TESIS
Oleh
MUSTIKA INDAH PURNAMA SARI
117011005/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUSTIKA INDAH PURNAMA SARI
117011005/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 117011005 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. Dr. Abdullah Syah, MA)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, MA
Nama : MUSTIKA INDAH PURNAMA SARI
Nim : 117011005
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PENYELESAIAN SENGKETAHADHANAHMENURUT PERSPEKTIF FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM
ISLAM
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Perceraian menimbulkan berbagai akibat hukum terhadap suami istri dan tidak terkecuali terhadap anak, yakni terkait masalah pemeliharaan anak (hadhanah) setelah terjadinya perceraian. Masing-masing orang tua menganggap diri mereka sebagai pihak yang lebih pantas melaksanakan tugashadhanahanak-anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut hingga menimbulkan sengketa diantara keduanya. Agartercapai suatu penyelesaian diantara mereka maka harus dilakukan suatu upaya penyelesaiannya baik itu menurut perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).Permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa hadhanahini adalah terkait pihak mana yang lebih berhakmengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah anak belum diputuskan, bagaimana penyelesaian sengketa
hadhanah menurut perspektif fiqih dan KHI, bagaimana hak dan tanggung jawab
orang tua yang hakhadhanahtidak jatuh kepadanya.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan dan data sekunder seperti Al-Qur’an, hadist, peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan pendapat praktisi hukum yang berkaitan denganhadhanah.
Pihak yang berhak mengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak
hadhanah anak belum diputuskan adalah ibu, hal ini sejalan dengan urutan pertama
bagi orang-orang yang berhak melaksanakan tugas hadhanahatas anak. Apalagi jika anak tersebut masih belum mumayizz (Pasal 105 KHI) akan tetapi bila anak tersebut telah mumayyiz maka anak dapat menentukan sendiri untuk sementara berada dalam pengasuhan pihak yang dikehendakinya baik itu ayah, ibu, nenek, kakek maupun kerabat lainnya. Penyelesaian sengketa hadhanah menurut perspektif fiqih dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:1. Di luar pengadilan dengan cara melakukan perdamaian(al-islah/shulh) dengan mengunakan metode at-tahkim, 2. Melalui lembaga peradilan Islam. Sedangkan penyelesaian sengketa hadhanah menurut KHI dapat dilakukan dengan cara mediasi dan dengan mengajukan gugat di pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Hak orang tua yang hak hadhanahnya tidak jatuh kepadanya, diantaranya adalah hak untuk melihat/ mengujungi anak, hak mendapat penghormatan, hak menjadi wali nikah (bila anak tersebut perempuan), hak menjadi ahli waris dari anak-anaknya, sementara kewajibannya terhadap anak diantaranya kewajiban menafkahi anak (bila tugashadhanahberada pada ibu), memberikan kasih sayang kepada anak.
divorce causes various legal consequences on husband and wife, including their children, related to hadhanah (child custody) after a divorce occurs. Each of the parents claims that he/she has the right to carry out the hadhanah on the children who are born from the marriage so that there will a dispute between them. The resolution must be made, either by following the fiqih perspective or by following the Compilation of Islamic Law (KHI). The problem which arises in the resolution of dispute in hadhanah is which one has the right to take care of the children before the decision who will be give the custody of the children is made, how about the resolution of hadhanah according to fiqih perspective and to the Compilation of Islamic Law, and how about the right and obligation of the parent whose right to obtain hadhanah is lost.
The research used judicial normative approach by studying literature materials and secondary data such as the Koran, hadist, legal provisions, laws, and regulations, judge’s verdicts, and the opinions of legal practitioners, all of which were related to hadhanah.
The party who will take care of the children before the decision of who will be given the custody of the children has not yet been made is the mother. This is in line with the rank for the person who has the right to be given the custody, let alone if they are still before mummayiz (Article 105 of the Civil Code). If they are already mummayiz (having arrived at the age of discretion), they will decide themselves who will take care of them, their father, mother, grandparents, or any other relative. The resolution of hadhanah from the fiqih perspective can be made with two alternatives: 1) by making peaceful resolution (al-ishlah or shulh), using at-tahkim method outside the Court, 2) through Islamic Judicature Body. The resolution of the dispute in hadhanah, according to KHI, can be done by mediation and filing a claim to Religious Court/Sharia Court. The parent who is not given hadhanah right such as the right to see or to visit the children, the right to be respected, the right to be wali nikah (if the child is female), and the right to be the heir of the children; while his obligation toward the children is, among others, the obligation to allowance to the children (if the mother who is given the custody) and give love and affection to the children.
Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya
dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul“Penyelesaian SengketaHadhanahMenurut Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajar BapakProf. H. Dr. Abdullah Syah, MA., Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD dan Ibu Dr. Utary Maharani Barus, S.H., M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program
Studi Magister Fakultas Hukum Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
penulisan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat
bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di
bangku kuliah.
6. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ibunda tercinta dan cinta
kasih ayahanda tercinta dan kasih sayang alm. Mustika Agus Melya Dewi
kakak saya tersayang serta tidak pula penulis ucapkan terima kasih kepada
Saudara Mustika Rio Naldy berserta keluarga yang telah memberikan
semangat dan doa kepada Penulis.Teristimewa penulis mengucapkan terima
kasih yang mendalam kepada dr. Saipul Muhammad, yang selama ini telah
menjadi inspirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi dan
warna tersendiri dalam kehidupan dan juga dalam penyelesaian tesis pada di
Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
7. Sahabat-sahabat penulis, Febri, Rina dan Ika, serta rekan-rekan Mahasiswa
dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, khususnya angkatan Reguler Grup B tahun 2011, atas segala
do’a dan dukungan serta kenangan indah bersama yang terjalin dari
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan
pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Agustus 2013 Penulis,
Nama : Mustika Indah Purnama Sari
Tempat/Tanggal Lahir : Sinabang, 26 Mei 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jln. Pahlawan Lr. Kasuari No.131 Suka Karya Sinabang, Kab. Simeulue
Telepon/Hp : 085372249908
II. KELUARGA
Nama Ayah : Alm. Muslim
Nama Ibu : Lena Rukmini
III. PENDIDIKAN FORMAL
SD Negeri 5 Simeulue Timur lulus tahun 2000
SLTP Negeri 3 Simeulue Timur lulus tahun 2003
SMA Negeri 1Simeulue Timur lulus tahun 2006
S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala lulus tahun 2010
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Konsepsi ... 18
G. Metode Penelitian ... 20
1. Sifat dan Pendekatan Penelitian ... 20
2. Sumber Data ... 21
3. Teknik Pengumpulan Data ... 23
4. Alat Pengumpulan Data... 23
5. Analisis Data ... 24
BAB II PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG WAKTU PENENTUAN HAK HADHANAH ANAK ... 25
ISLAM ... 53
A. Cara Penyelesaian SengketaHadhanahMenurut Fiqih Islam . 53 B. Cara Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 67
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA YANG HAK HADHANAHTIDAK JATUH PADANYA ... 81
A. Hak dan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua ... 81
B. Hak dan Kewajiban Orang Tua Yang Hak Hadhanah Tidak Jatuh Kepadanya ... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120
A. KESIMPULAN ... 120
B. SARAN ... 122
Al-Farag : Menyudahi.
Alhidhu : Rusuk.
Al-Islah/As-Sulh : Perdamaian.
Al-Khibrah : Keterangan para ahli.
Ashabah : Keluarga dari pihak ayah.
Baby Sister : Pengasuh bayi.
Baligh : Dewasa.
Case Approach : Pendekatan kasus
Cerai Ba’in : Talak yang dijatuhkan suami pada
istrinya yang telah habis masa iddahnya.
Cerai Raji'i : Talak yang dijatuhkan suami pada
istrinya yang belum habis masa iddahnya.
Conceptus : Konsepsi.
Court Congestion : Penumpukan perkara.
Fasik : Orang yang tidak mentaati Allah dan
mengerjakan dosa besar atau dosa-dosa kecil secara terus menerus.
Fuqaha : Ahli fiqih.
Grand Theory : Teori utama.
Hadhanah Ash : Mengasuh /Memelihara bayi.
Hadhinah : Wanita pengasuh.
Hajar Aswad : Batu yang berasal dari surga.
Iddah : Masa tunggu.
Hakam : Juru damai
Ijtihad : Menemukan hukum yang belum ada.
Khalawat : Berdua-duan di suatu tempat dimana tidak ada orang lain
Khalifatullahn Fiardh : Wakil Allah.
Library Research : Penelitian kepustakaan.
Mahram : Perempuan yang masih termasuk sanak
harus menjauhi larangan agama.
Nafkah Furu' : Nafkah untuk garis lurus ke bawah.
Nafkah Ushul : Nafkah untuk garis lurus ke atas.
Nasab : Keturunan.
Nash : Jelas dan tidak mengandung makna lain.
Qadha : Hukum/ketetapan/perintah.
Qadhi : Wakil.
Qarinah : Praduga/Petunjuk.
Radha' : Susuan/menyusui.
Sakinah : Tentram.
Sunnah : Perbuatan yang apabila Dikerja mendapat
pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Syara' : Sepangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragam Islam.
Syar'iyyah : Kebijaksanaan masalah kenegaraan.
Tamyiz : Keadaan dimana seorang anak manusia
telah menggerti dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya.
Teater : Tontonan/pertunjukan.
Theorid : Teori.
Wala' : Memerdekakan hamba sahaya.
Wali Nasab : Wali karena hubungan
HIR : Herziene Indonesische Reglement
HR : Hadist Riwayat
Ibid : Ibidem
KHI : Kompilasi Hukum Islam
KUA : Kantor Urusan Agama
Loc. cit. : Loco Citato
Op.cit : Opo Citato
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PERMA : Peraturan Mahkamah Agung
PNS : Pegawai Negeri Sipil
QS. : Qur'an Surat
RBG : Rechtsreglement Buitenggewesten
SAW : Shallahu 'Alaihi Wassallam
SWT : Subhanahu Wa Ta'ala
Perceraian menimbulkan berbagai akibat hukum terhadap suami istri dan tidak terkecuali terhadap anak, yakni terkait masalah pemeliharaan anak (hadhanah) setelah terjadinya perceraian. Masing-masing orang tua menganggap diri mereka sebagai pihak yang lebih pantas melaksanakan tugashadhanahanak-anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut hingga menimbulkan sengketa diantara keduanya. Agartercapai suatu penyelesaian diantara mereka maka harus dilakukan suatu upaya penyelesaiannya baik itu menurut perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).Permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa hadhanahini adalah terkait pihak mana yang lebih berhakmengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah anak belum diputuskan, bagaimana penyelesaian sengketa
hadhanah menurut perspektif fiqih dan KHI, bagaimana hak dan tanggung jawab
orang tua yang hakhadhanahtidak jatuh kepadanya.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan dan data sekunder seperti Al-Qur’an, hadist, peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan pendapat praktisi hukum yang berkaitan denganhadhanah.
Pihak yang berhak mengasuh anak pada saat tenggang waktu penentuan hak
hadhanah anak belum diputuskan adalah ibu, hal ini sejalan dengan urutan pertama
bagi orang-orang yang berhak melaksanakan tugas hadhanahatas anak. Apalagi jika anak tersebut masih belum mumayizz (Pasal 105 KHI) akan tetapi bila anak tersebut telah mumayyiz maka anak dapat menentukan sendiri untuk sementara berada dalam pengasuhan pihak yang dikehendakinya baik itu ayah, ibu, nenek, kakek maupun kerabat lainnya. Penyelesaian sengketa hadhanah menurut perspektif fiqih dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:1. Di luar pengadilan dengan cara melakukan perdamaian(al-islah/shulh) dengan mengunakan metode at-tahkim, 2. Melalui lembaga peradilan Islam. Sedangkan penyelesaian sengketa hadhanah menurut KHI dapat dilakukan dengan cara mediasi dan dengan mengajukan gugat di pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Hak orang tua yang hak hadhanahnya tidak jatuh kepadanya, diantaranya adalah hak untuk melihat/ mengujungi anak, hak mendapat penghormatan, hak menjadi wali nikah (bila anak tersebut perempuan), hak menjadi ahli waris dari anak-anaknya, sementara kewajibannya terhadap anak diantaranya kewajiban menafkahi anak (bila tugashadhanahberada pada ibu), memberikan kasih sayang kepada anak.
divorce causes various legal consequences on husband and wife, including their children, related to hadhanah (child custody) after a divorce occurs. Each of the parents claims that he/she has the right to carry out the hadhanah on the children who are born from the marriage so that there will a dispute between them. The resolution must be made, either by following the fiqih perspective or by following the Compilation of Islamic Law (KHI). The problem which arises in the resolution of dispute in hadhanah is which one has the right to take care of the children before the decision who will be give the custody of the children is made, how about the resolution of hadhanah according to fiqih perspective and to the Compilation of Islamic Law, and how about the right and obligation of the parent whose right to obtain hadhanah is lost.
The research used judicial normative approach by studying literature materials and secondary data such as the Koran, hadist, legal provisions, laws, and regulations, judge’s verdicts, and the opinions of legal practitioners, all of which were related to hadhanah.
The party who will take care of the children before the decision of who will be given the custody of the children has not yet been made is the mother. This is in line with the rank for the person who has the right to be given the custody, let alone if they are still before mummayiz (Article 105 of the Civil Code). If they are already mummayiz (having arrived at the age of discretion), they will decide themselves who will take care of them, their father, mother, grandparents, or any other relative. The resolution of hadhanah from the fiqih perspective can be made with two alternatives: 1) by making peaceful resolution (al-ishlah or shulh), using at-tahkim method outside the Court, 2) through Islamic Judicature Body. The resolution of the dispute in hadhanah, according to KHI, can be done by mediation and filing a claim to Religious Court/Sharia Court. The parent who is not given hadhanah right such as the right to see or to visit the children, the right to be respected, the right to be wali nikah (if the child is female), and the right to be the heir of the children; while his obligation toward the children is, among others, the obligation to allowance to the children (if the mother who is given the custody) and give love and affection to the children.
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini maka berkembang pula pola
pikir manusia dalam menghadapi permasalahan kehidupan yang semakin komplit,
tidak terkecuali menyangkut masalah perceraian. Perkawinan menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (selanjutnya cukup disebut Undang-Undang
Perkawinan) adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adakalanya perkawinan tidak
seperti yang diharapkan untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warahmahkarena harus berakhir dengan perceraian.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perkawinan dapat putus karena
perceraian, hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan
yaitu: Perkawinan dapat putus karena; a. kematian; b. perceraian; dan atas keputusan
Pengadilan. Perceraian dipilih sebagai solusi terhadap problem yang terjadi dalam
bahtera rumah tangga, sebaliknya tidak selamanya perceraian memberikan
ketenangan seperti apa yang dikehendaki.
Sebuah rumah tangga yang berujung perceraian akan menimbulkan beberapa
akibat hukum, salah satunya akibat hukum terhadap anak, yakni terkait pemeliharaan
memilih untuk bersama ayah atau ibunya. Hal ini merupakan suatu pilihan yang sulit,
karena anak membutuhkan kedua orang tuanya.Oleh karena itu masalah memelihara
anak/pengasuhan(hadhanahpasca terjadinya perceraian)sangat perlu diperhatikan.
Hak asuh anak atau dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah.
Hadhanah adalah suatu kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga ia
dewasa atau mampu berdiri sendiri.1 Adakalanya permasalahanhadhanah terkadang
menjadi polemik yang berkepanjangan, dikarenakan adanya kecenderungan dari
masing-masing pihak yang bercerai ingin memperoleh hak hadhanah atas anak
mereka ketika perkara hak asuh anak tidak dapat dikompromikan. Berbagai tindakan
pun dilakukan mereka, diantaranya; satu sama lain saling menuduh telah melalaikan
kewajibannya sebagai orang tua, menuduh tidak mampu mengurus anak, saling
mencegah kunjungan salah satu orang tua, bahkan yang paling memperhatikan
adanya orang tua yang mempengaruhi pola pikir dan psikis anak tentang perilaku
buruk ayah atau ibunya,yang bertujuan agar si anak berada dalam pengasuhannya,
akibatnya anaklah yang menjadi korban. Oleh karena sebab itu diperlukan
penyelesaian terhadap hal tersebut, agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan
para pihak yang bersengketa termasuk juga anak.
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (selanjutnya cukup disingkat UU Perlindungan Anak)
menegaskan bahwa :“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sementara menurut
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, pada
Bab I ketentuan umum Pasal 1 angka (2), yang dimaksud anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin.
Pada dasarnya anak yang masih kecil sangat memerlukan orang lain dalam
menata kehidupannya, baik itu dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam
pembentukan akhlaknya, peran keluarga untuk melakukan tugas hadhanah sangat
berperan dalam hal tersebut.Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian
khusus dalam ajaran Islam.Apalagi anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga dan dibina karena melekat harkat,
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijujung tinggi.
Orang tua tidak hanya dituntut memberikan kasih sayang namun juga
bertanggung jawab atas pemeliharaan, perhatian, serta hal-hal yang dibutuhkan
seorang anak. Severe menyatakan bahwa;“anak-anak merupakan tolak ukur bagi
keberhasilan dan orang tua menilai diri sendiri berdasarkan sukses dan prestasi yang
didapatkan oleh si anak.2 Jadi jika anak-anak tersebut tumbuh dan berkembangan
serta memiliki kecerdasaan dan masa depan yang cermerlang maka orang tua baru
bisa dikatakan berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugasnya sebagai orang tua.
Mengasuh anak adalah wajib bagi orang tua dan merupakan hak anak yang harus
dipenuhi orang tua, sebab apabila disia-siakan tentu akan menimbulkan bencana dan
kebinasaan baginya.
2 Severe, Resorasi Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, Terjemahan Aviandari D.
Apabila terjadi perceraian antara suami istri dan telah memiliki anak dan
diantara mereka ada yang masih dibawah umur,maka orang tuanyalah dibebankan
kewajiban untuk melakukan tugas pemeliharaan tersebut. Hal tersebut ditegaskan
dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
berbunyi;
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Selain itu pengasuhan atas anak khususnya untuk masyarakat di wilayah
provinsi Aceh juga berlaku ketentuan yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11
tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak Pasal 7, yang berbunyi:
1. Anak berhak diasuh oleh orang tua/walinya di dalam keluarga.
2. Pengasuhan di dalam keluarga berfungsi untuk menjamin tumbuh kembang anak ke arah kehidupan yang lebih baik secara fisik, mental, sosial dan emosional serta intelektual anak.
3. Pengasuhan di dalam keluarga dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang mengutamakan kepentingan terbaik anak, menjunjung tinggi ketentuan syariat Islam dan adat istiadat.
Sementara itu, anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tua
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 46 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang
tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuanya.
Menurut pandangan Islam, dalam Al-Qur’an tercantum ketentuan untuk
pemeliharaan anak, dalam surat at-Tahrim ayat 6 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”3
Pada ayat tersebut di atas, orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya
agar terpelihara dari api neraka dan seluruh anggota keluarganya melaksanakan
perintah dan meninggalkan laranganNya, termasuk juga anak.4
Betapa banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kepada kedua
orang tua untuk memelihara, menjaga dan bertanggungjawab dalam memelihara
keluarganya. Demi kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orang tua
terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan.Namun hal tersebut tidak
dapat terwujud jika orang tua tidak sepakat dalam penentuan hadhanah sehingga
menimbulkan sengketa diantara mereka.
Selanjutnya untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa
persyaratan bagi yang melakukanhadhanah, yakni5;
1. Berakal sehat.
2. Merdeka/Baligh/Cakap.
3Mahmud Junus,
Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Qur’an Al Karim, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1994), hlm. 4560.
4Abdurahman Ghodzali,Fiqih Munahakat, (Jakarta: Kencana, 2008). hlm.177. 5
3. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik
mahdhun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu perkerjaan yang
bisa mengakibatkan tugashadhanahmenjadi terlantar. 4. Beragama Islam.
5. Orang yang dapat dipercayai.
6. Mantan istri yang belum menikah lagi.
Selain itu ada juga larangan bagi seseorang untuk mengasuh anak, diantaranya;6
1. Budak.
2. Kefasikan/orang jahat/pembunuh.
3. Kafir.
4. Ibu yang menikah lagi.
Kemudian apabila ada suatu keadaan dimana ibu atau ayah si anak dianggap
tidak layak untuk melakukan tugas hadhanah, maka urutan-urutan mereka yang
berhak melakukan tugahadhanah,yakni7:
1. Ibu.
2. Ibunya Ibu dan ke atas. 3. Ayah dan Ibu dari Ayah.
4. Saudara perempuan ayah sekandung. 5. Saudara perempuan seibu.
6. Saudara perempuan seayah.
7. Kemenakan perempuan sekandung (seibu seayah). 8. Kemenakan perempuan seibu.
9. Saudara perempuan seibu yang sekandung (adik Ibu). 10. Saudara perempuan seayah yang sekandung (adik Ayah) 11. Saudara perempuan ibu yang seibu.
12. Saudara perempuan ibu yang seayah dan seterusnya (mendahulukan yang sekandung dari masing keluarga ibu dan ayah).
6Muhammad Amin Suma, Hukum Keluaraga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Gralindo Persada, 2004), hlm.752-753. 7
Sengketa yang terjadi pada umat manusia adalah suatu problema hidup yang
dihadapi manusia. Manusia sebagai khalifah di bumi dituntut untuk dapat
menyelesaikan persoalan, karena manusia dibekali oleh Allah SWT dengan akal
pikiran dan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam mengatur kehidupannya. Manusia
juga harus mencari dan menemukan pola penyelesaian sehingga penegakan keadilan
dapat terwujud, tidak terkecuali sengkata hadhanah. Sengketa hadhanah juga
memerlukan suatu penyelesaian agar tidak berkepanjang, akibatnya menimbulkan
penderitaan bagi orang tua dan anak, selain itu banyak waktu yang terbuang, energi
dan banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak. Oleh karena itu diperlukan
suatu cara penyelesaian agar permasalahan hadhanah anak tidak terus menjadi
pemicu terjadinya perselisihan antara mantan suami istri setelah terjadinya
perceraian, namun cara tersebut diharapkan dapat mengikat para pihak (mantan suami
istri) dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian di atas, kajian mengenai penyelesaian sengketa hadhanah
dalam Perspektif Fiqih dan Hukum Islam perlu untuk dilakukan.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan diteliti dalam
tesis ini adalah:
1. Pihak manakah yang berhak untuk mengasuh anak pada saat tenggang waktu
penentuan hakhadhanahanak?
2. Bagaimana cara penyelesaian sengketa hadhanah menurut Fiqih Islam dan
3. Bagaimana hak dan kewajiban orang tua yang hak hadhanah tidak jatuh
kepadanya?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis siapa yang berhak mengasuh anak pada
saat tenggang waktu penentuan hakhadhanahanak.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis cara penyelesaian sengketa hadhanah
menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hak dan kewajiban orang tua yang hak
hadhanahtidak jatuh padanya.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai, maka dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat yaitu:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya kepada
masyarakat agar mengetahui persoalan yang berkaitan denganhadhanah.
2. Secara praktik, diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada mahasiswa
ataupun praktisi-praktisi hukum khususnya dalam lingkup hukum keluarga agar
mengetahui tentang penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang dilakukan baik di
kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya
yang berjudul “Penyelesaian Hadhanah dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi
Hukum Islam ”. Namun ada beberapa penelitian yang menyangkut dengan Hak Asuh
Atas Anak antara lain penelitian yang dilakukan oleh:
1. Edi Sucipto, NIM; 002105006; Magister Hukum; Judul Tesis: “HadhanahSetelah
Terjadi Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Penerapannya di
Pengadilan Agama Medan”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuanhadhanahdalam Kompilasi Hukum Islam?
b. Bagaimana penerapan penyelesaianhadhanahdi Pengadilan Agama Medan?
c. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kelalaian orang tua atas tanggung
jawab terhadaphadhanahanak?
2. Syarifah Tifany, NIM; 037011076; Magister Kenotariatan; Judul Tesis;
“Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Agama Binjai)”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah:
a. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap
anaknya dalam Hukum Islam?
b. Bagaimana menentukan hak pengasuh hak hadhanah di pengadilan agama
c. Bagaimana eksekusi putusan perkarahadhanahdi pengadilan agama Binjai?
3. Anastasius Rico Haratua Sitanggang, NIM; 037011006; Magister Kenotariatan;
Judul Tesis; “Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Siak Indraputa-Riau)”. Adapun yang menjadi
permasalahannya adalah sebagai berikut:
a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena
perceraian?
b. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang
disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan?
c. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengali perkara perceraian di
Pengadilan Negeri Siak Indraputa-Riau?
4. Lisdawarta Purba, NIM; 0027011029; Magister Kenotariatan; Judul Tesis;
“Perceraian Atas Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan
Akibat Hukumnya Terhadap Hak Anak (Kajian Pada Masyarakat Karo di
Kecamatan Tigapanah)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana Keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor
Catatan Sipil pada Masyarakat di Kecamatan Tigapanah?
b. Bagaimana tanggung jawab orang tua setelah perceraian terhadap
pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat Karo di Kecamatan
c. Bagaimana hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tua setelah
perceraian terhadap pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat
Karo di Kecamatan Tigapanah?
5. Tessy Taufik, NIM; 097011100; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “Tanggung
jawab Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak ( Studi Kasus Putusan
Nomor: 209/Pdt.G/2007/PN-Mdn)”. Adapun yang menjadi permasalahannya
adalah sebagai berikut:
a. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggung
jawab pengasuhan anak setelah peceraian?
b. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban
terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya?
c. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibanya terhadap anak sesuai putusan
pengadilan?
6. Kadriah, NIM; 943105011; Magister Ilmu Hukum; Judul Tesis; “Tanggung jawab
Orang tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Penelitian di Kabupaten Pidie)”.
Yang menjadi permasalahannya adalah:
a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab orang tua terhadap pemeliharaan
anak dan nafkah hidup anak?
b. Faktor apa yang menyebabkan orang tua melalaikan tanggung jawabnya
c. Bagaimana penyelesaian yang diambil sehingga anak tetap mendapatkan
hak-haknya secara layak?
7. Ernawati Br. Sitorus, NIM; 107011089; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “
Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah:
a. Bagaimana hak asuh anak di bawah umur jika terjadi perceraian pada
masyarakat Batak toba Kristen di Medan?
b. Bagaimana tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap nafkah
anak di bawah umur dalam putusan pengadilan?
c. Apakah hambatan yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat
Batak toba Kristen di Medan?
8. Fransisca M.U Bangun, NIM; 037011028; Magister Kenotariatan; Judul Tesis; “
Tanggung Jawab Orang tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan
Pengadilan Negeri Kelas IA Medan)”. Selanjutnya yang menjadi permasalahannya
adalah:
a. Bagaimana putusan Pengadilan Negeri dalam menentukan tanggung jawab
orang tua terhadap anak setelah perceraian?
b. Upaya apakah yang dapat dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi
kewajibannya terhadap anak sesuai putusan psengadilan?
c. Apakah yang menyebabkan kesulitan melaksanakan putusan pengadilan yang
9. Nirmayani Laksana Putri Pulungan, NIM; 117011092; Magister Kenotariatan; Judul
Tesis; “ Analisis Tipologi PutusanHadhanahPada Pengadilan Agama Medan (Studi
Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)”, Selanjutnya yang menjadi
permasalahannya adalah:
a. Bagaimana karakter hadhanah pada putusan Pengadilan Agama Medan tahun
2010-2012.
b. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Kelas
IA Medan dalam menentukan sengketahadhanahtahun 2010-2012.
c. Apakah putusanhadhanahyang diputuskan di Pengadilan Agama Kelas IA Medan
tahun 2010-2012.
Sehingga sebagaimana di atas bahwa memang pernah dilakukan penelitian
namun dengan permasalahan yang berbeda.Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli
adanya, artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kemurniannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara
hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar “thea” ini pula
literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir
yang tersusun “sistematis, logis(rasional), empris (kenyataan), dan juga simbolis”.8
Kerangka teori adalah pemikiran atau pendapat, teori tesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis
dalam penelitian.9
Fred N. Kerlinger menjelaskan bahwa teori adalah seperangkat konsep, batas
dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan
merinci hubungan antara variasi dengan menjelaskan dan memprediksi gejala
tersebut.10
Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai
petunjuk,11 analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan
masukan eksternal bagi penelitian ini. Robert K. Yin mengatakan: theo means the
design of research steps according to some relationship to the literature, policy
issues, or other substance souce”12.Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan
cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil
penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.13Teori menguraikan
jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian
8Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1999), hlm.12.
9Solly Lubis,
Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Bandar Maju, 1994), hlm.14.
10Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral,(Yogjakarta: Gadjah mada Universitas
Press, 2004), hlm.14.
11Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (PT. Gramedia Pustaka
Utama,1997), hlm.21.
12
Robert K.Yin, Application of Case Study Research,(London: Sage Publication, 1994), hlm.82.
yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu
menerangkan masalah tersebut. Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori
mempunyai kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai
berikut:
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta;
b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;
c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.14
Selanjutnya dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Adapun
kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Kepastian Hukum
sebagaigrand theory.
Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan kepastian hukum harus
memenuhi syarat-syarat, yaitu:15
1. Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten.
2. Instansi pemerintah menerapkan aturan hukun secara konsisten, tunduk dan taat terhadapnya.
3. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut. 4. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan
hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum. 5. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan.
Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi
daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
Undang-14
Soejono Soekanto, Op.Cit.,hlm. 43.
15Jan Michiel Otto,
Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan
yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.16
Selanjutnya di samping Teori Kepastian Hukum sebagai teori utama yang
dipergunakan sebagai pisau analisis penelitian ini juga akan didukung dengan teori
pendukung yaituTeori Maslahatan.Mashlahat secara etimologi kata jamaknya
Mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari
keburukan atau kerusakan. Mashlat kadang-kadang disebut dengan istislah yang
berarti mencari yang benar. Esensi mashlat adalah terciptanya kebaikan dan
kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak
kehidupan umum.17
Menurut M.Hasballah Thaib,18 mashlahat yang dimaksud adalah kemashalatan
yang menjadi tujuan syara’ bukan kemashalatan yang semata-mata berdasarkan
keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat,
hukum tidak lain untuk melahirkan kemashlatan bagi manusia dari segala segi dan
aspek kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang dapat
membawa kepada kerusakan.
16bid.
17M.Hasballh Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum, (Medan: Universitas
sumatera Utara, 2002), hlm. 27.
18Ibid, Ibnu Tayimyyah mengatakan bahwa mashlmat adalah pandangan mujtahid tentang
perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’, lihat Nasroen Haroen, Ushul Fiqih, (ciputat: PT. logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 126.Sedangkan Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlmat adalah menarik manfaat atau menolak
Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan hukum
atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat.Jangan sampai justru karenanya dilaksanakan atau ditegakkan timbul
keresahan di dalam masyarakat.19Secara sederhana maslahat (al- maslahah)diartikan
sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu bermanfaat. Misalnya menuntut ilmu itu
mengandung kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu penyebab
diperolehnya manfaat secara lahir dan bathin. Secara umum dapat dikatakan bahwa
tujuan dari pada kedatangan Hukum Islam adalah memperoleh kemaslahatan serta
menghindari kemudhaaratan. Hukum Islam memelihara 3 hal, yaitu:20
a. Memelihara yang paling penting, bila hal itu diabaikan maka akan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Ketentuan yang paling penting ini ada 6 macam: 1. Memelihara jiwa
Islam sangat melindungi jiwa seseorang, jiwa seseorang tidaak boleh direnggut begitu saja karena jiwa dapat dinilai dengan benda apapun; 2. Memelihara akal
Sehubungan dengan memelihara akal, Hukum Islam memetapkan hukum dera (dipukul 40 kali) bagi yang merusakkan akalnya.
3. Memelihara Agama
Memelihara agama adalah memelihara keimanan. Iman adalah suatu hal yang sangat mulia, sehingga dengan bermodalkan iman seseorang tidak akan kekal dalam neraka.
4. Memelihara kehormatan
Islam sangat memelihara kehormatan seseorang muslim. Islam tidak membenarkan menuduh orang lain melakukan kejahatan tanpa adanya suatu bukti yang benar, tuduhan tanpa alas an berarti penghinaan.
5. Memelihara harta
Memelihara harta (hak milik) ini ditetapkan hukum jual beli, hutang piutang, dan lain-lain.Islam melarang perampasan harta, pembinasaan harta, dan cara-cara lain yang tidak sah.
19
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum(Suatu Pengantar),(Yogyakarta: Liberty,1988), hlm. 134-135.
20M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, (Medan: Fakultas Hukum Universitas
6. Memelihara keturunan
Islam mengajurkan untuk memelihara keturunan, bahkan salah satu dari pada hikmah perkawinan adalah untuk mendapat keturunan.
b. Memelihara yang diperlukan bila tidak dilaksanakan akan membawa kesulitan dam pelaksanaaanya;
c. Memelihara yang dianggap baik, bila hal ini tidak diatur maka nampaklah kerendahan Islam.
2. Konsepsi
Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu
kegiatan atau proses berpikir, daya berfikir khususnya penalaran dan
pertimbangan.21Peranan konsep daam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia
teori dan observasi, antara abstrasi dan realitas.22Konsep diartikan sebagai kata yang
menyatakan.Abstrak yang digenelisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut
dengan definisi operasional.23 Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis
yang seringkali bersifat abstrak, sehinga diperlukan definisi-definisi yang menjadi
pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu
hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari suatu
karya yang telah diadakan pengelohan akan dapat menjadikan suatu teori.Oleh
karenanya untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian dan penafsiran tentang
konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka perlu dikemukakan mengenai
21
Komaruddin dan Yooke Tjuparmah, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 122.
pengertian konsep yang dipakai, adapun uraian dari konsep yang dipakai dalam
penelitian ini adalah:
a. Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (pemberesan,
pemecahan);
b. Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak dan
memenuhi kebutuhan yang diperlukan si anak baik yang belummumayyizdan
maupun yang telahmumayyizhingga ia dewasa atau mampu berdiri sendiri.24
c. Sengketa adalah perselisihan yang timbul antara mantan suami istri setelah
terjadi perceraian khususnya mengenaihadhanah.
d. Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda dan lain-lain pada permukaan
yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi
(panjang, lebar, tingginya), sudut pandang.25
e. Fiqih Islam adalah buku yang membahas berbagai persoalan Hukum Islam
(ibadah, muamalah, pidana, peradilan, jihad, perang, dan damai) berdasarkan
hasil ijtihad ulama fiqih dalam memahami Al-Qur’an dan hadist yang
berkaitan dengan realitas yang ada dengan menggunakan berbagai metode
ijtihad.26
f. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang
ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok
24Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jild VIII, Terjemahan Moh. Thlmib, (Bandung: PT. Alma’
arif,1995), hlm. 160.
25
Surayin,Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Bandung: Rama Widya, 2007),hlm. 433.
26A. Rahman Rintonga, et.all,Ensikopedia Hukum Islam,(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva,
materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan
termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal),
ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok
hukum tersebut.
g. Mahkamah Syar'iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang
Peradilan Syari’ah Islamserta melaksanakan Syari’at Islam dalam wilayah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.27
h. Belummummayizadalah anak yang belum berumur 12 tahun.28
i. Sudahmummayizadalah anak yang sudah berumur 12 tahun.29
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Pendekatan Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu dari penelitian
ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan
yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang
diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.30
27Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 tahun 2002 Tentang Peradilan
Syari’ah IslamPasal 2 Ayat (1).
28Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, berbunyi;
Dalam terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
29
Ibid.
30Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung:
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka
yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang
hukum atau bahan rujukanan bidang hukum31. Maka pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan peraturan hukum yang berlaku baik itu dalam peraturan
perundang-undangan hukum nasional maupun ketentuan dalam Hukum Islam dan
pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan
untuk meneliti aturan–aturan hadhanah yang berkaitan dengan pelaksanaan
hadhanah, sedangkan pendekatan kasus dilakukan untuk mempelajari penerpan
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan hakim dalam menyelesaikan
sengketahadhanahdi Mahkamah Syar’iyah.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.Data sekunder32 adalah
data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk jadi,33
atau data kepustakaan yang dikenal dengan bahan hukum yang terdiri dari 3 (tiga)
kelompok.Data sekunder pada penelitian ini berasal dari penelitian studi kepustakaan
(Library Research)yang diperoleh dari:
31Soejono Soekarto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Seuatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta:Raja grafindo Persada, 1995),hlm. 33.
32Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil pelelaahan kepustakaan atau penelahaan
terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum, lihat Mukti Fajat dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.34.
33Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis,
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari:
1. Al-Qur’an dan Hadist.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
5. Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Perma Nomor 2
Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
6. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2002
Tentang Peradilan Syari’ah Islam.
7. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
8. Putusan Makamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 01/Pdt.G/2012/MS-Snb.
9. Putusan Mahkamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 44/Pdt.G/2011/MS-Snb.
10. Putusan Mahkamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 41/Pdt.G/2011/MS-Snb.
b. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dukumen-dokumen resmi. Bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar
atas putusan pengadilan, ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari
konsepsi-konsepsi, teori, asas-asas dan hasil-hasil penelitian, hasil-seminar,
dan pendapat dari kalangan pakar hukum yang berkait dengan masalah
hadhanah.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, majalah, bahan internet dan jurnal ilmiah.34
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang menjadi objek
dalam penelitian dan dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif
maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan (Library Research), studi kepustakaan merupakan suatu metode
pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada
relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat Pengumpulan data dalam penelitian ini yang digunakan adalah studi
dokumen/studi kepustakaan yaitu untuk memperoleh bahan-bahan yang digunakan
untuk mengumpulkan data-data yang di kepustakaan atau data sekunder dan data
primer serta tersier dalam bidang hukum.Namun dalam ini juga akan dilakukan
wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. Wawancara ini
dilakukan sebagai data pendukung dalam penelitian ini.
Adapun pihak-pihak terkait yang akan diwawancarai dalam hal ini, yaitu:
- 2 (satu) orang Hakim Mahkamah Syar’iyah Sinabang
- 1 (satu) orang Panitera Makamah Syar’iyah Sinabang.
- 1 (satu) orang tokoh Agama.
5. Analisis Data
Dalam penelitian sangat diperlukan sangat diperlukan suantu analisis data
yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif
yaitu penelitian yang menghasilkan data yang berupa informasi, kemudian diuraikan
dalam bentuk tulisan dikaitkan dengan data lain sehingga diperoleh kejelasan
terhadap suatu kebenaran dan diperoleh gambaran yang menguatkan suatu gambaran
yang telah ada.
Pada kegiatan analisis data ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang
diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang dilakukan dengan memakai analisa
deduktif-induktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk
selanjutnya mengambil hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan
BAB II
PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG WAKTU PENENTUAN HAKHADHANAHANAK
A. Tinjauan TentangHadhanahMenurut Hukum Islam 1. PengertianHadhanah
Adapun dalam Hukum Islampemeliharaan anak dikenal dengan istilah
hadhanah. Secara etimologi, hadhanahberarti di samping atau berada di bawah
ketiak,35sedangkan secara terminologisnya,hadhanah adalah merawat dan mendidik
seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdesannya, karena
mereka tidak memenuhi keperluannya sendiri.36
Menurut Ash-sha’ani, pemeliharaan anak disebut dengan Al Hadhanah yang
merupakan masdar dari kata Alk Hadhanah yang berarti mengasuh atau memelihara
bayi (hadhanah ash syabiyya).Dalam pengertian istilah hadhanah adalah
pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan
pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya.37
Sementara itu menurut Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, hadhanah adalah
memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri.38Sedangkan menurut
35AbuYahya Zakaria Anshari,Fathul Wahab, (Beirut: Dar al-Kutub, 1997), Juz II.hlm.212. 36Martiman Prodjohamidjodjo,
Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), hlm.65. lihat juga Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Undang No.1/1974 Sampai KHI),
(Jakarta:Kencana,2004), hlm. 291.
37
Ash-sha’ani, Subulus Salam, Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 819.
38Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, Subulus Salam, Juz 3(Bandung: Dahlan), 1996. hlm.
pendapat Syeikh Ibrahim Al-Najuri hadhanah adalah memelihara orang yang tidak
mampu mengurus diri sendiri dari sesuatu yang menyakitinya, karena belum dapat
membedakan antara yang buruk dengan yang baik.39
Selanjutnya Wahbah Az-Zuhaili memberi pengertian hadhanah, menurut
bahasa, hadhanah berasal dari kata “al hidlnu” yang berarti“ samping atau
merengkuh ke samping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak
bagi anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan
memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri
karena tidakmumayyizseperti anak-anak atau orang dewasa tetapi gila.40
Menurut Amir Syarifuddin, hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih
kecil setelah putusnya perkawinan.41Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukan bahwa :
“Hadhanahadalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil,
laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiztanpa perintanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.42
Menurut M.Hasballah Thaib, yang dimaksud hadhanah adalah merawat dan
mendidik, menjaga dan mengatur orang yang belum mampu mengetahui dirinya
sendiri disebabkan gila dan disebabkan masih anak-anak yang belummumayyiz.43
39Syeikh Ibrahim Al-Najuri,Al-Bajuri,Juz 2, hlm. 195, lihat juga H.A Fuad Said,Perceraian
Menurut Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka Alhusna),1994, hlm.215.
40
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam (Wa Adillatuhu), Jilid 10, (Depok: Gema Insani, 2007), hlm.59.
41Amir Syarifuddin,Op .Cit., hlm. 327. 42Sayyid Sabiq,Loc.cit.
43M.Hasballah Thaib dan H. Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam,
Sementara menurut istilah ahli fiqih, hadhanah berarti memelihara anak dari
segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan
rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya
hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya sebagai seorang
muslim.44
Selanjutnya dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan
mendidik orang yang belummumayyizatau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal
(kecerdasan berpikirnya).Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya
disebabkan oleh perceraian atau karena meninggal dunia orang tua, sementara si anak
belum dewasa dan tidak mampu lagi mengurus diri mereka, oleh karenanya
diperlukan adanya orang-orang yang bertanggung jawab untuk merawat dan
mendidik anak tersebut.
2. Dasar HukumHadhanah
Ulama fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya hukum memelihara dan mendidik
adalah kewajiban bagi kedua orang tua45, anak yang tidak dipelihara akan terancam
keselamatannya, hal merujuk pada ayat Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 6 yang
berarti:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.46” Selain itu, hal ini dapat kita lihat
44Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
2006), hlm. 129.
45
Muhammad Husain Zhabi,Al-Syari’ah al- Islamiyah: Dirasah Muqaranah baina Mazahib Sunnah Ea al-Mazahab al-Ja’fariyah,(Mesir: Daral-Kutub al-Hadisa, tth), hlm.170.
46Mushaf, Al-Qu’ran dan terjemaah Al-Qu’ran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustsar,
dari dasar hukum hadhanah dalam Islam dijelaskan dalam firman Allah SWT
sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, yang artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan carama’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang itu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan walipun berkewajiban demikian.Apabila keduanya ingin menyapih (belum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kerjakan”.47
Selain itu juga terdapat hadist Rasulullah SAW. sebagaimana yang
diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Al- Baihaqi dan Al-Hakim dari Abdullah bin’
Amru48:
“Bahwa seorang wanita berkata:”ya Rasullulah, sesungguhnya anakku ini, perutku menjadi tempatnya dan payudaraku isapannya dan lambungku menjadi pangkuannya. Ayahnya telah mentalakku dan hendak mengambilnya dariku, maka Rasullulah SAW bersabda: engkau lebih berhak mengasuh/memelihara selama engkau belum menikah”.
Selanjutnya,di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah dapat dilihat pada
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa :
1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; 3) Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41
Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan
karena perceraian, maka:
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang memberi keputusan.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua,
pemeliharaan tersebut meliputi: masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu
yang menjadi kebutuhan pokok bagi anak. Jadi meskipun diantara suami istri telah
putus ikatan perkawinan diantara mereka namun kewajiban pemeliharaan anak tetap
menjadi tanggung jawab keduanya sampai anak di bawah umur tersebut telah dewasa
atau mandiri. Islam juga telah mengajarkan kewajiban bertanggung jawab itu secara
tegas, sebagaimana dijelaskan pada hadist Rasullulah SAW, yang diriwayatkan Al
Bukhari dan Muslim, yang artinya berbunyi:” Laki-laki wajib memelihara
wajib memelihara (segala sesuatu) dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban dalam hal itu”.49
3. Syarat-Syarat Orang Yang Berhak Melaksanakan TugasHadhanah
Setiap anak yang masih di bawah umur memerlukan orang lain dalam
kehidupannya, baik dalam membentuk fisiknya maupun akhlaqnya. Seorang yang
melakukan tugas hadhanah anak mempunyai andil dalam hal tersebut, sehingga
memerlukan sikap yang arif, perhatian yang penuh dan kesabaran. Menurut
M.Hasballah Thaib, karaktertik orang tua ideal bagi anak haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan kepribadian yang yakni: 1. Bertaqwa kepada Allah, 2.
Mempunyai sifat ikhlas, 3.Berakhlak mulia, 4. Mempunyai sikap dan berkata benar,
5. Mempunyai sifat adil, 6. Bersikap sopan, 7. Bersisikap sabar, 8.Bersifat pemaaf, 9.
Rukun dalam rumah tangga, 10. Memenuhi kebutuhan anak, 11. Membina kreatifitas
anak, 12. Berdedikasi mendidik dan bertanggung jawab.50
Selanjutnya hukum Islam mengemukan ada beberapa persyaratan yang terkait
dengan hadhanah atas anak yang harus dimiliki seseorang agar bisa melaksanakan
tugas hadhanah,baik wanita maupun laki-laki. Syarat-syarat itu dibagi ulama fiqih
dalam tiga katagori, yakni: a. syarat umum untuk wanita dan pria, b. syarat khusus
untuk wanita, c. syarat khusus untuk pria51.
a. Syarat umum untuk pria dan wanita yang melakukanhadhanah
Adapun syarat umum untuk orang yang dianggap berhak melaksanakan tugas
hadhanahatas anak, diantaranya:
49M. Hasballah dan Zamakhsyari,Pendidikan dan Pengasuhan Anak(Menurut Al-Qur’an dan
Sunnah),(medan:Perdana Mulya Sarana, 2012), hlm.57.
50
Ibid.,hlm.24-57.
51Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan,Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,( Jakarta:
1. Berakal
Orang gila dan idiot tidak boleh menjadi pelaksanahadhanahkarena keduanya
juga membutuhkan orang lain untuk mengurus keperluan mereka. Selain itu untuk
mengurus diri sendiri saja mereka tidak mampu, apa lagi untuk mengurus keperluan
orang lain.
Ulama Mahzab Malikiyyah mensyaratkan seorang yang dapat melaksanakan
tugas hadhanah haruslah orang cerdas.Seorang yang melaksanakan hadhanah tidak
boleh orang yang bodoh (idiot) dan boros.Tujuannya agar harta milik anak yang
dipelihara tidak dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak perlu.52
Jadi apabila seseorang itu tidak berakal maka ia tidak berhak untuk melakukan
tugas hadhanah karena ia sendiri tidak dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga
hanya mereka yang memiliki akal yang dapat melaksanakan tugashadhanah.
2. Baligh (dewasa)
Hendaklah merekayang melakukan tugashadhanahadalah mereka yang sudah
baligh/dewasa, berakal, tidak terganggu ingatannya, karena hadhanah adalah
merupakan pekerjaan memerlukan tanggung jawab. Sementara itu ulama Mazhab
Malikiyyahmenambahkan agar yang melakukan tugashadhanah adalah mereka yang
tidak memiliki/menderita penyakit menular yang dapat membahayakan mahdhun
(anak yang diasuh).53
52
Wahbah Az-Zuhaili,Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan)
Jilid 10,Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darulfikir, 2011), hlm.66.
53Muhammad Ibnu Al-Syarbaini, Al-Iqna’, (Mesir: Mathba”ah al-Risalah, tth), Juz II,