• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan"

Copied!
278
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI LISAN UPACARA PERKAWINAN

ADAT TAPANULI SELATAN:

Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan

T E S I S

OLEH

Yusni Khairul Amri

097009030 / LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TRADISI LISAN UPACARA PERKAWINAN

ADAT TAPANULI SELATAN:

Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan

T E S I S

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik Pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Yusni Khairul Amri

097009030/ LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis :

TRADISI LISAN UPACARA

PERKAWINAN ADAT TAPANULI

SELATAN

Pemahaman Leksikon Remaja di

Padangsidimpuan

Nama Mahasiswa : Yusni Khairul Amri

Nomor Pokok : 097009030

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. Dr. Abdurahman Adisaputra, M. Hum. Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur

(4)

Tanggal Lulus : 25 Juli 2011 Telah di uji pada

Tanggal 25 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. Anggota : 1. Dr. Abdurahman Adisaputra, M. Hum. 2. Prof. Dr. Robert Sibarani. M.S.

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI Tanggal, 25 Juli 2011

Komisi Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. Dr. Abdurahman Adisaputra, M. Hum.

Penguji Penguji

Prof. Dr. Robert Sibarani. M.S. Drs. Muhammad Takari, M.Hum.

Ph.D.

Mengetahui,

Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara Program Studi Linguitik

Ketua

Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara

Direktur

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang,

(6)

Judul Tesis :

TRADISI LISAN UPACARA

PERKAWINAN ADAT TAPANULI

SELATAN

Pemahaman Leksikon Remaja di

Padangsidimpuan

Nama Mahasiswa : Yusni Khairul Amri

Nomor Pokok : 097009030

Program Studi : Linguistik

Tesis disetujui untuk diuji pada meja hijau Medan, 25 Juli 2011

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing 2

(7)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan, ada tiga permasalahan yang diungkapkan dalam penelitian ini, pertama, tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat perlu didokumentasi dan dianalisis secara ilmiah, kedua penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal yang digunakan pada upacara perkawinan adat menurut kajian ekolinguistik dan apa penyebab terjadinya penyusutan pemahaman makna leksikal tersebut, dari pembahasan tersebut dapat diupayakan membuat model pelestarian penelitian. Ketiga, tradisi lisan pada upacara perkawinan adat tersebut, setelah diretas ternyata memiliki nilai-nilai yang estetis dan pesan-pesan sebagai nasihat, yang memiliki etika, kesantunan, dan kesopanan yang berimplikasi kepada nilai-nilai kekerabatan yang terjalin sebagai pencegah konflik di Tapanuli Selatan (Angkola, Mandailing, dan Batak). Pengumpulan data primer dilakukan dengan rekaman dari upacara adat, data skunder dilakukan dengan wawancara yang mendalam dengan nara sumber, dan responden. Data primer tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan berdasarkan kajian tradisi lisan dan ekolinguitik, diklasifikasi menjadi 15 kelompok yang berjumlah 264 leksikon, kemudian leksikon tersebut diujikan kepada 240 di enam kecamatan responden yang mewakili 40 orang per kecamatan di Kota Padangsidimpuan. Hasil pengujian pemahaman, terjadi penyusutan konsepsi pemahaman leksikon ekolinguistik oleh remaja, untuk mengetahui mengapa terjadi penyusutan pemahaman dilakukan wawancara dengan remaja, tokoh adat, ketua adat, lembaga adat, dan yang mewakili Dinas Pendidikan. Hasilnya wawancara tersebut yang dijadikan tindakan ke depan sebagai upaya membuat model tradisi lisan pada upacara adat yang semakin renggang dengan komunitas remaja sebagai pewaris adat.

(8)

ABSTRACT

The research focuses on the oral tradition performed in the traditional wedding ceremony in the South of Tapanuli. There are three problems discussed in this research. The first is the oral tradition applied in the traditional wedding ceremony. The second, to know the decreased understanding of the lexical meaning conception used in traditional wedding ceremony based on ecolinguistics theory and the cause of the descreased understanding and the result of the research can also be expediented to preserve rentalization the culture itself. The third, the oral tradition in the traditional wedding ceremony after being revealed has estetic values and moral massages showing well-manner and politeness implicating to relationship values to avoid a conflict in South Tapanuli (Angkola, Mandailing, and Batak). Primary data was collected by recording traditional wedding ceremony and the secondary data was taken through deep interview with the subject of the research and other samples. The primary data collected and classified based on ecolinguistics prosedure. The data are classified into 15 groups, resulting in 264 lexicon, then the lexicon are shared by 240 respondents representing 40 samples in a district in Padangsidimpuan. The test result of understanding is shows the decrease of ecoliungistics lexicons conception among young generation. To know the reason why it happens, the writer has interviewed students traditional figure and leader of group, cultural institution and also the representative of government educated institution. The result of the interview become the action to move foword in the effort to make a model of oral tradition in traditional in young generation community as heir the culture ceremony which has been decreased among young generation as cultural theirs.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya tesis ini dapat

diselesaikan penulis. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan pada Program Magister Linguistik di Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

Penelitian ini membahas tentang: Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan

Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan,

penelitian ini dikaji dari dua kajian, pertama menurut kajian ekolinguistik dan kedua

kajian nilai-nilai tradisi lisan. Hasil penelitian ini memberikan gambaran mengenai

penyusutan pemahaman remaja mengenai leksikon tradisi lisan upacara perkawinan

adat Tapanuli Selatan, dan penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon

tersebut. Kajian kedua mencoba meretas nilai-nilai kearifan lokal, seperti: nilai-nilai

kearifan gotong royong, kerukunan, keikhlasan bekerja, nilai identitas dalihan na tolu, nilai kekerabatan, dan nilai estetis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena

itu sangat diharapkan saran dan masukan yang konstruktif sehingga tulisan ini lebih

baik.

Medan, 21 Juli 2011

Penulis,

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih, kepada semua pihak yang telah

mendukung secara materil, moril, dan spirit sehingga berimplikasi kepada motivasi

yang cukup tinggi. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Rektor USU, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH. (CTM). Sp. A(K).,

yang telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pendidikan Program

Magister pada Sekolah Pascasarjana USU.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Bapak Prof.Dr. Ir.Rahim Matondang, MSIE.

Yang telah memberi perhatian dan kesempatan begitu pula dukungan selama

mengikuti pendidikan Strata dua pada Sekolah Pascasarjana USU.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Linguistik

dan Sekretaris Program Studi Linguitik, Ibu Dr. Nurlela, M.Hum., yang telah

memberikan bimbingan selama mengikuti pendidikan hingga selesai pada

program Studi Linguistik di SPs USU.

4. Dosen Pembimbing saya, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr.

Abdurahman Adisaputra, M. Hum., yang telah memberi pengetahuan, waktu,

bimbingan, bantuan, motivasi, dan semangat selama penulisan dan penyelesaian

tesis sehingga memperlancar selesainya tesis ini.

5. Dosen Mata kuliah Tradisi Lisan Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Prof. Dr.

Robert Sibarani, M.S., Dr. Prudentia, MPSS dan tim yang telah memberikan

wawasan tentang kajian tradisi lisan sebagai potensi yang terabaikan yang

(11)

6. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Dr. Muhammad Takari, M.A. sebagai

Tim Penguji mulai dari proposal, seminar hasil, hingga meja hijau, dengan

bimbingan, kritik dan saran yang konstruktif yang telah diberikan sehingga tesis

ini layak menjadi sebuah penelitian.

7. Dosen mata kuliah, Bapak Prof. Dr. Aron Meko Mbete dan Ibu Dr. Dwi

Widayati, M. Hum., yang memperkenalkan kajian ekolinguistik kepada penulis

sehingga memberikan motivasi dan stimulus untuk mengambil kajian ekolinguitik

pada tesis ini.

8. Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Direktur Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Prof. Dr. Supriadi Rustad, M. Si

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memaparkan penelitian

ini pada kegiatan Seminar Hasil Penelitian S2 dan S3 Kajian Tradisi Lisan (KTL)

di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, di

Jakarta pada tanggal 11 April s.d. 13 April 2011.

9. Dosen pengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU Ibu Prof.

T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Prof.

Amrin Saragih, M.A., Ph. D., Dr. Muhammad Takari, M.A., Prof. Aron Meko

Mbete, Prof. Haron Daud, M.A. Ph. D., Bapak Rustam Amir Effendi, M.A., Ph.

D., Prof. Mangantar Simanjuntak, Ph. D., Dr. Eddy Setia, M. Ed., TESP., Drs.

Nurman Ahmad, M. Sc., Ibu Dr. Dwi Widayati, M. Hum., Dr. Gustianingsih, M.

Hum., Dr. Thirayana Zein, M.A., Dr. Deliana M. hum., yang memberikan ilmu

(12)

10.Ketua Yayasan Al-Iman “Tapanuli Selatan” Padangsidimpuan Bapak H. Sahrul

Hadi Lubis dan Ketua STKIP “ Tapanuli Selatan” Padangsidimpuan Bapak

Dr. H. Ali Pada, M.Pd yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk

menimba pengetahuan di Universitas Sumatera Utara.

11.Para informan, responden, dan Kepala Sekolah yang telah memberikan data dan

kesempatan kepada peneliti dan bekerja sama untuk mensukseskan tulisan ini.

12.Semua rekan-rekan Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU S2/ S3

2008/2009, 2009/2010, dan 2010/2011yang tidak dapat disebutkan namanya satu

persatu semoga sukses untuk kita semua dalam mengembangkan karir dan

kehidupan, terutama bidang linguistik dan tradisi lisan.

13.Kedua Orang tua Musouf Lubis (alm) dan Ibunda Zahara Nasution (alm) yang

dalam menempuh pendidikan S2 harus dipanggil Allah SWT, sehingga belum

sempat melihat keberhasilan ananda dalam menyelesaikan pendidikan ini.

14.Istri tercinta Aipda (Polwan) Ida Meri Silalahi dan anak-anak yang kusayangi

Eka Zhaki Safira Lubis, Zwei Rayyan Fath Lubis, Yafie Al-Buchori Lubis,

merekalah yang telah memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi di

SPs USU,

15.Seluruh pihak yang pernah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis

(13)

Akhir kata saya berharap semoga semua kebaikan yang diberikan kepada

penulis oleh berbagai pihak, mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT,

Amin.

Medan, 21 Juli 2011

Penulis,

(14)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Yusni Khairul Amri

Tempat/Tgl.Lahir : Medan, 22 April 1967

Agama : Islam

Alamat : Jalan S.M. Raja/ Makmur Gg.Sibaganding No. 5

Padangsidimpuan Selatan, Provinsi Sumatera Utara

Pekerjaan : Staf Pengajar

Istri : Aipda (Polwan) Ida Meri Silalahi

Anak : Eka Zhaki Safira Lubis

Zwei Rayyan Fath Lubis

Yafie Al-Buchori Lubis

Riwayat :

Pendidikan

1. SD Islam Azizi Medan (1980)

2. SMP negeri 15 Medan (1983)

3. SMA Negeri 10 Medan (1986)

4. IKIP Negeri Medan (1993)

(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Manfaat Penelitian ... 7

1.5Penjelasan Istilah ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP 2.1 Tradisi lisan... 12

2.2 Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan... 18

2.2.1 Falsafah Masyarakat Tapanuli Selatan ... 25

2.2.1.1 Holong... 26

2.2.1.2 Domu... 27

(16)

2.2.1.1 Uhum... 29

2.2.1.1 Ugari... 29

2.2.2 Dalihan Natolu... 30

2.3 Ekolinguistik ... 32

2.4 Leksikon... 39

2.5 Semantik Leksikal... 39

2.6 Remaja ... 40

2.4 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan... 43

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 48

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

3.2.1 Sejarah Singkat Kota Padangsidimpuan ... 51

3.2.2KronologisPembentukan Kota Padangsidimpuan... 53

3.2.3 Lokasi dan Keadaan Geografis ... 54

3.2.4 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 54

3.2.5. Lokasi Penelitian... 55

3.3 Sumber Data... 57

3.4 Metode Pengumpulan Data... 59

3.5 Pengujian Data ... 60

3.6 Metode Analisis Data... 61

(17)

4.2 Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat

Tapanuli Selatan... 69

4.2.1 Gambaran Penyusutan Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan... 74

4.2.1.1 Penyusutan Pemahaman Leksikon Tumbuh-tumbuhan... 75

4.2.1.2 Penyusutan Pemahaman Leksikon Alam... 79

4.2.1.3 Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina ... 81

4.2.1.4 Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina Kekerabatan... 82

4.2.1.5 Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina Raja/ Adat... 86

4.2.1.6 Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa Adat ... 88

4.2.1.7 Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Waktu dan Cuaca ... 89

4.2.1.8 Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Tempat dan Arah... 90

4.2.1.9 Penyusutan Pemahaman LeksikonPenghitungan/ Angka ... 92

4.2.1.10 Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Sifat ... 93

4.2.1.1 1 Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Bentuk ... 93

4.2.1.12 Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Tokoh/ Status Kekeluargaan 94 4.2.1.13 Penyusutan Pemahaman Leksikon Hewan ... 95

4.2.1.14 Penyusutan Pemahaman Leksikon Jenis Warna ... 97

4.2.1.15 Penyusutan Pemahaman Leksikonpada Frase dan Klausa... 97

4.2.2 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat di Enam Kecamatan dan Kota Padangsidimpuan ... 99

4.2.2.1 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Tumbuh-tumbuhan.... 100

(18)

4.2.2.3 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina ... 105

4.2.2.4 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina Kekerabatan

... 109

4.2.2.5 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Pronomina Raja/ Adat..112

4.2.2.6 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa Adat ... 115

4.2.2.7 Perbandingan Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Waktu dan

Cuaca ... 117

4.2.2.8 Perbandingan Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Tempat dan

Arah ... 120

4.2.2.9 Perbandingan Penyusutan Pemahaman LeksikonPenghitungan/ Angka 122

4.2.2.10 Perbandingan Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Sifat ... 125

4.2.2.1 1 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Bentuk ... 127

4.2.2.12 Perbandingan Penyusutan Pemahaman LeksikonUkuran Tokoh/

Status Kekeluargaan... 130

4.2.2.13 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Hewan ... 133

4.2.2.14 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikon Jenis Warna... 135

4.2.2.15 Perbandingan Penyusutan Pemahaman Leksikonpada Frase

dan Klausa... 138

4.3 Penyebab Terjadinya Penyusutan Pemahaman Leksikon Tradisi Lisan pada

Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan ... 141

4.3.1 Faktor Internal Penyebab Terjadinya Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa

Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat di Kota Padangsidimpuan . 143

(19)

4.3.1.2 Remaja Tidak Memahami Urutan/ Kronologis Upacara Perkawinan

Adat Tapanuli Selatan... 145

4.3.1.3 Remaja Tidak Memahami Macam/ Jenis Upacara Adat dan Penentu

Besar Kecilnya Upacara Adat ... 147

4.3.1.4 Remaja Lebih Menyenangi Musik Pop (Modern) daripada Musik

Tradisional ... 148

4.3.1.5 Remaja Jarang Mendengar Leksikon Pronomina, karena Hanya

disebutkan pada Upacara Adat... 149

4.3.1.6 Remaja Tidak Memahami Leksikon Adat, Tidak Ada Usaha Mereka

untuk Memahami Leksikon Adat... 150

4.3.2 Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya Penyusutan Pemahaman

Leksikon Bahasa Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat

di Kota Padangsidimpuan... 151

4.3.2.1 Ketua Adat (Pelaku Adat) Belum Maksimal Mengajari Adat... 152

4.3.2.2 Lembaga Adat Belum Mensosialisasikan Adat pada Remaja... 155

4.3.2.3 Remaja Tidak Mengenal Benda-benda yang dipakai pada Upacara

Adat... 156

4.3.2.4 Remaja Tidak Pernah Manortor Tradisional ... 157 4.3.2.5 Buku-buku Berbahasa Daerah Jarang Terbit ... 158

4.3.2.6 Pagelaran Adat Sangat Jarang, Kecuali pada Upacara

Perkawinan Adat... 159

4,3.2.7 Pagelaran Adat Sangat Jarang, Kecuali pada Upacara

(20)

4.3.2.8 Perlombaan Budaya Daerah Tidak Pernah Ada, Kecuali Lomba

Busana Daerah ... 159

4.3.2.9 Remaja Kurang Dekat dengan Lingkungan Alam, karena Kegiatan Sehari-hari dihabiskan di Sekolah ... 160

4.3.2.10 Pemerintah Tidak Memasukkan Kurikulum Bahasa Daerah ke Jenjang SMP/MTS, SMA/SMK/MA, Kurikulum untuk Muatan Lokal (Bahasa Daerah) hanya pada SD (Sekolah Dasar) ... 161

BAB V NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI LISAN PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT, TEMUAN, DAN MODEL PENELITIAN 5.1 Nilai-nilai Kearifan Lokal Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan... 164

5.1.1 Nilai Yang Berkaitan dengan Subyek... 166

5.1.1.1 Nilai Bergotong Royong pada Upacara Perkawinan Adat ... 166

5.1.1.2Nilai Falsafah Kerukunan pada Tradisi Lisan ‘Nasihat’ pada Upacara Marpangir (di topi raya bangunan) ... 170

5.1.1.2.1 Manat markahanggi... 172

5.1.1.2.2 Elek Maranak Boru... 173

5.1.1.2.3 Somba Marmora... 174

5.1.1.3 Nilai Kekerabatan pada Upacara Perkawinan Adat... 175

5.1.1.4 Remaja Bangga dengan Budaya Tapanuli Selatan dan Upacara Perkawinan Adat... 178

5.1.2. Nilai Tampil dalam Konteks Praktis, di mana Subyek Ingin Membuat Sesuatu Subyek ... 181

5.1.2.1 Nilai Kerukunan ... 182

(21)

Upacara Perkawinan Adat... 180

5.1.3 Nilai Menyangkut Sifat-sifat yang ‘Ditambah’ oleh Subyek pada

Sifat-sifat yang Dimiliki oleh Obyek, Nilai tidak Dimiliki oleh Obyek

pada Dirinya... 186

5.1.3.1 Nilai Identitas Dalihan na Tolu sebagai Penguat dalam Mencegah

Konflik ... 186

5.1.3.2 Nilai Estetis Leksikon Kata-kata Nasihat Tradisi Lisan pada

Upacara Perkawinan Adat... 194

5.4 Temuan pada Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan... 203

5.5 Model Pelestarian Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli

Selatan... 205

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 212

6.2 Saran ... 216

DAFTAR PUSTAKA ... 219

LAMPIRAN

1. Deskripsi persentase penyusutan pemahaman 16 jenis leksikon, perbandingan

penyusutan setiap kecamatan, dan rata-rata penyusutan Pemahaman ke-16 jenis

leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara Perkawinan adat Tapanuli Selatan di

Padangsidimpuan.

(22)

3. Frekuensi penyebukan pronomina adat sebagai nilai-nilai identitas sebagai

penghargaan dalihan na tolu dan pelaku adat pada tradisi lisan pada upacara

perkawinan adat.

4. Pedoman Wawancara dengan responden remaja.

5. Data Tradisi Lisan Pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan.

6. Data Narasumber (Informan).

7. Lembar jawaban pengujian leksikon.

8. Data responden remaja di Kota Padangsidimpuan Kecamatan Padangsidimpuan

Selatan.

9. Gambar.

(23)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin

Number of population by type of age group and sex 2005-2009... 32 2. Frekuensi Penyebutan Pronomina Adat sebagai Nilai Identitas Penghargaan

Dalihan Na Tolu dan pelaku adat Pada Tradisi Lisan Upacara Perkawinan

Adat………... 180

3. Deskripsi persentase penyusutan pemahaman 15 jenis leksikon,

perbandingan penyusutan setiap kecamatan, dan rata-rata penyusutan

Pemahaman ke-16 jenis leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara

Perkawinan adat tapanuli selatan di padangsidimpuan……….. 215

4. Leksis dan Makna……….. 222

5. Frekuensi penyebukan pronomina adat sebagai Nilai-nilai identitas sebagai

penghargaan dalihan na tolu dan Pelaku adat pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat……….. 230

6. Data responden remaja di kota padangsidimpuan Kecamatan

(24)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Bagan dialogue model keterkaitan antara pembuat teks, Penikmat/

penerima teks, subjek, dan objek yang diacu... 35

2. Pengambilan sampel dengan model Area Sampling... 52

3. Perbandingan Pemahaman Leksikon Tumbuhan Pada Setiap Kecamatan di

Padangsidimpuan... 96

4. Persentase Penyusutan Pemahaman remaja di Padangsidimpuan terhadap

Leksikon Tumbuhan... 98

5. Perbandingan Pemahaman Leksikon alam di Setiap Kecamatan di

Padangsidimpuan... 99

6. Persentase Penyusutan Pemahaman remaja di Padangsidimpuan terhadap

Leksikon alam... 100

7. Perbandingan pemahaman leksikon pronomina pada setiap Kecamatan

di Padangsidimpuan... 103

8. Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan

terhadap Leksikon pronomina kekerabatan... 104

9. Perbandingan Pemahaman Leksikon pronomina kekerabatan Pada Setiap

Kecamatan di Padangsidimpuan... 106

10. Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan terhadap

Leksikon pronomina kekerabatan... 107

11. Perbandingan Pemahaman Leksikon pronomina raja/ adat Pada Setiap

(25)

12. Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan terhadap

Leksikon pronomina raja/ adat... 110

13. Perbandingan Pemahaman Leksikon bahasa adat Pada Setiap Kecamatan di

Padangsidimpuan... 112

14. Persentase Penyusutan Pemahaman Remaja di Padangsidimpuan terhadap

Leksikon bahasa adat... 113

15. Perbandingan Pemahaman Leksikon ukuran waktu/ cuaca Pada Setiap

Kecamatan di Padangsidimpuan... 114

16. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Waktu/ Cuaca di

Padangsidimpuan... 115

17. Perbandingan Pemahaman Leksikon Penunjuk Tempat/ Arah pada Setiap

Kecamatan di Padangsidimpuan... 117

18. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Penunjuk Tempat/ Arah di

Padangsidimpuan... 117

19. Perbandingan Pemahaman Leksikon perhitungan/ angka Pada Setiap

Kecamatan di Padangsidimpuan... 119

20. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon perhitungan/ Angka di

Padangsidimpuan... 120

21. Perbandingan Pemahaman Leksikon Ukuran Sifat pada Setiap Kecamatan di

Padangsidimpuan... 122

22. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Sifat di

Padangsidimpuan... 123

(26)

di Padangsidimpuan... 124

24. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon Ukuran Bentuk di

Padangsidimpuan... 125

25. Perbandingan Pemahaman Leksikon Ukuran Tokoh/ Status Kekeluargaan

Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan... 127

26. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon ukuran tokoh/ status

kekeluargaan di Padangsidimpuan... 128

27. Perbandingan Pemahaman Leksikon Hewan pada Setiap Kecamatan di

Padangsidimpuan... 129

28. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon hewan di

Padangsidimpuan... 130

29. Perbandingan Pemahaman Leksikon Warna pada Setiap kecamatan di

Padangsidimpuan... 132

30. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon jenis warna di

Padangsidimpuan... 133

31. Perbandingan Pemahaman Leksikon pada Frase dan Klausa di Setiap

Kecamatan Kota Padangsidimpuan... 134

32. Persentase Penyusutan Pemahaman Leksikon pada Frase dan Klausa di

Padangsidimpuan... 135

33. Persentase Remaja Jarang Mendengar Leksikon Pronomina hanya pada

Upacara Adat... 146

34. Persentase Remaja Pernah Diajari Ketua Adat (Pelaku Adat) tentang Upacara

(27)

35. Persentase Lembaga Adat tidak pernah Mensosialisasikan

tentang Upacara Perkawinan Adat kepada Remaja... 151

36. Persentase Partisipasi Remaja pada Upacara Manortor pada

Upacara Perkawinan Adat ... 153

37. Persentase nilai keikhlasan bekerja pacara perkawinan adat... 172

38. Hubungan vertikal dan horizontal kekerabatan pada

komunitas adat ... 179

39. Penyebutan pronomina raja adat pada tradisi lisan pada upacara perkawinan

adat Tapanuli Selatan... 198

(28)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Deskripsi persentase penyusutan pemahaman 15 jenis leksikon,

perbandingan penyusutan setiap kecamatan, dan rata-rata penyusutan

Pemahaman ke-15 jenis leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara

Perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan... 215

2. Leksis dan makna... 222

3. Frekuensi penyebukan pronomina adat sebagai nilai-nilai identitas sebagai

penghargaan dalihan na tolu dan pelaku adat pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat…... 230

4. Pedoman Wawancara dengan responden . ... 231

5. Data Tradisi lisan Membuka parsidangan adat perkawinan adat

perkawinan …...…... 235

6. Data Informan Kunci... 243

7. Lembar jawaban pengujian leksikon …... 245

8. Data responden remaja di Kota Padangsidimpuan Kecamatan

Padangsidimpuan Selatan... 252

9. Pengujian pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara

perkawinan adat Tapanuli Selatan... 274

(29)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan, ada tiga permasalahan yang diungkapkan dalam penelitian ini, pertama, tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat perlu didokumentasi dan dianalisis secara ilmiah, kedua penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal yang digunakan pada upacara perkawinan adat menurut kajian ekolinguistik dan apa penyebab terjadinya penyusutan pemahaman makna leksikal tersebut, dari pembahasan tersebut dapat diupayakan membuat model pelestarian penelitian. Ketiga, tradisi lisan pada upacara perkawinan adat tersebut, setelah diretas ternyata memiliki nilai-nilai yang estetis dan pesan-pesan sebagai nasihat, yang memiliki etika, kesantunan, dan kesopanan yang berimplikasi kepada nilai-nilai kekerabatan yang terjalin sebagai pencegah konflik di Tapanuli Selatan (Angkola, Mandailing, dan Batak). Pengumpulan data primer dilakukan dengan rekaman dari upacara adat, data skunder dilakukan dengan wawancara yang mendalam dengan nara sumber, dan responden. Data primer tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan berdasarkan kajian tradisi lisan dan ekolinguitik, diklasifikasi menjadi 15 kelompok yang berjumlah 264 leksikon, kemudian leksikon tersebut diujikan kepada 240 di enam kecamatan responden yang mewakili 40 orang per kecamatan di Kota Padangsidimpuan. Hasil pengujian pemahaman, terjadi penyusutan konsepsi pemahaman leksikon ekolinguistik oleh remaja, untuk mengetahui mengapa terjadi penyusutan pemahaman dilakukan wawancara dengan remaja, tokoh adat, ketua adat, lembaga adat, dan yang mewakili Dinas Pendidikan. Hasilnya wawancara tersebut yang dijadikan tindakan ke depan sebagai upaya membuat model tradisi lisan pada upacara adat yang semakin renggang dengan komunitas remaja sebagai pewaris adat.

(30)

ABSTRACT

The research focuses on the oral tradition performed in the traditional wedding ceremony in the South of Tapanuli. There are three problems discussed in this research. The first is the oral tradition applied in the traditional wedding ceremony. The second, to know the decreased understanding of the lexical meaning conception used in traditional wedding ceremony based on ecolinguistics theory and the cause of the descreased understanding and the result of the research can also be expediented to preserve rentalization the culture itself. The third, the oral tradition in the traditional wedding ceremony after being revealed has estetic values and moral massages showing well-manner and politeness implicating to relationship values to avoid a conflict in South Tapanuli (Angkola, Mandailing, and Batak). Primary data was collected by recording traditional wedding ceremony and the secondary data was taken through deep interview with the subject of the research and other samples. The primary data collected and classified based on ecolinguistics prosedure. The data are classified into 15 groups, resulting in 264 lexicon, then the lexicon are shared by 240 respondents representing 40 samples in a district in Padangsidimpuan. The test result of understanding is shows the decrease of ecoliungistics lexicons conception among young generation. To know the reason why it happens, the writer has interviewed students traditional figure and leader of group, cultural institution and also the representative of government educated institution. The result of the interview become the action to move foword in the effort to make a model of oral tradition in traditional in young generation community as heir the culture ceremony which has been decreased among young generation as cultural theirs.

(31)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adat istiadat merupakan warisan leluhur yang masih ada di tengah-tengah

masyarakat, karena adat istiadat merupakan tatanan yang mengatur kehidupan di

masyarakat secara turun temurun. Masyarakat yang beradat lebih tertib dalam

menjalankan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Begitu pula adat istiadat

yang masih dipakai masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, begitu pula

khususnya di Tapanuli Selatan.

Pada prosesi pelaksanaan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, tokoh adat

selalu menggunakan media bahasa yang disampaikan secara lisan. Tradisi lisan

dilakukan pada upacara perkawinan adat, di samping persyaratan adat yang harus

dipenuhi agar upacara adat tersebut dapat terselenggara. Tradisi lisan pada upacara

adat merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh komunitas adat untuk

menyampaikan maksud sesuai dengan bahasa adat dan aturan adat yang berlaku.

Tradisi lisan itu terwujud melalui leksikon-leksikon adat.

Leksikon adat yang digunakan sebagai sistem isyarat “language is a system of

codes” yang digunakan oleh kelompok sosial adat berdasarkan konvensi antara anggota kelompok masyarakat dalam satu kesatuan adat. Leksikon bahasa adat

merupakan sesuatu yang konvensional bagi komunitasnya. Isyarat-isyarat yang

digunakan harus merupakan kesepakatan bersama secara turun-temurun oleh warga

komunitas bahasa yang diejawantahkan dengan leksikon adat. Komunitas penutur

(32)

yang sama untuk menyebut sesuatu keadaan atau untuk penamaan sesuatu hal yang

disebabkan oleh keperluan yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.

Menurut Sapir (1921), Bahasa adalah murni kemanusiaan (purely humane) dan merupakan jalur non-instingtif (non-instinctive network) untuk mengkomunikasikan

ide, emosi, kehendak, harapan, dan cita-cita dengan memanfaatkan secara sengaja

sistem yang dihasilkan oleh isyarat-isyarat bahasa dan kebahasaan (language and

linguistic codes). Sejalan dengan Sapir, Halliday (1978) menyatakan bahwa bahasa merupakan semiotik sosial. Semiotik sosial menurut Sinar (2003) adalah sistem

makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik, yang terwujud dengan

penggunaan melalui leksikon pada upacara adat berbentuk tradisi lisan.

Tradisi lisan pada upacara adat di Tapanuli Selatan digunakan untuk berbagai

hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Tradisi lisan yang

digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (local wisdom), karena berfungsi mengatur sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), hukum,

pengobatan, sistem kepercayaan, dan religi.

Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi

lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak

berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan

dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam

upaya menjaga tradisi lisan pada upacara adat sebagai pengetahuan pada masa kini

dan yang akan datang adalah sistem pewarisan adat istiadat dan budaya Tapanuli

(33)

Adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan pada khususnya dan budaya Batak

pada umumnya melakukan prosesi upacara perkawinan adat dengan tradisi lisan.

Tradisi lisan di Tapanuli Selatan dilakukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan

dilakukannya upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan seperti: martahi, panaek

gondang, tu tapian raya bangunan magupa, haroan boru, malehen mangan, dan lain-lain.

Upacara adat perkawinan merupakan budaya yang diyakini masyarakat

pemakainya dan sebagai bagian yang harus dijalankan bila melakukan kegiatan

tersebut. Besar kecilnya upacara adat perkawinan disesuaikan dengan kemampuan

finansial pemilik hajat perkawinan. Oleh karena itu, besar kecilnya upacara adat

perkawinan tidak mengurangi nilai-nilai pelaksanaan upacara adat perkawinan

tersebut.

Sebagian besar pelaksanaan tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli

Selatan dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Oleh karena itu, tadisi lisan

selalu hadir dalam keseluruhan rangkaian upacara adat perkawinan. Hanya saja,

dalam tradisi lisan tersebut diasumsikan telah terjadi kemunduran konsepsi

pengetahuan tentang leksikon yang dipakai pada tradisi lisan itu. Hal ini disebabkan

oleh faktor agama, finansial, ekologi lingkungan, dan pemahaman masyarakat

tentang tradisi lisan pada upacara perkawinan adat.

Ada indikasi bahwa, pengetahuan masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara

perkawinan adat, belum dikembangkan melalui jalur pendidikan, sehingga tradisi

lisan pada upacara perkawinan adat (Mandailing, Angkola, dan Batak) kian

(34)

lisan tersebut mengandung kearifan lokal dan mengandung nilai-nilai filosofis adat

dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat. Karena tidak dipelajari, adat istiadat

yang mengandung nilai-nilai tradisi dan kaya makna itu, menjadi terlupakan.

Akibatnya generasi muda Mandailing/ Tapanuli Selatan pun berpaling kepada

nilai-nilai Barat yang membuatnya terasing dan kehilangan kepribadian (Nasution, 2005;

483).

Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Sinar (2010: 70) bahwa banyak

bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup”,

bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah.

Belum lagi dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional,

regional, dan nasional yang semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.

Begitu pula pemikiran Nasution, “Tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi

masyarakat disebabkan karena hantaman palu pembangunan yang dilancarkan

dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan dan tanah adat

digusur demi pembangunan (2005: 485). Hal ini sesuai dengan pendapat Adisaputra

(2010: 57) bahwa, kondisi ekologi yang berubah, maka sejumlah entitas akan

mengalami perubahan, penyusutan dan bahkan hilang sama sekali. Akibatnya, pada

sejumlah leksikal yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran

penutur menjadi leksikal yang fungsional untuk digunakan. Pada kondisi ekologi

yang berubah, maka sejumlah entitas pun akan mengalami perubahan, penyusutan

atau bahkan hilang sama sekali. Akibatnya, sejumlah leksikal akan hilang dalam

alam pikiran penutur. Konseptualisasi penutur dunia juga akan berubah sesuai

(35)

Bila pembangunan yang dilaksanakan tidak mempertimbangkan sistem ekologi

lingkungan, maka akan berdampak pada kepunahan habitat di lingkungan tersebut.

Dengan demikian, leksikal yang digunakan untuk habitat itu pun dengan sendirinya

akan hilang. Untuk itu, perlu tindakan prepentif yang ditegaskan oleh Haugenian,

bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu

cepat dalam satu dasawarsa.(Fill, 2001: 44).

Penghilangan leksikal akan berpengaruh pada kelangsungan tradisi adat istiadat

dan budaya Tapanuli Selatan/ Mandailing, yang hanya dikenal di daerah yang hanya

pada komunitas pemakainya. Sebaliknya generasi muda sebagai penerus budaya

daerah Tapanuli Selatan/ Mandailing belum berkeinginan untuk mempelajari tradisi

lisan, karena belum memahami leksikon yang digunakan pada tradisi lisan tersebut.

Lebih memprihatinkan lagi yang disebutkan Dalimunthe dalam Nasution,

(2005: xiii), “Sekarang bukan hanya generasi muda/ remaja saja yang tidak

memahami adat/ budayanya, tetapi tidak sedikit pula orang tua telah melupakan jati

dirinya yang berbudaya khas.” Hal tersebut tidak lain disebabkan pengaruh dari luar

tadi serta minimnya informasi dan rasa penghargaan terhadap apa yang dimilikinya,

apakah itu sopan santun, tata krama, adab bertutur, hingga pengetahuan di bidang

upacara adat perkawinan dan sebagainya.

Adisaputra (2009: 24) menjelaskan, penyusutan konsepsi leksikal pada penutur

bahasa generasi baru, yaitu komunitas remaja pada aspek sosial, dinamika kehidupan

komunitas remaja ditandai oleh adanya paradigma baru yang tidak berakar dari

(36)

tercerabutnya akar budaya tradisi pada komunitas remaja menyebabkan penurunan

kualitas hidup secara sosiobudaya.

Lubis (2001) menyebutkan, pada masa ini sebagian besar orang Mandailing/

Tapanuli Selatan yang lahir Tahun 1940-an tidak banyak mengenal sepenuhnya

kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan dan generasi keturunan mereka sekarang

ini lebih tidak mengenal lagi kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan, dari kedua

generasi tersebut ternyata pula tidak banyak yang sungguh-sungguh memperdulikan

kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan dan kondisinya yang terus menerus

mengalami erosi. Dalam keadaan yang demikian itu banyak diantara bagian-bagian

penting dari kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan yang punah sama sekali,

misalnya hata andung, hata sibaso, hata parkapur, dan hata teas dohot jampolak, yang masih dipakai hata somal, demikian juga gordang sambilan, gordang dua, dan

juga sastra lisan.

Berkaitan dengan kenyataan yang sebutkan di atas mengundang perlunya

peneliti untuk melakukan penelitian tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli

Selatan: pemahaman leksikal remaja di Padangsidimpuan, kajian ini menggunakan

perpaduan dua pendekatan yaitu pendekatan nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan

dengan pendekatan ekolinguistik, hal ini disebabkan bahwa terjadi penyusutan

pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara perkawinan adat itu sendiri

dan merupakan peristiwa ekologi yang menyebabkan perubahan pada bahasa yang

digunakan, begitu pula tradisi lisan upacara perkawinan adat memiliki nilai-nilai

(37)

1.2 Rumusan Masalah

Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan?

2. Bagaimanakah pemahaman leksikon tradisi lisan pada komunitas remaja di

Padangsidimpuan?

3. Nilai-nilai kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi lisan upacara

perkawinan adat?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada masalah maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan.

2. Mengetahui pemahaman leksikon tradisi lisan komunitas remaja di

Padangsidimpuan.

3. Menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada tradisi lisan upacara

perkawinan adat Tapanuli Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini, diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis.

1.4.1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, temuan penelitian ini dapat:

a. Memperkaya kajian tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan

(38)

b. Memperkaya kajian linguistik pada umumnya dan kajian ekolinguistik secara

spesifik.

c. Menjadi bahan acuan bagi para peniliti yang memofuskan pada bidang bahasa,

terutama kajian adat Tapanuli Selatan.

d. Memahami kontribusi leksikon ekolinguistik yang dipakai pada upacara

perkawinan adat Tapanuli Selatan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu:

a. Mengetahui tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan

b. Mengetahui pemakaian leksikon pada tradisi lisan yang dipakai pada upacara

perkawinan adat Tapanuli Selatan.

c. Memberikan pengetahuan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan.

d. Setelah mengetahui terjadinya penyusutan pemahaman leksikon bahasa tradisi

lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, maka diperlukan tindakan

preventif dengan pembuatan kamus adat istiadat yang berasal dari lingkungan

alam.

e. Sebagai upaya lanjutan untuk melestarikan adat istiadat, budaya yang mulai

ditinggalkan komunitas pemakainya, sehingga dapat terjaga nilai-nilai adat dan

budaya sebagai kearifan lokal sebagai kekuatan yang mempersatukan masyarakat

(39)

1.5 Penjelasan Istilah

Pada tulisan ini digunakan istilah-istilah yang memiliki makna yang berbeda

dengan ilmu di luar linguistik, oleh karena itu penjelasan istilah pada peneltitian ini

dimaksudkan agar ada persepsi yang sama mengenai istilah yang digunakan.

Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada bidang linguistik,

istilah tersebutyaitu:

1)Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun

temurun disampaikan secara lisan, lebih jauh Roger Tol dan Prudentia (1995:2)

dalam B. H. Hoed (2008:184).

2)Upacara perkawinan rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai yang

terikat pada aturan tertentu menurut agama atau adat yang lazim dituruti atau

dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka

agama.

3)Adat Tapanuli Selatan adalah kebiasaan yang berlaku menurut masyarakat adat

atau peraturan tentang tingkah laku menurut orang Tapanuli Selatan biasa

bertingkah laku. Jadi di dalamnya termuat peraturan-peraturan hukum yang

melingkupi dan mengatur hidup bersama dari orang-orang Tapanuli Selatan (Van

Dijk dalam Soehardi, 1960: 6).

4)Nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada

masa tertentu. Roland Barthes (1957: 140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1)

nilai yang berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di

(40)

5)Leksikon adalah kosakata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa.

6)Ekolinguistik adalah ilmu bahasa yang interdisipliner, yang menyandingkan

ekologi dan linguistik. Melalui bidang ilmu ini, pengaruh kerusakan dan

kemerosotan lingkungan atau juga kebertahanannya dan kelestarian leksikon alam

(ragawi dan sosiokultural) terhadap lumpuhnya infrastruktur komunikatif (bahasa)

yang diteliti. Dari segi bahasa, hal-hal yang dapat diteliti meliputi tataran

fonologi, morfologi, semantik, dan leksikon.

7)Remaja (dalam Monks, dkk 1994) adalah masa menunjukkan dengan jelas sifat

transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak

lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa

remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami

perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja

berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13

tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria menurut Zakiah Darajat (1990: 23).

Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18

tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun.

Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang

(41)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP

Tradisi lisan pada upacara adat perkawinan tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat pemakainya, tradisi lisan bagi masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing,

Angkola, dan Batak) merupakan identitas masyarakat pemakai sebagai komunitas

guyub tutur. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat memiliki kearifan lokal, dan

nilai-nilai yang diyakini sudah menyatu dan merupakan perekat masyarakat adat, hal

tersebut yang berupaya diungkap pada penelitian ini.

Penelitian ini berusaha mengkaji nilai-nilai yang terdapat pada tradisi lisan

upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, penelitian ini akan melihat nilai-nilai

tradisi yang terdapat pada tradisi lisan upacara adat perkawinan, yang juga merupakan

falsafah hidup sebagai ideologi komunitas guyub tutur masyarakat Tapanuli Selatan.

Pengkajian yang kedua mengunakan teori ekolinguistik, pengkajian ini

digunakan untuk melihat leksikon yang digunakan pada tradisi lisan upacara

perkawinan adat. Leksikon tersebut diklasifikasikan berdasarkan lingkungan aslinya.

Pengkajian ekolinguistik tersebut melihat hubungan yang erat antara masyarakat

penutur dengan lingkungan sekitarnya, sehingga terlihat sejauh mana hubungan

lingkungan (ekologi) dengan bahasa yaitu pada tataran leksikon. Kemudian leksikon

tersebut diujikan konsepsi maknanya kepada remaja sebagai komunitas asli, untuk

sejauhmana kedekatan remaja sebagai penutur asli dengan lingkungan di sekitarnya.

Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a) mengkaji tradisi lisan

serta nilai-nilai kearifan lokalnya dan b) kajian ekolinguistik untuk melihat konsepsi

(42)

2.1Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara

turun temurun disampaikan secara lisan menurut Roger Tol dan Prudentia (1995: 2)

dalam B. H. Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni:

Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store complete indegeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication.

Djuweng (2008:157) menyatakan, tradisi lisan menghubungkan generasi masa

lalu, sekarang, dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi

dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan

kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu.

Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan

identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO

dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting

dalam ICH adalah tradisi lisan (Prudentia 2010).

Tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks yang mengandung

tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal

yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal

(local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, hasil seni, dan upacara adat.

Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin

berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai

dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat.

(43)

tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang

adalah perubahan dalam sistem pewarisannya.

Sebagai sumber sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan

pengelolaan tradisi seperti: perlindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi. Tradisi

lisan janganlah dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan, yang beku, yang

berasal dari masa lalu dan tidak pernah ‘boleh’ berubah yang kemudian diagungkan

dan diabadikan. Sudut pandang seperti ini akan mengangkat tradisi, khususnya

tradisi lisan seperti yang telah diungkapkan, sehingga sejarah kegemilangan masa

lalunya saja, tanpa dapat mengaktualkannya dalam situasi masa kini.

Perlu sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan

sebagai sebuah kekuatan, yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu

berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni

dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa

tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas

masyarakat pemakainya.

Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau

sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk

dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan,

yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya. Menggali dan

mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual

budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan.

Sumber utama kajiannya adalah penutur, pembawa atau nara sumber pemilik

(44)

berkaitan. Di samping tradisi dan nara sumber utamanya yang masih hidup atau

merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan

tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini tradisi lisan. Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan masyarakat

penghasilnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat

pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan.

Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas

kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan

tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi dan sudah

menyatu pada komunitas tersebut.

Roland Barthes (1957: 140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1) nilai yang

berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek

ingin membuat sesuatu; 3) nilai menyangkut sifat-sifat yang ‘ditambah’ oleh subyek

pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada

dirinya.

Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan

fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut

dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun

menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda. Tradisi lisan

sebagai produk kultural, mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan

kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama,

kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu

(45)

Pengetahuan tradisional atau Indigenous Knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung tradisi mengatasi tantangan alam dan

lingkungan sekitarnya dengan menghasilkan teknologi untuk menguasinya.

Sedangkan kearifan lokal atau Local Wisdom memungkinkan masyarakat

bersangkutan memahami alam dan lingkungannya.

Begitu pula tradisi Lisan di Tapanuli Selatan, walaupun sudah mengalami

perkembangan, tetapi tetap tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang

telah berlaku turun temurun. Tradisi lisan ini memiliki tatanan aturan yang tertib

yang dipimpin oleh Orang Kaya yang berfungsi sebagai moderator (MC ’Master of

Ceremonial) jalannya upacara perkawinan adat tersebut. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh Raja Panusunan Bulung, yang

sebelumnya telah meminta pendapat masing-masing elemen adat ’dalihan na Tolu’

yang telah ditentukan sesuai dengan tuturan dan berada pada pihak mempelai

laki-laki atau mempelai perempuan.

Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap

keputusan yang diambil oleh Raja Panusunan Bulung (Ompungi/ oppui Sian Bagas

Godang) melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama.

Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan

hubungan kekerabatanya dari posisi yang mempunyai horja sirion (upacara perkawinan adat). Sehingga tak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan

(46)

itu, penguasaan tradisi lisan dan leksikon adat sangat menentukan penghargaan

masyarakat terhadap personal yang memiliki pemahaman adat istiadat.

Penegasan pentingnya memahami leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara

adat istiadat sebagai warisan budaya, disebabkan leksikon yang digunakan pada

tradisi lisan mengandung nilai-nilai filosofis adat yang tercermin pada budaya adat,

kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai sastra yang estetis seta nilai-nilai lainnya.

Hal ini menurut Fortes dalam Tilaar (2000: 54-55), dari pewarisan budaya ada

variabel-variabel yang perlu dicermati, yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan/

diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur

yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan

pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran

esensial, dan ide. Pengetahuan tradisional atau indigenous knowledge (IK)

memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung sebagai kearifan lokal atau

local wisdom dan berusaha untuk memahami Tradisi lisan.

Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan yang dianalisis

dalam wujud teks lisan, teks lisan tersebut dituliskan, kemudian yang dianalisis

adalah leksikon-leksikon pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, dengan

pendekatan ekolinguistik kemudian diklasifikasikan atas leksikon yang berasal dari

ekologi dan linguistik. Karena ekolinguistik mencoba menyertakan diri

dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik Sebab, perubahan

sosio-ekologis sangat mempengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai

(47)

Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin

berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai

dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat.

Sebab, tidak dikuasai lagi sejumlah leksikon oleh penutur remaja karena hilangnya

sebagian unsur sosial budaya dan sosial-ekologi pada komunitas itu.

Hal ini disebabkan terjadinya perubahan budaya (dari budaya tradisional ke

budaya modern) atau perubahan suatu kawasan (dari kawasan pedesaan ke

kawasan perkotaan) atau dari kawasan kosong menjadi kawasan pemukiman

atau sebaliknya dari kawasan pemukiman menjadi kawasan kosong seperti daerah

kawasan Sidoarjo. Apabila hal ini berlanjut, tentu akan mengakibatkan ikan yang

dulunya hidup menjadi mati, berbagai rumput yang hidup akan semakin berkurang.

Hal ini akan menyebabkan hilangnya beberapa ikon leksikal (Adisaputra, 2010:11).

Penyusutan atau kepunahan unsur alam maupun unsur budaya akan berdampak

pada hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu.

Sejalan dengan pendapat Adisaputra, Lauder menyebutkan bahwa

punahnya sebuah bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya

yang tersimpan dalam bahasa itu, termasuk di dalamnya berbagai kearifan

mengenai lingkungan (Lauder, 2006 : 6).

Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya

menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang

akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan

(48)

preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara

perkawinan adat di Tapanuli Selatan.

2.2 Upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan

Kehidupan orang Tapanuli Selatan yang relegius dan masih sangat peka

terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, baik itu berupa

peruntungan maupun musibah. Peristiwa-peristiwa itu ditandai dengan upacara adat,

seperti, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, upacara naik

pangkat, upacara lulus ujian, mendapat gelar akademis, upacara naik haji, upacara

mendirikan dan memasuki rumah baru, upacara kelahiran, dan upacara perkawinan.

Upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1) Tanda-tanda kebesaran; 2)

peralatan (menurut adat istiadat); rangkaian tindakan atau pebuatan yang terikat pada

aturan tertentu menurut adat atau agama; 3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan

atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. (2001: 1250).

Adat menurut KBBI: 1. aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut

atau dilakukan sejak dahulu kala; 2. cara (kalakuan dan sebagainya) yang sudah

menjadi kebiasaan; kebiasaan. 3. wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas

nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan

suatu sistem (2001: 7). Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat

sesuatau masyarakat. (2001: 1250)

Upacara perkawinan adat rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai

yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau

(49)

Jenis-jenis Upacara Adat Istiadat Tapanuli Selatan (upacara adat istiadat

Mandailing) pada budaya mandailing seperti: 1) Horja Siriaon; 2) Tahi Godang; 3)

Manganaekkon Gondang; 4. Pajongjong Mandera; 5) Maralok-alok; 6) Manortor; 7) Mambaca goar; 8) Patuaekkon; 9) Mangupa; 10. dan lain-lain (Ritonga dan

Azhar, 2002: 64-105).

Pelaksanaan upacara perkawinan adat menurut Pandapotan Nasution (2005:

270-413) ada beberapa alur yang harus dilakukan yaitu: a. Acara di rumah Boru Na

Ni Oli (pabuat boru) seperti: 1) manyapai boru, 2) mangaririt boru, 3) padamos

hata, 4) patobang hata. b. Manulak sere; c. Mangalehen mangan pamunan; d. Acara pernikahan. e. Horja Haroan Boru seperti: 1) marpokat haroan boru, 2) Mangalo-alo boru, 3) pataon raja-raja dan koum sisolkot, 4) panaek gondang.

Seremonial upacara adat seperti: 1) Membawa pengantin ke Tapian Raya Bangunan, 2) Mangalehen Gorar (menabalkan gelar adat), dan 3) Mangupa.

Sejalan dengan itu proses upacara perkawinan di kenal dengan istilah horja

patobang anak dan pabagas boru, peristiwa perkawinan disebut dengan haroan boru, horja boru dengan alur upacara perkawinan adat seperti: 1) Mangkobar boru,

2) Mangampar ruji, 3) horja pabuat boru, 4) manaekkon gondang, 5) marosong-osong, 6) Maralok-alok,7) Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10) Mangupa. (1993: 259-396)

Pada upacara perkawinan adat biasanya menggunakan tanda-tanda kebesaran

adat (menurut adat istiadat tersebut), sehingga serangkaian tindakan atau perbuatan

yang terikat pada aturan tertentu menurut adat, sehingga upacara perkawinan adat

(50)

paradatan merupakan aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim menurut sidang adat.

Sidang adat yang lengkap dipimpin oleh Raja panusunan Bulung di rumah suhut pihak laki-laki yang dihadiri seluruh unsur harajaon lengkap. Biasanya akan

diutus na ringgas langka untuk mendampingi bayo (mempelai laki-laki) berangkat menuju rumah boru untuk mangalap boru, mangido tungkot hara ni madunginteon

namboruna. Sebelum upacara pabuat boru terlebih dahulu dilaksanakan upacara akad nikah yang dihadiri oleh tuan kadi (penghulu), kerabat dekat, bayo dan rombongan, boru serta orang tua boru.

Kehadiran boru ‘mempelai perempuan’ di keluarga calon suaminya, sehingga terbentuk rumah tangga baru dapat dilihat dari perilaku adat yang dilaksanakan di

Tapanuli Selatan, karena nama-nama julukan pada boru timbul dari cara

kehadirannya di keluarga calon suaminya seperti: 1) Boru na di pabuat, 2) Boru tangko binoto, 3) Boru na marlojong, 4) Boru na pagitcatkon,5) Boru na manginte

bondul, 6) Boru na manaek (Boru na manyompo), 7) Porda dumpang (1993: 253-254).

Boru dipabuat Raja Panusunan Bulung dalam sidang adat yang dihadiri oleh seluruh perangkat adat. Dalam sidang adat ada acara marsipaingot dan pasahat barang boru. Menjelang pemberangkatannya boru menyalami teman-teman, kerabat

dalihan natolu, hatobangon, harajaon, Raja Panusunan Bulung, dan terakhir boru menyalami ibu, ayah, dan saudara-saudara kandungnya. Ini dilakukan dengan

(51)

penyerahan boru oleh orang tuanya. Penyerahan ini mencakup: pamatangna (tubuh),

ngoluna (hidupnya), sonangna dohot matena (senang dengan matinya). Ini merupakan penyerahan total tanggung jawab boru diserahkan sepenuhnya kepada bayo (mempelai laki-laki), kemudian rombongan ini berangkat menuju rumah bayo

pangoli.

Pihak boru mengirimkan indahan tungkus pasae robu yaitu dari: ama, ina,

tulang, hatobangon, harajaon yang dibawa oleh anak boru, pisang raut, hatobangon laki-laki dan perempuan, dan naposo bulung serta nauli bulung. Indahan tungkus pasae robu ini dijunjung di atas kepala pisang raut ina-ina untuk kemudian

diserahkan kepada pihak keluarga bayo hal ini diyakini oleh masyarakat adat di Tapanuli Selatan/ Mandailing agar hilang dari segala mara bahaya di laut, darat, dan

awang-awang.

Boru yang diberangkatkan secara adat itu diterima oleh keluarga bayo secara adat kebesaran dalam acara haroan boru. Pada malam harinya di rumah suhut

diselenggarakan pokat harajaon untuk pasahat karejo. Pesta pernikahan disebut Horja pabuat boru yang telah ditentukan keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Setelah kesepakatan dicapai, maka kedua belah pihak keluarga

mulailah mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta pernikahan untuk melaksanakan

horja pabuat boru atau horja mangalap boru.

Pesta perkawinan merupakan horja siriaon, dilakukan bergantung kepada binatang adat (kerbau dan kambing) yang akan dipotong. Untuk horja godang (pesta adat besar) minimal satu ekor kerbau ditambah dengan satu ekor kambing, bila horja

(52)

Horja menek (pesta kecil) yang disembelih yaitu horbo janggut (kambing) maka upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan dimulai dengan akad nikah,

markobar adat, dan mambutong-butongi mangan (memberikan makan) dan memberikan kata-kata nasihat dan tuntunan hidup berkeluarga.

Horja godang (pesta adat besar) diukur dengan binatang yang disembelih (lahanan na) minimal satu ekor kerbau ditambah dengan satu ekor kambing. Bila setelah selesai upacara akad nikah (ibadat) maka upacara yang akan diselenggarakan

di rumah mempelai laki-laki yaitu: unung-unung bodat (musyawarah suami-istri yang akan menikahkan anak); tahi ulu ni tot (musyawarah suami-istri dengan

kerabat dekat (markahanggi) yang akan menikahkan anak); tahi sahuta (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan orang-orang sekampung); tahi

godang (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan kerabat dekat (markahanggi) juga dengan orang-orang sekampung).

Pada tahi godang (musyawarah besar) dirancang kapan mangalo-alo mora

(menyambut kedatangan pihak keluarga mempelai perempuan). Pada malam hari

horja boru dimulai dengan maralok-alok. Siang harinya dimulai dengan upacara

manaekkon gondang, dengan membuka galanggang. Kemudian mangalo-alo mora, sore hari upacara mambuka galanggang dengan manortor yang dimulai pada pihak suhut, kahanggi, anak boru, mora na dialo-alo, hatobangon, harajaon, raja

panusunan bulung, naposo nauli bulung, dan boru na marbagas.

Menjelang sore dilakukan upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan, suatu upacara melepas masa lajang dan masa gadis ke pinggir kali, yang biasanya dipangir

(53)

kebiasaan Tapanuli Selatan, hanya menggunakan simbol-simbol dan diupa-upa saja setelah diarak dari tepi raya bangunan.

Beranjak dari upacara adat tepian raya bangunan, maka kedua mempelai

diupa-upa dengan berbagai macam makanan seperti: 4 kaki kambing, kepala

kambing, 3 butir telur ayam, dan dibuat berbentuk kerucut tempat garam. Yang

ditabur dengan udang dan berbagai macam sayur-sayuran yang diletakkan di atas

anduri (tampah yang terbuat dari bambu) yang dilapisi oleh 3 bulung ujung (helai daun pisang). Setelah diberi makan di berilah kata-kata nasihat-nasihat, tuntunan

kehidupan berumah tangga, berkeluarga, dan bermasyarakat.

Mengawinkan anak dan boru adalah merupakan puncak kebahagiaan seseorang, karena holong kepada mereka maka anak dipajae dan boru dipabuat. Rasa kasih sayang itu antara lain dinyatakan dalam ungkapan: tungkup marmama anak

singgalak marmama boru.

Adat Tapanuli Selatan/ Mandailing (Batak) sedikit bervariasi di luat-laut bona

bulu karena latar belakang lingkungan alam, budaya, agama, dan pengaruh dari luar, termasuk di dalamnya pengaruh agama Islam yang oleh para ahli disebut sebagai

golongan tradisional dan golongan modernis. Ini semua memberikan warna sehingga

memberikan khasanah tradisi orang Batak khususnya di Tapanuli Selatan.

Beberapa indikasi yang perlu diperhatikan ialah semakin beraliran tradisional

seseorang semakin besar keinginannya untuk melaksanakan upacara adat semurni

mungkin. Sebaliknya semakin beraliran modern sesorang maka semakin selektif

dalam pelaksanaan upacara adat istiadat begitu juga upacara perkawinan. Seleksi ini

(54)

Kemudian diselenggarakan upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan. Yang bermakna untuk menghanyutkan segala yang tidak baik dan untuk meninggalkan

segala perilaku remaja karena sudah memasuki masa berumah tangga.

Sekembalinya dari upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan dilakukan

upacara adat yaitu mangupa patidahon godang ni roha (menunjukkan kebesaran hati) tu anak dohot parumaen. Dalam sidang adat ini kedua mempelai mendapatkan nasihat-nasihat sebagai bekal hidup menjalankan rumah tangga yang berbahagia dari

seluruh keluarga dan kalangan yang hadir dalam sidang adat mangupa itu.

2.2.1 Falsafah Masyarakat Tapanuli Selatan

Setiap masyarakat adat memiliki keyakinan nilai-nilai luhur yang kuat sehingga

dijadikan pedoman yang mengatur berjalannya tatanan adat istiadat, hal tersebut

menjadi falsafah hidup masyarakat di Tapanuli Selatan. Suatu aturan-aturan yang

dipatuhi dianggap memiliki kekuatan batin yang merupakan jiwa yang sudah

mendarah daging bagi masyarakat adat. Nilai-nilai luhur masyarakat adat tersebut

tidak tertulis tetapi sudah menyatu dan menjadi ketentuan yang mengikat batin

diantara masyarakat adat, hal tersebut disebut dengan holong dan domu. Hal itu seperti sebutan tubu unte, tubu dohot durina, tubu jolma, tubu dohot adatna. Makna

yang terkandung yaitu setiap masyarakat lahir telah memiliki nilai-nilai luhur

sebagai pandangan hidup dalam dirinya.

Nasution (2005: 57-73) berpendapat holong dan domu tumbuh dari lubuk hati dan dengan pemikiran yang dalam, masyarakat yang didasari oleh rasa holong akan menimbulk

Gambar

Gambar 1 Bagan Dialogue Model Keterkaitan Antara Pembuat Teks, Penikmat/ Penerima Teks, Subjek, dan  Objek Yang Diacu
Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin
Gambar 3. Perbandingan Pemahaman Leksikon Tumbuhan Pada Setiap Kecamatan di Padangsidimpuan
Gambar 4. Persentase Penyusutan Pemahaman remaja di Padangsidimpuan terhadap Leksikon Tumbuhan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan kajian tentang Tor-tor Manilpokkon Hasaya dalam Upacara Adat Horja Godang Pada Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan Terhadap Bentuk

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan makna simbolik tari Andun dalam upacara adat perkawinan pada masyarakat kecamatan Kota Manna Kabupaten Bengkulu

pesta adat perkawinan yang merupakan bagian dari adat budaya Tapanuli Selatan. Pakaian adat ini memiliki ciri khas

Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahwa tradisi berbalas pantun selalu digunakan pada upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Kecamatan Meral

Tradisi tersebut merupakan rangkaian upacara adat yang masih hidup dan berkembang pada etnik Melayu Panai di Labuhanbatu Sumatera Utara.. Pesatnya arus balik budaya global

Tradisi ini juga adalah hasil dari kesepakatan yang tidak tertulis itu sebenarnya sudah ada pada surat tumbaga holing (di dalam jiwa masyarakat adat) dalam menjalani

Tema-tema Psikologis dalam tradisi Marosong-osong pada pasangan pernikahan pemula dalam masyarakat perantau Tapanuli Selatan di Pekanbaru.. Yogyakarta: Program Studi

leksikal yang khas dalam tuturan upacara perkawinan masyarakat Tapanuli. Selatan ini menunjukkan bagaimana pemilihan kata atas