• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Daerah Irigasi Aek Riman Dalam Pengembangan Wilayah di Kecamatan Tara Bintang Kabupaten Humbang Hasundutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Daerah Irigasi Aek Riman Dalam Pengembangan Wilayah di Kecamatan Tara Bintang Kabupaten Humbang Hasundutan"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otonomi daerah yang telah digulirkan sejak tahun 2001 memotivasi daerah untuk berusaha mencukupi kebutuhan daerahnya tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat. Sejalan dengan hal itu pemerintah daerah mulai memiliki kewenangan khusus dalam mengatur rumah tangganya secara mandiri, termasuk pelaksanaan pemerintahan, pengambilan keputusan tentang pembangunan serta penggalian potensi dan pemanfaatan sumber daya yang ada.

Untuk menuju kemandirian sebagai daerah otonom tersebut, pemerintah daerah harus mampu menggali semua potensi yang dimilikinya. Pada tahap awal, pemerintah kabupaten atau kota harus mampu mengidentifikasi tiga pilar pengembangan wilayah yang dimilikinya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut harus diramu sedemikian rupa sehingga sumber daya manusia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dengan teknologi yang dimilikinya. Pada fase berikutnya daerah dapat mengembangkan potensi tersebut menjadi berbagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai tambah (value added) dan berdaya saing tinggi.

(2)

sangat penting (Kodoatie, 2002). Air juga sangat diperlukan dalam pembangunan hampir di semua sektor, dari sektor pertanian dan perikanan, sarana dan prasarana, lingkungan sampai dengan pariwisata. Air dapat berguna sebagai air baku untuk air minum, air untuk irigasi, air untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, air untuk kebutuhan industri maupun air yang digunakan untuk keperluan lain seperti pemancingan dan kolam. Keberlanjutan sumber daya air ini perlu dijaga mengingat manfaatnya yang sangat penting dalam kehidupan dan pembangunan.

Indonesia merupakan negara agraris dan pembangunan di bidang pertanian

menjadi prioritas utama. Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan

komitmen tinggi terhadap pembangunan ketahanan pangan sebagai komponen

strategis dalam pembangunan nasional. UU No.7 tahun 1996 tentang pangan

menyatakan bahwa perwujudan ketahanan pangan merupakan kewajiban pemerintah

bersama masyarakat (Partowijoto, 2003). Ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang

cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman dan merata, serta terjangkau.

Berbagai cara telah dilakukan dalam rangka pembangunan di bidang pertanian

untuk dapat meningkatkan produksi pangan antara lain dengan ekstensifikasi yaitu

usaha peningkatan produksi pangan dengan meluaskan areal tanam, dan intensifikasi

yaitu usaha peningkatan produksi pangan dengan cara-cara yang intensif pada lahan

yang sudah ada, antara lain dengan penggunaan bibit unggul, pemberian pupuk yang

(3)

Pembangunan saluran irigasi untuk menunjang penyediaan bahan pangan

nasional sangat diperlukan, sehingga ketersediaan air di lahan akan terpenuhi

walaupun lahan tersebut berada jauh dari sumber air permukaan (sungai). Hal

tersebut tidak terlepas dari usaha teknik irigasi yaitu memberikan air dengan kondisi

tepat mutu, tepat ruang dan tepat waktu dengan cara yang efektif dan ekonomis

(Sudjarwadi, 1990). Kontribusi prasarana dan sarana irigasi terhadap ketahanan

pangan selama ini cukup besar yaitu sebanyak 84 persen produksi beras nasional

bersumber dari daerah irigasi (Hasan, 2005).

Perlunya alokasi sumberdaya air (irigasi) pada lahan sawah terkait dengan

kinerja pengelolaan air irigasi pada level usahatani yang masih jauh dari optimal,

bahkan cenderung masih boros, sementara itu kehilangan air yang terjadi di saluran

irigasi juga sulit di tekan. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama

rendahnya realisasi areal tanam dan panen padi pada musim tanam pertama dan

terlebih pada musim tanam kedua, yang bermuara pada rendahnya perolehan produksi

(Fagi, 2002). Dari hasil penelitian Saptana dkk (2001) terungkap bahwa salah satu

simpul kritis dalam pengelolaan air irigasi mencakup 8 aspek, salah satunya adalah

sistem jaringan irigasi.

Keberadaan jaringan irigasi dalam hubungannya dengan upaya peningkatan

produktivitas tanaman pangan khususnya padi sawah telah menjadi pembahasan

berbagai pakar pertanian. Pentingnya jaringan irigasi ini ditunjukkan pula dengan

terbitnya Peraturan Pemerintah (PP), antara lain PP No 77/2001 yang diperbaharui

(4)

Irigasi bagi tanaman padi berfungsi sebagai penyedia air yang cukup dan

stabil untuk menjamin produksi padi. Luas tanah atau sawah di dalam daerah

pengairan di bagi – bagi sedemikian rupa sehingga memudahkan pembagian airnya.

Adapun cara pembagiannya tergantung pada tujuan pengairan itu dan kebutuhan air

untuk pertanian. Air yang di salurkan ke sawah melalui sistem jaringan yang terdiri

atas saluran – saluran air denganbangunan pengendali. Kapasitas irigasi dalam

kaitanya dengan ketersediaan air untuk tanaman padi dapat dikaji melalui

permasalahan irigasi, dan faktor – faktor yang mempengaruhi terhadap pengelolaan

air irigasi. Ketersediaan air irigasi untuk tanaman padi sawah banyak di pengaruhi

oleh beberapa faktor kondisi tanah, jenis tanaman, iklim, topografi, sosial, ekonomi

dan budaya masyarakat.

Tanaman padi merupakan tanaman yang banyak membutuhkan air, khususnya

pada saat tumbuh mereka harus selalu tergenangi air. Agar produktivitas padi dapat

efektif dalam satu satuan luas lahan, maka dibutuhkan suplay air yang cukup melaui

irigasi. Irigasi merupakan prasarana untuk meningkatkan produktifitas lahan dan

meningkatkan intensitas panen per tahun. Tersedianya air irigasi yang cukup

terkontrol merupakan input untuk meningkatkan produksi padi.

Mengingat begitu pentingnya irigasi maka kebijaksanaan pemerintah dalam

pembangunan pengairan harus diikuti dengan perluasan jaringan irigasi.

Pembangunan dan rehabilitas jaringan irigasi perlu ditingkatkan untuk memelihara

tetap berfungsinya sumber air dan jaringan irigasi bagi pertanian. Dalam rangka

(5)

pangan khususnya beras, salah satu upaya pemerintah Indonesia adalah menempatkan

pembangunan di sektor irigasi.

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu penyangga pangan di

wilayah provinsi Sumatera Utara dengan luas baku sawah 20.259,5 Ha. Keseluruhan

Daerah Irigasi yang ada berjumlah 144 buah, dengan luas areal total adalah 5.516,2

Ha. Di Kecamatan Tara Bintang sendiri terdapat 8 Daerah Irigasi dengan luas baku

sawah 624 Ha dengan irigasi seluas 104 Ha. Dari delapan daerah irigasi di

Kecamatan Tara Bintang, yang terluas adalah Daerah Irigasi Aek Riman dengan luas

113 Ha.

Pembangunan daerah irigasi merupakan upaya Pemerintah Kabupaten

Humbang Hasundutan dalam meningkatkan produksi padi. Produktivitas padi sawah

di Kabupaten Humbang Hasundutan rata-rata sebesar 3,5 – 5 ton/ha/panen, masih

lebih rendah dari potensi produksi varietas unggul sebesar 6 – 8 ton/ha. Daerah

irigasi memungkinkan tersedianya air sepanjang tahun, sehingga pola tanam padi

sawah dapat dilakukan 2 kali dalam setahun. Namun kenyataannya di sebagian besar

daerah irigasi di Kabupaten Humbang Hasundutan, termasuk di Kecamatan Tara

Bintang, pola tanam padi sawah masih 1 kali dalam setahun. Dengan produktivitas

padi yang masih rendah menunjukkan manfaat dari irigasi secara ekonomi masih

rendah, hal ini selanjutnya akan mempengaruhi nilai investasi pemerintah.

Pemanfaatan daerah irigasi yang belum maksimal selanjutnya akan

mempengaruhi pengembangan wilayah di Kecamatan Tara Bintang, dimana sektor

(6)

mata pencaharian utama masyarakat. Selanjutnya akan mepengaruhi perkembangan

ekonomi masyarakat, dimana perkembangan ekonomi masyarakat akan

mempengaruhi ketersediaan ruang/wilayah. Perkembangan ini selanjutnya akan

berdampak pada pemanfaatan daerah irigasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan pengkajian secara ilmiah

terhadap pemanfaatan daerah irigasi Aek Riman dalam pengembangan wilayah di

Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi

permasalahan penelitian ini adalah:

1. Seberapa besar manfaat pengembangan daerah irigasi Aek Riman terhadap

peningkatan produksi padi sawah untuk pengembangan wilayah di Kecamatan

Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Bagaimana kelayakan pembangunan daerah irigasi Aek Riman dalam

pengembangan wilayah di Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang

Hasundutan.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian di atas, maka

(7)

1. Untuk menganalisis seberapa besar manfaat pengembangan daerah irigasi Aek

Riman terhadap peningkatan produksi padi sawah untuk pengembangan wilayah di

Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Untuk menganalisis kelayakan pembangunan daerah irigasi Aek Riman dalam

pengembangan wilayah di Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang

Hasundutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Prasarana dan Wilayah (Praswil) Pemerintah

Kabupaten Humbang Hasundutan dalam perencanaan daerah irigasi.

2. Sebagai metode alternatif dalam pengambilan keputusan strategis bagi birokrat

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumber Daya Air

Sumber daya air merupakan bagian dari sumber daya alam yang mempunyai

sifat yang sangat berbeda dengan sumber daya lainnya. Air adalah sumber daya yang

terbaharui, bersifat dinamis mengikuti siklus hidrologi yang secara alamiah

berpindah-pindah serta mengalami perubahan bentuk dan sifat (Kodoatie, 2002).

Terdapat dua sumber daya air yaitu air bawah tanah dan air permukaan tanah. Air

permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah seperti air sungai,

air waduk, air kolam, air dalam sistem irigasi dan sistem drainase serta air yang

keluar dari sumber mata air. Air ini dimanfaatkan untuk berbagai keperluan misalnya

untuk kebutuhan domestik, irigasi dan pertanian, pembangkit listrik, pelayaran di

sungai serta industri dan pariwisata (Kodoatie dan Syarif, 2005).

Sejalan dengan perkembangan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

mengakibatkan terjadi peningkatan pembangunan yang menimbulkan perubahan

fungsi lahan dan berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air serta

meningkatnya daya rusak air (Kodoatie dan Basuki, 2005). Sedangkan kemampuan

alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat

lama (Tambunan dalam Soegijoko dkk, 2005). Untuk itu diperlukan pengelolaan

sumber daya air yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan

(9)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya air tersebut

adalah sebagai berikut (Kodoatie, 2002):

a) Pengelolaan sumber daya air memerlukan pendekatan yang integratif,

komprehensif dan holistik yakni hubungan timbal balik antara teknis, sosial dan

ekonomi serta harus berwawasan lingkungan agar terjaga kelestariannya karena

air sebagai bagian dari sumber daya alam merupakan bagian dari ekosistem.

b) Pengelolaan sumber daya air didasarkan pada pendekatan peran serta semua

stakeholder karena air menyangkut semua kehidupan maka air merupakan faktor

yang mempengaruhi jalannya pembangunan berbagai sektor.

c) Pengelolaan sumber daya air melalui ”one river, one plan, one management

system” karena secara alamiah air bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa

mengenal batas politik, sosial, ekonomi maupun batas wilayah administrasi.

d) Pengelolaan sumber daya air didasarkan pada sistem aliran air, karena apapun

yang terjadi di bagian hulu akan berpengaruh terhadap bagian hilir dan tidak

sebaliknya.

Pengelolaan sumber daya air termasuk sumber mata air ini meliputi beberapa

aspek antara lain: pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian (Kodoatie, 2002).

a) Aspek pemanfaatan. Pemanfaatan sumber daya air termasuk sumber mata air ini

biasanya untuk berbagai keperluan misalnya untuk kebutuhan domestik, irigasi

dan pertanian, pembangkit listrik, pelayaran di sungai serta industri dan

(10)

pemanfaatan ini. Setelah terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan

yang tersedia, manusia mulai sadar akan aspek yang lain.

b) Aspek pelestarian. Agar aspek pemanfaatan dapat berkelanjutan maka sumber

daya air perlu dijaga kelestariannya baik dari segi jumlah atau mutunya. Menjaga

daerah tangkapan hujan, menjaga air dari pencemaran limbah merupakan bagian

dari pengelolaan.

c) Aspek pengendalian. Selain memberi manfaat air juga memiliki daya rusak fisik

maupun kimiawi, karena itu tidak boleh dilupakan adalah pengendalian terhadap

daya rusak yang berupa banjir dan pencemaran.

Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari

semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di

dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan

kebutuhan hidupnya. Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat

pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat

pula sebagai implikasi pertumbuhan populasi dan industrialisasi. Sumberdaya air

yang dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia paling dominan berasal dari air hujan.

Menurut Unesco (2003) disebutkan bahwa lebih dari 54% runoff yang dapat

dimanfaatkan, digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Apabila tingkat

kebutuhan semakin lama semakin tinggi, maka dikuatirkan ketersediaan air tidak

mencukupi. Pada saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 2 milyar manusia per hari

terkena dampak kekurangan air di lebih dari 40 negara di dunia; 1,1 milyar tidak

(11)

layak (WHO/UNICEF, 2000). Implikasinya jelas pada munculnya penyakit,

kekurangan makanan, konflik kepentingan antara penggunaan dan keterbatasan air

dalam aktivitas-aktivitas produksi dan kebutuhan sehari-hari.

Meningkatnya konsentrasi manusia dan meningkatnya infrastruktur pada

daerah rawan seperti pada dataran banjir dan daerah pesisir serta pada

daerah-daerah lahan marginal mengindikasikan bahwa terdapat banyak populasi yang hidup

dalam tingkat resiko tinggi (Abramotivz, 2001). Banjir merupakan bencana alam

terbesar berkaitan dengan air. Fenomena bencana banjir merupakan salah satu

dampak dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Banjir terjadi

karena beberapa hal; pertama, terjadinya penggundulan hutan dan rusaknya kawasan

resapan air di daerah hulu. Seperti diketahui bahwa daerah hulu merupakan kawasan

resapan yang berfungsi untuk menahan air hujan yang turun agar tidak langsung

menjadi aliran permukaan dan melaju ke daerah hilir, melainkan ditahan sementara

dan sebagian airnya dapat diresapkan menjadi cadangan air tanah yang memberikan

kemanfaatan besar terhadap kehidupan ekologi dan ekosistem (tidak hanya manusia).

Tindakan penebangan hutan dan perusakan daerah hulu tidak terlepas dari sebuah

alasan untuk memenuhi kebutuhan materialitas manusia.

Kedua, beralih fungsinya penggunaan lahan di daerah hulu dari kawasan

pertanian dan budidaya menjadi kawasan permukiman dan kawasan terbangun juga

mengakibatkan aliran permukaan yang lebih besar ketika hujan turun. Aliran

permukaan yang besar akan menyebabkan terjadinya banjir apabila kapasitas daya

(12)

permukiman juga tidak dapat dielakkan lagi seiring dengan perkembangan

pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Ketiga, banjir juga disebabkan oleh terjadinya pendangkalan di saluran sungai

dan drainase akibat terjadinya erosi di daerah hulu. Dengan demikian kapasitas daya

tampung menjadi berkurang dan air diluapkan ke berbagai tempat sebagai banjir.

Keempat, banjir juga tidak luput dari perilaku manusia dan dampak dari

pembangunan fisik perkotaan. Banyak kawasan terbuka menjadi kawasan terbangun.

Daerah terbuka yang dulunya bermanfaat menjadi kawasan peresapan sekarang

semakin berkurang. Implikasinya tidak ada lagi atau sangat sedikit sekali air hujan

yang dapat diresapkan kedalam tanah sebagai cadangan air tanah, dan sebagian besar

di alirkan sebagai aliran permukaan sehingga kapasitas saluran drainase terutama di

kawasan perkotaan menjadi tidak memadai. Kelima, tidak adanya kesadaran dan

kepekaan lingkungan dari perilaku masyarakat. Kegiatan pembuangan sampah dan

limbah padat industri menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyumbatan aliran

sungai (Marfai, 2005).

Selain banjir, kekeringan juga merupakan bencana alam terkait dengan

sumberdaya air. Kekurangan sumberdaya air dalam kurun waktu yang lama akan

mengakibatkan kekeringan. Kekeringan dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1)

Kekeringan meteorologis yaitu keadaan suatu wilayah pada saat-saat tertentu terjadi

kekurangan (defisit) air karena hujan lebih kecil daripada nilai evapotranspirasinya

(penguapan air). Di wilayah ini terjadi kekurangan air pada musim kemarau sehingga

(13)

Hanya saja, penyimpangan musim masih dapat terjadi. Penyimpangan inilah yang

sering menimbulkan bencana kekeringan. 2) Kekeringan hidrologis merupakan gejala

menurunnya cadangan air (debit) sungai, waduk-waduk dan danau serta menurunnya

permukaan air tanah sebagai dampak dari kejadian kekeringan. Keberadaan hutan

perlu dipertahankan dan dilestarikan agar dapat menyimpan air cukup. Dan 3)

Kekeringan pertanian, kekeringan muncul karena kadar lengas tanah di bawah titik

layu permanen dan dikatakan tanaman telah mengalami cekaman air (Bakosurtanal

dan PSBA UGM, 2002). Implikasi dari bencana kekeringan terhadap pertanian adalah

berupa kegagalan panen.

2.2. Pembangunan Jaringan Irigasi

Irigasi adalah upaya pemberian air dalam bentuk lengas (kelembaban) tanah

sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang bagi tanaman. Pengertian lain

dari irigasi adalah penambahan kekurangan kadar air tanah secara buatan yakni

dengan memberikan air secara sistematis pada tanah yang diolah. Kebutuhan air

irigasi untuk pertumbuhan tergantung pada banyaknya atau tingkat pemakaian dan

efiensi jaringan irigasi yang ada (Najiyati, 2003).

Jaringan irigasi merupakan prasarana irigasi yang terdiri atas bangunan dan

saluran air beserta perlengkapnya. Sistem jaringan irigasi dapat dibedakan antara

jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi tersier. Jaringan irigasi utama meliputi

(14)

pembuang. dan banguan pengukur. Jaringan irigasi tersier merupakan jaringan irigasi

di petak tersier, beserta bangunan pelengkap lainnya yang terdapat di petak tersier.

Berdasarkan letak dan fungsinya saluran irigasi teknis dibedakan menjadi

(Najiyati, 2003):

(a) Saluran Primer (Saluran Induk) yaitu saluran yang lansung berhubungan dengan

saluran bendungan yang fungsinya untuk menyalurkan air dari waduk ke saluran

lebih kecil.

(b) Saluran Sekunder yaitu cabang dari saluran primer yang membagi saluran induk

ke dalam saluran yang lebih kecil (tersier).

(c) Saluran Tersier yaitu cabang dari saluran sekunder yang langsung berhubungan

dengan lahan atau menyalurkan air ke saluran – saluran kwarter.

(d) Saluran kwarter yaitu cabang dari saluran tersier dan berhubungan langsung

dengan lahan pertanian.

Irigasi merupakan bangunan air yang berupa saluran dan berfungsi

menyalurkan air dari Bendung ke petak secara periodik, guna mencukupi kebutuhan

air bagi tanaman di petak sawah. Peranan irigasi dalam memenuhi kebutuhan air

untuk tanaman padi dapat di ketahui melalui suatu kajian yang cermat pada masalah –

masalah tentang irigasi, dengan memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi

pengelolaan kegiatan penyediaan dan pemberian air secara efektif dan efisien.

Peranan irigasi bagi suatu lahan dapat dijabarkan sebagai berikut :

(a) Menambah air ke dalam tanah untuk menyediakan cairan yang diperlukan untuk

(15)

(b) Menyediakan jaminan panen pada musim kemarau yang pendek.

(c) Mendinginkan tanah dan atmosfer, sehingga menimbulkan lingkungan yang baik

untuk pertumbuhan tanaman.

(d) Mengurangi bahaya pembekuan.

(e) Mencuci atau mengurangi garam dalam tanah.

(f) Mengurangi bahaya erosi.

(g) Melunakan pembajakan dan pengumpalan tanah.

(h) Memperlambat pembentukan tunas dengan perbandingan karena penguapan

(Hansen, 2004).

Di dalam teknologi usahatani terutama padi sawah, peran irigasi sangat

strategis. Namun perannya tersebut akan tergantung juga pada dukungan teknologi

lainnya seperti penggunaan benih unggul bermutu tinggi, pengolahan tanah yang

sempurna, pemupukan yang berimbang dan pengendalian hama-penyakit. Dengan

demikian peran irigasi bukan satu-satunya unsur teknologi yang bisa mendukung

peningkatan produktivitas.

Terjadinya interaksi kegiatan irigasi dengan teknologi lainnya dalam

mendukung produktivitas usahatani, menyebabkan peran irigasi tersebut tidak secara

eksplisit dapat diidentifikasi dampaknya terhadap peningkatan produksi. Hal tersebut,

secara empiris di lapangan ditunjukkan oleh keragaan perolehan produktivitas

usahatani padi. Hasil penelitian Dewi dan Hendayana (2007) di Daerah Irigasi

Pengasih Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, bahwa dalam periode tahun 2002 –

(16)

yakni dari 5,68 ton per hektar pada tahun 2002 menjadi 5,70 ton per hektar pada

tahun 2003 atau meningkat sekitar 0,02 ton per hektar. Disisi lain dari analisis irigasi

ditunjukkan bahwa dalam peride tersebut terjadi penurunan efisiensi pengelolaan

jaringan irigasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara

meningkatnya produktivitas usahatani padi dengan penurunan efisiensi pengelolaan

jaringan irigasi. Peningkatan produktivitas usahatani, sejalan dengan meningkatnya

efektivitas pengelolaan air, namun hal ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut

keterkaitannya.

Kualitas saluran irigasi adalah sangat penting bagi memenuhi air di lahan

persawahan. Saluran irigasi yang baik akan dapat memenuhi kebutuhan air pada

lahan persawahan. Kualitas saluran juga berkaitan dengan material binaan pada

saluran. Material yang banyak di gunakan untuk lapisan pada saluran berupa beton,

pasangan batu, pasangan bata, campuran tanah dan bentonite lempung alam dengan

permeabilitas rendah dengan berbagai karet, plastik susunan aspal. Air irigasi yang

masuk ke lahan pertanian dapat diketahui dengan cara menghitung kapasitas saluran

irigasi atau debit air irigasi, dengan maksud agar pembagian air dalam suatu jaringan

irigasi dapat dilaksanakan secara adil dan merata sehingga air yang dibutuhkan dapat

mencukupi.

Pembangunan jaringan irigasi memerlukan dana cukup besar, yang hanya

mampu disediakan oleh pemerintah. Secara umum, penyediaan anggaran/budget oleh

pemerintah untuk pembangunan diharapkan akan memberikan pengaruh (dampak)

(17)

(1) Peningkatan produksi dan pendapatan, (2) Alokasi sumberdaya, (3) Efisiensi

ekonomi, dan (4) Constraint on the economy. Dari segi ekonomi, air (irigasi)

merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usahatani padi sawah, disamping

lahan, modal (benih, pupuk, dan pestisida), tenaga kerja, dan manajemen. Secara

agronomis, benih padi varietas unggul sangat responsif terhadap pemupukan, dengan

syarat apabila tersedia air yang cukup. Hal ini berarti, tersedianya air yang cukup

akan mampu meningkatkan produktivitas padi sawah. Peningkatan produktivitas

terjadi apabila setiap satu satuan input variabel akan menghasilkan output yang lebih

tinggi. Peningkatan produktivitas diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan

petani padi sawah, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan

petani dan keluarganya, serta masyarakat desa pada umumnya.

2.3. Pengembangan Wilayah

Menurut Alkadri (2001) pengembangan adalah kemampuan yang ditentukan

oleh apa yang dapat dilakukan dengan apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas

hidup. Kata pengembangan identik dengan keinginan menuju perbaikan kondisi

disertai kemampuan untuk mewujudkannya. Pendapat lain bahwa pengembangan

adalah suatu proses untuk mengubah potensi yang terbatas sehingga mempengaruhi

timbulnya potensi yang baru, dalam hal ini termasuk mencari peluang yang ada dalam

kelompok-kelompok yang berbeda yang tidak semuanya mempunyai potensi yang

(18)

Pengembangan apabila dikaitkan dengan kewilayahan (pengembangan

wilayah) dapat didefinisikan sebagai usaha mengawinkan secara harmonis sumber

daya alam, sumber daya manusia dan teknologi dengan memperhitungkan daya

tampung lingkungan itu sendiri. Prod’homme dalam Alkadri (2001) mendefinisikan

pengembangan wilayah sebagai program yang menyeluruh dan terpadu dari semua

kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan kontribusinya pada

pembangunan suatu wilayah.

Pendapat lain menyebutkan pengembangan wilayah adalah upaya untuk

memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan

menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah

sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang berbeda

antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah

harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang

bersangkutan (Riyadi dalam Ambardi, 2002).

Prinsip pengembangan wilayah berupa berbagai upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat setempat, dengan tidak mengesampingkan pemberdayaan

masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan serta

teknologi yang dimiliki dan dikuasai (Alkadri, 2001). Tujuan pengembangan wilayah

atau kawasan adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya

yang tersebar di suatu wilayah atau kawasan guna mewujudkan pembangunan yang

diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan sektoral

(19)

serta pembangunan berkelanjutan dan pengembangan wilayah diupayakan saling

terkait sesuai dengan potensi wilayah.

Kata kunci dari pengembangan wilayah atau kawasan adalah berupa program

yang menyeluruh dan terpadu, sumber daya yang tersedia dan kontribusinya terhadap

wilayah serta keberadan wilayah itu sendiri. Wilayah akan dapat berkembang apabila

mampu memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi

sehingga upaya pengembangan yang dilaksanakan dalam suatu wilayah mempunyai

karakteristik dibandingkan wilayah lain. Prioritas utama sebuah kawasan atau

wilayah dapat dikembangkan adalah kawasan yang mempunyai potensi untuk cepat

tumbuh serta mempunyai sektor yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi

sekitar (Alkadri, 2001).

Berdasarkan proses historis yang berkembang, ada dua konsep pengembangan

wilayah (Stohr dan Taylor, 1981 dalam Soetomo, 2002):

a) Paradigma development from above/model pembangunan dari atas, yang

menciptakan strategi pengembangan wilayah melalui pusat-pusat pertumbuhan

(growth pole atau growth center).

b) Paradigma development from below/model pembangunan dari bawah yang

menyertakan seluruh rakyat, memperkuat pengusaha kecil dan menengah yang

berarti memperluas aktor ekonomi nasional ke dalam masyarakat, artinya

kekuatan ekonomi yang berakar pada masyarakat luas.

Sedangkan pengembangan wilayah sangat dipengaruhi oleh

(20)

a) Sumber daya lokal. Merupakan kekuatan alam yang dimiliki wilayah tersebut

seperti lahan pertanian, hutan, bahan galian, tambang dan sebagainya. Sumber

daya lokal harus dikembangkan untuk dapat meningkatkan daya saing wilayah

tersebut.

b) Pasar. Merupakan tempat memasarkan produk yang dihasilkan suatu wilayah

sehingga wilayah dapat berkembang.

c) Tenaga kerja. Tenaga kerja berperan dalam pengembangan wilayah sebagai

pengolah sumber daya yang ada.

d) Investasi. Semua kegiatan dalam pengembangan wilayah tidak terlepas dari

adanya investasi modal. Investasi akan masuk ke dalam suatu wilayah yang

memiliki kondisi kondusif bagi penanaman modal.

e) Kemampuan pemerintah. Pemerintah merupakan elemen pengarah

pengembangan wilayah. Pemerintah yang berkapasitas akan dapat mewujudkan

pengembangan wilayah yang efisien karena sifatnya sebagai katalisator

pembangunan.

f) Transportasi dan Komunikasi. Transportasi dan komunikasi berperan sebagai

media pendukung yang menghubungkan wilayah satu dengan wilayah lainnya.

Interaksi antara wilayah seperti aliran barang, jasa dan informasi akan sangat

berpengaruh bagi tumbuh kembangnya suatu wilayah.

g) Teknologi. Kemampuan teknologi berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber

daya wilayah melalui peningkatan output produksi dan keefektifan kinerja

(21)

Pengembangan wilayah adalah upaya pembangunan dalam suatu wilayah

administratif atau kawasan tertentu agar tercapai kesejahteraaan (people property)

melalui pemanfaatan peluang-peluang dan pemanfaatan sumber daya secara optimal,

efisien, sinergi dan berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan

ekonomi, penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan dan penyediaan

prasarana dan sarana. Pada dasarnya komponen utama untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat dalam suatu wilayah adalah kemajuan ekonomi wilayah bersangkutan.

Kemajuan ekonomi perdesaan sangat terkait dengan kondisi sumber daya alam

(lahan), kondisi sumber daya manusia (tingkat pendidikan), dan prasarana jaringan

jalan untuk menunjang distribusi hasil komoditi perdesaan untuk dipasarkan. Tingkat

pendapatan suatu kawasan tergantung dari besar kecilnya kemampuan sektor-sektor

dalam meningkatkan produksinya. Dengan meningkatnya produksi sektor maka hasil

(balas jasa) yang diterima akan meningkat pula, sehingga peningkatan tersebut akan

mendorong meningkatnya pendapatan.

Pengembangan wilayah pedesaan dilakukan dengan mengintegrasikan semua

unsur yang terkait dengan bidang pembangunan pertanian. Pengembangan wilayah

merupakan strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan

dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan

peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang

dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan, baik secara internal maupun

(22)

Faktor internal adalah berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan

sumber daya teknologi, sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang dan

ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah lain. Pada

umumnya pengembangan wilayah pedesaan mengacu pada perubahan produktivitas

wilayah, yang diukur dengan peningkatan populasi penduduk, kesempatan kerja,

tingkat pendapatan, dan nilai tambah industri pengolah. Selain definisi ekonomi,

pengembangan wilayah juga mengacu pada pengembangan sosial, berupa kesehatan,

pendidikan, kualitas lingkungan, kesejahteraan dan lainnya.

Menurut Rustiadi, dkk (2011), bahwa terdapat tiga indikator perkembangan

wilayah, yaitu berdasarkan tujuan pembangunan, berdasarkan kapasitas sumber daya

pembangunan, dan berdasarkan proses pembangunan. Berdasarkan tujuan

pembangunan, indikator operasional pengembangan wilayah diantaranya

produktivitas dan kelayakan ekonomi. Berdasarkan kapasitas sumber daya

pembangunan, indikator operasional pengembangan wilayah diantaranya

keterampilan dan pendapatan/produktivitas (SDM), serta dampak (SDA). Selanjutnya

berdasarkan proses pembangunan, indikator operasional pengembangan wilayah

diantaranya benefit dan total volume produksi.

Dalam penelitian ini, yang menjadi indikator pengembangan wilayah

dihubungkan dengan pembangunan daerah irigasi adalah peningkatan produksi padi

(23)

2.4. Kelayakan Ekonomi Wilayah

Pengalokasian sumberdaya termasuk sumberdaya finansial (modal)

merupakan jembatan yang dapat menciptakan jalannya roda perekonomian yang lebih

mengarah pada tujuan-tujuan yang paling mendasar dari pembangunan itu sendiri

misalnya: pengentasan kemiskinan, semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi

yang lebih sehat, dan menurunnya tingkat ketidakmerataan pendapatan. Dalam situasi

serba terbatas, maka pengalokasian sumberdaya (anggaran pembangunan) kepada

suatu sector pembangunan (misalnya: industri) bisa mengurangi ketersediaan

anggaran pembangunan bagi sektor lain (misalnya: pertanian). Oleh karena itu untuk

mengelola arah pembangunan kepada satu tujuan (misalnya: distribusi pendapatan

yang lebih baik) dan tidak mengorbankan tujuan pembangunan lainnya (misalnya:

pertumbuhan ekonomi yang cepat) diperlukan kebijakan-kebijakan terbaik dalam

alokasi sumberdaya (anggaran pembangunan).

Dengan demikian apa yang dinamakan trade-off itu akan selalu ada. Suatu

wilayah pada suatu saat dapat berlebih dalam satu hal tapi kekurangan dalam hal lain.

Dia tidak pernah berlebihan dalam segala hal pada saat yang bersarnaan. Jadi proses

memilih di antara berbagai alternatif yang saling berkompetisi dalam menggunakan

sumberdaya pembangunan itu akan selalu dihadapi. Pilihan akhir haruslah dapat

menjamin bahwa sumberdaya yang terbatas itu dialokasikan kepada alternatif yang

paling baik.

Penyajian proses pemilihan tersebut diatas disebut dengan analisis

(24)

perencana wilayah adalah mengevaluasi proyek yang diusulkan oleh berbagai pihak,

termasuk proyek-proyek yang akan dibangun oleh pemerintah. Khusus untuk proyek

yang akan dibangun oleh pemerintah, evaluasi bertujuan untuk penentuan skala

prioritas pembangunan. Berbagai metode yang dapat digunakan untuk melakukan

evaluasi proyek, diantaranya adalah kelayakan proyek.

Pada prinsipnya, dalam suatu analisis proyek dilakukan pengujian terhadap

sejauh mana manfaat dan biaya dari suatu pilihan yang ke:mudian keduanya

dinyatakan dalam suaru sebutan senama. Bila suatu proyek manfaatnya melebihi

biayanya maka proyek tersebut bisa diterima; jika tidak maka ia harus ditolak.

Dengan demikian analisis manfaat dan biaya merupakan bagian integral yang

terpenting dalam menentukan keputusan penerimaan atau penolakan terhadap suatu

pilihan (Rustiadi, dkk, 2011).

Manfaat didefinisikan relatif terhadap pengaruhnya pada tujuan-tujuan pokok

pembangunan. Biaya-biaya didefinisikan relatif terhadap biaya oportunitas. Biaya

oportunitas adalah manfaat yang dikorbankan dari kesempatan investasi terbaik yang

selama ini dilakukan (foregone benefit) dengan mengalihkan pengalokasian

sumberdaya tersebut pada investasi yang baru. Pada gilirannya foregone benefts

didefinisikan relatif terhadap pengaruhnya pada tujuan-tujuan pokok pembangunan.

Pendefinisian atas manfaat dan biaya sedemikian ini adalah suatu upaya agar

keputusan penerimaan terhadap suatu pilihan berimplikasi bahwa tidak ada alternatif

lain yang dapat menjamin hasil yang lebih memuaskan bagi kepentingan

(25)

Manfaat dan biaya-biaya dapat dipilah atas dasar perbedaan analisisnya, yakni

apakah berdasarkan pada analisis ekonomi ataukah analisis finansial. Analisis

ekonomi dari suatu proyek formatnya mirip dengan analisis finansialnya. Tetapi di

dalamnya ada perbedaan konsep yang mendasar antara keuntungan finansial dengan

keuntungan sosial-ekonominya.

Aspek finansial pada dasarnya terutama menyangkut perbandingan antara

pengeluaran dengan pendapatan (revenue earning) dari industri atau aktivitas usaha

ekonomi, serta waktu didapatkannya hasil (returns). Untuk mengetahui secara

komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya suatu aktivitas usaha atau proyek

maka dikembangkan berbagai kriteria yang pada dasarnya membandingkan antara

biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh suatu

industri menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama

umur usaha atau industri tersebut.

Cara penilaian industri jangka panjang yang paling banyak diterima dengan

menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau Analisis Aliran Kas yang

didiskonto (Gittinger, l986). Analisis DCF mempunyai keunggulan, yaitu bahwa uang

mempunyai nilai waktu, yang merupakan ciri-ciri yang membedakannya dari teknik

lain. Ciri pokok dari analisis DCF adalah direncanakan untuk menilai harga suatu

industri dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran

pembayaran tunai (cash flow). Dimana biaya dipandang sebagai negative cash flow,

sedangkan pendapatan/penerimaan sebagai positive cash flow. Suatu asumsi kunci

(26)

yang sama di masa yang akan datang. Nilai uang untuk waktu mendatang yang

dihitung dengan bunga adalah nilai uang yang direncanakan, dimana proses

perhitungannya disebut compounding (pemajemukan). Sedangkan faktor untuk

mengkonversi nilai masa depan ke nilai sekarang disebut discount rate dan prosesnya

disebut discounting. Sehingga discount rate terjadi dimana nilai sekarang dari biaya

dan manfaat akan sama dengan Internal Rate of Return (IRR). Oleh karena itu dalam

menilai suatu usaha atau industri menggunakan Discounted Cash Flow Analysis

(Rustiadi, dkk, 2011).

Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dapat direncanakan dan

dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan menggunakan sumber-sumber

untuk mendapatkan manfaat. Dalam unit usaha, sumber-sumber yang digunakan

tersebut dapat berupa barang-barang modal, bahan baku, tenaga kerja, dan waktu.

Sumber-sumber tersebut sebagian atau seluruhnya dapat dianggap sebagai barang

konsumsi yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh

manfaat (Gittinger, 1986).

Salah satu cara untuk melihat kelayakan finansial adalah dengan metode cash

flow analysis. Alasan dari penggunaan metode ini adalah adanya pengaruh waktu

terhadap nilai uang selama umur kegiatan usaha. Cash flow analysis dilakukan

setelah komponen-komponennya ditentukan dan diperoleh nilainya.

Komponen-komponen tersebut dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu penerimaan dan manfaat

(beneft; inflow) dan pengeluaran atau biaya (cost; outflow). Selisih antara keduanya

(27)

kemudian dijadikan nilai sekarang (present value) dengan mengalikannya dengan

discount rate (tingkat diskonto) yang berlaku.

Tingkat diskonto yang dipakai untuk mencari present value dari benefit atau

cost harus senilai dengan opportunity cost of capital atau biaya marginal kegiatan

usaha tersebut dari sudut pandang pemilik modal atau peserta usaha (Gittinger 1986).

Dengan demikian tingkat diskonto berlaku untuk setiap kegiatan usaha tidak seragam

nilainya. Biasanya tingkat tersebut merupakan tingkat usaha untuk meminjam modal.

Untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial dan ekonomi, dapat digunakan

lima kriteria investasi, yaitu Payback Period, Beneft Cost Ratio (BCR), Net Present

Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR) dan lnternal Rate of Return (IRR)

(Rustiadi, dkk, 2011). Dalam penelitian akan digunakan tiga criteria, yaitu: Net

Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR) dan lnternal Rate of Return

(IRR).

(1) Net Present Value (NPV)

NPV merupakan nilai sekarang dari suatu usaha atau industri dikurangi

dengan biaya sekarang dari suatu industri pada tahun tertentu. Seleksi formal

terhadap NPV untuk mengukur nilai suatu usaha atau industri bila NPV usaha atau

industri bernilai positif bila didiskonto pada Social Opportunity Cost of Capital.

Dimana bila nilai NPV nol (positif) maka industry tersebut diprioritaskan

pelaksanaannya. Apabila besarnya NPV sama dengan nol berarti industri tersebut

mengembalikan persis sebesar Social Opportunity Cost of Capital. Sedangkan apabila

(28)

mengindikasikan ada jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan bagi

sumber-sumber yang diperlukan industry.

Net Presnet Value (NPV) menghitung nilai sekarang dari aliran kas yaitu

merupakan selisih antara Present Value (PV) manfaat dan Present Value (PV) biaya.

Nilai bersih sekarang akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika

mempunyai nilai positif. Apabila NPV sama dengan nol, maka usaha tersebut tidak

untung dan tidak rugi (marjinal), sehingga terserah kepada penilaian pengambilan

keputusan dilaksanakan atau tidak. Apabila NPV kurang dari nol, maka usaha

tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan. Rumus kriteria investasi

ini adalah sebagai berikut (Rustiadi, dkk, 2011):

Bt : manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha atau proyek pada time series (tahun, bulan, dan sebagainya) ke-t (Rp)

Ct : biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proyek pada time series ke-t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat (pembelian peralatan, tanah, konstruksi dan sebagainya) (Rp)

i : merupakan tingkat suku bunga yang relevan t : periode (1,2,3,...,n)

(2) Benefit Cost Ratio (BC ratio)

BC ratio dipakai secara eksklusif untuk mengukur manfaat sosial dalam

analisis ekonomi juga dipakai untuk analisis investasi private. BCR sendiri

merupakan cara evaluasi usaha atau industry dengan membandingkan nilai sekarang

(29)

biaya usaha atau kegiatan. BCR diperoleh dengan cara membagi jumlah hasil

diskonto pendapatan dengan jumlah hasil diskonto biaya. Kriteria yang digunakan

adalah jika BCR > 1 berarti NPV > 0 dan memberikan tanda "layak" untuk suatu

usulan kegiatan (Tarigan, 2010).

Net BCR adalah perbandingan antara Present Value manfaat (positif) dengan

Present Value biaya (negatif). Dengan demikian Beneft Cost Ratio merupakan tingkat

besarnya tambahan manfaat setiap penambahan satu satuan rupiah biaya yang

digunakan. BCR akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika

mempunyai nilai lebih besar dari satul. Apabila BCR sama dengan satu, maka usaha

tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal), sehingga terserah kepada penilaian

pengambil keputusan. Apabila BCR kurang dari satu, maka usaha tersebut merugikan

maka tidak layak dilaksanakan. Secara sistematis BC ratio dapat ditulis sebagai

(30)

(3) Internal Rate of Return (IRR)

Cara lain menggunakan aliran kas yang terdiskonto untuk menilai suatu usaha

atau kegiatan adalah dengan menentukan discount rate dimana NPV aliran kas sama

dengan nol, dan beneft cost ratio sama dengan satu. Internal Rate of Retun (IRR)

adalah nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol.

Dengan demikian IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh

kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan. IRR merupakan tingkat

suku bunga yang membuat usaha atau industri akan mengembalikan semua investasi

selama umur usaha atau industri. Suatu usaha atau industri akan diterima bila

IRR-nya lebih besar dari opportunity cost of capital atau lebih besar dari suku bunga yang

didiskonto yang telah ditetapkan, dan pada kondisi sebaliknya maka industri atau

usaha akan ditolak. Biasanya untuk menghitung besarnya IRR dilakukan dengan trial

and error dengan nilai suku bunga (i) tertentu yang dianggap mendekati nilai IRR

yang benar dan selanjutnya menghitung NPV dari arus pendapatan dan biaya. Jika

nilai IRR lebih kecil dengan nilai suku bunga (i) yang berlaku sebagai social discount

rate, maka NPV usaha atau industry besarnya nol (negatif) artinya usaha atau

industry sebaiknya tidak dilaksanakan (Rustiadi, dkk, 2011).

Secara matematis IRR dapat dihitung sebagai berikut (Tarigan, 2010):

(31)

DfN = Discounting Factor yang digunakan, yang menghasilkan present value negatif.

PVP = Present Value positif PVN = Present Value negative

2.5. Penelitian Sebelumnya

Santosa (2006) melakukan penelitian tentang Pola Pengelolaan Sumber Daya

Air di Sistem Kedung Ombo: Tinjauan Terhadap Aspek Kelembagaan. Kendala

utama yang ditemukan dalam koordinasi antar lembaga dalam pengelolaan sumber

daya air di sistem Waduk Kedung Ombo terutama terkait dengan aspek tindak lanjut

dan kepatuhan. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu sistem dan mekanisme

koordinasi antar lembaga yang lebih adaptif, didukung oleh semua pihak, dan

memiliki kekuatan dalam banyak aspek, mulai dari kekuatan hukum hingga kekuatan

dalam pembiayaan kegiatan. Pola pengelolaan akan lebih tepat dikembangkan dalam

wujud suatu lembaga baru, merujuk pada Draft Revisi PP 25/2000 ada istilah

“Komisi Air”, dan di dalam UU 7/2004 ditemukan istilah “Dewan Sumber Daya

Air”.

Suroso, Nugroho, dan Pamuji (2007) melakukan penelitian dengan judul:

Evaluasi Kinerja Jaringan Irigasi Banjaran Untuk Meningkatkan Efektifitas dan

Efisiensi Pengelolaan Air Irigasi di Daerah Irigasi Banjaran Kabupaten Banyumas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air di sungai Banjaran saat ini

masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di DI Banjaran. Pemanfaatan

(32)

irigasi sangat rendah. Pemakaian air irigasi di daerah hulu cenderung berlebihan dan

pemakaian air irigasi di tengah bahkan di hilir sangat kekurangan air.

Dewi dan Hendayana (2007) melakukan Kajian Efisiensi Dan Efektivitas

Operasional Jaringan Irigasi Mendukung Produktivitas Usahatani Padi Sawah di

Daerah Irigasi Pengasih Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta. Hasil pengkajian

menunjukkan: (a) Daerah irigasi Pengasih mempunyai luas jaringan sekitar 2120 ha,

meliputi 30 desa dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Pengasih (86 ha), Wates

(624 ha), Panjatan (223 ha), Kokap (34 ha) dan Temon (1153 ha); (b) Jumlah

kelompok P3A terangkum ke dalam dua Gabungan P3A (GP3A) yakni GP3A

Pengasih Timur dan GP3A Pengasih Barat dengan luas jaringan masing-masing 716

ha dan 1404 ha; (c) Dalam kurun waktu satu tahun (2002 – 2003) pengelolaan irigasi

di wilayah tersebut menunjukkan adanya penurunan efisiensi teknis dengan indikator

kenaikan PIA, PIR dan PAR masing-masing mencapai 0,76 lt/dt/ha ( 82,6%); 1,11

lt/dt/ha (83,4%) dan 1,11 lt/dt/ha (83,4%), sementara itu dari segi efektivitasnya

meningkat dari 89% pada tahun 2002 menjadi 91% di tahun 2003; (d) Tingkat

efisiensi dan efektivitas operasi jaringan irigasi di lokasi pengkajian masih

berpeluang untuk ditingkatkan kembali melalui upaya peningkatan pengetahuan dan

keterampilan petani pengelola irigasi melalui pelatihan, utamanya menyangkut aspek

perencanaan, implementasi dan monitoring. Peran pemerintah daerah untuk

mendorong instansi terkait berpartisipasi dalam mengelola irigasi, masih tetap

(33)

2.6. Kerangka Berpikir

Pembangunan daerah irigasi Aek Riman merupakan bagian dari pembangunan

pertanian di Kabupaten Humbang Hasundutan. Tujuan dari pembangunan irigasi

tersebut yang paling utama adalah untuk meningkatkan produksi padi sawah. Selain

itu juga akan memperluas areal sawah yang dapat diairi secara intensif. Peningkatan

produksi dan pertambahan luas persawahan akan meningkatan produktivitas padi

sawah di daerah irigasi Aek Riman.

Potensi daerah irigasi Aek Riman akan dikembangkan untuk mampu mengairi

seluruh areal persawahan di kawasan irigasi tersebut. Pembangunan irigasi

membutuhkan biaya yang cukup besar dan hanya dilakukan oleh pemerintah.

Sehubungan dengan investasi tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis manfaat

ekonomis dari upaya pengembangan jaringan irigasi Aek Riman, yang dilihat dari

manfaat ekonomi yang akan diterima oleh petani dan selanjutnya manfaatnya

terhadap pengembangan wilayah.

Secara umum kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah seperti yang

(34)

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian 2.7. Hipotesis

1. Pengembangan daerah irigasi Aek Riman bermanfaat secara signifikan

terhadap peningkatan produksi padi sawah untuk pengembangan wilayah di

Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Pembangunan daerah irigasi Aek Riman dalam pengembangan wilayah di

Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan adalah layak

secara ekonomi.

Daerah Irigasi Aek Riman

Ketersediaan Air

Peningkatan Produksi

Pengembangan Wilayah

Investasi Pemerintah

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Sihombu Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten

Humbang Hasundutan. Penelitian dilakukan mulai bulan April 2011 sampai dengan

bulan Juni 2011.

3.2. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani anggota P3A Uruk

Sihombu, yaitu sebanyak 121 orang. Sampel ditentukan sebanyak 30% dari populasi,

sehingga jumlah sampel petani dalam penelitian adalah sebanyak 36 petani anggota

P3A. Selanjutnya ditentukan sampel dari petani yang belum memperoleh air irigasi

sebanyak 36 orang. Dengan demikian total sampel adalah sebanyak 72 orang.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan yang dikumpulkan melalui

pengamatan, kuesioner serta wawancara dengan petani. Sedangkan data sekunder

adalah data yang diperoleh dari instansi terkait, yaitu: Dinas Prasarana Wilayah

Kabupaten Humbang Hasundutan, Dinas Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan,

Bappeda Kabupaten Humbang Hasundutan, Badan Pusat Statistik Kabupaten

(36)

penelitian.

3.4. Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara:

1. Angket (kuesioner)

Angket disusun secara terstruktur dan penyebarannya ditujukan kepada petani

yang menjadi responden.

2. Observasi dan wawancara

Melakukan pengamatan langsung di lapangan dan juga wawancara dengan

beberapa petani sehingga peneliti memperoleh data untuk memperkuat data

yang dikumpulkan melalui kuesioner.

3. Studi dokumentasi

Dengan mengkaji dokumen-dokumen yang relevan dengan objek yang diteliti.

3.5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab hipotesis pertama,

yaitu manfaat daerah irigasi Aek Riman terhadap peningkatan produksi padi sawah di

Kecamatan Tara Bintang Kabupaten Humbang Hasundutan, dilakukan uji beda

(37)

a

Y = rata-rata produksi padi dengan irigasi.

b

Y = rata-rata produksi padi tanpa irigasi.

s2

n = banyak sampel = varians gabungan

Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan dengan nilai t-tabel pada α 5%.

Untuk menjawab hipotesis kedua, yaitu untuk mengetahui kelayakan

pembangunan daerah irigasi Aek Riman di Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten

Humbang Hasundutan, dilakukan berdasarkan parameter pengukuran kelayakan

proyek, yaitu:

1) Net Present Value (NPV), yaitu kemampuan proyek untuk mendapatkan

manfaat per tahun.

Nilai NPV dihitung berdasarkan selisih antara nilai sekarang atas pendapatan/

penerimaan (benefit) yang akan diterima dikurangi dengan nilai sekarang atas

biaya/ pengeluaran (cost) yang akan dikeluarkan selama umur proyek.

2) Benefit Cost Ratio, yaitu perbandingan antara nilai tunai manfaat proyek

(38)

rumus :

3) Internal Rate of Return, adalah tingkat diskonto yang membuat nilai tunai PV

dari pengeluaran sama dengan nilai tunai PV dari penerimaan (benefit).

DfP = Discounting Factor yang digunakan, yang menghasilkan present value

positif.

DfN = Discounting Factor yang digunakan, yang menghasilkan present value

negatif.

PVP = Present Value positif, berarti wilayah berkembang

(39)

3.6. Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman (persepsi) pada penelitian

ini, disusun definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

1. Air adalah sumber daya yang terbaharui, bersifat dinamis mengikuti siklus hidrologi yang secara alamiah berpindah-pindah serta mengalami perubahan bentuk dan sifat. 2. Irigasi adalah suatu proses pengaliran air dari sumber air ke sistem petanian yang

dilakukan dengan tertib dan teratur.

3. Daerah irigasi adalah lahan persawahan yang menerima sumber air dari air irigasi.

4. Petani adalah orang yang mengusahakan kegiatan usahatani sebagai sumber

pendapatannya, dalam hal ini adalah petani padi sawah.

5. Produksi adalah jumlah produksi padi yang dihasilkan dari usahatani padi sawah.

(40)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada posisi 2o1’ – 2o28’ Lintang

Utara dan 98o10’ – 98o

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir

58’ Bujur Timur berada di Bagian Tengah Wilayah Propinsi

Sumatera Utara. Kabupaten Humbang Hasundutan berada pada ketinggian antara 330

– 2.075m di atas permukaan laut. Kabupaten Humbang Hasundutan berada diantara

empat kabupaten:

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Bharat.

Luas wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan adalah 251.765,93 Ha yang

terdiri dari luas daratan sebesar 250.271,02 Ha dan luas danau sebesar 1.494,91 Ha.

Kemiringan tanah yang tergolong datar hanya 11%, landai 20%, dan miring/terjal

sebesar 69%.

Sesuai dengan letaknya yang berada di garis khatulistiwa, Kabupaten

(41)

berkisar antara 17oC – 29o

Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10 Kecamatan, dengan luas

wilayah masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut (Tabel 4.1).

C. Rata-rata tinggi curah hujan yang terjadi di Kabupaten

Humbang Hasundutan per bulan berdasarkan data pada tiga stasiun pengamatan

adalah 211,19 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 11 hari. Curah hujan tertinggi

pada bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah adalah pada bulan Mei.

Berdasarkan data curah hujan per kecamatan, Kecamatan Parlilitan merupakan daerah

dengan curah hujan tertinggi, yaitu 263 mm per tahun.

Tabel 4.1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan

No. Kecamatan Luas (Km2

Jumlah 250.271,02 99,41

Danau 1.494,91 0,59

Jumlah 251.765,93 100,00

(42)

Kecamatan Tara Bintang adalah salah satu dari 10 kecamatan di wilayah

Kabupaten Humbang Hasundutan. Secara geografis Kecamatan Tara Bintang

terletak antara: 2012’ – 2028’ Lintang Utara dan 98010’ – 980

1. Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Parlilitan

39’ Bujur Timur.

Batas-batas administratif wilayah kecamatan Tara Bintang adalah:

2. Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Pakkat dan kecamatan

Parlilitan

3. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah

4. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Pakkat dan kecamatan Parlilitan.

Secara administratif, kecamatan Dolok Sanggul terdiri dari 6 desa dengan luas

wilayah 24,251.98 Ha. Luas Kecamatan Tara Bintang berdasarkan desa adalah sebagai

berikut (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Luas Wilayah Kecamatan Tara Bintang Berdasarkan Desa

No. Desa Luas (Km2) Jumlah Dusun

1 Sitanduk 6.100 7

2 Tarabintang 5.840 7

3 Sibongkare 3.150 5

4 Sihombu 2.840 6

5 S Hasugian Toruan 4.172 5

6 Simbara 2.150 4

Jumlah 24.252 34

(43)

Jumlah penduduk di Kecamatan Tara Bintang pada tahun 2009 adalah

sebanyak 7.173 jiwa, yang terdiri dari 3.590 jiwa laki-laki dan 3.583 jiwa perempuan.

Persebaran penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Tara Bintang adalah

sebagai berikut (Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Desa Jumlah

Sumber: Kecamatan Tara Bintang Dalam Angka, 2010

Berdasarkan data jumlah penduduk tersebut diketahui bahwa penduduk yang

terbanyak terdapat di Desa Sitanduk yaitu sebanyak 1.972 jiwa, kemudian Desa

Tarabintang sebanyak 1.696 jiwa. Sedangkan pendudukan yang paling sedikit

jumlahnya terdapat di Desa Simbara yaitu sebanyak 495 jiwa. Hal ini menunjukkan

bahwa perserbaran penduduk pada desa-desa yang ada tidak merata.

Kecamatan Tara Bintang merupakan daerah pedesaan, dengan sumber mata

(44)

pertanian lahan sawah dan lahan kering, sebagaimana disajikan pada Tabel 4.3.

Berdasarkan data Tabel 4.3 diketahui bahwa pada umumnya pertanian yang

dilakukan penduduk adalah pertanian lahan kering.

Tabel 4.4. Penggunaan Lahan di Kecamatan Tara Bintang

No. Desa

Sumber: Kecamatan Tara Bintang Dalam Angka, 2010

Berdasarkan data penggunaan lahan tersebut diketahui bahwa sawah yang

paling luas terdapat di Desa S Hasugian Toruan (194,2 Ha), kemudian Desa

Tarabintang (169,8 Ha) dan Desa Sihombu (149,7 Ha). Lahan yang paling luas adalah

di Desa Sitanduk (6.100 Ha), Tarabintang (5.840 Ha) dan Desa S Hasugian Toruan

(45)

4.2. Karakteristik Responden

Berikut ini diuraikan beberapa karakteristik responden, yaitu usia, pendidikan,

pengalaman bertani, jumlah anggota keluarga dan luas sawah.

Tabel 4.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

No. Umur (Tahun) Irigasi Non Irigasi

Frekwensi % Frekwensi %

1. ≤ 35 4 11,11 5 13,89

2. 36 – 40 8 22,22 4 11,11

3. 41 – 45 9 25,00 13 36,11

4. 46 – 50 7 19,44 5 13,89

5. 51 – 55 5 13,89 3 8,33

6. > 55 3 8,33 6 16,67

Jumlah 36 100 36 100

Sumber: Data Primer, Diolah, 2011

Berdasarkan usia diketahui bahwa sebanyak 33,33% petani irigasi dan

sebanyak 25% petani non irigasi berusia dibawah 41 tahun. Hal ini menunjukkan

bahwa petani irigasi pada umumnya lebih muda dibandingkan dengan petani non

irigasi. selanjutnya jumlah petani yang paling banyak adalah pada kelompok umur

(46)

Tabel 4.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

No. Pendidikan Irigasi Non Irigasi

Frekwensi % Frekwensi %

1. SD 4 11,11 9 25,00

2. SLTP 11 30,56 9 25,00

3. SLTA 21 58,33 18 50,00

Jumlah 36 100 36 100

Sumber: Data Primer, Diolah, 2011

Berdasarkan pendidikan terakhir diketahui bahwa sebagian besar responden

irigasi (58,33%) adalah berpendidikan setingkat SLTA/sederajat, kemudian sebanyak

30,56% berpendidikan setingkat SLTP/sederajat, dan SD sebanyak 11,11%.

Sedangkan untuk petani non irigasi, sebagian responden berpendidikan SD dan SLTA

yaitu 50% dan setingkat SLTP sebanyak 50%.

Tabel 4.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani No. Pengalaman

Sumber: Data Primer, Diolah, 2011

Berdasarkan pengalaman bertani, diketahui bahwa sebagian besar petani, baik

(47)

– 30 tahun. Hal ini sejalan dengan usia petani irigasi yang pada umumnya lebih muda

dibandingkan dengan petani non irigasi.

Tabel 4.8. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Sawah

No. Luas Sawah (Ha) Irigasi Non irigasi

Frekwensi % Frekwensi %

1. ≤ 0.4 6 16,67 0 0,00

2. 0.41 – 0.60 13 36,11 18 50,00

3. 0.61 – 0.80 13 36,11 4 11,11

4. 0.81 – 1.00 4 11,11 14 38,89

Jumlah 36 100 36 100

Sumber: Data Primer, Diolah, 2011

Luas sawah yang diusahakan petani, baik irigasi maupun nin irigasi adalah

pada rentang 0,4 – 1 ha, dengan rata-rata 0,66 ha pada petani irigasi dan 0,76 ha pada

petani non irigasi. Perbedaan dalam pola tanam adalah bahwa pada sawah irigasi,

pola tanam dilakukan sebanyak 2 (dua) kali per tahun, sedangkan pada sawah non

irigasi, pola tanam hanya satu kali dalam setahun.

4.3. Deskripsi Daerah Irigasi Aek Riman

Di Kecamatan Tara Bintang terdapat 8 (delapan) daerah irigasi, dengan total

luas baku lahan 624 Ha, tetapi yang sudah mendapat air irigasi pada saat ini adalah

(48)

Tabel 4.9. Daerah Irigasi di Kecamatan Tara Bintang

Sumber: Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan

Berdasarkan data tersebut di atas, hingga saat ini daerah irigasi yang terluas

memperoleh air irigasi adalah Daerah Irigasi Aek Riman di Desa Sihombu, yaitu 28

Ha dari luas baku sawah 113 Ha (24,78%). Secara keseluruhan di Kecamatan Tara

Bintang dapat dilihat bahwa dari luas baku sawah pada Daerah Irigasi seluas 624 Ha,

hingga saat ini baru 104 ha (16,67%) yang telah memperoleh air irigasi. Selebihnya

masih dalam tahap perencanaan pembangunan jaringan irigasi, khususnya saluran

sekunder dan saluran tersier.

Daerah irigasi Aek Riman merupakan salah satu daerah irigasi di Kecamatan

Tara Bintang, dengan luas baku sawah 113 Ha. Saat ini daerah irigasi Aek Riman

telah beroperasi dengan luas sawah yang terlayani air seluas 28 Ha. Sumber air irigasi

(49)

intake sungai adalah 1.041 liter/detik (Hasil Survey Dinas Prasarana Wilayah

Kabupaten Humbang Hasundutan, 2010).

Kebutuhan air untuk persawahan dengan pola tanam padi-padi menurut

Pasandaran (2005) adalah sebagai berikut:

Tabel 4.10. Kebutuhan Air untuk Tanaman Padi

Setengah Bulan ke-

Kebutuhan air Setengah

Bulan ke-

Kebutuhan air

mm/hari l/detik/ha mm/hari l/detik/ha

1 8,79 1,02 13 9,46 1,09

Berdasarkan analisis kebutuhan air untuk padi sawah tersebut selama satu

tahun debit minimum kebutuhan air adalah 1,42 l/det/ha. Dengan demikian untuk

(50)

1,42 l/det x 113 ha = 160,46 l/detik. Dengan demikian, berdasarkan debit sungai Aek

Riman, maka kebutuhan air untuk lahan sawah seluas 113 ha sangat mencukupi.

4.4. Pembahasan

4.4.1. Manfaat Pengembangan Daerah Irigasi Aek Riman 1) Penggunaan Faktor Produksi

Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani padi diantaranya

adalah bibit, pupuk dan tenaga kerja. Penggunaan faktor-faktor produksi tersebut

disajikan per petani dan per ha, sebagaimana Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Penggunaan Faktor-faktor Produksi Tanaman Padi Sawah

No. Faktor Produksi Per Petani Per Ha

Irigasi Non Irigasi Irigasi Non Irigasi

1. Bibit (kg) 26,22 30,17 40 40

2. Pupuk (kg)

Urea 131,11 121,6 151,11 200

TSP/SP36 95,83 90,4 113,19 150

Ponska 65,65 60,6 75,56 100

ZA 62,22 59,4 75,00 99

3. Tenaga Kerja 75,08 66,37 80,86 107

Sumber: Data Primer, Diolah, 2011

Penggunaan bibit per petani pada irigasi rata-rata sebanyak 26,22 kg dan

non irigasi sebanyak 30,17 kg. Hal ini berhubungan dengan perbedaan rata-rata

luas sawah yang diusahakan petani. Namun penggunaan bibit per ha adalah sama,

(51)

Dalam penggunaan pupuk, dilihat bahwa dalam irigasi jumlah pupuk yang

digunakan petani lebih sedikit dibandingkan dengan non irigasi. Jenis pupuk

yang digunakan petani adalah sama, yaitu Urea, TSP/SP36, Ponska dan ZA,

dengan dosis penggunaan yang lebih rendah pada irigasi.

Dalam hal penggunaan tenaga kerja, dapat dilihat bahwa per petani

penggunaan tenaga kerja lebih rendah pada irigasi dibandingkan dengan non

irigasi, tetapi per ha bahwa penggunaan tenaga kerja lebih besar pada irigasi

daripada non irigasi.

Selanjutnya berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, maka

dapat diketahui jumlah biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam usahatani

padi sawah, sebagaimana disajikan pada Tabel 4.7. Dalam hal ini biaya produksi

dihitung untuk dua kali musim tanam untuk petani irigasi, sedangkan untuk petani

non irigasi hanya satu kali karena seluruh petani non irigasi melakukan pola

tanam satu kali dalam satu tahun.

Sesuai dengan pola tanam 2 kali dalam satu tahun pada petani irigasi, maka

biaya produksi juga lebih besar yaitu Rp. 8.938.667, sedangkan petani non irigasi

adalah Rp. 5.039.681. Namun demikian, karena petani irigasi melakukan pola

tanam 2 kali, maka biaya produksi per musim tanam jauh lebih rendah pada

(52)

Tabel 4.12. Biaya Faktor Produksi per Tahun (Rp)

No. Faktor

Produksi

Per Petani Per Ha

Irigasi Non Irigasi Irigasi Non Irigasi

1. Bibit 156.333 181.000 237.500 239.583

2. Pupuk 926.889 1.078.028 1.411.270 1.426.959

3. Pestisida 184.611 197.486 286.448 261.954

4. Tenaga Kerja 2.955.667 3.488.722 4.526.905 4.605.317

5. Iuran Air 163.889 0 250.000 0

6. PBB 81.944.44 94.444 125.000 125.000

Total 8.938.667 5.039.681 13.674.246 6.658.814

Sumber: Data Primer, Diolah, 2011

2) Produksi dan Pendapatan

Produksi padi yang dihasilkan petani irigasi dihitung dalam dua kali musim

tanam (total) per tahun, demikian juga dengan biaya produksi yang dikeluarkan

petani. Jumlah produksi padi dan pendapatan petani dari usahatani padi sawah di

Daerah Irigasi Aek Riman per tahun disajikan pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13. Produksi dan Pendapatan

No. Uraian Per Petani Per Ha

Irigasi Non Irigasi Irigasi Non Irigasi

1. Produksi (ton) 7,08 3,85 10,78 5,09

2. Penjualan (Rp) 22.648.889 12.328.889 34.495.450 16.274.074

3. Biaya Produksi (Rp) 8.938.667 5.039.681 13.674.246 6.658.814

4. Pendapatan (Rp) 13.710.222 7.289.208 20.821.204 9.615.260

Sumber: Data Primer, Diolah, 2011

Produksi padi per petani lebih tinggi pada petani irigasi, demikian juga

(53)

dibutuhkan untuk pertumbuhan padi sawah yang lebih baik. Total produksi petani

irigasi dalam dua kali musim tanam adalah 10,78 ton per ha, sedangkan total

produksi petani non irigasi adalah 5,09 ton per ha. Hal ini berarti bahwa dengan

irigasi, produksi padi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi padi non irigasi.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan produksi petani irigasi

dan non irigasi, dimana produksi petani irigasi per hektar lebih tinggi

dibandingkan dengan petani non irigasi. Untuk menguji signifikansi perbedaan

produksi tersebut, dilalukan uji t sebagai berikut:

Tabel 4.14. Uji Beda Produksi Padi Total

Uraian

t df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference

Produksi Equal variances assumed 115,380 70 ,000 5,69472

Equal variances not assumed

115,380 60.880 ,000 5,69472

Sumber: Lampiran 4

Berdasarkan hasil analisis dengan uji t diperoleh nilai t-hitung sebesar

115,38 dengan signifikansi 0,00 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada α

5%. Dengan demikian terdapat perbedaan produksi per hektar antara petani

irigasi dengan petani non irigasi. Perbedaan produksi per tahun adalah sebesar

5,69 ton per hektar.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa faktor utama yang

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 4.1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan
Tabel 4.2. Luas Wilayah Kecamatan Tara Bintang Berdasarkan Desa
Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,

Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana seorang petugas pengambil koin yang pekerjaannya mengambil koin ke berbagai wilayah, dapat menempuh perjalanan dengan jarak tempuh

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,

Akan tetapi dengan semakin banyaknya masayarakat yang butuh jasa biro iklan ini maka akan terjadi sebuah antrian dalam memasang iklan, dan antrian waktu pencetakan iklan di media

(1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan/atau kegiatan industri vinyl chloride monomer dan poly vinyl chloride ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan

A commercial Polyvinyl alcohol (PVA) and Polyamide (nylon-6) membrane were used for pure and mixed gas permeation experiment and the interaction effects of

Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan organisasi mitra pemerintah, baik organisasi sosial kemanusiaan dari lokal maupun internasional. Menjalin koordinasi dan

Fokus penelitian ini adalah melakukan simulasi untuk mengetahui aliran daya pada jaringan distribusi 20 KV untuk kondisi beban tak seimbang, hasil simulasi tersebut