• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA KOMUNITAS TAMIL DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN

SKRIPSI

Oleh

SRI HANDAYANI TAMPUBOLON 100904024

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA KOMUNITAS TAMIL DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata I (SI) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera utara

Oleh

SRI HANDAYANI TAMPUBOLON 100904024

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama: Sri Handayani Tampubolon NIM: 100904024

Tanda Tangan:

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Sri Handayani Tampubolon

NIM : 100904024

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

Medan, Agustus 2014

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Lusiana A. Lubis, MA., Ph. D Dra. Fatma Wardy Lubis, Ma

NIP. 196704051990032002 NIP. 196208281987012001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : SRI HANDAYANI TAMPUBOLON

NIM : 100904024

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik

Universitas : Universitas Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti non Eksklusif (Non Exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA PADA KOMUNITAS TAMIL DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).

Dengan Hak Bebas Royalti non Ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media / formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : Agustus 2014

Yang menyatakan

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kata pertama yang peneliti ucapkan sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rezeki, ridho dan berkah yang Ia limpahkan dalam segala bentuk hingga skripsi yang berjudul PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA KOMUNITAS TAMIL DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN ini selesai. Tak lupa shalawat beriring salam juga peneliti haturkan pada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya kejalan yang terang.

Skripsi yang peneliti buat adalah sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di program sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara pribadi peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan sumbangsih langsung untuk studi ilmu komunikasi. Semoga tidak hanya bermanfaat bagi peneliti, tapi juga bagi siapa saja yang berminat mendalami Ilmu Komunikasi khususnya bidang jurnalistik. Bagi peneliti, skripsi ini tidak hanya sebuah syarat untuk mendapatkan sebuah gelar namun juga sebagai tempat tersimpan ilmu yang mampu memperkaya pengetahuan peneliti.

Selama menjalani masa studi dibangku kuliah selama hampir empat tahun, peneliti tidak pernah berjalan sendiri. Selalu ada dukungan moril maupun material yang peneliti dapatkan dari banyak pihak. Oleh karena ini sudah sepantasnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada mereka dalam kesempatan ini, walaupun tidak bisa peneliti sebutkan satu per satu.

(7)

Peneliti juga ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dan membantu proses pendidikan dan pengerjaan skripsi ini. Dengan segenap rasa hormat peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatmawardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Lusiana Andriani Lubis, MA., Ph. D selaku dosen pemimbing yang telah memberi arahan, masukan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini. Terima kasih untuk ilmu dan waktu yang telah diberikan.

4. Seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan. 5. Orang-orang terkasih Annisa Febrina, Indah Maulidia, Melati Wanda Putri,

Mishara Khairunnisa Lubis, M. Fajar Khalil, Cindy Natasha Castella, Nasrah Nasrifah, Kiki Agus Setiawan dan Grace Ebanta Ginting sejak awal kuliah sampai saat ini yang juga memberikan cinta kasih, semangat luar biasa kepada peneliti serta membantu selesainya skripsi ini.

6. Keluarga besar Pers Mahasiswa Suara USU yang telah memberikan arti kehidupan dari sisi lain oleh peneliti, terimakasih juga untuk rumah tanpa jeda Sekretariat Suara USU yang telah menyatukan kita. Serta teman-teman, kakak-kakak, abang-abang dan adik-adik Keluarga SUARA USU yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang mau membagi waktu dan memberi banyak pengalaman kepada peneliti.

7. Teman seperjuangan di Pers Mahasiswa SUARA USU Baina Dwi Bestari, Debora Blandina Sinambela, Hadissa Primanda, Ipak Ayu HN, Izzah Dienillah Saragih, dan Pebri Hardiansyah Pohan terimakasi untuk segalanya. 8. Kakanda Wan Ulfa Nur Zuhra dan Moyang Dewi Kasih Merdeka yang

menjadi motivasi peneliti bisa bertahan di SUARA USU serta Shanaz Asnawi Yusuf dan Sofiari Ananda membantu membuka pikiran peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.

(8)

PKL dan semua teman-teman PKL peneliti selama dua bulan memberikan banyak arti.

10.Teman-teman kosan Soyfan 24 dan Harmonika 28 yang mengisi hari-hari peneliti dalam waktu yang tidak sebentar.

11.Teman-teman Ilmu Komunikasi FISIP USU 2010.

12.Teman-teman IPTR USU yang memberikan tempat untuk peneliti bisa menyalurkan hobi.

13.Seluruh masyarakat Komunitas Etnis India Tamil yang ada di Kampung Madras, khususnya kepada Pak Rau, Pak Mano, Ibu Kalyani, Pak Sanjay, Kak Rekha dan Kak Yunita sebagai informan dalam skripsi peneliti.

Peneliti menyadari bahwa masih penelitian ini belumlah sempurna, disebabkan oleh keterbatasan peneliti sebagai manusia yang tak luput dari lupa dan kesalahan. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini punya manfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2014

Peneliti

(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas etnis yang ada dalam komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil yang ada di Kampung Madras Kota Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif dengan lebih menspesifikasikan lagi kepada teori analisis interaksisme simbolik dan fenomenologi. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Subjek penelitian ini adalah enam orang masyarakat Etnis India Tamil sebagai informan. Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik snowball atau bola salju. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras sudah efektif. Baik itu dengan sesama etnis India Tamil atau pun dengan etnis lain. Hal ini yang membuat seluruh masyarakat yang ada di Kampung Madras menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan toleransi yang cukup tinggi. Masyarakat Komunitas India Tamil yang ada di Kampung Madras tetap menjaga peran identitas etnis mereka walaupun saat ini ada yang sudah mulai menghilang. Mengenai in-group dan out gruop masyrakat India Tamil yang ada di Kampung Madras lebih mencari kesamaan seperti makanan dan pakaian sehari-hari. Meskipun pakaian India tetap digunakan saat beribadah dan saat ada acara tertentu. Namun kebiasaan memakai pottu, kalung dan gelang tetap menjadi identitas etnis Inida Tamil. Mulai lunturnya kebudayaan India Tamil di Kampung Madras dikarenakan kurangnya kepedulian orang tua dan anak muda India Tamil sebagai generasi penerus. Sebagai daerah yang kini dipadati dengan penduduk beragam etnis dan kebudayaan mengakibatkan mulai jarangnya masyarakat India Tamil yang menggunakan bahasa Tamil, mereka lebih sering berbahasa Indonesia saat berkomunikasi.

Kata Kunci :

(10)

ABSTRACT

This study, entitled The Role of Ethnic Identity in Intercultural Communication in the Indian Tamil community in Kampung Madras. This study aims to determine how the role of ethnic identity in intercultural communication in the Indian Tamil community in Kampung Madras Medan. The method used in this study is a case study that focuses intensively on a particular object as a case study it. This study used a qualitative analysis method that tends to be associated with the interpretive paradigm over again specifying the symbolic interaksisme analysis theory and phenomenology. This method concentrates on the investigation of how humans make sense of their social way of life, and how people express their understanding. The subjects were six people Ethnic Indian Tamil community as informants. The selection of the study subjects was done by using snowball or snowballs. Data was collected through in-depth interviews of the informant. The results showed that intercultural communication in the Indian Tamil community in Kampung Madras have been effective. Whether it's with fellow ethnic Indian Tamil or any other ethnic. This makes the entire community in Kampung Madras relationship and good communication with a pretty high tolerance. Community of Indian Tamil community in Kampung Madras while maintaining their ethnic identity roles although this time there were already starting to disappear. Regarding the in-group and out gruop Indian Tamil society in Kampung Madras is looking for similarities such as food and clothing daily. Although India remains in use today garments worship and when there is a specific event. But the habit of wearing Pottu, necklaces and bracelets remain a Inida Tamil ethnic identity. Start the erosion of Indian culture in Kampung Madras Tamil due to lack of awareness of parents and young people as the next generation Indian Tamils. As a region that is now crowded with diverse ethnic and cultural population resulted in scarcity of Indian society began using Tamil Tamil language, they are more frequent in Indonesian language when communicating.

Keywords:

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR… ... i

ABSTRAK…. ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Kajian ... 9

II.2 Kajian Pustaka ... 11

II.2.1 Komunikasi Antarbudaya ... 12

II.2.1.1 Interaksi Simbolik ... ... 16

II.2.2 Identitas Etnis ... 22

II.2.2.1 Pendekatan Terhadap Identitas Etnis ... 26

II.3 Penelitian Terdahulu ... 27

II.4 Model Teoritik ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 31

III.1.2 Studi Kasus ... 32

III.2 Objek Penelitian ... 33

III.3 Subjek Penelitian ... 34

(12)

III.6 Teknik Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Penelitian ... 38

IV.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 39

IV.1.2 Deskripsi Proses Penelitian ... 39

IV.1.3 Hasil Wawancara dan Pengamatan ... 70

IV.2 Pembahasan ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan ... 87

V.2 Saran ... 87

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas etnis yang ada dalam komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil yang ada di Kampung Madras Kota Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif dengan lebih menspesifikasikan lagi kepada teori analisis interaksisme simbolik dan fenomenologi. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Subjek penelitian ini adalah enam orang masyarakat Etnis India Tamil sebagai informan. Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik snowball atau bola salju. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras sudah efektif. Baik itu dengan sesama etnis India Tamil atau pun dengan etnis lain. Hal ini yang membuat seluruh masyarakat yang ada di Kampung Madras menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan toleransi yang cukup tinggi. Masyarakat Komunitas India Tamil yang ada di Kampung Madras tetap menjaga peran identitas etnis mereka walaupun saat ini ada yang sudah mulai menghilang. Mengenai in-group dan out gruop masyrakat India Tamil yang ada di Kampung Madras lebih mencari kesamaan seperti makanan dan pakaian sehari-hari. Meskipun pakaian India tetap digunakan saat beribadah dan saat ada acara tertentu. Namun kebiasaan memakai pottu, kalung dan gelang tetap menjadi identitas etnis Inida Tamil. Mulai lunturnya kebudayaan India Tamil di Kampung Madras dikarenakan kurangnya kepedulian orang tua dan anak muda India Tamil sebagai generasi penerus. Sebagai daerah yang kini dipadati dengan penduduk beragam etnis dan kebudayaan mengakibatkan mulai jarangnya masyarakat India Tamil yang menggunakan bahasa Tamil, mereka lebih sering berbahasa Indonesia saat berkomunikasi.

Kata Kunci :

(15)

ABSTRACT

This study, entitled The Role of Ethnic Identity in Intercultural Communication in the Indian Tamil community in Kampung Madras. This study aims to determine how the role of ethnic identity in intercultural communication in the Indian Tamil community in Kampung Madras Medan. The method used in this study is a case study that focuses intensively on a particular object as a case study it. This study used a qualitative analysis method that tends to be associated with the interpretive paradigm over again specifying the symbolic interaksisme analysis theory and phenomenology. This method concentrates on the investigation of how humans make sense of their social way of life, and how people express their understanding. The subjects were six people Ethnic Indian Tamil community as informants. The selection of the study subjects was done by using snowball or snowballs. Data was collected through in-depth interviews of the informant. The results showed that intercultural communication in the Indian Tamil community in Kampung Madras have been effective. Whether it's with fellow ethnic Indian Tamil or any other ethnic. This makes the entire community in Kampung Madras relationship and good communication with a pretty high tolerance. Community of Indian Tamil community in Kampung Madras while maintaining their ethnic identity roles although this time there were already starting to disappear. Regarding the in-group and out gruop Indian Tamil society in Kampung Madras is looking for similarities such as food and clothing daily. Although India remains in use today garments worship and when there is a specific event. But the habit of wearing Pottu, necklaces and bracelets remain a Inida Tamil ethnic identity. Start the erosion of Indian culture in Kampung Madras Tamil due to lack of awareness of parents and young people as the next generation Indian Tamils. As a region that is now crowded with diverse ethnic and cultural population resulted in scarcity of Indian society began using Tamil Tamil language, they are more frequent in Indonesian language when communicating.

Keywords:

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Konteks masalah

Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Konsep masyarakat majemuk itu masih dipertahankan melalui Bhineka Tunggal Ika (Liliweri 2001: 167). Slogan yang artinya satu dalam keberagaman tersebut, ditanamkan kepada setiap masyarakat Indonesia sejak kecil, agar terbiasa dengan budaya yang beraneka ragam di Indonesia. Sumatera Utara merupakan salah satu dari 34 provinsi di Indonesia dengan ibu Kota Medan sebagai kota nomor tiga terbesar setelah Jakarta dan Surabaya. Data terbaru dari pemerintahan tahun 2013 kota Medan mencatat penduduknya sebanyak 2.983.868 jiwa

(17)

orang-orang Uttar Pradesh

Kota Medan saat ini banyak dijumpai etnis India Tamil. Salah satu yang masih dikenal dengan daerah Komunitas India Tamil adalah Kampung Madras. Komunitas India Tamil adalah orang-orang India Tamil yang membentuk komunitas saat pertama kali menetap di Medan. Saat ini pun masih dikenal dengan Komunitas India Tamil. Komunitas adalah wujud masyarakat yang kongkret, memilki ikatan berdasarkan suatu sistem adat-istiadat yang sifatnya kontinyu, berdasarkan rasa identitas bersama yang dimiliki semua kesatuan masyarakat, serta terikat oleh suatu lokasi yang nyata dan kesadaran wilayah yang kongkret (Koentjaraningrat, 2011: 122).

Komunitas India Tamil sampai saat ini masih banyak menyebar dibeberapa titik di Kota Medan. Kulit hitam, hidung mancung dan kumis lebat menjadi ciri khas kebanyakan keturunan India Tamil. Kampung Madras merupakan salah satu daerah dimana etnis India Tamil menetap. Kampung Madras merupakan nama salah satu kelurahan yang ada di Kota Medan berletak Jl. Zainul Arifin. Kampung Madras yang identik dengan Komunitas India Tamil lebih dikenal dengan sebutan Kampung Keling. Orang-orang menyebutnya Kampung Keling karena disana tinggal Komunitas India Tamil yang berkulit gelap atau keling. Nama Kampung Keling dinilai diskriminatif. Oleh sebab itulah secara resmi ditetapkan menyebutkan nama daerah tersebut dengan Kampung Madras yang resmikan oleh mantan Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin. Secara geografis, Kampung Madras memiliki luas sekitar kurang-lebih 10 hektare. Wilayah ini terletak disekitar Medan Polonia dan Medan Petisah. Kawasan tersebut ada dijumpai kuil Hindu tertua di Medan, yang bernama Kuil Sri Mariamman. Kuil tersebut dibangun antara tahun 1881-1884, dan menjadi bukti bahwa bangsa India petama singgah di Kampung Madras

(18)

rempah-rempah India. Kehidupan masyarakat Komunitas India Tamil di Kampung Madras, menggambarkan keadaan India. Di tandai dengan terdapat banyak bangunan peninggalan India yang masih bisa dilihat di kampung ini. Daerah ini juga terkenal dengan kulinernya yang khas dengan kuliner India. Ada satu tempat dimalam hari yang penuh dengan penjual makanan-makanan India yaitu Pagaruyung.

Masyarakat etnis India Tamil yang menetap di Kampung Madras sudah sangat lama. Mereka bukan hanya memiliki sejarah sebagai buruh zaman kolonial Belanda saja, namun tentunya datang dengan membawa serta kebudayaan mereka. Masyarakat India Tamil yang sudah menetap di Kampung Madras masih menjalankan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan budaya mereka. Itulah alasan peneliti mengambil daerah Kampung Madras sebagai objek penelitian. Budaya adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang yang dibawa sejak lahir hingga meninggal. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup, belajar berpikir, merasa dan mempercayai serta mengusahakan mana yang baik dan buruk. Kebudayaan berwujud gagasan, kegiatan dan benda-benda ciptaan manusia. Kebudayaan merupakan elemen subjektif dan objektif yang mungkin dibuat manusia dimasa lalu untuk mempertahankan hidup. Tersebar diantara mereka yang berkomunikasi, karena kesamaan bahasa, waktu, dan tempat (Samovar, dkk 2010: 27).

Saat berkomunikasi dengan sesama tak jarang masyarakat India Tamil ini menggunakan bahasa Tamil namun saat ini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Berdasarkan penggunaan bahasanya ada ragam tinggi dan ragam rendah. Ragam tinggi digunakan dalam tulisan, seperti naskah dalam radio, televisi, pidato. Sedangkan ragam rendah digunakan untuk bahasa sehari-hari. Selain itu juga etnik ini dalam kehidupannya memiliki beberapa upacara yang khas. Upacara tersebut berhubungan dengan tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakat. Upacara tersebut berfungsi untuk mengejewantahkan (mewujudkan) sistem nilai dan filsafat hidup sebagai kearifan lokal Etnik Tamil. Kebudayaan itu

berdasarkan nilai-nilai ajaran Hindu dan budaya Tamil

(19)

Upacara-upacara tersebut adalah upacara kelahiran, upacara aqil baligh, perkawinan dan kematian. Upacara kelahiran bertujuan untuk mengundang kekuatan spritual ibu dan bayinya serta memohon untuk keselamatan bayinya kelak. Ada lagi upacara aqil baligh, upacara ini untuk anak perempuan yang memasuki masa remaja. Tujuannya untuk memohon kekuatan restu, perlindungan dari Tuhan dan kerabat agar anak perempuan tersebut terhindar dari pengaruh buruk. Kemudian ada upacara perkawinan, dalam bahasa Tamil perkawinan disebut Thirumanam yang artinya penyatuan kedua jenis manusia atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa (Sinar, 2008: 18). Hampir sama dengan budaya lainnya, upacara perkawinan tersebut sebagai kegiatan wujud syukur kepada Tuhan yang telah menyatukan sepasang manusia. Terakhir adalah upacara kematian yaitu untuk menghormati anggota keluarga yang sudah meninggal dan harus kembali kepada penciptanya. Banyak keunikan budaya yang dapat dilihat dari komunitas Tamil mulai dari bentuk pakaian, bahasa, makanan khas terlebih lagi adat-istiadatnya. Serangkaian kebudayaan masyarakat India Tamil tersebut menambah kaya keberagaman kebudayaan di Kota Medan, yang menggambarkan Medan multikultural.

Berbicara tentang budaya tak lepas dari proses komunikasi. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan komunikasi. Berdasarkan uraian sederhana tentang budaya Etnik Tamil tersebut, segala kegiatannya pastilah ada proses komunikasi. Baik itu komunikasi verbal maupun non verbal. Apalagi dalam hal ini Komunitas Etnik Tamil ini hidup tidak dilingkungan aslinya, tentu tidak mudah untuk memahami antara budaya yang dimiliki dengan budaya dimana kita tinggal.

(20)

berkomunikasi sehingga dapat mengenal dan mengevaluasi siapa yang berkomunikasi dengan dia (Liliweri, 2004: 90).

Belajar memahami lingkungan baru artinya juga memahami kebudayaan baru dengan komunikasi sehari-hari. Komunikasi antarbudaya berarti memahami realitas budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi. Samover dan Porter menyatakan hubungan antarbudaya dan komunikasi sangat penting untuk memahami komunikasi antarbudaya karena hal itu mempengaruhi budaya orang-orang untuk berlajar berkomunikasi. Sedangkan menurut Sitaram komunikasi antarbudaya sendiri bermakna sebagai sebuah seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (Lubis, 2008: 2-10).

Karakteristik budaya itu adalah simbol, tumbuh, berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya, dipelajari dan dipertukarkan. Melalui budaya manusia bertukar dan belajar banyak hal, karena pada kenyataannya identitas individu adalah realitas budaya yang diterima dan pelajari. Proses komunikasi menuntun individu bertemu dan bertukar simbol dengan orang lain. Serta dituntut untuk memahami orang lain yang berbeda budaya dan perbedaan tersebut tak jarang bisa menimbulkan bermacam kesukaran dalam kelangsungan komunikasi yang terjalin.

Komunitas India Tamil merupakan satu contoh yang hidup dan menetap dilingkungan yang berbeda dengan kebudayaan aslinya. Masyarakat ini bersosialisasi dengan lingkungan yang beragam kebudayannya. Perbedaan yang dipahami individu dengan budaya lain menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri. Begitu pun dengan masyarakat Tamil dan bagaimana fenomena yang mereka alami ketika hidup di lingkungan dengan kebudayaan yang jauh berbeda, serta dapatkah mereka mempertahankan identitas etnisnya.

Identitas etnis menurut Alba, dinilai sebagai orientasi subjektif seseorang yang mengarahnya pada etnis asalnya (Lubis, 2012: 163). Identitas etnis sebenarnya merupakan bentuk identitas budaya yang dilihat sebagai kumpulan ide tentang kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Identitas etnis secara sederhana yaitu sebagai sense tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnik tertentu, sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan

(21)

dan perilaku terkait etnisnya. Identitas etnis juga dibangun atas kesadaran akan budaya yang dimiliki, budaya juga mempengaruhi identitas etnis. Bahkan melalui konteks budaya lah, identitas etnis dipertukarkan dan dipelajari dari generasi ke generasi. Jika dilihat pada Komunitas Etnis India Tamil yang ada di Kampung Madras identitas etnis adalah apa yang mereka tunjukkan pada etnis lain. Apalagi saat ini Kampung Madras juga banyak di datangi oleh etnis lain yang ada di Kota Medan, seperti Tionghoa, Batak, Jawa serta Minang. Adanya identitas etnis Tamil dapat membedakan mereka dengan etnis lain. Hal tersebut bisa dilihat dari pargaulan mereka dan atribut yang mereka pakai.

Komunitas India Tamil yang tinggal di Kampung Madras ini, selain berkomunikasi dengan sesama mereka juga tentunya hidup dan berkomunikasi dengan etnis lain. Komunitas Tamil dan masyarakat etnis lain sebagai masyarakat asli Medan memiliki banyak perbedaan budaya. Perbedaan itu seperti bahasa, adat kebiasaan sehari-hari serta nilai atau norma yang dianut. Mengenai hal ini, kita pasti menyadari bahwa komunikasi antarbudaya pasti terjadi. Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah hal yang sederhana. Lewis & Slade menguraikan tiga kawasan yang paling problematika dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai, dan perbedaan pola perilaku kultural (Rahardjo, 2005: 54).

(22)

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah proses komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras?

b. Bagaimanakah peran identitas etnis dalam komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Medan?

c. Apa saja upaya-upaya yang dilakukan masyarakat Komunitas India Tamil di Kampung Madras dalam mempertahankan identitas etnis?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, antara lain :

a. Untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras kota Medan?

b. Untuk mengetahui peran identitas etnis dalam komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras kota Medan?

c. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan masyarakat Komunitas India Tamil di Kampung Madras dalam mempertahankan identitas etnis?

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, antara lain adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya tentang identitas etnis.

2. Secara akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya pengetahuan mengenai identitas etnis dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat masih sedikit penelitan mengenai komunikasi antarbudaya di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

(23)
(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Secara sadar atau tidak setiap orang memiliki cara pandang terhadap suatu hal atau peristiwa. Begitu juga seorang peneliti dalam dirinya tentu memiliki cara pandang atau sudut pandangnya terhadap penelitian yang dilakukan. Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah didapatkan oleh peneliti sangat wajar peneliti memiliki cara pandang, kerangka pemikiran sendiri yang sering disebut perspektif atau ada juga yang menyebutnya paradigma.

Perspektif sering juga disebut paradigma (paradigm), bahkan disebut pula mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Istilah-istilah lain yang sering diidentikkan dengan perspektif adalah model, pendekatan, strategi intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, dan pandangan dunia atau worldview

(Mulyana, 2001 :8-9). Perspektif mempengaruhi apa yang dilihat dan bagaimana menafsirkannya. Pada dasarnya penelitian dilakukan dengan upaya mengejar, menemukan atau membenarkan suatu kebenaran. Upaya-upaya yang dilakukan oleh para peneliti dibarengi dengan model-model tertentu. Model-model tertentu biasanya disebut dengan paradigma (Moleong, 2009 :30 ). Paradigma merupakan suatu cara pandang untuk dapat memahami kerumitan dalam dunia nyata. Paradigma dapat ditafsirkan berbagai macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang.

(25)

dunia. Paradigma positivisme dan post-positivisme dianggap terlalu umum dan tidak dapat menangkap kerumitan yang terjadi dalam interaksi manusia.

Paradigma interpretatif mencoba memahami bagaimana menangkap pemaknaan melalui interaksi. Interpretatif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara sangat berbeda dibandingkan dengan post-positivis. Pendekatan ini fokus pada sifat subjektif dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir yang sedang dipelajarinya. Pandangan kalangan interpretatif menolak orang-orang yang selalu memiliki berpegangan (realis) terhadap dunia sosial. Mereka lebih mendukung pandangan nominalis atau lebih sering kepada konstruksionisme sosial.

Paradigma interpretif mulai unggul dan dikenal sekitar tahun 1980-an. Para peneliti yang menggunakan paradigma ini berasumsi bahwa realitas eksternal tidak hanya dari manusia tapi juga manusia mengkonstruksikan realitas tersebut. Pengalaman manusia juga termasuk komunikasi, bersifat subjektif dan perilaku manusia tidak ditetapkan sebelumnya ataupun diramalkan. Tujuan dari penelitian komunikasi antabudaya dengan pendekatan ini adalah untuk mengerti dan menjelaskan perilaku manusia dan prediksi bukanlah menjadi tujuan ( Martin & Thomas, 2007: 56). Lebih jelas dinyatakan oleh Guba (1990) yaitu realitas sosial hadir dalam beragam dalam bentuk konstruksi mental, berdasar pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan spesifik, kemudian bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang menjalaninya (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 138).

Interpretatif menyoroti gagasan bahwa realitas tidak akan bisa dimengerti tanpa adanya pertimbangan proses sosial dan mental yang terus menerus membangun realitas tersebut. Paradigma ini juga mengatakan tidak ada hukum atau peraturan yang bersifat menyeluruh (universal), dan segala yang ada dalam realitas bukanlah kausal atau hukum sebab-akibat. Realitas diciptakan secara sosial dan pemahaman akan realitas itu dapat ditemukan dari pandangan pelaku realitas.

(26)

peneliti memasukkan dirinya kedalam setting sosial, dengan penggabungan

interview dan observasi di lapangan. Peneliti juga harus memperkecil pengaruh nilai-nilai dalam proses penelitian.

Menurut Littlejohn dalam Rahrdjo, gagasan interpretif, yaitu pemikiran-pemikiran teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks (Rahardjo, 2005:41). Teori-teori dari genre interpretif berusaha menjelaskan suatu proses dimana pemahaman terjadi dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara-cara yang dilakukan orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri (Rahardjo, 2005:41).

Interpretif menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi, sehingga identitas etnis muncul ketika pesan saling dipertukaran. Ini artinya menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tidak setiap orang melihat sebagaimana kita melihat diri sendiri. Paradigma ini beranggapan bahwa identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols , label, dan norma. Core Symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya.

(27)

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Antar Budaya

Secara sederhana komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pesan atau simbol. Sedangkan budaya berasal dari kata buddhi, yang artinya budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan budi atau akal (Lubis, 2012: 10). Komunikasi antarbudaya tidak terlepas dari faktor-faktor budaya yang melekat pada diri individu. Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak dan luas. Dalam filsafat Hindu, akal budi melibatkan seluruh unsur panca indera, baik dalam kegaitan pikiran (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Kata lain yang juga memiliki makna yang sama dengan budaya adalah ’kultur’ yang berasal dari Romawi. Kultur merupakan hasil penciptaan, perasaan dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik maupun nonfisik (Purwasito, 2003: 95).

Komunikasi antarbudaya (interculture) pertama kali dikenalkan pada tahun 1959 oleh Edward T Hall yang merupakan seorang antropolog dalam bukunya The Silent Language. Karyanya tersebut menerangkan keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan seperti sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan. Setahun setelah itu, tepatnya tahun 1960 hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses barulah dijelaskan oleh David K. Berlo. Melalui tulisannya Berlo mengatakan proses komunikasi akan berhasil dengan memperhatikan faktor-faktor seperti SMCR, source, message, channel dan receiver. Pada source dan receiver yang paling diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Untuk

message sangat perlu diperhatikan isi pesan maupun perlambangan, sedangkan

channel tergantung saluran apa yang dipilih misalnya menggunakan panca indera (Liiweri, 2001: 1-2).

(28)

pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 10).

Menambah pernyataannya itu Liliweri (2004) mengartikan komunikasi antarbudaya dalam beberapa pernyataan, yaitu :

1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan antarpribadi yang berbeda latarbelakang.

2. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran pesan secara lisan, tertulis, bahkan imajiner orang-orang yang berbeda latarbelakang.

3. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan dalam bentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lian atau pun tulisan. 4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari orang yang

berbeda kebudayaan.

5. Komunikasi antarbudaya antarbudaya merupakan pertukaran simbol antar orang yang berbeda budaya.

6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan dengan saluran tertentu dari peserta komunikasi yang berbeda latarbelakang kebudayaan dan mengasilkan efek.

7. Komunikasi antarbudaya adalah proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan oarang-orang yang berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9-10).

Menurut Porter dan Samovar (1985), dalam mengkaji komunikasi antarbudaya perlu pemahaman antara kebudayaan dengan komunikasi. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.

(29)

Komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan, satu-kesatuan bagaikan dua sisi keping uang logam. Komunikasi dan budaya sama-sama saling melengkapi, tanpa komunikasi budaya tidak dapat tersampaikan. Budaya juga dapat mempengaruhi komunikasi seseorang. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Kebudayaan memiliki sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi. Selain itu dengan komunikasilah pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan kebudayaan eksis jika ada komunikasi.

Menurut Porter dan Samovar (1985), agar dapat mengkaji komunikasi antarbudaya perlu pemahaman hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar dalam hal komunikasi serta bagaimana manusia memandang dunia mereka. Dalam hal ini mereka memandang dunia melalui kategori-kategori, konsep, dan label yang dihasilkan oleh budaya mereka. Kemiripan budaya dalam berbagai pandangan memungkinkan adanya pemberian makna yang bisa mirip pula terhadap suatu peristiwa. Cara manusia berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi, bahasa, serta gaya bahasa, perilaku non verbal merupakan respon terhadap fungsi budaya (Liliweri, 2001: 160).

Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana makna, pola-pola tindakan, dan bagaimana makna serta pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan lingkungan teknologi yang melibtakan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004:10).

(30)

keseluruhan latarbelakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 52-53).

Proses komunikasi dan kebudayaan, terletak pada keberagaman langkah dan cara berkomunikasi atas kelompok manusia. Steward L.Tubbs dan Sylvia Moss (1983) menyatakan komunikasi antarbudaya terjadi antara orang-orang yang memiliki budaya yang berbeda (ras, etnik, sosio, ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu (Lubis, 2012: 13). Komunikasi antarbudaya dalam konteks ini merujuk pada komunikasi antaretnis, dengan sub-sub budayanya. Peserta komunikasi berasal dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Sub-sub budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, etnis, regional, ekonomis, yang menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan memadai untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain dalam satu kesatuan budaya atau masyarakat.

Budaya dan komunikasi dalam prosesnya berjalan secara erat dan dinamis. Menurut Alfred G. Smith, budaya merupakan kode yang dipelajari dan dibutuhkan untuk berkomunikasi. Sebaliknya komunikasi membutuhkan pengkodean. Selain itu, Godwin C. Chu mengatakan setiap pola budaya dan tindakan melibatkan komunikasi, dengan demikian untuk memahaminya komunikasi dan budaya haruslah dipelajari (Mulyana, 2000: 14).

Perbedaan budaya menentukan keberlangsungan proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya pada umumnya membahas perbedaan-perbedaan karakteristik yang dibawa peserta komunikasi. Ada lima karakteristik penting dari kebudayaan menurut Samovar dan Porter (2003: 8-11) yaitu : 1) budaya itu dipelajari, 2) budaya itu simbol (verbal dan tidak verbal), 3) budaya itu tumbuh serta berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya, 4) budaya dapat dipertukarkan, 5) budaya itu adalah etnosentrisme1

Seluruh sikap, perilaku, dan tindakan merupakan suatu proses komunikasi manusia. Manusia berkomunikasi melalui pertukaran ide-ide, gagasan, maksud, emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain adalah manusia

(Lubis, 2012: 13).

1

(31)

yang berinteraksi sosial. Menurut Mehrabian (1972), 55% komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol non verbal, kemudian dalam simbol verbal yaitu 38% melalui nada suara, dan 7% komunikasi yang efektif dinyatakan melalui kata-kata (Liliweri, 2004: 6).

2.2.1.1 Interaksi Simbolik

Komunikasi verbal maupun non verbal yang terjadi dalam proses komunikasi antarbudaya terkandung dalam teori interaksi simbolik. Interaksi sombolik ini dipengaruhi oleh Max Weber. Weber mendefenisikan tindakan sosial sebagai perilaku manusia saat individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Menurut Weber tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan kesengajaan. Bagi Weber masyarakat merupakan suatu wujud yang aktif, terdiri dari individu-individu berpikir dan melakukan tindakan sosial yang bermakna. Perilaku mereka yang tampak hanyalah sebagian dari keseluruhan tindakan mereka. Itulah mengapa pendekatan ilmu alam hanya mempertimbangakan gejala yang tampak dan mengabaikan kekuatan yang tersembunyi seperti emosi, gagasan, maksud, motif, perasaan, maupun tekad yang juga menggerakkan manusia (Mulyana, 2001: 60-61).

Ada beberapa ahli perintis teori interkasi simbolik, namun hanya Goerge Herbet Mead yang paling populer. Mead mengembangkan teori ini sekitar tahun 1920-an dan 1930-an ketika menjadi Profesor di Universitas Chicago (Mulyana, 2001: 68). Esensi teori ini ciri khas manusia adalah komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik memahami perilaku manusia secara subjektif. Perspektif teori ini menyarankan untuk melihat proses manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspetasi orang lain saat berinterkasi.

(32)

Perilaku mereka tidak bisa digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran.

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan siri khas manusia, seperti komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Selain interaski simbolik Mazhab Iowa dan Mazhab Chicago juga termasuk dalam pendekatan ini. Meski mengacu pada prinsip dasar pemikiran teori interaksi simbolik, aliran Iowa yang dikembangkan Manford H. Kuhn ini banyak menganut tradisi epistemologi dan metode post-positivis (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 135). Kuhn menggunakan hukum positivistik yaitu untuk menemukan hukum yang universal. Pendekatan Kuhn dikenal dengan self thory atau teori diri yang bersifat struktural. Kuhn berpandangan bahwa inividu merencanakan tindakannya berdasarkan peran yang mereka mainkan dan status yang dimiliki dalam kelompoknya (Mulyana, 2001: 69).

Karya Mead (1943) yang paling terkenal berjudul Mind, Self, dan Society. Ketiga hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dalm interaksi simbolik. Melalui pikiran (mind) dan interaksi sosial (self) yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana individu tersebut hidup. Seperti yang dicatat oleh douglas (1970) makna berasal dari interaksi dan tidak dari catatan yang lain, pada saat yang sama pikiran dan diri timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan penelaah teoritis dalam teori interaksi sombolik. Selanjutnya Hoisten dan Gubrium dalam Miller (2002), menjelaskan dalam ringkasannya seperti berikut :

“Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sam lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka” (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 136).

(33)

kalimat yang diucapkan dan didengar. Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani seseorang saat menyampaikan makna dengan isyarat nonverbal yang akan dimaknai oleh orang lain. Proses nonverbal meliputi isyarat, ekspresi wajah, kontak mata, postur dan gerakan tubuh sentuhan, pakaian, artefak, diam, temporalitas dan ciri paralinguistik (Mulyana, 2001; 79).

Proses verbal dan nonverbal dalam komunikasi sama pentingya, apalagi untuk komunikasi antarbudaya. Proses verbal yang terlihat atau terdengar secara langsung memudahkan untuk seseorang untuk menangkap makna. Memungkinkan untuk merekam dan menyimpannya sehingga dapat digunakan dimasa depan bahkan dapat ditransmisikan kepada generasi berikutnya (Lubis, 2012: 115). Komunikasi verbal sedikit lebih unggul, karena proses verbal merupakan isyarat yang signifikan. Selain itu juga dapat isyarat verbal dapat mempengaruhi dan mengendalikan pembicara sebagaimana ia mempengaruhi pendengar. Misalnya seseorang yang minta sesuatu secara lisan atau tulisan akan lebih mudah ditangkap pesannya oleh orang lain (Mulyana, 2001: 78).

Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Sadar atau tidak manusia banyak melakukan proses nonverbal, bahkan membuat keputusan berdasarkan data-data nonverbal. Pesan atau perilaku nonverbal menyatakan bagaimana menginterpretasikan pesan-pesan lain yang terkandung didalamnya. Misalnya seseorang yang menyampaikan pesan, dengan isyarat nonverbal, penerima pesan atau makna dapat mengartikannya dengan benar atau berbohong, yang bisa dilihat dari bahasa tubuhnya (Lusiana, 2012: 118).

Menurut interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, dan interaksi simbolik itu didasarkan pada premis-premis yaitu :

1. Individu merespon suatu situasi simbolik.

2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan negosiasi dengan bahasa.

(34)

Manusia merespon lingkungan baik itu objek fisik maupun objek sosial berdasarkan makna yang ada pada komponen lingkungan tersebut. Individu-lah yang aktif untuk menetukan atau memaknai lingkungan mereka sendiri. Makna adalah hasil dari inetarksi sosial, merupakan negosiasi. Negosiasi melalui bahasa itu dikarenakan manusia mampu menamai segala sesuatu bukan hanya objek fisik bahkan gagasan yang abstrak sekalipun.

Penamaan tersebut kadang bersifat sembarang. Melalui simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman maupun pengetahuan tentang dunia. Pemaknaan tersebut juga dapat berubah dari waktu-kewaktu. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu melakukan proses berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia dapat merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Dapat mengantisipasi reaksi orang lain, serta mencari alternatif ucapan ataupun tindakan yang akan dilakukan. Manusia dengan cerdas dapat membayangkan bagaimana orang lain akan merespon ucapan ataupun tindakan mereka.

Budaya merupakan gaya hidup unik suatu kelompok manusia dan merupakan wujud dari interaksi simbolik dari individu yang berbeda budaya. Budaya bukanlah sesuatu hal yang dimiliki sebagian individu saja, namun budaya dimiliki oleh seluruh manusia yang seharusnya menjadi pemersatu. Manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial sebagai adaptasi pada lingkungan fisik dan biologis mereka. Para individu cenderung menerima dan mempercayai budaya mereka. Mereka dipengaruhi adat dan pengetahuan dimana mereka tinggal, dibesarkan terlepas dari bagaimana penanaman budaya pada dirinya (Lubis, 2012: 168).

Setiap budaya memberi identitas kepada sekelompok orang tertentu hingga dapat lebih mudah memahami perbedaan yang terdapat dalam masing-masing budaya. Selain itu juga harus mampu untuk mengidentifikasi dari masing-masing budaya tersebut terlihat pada antara lain :

1. Komunikasi dan bahasa. Sistem komunikasi verbal dan nonverbal yang dapat membedakan kelompok yang satu dengan yang lainnya.

(35)

3. Makanan dan kebiasaan. Mulai dari pemilihan, penyiapan dan penyajian makanan juga sangat berbeda antara budaya yang satu dengan lainnya. 4. Waktu dan kesadaran waktu. Bisa dianalisis dari bagian ini, karena ada

budaya yang sangat menghargai waktu tapi ada juga yang tidak.

5. Penghargaan dan pengakuan. Salah satu yang bisa diperhatikan dalam pemberian pujian, perbuatan baik.

6. Hubungan-hubungan budaya juga mengatur hubungan dengan manusia dan organisasi, berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan dan kebijaksanaan.

7. Nilai dan norma. Berdasarkan nilai dan norma yang dianutnya suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan.

8. Rasa diri dan ruang kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya.

9. Proses mental dan belajar. Bisa dilihat dai cara berpikir dan saat proses pembelajaraan (Lubis, 2012: 169-170).

Manusia berkomunikasi, termasuk itu komunikasi antarbudaya, memiliki fungsi dan tujuan untuk memenuhi panggilan relasi melalui cara menyatakan isi. Fungsi komunikasi antarbudaya ada dua. Pertama fungsi pribadi yaitu 1) identitas sosial 2) integrasi sosial 3) kognitif 4) melepaskan diri/jalan keluar. Kedua adalah fungsi sosial, yaitu 1) pengawasan, 2) menjembatani 3) sosialisasi 4) menghibur (Liliweri, 2004: 36).

(36)

Gudykunstt dan Kim (1984) memperlihatkan orang-orang yang kita tidak kenal akan selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian yang dapat dilakukan dengan tiga tahap interaksi yaitu :

1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun nonverbal.

2. Initial contact and imppresion, tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal.

3. Closure mulai membuka diri dari yang tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit (Liliweri, 2004: 19).

Istilah komunikasi efektif (effetive communication) merujuk pada proses mengurangi kesalahpahaman. Menurut Gudykunts komunikasi efektif antara individu yang berbeda latarbelakang budaya tercipta bukan karena rasa akrab, memiliki sikap yang sama, atau pun karena dapat berkomunikasi dengan jelas. Namun lebih bagaimana pelaku komunikasi antarbudaya dapat dengan akurat menjelaskan perilaku masing-masing. Seperti yang ditambahkan oleh Triandis (dalam Gudykunts & Kim, 1997) efektivitas dalam komunikasi antarbudaya merupakan usaha untuk menciptakan apa yang disebut sebagai isomorphic attribution, yaitu penetapan kualitas atau karakteristik terhadap sesuatu supaya menjadi sama (Rahardjo, 2005: 68-69).

Berbicara tentang efektivitas komunikasi, akan bisa tercapai tergantung situasi dan hubungan sosial antara komunikator dengan komunikan, terutama dalam lingkup kerangka rujukan maupun pengalaman diantara mereka. Lebih lanjut Schramm dalam Mulyana (1990) mengemukakan, komunikasi antarbudaya yang efektif harus memperhatikan, yaitu :

(1) Menghormati anggota budaya lain sebagi manusia.

(2) Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaiman kita yang kehendaki.

(3) Menghormati hak anggota budaya yang lain utnuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.

(37)

Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemapuan komunikasi yang diperlukan, dan memiliki karakter yang baik ( Samovar, dkk, 2007: 314). Demikian pula dengan proses komunikasi antarbudaya yang efektif sangat tergantung pada komunikasi antarbudaya. Tujuan tersebut akan tercapai jika bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan usaha yang disadari untuk memperbaruhi relasi komunikator dengan komunikan, menciptakan komunikasi yang efektif, yang akhirnya akan mengurangi konflik.

2.2.2 Identitas Etnis

Istilah identitas etnis secara substansial bermakna sama dengan etnisitas

(ethnicity), konsep diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 151).

Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi (Lubis, 2012:163). Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo,2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis.

(38)

Pemahaman akan identitas adalah aspek yang penting dalam studi dan praktik komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial diri dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan oang lain (Samovar dkk, 2007: 109-110). Ting Toomey menganggap identitas sebagai konsep diri yang direfleksikan atau gambaran diri bahwa kita berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis, dan proses sosialisasi individu (Samovar dkk, 2010: 184).

Identitas merupakan produk dari keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok. Seperti yang bisa dipahami dari Ting-Tomey yaitu manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi dalam kelompok budaya mereka. Selanjutnya perkembangan identitas terdapat dalam proses keluarga dan sosialisasinya dipengaruhi oleh budaya lain dan perkembangan pribadinya (Samovar dkk, 2010: 194). Identitas awal berasal dari keluarga, dimana mulai untuk belajar secara budaya mengenai kepercayaan, nilai, dan peranan sosial.

Phinney menawarkan tiga model tahap-tahap untuk memahami pertumbuhan identitas, yang difokuskan pada identitas etnis. Pertama, ditandai kurangnya eksplorasi terhadap etnisitas. Seseorang tidak tertarik untuk menampilkan identitas mereka. Ketidaktertarikan ini berasal dari keinginan untuk menyembunyikan identitas etnis dalam budaya yang lebih mayoritas. Kedua, pencarian identittas etnis dimulai saat tertarik untuk mempelajari dan memahami identitas etnis mereka sendiri. Adanya pendiskriminasian dapat menggerakkan anggota kelompok minoritas untuk menunjukkan etnis mereka. Ketiga, dalam perkembangan identitas ketika seseorang memilki pemahaman yang jelas dan pasti mengenai identitas budayanya sendiri (Samovar dkk, 2010: 195).

(39)

tersebut memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Sikap tersebut memandang norma dan nilai kelompok budayanya sebagai sesuatu yang dapat digunakan sebagai ukuran terhadap budaya lain (dalam jurnal studi pembangunan, vol.2: 22).

Menurut Naroll (1964), umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang :

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan betahan.

2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Secara khusus terdapat dua hal pokok untuk memahami kehadiran kelompok-kelompok etnik yaitu :

1. Kelanggengan unit-unit budaya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya.

Barth menyatakan ciri khusus tersebut bukan hanya merupakan ciri kelompok etnik saja, tetapi juga memberikan dampak yang sangat luas, ditambahi dengan asumsi bahwa kelompok etnik memiliki budayanya sendiri (Barth, 1988: 11-12).

Secara sederhana identitias etnis sama halnya dengan identitas sosial yang dapat mempengaruhi komunikasi kita dengan orang lain. Alba menilai identitas etnis sebagai orientasi subjektif seseorang yang mengarahnya pada etnis asalnya (Lubis, 2012: 163). Kemudian Matin dan Thomas (2007) mengemukakan bahwa memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok (Lubis, 2012: 164). Identitas etnik adalah bagaimana individu untuk memahami siapa dirinya, merasakan ada ikatan antara individu dan kelompok berfisat emosional. Selain itu ada kepercayaan saat berada dalam kelompok serta komitmen kuat terhadap kelompok, dan bersama-sama melakukan

(40)

sama(https://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/294 3/2629).

Identitas etnis sebenarnya merupakan bentuk identitas budaya yang dilihat sebagai kumpulan ide tentang kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Identitas etnis secara sederhana yaitu sebagai sense tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnik tertentu, sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Hal ini identitas etnis menyangkut pengetahuan, kesadaran, komitmen, dan perilaku terkait etnisnya. Artinya, identitas etnis dibangun atas kesadaran akan budaya yang dimiliki, budaya juga mempengaruhi identitas etnis. Bahkan melalui konteks budaya lah, identitas etnis dipertukarkan dan dipelajari dari generasi ke generasi.

Isajiw (1999) menjelaskan bahwa identitas etnik meliputi dua aspek yaitu:

1. Aspek internal yaitu identitas etnik merujuk pada citra (images), ide (ideas), sikap (attitudes), dan perasaan (feeling). Kemudian dibagi dalam empat dimensi yaitu affective (afektif), fiducial (kepercayaan), cognitive

(kognitif), dan moral (moral).

2. Aspek eksternal ditunjukkan oleh perilaku yang dapat diamati (observable behaviours) yang meliputi logat (dialek) bahasa, praktek tradisi etnik, keikutsertaan dalam jaringan kerja etnik tersebut seperti keluarga dan

persahabatan, dan terlibat dalam institusi (https://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/29

43/2629).

Pada konteks identitas etnis, Mead berpendapat bahwa konsep diri individu dihasilkan dari keikutsertaan atau partisipasinya dalam budaya dimana ia dilahirkan atau yang ia terima. Individu memperoleh budaya melalui simbol-simbol yang kemudian bermakna baginya lewat eksperimentasi dan akhirnya

(41)

2.2.2.1 Pendekatan Terhadap Identitas Etnis

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendektan subjektif (fenomenologis). Pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Sedangkan pendekatan subjektif merumuskan etnisitas (identitas etnis) sebagai suatu proses dalam dimana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005: 152).

Pendekatan objektif didasarkan asumsi dasar ilmu alam seperti ada keteraturan dalam realitas sosial dan juga dalam perilaku manusia. Mencoba mencari hukum umum yang menjelaskan adanya korelasi antar variabel yang satu dengan variabel lainya, kata lainnya ada hukum kausal. Bagi positivis gagasan identitas etnik adalah pendekatan operasional yang mempertanyakan “siapakah aku?”. Pendekatan objektif juga menghubungkan konsep identitas etnik dengan teori konsep diri, dan lagi-lagi menganggapnya adalah sebagai proses (Mulyana dan Jalaludin, 2005: 153).

Pendekatan objektif ini menolak pendapat tentang jiwa, spirit, kemauan, pikiran, instrokpeksi, kesadaran, subjektivitas tidak dapat diamati secara kuantitatif. Karena pendekatan struktural terhadap diri (self) sangat bergantung pada pengamatan ilmiah atas perilaku dari luar (behaviour). Pendekatan struktural ini juga menganggap para individu mengecap diri mereka sendiri dan oleh orang lain dalam dunia sosial, berdasarakan peranan dan lokasi mereka dalam struktur sosial. Hemat kata, pendekatan struktural terhadap identitas etnik beranggapan bahwa identitas etnik adalah pasif dan statik, dimana perilaku luar ditentukan oleh faktor luar individu.

(42)

Menurut Phandis (1989) kalangan dengan kaum subjektivis memandang bahwa identitas etnik mengemuka lewat tanda-tanda budaya, mereka menekankan diri dan perasaan identitas yang berbeda berkaitan dengan kelompok dan pengakuannya oleh orang lain (Mulyana dan Jalaludin, 2005: 155).

Secara tradisional, etnisitas dipandang ciri struktural yang membedakan kelompok etnik yang satu dengan yang lainnya. Beberapa penelitian antropolog membahas tentang kelompok etnik agak statik. Namun Barth seperti ingin membuktikan dengan pendapatanya bahwa ciri penting suatu kelompok etnik yaitu hubungan yang diberikan dari kelompok lain sebagai tempat mereka menggunakan identitias etnis sebagai pengklasifikasian diri mereka dan orang lain untuk tujuan interaksi (Barth, 1988: 13-15).

2.3 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang pernah meneliti mengenai identitas etnis yaitu :

2.3.1 Penelitian Surita Lestari Zulham

Penelitiannya berjudul Identitas Budaya dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas budaya dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau di Universitas Sumatera Utara, dalam hal ini juga untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk dan mengetahui perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa etnis Minangkabau Universitas Sumatera Utara.

(43)

penelitian adalah mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara angkatan 2008-2010.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan identitas budaya yang dialami oleh mahasiswa etnis Minangkabau dipengaruhi oleh lingkungan asal mereka. Adapun identitas budaya yang dimunculkan dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat antara lain dengan menggunakan bahasa daerah yang masih mereka gunakan ketika berinteraksi dengan sesama, menunjukkan sikap yang ramah dan santun dalam berinteraksi. Identitas budaya sebagai orang Minang kemudian memunculkan rasa kekeluargaan antara mereka sebagai sesama orang perantauan.

Adanya rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis sehingga mereka cenderung berkumpul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama. Faktor personal seperti watak atau kepribadian, pengetahuan dan motivasi serta intensitas interaksi juga mempengaruhi proses adaptasi dan keefektifan komunikasi dengan lingkungan yang baru. Pada umumnya perubahan yang dialami adalah perubahan logat dan bahasa Indonesia yang mereka gunakan karena dipengaruhi oleh bahasa lokal orang Medan. Dengan memahami identitas budaya mereka sendiri, mereka dapat mengidentifikasi orang lain dari kelompok etnis lain. Hal ini ternyata membantu mereka dalam menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi dimana mereka berinteraksi dan bagaimana harus bersikap sehingga dapat membangun komunikasi antarbudaya yang efektif.

2.3.2 Arifah Armi Lubis

Penelitian ini berjudul Identitas Etnis dan Komunikasi Antarbudaya (Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran identitas etnis yang dibangun dalam komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

(44)

menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia yang beretnis Melayu pada stambuk 2007, 2008, 2009 di Fakultas Kedokteran USU.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas etnis bisa berperan sebagai pendorong bahkan penghambat dalam komunikasi antarbudaya dan hal ini dipengaruhi pada jenis kelamin dan tempat tinggal. Mengenai jenis kelamin, ditemukan hasil penelitian bahwa perempuan paling kuat dalam menjaga identitas etnisnya dan selalu terdorong untuk menunjukkan identitas etnis dan cara termudah bagi perempuan untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan baju kurung. Sedangkan laki-laki, mereka cenderung bisa menyembunyikan ataupun tidak terlalu menonjolkan identitas etnisnya dan cara termudah bagi laki-laki untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan logat Melayu saat berbicara. Dan mengenai tempat tinggal, hal ini didasarkan pada temuan penelitian bahwa mahasiswa asal Malaysia yang masuk melalui jalur Internasional (yang seluruhnya beretnis Melayu) mereka akan ditempatkan di asrama dan jika keluar dari asrama, mereka tetap ‘’dipaksa’’ tinggal dengan teman seetnis. Sehingga mereka akan selalu ditempatkan bersama kelompok etnisnya. Dan hal ini berpengaruh pada identitas etnis yang terbentuk, karena hal tersebut akan menyebabkan mereka merasa nyaman dan merasa dalam kelompok besar dan tidak terlalu termotivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis. Dan mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka bisa tinggal bersama teman beda etnis karena mereka datang ke Medan tidak berkelompok sehingga mereka bisa mandiri dalam mencari teman dan mereka tidak tergantung pada kelompok dan memiliki motivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis.

(45)

mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka menggunakan identitas etnis sebagai pengenal, yang membantu mereka mengenali siapa mereka dan siapa orang lain, dan hal tersebut mendorong mereka untuk melalukan komunikasi antarbudaya.

2.4 Model Teoritis

Gambar 1.1

Masyarakat Non Tamil

Komunikasi Antarbudaya

Identitas Etnis - Komunikasi verbal dan nonverbal

- Tradisi

- Mempertahankan budaya

(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode secara sederhana merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan dalam penelitian agar dapat menemukan jawaban dari suatu penelitian. Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya. Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam penelitian, dan hal terpenting harus sesuai dengan teoritis yang kita asusmsikan (Mulyana, 2001: 145-146).

Metodologi penelitian yang digunakan yaitu dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan studi kasus. Penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah memusatkan perhatian pada prinsip umum agar dapat memahami ataupun memaknai dari gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat (Bungin, 2006: 300). Penelitian kualitatif meneliti informan sebagai subjek penelitian dalam lingkungan kesehariannya. Pemahaman akan simbol dan bahasa asli masyarakat menjadi kunci keberhasilan penelitian ini.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Metode ini adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis (Kriyantono, 2012: 65).

3.1.2 Studi Kasus

Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi sauatu kasus (cases) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Salim, 2001: 93).

(47)

Robson (2003) memosisikan studi kasus sebagai suatu strategi untuk melakukan penelitian. Dalam studi kasus, biasanya peneliti akan meneliti satu individu atau unit sosial secara lebih mendalam (Idrus, 2009: 57). Studi kasus biasanya muncul untuk mencoba memecahkan suatu masalah tertentu. Penggunaan studi kasus sangat beragam diberbagai ilmu oleh karena itu istilah studi kasus pun beragam di lapangan. Ada yang menyatakan studi kasus adalah penelitian lapangan (fieldwork) ada juga case record yang hanya mencatat apa yang telah terjadi pada kasus yang diteliti (Salim, 2001: 94).

Selain itu yang menjadi ciri-ciri studi kasus yaitu :

1. Partikularistik, dimana studi kasus terfokus pada situasi peristiwa, progrma, atau fenomena tertentu.

2. Deskriptif, yaitu hasil akhir metode ini dengan deskripsi detail dari topik yang diteliti.

3. Heuristik, studi kasus untuk membantu khalayak memahami apa yang sedang diteliti. Interpretasi baru, perspektif baru, makna baru merupakan tujuan dari studi kasus.

4. Induktif yaitu, studi kasus berangkat dari fakta-fakta dilapangan, kemudian menyimpulkan kedalam tataran konsep atau teori (Kriyanto, 2012: 66).

Sederhana atau kompleksnya kasus tergantung kepada peneliti bagaimana mengidentifikasi informasi-informasi yang penting tentang subjek yang diteliti. Ada tiga tipe studi kasus yang dikenal, yaitu sebagai berikut :

1. Studi kasus intrinsik

Studi kasus tipe ini menekankan pada pemahaman yang mendalam terhadap suatu kasus tunggal yang menarik. Tujuannya lebih kepada kepentingan instrinsik dan menghilangkan generalisasi serta tidak untuk membentuk teori baru.

2. Studi kasus instrumental

Tipe studi kasus ini lebih menekankan pada kasus tunggal yang dimaksudkan untuk mendiskripsikan atau menguraikan secara detail sehingga dapat membentuk suatu konstruk atau memperbaiki teori. 3. Studi kasus kolektif

Gambar

Gambar 1.1

Referensi

Dokumen terkait

Dari fenomena aktivitas pedagang kaki lima yang terjadi pada Gasibu Bandung, dan tiga kota lainnya sebagai komparasi, diketahui bahwa keberadaan pedagang kaki lima pada ruang

S keluhan keputihan fisiologis yang di alami sudah sesuai dengan teori Stiaputri 2009 yaitu : cairan tidak berwarna atau bening, cairan yang keluar encer, tidak berbau,

2. Kesiapan keluarga di Paviliun Mawar RSUD Jombang sebagian besar termasuk dalam kategori siap untuk menerima informasi kesehatan tentang terapi lanjutan. Ada hubungan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada skripsi yang berjudul Perbedaan pengaruh penambahan neural mobilization pada ultrasound terhadap pengurangan nyeri

Hasil studi literatur tentang penelitian algoritma fuzzy inference rules ditemukan contoh kasus yang diselesaikan dengan algoritma fuzzy inference rules memiliki

Dosen Pembimbing (1) Deka Setiawan, S.Pd, M.Pd (2) Nur Fajrie, S.Pd, M.Pd Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan guru dan pemahaman konsep PKn siswa

pendamping, dan pengarah atau pembimbing. Guru mengarahkan siswa untuk dapat mengonstruksi pengetahuan mereka sampai dengan mendapatkan pemahaman konsep yang sesuai

Agung Triharso, Permainan Kreatif dan Edukatif Untuk Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), hal.. lingkaran secara langsung yang dimulai dengan mengetahui,