• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kejadian Infeksi Helicobacter Pylori Pada Hiperemesis Gravidarum Dengan Hamil Normal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kejadian Infeksi Helicobacter Pylori Pada Hiperemesis Gravidarum Dengan Hamil Normal"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KEJADIAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

PADA HIPEREMESIS GRAVIDARUM DENGAN HAMIL NORMAL

T E S I S

O L E H

A I D I L A K B A R

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK – RSUD. Dr. PIRNGADI

(2)

PENELITIAN INI DIBAWAH BIMBINGAN TIM–5

Pembimbing : Dr. Risman F Kaban, SpOG

Dr. Sarma N Lumbanraja, SpOG(K)

Penyanggah : Dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG(K)

Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K)

Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K)

Diajukan untuk melengkapi tugas–tugas dan memenuhi

salah satu syarat untuk mencapai keahlian

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

 

Penelitian ini telah disetujui oleh TIM-5 :

PEMBIMBING :

Dr. Risman F Kaban, SpOG

...

Pembimbing

I

Tgl

:

Dr. Sarma N Lumbanraja, SpOG(K) ...

Pembimbing

II Tgl

:

PENYANGGAH :

Dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG(K)

...

Tgl :

Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K) ...

Tgl :

Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K) ………...

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Penyayang.

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat Rahmat dan Kurnia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Spesialis Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa saya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

“PERBANDINGAN KEJADIAN INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

PADA HIPEREMESIS GRAVIDARUM DENGAN HAMIL NORMAL”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.

2. Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K), Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; Dr. M. Fidel Ganis Siregar, SpOG, Sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK–USU Medan; Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K), Ketua Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK–USU Medan; Dr. Deri Edianto, SpOG(K), Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK–USU Medan; Prof. Dr. M.Yusuf Hanafiah, SpOG(K), Prof. Dr. Djaffar Siddik, SpOG(K), Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG(K), Prof. Dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K), Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG(K), Prof. Dr. T.M. Hanafiah, SpOG(K), Prof. Dr. Budi R. Hadibroto, SpOG(K) dan Prof. Dr. Daulat H Sibuea, SpOG(K) yang telah bersama–sama berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi. 3. Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG(K) selaku kepala Sub Divisi Fetomaternal

terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk melakukan penelitian ini.

(5)

5. Dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG(K), Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K), Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K), selaku tim penyanggah dan nara sumber dalam penulisan tesis ini, yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam perbaikan tesis ini.

6. Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K), selaku bapak angkat saya selama menjalani masa pendidikan ini, yang telah banyak mengayomi, membimbing, dan memberikan nasehat-nasehat yang bermanfaat kepada saya dalam menghadapi masa-masa sulit selama pendidikan.

7. Dr. Herbert Sihite, SpOG, selaku pembimbing Mini Referat Fetomaternal saya yang berjudul “Penanggulangan Nyeri Persalinan Pervaginam dengan Paracervikal Blok”, kepada Dr. Binarwan Halim, SpOG(K), selaku pembimbing Mini Referat Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi saya yang berjudul “Diagnosis dan Manajemen Hiperprolaktinemia”, dan kepada Dr. John S Khoman, SpOG(K) selaku pembimbing Mini Referat Onkologi saya yang berjudul “Manajemen Pencegahan Venous Thromboembolism Perioperatif Dan Postoperatif Pada Penderita Kanker Ginekologi”, terima kasih banyak atas bimbingan dan nasehat yang telah diberikan.

8. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK–USU/ RSUP H. Adam Malik, RSUD Dr. Pirngadi dan RSU Jejaring di Medan, yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan. Semoga Tuhan Yang Maha pengasih membalas budi baik guru–guru saya ini.

9. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.

10. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana untuk belajar, bekerja selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi.

11. Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan dan Kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan sarana belajar, bekerja selama mengikuti pendidikan.

(6)

13. Karumkit Puteri Hijau KESDAM I/BB dan kepala SMF Obgin Dr. Gunawan Rusuldi, SpOG beserta staf yang telah banyak memberi kesempatan dan bimbingan selama saya bertugas di bagian tersebut.

14. Direktur RS Haji Mina Medan, beserta staf pengajar yang telah banyak memberikan kesempatan dan sarana belajar selama masa pendidikan.

15. Direktur RS Sundari Medan, beserta staf yang telah memberi sarana belajar dan bekerja kepada saya selama bertugas.

16. Direktur RSU Kuta Cane beserta staf atas kesempatan kerja dan bantuan moril selama saya bertugas di rumah sakit tersebut.

17. Kepala Departemen Patologi Anatomi FK USU Medan beserta staf atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama saya bertugas di departemen tersebut.

18. Kepala Departemen Anastesi dan Reanimasi RSUP H. Adam Malik Medan beserta staf yang telah banyak membimbing saya.

19. Senior-senior dan teman-teman seangkatan saya yang dengan penuh perhatian dan turut serta membantu saya selama masa pendidikan.

20. Kepada teman sejawat residen obgin terima kasih atas kerjasama dan kekompakan kita selama pendidikan.

21. Teman sejawat, dokter muda, bidan, paramedis, karyawan/karyawati dan tidak lupa kepada pasien-pasien yang telah ikut membantu dan bekerja sama dengan saya dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di FK USU, RSUP H. Adam Malik, RSUD Dr. Pirngadi, RS PTPN II Tembakau Deli, RS Puteri Hijau KESDAM I/BB, RS Haji Mina dan RS Sundari Medan. Terima kasih atas kerjasama dan saling pengertian yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Sembah sujud, hormat dan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada kedua orang tua saya yang terkasih dan tersayang Ayahanda Ir. H. Asmady dan Ibunda Hj. Betty, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang dari masa kanak-kanak hingga kini mengantarkan saya meraih cita-cita, tanpa kenal lelah memberikan motivasi dan perhatian selama saya menjalani pendidikan ini. Terima kasih atas dorongan dan semangat yang telah diberikan kepada saya. Juga saya sampaikan terima kasih kepada Bapak Mertua Drs. H. Samsu dan Ibu Mertua Hj. Tati Suryati, yang telah banyak membantu, mendoakan dan memberikan dorongan dan perhatian kepada saya selama mengikuti pendidikan ini.

(7)

yang dapat saya sampaikan selain terima kasih dan diiringi permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya dikarenakan oleh kesibukan menyelesaikan tugas-tugas di pendidikan ini, tugas saya sebagai suami dan ayah sering terabaikan. Sekali lagi terima kasih atas kesabaran, dorongan, semangat, pengorbanan dan doa yang telah diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada abangku Zulkifli, SP, MSc dan adik-adikku tercinta Drg. Melva Tri Asbela dan Yulvi De Rosa, SKed terima kasih atas doa, dorongan dan semangat yang diberikan kepada saya.

Akhirnya kepada seluruh keluarga dan handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan baik moril dan materil, saya ucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, September 2010

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

.DAFTAR ISI ...v

DAFTAR SINGKATAN ...vii

DAFTAR TABEL ...ix

DAFTAR GAMBAR ...x

ABSTRAK ...xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...2

1.3 Tujuan Penelitian ...3

1.4 Manfaat Penelitian ...3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HiperemesisGravidarum 2.1.1 Definisi ...4

2.1.2 Etiologi ...4

2.1.3 Diagnosis ...6

2.1.4 Komplikasi ...6

2.2 Helicobacter pylori 2.2.1 Sejarah ...7

2.2.2 Morfologi ...8

2.2.3 Epidemiologi ...9

2.2.4 Patogenesis ...10

2.2.5 Manifestasi Klinik ...11

(9)

2.3 Tes Diagnostik

2.3.1 Histologi ...18

2.3.2 Kultur ...19

2.3.3 Polymerase Chain Reaction (PCR) ...19

2.3.4 Rapid Urease Test ...20

2.3.5 Urea Breath Test ...20

2.3.6 Serologi Test ...21

2.3.7 Stool Antigen Test ...24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ...25

3.2 Tempat dan waktu penelitian ...25

3.3 Sampel dan Besar sampel penelitian ...25

3.4 Cara Kerja ...27

3.5 Alur Penelitian ...28

3.6 Variabel Penelitian ...29

3.7 Batasan Operasional ...29

3.8. Pengolahan Data dan Analisa Data ...30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...40

DAFTAR PUSTAKA ...………...………...41

(10)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adrenocorticotropine Hormone ALAT : Alanine Aminotransferase AP : Alkalin Phosphatase

AST : Aspartate Aminotransferase

cagA : cytotoxic-associated gene A CI : Confidence Interval

C3 : Complement-3

DNA : Deoxyribonucleic Acid

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay E2 :Estradiol

E3 : Estriol

FDA : Food and Drug Administration GERD : Gastroesophageal Reflux Disease GTT : Gestational Transient Thyrotoxicosis HCG : Human Chorionic Gonodotrophin HG : Hiperemesis Gravidarum

hGH : human Growth Hormone HpSA : H. pylori Stool Antigen

H. pylori : Helicobacter Pylori HRP : Horseradish Peroxidase Ig G : Immunoglobulin G IL-6 : Interleukin-6

IMT : Indeks Massa Tubuh IRIS : Infra Red Isotope Analyser IUGR : Intrauterine Growth Retardation

(11)

MALT : Mucosa–Associated Lymphoid Tissue MRI : Magnetic Resonance Imaging

NGT : Nasogastric Tube OR : Odds Ratio

PCR : Polymerase Chain Reaction RP : Ratio Prevalensi

SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase SGPT : Serum Glutamic Pyruvic Transaminase TNF-α : Tumour Necrosis Factor-alpha

TSH : Thyroid Stimulating Hormone T3 : Triiodothyronine

T4 : Thyroxine

USG : Ultrasonografi

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. : Etiologi Hiperemesis Gravidarum ...5

Tabel 2.2. : Terapi Tambahan Inhibitor Pompa Proton ...17

Tabel 2.3. : Terapi Tambahan Vitamin,Antiemetik,Antihistamin,Kortikosteroid ...18

Tabel 2.4. : Hasil Penelitian H. pylori Seropositif pada Hiperemesis Gravidarum ...23

Tabel 4.1. : Karakteristik Peserta Penelitian ...31

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(14)

ABSTRAK

Tujuan : Mendeteksi infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dan hamil normal dengan menggunakan pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi. Metode : Penelitian ini merupakan suatu penelitian survei analitik dengan menggunakan

pendekatan potong lintang (cross sectionalstudy). Subjek penelitian adalah semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan ≤ 16 minggu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis gravidarum yang berobat di poliklinik dan yang dirawat di ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB Medan. Penelitian ini berlangsung mulai 29 Oktober 2009 sampai dengan 30 Juni 2010. Dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, USG, pemeriksaan laboratorium: darah rutin (Hemoglobin, Hematokrit, Lekosit, Trombosit), kimia darah (elektrolit, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin), serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi dan keton urin lalu dikirim ke laboratorium swasta Thamrin. Adanya infeksi H. pylori ditandai dengan Ig G serum positif dengan pemeriksaan ELISA dan diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan dengan gejala klinis muntah lebih dari 3 kali sehari dan keton positif pada pemeriksaan urinalisa. Selanjutnya sampel dikelompokkan menjadi 2, yaitu kelompok seropositif H. pylori dan kelompok seronegatif H. pylori. Pengolahan data dan statistik dilakukan dengan komputer, lalu dilakukan analisa antara kelompok penelitian dengan uji chi square dan ditentukan Ratio Prevalensi dengan tingkat kepercayaan 95% dengan batas kemaknaan 5 % (p < 0.05).

Hasil : Konsentrasi Ig G serum positif ditemukan pada 19 (82,6%) dari 23 pasien dengan hiperemesis gravidarum dan 11 (47,8%) dari 23 pasien dengan hamil normal. Hasil analisis dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang bermakna antara seropositif H. pylori dengan hiperemesis gravidarum (RP 0.03, 95% CI 0.01-0.20, p < 0.05).

Kesimpulan : Pada penelitian ini secara statistik ditemukan hubungan yang bermakna

(15)

ABSTRAK

Tujuan : Mendeteksi infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dan hamil normal dengan menggunakan pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi. Metode : Penelitian ini merupakan suatu penelitian survei analitik dengan menggunakan

pendekatan potong lintang (cross sectionalstudy). Subjek penelitian adalah semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan ≤ 16 minggu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis gravidarum yang berobat di poliklinik dan yang dirawat di ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB Medan. Penelitian ini berlangsung mulai 29 Oktober 2009 sampai dengan 30 Juni 2010. Dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, USG, pemeriksaan laboratorium: darah rutin (Hemoglobin, Hematokrit, Lekosit, Trombosit), kimia darah (elektrolit, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin), serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi dan keton urin lalu dikirim ke laboratorium swasta Thamrin. Adanya infeksi H. pylori ditandai dengan Ig G serum positif dengan pemeriksaan ELISA dan diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan dengan gejala klinis muntah lebih dari 3 kali sehari dan keton positif pada pemeriksaan urinalisa. Selanjutnya sampel dikelompokkan menjadi 2, yaitu kelompok seropositif H. pylori dan kelompok seronegatif H. pylori. Pengolahan data dan statistik dilakukan dengan komputer, lalu dilakukan analisa antara kelompok penelitian dengan uji chi square dan ditentukan Ratio Prevalensi dengan tingkat kepercayaan 95% dengan batas kemaknaan 5 % (p < 0.05).

Hasil : Konsentrasi Ig G serum positif ditemukan pada 19 (82,6%) dari 23 pasien dengan hiperemesis gravidarum dan 11 (47,8%) dari 23 pasien dengan hamil normal. Hasil analisis dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang bermakna antara seropositif H. pylori dengan hiperemesis gravidarum (RP 0.03, 95% CI 0.01-0.20, p < 0.05).

Kesimpulan : Pada penelitian ini secara statistik ditemukan hubungan yang bermakna

(16)

B A B I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mual dan muntah (Morning Sickness, Emesis Gravidarum) pada kehamilan merupakan hal yang sering terjadi. Hingga 80 % dari semua wanita hamil mengalami keluhan mual dan muntah selama kehamilan mereka. (1,2,3)

Serangan awal mual dan muntah selama kehamilan yang biasa terjadi adalah antara 4 dan 8 minggu kehamilan dan terus berlanjut hingga 14-16 minggu kehamilan. Sebagian besar wanita hamil mengalami gangguan kenyamanan disebabkan mual dan muntah. Mual dan muntah selama kehamilan mempunyai dampak merugikan pada kehidupan keluarga, sosial dan profesi wanita. Dilaporkan hilangnya 8,6 juta jam kerja karyawan dan 6,8 juta jam kerja pada pekerjaan rumah tangga akibat masalah mual dan muntah selama kehamilan. Verberg tahun 2002 menyebutkan bahwa mual dan muntah yang berat merupakan penyebab utama ketiga untuk perawatan inap selama kehamilan. (1,2,4)

Mual dan muntah terus menerus melewati trimester pertama dan terus berlanjut sampai ke trimester kedua atau ketiga hendaknya menimbulkan kecurigaan akan adanya ulkus peptikum aktif yang disebabkan oleh Helicobacter pylori. (5)

Mual dan muntah terus menerus pada trimester pertama yang disebabkan infeksi H. pylori bila tidak diterapi akan berlanjut menjadi Hiperemesis Gravidarum (HG). Hiperemesis gravidarum yang disebabkan oleh infeksi H. pylori yang berkepanjangan bila tetap tidak mendapatkan penanganan yang adekuat maka gejala-gejala akan tetap bertahan selama hamil dan akan berlanjut menjadi ulkus peptikum. Verberg melaporkan bahwa sebelum diberikannya pengobatan dan masuknya cairan Intra Vena, kematian akibat hiperemesis gravidarum adalah 159 kematian per sejuta kelahiran di Inggris. (2)

Hiperemesis gravidarum adalah salah satu masalah obstetri yang tidak jarang ditemukan, walaupun beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis gravidarum ini, penyebab sebenarnya tetap belum jelas. Infeksi H. pylori dianggap sebagai salah satu penyebab hiperemesis gravidarum. Adanya hubungan antara H. pylori seropositif dengan hiperemesis gravidarum telah dibuktikan secara meyakinkan

oleh beberapa kelompok peneliti. Kazerooni di Iran tahun 2001 menemukan infeksi H. pylori seropositif terdeteksi pada 44 pasien (82 %) dari 54 pasien dengan hiperemesis

(17)

wanita dalam kelompok kontrol. Penelitian ini menyimpulkan infeksi H. pylori sebagai salah satu penyebab hiperemesis gravidarum. (4)

Penelitian oleh Asih dkk di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, RSPAD Gatot Subroto Jakarta dan RSUD Tangerang yang berlangsung dari Agustus 2006-Oktober 2007 didapatkan prevalensi infeksi H. pylori sebanyak 67,3 % pada kasus hiperemesis gravidarum dan 34,5 % pada kasus kontrol. Walaupun prevalensi H. pylori yang didapat tidak sebesar hasil yang diteliti oleh Frigo tahun 1998 yang mendapat hasil prevalensi seropositif 90,5 % atau Kocak tahun 1999 mendapat angka 91,5 % namun tetap didapatkan hubungan yang bermakna antara infeksi H. pylori pada wanita hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum. (6,7,8)

Dengan berkembangnya tes Antibodi serum spesifik terhadap H. pylori memungkinkan dilakukan pemeriksaan terhadap infeksi H. pylori pada saat kehamilan. Antibodi ini bisa terdeteksi dalam serum atau sampel darah yang dengan mudah diperoleh. Keberadaan antibodi IgG terhadap H. pylori bisa dideteksi dengan menggunakan pengujian biokimia. Dengan tersedianya tes ini, harga yang murah dan non invasif, dimungkinkan mendeteksi infeksi H. pylori pada wanita hamil dan bayi baru lahir. (4,9)

Penelitian ini dilakukan karena di Indonesia masih jarang ada penelitian untuk mengetahui infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Dimana untuk wilayah Sumatera Utara sendiri belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui infeksi H. pylori yang dapat menimbulkan hiperemesis gravidarum. Penelitian ini dilakukan untuk

mendeteksi infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dengan menggunakan pemeriksaan Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi pada RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB.

1.2. Rumusan Masalah

(18)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mendeteksi infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dan hamil normal dengan menggunakan pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mendeteksi sejauh mana infeksi H. pylori pada hiperemesis gravidarum dengan melakukan pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi. 2. Untuk mengetahui prevalensi infeksi H. pylori.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap hiperemesis gravidarum.

2. Pemeriksaan serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi dapat dilakukan pada saat kehamilan.

(19)

B A B II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hiperemesis Gravidarum 2.1.1. Definisi

Mual dan muntah (Morning Sickness, Emesis Gravidarum) adalah mual dan

muntah selama kehamilan yang terjadi antara 4 dan 8 minggu kehamilan dan terus berlanjut hingga 14-16 minggu kehamilan dan gejala biasanya akan membaik. Mual dan muntah selama kehamilan dapat berupa gejala yang ringan hingga berat. Mual dan muntah adalah keluhan utama pada 70 %-80 % kehamilan. (1,4)

Hiperemesis Gravidarum adalah kondisi mual dan muntah yang berat selama kehamilan, yang terjadi pada 1 %-2 % dari semua kehamilan atau 1-20 pasien per 1000 kehamilan. (4,5)

Hiperemesis gravidarum menyebabkan tidak seimbangnya cairan, elektrolit, asam-basa, defisiensi nutrisi dan kehilangan berat badan yang cukup berat. Pada hiperemesis gravidarum dapat terjadi dehidrasi, asidosis akibat kelaparan, alkalosis akibat hilangnya asam hidroklorida pada saat muntah, hipokalemia dan ketonuria, sehingga mengharuskan pasien masuk dan dirawat di rumah sakit. (2,10,11)

2.1.2. Etiologi

Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti dan multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang diajukan bisa memberikan penjelasan yang layak, namun bukti yang mendukung untuk setiap penyebab hiperemesis gravidarum masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis gravidarum. Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis gravidarum, yaitu faktor endokrin dan faktor non endokrin. Yang terkait dengan faktor endokrin antara lain Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid Stimulating Hormone, Adrenocorticotropine Hormone, human Growth Hormone, prolactin

(20)

Thyroid

upper GI tract Gastro intestinal tract

Notes : –→ previous publications, - - → hypotheses

(21)

2.1.3. Diagnosis

Untuk diagnosis, pasien mana yang harus ditest, kapan ditest dan test apa yang harus digunakan masih merupakan pertanyaan sulit. Jawaban pertanyaan ini didasarkan pada keadaan pasien, biaya, ketersediaan test dan nilai prediktif positif dan negatif dari test yang berbeda-beda. (9)

Pada diagnosis harus ditentukan adanya kehamilan dan muntah yang terus-menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum. Pemeriksaan fisik pada pasien hiperemesis gravidarum biasanya tidak memberikan tanda-tanda yang khusus. Lakukan pemeriksaan tanda vital, keadaan membran mukosa, turgor kulit, nutrisi dan berat badan. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai penurunan berat badan 5 % dari berat sebelum hamil, dehidrasi, turgor kulit yang menurun, perubahan tekanan darah dan nadi. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit, keton urin, tes fungsi hati, dan urinalisa untuk menyingkirkan penyebab lain. Bila hyperthyroidism dicurigai, dilakukan pemeriksaan T3 dan T4. Lakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk menyingkirkan kehamilan mola. (2,10,11)

2.1.4. Komplikasi

Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena hiperemesis gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi buruk, alkalosis akibat dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot, kelainan elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang mengancam nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-muntah berat, Wernicke's encephalopathy (diplopia, nystagmus, disorientasi, kejang, coma), perdarahan retina, kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan, IUGR dan kematian janin. Pasien dengan hiperemesis gravidarum pernah dilaporkan mengalami epistaxis pada minggu ke-15 kehamilan karena intake vitamin K yang tidak adekuat yang disebabkan emesis berat dan ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan. Dengan penggantian vitamin K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan penyakit sembuh. Vasospasme arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis gravidarum juga ada dilaporkan pada beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa dengan angiografi Magnetic Resonance Imaging (MRI). (2,5)

(22)

pengakhiran kehamilan kira-kira 2 % pada kehamilan yang terkomplikasi dengan hiperemesis gravidarum. (2)

Namun demikian, Kuscu dan Koyuncu menilai luaran maternal dan neonatal dari penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada dua penelitian berbeda yang melibatkan 193 dan 138 pasien. Dari 193 pasien, 24% membutuhkan perawatan inap dan satu pasien membutuhkan nutrisi parenteral. Berat lahir, usia kandungan, kelahiran preterm, skor Apgar, mortalitas perinatal dan kejadian kelainan bawaan janin tidak berbeda antara pasien hiperemesis dan populasi umum. Dalam studi lainnya, tidak ada terdeteksi peningkatan risiko keterlambatan pertumbuhan, kelainan bawaan dan prematuritas. Umumnya hiperemesis gravidarum dapat disembuhkan. Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat memuaskan. Namun pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat mengancam jiwa ibu dan janin. (5)

2.2. Helicobacter pylori

Pada tulisan ini akan dipresentasikan gambaran singkat H. Pylori, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinik infeksi H. pylori, strategi diagnostik dan terapeutik yang relevan untuk pembasmian H. pylori sebagai patogen pada manusia.

2.2.1. Sejarah

H. pylori adalah bakteri spiral yang dikultur dari mukosa lambung manusia oleh

(23)

2.2.2. Morfologi

H. pylori adalah bakteri Gram negatif, dengan bentuk spiral melengkung dan

berflagel yang ditemukan hidup berkoloni pada lapisan mukosa lambung yang dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Bakteri ini dicirikan oleh aktivitas urease yang tinggi. Bakteri ini mampu hidup dalam suasana asam yang kuat dengan cara memproduksi urease. H. Pylori mempunyai mekanisme resistensi asam, yang menghidrolisa urea menjadi karbon dioksida dan ammonia. Bakteri ini mempunyai sifat pertumbuhan yang lambat tetapi mampu merusak lapisan lendir / mukus pada epitel lambung sehingga menimbulkan peradangan lambung yang kronik, menetap/ persistent, menahun dan ulkus peptikum. (3,13)

Bakteri ini ada pada 95 %-98 % pasien penderita ulkus duodenal dan 60 %-90 % pasien penderita ulkus peptikum. Taksiran angka kejadian infeksi menurut berbagai test diagnostik termasuk test bakteriologi, test histologi dan test serologi menunjukkan bahwa 90 % pasien yang terserang tanpa adanya gejala-gejala klinik. (14,15)

(24)

2.2.3. Epidemiologi

Banyak studi berusaha menilai kejadian dan prevalensi infeksi H. pylori, cara penularannya dan setiap faktor risiko yang turut mendukung perkembangan infeksi. Kejadian per tahun yang dilaporkan untuk infeksi H. pylori sebagai salah satu penyebab hiperemesis gravidarum di negara-negara maju adalah 0,3 %- 0,5 % per tahun, sedangkan di negara-negara yang sedang berkembang 10 %-20 %. (9)

Bakteri ini merupakan patogen dengan penyebaran di seluruh dunia, yang menyerang populasi manusia di negara-negara maju dan di negara-negara yang sedang berkembang. Prevalensi ditemukan lebih tinggi di negara yang sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi infeksi H. pylori sekitar 30 % di Amerika Serikat, sedangkan di negara yang sedang berkembang > 80 %. Prevalensi ini sangat bervariasi tergantung kelompok etnik, budaya, genetik, sosial ekonomi, lingkungan, dan beberapa faktor lainnya termasuk lokasi kelompok studi dan ciri-ciri populasi yang di studi. Angka infeksi ini juga ditemukan tinggi di daerah yang padat penduduknya dengan lingkungan sosial ekonomi yang rendah, yang mengindikasikan bahwa H. pylori ditularkan melalui kontak langsung. H. pylori didapat selama masa anak-anak, yang paling sering dengan rute feces-oral atau oral-oral. (9,13)

Hubungan antara H. pylori dan hiperemesis gravidarum bisa menjadi penjelasan yang mungkin untuk variasi yang diamati dalam kejadian hiperemesis gravidarum pada kelompok etnis yang berbeda-beda, karena angka kejadian infeksi H. pylori juga berbeda secara mencolok antara populasi. Akan tetapi, hipotesa ini rentan terhadap faktor-faktor pengganggu seperti status sosial ekonomi yang lebih rendah, yang disebut-sebut pada

hiperemesis gravidarum maupun infeksi H. pylori. Karaca di Turkey tahun 2004

menemukan bukti yang mendukung hubungan antara status sosial ekonomi dan infeksi H. pylori pada wanita hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dalam studi

(25)

2.2.4. Patogenesis

Reaksi tubuh terhadap infeksi H. Pylori pada wanita hamil, dapat berupa kerusakan langsung pada mukosa lambung yang disebabkan oleh perubahan dalam pH lambung atau melewati reaksi immunologik. Manifestasi infeksi H. pylori bisa merupakan akibat dari perubahan pH lambung karena peningkatan akumulasi cairan yang disebabkan peningkatan hormon steroid pada wanita hamil. Perubahan pH pada saluran pencernaan diduga dapat menyebabkan manifestasi infeksi subklinis H. pylori yang menimbulkan gejala gastrointestinal. (2)

Lambung merupakan sebuah organ yang berisi cairan asam, yang menyebabkan sebagian besar mikroorganisme tidak mampu berkolonisasi di sini. Namun penelitian membuktikan bahwa masih cukup banyak spesies bakteri yang dapat memanfaatkan lambung sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu di antaranya adalah kuman H. pylori. H. pylori mempunyai sifat khusus, tinggal di bawah lapisan mukus di permukaan epitel

(26)

selain itu, produk protein vacuolating cytotoxin A gene (vacA) yang kontak dengan epithelium diketahui terkait dengan cedera mukosa. (9)

Perubahan kekebalan humoral selama hamil juga bisa menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi H. pylori pada kehamilan. Begitu kolonisasi mukosa lambung terjadi, sifat-sifat immunogenik dari H. pylori memicu reaksi inflamasi yang menyebabkan manifestasi klinik dari infeksi. Proses ini diperantarai oleh faktor host, termasuk IL- 1, 2, 6, 8 dan 12, interferon gamma, TNF-α, limfosit T dan B serta sel-sel fagositik. Faktor ini mengantarai cedera melalui pelepasan spesies oksigen reaktif dan cytokin inflamasi. (9)

Selain menyebabkan cedera lokal mukosa lambung, H. pylori mengubah sekresi lambung normal. Banyak studi menunjukkan bahwa pasien yang terinfeksi H. pylori mengalami peningkatan kadar gastrin serum, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan output asam. Kondisi ini menyebabkan atrophy sel-sel parietal yang bertanggung jawab dalam memproduksi asam dan sel-sel yang memproduksi gastrin dari antrum yang menstimulasi sekresi asam dan akhirnya menghasilkan achlorhydria. (9)

2.2.5. Manifestasi Klinik

Tidak didapati gejala klinis spesifik pada infeksi H. pylori. Pasien dapat mengeluhkan dispepsia, mual dan perasaan tidak nyaman dengan berbagai keluhan saluran cerna bahkan sebagian besar orang tetap asimptomatik. Pada dasarnya semua orang dengan kolonisasi H. pylori mengalami inflamasi pada lambung dan pada individu tersebut akan berkembang jadi penyakit seperti gastritis, ulkus peptikum, dyspepsia nonulcer, Gastroesophageal Reflux Disease, adenokarsinoma atau limfoma. (9)

Gastritis

(27)

Ulkus Peptik

Hubungan antara infeksi H. pylori dan penyakit ulkus peptik telah banyak dikaji, dan sekarang telah diterima bahwa organisme ini merupakan penyebab utama, tetapi bukan satu-satunya penyebab penyakit ulkus peptik di seluruh dunia. Pembasmian infeksi bisa mengubah masa perjalanan penyakit ulkus peptik dengan penurunan angka kekambuhannya secara dramatis pada pasien yang diobati, dibandingkan dengan pasien yang tidak diobati. Penurunan ini terjadi pada pasien penderita ulkus duodenum dan ulkus peptik yang tidak mempunyai riwayat penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid. Mekanisme H. pylori memicu penyakit ulkus peptik masih kurang dipahami namun sangat mungkin melibatkan kombinasi pemicuan genetik host, faktor virulensi organisme misalnya protein VacA dan CagA, kerusakan mekanik pada mukosa, dan perubahan sekresi lambung dan duodenum. (9)

Dyspepsia Nonulcer

Dyspepsia nonulcer terdiri dari gejala yang bervariasi, yang meliputi gejala-gejala dismotilitas, ulkus dan reflux. Banyak penyebab yang mungkin diajukan untuk dyspepsia nonulcer, yang meliputi faktor gaya hidup, stres, perubahan sensasi visceral, peningkatan sensitivitas serotonin, perubahan sekresi asam lambung dan pengosongan lambung serta infeksi H. pylori. Sebuah tinjauan baru-baru ini juga mengkaji peranan gangguan psikososial misalnya depresi dan ansietas pada pasien penderita dyspepsia nonulcer. Dalam studi yang mengkaitkan infeksi H. pylori dengan dyspepsia nonulcer, bahwa pembasmian H. pylori menghasilkan perbaikan gejala-gejala dyspepsia nonulcer. Akan tetapi pembasmian organisme tidak bisa dianggap merupakan standar perawatan pada semua pasien penderita dyspepsia nonulcer, karena infeksi H. pylori hanyalah merupakan bagian tunggal dari etiologi multifaktor dari penyakit ini. (9)

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

(28)

Adenokarsinoma Lambung

Data yang ada menunjukkan peningkatan 90 kali lipat dalam angka kejadian karsinoma lambung pada pasien penderita gastritis atrofik multifokal berat dibandingkan dengan kontrol normal. Mekanisme tumorgenesis ternyata melibatkan kerusakan DNA yang dipicu oleh cytokin yang berbeda-beda dan radikal bebas yang dilepaskan dalam keadaan inflamasi kronis. Walaupun H. pylori terkait dengan perkembangan adenokarsinoma antrum dan corpus lambung, namun H. pylori jelas terkait dengan Mucosa–Associated Lymphoid Tissue (MALT). H. pylori menstimulasi infiltrasi

limfositik stroma mukosa, infiltrasi ini bisa bertindak sebagai fokus untuk perubahan seluler dan proliferasi, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan neoplastik. Tampak bahwa H. pylori juga menghasilkan protein yang menstimulasi pertumbuhan limfosit pada stadium dini neoplasia. Penelitian baru-baru ini menunjukkan pemeriksaan endoskopik tidak ternilai harganya dalam mengidentifikasi grade lymphoma dan dalam memprediksi efikasi pengobatan infeksi H. pylori untuk memperoleh penyusutan lymphoma. (9)

2.2.6. Penanganan

Terdapat beberapa kontroversi mengenai tipe pengobatan yang harus diberikan pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Terapi cairan dan elektrolit parenteral pengganti, pemberian vitamin B6, antiemetik dan tirah baring secara rutin digunakan pada

hiperemesis gravidarum dan biasanya tanpa perbaikan yang berarti. Hal ini tidak mengherankan, karena obat-obat tersebut tidak ada yang mempengaruhi infeksi H. pylori. H. pylori merupakan organisme yang hidup di dalam lingkungan yang tidak mudah

diakses banyak obat, selain itu karena resistensi bakteri yang muncul menimbulkan tantangan tambahan. Lagipula, banyak aturan yang direkomendasikan sulit dilaksanakan oleh pasien, yang menimbulkan masalah dengan kepatuhan, dengan harus mengkonsumsi obat dalam jumlah besar setidaknya dua kali sehari dan efek yang tidak menyenangkan, sehingga tidak banyak berpengaruh dalam mendorong kerjasama pasien. Meskipun dengan kendala-kendala ini, aturan pengobatan saat ini bisa memperoleh tingkat kesembuhan lebih dari 85 % pada sebagian besar populasi pasien. (9)

Antibiotik

(29)

digunakan sebagai monoterapi, karena kurangnya efektifitas dan perkembangan potensial resistensi. (9)

Metronidazole mempunyai aktivitas yang tidak tergantung pada pH, tetapi resistensi terhadap obat sudah terjadi di Amerika Serikat. Dosis metronidazole 2 x 500 mg selama 10-14 hari. Metronidazole oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat kategori C. Penggunaan pada trimester pertama dapat menyebabkan kelainan kongenital berupa retardasi mental, dislokasi panggul, hidrokel, bibir sumbing, holotelencephaly, atrofi organ penglihatan dan kelainan pada tangan, sehingga di kontraindikasikan pada trimester pertama, tetapi dapat digunakan pada trimester kedua dan ketiga jika pengobatan alternatif lain tidak memberikan respon yang baik. (9)

Clarithromycin mempunyai tingkat resistensi yang lebih rendah kira-kira 7 %-11 % tetapi tidak stabil asam dan dengan harga yang lebih mahal daripada obat antibiotik lainnya. Dosis clarithromycin 2 x 500 mg selama 10-14 hari. Clarithromycin oleh FDA sebagai obat kategori C. Penggunaan pada trimester pertama dapat menyebabkan efek teratogenik dan fetotoksik berupa kelainan kardiovaskuler, bibir sumbing, Intrauterine Growth Retardation (IUGR). (9)

Tetracycline mempunyai kelebihan berupa biaya murah dan dengan kejadian resistensi yang juga rendah, tetapi bisa menyebabkan perubahan warna gigi yang permanen pada anak, hipoplasia enamel dan reaksi photosensitivitas. Dosis tetracycline 2 x 500 mg selama 10-14 hari. Tetracycline oleh FDA sebagai obat kategori D. (9)

Amoxicillin banyak digunakan, karena resistensi terhadap obat ini jarang, tetapi obat ini biasanya mengharuskan pemberian secara bersamaan inhibitor pompa proton, karena aktivitasnya yang tergantung pH. Dosis amoxicillin 2 x 1 gram selama 10-14 hari. Amoxicillin oleh FDA sebagai obat kategori B. (9)

Erythromycin dapat digunakan pada pengobatan hyperemesis gravidarum. Pasien dengan hyperemesis gravidarum yang terbukti seropositif terhadap H. pylori dapat bereaksi secara baik terhadap terapi erythromycin oral yang di konsumsi. Dosis erythromycin 4 x 500 mg selama 10-14 hari. Erythromycin oleh FDA sebagai obat kategori B. (5)

Inhibitor Pompa Proton

(30)

proton bukan hanya bertindak dengan menghambat enzym mikrosom bakteri secara langsung tetapi juga dengan menaikkan pH di dalam lambung, yang dengan demikian memperlancar kerja obat antibiotik, mengurangi sekresi lambung dan meningkatkan konsentrasi antibiotik di dalam lambung. H. pylori dapat hidup dalam suasana asam, sehingga bila sekresi asam menurun maka kolonisasi H. pylori juga akan berkurang. Tujuan pengobatan ini adalah untuk menghilangkan keluhan, menyembuhkan ulkus peptikum dan mencegah kekambuhan dan komplikasi. (9)

Terapi Tambahan

Pemberian cairan parenteral dan elektrolit yang sesuai merupakan regimen terapi pada hiperemesis gravidarum. Diberikan larutan kristaloid intravena untuk memperbaiki dehidrasi, ketonemia, defisit elektrolit, dan ketidakseimbangan asam-basa. Cairan intravena diberikan hingga muntah dapat dikontrol. (5)

Terapi tambahan lainnya meliputi antagonis reseptor histamin dan ranitidine bismuth citrat, yang memiliki sifat antisekresi dan tindakan antibakteri bismuth dengan mengganggu dinding sel bakteri. Akan tetapi, ranitidine bismuth citrat tidak lagi ada tersedia di Amerika Serikat. (9)

Berbagai antiemetik dan asupan vitamin bisa diberikan sebagai terapi tambahan. Promethazine, prochlorperazine, chlorpromazine, meclizine, droperidol, diphenhydramine, dan metoclopramide adalah obat yang umum digunakan secara rutin untuk meredakan mual dan muntah. Rute intravena atau rektal bisa mula-mula digunakan dan diganti dengan rute oral bila gejala-gejala mulai menghilang. Jika tidak ada ditemukan reaksi dalam beberapa hari dan gejala-gejala tetap bertahan bahkan pada tingkat yang lebih berat, seperti gastroenteritis, cholecystitis, pankreatitis, hepatitis, ulcus peptik, dan pyelonephritis haruslah dimasukkan dalam diagnosis banding dan pasien harus dinilai ulang. Dukungan psikologis dari tim medis dan keluarga pasien dapat menambah pada penanganan pasien. Pasien harus menghindari bau-bau yang merangsang dan makanan yang tidak diinginkan karena keduanya bisa memicu muntah. Setelah pulang dari rumah sakit kekambuhan pada sebagian pasien dapat terjadi dan perawatan inap ulang mungkin diperlukan. Selain obat antiemetik, pyridoxine tampaknya lebih efektif dalam mengurangi keparahan mual. (5)

(31)

Pemberian infus droperidol dan diphenhydramine intravena bolus dikaji pada hiperemesis gravidarum dan dibandingkan dengan pasien lain yang tidak menerima obat. Kelompok studi menjalani masa yang lebih singkat di rumah sakit dengan lebih sedikit masuk rumah sakit kembali. Pengobatan droperidol dan diphenhydramine dilaporkan bermanfaat dengan biaya yang terjangkau. (5)

Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine yang digunakan untuk mencegah mual dan muntah berat selama kemoterapi dan pada periode pascaoperatif. Obat ini oleh FDA didaftarkan sebagai obat kategori B. Ondansetron bisa dicanangkan untuk kasus-kasus resisten. Tidak ada ditemukan efek merugikan untuk ibu atau janin pada pasien yang diobati dengan obat ini pada setiap trimester. Dilaporkan bila ondansetron dibandingkan promethazine dengan cara double-blinded yang mencakup 15 pasien dalam masing-masing kelompok. Tidak ada ditemukan perbedaan dalam peredaan mual, pertambahan berat badan dan lama rawat inap. (5)

Steroid bisa digunakan sebagai aturan pengobatan alternatif pada pasien yang resisten terhadap terapi standar. Dilaporkan pertama kali pada tahun 1953 bahwa pengobatan cortisone menyebabkan berhentinya hiperemesis secara total. Sejak itu, berbagai bentuk terapi digunakan. Masa pengobatan methylprednisolone singkat, 16 mg tiga kali sehari, dengan penurunan bertahap/ tapering off selama masa dua minggu terbukti lebih efektif bila dibandingkan dengan promethazine. Ada tingkat perbedaan yang signifikan dalam masuknya kembali ke rumah sakit. Berat lahir dan skor Apgar tidak berbeda. Obat ini memberikan efeknya melalui zona pemicu kemoreseptor yang berlokasi di batang otak. Model terapi ini bisa dimulai di rumah sakit dan terus berlanjut di lingkungan rawat jalan dan untuk pasien yang resisten terhadap hidrasi intravena standar dan antiemetik. Dalam studi lain hydrocortisone intravena diikuti dengan prednisolone oral pada tujuh pasien dengan hiperemesis gravidarum resisten, ditemukan muntah-muntah berhenti dalam tiga jam dosis pertama hydrocortisone dan gejala-gejala sembuh dalam hitungan hari dengan mulainya kembali selera makan yang normal dan kembalinya berat badan yang hilang. (5)

(32)

pada tujuh wanita dengan muntah-muntah yang berat untuk pemberian asupan gizi, ini terbukti efektif dalam meredakan gejala-gejala hiperemesis gravidarum. (5)

Aturan pengobatan saat ini di Amerika Serikat, bahwa pengobatan mencakup 2 obat antibiotik dan 1 obat tambahan selama 14 hari. Studi di Eropa menyebutkan angka kesembuhan terjadi dengan masa terapi 7 hari dengan 2 obat antibiotik dan 2 obat tambahan.

Sebagian besar praktisi klinik mengobati infeksi H. pylori dengan pendekatan obat rangkap tiga atau bahkan pendekatan obat rangkap empat. Petunjuk dari American College of Gastroenterology tahun 1998 menggunakan 3 aturan berikut: (1) pemberian inhibitor

pompa proton, clarithromycin dan metronidazole atau amoxicillin selama 2 minggu, (2) pemberian ranitidine bismuth citrat, clarithromycin dan metronidazole, amoxicillin atau tetracycline selama 2 minggu, (3) pemberian inhibitor pompa proton, ranitidine bismuth citrat, metronidazole dan tetracycline selama 2 minggu. Inhibitor pompa proton yang digunakan adalah omeprazole 2 x 20 mg. Penggunaan inhibitor pompa proton yang lebih baru yaitu lansoprazole 2 x 30 mg, pantoprazole 2 x 40 mg, rabeprazole 2 x 20 mg.

Untuk pasien yang gagal dalam terapi obat rangkap tiga awal, terapi selanjutnya akan melibatkan penggunaan kombinasi terapi rangkap empat, yang meningkatkan durasi pengobatan. Kultur dengan pengujian sensitivitas haruslah dilaksanakan setelah 2 kegagalan pengobatan. (9)

Proton Pump Inhibitors Dosis Kategori FDA

Lansoprazole 30 mg oral, 2 kali sehari B

Omeprazole 20 mg oral, 2 kali sehari B

Pantoprazole 40 mg oral, 2 kali sehari B

Rabeprazole 20 mg oral, 2 kali sehari B

(33)

Nama Obat Dosis Kategori FDA

Pyridoxine (vitamin B6) 25 mg oral, 3 kali sehari A

Antiemetik

Chlorpromazine 10-25 mg oral, 2-4 kali sehari C

Prochlorperazine 5-10 mg oral, 3-4 kali sehari C

Metoclopramide 5-10 mg oral, 3 kali sehari B

Kortikosteroid

Methylprednisolone 16 mg oral, 3 kali sehari kemudian C

diturunkan

Tabel 2.3. : Terapi Tambahan Vitamin, Antiemetik, Antihistamin dan Kortikosteroid. (5)

2.3. Tes Diagnostik

Sekarang ini ada beberapa cara populer untuk mendeteksi adanya infeksi H. pylori, masing-masing memiliki kelebihan, kekurangan dan keterbatasan. Pada dasarnya tes yang tersedia untuk diagnosis ada 2 metode yaitu metode invasif dan metode non invasif. Pada metode yang invasif dapat dilakukan biopsi endoskopi untuk pemeriksaan histologi, kultur, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Rapid Urease Test. Pada yang non invasif dapat

dilakukan Urea Breath Test, Serologi Test dan Stool Antigen Test. (9,12,13,14)

2.3.1. Histologi

(34)

pasti dari infeksi H. pylori, dan juga tingkat inflamasi atau metaplasia dan keberadaan lymphoma MALT atau kanker lambung lainnya pada pasien risiko tinggi. (9)

Biopsi endoskopi pada antrum dan corpus untuk pemeriksaan histopatologi dilakukan oleh Bagis di Turkey tahun 2002 terhadap 20 pasien dengan hiperemesis gravidarum dan 10 pasien asimptomatik. H. pylori di diagnosis pada 19 pasien (95 %). (17)

Kelemahan teknik evaluasi histologi ini adalah diperlukannya endoskopi untuk mendapatkan jaringan. Keterbatasan yang lain adalah jumlah yang tidak layak dari spesimen biopsi yang diperoleh atau kegagalan mendapatkan spesimen dari daerah lambung. Pada sebagian kasus, teknik pemulasan yang berbeda-beda mungkin diperlukan, yang bisa melibatkan waktu pemprosesan yang lebih lama dan biaya yang lebih tinggi. (9,18)

2.3.2. Kultur

Karena H. pylori sulit tumbuh pada medium kultur, peranan kultur dalam diagnosis infeksi sebagian besar terbatas pada penelitian dan pertimbangan epidemiologi. Pemeriksaan kultur mahal, memakan waktu yang lama dan intensif, namun kultur tetap memegang peranan dalam studi kerentanan terhadap antibiotik dan studi tentang faktor-faktor pertumbuhan dan metabolisme. Di Amerika Serikat, kultur tidak dianggap cara diagnosis lini pertama yang rutin. (9,19)

2.3.3.Polymerase Chain Reaction (PCR)

(35)

2.3.4. Rapid Urease Test

Rapid Urease Test/ Pengujian Urease Cepat dilakukan berdasarkan dari fakta bahwa H. pylori adalah organisme yang menghasilkan urease. Sampel yang diperoleh dari endoskopi ditempatkan di dalam medium yang mengandung urea. Jika urease ada, urea akan diuraikan menjadi karbon dioksida dan ammonia, akibatnya terjadi peningkatan pH medium dan selanjutnya terjadi perubahan warna pada medium. Test ini memiliki kelebihan yaitu tidak mahal, cepat dan tersedia secara luas. Akan tetapi, test ini dibatasi oleh kemungkinan hasil positif palsu, dimana terjadi penurunan aktivitas urease yang disebabkan konsumsi antibiotik yang masih baru, senyawa bismuth, inhibitor pompa proton atau sucralfate atau oleh reflux empedu, bisa turut andil atas hasil positif palsu ini.

(9,19,21)

2.3.5. Urea Breath Test

Urea Breath Test/ Test Napas Urea mengandalkan aktivitas urease H. pylori untuk mendeteksi keberadaan infeksi aktif. Dalam test ini, pasien yang diduga mengidap infeksi diberi urea berlabel-14C atau urea berlabel-13C. Urea berlabel-14C atau 13C memiliki kelebihan bersifat nonradioaktif dan karenanya lebih aman untuk anak-anak dan wanita setelah melahirkan. Jika ada urease, akan menguraikan urea menjadi ammonia dan karbon dioksida, karbon dioksida diserap dan akhirnya terekspirasikan di dalam napas, di mana senyawa ini akan terdeteksi. Urea Breath Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 %. Selain sangat bagus untuk mendokumentasikan infeksi aktif, test ini juga sangat bernilai untuk memastikan ketiadaan infeksi setelah pengobatan. Juga penting pada pasien dengan riwayat penyakit ulcus yang terkomplikasi yang disertai perdarahan atau perforasi. Selain itu, Urea Breath Test tidak mahal dengan isotop manapun yang digunakan, mudah dilaksanakan dan tidak mengharuskan endoskopi. Akan tetapi, jika pasien baru mengkonsumsi inhibitor pompa proton, antibiotik atau senyawa bismuth, Urea Breath Test bisa terbatas manfaatnya. Karena itu, setidaknya jarak 1 minggu waktu antara penghentian obat antisekresi dan Urea Breath Test dilaksanakan 4 minggu setelah pengobatan selesai (eradikasi). Tambahan lagi, kecuali untuk pusat medis besar di mana hasil-hasil biasanya tersedia dalam waktu kurang dari 24 jam, Urea Breath Test juga bisa untuk waktu beberapa hari yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampel dan analisa oleh laboratorium. (9,18,19)

(36)

Isotope Analyser (IRIS) untuk mendeteksi adanya H. pylori. Prosedur pemeriksaan

dilakukan dengan cara meniupkan udara pernafasan kedalam kantong udara yang tersedia yang kemudian dihubungkan ke alat IRIS untuk mengetahui ada tidaknya H. pylori. Prosedurnya sederhana dan hasilnya cepat dengan waktu ± 30 menit. Non invasif karena tidak ada alat yang dimasukkan kedalam tubuh dan tanpa efek samping karena hanya menggunakan udara pernafasan. (9,22)

2.3.6. Serologi Test

Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Pemeriksaan serologi dengan metode ELISA untuk melihat adanya antibodi terhadap kuman H. pylori memililki sensitivitas 90-95 % dan spesifitas 92 %. Teknik ini dinilai cukup efektif, ekonomis serta lebih mudah dilakukan dibanding tes diagnostik lainnya. Sebagai reaksi terhadap infeksi H. pylori, sistem kekebalan akan memunculkan reaksi melalui produksi immunoglobulin terhadap antigen spesifik organisme. Antibodi ini bisa terdeteksi dalam serum atau sampel darah yang dengan mudah diperoleh. Keberadaan antibodi IgG terhadap H. pylori bisa dideteksi dengan menggunakan pengujian biokimia dan banyak pengujian yang berbeda-beda tersedia. (9,18,19,23)

Test serologi menawarkan cara cepat, mudah, non invasif dan relatif tidak mahal dalam mengidentifikasi pasien yang terinfeksi dengan organisme. Akan tetapi, metode ini kurang bermanfaat dalam menentukan jumlah H. pylori pada sampel dan perubahan titer H. pylori setelah eradikasi. Pada populasi prevalensi rendah, test serologi merupakan

metodologi lini kedua karena nilai prediksi positif yang rendah dan kecenderungan ke arah hasil positif palsu. Test serologi berguna dalam mengidentifikasi H. pylori dengan mendeteksi antibodi yang terkait dengan penyakit yang lebih berat yaitu, ulcus yang terkomplikasi, kanker lambung dan lymphoma. (9,19)

Prinsip test

(37)

yang tertangkap akan bereaksi dengan antibodi berkonjugasi IgG anti-manusia yang dilabelkan dengan Horseradish Peroxidase (HRP)/ Alkalin Phosphatase (AP) yang ditambahkan ke dalam sumur. Konjugat enzym alkalin Phosphatase ini menjadi terikat pada kompleks antibodi-antigen. Setelah inkubasi, komponen-komponen yang tidak terikat dihilangkan kembali dengan pencucian. Alkalin phosphatase yang terikat akan bereaksi dengan penambahan komponen khromogenik tetramethylbenzidine dan hydrogen peroxide, setelah diinkubasi akan menghasilkan warna biru. Perkembangan warna dihentikan dengan penambahan larutan stop asam hidroklorat dengan pH < 1. Warna berubah menjadi kuning dan diukur secara spektrophotometrik pada 450 nm. Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan jumlah antibodi spesifik IgG dalam sampel. Hasil-hasil dibaca dengan alat pembaca sumur mikro yang dibandingkan secara paralel dengan kalibrator dan kontrol. (12,13,14,23,24)

Gambar 2.2. : Prinsip Test. (13)

(38)

bakteri H. pylori laten sehingga timbul manifestasi penyakit tersebut. Juga beberapa laporan kasus menyatakan bahwa pemberantasan infeksi H. pylori memperbaiki klinis hiperemesis gravidarum. (9,19,25,26)

Beberapa penelitian H. pylori pada hiperemesis gravidarum dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.4. : Hasil Penelitian H. pylori Seropositif pada Hiperemesis Gravidarum. (6,7)

Infeksi kronis H. pylori dinyatakan sebagai salah satu faktor penyebab hiperemesis gravidarum, walaupun bukan merupakan penyebab tunggal hiperemesis gravidarum. Pada tahun 1998 Frigo di Austria pertama sekali menghubungkan antara hiperemesis gravidarum dengan H. pylori seropositif, dilaporkan infeksi H. pylori pada 90,5 % pasien hiperemesis gravidarum dan 46,5 % pada kontrol. Menurutnya, infeksi H. pylori dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum. Hubungan ini didukung oleh berbagai penelitian lain. Kocak di Turkey tahun 1999 menyatakan adanya hubungan antara infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Penelitian ini menggunakan tes antibodi serum H. pylori spesifik untuk menilai hubungan infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Kocak melakukan penelitian terhadap 95 pasien hiperemesis gravidarum dan 116 kontrol. H. pylori ditemukan pada 91,5 % pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan

(39)

seropositif dengan onset dan durasi hiperemesis gravidarum. Walaupun infeksi H. pylori merupakan faktor penting pada hiperemesis gravidarum, tetapi tidak menggambarkan penyebab tunggal penyakit tersebut. (6,7)

Jamal di Iran tahun 2002 menemukan konsentrasi IgG serum positif pada 26 pasien (66,7 %) dari 39 pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan 23 pasien (41,8 %) dari 55 pasien kontrol. Perbedaan signifikan secara statistik (P < 0,015) pada wanita dengan hiperemesis gravidarum daripada wanita dalam kelompok kontrol. Tampak bahwa infeksi H. pylori mempunyai hubungan yang signifikan dengan hiperemesis gravidarum. Blecker meneliti kemungkinan transmisi antibodi anti H. pylori dari ibu ke bayi. Dari seluruh bayi yang dilahirkan dari ibu dengan H. pylori seropositif didapatkan IgG anti H. pylori positif dari darah tali pusat pada waktu kelahiran, tetapi titer berubah menjadi

negatif pada usia 3 bulan. Karenanya disimpulkan antibodi IgG terhadap H. pylori dapat melewati sawar plasenta, namun walaupun ditemukan infeksi H. pylori pada ibu, janin yang lahir dari wanita positif infeksi H. pylori tidak menunjukkan peningkatan resiko perkembangan H. pylori selama tahun pertama kehidupannya. (1)

2.3.7. Stool Antigen Test

H. pylori Stool Antigen (HpSA)/ Pengujian antigen tinja merupakan metodologi yang relatif baru yang menggunakan enzyme immunoassay untuk mendeteksi keberadaan antigen H. pylori di dalam spesimen tinja. Biaya cukup efektif dan cara yang handal dalam mendiagnosa infeksi aktif dan menegaskan kesembuhan. Pengujian ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan sensitivitas dan spesifisitas test non invasif lainnya. Stool Antigen Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 %.

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian survei analitik dengan menggunakan pendekatan potong lintang (cross sectionalstudy).

3.2.Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik dan ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB Medan. Penelitian ini berlangsung mulai 29 Oktober 2009 sampai dengan 30 Juni 2010.

3.3. Sampel dan Besar sampel penelitian 3.3.1. Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan ≤ 16 minggu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis gravidarum yang berobat di poliklinik dan yang dirawat di ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB Medan. Cara pemilihan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan Consecutive Sampling, dimana semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

3.3.2. Besar sampel penelitian (28,29)

Untuk menghitung besar sampel digunakan rumus sebagai berikut : n1 = n2 = { Z∝ √2PQ +Zß(P1Q1 + P2Q2)}2

(P1 - P2)2

Keterangan : n : Jumlah sampel

(41)

Zß : Nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai ß yang ditentukan. Power/ kekuatan untuk nilai ß : 0,20  Zß : 0,842

P1 : Proporsi efek standar  2,0 % (0,02)

P2 : Proporsi efek yang diteliti dengan beda klinis yang dianggap penting 30 % (0,30) P = ½ (P1 + P2)

{ Z∝ √2PQ +Zß√(P1Q1 + P2Q2)}2

(P1 - P2)2

n1 = n2 =

n1 = n2 = {1,96 √2x0,17x0,83 + 0,842√(0,02x0,98 + 0,32x0,68)}2

(0,02 – 0,32 ) 2

Dari rumus tersebut di atas didapatkan besar sampel masing-masing sebanyak 23 orang.

3.3.3. Kriteria Sampel

3.3.3.1. Kriteria inklusi

a. Semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan ≤ 16 minggu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis gravidarum.

b. Mengalami hiperemesis gravidarum (dengan gejala yaitu : muntah lebih dari 3 kali sehari dan keton positif pada pemeriksaan urinalisa ).

c. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian.

3.3.3.2. Kriteria Eksklusi

a. Menderita penyakit gastritis, thyroid, hati dan ginjal. b. Kehamilan ganda.

c. Kehamilan mola.

d. Menderita gangguan jiwa.

(42)

3.4. Cara Kerja

Semua wanita primigravida, usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan ≤ 16 minggu dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir/ HPHT. Jika HPHT tidak diketahui, penentuan usia kehamilan dilakukan dengan Ultra Sonografi/ USG, oleh peneliti atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) semester lima atau lebih. Ibu yang disertai gejala hiperemesis gravidarum dan yang tidak disertai gejala hiperemesis gravidarum masuk dalam kriteria inklusi penelitian, dan berobat di poliklinik atau yang dirawat di ruang perawatan kebidanan RSUP. H. Adam Malik Medan, RS. Tembakau Deli, RS. Haji Medan, RS. Sundari dan Rumkit KESDAM I BB Medan. Selanjutnya pada ibu dan keluarga dijelaskan seluruh prosedur yang akan dilakukan.

Ibu yang setuju untuk menandatangani informed consent dimasukkan ke dalam penelitian. Dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, USG, pemeriksaan laboratorium: darah rutin (Hemoglobin, Hematokrit, Lekosit, Trombosit), kimia darah (elektrolit, Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)/ Aspartate Aminotransferase (AST), Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)/ Alanine Aminotransferase (ALAT), ureum, kreatinin), serologi Anti-Helicobacter pylori Ig G Antibodi dan keton urin.

Darah vena dan urin masing-masing sebanyak 5 ml diambil pada kunjungan klinik pertama setelah pasien memberikan izin tertulis. Darah disimpan di spuit 5 cc, urin disimpan pada wadah tempat penampungan urin dan dicantumkan identitas dengan jelas, lalu dikirim ke laboratorium swasta Thamrin dengan seluruh biaya ditanggung oleh peneliti. Selama pengangkutan, spesimen bisa tetap dijaga pada suhu ≤ 30 C selama periode waktu yang singkat, yang secara total tidak lebih dari 48 jam.

Kemudian di laboratorium dilakukan pemeriksaan darah rutin dengan Cell-Dyn 3200 Flow Cytometer, kimia darah dengan Cobas Integra 400 Plus Photometric, Antibodi serum spesifik terhadap H. pylori dengan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) secara kualitatif, keton urin dengan Urisys 2400 Refractometer. Adanya infeksi H. pylori ditandai dengan Ig G serum positif. Sedangkan diagnosis hiperemesis gravidarum

ditegakkan dengan gejala klinis muntah lebih dari 3 kali sehari dan keton positif pada pemeriksaan urinalisa.

Selanjutnya sampel dikelompokkan menjadi 2, yaitu kelompok seropositif H. pylori dan kelompok seronegatif H. pylori. Hasil yang didapat dari pemeriksaan serologi

(43)

Instrumen Penelitian I. Alat

1. Spuit 5 cc

2. Sarung tangan steril 3. Kapas alkohol

4. Wadah tempat kapas alkohol 5. Wadah tempat penampungan urin II. Bahan

1. Darah vena 5 ml 2. Urin 5 ml

3.5. Alur Penelitian

Alur penelitian dapat dilihat pada bagan dibawah ini :

ANC di poliklinik dan yang dirawat di ruang perawatan

Hiperemesis Gravidarum (+) Hiperemesis Gravidarum (-)

Kelompok I Kelompok II

Kriteria Inklusi -Ekslusi

Pemeriksaan Anti - Helicobacter pylori Ig G Antibodi

Seronegatif Terapi (-) Seropositif

Terapi (+)

(44)

3.6. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen : Anti - Helicobacter pylori Ig G Antibodi 2. Variabel Dependen : Hiperemesis Gravidarum

3.7. Batasan Operasional

1. Usia kehamilan ≤ 16 minggu : usia kehamilan dibawah atau sama dengan kehamilan 16 minggu yang dihitung dari Hari Pertama Haid Terakhir/ HPHT atau dengan Ultra Sonografi/ USG.

2. Emesis Gravidarum/ Morning Sickness : mual dan muntah selama kehamilan yang terjadi antara 4 dan 8 minggu kehamilan dan terus berlanjut hingga 14-16 minggu kehamilan.

3. Hiperemesis Gravidarum : kondisi mual dan muntah yang berat selama kehamilan dengan muntah lebih dari 3 kali sehari dan keton positif pada pemeriksaan urinalisa. 4. Pemeriksaan Anti - Helicobacter pylori Ig G Antibodi : Metode pemeriksaan serum dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk Ig G antibodi spesifik terhadap H. pylori.

5. Hasil Serologi

Seropositif : adalah positif untuk antibodi IgG terhadap H. pylori. Seronegatif : adalah negatif untuk antibodi IgG terhadap H. pylori. 6. Pendidikan

Rendah : SD, SMP

Menengah : SMA

Tinggi : D3, S1

7. Pekerjaan

Bekerja : Pegawai Negri Sipil, Pegawai Swasta, Buruh tani, pabrik Tidak Bekerja : Ibu Rumah Tangga (IRT), Mahasiswa

8. Status sosial ekonomi

(45)

3.8. Pengolahan Data dan Analisa Data

Data penelitian dicatat pada lembar penelitian yang telah dipersiapkan, kemudian dilakukan editing dan koding. Data direkam dalam cakram magnetik komputer dan dilakukan proses validasi. Pengolahan data dan statistik dilakukan dengan komputer, lalu dimasukkan kedalam bentuk tabel sesuai tujuan penelitian. Dicari hubungan antara infeksi H. Pylori dengan hiperemesis gravidarum. Variabel lain yang terkait, diterima sebagai

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.1. Karakteristik Peserta Penelitian

Hiperemesis Gravidarum Serologi Helicobacter pylori Karakteristik

Positif (%)

Negatif (%)

Ig G Positif (%)

Ig G Negatif (%)

Usia

‐ 20 – 25 tahun 11 (47,8) 10 (43,5) 12 (40) 9 (56,3)

‐ 26 – 30 tahun 8 (34,8) 11 (47,8) 13 (43,4) 6 (37,5)

‐ 31 – 35 tahun 4 (17,4) 2 (8,7) 5 (16,6) 1 (6,2)

Pendidikan

‐ Rendah 1 (4,3) 3 (13) 2 (6,7) 2 (12,5)

‐ Menengah 16 (69,6) 10 (43,5) 18 (60) 8 (50)

‐ Tinggi 6 (26,1) 10 (43,5) 10 (33,3) 6 (37,5)

Pekerjaan

‐ Bekerja 9 (39,1) 14 (60,9) 13 (43,4) 10 (62,5)

‐ Tidak bekerja 14 (60,9) 9 (39,1) 17 (56,6) 6 (37,5)

Pendapatan

‐ < Rp. 1 juta 2 (8,7) 3 (13) 2 (6,7) 3 (18,8)

‐ Rp. 1 – 3 juta 21 (91,3) 16 (69,6) 25 (83,3) 12 (75)

‐ > Rp. 3 juta 0 (0) 4 (17,4) 3 (10) 1 (6,2)

Indeks Massa Tubuh (IMT)

‐ 20,0 – 22,9 Kg/M2 18 (78,3) 15 (65,2) 23 (76,7) 10 (62,5)

(47)

Tabel 4.1 diatas menunjukkan karakteristik peserta penelitian. Rentang usia ibu pada kedua kelompok penelitian 20-35 tahun. Dimana ditemukan usia terbanyak pada peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum adalah pada kelompok 20-25 tahun, yaitu sebanyak 11 orang (47,8 %) dan peserta penelitian yang hamil normal adalah pada kelompok 26-30 tahun, juga sebanyak 11 orang (47,8 %).

Pada kelompok 20-25 tahun ditemukan serologi H. pylori positif pada 12 orang (40 %). Dimana dari 11 orang peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum, sebagian besar ditemukan seropositif H. pylori, yaitu pada 8 orang dan hanya 4 orang dari peserta penelitian yang hamil normal. Pada kelompok 26-30 tahun, serologi H. pylori positif ditemukan pada 13 orang (43,4 %). Dimana dari 8 orang peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum, semuanya ditemukan seropositif H. pylori dan 5 orang dari peserta penelitian yang hamil normal. Pada kelompok 31-35 tahun serologi H. pylori positif ditemukan pada 5 orang (16,6 %). Dimana dari 4 orang peserta penelitian

yang mengalami hiperemesis gravidarum, ditemukan 3 orang seropositif H. pylori dan 2 orang dari peserta penelitian yang hamil normal.

Karaca dkk (2004) membandingkan 56 wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum dan 90 wanita hamil tanpa gejala (kelompok kontrol). Rentang usia ibu pada kelompok penelitian tersebut 20-38 tahun. Karaca dkk tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara seropositif H. pylori dengan usia ibu.

Jamal dkk (2004) melakukan penelitian antibodi IgG serum terhadap H. pylori pada 39 pasien dengan hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan IgG 55 wanita hamil asimptomatik sebagai kontrol pada usia kehamilan yang sama. Jamal dkk tidak menemukan hubungan yang bermakna antara seropositif H. pylori dengan usia ibu, usia kehamilan dan paritas. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Kazerooni dkk (2002), bahwa tidak ada ditemukan korelasi antara IgG positif dengan usia ibu, usia kehamilan dan paritas.

(48)

berbagai pengamatan bahwa, bila kehamilan terjadi sebelum atau sesudah umur tersebut lebih umum pada kehamilan yang tidak diinginkan atau kehamilan yang tidak direncanakan.

Pada Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah populasi penelitian yang berpendidikan menengah dan tinggi yaitu minimal SMA yang cukup banyak. Pada peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum yang terbanyak berpendidikan menengah, yaitu sebanyak 16 orang (69,6 %) sedangkan pada peserta penelitian yang normal kehamilannya berpendidikan menengah dan tinggi, yaitu sama-sama sebanyak 10 orang (43,5 %).

Pada kelompok pendidikan rendah ditemukan serologi H. pylori positif pada 2 orang (6,7 %). Dimana 1 orang berasal dari peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum dan 1 orang dari peserta penelitian yang hamil normal. Pada kelompok pendidikan menengah, serologi H. pylori positif ditemukan pada 18 orang (60 %). Dimana dari 16 orang peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum, sebagian besar ditemukan seropositif H. pylori, yaitu pada 13 orang dan hanya 5 orang dari peserta penelitian yang hamil normal. Pada kelompok pendidikan tinggi, serologi H. pylori positif ditemukan pada 10 orang (33,3 %). Dimana dari 6 orang peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum, ditemukan 5 orang seropositif H. pylori dan 5 orang dari peserta penelitian yang hamil normal.

Karaca dkk (2004), telah meneliti hubungan antara infeksi H. pylori dengan tingkat pendidikan pada wanita hamil dan hasilnya tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi H. pylori dengan tingkat pendidikan. Jamal dkk (2004) juga tidak menemukan hubungan yang bermakna antara seropositif H. pylori dengan tingkat pendidikan.

(49)

Dari Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum tidak bekerja, yaitu sebanyak 14 orang (60,9 %), sebaliknya pada peserta penelitian yang hamil normal, lebih banyak peserta penelitian yang bekerja, yaitu juga sebanyak 14 orang (60,9 %).

Pada kelompok peserta penelitian yang bekerja, serologi H. pylori positif ditemukan pada 13 orang (43,4 %). Dimana dari 9 orang peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum, hampir semuanya ditemukan seropositif H. pylori, yaitu pada 8 orang dan 5 orang dari peserta penelitian yang hamil normal. Pada kelompok peserta penelitian yang tidak bekerja, serologi H. pylori positif ditemukan pada 17 orang (56,6 %). Dimana dari 14 orang peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum, sebagian besar yaitu 11 orang seropositif H. pylori dan hanya 6 orang dari peserta penelitian yang hamil normal seropositif H. pylori.

Sandven dkk (2008) melakukan case control study untuk pemeriksaan serologi H. pylori terhadap 244 wanita hamil yang menderita hiperemesis gravidarum dan 244 wanita

hamil yang tidak menderita hiperemesis gravidarum sebagai kontrolnya. Dari 244 wanita hamil yang menderita hiperemesis gravidarum, sebanyak 112 orang (45,9 %) bekerja dan 132 orang (54,1 %) tidak bekerja. Dari 112 orang yang bekerja, hanya 29 orang ditemukan seropositif H. pylori dan selebihnya 83 orang seronegatif H. pylori. Sedangkan dari 132 orang yang tidak bekerja, 76 orang seropositif H. pylori dan 56 orang seronegatif H. pylori. Sedangkan dari 244 wanita hamil sebagai kontrolnya, sebanyak 192 orang (78,7 %) bekerja dan 52 orang (21,3 %) tidak bekerja. Dari 192 orang yang bekerja, hanya 33 orang ditemukan seropositif H. pylori dan selebihnya 159 orang seronegatif H. pylori. Sedangkan dari 52 orang yang tidak bekerja, 25 orang seropositif H. pylori dan 27 orang seronegatif H. pylori. Dari data tersebut, Sandven dkk tidak menemukan adanya hubungan yang

bermakna antara seropositif H. pylori dengan status pekerjaan.

Pada Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa status sosial ekonomi peserta penelitian sebagian besar berstatus sosial ekonomi menengah, dengan pendapatan terbanyak untuk kedua peserta penelitian adalah berkisar antara Rp 1 juta sampai Rp 3 juta dengan jumlah masing-masing 21 orang (91,3 %) pada peserta penelitian yang mengalami hiperemesis gravidarum dan 16 orang (69,6 %) pada peserta penelitian yang hamil normal.

Gambar

Gambar 2.1. : H. pylori. (15)
Tabel 2.2. : Terapi Tambahan Inhibitor Pompa Proton. (9)
Tabel 2.3. : Terapi Tambahan Vitamin, Antiemetik, Antihistamin dan Kortikosteroid. (5)
Gambar 2.2. : Prinsip Test. (13)
+4

Referensi

Dokumen terkait

(4) Terjadi penyimpangan ekspresi molekul HLA kelas II pada sel yang tidak biasa; saat terjadi proses rutin degradasi molekul spesifik pada permukaan sel

Buku Statistik Investasi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2019 adalah merupakan publikasi data dan informasi mengenai perkembangan investasi di Jawa Tengah yang diterbitkan oleh

menggunakan perhitungan Chi-square (χ 2 ) yaitu Fisher’s exact test diperoleh nilai ρ = 0,000 (ρ &lt; 0,05) yang berarti bahwa ada hubungan antara faktor pemungkin

Aktifitas ini ditunjukkan oleh mulai terbentuknya struktur sesar yang memiliki orientasi berarah Barat Laut – Tenggara, dimana struktur – struktur

Dalam rangka mengenalkan program-program yang sudah dirancang pemerintah dan menindaklanjuti layanan e-jurnal yang sudah difasilitasi oleh Ditjen Dikti serta memberikan pemahaman

Untuk melakukan proses peleburan, sebelumnya dilakukan perancangan komponen. Adapun komponen yang digunakan antara lain tabung pelebur, band heater, nozzle heater. Tabung

Dan itu adalah termasuk keajaiban sifat-sifat keiuhanan. Dialah yang mengobahkan, tanpa Dia sendiri berobah. Bahkan tiap-tiap perobah selain Allah,

Pada abad kesembilan belas, muncul baju setelan yang dipakai oleh para pria dan menjadi seragam bagi pria kelas menengah. Sejak tahun 1920, yang masih merupakan masa