ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN
NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG
TESIS
Oleh
SUBHAN
077004018/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
SE K O L A H
P A
S C
A S A R JA
ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN
NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUBHAN
077004018/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG
Nama Mahasiswa : Subhan
Nomor Pokok : 077004018
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(PSL)
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Ketua
(Prof. Dr. Erman Munir, MSc) (Dr. Delvian, SP, MP) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 25 September 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Munir, MSc
2. Dr. Delvian, SP, MP
ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG
ABSTRAK
Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang sedang mengalami kerusakan yang cukup parah akibat aktivitas penebangan liar, perambahan hutan, jual beli lahan dan keberadaan pengungsi korban konflik aceh. Manajemen TNGL belum mempunyai data kerusakan hutan terbaru terutama data time series setelah data yang dirilis Yayasan Leuser International tahun 2002 yang lalu, padahal kerusakan hutan terus berlangsung. Data tersebut sangat dibutuhkan manajemen TNGL dalam menentukan arah kebijakan dan strategi penyelesaian masalah yang berkaitan penerapan strategi pengamanan hutan dan dukungan para pihak terutama masyarakat sekitar hutan. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret s/d Mei 2010 di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dan di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL yang secara administrasi terletak di kecamatan Besitang, Sei Lepan dan Batang Serangan. Penelitian ini menggunakan metoda diskriptif dengan jumlah sampel dari masyarakat sekitar hutan sebanyak 198 KK. Pengumpulan data dilakukan dengan metoda ground check, penyebaran kuisioner dan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat. Data yang ada dinalisis dengan menggunakan analisis citra landsat dan analisis swot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga tahun 2009, luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang mencapai 7.435 ha, dengan laju kerusakan hutan sekitar 448,450 ha/tahun. Manajemen TNGL terus melakukan upaya penyelesaian terhadap persoalan yang masih berlangsung di dalam kawasan ini terutama kegiatan penegakan hukum dengan menerapkan strategi pengamanan hutan yang efektif dan efisien yang mengedepankan langkah-langkah pre-emtif, preventif dan represif. Penerapan strategi ini telah berhasil menurunkan laju kerusakan hutan di wilayah kerja resort Trenggulun, Sei Betung, Cinta Raja dan Tangkahan, namun strategi ini kurang berhasil penerapannya untuk wilayah kerja resort Sekoci dan Sei Lepan terkait keberadaan pengungsi korban konflik aceh yang hingga saat ini belum dikeluarkan dari kawasan TNGL. Status TNGL sebagai warisan dunia merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen TNGL dalam merangkul para pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan secara lebih baik di masa yang akan datang, terutama dukungan masyarakat sekitar hutan melalui lembaga lokalnya.
DEFORESTATION ANALYSIS OF GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK IN BESITANG MANAGEMENT SECTION
IN BESITANG SUB-REGIONAL OFFICE VI
ABSTRACT
Tropical low-land forest in Besitang Sub-Regional Office, Gunung Leuser National Park (GLNP) has been seriously damaged and threatened due to several activities such as illegal logging, encroachment, land speculation, and social refugee (internal displace person) from Aceh. Park authority has no series of data on deforestation except what has been released by Leuser International Foundation in 2002. In the meantime, deforestation is remain exist in the park. A series of deforestation data is urgently needed by park authrority to develop policy and strategic action to solve the problems and challanges to secure the park and generate support from stakeholders, especially community around the forest. This research was conducted between March and May 2010 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP and villages around the park, within the administration of Sub-District Besitang, Sei Lepan and Batang Serangan. Descriptive method was employed to get data from 198 families who live around the park. Data has been collected by doing ground checks, questionnaire, and interview key persons in the community level. Data was analysed using Landsat Image and SWOT. This research showed that deforestation until 2009 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP is 7,435 hectares, with deforestation rate approximately 448.450 hectar/year. Park authority keeps their effort to solve the existing problems in the area, mainly law enforcement through effective and efficient forest security strategy by using pre-emptive, preventive, and represive actions. Those strategy has successfully reduce deforestation rate in the resort Trenggulung, Sei Betung, Cinta Raja, and Tangkahan. However this strategy has more challanges in the resort Sekoci and Sei Lepan because of area where occupied by social refugee has not yet resolved. GLNP status as World Heritage of Tropical Rainforest Heritage of Sumatra is a great opportunity for park authority to engage and generate support from stakeholders to do a better management in the future, especially support from community around the forest through community based-organizations.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahNya lah, penulis telah dapat menyelesaikan sebuah tesis yang berjudul
“Analisis Kerusakan Hutan di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi
Pengelolaan Taman Nasonal Wilayah VI Besitang”.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran tentang kerusakan hutan
kawasan TNGL khususnya di SPTN Wilayah VI Besitang yang hingga saat ini terus
berlangsung dan belum ada arah penyelesaian yang jelas, konkrit dan tegas. Penelitian
ini dibatasi pada aspek efektivitas penerapan strategi pengamanan hutan dan dukungan
para pihak terutama masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan TNGL.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Retno Widiastuti, MS selaku Ketua Pembimbing dalam penulisan tesis
yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan demi sempurnanya karya
ini.
2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc dan Dr. Delvian, SP, MP selaku Anggota
Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan selama
proses penyelesaian karya ini.
3. Dr. Budi Utomo, SP, MP dan Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS selaku penguji
yang memberi saran dan masukan pada penyempurnaan tesis ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang
telah mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya.
5. Para staf administrasi Sekolah Pascasarjana dan Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak
membantu kelancaran studi penulis sejak awal perkuliahan hingga penyelesaian
studi.
6. Ir. Wiratno, MSc mantan Kepala Balai TNGL yang selalu memberi dorongan dan
7. Ir. Nurhadi Utomo mantan Kepala Balai Besar TNGL yang telah memberikan izin
untuk melaksanakan studi.
8. Ir. Harijoko S P, MM selaku Kepala Balai Besar TNGL dan Ir. Ari Subiantoro,
MP selaku kepala Bidang Pengelolaan TN Wilayah III Stabat yang terus
mendorong untuk menyelesaikan studinya.
9. Rekan – rekan dari Balai Besar TNGL terutama Ujang Wisnu Bharata, Isra Imran
dan Jokkas Simandalahi yang telah membantu selama melakukan penelitian.
10.Dedy dan Taufik Ramadhan serta rekan-rekan dari KSM sekitar TNGL yang
banyak membantu dalam pengambilan data.
11.OK. Hamzah (Datok Besitang), OK.Abdul Hamid (Datok Lepan), Aiptu Maraganti
Pangabean, SH, M.Hum (Polres Langkat), Edy Sunardi (Manajer CRU
Tangkahan), Ismail (YOSL-OIC), Syeh Okor Dapari (Ketua LPT), Samsul, Sag
(Ketua Gepal), Naswandi Sembiring (Kepala Desa PIR ADB Besitang) yang telah
bersedia diwawancarai untuk kelengkapan data tesis.
12.Suer Suryadi (UNESCO) dan Bapak Ratna Hendratmoko (ditjen PHKA) yang
selalu mendorong dan memberi masukan serta mengingatkan penulis dalam
penyelesaian karya ini.
13.Rina Purwaningsih (GIS UNESCO) yang telah membantu penulis dalam
menganalisis data citra landsat.
14.Kepala desa di lingkup wilayah study dan rekan – rekan dari Kelompok Swadaya
Masyarakat di sekitar TNGL Besitang yang telah membantu kelancaran
pengambilan data.
15.Kepada Istriku tercinta Ika Susanti dan kedua buah hatiku M.Ghatan Hamdi dan
Hania Iftinan yang dengan sabar memberi dorongan, semangat dan doa selama
pendidikan.
16.Orang tua dan saudara-saudaraku tercinta yang dengan sabar memberikan
dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
17.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersedia
Akhirnya penulis berharap, karya sederhana ini dapat memberi manfaat bagi
para pembaca.
PENULIS,
SUBHAN
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ..……… i
ABSTRACT ..……….. ii
KATA PENGANTAR ...……….. iii
RIWAYAT HIDUP ..………. iv
DAFTAR ISI ..……… vi
DAFTAR TABEL ..……… viii
DAFTAR GAMBAR ..………... ix
DAFTAR LAMPIRAN ..………... x
I. PENDAHULUAN ..……….. 1
2.1. Kondisi Hutan Indonesia ..………. 6
2.2. Kerusakan Hutan Indonesia ..……… 7
2.3. Perlindungan Hutan ..………. 8
2.4. Pengelolaan Taman Nasional ..……….. 9
2.5. Sistem Informasi Geografis ..………. 11
2.6. Analisis Swot ..………... 13
III. METODE PENELITIAN ...………... 14
3.1. Tempat dan Waktu ... 14
3.2. Bahan dan Alat ... 14
3.3. Populasi dan Sampel ... 16
3.1.1. Populasi ..………... 16
3.3.2. Sampel ..………. 17
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ..………... 25
4.1. Lokasi dan Status Kawasan ..………. 25
4.2. Topografi ..………. 26
4.3. Geologi ..……… 27
4.4. Iklim ..………. 28
4.5. Hidrologi ..……….. 28
4.6. Kondisi Biotik ..……….. 29
4.7. Flora ..………. 30
4.8. Fauna ..………... 30
4.9. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI ...……... 36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..……….. 38
5.1. Analisis Citra Landsat ..………. 38
5.2. Analisis Swot ...……….. 50
5.2.1. Analisis Faktor Internal ...……….. 51
5.2.2. Analisis Faktor Eksternal ..……… 58
5.2.3. Analisis Swot ..……….. 69
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..……….. 72
6.1. Kesimpulan ..……….. 72
6.2. Saran ...……….. 73
DAFTAR PUSTAKA ...………. 75
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi dalam
Penelitian ………. 17
2. Jumlah Sampel Penelitian ……….. 18
3. Matriks IFAS (Internal Factor Analysis Summary) …..………. 23
4. Matriks EFAS (External Factor Analysis Summary) .……… 23
5. Matrik SWOT ………. 24
6. Hasil Analisis Citra Landsat di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang … 38
7. Matrik IFAS Hasil Analysis Faktor Internal ……….. 51
8. Matrik EFAS Hasil Analysis Faktor Eksternal ……….. 58
9. Fokus Kegiatan Lembaga Konservasi di Wilayah Kerja SPTN VI … 60
10. Lembaga Lokal yang telah Terbentuk di Wilayah Kerja SPTN VI … 63
11. Perkembangan Jumlah Pengungsi dan Luas Areal Garapan ……….. 69
12. Matrik SWOT Analisis Kerusakan Hutan Kawasan TNGL di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang ………. 70
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Peta Wilayah Kerja SPTN VI Besitang ……… 15
2. Peta Citra Landsat SPTN VI Tahun 1989 dan 2009 ………. 21
3. Peta Formasi Geologi TNGL ……… 28
4. Peta Sebaran Populasi Orangutan Sumatera di Kabupaten Langkat.. 32
5. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Kesalahan Kebijakan
Pemerintah Pusat dalam Mengelola Kawasan TNGL SPTN
Wilayah VI Besitang ……….. 43
6. Peta Hasil Analisis Citra Landsat Kawasan Hutan TNGL Wilayah
Kerja SPTN VI dalam Kurun Waktu Tertentu ……….. 48
7. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Penerapan Strategi
Pengamanan Hutan oleh Manajemen TNGL dalam Menyelesaikan Masalah di Lapangan ……… 53
8. Dukungan terhadap Pelibatan Masyarakat Sekitar Hutan dalam
Pengelolaan Kawasan TNGL melalui Pembentukan Lembaga
Lokal di Desanya Masing-masing ………. 62
9. Persetujuan Masyarakat Sekitar Hutan bahwa Persoalan Pengungsi
Korban Konflik Aceh merupakan Kunci Penyelesaian Persoalan
lainnya di Kawasan SPTN Wilayah VI Besitang ……….. 65
10. Dukungan Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Penyelesaian
Persoalan Pengungsi Korban Konflik Aceh dengan Pola
DAFTAR LAMPIRAN
6. Hasil Perhitungan Analisis Swot untuk Faktor Eksternal ………. 98
7. SK.Menko.Kesra no 14/Kep/Menko/Kesra/V/2008 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Eks Pengungsi Korban Konflik Aceh di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera ………... 106
8. Hasil Kegiatan Penegakan Hukum di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang Dalam Kurun Waktu 5 (lima) Tahun Terakhir ……… 110
9. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 1989………... 116
10. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2001……….. 117
11. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2003 ………. 118
12. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2006……… 119
13. Peta Analysis Citra Landsat Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Tahun 2009……… 120
ANALISIS KERUSAKAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SEKSI PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL WILAYAH VI BESITANG
ABSTRAK
Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang sedang mengalami kerusakan yang cukup parah akibat aktivitas penebangan liar, perambahan hutan, jual beli lahan dan keberadaan pengungsi korban konflik aceh. Manajemen TNGL belum mempunyai data kerusakan hutan terbaru terutama data time series setelah data yang dirilis Yayasan Leuser International tahun 2002 yang lalu, padahal kerusakan hutan terus berlangsung. Data tersebut sangat dibutuhkan manajemen TNGL dalam menentukan arah kebijakan dan strategi penyelesaian masalah yang berkaitan penerapan strategi pengamanan hutan dan dukungan para pihak terutama masyarakat sekitar hutan. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret s/d Mei 2010 di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dan di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL yang secara administrasi terletak di kecamatan Besitang, Sei Lepan dan Batang Serangan. Penelitian ini menggunakan metoda diskriptif dengan jumlah sampel dari masyarakat sekitar hutan sebanyak 198 KK. Pengumpulan data dilakukan dengan metoda ground check, penyebaran kuisioner dan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat. Data yang ada dinalisis dengan menggunakan analisis citra landsat dan analisis swot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga tahun 2009, luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang mencapai 7.435 ha, dengan laju kerusakan hutan sekitar 448,450 ha/tahun. Manajemen TNGL terus melakukan upaya penyelesaian terhadap persoalan yang masih berlangsung di dalam kawasan ini terutama kegiatan penegakan hukum dengan menerapkan strategi pengamanan hutan yang efektif dan efisien yang mengedepankan langkah-langkah pre-emtif, preventif dan represif. Penerapan strategi ini telah berhasil menurunkan laju kerusakan hutan di wilayah kerja resort Trenggulun, Sei Betung, Cinta Raja dan Tangkahan, namun strategi ini kurang berhasil penerapannya untuk wilayah kerja resort Sekoci dan Sei Lepan terkait keberadaan pengungsi korban konflik aceh yang hingga saat ini belum dikeluarkan dari kawasan TNGL. Status TNGL sebagai warisan dunia merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen TNGL dalam merangkul para pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan secara lebih baik di masa yang akan datang, terutama dukungan masyarakat sekitar hutan melalui lembaga lokalnya.
DEFORESTATION ANALYSIS OF GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK IN BESITANG MANAGEMENT SECTION
IN BESITANG SUB-REGIONAL OFFICE VI
ABSTRACT
Tropical low-land forest in Besitang Sub-Regional Office, Gunung Leuser National Park (GLNP) has been seriously damaged and threatened due to several activities such as illegal logging, encroachment, land speculation, and social refugee (internal displace person) from Aceh. Park authority has no series of data on deforestation except what has been released by Leuser International Foundation in 2002. In the meantime, deforestation is remain exist in the park. A series of deforestation data is urgently needed by park authrority to develop policy and strategic action to solve the problems and challanges to secure the park and generate support from stakeholders, especially community around the forest. This research was conducted between March and May 2010 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP and villages around the park, within the administration of Sub-District Besitang, Sei Lepan and Batang Serangan. Descriptive method was employed to get data from 198 families who live around the park. Data has been collected by doing ground checks, questionnaire, and interview key persons in the community level. Data was analysed using Landsat Image and SWOT. This research showed that deforestation until 2009 in Besitang Sub-Regional Office of GLNP is 7,435 hectares, with deforestation rate approximately 448.450 hectar/year. Park authority keeps their effort to solve the existing problems in the area, mainly law enforcement through effective and efficient forest security strategy by using pre-emptive, preventive, and represive actions. Those strategy has successfully reduce deforestation rate in the resort Trenggulung, Sei Betung, Cinta Raja, and Tangkahan. However this strategy has more challanges in the resort Sekoci and Sei Lepan because of area where occupied by social refugee has not yet resolved. GLNP status as World Heritage of Tropical Rainforest Heritage of Sumatra is a great opportunity for park authority to engage and generate support from stakeholders to do a better management in the future, especially support from community around the forest through community based-organizations.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki sumberdaya alam
berupa hutan nomor 3 (tiga) di dunia setelah Brazil dan Zaire, selain itu kita juga
merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi
meskipun hanya menempati 1,3% dari luas daratan dunia. Sekitar 17% spesies di
bumi terdapat di Indonesia, ditumbuhi 11 % spesies tanaman, dihuni 12% mamalia,
15% reptil dan amfibi serta 17% burung. Tingginya keanekaragaman hayati ini lebih
disebabkan karena Indonesia terletak pada garis Wallace di persimpangan dua zona
biogeografis utama (Bappenas, 2003).
Kekayaan alam yang berlimpah tersebut akan musnah dari muka bumi ini kalau
tidak ada upaya yang konkrit untuk menekan laju kerusakan hutan yang terus
meningkat. Hutan rusak sudah tentu ada faktor penyebabnya. Selain itu pihak yang
dikategorikan sebagai pengrusak hutan juga beragam. Mulai dari individu, kelompok
bahkan negara melalui berbagai oknum aparaturnya. Ideologi pembangunan kehutanan
yang keberhasilannya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan sumber
terjadinya kerusakan hutan. Hutan sebagai ekosistem direduksi makna dan fungsinya
hanya sebatas sebagai salah satu faktor produksi yang suatu saat akan habis. Hutan
hanya dipandang sebagai penghasil kayu untuk kebutuhan industri hasil hutan, padahal
obat-obatan, fungsi hidrologi, penyerap karbon, penghasil oksigen, sumber air, ekowisata
dan lain-lain (Iskandar dan Nugraha, 2004).
Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan
salah satu kawasan hutan yang sedang mengalami degradasi yang cukup parah.
Berdasarkan kajian sampai dengan tahun 2000, di seluruh TNGL telah terjadi
deforestasi (kawasan yang sudah tidak berhutan) seluas 18.089 Ha, sedangkan
kawasan TNGL yang mengalami degradasi (kawasan yang mengalami penurunan
kualitas akibat berbagai gangguan) seluas 142.087 Ha. Terdapat 65 titik rawan, yaitu
lokasi-lokasi yang mengalami berbagai tingkatan gangguan dan kerusakan. Titik-titik
rawan tersebut masih akan berkembang terus apabila upaya-upaya preventif dan
represif tidak dilakukan secara konsisiten dan berkesinambungan (Balai Besar TNGL,
2007).
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah VI Besitang merupakan
salah satu seksi wilayah di lingkup Balai Besar TNGL yang sedang mengalami
kerusakan. Kawasan hutan ini luasnya ± 125.000 Ha, berada di Kabupaten Langkat
yang secara administrasi terletak di Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang
Serangan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi
permasalahan yang sangat komplek bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan
hutan. Menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 luas kerusakan kawasan
hutan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat seluas 43.623 Ha termasuk kawasan
bukan berupa hutan seluas 20.688 Ha. Menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional
kawasan tak berhutan. Setelah periode itu tidak ada lagi data yang menjelaskan
tentang luas kerusakan kawasan hutan TNGL di wilayah Langkat khususnya SPTN VI
Besitang, padahal proses kerusakan hutan terus berlanjut, sehingga analisis citra
landsat untuk mendapatkan data luas kerusakan hutan terakhir sangat dibutuhkan oleh
manajemen TNGL.
Ada empat permasalahan yang sedang dihadapi manajemen TNGL di SPTN
Wilayah VI Besitang, yaitu : 1).Illegal logging, 2). perambahan hutan, 3). jual beli
lahan dan 4). keberadaan pengungsi Aceh. Balai Besar TNGL dengan segala
keterbatasannya tidak akan mampu menyelesaikan sendiri permasalahan tersebut
sehingga diharapkan partisipasi dan dukungan semua pihak agar semua permasalahan
ini dapat diselesaikan secara tuntas.
Dalam menyelesaikan berbagai persoalan di lapangan, Balai Besar TNGL
selalu mengedepankan langkah-langkah preventif dan persuasif, penerapan langkah
represif merupakan alternatif terakhir jika dua langkah sebelumnya gagal
menyelesaikan persoalan. Sejauh ini dianggap efektif karena telah berhasil
menyelesaikan sebagian persoalan yang ada di lapangan, namun strategi ini belum bisa
menyelesaikan persoalan lainnya secara menyeluruh dan tuntas, sehingga diperlukan
kajian yang lebih mendalam tentang efektivitas penerapan strategi ini untuk
kepentingan pengelolaan kawasan dimasa yang akan datang.
Dukungan pihak-pihak terkait terutama masyarakat sekitar hutan dirasakan
belum maksimal dalam mendukung pelestarian kawasan hutan TNGL, Sejauh ini telah
termasuk masyarakat sekitar hutan. Pembentukan lembaga lokal di desa-desa yang
berbatasan langsung dengan kawasan TNGL diharapkan dapat sejalan dengan itu.
Lembaga-lembaga lokal yang telah terbentuk diharapkan dapat berperan lebih besar
dalam mendukung pelestarian kawasan TNGL.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi manajemen TNGL
dalam menentukan strategi dan kebijakan pengelolaan kawasan ini dimasa yang akan
datang.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, ada beberapa masalah yang ingin dijawab dalam
penelitian ini, yaitu:
a. Berapa luas dan laju kerusakan hutan di kawasan TNGL SPTN Wilayah VI
Besitang dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun terakhir ini.
b. Apakah kerusakan hutan di kawasan TNGL SPTN VI Besitang dipengaruhi
oleh strategi pengamanan hutan yang diterapkan oleh manajemen TNGL.
c. Apakah kerusakan hutan di kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang
dipengaruhi oleh ada tidaknya dukungan pihak-pihak terkait terutama
masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan TNGL.
d. Strategi apa yang dapat diterapkan manajemen TNGL dalam penyelesaian
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui luas dan laju kerusakan hutan di kawasan hutan TNGL
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dalam kurun waktu 8
(delapan) tahun terakhir ini.
b. Untuk mengetahui sejauhmana efektivitas penerapan strategi pengamanan
hutan dalam menyelesaikan berbagai persoalan di kawasan TNGL SPTN
wilayah VI Besitang.
c. Untuk mengetahui sejauhmana dukungan pihak-pihak terkait terutama
masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan hutanTNGL.
d. Untuk mendapatkan strategi penyelesaian persoalan TNGL di wilayah kerja
SPTN VI Besitang.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Sebagai bahan masukan bagi manajemen TNGL dalam menentukan kebijakan
terhadap pengelolaan TNGL di wilayah kerja SPTN VI Besitang di masa yang
akan datang.
b. Sebagai bahan masukan bagi pemerhati lingkungan tentang kerusakan hutan
TNGL agar dilakukan upaya-upaya yang konkrit untuk menyelamatkan
kawasan konservasi tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Hutan Indonesia
Berdasarkan paduserasi TGHK – RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini
mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.
Menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan Konservasi seluas 20,50
juta ha, hutan Lindung seluas 33,52 juta ha, hutan produksi seluas 58,25 juta ha dan
hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,08 juta ha (Departemen Kehutanan,
2008).
Luasan kawasan hutan tersebut diyakini mampu menjadi sumber kehidupan
langsung bagi sekitar 20 % dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang hidup di
dalam dan sekitar hutan. Hutan juga mampu memberi manfaat tak langsung yang
seringkali justru tak ternilai harganya, antara lain berperan sebagai pengatur sistem tata
air sehingga mampu mencegah banjir di musim hujan dan ancaman kekeringan di
musim kemarau (Iskandar dan Nugraha, 2004).
Lebih lanjut Iskandar dan Nugraha (2004) menyebutkan bahwa kondisi
sekarang ini, sektor kehutanan sedang mengalami kecaman dari berbagai pihak. Peran
dan keberadaannya digugat karena dalam perspektif ekologi hutan sebagai pengatur
keseimbangan ekosistem mulai pudar. Fungsi ekologi hutan sebagai penyangga
kehidupan telah berkurang drastis bersamaan dengan rusaknya hutan.
Peran sektor kehutanan diakui atau tidak telah mengalami pergeseran. Hal yang
sektor yang terpinggirkan. Persepsi terhadap upaya pelestarian hutan melalui berbagai
konsep dan skala prioritas program yang tidak diikuti dengan upaya penegakan
supremasi hukum terhadap praktek penebangan liar dan penyeludupan kayu,
ketidakmampuan menerjemahkan desentralisasi kehutanan serta pembiaran terhadap
buruknya kinerja sektor riil kehutanan telah menyebabkan resultan persoalan
kehutanan yang bersifat akumulatif.
2.2. Kerusakan Hutan Indonesia
Hutan Indonesia rusak berat, itulah persoalan besar dewasa ini yang harus
dihadapi pemerintah. Data-data yang dilansir oleh banyak pihak terkait kerusakan
hutan dan laju kerusakan hutan sungguh memprihatinkan. Menurut Wardoyo, Yasman
dan Natawirya (2002) dalam Iskandar dan Nugraha (2004) hutan yang rusak telah
mencapai angka 43 juta ha atau lebih dari 33 % luas hutan Indonesia dengan laju
kerusakan hutan sekitar 1,6 juta ha per tahun. Data Badan Planologi Kehutanan tahun
2003 lebih mengagetkan lagi, total luas kerusakan hutan dan lahan di dalam dan di luar
kawasan hutan Indonesia dewasa ini mencapai 101,79 juta ha dengan laju kerusakan
hutan mendekati angka 3,8 juta hektar
Menurut Iskandar dan Nugraha (2004) kerusakan hutan lebih disebabkan oleh
aktivitas penebangan liar (Illegal logging), penyelundupan kayu (Illegal Trade) dan
kebakaran hutan (forest fire). Berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan, angka
penebangan liar di Indonesia mencapai 50,7 juta m3/tahun dengan kerugian finansial
Kawasan hutan yang mendapat tekanan dari berbagai gangguan keamanan
hutan seperti penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan, bukan hanya
kawasan hutan produksi saja melainkan kawasan hutan konservasi juga, termasuk
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Meskipun
demikian, apabila dibandingkan dengan kawasan hutan lainnya maka kerusakan KSA
dan KPA khususnya taman nasional, relatif masih lebih utuh. Data citra Landsat
(2002) memperlihatkan luas lahan kritis di dalam kawasan konservasi termasuk taman
nasional kurang lebih 899.000 hektar atau 3,9 % dari luas total Kawasan Konservasi
(Departemen Kehutanan, 2005).
2.3. Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan
manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, dan penyakit, serta
mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat, dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam
bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung,
fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari
(Departemen Kehutanan, 2007).
Upaya perlindungan sumber daya alam telah muncul sejak zaman penjajahan
Pemerintah Indonesia secara khusus pada tahun 1982 dengan diundangkannya
Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982. Kebijakan pengelolaan
kawasan konservasi selanjutnya diatur dalam undang-undang No.5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Sembiring, 2001).
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2007).
Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara
menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan. Guna pengaturannya
pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan pemanfaatan wilayah tersebut sehingga
fungsi perlindungan dan pelestariannya tetap terjamin (Departemen Kehutanan, 2007).
2.4. Pengelolaan Taman Nasional
Taman Nasional adalah kawasan peletarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman
Nasional mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatannya secara lestari
(Sembiring, 2001).
Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona
pemanfaatan, dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Kegiatan pemanfaatan di
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam. Suatu
kawasan ditunjuk menjadi taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai
berikut:
(a). Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi
secara alami;
(b). Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan
maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;
(c). Memiliki satu dan beberapa ekosistem yang masih utuh;
(d). Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam;
(e). Merupakan kawasan yang dapat dibagi menjadi zona inti, zona pemanfaatan, zona
rimba, dan zona lain yang karena pertimbangan rehabilitasi kawasan;
(f). Ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya
pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai
zona tersendiri (WWF, 2006).
Sistem zona merupakan penataan kawasan taman nasional berdasarkan fungsi
dan peruntukannya sesuai kondisi, potensi dan perkembangan yang ada. Penataan
kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan dan spesifikasi kawasan taman nasional, karena itu penataan pembagian
kawasan taman nasional ke dalam zonasi kawasan tidak harus selalu lengkap dan sama
di setiap kawasan taman nasional. Namun demikian, secara umum pembagian zona
dan/atau zona-zona lain yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan
kebutuhan pelestarian keanekaragaman hayati (Depatemen Kehutanan, 2007).
Pada saat ini, luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 28.166.580,30
ha, dimana taman nasional menempati wilayah terluas, yaitu 16.384.194,14 ha,
meliputi 50 unit taman nasional atau mencapai 66 % dari luas total kawasan konservasi
(WWF, 2006).
Pada kawasan hutan konservasi kerusakan dan gangguan hutan lebih memiliki
resiko tinggi karena ada persoalan hilangnya plasma nutfah yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan generasi manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. Masalah
mendasar di kawasan konservasi adalah sebagian masyarakat kurang menyadari
manfaat tersebut karena memang yang diperlukan oleh masyarakat adalah pemenuhan
kebutuhan hidup secara langsung dan sesaat. Kawasan hutan konservasi sudah
memiliki konsep pemanfaatan oleh masyarakat, tetapi pelaksanaannya di Indonesia
sangat terbatas dan cendrung belum ada bukti signifikan (Awang, 2003).
2.5. Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknik berbasis komputer
yang dapat mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, mengolah dan mengelola
berbagai informasi geografis (disebut data keruangan atau data spasial) dari fenomena
geografis agar kemudian dapat dianalisa dan hasilnya digunakan dalam penentuan
berbagai kebijakan oleh para pengguna (pengambil keputusan). GIS dengan sistemnya
(dengan pengukuran lapangan) atau bentuk yang lainnya (data sekunder) menjadi
sebuah peta (sajian informasi baru) dan hasilnya bisa dipakai (Rusyana, 2007).
Penggunaan SIG untuk kehutanan tropis di negara berkembang belum lama
dimulai, dan cukup bervariasi antar Negara, yaitu dalam hal tujuan, aplikasi, skala
operasional, kesinambungan, dan pembiayaan. Dalam aspek konservasi hutan dan
keragaman hayati, menentukan area prioritas dan hotspot dari keragaman hayati adalah
hal paling mendasar. Aplikasi SIG untuk ini, baik di negara maju maupun di negara
berkembang sudah cukup banyak. Basis data spasial akan semakin penting dalam hal
mendukung pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan.
Beberapa basis data global yang mencakup area hutan tropis sudah tersedia yaitu
meliputi basis data topografi, hutan tropis basah, iklim global, perubahan iklim global,
citra satelit, konservasi dan tanah (Tarigan et al, 2003).
Software ArcView GIS adalah salah satu software terdepan dalam dunia GIS.
Software ini dibuat oleh ESRI atau Environmental System Research Institute dari
Amerika Serikat. Lembaga ini dengan software-software-nya adalah salah satu yang
mengembangkan GIS dari periode pertama. Antara lain yang terkenal selain ArcView
adalah PC Arc Info dan Arc Info. Sekarang ini ESRI sudah dengan produk terbarunya
yaitu Arc GIS 9.2. Arcview memiliki kemampuan menampilkan, mendesain format
cetak peta (layout), melakukan Query atau seleksi data, dan menganalisa data spasial
yang diolah di ArcView GIS ataupun software lainnya. Software ArcView GIS
terbaru dibuat tidak semata-mata hanya untuk menggantikan beberapa model dan
sebagai software GIS yang dapat mendigitasi, menganalisis, sampai kepada keperluan
pencetakan peta (Rusyana, 2007).
2.6. Analisis Swot
Analisis Swot adalah analisis kondisi internal maupun eksternal eksternal suatu
organisasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi
dan program kerja. Analisis internal meliputi penilaian terhadap faktor kekuatan
(Strengths) dan kelemahan (Weakness). Sementara, analisis eksternal mencakup faktor
peluang (opportunity) dan ancaman (threaths). Analisis ini didasarkan pada logika
yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan Peluang (Opportunity) , namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (Threats)
(Rangkuti, 2008).
Analisis Swot ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu 1). menganalisis
faktor Strategis internal dan eksternal. 2). membuat matrik faktor strategi internal
(IFAS = Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan matriks faktor strategi
eksternal (EFAS = Eksternal Strategic Factors Analysis Summary). 3). Membuat
matrik ruang (space matriks), 4). Menyusun keputusan strategis. Rangkuti,(2008)
menambahkan bahwa analisis Swot merupakan perbandingan antara faktor eksternal
peluang (Opportunity) dan ancaman (threaths) dengan faktor internal kekuatan
(strength) dan kelemahan (weakness).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada dua lokasi yang berbeda, yaitu di dalam
kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah VI Besitang dan di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan
kawasan TNGL. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s/d Mei 2010.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa kawasan ini
merupakan salah satu wilayah di kawasan Hutan TNGL yang sedang mengalami
kerusakan yang cukup parah. Lokasi ini dinilai sangat cocok dengan judul penelitian
karena didukung oleh informasi atau data awal tentang wilayah studi yang cukup
sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : Peta Rupa Bumi
Indonesia skala 1 : 50.000 lembar 0620-21, 0619-44, 0619-53, 0619-42, dan 0619-51,
Peta Hasil Rekontruksi Batas Kawasan Hutan TNGL lembar 1 s/d 4 tahun 2002, skala
1 : 25.000, Peta Wilayah kerja SPTN VI Taman Nasional Gunung Leuser, Citra
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: GPS (Global Positioning
System) untuk menentukan lokasi/posisi geografis secara tepat dengan
bantuan satelit, Kamera, Seperangkat computer, Software Arcview 3.3 dan ArcGis 9.2
untuk mengolah dan menganalisis data geografis Software ERDAS 9.3 untuk
mengolah dan menganalisis citra satelit.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini diambil dari masyarakat yang berdomisili di
desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL SPTN Wilayah VI
Besitang. Ada 6 (enam) desa yang dipilih dalam penelitian ini mewakili 3 (tiga)
kecamatan yang terdapat di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Desa-desa
tersebut adalah Desa Haleban dan PIR ADB Kecamatan Besitang, Desa Harapan Maju
dan Mekar Makmur Kecamatan Sei Lepan serta Desa Namo Sialang dan Sei Serdang
Kecamatan Batang Serangan. Jumlah populasi yang diambil dalam penelitian ini
Tabel 1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi dalam
Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda purposive sampling,
pengambilan sampel dipilih pada lokasi-lokasi yang rawan aktivitas ilegal sesuai
dengan data hasil analisis citra landsat yang diambil sebelumnya. Desa yang dipilih
dalam penelitian ini adalah desa-desa yang ada kaitan dengan tujuan penelitian, ada
lembaga lokal dan ada upaya-upaya yang dilakukan secara kolaboratif dengan
manajemen TNGL. Masyarakat yang dijadikan sampel dalam penelitian ini
diutamakan yang berdomisili di dusun-dusun yang berbatasan langsung dengan
kawasan TNGL. Sedangkan untuk jumlah sampel masyarakat sekitar hutan ditentukan
dengan rumus Sarwono, (2006) pada tingkat kesalahan 7% dengan formula sebagai
N
Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak :
6.866 n =
6.866 (0,07)² + 1
n = 198 kepala keluarga
Hasil perhitungan jumlah sampel setiap desa dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Jumlah Sampel Penelitian
3.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metoda pengumpulan data
disesuaikan dengan sasaran yang akan dicapai. Metoda pengumpulan data yang
digunakan meliputi:
a. Ground check
Pengumpulan data dilakukan dengan melihat langsung kondisi hutan di
wilayah kerja SPTN VI Besitang berdasarkan data analisis citra landsat. Kegiatan ini
bertujuan untuk memastikan kesesuaian antara hasil analisis citra landsat yang telah
diperoleh sebelumnya dengan fakta sebenarnya di lapangan. Hal-hal yang diamati
antara lain, tingkat kerusakan, luas kerusakan, penyebab kerusakan,dampak kerusakan
dan hal-hal lain yang ada kaitan dengan judul penelitian.
b. Kuisioner
Kuisioner atau angket merupakan salah satu metode yang dilakukan untuk
mendapatkan data-data yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan.
Penyebaran kuisioner dilakukan secara langsung kepada masyarakat sekitar hutan, hal
ini penting untuk mengurangi bias atau kesalahan dalam pengisian. Jawaban dari
responden yang menyimpang atau tidak sesuai dengan yang diharapkan tentunya akan
berpengaruh kepada kualitas dari penelitian yang sedang dilakukan. Ada 2 (dua) jenis
kuisioner yang disebarkan kepada masyarakat sekitar hutan, yaitu :
1). Kuisioner pendapat masyarakat (lampiran 1) disebarkan kepada masyarakat
sekitar hutan secara acak tanpa memperhatikan karakteristik dari masyarakat
2). Kuisioner lingkungan internal dan eksternal (lampiran 2), disebarkan kepada
masyarakat dengan memperhatikan karakteristik pendidikan, pekerjaan dan
tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Kuisioner ini disebarkan kepada tokoh
masyarakat, aparatur desa, kelompok swadaya masyarakat dan masyarakat
lainnya. Kuisioner ini diperlukan untuk mendukung analisis swot.
c. Wawancara
Wawancara (lampiran 3) dilakukan terhadap tokoh-tokoh atau orang-orang
yang tahu persis dengan kondisi kawasan hutan TNGL Seksi Pengelolaan Taman
Nasional wilayah VI Besitang terutama berkaitan dengan kerusakan hutan dan
upaya-upaya yang telah dilakukan manajemen TNGL dan para pihak dalam menyelesaikan
persoalan tersebut. Dalam penelitian ini, tokoh yang diwawancari mewakili dari
beberapa unsur yang ada disekitar lokasi penelitian, yaitu masyarakat adat/kedatukan,
tokoh masyarakat, kepala desa, lembaga swadaya masyarakat, dan unsur penegak
hukum/kepolisian. Kuisioner ini diperlukan untuk mendukung hasil analisis.
3.5. Analisis Data
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif. Secara harafiah dimaksudkan
untuk membuat gambaran mengenai situasi, kondisi, atau kejadian, sehingga lebih
mengarah menghimpun data dasar. Metode ini secara lebih umum sering disebut
sebagai metode survei. Penelitian dilakukan untuk memperoleh fakta dari gejala-gejala
Data-data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan 2 (dua) cara,
yaitu :
a. Analisis Citra Landsat
Data yang ada dianalisis dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)
dengan teknik tumpang susun (overlay) dan analisis time series citra landsat terhadap
tutupan hutan. Analisa citra landsat dilakukan secara visual untuk melakukan
klasifikasi tutupan hutan. Data tutupan hutan ini akan dipergunakan sebagai dasar
perhitungan laju kehilangan hutan (deforestation rate) sehingga menghasilkan peta
analisis yang menjelaskan tentang perubahan tutupan lahan pada lokasi yang diteliti.
b. Analisis Swot
Analisis ini didahului dengan analisis faktor internal dan faktor eksternal.
Analisis faktor internal dilakukan dengan model Matrik IFAS sedangkan analisis
faktor eksternal dilakukan dengan Matrik EFAS
Analisis matrik IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan matrik EFAS
(Eksternal Factor Analysis Summary) dilakukan dengan langkah-langkah berikut :
1. membuat daftar faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal
(peluang dan ancaman).
2. Memberikan bobot pada masing-masing faktor dengan skala mulai 0,0 (tidak
penting) sampai dengan 1,0 (sangat penting).
3. Memberikan nilai rating dengan menggunakan skala Likert mulai dari 1 sampai
dengan 4. Pemberian nilai rating kekuatan dan peluang bersifat positif
(kekuatan dan peluang yang semakin besar di beri nilai 4) tetapi bila kekuatan
dan peluang yang semakin kecil diberi nilai 1. Pemberian nilai rating
kelemahan dan ancaman adalah sebaliknya. Jika nilai kelemahan dan
ancamannya sangat besar, ratingnya 1, sedangkan jika nilai kelemahan dan
ancamannya sedikit ratingnya 4.
4. Menghitung skor dengan cara mengalikan bobot dengan rating.
Tabel 3. Matriks IFAS (Internal Factor Analysis Summary)
Sumber: Rangkuti (2008)
Tabel 4. Matriks EFAS (External Factor Analysis Summary)
Faktor-faktor Strategis
Sumber: Rangkuti (2008)
Analisis terhadap faktor internal terkait penerapan strategi pengamanan hutan
dan analisis faktor eksternal terkait dukungan para pihak terutama masyarakat sekitar
hutan dalam pengelolaan kawasan TNGL. Analisis ini selanjutnya akan dikaji dengan
pendekatan tersebut, kita dapat membuat berbagai kemungkinan alternatif strategi (SO,
ST, WO, dan WT) sebagai berikut:
1. Strategi SO, yaitu menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki organisasi
untuk memanfaatkan peluang.
2. Strategi ST, yaitu menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki organisasi
dengan cara menghindari ancaman.
3. Strategi WO, yaitu memanfaatkan peluang yang ada, dengan cara mengatasi
kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh organisasi.
4. Strategi WT, yaitu meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari
ancaman.
Tabel 5. Matrik SWOT
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Status Kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berada pada posisi 02º 50' - 04º 10'
LU dan 96º 35' - 98º 30' BT dengan luas wilayah mencapai 1.094.692 Ha. Wilayah
kawasan TNGL mencakup: (1). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten
Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Luwes dan Aceh Barat Daya (± 867.789,00 Ha)
dan (2) di Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Langkat dan Karo (± 226.903.00 Ha).
Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997 Tanggal 23 Mei 1997.
Taman Nasional Gunung Leuser terbentang luas mengikuti gugusan
pegunungan Bukit Barisan dan merupakan kawasan konservasi yang memiliki
perwakilan ekosistem lengkap, mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan
pegunungan, dan danau yang relatif masih utuh dengan kelimpahan satwa-satwa
langka dan endemik. Potensi keanekaragaman hayatinya memiliki nilai konservasi
global. UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer, dan Cluster
Natural World Heritage Site, sedangkan Indonesia-Malaysia menetapkan kawasan
Leuser sebagai Sister Parks dengan Taman Negara (National Park) Malaysia.
Kawasan TNGL juga merupakan kawasan tangkapan air dan sumber air bagi
banyak sungai-sungai besar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera
terpenting di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, khususnya
Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Karo, dan Langkat.
Penetapan kawasan Gunung Leuser sebagai kawasan konservasi memiliki
sejarah yang sangat panjang. Pada jaman kolonial Belanda (tahun 1934), Pemerintah
Belanda menetapkan kawasan Suaka Margasatwa Gunung Leuser dengan luas 142.800
ha. Tahun 1936, Pemerintah Belanda menetapkan suaka margasatwa baru, yaitu Suaka
Margasatwa Kluet Aceh dengan luas 20.000 ha. Tahun 1938, kembali ditetapkan
kawasan Suaka Margasatwa Langkat di Sumatera Utara dengan luas 51.000 ha. Tahun
1976, Pemerintah Indonesia menunjuk kawasan Suaka Margasatwa Kappi di Provinsi
Aceh dengan luas 142.000 ha. Tahun 1980, Menteri Pertanian mengumumkan keempat
suaka margasatwa tersebut di atas dan beberapa hutan wisata untuk dikelola sebagai
taman nasional.
4.2. Topografi
Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser terletak di kawasan pegunungan
yang berbukit dan bergelombang. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran
rendah, yaitu di daerah Sekundur-Langkat di pantai Timur dan di daerah Kluet
di pantai Barat. Berbagai elemen morfologi terlihat nyata, seperti rangkaian
pegunungan dengan berbagai lipatan patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan
bergelombang, gunung-gunung, kubah-kubah, dataran tinggi, plato, celah, lembah,
jurang, lereng, dataran rendah, pantai, kompleks, dan aliran sungai dengan berbagai
tercatat. Salah satu puncak tertinggi di sini adalah puncak Gunung Leuser, yaitu 3.404
m dpl.
4.3. Geologi
Dijelaskan oleh C.G.G. van Beek dalam C v.Schaik dan J.Supriatna (Ed),
(1996), bahwa TNGL terbagi ke dalam 5 Unit Fisiografi, dan di setiap Unit masih
dapat dibagi ke dalam beberapa sub-unit. Unit-unit fisiografi utama tersebut terkait
langsung dengan zona fisiografi longitudinal pada zona subduksi sepanjang Sumatra.
Kelima unit fisiografi unit tersebut adalah: West Coast Chain (Blangpidie plain,
Tapaktuan chain, Kluet-Bakongan plain, dan Singkil Bay); West Barisan (Senaboh
chain, Leuser Kluet mountains, dan Bengkung plateau); West Alas Chain (Kemiri
block, Ketambe block, Mamas block, dan Sembabala block); Central Graben (Bukit
limus block, Gunung Api block, Blangkejeren basin, Palok mountain, dan Alas
graben); East Barisan (Gayo mountains, Singgamata mountain, Kapi plateau,
Bendaharan block, dan Karo highland); dan East Coast Chain (East coast hiils, dan
Sumber: Yayasan Leuser Internasional
Gambar 3. Peta Formasi Geologi TNGL
4.4. Iklim
Beradasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, termasuk tipe iklim A di
mana musim kemarau terjadi pada bulan Maret s/d Agustus dan musim hujan pada
bulan September s/d Februari. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1.000 s/d 3.000
mm pertahun. Suhu rata-rata minimum berkisar antara 23 – 25 º C dan rata-rata
maksimum 30 – 33 º C, dan kelembaban udara relatif antara 65% - 75%.
4.5. Hidrologi
Hidrologi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dicirikan oleh sungai
Parkinson dan lain-lain. Anak-anak sungai ini bermuara ke Samudera Indonesia
ataupun ke Selat Malaka. Secara garis besar terdapat beberapa Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang airnya berasal dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Di samping
keberadaan sungai-sungai tersebut di kawasan ini juga terdapat 2 (dua) buah danau
kecil, yaitu Danau Laot Bangko yang terdapat di daerah Kluet (10 Ha) dan Danau
Marpunga (6 ha) di daerah Marpunga.
4.6. Kondisi Biotik
Taman Nasional Gunung Leuser memiliki penyebaran vegetasi yang lengkap,
mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan
hutan pegunungan. Kawasan ini hampir seluruhnya ditutupi oleh lebatnya hutan
Dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun. Vegetasi dominan adalah
hutan tropis basah. Van Steenis membagi wilayah tumbuh-tumbuhan taman nasional
ini atas 3 (tiga) zona, yaitu (1) Zona Tropika (500-1.000 m dpl); Merupakan daerah
berhutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis tegakan yang berdiameter besar yang
tingginya bisa mencapai 40 meter, serta berbagai jenis liana dan epifit yang menarik
seperti anggrek; (2) Zona Montane (1.000-1.500 m dpl); merupakan hutan montane
dengan tegakan kayu yang tidak terlalu tinggi, yaitu berkisar antara 10 – 20 m, banyak
dijumpai lumut yang menutupi tegakan kayu atau pohon, dengan kelembaban udara
yang tinggi; dan (3) Zona Sub Alpine (2.900 – 4.200 m dpl) yang merupakan zona
hutan ercacoid yang tidak berpohon lagi, di mana vegetasinya merupakan campuran
dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak serta beberapa jenis tundra, anggrek dan
4.7. Flora
Kawasan Gunung Leuser diperkirakan memiliki 3.000 s/d 4.000 jenis
tumbuhan, terutama di hutan-hutan dataran rendah di bawah 300 m dpl, diantaranya
terdiri dari jenis kayu komersial, pohon buah-buahan, rotan (74 jenis), palm, jenis
tanaman obat, dan bumbu-bumbuan. Kayu komersial dari famili Dipterocarpaceae
terdapat 95 jenis, antara lain meranti (Shorea,Sp, keruing (Dipterocarpus indicus), dan
pohon kapur (Dryoballanops aromatica). Pohon buah-buahan antara lain jeruk hutan
(Citras macroptera), durian hutan (Durio exeleyanus dan D. zibethinus), menteng
(Baccaurea montheyana dan B. racemosa), dukuh (Lansium domesticum), mangga
(Mangifera foetida dan M. guadrifolia), rukem (Flacourtia rukem), dan rambutan
(Nephelium lappaceum). Jenis lainnya, antara lain rotan (74 jenis dan merupakan
plasma nutfah penting bagi kawasan ini), daun sang (Johannesteijsmania altifrons)
yang merupakan jenis yang hanya terdapat di daerah Langkat, tanaman obat-obatan
seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan kayu manis (Cinnamomun burmanii), beberapa
jenis bunga raflesia (Rafflessia cropylosa, R. atjehensis, R. hassetii), dan Rhizanthes
zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter, serta berbagai
tumbuhan pencekik misalnya ara/beringin (Ficus benzamina.).
4.8. Fauna
Fauna di Taman Nasional Gunung Leuser terdapat 34 ordo, 144 famili dan 717
jenis dan 89 jenis di antaranya termasuk jenis satwa langka dan tidak terdapat di taman
thomasi), siamang (Hylobates sindactylus), musang congkok (Prionodon linsang),
kukang (Nycticebus coucang), kucing emas (Felis temmincki), pulusuan (Arctonyx
collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris
sumatrae), ajak (Cuon alpinus), harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu
(Helarctos malayanus), gajah sumatera (Elephas maximus), rusa (Cervus unicolor),
kijang (Muntiacus muntjak), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), kambing
hutan (Capricornis sumatraensis), tapir (Tapirus indicus); (2) burung, antara lain
kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul (Egretta sp.), itik liar (Cairina sp.), rajawali
kerdil (Microhierax spp.), rangkong (Buceros bicornis), julang ekor abu-abu
(Annorhinus gaeleritus), julang emas (Rhiticeros undulatus), kangkareng
(Anthracoceros convextus), dan beo nias (Gracula religiosa); dan (3) reptil, antara lain
buaya muara (Crocodilus porosus), penyu belimbing (Dermochelys sp.), kura-kura
gading (Orlitia borneensis), dan senyulong (Tomistoma sp.).
Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 4 spesies fauna kunci, yaitu:
a. Orangutan
Sebaran orang utan di Sumatera bagian utara, menurut YLI dan SCOCP (2005)
terdapat di 7 wilayah, yaitu West-Leuser & West-Middle Aceh Block dengan populasi
(2.611); Trumon-Singkil (1.500); East Leuser & East-Middle Aceh Block (1.389);
Nort-West Aceh & North-East Aceh (834); West Batang Toru (400); Tripa Swamp
(280); East Sarulla (150); dan Sidiangkat (134). Sebaran populasi orangutan tersebut
Sumber: Hasil Survey YEL-Unesco, 2009
Gambar 4. Peta Sebaran Populasi Orangutan Sumatera di Kabupaten Langkat
b. Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis)
Badak sumatera beradaptasi dengan baik untuk hidupnya di kawasan hutan
pegunungan yang padat. Catatan sejarah menyatakan bahwa keberadaan Badak
sumatera ini terdapat di hampir seluruh wilayah-wilayah terpencil di Sumatera, dan
TN.Gunung Leuser merupakan tempat dengan dokumentasi yang baik (Van Strien in
sepanjang pantai barat, dan daratan rendah di Langkat dan Deli. Perburuan badak
merupakan profesi tua di Aceh, dan di beberapa desa dikenal sebagai desa pemburu
badak yang terkenal.
Ketika survei pertama kali dilakukan di Gunung Leuser pada tahun 1930an,
badak sudah menjadi langka di wilayah utara Gunung Leuser di dekat Blangkejeren,
yang dikenal sebagai pusat pemburu badak. Kecenderungan akan penurunan populasi
badak ini terus berlanjut, dan ketika proyek penelitian badak dari seorang ahli zoology
Swiss-Marcus Borner lalu dilanjutkan oleh Nico van Strein pada awal 1970an, badak
telah menghilang dari seluruh batas taman nasional. Hanya terdapat satu wilayah di
pusat taman nasional yang dapat dicapai melalui udara atau mengikuti jalur jelajah
gajah memotong kawasan bergunung-gunung di Lembah Mamas. Nico van Strein
melakukan penelitian badak di wilayah ini pada tahun 1975.
Dalam jangka waktu studi 358 hari di Lembah Mamas, 4.000 km jalan patroli
telah dilalui dan lebih dari 600 casts telah dibuat pada 360 jalur jelajah badak.
Disimpulkan telah ditemukan tidak kurang dari 39 individu badak, 12 individu
diantaranya adalah anak badak yang lahir pada masa studi. Di lembah Mamas juga
diprediksi bahwa kepadatan individu diperkirakan 1 badak/800 hektar, dan ini adalah
jumlah yang maksimum yang dapat didukung oleh kondisi di Gunung Leuser, dan
sangat mungkin merupakan ukuran untuk badak pegunungan di seluruh Sumatera.
Sedangkan daerah jelajah badak jantan dapat mencapai areal hutan seluas 2.500-3.000
hektar, sedangkan badak betina pada luasan 1.000-1.500 hektar, yang umumnya
c. Harimau
Harimau dijumpai pada kawasan pantai sampai dengan ketinggian 2.000 m dari
permukaan laut, baik di hutan sekunder maupun primer. Mereka lebih suka di
perbatasan hutan di mana banyak dijumpai hewan pakannya seperti babi hutan.
Harimau adalah spesies paling terancam oleh perburuan illegal dengan menggunakan
racun. Perburuan yang berulang-ulang akan menurunkan populasinya, bahkan populasi
yang jauh di dalam taman nasional.
Menurut Griffiths (1999) dalam Balai TNGL (2007), populasi harimau di
TN.Gunung Leuser pada tahun 1992 diperkirakan mencapai 100 individu. Jumlah ini
diduga merupakan separuh dari jumlah populasi 6 tahun sebelumnya. Predator seperti
harimau ini merupakan komponen dari ekosistem hutan hujan dataran rendah di
TN.Gunung Leuser. Peranannya sebagai pemangsa terhadap hama babi hutan,
membantu para petani yang tinggal di sekitar taman nasional, dari kegagalan panennya
akibat serangan babi hutan. Harimau juga akan membantu menjaga keseimbangan
populasi babi hutan pada tingkat yang stabil. Kerugian akibat serangan hama babi
hutan ini besarnya equivalent dengan 30 kambing per tahun, seperti yang pernah
terjadi di Desa Jambo Dalim, sebelah selatan TN.Gunung Leuser.
d. Gajah
Tipe gajah di Taman Nationnal Gunung Leuser merupakan sub-species dari
gajah Asia, yaitu Elephas maximus sumatranus. Semula jalur jelajahnya meliputi
menyempit, di wilayah-hutan yang terputus-putus yang bisa mendukung populasi yang
tersebar. Di TN. Gunung Leuser, tak ada satu jalur jelajah pun yang cukup terlindungi.
Gajah sumatera ini menyukai habitat di hutan hujan dataran rendah dengan
drainase tanah yang baik tetapi dengan dukungan suplai air yang mencukupi. Kawasan
di bawah ketinggian 1.000 meter dpl ini pun juga harus memiliki cadangan makanan
yang disukai gajah, yaitu bambu, rumput liar, liana, kulit pohon-pohon tertentu, dan
beberapa jenis buah tertentu, seperti durian, mangga, dan cempedak. Suplai yang
menurun dari berbagai jenis makanan tersebut akan berdampak pada pola kawin,
kerentanan pada penyakit, dan kematian. Oleh karena itu, dengan berkurangnya luas
hutan hujan dataran rendah, akan langsung mengancam keberadaan gajah sumatera ini.
Populasi gajah di TN. Gunung Leuser diprediksi sebanyak 160-200 individu,
dan populasi ini terpisah dalam beberapa kelompok, dengan harapan terjadinya
interbreeding yang kecil, masa depan populasinya tidak begitu menggembirakan.
Menurut Griffiths (1999) dalam Balai TNGL (2007), dengan memberikan cukup
perlindungan dan koridor yang tepat akan membantu menjaga masa depan gajah
sumatera ini lebih baik, antara lain dengan melakukan perlindungan daerah jelajahnya
di dalam taman nasional. Khususnya daerah-daerah hutan hujan dataran rendah yang
merupakan daerah jelajah kelompok-kelompok gajah tersebut. Daerah jelajah awal dari
populasi gajah di TN. Gunung Leuser, meliputi kawasan Sekundur di Langkat, menuju
jalur jelajahnya sampai di Kappi dan memotong enclave Gumpang dan Marpunge
menuju lembah Alas, Muara Situlen, dan berakhir di sekitar Lawe Bengkung sampai
4.9. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI
Kawasan hutan SPTN Wilayah VI luasnya mencapai ± 125.000 Ha, secara
administrasi terletak di Kecamatan Trenggulun dan Kecamatan Kejuruan Muda
Kabupaten Aceh Tamiang Propinsi Aceh serta Kecamatan Besitang, Kecamatan Sei
Lepan dan Kecamatan Batang serangan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.
Untuk efektifitas pengelolaan, kawasan ini dibagi ke dalam 6 (enam) resort, yaitu dari
Resort Trenggulun, Resort Sei Betung, Resort Sekoci, Resort Sei Lepan, Resort Cinta
Raja dan Resort Tangkahan.
Resort Trenggulun secara administrasi terletak di Desa Trenggulun Kecamatan
Trenggulun dan Desa Semadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh
Tamiang. Resort ini luasnya mencapai 7.695 Ha, dengan panjang batas mencapai 26
km. Resort Sei Betung secara administrasi terletak di Desa Bukit Selamat, Desa
Haleban dan Desa Bukit Mas Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Resort ini
luasnya mencapai 9.734 Ha, dengan panjang batas mencapai 26 km. Resort Sekoci
secara administrasi terletak di Desa PIR ADB, dan Desa Harapan Maju Kecamatan
Besitang Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 21.995 Ha, dengan panjang
batas mencapai 12 km. Resort Sei Lepan secara administrasi terletak di Desa Harapan
Maju Kecamatan Besitang dan Desa Mekar Makmur Kecamatan Sei Lepan
Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 23.513 Ha, dengan panjang batas
mencapai 15 km. Resort Cinta Raja secara administrasi terletak di Desa Mekar
Makmur Kecamatan Sei Lepan dan Desa Sei Serdang Kecamatan Batang Serangan
mencapai 14 km. Resort Tangkahan secara administrasi terletak di Desa Namo
Sialang, Desa Sei Serdang dan Desa Sei Musam Kecamatan Batang Serangan
Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 37.222 Ha, dengan panjang batas
mencapai 20 km
Kawasan Hutan SPTN Wilayah VI termasuk dalam tipe hutan dataran rendah
yang didominasi oleh jenis Dipeterocarpacea. Mata pencaharian masyarakat di sekitar
kawasan TNGL umumnya perkebunan dengan tanaman unggulan kelapa sawit dan
karet. Jenis tanaman tersebut merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser Besitang.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Citra Landsat
Hasil analisis citra landsat tentang kondisi kawasan hutan Taman Nasional
Gunung Leuser di wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI
Besitang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6. Hasil Analisis Citra Landsat di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang
Tahun (ha)
No Uraian
1989 2001 2003 2006 2009
1 Tutupan Hutan 120.058 115.838 119.498 80.116 104.384
2 Deforestasi 0 1.469 3.134 2.011 3.179
3 Degradasi 0 2.106 2.074 2.553 3.989
4 Sawit 0 397 746 247 267
5 Awan 3.962 4.277 187 29.943 12.803
6 Bayangan Awan 1.715 1.648 96 10.865 1.113
Total 125.735 125.735 125.735 125.735 125.735
Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi luas tutupan hutan di antara
tahun-tahun yang dianalisis. Luas tutupan hutan cendrung menurun sejalan dengan
meningkatnya kerusakan hutan. Penurunan luas tutupan hutan tersebut tidak
sepenuhnya disebabkan oleh kerusakan hutan namun dipengaruhi juga oleh kondisi
cuaca pada saat pengambilan gambar. Kondisi demikian sangat jelas terlihat pada hasil
analisis citra landsat tahun 2006 dengan luas tutupan awan dan bayangan awan
mencapai angka ± 40.000 Ha, sehingga kalau angka itu dianggap kondisi hutan yang
masih baik maka sebenarnya luas tutupan hutan pada tahun 2006 tidak berbeda jauh
dengan data tahun 2003. Kondisi demikian juga terlihat pada data hasil analisis tahun