• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

GUNTUR GRAHA GIDEON SITEPU

077005073/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

ANALISIS TERHADAP

KEWAJIBAN DIREKSI PERSEROAN

DALAM MENYELENGGARAKAN

RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

GUNTUR GRAHA GIDEON SITEPU

077005073/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ANALISIS TERHADAP KEWAJIBAN DIREKSI PERSEROAN DALAM MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR

BIASA

Judul Tesis :

Nama Mahasiswa : Guntur Graha Gideon Sitepu

Nomor Pokok : 077005073

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.L.I.) Ketua

(Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.) (Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

(4)

Telah diuji pada:

Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.L.I. Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.

Anggota : 2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.

Anggota : 3. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.

(5)

ABSTRAK

Direksi dibebani berbagai kewajiban dalam melaksanakan tugasnya sehubungan dengan pengurusan Perseroan, termasuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), baik RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa. RUPS Tahunan wajib dilakukan di mana Direksi menyampaikan laporan tahunan mengenai jalannya Perseroan. Apabila tidak menyelenggarakan RUPS Tahunan, Direksi dianggap telah melalaikan fiduciary duty-nya terhadap Perseroan. RUPS Luar Biasa tidak wajib diadakan, namun dapat diadakan jika kepentingan Perseroan menghendakinya. Permintaan RUPS Luar Biasa ini dapat muncul dari Dewan Komisaris ataupun juga atas permintaan pemegang saham yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Berdasarkan UU PT, Direksi harus melakukan pemanggilan RUPS, termasuk RUPS Luar Biasa. Direksi dapat menilai dan menaksir apakah ada dampak buruk bagi Perseroan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan Perseroan yang sekiranya akan diputuskan dalam RUPS Luar Biasa. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Direksi untuk menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, jika Direksi menilai bahwa penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut tidak bermanfaat atau berdampak buruk bagi kepentingan Perseroan. Timbul permasalahan hukum apakah menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan fiduciary duty dari Direksi Perseroan, apalagi mengingat UU PT sendiri memberikan peluang bagi pemegang saham untuk meminta penyelenggaraan RUPS kepada Dewan Komisaris atau bahkan menyelenggarakan sendiri RUPS Luar Biasa atas penetapan pengadilan negeri. Selanjutnya, apakah Direksi yang menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa tersebut dapat berlindung pada prinsip business judgment rule.

Untuk memperoleh jawaban dari permasalahan, dilakukan penelitian hukum normatif disertai pendekatan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Pendekatan perundang-undangan, yaitu dengan meneliti peraturan-peraturan yang berlaku, karena penelitian ini akan terfokus pada aturan hukum yang sekaligus sebagai tema sentral penelitian. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, artinya data hasil penelitian diolah dan diuraikan untuk memberikan gambaran fakta-fakta sehubungan dengan kewajiban Direksi dalam penyelenggaraan RUPS Luar Biasa.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, penyelenggaraan RUPS Luar Biasa juga merupakan kewajiban Direksi yang diberikan oleh undang-undang dan/atau anggaran dasar, walaupun UU PT tidak secara tegas menyebutkan dalam pasal-pasalnya dan Direksi bukan merupakan organ Perseroan yang mutlak berwenang menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Direksi, dalam kedudukannya sebagai pengurus dan yang mewakili Perseroan, memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa sewaktu-waktu bila kepentingan Perseroan menghendakinya. Direksi memiliki tanggung jawab berdasarkan fiduciary duty dalam memenuhi kewajibannya menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Direksi wajib

(6)

menyelenggarakan RUPS Luar Biasa dengan penuh itikad baik, kepedulian, dan loyalitas terhadap Perseroan demi kepentingan Perseroan semata-mata.

Direksi yang menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa setelah dengan penuh kecermatan dan kehati-hatian menilai bahwa tidak ada urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut dapat dikategorikan sudah melaksanakan fiduciary duty-nya. Business

judgment rule akan melindungi Direksi dari derivative action oleh pemegang saham

atas keputusan penolakan Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, yang dalam UU PT mengacu pada ketentuan Pasal 97 ayat (5), apabila penolakan tersebut disebabkan oleh penilaian Direksi bahwa:

a. tidak adanya urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut,

b. agenda rapat yang dimintakan untuk dibahas atau disetujui dalam RUPS Luar Biasa akan membawa dampak buruk terhadap kepentingan Perseroan atau bertentangan dengan hukum,

c. permintaan RUPS Luar Biasa diajukan secara bertentangan dengan hukum, d. permintaan RUPS Luar Biasa tidak disertai dengan pembuktian secara

sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan adanya kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa.

Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan dalam UU PT, setidak-tidaknya dalam aturan penjelasan, dapat dipertegas kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, bahkan bila perlu memberikan sanksi yang tegas bagi Direksi yang tidak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa serta memberikan kewenangan bagi Direksi untuk menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa demi kepentingan Perseroan.

Kata Kunci : Direksi; Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa

(7)

ABSTRACT

A director has a lot of things to do in implementing his duty related to business management including organizing either the Annual or Extraordinary General Meeting of Shareholder (GMS). The Annual GMS is compulsory to convene because it is the time where the director can deliver his annual report concerning the course of the company. If the Annual GMS is not implemented, the director is considered to have ignored his fiduciary duty to the company. The Extraordinary GMS is not compulsory to be held, but it can be carried out if it is for the interest of the company. The demand for this Extraordinary GMS may come from the Board of Commissioners or from one or more Shareholders as long as it is based on Law of The Republic of Indonesia Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies (Law of LLC). Based on this law, the director calls for a GMS as well as an Extraordinary GMS. The director can evaluate and think about the possibility of having a negative impact for the company in relation to the activities of the company which will be determined in the Extraordinary GMS. So, it is possible that the director will refuse to convene the Extraordinary GMS, if the director thinks that the implementation of this Extraordinary GMS will bring a negative impact or no benefit for the interest of the company. Therefore, the purpose of this descriptive normative legal study is to find out whether or not the implementation of the Extraordinary GMS is the company director’s fiduciary duty, considering that Law of LLC itself gives a chance for the Shareholders to ask the Board of Commissioners to convene the Extraordinary GMS or even the Shareholders themselves can hold the Extraordinary GMS based on the Court Order of the Chief Judge of the District Court, and to analyze whether or not the director who refuses to convene the Extraordinary GMS can hide behind the principle of business judgment rule.

The data for this study were the existing laws written in the books or the ones decided by the judges through legal process in the court of law. The data obtained were analyzed to describe the facts related to the responsibility or duty of a company director to convene an Extraordinary GMS.

The result of this study shows that the implementation of the Extraordinary GMS is also a responsibility or duty of director given by Law of LLC or the articles of association, although it is not clearly described in the Law of LLC and the director is not an organ of the company who has an absolute authority to convene an Extraordinary GMS. The director, in his capacity as a management and a representative of a company, has a duty to convene an Extraordinary GMS at any time when the interest of company needs it. The director has a fiduciary duty-based responsibility in meeting his obligation to convene an Extraordinary GMS. The director is required to convene an Extraordinary GMS based on his good will, care, and loyalty to the company and only for the interest of the company.

The director who refuses to convene an Extraordinary GMS after he evaluates and thinks very carefully that there is no urgency for the interest of the company to convene the Extraordinary GMS, can be categorized as the one who has implemented

(8)

his fiduciary duty. The business judgment rule will protect the director from the derivative action taken by the Shareholders for the decision made by the director not to convene the Extraordinary GMS, which in the Law of LLC refers to the stipulation stated in Article 97 (5) saying that if the refusal is based on the evaluation of the director that:

a. there is no urgency for the interest of company to convene the

Extraordinary GMS,

b. the agenda of the meeting to be discussed or agreed in the Extraordinary

GMS will bring negative impact to the interest of company or against the law,

c. the call for the Extraordinary GMS is against the law, and

d. the call for the Extraordinary GMS is not supported by a clear evidence

that the requirements have been fulfilled and there is a reasonable interest in the Extraordinary GMS being convened.

It is expected that in the Law of LLC, at least in its article elucidation, the duty and responsibility of a director in the implementation of Extraordinary GMS can be more clarified, and even if necessary, a strict sanction can be imposed on a director who does not hold an Extraordinary GMS and give an authority to a director to refuse to convene an Extraordinary GMS for the interest of the company.

Key Words : Director; Extraordinary General Meeting of Shareholder

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, karena atas segala berkat dan karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul "Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa". Judul ini dipilih karena penulis tertarik untuk mendalami tentang Perseroan Terbatas, terutama dalam hal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, arahan, masukan, bantuan dan dorongan semangat dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.L.I., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum. dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M. Hum., masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan perhatian, bimbingan, pengarahan, masukan, dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penguji tesis ini, yaitu Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. yang telah memberikan bimbingan dan koreksi yang sangat berharga kepada penulis.

(10)

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak-bapak dan ibu-ibu guru besar dan seluruh staf pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

5. Seluruh staf administrasi dan pegawai pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Januari Siregar, S.H., M. Hum. dan Bapak Berlian Simarmata, S.H., M. Hum. yang telah memberikan rekomendasi bagi penulis dalam mengikuti perkuliahan pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

7. Seluruh saudara/kerabat dan rekan penulis yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis semasa perkuliahan hingga selesainya tesis ini.

Pada kesempatan ini, secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda tercinta, Pt. Em. Armyn David Sitepu, S.H. dan Ibunda tercinta Ir. Bertha br. Tarigan Silangit, yang telah membesarkan dan mendidik serta memberikan bantuan dan dorongan materil, moril, khususnya doa, sehingga

(11)

penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang konstruktif demi kemajuan bersama. Akhir kata, semoga tesis ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan dan dapat bermanfaat.

Medan, Agustus 2009

Penulis,

Guntur Graha Gideon Sitepu

(12)

RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : Guntur Graha Gideon Sitepu Tempat/tanggal lahir : Medan/12 Juni 1983

Jenis kelamin : Laki-laki Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Tomat Baru No. 1 Medan E-mail : gugun_miro@yahoo.com

Orang tua : Pt. Em. Armyn David Sitepu, S.H. (ayah)

Orang tua : Ir. Bertha br. Tarigan Silangit (Ibu)

Saudara : Putra Duana Anugerah Sitepu, S.A.P. (adik)

Saudara : Debora Anastasha Karnina br. Sitepu (adik)

B. Pendidikan

1989 – 1995 : SD St. Antonius I, di Medan. 1995 – 1998 : SMP Putri Cahaya, di Medan. 1998 – 2001 : SMU Cahaya, di Medan.

2001 – 2005 : Fakultas Hukum Universitas Katolik St. Thomas

2001 – 2005 : Sumatera Utara,di Medan.

2007 – 2009 : Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

2007 – 2005 : Universitas Sumatera Utara, di Medan.

C. Pengalaman bekerja

2005 – 2008 : Legal Staff pada Law Office Dr. Januari Siregar, S.H., M. Hum. & Associates, Jalan Biduk No. 29 Medan (20112).

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Kerangka Konsep ... 29

G. Metode Penelitian ... 33

BAB II BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS ... 40

A. Badan Hukum ... 40

1. Pengertian Badan Hukum ... 40

2. Teori-Teori Badan Hukum ... 41

(14)

3. Syarat-Syarat Badan Hukum ... 46

4. Pembagian Badan Hukum ... 48

5. Kedudukan Hukum Badan Hukum Perseroan Terbatas ... 50

B. Organ Perseroan Terbatas ... 57

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ... 58

2. Direksi ... 64

3. Dewan Komisaris ... 69

C. Prinsip-Prinsip Hukum Perseroan Terbatas ... 74

D. Rapat Umum Pemegang Saham ... 82

1. Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham ... 85

2. Hak Suara Dalam Rapat Umum Pemegang Saham ... 92

3. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan ... 92

4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa ... 95

BAB III RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA DAN FIDUCIARY DUTY DIREKSI PERSEROAN ... 102

A. Tugas dan Wewenang Direksi yang Berkaitan dengan RUPS ... 102

B. Prinsip Fiduciary Duty Direksi dalam Pengelolaan Perseroan ... 115

C. Prinsip Fiduciary Duty Direksi dalam UU PT ... 131

D. Kewajiban Direksi Dalam Menyelenggarakan RUPS Luar Biasa Ditinjau Dari Prinsip Fiduciary Duty ... 135

(15)

BAB IV KEPUTUSAN DIREKSI YANG MENOLAK MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA DALAM

PERSPEKTIF BUSINESS JUDGMENT RULE ... 149

A. Prinsip Business Judgment Rule bagi Direksi dalam Pengelolaan Perseroan ... 149

B. Prinsip Business Judgment Rule bagi Direksi dalam UU PT ... 161

C. Keputusan Direksi Yang Menolak Menyelenggarakan RUPS Luar Biasa Dalam Perspektif Business Judgment Rule ... 163

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 200

A. Kesimpulan ... 200

B. Saran ... 202

DAFTAR PUSTAKA ... 204

(16)

xii

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut dengan PT atau Perseroan), menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa PT sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional yang dapat memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai

usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, untuk mewujudkan amanat

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.1

PT berasal dari bahasa Belanda, yaitu Naamloze Vennotschap (NV), yang berarti Perseroan tanpa nama. Sukardono mengatakan bahwa tanpa nama berarti pemakaian nama perusahaan harus memakai penunjukan nama yang menggambarkan dasar tujuan perusahaan, bukan nama-nama pendirinya selayaknya Firma. Mengenai kata “terbatas” menunjuk pada tanggung jawab atau risiko dari persero atau pemegang

1

Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional".

(18)

2

saham yang hanya terbatas pada jumlah sero atau saham yang dimiliki oleh pesero atau pemegang saham tersebut,2 walaupun dalam perkembangannya, tanggung jawab yang terbatas tersebut tidak bersifat mutlak.3 Dengan dianutnya prinsip piercing the

corporate veil dalam hukum Perseroan, tanggung jawab hukum para pemegang saham

yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas dalam hal-hal tertentu. Prinsip

piercing the corporate veil/lifting the corporate veil merupakan pengecualian terhadap

teori tanggung jawab terbatas.

Pengaturan PT di Indonesia, sejak kemerdekaan, dimulai pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) pada Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pengaturan KUHD tersebut diganti dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT lama), yang kemudian diganti lagi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut dengan UU PT), sebagai undang-undang terbaru yang mengatur tentang PT.

2

Abdul Muis. Bunga Rampai Badan Hukum. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 1990. Hlm. 125-126.

3

Dalam ilmu hukum, terdapat doktrin tanggung jawab terbatas dari suatu badan hukum. Secara prinsipil, setiap perbuatan yang dilakukan oleh badan hukum hanya ditanggungjawabi oleh badan hukum yang bersangkutan. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkan. Munir Fuady. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1999. Hlm. 125.

(19)

PT memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya.4 Sehubungan dengan hal tersebut, Sri Rezeki Hartono mengemukakan bahwa:

"PT pada umumnya mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri, mampu mengadakan kapitalisasi modal dan sebagai wahana yang potensil untuk memperoleh keuntungan, baik bagi instansinya sendiri maupun bagi para pendukungnya (pemegang saham). Oleh karena itu, bentuk badan usaha PT ini sangat diminati oleh masyarakat".5

Lebih dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan dengan bentuk yang lain ini disebabkan oleh dua hal, pertama, PT merupakan asosiasi modal, dan kedua, PT merupakan badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang lain, sedangkan sebagai badan hukum yang mandiri, tanggung jawab pemegang saham PT hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki dalam PT. 6

PT didirikan oleh minimal 2 orang atau lebih berdasarkan perjanjian yang diikat dengan akta notaris. Sebagai badan hukum, PT harus memperoleh status badan hukum melalui pengesahan akta pendiriannya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 7 ayat (4) UU PT7). Tujuan dan kehendak bersama yang ingin dicapai oleh para pendiri PT tersebut disalurkan melalui keberadaan PT yang mereka dirikan tersebut.

4

Abdul Muis. Op. Cit. Hlm. 125.

5

Agus Budiarto. Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Hlm. 13.

6

Hukumonline. Metamorfosis Badan Hukum Indonesia. 2007. Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17818&cl=Berita. Diakses tanggal 31 Maret 2009.

7

(20)

4

Sebagai badan hukum, PT memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut sebagai artificial person. Oleh karena itu, PT merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum. Mengenai hal tersebut, Dirdjosisworo mengatakan bahwa:

"Sebagai badan hukum atau artificial person, Perseroan Terbatas mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui “wakilnya”. Untuk itu ada yang disebut “agent”, yaitu orang yang mewakili Perseroan serta bertindak untuk dan atas nama Perseroan. Karena itu, Perseroan juga merupakan subyek hukum, yaitu subyek hukum mandiri atau persona standi in judicio. Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum sama seperti manusia biasa atau natural person atau natuurlijke persoon. Dia bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa mempunyai hak dan kewajiban, utang piutang, mempunyai kekayaan seperti layaknya manusia".8 Teori organ yang dipelopori oleh Otto von Gierke mengatakan bahwa badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, melainkan riil dengan membentuk kehendaknya melalui perantaraan organ-organ badan tersebut.9 Sebagai artificial

person, PT juga memiliki organ, sebagaimana layaknya manusia, yaitu Rapat Umum

Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Selayaknya manusia, PT juga memiliki kegiatan sehari-hari yang harus dilakukan. Organ PT yang langsung bertanggung jawab penuh atas kepengurusan kegiatan sehari-hari ataupun rutin dari PT adalah Direksi, dengan diawasi oleh Dewan Komisaris.

Pasal 1 angka 5 UU PT menentukan bahwa Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili

8

Rachmadi Usman. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: Alumni. 2004. Hlm. 50.

9

(21)

Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari Perseroan. Selanjutnya Pasal 97 ayat (2) UU PT menentukan bahwa pengurusan tersebut wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Sesuai dengan definisi tersebut, Direksi harus memiliki wewenang yang cukup besar untuk dapat menjalankan pekerjaannya tersebut.

Dalam mengurus Perseroan, Direksi harus selalu berorientasi pada kepentingan Perseroan. Direksi akan selalu berurusan dengan aset milik orang lain, sehingga mereka mempunyai moral hazard10 yang tinggi jika mereka tidak mendapat

konsekuensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan Perseroan. Oleh sebab itu, Direksi dilarang melakukan kegiatan yang berada di luar kewenangannya. Hal inilah yang disebut dalam hukum perusahaan sebagai doctrine of

ultra vires.

Untuk menghindari moral hazard tersebut, sehingga muncul prinsip tanggung jawab Direksi terhadap Perseroan yang sering disebut dengan fiduciary duty. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, dengan itikad baik dan penuh tangung jawab, serta kehati-hatian (care). Direksi memiliki kedudukan seperti sebagai seorang trustee atau

10

(22)

6

fiducia dalam menjalankan tugasnya. Menurut pengalaman common law hubungan itu

dapat didasarkan pada teori fiduciary duty.11 Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence), yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor), serta didasarkan pada hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) dengan standar yang tinggi.12 Kewajiban utama dari Direksi adalah kepada Perseroan secara keseluruhan, bukan kepada individu ataupun kelompok pemegang saham.13

Standar yang jelas sebagai acuan pelaksanaan fiduciary duty tersebut adalah didasarkan pada standar duty of care (kewajiban seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya melainkan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan memedulikan kondisi Perseroan) dan duty of loyalty14 (direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas Perseroan dan mengambil kebijakan yang dipandang tepat untuk Perseroan). Prinsip-prinsip ini banyak disinggung dalam UU PT pada pasal-pasal yang mengatur tentang Direksi,

11

375 U.S. 180, 195-196 (1965), dalam Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan". Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari dalam rangka menciptakan

Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT (Persero) BUMN

"Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Persero) di Lingkungan BUMN Ditinjau dari Aspek Hukum dan Transparansi", diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 8 Maret 2007. Hlm. 3.

12

Ibid.

13

Ibid.

14

The Supreme Court of Utah, berkenaan dengan “Duty of Loyalty”, menyatakan bahwa

"Director and officers are obliged to use their inequity, influence, and energy, and to employ all the resources of the corporation, to preserve and enhance the property and earning power of the corporation, even if the interests of the corporation are in conflict with their own personal interests".

(23)

khususnya pada Pasal 97. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengontrol perilaku para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standard of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.15

Tanggung jawab penuh Direksi atas pengurusan Perseroan tersebut merupakan

fiduciary duty dari seorang Direksi, yaitu bertanggung jawab terhadap Perseroan,

bukan organ Perseroan lainnya, baik Rapat Umum Pemegang Saham ataupun Dewan Komisaris, apalagi pemegang saham. Dalam hukum Perseroan, fiduciary duty mengandung arti bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengurus Perseroan, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan Perseroan dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian dari tindakan Direksi.

Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi dibebani berbagai kewajiban sehubungan dengan pengurusan Perseroan, dalam hal ini termasuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (yang selanjutnya disebut dengan RUPS). Pemegang saham berhak atas terselenggaranya RUPS, menghadirinya dan mengeluarkan suara dalam RUPS.

15

(24)

8

Pasal 78 ayat (1) UU PT16 membagi RUPS atas RUPS Tahunan dan RUPS lainnya. Penyelenggaraan RUPS Tahunan adalah bersifat rutin, sedangkan RUPS lainnya, yang dalam praktik sering dikenal dengan RUPS Luar Biasa, dapat dilaksanakan jika kepentingan Perseroan memerlukannya, sehingga bersifat insidentil.

RUPS Tahunan wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam RUPS Tahunan Direksi menyampaikan laporan tahunan mengenai jalannya Perseroan. Hal ini menimbulkan kewajiban bagi Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan, sebab bagaimanapun juga, memberikan pertanggungjawaban kepada pemberi tugas adalah salah satu beban yang harus dilaksanakan oleh seorang penerima tugas. Apabila tidak menyelenggarakan RUPS Tahunan, Direksi dianggap telah melalaikan fiduciary duty-nya terhadap Perseroan.17

RUPS Luar Biasa tidak wajib diadakan, namun dapat diadakan jika kepentingan Perseroan menghendakinya. Permintaan RUPS Luar Biasa ini dapat muncul dari Dewan Komisaris ataupun juga atas permintaan pemegang saham yang memenuhi syarat berdasarkan UU PT.

Dalam pengurusan Perseroan, Pasal 79 ayat (5)18 UU PT menentukan bahwa Direksi harus melakukan pemanggilan RUPS, termasuk RUPS Luar Biasa. Direksi

16

Pasal 78 ayat (1) UU PT menentukan bahwa "RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya".

17

Hendra Setiawan Boen. Tanggung Jawab Direksi Untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS. 2009. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id =21393&d=kolom Diakses tanggal 21 Maret 2009.

18

(25)

Perseroan tidak dapat digugat perbuatan melawan hukum atas dasar menolak untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Timbul suatu permasalahan hukum apakah menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan fiduciary duty dari Direksi Perseroan, apalagi mengingat UU PT sendiri memberikan peluang bagi pemegang saham untuk meminta penyelenggaraan RUPS kepada Dewan Komisaris (Pasal 79 ayat (6) UU PT19) atau bahkan menyelenggarakan sendiri RUPS Luar Biasa atas penetapan pengadilan negeri (Pasal 80 ayat (1) UU PT20).

Sebuah kasus yang membenarkan keputusan Direksi untuk menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa adalah kasus PT. MOEIS. Duduk perkaranya adalah bahwa 5 (lima) orang pemegang saham PT. MOIES (Dahlina Nasution, dkk) mengajukan permohonan penetapan izin RUPS Luar Biasa kepada Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Medan mengabulkan permohonan tersebut berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN.Mdn. tanggal 27 Desember 2002. Adapun alasan permohonan tersebut diajukan adalah karena Perseroan tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Dengan dikabulkannya, RUPS Luar Biasa tersebut diselenggarakan oleh 5 (lima) orang

19

Pasal 79 ayat (6) UU PT menentukan bahwa "Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5),

a. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau

b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b".

20

(26)

10

pemegang saham PT. MOIES tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Direktur Utama PT. MOEIS berkeberatan sehingga mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Medan untuk membatalkan RUPS Luar Biasa tersebut karena dianggap memiliki cacat hukum. Gugatan Direktur Utama tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Medan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 115/Pdt.G/2003/PN-Mdn. tanggal 23 Desember 2003, sehingga RUPS Luar Biasa tersebut beserta segala akibatnya menjadi batal demi hukum.

Selanjutnya, suatu kasus menarik mengenai perbedaan pendapat mengenai hubungan fiduciary duty dan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa adalah Penetapan Pengadilan Negeri Padang No. 124/Pdt/P/2002/PN.Pdg tertanggal 7 September 2002. Sebuah kasus antara pemegang saham PT. Semen Padang dengan Direksi PT. Semen Padang yang sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Secara singkat, uraian kasus tersebut adalah bahwa pemegang saham ingin mengganti seluruh anggota Direksi PT. Semen Padang, sehingga mereka menginginkan diadakan RUPS Luar Biasa. Sementara Direksi menolak untuk mengadakan RUPS Luar Biasa. Pemegang saham, yang memegang 99,99 % saham Perseroan lalu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Padang berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas21. Pemegang saham berpendapat bahwa adalah kewajiban Direksi (fiduciary duty) untuk memenuhi setiap permintaan dari

21

(27)

pemegang saham untuk diadakannya RUPS Luar Biasa, sementara Direksi PT. Semen Padang berpendapat sebaliknya.22

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi dalam mengambil keputusan bisnisnya, terutama keputusan yang spekulatif. Hal tersebut akan menjadi masalah ketika ternyata keputusan tersebut merugikan Perseroan. Oleh sebab itu, untuk melindungi Direksi yang beritikad baik tersebut, muncul prinsip business judgment rule. Prinsip

Business judgment rule ini memberikan safe harbor bagi Direksi yang mengambil

calculated business decision untuk tidak dihukum apabila nantinya keputusan

bisnisnya, yang telah dilakukan demi kepentingan Perseroan semata-mata, merugikan Perseroan. Prinsip ini penting bagi perlindungan Direksi dalam mengambil keputusan-keputusan bisnisnya karena tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko itu, perkembangan bisnis di Indonesia dapat terhambat.23

Di samping mengatur tentang kewajiban dan larangan, UU PT juga secara seimbang mengatur tentang pembelaan Direksi yang dikenal dengan prinsip business

judgment rule. Pasal 97 ayat (5) UU PT menentukan syarat-syarat berlakunya prinsip

ini, yaitu bila Direksi bisa membuktikan bahwa (a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas

22

Hendra Setiawan Boen. Op. Cit.

23

(28)

12

tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Kegagalan anggota Direksi dalam membuktikan unsur-unsur dalam Pasal 97 ayat (5) tersebut dapat menimbulkan derivative action dari para pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas.24

Masuknya prinsip business judgment rule dalam UU PT adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim usaha di Indonesia, dimana para direktur yang beritikad baik dilindungi tidak hanya bagi keputusan bisnisnya saja, melainkan juga dalam pengurusan Perseroan.25 Business judgment rule selain melindungi tanggung jawab pribadi Direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis.

Kemandirian Direksi dalam membuat keputusan yang menurutnya terbaik bagi kepentingan Perseroan adalah mutlak dalam rangka menjalankan fiduciary duty-nya. Direksi juga mempunyai kewenangan mutlak untuk menilai apakah permintaan pemegang saham untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan kebutuhan bagi Perseroan pada suatu saat tertentu. Penilaian apakah diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut adalah kepentingan terbaik bagi Perseroan adalah terletak di tangan Direksi.26 Hal ini sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Direksi Perseroan, dalam mengurus Perseroan, selalu berorientasi pada kepentingan

24

Pasal 61 ayat (1) jo. 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

25

Bismar Nasution. Op. Cit. Hlm. 10.

26

(29)

Perseroan, karena ada kemungkinan bahwa kepentingan Perseroan dapat tidak sejalan dengan kepentingan dan keingingan pemegang saham.27

Direksi dapat menilai dan menaksir apakah ada dampak buruk bagi Perseroan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan Perseroan yang sekiranya akan diputuskan dalam RUPS Luar Biasa tersebut. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Direksi untuk menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, jika Direksi menilai bahwa penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut tidak bermanfaat atau berdampak buruk bagi kepentingan Perseroan. Jadi, berdasarkan pertimbangan tersebut, apakah Direksi yang menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa dapat berlindung pada prinsip business judgment rule.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa merupakan bagian dari fiduciary duty Direksi Perseroan?

2. Apakah Direksi Perseroan dapat menolak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa berdasarkan prinsip business judgment rule?

27

(30)

14

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa merupakan fiduciary duty dari Direksi Perseroan.

2. Untuk mengetahui apakah Direksi Perseroan dapat menolak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa berdasarkan prinsip business judgment

rule.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran serta bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum perusahaan (hukum korporasi) di Indonesia, khususnya mengenai kewajiban dalam menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa dalam Perseroan Terbatas, sehingga dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum perusahaan.

(31)

jawab dalam menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna untuk menyusun atau menyempurnakan suatu peraturan hukum yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas, khususnya dalam hal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat judul "Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa".

Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini yang pernah dibahas sebelumnya di Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara adalah:

(32)

16

2. Tesis dengan judul "Penerapan Business Judgment Rule Dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas". Tesis yang ditulis oleh Rudi Dogar Harahap ini meneliti tentang bagaimana

Business Judgment Rule diterapkan bagi Direksi suatu bank berbentuk PT.

3. Tesis dengan judul "Analisis Pertanggungjawaban Direksi menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas". Tesis yang ditulis oleh Maraganti Panggabean ini meneliti tentang pengaaturan tugas dan tanggung jawab Direksi dan pembelaan diri Direksi berdasarkan prinsip Business Judgment Rule.

Kekhususan penelitian ini yang membedakannya dari tesis-tesis di atas adalah bahwa dalam penelitian ini, secara spesifik, lebih menitiberatkan pada kewajiban Direksi Perseroan hanya dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Dalam dunia ilmu hukum, teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan menyistemasikan masalah yang dibicarakan.28 Berikut ini

28

(33)

akan diuraikan pemikiran-pemikiran, butir-butir pendapat serta teori yang akan menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini.

Seseorang mempunyai tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala dia mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki

fiduciary capacity jika bisnis yang ditransaksikannya atau uang/properti yang

di-handel bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain

dan untuk kepentingan orang lain tersebut, dimana orang lain tersebut memiliki kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Sementara itu, di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan tugasnya.

PT sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen di tangan Direksi, oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standard of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.29 Awal dari pentingnya fungsi kontrol terhadap Direksi tidak terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan30 dalam hukum perusahaan itu sendiri, yang

29

Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Op. Cit. Hlm. 4-5.

30

Dalam hukum Perseroan, prinsip atau asas ini dinamakan dengan the doctrine of separate

legal personality of a company atau the principle of the company’s separate legal personality yang

(34)

18

berasal dari teori Salomon, yang muncul dari Putusan Pengadilan kasus Salomon v

Salomon & Co. Ltd (1897). Terjadinya pemisahan kekayaan antara Direksi dengan

perusahaan atau adanya pemisahan antara perusahaan dengan orang yang menjalankannya, membuat Direksi memiliki peluang yang besar menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian.31

Prinsip fiduciary duty muncul sebagai reaksi atas penyalahgunaan kekuasaan Direksi berdasarkan teori pemisahan kekayaan tersebut. Fiduciary duty adalah suatu doktrin yang berasal dari sistem hukum Common Law yang mengajarkan bahwa antara Direksi dengan Perseroan terdapat hubungan fiduciary.32 Prinsip fiduciary duty

merupakan prinsip tanggung jawab Direksi yang meletakkan Direksi sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang direktur haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care dan duty of loyalty), itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree).33 Black mengatakan bahwa fiduciary duty is a duty to act for someone else’s benefit,

while subordinating one’s personal interest to that of the other person. It is the

highest standard of duty implied by law.34

31

Bismar Nasution. Op. Cit. Hlm. 6.

32

Munir Fuady. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Op. Cit. Hlm. 4.

33

Bismar Nasution. Loc. Cit.

.

34

Fiduciary duty adalah suatu tindakan untuk dan atas nama orang lain, dimana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang merupakan standar tertinggi dalam hukum. Try Widiyono.

(35)

Sehubungan dengan keberadaan Direksi, Tumbuan mengatakan bahwa PT adalah sebab bagi keberadaan (raison d’etre) Direksi, oleh karena itu tidak salah bila dikatakan bahwa antara PT dan Direksi terdapat hubungan fiducia yang melahirkan

fiduciary duties bagi Direksi.35 Tugas Direksi sebagai pengurus Perseroan terbagi atas

3 bagian, yaitu tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and

confidence), berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan (duties of skill, care

and diligence), dan berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties).36

Negara-negara penganut common law system, seperti Amerika Serikat, telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyalty dan duty of care. Kewajiban utama Direksi adalah kepada Perseroan secara keseluruhan, bukan kepada pemegang saham, baik secara individu maupun kelompok. Posisi ini mengharuskan Direksi untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu, dalam melakukan tugasnya tersebut, seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintakan

35

Ibid.

36

(36)

20

pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham, maupun kepada pihak lainnya.37

Dalam UU PT, prinsip fiduciary duty tersebut tersirat dalam Pasal 97 ayat (2) UU PT. Pengurusan PT wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik (duty of loyalty) dan penuh tanggung jawab (duty of care).

Itikad baik dalam hal ini merupakan itikad baik dalam arti objektif38, yang berarti kepatuhan yang berhubungan dengan pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik (duty to act in good faith) mengandung suatu kewajiban bagi Direksi untuk hanya mengutamakan kepentingan Perseroan semata-mata, serta tidak untuk memanfaatkan kedudukannya sebagai Direksi untuk memperoleh manfaat, baik langsung maupun tidak langsung, dari Perseroan secara tidak adil, serta

37

Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan". Op.Cit. Hlm. 3.

38

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mempergunakan istilah itikad baik dalam 2 pengertian, yaitu subjektif dan objektif. Itikad baik dalam arti subjektif berarti kejujuran, yang berhubungan dengan sikap batin seseorang. Hal ini terdapat dalam Buku II KUH Perdata Pasal 530 dan seterusnya yang mengatur tentang kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti objektif berarti kepatuhan yang berhubungan dengan pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Hal ini terdapat dalam Buku III KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3) yang menentukan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

(37)

menghindari benturan kepentingan antara kepentingan pribadi Direksi dan kepentingan Perseroan.39

Tanggung jawab pada dasarnya terkait, namun tidak identik dengan kewajiban hukum. Seorang individu secara hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, jika perilaku sebaliknya merupakan syarat diberlakukan tindakan paksa. Individu yang dikenakan tindakan paksa berupa sanksi bertanggung jawab secara hukum atas pelanggaran.40 Penuh tanggung jawab berarti Direksi tidak boleh ceroboh dalam melakukan tugasnya, terutama dalam mengambil keputusan bisnis yang spekulatif. Tugas-tugas dilakukan dengan kepedulian seperti yang dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent person) dalam posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang dilakukan oleh orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya, serta dengan cara yang dipercayainya secara logis (reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best interest) dari Perseroan.41 Tanggung jawab

penuh berarti memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun, dibarengi dengan tanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila Direksi bersalah atau lalai menjalankan tugas-tugasnya berdasarkan UU PT.42

39

Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Jakarta: Forum Sahabat. 2008. Hlm. 47-48.

40

Hans Kelsen. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusamedia. 2008. Hlm. 136.

41

Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law: Eksistensinya Dalam

Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. hlm. 50.

42

(38)

22

Prinsip fiduciary duty didukung oleh teori organ dari badan hukum yang dikemukakan oleh Otto von Gierke. Menurut von Gierke, badan hukum merupakan suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut, sehingga tujuan badan hukum menjadi kolektivitas, terlepas dari individu.43 Dalam hal ini, Direksi Perseroan merupakan salah satu dari organ tersebut. Tujuan PT sebagai badan hukum terlepas dari keinginan atau kepentingan pribadi dari Direksi, melainkan kepentingan bersama (kolektif) dari Perseroan.

Selanjutnya, prinsip fiduciary duty juga didukung oleh teori "kekayaan bersama" dari badan hukum yang dikemukakan oleh Rudolf von Jhering. Teori kekayaan bersama menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia, sehingga kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya.44 Kepentingan bersama seluruh anggota merupakan kepentingan Perseroan, terlepas dari kepentingan individu atau perorangan dari pengurus.

Selanjutnya, teori-teori badan hukum pendukung prinsip fiduciary duty tersebut juga ter-cover dalam doktrin atau ajaran umum (de heersende leer) yang mengharuskan badan hukum mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai kepentingan

43

Otto von Gierke (1841-1921) merupakan pengikut aliran sejarah dan di negeri Belanda dianut oleh L.G. Polano. Ajarannya disebut ajaran realitas sempurna (leer der volledige realiteit). Chidir Ali. Op. Cit. Hlm. 32-33.

44

(39)

sendiri.45 Tujuan tersebut bukan merupakan kepentingan pribadi satu atau beberapa orang anggota, melainkan kepentingan Perseroan. Dalam hal ini, Direksi tidak boleh melakukan perbuatan menurut kehendaknya sendiri walaupun dengan dalih untuk kepentingan Perseroan. Prasetya mengemukakan bahwa otonomi Direksi ini dibatasi oleh asas kepantasan, yaitu sepanjang Direksi telah menjalankan kepengurusan secara pantas, Direksi dikatakan tidak menyalahgunakan atau melanggar otonomi yang diberikan.46 Ukuran pantas secara yuridis adalah tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, tidak melanggar asas itikad baik dan asas kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang, serta tidak melakukan perbuatan melawan hukum.47

Di samping Direksi harus melaksanakan kewajibannya terhadap pengurusan Perseroan yang didasarkan pada kepercayaan yang terkandung dalam fiduciary duty, Direksi juga memiliki statutory duty, yaitu kewajiban yang diberikan atau diamanatkan oleh undang-undang kepada Direksi sehubungan dengan pengurusan Perseroan, atau dengan kata lain kewajiban berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini misalnya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh UU PT kepada Direksi.

45

Doktrin mengenai syarat-syarat yang dapat dipakai sebagai kriteria untuk menentukan adanya kedudukan sebagai suatu badan hukum adalah:

1. adanya harta kekayaan yang terpisah; 2. mempunyai tujuan tertentu;

3. mempunyai kepentingan sendiri; 4. adanya organisasi yang teratur.

Ali Rido. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan,

Wakaf. Bandung: Alumni. 1986. Hlm. 50.

46

Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 68.

47

(40)

24

Dalam perkembangannya, penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi dalam mengambil keputusan bisnisnya, terutama keputusan spekulatif yang lazim diambil oleh Direksi di tengah-tengah ketatnya persaingan usaha. Keputusan tersebut bisa saja merugikan Perseroan, walaupun Direksi telah melakukannya dengan jujur dan dengan itikad baik.

Business judgment rule muncul sebagai salah satu teori yang sangat popular

untuk melindungi dan menjamin keadilan bagi Direksi yang mempunyai itikad baik. Teori business judgment rule memiliki misi utama untuk mencapai keadilan, khususnya bagi Direksi Perseroan dalam melakukan suatu keputusan bisnis.48 Dalam ilmu hukum teori business judgment rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar perilaku Direksi pada sebuah situasi di mana setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan Perseroan.49

Black50 mengatakan bahwa business judgment rule adalah rule immunizes

management from liability in corporate transaction undertaken within power of

corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicate

48

Teori business judgment rule mengalami perkembangan sebagai yurisprudensi dalam prinsip

common law di Amerika dimulai dengan Putusan Lousianna Supreme Court dalam kasus Percy v Millaudon pada tahun 1829. Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum

Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Op. Cit. Hlm. 7-8.

49

Ibid.

50

(41)

that transaction was made with due care and in good faith.51 Business judgment rule memberikan perlindungan kepada Direksi Perseroan atas kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.

Business judgment rule mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai Direksi, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik bagi Perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sungguhpun tindakan tersebut ternyata keliru atau tidak menguntungkan atau bahkan merugikan Perseroan, RUPS bahkan pengadilan pun tidak boleh melakukan second guess terhadap keputusan bisnis (business judgment) Direksi.52 Business judgment rule, selain melindungi tanggung jawab pribadi Direksi apabila terjadi pelanggaran, juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dari Direksi yang beritikad baik.53

Business judgment rule hanya berlaku terhadap pertimbangan atau keputusan

bisnis Direksi, termasuk keputusan untuk tidak bertindak. Prinsip tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal tidak ada keputusan bisnis yang diambil. Namun, sejauh mana

business judgment rule dapat diterapkan oleh pengadilan di luar konteks pengambilan

51

Try Widyono menerjemahkan business judgment rule sebagai aturan yang memberikan kekebalan kepada manajemen dari tanggung jawab perusahaan yang diambil dalam hal kekuasaan perusahaan dan wewenang manajemen dimana terdapat dasar-dasar yang masuk akal untuk mengindikasikan bahwa transaksi tersebut dilakukan dengan hati-hati dan beritikad baik. Try Widyono.

Op. Cit. Hlm. 47.

52

Munir Fuady. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Op. Cit. Hlm. 7.

53

(42)

26

keputusan, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipastikan.54 Hal tersebut dianut oleh UU PT, dimana prinsip business judgment rule juga berlaku pada pengurusan Perseroan, yang merupakan aspek yang lebih luas dibandingkan dengan keputusan bisnis, sehingga Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya bukan hanya dalam hal keputusan bisnis yang diambilnya, tetapi juga dalam aspek manajemen perusahaan.55

Sehubungan dengan hal tersebut, Blanchard mengatakan bahwa business

judgment rule memiliki beberapa tujuan. Pertama, direktur dianggap lebih tepat

menyelesaikan masalah bisnis perusahaan dibandingkan pengadilan, sehingga tidak tepat bagi pengadilan untuk memberikan penilaian tentang keabsahan keputusan bisnis dari direktur. Kedua, jika ada ketidakpuasan para pemegang saham atas tindakan yang akan diambil oleh direktur, pemegang saham tersebut berhak untuk menggantikan direktur melalui RUPS atau para pemegang saham menjual sahamnya. Ketiga, business judgment rule memberikan keberanian bagi direktur untuk mengurus perusahaan dengan berbagai risiko. Keempat, business judgment rule akan membela keputusan-keputusan yang jujur dari para direktur.56

54

Taqyuddin Kadir. Business Judgment Rule. Legal Risk and Compliance. 2006. Http://taqlawyer.com/2006/09/business-judgement-rule.html Diakses pada tanggal 12 September 2008.

55

Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Op. Cit. Hlm. 11.

56

The business judgment rule does appear to serve several legitimate purposes. First, it is

(43)

UU PT juga mengadopsi prinsip business judgment rule dalam Pasal 97 ayat (5) yang menentukan syarat-syarat berlakunya prinsip tersebut, yaitu anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.

Beberapa pengadilan di Amerika Serikat berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) Direksi tidak dapat dilindungi oleh business judgment rule apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan suatu kecurangan (fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality), dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan sebagai akibat kelalaian

right to replace the directors through the exercise of their voting power or they may simply sell their stock. Third, the business judgment rule serves to encourage risk taking on the part of management. Often a decision based upon a great deal of time and research may seem like a good hunch when looked at with perfect hindsight years later. Finally, the rule is predicated on the theory that directors should not be insurers of their decisions, and that to make them responsible for honest mistakes of judgment would increase the difficulty of obtaining competent people to serve as directors. Gerald L.

Blanchard. "Director and Officer Liability". WestLaw Journal: Lender Liability: Law, Practice and

(44)

28

berat (gross negligence) dari Direksi.57 Setidaknya terdapat tiga ukuran untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis (business

judgment) yang tepat, sehingga dapat terhindar dari pelanggaran prinsip duty of care,

yaitu:

a. memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar.

b. tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik;

c. memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.58

Direksi harus dapat menjamin telah melakukan hal-hal yang sesuai dengan standar dan prosedur yang terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil keputusan bisnis. Hal tersebut penting agar Direksi memiliki landasan hukum yang kuat dalam bertindak sesuai dengan UU PT terhadap segala kewajiban mereka kepada Perseroan, terutama atas keputusan bisnis yang akan memenuhi secara obyektif kenaikan nilai dari perusahaan.

Keputusan bisnis dari Direksi antara lain adalah memutuskan untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa atau menolak menyelenggarakannya. Hal ini

57

Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perusuhaan". Op.Cit. Hlm. 5.

58

(45)

mengingat RUPS Luar Biasa tidak wajib diadakan, namun dapat diadakan jika kepentingan Perseroan menghendakinya.59

Teori fiduciary duty menjadi suatu rambu-rambu bagi Direksi dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengurus dan mengelola Perseroan yang dipercayakan kepadanya, namun teori business judgment rule menjadi suatu pembelaan bagi Direksi dalam membuat suatu keputusan bisnis yang berdasarkan suatu itikad baik, kejujuran dan penuh kehati-hatian.

2. Kerangka Konsep

Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Kewajiban merupakan wujud dari peraturan hukum yang mengandung perintah kepada seorang atau sekelompok orang untuk bertindak atau untuk tidak bertindak, dengan ancaman sanksi hukum bagi yang tidak memenuhi perintah tersebut.60 Konsep kewajiban hukum adalah terkait, namun tidak identik, dengan

59

Pasal 79 UU PT menentukan bahwa:

(1) Direksi menyelenggarakan RUPS Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului pemanggilan RUPS.

(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan: a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu

persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau

b. Dewan Komisaris.

60

(46)

30

konsep tanggung jawab hukum. Kewajiban hukum adalah meniadakan perilaku yang berupa pelanggaran, sedangkan tanggung jawab hukum merupakan tindakan paksa berupa sanksi kepada pelaku pelanggaran kewajiban hukum.61

2) Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan62 Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 1 angka 5 UU PT). Direktur adalah orang yang menjalankan tugas Direksi. Direksi berwenang menjalankan pengurusan PT sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UU PT dan/atau anggaran dasar dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Direksi bertanggung jawab kepada RUPS atas pengurusan Perseroan dengan menyampaikan laporan tahunan atas kinerjanya kepada dan dalam forum RUPS. Bahkan dalam hal-hal tertentu, Direksi menyelenggarakan RUPS Luar Biasa untuk kepentingan Perseroan semata-mata. 3) Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,

didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan

61

Hans Kelsen. Op. Cit. Hlm. 141.

62

(47)

dalam UU PT serta peraturan pelaksanaannya (Pasal 1 angka 1 UU PT). Perseroan Terbatas juga merupakan bentuk hukum perusahaan persekutuan badan hukum. Kata “Perseroan” menunjuk pada modal persekutuan yang terbagi dalam sero (saham). Sedangkan kata “terbatas” menunjuk pada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang dimilikinya.63

Suatu PT berbeda dengan suatu persekutuan yang bukan merupakan suatu badan hukum (legal entity). PT adalah legal entity yang terpisah dari pemegang saham PT tersebut. Sebagai legal entity yang terpisah dari pemegang sahamnya, PT dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari pemegang sahamnya, tetapi bertindak untuk dan atas namanya sendiri.

4) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/atau anggaran dasar (Pasal 1 angka 4 UU PT). Dalam hal ini, RUPS diorientasikan kepada suatu forum atau pertemuan resmi, di mana tanggung jawab atas pengurusan dan pengelolaan Perseroan dilaporkan, serta kemudian menyusun rencana kerja Perseroan untuk tahun buku berikutnya.

Ada 2 jenis RUPS, yakni RUPS Tahunan dan RUPS lainnya. RUPS Tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir, sedangkan penyelenggaraan RUPS lainnya, yang dalam praktik

63

(48)

32

sering dikenal dengan RUPS Luar Biasa, diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan atau keperluan PT. Menyelenggarakan dalam hal ini berarti mengurus, mengusahakannya serta melaksanakannya.64 RUPS Tahunan wajib diselenggarakan setiap tahun, karena dalam RUPS Tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU PT. Sebaliknya, RUPS lainnya diselenggarakan sesuai dengan keperluan PT yang bersangkutan. RUPS Luar Biasa dapat diselenggarakan oleh Direksi atas inisiatif sendiri, atau atas permintaan pemegang saham dan/atau Dewan Komisaris, dan dalam hal-hal tertentu dapat juga diselenggarakan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham sendiri, yang memenuhi ketentuan UU PT atau anggaran dasar Perseroan.

Dalam penelitian ini, akan dilakukan analisis terhadap kewajiban Direksi Perseroan dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya yang dapat dilakukan dengan menguraikan suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.65 Analisis juga berarti "to

study (a problem) in detail by breaking it down into various parts".66

64

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. III. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Hlm. 1019-1020.

65

Ibid. Hlm. 43.

66

(49)

Dalam melakukan analisis tersebut, konsep kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa tersebut dipadukan dengan teori fiduciary duty dan teori business judgment rule. Fiduciary duty membebankan kepada Direksi suatu kewajiban yang harus dipikul untuk bertindak mengurus dan mengelola PT, serta mewakili PT di dalam dan di luar pengadilan. Business judgment rule melindungi Direksi atas segala tindakan atau keputusannya sehubungan dengan pemenuhan kewajiban yang telah dilakukannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara/jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan berpikir yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu atau beberapa cabang ilmu tertentu, untuk menguji kebenaran atau mengadakan verifikasi suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.67 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif.68 Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu

67

Alvi Syahrin. Riset & Penulisan Hukum: Modul. Medan: Kelas Khusus Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2005. Hlm. 37.

68

Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum. Soerjono Soekanto. Pengantar

Referensi

Dokumen terkait

lainnya dengan nilai serta syarat dan ketentuan yang dipandang baik oleh Direksi Perseroan, termasuk dengan menjaminkan dan/atau mengalihkan sebagian besar atau seluruh aset

Memberikan pelunasan dan pembebasan tanggung jawab sepenuhnya kepada para anggota Direksi Perseroan untuk semua tindakan pengurusan dan pelaksanaan kewenangan mereka

Memberikan wewenang dan kuasa kepada Direksi Perseroan dengan Persetujuan Dewan Komisaris untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan sehubungan dengan keputusan untuk

Memberikan wewenang kepada Direksi Perseroan dengan hak substitusi untuk melaksanakan segala tindakan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan hal-hal yang

Menyetujui memberikan wewenang dan kuasa kepada Direksi Perseroan, dengan hak substitusi, untuk melakukan segala dan setiap tindakan yang diperlukan sehubungan keputusan

Memberikan pelunasan dan pembebasan tanggung jawab sepenuhnya (Acquit et de charge) kepada Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan atas tindakan kepengurusan dan pengawasan

Persetujuan Laporan Tahunan termasuk Laporan Tugas Pengawasan Dewan Komisaris dan Pengesahan Laporan Keuangan Konsolidasian Perseroan untuk tahun buku yang berakhir pada tanggal 31

–Para anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, masing-masing untuk jangka waktu 5 lima tahun, terhitung sejak ditutupnya Rapat Umum Pemegang Saham