• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Hematologi Anjing Pelacak Operasional Ras Golden Retriever di Sub Direktorat Satwa POLRI Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Hematologi Anjing Pelacak Operasional Ras Golden Retriever di Sub Direktorat Satwa POLRI Depok"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS GOLDEN RETRIEVER DI SUBDIREKTORAT SATWA POLRI DEPOK

GALUH TYAS UTAMI B04103132

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

 

RINGKASAN

GALUH TYAS UTAMI. Gambaran Hematologi Anjing Pelacak Operasional Ras Golden Retriever di Subdirektorat Satwa POLRI Depok. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan HERA MAHESHWARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hematologi pada anjing ras Golden Retriever yang merupakan anjing pelacak di Subdirektorat Satwa Kepolisian Republik Indonesia yang terletak di daerah Depok. Parameter yang diamati adalah jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai PCV, nilai MCV, nilai MCH, nilai MCHC, jumlah leukosit, dan diferensiasi leukosit. Sampel darah diambil dua kali dalam selang waktu dua minggu dan dalam kondisi yang sama. Hasil penelitian yang diperoleh adalah rata-rata jumlah eritrosit (5,02 ± 0,90) x 106/mm3, rata-rata kadar hemoglobin (9,61 ± 1,12) gr%, rata-rata nilai PCV (30,00 ± 6,30) %, rata-rata nilai MCV (61,98 ± 13,11) fL, rata-rata nilai MCH (20,17 ± 4,01) pg, rata-rata nilai MCHC (32,66 ± 3,32) gr/dL, rata-rata jumlah leukosit (10,90±2,57) x 103/mm3, rata-rata jumlah neutrofil (6,38±1,67) x 103/mm3, rata-rata jumlah eosinofil (0,59±0,89) x 103/mm3, rata-rata jumlah basofil 0, rata-rata jumlah limfosit (3,74±1,72) x 103/mm3, dan rata-rata jumlah monosit (0,07±0,05) x 103/mm3. Terjadinya anemia dan eosinofilia diduga disebabkan oleh adanya infestasi caplak, sedangkan terjadinya limfositosis diduga karena faktor stress akibat latihan atau kerja yang berat.

(3)

 

GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS GOLDEN RETRIEVER DI SUBDIREKTORAT SATWA POLRI DEPOK

GALUH TYAS UTAMI B04103132

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS GOLDEN RETRIEVER DI SUBDIREKTORAT SATWA POLRI DEPOK NAMA : GALUH TYAS UTAMI

NRP : B04103132

Menyetujui,

Dr. drh. Aryani Sismin S, MSc Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan

(5)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 5 November 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Ir. Adjar Sandjojo, MBA dan Ibu Ir. Ni Nengah Himawati.

Pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina pada tahun 1990-1991, Sekolah Dasar Negeri 11 Manado pada tahun 1991-1992, Sekolah Dasar Swasta Saraswati Bali pada tahun 1992, Sekolah Dasar Negeri Pulogebang 20 Pagi Jakarta pada tahun 1992-1996, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 172 Jakarta pada tahun 1996-1999, kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 21 Jakarta pada tahun 1999-2003.

(6)

PRAKATA

Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, berkat kasih sayang dan kuasa Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Hematologi Anjing Pelacak Operasional Ras Golden Retriever di Subdirektorat Satwa POLRI Depok”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc dan Ibu Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, saran, dan nasihat kepada penulis dari awal penelitian hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Rasa terima kasih juga penulis persembahkan dengan penuh hormat kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, serta Adik tersayang yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, semangat, bantuan, dan dukungan yang begitu besar kepada penulis, baik secara moril maupun materiil.

Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Ajun Komisaris Polisi drh. R. Chaindraprasto Saleh, Bripda Wahyu, dan segenap staf di Subdirektorat Satwa POLRI Depok yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan sehingga penulis dapat menjalankan penelitian dengan lancar.

Terima kasih pula kepada seluruh staf Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor atas kerjasama dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penilai atas saran dan nasihat yang telah diberikan.

Penulis juga berterimakasih kepada Ibu Dr. drh. Sri Murtini, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih kepada Umar Salim Hasibuan yang senantiasa memberi semangat, dukungan, bantuan, dan kasih sayang kepada penulis.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada rekan-rekan sepenelitian (Fitri Patmawati dan Gita Widarti Anggayasti) atas kerjasama yang baik dan menyenangkan, serta Giffar Rahman Ajji atas segala bantuan yang telah diberikan. Kepada teman-teman sepermainan (Cecedug, MC, Hani, K8 dkk), seluruh teman-teman angkatan 40, serta teman-teman kost (Jijah, Achy, mbak Erni, mbak Yuli, mbak Ratih, mbak Aline, mbak Kiki, mbak Dian), penulis berterima kasih atas kebersamaan yang indah selama ini. Semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik.

Skripsi ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis tetap berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kedokteran hewan.

(7)
(8)

MCH...  MCHC...  Penghitungan Jumlah Leukosit...  Diferensiasi Leukosit... 

25 26 26 27  

HASIL DAN PEMBAHASAN... 29  

KESIMPULAN DAN SARAN... 37  

DAFTAR PUSTAKA... 38  

(9)

 

DAFTAR TABEL

(10)

DAFTAR GAMBAR

1. Skema Hematopoiesis... 4

2. Morfologi Eritrosit pada Anjing... 6

3. Morfologi Neutrofil pada Anjing... 11

4. Morfologi Eosinofil pada Anjing... 12

5. Morfologi Basofil pada Anjing... 12

6. Morfologi Limfosit pada Anjing... 13

7. Morfologi Monosit pada Anjing... 14

8. Morfologi Trombosit pada Anjing... 15

9. Indera Penciuman Anjing... 19

10. Anjing Ras Golden Retriever... 21

11. Kamar Hitung pada Hemositometer... 24

12. Grafik Jumlah Eritrosit... 29

13. Grafik Kadar Hemoglobin... 29

14. Grafik PCV... 29

15. Grafik MCV... 32

16. Grafik MCH... 32

17. Grafik MCHC... 32

(11)

GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS GOLDEN RETRIEVER DI SUBDIREKTORAT SATWA POLRI DEPOK

GALUH TYAS UTAMI B04103132

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

 

RINGKASAN

GALUH TYAS UTAMI. Gambaran Hematologi Anjing Pelacak Operasional Ras Golden Retriever di Subdirektorat Satwa POLRI Depok. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan HERA MAHESHWARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hematologi pada anjing ras Golden Retriever yang merupakan anjing pelacak di Subdirektorat Satwa Kepolisian Republik Indonesia yang terletak di daerah Depok. Parameter yang diamati adalah jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai PCV, nilai MCV, nilai MCH, nilai MCHC, jumlah leukosit, dan diferensiasi leukosit. Sampel darah diambil dua kali dalam selang waktu dua minggu dan dalam kondisi yang sama. Hasil penelitian yang diperoleh adalah rata-rata jumlah eritrosit (5,02 ± 0,90) x 106/mm3, rata-rata kadar hemoglobin (9,61 ± 1,12) gr%, rata-rata nilai PCV (30,00 ± 6,30) %, rata-rata nilai MCV (61,98 ± 13,11) fL, rata-rata nilai MCH (20,17 ± 4,01) pg, rata-rata nilai MCHC (32,66 ± 3,32) gr/dL, rata-rata jumlah leukosit (10,90±2,57) x 103/mm3, rata-rata jumlah neutrofil (6,38±1,67) x 103/mm3, rata-rata jumlah eosinofil (0,59±0,89) x 103/mm3, rata-rata jumlah basofil 0, rata-rata jumlah limfosit (3,74±1,72) x 103/mm3, dan rata-rata jumlah monosit (0,07±0,05) x 103/mm3. Terjadinya anemia dan eosinofilia diduga disebabkan oleh adanya infestasi caplak, sedangkan terjadinya limfositosis diduga karena faktor stress akibat latihan atau kerja yang berat.

(13)

 

GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS GOLDEN RETRIEVER DI SUBDIREKTORAT SATWA POLRI DEPOK

GALUH TYAS UTAMI B04103132

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(14)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS GOLDEN RETRIEVER DI SUBDIREKTORAT SATWA POLRI DEPOK NAMA : GALUH TYAS UTAMI

NRP : B04103132

Menyetujui,

Dr. drh. Aryani Sismin S, MSc Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan

(15)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 5 November 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Ir. Adjar Sandjojo, MBA dan Ibu Ir. Ni Nengah Himawati.

Pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina pada tahun 1990-1991, Sekolah Dasar Negeri 11 Manado pada tahun 1991-1992, Sekolah Dasar Swasta Saraswati Bali pada tahun 1992, Sekolah Dasar Negeri Pulogebang 20 Pagi Jakarta pada tahun 1992-1996, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 172 Jakarta pada tahun 1996-1999, kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 21 Jakarta pada tahun 1999-2003.

(16)

PRAKATA

Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, berkat kasih sayang dan kuasa Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Hematologi Anjing Pelacak Operasional Ras Golden Retriever di Subdirektorat Satwa POLRI Depok”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc dan Ibu Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, saran, dan nasihat kepada penulis dari awal penelitian hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Rasa terima kasih juga penulis persembahkan dengan penuh hormat kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, serta Adik tersayang yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, semangat, bantuan, dan dukungan yang begitu besar kepada penulis, baik secara moril maupun materiil.

Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Ajun Komisaris Polisi drh. R. Chaindraprasto Saleh, Bripda Wahyu, dan segenap staf di Subdirektorat Satwa POLRI Depok yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan sehingga penulis dapat menjalankan penelitian dengan lancar.

Terima kasih pula kepada seluruh staf Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor atas kerjasama dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penilai atas saran dan nasihat yang telah diberikan.

Penulis juga berterimakasih kepada Ibu Dr. drh. Sri Murtini, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih kepada Umar Salim Hasibuan yang senantiasa memberi semangat, dukungan, bantuan, dan kasih sayang kepada penulis.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada rekan-rekan sepenelitian (Fitri Patmawati dan Gita Widarti Anggayasti) atas kerjasama yang baik dan menyenangkan, serta Giffar Rahman Ajji atas segala bantuan yang telah diberikan. Kepada teman-teman sepermainan (Cecedug, MC, Hani, K8 dkk), seluruh teman-teman angkatan 40, serta teman-teman kost (Jijah, Achy, mbak Erni, mbak Yuli, mbak Ratih, mbak Aline, mbak Kiki, mbak Dian), penulis berterima kasih atas kebersamaan yang indah selama ini. Semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik.

Skripsi ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis tetap berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kedokteran hewan.

(17)
(18)

MCH...  MCHC...  Penghitungan Jumlah Leukosit...  Diferensiasi Leukosit... 

25 26 26 27  

HASIL DAN PEMBAHASAN... 29  

KESIMPULAN DAN SARAN... 37  

DAFTAR PUSTAKA... 38  

(19)

 

DAFTAR TABEL

(20)

DAFTAR GAMBAR

1. Skema Hematopoiesis... 4

2. Morfologi Eritrosit pada Anjing... 6

3. Morfologi Neutrofil pada Anjing... 11

4. Morfologi Eosinofil pada Anjing... 12

5. Morfologi Basofil pada Anjing... 12

6. Morfologi Limfosit pada Anjing... 13

7. Morfologi Monosit pada Anjing... 14

8. Morfologi Trombosit pada Anjing... 15

9. Indera Penciuman Anjing... 19

10. Anjing Ras Golden Retriever... 21

11. Kamar Hitung pada Hemositometer... 24

12. Grafik Jumlah Eritrosit... 29

13. Grafik Kadar Hemoglobin... 29

14. Grafik PCV... 29

15. Grafik MCV... 32

16. Grafik MCH... 32

17. Grafik MCHC... 32

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Darah adalah cairan ekstraseluler yang beredar dalam tubuh melalui saluran berupa pembuluh darah dan merupakan bagian dari sistem sirkulasi. Fungsi darah antara lain membawa O2 dan CO2 dalam tubuh, membawa nutrisi ke seluruh tubuh, membawa sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh, membawa air dan elektrolit, sebagai pertahanan tubuh melawan penyakit, serta menjaga keseimbangan suhu dan pH tubuh (Swenson and Reece 1993).

Peranan darah terhadap tubuh sangat penting dilihat dari fungsi utamanya sebagai sarana transportasi zat-zat metabolik. Gambaran darah dapat memberikan informasi tentang kondisi kesehatan. Salah satu cara untuk mengetahui keadaan darah adalah dengan menganalisa nilai-nilai gambaran darah tersebut. Gambaran darah yang tidak normal dapat mengindikasikan adanya gangguan dalam tubuh.

Salah satu jenis hewan yang memerlukan perhatian khusus terhadap kondisi kesehatannya adalah anjing pelacak. Kemampuan istimewanya yang berupa penciuman tajam dimanfaatkan kepolisian untuk membantu jalannya penyelidikan kasus-kasus tertentu seperti pelacakan narkotika atau pembunuhan. Ras anjing yang sering digunakan sebagai anjing pelacak antara lain Golden Retriever, German Shepherd, Rottweiler, Dobermann Pinscher, Labrador Retriever, dan lain-lain. Anjing pelacak yang digunakan memerlukan persiapan khusus sebelum bertugas. Latihan rutin, perawatan, dan pemeriksaan kesehatan akan mempengaruhi kualitas kinerja anjing tersebut.

Golden Retriever terkenal sebagai anjing yang ramah dan bersahabat dengan manusia. Anjing ini sangat populer sebagai hewan peliharaan kesayangan keluarga karena memiliki temperamen lembut dan senang bermain dengan anak-anak. Golden Retriever juga dinilai sebagai salah satu ras yang cocok menjadi anjing pelacak karena memiliki insting dan penciuman yang sangat tajam, gusi yang kuat, dan kecerdasan (Rees 1993).

(23)

tentang gambaran darah anjing pelacak sebagai acuan pemeriksaan. Penelitian ini menyajikan data gambaran darah anjing pelacak ras Golden Retriever di Subdirektorat Satwa Kepolisian Republik Indonesia yang terletak di daerah Depok. Data gambaran darah ini diharapkan dapat menjadi indikator saat terjadi suatu penyakit pada anjing Golden Retriever.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran darah anjing pelacak ras Golden Retriever yang merupakan keturunan dari anjing-anjing impor yang telah didomestikasi di Subdirektorat Satwa POLRI Depok, meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai PCV, nilai MCV, nilai MCH, nilai MCHC, jumlah leukosit, dan diferensiasi leukosit.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data gambaran darah anjing pelacak ras Golden Retriever sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya, khususnya yang berhubungan dengan penyakit dan diharapkan dapat menjadi informasi mengenai status kesehatan anjing.

 

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Darah

Darah adalah jaringan cair yang beredar dalam tubuh melalui saluran berupa pembuluh darah (Deldar 1998). Darah berfungsi membawa zat-zat nutrien dari saluran pencernaan ke jaringan tubuh, membawa produk akhir metabolisme dari sel-sel organ ke organ ekskresi, membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan, membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru, dan mengedarkan sekresi kelenjar endokrin ke seluruh tubuh. Darah juga membantu tubuh mempertahankan suhu, menjaga kestabilan konsentrasi air dan elektrolit dalam sel, mengatur konsentrasi ion hidrogen dalam tubuh, dan sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme (Swenson and Reece 1993).

Darah terdiri atas benda-benda darah dan cairan plasma. Benda-benda darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan trombosit (platelet atau keping-keping darah). Plasma darah terdiri dari 91% air dan 9% zat terlarut (Deldar 1998). Volume darah umumnya mencapai sekitar 8 -10% dari total berat badan (Reece 2006). Pada anjing, volume darah adalah 90 ml per kilogram berat badan (Anonimb 2007). Volume total darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, spesies, berat badan, dan lain-lain. (Clarenburg 1992). Darah umumnya memiliki pH sekitar 7,4. Darah pada pembuluh vena sedikit lebih asam daripada darah arteri. Keasaman yang lebih tinggi tersebut disebabkan oleh kandungan CO2 yang terdapat dalam darah vena. Reaksi antara CO2 dan H2O menghasilkan ion H+ dan HCO3-. Ion H+ itulah yang mengakibatkan keasaman yang tinggi dan pH yang rendah. Pada anjing, kisaran pH normal adalah 7,31 – 7,42 (Reece 2006).

(25)

hematopoietik juga tersebar di sumsum tulang, limpa, limfonodus, dan timus embrio dan melakukan hematopoiesis. Pada hewan dewasa, darah dibentuk di sumsum tulang. Aktivitas hematopoiesis bergantung pada kemampuan sumsum tulang untuk menginduksi dan mengendalikan suatu kumpulan sel-sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi bermacam-macam jenis sel darah (Deldar 1998).

Gambar 1. Skema Hematopoiesis Sumber : Deldar (1998)

(26)

Eritrosit

Eritrosit dikenal juga sebagai Red Blood Cell (RBC) atau sel darah merah. Fungsi eritrosit adalah membawa gas-gas berupa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Sepertiga bagian dari eritrosit adalah hemoglobin. Hemoglobin memberi warna merah pada eritrosit dan berperan utama dalam membawa gas-gas tersebut (Clarenburg 1992).

Eritrosit berasal dari sel hemositoblast yang dibentuk secara terus-menerus dari sel induk primordial sumsum tulang. Hemositoblast membentuk eritroblast basofil yang mulai mensintesis hemoglobin, kemudian menjadi eritroblast polikromatofilik yang mengandung campuran zat basofilik dan hemoglobin merah. Selanjutnya, inti sel mengecil sedangkan hemoglobin terbentuk lebih banyak sehingga menjadi normoblast. Normoblast kemudian berubah menjadi retikulosit dimana inti sel lama-kelamaan menghilang, dan sitoplasma terisi hemoglobin dan sedikit retikulum endoplasma basofilik. Retikulosit masuk ke dalam kapiler darah secara diapedesis (menyelip melalui pori membran). Retikulum endoplasma yang tersisa masih membentuk sedikit hemoglobin selama satu atau dua hari, kemudian menghilang. Setelah itu sel menjadi eritrosit matang (Guyton and Hall 1997).

(27)

karbondioksida dapat dieliminasi dengan cepat dari tubuh ke paru-paru. Pada anjing, bentuk eritrosit yang bikonkaf terlihat jelas (Swenson and Reece 1993).

Eritrosit memiliki ukuran, umur, jumlah, dan bentuk yang bervariasi pada tiap spesies (Swenson and Reece 1993). Anjing merupakan hewan domestik yang memiliki ukuran eritrosit terbesar, yaitu 7 μm (Deldar 1998). Masa hidup eritrosit anjing adalah 100-120 hari (Reece 2006). Jumlah eritrosit normal pada anjing adalah 5,6 - 8,7 juta /mm3 (Foster et al. 2007). Eritrosit anjing berukuran relatif besar, seragam, dan berbentuk cakram bikonkaf. Eritrosit terlihat sebagai sebuah sel yang memiliki daerah berwarna pucat di bagian tengah (Anonime 2007). Komposisi eritrosit pada mamalia dewasa terdiri dari 62 - 72 % air, dan sekitar 35% zat terlarut. Sebagian besar zat terlarut tersebut terdiri atas 95% hemoglobin. Sisanya terdiri dari lemak, enzim, vitamin, dan mineral (Swenson and Reece 1993).

Gambar 2. Morfologi Eritrosit pada Anjing Sumber : Anonime (2007)

(28)

sebanyak 1,34 ml (Swenson and Reece 1993). Kadar hemoglobin normal pada anjing adalah 14 - 20 g% (Foster et al. 2007).

Persentase volume eritrosit dari volume keseluruhan darah setelah sentrifugasi dikenal dengan sebutan PCV (Packed Cell Volume) atau hematokrit (Swenson and Reece 1993). Nilai PCV normal pada anjing adalah 40 - 59% (Foster et al. 2007) Nilai PCV menunjukkan ukuran eritrosit (Anonima 2006) dan jumlah eritrosit (Anonim 2005), sehingga mengindikasikan dua kemungkinan, yaitu jumlah eritrosit yang sedikit, atau jumlah eritrosit normal tetapi ukurannya kecil. Peningkatan nilai PCV yang abnormal dapat disebabkan antara lain oleh dehidrasi, asphyxia, atau kegembiraan. Reece dan Wahlstrom menyatakan bahwa kegembiraan pada anjing dapat menyebabkan peningkatan nilai PCV sebesar 9 -13%. Epinefrin yang dihasilkan saat gembira menyebabkan kontraksi limpa sehingga terjadi pelepasan eritrosit (Swenson and Reece 1993).

Peningkatan konsentrasi eritrosit disebut polisitemia. Polisitemia terbagi atas tiga macam, yaitu polisitemia vera atau polisitemia primer, polisitemia sekunder, dan polisitemia relatif. Polisitemia primer merupakan sebuah penyakit pada sel induk hematologi dimana tidak hanya terjadi peningkatan jumlah eritrosit, namun juga terjadi peningkatan granulosit dan trombosit. Polisitemia sekunder adalah sebuah komplikasi dari beberapa jenis penyakit atau kelainan yang megakibatkan peningkatan produksi eritropoietin yang diikuti peningkatan massa eritrosit. Polisitemia relatif merupakan sebuah gejala dimana terjadi penurunan volume plasma darah sehingga seolah-olah terjadi peningkatan massa eritrosit (Rapaport 1987).

(29)

beban kerja jantung yang besar dimana curah jantung meningkat dua kali lipat atau lebih dari normal. Hal ini disebabkan oleh turunnya viskositas darah hingga kurang dari setengah kali nilai normalnya sehingga menurunkan resistensi aliran darah ke perifer dan meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung. Selain itu anemia mengakibatkan hipoksia dimana kekurangan oksigen yang dialami jaringan membuat pembuluh-pembuluh jaringan melebar dan disertai peningkatan pengembalian darah ke jantung jauh lebih tinggi lagi (Guyton and Hall 1997).

Salah satu contoh penyakit pada anjing yang berkaitan dengan eritrosit dan perubahan gambaran darah adalah Immune-Mediated Hemolytic Anemia (IMHA). IMHA adalah suatu kondisi dimana sistem kekebalan anjing menyerang eritrosit dalam tubuhnya sendiri. Eritrosit akan terlapisi oleh protein antibodi yang akan menyebabkan eritrosit tersebut mengalami kerusakan. Akibatnya adalah anemia, dimana jumlah eritrosit dalam peredaran darah akan berkurang secara nyata (Brooks 2005).

Penegakan diagnosa anemia membutuhkan penunjang berupa indeks eritrosit. Indeks eritrosit adalah ketentuan yang dihitung setelah jumlah eritrosit dihitung dan nilai PCV dan konsentrasi hemoglobin telah diketahui. Indeks eritrosit terdiri dari tiga macam, yaitu MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), dan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration). Ketiga indeks tersebut saling berhubungan dan menggambarkan nilai dari sebuah eritrosit (Reece 2006).

MCV (Mean Corpuscular Volume)

(30)

terjadi adalah tubuh mengalami kegagalan pembentukan eritrosit. Kegagalan pembentukan eritrosit ini dapat merupakan manifestasi kegagalan organ eritropoiesis yaitu sumsum tulang. Nilai MCV yang besar menunjukkan adanya anemia megaloblastik, dengan sel darah merahnya besar dan berwarna muda. (Anonimc 2007). Nilai MCV yang besar dapat juga disebut anemia makrositik, dimana eritrositnya berukuran besar. Sel yang berukuran besar tersebut dapat diakibatkan oleh adanya tahapan pematangan eritrosit yang terlewati dan ditemukan pada kelainan eritropoiesis dengan pematangan inti sel yang abnormal dan juga ketika produksi eritrosit terstimulasi oleh eritropoietin (Rapaport 1987). Penyebab yang lebih umum dari anemia makrositik adalah defisiensi vitamin B12 atau asam folat (Nordenson 2006).

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)

MCH adalah berat rata-rata hemoglobin yang terkandung dalam sebuah eritrosit (Cunningham 1997). Anjing memiliki kisaran nilai MCH normal yaitu 19,5 – 24,5 pg (Anonimb 2007). Nilai MCH meningkat bila terjadi anemia makrositik, dan menurun pada anemia mikrositik (Anonimd 2007).

MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)

(31)

keadaan darah yang encer akibat peningkatan cairan plasma atau kehilangan sejumlah eritrosit (Cunningham 1997).

Leukosit

Leukosit berfungsi untuk mempertahankan tubuh dari serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan sel-sel rusak atau abnormal (Kelly 1984). Pertahanan tubuh ini dilakukan melalui dua cara yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis, serta membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan (Guyton and Hall 1997). Jumlah leukosit dalam peredaran darah sangat kecil bila dibandingkan dengan eritrosit. Pada anjing, perbandingan jumlah antara eritrosit dan leukosit adalah 600:1 (Swenson and Reece 1993). Jumlah leukosit pada anjing berkisar antara 6.000 - 17.000/mm3 (Jain 1993). Leukosit dibedakan menjadi granulosit dan agranulosit. Granulosit memiliki ciri-ciri berupa adanya granula-granula pada sitoplasmanya. Berdasarkan reaksinya terhadap eosin, granulosit terbagi dalam 3 macam yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil. Agranulosit terbagi dalam 2 macam yaitu limfosit dan monosit (Swenson and Reece 1993).

Leukosit memiliki masa hidup yang relatif singkat. Granulosit berada dalam darah selama 6-20 jam, sedangkan pada jaringan sekitar 2 - 3 hari. Monosit berada dalam pembuluh darah selama 24 jam atau kurang, namun di dalam jaringan dapat mencapai beberapa bulan. Limfosit memiliki masa hidup yang bervariasi. Masa hidup limfosit T cenderung lama yaitu 100-200 hari, sedangkan limfosit B cenderung singkat yaitu 2 - 4 hari. Akan tetapi sel memori T dan B memiliki masa hidup selama bertahun-tahun (Reece 2006).

Neutrofil

(32)

muda memiliki nukleus yang terlihat seperti pita (band) sehingga dinamai neutrofil band (Swenson and Reece 1993).

Neutrofil merupakan bentuk pertahanan pertama yang dimiliki tubuh dalam melawan infeksi mikrobial (Deldar 1998). Granula pada neutrofil mengandung lisosom, yang memakan benda-benda asing seperti bakteri, virus, dan sisa-sisa sel (Swenson and Reece 1993). Neutrofil sangat reaktif, bersama makrofag biasanya menjadi sel darah putih pertama yang mendatangi bagian tubuh yang mengalami luka (Martini et al. 1992). Neutrofil mengalami diapedesis dan bergerak amuboid menuju jaringan yang terluka dengan cara kemotaktik. Jumlah neutrofil berbeda pada tiap spesies (Swenson and Reece 1993). Jumlah normal neutrofil pada anjing berkisar antara 3.000 - 12.000/mm³ (Foster et al. 2007).

Gambar 3. Morfologi Neutrofil pada Anjing Sumber : Anonima 2007

Eosinofil

(33)

Jumlah eosinofil normal pada anjing adalah sekitar 0 – 1.900/mm³ (Foster et al. 2007).

Gambar 4. Morfologi Eosinofil pada Anjing Sumber : Anonima 2007

Basofil

Basofil memiliki diameter 10 - 12 mikron (Dellmannn and Brown 1987). Granula-granula yang terdapat dalam sitoplasmanya berwarna biru tua kehitaman (Haen 1995). Granula tersebut telihat dengan pewarnaan alkalis. Basofil diproduksi di sumsum tulang dan secara histologis, basofil mirip dengan sel mast yang terdapat di sekitar pembuluh kapiler (Swenson and Reece 1993).

Fungsi basofil adalah membangkitkan reaksi inflamasi akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 1988). Pada lokasi inflamasi, basofil bersama-sama dengan sel mast menghasilkan heparin, histamin, bradikinin, serotonin, dan enzim-enzim lisosom. Keduanya juga memiliki reseptor untuk immunoglobulin E (IgE) yang dihasilkan pada reaksi alergi (Swenson and Reece 1993). Basofil mencapai jaringan yang rusak dengan keluar dari endotel kapiler dan melepaskan granula-granulanya ke cairan interstisial (Martini et al. 1992). Jumlah basofil pada anjing sangat sedikit yaitu kurang dari 100/mm³dari jumlah total leukosit (Foster et al. 2007).

Gambar 5. Morfologi Basofil pada Anjing Sumber : Anonima 2007

(34)

Limfosit memiliki nukleus yang besar dengan sitoplasma yang mengelilinginya. Tempat pembentukan limfosit adalah jaringan limfoid. Limfosit sangat berperan penting dalam kekebalan karena memproduksi antibodi, terutama IgG. Limfosit bersifat motil namun tidak fagositik. Limfosit terbagi menjadi limfosit B dan limfosit T (Swenson and Reece 1993). Limfosit B berperan dalam kekebalan humoral melalui perlindungan oleh antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam kekebalan seluler yang masuk ke jaringan dan secara langsung menyerang benda-benda asing (Martini et al. 1992).

Limfosit diproduksi selama masa fetal di sumsum tulang dan dipengaruhi oleh beberapa fungsi baik oleh kelenjar thymus untuk limfosit T maupun ”bursal equivalent” untuk limfosit B. Pada akhir masa fetal dan postnatal kebanyakan limfosit diproduksi di limpa, limfonodus dan usus yang berhubungan dengan jaringan limfoid. Limfopoiesis pada organ limfoid sekunder bergantung pada stimulasi antigenik (Meyer et al. 1992). Jumlah normal limfosit pada anjing adalah 530 – 4.800/mm³ (Foster et al. 2007).

Gambar 6. Morfologi Limfosit pada Anjing Sumber : Anonima 2007

Monosit

Monosit memiliki ukuran paling besar dibandingkan leukosit lain dalam peredaran darah (Haen 1995). Ukuran diameternya sekitar 15 - 20 mikron (Dellmann and Brown 1987). Monosit hanya memiliki satu nukleus, bersifat motil dan fagositik (Swenson and Reece 1993). Jumlah monosit normal pada anjing adalah sekitar 0 - 1.800/mm3 (Foster et al. 2007)

(35)

al. 1992). Monosit dalam aliran darah maupun makrofag dalam jaringan dikenal dengan sistem fagositik mononuklear. Sistem fagositik mononuklear tersebut berfungsi menghancurkan partikel asing dan mengolah bahan asing sehingga dapat memberikan respon tanggap kebal (Tizard 1988).

Makrofag mencerna mikroba dan membunuhnya dengan pH mereka, protein yang bersifat bakteriostatik, dan enzim-enzim penghancur. Makrofag membunuh sel-sel tumor ekstraseluler dengan enzim protease. Satu makrofag sanggup memakan bakteri dalam jumlah banyak (hingga 100 atau lebih) dan diameternya dapat bertambah hingga 2 - 3 kali lipat (Swenson and Reece 1993). Beberapa makrofag dapat bersatu menjadi sel raksasa (giant cell) agar mampu memakan benda-beda asing lain yang berukuran lebih besar (Martini et al. 1992).

Makrofag memiliki peranan penting dalam inflamasi karena makrofag mengandung dan mensekresi banyak substansi aktif biologis, termasuk enzim proteolitik, interferon, interleukin-1, komponen komplemen, prostaglandin, dan protein carrier. Makrofag bertanggung jawab dalam pemrosesan dan pembuangan senescent cell dan debris serta filtrasi bakteri dan racun dari darah portal (Meyer et al. 1992).

Gambar 7. Morfologi Monosit pada Anjing Sumber : Anonima (2007)

Trombosit (Platelet atau Keping-keping Darah)

Trombosit merupakan nama lain dari platelet. Hal ini dikarenakan mereka membentuk trombus atau sumbatan bila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Akan tetapi, sebenarnya trombosit merupakan istilah yang salah, sebab ia bukanlah suatu sel, melainkan sitoplasma terbungkus yang terlepas dari sitoplasma suatu sel induk yang terdapat di sumsum tulang, yaitu megakariosit (Haen 1995).

(36)

normal jumlah trombosit pada anjing adalah 100.000 - 400.000/μL. Perhitungan trombosit normal pada anjing sangat bervariasi. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh metode pengambilan dan perhitungan sampel yang tidak terstandarisasi (Hall 1972).

Pada fetus, trombosit dibentuk di hati, limpa, dan sumsum tulang. Pada mamalia dewasa, trombosit dibentuk di sumsum tulang. Jumlah trombosit sangat banyak dalam peredaran darah dan bervariasi pada tiap spesies. Variasi jumlah trombosit juga ditemukan antara hewan tua dan hewan muda. Pada anjing muda, jumlah trombositnya lebih sedikit daripada anjing dewasa. Trombosit cenderung tidak bertahan lama dalam peredaran darah, hanya 8 - 11 hari (Swenson and Reece 1993).

Fungsi trombosit adalah mencegah perdarahan berlebihan dengan menutup dinding pembuluh darah yang terkoyak. Pada kondisi tertentu, misalnya saat perdarahan hebat, kebutuhan akan trombosit meningkat tajam. Hal ini memaksa sumsum tulang untuk melepaskan lebih banyak trombosit, termasuk trombosit prematur. Trombosit yang belum matang tersebut biasanya terlihat berukuran lebih besar dari trombosit normal. Ada pula trombosit yang berukuran lebih kecil dari normal, biasanya ditemukan pada kasus peradangan atau anemia akibat kekurangan zat besi (Haen 1995).

Gambar 8. Morfologi Trombosit pada Anjing Sumber : Anonime (2007)

Plasma Darah

(37)

Fibrinogen merupakan prekursor dari fibrin yang berperan penting dalam proses penggumpalan darah. Plasma darah memiliki warna kuning yang berasal dari pigmen bilirubin dan karoten (Clarenburg 1992). Komposisi plasma darah adalah 91 – 92% air dan 8 – 9% zat terlarut (Deldar 1998).

Anjing

Anjing merupakan hewan peliharaan yang memiliki hubungan paling dekat dengan manusia. Kedekatan hubungan ini salah satunya disebabkan oleh tingkat kecedasannya yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan hewan lain sehingga dapat dilatih untuk membantu manusia. Selain mudah dilatih, anjing juga terkenal sebagai sahabat yang setia bagi manusia dan memiliki kepatuhan yang luar biasa (Prajanto dan Andoko 2004).

Klasifikasi Anjing

Subspesies : Canis lupus familiaris (Linnaeus 1758 dalam Anonimd 2007)

Asal-usul Anjing

(38)

Semua jenis anjing yang ada saat ini memiliki nenek moyang yang sama, yaitu serigala. Charles Darwin meyakini bahwa ada dua spesies yang merupakan nenek moyang anjing domestik saat ini yaitu serigala Canis aureus dan Canis lupus. R.I. Pocock (1935) menyatakan bahwa ada 4 jenis nenek moyang serigala yaitu Serigala Abu-abu utara (Canis lupus), Serigala Gurun kecil dari Arab (Canis lupus arabis), Serigala Asia berkaki pucat (Canis lupus palliper), dan Serigala berambut tebal atau Serigala Cina dari Tibet dan India Utara (Canis lupus laninger) (Sayer 1994). Para peneliti dari Swedia, yaitu Charles Vila dari Universitas Uppsala dan Pater Savoilainen dari Royal Institute of Technology, Stockholm menyimpulkan bahwa anjing-anjing modern yang ada saat ini berasal dari Asia Timur. Hampir 95% populasi anjing modern berasal dari sebuah kelompok gen tunggal serigala abu-abu betina Canis lupus palliper. Serigala abu-abu ini dijinakkan oleh manusia purba pada zaman Paleolitikum di Asia Timur dan belasan ribu tahun kemudian akhirnya menjadi anjing Canis familiaris. Seiring perjalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia, anjing mengalami berbagai perubahan fungsi, yaitu sebagai anjing penggembala, anjing penjaga, anjing perang, dan anjing pelacak (Sianipar et al. 2004).

Sejarah Pemanfaatan Anjing oleh Manusia

Anjing telah berinteraksi dengan manusia sejak zaman prasejarah. Pada masa itu manusia purba hidup nomaden dan pekerjaannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan (food and gathering). Sisa-sisa makanan yang didapat dari hasil buruan tersebut mengundang anjing-anjing liar untuk datang memakannya. Sesuai dengan nalurinya, anjing-anjing liar tersebut akan mengusir kelompok anjing lain serta binatang buas yang mencoba mendekati daerah teritorial mereka. Secara tidak langsung, hal ini melindungi manusia purba dari serangan binatang buas sehingga lama-kelamaan tercipta simbiosis mutualisme antara kawanan anjing tersebut dengan manusia (Sianipar et al. 2004).

Kehebatan Indera Penciuman Anjing

(39)

manusia hanya mampu membedakan sekitar 10.000 jenis bau (Rimmer 2006). Anjing bahkan mampu membedakan bau dari pasangan kembar identik dan mampu mendeteksi bau dari sidik jari hingga kurun waktu enam minggu sejak sidik jari tersebut menempel di kaca (Houpt dan Wolski 1982).

Anjing memiliki total area epitelium olfaktori seluas 150 cm2 (ras German Shepherd), jauh lebih luas dibandingkan kucing, katak, manusia, dan kelinci. Jumlah syaraf olfaktori anjing juga paling banyak dibandingkan mamalia lain, yaitu sekitar 225 juta (Dodd dan Squirrell 1980). Hidung anjing memiliki rongga yang kaya akan pembuluh darah dan ujung-ujung syaraf yang berhubungan dengan pusat olfaktori yang paling berkembang di otak. Oleh sebab itu, hidung anjing jauh lebih sensitif dibandingkan dengan hidung manusia, bahkan mungkin jutaan kali lebih sensitif. Dengan daya penciuman yang luar biasa seperti ini, anjing tidak mudah ditipu. Hidung anjing tidak memiliki kelenjar keringat dan pada keadaan normal bersifat dingin, lembab tetapi tidak berkeringat (Yahya 2004).

Seekor anjing dapat membedakan jenis kelamin hewan, jenis diet, kesehatan, keadaan emosi, atau bahkan membedakan kawan dan lawan hanya dengan mengendus setetes urin. Anjing pelacak mengikuti “jejak biokimia” dari runtuhan sel kulit mati, keringat, molekul bau dan gas. Robert Burton dalam bukunya yang berjudul The Language of Smell menyatakan bahwa anjing memproses molekul bau lebih cepat karena ia memiliki satu set membran pencium bau yang jauh lebih besar dalam hidungnya. Anjing dapat melacak jenis bau dari salju, lumpur, air, atau bahkan abu. Debra Ann Fadool, ahli biologi dari Florida State University, menyatakan bahwa rahasia dari daya cium anjing tersebut adalah suatu zat yang dinamakan Kvi.3 yang banyak terdapat di otak anjing. Zat ini sebenarnya dimiliki juga oleh manusia, tetapi tidak sebanyak seperti yang dimiliki oleh anjing (Woolf 2006).

(40)

mikroskopik, anjing akan sangat cepat mendeteksi runtuhan ini. Setiap manusia memiliki bau yang unik dan anjing memiliki kemampuan yang sangat baik dalam membedakan jejak satu manusia dari manusia lainnya (Rimmer 2006).

Gambar 9. Indera Penciuman Anjing Sumber : Evans (1993)

Jenis-jenis Anjing

(41)

Mastiff. Kelompok toy umumnya berukuran kecil dan dipelihara sebagai teman bermain, contohnya adalah Pomeranian, Poodle, dan Chihuahua (Untung 1999). Anjing Pelacak

Daya penciuman anjing yang luar biasa dimanfaatkan manusia untuk melacak keberadaan obat-obatan terlarang, pelaku kriminal yang melarikan diri, korban musibah, dan lain-lain. Anjing merupakan hewan yang paling banyak dimanfaatkan oleh kepolisian untuk melacak sesuatu. Oleh karena itu, mereka disebut anjing pelacak(Rimmer 2006).

Anjing penjaga digunakan oleh kepolisian Negara Repulik Indonesia sejak tahun 1959. Seorang berkebangsaan Jerman, Ny. Roll Moll, melatih beberapa orang sipil untuk menjadi pelatih anjing pelacak, penjaga, dan penyerang. Para pelatih didikan Ny. Roll Moll tersebut kemudian direkrut oleh POLRI dan menjadi embrio Polisi Pasukan Anjing. Selanjutnya didirikan Depo Pendidikan yang bertugas menyiapkan anjing untuk tugas kepolisian. Pada tanggal 4 Juli 1959, berdasarkan perintah Kepala Jawatan Kepolisian Negara No. Pol. 128/VII/1959, dibentuk Subseksi Brigade Anjing Dinas Kepolisian (BADK/DRK) di Seksi Kejahatan Dinas Reserse Kriminal. Pada perkembangannya, anjing di kepolisian memiliki tugas yang beragam, seperti anjing SAR (Search and Rescue), anjing pelacak umum, anjing penjaga, anjing pendeteksi narkotika dan bahan peledak, bahkan anjing pendeteksi penyebab kebakaran (Sianipar et al. 2004).

Tidak semua ras anjing dapat menjadi anjing pelacak. Pemilihan ras anjing perlu disesuaikan dengan tujuan pemanfaatan. Untuk pelacakan narkoba, banyak digunakan Labrador Retriever, Golden Retriever, dan German Shepherd. Ras lain yang juga dapat digunakan misalnya Fox Terrier (Karjono 2007). Golden Retriever merupakan salah satu ras anjing yang sering digunakan untuk membantu tugas kepolisian. Alasan pemilihan anjing untuk dilatih menjadi anjing pelacak adalah anjing tersebut memiliki kecerdasan, kepatuhan, dan kekuatan dalam bertugas.

(42)

Golden Retriever memiliki rambut tebal yang lurus atau bergelombang, tahan air, dan berwarna keemasan (golden) atau krem, bukan merah atau warna mahogani (Cunliffe 2002). Sebutan Golden disebabkan oleh warna rambutnya yang keemasan bila diterpa sinar. Akan tetapi, tingkat kegelapan warnanya sangat beragam, mulai dari nyaris putih (broken white) hingga yang coklat kemerahan seperti tembaga. Pada awalnya trah ini dibiakkan untuk teman berburu burung dan unggas liar lainnya. Ketika buruan telah tertembak dan jatuh, maka Golden Retriever akan mengambil dan menyerahkannya kepada tuannya secara utuh. Kemampuan inilah yang menyebabkan trah ini disebut Retriever. Tinggi badan Golden Retriever jantan sekitar 23 - 24 inci, sedangkan betina 21,5 - 22,5 inci. Berat badan jantan sekitar 29,5 - 34 kg, sedangkan betina sekitar 25 - 29,5 kg. Dalam klasifikasi AKC (American Kennel Club), Golden Retriever termasuk dalam golongan anjing sport (Anonim 1990).

Golden Retriever merupakan ras hasil persilangan antara Tweed Water Spaniel dengan Yellow Retriever pada abad ke 19. Lord Tweedmouth adalah orang pertama yang memperkenalkan ras ini. Awalnya anjing ini digunakan untuk permainan berburu (retrieve) di lapangan tembak, kemudian dapat pula dijadikan anjing penuntun tuna netra, anjing pelacak narkoba dan bahan peledak, dan pencari jejak (Cunliffe 2002).

(43)
(44)

METODE

Penelitian dilakukan di Subdirektorat Satwa POLRI Depok dan Laboratorium Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Anjing yang diperiksa gambaran darahnya adalah anjing ras Golden Retriever sebanyak 6 ekor yang terdiri atas 4 ekor anjing jantan dan 2 ekor anjing betina yang berusia di atas 3 tahun.

Pengambilan Sampel

Sebelum dilakukan pengambilan sampel darah, semua anjing yang diteliti telah diperiksa kesehatannya. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali dalam selang waktu dua minggu di kennel Subdirektorat Satwa POLRI, Depok. Sampel darah diambil melalui vena cephalica antibrachii dengan menggunakan syringe sebanyak 2 ml. Darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung venoject yang telah dilapisi antikoagulan heparin. Setiap tabung diberi label nama anjing yang diteliti dan dibawa dengan termos berpendingin es untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan gambaran darah di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Parameter Penelitian

Parameter gambaran darah yang diperiksa adalah jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai PCV, nilai MCV, nilai MCH, nilai MCHC, jumlah leukosit, dan diferensiasi leukosit.

Penghitungan Jumlah Eritrosit

(45)

di dalam pipet. Darah dan larutan pengencer Hayem yang ada di dalam pipet dikocok dengan cara pipet diputar membentuk angka 8 selama 30 detik. Lima tetes pertama dikeluarkan dari pipet untuk mengeluarkan larutan pengencer Hayem yang tidak tercampur dengan darah. Ujung pipet disentuhkan perlahan pada kamar hitung hemositometer sampai batas kaca penutup. Darah yang tercampur dengan pengencer dalam pipet diteteskan pada kamar hitung hingga mengendap. Permukaan kamar hitung kemudian ditutup dengan kaca penutup. Jumlah eritrosit pada hemositometer dilihat menggunakan mikroskop. Pembesaran 10x digunakan untuk melihat satu daerah berbentuk persegi besar di tengah kamar hitung. Persegi besar tersebut terbagi menjadi lima daerah hitung yang terlihat pada Gambar 10. Pada setiap persegi kecil, eritrosit yang tepat berada di sepanjang garis sisi kiri dan sisi atas dihitung, sedangkan eritrosit yang berada di sepanjang garis sisi kanan dan sisi bawah tidak dihitung. Hal ini dilakukan agar eritrosit yang sama tidak dihitung dua kali. Penghitungan jumlah eritrosit didasarkan pada empat parameter, yaitu jumlah eritrosit dari kelima daerah hitung, faktor pengenceran sampel darah, luas permukaan kelima daerah hitung, dan kedalaman kamar hitung. Setiap persegi besar terdiri atas 80 persegi kecil yang memiliki luas 1/400 mm² sehingga luas satu persegi besar adalah 80 x 1/400 mm² = 0,2 mm². Kedalaman kamar hitung adalah jarak antara dasar kamar hitung dengan kaca penutupnya, yaitu 0,1 mm sehingga volume daerah hitung adalah 0,1 mm x 0,2 mm² = 0,02 mm³ = 0,02 μL. Selanjutnya, jumlah total eritrosit dihitung dengan rumus berikut :

Jumlah eritrosit/μL = Jumlah eritrosit dalam 0,2 mm² x Faktor Pengenceran Volume

(46)

Gambar 11. Kamar Hitung pada Hemositometer. Penghitungan jumlah eritrosit dilakukan di daerah bernomor 1, 2, 3, 4, dan 5.

Sumber : Haen (1995)

Kadar Hemoglobin

Bahan dan alat yang digunakan adalah larutan HCl 0,1 N, akuades, tabung Sahli, pipet Sahli beserta aspirator, dan alat hemoglobinometer. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0,1 N sampai angka 10. Darah dihisap ke dalam pipet Sahli dengan menggunakan aspirator sampai batas angka 20 (0,02 ml). Ujung pipet dibersihkan dengan tisu yang lembut kemudian darah tersebut dikeluarkan dari pipet dan dimasukkan ke dalam tabung Sahli. Tabung Sahli diletakkan di antara kedua bagian standar warna dalam alat hemoglobinometer dan dibiarkan selama 3 menit hingga terbentuk asam hematin berwarna coklat. Setetes demi setetes akuades ditambahkan ke dalam tabung sambil diaduk sampai warnanya sama dengan warna standar. Tinggi permukaaan cairan pada tabung Sahli dibaca dengan melihat skala kolom gram % (Haen 1995)

PCV (Packed Cell Volume) atau Hematokrit

(47)

reader). Salah satu ujung pipa kapiler disentuhkan ke darah dari arah horizontal hingga darah terhisap dan mengisi 4/5 bagian dalam pipa. Bagian ujung pipa kapiler yang kering disumbat dengan bola penyumbat atau sumbat gabus. Pipa kapiler yang telah disumbat ditempatkan dalam alat sentrifus mikrohematokrit dengan posisi ujung pipa yang disumbat berada di sisi luar. Alat sentrifus kemudian ditutup lalu diputar dengan kecepatan 2500 - 5000 rpm selama 15 menit. Setelah diputar, nilai mikrohematokrit dibaca dengan alat baca mikrohematokrit (Haen 1995).

MCV (Mean Corpuscular Volume)

MCV menunjukkan volume atau ukuran eritrosit rata-rata dalam satuan femtoliter (fL). MCV dihitung dengan membandingkan volume eritrosit per liter darah dengan jumlah eritrosit per liter. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai MCV adalah :

MCV (fL) = Hematokrit (%) x 10 Jumlah eritrosit (x 10 ¹²/L)

Angka 10 merupakan faktor konversi pembacaan hematokrit (dalam %) yang semula satuannya adalah volume sel/desiliter menjadi volume/liter (=1000 ml) (Haen 1995).

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)

MCH adalah berat rata-rata hemoglobin yang terkandung dalam sebuah eritrosit (Cunningham 1997). Satuan yang digunakan dalam MCH adalah picogram (pg = 10-12 g). Nilai MCH didapatkan dari perbandingan kandungan hemoglobin dalam 1 liter darah (g/L) dengan jumlah eritrosit (10¹²/L). Rumus yang digunakan untuk menentukan nilai MCH adalah :

MCH = Hemoglobin (g/dL) x 10 Jumlah eritrosit (x 10 ¹²/L)

(48)

MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)

MCHC adalah konsentrasi hemoglobin yang terkandung dalam tiap desiliter eritrosit (Cunningham 1997). Satuan yang digunakan adalah gram/desiliter (g/dL). Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai MCHC adalah :

MCHC = MCH x 100 MCV Sumber : Haen (1995)

Penghitungan Jumlah Leukosit

(49)

hitung. Luas permukaan keempat daerah hitung adalah 4 mm2. Kedalaman kamar hitung adalah jarak antara dasar kamar hitung dengan kaca penutupnya, yaitu 0,1 mm sehingga volume daerah hitung adalah 0,1 mm x 4 mm² = 0,4 mm³ = 0,4 μL. Selanjutnya, jumlah total leukosit dihitung dengan rumus berikut :

Jumlah leukosit/μL = Jumlah leukosit dalam 4 mm² x Faktor Pengenceran Volume

Sumber : (Haen 1995).

Diferensiasi Leukosit

(50)
(51)

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran darah dapat berubah bila terjadi gangguan fisiologis. Perubahan gambaran darah dapat disebabkan faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stres, siklus estrus dan suhu tubuh. Sedangkan secara eksternal dapat diakibatkan oleh infeksi kuman, perubahan suhu lingkungan, dan fraktura terbuka (Guyton and Hall 1997). Hasil pengamatan gambaran darah pada anjing pelacak ras Golden Retriever di Subdirektorat Satwa POLRI Depok dapat terlihat pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.

Tabel 1. Data Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin, dan Nilai PCV No Nama Jenis

Keterangan : Kisaran normal menurut Foster et al. (2007)

(52)

Jumlah eritrosit normal pada anjing, yaitu 5,6 – 8,7 juta/mm3 (Foster et al. 2007). Dari Tabel 1 terlihat bahwa 4 ekor anjing yaitu Bono, Breden, Nisa, dan Gery memiliki rata-rata jumlah eritrosit yang rendah, sedangkan pada 2 ekor lainnya yaitu Molly dan Mario memiliki rata-rata jumlah eritrosit yang berada dalam kisaran normal. Hal ini mengakibatkan rata-rata jumlah eritrosit dari seluruh anjing yang diteliti menjadi lebih rendah daripada jumlah eritrosit normal.

Rendahnya jumlah eritrosit ini memunculkan dugaan terjadinya anemia. Anemia didefinisikan sebagai kekurangan eritrosit, rendahnya konsentrasi hemoglobin, atau keduanya (Reece 2006). Dalam Guyton and Hall (1997) disebutkan bahwa penyebab yang umum dari anemia antara lain perdarahan, aplasia sumsum tulang karena keracunan obat atau radiasi sinar gamma, kegagalan pematangan karena defisiensi asam folat atau vitamin B12, dan hemolisis yang dapat disebabkan antara lain oleh keracunan obat, penyakit herediter, atau eritroblastosis fetalis dimana antibodi induk merusak eritrosit dalam tubuh janin.

(53)

sehingga tidak mampu melakukan sekresi getah lambung secara normal (Guyton and Hall 1997).

Hal lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya jumlah eritrosit adalah investasi parasit kronis yaitu caplak. Saat dilakukan pengambilan sampel darah, baik pada hari pertama maupun kedua, ditemukan adanya caplak dalam jumlah yang cukup banyak pada sebagian besar anjing. Caplak merupakan ektoparasit yang menghisap darah. Bila investasi caplak terjadi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama, maka sangat mungkin anjing mengalami anemia. Investasi caplak dapat terjadi akibat kebersihan kandang yang kurang baik. Selain itu, seringnya terjadi kontak antar anjing semakin mempermudah penularan caplak dari satu anjing ke anjing lain. Caplak juga dapat menjadi vektor parasit darah sehingga bisa menyerang eritrosit dan dapat mengakibatkan terjadinya lisis darah.

Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa semua anjing yang diteliti memiliki rata-rata kadar hemoglobin yang rendah. Kadar hemoglobin normal pada anjing adalah 14 - 20 g% (Foster et al. 2007). Hal ini mungkin disebabkan oleh cekaman (stress) akibat latihan atau kerja yang berat. Dalam Swenson and Reece (1993) disebutkan bahwa kadar hemoglobin dapat meningkat karena kegembiraan. Hormon epinefrin yang dihasilkan akan meningkatkan tekanan darah dan kontraksi limpa sehingga terjadi pelepasan eritrosit.

(54)

dimaksud meliputi waktu mulai terjadinya anemia, kemungkinan terjadinya kehilangan banyak darah secara kronis tanpa disadari, kemungkinan terjadinya hemolisis, kemunculan gejala syaraf yang berkaitan dengan anemia pernisiosa, pernah mendapatkan terapi anemia pada waktu lampau, penggunaan obat-obatan dan keterpaparan terhadap toksin, jenis diet pasien, keturunan, dan penyakit. Pada penelitian ini tidak dilakukan penelusuran lebih jauh tentang riwayat kesehatan anjing-anjing tersebut secara lengkap akibat beberapa keterbatasan sehingga penyebab yang sebenarnya dari dugaan anemia ini belum dapat dipastikan. Untuk mengetahui jenis anemia yang dialami oleh anjing-anjing yang diteliti maka dilakukan penghitungan indeks-indeks eritrosit, yaitu MCV, MCH, dan MCHC yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Nilai MCV, MCH, dan MCHC No. Nama Jenis

kelamin

Rata-rata Nilai MCV

(fL)

(55)

MCV menunjukkan volume atau ukuran eritrosit rata-rata dalam satuan femtoliter (fL). MCV dihitung dengan membandingkan nilai PCV dengan jumlah eritrosit per liter. Tabel 2 memperlihatkan bahwa rata-rata nilai MCV berada dalam kisaran normal. Pada anjing, nilai MCV normal adalah 50 - 68 fL (Jain 1993). Nilai MCV yang normal menggambarkan bahwa ukuran eritrosit normal. Akan tetapi seekor anjing bernama Molly memiliki nilai MCV yang lebih rendah dari normal. Hal ini memunculkan dugaan bahwa Molly mengalami anemia mikrositik, dimana eritrositnya berukuran kecil. Penyebab umum dari anemia mikrositik antara lain defisiensi zat besi, talasemia (penyakit herediter), dan penyakit kronis (Nordenson 2006). Eritrosit yang berukuran kecil merupakan eritrosit tua, sedangkan eritrosit muda berukuran besar. Bila terdapat banyak eritrosit berukuran kecil dalam peredaran darah, maka kemungkinan yang bisa terjadi adalah tubuh mengalami kegagalan pembentukan eritrosit. Kegagalan pembentukan eritrosit ini dapat merupakan manifestasi kegagalan organ eritropoiesis yaitu sumsum tulang. Anjing bernama Nisa memiliki rata-rata nilai MCV tinggi, yaitu 80,18 fL. Kondisi ini diduga sebagai anemia makrositik, dimana eritrositnya berukuran besar. Sel yang berukuran besar tersebut dapat diakibatkan oleh adanya tahapan pematangan eritrosit yang terlewati dan ditemukan pada kelainan eritropoiesis dengan pematangan inti sel yang abnormal dan juga ketika produksi eritrosit terstimulasi oleh eritropoietin (Rapaport 1987). Penyebab yang lebih umum dari anemia makrositik adalah defisiensi vitamin B12 atau asam folat (Nordenson 2006).

MCH adalah berat rata-rata hemoglobin yang terkandung dalam sebuah eritrosit (Nordenson 2006). Rata-rata nilai MCH pada anjing yang diamati berada dalam kisaran normal yaitu 19,5 – 24,5 pg (Anonima 2007). Nilai MCH meningkat bila terjadi anemia makrositik, dan menurun pada anemia mikrositik (Anonimb

2007).

(56)

kisaran normal. Akan tetapi terdapat dua anjing yang memiliki nilai MCHC yang rendah, yaitu Bono dan Nisa. Nilai MCHC yang rendah menunjukkan bahwa eritrosit berwarna pucat (hipokromik) pada anemia mikrositik dan nilai MCHC yang normal (normokromik) pada anemia hipokromik. Pada eritrosit yang berukuran besar, walaupun jumlah hemoglobin atau nilai MCH tinggi, namun konsentrasinya masih normal (Anonimb

2007). Tidak ada istilah hiperkromik karena terbatasnya jumlah hemoglobin yang bisa termuat dalam sebuah eritrosit (Nordenson 2006). Nilai MCHC yang rendah dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin, gangguan sintesis eritrosit, atau keadaan darah yang encer akibat peningkatan cairan plasma atau kehilangan sejumlah eritrosit (Cunningham 1997).

Tabel 3. Data Jumlah Leukosit dan Diferensiasi Leukosit

No Nama Jenis

1 Bono Jantan 11,08±3,22 5,70±2,05 0,16±0,28 0 4,82±1,32 0,05±0,05

2 Breden Jantan 11,85±1,69 9,48±0,15 0,59±0,08 0 1,36±1,54 0,17±0,05

3 Molly Betina 8,20±0,64 4,75±0,21 0,82±0,12 0 3,32±0,80 0,04±0,05

4 Nisa Betina 9,18±1,66 6,56±1,90 0,46±0,07 0 2,52±0,39 0,04±0,07

5 Mario Jantan 9,68±1,94 5,27±0,71 0,14±0,23 0 4,21±1,05 0,04±0,56

6 Gery Jantan 15,40±2,33 6,54±2,62 2,54±1,68 0 6,23±1,27 0,07±0,09

Rata-rata 10,90±2,57 6,38±1,67 0,59±0,89 0 3,74±1,72 0,07±0,05

Normal 6 - 17 3 - 12 0 - 1,9 < 0,1 0,53 - 4,8 0 – 1,8

Keterangan: Kisaran normal jumlah leukosit menurut Jain (1993)

Kisaran normal jumlah neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit menurut Foster et al. (2007)

(57)

Grafik 7. Jumlah Leukosit dan Diferensiasi Leukosit (x103/mm3)

Rata-rata jumlah leukosit seluruh anjing yang diteliti berada dalam kisaran normal. Setiap anjing juga memiliki rata-rata jumlah leukosit yang normal. Jumlah leukosit pada anjing berkisar antara 6.000 - 17.000/mm3 (Jain 1993). Leukosit memiliki fungsi utama dalam pertahanan tubuh. Pertahanan tubuh ini dilakukan melalui dua cara yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis, serta membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan (Guyton and Hall 1997). Jumlah leukosit yang normal dapat menandakan bahwa mekanisme pertahanan tubuh masih berjalan dengan baik.

(58)

infestasi parasit berupa caplak yang memang banyak ditemukan di lokasi pengambilan sampel darah. Pada darah semua anjing yang diteliti tidak ditemukan basofil. Hal ini merupakan suatu hal yang normal. Jumlah basofil pada anjing sangat sedikit yaitu kurang dari 100/mm³dari jumlah total leukosit (Foster et al. 2007). Jumlah normal limfosit pada anjing adalah 530 – 4.800/mm³ (Foster et al. 2007). Tabel 3 memperlihatkan bahwa semua anjing memiliki jumlah limfosit yang berada dalam kisaran normal, kecuali seekor anjing bernama Gery. Keadaan yang terjadi pada Gery diduga sebagai limfositosis. Limfositosis dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, antara lain mekanisme limfositosis fisiologis karena pengaruh epinefrin, stimulasi imun yang berkaitan dengan inflamasi kronis, dan limfositik leukemia (Anonimb 2006). Semua anjing yang diteliti memiliki rata-rata persentase monosit yang normal. Monosit hanya terdapat dalam jumlah yang terbatas di peredaran darah. (Swenson and Reece 1993). Monosit yang berada di peredaran darah belum memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan agen infeksi. Monosit menjadi matang dan membesar hingga lima kali lipat setelah memasuki jaringan. Monosit yang berada dalam jaringan ini disebut makrofag (Guyton and Hall 1997).

(59)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Anjing-anjing pelacak ras Golden Retriever di Subdit Satwa POLRI, Depok memiliki gambaran darah sebagai berikut : rata-rata jumlah eritrosit (5,02 ± 0,90) x 106/mm3, rata-rata kadar hemoglobin (9,61 ± 1,12) gr%, rata-rata nilai PCV (30,00 ± 6,30) %, rata-rata nilai MCV (61,98 ± 13,11) fL, rata-rata nilai MCH (20,17 ± 4,01) pg, rata-rata nilai MCHC (32,66 ± 3,32) gr/dL, rata-rata jumlah leukosit (10,90 ± 2,57) x 103/mm3, rata-rata jumlah neutrofil (6,38 ± 1,67) x 103/mm3, rata-rata jumlah eosinofil (0,59 ± 0,89) x 103/mm3, rata-rata jumlah basofil 0, rata-rata jumlah limfosit (3,74 ± 1,72) x 103/mm3, dan rata-rata jumlah monosit (0,07 ± 0,05) x 103/mm3. Terdapat perbedaan antara gambaran darah anjing-anjing yang diteliti bila dibandingkan dengan kisaran gambaran darah normal anjing pada umumnya yaitu berupa anemia dan eosinofilia yang diduga disebabkan oleh infestasi caplak serta limfositosis yang diduga disebabkan oleh faktor stress akibat latihan atau kerja yang berat.

Saran

1. Perlu adanya peningkatan pemantauan pemeliharaan maupun kesehatan anjing-anjing pelacak di Subdirektorat Satwa POLRI, terutama mengenai pemeriksaan laboratorium.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hematologi anjing pelacak ras Golden Retriever di Subdit Satwa POLRI dengan menelusuri riwayat kesehatan anjing secara lebih mendalam.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 1990. Golden Retriever Breed Standard. www.akc.org. [19 Juli 2007] [Anonim]. 2002. The Dog Book. Nexx Media Inc. Jakarta.

[Anonim]. 2005. Health Care of Dogs: Complete Blood Count Values. www.edogadvice.com [28 Juli 2007]

[Anonima]. 2006. Complete Blood Count. www.webmd.com [28 Juli 2007]

[Anonimb]. 2006. The Merck Veterinary Manual. www.merck.co.inc [17 Juli 2007]

[Anonima]. 2007. Canine and Feline Haematology Images. www.axiomvetlab.com. [19 Juli 2007]

[Anonimb]. 2007. Formulas and Measurements: RBC Parameters. www.coursesvetmedwsu.edu [28 Juli 2007]

[Anonimc]. 2007. Hitung Darah Lengkap. www.yayasanspiritia.com. [28 Juli 2007]

[Anonimd]. 2007. Anjing. www.wikipedia.org. [14 Mei 2007]

[Anonime]. 2007. Normal Canine Erythtrocyte. www.diaglab.vet.cornell.edu [28 Juli 2007]

Brooks WC. 2005. Immune-Mediated Hemolytic Anemia (IMHA). www.veterinarypartner.com [28 Juli 2007]

Clarenburg R. 1992. Physiological Chemistry of Domestic Animals. St. Louis USA: Mosby Year Book.

Cunliffe J. 2002. The Encyclopedia of Dog Breeds. Queen Street House UK: Parragon.

Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-2. Philadelphia USA: W.B.Saunders Company.

(61)

Dellmann HD, Brown EM. 1987. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-3. Philadelphia: Lea and Febiger.

Dodd GH, Squirrell DJ. 1980. Olfaction in Mammals. London: Academic Press. Evans HE. 1993. Miller’s Anatomy of The Dog. Ed ke-2. Ithaca, New York:

W.B.Saunders Company.

Foster R et al. 2007. Complete Blood Count. www.peteducation.com [28 Juli 2007]

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Sentoso A, penerjemah. Ed ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Haen PJ. 1995. Principles of Hematology. Harris L, editor. Chicago: Loyola Marymont University. Wm. C. Brown Publishers.

Hall DE. 1972. Blood Coagulation and Its Disorders in the Dog. London: Bailliere Tindall.

Houpt KA, Wolski TR. 1982. Domestic Animal Behavior for Veterinarians and Animal Scientist. Iowa: The Iowa University Press.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia USA: Lea & Febiger.

Karjono. 2007. Tajam Hidung Sang Pelacak. www.trubus-online.com. [28 Juli 2007]

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. Ed ke-3. London: Bailliere Tindall.

Martini F et al. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Meyer DJ, Coles EH, Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. Philadelphia USA: WB Saunders Company. Nordenson NJ. 2006. Red Blood Cell Indices. www.healthatoz.com [28 Juli 2007] Prajanto, Andoko A. 2004. Membuat Anjing Sehat dan Pintar. Jakarta:

Agromedia Pustaka.

(62)

Rapaport SI. 1987. Introduction to Hematology. Ed ke-2. Philadelphia USA: J.B. Lippincott Company.

Reece WO. 2006. Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Ed ke-3. Iowa: Blackwell Publishing.

Rees Y. 1993. The Complete Book of Dogs. Surrey, England: Coombe Books. Rimmer T. 2006. Sniffing Out the Crime. www.petplace.com. [30 November

2006]

Sayer A. 1994. The Complete Dog. UK: Multimedia Books Limited.

Sianipar ND et al. 2004. Merawat dan Melatih Anjing Penjaga. Depok: Agromedia Pustaka.

Swenson MJ. 1984. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Ed 10. Ithaca and London: Publishing Associattes a Division of Cornell University.

Swenson MJ, Reece WO. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Ed ke-7. Ithaca USA: Cornell University Press.

Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Ed ke-2. Surabaya: Airlangga University Press.

Untung O. 1999. Merawat dan Melatih Anjing. Jakarta: Penebar Swadaya.

Woolf NB. 2006. The Nose Knows; Canine Scents and Sensibilities. www.canismajor.com [ 30 November 2006]

Yahya H. 2004. Binatang Yang Setia: Anjing. www.harunyahya.com. [10 Juli 2006]

 

(63)

Lampiran 1. Surat Silsilah Anjing Pelacak Ras Golden Retriever (Halaman Depan) 

 

(64)
(65)
(66)

Lampiran 4. Surat Silsilah Anjing Pelacak Ras Golden Retriever (Halaman Belakang)

 

Gambar

Grafik Jumlah Eritrosit............................................................................
Grafik Jumlah Eritrosit............................................................................
Gambar 1. Skema Hematopoiesis
Gambar 2. Morfologi Eritrosit pada Anjing Sumber : Anonime (2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data di analisis statistik chikuadat perolehan hasil penelitian Prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan metode kooperatif model group investigasi lebih baik dari pada

Tempoh masa selama satu bulan untuk perlaksanaan kajian tindakan ini tidak mencukupi bagi saya untuk mengesan kefahaman murid dan meninjau pencapaian mereka dalam

Angka kumulatif survivor (hidup) diperoleh dari menjumlahkan hewan uji yang tetap hidup pada dosis terkecil yang tidak menyebabkan kematian (100% hewan uji tetap hidup) dengan jumlah

Perusahaan berada di daerah Lembang yang memiliki cuaca yang dingin sangat menguntungkan bagi perusahaan karena dapat mempertahankan bahan baku sayuran dalam menjaga

Jawaban Responden Terhadap Pernyataaan Tentang Tingkat Kualitas Kerja menunjukkan bahwa 13 (43.3%) orang responden menyatakan sangat setuju, sebanyak 14 (46,7%) responden

Dalam undang-undang tersebut didefiisikan bahwa: asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih; pihak penanggung mengikatkan diri

Sistem Informasi Sistem Pendukung Operasi Sistem Pendukung Manajemen Sistem Pemrosesan Transaksi Sistem Pengendalian Proses Sistem Kerja sama Perusahaan Sistem

(4) Moralitas individu, efektivitas sistem pengendalian internal, ketaatan aturan akuntansi, dan kesesuaian tugas berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan