dengan pengetahuan, wawasan, kemampuan, dan kepekaan yang dimiliki
peneliti membaca sekritis-kritisnya, secermat-cermatnya, dan