• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Erosi Tanah pada Hutan Rakyat, Lahan Agroforestri, dan Lahan Pertanian Semusim di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Erosi Tanah pada Hutan Rakyat, Lahan Agroforestri, dan Lahan Pertanian Semusim di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EROS

AGROFORES

DI DESA BIN

K

PR

UNI

OSI TANAH PADA HUTAN RAKYAT

ESTRI, DAN LAHAN PERTANIAN S

BINGKAWAN KECAMATAN SIBOL

KABUPATEN DELI SERDANG

HERY HALOMOAN SINURAT 061202021

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

AT, LAHAN

SEMUSIM

(2)

KAJIAN EROSI

AGROFORESTR

DI DESA BIN

KA

PR

UNI

OSI TANAH PADA HUTAN RAKYAT,

ESTRI, DAN LAHAN PERTANIAN SEM

BINGKAWAN KECAMATAN SIBOLA

KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh :

HERY HALOMOAN SINURAT 061202021

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011

(3)

KAJIAN EROSI

AGROFORESTR

DI DESA BIN

KA

Skripsi s

PR

UNI

OSI TANAH PADA HUTAN RAKYAT,

ESTRI, DAN LAHAN PERTANIAN SEM

BINGKAWAN KECAMATAN SIBOLA

KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh :

HERY HALOMOAN SINURAT 061202021/BUDIDAYA HUTAN

si sebagai salah satu syarat untuk memperol gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011

AT, LAHAN

SEMUSIM

BOLANGIT

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Kajian Erosi Tanah pada Hutan Rakyat, Lahan Agroforestri, dan Lahan Pertanian Semusim di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang

Nama : Hery Halomoan Sinurat

NIM : 061202021

Program Studi : Kehutanan Jurusan : Budidaya Hutan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Deni Elfiati, SP., MP. Ketua

Mengetahui,

(5)

ABSTRAK

HERY HALOMOAN SINURAT : Kajian Erosi Tanah pada Hutan Rakyat, Lahan Agroforestri, dan Lahan Pertanian Semusim di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, dibimbing oleh DENI ELFIATI.

Kondisi yang curam pada daerah penelitian mengakibatkan erosi mudah terjadi. Untuk itu suatu penelitian telah dilakukan di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU pada April - Desember 2010 menggunakan metode Chin-ong meter. Parameter yang diamati adalah curah hujan, limpasan permukaan, erosi tanah, tekstur tanah, dan kandungan bahan organik tanah.

Hasi penelitian menunjukkan bahwa hutan rakyat mampu menekan laju limpasan permukaan dan erosi tanah dibandingkan lahan agroforestri dan lahan pertanian semusim. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengamati parameter penyebab erosi lainnya.

(6)

ABSTRACT

HERY HALOMOAN SINURAT : Study of Soil Erosion on Community Forest, Agroforestry, and Annual Land in Bingkawan Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang Regency, supervised by DENI ELFIATI.

Steep conditions in study area, cause soil erosion easily occurs. Therefore a research had been conducted at Bingkawan Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang Regency and at the Agrobiology Laboratory of College of Agriculture USU in April - December 2010 using Chin-ong meter method. Parameters measured were rainfall, runoff, soil erosion, soil texture, and soil organic matter content.

The results showed that community forest able to press the rate of runoff and soil erosion than agroforestry and annual land. Further research is needed to examine other parameters of the causes of soil erosion.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Singaraja, Bali pada tanggal 01 Februari 1988 dari

ayah Hisar Sinurat dan ibu Erasma Endang Risawati. Penulis merupakan putra

kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMU YP. Sultan Iskandar Muda, Medan

dan pada tahun 2006 masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih jurusan Budidaya Hutan,

Program Studi Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota dan seksi

advokasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS). Penulis melaksanakan Praktek

Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Unit I, KPH Randublatung, Blora,

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena

atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Kajian Erosi Tanah pada Hutan Rakyat, Lahan Agroforestri, dan Lahan

Pertanian Semusim di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli

Serdang”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih

sebesar-besarnya kepada orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara,

dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada Dr. Deni Elfiati, SP., MP. selaku ketua komisi pembimbing dan

Bejo Slamet, S.Hut., M.Si. yang telah membimbing dan memberikan berbagai

masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan

penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk Bapak Rimso Ginting, penulis

menyampaikan terima kasih atas kesediaan meminjamkan lahannya selama

penulis melakukan penelitian.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf

pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan. Kepada Efratama Sibarani,

Andreas Sinuhaji, Love Freddy A.K.T., dan Yasinta Reolina Silitonga yang telah

membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, serta semua rekan

mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu

(9)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hutan dan Fungsinya ... 4

Erosi ... 6

Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Erosi ... 7

Faktor iklim ... 7

Faktor tanah ... 8

Faktor vegetasi ... 9

Faktor topografi ... 10

Faktor manusia ... 10

Dampak Erosi ... 11

Prediksi Erosi ... 12

Pengendalian Erosi ... 13

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 16

Bahan dan Alat ... 16

Metode Penelitian ... 16

Prosedur Penelitian ... 18

Pemilihan lokasi penelitian ... 18

Pembuatan petak ukur dan pemasangan Chin-ong meter ... 18

Pengukuran curah hujan ... 19

Pengukuran limpasan permukaan ... 20

Pengukuran erosi tanah ... 22

Analisis Tanah ... 24

Tekstur ... 25

Kandungan bahan organik ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Tutupan Lahan ... 27

Erodibilitas Tanah ... 30

Limpasan Permukaan ... 32

(10)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Hasil analisis laboratorium ... 30

2. Klasifikasi persentase bahan organik ... 30

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Diagram plot erosi dan alat penampung limpasan permukaan dan erosi

(Widianto dkk., 2004) ... 17

2. Chin-ong meter yang dipasang pada plot ... 19 3. Cara pengambilan sampel tanah pada plot ... 24

4. Perbandingan penutupan tajuk 100 % pada hutan (a) dan lahan agroforestri 16 % (b), ket: x= tanaman cabai. ... 28

5. Pepohonan, tumbuhan bawah, dan penutupan serasah pada hutan (a), agroforestri (b), dan semusim (c) ... 29

6. Hubungan antara curah hujan dengan limpasan permukaan pada ketiga lokasi ... 33

7. Limpasan permukaan dari ketiga plot penelitian, H (hutan), A (agroforestri), dan S (semusim) ... 34

8. Hubungan antara curah hujan dengan erosi yang terjadi pada ketiga lokasi ... 37

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Hasil kalibrasi alat Chin-ong meter ... 47

2. Data mentah hasil pengukuran 30 kali hujan ... 48

3. Hasil perhitungan curah hujan untuk hutan ... 50

4. Hasil perhitungan limpasan permukaan untuk hutan ... 52

5. Hasil perhitungan curah hujan untuk agroforestri... 54

6. Hasil perhitungan limpasan permukaan untuk agroforestri. ... 56

7. Hasil perhitungan curah hujan untuk semusim ... 58

8. Hasil perhitungan limpasan permukaan untuk semusim... 60

9. Data mentah tanah hasil pengovenan selama 3 jam ... 62

10. Hasil penghitungan erosi ... 64

11. Pengurutan data curah hujan dari yang terkecil hingga terbesar yang menyebabkan limpasan permukaan dan erosi ... 69

(14)

ABSTRAK

HERY HALOMOAN SINURAT : Kajian Erosi Tanah pada Hutan Rakyat, Lahan Agroforestri, dan Lahan Pertanian Semusim di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, dibimbing oleh DENI ELFIATI.

Kondisi yang curam pada daerah penelitian mengakibatkan erosi mudah terjadi. Untuk itu suatu penelitian telah dilakukan di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU pada April - Desember 2010 menggunakan metode Chin-ong meter. Parameter yang diamati adalah curah hujan, limpasan permukaan, erosi tanah, tekstur tanah, dan kandungan bahan organik tanah.

Hasi penelitian menunjukkan bahwa hutan rakyat mampu menekan laju limpasan permukaan dan erosi tanah dibandingkan lahan agroforestri dan lahan pertanian semusim. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengamati parameter penyebab erosi lainnya.

(15)

ABSTRACT

HERY HALOMOAN SINURAT : Study of Soil Erosion on Community Forest, Agroforestry, and Annual Land in Bingkawan Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang Regency, supervised by DENI ELFIATI.

Steep conditions in study area, cause soil erosion easily occurs. Therefore a research had been conducted at Bingkawan Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang Regency and at the Agrobiology Laboratory of College of Agriculture USU in April - December 2010 using Chin-ong meter method. Parameters measured were rainfall, runoff, soil erosion, soil texture, and soil organic matter content.

The results showed that community forest able to press the rate of runoff and soil erosion than agroforestry and annual land. Further research is needed to examine other parameters of the causes of soil erosion.

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan secara umum dapat melindungi permukaan tanah dari bahaya erosi

(Widianto dkk., 2004). Hujan yang jatuh di atas hutan sebagian besar ditangkap oleh tajuk hutan dan dahan pepohonan tanpa menyentuh tanah. Air menguap

dengan cepat dan kembali ke daur hidrologisnya. Sebagian lagi dikembalikan ke

atmosfir melalui transpirasi oleh tumbuhan.Tenaga curah hujan yang mencapai

tanah sudah sangat berkurang. Lapisan serasah dan permukaan tanah yang

renggang segera menyerap air yang menembusnya sehingga sedikit saja limpasan

yang ada di permukaan. Air tersebut akan mengalir melalui aliran bawah tanah

secara perlahan-lahan ke sungai. Sehingga suplai air dapat terkendali tidak

berlimpah pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau dan tentu

saja erosi tidak akan terjadi (Masjud, 2000).

Aktivitas manusia cenderung tidak memperhatikan keseimbangan

lingkungan, sehingga menyebabkan erosi, longsor lahan dan akhirnya lingkungan

menjadi rusak. Pengaruh langsung dari perubahan penggunaan lahan adalah

perlindungan tanah terhadap pukulan air hujan secara langsung berkurang,

berkurangnya pembentukan bahan organik dalam tanah, aliran permukaan lebih

besar daripada yang meresap dalam tanah. Kondisi ini jika berlangsung terus

menerus dikhawatirkan erosi akan terus berkembang dan akan terjadi lahan kritis

yang akan mengakibatkan penurunan kesuburan tanah, sehingga produktivitas

tanah akan menurun (Ibrahim, 2009).

Dampak dari erosi juga berupa menipisnya lapisan permukaan tanah

(17)

lahan, selain itu menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi).

Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah akan

meningkatkan limpasan air permukaaan yang lebih jauh dapat mengakibatkan

banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan

pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi)

(Gunawan danKusminingrum, 2008).

Hasil penelitian Widianto dkk. (2004) menunjukkan bahwa penebangan

hutan alam meningkatkan limpasan permukaan dan erosi. Limpasan permukaan

kumulatif dari petak percobaan hutan alam hanya sepertiga (27 mm) dari petak

hutan yang baru ditebang (75 mm). Limpasan permukaan terbesar diperoleh pada

petak dengan tanaman kopi berumur 3 tahun (124 mm). Pada petak dengan

tanaman kopi berumur lebih dari 3 tahun terjadi penurunan limpasan permukaan.

Kehilangan tanah karena erosi yang terbesar pada petak dengan tanaman kopi

berumur 1 tahun. Pertanaman kopi monokultur ternyata tidak dapat sepenuhnya

mengembalikan fungsi hidrologi hutan walaupun kopi telah berumur 10 tahun.

Ada beberapa aspek yang hilang dari hutan yang tidak bisa dikembalikan melalui

pertanaman kopi.

Dengan melihat kondisi topografi daerah penelitian berombak hingga

bergunung dengan relief halus hingga kasar, memungkinkan proses erosi mudah

terjadi di daerah penelitian. Selain itu, curah hujan di daerah penelitian yang

cukup tinggi, faktor erodibilitas tanah, pengelolaan tanaman, serta pengelolaan

lahan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis melakukan penelitian

(18)

Lahan Pertanian Semusim di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten

Deli Serdang”.

Tujuan Penelitian

Untuk mengkaji secara kuantitatif potensi hutan rakyat dalam menekan

limpasan permukaan dan erosi tanah dibandingkan dengan lahan agroforestri dan

pertanian semusim.

Hipotesis Penelitian

Hutan rakyat lebih baik dalam menekan laju limpasan permukaan dan

erosi tanah dibandingkan dengan lahan agroforestri dan pertanian semusim.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

mengenai potensi hutan rakyat dalam menekan laju limpasan permukaan dan erosi

tanah dibandingkan lahan agroforestri dan pertanian semusim serta sebagai

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan dan Fungsinya

Hutan memiliki fungsi sebagai pelindung, dalam hal ini berfungsi sebagai

pengaturan tata air, pencegahan banjir, pencegahan erosi, dan pemeliharaan

kesuburan tanah. Rahmawaty (2004a) menyimpulkan bahwa hal tersebut

merupakan manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible). Selain itu, kawasan hutan dengan ciri khas tertentu mempunyai fungsi perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa

serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pohon yang tajuk-tajuknya saling menaungi akan mampu menahan jatuhnya titik

air hujan pada permukaan tanah. Dengan bantuan tumbuhan lantai hutan (forest floor), serasah dan humus memiliki peranan yang sangat penting bahkan lebih penting daripada tegakan pohon itu sendiri. Sebab tumbuhan bawah, serasah, dan

humus sangat menentukan permeabilitas tanah dalam menyerap air yang jatuh

dari pohon serta akan mencegah laju aliran air permukaan (surface run-off), sehingga terserap oleh tanah (infiltrasi) (Arief, 2001).

Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan, berupa aneka

pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan rakyat adalah

hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha. Penutupan

tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama

minimal 500 batang (Dephutbun, 1999). Penanaman pepohonan di tanah milik

masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu butir kearifan masyarakat

dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dengan semakin

(20)

semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor

lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan

ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan

faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat.

Pada hutan ini dilakukan penanaman dengan mengkombinasikan tanaman

perkayuan dengan tanaman pangan/palawija yang biasa dikenal dengan istilah

agroforestry. Pola pemanfaatan lahan seperti ini banyak manfaatnya, antara lain :

Pendapatan per satuan lahan bertambah, Erosi dapat ditekan, Hama dan penyakit

lebih dapat dikendalikan, Biaya perawatan tanaman dapat dihemat, Waktu petani

di lahan lebih lama (Rahmawaty, 2004c).

Hutan yang demikian mampu mempertahankan tanah dari proses

kerusakan akibat erosi. Penggunaan lahan untuk pepohonan yang sejenis

seringkali juga disebut hutan, misalnya hutan tanaman industri, hutan pinus, hutan

jati, hutan mahoni, dll. Namun penggunaan lahan untuk pepohonan tanaman

industri seperti kopi, karet, teh, kakao, dan sawit, tidak disebut hutan melainkan

kebun. Kebun tanaman industri yang komposisinya lebih dari satu species dan

dibiarkan sehingga tumbuh semak dan aneka tanaman bawah (understorey) kelihatannya mirip hutan dinamakan sistem agroforestri (Widianto dkk., 2004).

Komunitas vegetasi hutan alam tua yang tidak terganggu merupakan

pelindung sempurna terhadap jatuhan air hujan, lebihan aliran air hujan diatas

permukaan tanah (overland flow), limpasan air permukaan (surface runoff), dan ancaman bahaya erosi. Bertolak dari prinsip hutan sebagai pengendali limpasan

permukaan dan erosi, maka penggunaan vegetasi hutan sebagai upaya universal

(21)

mahoni (Swietenia macrophylla) untuk hutan tanaman dan hutan rakyat. Dalam seluruh fase pertumbuhannya, hutan tanaman tidak bisa dikatakan tanpa

terganggu. Gangguan terbesar terjadi pada fase penebangan, penyiapan lahan dan

masa tanaman berumur muda (Paimin dkk., 2003).

Erosi

Erosi tanah merupakan salah satu proses geomorfologi yang terdiri dari

dua fase, yaitu : fase penguraian dan fase pengangkutan partikel-partikel tanah

oleh tenaga erosi seperti air dan angin (Arsyad, 2006). Menurut bentuknya, erosi

dapat dibedakan menjadi erosi percik, erosi lembar, erosi alur, erosi parit dan erosi

tebing sungai. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah iklim,

topografi, vegetasi, tanah dan manusia.

Hardiyatmo (2006) menyimpulkan bahwa erosi percik adalah erosi hasil

dari percikan/ benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah dalam

keadaan basah. Erosi lembar merupakan erosi akibat terlepasnya tanah dari lereng

dengan tebal lapisan yang tipis. Erosi alur adalah erosi akibat pengikisan tanah

oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran kecil, dimana pada bagian

tersebut telah terjadi konsentrasi aliran air hujan di permukaan tanah. Erosi parit

adalah kelanjutan dari erosi alur, yaitu terjadi bila alur-alur semakin lebar dan

dalam yang dapat mencapai 1 sampai 2,5 m atau lebih. Erosi tebing sungai adalah

erosi yang terjadi akibat dari terkikisnya permukaan tanggul sungai dan gerusan

sedimen di sepanjang dasar saluran.

Suripin (2004) mengemukakan bahwa, erosi tanah terjadi melalui tiga

tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari massa tanah dan tahap

(22)

dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka

akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan.

Percikan air hujan merupakan media utama pelepasan partikel tanah. Pada

saat butiran air hujan mengenai permukaan tanah yang gundul, partikel yanah

dapat terlepas dan terlempar sampai beberapa centimeter ke udara. Pada lahan

datar partikel-partikel tanah tersebar lebih-kurang merata ke segala arah, tapi

untuk lahan miring terjadi dominasi ke arah bawah searah lereng. Partikel-partikel

tanah yang terlepas ini akan menyumbat pori-pori tanah sehingga akan

menurunkan kapasitas dan laju infiltrasi.

Pada kondisi dimana intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan

terjadi genangan air di permukaan tanah, yang kemudian akan menjadi aliran

permukaan. Aliran permukaan ini menyediakan energi untuk mengangkut

partikel-partikel yang terlepas baik oleh percikan air hujan maupun oleh adanya

aliran permukaan itu sendiri. Pada saat energi/aliran permukaan menurun dan

tidak mampu lagi mengangkut partikel tanah yang terlepas, maka partikel tanah

tersebut akan diendapkan (Suripin, 2004).

Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Erosi

Faktor iklim

Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan, suhu udara, dan

angin. Di daerah tropika, faktor iklim yang terpenting yang menetukan besarnya

tanah tererosi adalah hujan. Hujan merupakan salah satu faktor penentu yang

berada di luar jangkauan manusia untuk mengubahnya. Karakteristik hujan yang

(23)

kinetik hujan, ukuran butir, kecepatan, dan bentuk jatuhnya hujan serta distribusi

hujan (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 2008).

Faktor tanah

Sifat - sifat fisik tanah yang penting yang berpengaruh terhadap erosi

adalah kepekaan tanah terhadap erosi yang dikenal sebagai erodibilitas tanah.

Makin besar nilai erodibilitas suatu tanahmakin peka tanah tersebut terhadap erosi

(Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 2008). Arsyad (2006) menyatakan bahwa

sifat - sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah (a) tekstur, (b) struktur, (c)

bahan organik, (d) kedalaman, (e) sifat lapisan tanah, dan (f) tingkat kesuburan

tanah.

Tekstur adalah ukuran butir dan proporsi kelompok ukuran butir - butir

primer bagian mineral tanah. Tanah - tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir

kerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut

memiliki profil yang dalam, maka erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur pasir

halus juga memiliki kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran

permukaan maka butir - butir halus akan mudah terangkut (Arsyad, 2006).

Sementara itu, tanah - tanah yang mempunyai struktur mantap terhadap

pengaruh air, memiliki permeabilitas, dan drainase yang sempurna tidak mudah

didispersikan oleh air hujan. Permeabilitas tanah dapat menghilangkan daya air

untuk mengerosi permukaan tanah, sedangkan drainase mempengaruhi baik

buruknya pertukaran udara dan selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan

mikroorganisme dalam tanah, juga perakaran tanaman (Suripin, 2004).

Bahan organik berupa daun, ranting, dan sebagainya yang belum hancur

(24)

perusak butiran hujan yang jatuh. Bahan organik tersebut juga menghambat

kecepatan aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak

merusak. Selain itu, bahan organik juga meningkatkan infiltrasi dan memantapkan

agregat tanah (Arsyad, 2006).

Tanah - tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi

daripada tanah yang permeabel tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan

kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah, yang dengan

demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Sedangkan, sifat lapisan

bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah permeabilitas lapisan

tersebut. Sementara itu, kesuburan tanah berhubungan dengan bahan organik,

semakin subur tanah maka tumbuhan semakin banyak dan lebih baik menutup

tanah dari erosivitas yang terjadi (Arsyad, 2006).

Faktor vegetasi

Vegetasi mempengaruhi erosi karena melindungi tanah terhadap kerusakan

oleh butir - butir hujan. Pada dasarnya vegetasi mampu mempengaruhi erosi

karena adanya (1) intersepsi air hujan oleh tajuk dan absorpsi energi air hujan,

sehingga memperkecil erosivitasnya, (2) pengaruh terhadap limpasan permukaan,

(3) peningkatan aktivitas biologi dalam tanah, dan (4) peningkatan kecepatan

kehilangan air karena transpirasi. Pengaruh vegetasi berbeda - beda, bergantung

pada jenis tanaman, perakaran, tinggi tanaman, tajuk, dan tingkat pertumbuhan

dan musim. Pengaruh musim sebetulnya erat hubungannya dengan pengelolaan

tanaman (Rahim, 2003).

Adanya vegetasi penutup tanaman yang baik, seperti rumput yang tebal

(25)

Tanaman yang menutup permukaan tanah secara rapat tidak saja memperlambat

limpasan, tetapi juga menghambat pengangkutan partikel tanah. Perakaran

tanaman berperan sebagai pemantap agregat dan memeperbesar porositas tanah.

Akar juga berfungsi “menggenggam” massa tanah sehingga mempengaruhi nilai

daya geser tanah. Dengan demikian, tanah yang memiliki perakaran tanaman baik,

di satu sisi memiliki kemampuan meneruskan air ke dalam lapisan bawah tinggi,

di sisi lain ketahanan tanah terhadap perusakan oleh air menjadi tinggi pula

(Rahim, 2003).

Faktor topografi

Pada daerah yang datar kehilangan tanah umumnya tidak merupakan

masalah. Dua unsur topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah kemiringan

lereng dan panjang lereng. Kenaikan kecepatan aliran permukaan akibat

kemiringan lereng menjadikan air tersebut sebagai pengangkut yang lebih baik.

Selain itu tetesan - tetesan hujan akan memukul permukaan tanah secara langsung

karena lapisan air pada tanah berlereng menjadi tipis. Pukulan tetesan - tetesan

hujan tersebut akan mengakibatkan terlepasnya butir - butir tanah, yang

selanjutnya akan dihanyutkan oleh aliran permukaan. Secara teoritis apabila

kecepatan meningkat dua kali, daya erosivitas akan meningkat menjadi empat kali

dan banyaknya material dengan ukuran tertentu yang terbwa sama dengan dua

pangkat lima kali (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 2008).

Faktor manusia

Peranan manusia merupakan yang utama di dalam proses yang utama di

dalam proses erosi. Perbuatan manusia mengelola tanahnya dengan cara yang

(26)

pembukaan hutan, pembukaan areal lain untuk tempat tanaman, perladangan, dan

lain sebagainya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri selagi manusia tidak

bersedia untuk mengubah sikap dan tindakannya sebagaimana semestinya, demi

mencegah atau menekan laju erosi. Oleh karena itu, faktor kegiatan manusia

memegang peranan penting terutama dalam usaha - usaha pencegahan erosi, sebab

manusia dapat mempengaruhi faktor - faktor penyebab erosi lainnya, kecuali iklim

(Rahim, 2003).

Dampak Erosi

Pada kawasan hutan bila terjadi erosi tanah akan menyebabkan kerugian

besar karena akibat yang ditimbulkan pada lapisan tanah tempat terjadi erosi ( on-site) ataupun pada tempat tujuan kikisan tanah yang terangkut tersebut diendapkan (off site) menjadi rusak. Kerusakan tersebut terjadi pada sifat-sifat tanah seperti fisik, kimia, dan biologi tanah yang mengalami kemunduran. Kerusakan lapisan

atas permukaan tanah (top soil) terjadi pada kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah untuk menahan air, meningkatnya kepadatan tanah, ketahanan penetrasi

tanah air, dan berkurangnya kemantapan struktur tanah. Akibat terjadinya erosi

adalah pendangkalan sungai, danau, dan waduk sehingga menimbulkan banjir

(Arief, 2001).

Dampak erosi tanah di tapak (on-site) merupakan dampak yang dapat terlihat langsung kepada pengelola lahan yaitu berupa penurunan produktivitas.

Hal ini berdampak pada kehilangan produksi, peningkatan penggunaan pupuk dan

kehilangan lapisan olah tanah yang akhirnya mengakibatkan timbulnya tanah

(27)

dan input lainnya sebagian akan terbawa erosi atau aliran permukaan dipindahkan ke tempat-tempat yang tidak diharapkan (Sutono, 2008).

Dampak erosi tanah di luar lahan pertanian (off site) merupakan dampak yang sangat besar pengaruhnya. Sedimen hasil erosi tanah dan kontaminan yang

terbawa bersama sedimen dapat menimbulkan kerugian dan biaya yang sangat

besar dalam kehidupan. Bentuk dampak off site antara lain adalah : (i) pelumpuran dan pendangkalan waduk; (ii) tertimbunnya lahan pertanian dan bangunan; (iii)

memburuknya kualitas air dan (iv) kerugian ekosistem perairan (Arsyad, 2006).

Selain itu menurut Masjud (2000), dampak yg ditimbulkan erosi dan

sedimentasi dapat berupa dampak lingkungan maupun dampak ekonomi. Dampak

lingkungan seperti penyebab terjadinya ledakan alga yang akan mengurangi

kejernihan air, mengurangi ketersediaan oksigen di air dan mengakibatkan

kematian ikan, gerakan sedimen di air akan mengganggu kegiatan fotosintesis

tumbuhan air. Dampak ekonominya seperti berkurangnya umur pakai waduk

karena terjadinya pendangkalan dan berkurangnya kemampuan tanah mendukung

pertumbuhan tanaman sehingga produksi menurun.

Prediksi Erosi

Asdak (2007) mengemukakan bahwa prediksi erosi merupakan salah satu

hal penting untuk mengambil keputusan dalam perencanaan konservasi tanah pada

suatu bidang lahan. Model prediksi erosi yang umum digunakan di Indonesia

adalah metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Metode USLE adalah model prediksi erosi yang dirancang untuk memprediksi erosi jangka panjang dari

(28)

A = R × K × LS × C × P

Dimana :

A : besarnya kehilangan tanah (ton/ ha/ tahun)

R : Indeks erosivitas hujan

K : indeks erodibilitas tanah.

LS : indeks topografi

C : indeks penutup tanah dan cara bercocok tanam

P : indeks tindakan konservasi tanah

Pengendalian Erosi

Usaha pengendalian erosi yang dikemukakan oleh (Hardiyatmo, 2006),

dapat dilaksanakan dengan cara ; mekanis, vegetatif, serta kimiawi, metode

kimiawi merupakan metode dengan memanfaatkan bahan-bahan pemantap.

Metode mekanis adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan

terhadap tanah dengan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan

dan erosi, serta meningkatkan kemampuan penggunaan lahan. Tujuan konservasi

tanah secara mekanik adalah : (a) memperkecil aliran permukaan sehingga

mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak, (b) menampung dan menyalurkan

aliran permukaan pada bangunan tertentu yang telah dipersiapkan termasuk dalam

metode mekanik adalah pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur

tanah (contour cultivation), guludan dan penterasan (Asdak, 2007).

Cara vegetatif yaitu dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk

pengendalian erosi. Hal ini dilakukan dengan cara penghutanan kembali

(reboisasi) dan penghijauan, penanaman tumbuhan penutup tanah, penanaman

(29)

larikan-larikan, penanaman tumbuhan secara bergilir, penanaman yang digilir

pemanfaatan serasah (sisa-sisa tanaman), penanaman gebalan rumput. penanaman

rumput akar wangi, penanaman rumput vetiver (vetiver grass) (Hardiyatmo, 2006).

Hasil penelitian di Desa Glapansari, Kecamatan Parakan, Kabupaten

Temanggung menunjukkan bahwa, penerapan teknik konservasi pada lahan

tembakau yang meliputi penanaman rumput setaria pada bibir saluran pemotong lahan dan tanaman flemingia pada bidang vertikal saluran pemotong, serta pembuatan rorak di dasar saluran pemotong lahan, serta pengolahan tanah

minimal dapat menekan besarnya erosi sebesar 44,84% dan mengurangi kadar

unsur hara yang tererosi, serta memperbaiki sifat-sifat fisik tanah

(Djajadi dkk., 2008).

Menurut Suripin (2004), bahan-bahan kimia yang dapat digunakan untuk

mengendalikan erosi adalah polynyl acetate (PVa), polyacrilamide (PAM),

asphalt, dan latex. Penggunaan bahan pemantap tanah pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu :

a. Pemakaian di permukaan tanah (surface treatment). Pada cara ini larutan atau emulsi bahan pemantap tanah yang telah diencerkan dengan air (dengan

perbandingan tertentu) disemprotkan langsung ke atas permukaan tanah

dengan sprayer. Cara ini dapat dilakukan baik untuk penelitian di lapangan maupun di laboratorium.

b. Pemakaian secara dicampur (incorporation treatment). Pada cara ini larutan atau emulsi bahan pemantap tanah yang telah diencerkan dengan air (dengan

(30)

dengan sprayer, kemudian tanah diaduk-aduk sampai campuran merata sampai kedalaman antara 0-25 cm.

c. Pemakaian setempat/lobang (local/pit treatment). Pada cara ini pemakaian bahan pemantap tanah hanya terbatas pada lobang-lobang (dengan ukuran

misalnya 60 x 60 x 60 cm3) yang dipersiapkan untuk ditanami tanaman

(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit,

Kabupaten Deli Serdang dan Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga

Desember 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan rakyat, lahan

agroforestri (berbasis tanaman cabai umur + 3 bulan), dan pertanian semusim

(tanaman cabai umur + 3 bulan) yang memiliki kelerengan 70 - 80 %

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chin- ong meter, abney level, meteran, tabung pengukur hujan, seng, selang, semen, plastik, water pass,

jerigen, corong, oven, pasak bambu, corong, gelas ukur, botol plastik, cawan

aluminium, stiker, timbangan digital, erlenmeyer, kertas saring, hecter gun, alat tulis, dan kamera digital.

Metode Penelitian

Metode pengukuran erosi dan limpasan permukaan ini menggunakan

metode alat penampung “Chin- ong meter”. Menurut Widianto dkk. (2004)

Chin-ong meter merupakan suatu penyalur limpasan permukaan yang dipasang di saluran pembuangan plot pengukur limpasan permukaan dan erosi. Chin-ong meter ini terbuat dari plat besi setebal 3 mm yang berbentuk persegi panjang dengan panjang 50 cm, lebar 25 cm dan tinggi 15 cm. Di bagian tengah dan

bawah dari alat ini dibuat lubang selebar diameter dalam dari pipa besi

(32)

pembuangan air yang ditampung dalam jurigen untuk pengukuran limpasan

permukaan dan erosi. Limpasan permukaan dan erosi yang lainnya diteruskan ke

bawah dalam permukaan dasar Chin-ong meter menuju pembuangan. Untuk mencegah masuknya air hujan langsung digunakan penutup misalnya seng

ataupun plastik (Widiyono, 2005).

Alat ini pada bagian yang panjang dipasang agak miring namun pada

bagian lebar harus dipasang dalam posisi yang rata dan dicek dengan “water-pas”. Dengan teknik pemasangan tersebut, aliran air diasumsikan sebagai aliran

laminer, sehingga sebagian aliran akan masuk silinder dan lainnya terus menuju

pembuangan. Perbandingan antara jumlah air yang masuk silinder dan yang keluar

setiap alat yang terpasang di lapangan harus dikalibrasikan melalui proses

penuangan air 10 liter dari atas alat dan diukur limpasan yang masuk ke dalam

jerigen. Selanjutnya jika sudah ada angka kalibrasi untuk setiap alat maka untuk

pengamatan limpasan permukaan dan erosi cukup menampung aliran yang lewat

Chin-ong meter, kemudian diukur volume air dan sedimen di jerigen penampung.

[image:32.595.122.498.498.713.2]

Prosedur Penelitian

(33)

Prosedur Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian

Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas tiga kriteria utama, yakni

hutan, agroforestri, dan lahan semusim, dengan asumsi bahwa semakin jarang

tutupan lahan, maka limpasan permukaan dan erosi yang terjadi semakin besar.

Kelerengan pada masing-masing lahan yang akan dijadikan plot diseragamkan,

sehingga faktor perbedaan kelerengan bukan menjadi faktor besar kecilnya

limpasan permukaan dan erosi yang akan terjadi.

Pembuatan petak ukur dan pemasangan chin-ong meter

Limpasan permukaan dan erosi dimonitor dan diukur dari petak-petak

erosi yang dibangun pada hutan rakyat, lahan agroforestri (berbasis tanaman cabai

umur + 3 bulan), dan pada hutan yang sudah ditebang habis dan digantikan

dengan tanaman semusim (tanaman cabai umur + 3 bulan). Petak erosi berukuran

40 m2, dengan panjang 10 m (searah lereng) dan lebar 4 m (searah kontur),

dengan kemiringan sekitar 70-80 %.

Pembatas petak merupakan seng (pada bagian atas dan bawah petak) dan

plastik (pada bagian samping kiri-kanan petak) yang kemudian disanggah oleh

bambu. Dari luasan lahan tersebut setiap kejadian hujan diukur besarnya limpasan

(34)

Pengukuran curah hujan

Alat pengukur hujan yang berdiameter 10 cm dengan tinggi 30 cm

diletakkan pada lahan yang terbuka pada titik-titik lahan yang akan diukur

erosinya. Alat pengukur hujan tersebut diletakkan pada ketinggian 1,5 m diatas

permukaan tanah. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan hewan, dan

memperkecil turbulensi angin (Seyhan, 1990). Pengukuran curah hujan dilakukan

selama masa penelitian, minimal 30 kali peristiwa hujan. Kemudian, untuk

menghindari penguapan air hujan yang tertampung, pengukuran dilakukan pukul

07.00 WIB. Untuk menghitung curah hujan per hari (mm) digunakan rumus :

CH =

Curah hujan yang terjadi tersebut dihitung rata-ratanya :

[image:34.595.149.480.84.328.2]

=

(35)

Dimana :

: Rata – rata curah hujan harian

CH : Curah hujan hasil pengukuran alat penakar (mm)

CH1 : Curah hujan hari pertama

CH2 : Curah hujan hari kedua

CHn : Curah hujan hari ke- n

n : Jumlah total hari hujan (Seyhan, 1990)

Pengukuran limpasan permukaan

Pengukuran limpasan permukaan dan erosi dilakukan sesudah setiap

peristiwa hujan selama masa penelitian. Sebelum dilakukan perhitungan dilakukan

kalibrasi terlebih dahulu pada alat “Chin-ong meter”. Metode ini membutuhkan faktor koreksi/kalibrasi terhadap volume yang tertampung dalam alat penampung

(jerigen). Faktor kalibrasi ini digunakan untuk mengkonversi besarnya air yang

tertampung dalam jerigen menjadi volume air limpasan dari masing-masing tipe

tutupan lahan. Kalibrasi dilakukan dengan cara menuangkan air sebanyak 10 liter

ke dalam alat, kemudian dihitung air yang tertampung ke dalam jerigen. Untuk

mendapatkan hasil yang representatif pengukuran diulang sebanyak 10 kali

ulangan, lalu dirata-ratakan. Rumus untuk mendapatkan faktor koreksi adalah

modifikasi dari Widianto dkk. (2004) sebagai berikut :

Dimana :

fk : faktor koreksi metode chin ong meter

(36)

Pengamatan limpasan permukaan dilakukan dengan cara mengukur air

yang berada dalam jerigen penampung air pada setiap hari hujan untuk

masing-masing petak erosi. Pengukuran dilakukan pada pukul 07.00 WIB jika sehari

sebelumnya terjadi hujan yang menimbulkan limpasan permukaan, hasil

pengukuran dalam liter. Kemudian dihitung volume total dari air yang tertampung

pada jerigen dengan menggunakan rumus modifikasi dari Widianto dkk. (2004) :

Dimana :

V total :Volume total air tertampung (l)

V tertampung :Volume air yang tertampung pada jerigen (l)

Fk : Faktor kalibrasi

Hasil pengukuran tersebut kemudian dihitung dalam satuan meter kubik (m3)

dengan rumus :

Dimana :

V total (m3) : Volume total air tertampung dalam satuan m3

v total (l) : Volume total air tertampung dalam satuan liter

Selanjutnya untuk mendapatkan nilai run off, dipergunakan rumus berikut :

!" #$$ % & '

Dimana :

Run off : Limpasan permukaan (m)

V total : Volume total air tertampung (m3)

(37)

Hasil pengukuran tersebut kemudian dihitung dalam satuan mm dengan rumus :

!" #$$ !" #$$ (

Dimana :

Run Off (mm) :Limpasan permukaan dalam satuan milimeter

Run Off (m) :Limpasan permukaan dalam satuan meter

Kemudian dihitung koefisien run-off dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

) & !" #$$ !" #$$*+

Dimana :

Run Off (mm) : Limpasan permukaan

CH (mm) : Curah hujan hasil pengukuran alat penakar

(Seyhan, 1990)

Pengukuran erosi tanah

Pengukuran jumlah tanah yang tererosi dilakukan setiap hari hujan untuk

setiap petak erosi pada pukul 07.00 WIB dengan cara mengaduk-aduk tanah yang

tererosi pada air limpasan permukaan yang berada pada jerigen. Dari hasil

pengadukan tersebut, diambil suspensi air dan tanah tersebut sebanyak 1 liter, dari

1 liter tersebut diambil 250 ml kemudian dimasukkan ke dalam botol. Namun, jika

jumlah limpasan permukaan < 250 ml, maka langsung disuspensikan dan

dimasukkan ke dalam botol. Hal ini hanya dilakukan pada peristiwa hujan yang

menimbulkan limpasan permukaan dalam 30 kali peristiwa hujan. Setelah selesai

30 kali peristiwa hujan, suspensi dalam botol-botol dibawa ke laboratorium untuk

pengovenan.

Sebelum diovenkan, supensi dalam botol digoncang hingga tercampur

(38)

tersisa hanya tanah hasil tampungan dari erosi yang terjadi kemudian diovenkan.

Suhu yang dipakai saat pengovenan adalah 105o Celcius, selama 3 jam. Setelah

selesai pengovenan, tanah yang terdapat pada kertas saring (BTKO) ditimbang,

lalu hasilnya dikurangi dengan berat kertas saring (BKS), dapat disimpulkan

sebagai berikut (Muklis, 2007):

,- ,-). / ,)0

Dimana :

BT : Berat tanah (g) untuk 250 ml contoh air dari plot

BTKO : Berat tanah kering oven (g)

BKS : Berat kertas saring (g)

Selanjutnya untuk menghitung besarnya erosi untuk setiap kejadian hujan dari

masing-masing plot, digunakan rumus :

,- ( !" #$$12

m : Massa tanah tererosi (g)

Run Off : Limpasan permukaan (ml) hasil dari pengukuran dengan Chin ong meter

BT : Berat tanah (g)

250 ml : Nilai pembanding (dari suspensi), dan jumlahnya bisa < 250 ml,

jika limpasan permukaan yang terjadi kecil

Hasil pengukuran tersebut kemudian dihitung dalam satuan ton dengan rumus :

(39)

Dimana :

M ton : Massa tanah tererosi (ton)

m : Massa tanah tererosi (g)

Untuk mendapatkan erosi aktual (A) dalam satuan ton ha-1 digunakan persamaan

berikut :

4 35 6

Dimana :

A : Erosi aktual (ton ha-1)

Luas plot : 40 m2 atau setara dengan 0,004 Ha (Widianto dkk., 2004)

Analisis tanah

Salah satu faktor penting dalam terjadinya erosi adalah erodibilitas tanah

yakni kepekaan tanah terhadap erosi. Erodibilitas meliputi sifat tekstur, struktur,

bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah.

Sehingga, mudah tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh sifat-sifat

tersebut diatas (Arsyad, 2006).

Analisis tanah dilakukan setelah pengamatan 30 kali hujan, tanah diambil

pada masing-masing plot. Pengambilan tanah dilakukan pada lima titik per plot,

lalu dikompositkan, dengan berat + 0,5 kg. lalu dibawa ke laboratorium untuk

[image:39.595.216.441.621.697.2]

dianalisis. Uji tanah meliputi tekstur dan bahan organik tanah.

(40)

Tekstur

Dalam menentukan tekstur tanah, dilakukan dengan menggunakan metode

Hydrometer (Bouyoucos) yakni dengan menimbang 25 g tanah kering udara kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, selanjutnya ditambahkan 50 ml larutan Natrium Pirofosfat kemudian dikocok dan didiamkan selama 24 jam, dituang ke dalam gelas ukur 500 ml dan ditambah dengan aquadest, kemudian dikocok sebanyak 20 kali (ditambahkan amyl alcohol untuk menghilangkan buih). Setelah 40 detik pengocokan dimasukkan hydrometer untuk pembacaan pertama,

setelah 3 jam berikutnya dimasukkan lagi hydrometer untuk pembacaan kedua,

selanjutnya ditentukan persentase liat, debu, dan pasir sebagai berikut :

7 % 8 9 : ; : <, < +=>@ @ ? ( 7

7 % ; : <, < +=>@ @ ?? ( 7

7 9 : 7 % 8 9 : / 7% 7 ; & 7 / 7 % 8 9 :

(Hanafiah dan Elfiati, 2005)

Untuk menentukan nama tekstur maka hasil (% pasir, debu, dan liat) dimasukkan

ke dalam Segitiga Tekstur USDA.

Kandungan Bahan Organik

Penetapan bahan organik tanah (C-organik tanah) ditetapkan dengan

metode Walkley-Black (C-organik tanah). Dilakukan dengan cara menimbang 0,1 g tanah kering udara (ayakan 10 mesh) kemudian dimasukkan ke dalam

erlenmeyer 500 ml, lalu ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N dan 10 ml H2SO4 pekat

(41)

ditambahkan 100 ml air, 5 ml H3PO4 85% dan NaF 4% 2,5 ml, 5 tetes

diphenilamine lalu digoncang (larutan berwarna biru tua), tahap berikutnya adalah titrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2 0,5 N dari buret hingga warna berubah menjadi

hijau terang dan dibuat juga blanko serta titrasinya, kemudian dihitung % bahan

organik dengan rumus :

7* 2 A / -0 B ( C5D

Dimana :

T = Vol titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0,5 N dengan tanah

S = Vol titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0,5 N blanko (tanpa tanah).

7 ,. 5E1 ( *

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tipe Tutupan Lahan

Kondisi hutan pada plot penelitian merupakan hutan yang termasuk ke

dalam stratifikasi (lapisan tajuk) C. Menurut Indriyanto (2006) lapisan ini

memiliki tinggi total pohon 4-20 m, dengan tajuk kontinyu (rapat), dengan

pepohonan yang yang rendah, kecil, dan banyak cabang. Pada lahan agroforestri,

tanaman semusim yakni cabai (berumur 3 bulan) dipadukan dengan pepohonan

yang ditanam acak, pohon tersebut antara lain adalah petai, kemiri, aren, serta

pinang. Tanaman cabai ditanam di bawahnya juga secara acak searah lereng tanpa

adanya praktek konservasi tanah. Sementara itu, pada lahan semusim hanya

terdapat tanaman cabai (berumur 3 bulan), yang ditanam secara acak dan searah

lereng tanpa adanya praktek konservasi tanah.

Pada saat penelitian, penyeragaman lahan terhadap kondisi tumbuhan

bawah terkhusus bagi agroforestri dan semusim tidak dapat dilakukan, mengingat

kelerengan yang sulit untuk dilakukan hal tersebut bagi peneliti. Hal ini juga yang

mendasari bahwa petani sulit untuk membersihkan lahan pertaniannya secara

keseluruhan, melainkan hanya melakukan pendangiran pada tanaman cabai yang

dimilikinya.

Karena ketiadaan biaya untuk memupuk lahannya, memaksa petani untuk

memanfaatkan hasil pendangiran tersebut untuk menambah bahan organik pada

tanah, sehingga petani tidak pernah memupuk lahannya. Kondisi tumbuhan bawah

inilah yang diasumsikan turut menentukan besar kecilnya limpasan permukaan

(43)

Penutupan tajuk digambarkan pada kertas milimeter dengan skala 1:100

untuk memperoleh penampakan strata vertikal dan horizontal vegetasi pepohonan

pada ketiga lahan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, pada lahan

agroforestri penutupan tajuk hanya berkisar 16 %, sementara pada lahan semusim

0 % (tidak digambar) yang hanya terdiri dari tanaman cabai.

Perbandingan strata vertikal dan horizontal hutan dan lahan agroforestri disajikan

pada gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan penutupan tajuk 100 % pada hutan (a) dan lahan agroforestri 16 % (b), ket: x = tanaman cabai.

Hutan memiliki kondisi tumbuhan bawah yang sangat baik. Tumbuhan

bawah pada hutan didominasi oleh semai, yakni anakan pohon mulai kecambah

sampai setinggi <1,5 m. Sementara, tumbuhan bawah pada lahan semusim yang

didominasi rerumputan lebih baik dan lebih rapat dibandingkan lahan agroforestri.

Rerumputan pada lahan semusim mampu menutup hampir keseluruhan

permukaan tanah, sedangkan kondisi rerumputan yang jarang, menyebabkan

[image:43.595.113.513.275.524.2]
(44)

tumbuhan bawah yang lebih baik pada hutan yang menyebabkan penutupan

serasah lebih baik dibanding agroforestri dan semusim (gambar 5).

a

b

[image:44.595.151.449.105.760.2]
(45)

Erodibilitas Tanah

Erodibilitas (K) merupakan kepekaan tanah terhadap erosi, sehingga faktor

tersebut mutlak untuk diuji. Uji yang dilakukan meliputi tekstur dan bahan

organik tanah. Hasil analisis laboratorium yang dilakukan menunjukkan bahwa

tekstur tanah pada ketiga plot relatif kasar atau didominasi oleh fraksi pasir. Hasil

[image:45.595.114.515.271.333.2]

selengkapnya disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis laboratorium

No Lap Unit B-Org Pasir Debu Liat Tekstur

Hutan % 11,4 68,56 18 13,44 Lempung berpasir Agroforestri % 4,79 80,56 10 9,44 Pasir berlempung Semusim % 1,01 69,56 18 12,44 Lempung berpasir

Lahan agroforestri tercatat memiliki fraksi pasir yang tertinggi yakni 80,56

% sehingga menurut United States Departement of Agriculture (USDA), tekstur agroforestri digolongkan pasir berlempung, kemudian hutan dan lahan semusim

dikategorikan lempung berpasir. Sementara itu, Muklis (2007) mengkategorikan

bahan organik sebesar 11,4 % yang terkandung pada hutan termasuk persentase

bahan organik sangat tinggi, agroforestri dengan 4,79 % tergolong tinggi, dan

[image:45.595.116.511.574.672.2]

semusim dengan 1,01 % tergolong rendah (tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi persentase bahan organik

No Kandungan Bahan Organik Keterangan

1 < 1 % Sangat rendah

2 - 2 % Rendah

3 2 - 3 % Sedang

4 3 - 5 % Tinggi

5 > 5 % Sangat tinggi

Sumber : Muklis (2007)

Tabel 1 memperlihatkan bahwa kondisi tekstur pada ketiga lahan cukup

(46)

tanah dapat mempengaruhi limpasan permukaan dan erosi yang terjadi. Tekstur

turut menentukan tata air dalam tanah, yaitu berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi,

dan kemampuan pengikatan air oleh tanah (Suripin, 2004) dan bahan organik

memiliki fungsi dalam pengendalian air tanah antara lain; memperbaiki peresapan

air ke dalam tanah, mengurangi aliran permukaan, dan mampu mempertahankan

kandungan air tanah.

Erodibilitas memperlihatkan sifat-sifat tanah yang penting yang

berpengaruh terhadap erosi. Makin besar nilai erodibilitas suatu tanah, makin peka

tanah tersebut terhadap erosi. Rahmawaty (2004b) menyatakan bahwa kawasan

Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit rata - rata memiliki tanah berjenis

Andosol. Dengan jarak lokasi penelitian yang dekat dengan TWA Sibolangit,

maka dapat diasumsikan bahwa tanah pada lokasi penelitian berjenis Andosol.

[image:46.595.114.514.463.578.2]

Menurut Damayanti (2005) tanah Andosol memiliki nilai K sebesar 0,46.

Tabel 3. Klasifikasi nilai K tanah

No Nilai K Harkat

1 0,00 - 0,10 Sangat rendah

2 0,11 - 0,21 Rendah

3 0,22 - 0,32 Sedang

4 0,33 - 0,44 Agak tinggi

5 0,45 - 0,55 Tinggi

6 0,56 - 0,64 Sangat tinggi

Sumber : El-Swaify and Dangler (1976) dalam Arsyad (2006)

Berdasarkan tabel 3, kepekaan erosi tanah pada tanah Andosol memiliki

nilai K tinggi. Oleh sebab itu, tanah pada lokasi penelitian dapat diasumsikan peka

terhadap erosi, sehingga memungkinkan terjadinya erosi yang besar, bila tanah

(47)

Limpasan Permukaan

Erosivitas merupakan daya mengerosi terhadap tanah (faktor iklim) dan

hal ini dilakukan oleh hujan pada daerah penelitian. Ini ditunjukkan oleh curah

hujan yang cukup potensial dalam mengakibatkan limpasan permukaan dan erosi.

Curah hujan selama 30 kali masa penelitian pada ketiga lokasi tidak berbeda jauh,

dengan total curah hujan pada hutan sebesar 598,73 mm dengan rata-rata 19,95

mm hari-1, pada agroforestri sebesar 614,01 mm dengan rata-rata 20,46 mm hari-1

dan pada semusim sebesar 596,18 mm dengan rata-rata 19,87 mm hari-1.

Peningkatan curah hujan pada setiap kejadian hujan tidak disertai oleh

meningkatnya limpasan permukaan yang terjadi pada ketiga lokasi, terjadi

fluktuasi terhadap hubungan curah hujan dan limpasan permukaan. Puncak

limpasan permukaan pada hutan sebesar 0,21 mm dengan curah hujan 54,77 mm,

pada agroforestri sebesar 3,83 mm dengan curah hujan 31,84 mm, dan semusim

sebesar 7,38 mm dengan curah hujan 54,77 mm.

Hubungan antara curah hujan dengan limpasan permukaan pada ketiga

lokasi disajikan pada gambar 6. Persentase curah hujan yang menjadi limpasan

permukaan pada hutan berkisar 0,02 - 0,38 % hari-1, pada agroforestri 0,10 - 12,03

% hari-1, sementara pada semusim berkisar 0,01 - 14,23 % hari-1. Arsyad (2006)

menyimpulkan bahwa sifat - sifat limpasan permukaan yang dapat menimbulkan

terjadinya erosi adalah jumlah, kecepatan, laju, dan gejolak aliran permukaan

tersebut. Pada penelitian ini, yang diukur adalah jumlah limpasan permukaan,

sehingga faktor lain hanya dapat diasumsikan jika mempengaruhi erosi yang

terjadi pada ketiga plot.

(48)

0 2 4 6 8 10 12 14 0 10 20 30 40 50 60 0 8 -J u n 1 0 -J u n 1 3 -J u n 1 5 -J u n 1 8 -J u n 0 8 -S ep 1 2 -S ep 2 1 -S ep 2 3 -S ep 2 8 -S ep 2 9 -S ep 3 0 -S ep 0 1 -O k t 0 9 -O k t 1 3 -O k t 1 8 -O k t 2 3 -O k t 2 4 -O k t 3 0 -O k t 3 1 -O k t 1 4 -N o p 1 5 -N o p 1 6 -N o p 1 8 -N o p 1 9 -N o p 2 1 -N o p 2 2 -N o p 2 3 -N o p 2 4 -N o p 2 5 -N o p Semusim

Curah Hujan (CH) (mm) Run off (mm)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 10 20 30 40 50 60 70 0 8 -J u n 1 0 -J u n 1 3 -J u n 1 5 -J u n 1 8 -J u n 0 8 -S ep 1 2 -S ep 2 1 -S ep 2 3 -S ep 2 8 -S ep 2 9 -S ep 3 0 -S ep 0 1 -O k t 0 9 -O k t 1 3 -O k t 1 8 -O k t 2 3 -O k t 2 4 -O k t 3 0 -O k t 3 1 -O k t 1 4 -N o p 1 5 -N o p 1 6 -N o p 1 8 -N o p 1 9 -N o p 2 1 -N o p 2 2 -N o p 2 3 -N o p 2 4 -N o p 2 5 -N o p Agroforestri

Curah Hujan (CH) (mm) Run off (mm)

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2 0 10 20 30 40 50 60 0 8 -J u n 1 0 -J u n 1 3 -J u n 1 5 -J u n 1 8 -J u n 0 8 -S ep 1 2 -S ep 2 1 -S ep 2 3 -S ep 2 8 -S ep 2 9 -S ep 3 0 -S ep 0 1 -O k t 0 9 -O k t 1 3 -O k t 1 8 -O k t 2 3 -O k t 2 4 -O k t 3 0 -O k t 3 1 -O k t 1 4 -N o p 1 5 -N o p 1 6 -N o p 1 8 -N o p 1 9 -N o p 2 1 -N o p 2 2 -N o p 2 3 -N o p 2 4 -N o p 2 5 -N o p Hutan

Curah Hujan (CH) (mm) Run off (mm)

(49)

598,73 614,01 596,18

0,68 21 31,12

0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00

H A S

Curah Hujan (mm) Limpasan permukaan (mm)

Hasil pengamatan terhadap 30 kali kejadian hujan diperoleh besarnya

curah hujan total rata-rata sebesar 602,97 mm, hal ini mengakibatkan terjadinya

total limpasan permukaan pada lahan yang masih tertutup hutan sebesar 0,68 mm,

sementara pada lahan agroforestri dan semusim berturut-turut sebesar 21 dan

31,12 mm.

Jika diasumsikan bahwa agroforestri dan semusim merupakan hasil alih

fungsi dari hutan, maka perubahan tutupan hutan akan meningkatkan persentase

curah hujan yang jadi limpasan. Dimana pada hutan terjadi limpasan permukaan

0,11 % dari total curah hujan 598,73 mm, pada agroforestri sebesar 3,42 % dari

total curah hujan 614,01 dan semusim 5,21 % dari total curah hujan 596,18 mm.

Terbukanya lahan agroforestri dan semusim dibanding hutan yang tertutup

vegetasi pepohonan menyebabkan pukulan air hujan langsung mengenai dan

memecah permukaan tanah. Kondisi ini mengakibatkan sebagian agregat hancur,

sehingga ruang pori makro berkurang dan laju infiltrasi menurun

(Widianto dkk., 2004).

(50)

Sementara itu, curah hujan sebesar 2,97 mm telah dapat menyebabkan

limpasan permukaan pada lahan semusim, sedangkan pada lahan agroforestri

curah hujan sebesar 15,50 mm dan hutan sebesar 17,83 mm baru dapat

menyebabkan limpasan permukaan (lampiran 11). Hal ini menunjukkan bahwa

penutupan tajuk memberikan pengaruh yang berarti terhadap laju limpasan

permukaan, semakin rapat dan dalam penutupan tajuk semakin baik menekan laju

limpasan permukaan. Tajuk pepohonan mampu mengintersepsi dan mengabsorpsi

energi air hujan sehingga mengurangi erosivitasnya (Blanco and Lal, 2008;

Rahim, 2003) dan mampu memperkecil pengaruh topografi terhadap erosi.

Namun, peningkatan jumlah curah hujan tidak berbanding lurus dengan

laju limpasan permukaan dan erosi, terjadi fluktuasi pada beberapa peristiwa

hujan (gambar 6). Diduga, selain faktor jumlah curah hujan, fluktuasi ini terjadi

akibat faktor lain seperti intensitas, energi kinetik, ukuran butir, kecepatan dan

bentuk jatuhnya, serta distribusi hujan (Kohnke, 1968 dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 2008; Dariah, 2004a) yang turut

mempengaruhi laju limpasan permukaan. Fluktuasi ini juga dapat diakibatkan

oleh distribusi kejadian hujan. Jika sehari sebelumnya terjadi hujan, maka

limpasan permukaan yang terjadi akan lebih besar dibanding tanah yang tidak

mengalami hujan sehari sebelumnya. Hal ini dikarenakan tanah masih jenuh akan

air sehingga kapasitas infiltrasinya rendah.

Tanah pada agroforestri diduga memiliki kapasitas infiltrasi yang lebih

besar dibandingkan lahan semusim. Pada lahan agroforestri, kapasitas infiltrasi

yang besar diakibatkan oleh tanah yang bertekstur kasar yang ditunjukkan oleh

(51)

kapasitas infiltrasi 25-50 mm/jam (Arsyad, 2006), Rahim (2003) juga

menyatakan bahwa, tanah bertekstur kasar mempunyai kapasitas infiltrasi tinggi,

sedangkan tanah bertekstur halus mempunyai kapasitas infiltrasi yang rendah.

Tanah berpasir memiliki pori makro yang lebih besar dan lebih cepat

menyerap air dibanding tanah berliat (Blanco and Lal, 2008), sehingga limpasan

permukaan yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan lahan semusim.Walaupun

tektur tanah yang dimiliki oleh hutan dan semusim juga didominasi oleh pasir,

namun pada kenyataannya, faktor erodibilitas inilah yang diduga paling besar

pengaruhnya terhadap limpasan permukaan yang terjadi pada lahan agroforestri.

Erosi Tanah

Erosi yang terjadi pada ketiga plot cukup bervariasi dan memiliki fluktuasi

pada beberapa kejadian hujan. Peningkatan jumlah curah hujan tidak disertai

dengan peningkatan erosi tanah. Hal ini mengindikasikan ketiga plot memiliki

karakteristik hidrologi yang berbeda dan faktor erodibilitas yang berbeda.

Hubungan antara curah hujan dengan erosi tanah pada ketiga lokasi per

kejadian hujan disajikan pada gambar 8. Gambar 8 memperlihatkan bahwa,

ternyata hutan mampu meredam laju erosi terhadap curah hujan yang terjadi pada

daerah penelitian. Sementara agroforestri belum mampu menggantikan fungsi

hidrologis hutan, dan lahan semusim yang diusahakan memiliki potensi degradasi

lahan akibat erosi yang terjadi. Erosi yang lebih besar dapat terjadi pada ketiga

lokasi mengingat masa penelitian yang hanya 30 kali kejadian hujan, dan dapat

mengancam turunnya produktivitas lahan pada agroforestri dan semusim. Tingkat

erosi yang diperbolehkan pada lokasi penelitian tidak dapat diterapkan, karena

(52)

0 0,00002 0,00004 0,00006 0,00008 0,0001 0,00012 0,00014 0 10 20 30 40 50 60 0 8 -J u n 1 0 -J u n 1 3 -J u n 1 5 -J u n 1 8 -J u n 0 8 -S ep 1 2 -S ep 2 1 -S ep 2 3 -S ep 2 8 -S ep 2 9 -S ep 3 0 -S ep 0 1 -O k t 0 9 -O k t 1 3 -O k t 1 8 -O k t 2 3 -O k t 2 4 -O k t 3 0 -O k t 3 1 -O k t 1 4 -N o p 1 5 -N o p 1 6 -N o p 1 8 -N o p 1 9 -N o p 2 1 -N o p 2 2 -N o p 2 3 -N o p 2 4 -N o p 2 5 -N o p Hutan

Curah Hujan (CH) (mm) Erosi (A) (ton ha-1)

0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0 10 20 30 40 50 60 70 0 8 -J u n 1 0 -J u n 1 3 -J u n 1 5 -J u n 1 8 -J u n 0 8 -S ep 1 2 -S ep 2 1 -S ep 2 3 -S ep 2 8 -S ep 2 9 -S ep 3 0 -S ep 0 1 -O k t 0 9 -O k t 1 3 -O k t 1 8 -O k t 2 3 -O k t 2 4 -O k t 3 0 -O k t 3 1 -O k t 1 4 -N o p 1 5 -N o p 1 6 -N o p 1 8 -N o p 1 9 -N o p 2 1 -N o p 2 2 -N o p 2 3 -N o p 2 4 -N o p 2 5 -N o p Agroforestri

Curah Hujan (CH) (mm) Erosi (A) (ton ha-1)

0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0 10 20 30 40 50 60 0 8 -J u n 1 0 -J u n 1 3 -J u n 1 5 -J u n 1 8 -J u n 0 8 -S ep 1 2 -S ep 2 1 -S ep 2 3 -S ep 2 8 -S ep 2 9 -S ep 3 0 -S ep 0 1 -O k t 0 9 -O k t 1 3 -O k t 1 8 -O k t 2 3 -O k t 2 4 -O k t 3 0 -O k t 3 1 -O k t 1 4 -N o p 1 5 -N o p 1 6 -N o p 1 8 -N o p 1 9 -N o p 2 1 -N o p 2 2 -N o p 2 3 -N o p 2 4 -N o p 2 5 -N o p Semusim

Curah Hujan (CH) (mm) A (ton ha-1)

waktu penelitian minimal 1 (satu) tahun. Namun dari hasil penelitian ini

[image:52.595.125.492.137.748.2]
(53)

0,00056

0,064

0,048

0,00000 0,01000 0,02000 0,03000 0,04000 0,05000 0,06000 0,07000

H A S

E

R

O

S

I

(t

o

n

h

a

-1)

Kenaikan limpasan permukaan sejalan dengan erosi yang terjadi. Pada

lahan agroforestri sebesar 0,064 ton ha-1 dan semusim sebesar 0,048 ton ha-1

sedang pada hutan hanya sebesar 0,00056 ton ha-1 (gambar 9).

Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah - tanah pada lokasi

penelitian bertekstur kasar, ditunjukkan dengan persen pasir yang relatif tinggi

dibandingkan liat dan debu. Tekstur kasar menunjukkan bahwa, tanah memiliki

permeabilitas yang tinggi daripada tekstur halus yang dapat mengurangi terjadinya

aliran permukaan. Tetapi jika tanah tersebut cepat jenuh oleh air, bahaya erosi

kemungkinan juga besar (Suripin, 2004).

Berdasarkan asumsi, jenis tanah di lokasi penelitian berjenis Andosol.

Andosol atau juga di sebut tanah vulkanis, punya ciri khas yang mudah dikenali.

Warnanya yang gelap/hitam, abu-abu, coklat tua hingga kekuningan, berasal dari

sisa abu vulkanik dari letusan gunung berapi. Oleh sebab itu, tanah jenis ini

banyak ditemukan di daerah sekitar lereng gunung berapi (Utomo, 1989).

Erodibilitas menunjukkan bahwa tanah peka terhadap erosi, namun

erodibilitas ini tidak hanya ditentukan oleh sifat - sifat tanah, namun ditentukan

[image:53.595.199.408.169.329.2]
(54)

aktivitas manusia (Dariah, 2004b). Jadi, tanah yang memiliki erodibilitas yang

tinggi belum tentu memperlihatkan gejala erosi yang besar jika faktor - faktor

tersebut tidak berdampak negatif bagi tanah.

Lebih lanjut, penggunaan dan pengelolaan pada lahan agroforestri dan

semusim mengakibatkan perubahan komposisi tumbuhan dan tumbuhan bawah.

Gambar 5 menunjukkan bahwa, komposisi tumbuhan dan tumbuhan bawah pada

hutan lebih banyak dibanding agroforestri dan semusim sehingga penutupan

serasah sangat tinggi. Penelitian Hairiah dkk., (2004), menunjukkan bahwa

penurunan ketebalan serasah pada hutan sebesar 2,1 ton ha-1 menjadi 1,2 ton ha-1

pada kopi monokultur justru meningkatkan laju limpasan permukaan dan erosi,

hal ini menunjukkan bahwa lapisan serasah sangat membantu dalam

mempertahankan jumlah makroporositas tanah dan infiltrasi air tanah.

Perpaduan pepohonan dan tanaman cabai pada agroforestri belum mampu

menciptakan penutupan serasah yang maksimal. Tidak banyak guguran daun,

ranting, dan bagian tumbuhan lain menjadi serasah untuk menutup permukaan

tanah, begitu pula dengan lahan semusim yang hanya terdiri dari tanaman cabai.

Adapun arah lereng yang menghadap barat dan penutupan tajuk menyebabkan

sinar matahari tidak penuh menyinari lahan agroforestri, hal ini mengakibatkan

pertumbuhan rerumputan yang relatif lambat dibanding lahan semusim yang

mendapatkan sinar matahari penuh sepanjang hari sehingga populasi rerumputan

lebih banyak, sementara pembersihan lahan juga tidak pernah dilakukan oleh

petani.

Hal inilah yang diduga menjadi penyebab besarnya erosi pada lahan

(55)

mampu melindungi tanah dari pukulan tetesan-tetesan hujan sehingga tidak dapat

memecah partikel-partikel tanah. Blanco and Lal (2008) juga menyimpulkan

bahwa vegetasi bawah dan rapat (rumput) lebih efektif dalam mengurangi laju

erosi dibanding vegetasi yang tinggi dan jarang. Arsyad (2006) juga

menyimpulkan bahwa rerumputan mampu mengurangi laju limpasan permukaan

dan mengurangi daya penguras atau daya hancur dan daya angkut air. Dan

rerumputan mampu menyaring limpasan permukaan sehingga butir-butir tanah

yang terbawa berkurang (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 2008).

Sementara, perakaran yang dangkal pada tanaman cabai tidak mampu

menggantikan fungsi akar pepohonan. Perakaran cabai yang hanya berkisar + 25

cm tidak dapat menggenggam massa tanah sehingga daya geser tanah terhadap

erosi tidak dapat dikurangi, sehingga limpasan permukaan dan erosi yang terjadi

pada lahan agroforestri dan semusim tetap saja besar.

Berbeda dengan agroforestri dan semusim, perakaran pada hutan mampu

mengikat partikel-partikel tanah sehingga stabilitas tanah sangat baik. perakaran

yang dalam mampu memantapkan agregat tanah (Rahim, 2003), sampah organik

yang dihasilkan dan kegiatan akar vegetasi dapat memperbaiki permeabilitas

tanah (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 2008). Sampah yang dihasilkan

mempunyai pengaruh meningkatkan humus tanah dan merangsang

mikroorganisme yang akan menghasilkan tanah-tanah porous yang baru sehingga

memperbesar porositas tanah dan akar juga menghisap air di sekelilingnya,

sehingga tanah menjadi lebih mampu untuk menerima air.

Sementara itu, ketebalan serasah pada hutan yang cukup tinggi pada hutan

(56)

keberadaan bahan organik pada tanah. Dari hasil analisis yang dilakukan, tercatat

tanah pada hutan memiliki kandungan bahan organik tertinggi dibandingkan

agroforestri dan semusim (tabel 1). Pepohonan memiliki perakaran yang dalam

dan berkembang dengan sangat baik serta banyak serasah yang dihasilkan.

Kondisi ini memicu tingginya aktivitas biologi tanah dan turnover perakaran (Suprayogo dkk., 2004), aktivitas ini membentuk bahan organik kasar dan halus

(humus) yang berasal dari penghancuran bahan organik kasar terse

Gambar

Gambar 1. Diagram plot erosi dan alat penampung limpasan permukaan dan  erosi
Gambar 2. Chin-ong meter yang dipasang pada plot
Gambar 3. Cara pengambilan sampel tanah pada plot.
Gambar 4. Perbandingan penutupan tajuk 100 % pada hutan (a) dan lahan agroforestri 16 % (b), ket: x = tanaman cabai
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini di dapat 3 bentuk hutan rakyat yang terdiri dari hutan rakyat campuran, hutan rakyat agroforestry dan hutan rakyat monokultur.. Pola spasial yang terdapat

Etti Nurwanti: Evaluasi dampak lingkungan hutan rakyat terhadap erosi tanah serta sosial..., 2002... Etti Nurwanti: Evaluasi dampak lingkungan hutan rakyat terhadap erosi tanah

Hasil pengukuran aliran dan erosi permukaan menunjukkan bahwa laju aliran dan erosi permukaan di lahan bertanaman kayu putih, yang dicampur dengan tanaman

Terdapat perbedaan Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah antara lahan Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman

Percobaan lapangan dilakukan untuk membedakan aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada lahan usahatani karet dan kelapa sawit yang menerapkan agroteknologi

Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas air tanah pada penggunaan lahan hutan alam dan hutan rakyat (Gambar 1), dapat diketahui bahwa terdapat beberapa parameter pada

Tingkat laju limpasan permukaan rata-rata dan erosi rata-rata pada sistem tanam agroforestry dengan pengelolaan tanaman pertanian tumpangsari (kunyit, jagung, kacang

Sejumlah hasil penelitian telah mengungkapkan berbagai dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap kualitas tanah (Juo et al., 1995). Erosi