Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah mamalia tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Salah satu jenis mamalia yang hidup di Indonesia adalah satwa primata, dan dari jumlah total 40 spesies satwa primata yang dapat diidentifikasi di Indonesia, 30% diantaranya merupakan spesies endemik pada wilayah tertentu di Indonesia (McNeely 1990). Terdapat sedikitnya tiga spesies satwa primata endemik berasal dari famili Hylobatidae.
Hylobatidae adalah salah satu famili satwa primata yang sebagian besar spesiesnya hidup di Indonesia. Famili Hylobatidae terdiri atas sembilan spesies yang tersebar di kawasan Asia Tenggara, enam spesies diantaranya termasuk ke dalam Genus Hylobates, yaitu Hylobates agilis F. Cuvier(ungko, dark handed gibbon), Hylobates klosii Miller (siamang kerdil, kloss’s gibbon), Hylobates lar Linnaeus (ungko lengan putih, white handed gibbon), Hylobates moloch Audebert (owa jawa, silvery gibbon), Hylobates muelleri Martin (kelawat, gray gibbon) dan Hylobates pileatus Gray. Dari keenam spesies ini hanya H. pileatus yang penyebarannya tidak meliputi wilayah Indonesia (Geissmann 2002; Silvery Gibbon Website 2002). Tiga dari lima spesies Genus Hylobates merupakan spesies yang hidup endemik di beberapa pulau di Indonesia. Salah satu diantara spesies tersebut adalah owa jawa yang hanya bisa diidentifikasi di Pulau Jawa, yaitu di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada saat ini, populasi spesies tersebut hanya dapat diidentifikasi di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya, seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun-Salak dan TN. Gunung Gede Pangrango.
Informasi populasi owa jawa di alam sampai saat ini masih sangat terbatas dan bervariasi. Kappeler (1981) memprediksi populasi owa jawa di alam berkisar antara 2.400-7.900 individu. Jumlah populasi ini menurun cukup tajam dalam kurun waktu 14 tahun menjadi 2.700 individu (Asquith et al. 1995). Pada tahun 2000, owa jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies satwa primata paling terancam punah di dunia (Mittermeier et al. 2005). Penelitian terakhir tentang populasi owa jawa memprediksi jumlah satwa tersebut ada pada kisaran 4.000-4.500 individu (Nijman 2004). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat variasi estimasi populasi owa jawa dalam rentang waktu 23 tahun, dengan demikian, masih sangat diperlukan penelitian populasi owa jawa secara meyeluruh pada kawasan yang dihuni owa jawa, sehingga bisa diperoleh informasi populasi yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan status spesies tersebut dalam daftar IUCN maupun dalam menentukan langkah konservasi yang akan dilaksanakan. Informasi kemampuan reproduksi dan tingkah laku owa jawa di penangkaran, perlu pula diketahui sebagai pembanding kemampuan reproduksi owa jawa di alam. Informasi ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan tindakan pengelolaan di dalam suatu kawasan. Selain itu, perlu pula diketahui prediksi populasi spesies tersebut pada masa yang akan datang melalui pendekatan aspek biologi, habitat dan potensi ancaman terhadap populasi tersebut, sehingga bisa diketahui prediksi kelangsungan atau kepunahan spesies dimaksud pada kurun waktu tertentu.
Tujuan
Penelitian dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
1) memperoleh keeratan hubungan antara kerapatan pohon pakan dan pohon tidur dengan kepadatan populasi owa jawa. Berdasarkan pendekatan dua peubah tersebut dapat diperoleh suatu model estimasi populasi;
2) mendapatkan estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak berdasarkan penelitian di hutan primer dan sekunder;
3) memperoleh informasi tentang pengaruh fragmentasi terhadap kepadatan dan ukuran kelompok owa jawa;
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1) informasi kerapatan pohon pakan dan pohon tidur dapat digunakan dalam
memprediksi kepadatan populasi owa jawa, sedangkan kepadatan populasi dapat dipakai dalam menduga populasi owa jawa. Model estimasi populasi bermanfaat dalam menduga estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak dan di kawasan lainnya;
2) informasi populasi owa jawa dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan habitat dan mengidentifikasi potensi ancaman terhadap spesies tersebut;
3) fragmentasi habitat dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan tindakan pengelolaan sebagai upaya melindungi populasi owa jawa;
4) perbedaan luas daerah jelajah dapat dijadikan sebagai indikasi baiknya suatu habitat yang dihuni.
Hipotesis
Dalam penelitian kajian habitat dan populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak, dapat dikemukakan beberapa hipotesis:
1) populasi dan sebaran owa jawa di kawasan hutan pegunungan sangat erat hubungannya dengan sebaran dan kerapatan pohon pakan dan pohon tidur; 2) pergerakan owa jawa selain dipengaruhi oleh ketersediaan pohon pakan dan
pohon tidur, dipengaruhi pula oleh kondisi habitatnya;
3) fragmentasi habitat berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran kelompok serta kepadatan populasi owa jawa.
Kerangka Pemikiran
• Penelitian populasi • Model estimasi populasi • Potensi ancaman
• Indeks Nilai Penting • Profil pohon
• Kepadatan populasi • Kepadatan kelompok • Ukuran populasi • Karakteristik populasi
•
Parameter daya dukung habitat•
Parameter populasiModel estimasi populasi
Prediksi dinamika populasi
• Manajemen habitat
• Kontrol kawasan secara efektif terutama pada pohon pakan dan pohon tidur
• Pemberlakuan hukum secara tegas
• Manajemen populasi
• Kontrol kawasan secara rutin dan efektif terutama pada owa
• Pemberlakuan hukum secara tegas Penurunan jumlah populasi:
• endemik
• kritis (critically endangered) • appendiks I (CITES)
• estimasi populasi 4.000-4.500 individu (Nijman 2004)
Penurunan daya dukung habitat: • terbatas pada kawasan yang
dilindungi (taman nasional, cagar alam dan hutan lindung)
• fragmentasi • konversi lahan
• estimasi hilangnya habitat owa jawa: 96% (MacKinnon 1980)
Populasi Owa Jawa
Habitat
Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yakni kebutuhan terhadap sumber pakan, air dan tempat berlindung (Alikodra 2002). Owa jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa yang keberadaannya saat ini terbatas pada kawasan taman nasional dan hutan lindung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penyebarannya terutama di Taman Nasional Gunung Halimun, Gunung Gede, TN. Ujung Kulon, Gunung Simpang, Leuweung Sancang, dan Gunung Tilu (Kappeler 1984; Nijman dan Van Ballen 1998). Secara spesifik, habitat owa jawa adalah hutan tropika, mulai dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 0-1.600 m di atas permukaan laut (Massicot 2001; CII 2000; Rinaldi 1999), sedangkan Rowe (1996) menyatakan bahwa habitat owa jawa adalah hutan primer dan sekunder serta hutan hujan tropika dari ketinggian setara permukaan laut sampai 1.500 m dpl. Hutan hujan tropika di bawah ketinggian 1.500 m dpl. merupakan habitat eksklusif bagi owa jawa (CII 2000; Kappeler 1981) karena beberapa sebab, yaitu 1) spesies tumbuhan hutan di atas ketinggian 1.500 m dpl bukan merupakan sumber pakan, dan 2) banyaknya lumut yang menutupi pepohonan menyulitkan owa jawa melakukan pergerakan atau perpindahan. Rowe (1996) menyatakan bahwa pada wilayah di atas ketinggian 1.500 m dpl, hanya terdapat sedikit spesies tumbuhan, dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk dimanfaatkan dalam melakukan pergerakan dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, suhu di atas 1.500 m dpl. lebih rendah dibandingkan suhu di bawah ketinggian tersebut.
untuk melakukan aktivitas bergelayutan (branchiation), serta keragaman floristik yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan spesies tersebut (Kappeler 1984a).
Persentase hilangnya hutan antara tahun 1980 dan 1995 di beberapa negara di dunia antara lain: Afrika 10,5%; Amerika Latin dan Karibia 9,7%; Asia dan Oceania 6,4%, sedangkan rerata hilangnya luas hutan pada negara-negara yang memiliki primata adalah 125.140 km2 (Chapman dan Peres 2001). Di Indonesia, luas habitat owa jawa menyusut sekitar 96% dari semula memiliki habitat seluas 43.274 km2 menjadi sekitar 1.608 km2 akibat pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat (CII 2000). Prediksi hilangnya habitat di beberapa kawasan yang dihuni owa jawa menunjukkan persentase yang bervariasi: Cagar Alam Gunung Simpang, hampir kehilangan 15% (dari 15.000 ha); TN. Ujung Kulon kehilangan 4% dari 76.100 ha; dan TN. Gunung Halimun kehilangan 2,5% dari 42.000 ha luas kawasannya (Supriatna 2006).
Gambar 2. Habitat Owa Jawa (Nijman 2001)
Gibbon lebih menyukai pohon tinggi untuk melakukan aktivitasnya. Pada kondisi hutan yang terganggu, aktivitas gibbon berubah dari kanopi bagian atas ke bagian tengah seperti ditunjukkan H. Lar dan H. Moloch pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase Penggunaan Kanopi oleh Dua Spesies Hylobates pada Hutan Terganggu dan Tidak Terganggu (Nijman 2006)
yang membatasi penyebaran owa jawa berdasarkan ketinggian tempat (Balai Taman Nasional Gunung Halimun 1997):
1) struktur dan kerapatan pohon membatasi perilaku pergerakan dari satu tajuk ke tajuk lain,
2) keragaman komposisi floristik yang relatif rendah menyebabkan kurangnya potensi dan keragaman pakan, dan
3) rendahnya temperatur pada malam hari.
Pohon Pakan
Pada dasarnya, sumber pakan satwa primata dibedakan ke dalam tiga kategori (Fleagle 1988):
1. struktural, yaitu bagian tumbuhan yang meliputi daun, batang, cabang, dan materi tumbuhan lainnya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa); 2. bagian reproduktif, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan
buah (matang atau mentah);
3. materi dari hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata.
Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan. Bagian pohon yang biasanya dimanfaatkan adalah buah, daun, dan bunga. Kelompok gibbon pada umumnya mengkonsumsi buah matang dalam proporsi yang tinggi (Geissmann 2004). Persentase jenis pakan tertinggi adalah buah-buahan matang (61%), daun-daunan (38%) dan bunga (1%) (Kappeler 1984; Rowe 1996; Kuester 1999).
(Dracontomelon puberulum Miq) dan kicalung (Diospyros hermaphroditica Bakh.).
Pohon pakan dan pohon tidur merupakan bagian habitat yang memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan gibbon. Buah-buahan merupakan sumber pakan utama gibbon dibandingkan bagian lain pada pohon pakan tersebut (Whiten 1982). Walaupun demikian, gibbon diidentifikasi pula mengkonsumsi pucuk daun, tangkai muda, bunga dan beberapa hewan invertebrata (Gittins 1982).
Jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Jenis pohon lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berasal dari famili Leguminosae, Myrtaceae, Annonacea, Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae (Chivers 2000).
Spesies yang memiliki sumber pakan sama dengan owa jawa adalah dua spesies lutung (Presbytis aygula, P. cristatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), bajing (Ratufa bicolor), kelelawar (Pteropus vampyrus) dan tiga spesies rangkong (Anthracoceros convexus, Buceros rhinoceros, Rhyticerus undulates) (Kappeler 1981). Berdasarkan kesamaan sumber pakan tersebut, di TN. Ujung Kulon, owa jawa bersaing dalam menggunakan sumber pakan dengan spesies satwa primata lain, yaitu surili (P. comata), lutung (Trachipithecus auratus), dan monyet ekor panjang (M. fascicularis) (Iskandar 2001).
Pohon Tidur
Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur, gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam dan Feeroz 1992). Setelah melakukan jelajah harian, owa jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira 14-17 jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa, dan terakhir jantan dewasa (Reichard 1998). Rerata waktu yang digunakan Hylobates moloch di pohon tidur di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah 13,05 jam (Malone et al. 2006).
Pohon tidur dan pohon yang digunakan pada saat bersuara merupakan tempat penting di dalam teritori gibbon. Terdapat banyak pohon tidur yang digunakan gibbon pada satu lokasi. Banyaknya jumlah pohon tidur tersebut berperan penting dalam mempertahankan kehangatan (Gittins 1982).
Owa Jawa (Hylobates moloch) Klasifikasi dan Taksonomi
Genus Hylobates dikelompokkan ke dalam empat subgenus, yaitu Bunopithecus, Hylobates, Nomascus dan Sympalangus seperti disajikan pada Tabel 1 (Geissmann 1995).
Tabel 1. Klasifikasi dan Distribusi Genus Hylobates
Genus Subgenus Spesies Subspesies Penyebaran Hylobates Bunopithecus Hoolock Hoolock Assam,
Bangladesh, Burma
Leuconedys Burma, Yunnan
Hylobates Agilis agilis albibarbis Sumatra Barat, Kalimantan
Muelleri Abboti Kalimantan
Funerius Kalimantan
Mueleri Kalimantan
Pileatus Thailand, Kamboja
Klosii Pulau Mentawai
Nomascus Concolor Concolor Vietnam, Yunann
Hainanus Pulau Hainan
ssp.nov. Vietnam
cf.nasutus Vietnam
Tabel 1. (Lanjutan)
Genus Subgenus Spesies Subspesies Penyebaran leucogenys Leucogenys Laos, Vietnam,
Yunnan
Siki Laos, Vietnam
Gabriellae Laos, Vietnam,
Kamboja Symphalangus syndactylus ?continentis Semenanjung
Malaysia
Syndactylus Sumatra
Owa jawa (Hylobates moloch) dikenal pula dengan nama Javan gibbon atau Silvery gibbon, memiliki susunan taksonomi sebagai berikut (The IUCN Red List of Threatened Species 2003): ordo: Primata; famili: Hylobatidae; genus: Hylobates; spesies: Hylobates moloch (Audebert 1797), dan nama lokal: owa, wau-wau kelabu.
Arti kata Hylobates menurut Nowak (1999) adalah penghuni pohon, oleh karena itu ketangkasan genus ini dikenal melebihi satwa lain pada saat bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya.
Morfologi
Genus Hylobates tidak memiliki ekor, kepala berukuran kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil dan pendek, dada lebar dengan rambut yang tebal dan halus (Grzimek 1972). Salah satu ciri mencolok dari Genus Hylobates adalah adanya pembengkakan pada alat kelamin betina, terutama pada Hylobates moloch, H. muelleri, H. agilis, H. Albibarbis dan H. lar. Pembengkakan pada alat kelamin betina ini tidak begitu nyata pada H. pileatus (Mootnick 2006). Owa jawa merupakan salah satu spesies dalam Genus Hylobates yang memiliki bantalan duduk (ischial callosities). Bantalan duduk tersebut tidak terdapat pada semua jenis satwa primata (Fleagle 1988).
pada bagian dada. Warna rambut pada bayi berwarna lebih terang dibandingkan owa jawa dewasa (Rowe 1996). CII (2000) menyatakan bahwa rambut pada bagian kepala owa jawa berwarna abu-abu kehitaman, muka berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu terang atau cenderung putih. Supriatna dan Wahyono (2000) menambahkan, dagu pada beberapa individu owa jawa berwarna gelap dan terdapat sedikit perbedaan warna rambut antara jantan dan betina, terutama dalam tingkatan umur.
Bobot tubuh owa jawa sekitar 6 kg (Massicot 2001). Antara jantan dan betina tidak terdapat perbedaan menyolok baik dari bobot badan maupun warna rambut (Kuester 1999). Panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara 75-80 cm, memiliki lengan yang panjang dan tubuh ramping. Bentuk tubuh seperti ini sangat ideal untuk melakukan pergerakan diantara tajuk pohon di dalam hutan (Kuester 2000).
Owa jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967).
Status Konservasi
Sebagai upaya melindungi owa jawa dari kepunahan, spesies ini telah dilindungi sejak jaman penjajahan Belanda oleh Undang-undang berdasarkan ordonansi perlindungan binatang-binatang liar 1931 nomor 266 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Dit. PPA 1978). Perlindungan terhadap spesies endemik ini diganti oleh Undang-Undang No. 5/1990; Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 (http://www.tropenbos. nl/2006).
Status owa jawa saat ini dikategorikan sangat kritis (genting) berdasarkan pertimbangan: 1) pengurangan setidaknya 80% habitat layak huni atau berkurangnya kualitas habitat selama tiga generasi terakhir (45 tahun) (Supriatna et al. 1994); 2) estimasi populasi kurang dari 250 individu dewasa dan terjadi penurunan secara terus menerus (http://www.tropenbos.nl/2006). Penyebab sangat kritisnya populasi owa jawa dan satwa lain adalah akibat aktivitas manusia yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian habitat dan satwa yang hidup di dalamnya. Pada umumnya, hampir semua habitat spesies penting di dareah penyebaran owa jawa telah musnah. Lebih dari 95% habitat owa jawa dan lutung telah rusak, dan hanya 2% daerah penyebaran alaminya yang dilindungi (Primack et al. 1998). Gambar 4 menyajikan berbagai ancaman terhadap populasi primata dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melindungi populasi primata tersebut.
Gambar 4. Ancaman Utama Terhadap Populasi Primata dan Pendekatan dalam Melindungi Ordo tersebut (Chapman dan Peres 2001).
menjadi endangered species karena pertimbangan masih cukup banyaknya populasi owa jawa di alam.
Penyebaran
Gibbon lebih menyukai hutan dataran rendah karena memiliki keanekaragaman dan kepadatan pohon-pohon berbuah sangat tinggi (Chivers 2000). Penyebaran owa jawa hanya terdapat di separuh P. Jawa ke arah barat. Daerah sebaran di Jawa Barat meliputi TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Gunung Simpang, CA Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Salak, HL Gunung Ciremai, Gunung Papandayan, Gunung Wayang, Gunung Jayanti dan Gunung Porang. Di Jawa Tengah, owa jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, Gunung Prahu, dan Pegunungan Dieng (CII 2000; Nijmann dan Sozer 1995).
Spesies gibbon tersebar menurut geografis. Sebaran ini dapat digunakan sebagai indikasi keragaman spesies tersebut selain perbedaan warna rambut. Penyebaran gibbon berdasarkan letak geografis disajikan pada Gambar 5.
Owa jawa telah diidentifikasi keberadaannya pada 20 areal yang masih berhutan, terutama di Jawa Barat. Pada beberapa areal dengan populasi owa jawa sedikit, diperkirakan populasi tersebut tidak akan bertahan dalam kurun waktu lama (Massicot 2006). Supriatna dan Wahyono (2000) membedakan owa jawa menjadi dua subspesies, yaitu H. moloch moloch yang memiliki warna rambut lebih gelap, dan H. moloch pangoalsoni dengan rambut berwarna lebih terang. Menurut Geissmann (2004), owa jawa yang sebarannya di Jawa Barat adalah H. moloch moloch, sedangkan di Jawa Tengah adalah H. moloch pangoalsoni.
Aktivitas Harian dan Pola Interaksi
Pada saat melakukan aktivitas harian, owa jawa lebih bersifat arboreal dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan cara bergelayutan atau brankiasi (Kuester 1999; Supriatna dan Wahyono 2000). Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (CII 2000). Aktivitas tersebut ada di dalam daerah jelajahnya. Pola aktivitas harian diawali dengan mengeluarkan suara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari makan (Rinaldi 2003), siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling menelisik antara jantan dan betina pasangannya, atau antara induk dan anaknya, sedangkan pada malam hari, tidur pada percabangan pohon (Cowlishaw 1996).
Pergerakan dari satu cabang ke cabang lain atau dari pohon ke pohon lain dibagi ke dalam dua kecepatan, yaitu lokomosi cepat terjadi ketika menghindari predator, terdengar suara peringatan dari betina dan ketika terjadi perebutan teritori. Lokomosi lambat dilakukan pada saat menempuh jarak pendek (50-100m) dan terdiri atas bergelayutan tanpa fase melayang, berjalan dengan dua kaki (bipedal), berjalan dengan empat kaki (quadrupedal), fase melayang untuk menjangkau cabang atau pucuk pohon (Kappeler 1981). Cara
bergerak owa jawa dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: 1) brankiasi; 2) berjalan dengan dua kaki (bipedal); 3) memanjat; dan 4) melompat (leaping).
dimulai pada pukul 07:15 pagi dan beristirahat pada siang hari. Aktivitas diawali dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan. Aktivitas makan dimulai setelah matahari terbit dan aktivitas bersuara (Rinaldi 1999, 2003). Respon gibbon pada saat ada manusia yang mendekat adalah segera menghindar, respon seperti ini bisa disertai oleh menggoyangkan cabang pohon dan bersuara. Respon lain yang mungkin muncul adalah berdiam diri dan bersembunyi. Respon bersuara biasanya terjadi apabila satwa mendeteksi kehadiran manusia pada jarak yang sangat dekat (Nijman 2006).
Salah satu pola interaksi yang dilakukan owa jawa adalah bersuara (Dallman & Geismann 2001). Terdapat dua jenis suara pada owa jawa, yaitu usual dan unusual call. Usual call biasanya dikeluarkan oleh betina dewasa baik secara solo maupun duet dengan jantan dewasa atau remaja. Aktivitas ini dilakukan sebelum mengeksplorasi daerah jelajah dan teritori. Unusual call dilakukan oleh betina dewasa, jantan dan anggota kelompok ketika bertemu dengan kelompok lainnya di perbatasan teritori dan merespon adanya gangguan (Rinaldi 1999). Pada pagi hari, owa akan bersuara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call dengan durasi antara 10-30 menit. Owa jawa dan siamang kerdil (H. klosii) tidak bersuara secara duet, melainkan suara solo (Geismann dan Nijman 1999). Pada saat bersuara ini, betina owa jawa akan lebih mendominasi (Dallmann and Geismann 2001). Suara owa jawa dapat diidentifikasi hingga jarak 500-1.500 m (Kappeler 1981). Suara yang dapat diidentifikasi menurut CII (2000):
1) suara betina untuk menandakan teritorinya; 2) suara jantan ketika bertemu kelompok lainnya; 3) suara antar individu ketika terjadi konflik; dan
4) suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (alarm call, harassing call).
Populasi
manusia akan lahan untuk pengembangan sektor pertanian lainnya. Pada tahun 2000, Supriatna dan Wahyono menyatakan estimasi populasi owa jawa pada kisaran 2.000 dan 4.000 individu, bahkan diperkirakan jumlah sebenarnya bisa melebihi populasi tersebut. Peningkatan estimasi populasi tersebut dipertegas dengan hasil penelitian Nijman (2004) yang melaporkan hasil survei yang dilakukannya di Pulau Jawa dengan memprediksi populasi owa jawa berada pada kisaran 4.000-4.500 individu. Tabel 2 menyajikan populasi owa jawa di beberapa lokasi di P. Jawa.
Tabel 2. Populasi Owa Jawa pada beberapa lokasi di Pulau Jawa No. Lokasi Estimasi Populasi
(individu)
TN. Gunung Gede Pangrango TN. Gunung Halimun
Cagar Alam Gunung Salak Cagar ALam Gunung Simpang TN Ujung Kulon
Aktivitas yang berakibat secara langsung terhadap menurunnya populasi owa jawa antara lain: 1) hilangnya habitat; 2) perburuan dan penangkapan untuk keperluan hewan peliharaan; dan 3) hilangnya koridor sebagai dampak dari hilangnya habitat. Selain itu, faktor yang turut berperan semakin menurunnya populasi owa jawa adalah tingkat reproduksinya yang relatif rendah (Geissmann 1991).
Tabel 3. Kepadatan Kelompok dan Populasi Owa Jawa Berdasarkan Ketinggian di Atas Permukaan Laut (dpl.)
Lokasi Ketinggian
Kepadatan populasi owa jawa di hutan hujan dataran rendah adalah 2 individu/km2 dan di hutan hujan dataran tinggi 7 individu/km2. Perbedaan kepadatan ini disebabkan habitat owa jawa lebih banyak tersebar di dataran tinggi sampai pada ketinggian 1.600 m dpl (Massicot 2001). Kepadatan populasi owa jawa yang diidentifikasi di daerah Cibiuk dan Reuma Jengkol yang merupakan bagian dari kawasan TN Ujung Kulon, yaitu 9,2 individu/km2. Rerata kepadatan kelompok pada kedua daerah di TN Ujung Kulon tersebut adalah 2,8 kelompok/km2, dengan besar ukuran kelompok 3,3 individu. Kisaran jumlah individu yang ditemukan pada setiap identifikasi adalah 1-5 individu (Iskandar 2001), sedangkan pada tahun 1984, Kappeler melaporkan hasil penelitiannya yang memperkirakan kepadatan kelompok owa jawa di TN. Ujung Kulon sekitar 2,7 kelompok/km2.
Komposisi Kelompok
yang diperoleh dari sumber pakan digunakan untuk berpatroli dan mempertahankan teritori (Chivers 2000). MacKinnon dan MacKinnon (1984) menyatakan bahwa keuntungan kelompok dengan sistem hidup monogami dan mempertahankan teritori adalah 1) mengurangi aktivitas reproduksi yang tidak diperlukan dan meningkatkan perlindungan bagi anak-anaknya yang masih kecil; 2) mengurangi gangguan dan kompetisi dengan kelompok lain; 3) meningkatkan efisiensi dalam menemukan sumber pakan; dan 4) mengurangi kompetisi dalam perkawinan. Kekurangan kelompok populasi dengan sistem hidup monogami adalah 1) tidak fleksibel dalam penggunaan ruang; 2) perbandingan jenis kelamin tidak beragam sehingga menyebabkan berkurangnya keberhasilan reproduksi; 3) kecilnya ukuran kelompok mengurangi kemampuan berkompetisi dengan spesies lain; 4) peningkatan spesiasi merupakan bagian dari evolusi. Owa jawa yang kehilangan pasangannya, tidak akan mencari pengganti pasangan sampai akhir hayatnya. Kondisi demikian, dapat mempercepat penurunan populasi (Sudarmadji 2002).
Gibbon dengan sistem hidup monogami lebih memfokuskan sumber pakannya pada pohon berbuah dengan diameter besar dan tinggi untuk menghindari persaingan dengan kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi-male multi-female) seperti macaques dan orangutan. Lebih dari 60% waktu makannya digunakan untuk mengkonsumsi buah-buahan (Chivers 2000).
Umur betina siap kawin berkisar antara 6-7 tahun (CII 2000). Pasangan owa jawa akan menghasilkan 5-6 anak selama masa reproduksinya yaitu antara 10-20 tahun. Anak yang dihasilkan setiap kelahiran berjumlah satu individu, dengan lama menyusui sekitar tujuh bulan. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya adalah 40 bulan (Kuester 2000). Jantan dan betina muda menjelang dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup mandiri dengan pasangannya sebagai kelompok keluarga yang baru (Kirkwood & Stathatos 1992).
Daerah Jelajah
Daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu. Rowe (1996) mendefinisikan daerah jelajah sebagai estimasi penggunaan lahan oleh suatu kelompok pada kurun waktu tertentu. Daerah jelajah bisa sangat berbeda dari tahun ke tahun tergantung perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, persaingan dengan kelompok lain dalam satu spesies yang sama, dan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia, seperti perburuan, penebangan pohon dan meluasnya kegiatan pertanian. Pernyataan Rowe tentang perubahan luas daerah jelajah, sama dengan yang dikemukakan Collinge (1993), bahwa luas daerah jelajah bisa berubah tergantung dari ketersediaan sumber pakan, air dan tempat berlindung. Daerah jelajah terbentuk berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya. Ditambahkan pula, daerah jelajah harian bisa berubah setiap harinya tergantung pergerakan kelompok dalam melakukan aktivitasnya. Jelajah harian (day range) adalah jarak tempuh rata-rata suatu kelompok dalam satu hari, sedangkan core area adalah areal di dalam daerah jelajah yang paling sering digunakan oleh satu kelompok (Rowe 1996).
Owa jawa sangat tergantung kepada daerah jelajah yang telah dikuasainya. Walaupun banyak mengalami gangguan, owa jawa akan tetap bertahan pada wilayah yang telah dikuasai tersebut, sehingga perilaku ini menyebabkan kelangsungan hidup spesies tersebut mudah terancam jika hutan mengalami kerusakan (Geissmann 2002).
Penangkaran
Penangkaran merupakan suatu upaya mengembangbiakkan satwa liar yang dilakukan secara intensif di dalam kandang. Pengembangbiakkan satwa primata di dalam penangkaran mempunyai dua tujuan utama, yaitu menghasilkan satwa untuk kepentingan penelitian biomedis, serta melindungi spesies satwa yang terancam punah (De Mello 1991).
Pada dasarnya, sisitem perkandangan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem perkandangan tertutup (indoor enclosures) dan sistem perkandangan terbuka (outdoor enclosures). Pada sistem perkandangan tertutup, satwa ditempatkan di dalam suatu bangunan sehingga satwa tidak terganggu oleh cuaca maupun lingkungan luar, sedangkan pada sistem perkandangan terbuka, satwa ditempatkan pada kandang terbuka yang memungkinkan adanya pengaruh dari perubahan cuaca di luar (Bismark 1984). Berdasarkan tipenya, kandang dibagi menjadi tiga bagian (Bennet 1995), yaitu: 1) kandang individual (jantan/betina) dan sering disebut kandang individual atau berpasangan; 2) individual jantan/banyak betina, biasa disebut kandang harem; 3) banyak jantan dan banyak betina, disebut juga kandang kelompok (troop). Berdasarkan lokasinya, kandang dibagi ke dalam tiga lokasi: 1) dalam ruangan, biasanya diperuntukkan bagi kandang individual atau berpasangan; 2) kandang di luar ruangan, biasanya disebut kandnag koral atau kandang lapang; 3) kandang dalam/luar, disebut runs, biasanya merupakan gabungan konsep kedua jenis kandang tersebut.
Tabel 4. Rekomendasi Ukurang Kandang Satwa Primata Berdasarkan Berat Badan Satwa Primata Berat (kg) Luas/individu Tinggi
ft2 m2 in cm
Monyet
Kelompok 1 ≤1 1.6 0.14 20 50.80
Kelompok 2 ≤3 3.0 0.27 30 76.20
Kelompok 3 ≤10 4.3 0.39 30 76.20
Kelompok 4 ≤15 6.0 0.54 32 81.28
Kelompok 5 ≤25 8.0 0.72 36 91.44
Kelompok 6 ≤30 10.0 0.90 46 116.84
Kelompok 7 >30 15.0 1.35 46 116.84
Kera
Kelompok 1 ≤20 10.0 0.90 55 139.70
Kelompok 2 ≤35 15.0 1.35 60 152.40
Kelompok 3 >35 25.0 2.25 84 213.36
Sumber: Institute of Laboratory Animal Resources, Commission on Life Sciences, National Research Council (1996)
Model Estimasi Populasi
Model adalah suatu contoh, acuan atau pola (Badudu dan Zain 1996), Dalam studi ekologi, model merupakan formulasi yang memberikan gambaran tentang keadaan sebenarnya (real world situation). Populasi berubah-ubah sepanjang waktu, maka dengan adanya model dimungkinkan untuk mengadakan ramalan-ramalan mengenai keadaan populasi yang bersangkutan untuk waktu-waktu tertentu. Suatu model dapat diaplikasikan pada sesuatu yang bersifat sederajat atau bisa pula digunakan pada sesuatu yang bersifat beda dengan kemungkinan dilakukannya koreksi terhadap model yang sudah ada (Tarumingkeng 1994). Dalam menentukan suatu model populasi dapat dilakukan pendekatan satu atau lebih parameter yang berpengaruh terhadap keadaan suatu populasi pada habitat tertentu. Dengan model, penjelasan mengenai sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif (Tarumingkeng 1994).
gambaran tentang keadaan suatu populasi pada waktu dan tempat tertentu berdasarkan faktor yang mempengaruhinya (Tarumingkeng 1994).
Simulasi Populasi
Simulasi adalah pekerjaan tiruan atau meniru (Echols dan Shadily 1976). Simulasi populasi adalah suatu upaya untuk mengetahui status suatu populasi pada masa yang akan datang berdasarkan pendekatan keadaan populasi saat ini, data biologi, potensi ancaman terhadap populasi tersebut dan berbagai aspek yang mempengaruhi suatu populasi.
Simulasi populasi owa jawa bertujuan untuk mengetahui prediksi populasi spesies tersebut pada kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan faktor-faktor ancaman terhapat populasi owa jawa pada saat itu.
Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan masyarakat (Badudu dan Zain 1996). Kondisi sosial ekonomi bisa diartikan sebagai keadaan ekonomi suatu masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan mata pencaharian masyarakat tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jenis mata pencaharian dan kemampuan setiap individu dalam menjalani mata pencaharian tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan keadaan sosial ekonomi lingkungannya.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi di wilyah Resor Leuwi Waluh, Kabupaten Sukabumi: Citarik (06047.956’ Lintang Selatan dan 106033.002’ Bujur Timur) pada kisaran ketinggian 1.109-1.274 m di atas permukaan laut (dpl), Cibeureum (06047.567’ LS dan 106034.433’ BT) pada kisaran ketinggian 939-1.297 m dpl. dan Cisalimar (06045.361’ LS dan 106033.622’ BT) pada kisaran ketinggian 927-1.105 m dpl. serta satu lokasi di Resor Cikaniki, Kabupaten Bogor (06044.798’ LS dan 106032.274’ BT) pada kisaran ketinggian 986-1.185 m dpl. Gambar 7 menyajikan lokasi dan jalur penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak.
Gambar 7. Lokasi dan Jalur Penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak
Bahan dan Alat
Bahan
Satwa yang dijadikan target penelitian adalah owa jawa (Hylobates moloch) yang terdiri dari lima kelompok di Citarik dan Cikaniki, empat kelompok di Cibeureum dan tiga kelompok di Cisalimar dengan rerata setiap kelompok tiga ekor. Selain itu, diamati pula satu kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB yang terdiri dari sepasang induk dan satu bayi jantan untuk meneliti tingkah laku serta sepasang induk dan dua individu anak pada saat membandingkan kemampuan reproduksi.
Bahan yang digunakan untuk kepentingan analisis vegetasi adalah alkohol 70% yang digunakan sebagai bahan pengawet daun tumbuhan terutama yang tidak dikenali nama lokalnya. Contoh daun tumbuhan dalam setiap tipe hutan dan ketinggian dianalisis di Herbarium Bogoriense, Bogor.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan lunak sebagai berikut, 1) peta lokasi disertai dengan foto land sat; 2) Global Positioning System (GPS) untuk mencatat koordinat pada saat owa jawa diidentifikasi dan melakukan analisis vegetasi; 3) ArcView GIS 3,2 untuk menganalisis data koordinat hasil pencatatan dengan GPS; 4) program Minitab
14, perangkat lunak yang digunakan untuk mendapatkan persamaan garis regresi linier; 5) progam Vortex 9.6, untuk menduga populasi pada kurun waktu tertentu di masa yang akan datang; 6) teropong binokuler; 7) kompas; 8) kamera; 9) plant press untuk membuat sampel vegetasi yang tidak diketahui nama lokal atau tidak diketahui jenisnya; dan 10) alat tulis.
Metode Pengumpulan Data
Penentuan Lokasi
penelitian yang digunakan sebagai lokasi ekowisata. Luas masing-masing wilayah yang dijadikan areal penelitian adalah 35 ha, dengan kisaran ketinggian lokasi penelitian berkisar antara 927-1297m di atas permukaan laut (dpl).
Analisis Vegetasi
Pengumpulan data vegetasi dilakukan menggunakan metode garis berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998) di hutan primer Citarik dan Cikaniki, serta hutan Cibeureum dan Cisalimar. Pada setiap lokasi penelitian dibuat tiga plot sampel vegetasi sehingga total plot sampel berjumlah 12 plot dengan kriteria 1) lokasi identifikasi owa jawa, dan 2) perbedaan topografi dan habitat yang mewakili lokasi penelitian. Pencatatan jenis vegetasi dilakukan pada setiap ukuran plot yang dibuat pada berbagai tingkatan: semai, pancang, tiang dan pohon. Disain Metode Garis Berpetak disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Desain Metode Garis Berpetak
keterangan:
plot 2 m x 2 m untuk tingkat semai (permudaan dengan tinggi mencapai 1,5 m); plot 5 m x 5 m untuk tingkat pancang (permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5
m dan berdiameter kurang dari 10 cm);
plot 10 m x 10 m untuk tingkat tiang (pohon berdiameter antara 10-19 cm); plot 20 m x 20 m untuk tingkat pohon (diameter batang pohon minimal 20 cm).
Identifikasi pohon pakan dan pohon tidur dilakukan di sepanjang jalur penelitian populasi pada setiap lokasi penelitian. Pencatatan jenis pohon yang dimanfaatkan dilakukan pada saat identifikasi owa jawa memanfaatkan pohon pakan atau memanfaatkan pohon untuk digunakan sebagai pohon tidur.
5 2
20 10
Populasi Owa Jawa
Distribusi
Identifikasi distribusi owa jawa di areal penelitian dilakukan secara bersamaan saat pengamatan populasi di sepanjang jalur 3,5 km. Pencatatan dilakukan sebanyak 16 kali dan dicatat posisi koordinat setiap anggota kelompok dengan menggunakan GPS, selanjutnya data tersebut diplotkan ke dalam peta menggunakan Arch view GIS 3.2 sehingga pada akhir penelitian dapat diketahui distribusi kelompok owa jawa di setiap lokasi penelitian.
Komposisi Kelompok
Komposisi kelompok ditentukan berdasarkan pencatatan pada setiap pendeteksian kelompok owa jawa. Pencatatan data kelompok dilakukan setiap kali melakukan pengamatan populasi. Data yang dicatat adalah jumlah individu serta komposisi jantan dan betina berdasarkan kelas umur. Jumlah kelompok yang diidentifikasi berjumlah 17 kelompok, masing-masing lima kelompok di hutan primer Citarik dan Cikanini, empat kelompok di hutan sekunder Cibeureum dan tiga kelompok di hutan sekunder Cisalimar.
Komposisi kelompok pada masing-masing lokasi penelitian dibandingkan satu sama lain untuk mengetahui perbedaan jumlah dan komposisinya serta melihat kemampuan habitat setiap lokasi dalam mendukung populasi Owa Jawa.
Daerah Jelajah dan Interaksi Kelompok
Estimasi Populasi
Estimasi populasi owa jawa ditentukan berdasarkan penelitian menggunakan line transect sampling (metode jalur) (Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981). Metode line transect sampling sering digunakan di hutan tropika untuk menghitung kelimpahan relatif dan estimasi kepadatan berbagai jenis mamalia (>1 kg) (Wallace et al. 1998). Pada masing-masing lokasi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan jalur penelitian sepanjang 3,5 km dengan lebar jangkauan pandang 100 m pada kedua sisi jalur. Jarak pandang ini merupakan asumsi bahwa kemampuan maksimal daya pandang mata manusia adalah 50 m (Subekti et al. 2001). Pada setiap jalur penelitian dilakukan 16 kali ulangan dan diulangi pada musim berbeda, sehingga panjang total jalur penelitian adalah 448km. Masing-masing jalur diberi tanda pada setiap jarak 25m untuk memudahkan dalam mencatat lokasi pendeteksian. Gambar 9 menyajikan disain line transect sampling yang digunakan.
---
--- 3.500 m 50 m
50 m
Gambar 9. Disain Line transect sampling
Penelitian dimulai pada jam 6.30, pengamat berjalan perlahan sambil sesekali berhenti untuk memperhatikan dan mengamati daerah sekitar. Jika satu individu atau sekelompok owa jawa dideteksi, dicatat posisi kuadrat pendeteksian dengan menggunakan GPS, waktu deteksi, lokasi, jarak tegak lurus subyek terhadap jalur, jumlah individu dan komposisi dalam kelompok. Pencatatan jumlah dan komposisi kelompok dilakukan menggunakan metode sensus (Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981), sedangkan aktivitas pada saat deteksi dilakukan dengan menggunakan metode
Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB
Penelitian terhadap satu kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB (PSSP LPPM IPB) dilakukan untuk mengetahui pola aktivitas setiap individu berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin satwa, serta kemampuan reproduksi sepasang induk. Penelitian aktivitas harian secara umum dan kemampuan reproduksi dilakukan menggunakan metode focal animal sampling (Altman 1974; Martin dan Bateson 1986).
Model Estimasi Populasi
Pengumpulan data model estimasi populasi owa jawa dilakukan melalui pendekatan pohon pakan dan pohon tidur. Identifikasi pohon pakan dan pohon tidur dilakukan pada saat melakukan penelitian populasi. Berdasarkan identifikasi tersebut dibuat plot sampel menggunakan metode titik pusat kuadran (Kusmana 1997) pada setiap lokasi identifikasi owa jawa. Jumlah plot sampel tergantung jumlah identifikasi owa jawa di setiap jalur penelitian pada masing-masing lokasi penelitian. Disain metode kuadran disajikan pada Gambar 10.
pohon tempat tidur
pohon pakan
pohon pakan pohon tempat tidur
Gambar 10. Disain Metode Titik Pusat Kuadran (Kusmana 1997)
Simulasi Populasi
Simulasi populasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Vortex 9.6 (Lacy et al. 2005). Vortex adalah perangkat lunak komputer yang mensimulasi pengaruh tekanan deterministik lingkungan dan genetik pada suatu populasi di alam. Vortex menganggap dinamika populasi sebagai rangkaian kejadian tersendiri seperti: umur pertama betina melahirkan dan umur maksimum betina tersebut masih dapat melahirkan anak (tahun), persentase kelahiran per tahun (%), tingkat kematian per tahun (%), perbandingan jenis kelamin antara anakan, dan katastrofi berdasarkan peluang yang telah ditetapkan. Peluang tersebut dijadikan sebagai variabel konstan atau acak menurut distribusi tertentu. Program Vortex mensimulasi populasi melalui serangkaian tahapan kejadian yang menggambarkan siklus hidup khusus, seperti siklus reproduksi.
Sistem Vortex tidak memberikan gambaran pasti tentang suatu populasi pada kurun waktu tertentu karena input data yang dimasukkan adalah interaksi antara parameter yang berfluktuasi dan acak, dan berdasarkan pertimbangan ketidaktentuan data demografi populasi.
Analisis Data
Analisis Vegetasi
Komposisi dan Dominansi Jenis
Analisis vegetasi dilakukan untuk mendapatkan komposisi dan dominansi suatu jenis pohon pada lokasi penelitian. Selain itu, berdasarkan analisis vegetasi terebut dapat diperoleh informasi masing-masing karakteristik pohon pakan dan pohon tidur.
Data vegetasi yang diperoleh berdasarkan penggunaan metode garis berpetak dianalisis dengan cara berikut ini:
Kerapatan jenis ke-i (Ki) = jumlah individu jenis ke-i/luas total petak contoh Kerapatan relatif (KR) = (Ki/∑Ki) x 100%
Dominansi jenis ke-i (Di) = luas bidang dasar jenis ke-i/luas total petak contoh Dominansi relatif (DR) = (Di/∑Di) x 100%
Frekuensi relatif (FR) = (Fi/∑Fi) x 100% Indeks Nilai Penting (INP) = KR + DR + FR
Data pohon pakan dan pohon tidur yang diperoleh berdasarkan metode titik pusat kuadran, dianalisis menggunakan formula (Kusmana 1997).
Jarak rata-rata individu pohon ke titik pengukuran:
d1 + d2 + … +dn
đ= _________________ n
keterangan:
d = jarak individu pohon ke titik pengukuran di setiap
kuadran
n = banyaknya pohon
đ = rata-rata unit area/jenis, yaitu rata-rata luasan permukaan tanah yang diokupasi oleh satu jenis tumbuhan
Kerapatan total semua jenis (K) = unit area/(đ)2
Kerapatan relatif suatu jenis (KR) = jumlah individu suatu jenis/jumlah individu semua jenis x 100%
Kerapatan suatu jenis (KA) = KR x K/100
Dominansi suatu jenis (D) = KA x dominansi rata-rata per jenis Dominansi relatif suatu jenis (DR) = D/dominansi seluruh jenis x 100% Frekuensi suatu jenis (F) = jumlah titik ditemukannya suatu
jenis/jumlah semua titik pengukuran Frekuensi Relatif (FR) = F/frekuensi semua jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR
Lebar tajuk = pengukuran penampang melintang tajuk (X1 dan X2)
Populasi Owa Jawa
Distribusi
Komposisi Kelompok
Pada saat penentuan komposisi kelompok, dicatat jumlah total anggota kelompok, jenis kelamin dan kelas umur masing-masing individu dalam kelompok berdasarkan hasil identifikasi selama melakukan penelitian populasi. Setiap kelompok pada setiap lokasi penelitian dibedakan berdasarkan kriteria: jantan induk, betina induk, muda, dan bayi. Data komposisi kelompok yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik sehingga bisa diketahui komposisi setiap kelompok pada masing-masing lokasi penelitian.
Daerah Jelajah dan Interaksi Kelompok
Penentuan daerah jelajah ditentukan dengan cara memplotkan setiap koordinat yang diperoleh dari setiap anggota dalam satu kelompok owa jawa dalam satu hari ke dalam peta. Data koordinat yang dicatat dengan GPS diplotkan ke dalam peta menggunakan Arch view GIS 3,2 sehingga bisa diketahui posisi sebenarnya di dalam peta. Setiap koordinat terluar dari jelajah harian digabungkan membentuk daerah jelajah suatu kelompok pada kurun waktu tertentu.
Estimasi Populasi
Penentuan estimasi populasi dilakukan dengan menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan formula (Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981):
P = D x A keterangan:
P = Populasi
D = Kepadatan populasi A = Areal yang dihuni
Kepadatan populasi bisa diperoleh dengan menghitung jumlah individu yang diidentifikasi dan membaginya dengan luas areal penelitian, seperti formula berikut:
Jumlah individu teridentifikasi D = ---
Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB
Data kemampuan reproduksi dan komposisi kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB dibandingkan dengan kemampuan reproduksi dan komposisi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak, sedangkan pola aktivitas betina dewasa owa jawa dibandingkan dengan aktivitas betina dewasa owa jawa di dua kebun binatang yang berbeda, yaitu Pusat Primata Schmutzer, Jakarta dan KB. Taman Sari, Bandung. Pola aktivitas harian secara umum ditentukan berdasarkan persentse aktif dan istirahat kelompok owa jawa sehingga bisa diperoleh hubungannya dengan kemampuan reproduksi masing-masing kelompok.
Model Estimasi Populasi
Pendugaan model estimasi populasi dilakukan berdasarkan analisis hubungan peubah-peubah yang diamati, yaitu pohon pakan dan pohon tidur. Data yang diperoleh dari pengukuran pohon pakan dan pohon tidur dianalisis menggunakan perangkat lunak Minitab versi 14. Jumlah pohon pakan dan pohon tidur yang dihasilkan dari metode kuadran diolah satu persatu dengan menggabungkannya dengan jumlah owa jawa yang diidentifikasi pada setiap penelitian populasi. Pada proses tersebut, peubah dimasukkan satu persatu dengan mendahulukan peubah yang paling berpengaruh, kemudian dimasukkan peubah lain yang memiliki pengaruh yang lebih kecil. Pada tahap berikutnya, rerata pohon pakan dan pohon tidur digabungkan dengan kepadatan populasi owa jawa untuk dianalisis dengan cara yang sama. Hasil akhir analisis tersebut, dibuat berdasarkan pendekatan persamaan regresi linier sederhana dan ganda (Mattjik dan Sumertajaya 2002):
Y = ά + β1x1 + …+ βnxn keterangan:
Y = populasi
ά = intersep
β = koefisien arah
Simulasi Populasi
Vegetasi
Komposisi dan Dominansi Jenis
Analisis vegetasi di setiap lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui
potensi setiap habitat dalam mendukung kebutuhan hidup owa jawa di TN.
Gunung Halimun-Salak. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada setiap lokasi
penelitian tersebut, selanjutnya diidentifikasi jenis pohon yang dimanfaatkan
sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Hasil analisis vegetasi pada seluruh
lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat 52 jenis vegetasi tingkat pohon,
terdiri dari 30 jenis pohon diidentifikasi di hutan primer Citarik, 26 jenis di hutan
primer Cikaniki, 19 jenis di hutan sekunder Cibeurem dan 17 jenis pohon di hutan
sekunder Cisalimar. Jenis pohon yang mendominasi lokasi penelitian dan
memiliki rerata Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi berturut-turut adalah,
pasang batarua (Quercus gemiliflorus Blume, 19,02%); puspa (Schima wallichii
(DC.) Korth, 18,79%); saninten (Castanopsis javanica Blume, 17,98%), rasamala
(Altingia excelsa Noronha, 17,35%) dan kokosan monyet (Antidesma tetandrum
Bl, 14,47%). Beberapa jenis pohon tersebut mendominasi lokasi penelitian
tertentu, sehingga walaupun jenis tersebut dapat diidentifikasi di suatu lokasi,
belum tentu menjadi jenis yang paling dominan di lokasi tersebut. Tabel 5
menyajikan lima jenis pohon yang mendominasi setiap lokasi penelitian.
Tabel 5. Nilai INP Tertinggi Jenis Pohon di Citarik, Cikaniki, Cibeureum dan Cisalimar Menggunakan Metode Garis Berpetak
Lokasi Jenis KR
Hutan Primer Citarik
1. Pasang kapas (Lithocarpus sp.) 1,92 2,08 18,68 22,68
2. Puspa (Schima wallichii) 3,85 4,17 12,15 20,21
3. Pasang batarua
(Quercus gemiliflorus)
3,85 4,17 12,15 20,17
4. Saninten (Castanopsis javanica) 5,77 6,25 7,3 19,32
5. Kokosan monyet (Antidesma tetandrum)
Tabel 5. (Lanjutan)
Hutan primer Cikaniki
1. Darangdan (Ficus sinuata) 5,41 5,41 24,82 35,63
2. Mumuncangan (Ostodes paniculata)
8,11 5,41 7,27 20,78 (Quercus gemiliflorus)
6,90 8,00 9,45 24,34
4. Mumuncangan
(Ostodes paniculata))
6,90 8,00 6,71 21,61
(Quercus gemiliflorus)
12,00 8,70 10,88 31,58
3. Rasamala (Altingia excelsa) 8,00 8,70 9,96 26,65
4. Kondang (Ficus variegata) 8,00 8,70 7,68 24,37
5. Kokosan monyet (Antidesma tetandrum)
8,00 8,70 6,85 23,54
Keterangan:
KR = Kerapatan Relatif DR = Dominansi Relatif
FR = Frekuensi Relatif INP = Indeks Nilai Penting
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa besarnya rerata INP jenis pohon yang
sama pada setiap lokasi penelitian menunjukkan nilai yang berbeda, karena
adanya perbedaan jumlah identifikasi jenis pohon tersebut serta perbedaan
jumlah total pohon pada setiap lokasi penelitian. Pasang kayang (Lithocarpus
sp.) merupakan pohon yang paling mendominasi hutan primer Citarik,
sedangkan di hutan primer Cikaniki dan hutan sekunder Cisalimar didominasi
oleh darangdan (Ficus sinuata Thunb.) dan di hutan sekunder Cibeureum
Hutan primer Citarik dan Cikaniki merupakan habitat yang memiliki jumlah
jenis pohon yang lebih tinggi dibandingkan habitat Cibeureum dan Cisalimar. Hal
ini bisa terjadi karena selain Citarik dan Cikaniki merupakan hutan primer, habitat
Citarik jauh dari lokasi pemukiman penduduk sehingga akses untuk mencapai
kawasan tersebut lebih sulit dibandingkan ke lokasi lainnya, sedangkan lokasi
penelitian di hutan primer Cikaniki, merupakan bagian dari program ekowisata
yang dilaksanakan taman nasional, sehingga kontrol kawasan di hutan primer ini
dilakukan lebih intensif. Selain itu, masyarakat sekitar Cikaniki dilibatkan dalam
program ekowisata sebagai pemandu wisata atau mengelola guest house dan
home stay yang sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat, sehingga gangguan
yang terjadi pada kawasan relatif rendah. Hutan sekunder Cibeureum
berdekatan dengan areal perkebunan masyarakat, tetapi karena lokasinya
berjauhan dengan jalan utama yang digunakan sebagai perlintasan masyarakat,
maka keragaman jenis pohonnya lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder
Cisalimar. Selain itu, komunitas masyarakat yang tinggal paling dekat dengan
lokasi penelitian Cibeureum adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi
budaya tradisional dalam berinteraksi dengan lingkungan. Keragaman jenis
pohon terendah terdapat di hutan sekunder Cisalimar yang berbatasan langsung
dengan areal perladangan masyarakat. Salah satu penyebab rendahnya
keragaman jenis pohon di Cisalimar adalah terjadinya penyempitan luas
kawasan akibat semakin meluasnya aktivitas perladangan yang mengarah ke
dalam kawasan taman nasional. Selain itu, terjadi fragmentasi habitat yang
menyebabkan terpecahnya habitat yang pada awalnya merupakan satu kesatuan
menjadi dua habitat yang lebih kecil. Terpecahnya habitat ini secara langsung
mengakibatkan penurunan luas habitat dibandingkan luasan sebelumnya.
Keadaan ini, selain secara langsung mengancam habitat Cisalimar, diantaranya
penurunan jumlah jenis dan kerapatan pohon, akan berpengaruh pula terhadap
penurunan populasi owa jawa, karena berkurangnya sumber pakan dan
hilangnya peluang interaksi dengan populasi pada habitat lainnya. Tingginya
intensitas pembukaan dan pembakaran lahan di Cisalimar untuk dijadikan areal
a
b
Gambar 11. Pembakaran Lahan (a) untuk Dijadikan Perladangan (b)
Rendahnya keragaman pohon di Cisalimar menyebabkan kurang
beragamnya pohon yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan owa jawa,
sehingga jumlah populasi yang dapat menghuni kawasan tersebut merupakan
populasi paling rendah dibandingkan kawasan lain. Adanya gangguan berupa
perusakan habitat Cisalimar sesuai dengan pernyataan Primack et al. (1998)
yang menyatakan bahwa ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang
disebabkan oleh kegiatan manusia adalah perusakan habitat, fragmentasi
habitat, penggunaan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia,
introduksi spesies-spesies eksotik dan penyebaran penyakit. Ancaman terhadap
keanekaragaman hayati tersebut disebabkan oleh penggunaan sumberdaya
alam yang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya populasi
manusia.
Berdasarkan jenis vegetasi yang diperoleh pada tingkat pohon di semua
lokasi penelitian, maka dapat diidentifikasi jenis pohon yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pakan owa jawa.
Pohon Pakan
Identifikasi sumber pakan pada seluruh lokasi penelitian diperoleh 33
jenis pohon pakan owa jawa yang dikelompokkan ke dalam 11 famili. Persentase
terbesar jenis pohon pakan yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan tersebut
berasal dari famili Moraceae (24,2%), Fagaceae (24,2%), Myrtaceae (12,1%),
Euphorbiaceae (9,1%) dan Meliaceae (9,1%). Beberapa jenis vegetasi yang
dimanfaatkan sebagai sumber pakan antara lain, darangdan (Ficus sinuata
Thunb.), pasang batarua (Quercus gemiliflorus Blume), rasamala (Altingia
yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan di TN. Gunung Halimun-Salak
diidentifikasi pula di TN. Ujung Kulon yakni Moraceae (Rinaldi 1999).
Berdasarkan hasil penelitiannya, dilaporkan bahwa terdapat 27 jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan di TN. Ujung Kulon,
diantaranya Ficus callophylla Blume yang termasuk ke dalam famili Moraceae;
Spondias pinnata , Diospyros hermahprodita Bakh. dan Pometia pinnata. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Chivers (2000) yang melaporkan
bahwa jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon
yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Beberapa
jenis pohon lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berdasarkan
penelitian tersebut berasal dari famili Leguminosae, Myrtaceae, Annonacea,
Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae. Hasil penelitian yang sama
dilaporkan Mather (1992) yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah jenis
pohon dari dua famili yang paling sering dimanfaatkan sebagai sumber pakan
gibbon di Kalimantan, yaitu famili Moraceae dan Euphorbiaceae. Famili jenis
pohon lain yang juga dimanfaatkan adalah Leguminaceae, Myrtaceae,
Annonaceae, Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae. Jika dibandingkan
hasil penelitian yang telah dilakukan di TN. Gunung Halimun-Salak dan beberapa
lokasi lain tentang jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan owa
jawa, dapat disimpulkan bahwa terdapat kesamaan jenis pohon dari famili yang
sama yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan dalam kurun waktu
14 tahun.
Sesuai dengan pola hidup owa jawa yang bersifat arboreal dan
memanfaatkan strata pohon tengah dan atas, maka sumber pakan owa jawa
adalah jenis vegetasi pada tingkat pohon. Hasil identifikasi jenis pohon pakan
yang paling dominan dimanfaatkan owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak
adalah darangdan (Ficus sinuata, 39,28%), pasang batarua (Quercus
gemiliflorus, 25,82%), rasamala (Altingi excelsa,23,77%); saninten (Castanopsis
javanica,20,56%), dan kondang (Ficus variegata, 19,17%).Pemilihan jenis Ficus
sebagai salah satu sumber pakan utama, selain jenis tersebut banyak terdapat di
TN. Gunung Halimun-Salak, juga tersedia sepanjang tahun. Selain itu, sebagai
salah satu strategi untuk memperkecil persaingan dengan kelompok satwa
primata lain dalam penggunaan pakan, terutama dengan spesies satwa yang
terdiri dari banyak jantan dan banyak betina, seperti monyet ekor panjang
auratus). Ketiga spesies satwa primata ini diidentifikasi sebagai pesaing dalam
pemanfaatan sumber pakan di TN. Ujung Kulon (Iskandar 2001). Jenis pohon
pakan owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak selengkapnya disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Jenis Pohon Pakan Owa Jawa di Empat Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak
No. Nama Daerah Nama Ilmiah Famili INP
(%)
1. Rasamala Altingia exelsa Noronha Hammamelidaceae 23,77
2. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 13,90
3. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 25,82
4. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (Bl.)
Rehd
Fagaceae 2,51
5. Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 4,29
6. Tungurrut Castanosis tungurrut (Bl.)
DC.
Fagaceae 2,90
7. Kalimorot Lithocarpus sp. Fagaceae 16,12
8. Burununggul Castanopsis argentea (Bl.)
DC.
Fagaceae 15,13
9. Saninten Castanopsis javanica
Blume
Fagaceae 20,56
10. Kibeusi Memecylon excelsum Bl. Melastomaceae 4,14
11. Manyel leutik Medinilla exima Bl. Melastomaceae 15,95
12. Kisireum Syzygium rostratum (Bl.)
Dc.
Myrtaceae 2,68
13. Kupa Syzygium sp. Myrtaceae 11,54
14. Salam hutan Eugenia lineata (DC.)
Duthie
Myrtaceae 3,25
15. Kopo Eugenia densiflora (Bl)
Duthie
Myrtaceae 5,59
16. Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.)
Muell. Arg.(BI.) M.A.
Euphorbiaceae 11,38
17. Mumuncangan Ostodes paniculata Bl. Euphorbiaceae 16,40
18. Kokosan monyet Antidesma tetandrum Bl. Euphorbiaceae 16,16
19. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 39,28
20. Kihampelas Ficus sp. Moraceae 1,94
21. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 10,02
22. Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 6,25
23. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 12,22
24. Seuhang Ficus grossularioides
Burm.f.
Moraceae 3,95
25. Teureup Artocarpus elasticus (BI.)
DC. Reinw. Ex Blume
Tabel 6. (Lanjutan)
No. Nama Daerah Nama Ilmiah Famili INP
(%)
26. Kondang Ficus variegata Bl. Moraceae 19,17
27. Kakaduan Durio sp. Moraceae 2,19
28. Suren hutan Toona sureni (Blume) Merr. Meliaceae 2,11
29. Kihaji Dysoxylum alliaceum Bl. Meliaceae 1,94
30. Kecapi hutan Chisocheton divergens
Blume Meliaceae 1,33
31. Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb. Myristicaceae 4,55
32. Manggu leuweung
Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz
Crusiaceae 8,50
33. Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 8,80
Identifikasi jenis pohon pakan pada masing-masing lokasi penelitian
menunjukkan bahwa jumlah jenis pohon pakan di hutan primer Citarik (23 jenis)
dan Cikaniki (18 jenis) lebih tinggi dibandingkan di hutan sekunder Cibeureum
(15 jenis) dan Cisalimar (13 jenis). Perbedaan jumlah jenis pohon pakan ini
sesuai dengan hasil identifikasi pohon yang menunjukkan keragaman yang lebih
tinggi pada kedua habitat primer. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 3.
Profil pohon pakan di hutan primer Citarik dan Cikaniki menggambarkan
penyebaran pohon pakan yang relatif merata di sepanjang jalur pengamatan.
Ukuran tajuk pohon pada kedua hutan primer tersebut lebih lebar (Citarik:
15,32±2,39 m dan 13,69±2,20 m, Cikaniki: 12,66±1,29 m dan 10,62±0,93 m)
dibandingkan dua lokasi lainnya (Cibeureum: 11,56±1,42 m dan 9,26±0,99 m;
Cisalimar: 10,02±1,67 m dan 9,87±1,01 m). Selain memiliki tajuk sangat lebar,
tajuk pohon pakan di hutan primer Citarik dan Cikaniki saling terhubung satu
sama lain sehingga memudahkan owa jawa melakukan perpindahan dari satu
pohon ke pohon lain dengan cara brankiasi. Pohon pakan di hutan primer Citarik
dan Cikaniki dapat diidentifikasi di sepanjang jalur pengamatan, sebaliknya,
sebaran pohon pakan di hutan sekunder Cibeureum dan Cisalimar hanya dapat
diidentifikasi pada lokasi tertentu dalam jalur pengamatan.
Profil vegetasi yang digunakan sebagai pohon pakan di hutan primer
Citarik memiliki ciri-ciri sebagai berikut, 1) rerata jarak pohon yang dimanfaatkan
sebagai sumber pakan adalah pohon-pohon yang berjarak jauh dari jalur
pengamatan atau perlintasan manusia (21,40±1,64 m). Hal ini dilakukan untuk
menghindari kucing hutan yang merupakan predator owa jawa, dan menghindari
pohon pakan cukup besar dan tinggi karena disesuaikan dengan pola hidup
arboreal yang memanfaatkan strata tajuk tengah dan atas dalam melakukan
seluruh aktivitasnya; 3) lebar tajuk pohon pakan pada kedua sisi umumnya lebar,
sehingga antara tajuk pohon satu dengan lainnya saling berhubungan, hal ini
akan memudahkan owa jawa dalam melakukan pergerakan dari satu pohon ke
pohon lain. Gambar 12 menunjukkan owa jawa dewasa yang dapat diidentifikasi
di hutan primer Citarik sedang memanfaatkan pohon pakan, dan betina dewasa
bunting sedang berisitrahat di salah satu pohon yang memiliki percabangan yang
rindang.
b
a
Gambar 12. Jantan Dewasa di Pohon Pakan (a) dan Betina Dewasa Memanfaatkan Dahan Rindang untuk Beristirahat (b)
Cikaniki adalah hutan primer yang masih baik kondisi habitatnya.
Kawasan ini oleh pengelola TN. Gunung Halimun-Salak dijadikan sebagai lokasi
ekowisata dengan beberapa obyek wisata sebagai daya tarik. Jalur yang
digunakan dalam penelitian adalah jalur yang dimanfaatkan sebagai salah satu
jalur ekowisata sepanjang 3,8 km, tetapi dalam penelitian ini digunakan jalur
sepanjang 3,5 km, sesuai dengan panjang jalur penelitian di lokasi lainnya.
Rerata jarak pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan relatif dekat dari
jalur penelitan (12,79±1,34 m). Rerata jarak ini lebih dekat dibandingkan rerata
jarak di hutan primer Citarik. Hal ini diduga karena intensitas masuknya
wisatawan ke dalam kawasan dan menggunakan jalur penelitian cukup tinggi,
sehingga menyebabkan populasi owa jawa di sepanjang jalur penelitian lebih
terhabituasi dengan kehadiran manusia, dengan demikian, wisatawan tidak
dianggap sebagai ancaman. Walaupun Cikaniki merupakan hutan primer, rerata
ukuran diameter (37,67±20,59 cm) dan tinggi pohon pakan (19,08±7,96 m) lebih
kecil dibandingkan rerata diameter dan tinggi pohon pakan di hutan primer Citarik
pakan diduga karena adanya persaingan dalam penggunaan unsur hara di
dalam kawasan. Walaupun lebar tajuk pohon di hutan primer Cikaniki lebih
pendek dari hutan Citarik, tetapi masih lebih lebar dibandingkan dengan pohon
pakan di kedua hutan sekunder.
Hutan sekunder Cibeureum terletak sekitar satu km dari pemukiman
terdekat, dan berjarak 0,5 km dari lahan pertanian masyarakat. Kawasan ini
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk mencari kayu bakar dan sebagai
perlintasan menuju kawasan lain, dengan demikian, populasi owa jawa pada
kawasan ini cukup terhabituasi dengan keberadaan manusia di sekitar kawasan.
Hal ini ditunjukkan oleh jarak pohon pakan yang digunakan berjarak sekitar
18,88±1,61 m dari jalur pengamatan. Rerata diameter dan tinggi pohon pakan
lebih kecil dibandingkan di hutan primer. Demikian pula halnya dengan rerata
lebar tajuk yang memiliki ukuran lebih pendek (11,56±1,42 m) dan (9,26±0,99 m).
Kondisi ini disebabkan habitat Cibeureum merupakan habitat yang kurang subur
sehingga kemampuan tumbuh vegetasi di Cibeureum kurang baik. Hal ini
didukung pula oleh rendahnya rerata kerapatan pohon pakan di Cibeureum
(13,33 pohon/ha) dibandingkan dengan hutan primer Citarik (15,22 pohon/ha).
Cisalimar adalah hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan
lahan pertanian yang dikelola secara intensif oleh masyarakat. Pada kawasan
tersebut, terdapat beberapa perlintasan yang dapat digunakan masyarakat untuk
menuju lahan pertanian atau perladangan lainnya. Tingginya frekuensi
masyarakat memasuki habitat yang dihuni owa jawa menyebabkan jenis satwa
primata ini terbiasa dengan manusia. Hal ini bisa terlihat dari jenis vegetasi yang
dimanfaatkan sebagai pohon pakan yang memiliki jarak paling dekat ke jalur
penelitian. Ukuran diameter dan tinggi pohon di Cisalimar memiliki ukuran paling
kecil dibandingkan kawasan lain. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa hutan
sekunder Cisalimar merupakan kawasan dengan jenis pohon berumur lebih
muda dibandingkan hutan primer. Jika ditinjau dari kerapatan pohon per hektar,
hasil identifikasi menunjukkan bahwa kerapatan pohon pakan per hektar di hutan
sekunder Cisalimar (13,46 pohon/ha) lebih rendah dibandingkan kerapatan
pohon pakan di hutan primer Citarik (15,22 pohon/ha).
Pada habitat Cisalimar, terdapat kawasan yang terfragmentasi yang
mengakibatkan terputusnya ruang gerak owa jawa pada kawasan ini. Kelompok
owa jawa yang ada pada satu sisi habitat tidak bisa melakukan pergerakan ke
tersebut tidak bisa melebarkan daerah jelajahnya untuk mencari makan dan
menemukan pohon tidur yang baru; 2) peluang untuk terbentuknya kelompok
baru yang berasal dari gabungan individu dari kedua sisi habitat hilang karena
tidak adanya percabangan pohon yang menghubungkan kedua habitat tersebut.
Pada Gambar 13 disajikan perbedaan kualitas hutan antara hutan primer Citarik
yang tidak terganggu (a) dan hutan sekunder Cisalimar yang berbatasan dengan
lahan pertanian masyarakat (b).
a b
Gambar 13. Habitat Owa Jawa di Citarik (a) dan Cisalimar (b)
Fragmentasi habitat yang terjadi di hutan sekunder Cisalimar
mengakibatkan rerata tajuk pohon memiliki ukuran lebih pendek sehingga tajuk
pohon satu dengan lainnya tidak tersambung, sehingga lebih menyulitkan dalam
pergerakan owa jawa. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan terputusnya
interaksi antara satu kelompok dengan kelompok lain dan pada akhirnya akan
berakibat terhadap proses reproduksi owa jawa.
Karakteristik pohon pakan pada seluruh lokasi penelitian menunjukkan
informasi yang berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Hal ini
tergantung kepada status kawasan dan populasi owa jawa pada kawasan
tersebut. Tabel 7 menyajikan karakteristik pohon pakan di empat lokasi penelitian
TN. Gunung Halimun-Salak.
Tabel 7. Rerata Profil Pohon Pakan pada Setiap Lokasi Penelitian
Lebar tajuk (m) Lokasi
Jarak (m)
Diameter (cm)
Tinggi (m)
X Y
Citarik 21.40±1.64 41,61±19.75 21,30±6,81 15,32±2,39 13,69±2,20
Cikaniki 12.79±1.34 37,67±20,59 19,08±7,96 12,66±1,29 10,62±0,93
Cibeureum 18,88±1,61 39,13±15,14 19,90±6,14 11,56±1,42 9,26±0,99
Pada umumnya, owa jawa di hutan primer Citarik diidentifikasi pada jarak
yang relatif jauh dari jalur penelitian. Hal ini disebabkan, populasi owa jawa di
Citarik merupakan populasi yang paling jarang bertemu manusia dibandingkan
ketiga habitat lain karena lokasinya yang jauh dari pemukiman maupun lahan
pertanian masyarakat, sehingga owa jawa di habitat Citarik tidak terhabituasi
dengan manusia. Kisaran diameter dan tinggi pohon yang dimanfaatkan sebagai
pohon pakan di Citarik dan Cikaniki memiliki kisaran yang lebih lebar
dibandingkan hutan sekunder Cisalimar, artinya bahwa ketersediaan pohon yang
dimanfaatkan sebagai pohon pakan cukup tinggi, dimulai dari pohon berdiameter
20 cm sampai sekitar 86 cm di habitat Citarik, dan 19-86 cm di habitat Cikaniki.
Walaupun Cibeureum merupakan hutan sekunder, tetapi masyarakat yang hidup
paling dekat dengan kawasan ini adalah sekelompok masyarakat (9 kepala
keluarga) yang masih memegang dan menjalankan budaya tradisional dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya hutan masih terbatas
pada kebutuhan kayu bakar dan kebutuhan sehari-hari yang masih wajar,
sehingga habitat owa jawa di Cibeureum masih relatif baik. Tinggi pohon pakan
pada kedua hutan primer dan hutan sekunder Cibeureum memiliki rentang yang
sangat lebar. Gambar 14 menyajikan kisaran diameter dan tinggi pohon yang
dimanfaatkan sebagai pohon pakan di setiap lokasi penelitian.
D
Gambar 14. Kisaran Diameter dan Tinggi Pohon Pakan di Setiap Lokasi Penelitian
Rentang diameter dan tinggi pohon pakan di hutan sekunder Cisalimar
menunjukkan kisaran yang sempit, artinya pohon yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pakan di hutan sekunder Cisalimar terbatas. Hal ini bisa dilihat
dari sedikitnya jumlah jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan (13
jenis) dan umumnya diameter pohon pakan berkisar antara 26-36 cm dan tinggi
pohon berkisar antara 14-18 cm. Pada Gambar 15 disajikan perbedaan profil
Citarik Cikaniki
Cibeureum Cisalimar
Gambar 15. Profil Pohon Pakan di Hutan Primer Citarik dan Cikaniki dan di Hutan Sekunder Cibeureum dan Cisalimar TN. Gunung