• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Produktivitas Air Padi Sawah Dengan Sistem Irigasi Pipa Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Produktivitas Air Padi Sawah Dengan Sistem Irigasi Pipa Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PRODUKTIVITAS AIR PADI SAWAH DENGAN

SISTEM IRIGASI PIPA DALAM PENGELOLAAN DAERAH

ALIRAN SUNGAI

NAJLA ANWAR FUADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Produktivitas Padi Sawah dengan Sistem Irigasi Pipa dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Najla Anwar Fuadi

(4)
(5)

RINGKASAN

NAJLA ANWAR FUADI. Kajian Produktivitas Air Padi Sawah dengan Sistem Irigasi Pipa dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Dibimbing oleh MOHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO dan SURIA DARMA TARIGAN.

Kondisi air yang semakin terbatas untuk lahan pertanian dapat menyebabkan penurunan produksi padi. Peningkatan produksi tanaman saat ini menempati prioritas utama dalam pembangunan pertanian. Produktivitas dapat dikaji melalui subsistem tanah, air dan pola lahan untuk penggunaan pada periode tertentu. Aplikasi teknologi irigasi pipa dengan kombinasi sistem pemberian air secara SRI mampu memanfaatkan air dengan efisien. Oleh karena itu penelitian mengenai perhitungan produktivitas air padi sawah yang menggunakan input irigasi pipa dengan sistem pemberian air secara konvensional dan SRI penting untuk dilakukan agar dapat diketahui berapa besar kebutuhan air agar dapat dimanfaatkan secara efisien.

Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang Kabupaten Bogor dan bertujuan untuk (1) menghitung kebutuhan air padi sawah dengan sistem pemberian air secara konvensional dan SRI menggunakan irigasi pipa; (2) menganalisis tingkat produktivitas air dengan sistem pemberian air konvensional dan SRI yang menggunakan teknologi irigasi pipa; (3) mengidentifikasi tingkat produktivitas air dan hubungannya dengan air maya (virtual water) untuk pengelolaan DAS. Berdasarkan tujuan tersebut, maka tahapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) pengamatan langsung di lapangan di petak tersier dengan mengumpulkan data, (2) pengukuran terhadap evapotranspirasi, laju perkolasi, dan (3) perhitungan kebutuhan air netto di sawah dan kebutuhan air maya untuk memproduksi beras.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi pada sawah konvensional lebih tinggi dibandingkan sawah SRI. Laju perkolasi rata-rata pada kedua sawah yaitu 2.57 mm hari-1. Hasil perhitungan kebutuhan netto air di sawah menunjukkan sawah konvensional lebih tinggi dibandingkan sawah SRI. Produktivitas air pada sawah konvensional yaitu 0.82 kg m-3 dan sawah SRI yaitu 1.12 kg m-3. Produktivitas air padi dengan sistem pemberian air secara SRI juga lebih tinggi, dimana kebutuhan air dengan kombinasi irigasi pipa dan sistem pemberian air secara SRI menjadi perlakuan terbaik. Kebutuhan air untuk menghasilkan beras dengan input irigasi pipa lebih sedikit dibandingkan dengan hasil perhitungan air maya dari Direktorat Jenderal SDA dan Hoekstra dan Chapagain.

(6)

SUMMARY

NAJLA ANWAR FUADI. Study on Water Productivity of Rice Field with Pipe Irrigation System in Watershed Management. Supervised by MOHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO and SURIA DARMA TARIGAN.

Water conditions were increasingly restricted to agricultural land may cause a decrease in rice production. Increased crop production currently occupies top priority in agricultural development. Productivity can be assessed through a subsystem of soil, water, and land patterns for use in certain periods. Applications of pipe irrigation technology with the combination of System of Rice Intensification (SRI) capable of using water efficiently. Therefore, research on water productivity of paddy rice calculation which uses input pipe irrigation with the water supply system in a conventional and SRI important to do in order to know how much water needs to be used efficiently.

This research was conducted in Cikarawang, Bogor District and aims to: (1) calculate nett field requirement of paddy with conventional and SRI water supply system that uses pipe irrigation technology; (2) to analyze the level of water productivity with conventional and SRI system with pipe irrigation technology; (3) identify the level of water productivity and its relationship to virtual water for watershed management. Based on these objectives, the method used in this study are (1) direct observation in the paddy field by data collecting, (2) measurement of evapotranspiration and rate of percolation, and (3) the calculation of nett field requirement and virtual water to produce rice.

The results showed that the evapotranspiration values in conventional system higher than SRI. Percolation rate of the average in both the fields is 2.57 mm day-1. The result of net field requirement calculation showed that conventional system higher than SRI. Water productivity in a conventional system is 0.82 kg m-3, SRI is 1.12 kg m-3. Water productivity with SRI water supply system also higher, where the water needs with a combination of pipe irrigation and SRI system be the best treatment. Water requirements for rice production with pipe irrigation input require less water compared with the results of virtual water calculations of the Direktorat Jenderal SDA and Hoekstra and Chapagain.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penuliasan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

KAJIAN PRODUKTIVITAS AIR PADI SAWAH DENGAN

SISTEM IRIGASI PIPA DALAM PENGELOLAAN DAERAH

ALIRAN SUNGAI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan karunia-Nya sehingga thesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah produktivitas air, dengan judul Kajian Produktivitas Air Padi Sawah dengan Sistem Irigasi Pipa dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Moh Yanuar J Purwanto, MS dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dalam penulisan thesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap dosen dan staf Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS dan tak lupa pula terima kasih penulis sampaikan kepada Kemetrian Keuangan RI (LPDP) yang telah membiayai penelitian ini.

Penghormatan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Hj Nurasyiah dan ayahanda Tgk H Anwar Fuadi Abdul Salam yang telah mencurahkan doa dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada abang-abang dan kakak penulis dr Munawar Anwar Fuadi, Farhan Anwar Fuadi, ST, Nurin Fahira, SE, Najwa Anwar Fuadi, SH, M Al-Qadri, S.SiT, MT, dr Irawati, Nola Fajria, SPd dan kepada seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis Yulia Rahmi, Devina Ellyza, Elisa Miranda, Sri Wulan Wijayanti, Intan Keumalasari, Lupita Keumalasari, Raisa Laura, Nuraida, Mariana Lussia Resubun, Muthmainna Marassabesi, Novia Mustika, Sri Malahayati Yusuf, Rini Fitri, Indri Febriani, Afri Fajar, Hermawan Kurnia, Mirza Azmi Husin, Defri Satya Zuma, Khabibi Nurrofi’, Sarif Robo, Haki Yusdinar dan teman-teman di Forum DAS lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu terima kasih atas motivasi, bantuan dan persahabatan yang tulus saat ini. Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran studi ini.

Penulis menyadari bahwa thesis ini belum sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan ikhlas untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat dan penulis persembahkan karya ilmiah ini kepada Bangsa Indonesia, Insya Allah karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Kebutuhan Air Tanaman 5

Kebutuhan Air Irigasi 7

Neraca Air 8

Teknologi Irigasi Pipa 11

Produktivitas Air 11

Air Maya 12

3 METODE 13

Bahan dan Alat 13

Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 13

Prosedur Percobaan 14

Pengamatan Lapangan 14

Pengukuran 16

Pengolahan Data 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Pengukuran Evapotranspirasi dan Laju Perkolasi 19

Perhitungan Kebutuhan Air Netto di Sawah 20

Potensi Hasil Tanaman 21

Produktivitas Air 24

Produktivitas Air dan air Maya dalam Pengelolaan DAS 26

5 SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 32

(16)

DAFTAR TABEL

1 Kelompok tanaman berdasarkan deplesi lengas tanah 9 2 Fraksi deplesi lengas tanah untuk grup tanaman dan maksimum

evapotranspirasi 10

3 Evapotranspirasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah

konvensional 19

4 Evapotranspirasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah SRI 19 5 Laju perkolasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah

konvensional 20

6 Laju perkolasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah SRI 20 7 Jumlah anakan dan anakan produktif sawah konvensional dan SRI 23 8 Berat padi per rumpun dan 1000 butir sawah konvensional dan SRI 23 9 Hasil aktual dan hasil potensial pada sawah konvensional dan SRI 23 10 Perhitungan produktivitas air pada sawah konvensional dan SRI 24 11 Kebutuhan air untuk menghasilkan beras secara Konvensional dan

SRI 26

12 Perhitungan impor air maya berdasarkan data impor beras Aceh

tahun 2011 dan tahun 2012 27

13 Kondisi produksi dan impor beras di DAS Krueng Aceh 28 14 Perhitungan kebutuhan air netto di sawah konvensional 35 15 Perhitungan kebutuhan air netto di sawah SRI 36 16 Jumlah anakan dan anakan produktif sawah konvensional dan SRI 37 17 Berat padi per rumpun dan 1000 butir sawah konvensional dan SRI 37

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 4

2 Lokasi Penelitian 13

3 Sistem Pemberian Air Konvensional 15

4 Sistem Pemberian Air SRI 15

5 Peletakan lysimeter pada petak percobaan 16

6 Pengukuran evapotranspirasi dan perkolasi menggunakan lysimeter 17

7 Flowcart Penelitian 18

8 NFR fase vegetatif dan generatif sawah konvensional dan SRI 21 9 Perbandingan konsumsi air dan produktivitas air sawah konvensional dan

SRI 25

(17)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan vital yang dibutuhkan oleh tanaman. Air menjadi faktor utama yang menentukan tingkat produktivitas, intensitas dan luas tanam potensial setiap lahan pertanian karena tanaman sangat peka terhadap kekurangan air. Ketersediaan air untuk pertanian adalah hal penting dalam produksi tanaman karena air berguna sebagai pengangkut hara tanaman dari tanah ke tempat fotosintesa, mengedarkan hasil fotosintesa dan metabolisme tanaman (Buckman & Brady 1969).

Kondisi air yang ada saat ini semakin terbatas untuk lahan pertanian. Jumlah air irigasi di Irigasi Indonesia saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan air tanaman pada petak lahan pertanian. Hal ini berkaitan dengan menyusutnya air yang tersedia di waduk atau bendungan akibat daerah tangkapan hujan yang berada disekitar waduk yang rusak dan juga jaringan irigasi yang rusak sehingga menyebabkan kehilangan air pada saluran irigasi yang besar sehingga menyebabkan menurunnya produktivitas pertanian (Safarina 2007). Masalah kekurangan air dapat diatasi salah satunya dengan mengetahui berapa jumlah kebutuhan air konsumtif yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk barang atau jasa (virtual water) dan perhitungan produktivitas air, sehingga air yang tersedia dapat dipakai secara tepat dan efisien. Pemakaian air secara tepat bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan air yang tersedia sehingga air dapat diberikan sesuai kebutuhan serta dapat menentukan kebijakan dalam pengelolaan air dengan produktivitas air yang tinggi.

Peningkatan produksi tanaman saat ini menempati prioritas utama dalam pembangunan pertanian. Program yang mendapat perhatian khusus adalah peningkatan produksi padi baik melalui program intensifikasi budidaya tanaman maupun ekstensifikasi lahan pertanian. Selain menggunakan teknologi, peningkatan produksi tanaman dapat dilakukan dengan melihat ketersediaan air dan memperhatikan faktor cuaca terutama untuk meningkatkan intensitas tanaman. Faktor cuaca merupakan faktor primer yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga untuk mendapatkan produksi yang tinggi harus diperhatikan faktor cuaca yang sesuai untuk budidaya padi. Munir (2012) menyatakan neraca air dapat diaplikasikan dalam peningkatan produktivitas agroekosistem. Produktivitas dikaji melalui subsistem tanah, air dan pola lahan untuk penggunaan pada periode tertentu. Analisis produksi dan pertumbuhan dapat dilakukan melalui produksi bobot kering biomassa tanaman pada pola pertanian sawah.

(18)

2

merupakan budidaya organik. Selain itu dalam budidaya padi dengan metode SRI penggunaan air diatur sehingga penggunaan air lebih efisien dan lebih sedikit dibandingkan dengan teknik budidaya padi dengan metode lainnya.

Air yang tersedia harus dapat dikelola sehingga dapat dimanfaatkan seefisien mungkin karena air yang berada di permukaan bumi terdapat dalam jumlah yang tetap dari tahun ke tahun. Melalui sistem irigasi, kebutuhan air selama pertumbuhan dapat tercukupi dengan cara memberikan air dalam jumlah, waktu, dan cara yang efisien dan efektif (Sumarna 1999). Sistem jaringan irigasi pipa memberikan keuntungan antara lain efisiensi air karena tidak terjadi infiltrasi, penguapan dan perembesan sehingga kecukupan air akan terjamin. Irigasi pipa memiliki manfaat meminimalkan kehilangan air di saluran dan tampungan di lahan kering untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP). Selain itu penerapan teknologi memiliki keuntungan untuk meningkatkan fungsi hidrologis suatu DAS. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan guna mengetahui berapa tingkat produktivitas air yang tersedia dengan penerapan metode pemberian air secara Konvensional dan SRI serta penerapan irigasi pipa sehingga penggunaan air dapat dimanfaatkan seefisien mungkin akan tetapi pada saat yang sama dapat meningkatkan hasil tanaman serta pengelolaan DAS.

Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah

Masalah keterbatasan air saat ini merupakan masalah yang sering ditemui di Indonesia. Keterbatasan air menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan air tanaman sehingga menyebabkan penurunan produksi padi. Produktivitas padi dapat dinaikkan dengan memperhatikan faktor ketersediaan dan kebutuhan air di suatu areal persawahan. Air harus dapat dimanfaatkan secara efisien agar kebutuhan air tercukupi. Salah satu teknik yang dapat dilakukan agar dapat memanfaatkan air secara efisien dapat dilakukan dengan penggunaan irigasi pipa dan teknik budidaya padi secara SRI. Pemanfaatan air yang efisien diharapkan mampu memberikan prodiktivitas air dan produksi padi yang tinggi serta dapat menyediakan air untuk kebutuhan lainnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa tingkat produktivitas air dan hasil tanaman padi pada teknologi irigasi pipa dalam rangka pengelolaan daerah aliran sungai.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menghitung kebutuhan air padi sawah dengan sistem pemberian air secara konvensional dan SRI menggunakan irigasi pipa; (2) menganalisis tingkat produktivitas air dengan sistem pemberian air konvensional dan SRI yang menggunakan teknologi irigasi pipa; (3) mengidentifikasi tingkat produktivitas air dan hubungannya dengan air maya (virtual water) untuk pengelolaan DAS.

Manfaat Penelitian

(19)

3

kepada instansi terkait mengenai rencana pengelolaan DAS dalam pemanfaatan air secara efisien dan memberikan produktivitas yang tinggi.

Kerangka Pemikiran

Keterbatasan air untuk pertanian saat ini terjadi baik di daerah kering maupun daerah dengan curah hujan tinggi. Ketersediaan air pada beberapa jaringan irigasi di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan air tanaman pada petakan lahan pertanian. Kerusakan waduk atau bendungan dan jaringan irigasi menyebabkan ketersediaan air semakin menyusut karena besarnya kehilangan air pada saluran irigasi dan akhirnya berdampak pada produktivitan tanaman.

Program peningkatan produksi tanaman menjadi perhatian khusus dan menempati prioritas utama terutama pada produksi padi. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan cara intensifikasi maupun ekstensifikasi lahan. Faktor cuaca merupakan faktor primer yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Produktivitas dikaji melalui subsistem tanah, air dan pola lahan untuk penggunaan pada periode tertentu. Analisis produksi dan pertumbuhan dapat dilakukan melalui produksi bobot kering biomassa tanaman pada pola pertanian sawah (Munir 2012). Neraca air juga memberikan informasi penting dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan mengatur pemberian air yang tersedia sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik.

Aplikasi irigasi pipa dapat memberikan air secara efisien karena kehilangan air yang terjadi hampir tidak ada. Hansen et al. (1979) menyatakan irigasi dapat diartikan sebagai pemberian air tanah untuk mempertahankan kelembaban tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanaman. Melalui sistem irigasi kebutuhan air selama pertumbuhan dapat tercukupi dengan cara memberikan air dalam jumlah, waktu, dan cara yang efisien dan efektif (Sumarna 1999). Teknologi irigasi pipa merupakan enabling factor dalam pelaksanaan pemberian air secara SRI karena teknologi irigasi pipa ini mampu mengatur pemberian air secara intermitten. Pelaksanaan budidaya secara SRI akan berjalan dengan lebih baik dengan adanya instalasi irigasi pipa. Oleh karena itu kombinasi teknologi irigasi pipa dengan sistem pemberian air secara SRI diharapkan mampu memberikan nilai efisiensi dalam pemanfaatan air yang tersedia.

(20)

4

Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran

(21)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Air Tanaman

Evapotranspirasi Potensial (PET) dan Evapotranspirasi Aktual (AET)

Kebutuhan air untuk tanaman adalah kebutuhan air untuk memenuhi evapotranspirasi atau consumptive use tanaman, yaitu air irigasi yang diperlukan untuk memenuhi evapotranspirasi dikurangi curah hujan efektif (Linsey & Franzni 1979). Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi dapat diketahui dengan membedakan evapotranspirasi potensial (PET) dan evapotranspirasi aktual (AET). PET lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, sementara AET dipengaruhi oleh faktor fisiologis tanaman dan unsur tanah (Asdak 1995). Besarnya evapotranspirasi dipengaruhi oleh faktor jenis tanaman dan tingkat pertumbuhan. Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu, kelembaban udara, kecepatan angin serta radiasi matahari dan garis lintang (Doonrenbos & Pruit 1977).

Evapotranspirasi merupakan proses gabungan antara evaporasi dengan transpirasi. Evaporasi adalah air yang hilang dari tanah sekeliling tanaman, permukaan daun dan permukaan air. Transpirasi adalah air yang masuk ke dalam akar tanaman dan di gunakan tanaman atau air yang hilang melalui daun ke atmosfir (Hansen et al. 1979).

Evaporasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah karena pengaruh faktor-faktor iklim. Evaporasi (penguapan) adalah proses perubahan zat cair menjadi gas, proses ini merupakan satu-satunya bentuk transfer yang mengubah air daratan dan lautan menjadi uap yang memasuki atmosfir. Transpirasi adalah suatu proses pada peristiwa uap air meninggalkan tubuh tanaman dan memasuki atmosfir. Besarnya laju transpirasi kurang lebih sama dengan laju evaporasi apabila pori-pori daun (stomata) terbuka (Asdak 1995).

Evaporasi dan transpirasi terjadi secara bersamaan dan tidak mudah membedakan kedua proses tersebut. Terlepas dari ketersediaan air pada lapisan tanah atas, evaporasi dari tanah bertanaman sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari yang mencapai permukaan tanah. Radiasi berkurang setelah masa pertumbuhan karena telah tumbuh dan tanah tertutup tanaman, ketika tanaman kecil, air secara dominan hilang karena proses evaporasi yang terjadi di tanah. Tetapi ketika tanaman telah tumbuh dengan baik dan telah menutupi tanah sepenuhnya, maka transpirasilah yang menjadi proses utama (Allen 1998).

Evapotranspirasi merupakan proses total perpindahan air dari permukaan tanah yang bervegetasi. Besarnya evapotranspirasi dapat diperkirakan dengan metode langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan lysimeter. Sedangkan metode tidak langsung yaitu dengan mengestimasi besarnya evapotranspirasi dengan menggunakan data-data klimatologi. Evapotranspirasi merupakan salah satu mata rantai dalam siklus hidrologi dan komponen penting dalam perhitungan kebutuhan dan ketersediaan air (Asdak 1995).

(22)

6

ETo = C x (W x Rs) (1)

Dimana ETo = evapotranspirasi potensial (mm/hari), Rs = radiasi matahari dalam ekuivalen dengan evaporasi (mm/hari), W = faktor pemberat yang tergantung dari suhu dan ketinggian tempat, dan C = faktor penyesuai yang tergantung dari kelembaban relative rata-rata dan kecepatan angin.

Evapotranspirasi tanaman juga dapat dihitung dengan metode Penman dapat menggunakan persamaan berikut (Doorenbos & Pruit 1977):

Eto = cW.Rn + 1 – f U (ea – ed) (2)

Sedangkan nilai evapotranspirasi maksimum (Etm) atau kebutuhan air konsumtif dapat dihitung dengan rumus:

Etm = Eto x kc (3)

Dimana Etm = evapotranspirasi maksimum (mm/hari), dan Kc = koefisien tanaman yang nilainya tergantung dari tahap pertumbuhan.

Perkolasi

Perkolasi adalah gerakan air kebawah melalui tanah, terutama aliran ke bawah dalam keadaan tanah jenuh atau hampir jenuh (Buckman & Brady 1969). Perkolasi tersebut merupakan kelanjutan dari infiltrasi, yaitu masuknya air dari permukaan tanah ke dalam tanah. Infiltrasi merupakan air yang berada disekitar daerah perakaran dan tersedia bagi tanaman sehingga dapat diserap oleh akar. Sedangkan perkolasi merupakan air yang tidak tersedia karena berada di luar daerah perakaran. Kecepatan rata-rata perkolasi untuk tanaman padi pada ketebalan lapisan tanah atas (top soil) 50 cm untuk beberapa tekstur tanah yaitu tanah dengan tekstur lempung berpasir sebesar 3.0-6.0 mm/hari, lempung 2.0-3.0 mm/hari, lempung liat berdebu 1.5-2.5 mm hari-1 dan lempung berliat sebesar 1.0-2.0 mm hari-1.

Curah Hujan Efektif

Curah hujan merupakan komponen penting dalam hidrologi karena merupakan satu-satunya sumber air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Curah hujan bervariasi menurut waktu dan ruang. Variasi menurut waktu ditandai dengan adanya pergantian musim, sedangkan variasi menurut ruang dipengaruhi oleh adanya uap air, letak geografi dan elevasi setempat.

(23)

7

dimanfaatkan hanya hujan yang dinyatakan sebagai hujan efektif (Re) (Supriatno 2003).

Jumlah curah hujan yang jatuh dan efektif untuk pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas curah hujan, topografi sistem penanaman dan tahap pertumbuhan. Perhitungan curah hujan efektif dapat ditentukan secara empiris (Oldeman & Syariffudin 1977).

Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi adalah air yang digunakan oleh lahan dan tanaman pada selang waktu tertentu. Kebutuhan air irgasi dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1). Kebutuhan air tanaman (Crop Water Requirement/CWR) adalah evapotranspirasi atau consumptive use bagi suatu jenis tanaman; (2). Kebutuhan air lahan (Farm Water Requirement) adalah kebutuhan air untuk suatu unit areal pertanaman; (3). Kebutuhan air untuk irigasi (Irrigation Project Water Requirement/IWR) adalah jumlah kebutuhan air keseluruhan suatu areal irigasi (Partowijoto 1984).

Kebutuhan air irigasi padi sawah meliputi kebutuhan untuk evapotranspirasi, kehilangan air karena perkolasi dan rembesan, disamping itu untuk pengairan awal dibutuhkan sejumlah air untuk penjenuhan tanah. Sedangkan pada tanaman selain padi sawah kehilangan air karena perkolasi dan rembesan tidak termasuk kebutuhan air irigasi. Fungsi air tanaman padi adalah untuk mengatur suhu tanaman dan kondisi kelembaban serta mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Kebutuhan air tanaman penting untuk diketahui agar air irigasi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan. Jumlah air yang diberikan secara tepat, akan merangsang pertumbuhan tanaman dan meningkatkan efisiensi penggunaan air sehingga dapat meningkatkan luas areal tanaman yang bisa diairi. Dalam perancangan sistem irigasi, kebutuhan air untuk tanaman dihitung dengan menggunakan metode prakira empiris berdasar rumus tertentu (Ditjen Pengairan 1986; Purba 2011). Pada saat ini ketersediaan air merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kebutuhan air di sawah. Air yang tidak cukup menyebabkan pertumbuhan padi tidak sempurna bahkan bisa menyebabkan padi mati kekeringan (Rizal et al. 2014).

Jumlah kebutuhan air untuk irigasi pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu jenis tanah, sifat tanah, macam dan jenis tanaman, keadaan iklim, keadaan topografi dan luar komplek areal. Kebutuhan air irigasi dapat dibedakan atas kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman, kebutuhan air untuk petak sawah, dan kehilangan air selama penyaluran (Arsyad 1989).

Perkiraan Kebutuhan bersih air di sawah untuk padi (Net Field Requirement/NFR) sesuai dengan prosedur perencanaan jaringan (Ditjen Pengairan 1986), yaitu sebagai berikut:

NFR = Etm + P – Re + WLR (4)

(24)

8

Nilai kebutuhan air konsumtif untuk perubahan-perubahan fase pertumbuhan tanaman tersebut merupakan nilai koefisien faktor tanaman (kc). Nilai koefisien pertumbuhan tanaman (kc) tergantung jenis tanaman dan periode pertumbuhan tanaman yang ditanam, untuk tanaman jenis yang sama juga berbeda menurut varietasnya (Prastowo 2010). Laju perkolasi sangat tergantung pada sifat-sifat tanah, dan sifat tanah umumnya tergantung pada kegiatan pemanfaatan lahan atau pengolahan tanah. Pada tanah bertekstur lempung berat dengan karakteristik pengolahan (puddling) yang baik, laju perkolasi dapat mencapai 1-3 mm hari-1. Pada tanah-tanah yang bertekstur lempung lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi. Kebutuhan air untuk mengganti lapisan air ditetapkan berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi 1986 KP-01. Besar kebutuhan air untuk penggantian lapisan air adalah 50 mm bulan-1 (atau 3.3 mm hari-1 selama ½ bulan) selama sebulan dan dua bulan setelah transplantasi (Triatmodjo 2013).

Penjenuhan lapisan olah dibutuhkan untuk mengisi pori-pori tanah agar tersedia bagi tanaman, sehingga jumlah air sedikit lebih banyak dari batas kapasitas lapang. Pada umumnya ketersediaan air bagi tanaman merupakan jumlah air yang terdapat diantara batas titik layu permanen dan kapasitas lapang, kecuali untuk tanaman padi sawah (Doorenbos dan Pruit 1977).

Neraca Air

Neraca air diartikan sebagai selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air beserta tanah melalui evapotranspirasi. Dalam perhitungan digunakan satuan tinggi air (mm atau cm) untuk seluruh unsur. Satuan waktu yang digunakan dapat dipilih baik harian, mingguan, dekade, bulanan maupun tahunan sesuai keperluan (Munir 2012). Neraca air tersebut disusun secara klimatologis dan bermanfaat untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah dan penggunaan air tanaman untuk perencanaan tanam tiap kultivar. Secara umum model neraca air disusun berdasarkan persamaan berikut:

Q = Re - Eta ± ∆S (5)

Dimana Q = debit irigasi (mm), Re = curah hujan efektif pada suatu periode (mm), Eta = evapotranspirasi aktual (mm) dan ∆S = perubahan cadangan lengas tanah (mm).

Perhitungan neraca air dihitung berdasarkan persamaan umum model neraca air dimana komponen-komponen neraca air tanaman yang digunakan antara lain:

- Curah hujan

- Data temperatur udara - Data sifat fisik tanah - Data vegetatif penutup

- APWL (Accumulation Potential Water Level)

Perhitungan APWL atau akumulasi potensi kehilangan air dibutuhkan untuk mengetahui potensi kehilangan air pada bulan kering.

-Perubahan Kelembaban Cadangan Lengas Tanah (∆S)

(25)

9

dan kedalaman zona perakaran. Persentase luas penggunaan lahan dan kedalaman zona perakaran diperoleh berdasarkan survei lapangan.

-ETa dengan dua kondisi prasyarat yaitu jika CH ≥ ETo maka ETa = ETo dan jika CH < ETo maka ETa = CH + Perubahan Lengas Tanah

-Defisit : berkurangnya air untuk dievapotranspirasikan sehingga nilai defisit adalah nilai ETo-ETa

-Surplus : kelebihan air ketika CH > ETP dengan rumusan S = CH – ETo – Perubahan Lengas Tanah

Perhitungan neraca air dilakukan untuk mendapatkan informasi ketersediaan air dilapangan sehingga dapat disesuaikan antara ketersediaan dan kebutuhan air sehingga air dapat dimanfaatkan secara efisien.

Cekaman kekeringan yang berlebihan merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi di areal pertanian. Defisit dan cekaman air untuk tanaman berpengaruh terhadap evapotranspirasi dan hasil tanaman. Secara empiris hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Doorenbos & Kassam 1979): produksi, dan 1-Eta/Etm = nisbah pengurangan evapotranspirasi.

Nilai ETa = ETm jika lengas tanah cukup tersedia dan ETa < ETm jika lengas tanah tidak mencukupi. Total lengas tanah tersedia didefinisikan sebagai kolom air per meter kedalaman tanah (mm/m) dimana lengas tanah pada selang antara kapasitas lapang dan titik layu. Apabila lengas tanah mencapai kapasitas lapang maka ETa = ETm, jika lengas tanah berkurang maka sampai pada kondisi tertentu, maka ETa < ETm. Bagian dari total lengas tanah yang tersedia yang dipakai oleh tanaman dideplesikan sampai pada suatu kondisi tertentu, dimana ETa < ETm didefinisikan sebagai fraksi (p) dari total lengas tanah tersedia (Sa) (Doorenbos dan Kassam 1979). Nilai fraksi p (faktor deplesi) ini tergantung pada jenis tanaman dan besarnya Etm (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2).

Tabel 2.1 Kelompok tanaman berdasarkan deplesi lengas tanaha

Grup Tanaman

1 Bawang, lada, kentang

2 Pisang, kubis, anggur, pea, tomat

3 Alfalfa, kacang (bean), jeruk, kacang tanah, nenas, bunga matahari, semangka, gandum

4 Kapas, jagung, olive, safflower, sorghum (cantel), kedelai, gula bit, tebu, tembakau

a

(26)

10 akan terjadi stress air yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan akhirnya juga mempengaruhi hasil tanaman. Pengaruh stress air terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman tergantung pada spesies dan varietas tanaman, besarnya defisit air serta waktu terjadinya defisit air. Setiap tanaman mempunyai karakteristik respon yang berbeda terhadap defisit air. Pada kondisi ETa = ETm, jumlah total bahan kering dan hasil yang diproduksi per unit air yang dikonsumsi (kg/m3) juga berbeda untuk setiap jenis tanaman. Hal ini dapat dinyatakan dengan efisiensi pemanfaatan air tanaman, yang dapat dinyatakan dengan total bahan kering tanaman per m3 air (Em) dan total hasil panen per m3 air (Ey).

Apabila defisit air terjadi pada tahapan periode pertumbuhan tertentu, maka respons tanaman juga akan berbeda tergantung pada kepekaan (sensitivity)

tanaman pada tahapan pertumbuhan tersebut. Secara umum tanaman lebih peka terhadap defisit air pada perioda perkecambahan, pembungaan dan awal pembentukan hasil (yield formation) dari pada awal vegetatif dan pematangan (Munir 2012).

Respon tanaman terhadap defisit air untuk suatu jenis tanaman juga akan berbeda untuk setiap varietas dari jenis tanaman tersebut. Umumnya varietas unggul peka terhadap air, pupuk dan input agronomi lainnya. Varietas lokal kurang peka terhadap defisit air sehingga umumnya lebih cocok untuk daerah tadah hujan (Doorenbos dan Kassam 1979).

Respons tanaman terhadap air tidak dapat diperlakukan secara terpisah dari faktor agronomis lainnya yakni pemupukan, kerapatan tanaman dan perlindungan tanaman, sebab faktor-faktor tersebut juga menentukan hasil aktual (Ya) dan juga hasil maksimum (Ym) yang dapat dicapai. Faktor tanggapan hasil (Ky) merupakan hasil perbandingan antara nilai penurunan hasil relatif (1-Ya/Ym) dan penurunan evapotranspirasi relatif (1-ETa/ETm). Tanggapan hasil tanaman terhadap air (Yield response to water) merupakan fungsi dari hubungan hasil tanaman terhadap pasokan air irigasi. Jumlah air irigasi yang diberikan pada tanaman akan menentukan faktor Ky pada tanaman, karena besarnya air irigasi menentukan besarnya nilai Etc (Setiawan et al. 2014).

(27)

11

nisbah produksi Ya < Ym. Respon setiap jenis tanaman berbeda-beda terhadap kekurangan air pada setiap fase pertumbuhannya. Waktu pemberian dan banyaknya air irigasi sangat penting untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dan memaksimalkan produksi.

Dalam program peningkatan produksi dengan cara perbaikan sistem irigasi harus diikuti dengan penggunaan varietas unggul. Respons tanaman terhadap air tidak dapat diperlakukan secara terpisah dari faktor agronomis lainnya yakni pemupukan, kerapatan tanaman dan perlindungan tanaman, sebab faktor-faktor tersebut juga menentukan hasil aktual (Ya) dan juga hasil maksimum (Ym) yang dapat dicapai (Doorenbos & Kassam 1979). Nilai faktor respon hasil tanaman terhadap cekaman air dapat menunjukkan berapa besar pasokan air yang akan diberikan melalui irigasi pipa sehingga memberikan hasil yang optimum pada waktu dan luasan tertentu dan menggunakan sistem pemberian air secara konvensional.

Teknologi Irigasi Pipa

Kinerja suatu sistem irigasi pertanian ditentukan oleh efisiensi air yang didistribusikan, disalurkan dan diberikan serta oleh kecukupan dan keseragaman pemberian air pada lahan pertanian. Pada dasarnya sistem pengairan otomatis merupakan sistem yang dapat mengkontrol pompa air untuk digunakan mengairi lahan pertanaman secara otomatis sehingga diharapkan dengan adanya sistem ini maka pengairan akan lebih efektif dan efisien (Handoko et al. 2011).

Solusi teknis yang operasional dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah peningkatan efisiensi, nilai tambah dan daya saing air untuk mendukung sistem produksi pertanian. Teknologi irigasi modern seperti irigasi tetes dan irigasi pipa yang berbasis komponen lokal perlu diadaptasikan agar kontribusi sumberdaya airterhadap sistem produksi pertanian dapat dioptimalkan sehingga dapat mengurangi dampak kelebihan air pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau (Irianto 2005). Metode untuk meningkatkan hasil pertanian disamping mengembangkan jenis atau mutu tanaman adalah dengan memanfaatkan teknologi jaringan irigasi perpipaan. Keunggulan penggunaan sistem tersebut yaitu meningkatkan efisiensi penggunaan air, menghemat luasan tanah yang digunakan untuk jaringan, mengurangi biaya dan mempermudah pemeliharaan, tidak membahayakan bagi anak kecil, operasi mudah dan juga pembagian air lebh tepat dan cepat dibandingkan saluran terbuka.

Produktivitas Air

(28)

12

termasuk perikanan, peternakan, agroforestri, dan industri perkotaan. Konsep ini mencerminkan menggunakan seminimal mungkin sumber daya air yang semakin langka. Alasan penting untuk meningkatkan produktivitas air di sektor pertanian yaitu untuk memenuhi peningkatan permintaan makanan dari meningkatnya pertumbuhan populasi yang dapat mengakibatkan kekurangan air, untuk memastikan air yang tersedia perlu dilakukan pengalokasian air dari pertanian ke kota-kota dan untuk keperluan lingkungan, untuk memberikan kontribusi bagi pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, penggunaan yang lebih produktif yang dapat mengentaskan kemiskinan dipedesaan, memberikan nutrisi yang lebih baik untuk keluarga, lapangan kerja produktif, dan berkeadilan. Target produktivitas air yang tinggi dapat mengurangi biaya investasi dengan mengurangi jumlah air yang harus diambil (Molden & Oweis 2007).

Efisiensi penggunaan air mutlak diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi air irigasi, oleh karena itu salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah paradigma nilai produktivitas lahan dari hasil produk (produk komoditi) per satuan luas lahan menjadi produktivitas air yaitu hasil persatuan volume air yang digunakan. Produktivitas air tanaman adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang diberikan terhadap tanaman, dengan satuan kg hasil per m3 air yang digunakan.Peningkatan produksi tanaman dengan menggunakan air yang sedikit dapat dilakukan dengan penerapkan konsep produktivitas air tanaman (CWP) melalui sistem irigasi (Prabowo & Wiyono 2006).

Air Maya (Virtual Water)

(29)

13

3 METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu padi varietas IPB 3S, pupuk organik, dan pestisida organik. Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu empat buah lysimeter tertutup dan delapan buah lysimeter terbuka, alat penakar hujan, dan mistar.

Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

Percobaan ini akan dilakukan di Sawah Percobaan Desa Cikarawang Kecamatan Daramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Desa Cikarawang merupakan salah satu desa di Kecamatan Dramaga di Kabupaten Bogor yang termasuk kedalam desa lingkar kampus IPB Dramaga. Desa Cikarawang memiliki jumlah penduduk sekitar 8 245 jiwa dengan luas seluruh wilayah desa 226.56 ha. Desa Cikarawang secara umum berupa dataran yang sebagian besar merupakan persawahan dan memiliki potensi sebagai sumber penghasil beras dengan luas sawah 128.11 ha atau 56.55% dari luas Desa Cikarawang (Ratih 2012). Desa Cikarawang secara administratif berbatasan dengan Sungai Cisadane disebelah utara, Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat disebelah Timur, Sungai Ciapus disebelah Selatan dan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane Barat.

(30)

14

Penelitian ini dilakukan pada Mei 2015 sampai Mei 2016. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian Tanah Bogor.

Prosedur Percobaan

Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode deskriptif. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari pengamatan lapangan dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka, pencatatan data yang sudah ada, wawancara dan hasil penelitian terdahulu. Data primer terdiri dari pengukuran evapotranspirasi tanaman padi, evaporasi, curah hujan, dan perkolasi. Tahap penelitian yang dilakukan yaitu pengamatan lapangan, pengukuran, dan pengolahan data.

Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung di petak tersier. Pengamatan dimulai dengan mengumpulkan data sekunder yang bersumber dari lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu sistem pemberian air irigasi, data curah hujan, evapotranspirasi potensial, temperatur dan data tanah.

Teknologi Irigasi Pipa dan Sistem Pemberian Air

Teknologi irigasi yang digunakan pada penelitian ini adalah irigasi pipa. Pipa yang digunakan berdiameter 6 inci dengan panjang 52 meter. Pipa dilengkapi dengan bola pelampung yang sudah didesain khusus dan akan menutup saluran ketika air di petak sawah sudah tergenang setinggi yang telah ditentukan. Teknologi irigasi pipa dipakai pada kedua petak sawah yaitu sawah konvensional dan sawah SRI.

(31)

15

Gambar 3.1 Sistem pemberian air konvensional

Gambar 3.2 Sistem pemberian air SRI

(32)

16

Pengukuran

Pengukuran Evapotranspirasi dan Laju Perkolasi

Pengukuran evapotranspirasi dan laju perkolasi dilakukan untuk mengetahui berapa besar kehilangan air yang terjadi di lapangan oleh konsumsi tanaman dan air yang hilang kedalam tanah, sehingga diketahui berapa besar kebutuhan air di petak sawah. Petak sawah percobaan konvensional dan SRI masing-masing memiliki luas 400 m2. Pengukuran evapotranspirasi tanaman dilakukan dengan metode pengukuran langsung dilapangan. Pengukuran evapotranspirasi tanaman dan laju perkolasi yang dilakukan langsung dilapang menggunakan susunan tiga buah lysimeter. Lysimeter terbuat dari drum dengan diameter 45 cm dan tinggi 60 cm. Kemudian Lysimeter dimasukkan kedalam tanah kurang lebih 30 cm. Pengukuran untuk masing-masing jumlah kehilangan air pada lysimeter akan dilakukan dua pengulangan. Dalam lysimeter diisi air dengan ketinggian kurang lebih sama dengan ketinggian air di luar lysimeter. Kehilangan air dalam lysimeter

diukur dengan menggunakan mistar setiap hari pada jam yang sama yaitu pada pukul 06.00 WIB. Pengukuran evapotranspirasi dan laju perkolasi dilakukan pada masa vegetatif, generatif dan pemasakan. Peletakan lysimeter di petak sawah dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Peletakan lysimeter pada petak percobaan

(33)

17

genangan pada ketiga tangki tersebut dicatat setiap hari dari awal tanam padi hingga panen.

Perhitungan jumlah kebutuhan air pada setiap proses adalah sebagai berikut: Transpirasi = A – B

Perkolasi = B – C Evapotranspirasi = A – (B – C) Pengukuran Curah Hujan Efektif

Pengukuran curah hujan efektif didapatkan berdasarkan curah hujan yang terjadi di lapangan saat pengamatan berlangsung. Alat penakar hujan yang digunakan yaitu alat penakar hujan tipe observatorium sederhana. Pengukuran curah hujan dilakukan setiap hari selama pengamatan. Curah hujan efektif didapatkan dengan mengurangi curah hujan dengan run off. Pengukuran curah hujan efektif dilakukan untuk mengetahui kebutuhan air netto di sawah.

Teknik Pengambilan Sampel

Pemanenan padi dilakukan pada 100 hari setelah tanam (HST). Sebelum dilakukan pemanenan telah ditentukan sampel tanaman. Sampel yang diambil terdiri dari tiga titik dan tiap titik memiliki tiga ulangan untuk masing-masing sawah konvensional dan SRI. Parameter yang diukur yaitu jumlah anakan, jumlah anakan produktif, berat padi per rumpun dan berat 1000 butir padi. Selanjutnya dihitung berapa besar produktivitas padi secara aktual dan potensial. Produksi aktual dihitung berdasarkan hasil panen yang didapatkan di lapangan. Sedangkan hasil potensial dihitung berdasarkan asumsi berat 1000 butir padi.

Pengolahan Data

Perhitungan Kebutuhan Air Netto di Sawah

Kebutuhan air netto di sawah dapat dihitung setelah diketahui nilai perkolasi, evapotranspirasi tanaman, curah hujan efektif dan pergantian lapisan air

Gambar 3.4 Pengukuran evapotranspirasi dan perkolasi dengan menggunakan

(34)

18

untuk penggenangan. Kebutuhan air netto sawah untuk padi (Net Field Requirement) dihitung dengan persamaan yang ditetapkan oleh Dirjen Pengairan (1986). Hasil perhitungan jumlah kebutuhan air netto di sawah menjadi asumsi jumlah konsumsi air dalam perhitungan produktivitas air.

Produktivitas Air

Produktivitas air melihat rasio antara hasil panen yang diperoleh dengan jumlah air yang diberikan pada tanaman dengan satuan Kg m-3 air atau Kg l-1 air. Semakin tinggi produktivitas air, maka semakin optimal penggunaan air tersebut. Produktivitas air dalam penelitian ini membandingkan antara konsumsi air yang digunakan yaitu yang diperoleh dari perhitungan kebutuhan bersih air dan produksi padi yang diperoleh secara aktual dan potensial. Dalam percobaan ini produktivitas air akan dibandingkan antara petak sawah dengan sistem pemberian secara konvensional dengan petak sawah dengan sistem pemberian air SRI.

Air Maya (Virtual Water)

Konsep analisis air maya diterapkan karena melihat kondisi cadangan air dunia saat ini yang semakin menipis. Usaha penghematan air dan penyelamatan krisis pangan dapat dilakukan dengan mengetahui air maya. Analisis air maya dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan antara air maya yang telah ditetapkan dengan melihat hubungannya dengan produktivitas air yang dihitung dilapangan dalam rangka penghematan SDA dan pengelolaan suatu DAS. Penelitian ini menghitung impor air maya berdasarkan data impor beras yang ada di Aceh pada tahun 2011 dan 2012. Kemudian dari potensi ketersediaan debit air untuk irigasi di DAS Krueng Aceh dilakukan analisis potensi produksi beras dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi beras di DAS Krueng Aceh.

Gambar 3.5 Flowchart Penelitian Mulai

Pengamatan Lapangan Pengukuran di Lapangan

Pengumpulan Data

Irigasi Iklim Data Tanah CH Evapotranspirasi Perkolasi

Pengolahan Data

(35)

19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran Evapotranspirasi dan Laju Perkolasi

Pengukuran Evapotranspirasi

Hasil pengukuran evapotranspirasi tanaman padi pada fase vegetatif, generatif dan pemasakan disajikan pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi tanaman padi pada fase vegetatif sawah konvensional sebesar 7.32 mm hari-1 dan pada sawah SRI sebesar 6.61 mm hari-1. Fase generatif evapotranspirasi tanaman padi pada sawah konvensional sebesar 6.35 mm hari-1 dan pada sawah SRI sebesar 6.09 mm hari-1. Fase pemasakan evapotranspirasi tanaman padi pada sawah konvensional sebesar 6.83 mm hari-1 dan pada sawah SRI sebesar 6.35 mm hari-1. Nilai evapotranspirasi tanaman diperoleh dari hasil pengukuran menggunkan lysimeter dilapangan. Hasil pengukuran evapotranspirasi selama pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 4.1 Evapotranspirasi fase vegetatif generatif dan pemasakan pada sawah

konvensionala

Sumber : Hasil Pengukuran; bHasil Perhitungan Rata-rata antara Evapotranspirasi Vegetatif dan Generatif

Tabel 4.2 Evapotranspirasi fase vegetatif generatif dan pemasakan pada sawah SRIa

Lokasi Evapotranspirasi Tanaman (mm hari

-1

) Vegetatif Generatif Pemasakanb

SRI 1 7.10 6.49 6.79

SRI 2 6.13 5.69 5.86

Rata-rata 6.61 6.09 6.35

a

Sumber : Hasil Pengukuran; bHasil Perhitungan Rata-rata antara Evapotranspirasi Vegetatif dan Generatif

(36)

20

Data pengukuran menunjukkan bahwa konsumsi air tanaman pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan dengan fase generatif dan kemudian meningkat kembali pada fase pemasakan. Fase vegetatif merupakan fase tanaman untuk menghasilkan anakan padi yang produktif dan air yang cukup dibutuhkan tanaman padi pada fase ini. Pada dasarnya kebutuhan air pada fase generatif lebih banyak dibutuhkan dibandingkan pada fase vegetatif. Fase generatif air dibutuhkan untuk inisiasi malai dan fase bunting. Penelitian ini menunjukkan hal sebaliknya, hal ini dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan pada fase generatif. Subagyono et al. (2005) menyatakan pada fase vegetatif konsumsi air tanaman padi berperan sangat penting untuk pembentukan anakan. Peranan air selain pada saat pembentukan anakan juga sangat penting pada awal fase pemasakan. Ibrahim (2008) menjelaskan saat tanaman padi telah memasuki masa reproduktif (fase generatif) sebaiknya pemberian air selama 10 hari dikurangi untuk menghambat pertumbuhan anakan dan selanjutnya air diberikan kembali untuk masa pertumbuhan malai (inisiasi malai) dan fase bunting. Air diperlukan agar dapat memberikan hasil optimum dan memenuhi kebutuhan evapotranspirasi tanaman. Perhitungan Laju Perkolasi

Pengukuran perkolasi dilakukan bersama dengan pengukuran evapotranspirasi. Pengukuran laju perkolasi dilakukan pada fase vegetatif, fase generatif dan fase pemasakan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengukuran laju perkolasi ditempat yang diteliti yaitu 2.57 mm hari-1. Hasil pengukuran laju perkolasi rata-rata pada fase vegetatif, fase generatif dan fase pemasakan ditempat yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. Tabel 4.3 Laju perkolasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah konvensionala

Lokasi Laju Perkolasi (mm hari

-1

)

Vegetatif Generatif Pemasakanb

Konvensional 1 2.77 2.72 2.74

Konvensional 2 2.76 2.39 2.57

Rata-rata 2.77 2.52 2.65

a

Sumber : Hasil Pengukuran; bHasil Perhitungan Rata-rata antara Laju Perkolasi Vegetatif dan Generatif

Tabel 4.4 Laju perkolasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah SRIa

Lokasi Laju Perkolasi (mm hari

-1

)

Vegetatif Generatif Pemasakanb

SRI 1 2.15 2.80 2.47

SRI 2 2.16 2.79 2.47

Rata-rata 2.16 2.85 2.47

a

Sumber : Hasil Pengukuran; bHasil Perhitungan Rata-rata antara Laju Perkolasi Vegetatif dan Generatif

(37)

21

air tanah, lapisan kedap dan topografi. Subagyono et al. (2005) melaporkan secara umum perkolasi pada tanah sawah yang terjadi setiap hari yaitu sebesar 1-10 mm hari-1.

Tanah sebagai media tumbuh mempunyai fungsi yaitu sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran, penyedia kebutuhan primer tanaman untuk melaksanakan aktivitas metabolisme baik selama pertumbuhan maupun untuk berproduksi, penyedia kebutuhan sekunder tanaman yang berfungsi untuk menunjang aktivitasnya supaya berlangsung secara optimum, penyediaan kebutuhan primer dan sekunder tanaman dari adanya aktivitas habitat biota tanah. Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap besar aerasi, ketersediaan air dalam tanah, kemampuan daya serap air, infiltrasi, laju pergerakan air (perkolasi) dan mempengaruhi perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman serta efisiensi dalam pemakaian air irigasi (Hanafiah 2005).

Hasil uji laboratorium didapatkan bahwa tanah sawah pada tempat dilakukannya penelitian bertekstur liat. Djaenuddin et al. (2003) menyatakan tanah dengan tekstur halus-sedang (liat berpasir, liat, liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung berpasir, lempung liat berdebu, lempung, lempung berdebu dan debu) sesuai untuk dijadikan lahan sawah. Prihar et al.

(1985) juga menambahkan tanah yang mempunyai kelas tekstur kasar (pasir, pasir berlempung) dinyatakan tidak sesuai untuk dijadikan sawah, karena tanah tersebut mempunyai laju perkolasi yang tinggi, sehingga penggunaan air menjadi tidak efisien. Kehilangan hara pada tanah seperti ini juga menjadi tinggi. Tanah-tanah dengan kandungan liat 25-50% pada lapisan top soil dan tekstur yang sama atau lebih tinggi pada lapisan sub soil dapat meningkatkan hasil padi.

Perhitungan Kebutuhan Air Netto di Sawah

Perhitungan kebutuhan air netto di sawah (Net Field Requirement) diketahui setelah didapatkan nilai laju perkolasi, evapotranspirasi tanaman, curah hujan efektif dan juga nilai pergantian lapisan air dilapangan. Kebutuhan air netto sawah dihitung dengan menggunakan persamaan yang ditetapkan oleh Dirjen Pengairan (1986). Perhitungan kebutuhan air netto dilakukan pada fase vegetatif, generatif dan pemasakan. Perhitungan kebutuhan air netto di sawah konvensional dan sawah SRI dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 NFR fase vegetatif dan generatif sawah konvensional dan SRI

(38)

22

Gambar 4.1 menunjukkan hasil perhitungan kebutuhan air netto di sawah fase vegetatif, generatif dan pemasakan pada sawah konvensional dan sawah SRI. Kebutuhan air padi sawah konvensional terlihat lebih tinggi dibandingan pada sawah SRI. Kebutuhan air netto pada sawah sangat ditentukan dari kebutuhan air di sawah dan juga dari curah hujan dan pergantian lapisan air yang ada dilapangan. Hasil perhitungan kebutuhan air dilapangan menunjukkan bahwa ada beberapa data yang kebutuhan airnya kosong, hal ini berarti bahwa pada saat tersebut air yang dibutuhkan sudah dapat tercukupi dari adanya curah hujan yang terjadi dan air yang tersedia di sawah saat itu telah melebihi kebutuhan tanaman padi. Perhitungan kebutuhan air netto di sawah dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Penelitian ini diketahui selisih perbedaan kebutuhan air netto di sawah konvensional dan SRI menunjukkan penghematan air bisa mencapai 16% dengan sistem budidaya SRI. Kebutuhan air netto sawah konvensional rata-rata yaitu 6.55 mm hari-1, sedangkan pada sawah SRI kebutuhan air rata-rata 4.67 mm hari-1. Hasil perhitungan kebutuhan air tersebut dapat diasumsikan bahwa kebutuhan air selama satu masa tanam (100 hari) untuk sawah sistem pemberian air secara konvensional membutuhkan air sebanyak 655 mm dan sawah dengan sistem pemberian air secara SRI yaitu 467 mm. Kebutuhan air sawah dengan perlakuan pemberian air secara konvensional lebih besar dibandingkan dengan sistem pemberian air secara SRI. Hal ini disebabkan karena pada sawah konvensional dilakukan penggenangan sedangkan pada sawah SRI pemberian air diberikan secara macak-macak.

Menurut Subagyono et al. (2005) kehilangan air pada lahan sawah beririgasi bervariasi antara 6-10 mm hari-1, oleh karena itu rata-rata jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi padi optimal adalah 180-300 mm bulan-1. Satu periode tanam juga dilaporkan bahwa kebutuhan air untuk seluruh operasional pengelolaan sawah beririgasi adalah 1.240 mm. Masa vegetatif tanaman padi kebutuhan air netto lebih tinggi dan berangsur menurun pada masa pematangan.

Potensi Hasil Tanaman

Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan dua sistem pemberian air yaitu sistem pemberian air secara konvensional dan SRI. Hasil aktual (Ya) panen padi pada sawah dengan sistem pemberian air secara konvensional lebih rendah yaitu 7.25 ton ha-1 jika dibandingkan dengan sawah dengan sistem pemberian air secara SRI yaitu 7.66 ton ha-1. Hasil maksimum (Ym) panen atau potensi hasil padi pada sawah konvensional yaitu 13.39 ton ha-1. dan sawah SRI yaitu 16.36 ton ha-1 (Tabel 4.7). Potensi hasil merupakan hasil panen tertinggi yang dapat diperoleh jika budidaya padi dapat dilakukan dengan baik. Parameter lainnya yang diamati pada penelitian ini yaitu jumlah anakan, jumlah anakan produktif, berat padi per rumpun dan juga berat padi 1000 butir (Tabel 4.5 dan Tabel 4.6).

(39)

23

66.66 g dengan berat 1000 butir g dan berat bulir padi yang dihasilkan per rumpun dengan sistem pemberian air secara SRI yaitu 70.38 g dengan berat 1000 butir yaitu 30.61 g. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa padi dengan sistem pemberian air secara SRI memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pemberian air secara konvensional dan hasil perhitungan tidak memberikan perbedaan yang begitu besar.

Tabel 4.5 Jumlah anakan dan anakan produktif sawah konvensional dan SRIa

Parameter (batang) Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Total Rataan Jumlah Anakan Konvensional 13.67 14.67 16.00 44.33 14.78

Jumlah Anakan SRI 13.00 16.33 16.67 46.00 15.33

Tabel 4.6 Berat padi per rumpun dan 1000 butir sawah konvensional dan SRIa

Parameter (g) Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Total Rataan

Berat Bulir/Rumpun Konvensional 71.47 73.62 54.88 199.97 66.66 Berat Bulir/Rumpun SRI 60.51 75.23 75.41 211.15 70.38

Berat 1000 Butir Konvensional 26.80 25.38 28.19 80.38 26.79

Berat 1000 Butir SRI 28.66 31.59 31.59 91.84 30.61

a

Sumber : Hasil Perhitungan

Tabel 4.7 Hasil aktual dan hasil potensial pada sawah konvensional dan SRIa

Hasil Sawah Hasil Produksi (ton ha-1)

Penelitian ini menggunakan kombinasi input irigasi pipa, penggunaan varietas unggul dan faktor agronomi yang juga diperhatikan. Teknologi irigasi pipa sendiri dapat menghemat penggunaan air sesuai yang dibutuhkan dan dapat mengurangi kehilangan air akibat evaporasi dan kebocoran yang biasa terjadi pada saluran. Penggunaan varietas unggul dengan perawatan yang maksimal juga memberikan produksi yang baik dan toleran terhadap defisit air.

(40)

24

Variety) kurang peka terhadap defisit air sehingga pada umumnya varietas ini akan lebih cocok jika dibudidayakan di daerah tadah hujan. Program peningkatan produksi hasil tanaman dapat dilakukan dengan cara perbaikan sistem irigasi dan harus diikuti dengan penggunaan varietas unggul (Doorenbos dan Kassam 1979).

Produktivitas Air

Produktivitas air (water productivity) adalah rasio antara gabah kering giling yang dihasilkan (kg) dengan konsumsi air (m3). Perhitungan produktivitas air pada sawah konvensional dan sawah SRI dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Perhitungan produktivitas air pada sawah konvensional dan SRIa Sawah

Produksi Padi (Kg) Konsumsi Air (m3)

Produktivitas Air (Kg m-3)

Aktual Potensial Aktual Potensial

Konvensional 7 250 13 390 8 800 0.82 1.52

SRI 7 660 16 360 6 840 1.12 2.39

a

Sumber: Hasil Perhitungan

Konsumsi air dalam satu musim menunjukkan hasil produksi dan produktivitas air yang berbeda pada setiap perlakuan. Penggenangan secara kontinyu pada sistem pemberian air secara konvensional menghasilkan konsumsi air yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pemberian air secara SRI. Produksi hasil aktual padi dengan sistem pemberian air secara konvensional lebih rendah (7 250 kg) dibandingkan dengan produksi padi dengan perlakuan sistem pemberian air secara SRI (7 660 kg). Produksi hasil potensial padi dengan sistem pemberian air secara konvensional yaitu 13 390 kg dan pada sistem pemberian air secara SRI yaitu 16 360 kg. Produktivitas air pada sawah konvensional yaitu 0.82 kg m-3 dan sawah SRI yaitu 1.12 kg m-3, hal ini menunjukkan bahwa sistem SRI memberikan produktivitas yang lebih tinggi. Setiap m3 air yang dikonsumsi padi memberikan produksi sebesar 1.12 kg (aktual) dan 2.39 kg (potensial) dengan sistem pemberian air secara SRI lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pemberian air konvensional yang hanya 0.82 kg (aktual) dan 1.52 kg (potensial).

(41)

25

Gambar 4.2 Perbandingan konsumsi air dan produktivitas air pada sawah konvensional dan SRI

Gambar 4.2 memperlihatkan perbandingan antara konsumsi air dengan produksi padi pada sawah dengan sistem pemberian air secara konvenional dan SRI baik secara aktual dan potensial. Penggenangan secara kontinyu pada sawah konvensional yang menyebabkan konsumsi air lebih tinggi dibandingkan dengan sawah SRI yang sistem pemberian air dilakukan secara terputus-putus (intermittent). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sofiyuddin et al. (2012) dimana pada pola pemberian air secara kontinyu konsumsi air sangat tinggi dan berbeda dengan perlakuan dengan pemberian air secara SRI serta penghematan air pada pemberian air secara SRI bisa mencapai 37%.

Tingkat keberhasilan produksi hasil tanaman sangat ditentukan dari pengelolaan air. Tanaman membutuhkan air dengan volume yang berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. Penyediaan kebutuhan air tanaman salah satunya dapat dilakukan dengan sistem irigasi. Perancangan sistem penyaluran dan sistem irigasi yang tidak tepat dapat meningkatkan kehilangan air baik di saluran maupun di petak sawah. Pemberian air irigasi yang berlebihan akan menyebabkan banyaknya air yang terbuang sehingga terjadi inefisiensi di lapangan. Pemberian air irigasi yang tidak tepat dan tanpa ukuran yang sesuai kebutuhan tanaman juga menyebabkan terjadinya pembusukan akar akibat kelebihan air. Pembusukan akar akibat kelebihan air menyebabkan produktivitas tanaman, efisiensi dan produktivitas air irigasi menjadi rendah. Air yang berlebihan atau kurang juga menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dan berbuah secara optimum.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumsi air dan produktivitas air salah satunya ditentukan dari pola pemberian air. Pemberian air yang tergenang secara terus menerus membutuhkan air lebih tinggi dibandingkan dengan pola pemberian air secara intermittent yang memungkinkan lahan dalam kondisi macak-macak sehingga air yang dibutuhkan tidak terlalu banyak sehingga penggunaan air bisa lebih hemat dan air dapat dimanfaatkan secara efisien. Teknologi irigasi pipa yang dikombinasi dengan sistem pemberian air secara SRI menjadi perlakuan terbaik. Aplikasi keduanya sangat mungkin diterapkan dilapangan untuk tujuan penghematan air dan peningkatan produksi padi, selain

(42)

26

itu pemberian air secara terputus-putus dapat diatur dengan teknologi irigasi pipa ini.

Produktivitas Air dan Air Maya (Virtual Water) dalam Pengelolaan DAS

Produktivitas air menggambarkan konsumsi air untuk menghasilkan produk per satuan kilogram. Perhitungan produktivitas dibutuhkan untuk memberikan arahan agar dapat meningkatkan nilai ekonomi air irigasi. Air dapat dimanfaatkan seefisien mungkin dengan mengetahui produktivitas air sehingga kita dapat mengelola sumber daya air dan secara tidak langsung akan dilakukannya penerapan konservasi terhadap tanah dan air.

Air maya (virtual water) menyatakan jumlah ekuivalen yang dibutuhkan untuk memproduksi atau menghasilkan satu satuan produk atau barang. Konsep ini juga digunakan dalam menghitung air konsumtif produk pertanian yang disertai dengan jumlah kebutuhan air tanaman (evapotranspirasi tanaman). Informasi air maya dapat memberikan arahan dalam penggunaan air yang efisien sehingga penggunaan air dapat berkelanjutan. Tabel 4.9 menunjukkan nilai kebutuhan air hasil perhitungan konsumsi air yang dihitung dilapangan untuk menghasilkan padi dan kemudian ditambahkan dengan kebutuhan air untuk masing-masing proses budidaya padi dari awal hingga menjadi beras.

Tabel 4.9 Kebutuhan air untuk menghasilkan beras secara Konvensional dan SRIa Sawah Peruntukan Kebutuhan Air Jumlah Kebutuhan Air

(m3 air ton-1)

Konvensional

Kebutuhan Air Netto di Sawah (NFR) 1 214 Pengolahan Lahan, Pembibitan, Irigasi 496 Penanaman, Pemeliharaan,

Pemanenan, Penggilingan 78

Total 1 787

SRI

Kebutuhan Air Netto di Sawah (NFR) 882 Pengolahan Lahan, Pembibitan, Irigasi 496 Penanaman, Pemeliharaan,

Pemanenan, Penggilingan 78

Total 1 455

a

Sumber : Direktorat Jenderal SDA, Hoekstra dan Chapagain dan Perhitungan

Tabel 4.9 menunjukkan hasil perhitungan kebutuhan air maya untuk produksi beras secara konvensional dan SRI yang dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan air secara konvensional untuk menghasilkan beras per ton dibutuhkan air sebanyak 1 787 m3, dengan sistem SRI dibutuhkan air sebanyak 1 455 m3. Perhitungan kebutuhan air maya ini merupakan perhitungan kebutuhan air untuk semua proses budidaya padi hingga menjadi beras yang meliputi pengolahan lahan, pembibitan, irigasi, kebutuhan air netto di sawah, penanaman, pemeliharaan (pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan penyiangan), pemanenan dan penggilingan padi.

(43)

27

menghasilkan beras per ton lebih sedikit dibandingkan dengan perhitungan air maya yang telah ditetapkan. Aplikasi irigasi pipa pada tempat penelitian menunjukkan pemberian air dapat terkontrol, sehingga penggunaan air lebih efisien, sedangkan pada perhitungan air maya beras yang dilakukan oleh Hoekstra dan Chapagain dan Direktorat Jenderal SDA perhitungan tersebut merupakan hasil rata-rata kebutuhan air untuk menghasilkan beras baik itu menggunakan input irigasi dan tadah hujan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mengimpor beras dari negara lain untuk pemenuhan kebutuhan beras negaranya. Penelitian ini perbandingan dilakukan dengan melihat data impor beras di Kota Banda Aceh pada tahun 2011 dan 2012. Jumlah impor beras Aceh yaitu sebesar 76 000.76 ton pada tahun 2011 (BPS 2012) dan naik pada tahun 2012 yaitu sebesar 22 201.70 ton (BPS 2013). Kebutuhan akan beras yang tinggi mengharuskan pemerintah agar dapat memproduksi beras lebih banyak agar dapat mengurangi impor beras dari negara lain, karena secara tidak langsung saat adanya impor beras itu berarti kita juga telah melakukan impor air maya beras. Tingginya nilai impor beras dalam negri mengindikasikan bahwa adanya masalah dalam pemenuhan kebutuhan beras, salah satunya yaitu masalah pengelolaan sumber daya air untuk produksi beras itu sendiri. Indonesia sebagai negara agraris harusnya mampu memenuhi kebutuhan beras dan dapat mengurangi impor beras dari negara lain salah satunya dengan mengelola sumber daya air yang ada.

Pengelolaan sumber daya air terpadu salah satunya dapat dilakukan dengan mengetahui jumlah impor air maya. Dasar pendekatan untuk menduga aliran air maya antarnegara (impor air maya) adalah dengan mengalikan volume perdagangan internasional (ton tahun-1) dengan kandungan air mayanya (m3 ton-1). Asumsi ini kemudian digunakan dalam penelitian ini untuk menghitung impor air maya dengan adanya impor beras Aceh yang dilakukan pada tahun 2011 dan 2014 dengan membandingkan dengan perhitungan kebutuhan air dengan input irigasi dan dengan yang tidak menggunakan input irigasi (Tabel 4.10).

Tabel 4.10 Perhitungan impor air maya berdasarkan data impor beras Aceh tahun 2011 dan tahun 2012a

Gambar

Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian
Gambar 3.1 Sistem pemberian air konvensional
Gambar 3.3 Peletakan lysimeter pada petak percobaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tinjauan umum MKA ini merupakan pedoman ideal sebuah MKA yang meliputi pengelolaan MKA, pelaku kegiatan dalam MKA dan fungsi kegiatan yang idealnya dapat diwadahi dalam MKA

Contoh: Ada 2 dari 3 observasi yang berkaitan dengan status « sedang menunggu sinkronisasi » di zona Denah Instalasi (semua lapisan tercampur).. MELAKUKAN

Berdasarkan hasil dan pembahan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan

Enkripsi, dekripsi dan pembuatan kunci untuk teknik enkripsi asimetris memerlukan komputasi yang lebih intensif dibandingkan enkripsi simetris, karena

• Biaya terkait kombinasi bisnis yang dibayar oleh PT A adalah: biaya pencatatan saham Rp20.000; serta biaya konsultan dan profesional Rp40.000... Pencatatan olreh PT A (

Untuk memilih toko furniture murah di jakarta tentunya toko kami lebih dapat dipercaya dibandingkan toko furniture lainnya di jakarta karena kami adalah pembuat langsung furniture

Penelitian dilakukan pada 31 responden yang bekerja sebagai pembimbing praktikum (dosen dan Pranata Laboratorium) di PSIK UR Pengolahan data menunjukkan hasil

Eksistensi teman sebaya sangat urgen dalam menentukan sikap dan perilaku, karena remaja berusaha untuk bebas dari keluarga dan tidak tergantung kepada orang tua,