KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM
PENYUSUN AGROFORESTRI PADA BEBERAPA
ZONA AGROKLIMAT DI DAS CILIWUNG HULU
ABD. HARIS BAHRUN
Ds
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri pada beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu”adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
ABSTRACT
ABD. HARIS BAHRUN. An Eco-Physiological Study of Seasonal Crops that Form Agroforestry in Some Agroclimate Zones on the Upstream Watershed of Ciliwung. Under Supervisor of M.A. CHOZIN as a chairman, HADI SUSILO ARIFIN and DUDUNG DARUSMAN as members of the advisory committee.
The study consists of three major experiments, namely: the identification and analysis of planting patterns; eco-physiological assessment of seasonal crops; and analysis of land productivity and financial analysis of the agroforestry system in some agro-climate zones.The research objectives were to analyze planting patterns and vegetations that create agroforestry as well as the characteristics of microclimate in some agro-climate zones;examine the eco-physiological characteristics of seasonal crops under different levels of shading; determine the productivity of land and make a financial analysis of agroforestry farming patterns based on the composition and constituent species of agroforestry.
The study results of the first stage showed that the land cultivation of the agroforestry system in the climate zone A was quite intensive. The annual crops were cultivated 3-4 times during the planting period one year in the agroforestry system, but 2-3 times in the agro-climate zone C. The combination of agroforestry system with monoculture was more dominant in zone A (60.58%) and B (57.75%) with a simple agroforestry pattern, whereas in zone C (41%) it was with a complex agroforestry pattern. There were seven stands of perennial crops suitable for the agroforestry pattern. The resulted analysis of micro-climate and production found that four types of crops can be planted in the agroforestry system: Lycopersicon esculentum Mill, Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L and Zea mays L. saccharata.In the second experiment, the annual crops from the selection in the first experiment were analyzed for eco-physiological characteristics. It was found that that the most suitable plants grown with the agroforestry pattern were Lycopersicon esculentum Millin zone A; Colocasia esculenta L. in zone A and B; Capsicum frustescens L. in zone B and C; and Zea mays L. saccharata. in zone C. The characteristics that mostly determined the tolerance of the annual crops to the shade were the high interception of solar radiation, the coefficient of light and darkness as well as increased levels of chlorophyll a and b, the reduced ratio of chlorophyll a/b. Some physiological characteristics of plants were found to be related to the efficiency in the capture and use of solar radiation intensity, which include: photosynthesis rate, Photosyntetic Active Radiation(PAR), stomata conductance and CO2 internal. The results of the third-stage experiment showed that the agroforestry systems in three agro-climate zones were technically and economically feasible based on the land productivity and financial analyses. In the agro-climate zone A, that is, the agroforestry system with cinnamon stands the composition and the best annual crops were carrot and tomato. In zone B with albazia stands, the best crops were taro and chili pepper. Zone C consisted of mindi timber stands and sweet corn.
RINGKASAN
ABD. HARIS BAHRUN. Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri pada beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing olehM.A. CHOZIN (Ketua Komisi), HADI SUSILO ARIFIN, dan DUDUNG DARUSMAN (Anggota Komisi Pembimbing).
Lahan kering merupakan salah satu lahan yang potensial untuk pengembangan komoditi pertanian, diperkirakan sekitar 124 juta hektar di daratan Indoensia. Umumnya dijumpai di bagian hulu dan tengah daerah aliran sungai (DAS) dengan lereng yang curam, tanahnya kurang subur dan dangkal. Agroforestri merupakan sistem dan teknologi penggunaan lahan yang mengkombinasikan produksi tanaman pangan dan tegakan pohon pada unit lahan yang sama. Agroforestri adalah pola usahatani produktif yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi. Sistem ini diharapkan dapat mengintegrasikan teknologi budidaya pertanian dan kehutanan. Sehingga diperoleh sistem pengelolaan lahan di DAS yang optimal, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memperkecil degradasi lahan dan meningkatkan fungsi hidrologis lahan. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai zona agroklimat dan kombinasi tanaman dalam sistem agroforestri, merupakan suatu hal yang mutlak diperhatikan.
Mill , Zona A dan B adalah Colocasia esculenta L, di zona B dan C adalah Capsicum frutescens L., sedangkan pada zona C adalah Zea maysL. saccharata.
Hasil penelitian pada tahap kedua menunjukkan bahwa terdapat keragaman karakter morfo-fisiologi tanaman semusim pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat. Karakter yang paling menentukan sifat toleransi tanaman semusim terhadap naungan N2 (intensitas radiasi surya 120-230 kal/cm2/hari) adalah tingginya intersepsi radiasi surya, koefisien penyirnaan serta meningkatnya kadar klorofil a dan b. Peningkatan klorofil b lebih tinggi dibanding klorofil a yang ditunjukkan dengan penurunan ratio klorofil a/b. cekaman naungan pada sistem agroforestri berdampak kepada perbedaan keragaman karakter morfo-fisiologi tanaman semusim pada berbagai tingkat naungan dan zona agroklimat. Karakter yang paling menentukan sifat toleransi tanaman semusim terhadap naungan adalah tingginya intersepsi radiasi surya, koefisien penyirnaan serta meningkatnya kadar klorofil a dan b. Peningkatan klorofil b lebih tinggi dibanding klorofil a yang ditunjukkan dengan penurunan ratio klorofil a/b. Titik kritis untuk pengembangan tanaman semusim secara agroforestri diperoleh pada naungan N2 (intensitas radiasi surya 120-230 kal/cm2/hari). Terdapat beberapa karakter fisiologi tanaman yang terkait dengan efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas radiasi surya yang meliputi: laju fotosisintesis, Photosyntetic Active Radiation (PAR), konduktan stomata dan CO2 internal.
Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa sistem agroforestri pada tiga zona agroklimat (A, B, C), di DAS Ciliwung hulu layak secara teknis maupun ekonomis berdasarkan indikator nilai kesetaraan lahan (NKL) dan analisis kelayakan ekonomi. Pada zona agroklimat A dengan sistem agroforestri tegakan kayu manis, komposisi dan jenis tanaman semusim yang terbaik adalah wortel + tomat, nilai NKL pada perlakuan N0 = 1.55 dan N2 = 159. Zona agroklimat B dengan sistem agroforestri tegakan kayu albizia, komposisi dan jenis tanaman semusim yang terbaik adalah tanaman talas + cabai rawit, nilai NKL pada perlakuan N0 = 1.64 dan N2 =165, Pada zona agroklimat C dengan sistem agroforestri tegakan kayu mindi, komposisi dan jenis tanaman semusim yang terbaik adalah talas + jagung manis, nilai NKL pada perlakuan N0 = 2.20 dan N2 = 2.27. Hasil analisis finansial pada zona A terlihat pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat adalah yang terbaik dengan NPV Rp 9.101.318, BCR = 2.89 dan IRR 49%. Pada zona B terlihat pola agroforetri Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya, yaitu NPV Rp. 10.865.887, BCR= 2.96 dan IRR= 52%. Hasil analisis kelayakan pada zona C terlihat pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dengan NPV= Rp. 8.849.687, BCR 2.93 dan IRR = 57%.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM
PENYUSUN AGROFORESTRI PADA BEBERAPA
ZONA AGROKLIMAT DI DAS CILIWUNG HULU
ABD. HARIS BAHRUN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr. Ir. Sudradjat, M.Sc. Dr. Ir. Edi Santosa, M.Si.
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.Sc.
Judul Disertasi : Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri pada Beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu
Nama : Abd. Haris Bahrun
NIM : A156010081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. M. Ahmad Chozin, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S. Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Dudung Darusman, M.A. Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Agronomi
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dekan Sekolah Pasacasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Rabbul Alamien karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Disertasi ini menguraikan hasil penelitian tentang Kajian Ekofisiologi Tanaman
Semusim Penyusun Agroforestri pada Beberapa Zona Agroklimat di DAS
Ciliwung Hulu. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. M.A. Chozin, M.Agr. (Ketua komisi pembimbing), Prof.
Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Prof. Dr. Ir. H. Dudung Darusman,
M.A, (Anggota komisi pembimbing). Selaku komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan motivasi mulai dari
perencanaan dan pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan
disertasi ini.
2. Pimpinan beserta staf Institut Pertanian Bogor yang telah berkenan
menerima penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor.
3. Pimpinan beserta staf Universitas Hasanuddin yang telah mengizinkan dan
merekomendasikan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor.
4. Departemen Pendidikan Nasional (Dirjen DIKTI), yang telah memberikan
bantuan beasiswa selama mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB.
5. Proyek kerjasama Core University Program IPB - Tokyo University
(Research Unit of Biological Resources Development/ RUBRD-JSPS
DGHE) Periode 2003-2008, Judul: Landscape Ecological Studies on
Sustainable Bioresources Management in Rural Indonesia dan Hibah
Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP-Hibah Penelitian Tim Pasca) DP2M,
DIKTI Angkatan IV periode 2006-2008 Depdiknas, Judul: Harmonisasi
Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa Kota Kawasan
Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR). Penelitian ini merupakan bagian
dari payung penelitian di bawah koordinasi Prof Dr. Hadi Susilo Arifin,
6. Hibah Penelitian Program Doktor dari Dirjen DIKTI, Pemerintah Daerah
Sulawesi Selatan dan Beasiswa Toyota Astra yang telah membantu
membiayai penelitian ini.
7. Pimpinan beserta staf Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
(Balitklimat) Litbang-Deptan, staf Laboratorium Ekofisiologi IPB, staf
Jurusan Agroklimat IPB, aparat pemerintahan dan kelompok tani di
kawasan DAS Ciliwung, BPDAS Ciliwung-Cisadane, yang telah
membantu memfasilitasi peralatan, data-data agroklimat serta lahan
penelitian.
8. Seluruh keluarga, terkhusus kapada kedua orang tua, mertua, adik, istri
dan anak-anak yang tercinta, yang telah memberikan bantuan dan motivasi
untuk penyelesaian studi.
9. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan rekan
yang tergabung dalam forum Mahasiswa Pascasarjana se Indonesia
(Forum Wacana Indonesia) serta semua pihak yang telah membantu
selama penulis mengikuti pendidikan di IPB.
Semoga bimbingan dan bantuan yang telah diberikan mendapat nilai ibadah
yang diterima oleh Allah SWT, dan disertasi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pertanian. Amin.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Gowa-Sulawesi Selatan pada tanggal
11 Agustus 1967 sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara dari ayah H. Bahrun
Sibali (Alm) dan ibu Hj. Saribina (Alm). Penulis menikah dengan Andi Akmawati
Burhanuddin dan telah dikaruniai empat orang anak: A. Mutiah Amalia, A.
Yustika Afifah, A.H. Zalzabila (alm) dan A. Anugerah A.Amanagappa.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian dan kehutanan Universitas Hasanuddin Kota Makassar, lulus pada tahun
1993. Tahun 1996 melanjutkan studi Magister pada Program Studi Agronomi
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), selesai Januari 1999. Sejak tahun
2001 penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor pada Departemen
Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB dengan Beasiswa Bantuan Pendidikan
Program Doktor (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.
Penulis menjadi asisten dosen di Universitas Hasanuddin tahun 1990-1993
dengan Tunjangan Ikatan Dinas (TID). Mulai tahun 1994 sampai sekarang
menjadi dosen tetap pada Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin - Makassar.
Sebagian isi dari disertasi ini telah dipresentasikan dan dipublikasikan pada
1. International Seminar of Toward Harmonization between Development and
Environmental Conservation in Biological Production. 28-29 February 2008
in Tokyo, Japan, and FAO Forest Meeting, 21-26 April 2008 in Hanoi,
Vietnam.
2. National Seminar and General Meeting “Agroforestry Education Strategy
for Global Climate Change”, 3-5 March 2008, in Sebelas Maret Univ.
Surakarta.
3. Jurnal Agrivigor, Volume 7, nomor 1 Desember 2007 (Jurnal Akreditasi
Nasional) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
4. The 13th National Seminar of Persada: “Science, Technology and Art Based
for National Development Toward Autonomous Nation”, 9 August 2007 in
Fak. Kedokteran Hewan IPB Bogor.
5. International Seminar of Agroforestry and Workshop, Second General
Meeting of INAFE, 7-8 February 2006, 6-7 February 2006 in Gadjah Mada
Univ., Yogyakarta.
6. International Seminar : “Toward Harmonization between Development and
Enviromental Conservation in Biological Production” Cilegon-Banten 3-5
December 2004.
7. International Seminar : “Toward Rural and Urban Sustainable
Communities: Restructuring Human – Nature Interaction”, Bandung 6 – 7
DAFTAR ISI
Kendala dan Potensi Pemanfataan Lahan Kering pada Produksi Pertanian ……... 10 Peningkatan Produksi Pertanian melalui Sistem Agroforestri …….... 12Pola Pengembangan Lahan Pertanian di Daerah Aliran Sungai ……. 15
Zona Agroklimat dan Adaptasi Tanaman pada Sistem Agroforestri ………... 19 Adaptasi Tanaman Terhadap Cahaya Rendah ……... 24
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRI DIBEBERAPA ZONA AGROKLIMAT Abstrak ……... 26
Analisis Biofisik dan Pola Tanam Agroforetri ……... 31
Sistem Agroforestri di beberapa Zona Agroklimat ……... 43
Simpulan ………. 50
Halaman
Hasil dan Pembahasan ……… 56
Karateristik Iklim Mikro pada Berbagai Zona Agroklimat ……….... 56
Kondisi umu tanaman pada berbagai tingklat naungan di beberapa zona agroklimat ……….………... 60
Respon Morfo-fisiologi Tanaman terhadap naungan di Berbagai Zona Agroklimat ………... 63
Analisis Kesesuaian Tanaman untuk Sistim Agroforestri di Berbagai Zona Agroklimat ………... 73
Simpulan ……….. 75
ANALISIS PRODUKTIVITAS LAHAN DAN ANALISIS FINANSIAL SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT Abstrak ………. 76
Latar Belakang ……… 76
Bahan dan Metode ……… 76
Tempat dan Waktu ……….. 81
Metode Percobaan ………... 81
Peubah yang Diamati ……... 82
Hasil dan Pembahasan ………. 83
Analisis Ratio Kesetaraan Lahan ………... 83
Analisis Finansial Usahatani Sistem Agroforetri ……… 87
Simpulan . ………..……….. 93
PEMBAHASAN UMUM ……... 94
SIMPULAN DAN SARAN ……... 101
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Deskripsi nilai rata-rata unsur iklim pada perbedaan zona agroklimat..
32
2 Peruntukan lahan dan luas DAS Ciliwung Tahun 2007……… 33
3 Penggunaan lahan dan luas peruntukan DAS Ciliwung Hulu
2007……… 35
4 Perbandingan pola tanam pada system agroforestry pada setiap zona
agroklimat ……… 40
5 Jenis tanaman tahunan, pola tanam dan tanaman yang toleran terhadap naungan pada berbagai zona agroklimat ……….
41
6 Hasil relatif (% terhadap kontrol) beberapa tanaman semusim dengan sistem agroforetri pada perlakuan naungan N2 (50%) di zona agroklimat A, B dan C ………...
42
7 Rata rata kondisi iklim mikro di bawah tegakan tanaman kehutanan pada berbagai zona agroklimat ………
57
8 Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat A pada perlakuan naungan N0,N1 dan N2……….
61
9 Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat B pada perlakuan naungan N0,N1 dan N2 ………..
66
10 Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat C pada perlakuan naungan N0,N1 dan N2………
69
11 Produksi tanaman semusim pada berbagai tingkat naungan dan zona agroklimat………..
73
12 Produksi tanaman wortel dan tomat dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat A…………..
84
13 Produksi tanaman talas dan cabe rawit dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat B ………
84
14 Produksi tanaman talas dan jagung dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat C………..
15 Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat A………
88
16 Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat B……….
89
17 Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat C………
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Alur pikir penelitian ………... 9
2 Peta kemiringan lereng Ciliwung hulu 2007……….. 32
3 Peta Penggunaan lahan Ciliwung hulu 2007……….. 34
4 Peta Zona Agroklimat DAS Ciliwung dan lokasi pengambilan sampel penelitian ……….
36
5 Jumlah curah hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat ……. 37
6 Jumlah hari hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat………. 37
7 Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat A …………
44
8 Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat B …………
44
9 Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat C ………….
44
10 Rata-rata kelembaban udara (%) pada berbagai zona agroklimat
1 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan kering merupakan salah satu lahan yang potensial untuk
pengembangan komoditi pertanian. Hal ini didasari oleh luasnya mencapai 88,6
% dari total lahan di Indonesia dan belum dimanfaatkan secara optimal namun
memiliki prospek yang sangat besar untuk penyediaan pangan bagi masyarakat.
Ketersediaan lahan tersebut ditunjang oleh keanekaragaman tanaman yang dapat
tumbuh dengan fungsi sebagai pengganti makanan pokok beras ataupun sebagai
komplementer dan subtitusi makanan. Pemanfatan lahan secara optimal dan
berkelanjutan merupakan salah satu tujuan dari pembangunan pertanian.
Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan
basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan.
Lahan yang yang sesuai untuk budidaya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha
(52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan
sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar sampai
bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha sedang pada lahan dengan lereng15−30%, lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai
untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44
juta ha. Sebagian besar lahan kering tersebar pada dataran rendah yakni
hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran
tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl (39,35%) (Hidayat dan Mulyani,
2002; Adimihardja et al. 2005; Notohadiprawiro 200; Minardi 2009).
Pengembangan komoditi pangan dapat juga dilakukan pada lahan
kehutanan dengan syarat-syarat teknis dan kebijakan yang berlaku. Luas hutan di
Indonesia mencapai 180 juta hektar, namun sebagian besar hutan tersebut telah
mengalami deforestasi (kerusakan hutan) dan dalam kondisi rusak akibat bekas
area HPH (hak penguasaan hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya
sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari
deforestasi sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer (BPS Kehutanan
2 2 Lahan pertanian yang dapat ditanami hanya sekitar 60 juta ha atau 30 %
dari total luas lahan. Lebih dari 87 % dari total lahan pertanian atau lebih dari 52
Juta ha yang dapat ditanami adalah lahan kering, sedangkan 13 % sisanya berupa
lahan sawah. Jumlah sebesar 52 juta ha tersebut meliputi areal kebun/ladang,
tanaman perkebunan, semak belukar dan pepohonan serta lahan lahan yang belum
dimanfaatkan atau lahan bero.
Terdapat beberapa kendala yang kurang mendukung pada pengembangan
sistem usahatani di lahan kering diantaranya adalah (1) kendala dari segi fisik dan
kesuburan tanah yang sangat minim serta terbatasnya ketersediaan air sepanjang
tahun (2) topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi yang rawan, sehingga
laju infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi; (3) hujan yang tidak tersebar secara
merata, dan kemampuan tanah yang rendah untuk menyimpan air, (4) masih
terbatasnya dukungan paket teknologi, laju perbaikan dan penyaluran paket
teknologi pada proses produksi berlangsung lambat; (5) terbatasnya prasarana,
jangkauan pelayanan dan kemudahan serta ketersediaan agroinput dan pemasaran
hasil sangat terbatas; (6) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan
skala pengembangan yang ada umumnya tidak mencapai minimum skala
ekonomi, sehingga mempersulit pelayanan bimbingan dan penyuluhan; (7) benih
yang digunakan pada umumnya masih benih lokal dengan ciri umum berumur
panjang dengan produktivitas rendah (Las et al. 1997; Sitorus 2001; Kusmana
1988; Arsyad 2000).
Menurunnya laju produksi pertanian (pangan dan buah-buahan) pada
tahun terakhir ini, yang bersamaan dengan krisis ekonomi nasional dan regional,
menyebabkan pendapatan petani semakin rendah. Hal ini juga menyadarkan
banyak kalangan untuk mereformasi arah pembanguan pertanian dengan
meletakkan sektor pertanian sebagai andalan penggerak pemulihan dan
pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan hal tersebut perlu dipertajam ruang
lingkupnya dengan memasukkan pemanfaatan sumberdaya lahan kering sebagai
sumber produksi pangan andalan, melalui upaya yang terencana untuk
3 3 Salah satu sistem usahatani yang mampu memperkecil kendala
pengembangan pertanian dilahan kering adalah dengan sistem agroforestri.
Agroforestri merupakan sistem dan teknologi penggunaan lahan yang
mengkombinasikan produksi tanaman dan kehutanan pada unit lahan yang sama.
Agroforestri adalah pola usahatani produktif yang tidak saja mengetengahkan
kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi (Chozin 1995, Kusmarini 2002,
Arifin 2002 dan, Wijayanto 2002 dan Nair 1993). Sistem agroforestri dapat
menumbuhkan tanaman pada kondisi sub-optimum, menggantikan spesies/
varietas yang toleran terhadap naungan seperti talas-talasan (Chozin 2006).
Penerapan sistem agroforestri sebenarnya telah banyak diterapkan di
beberapa lokasi lahan kering yang berkemiringan curam, sekaligus sebagai
komplemen teknologi konservasi lahan. Sistem ini mampu memberikan
pendapatan yang cukup tinggi bagi masyarakat dan berkesinambungan karena
memiliki resiliensi yang tinggi (Darusman 2002). Kendala dalam pemanfaatan
lahan di bawah tegakan (agroforestri) adalah rendahnya intensitas radiasi surya,
yang berakibat pada proses pertumbuhan dan produksi. Naungan dapat
mengurangi jumlah anakan, bobot kering tajuk, indeks luas daun dan hasil padi
gogo (Marler 1994; Murty dan Dey 1992; Ahmed 1990; Chozin 2006 dan Haris
et al. 1999).
Pengembangan sistem usahatani pada daerah aliran sungai (DAS)
diarahkan kepada pengelolaan lahan yang mempunyai efek ganda terhadap
keberlanjutan lingkungan. Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (lanskap)
yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah
dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh
terhadap penggunaan lahan. Berdasarkan penggunaan lahan di DAS secara garis
besar dikelompokkan menjadi : hutan, tegalan, perkebunan sawah, permukiman
dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya didasarkan
pada karakteriktik lahan dan daya dukung lingkungan yang ada. Sistem
agroforestri merupakan salah satu sistem pertanaman yang mampu menjaga
kelestarian lingkungan. Sistem ini baik dikembangakan karena mempunyai
manfaat dari segi pelestarian, keanekaragaman jenis (biodiversity), unsur hara
4 4 Pencapaian sistem ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan
faktor lingkungan fisik, sosial-ekonomi dan teknologi secara terpadu. (Chozin
1995, Arifin et al. 2009, Darusman 2002 dan Widaningsih 1991).
Di beberapa daerah pada bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah
banyak diusahakan usahatani dengan kombinasi beberapa tanaman tahunan,
sedangkan pada daerah dengan kemiringan rendah umumnya diusahakan tanaman
pangan dan palawija atau tanaman makanan ternak. Pengelolaan lahan kering,
khususnya di sekitar DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai
sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : (1) lahan
kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, (2) lahan kering dapat
memasok sebagai besar komoditas andalan (3) lahan kering mempunyai
keanekaragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih
1991; Suhara 1991 dan Badrun 1998)
Agar pembangunan pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka
usahatani yang dilaksanakan harus memperhatikan daya dukung lahan dan
kesesuaian lahan untuk komoditas yang diusahakan, supaya lahan tidak cepat
terdegradasi. Untuk itu perlu pengelolaan tanah dan usahatani yang bersifat
spesifik sesuai zona agroklimat untuk pertumbuhan tanaman. Teknologi sistem
usahatani konservasi di DAS yang dapat mengendalikan erosi tanah pada lahan
kering, khususnya di bagian hulu. Terdapat 4 (empat) komponen dalam teknologi
sistem usahatani konservasi yaitu (1) teknologi pengawetan tanah dan air, (2)
pola tanaman tahunan yang mendukung kegiatan konservasi tanah dan air, (3)
pola tanam semusim yang dikombinasikan dengan tanaman tahunan. (Sinukaban
2003; Sitorus 2001; Fagi et al. 1988).
Pola tanam dengan sistem agroforestri yang selama ini dilakukan oleh
masyarakat belum didasarkan pada pertimbangan keberlanjutan suatu usahatani,
tetapi hanya sebagai usaha sampingan yang belum dikelola secara optimal.
Beragamnya jenis tanaman yang diusahakan petani, serta belum adanya pola
pertanaman agroforestri yang optimal, khususnya di DAS, maka diperlukan
adanya model pengembangan agroforestri yang mempunyai produktivitas tinggi
dan berkelanjutan berdasarkan zona agroklimat. Faktor paling dominan untuk
5 5 tempat di atas permukaan laut (elevasi) dan curah hujan. Hal ini sangat
diperlukan untuk mengetahui produksi optimal dari jenis dan kombinasi tanaman
yang tepat. Disamping itu akan diperoleh waktu tanam tepat yang produksinya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar, sehingga komoditas tersebut bernilai
ekonomi tinggi.
Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan
petani pada sistem agroforestri, diantaranya dengan mengusahakan tanaman
semusim dan tahunan dengan jenis yang berproduktivitas tinggi serta bernilai
ekonomi tinggi. Saat ini masih sedikit program pemerintah, baik penelitian
ataupun paket-paket teknologi dalam pemanfaatan lahan kering untuk
pengembangan sistem agroforestri, karena masih terbatasnya informasi tentang
pelaksanaan sistem agroforestri yang optimal. Berdasarkan hal tersebut
diperlukan adanya kajian pemanfaatan lahan kering, yang mencakup interaksi
unsur iklim, ekofisiologis tanaman, kesesuaian agroklimat, analisis usahatani,
serta analisis keberlanjutannya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka
penelitian tentang kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun agroforetsri
pada beberapa zona agroklimat, diharapkan dapat memberikan solusi yang terbaik
untuk pengelolaan sistem agroforestri khususnya di daerah aliran sungai yang
sangat rentan terhadap degradasi lahan (Gambar 1).
Perumusan Masalah
Pengelolaan lahan kering yang kurang tepat atau tidak optimal di Daerah
Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan dampak kerusakan ekosistem.
Pemanfaatan DAS sangat beragam dan kompleks mulai dari hulu hingga hilir,
sehingga jika pengelolaannya tidak optimal sebagai sumber daya air di produksi
maka akan berdampak negatif. Salah satu dampak yang ditimbulkan adanya
berkurangnya bahan organik tanah, erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas
serta kuantitas air. Sistem usahatani yang tidak memperhatikan aspek pengawetan
tanah dan air merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan atau
degradasi lahan.
Degradasi lahan dapat berdampak terhadap menurunnya produktivitas
6 6 DAS sangat terkait dengan aspek-aspek sumberdaya manusia (petani), teknologi,
sumberdaya tanah dan air serta aspek soial-ekonomi yang ada di masyarakat.
Penggunaan lahan umumnya didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung
lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dikaji melalui proses evaluasi
lahan untuk berbagai penggunaannya.
Tingginya tingkat kerusakan lahan erat kaitaannya dengan desakan
kebutuhan ekonomi masyarakat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk,
yang tidak disertai dengan perluasan areal pertanian. Masyarakat semakin
terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga melakukan usahatani
di DAS untuk memperoleh produk pertanian yang berproduksi dengan cepat
diantaranya tanaman semusim. Untuk mengurangi tingkat kerusakan lahan dan
penebangan tanaman tahunan maka salah satu pola tanam yang telah banyak
diterapkan adalah sistem agroforestri, sistem ini merupakan sistem pertanaman
antara tanaman pangan (semusim) dengan tanaman tahunan (kehutanan), yang
juga banyak dijumpai di DAS. Sistem agroforestri diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta penggunaan lahan
yang optimal (pendapatan maksimal dengan resiko lingkungan minimal) di lahan
kering.
Sistem agroforestri diharapkan petani dapat mengintegrasikan teknologi
budidaya pertanian dan kehutanan. Sehingga diperoleh sistem pengelolaan lahan
di DAS yang optimal, dengan demikian mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi masyarakat, memperkecil degradasi lahan dan meningkatkan fungsi
hidrologis lahan. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai zona agroklimatnya dan
kombinasi tanaman dalam sistem agroforestri, merupakan suatu hal yang mutlak
diperhatikan di dalam sistem usahatani di DAS. Penerapan ini diperlukan
pertimbangan kondisi kesesuaian lahan, waktu tanam dan ketersediaan air bagi
tanaman selama masa kritis pertumbuhan dan produksi.
Terdapat beberapa aspek penelitian yang dilakukan untuk menjawab
berbagai masalah pada sistem usahatani di lahan kering. Diantaranya adalah
aspek analisis pemanfaatan lahan kering melalui penyesuaian berbagai pola tanam
dan usahatani, ini didasari karena masih minimnya pedoman sistem pola tanam
7 7 dilakukan adalah mengetahui perbedaan respon pertumbuhan tanaman terhadap
perbedaan tingkat naungan/ karakteristik iklim mikro pada setiap zona agroklimat
Pada aspek ini juga dianalisis vegetasi penyusun dan komposisi sistem
agroforestri serta karakter ekofisiologinya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bersifat sangat strategis karena menyangkut keberlanjutan
sistem pengelolaan lahan kering di wilayah DAS, melalui penerapan teknik pola
tanam yang bertujuan melakukan kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun
agroforestri pada beberapa zona agroklimat di DAS Ciliwung. Secara khusus
penelitian ini bertujuan:
1. Menganalisis pola tanam dan vegetasi penyusun agroforestri serta
karakteristik iklim mikro pada beberapa zona agroklimat
2. Menganalisis respon morfo-fisiologi tanaman semusim penyusun
agroforestri pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat.
3. Menganalisis produktifitas lahan dan analisis finansial usahatani pola
agroforestri berdasarkan komposisi dan jenis tanaman penyusun
agroforestri.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan pola tanam, penyusun agroforestri dan karakteristik
iklim mikro pada beberapa zona agroklimat.
2. Terdapat perbedaan respon morfo-fisiologi tanaman semusim penyusun
agroforestri pada beberapa tingkat naungan dan zona agroklimat.
3. Berdasarkan produktifitas lahan dan analisis finansial diperoleh sistem
agroforestri yang terbaik berdasarkan komposisi dan jenis untuk setiap
8 8 Manfaat Penelitian
1. Sebagai pedoman atau landasan penerapan sistem agroforestri dengan
komposisi dan jenis tanaman semusim dan tahunan yang terbaik pada
setiap zona agroklimat.
2. Dasar pertimbangan untuk mengusahakan usahatani sistem agroforestri
dengan mengetahui karakteristik iklim mikro dan karakter ekofisiologi
tanaman semusim pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat.
3. Dapat menjadi model untuk perencanaan sistem usahatani agroforestri
yang lebih produktif berdasarkan ratio kesetaraan lahan dan analisis
9
Kajian Ekofisologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri Pada Beberapa Zona Agroklimat
• Interpretasi peta Peta DAS Ciliwung : Peta Penutupan lahan, penggunaan lahan dan Peta iklim
• Karakteristik usaha tani agroforestri • Klasifikasi jenis tanaman agroforestri
(tanaman tahunan dan semusin)
• Adaptasi tanaman toleran naungan pada zona agroklimat
• Respon morfologi dan fisiologi tanaman • Karakteristik fisiologi tanaman toleran
naungan
(Laju fotosintesis, CO2 internal, konduktan stomata, laju transpirasi dan PAR)
• Kesesuaian tanaman pada sistem
agroforestri pada beberapa zona agroklimat
• Zona agroklimat
• Iklim mikro Agroforestri
• Karakteristik sistem agroforestri • Seleksi tanaman toleran naungan • Batas minimal tingkat naungan
• Karakterteristik/respon fisiologi dan tanaman toleran naungan • Kesesuaian tanaman dan efisiensi
penggunaan radiasi surya
• Pola tanam agroforestri • Analisis produktivitas Lahan • Analisis finansial usaha tani
• Pola agroforestri masing masing zona agroklimat
• Efisiensi usaha tani Agroforestri
Rekomendasi pola tanam agroforestri pada setiap zona agroklimat
10 TINJAUAN PUSTAKA
Kendala dan potensi pemanfataan lahan kering untuk produksi pertanian
Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk bukan sawah
yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai
(DAS), sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah
kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber
air. Pengembangan pertanian lahan kering seringkali menghadapi
berbagai kendala, seperti fisik, kimia dan biologi tanah serta ketersediaan
air, yang semuanya menyebabkan produktivitasnya sangat rendah. Lahan
kering dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) jenis penggunaan, meliputi usaha
tani lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan,
tanah hutan rakyat dan perkebunan) dan usaha tani lainnya (pekarangan/
bangunan, tanah rawa, tambak dan kolam/empang) (BPS 2009; Adimihardja
et al. 2005; Notohadiprawiro 2006 dan Minardi 2009).
Beberapa pengertian lahan kering diantaranya adalah lahan yang dalam
keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah sepanjang tidak jenuh
air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di bawah kapasitas lapang.
Kelembaban tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca, fisiografis dan
edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas daratan di Indoensia,
sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al. 1991; Kartono
1998).
Menurut Prasad dan Power (1997) lahan kering di Indonesia menurut
sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala sebagai berikut :
topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi yang rawan, sehingga laju
infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi; hujan yang tidak tersebar secara merata,
dan kemampuan tanah yang rendah untuk menyimpan air. Kaidah umum yang
dinyatakan untuk dikembangkan adalah lahan kering antara kemiringan 0-15
%. Secara ideal lahan kering untuk budidaya tanaman pangan terbatas pada
daerah dengan relatif datar hingga berombak (kemiringan < 8%). Namun di
atas kemiringan 8% perlu persyaratan-persyaratan penanggulangan erosi
11 Rendahnya kandungan bahan organik pada lahan kering merupakan
salah satu kendala dalam meningkatkan produktivitasnya. Sisa dari tanaman
yang tumbuh di atasnya serta kotoran hewan merupakan sumber utama bahan
organik (Brady 1990). Sumberdaya lahan kering dan air secara ekonomi
maupun fisik merupakan sumberdaya terbatas yang kemanfaataannya sangat
ditentukan oleh kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup layak. Kondisi fisik
lahan kering umumnya lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang
amat beragam karena ketersediaan, tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi
masih rendah dan ketersediaan modal sangat terbatas dan peka terhadap erosi.
Penggunaan air dalam bidang pertanian sampai saat ini masih mengandalkan
air yang bersumber dari curah hujan dengan sedikit dalam bentuk irigasi
(Momuat dan Wahid 1997; Badrun 1998).
Lahan kering umumnya dijumpai di bagian hulu dan tengah daerah
aliran sungai dengan lereng yang curam, tanahnya kurang subur dan dangkal,
sehingga menjadi kendala dalam pengembangan potensinya untuk usaha
pertanian. Lahan kering yang secara topografis umumnya terdapat di DAS
sangat mempengaruhi daur hidrologi dan fungsi DAS. Keanekaragaman
topografi menjadikan keragaman pada jenis tanah, kesuburan iklim mikro dan
vegetasi dalam wilayah yang sempit. (Partorahardjo et al. 1997; Arsyad
2000; Adimihardja et al. 2005 ).
Ciri penting dari pengelolaan sistem pertanian lahan kering di daerah
beriklim kering adalah pembukaan lahan umumnya dilakukan dengan cara
tebas bakar. Pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembabatan dan
pembakaran serasah atau sisa-sisa tanaman; kondisi permukaan tanah relatif
terbuka sepanjang tahun; terbatasnya penggunaan pupuk dan bahan organik
serta bibit unggul; dan belum diterapkannya teknik konservasi (Solahuddin
dan Ladamay 1997)
Bentuk-bentuk konservasi sesuai dengan kondisi lahan yang
diusahakan, untuk daerah lahan kering miring masalah erosi adalah faktor
utama yang menyebabkan lahan menjadi marjinal dan produktivitasnya
12 erosi yang terjadi dengan cara memperpendek panjang lereng dan tingkat
kemiringan lereng (Sitorus 2001).
Pengelolaan lahan kering bertujuan untuk memantapkan dan
melestarikan produktivitas serta mempertahankan keanekaragaman alami
masyarakat biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, pengawetan
tanah dan air. Pengembangan pertanian di lahan kering berpotensi untuk
swasembada pangan. Potensi tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lahan
kering yang tersebar cukup luas di Indonesia (Sinukaban 1994).
Sistem Agroforestri dan Optimalisasi Penggunaan Lahan
Agroforestri diartikan secara luas terhadap suatu sistem usaha tani
yang mengintegrasikan secara spatial atau temporal tanaman pohon-pohonan
di dalam produksi tanaman rendah atau ikan, pada sebidang tanah yang sama.
Agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan
yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian
baik secara bersama-sama atau secara bergilir dengan menggunakan
manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat
setempat. (King dan Chandler 1978; Wijayanto 2002; Widaningsih 1991;
Arsyad 2000 ; Arifin 2005).
Sistem usahatani agroforestri secara garis besarnya dikelompokkan
menjadi 2 (dua) yaitu : (1). Sistem agroforestri sederhana, merupakan
perpaduan satu jenis tanaman tahunan dan satu atau beberapa jenis tanaman
semusim. Jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi seperti
kelapa, karet, cengkeh, jati dan lain lain; atau bernilai ekonomi rendah seperti
dadap, lamtoro, kaliandra. Tanaman semusim biasanya padi, jagung,
palawija, sayur-mayur dan rerumputan; atau jenis tanaman lain seperti pisang,
kopi, coklat. Contoh: budidaya pagar (alley cropping) lamtoro dengan padi
atau jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah dan
lain-lain. (2). Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem
pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang
13 ekosistem menyerupai dengan yang dijumpai di hutan. Sistem ini mencakup
sejumlah besar komponen pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau
rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem
hutan alam baik primer maupun sekunder. Sistim agroforestri kompleks ini
dibedakan atas (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest
kompleks. Pekarangan, biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya
hanya sekitar 0.1 – 0.3 ha; dengan demikian sistem ini lebih mudah
dibedakan dengan hutan. Contoh: kebun talun dan sebagainya. Agroforest
kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaic(gabungan) dari
beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok,
letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan
biasanya tidak dikelola secara intensif (Hairiah et al. 2003; Sardjono et al.
2003).
Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang
dan waktu. Ditinjau dari segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu
vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal, peran agroforestri terutama
berhubungan erat dengan pengaruhnya terhadap ketersediaan hara,
penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam. Bila ditinjau dari
segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam
bersamaan atau bergiliran. Pola Kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian
sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah
terutama dari segi pemilihan jenis dan pergiliran tanaman pertanian. Agar
tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat pergiliran tanaman
pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah beberapa
kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan
tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam jenis leguminosae. Jenis ini
dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan
tanah kembali. (Ong dalam Suprayogo et al. (2003)
Pengembangan agroforestri merupakan salah satu jawaban dalam
memahami masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut
Cruz dan Vergera (1987) penerapan agroforestri dapat bermanfaat : aspek
14 aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, pH tanah; dan periode
jangka panjang yaitu meningkatkan produktivitas tanaman,sosial ekonomi,
gizi dan kesehatan.
Sistem agroforestri mencakup bentuk-bentuk agroforestri atau cara
pemanfaatan lahan seperti yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia
seperti kebun talun, pekarangan dan kebun campuran. Teknologi agroforestri
merupakan pelaksanaan agroforestri yang memanfaatkan teknik perbaikan atau
inovasi baru yang biasanya dari hasil penelitian seperti tumpangsari, sistem
tiga strata dan sebagainya (Nair 1989).
Pada lahan kering atau lahan marginal sistem agroforestri akan
berhadapan dengan banyak kendala, baik dari segi fisik, teknis, budaya
maupun ekonomi masyarakat yang terlibat. Hambatan dari segi fisik antara
lain kesuburan lahan, kemiringan lereng lapangan, ketinggian tempat, iklim
dan ketersediaan air. Kendala dari segi sosial ekonomi adalah kebutuhan
yang mendesak, kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat
pendapatan yang rendah (Hadipoernomo 1983 dan Kusmana 1988).
Menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada sebidang lahan,
maka haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya dengan
faktor-faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya. (Arsyad 2000 dan Sitorus
2001). Menurut Nair (1984) sifat tanaman yang digunakan dalam pola
agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikiut :
1) Tanaman sampingan/semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi
dari tanaman pokok (kehutanan) serta dalam pengambilan zat hara pada
tempat yang sama di dalam horizon tanah.
2) Tanaman sampingan yang digunakan tahan terhadap hama dan penyakit
dibandingkan dengan tanaman pokok.
3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman sampingan
tidak merusak tanaman pokok.
4) Tanaman sampingan yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang
baik.
5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman
15 Menurut Kusmana (1988) sistem agroforestri akan memberikan
optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini di lahan yang
berproduktivitas rendah seperti lahan kering akan memberikan manfaat
sebagai berikut :
1) Pada sistem agrofoerstri dapat tanaman yang heterogen dan tidak seumur
yang terdiri dari atas dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti ini,
tajuk tegakan dapat menutup tanah, sehingga tanah terhindar dari erosi dan
produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya
oleh tanaman dapat maksimal.
2) Sistem agroforestri merupakan usahatani terpadu kawasan hutan yang
dapat memenuhi kebutuhan majemuk seperti hijauan makanan ternak,
kayu dan lingkungan sehat, sehingga sistem ini dapat meningkatkan
produktivitas lahan.
Bowo (1989) menyatakan bahwa agroforestri merupakan teknologi
tepat guna untuk mengusahakan usahatani di lahan kering, khususnya dalam
rangka diversifikasi dan optimalisasi penggunaan lahan. Hasil dari sistem ini
telah memberikan banyak manfaat baik untuk pelestarian sumberdaya alam
dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pengusahaan lahan dengan sistem agroforestri mengarahkan
penggunaan dan produktivitas yang lebih tinggi yaitu memanfaatkan
sumberdaya alam secara optimal, lestari dan sosial-ekonomi serta ekologis.
Walaupun sistem agroforestri memiliki manfaat yang besar dalam usaha
perbaikan lahan kritis dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan,
namun tidak mudah untuk diterapkan di dalam masyarakat. Keterbatasan
utama adalah penempatan pohon dalam usahatani menyebabkan persaingan
tempat dengan tanaman pertanian (Kusmana 1988 dan Kartasubrata 1992)
Pola pengembangan lahan pertanian di Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan,
sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub
16 yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya
adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di
daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem
biofisik, sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk sub
sistem sosial, kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS
(Syarief 1997, Arsyad 2000, dan Sinukaban 2003).
Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan
pengelolaan (manipulasi). Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit
geografis dan atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan
mahluk hidup serta perkembangannya. Pengelolaan DAS dapat diartikan
sebagai pengelolaan dari lahan untuk produk air dengan kuantitas optimum,
pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000)
Tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam suatu
DAS seharusnya sama, yaitu untuk memberikan kontribusi pada :
pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha
memperbaiki meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hasil
akhir yang menjadi titik sentral perhatian dalam pengelolaan DAS adalah
kondisi tata air dari wilayah DAS. Hal ini dapat diukur dari kondisi tata air
tersebut yakni tersedianya air yang cukup sepanjang waktu, baik kuantitas
maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air tersebut unsur yang paling
menonjol adalah air yang diperoleh dari air hujan maupun dari sumber-sumber
air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang terdapat dalam
kawasan tersebut, terutama pohon-pohon yang rimbun (Sukmana, Syam dan
Adimihardja 1990, Pretty and Shah 1989, Wambeke 1992 dan Reijntjes,
Havercort and Bayer 1992).
Pola pengembangan lahan pertanian di DAS sangat tergantung kepada
tujuan yang akan dicapai. Besar kecilnya potensi penggunaan lahan
tergantung pada dua hal, yaitu kemiringan lereng dan tinggi tempat yang erat
kaitannya dengan zona agroklimat. Makin terjal sebidang lahan, makin sedikit
penggunaannya, sebaliknya permukaan dengan kemiringan tertentu yang
mendekati datar penggunaannya akan semakin intensif, namun biasanya
17 DAS sebagai suatu sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi
tujuan pembangunan berkelanjutan, maka sasaran pengembangan DAS akan
menciptakan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi
2. Mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu mampu menjamin
produktivitas yang tinggi erosi/sedimen yang rendah dan fungsi DAS
sebagai penyimpan air dapat memberikan “water yield” yang cukup
tinggi dan merata sepanjang tahun.
3. Mampu menjaga adanya pemerataan pendapatan petani (equity)
4. Mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang
terjadi (resilient)
Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan
sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan
produksi yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai
dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga
distribusi aliran sungai dapat berjalan sepanjang tahun, satuan pengembangan
sosial-ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah. Pengelolaan DAS
juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk di
dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 1997).
Menurut Sitorus (2001) pengelolaan dan penggunaan lahan akan
dipengaruhi oleh tipe usahatani yang dijalankan dan jenis kelas tanah.
Lahan-lahan klas I (kemiringan 0% – 5 %), II (kemiringan 5% – 15 %), klas
III (kemiringan 15 % - 25 %) dan klas IV (kemiringan 25% – 35 %) sesuai
untuk usahatani dengan memberikan perlakuan tertentu apabila diperlukan
persyaratan agro-tehnis. Sedangkan lahan di atas kemiringan 35 % - 65 %,
umumnya diperuntukkan untuk padang rumput, tanaman tahunan atau
dijadikan sebagai cagar alam atau hutan lindung.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan daerah aliran sungai
adalah faktor iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebaran hujan
akan menentukan kecepatan dan volume aliran permukaan. Jumlah curah
hujan rata-rata yang tinggi dalam satu periode kemungkinan tidak akan
18 hujan intensitasnya tinggi, tetapi dalam waktu atau periode singkat,
kemungkinan tidak akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati,
Abdurrahman dan Setiani 1993 dan Arsyad 2000).
Berbagai sistem pola tanam dapat diterapkan di DAS. Pola tanam
diartikan sebagai sistem pertanaman yang diusahakan di atas sebidang lahan
yang meliputi cara tanam, jenis tanaman serta jadwal tanam. Sistem
pertanaman tersebut diselenggarakan dalam periode waktu tertentu, baik
semusim maupun sepanjang tahun. Secara garis besar pola tanam dibagi
menjadi : pola tanam tunggal (monocropping) dan pola tanam ganda (multiple
cropping). Pada pola tanam ganda dibagi lagi menjadi pola tanam campuran
dan tumpang sari, dimana kedua pola tanam ini terdapat lagi berbagai
jenis-jenis pola tanam tergantung dari tujuan usahatani dan kondisi lahan setempat
(Sukmana et al. 1990, dan Haryati et al. 1993).
Perkembangan penduduk yang cukup pesat pada wilayah DAS akan
berakibat kepada intensitas penggunaan lahan yang semakin tinggi dan
kecenderungan meluasnya lahan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan
pangan. Dengan demikian, pola penggunaan lahan akan cenderung lebih
memperhatikan faktor peningkatan produksi pertanian dan kurang perhatian
kepada faktor konservasi lahan. Apabila kondisi ini tidak segera ditangani,
maka kegiatan yang dilakukan penduduk di wilayah DAS dalam mencari
nafkah tersebut dapat merusak sumberdaya air dan tanah. Pemanfaatan lahan
yang kurang bijaksana oleh masyarakat yang bermukim pada wilayah DAS
akan menimbulkan berbagai gangguan ekosistem antara lain terganggunya
tata air DAS yang mengakibatkan banjir dan erosi. Kondisi ini akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan, penurunan produktivitas dan
produksi usahatani, serta kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Untuk
mencegah terjadinya gangguan tersebut di atas, maka perlu dilakukan
pengelolaan DAS dengan melibatkan masyarakat yang bermukim pada DAS
yang bersangkutan. Pengelolaan DAS dimaksudkan agar terjadi
keseimbangan antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala
aktivitasnya, sehingga diharapkan dapat terwujud kondisi tata air yang
19 terkendalinya erosi pada tingkat yang diperkenankan (Hidayat 2008,
Nuryanto et al. 2003 dan Sinukaban 2003).
Zona agroklimat dan pertumbuhan tanaman
Secara garis besar unsur iklim dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur
iklim utama (seperti radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, angin,
tekanan udara, curah hujan panjang hari), dan unsur iklim tetap seperti
topografi, ketinggian tempat, slope antara arah kemiringan dengan posisi
surya serta jarak dekatnya dari lautan (Baharsyah 1991).
Daerah tropik dicirikan oleh keadaan iklim yang hampir seragam.
Namun demikian adanya perbedaan keadaan geografik seperti perbedaan
ketinggian tempat dari permukaan laut akan menimbulkan perbedaan pada
keadaan cuaca dan iklim secara keseluruhan seperti curah hujan dan suhu
udara, yang umumnya memiliki karakteristik sangat nyata berbeda antara
dataran rendah dan dataran tinggi (Baharsyah 1991, Koesmaryono 1999 dan
Barry 1976).
Perbedaan zona agroklimat khususnya yang disebabkan oleh
ketinggian tempat umumnya terjadi penurunan suhu udara. Penyebab utama
dari penurunan suhu di dataran tinggi adalah karena menipisnya lapisan udara
pada ketinggian dan rendahnya kadar gas rumah kaca sehingga penyerapan
panas menjadi berkurang. Meskipun pada dataran tinggi suhu udaranya
rendah, namun radiasi matahari bebas masuk menembus kerapatan udara yang
tipis dan memanasi permukaan tanah. Variasi suhu harian di dataran tinggi
lebih kecil dibandingkan dataran rendah karena sering adanya awan di daerah
pegunungan, selain juga adanya angin yang berhembus lebih kencang
sehingga panas lebih mudah menyebar di udara (Suharsono, 1982 dan Rozari
1987).
Agroekosistem merupakan konsep analisis yang mengadopsi konsep
sistem dengan tujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi
keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan tempat yang
20 produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan pemerataan
distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las, 1991).
Konsep agroecological zones merupakan pendekatan membagi wilayah ke
dalam zona-zona fisik yang kurang lebih homogen, dan untuk evaluasi lahan
konsep ini adalah syarat perlu, bukan syarat cukup untuk pengambilan
keputusan penggunaan lahan. Menggunakan parameter lahan yang lebih
banyak di pakai yakni : fisiografi, unsur iklim, ketinggian tempat, vegetasi dan
sebaran tanah sampai tingkat sub group (Rositter, 1994).
Curah hujan berperan sebagai masukan sistem dan sebagai parameter
iklim yang dapat menerangkan kondisi lingkungan suatu wilayah. Disamping
curah hujan parameter lain adalah suhu dan radiasi matahari yang akan
menentukan laju evaporasi dan transpirasi. Variasi dan radiasi netto suatu
permukaan akan ditentukan oleh sifat tutupan permukaan lahan.
Klasifikasi iklim yang banyak digunakan di Indonesia, khususnya
untuk penggunaan lahan pertanian adalah sistem sistem klasifikasi Oldeman.
Klasifikasi ini menghubungkan dengan aktivitas pertanian menggunakan
unsur iklim hujan. Kriteria yang digunakan dalam sistem klasifikasi iklim
Oldeman didasarkan pada perhitungan bulan basah (BB), bulan lembab (BL
dan bulan kering (BK) yang batasannya memperhatikan peluang curah hujan,
hujan efektif dan kebutuhan air tanaman. Batasan tersebut adalah :
1. Bulan Basah (BB) : bulan dengan rata-rata curah hujan > 200 mm
2. Bulan Lembab (BL) : bulan dengan rata-rata curah hujan 100-200 mm
3. Bulan Kering (BK) : bulan dengan rata-rata curah huja < 100 mm
Penentuan pola tanam dan masa tanam pada lahan kering merupakan
tahapan yang penting dari beberapa tahapan yang ada dalam usaha pengaturan
(perencanaan) budidaya tanaman pangan untuk meningkatkan produksi
dengan memanfaatkan sumberdaya iklim secara efisien. Berdasarkan hasil
penelitian Oldeman (1975) bahwa penanaman dengan tanaman palawija dapat
didasarkan pada curah hujan 100 mm atau lebih, ketentuan ini didasarkan
bahwa :
1. Tanaman di lahan kering sebagian besar membutuhkan air paling
21 2. Selama periode pertumbuhan daerah persawahan memerlukan air 150
– 200 mm/bulan
3. Daerah alluvial yang ditanami padi mengalami kekurangan air karena
perkolasi yang terjadi sekitar 30 mm/bulan.
Masa tanam pada lahan kering dengan iklim yang agak kering (semi
arid) harus dikaitkan dengan pemanfaatan air secara efisien dan pola
perkembangan tanaman yang disesuaikan pada pola curah hujan atau
kelembaban tanah yang tersedia. Iklim agak kering (semi arid) pada suatu
daerah dimaksudkan adalah yang mempunyai periode basah dan kering secara
bergantian. Khususnya pada periode basah terdapat tiga sub periode sebagai
berikut: periode “pra humid” berlangsung pada presipitasi awal dan ditandai
dengan evapotranspirasi potesnsial (PE) yang relatif kecil; periode basah
(humid), berlangsung apabila presipitasi melebihi PE dan PE AE
(evapotraspirasi aktual); periode pasca basah, jumlah presipitasi lebih kecil
dari PE, pada akhir musim penghujan, AE menurun terus sampai sumber air di
dalam tanah selama peiode basah (Sagi et al. 1988)
Tanaman akan mengubah keadaan iklim mikto. Perubahan ini
disebabkan oleh besarnya tanaman, jarak tanam satu dengan tanaman yang
lainnya, bentuk serta besarnya percabangan. Dengan demikian terdapat proses
turbulensi pergerakan udara dan pola yang tidak beraturan dalam penerimaan
radiasi surya. Iklim mikro merupakan struktur renik dari ruang udara yang
dimulai dari permukaan bumi hingga ketinggian yang tidak lagi mengalami
akibat langsung dari permukaan yang di bawahnya, serta perbedaannya
dengan iklim setempat sudah tidak terasa. Salah satu yang terpenting dari
Iklim mikro adalah penyerapan energi surya pada siang hari dan kehilangan
bahang (panas) pada malam hari. Pemindahan bahang dari permukaan dapat
terjadi dalam bentuk radiasi, konduksi, konveksi dan adveksi (Rozari 1987
dan Squire 1990).
Pengaruh tajuk terhadap radiasi yang diterima, dipantulkan, dan
ditransmisikan menyebabkan suhu dalam komunitas tanaman siang hari
menjadi lebih rendah dan malam hari menjadi lebih tinggi dibandingkan
22 dipengaruhi oleh kerapatan, tinggi, bentuk, warna, susunan dan jumlah daun,
serta tajuk tanaman.
Peranan radiasi surya bagi pertumbuhan tanaman dapat dibagi dalam
dua cara yaitu efek kuantitatif dan efek kualitatif. Secara kuantitafif total
radiasi diperlukan untuk aktivitas fotosintesis agar diperoleh assimilat
semaksimal mungkin, sedangkan secara kualitatif berperan terhadap
fotomorfogenesis. Respon tanaman terhadap tanaman yang ternaungi, seperti
pada usahatani sistem agroforestri akan tergantung pada jenis tanamannya,
karena ada tanaman yang senang radiasi langsung dan jenis tanaman yang
senang pada keadaan ternaungi (Kreating dan Carberry 1993). Smith (1982)
mengelompokkan tanaman menjadi tiga golongan yaitu tanaman suka cahaya
(sun plant); tanaman suka naungan (shade plant); dan tanaman naungan yang
fakultatif (toleran terhadap naungan).
Hale dan Orcutt (1987) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap
naungan melalui 2 (dua) cara yaitu : (a) meningkatkan luas daun sebagai
upaya mengurangi metabolit dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang
ditransmisikan dan direfleksikan. Pada golongan rumput-rumputan naungan
dapat menyebabkan perubahan (partisi) bahan kering untuk mempertahankan
atau meningkatkan luas daun dan panjang batang (Allard et al. 1991 dan
Kephart et al. 1982).
Radiasi surya merupakan unsur iklim yang sangat berperan terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman, baik secara langsung melalui pemasokan
energi untuk proses fotosintesis maupun secara tidak langsung melalui unsur
iklim lainnya. Radiasi surya berpengaruh terhadap klorofil, jumlah dan
komposisi kloroplas, struktur daun dan gerak membuka dan menutupnya
stomata serta dapat mengontrol laju transpirasi, sehingga berpengaruh
terhadap serapan air dan hara Pada proses fotosintesis, klorofil daun
menyerap energi radiasi pada kisaran panjang gelombang PAR
(Photosynthetic Active Radiation) yaitu 0.38 – 0.68 µm. Tanaman dalam
proses fotosintesis tidak dapat memanfaatkan semua pancaran radiasi
matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi yang
23 yang disebut radiasi nampak (visible radiation) atau cahaya yang juga dikenal
dengan istilah Radiasi Aktif Fotosintesis (PAR = photosynthetically active
radiation). Pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis terjadi dalam
khloroplas yang umumnya terdapat dalam organ daun, dan berlangsung
melalui dua rangkaian peristiwa yang umum dikenal dengan reaksi cahaya
dan reaksi gelap. Energi cahaya yang diabsorbsi oleh sistem pigmen terutama
khlorofil pada reaksi cahaya mengakibatkan eksitasi electron (e-) yaitu
elektron terangkat dari kedudukan dasar ke kedudukan eksitasi I atau II pada
sistem pigmen tersebut Pada keadaan ini, pigmen berada dalam keadaan
reduksi. Eklektron yang tereksitasi tidak kuat terikat pada atom atau molekul
pigmen yang merupakan fungsi dari daya tarik inti. Sebagai konsekuensinya,
elektron ini akan mudah ditransfer ke molekul lain di sekitarnya yang terdapat
pada keadaan oksidatif. (Sitompul dan Guritno 1995 dan Salisbury and Ros
1995).
Laju fotosintesis daun akan meningkat dengan bertambahnya intensitas
PAR karena peningkatan reaksi kimia. Konduksi stomata terhadap CO2 sangat
besar pengaruhnya terhadap laju fotosintesis maksimum yang dicapai pada
kondisi cahaya tinggi. Sedangkan pada intensitas cahaya rendah hampir tidak
ada penyerapan CO2 karena laju penyerapan CO2 melalui fotosintesis lebih
rendah daripada laju evolusi CO2 dari respirasi mitokondria. Respons
fotosintesis terhadap cahaya sangat bervariasi menurut species tanaman dan
antara daun pada satu tanaman (Koesmaryono 1999).
Suhu merupakan faktor iklim yang mempunyai peranan utama dalam
proses pertumbuhan tanaman, dari segi fisiologis, pertumbuhan vegetatif
maupun generatif hingga pemasakan biji. Suhu udara berpengaruh juga pada
proses fotosintesis, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan hara,
transpirasi, aktivitas enzim dan koagulasi protein (Bey dan Las 1991).
Sistem budidaya tanaman erat kaitannya dengan berbagai unsur dari
ekosistem seperti agroklimat, tanah, vegetasi, teknologi dan sosial-ekonomi.
Sasaran budidaya adalah produksi maksimal, optimum secara ekonomis dan
ekologis lestari. Terdapat tiga macam pengaruh antara tanaman , yakni