• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan anggrek hibrid : dendrobuin sclerii x may neal wrap secara in vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan anggrek hibrid : dendrobuin sclerii x may neal wrap secara in vitro"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP

PERTUMBUHAN ANGGREK HIBRID

Dendrobium schulerii

x May Neal Wrap SECARA

In Vitro

ZIHAN OKTAVINA S

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP

PERTUMBUHAN ANGGREK HIBRID

Dendrobium schulerii

x May Neal Wrap SECARA

In Vitro

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada

Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ZIHAN OKTAVINA S

106095003219

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi berjudul ”Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Pertumbuhan Anggrek Hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap Secara In Vitro” yang ditulis oleh Zihan Oktavina S, NIM 106095003219 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui:

Penguji 1, Penguji 2,

DR. Lily Surayya E.P, M. Env. Stud Dini Fardila, M. Si

NIP. 19690404 200501 2 005 NIP. 19800330 200901 2 009

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Sasanti Widiarsih, MS Dasumiati, M. Si

NIP. 19780717 200212 2 001 NIP. 19730923 199903 2 002

Mengetahui,

Dekan Ketua Prodi Biologi FST

Fakultas Sains dan Teknologi

(4)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, April 2011

(5)

Zihan Oktavina S. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Pertumbuhan Anggrek Hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap Secara In Vitro

Anggrek Dendrobium merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Peningkatan atas permintaan anggrek baik sebagai komoditas ekspor maupun konsumsi dalam negeri menuntut pengembangan tanaman anggrek lebih baik dari yang sudah ada. Salah satu usaha untuk mendapatkan keragaman varietas anggrek bisa melalui teknik kultur jaringan dan dapat ditingkatkan dengan pemberian induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap peningkatan pertumbuhan anggrek secara in vitro. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan (Pertanian) Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN) Pasar Jumat, Jakarta Selatan dari bulan Juli sampai Oktober 2010. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Adapun perlakuannya adalah dosis sinar gamma 0 Gy, 30 Gy, 60 Gy dan 90 Gy. Data hasil pengamatan diolah secara statistik dengan uji lanjutan DMRT pada taraf 5%. Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi : persentase planlet hidup, tinggi planlet, jumlah daun, jumlah tunas, dan spot hijau. Hasil percobaan menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi, jumlah daun, jumlah tunas dan daya bertahan hidup pada planlet anggrek Dendrobium schulerii x May Neal Wrap. Dosis sinar gamma 30 Gy memberikan pengaruh morfologi yang lebih baik dibandingkan dosis perlakuan yang lain.

Kata kunci : Iradiasi sinar gamma, Dendrobium schulerii x May Neal Wrap, In vitro.

(6)

ABSTRACT

Zihan Oktavina S. The Effect Of Gamma Irradiation On The Growth Of Hybrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap In In vitro

Dendrobium is one of the ornamental plants that have high economic value. Increased consumption of orchid both as export commodity or domestic consumption requires the improvement of orchid plants to be better than existing ones. One attempt to get a diversity of varieties of orchids is through tissue culture techniques and can be enhanced with the provision of mutation induced by gamma irradiation. The purpose of this research was to determine the effect of gamma irradiation on in vitro orchid growth. This research was performed in the Tissue Culture Group Laboratories (Agriculture), Center for Application of Isotopes and Radiation Technology, National Atomic Energy Agency, South Jakarta from July to October 2010. The design used was Complete Randomized Design (RCD) with 4 treatment s and 3 replications. The treatment is gamma ray dose 0 Gy, 30 Gy, 60 Gy and 90 Gy. Obtained data were statically processed with advanced test DMRT the level 5%. Parameter observed in this research include : percentage of living plantlets, plantlet height, leaf number, number of shoots, and green spots. The results showed that plantlets of Dendrobium schulerii x May Neal Wrap given gamma ray irradiation have tangible effect to height, leaf number, number of shoots and plantlet survival power. Irradiation gamma dose 30 Gy give better phenotype effect than other treatment doses.

(7)

i

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Pertumbuhan Anggrek Hibrid

Dendrobium schulerii xMay Neal Wrap Secara In Vitro. Shalawat serta salam

penulis haturkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita ke zaman yang terang benderang penuh ilmu pengetahuan.

Selama pengerjaan skripsi ini, banyak pihak yang mendukung dan membantu penulis, berupa moril maupun materil, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga penyusunan skripsi dapat dilakukan dengan baik dan lancar sesuai waktu yang ditentukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. H. Solechudin Siraj, M.M dan N. Yusmiati orang tuaku tercinta, kakak dan adik-adikku (ka Miqdad, ka Hilda, Afif, Helwa), keponakanku yang paling cantik (Ratu Nabila), serta seluruh keluarga besarku. Terimakasih semuanya atas kasih sayang, dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga Allah SWT mencurahkan rahmat dan kasih sayang kepada kalian. 2. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis., selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi.

(8)

ii

4. Kepala Pusat Aplikasi Isotop Radiasi (PATIR BATAN), Kepala Bidang Pertanian dan Kepala Kelompok Pemuliaan Tanaman beserta stafnya. Terimakasih atas kerjasama dan kesediannya dalam memberikan fasilitas penelitian.

5. Sasanti Widiarsih, MS dan Dasumiati, M.Si selaku pembimbing 1 dan 2. Terimakasih atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing, serta semua nasihat yang membangun semangat penulis selama penelitian dan skripsi ini.

6. Bapak Irawan Sugoro M. Si dan Ibu Priyanti, M. Si selaku penguji seminar hasil, yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis. 7. Ibu Dini Fardila, M. Si selaku penguji, yang telah memberikan masukkan

dan saran yang sangat membangun kepada penulis.

8. Fahma Wijayanti, M. Si selaku dosen pembimbing akademik.

9. Ibu Yulidar dan Ibu Ita yang telah membimbing dan membantu penulis selama penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

10.Muhib R yang dengan sabar dan setia menemaniku, serta semua nasihat, semangat dan saran yang diberikan selama ini.

11.Teman-teman Biologi Angkatan 2006 (Anna, Malik, Nungq, Anggi, Note, Mpit, Rina, Iis, Nunu, Yelvi, Hera, Nita, Muhe, Ibal, Adus, Adeng, Deden, Eko, Bamz, Geleng, Ipin, Ryan). Terimakasih kawan atas dukungan dan perhatian kalian, semoga persahabatan ini selalu ada buat kita semua. 12.Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatunya, terima

(9)

iii

diberikan, semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Demikianlah skripsi ini disusun, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah bekal ilmu pengetahuan dan untuk penulis khususnya. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, April 2011

(10)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.6. Kerangka Berfikir ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Botani Anggrek Dendrobium ... 5

2.2. Syarat Tumbuh Anggrek Dendrobium ... 7

2.3. Perbanyakan Anggrek Secara In Vitro ... 9

2.4. Induksi Mutasi In vitro ... 13

2.4.1. Iradiasi Sinar Gamma ... 15

(11)

v

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

3.2. Alat dan Bahan ... 21

3.3. Cara Kerja ... 22

3.3.1. Sterilisasi alat-alat penanaman ... 22

3.3.2. Pembuatan Media VW ... 22

3.3.3. Pembuatan Media MS ... 22

3.3.4. Penuangan Media ... 23

3.3.5. Iradiasi Planlet Dendrobium dan Penanaman ... 23

3.3.6. Subkultur ... 24

3.4. Pengamatan ... 24

3.5. Analisis Data ... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1. Persentase Hidup (%) Planlet D. schulerii x May Neal Wrap . 26 4.2. Tinggi Planlet ... 29

43. Jumlah Daun ... 31

4.4. Jumlah Tunas ... 35

4.5. Terbentuknya Spot Hijau ... 37

4.6. Subkultur ... 39

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

(12)

vi 5.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(13)

vii

Halaman

Gambar 1. Dendrobium schulerii……… 6

Gambar 2. Planlet anggrek yang terkontaminasi jamur …..……… 28

Gambar 3. Perbedaan tinggi planlet setiap dosis; (A). 0 (kontrol); (B). 30Gy umur 11mst; (C). 60Gy umur 11mst; (D). 90Gy umur 7mst ………..………... 31

Gambar 4. Daun yang mati akibat pengaruh iradiasi ... 34

Gambar 5. Kondisi daun pada umur 11 MST, 90 Gy umur 6 MST ... 35

Gambar 6. Kondisi tunas pada perlakuan dosis 30Gy ………... 37

Gambar 7. Terbentuknya spot hijau ………..…….. 40

Gambar 8. (a), (b), (c). Perkembangan spot hijau menjadi tunas pada subkultur , (d). Tanaman (planlet) induk ………. 41

(14)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Radiasi ……….…. 14 Tabel 2. Persentase hidup (%) planlet D. schulerii x May Neal Wrap .... 26 Tabel 3. Rata-rata tinggi planlet dari umur 3 MST sampai umur

11 MST untuk setiap dosis iradiasi ……….………….…. 29 Tabel 4. Rata-rata jumlah daun dari umur 3 MST sampai umur

(15)

ix

Halaman

Lampiran 1. Komposisi Media Vacin dan Went (VW) ... 45 Lampiran 2. Komposisi Larutan Stok ... 46 Lampiran 3. Hasil sidik ragam tinggi planlet anggrek D. Schulerii x May

Neal Wrap umur 1mst sampai 11mst ... 47 Lampiran 4. Hasil sidik ragam jumlah daun anggrek D. Schulerii x May

Neal Wrap umur 1mst sampai 11mst ... 50 Lampiran 5. Hasil sidik ragam jumlah tunas anggrek D. schulerii x May

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki keragaman spesies anggrek yang sangat besar. Terdapat sekitar 5.000 jenis anggrek, dan lebih dari 200 jenis mempunyai nilai komersial (Adriana, 2010). Anggrek memiliki potensi ekonomis sebagai komoditas ekspor non migas yang dapat menambah devisa negara. Namun ekspor anggrek Indonesia masih rendah, bahkan pasar anggrek di Indonesia sendiri masih didominasi oleh anggrek impor, yang dapat dilihat dari pasar dan pameran anggrek yang ada. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan produktivitas dan kualitas anggrek Indonesia agar dapat bersaing memasuki pasaran anggrek dalam dan luar negeri.

Salah satu anggrek Indonesia yang diekspor ke berbagai negara adalah jenis Dendrobium. Anggrek Dendrobium cukup cantik dengan warna kuntum bunganya yang tidak mudah pudar dan tidak mudah layu serta mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan anggrek jenis lain. Oleh karena itu, permintaan ekspor anggrek Dendrobium lebih besar dibanding anggrek lain. Untuk mengikuti selera pasar terhadap anggrek, perlu diciptakan varietas-varietas baru yang lebih menarik.

(17)

dibutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam upaya pemuliaannya, keragaman tanaman dapat diperoleh melalui teknik kultur jaringan dan dapat ditingkatkan dengan pemberian mutagen. Sifat kualitatif seperti bentuk dan warna bunga pada beberapa jenis tanaman dapat ditingkatkan melalui teknik induksi mutasi. Induksi mutasi dapat meningkatkan keragaman genetik suatu spesies (Yamaguchi, 1988).

Induksi mutasi dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi. Pada

tanaman yang diperbanyak secara vegetatif seperti anggrek, perlakuan induksi

mutasi secara fisik dengan iradiasi, lebih baik dari pada secara kimiawi. Hal ini

dikarenakan kebanyakan mutagen kimia termasuk karsinogenik yang sangat

berbahaya jika terkena anggota badan, sedangkan secara fisik menggunakan alat

yang lebih aman. Salah satu perlakuan induksi mutasi yang banyak digunakan

dalam pemuliaan tanaman adalah iradiasi sinar gamma. Mutasi menyebabkan timbulnya keragaman yang tidak terdapat saat itu, akan tetapi mutasi juga dapat menimbulkan keragaman yang tidak dikehendaki. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya mutan antara lain adalah besarnya dosis iradiasi. Perlakuan dosis

tinggi akan mematikan materi tanaman yang dimutasi atau mengakibatkan

sterilitas, pada dosis rendah tanaman masih dapat recover, kerusakan fisiologisnya

rendah dan tidak menyebabkan kematian (Soedjono, 2003).

Pada penelitian Suskandari et al., (1999) iradiasi sinar gamma 0-100 Gy

terhadap anggrek Vanda Genta Bandung menunjukkan bahwa dosis iradiasi lebih

dari 35 Gy menyebabkan pertumbuhan terhambat dan akhirnya mati. Oleh karena

itu, upaya untuk mengetahui sejauh mana pengaruh iradiasi terhadap pertumbuhan

(18)

3

tentang pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan anggrek hibrid

Dendrobium schulerii x May Neal Wrap secara in vitro.

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan anggrek hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap secara in vitro?

2. Berapa dosis optimum untuk meningkatkan pertumbuhan anggrek hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap secara in vitro?

1.3. Hipotesis

1. Iradiasi sinar gamma akan memberikan pengaruh yang beragam terhadap pertumbuhan anggrek hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap secara in vitro.

2. Akan ditemukan dosis optimum untuk meningkatkan pertumbuhan anggrek hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap secara in vitro.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan anggrek hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap secara in vitro.

(19)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan peneliti anggrek mengenai pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan anggrek hibrid Dendrobium schulerii x May Neal Wrap secara in vitro sehingga bermanfaat dalam usaha untuk meningkatkan pertumbuhan anggrek. Anggrek guna peningkatan produktivitas dan kualitas

Dapat memperbaiki karakter tanaman (penampilan fenotip) serta ketahanan terhadap

hama/penyakit

20.000 spesies anggrek di dunia, lebih dari 6.000 jenis diantaranya berada di

hutan-hutan Indonesia

Pasar anggrek masih didominasi anggrek impor dan ekspor anggrek saat ini mengalami penurunan

Meningkatkan ekspor anggrek

(20)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Botani Anggrek Dendrobium

Menurut William (1984) anggrek Dendrobium ditemukan pada tahun 1800 oleh Olof Swartz seorang ahli botani yang terkenal. Anggrek Dendrobium berasal dari dua kata yaitu Dendro yang berarti batang dan bium yang berarti hidup. Jadi walaupun tidak memiliki daun dan hanya memiliki batang, Dendrobium tetap hidup selama batangnya hijau.

Anggrek Dendrobium termasuk ke dalam famili Orchidaceae, merupakan salah salah satu tanaman anggrek yang tersebar luas di hutan tropis. Salah satu keunggulannya adalah warna kuntum bunga yang tidak mudah pudar dan kuntum bunganya tidak mudah layu serta rontok. Jenis anggrek Dendrobium ini memiliki morfologi (bentuk dan struktur) yang sangat beragam yakni ukuran bunga, bentuk bunga, warna dan panjang tangkainya (Bose dan Battcharjee, 1980).

Anggrek Dendrobium merupakan kelompok anggrek epifit terbesar di dunia. Epifit adalah tanaman yang hidup menumpang di batang atau pohon lain tanpa merusak ataupun merugikannya. Anggrek Dendrobium hidup di daerah panas dengan ketinggian 0-650 meter di atas permukaan laut. Anggrek jenis ini mulai berbunga pada umur 1,5 tahun, tetapi dengan perawatan intensif Dendrobium dapat berbunga pada umur delapan bulan (Agromedia, 2007).

(21)

Sebagian anggrek juga memiliki umbi semu pada batang atau pangkal daun (pseudobulb). Akar anggrek lunak, mudah patah, ujungnya meruncing, lengket, dan licin saat dipegang (Agromedia, 2007).

Batang anggrek Dendrobium termasuk simpodial, yaitu batang yang pertumbuhannya terbatas dan tidak memiliki batang utama. Bunga anggrek tipe simpodial keluar dari ujung batang dan berbunga kembali dari anakan yang tumbuh. Batang Dendrobium dapat mengeluarkantangkai bunga baru dari sisi-sisi batangnya (Agromedia, 2007).

Dendrobium termasuk anggrek yang memiliki daun lebar. Bentuk daun yang lebar membuat proses fotosintesis dan transpirasi semakin cepat. Kondisi ini membuat Dendrobium menjadi lebih cepat berbunga dibandingkan dengan anggrek yang berdaun sempit seperti Renanthera matutina dan Vanda kookeriana (Agromedia, 2007).

Gambar 1. Dendrobium schulerii

(22)

7

dari kelopaknya dan bibirnya terbelah. Dendrobium memiliki kuntum bunga berjumlah banyak dalam satu tangkai. Warna bunganya menarik dan beraneka ragam (Agromedia, 2007). Anggrek Dendrobium schulerii biasanya sebagai anggrek tetua karena kuntum bunganya berwarna kuning bagus dengan gurat merah dan berbentuk bintang (Gambar 1).

2.2. Syarat Tumbuh Anggrek Dendrobium

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anggrek terdiri dari faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotiknya terdiri dari suhu, sinar matahari, kelembaban udara, media air dan hara.

Suhu udara sangat mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Suhu udara tinggi memacu proses metabolisme dan suhu udara rendah memperlambat lajunya. Pertumbuhan Dendrobium memerlukan suhu udara rata-rata 25oC-27oC dengan suhu udara minimum 21oC-23oC dan maksimum 31oC - 34oC. Suhu siang sebaiknya 27oC-32oC, dan suhu pada malam hari 21oC-24oC. Serupa dengan cara meningkatkan kelembaban, kenaikan suhu di siang hari bisa ditekan dengan penyiraman di lingkungan sekitar (Trubus, 2005).

(23)

adaptasi tinggi dan dapat tumbuh di daerah pada ketinggian tempat lebih dari 1000 meter dari permukaan laut. Dendrobium umumnya menyukai daerah panas daripada daerah dingin, tetapi ada beberapa jenis hanya bisa tumbuh di daerah dingin misalnya Dendrobium nobile dan Dendrobium cuthbertsonii (Trubus, 2005).

Kelembapan nisbi (RH) untuk anggrek Dendrobium berkisar antara 60%– 85%. Fungsi dari kelembapan yang tinggi ini adalah untuk menghindari penguapan yang terlalu besar (Widiastoety dan Farid, 1995). Pada malam hari kelembapan tidak boleh terlalu tinggi, oleh sebab itu diusahakan agar media dalam pot tidak terlampau basah, sedangkan kelembapan yang sangat rendah pada siang hari dapat diatasi dengan cara pemberian semprotan (mist) di sekitar tempat pertanaman dengan bantuan sprayer (Trubus, 2005).

Lokasi tepat budidaya anggrek Dendrobium harus memiliki ketersediaan air yang cukup, hal tersebut merupakan syarat yang mutlak apalagi saat musim kemarau datang. Dendrobium memang menyukai air tetapi tidak boleh berlebihan. Air digunakan saat pertumbuhan vegetatif laju pesat, tunas-tunas muda tumbuh dan sebelum berbunga. Namun, keperluan air berkurang saat tangkai bunga tumbuh dan berkurang pada periode muncul kuncup sampai mekar berbunga (Trubus, 2005).

(24)

9

sepoi-sepoi sehingga menciptakan goyangan lembut pada daun dan tangkainya serta aman untuk bunganya (Osman dan Prasasti, 1994).

2.3. Perbanyakan Anggrek SecaraIn Vitro

Anggrek Dendrobium dapat diperbanyak dengan cara vegetatif, generatif, dan kultur jaringan. Perbanyakan vegetatif pada anggrek Dendrobium dilakukan dengan pembelahan anakan dan penggunaan bibit. Teknik perbanyakan ini menghasilkan anakan yang memiliki sifat genetik sama dengan induknya. Namun, anakan yang dihasilkan dari perbanyakan dengan teknik ini terbatas, sehingga kurang cocok diterapkan pada usaha anggrek skala besar.

Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang serba steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril, dan dalam kondisi yang aseptik dan lingkungan yang terkontrol, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Perbanyakan anggrek secara kultur jaringan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase transformasi meristem ke dalam bentuk Protocorm Likes Boddies (PLBs), memisahkan PLBs kebagian-bagian kecil dan menumbuhkan PLBs untuk menjadi tanaman sempurna (Pierik, 1987).

(25)

dan berdasarkan tujuan pengkulturan. Diantara faktor-faktor tersebut, lima variabel utama harus dipertimbangkan, yaitu seleksi bahan tanam, teknik sterilisasi eksplan, komposisi medium dasar, keterlibatan zat pengatur tumbuh, serta faktor-faktor lingkungan di mana kultur ditempatkan (Zulkarnain, 2009).

Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-sel masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003).

(26)

11

Media kultur jaringan terdiri dari beberapa versi, salah satunya adalah media Vacin dan Went. Media ini merupakan media yang ditemukan oleh Vacin dan Went pada tahun 1949. Media ini khusus digunakan untuk kultur jaringan anggrek (Gunawan, 1992). Media ini merupakan media yang dianggap paling baik untuk kultur jaringan anggrek (Osman dan Prasasti, 1991).

Kondisi lingkungan yang menentukan keberhasilan kultur jaringan meliputi cahaya, suhu dan komponen atmosfer. Cahaya dibutuhkan untuk mengatur proses foto morfogenetik tertentu. Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. Energi radiasi dekat spektrum ultra violet dan biru merupakan kualitas cahaya yang paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, sedangkan pembentukan akar dirangsang oleh cahaya merah dan sedikit cahaya biru. Untuk itu, pada tahap multiplikasi tunas digunakan untuk pencahayaan dengan lampu fluorescent (TL). Secara umum, intensitas cahaya yang optimum untuk tanaman pada kultur tahap inisiasi kultur adalah 0-1000 lux, tahap multiplikasi sebesar 1000-10000 lux, tahap pengakaran sebesar 10000-30000 lux, dan aklimatisasi sebesar 30000 lux (Yusnita, 2003).

(27)

memerlukan suhu rendah untuk pertumbuhan terbaiknya, seperti stroberi, suhu yang diperlukan juga lebih rendah (Yusnita, 2003).

(28)

13

2.4. Induksi Mutasi In vitro

Keberhasilan program pemuliaan mutasi tergantung pada pemilihan mutagen (fisik atau kimia), metode aplikasi, dosis optimum, tahap perkembangan fisiologi materi tanaman (dorman atau pertumbuhan), bagian tanaman atau jaringan yang diperlukan (mata tunas, setek, jaringan, zigot atau embrio) dan teknik penanganan materi yang diradiasi dan seleksi pada generasi selanjutnya (Donini et al., 1990). Induksi mutasi dapat terjadi secara alamiah atau melalui teknik kimia atau fisik. Induksi mutasi secara kimia atau fisik dapat memperluas keragaman genetik tanaman melalui perubahan susunan gen yang berasal dari tanaman itu sendiri. Mutasi spontan (alamiah) tidak mampu memberikan keragaman genetik secara cepat dan akurat. Oleh karena itu, metode untuk menginduksi mutasi merupakan masalah yang penting untuk diketahui dalam upaya perbaikan tanaman dan meningkatkan produktivitas tanaman (Ahloowalia dan Maluszynsky, 2001).

(29)

Proses mutasi dapat menimbulkan perubahan pada sifat-sifat genetis tanaman baik ke arah positif maupun negatif, dan kemungkinan mutasi yang terjadi dapat juga kembali normal (recovery). Mutasi yang terjadi ke arah “sifat positif” dan terwariskan (heritable) ke generasi-generasi berikutnya merupakan mutasi yang dikehendaki oleh pemulia tanaman pada umumnya. Sifat positif yang dimaksud adalah relatif tergantung pada tujuan pemuliaan tanaman (http://www.infonuklir.com).

Tabel 1. Karakteristik berbagai jenis radiasi :

Tipe Radiasi Sumber Deskripsi Energi

Sinar X Mesin sinar X Radiasi Partikel alpha Radioisotop Inti Helium 2-9 MeV

Proton Reaktor nuklir atau akselerator

Inti Hidrogen Sampai beberapa GeV

(30)

15

2.4.1. Iradiasi Sinar Gamma

Iradiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik dari sumber iradiasi (Yudhi, 2010), sedangkan secara umum iradiasi diartikan sebagai pemancaran suatu energi elektromagnetik atau partikel-partikel dengan kecepatan tinggi (Darussalam, 1996). Zat yang dapat memancarkan iradiasi disebut zat radioaktif. Zat radioaktif adalah zat yang mempunyai inti atom tidak stabil, sehingga zat tersebut mengalami transformasi spontan menjadi zat dengan inti atom yang lebih stabil dengan mengeluarkan partikel atau sifat sinar tertentu. Proses tranformasi spontan ini disebut peluruhan, sedangkan proses pelepasan partikel atau sinar tertentu disebut iradiasi.

Iradiasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu iradiasi panas dan iradiasi pengion. Iradiasi panas menggunakan frekuensi rendah atau dengan panjang gelombang, misalnya infra merah. Iradiasi pengion menggunakan frekuensi tinggi, misalnya sinar alfa, beta, dan gamma (Darussalam, 1996).

(31)

dari energi dan waktu sumber radio aktif (Lehninger, 1994). Hidayat, (2004) mengatakan bahwa sinar gamma merupakan bentuk sinar yang paling kuat dari bentuk radiasi yang diketahui, kekuatannya hampir 1 miliar kali lebih berenergi dibandingkan radiasi sinar X.

(32)

17

2.4.2. Iradiasi Terhadap Tanaman

Penggunaan energi seperti sinar gamma pada tanaman akan memberikan pengaruh yang baik di bidang pertanian, dengan perlakuan dosis iradiasi sinar gamma dengan dosis yang tepat diperoleh tanaman yang mempunyai sifat-sifat yang seperti hasil tinggi, umur pendek, tahan terhadap penyakit tetapi kenyataan yang ditimbulkan tidak semuanya memenuhi harapan (Suryowinoto, 1987). Berbagai faktor dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan iradiasi pada tanaman, antara lain genotip, bagian tanaman yang digunakan, stadia perkembangan sel tanaman, jumlah kromosom, umur jaringan, oksigen, temperatur dan dosis radiasi.

Kepekaan dari jaringan tanaman terhadap radiasi tidak hanya dipengaruhi oleh dosis radiasi, tetapi juga dipengaruhi oleh tingkat ontogeni sel dan fase dari siklus sel. Selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan sel-sel dalam jaringan tanaman untuk memperbaiki diri dari kerusakan yang disebabkan oleh iradiasi (Hendro, 1981).

Pengaruh iradiasi sinar gamma pada tanaman ada 4 macam yaitu : 1. Kematian tanaman

2. Pertumbuhan terhambat

3. Perkembangan morfologi yang abnormal 4. Perubahan genetik

(33)

terganggu. Selain perubahan fisiologis, perubahan genetik dapat terjadi akibat iradiasi sinar gamma. Perubahan fisiologis dan genetik dapat diekspresikan dengan adanya perubahan penampilan fenotip tanaman yang sangat bervariasi. Pada umumnya, ukuran tanaman regeneran sangat pendek dan ukuran daun kecil, bahkan ada tunas albino yang muncul. Pada generasi selanjutnya, kerusakan fisiologis berangsur pulih. Sel-sel yang mengalami kerusakan mengalami recovery, sedangkan gen termutasi dapat diwariskan pada generasi berikutnya (Maluszynski et al., 1995).

Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas, biji dan sebagainya. Secara molekuler, dapat dikatakan bahwa mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan (sequence) nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan (Oeliem, 2008).

Mutasi tidak dapat diamati pada generasi M1, kecuali yang termutasi adalah gamet haploid. Adanya mutasi dapat ditentukan pada generasi M2 dan seterusnya. Semakin tinggi dosis, maka semakin banyak terjadi mutasi dan makin banyak pula kerusakannya. Hubungan antara tinggi bibit dan kemampuan hidup tanaman M1 dengan frekuensi mutasi, membuktikan bahwa penilaian kuantitatif terhadap kerusakan tanaman M1 dapat digunakan sebagai indikator dalam permasalahan pengaruh dosis pada timbulnya mutasi (Mugiono, 2001).

(34)

19

dibedakan karena keduanya terjadi pada generasi M1 sebagai akibat dari perlakuan mutagen. Kerusakan tersebut merupakan gangguan fisiologis bagi pertumbuhan tanaman. Besarnya kerusakan fisiologis tergantung pada besarnya dosis yang digunakan dan semakin tinggi dosis yang digunakan makin tinggi kerusakan fisiologis yang timbul dan berakhir kematian (lethalitas). Kerusakan fisiologis hanya terjadi pada generasi M1 sedangkan mutasi gen, mutasi kromosom dan mutasi sitoplasma akan diturunkan pada generasi berikutnya (Mugiono, 2001).

Perlakuan iradiasi akan menyebabkan kerusakan sel atau terhambatnya metabolisme sel karena adanya gangguan sintesa RNA sehingga sintesis enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan terhambat. Dengan adanya gangguan struktur DNA akan menyebabkan enzim yang dihasilkan kehilangan fungsinya. Perlakuan radiasi dapat menyebabkan enzim yang merangsang pertunasan menjadi tidak aktif, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Cassaret,1961).

Pengaruh peningkatan dosis mutagen terhadap kerusakan fisiologis memberikan kurva sigmoid, dimana kerusakan atau kematian tidak terjadi sekaligus sesuai dengan meningkatnya dosis. Hal ini menunjukkan bahwa suatu molekul atau sel yang peka maka molekul atau sel tersebut akan rusak atau mati. Sebaliknya apabila yang terkena radiasi adalah molekul atau sel yang tidak peka maka sel atau molekul tersebut tidak mati. Makin tinggi dosis makin banyak terjadi mutasi dan makin tinggi pula kerusakannya (Mugiono, 2001).

(35)

kekuningan dan ukuran daun lebih kecil. Iradiasi sinar gamma 20 rad dapat mempengaruhi 4 keragaman morfologi tanaman Anthurium hookeri yaitu batang pendek, lingkar batang kecil, warna daun hijau kehitaman dan ukuran daun lebih kecil (Astuti, 2007).

Pada penelitian Sanjay et al., (2004) Iradiasi sinar gamma mengakibatkan penurunan daya hidup tanaman, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun dan peningkatan/penurunan jumlah bunga pita dan bunga tabung serta abnormalitas bunga. Perubahan bentuk dan warna bunga terdeteksi pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma diatas 15 GY.

(36)

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2010. Bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan (Pertanian) Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN) Pasar Jumat, Jakarta Selatan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah Gamma Chamber 4000A, Laminar air flow 747 Bowman, timbangan Ohaus TP 200, Nouva II Stir Plate, Microwave oven, pH meter Knick 765 Calimatic, autoklaf, oven/Heraeus, pipet ukur, labu ukur, botol kultur dengan tinggi 10 cm (botol Nescafe), erlenmeyer 250 ml dan 500 ml, petri dish, bunsen, spatula, scalpel, pinset, bunsen, hand sprayer untuk alkohol, aluminium foil 7,6m x 450mm, tissu, karet gelang, label, rak kultur yang dilengkapi lampu TL Philips 40 watt sebagai sumber penyinaran.

Bahan-bahan yang digunakan adalah planlet Anggrek hibrid silangan dari D. schullerii x May Neal Wrap, (NH4)2SO4, KNO3, Cu3(PO4)2, MgSO4. 7H2O,

KH2PO4, stok A, stok B, stok C, stok D, stok Fe, mioinositol, piridoksin, tiamin,

(37)

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Sterilisasi alat-alat penanaman.

Alat-alat (seperti botol kultur, pinset, gunting, cawan petri) disterilisasi dengan menggunakan Oven pada suhu 180oC selama 2 jam.

3.3.2. Pembuatan Media Vacin dan Went (VW)

Pembuatan media VW secara umum adalah sebagai baerikut: 2,0 gr Ca3(PO4)2; 5,25 gr KNO3; 2,5 gr KH2PO4; 2,5 gr MgSO47H2O, 5 gr (NH4)2SO4,

dan vitamin (Lampiran 1) dilarutkan dalam 500 ml akuades di labu ukur 1000 ml, kemudian ditambahkan gula 20 gr/l, arang aktif 2 gr/l dan agar 8 gr/l, BAP 5 ppm dan air kelapa 150 ml. Kemudian ditambahkan akuades hingga volume 950 ml, lalu diaduk hingga homogen menggunakan magnetic stirrer dan spin bar. pH media diatur hingga mencapai 5,8-6 dengan penambahan HCl dan NaOH, setelah itu ditambahkan akuades lagi sampai volume 1000 ml. Media dalam labu ukur dipindahkan ke dalam 4 buah erlenmeyer 500 ml, ditutup dengan alumunium foil dan diikat dengan karet gelang. Kemudian media VW disterilisasi di autoclave pada suhu 121oCselama 1 jam + 15 menit. Media yang sudah steril disimpan di dalam ruang kultur sebelum digunakan.

3.3.3. Pembuatan media MS

(38)

23

ml, BAP 5 ppm, IAA 1 ppm ke dalam labu ukur berukuran 1000 ml yang telah berisi 400 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan gula 20 gr, arang aktif 2 gr dan bakto agar 8 gr, kemudian volume media ditambahkan akuades hingga volume 950 ml dan diaduk hingga homogen menggunakan magnetic stirrer dan spin bar. Lalu pH media diatur hingga mencapai 5,8-6 dengan cara penambahan HCl dan NaOH. Media ditambah akuades hingga volume 1000 ml. Media dalam labu ukur dipindahkan ke dalam 4 buah erlenmeyer 500 ml, ditutup dengan alumunium foil dan diikat dengan karet gelang. Kemudian media disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121oCselama 1 jam + 15 menit. Media yang sudah steril disimpan di dalam ruang kultur sebelum digunakan.

3.3.4. Penuangan Media

Media dicairkan di dalam microwave, lalu dituang ke dalam botol kultur steril sesuai kebutuhan. Penuangan media dilakukan secara aseptik di Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70 %.

3.3.5. Iradiasi Planlet Dendrobiumdan Penanaman

(39)

media sebelumnya dikeluarkan dari dalam botol dan diletakkan di cawan petri steril, lalu dibuang akarnya dan media yang masih menempel dengan menggunakan pisau scalpel, kemudian ditanam dalam media perlakuan. Setiap botol kultur yang berisi media ditanam masing-masing satu planlet, dilakukan sebanyak 30 botol. Setelah semua dosis ditanam, semua botol kultur (tube) disimpan di rak yang berada di ruang tumbuh dengan menggunakan penyinaran lampu TL phillips 40 watt dan suhu 20-240C.

3.3.6. Subkultur

Subkultur dilakukan setelah planlet berumur 6 minggu. Subkultur dilakukan dengan cara memindahkan planlet menggunakan pinset steril dari botol kultur sebelumnya ke botol kultur yang baru. Jika planlet sudah membentuk tunas ataupun kalus, maka tunas atau kalus ditanam terpisah dalam botol yang baru dari planlet induk. Dilakukan pengamatan subkultur selama 7 minggu, dengan pengamatan tinggi planlet dan jumlah akarnya.

3.4. Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali mulai dari 1 minggu setelah tanam (mst) hingga tanaman berumur 11 minggu. Parameter yang diamati dan diukur adalah :

1. Persentase planlet yang bertahan hidup (%)

(40)

25

% daya tumbuh = ∑ planlet yang hidup x 100% ∑ eksplan yang ditanam

2. Tinggi planlet

Tinggi eksplan diukur dengan mengukur tinggi eksplan dari permukaan media sampai dengan ujung daun terpanjang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris yang ditempel pada dinding botol kultur dimana tanaman tidak dikeluarkan dari botol kultur.

3. Pertambahan jumlah daun

Kriteria jumlah daun yang dihitung adalah semua daun yang tumbuh mulai kuncup daun sampai daun mekar dibagi jumlah planlet.

4. Jumlah tunas

Dihitung jumlah tunas yang terbentuk pada setiap minggu pengamatan dan mengamati ciri-ciri tunas yang terbentu dari setiap dosis.

5. Terbentuknya spot hijau (kalus)

Pengamatan ini dilakukan pada awal pertumbuhan dengan mengamati ciri-ciri terjadinya pembengkakkan pada eksplan.

3.5. Analisis Data

(41)

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persentase Hidup (%) Planlet D. schulerii x May Neal Wrap

Pertumbuhan planlet dapat dilihat berdasarkan kemampuan planlet tersebut untuk bertahan hidup. Persentase hidup dipengaruhi oleh jumlah planlet yang hidup dan planlet yang mati atau terkontaminasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi mutasi dengan sinar gamma dapat mempengaruhi persentase hidup planlet (Tabel 2). Secara umum planlet masih dapat bertahan hidup (90%) sampai minggu ke 6 setelah tanam. Keragaman persentase planlet hidup mulai terjadi pada 7 MST (minggu setelah tanam), dengan terjadinya penurunan jumlah planlet hingga 11 MST.

Tabel 2. Persentase hidup (%) planlet D. schulerii x May Neal Wrap

Dosis (Gy)

Induksi Awal (MST) Setelah Subkultur (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

0 100 100 96,6 93,3 93,3 90,0 86,6 83,3 83,3 80 76,6 30 100 100 96,6 96,6 93,3 90,0 73,3 73,3 70,0 70,0 63,3 60 100 100 100 96,6 96,6 76,6 53,3 40,0 26,6 26,6 26,6 90 100 96,6 96,6 90,0 90,0 83,3 63,3 0 0 0 0

(42)

27

persentase hidup planlet pada kontrol dan dosis 30 Gy tertinggi yaitu sama-sama 90%, lalu dosis 90 Gy sebesar 83,3% dan persentase hidup yang terendah yaitu pada dosis 60 Gy sebesar 76,6%.

Setelah dilakukan subkultur, pada minggu ke-7 terjadi penurunan persentase hidup planlet pada setiap perlakuan dosis iradiasi. Tampak pada Tabel 2 bahwa kontrol mengalami penurunan sekitar 10% menjadi 86,6%, dosis 30 Gy dan 90 Gy sebesar 20% menjadi 73,3% dan 63,3%, dosis 60 Gy sekitar 60% menjadi 53,3%. Populasi dengan perlakuan dosis 90 Gy mengalami penurunan sebesar 90% sehingga tidak ada satupun planlet yang dapat bertahan hidup dari minggu ke 8 sampai 11. Pada minggu ke 8 sampai 11 setelah tanam persentase hidup pada kontrol dan dosis 30 Gy cenderung konstan, sedangkan dosis 60 Gy kembali turun diminggu ke 9 dan konstan hingga minggu 11. Kontrol menunjukkan persentase tertinggi (76,66%) terhadap persentase hidup planlet, sedangkan perlakuan dosis 60 Gy menunjukkan persentase daya bertahan hidup terendah (26,6%).

(43)

Ismachin (1988) menyatakan bahwa besarnya kerusakan pada tanaman tergantung dari besarnya dosis perlakuan, makin tinggi dosis perlakuan makin besar kerusakan fisiologis tanaman yang berakhir pada timbulnya kematian. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Broertjes dan van Harten (1987) yang menyatakan bahwa pada kisaran dosis iradiasi rendah, kemampuan tanaman untuk bertahan hidup tinggi, namun frekuensi mutasi rendah, sedangkan pada kisaran dosis tinggi, frekuensi mutasi tinggi tetapi kemampuan tanaman untuk bertahan hidup rendah.

Gambar 2. Planlet anggrek yang terkontaminasi kapang (Foto. Zihan)

(44)

29

4.2. Tinggi Planlet

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa dosis iradiasi berpengaruh terhadap rata-rata tinggi planlet (Fh > Ft) (Lampiran 3). Rata-rata tinggi planlet berkisar antara 0,48-3,04 cm (Tabel 3), dengan rata-rata tinggi planlet tertinggi (1,76 cm) ditunjukkan pada kontrol, sedangkan rata-rata tinggi planlet terendah ditunjukkan pada perlakuan dosis 60 Gy (0,51 cm).

Tabel 3. Rata-rata tinggi planlet dari umur 3 MST sampai umur 11 MST untuk setiap dosis iradiasi

Dosis (Gy)

Induksi Awal (MST) Setelah Subkultur (MST)

3MST 4MST 5MST 6MST 7MST 8MST 9MST 10MST 11MST

tidak ada beda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Standar deviasi 0,9.

(45)

dan 60 Gy yang hanya sebesar 1,8-2,5 cm. Pada minggu ke-7 sampai 11 pengamatan, rata-rata tinggi kontrol cenderung konstan yaitu sebesar 1,66 cm. Perlakuan dosis 30 Gy dan 60 Gy rata-rata tinggi planlet mengalami penurunan antara 0,29 cm menjadi 1,20 cm dan 0,51 cm. Rata-rata tinggi planlet pada tanaman kontrol yang tidak mengalami perlakuan iradiasi lebih baik dibanding planlet yang diberi iradiasi.

Rata-rata tinggi planlet tertinggi terdapat pada kontrol, sedangkan dengan semakin tingginya dosis yang diberikan pada perlakuan dosis 90 Gy pertumbuhan tinggi planlet rendah. Perlakuan iradiasi pada dosis tinggi mengakibatkan kerusakan yang dapat mempengaruhi sel-sel meristem tanaman bahkan kematian tanaman. Menurut Grosch dan Hopwood (1979) iradiasi sinar gamma dapat menghambat pertambahan tinggi tanaman karena terhambatnya aktivitas pembelahan sel meristem, termasuk sel-sel meristem pucuk tanaman. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Suskandari et al., (1999) yang menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma 0-100 Gy terhadap anggrek Vanda Genta Bandung pada dosis iradiasi lebih dari 35 Gy menyebabkan pertumbuhan terhambat dan akhirnya mati.

(46)

31

( A ) ( B )

( C ) ( D )

Gambar 3. Perbedaan tinggi planlet setiap dosis : (A). 0 (kontrol); (B). 30 Gy umur 11MST; (C). 60 Gy umur 11MST; (D). 90 Gy umur 7MST

(Foto. Zihan)

4.3. Jumlah Daun

(47)

menyebabkan timbulnya tonjolan yaitu primordial daun. Pertumbuhan daun merupakan proses diferensiasi tunas.

Tabel 4. Rata-rata jumlah daun dari umur 3 MST sampai umur 11 MST untuk setiap dosis iradiasi

Dosis Induksi Awal (MST) Setelah Subkultur (MST)

3MST 4MST 5MST 6MST 7MST 8MST 9MST 10MST 11MST

0 3,86a 4,50a 4,73a 4,33a 3,67a 3,03a 2,63a 2,40a 2,43a 30 3,83a 4,50a 4,33a 3,90ab 2,83ab 2,33a 1,87a 1,83a 1,97ab 60 3,83a 4,00ab 2,20b 1,53b 0,80b 0,60b 0,63b 0,63b 0,67bc 90 2,67b 2,50b 2,20b 2,03ab 2,80ab - - - - Keterangan: Angka di dalam kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan

tidak ada beda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Standar deviasi 0,7.

(48)

33

hasil perlakuan dengan mutagen (Gaul, 1977). Dalam penelitian Natawijaya et al., (2009) menyatakan bahwa Iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata menghambat pertumbuhan jumlah daun planlet gloxinia.

Jumlah daun dipengaruhi oleh penambahan atau berkurangnya daun setiap minggunya. Untuk penambahan maupun berkurangnya daun rata-rata pada setiap minggunya berkisar antara 1-2 daun. Penambahan daun baru biasanya diikuti kelayuan, kerontokan, dan kematian daun akibat pengaruh iradiasi dan beberapa mati karena planlet sudah memasuki fase penuaan, sehingga pengukuran jumlah daun berikutnya dilakukan pada daun yang tersisa saja, yang dapat saja bertambah atau berkurang dari pengukuran awal. Tabel 4 memperlihatkan bahwa dosis iradiasi 60 dan 90 Gy menghasilkan rata-rata jumlah daun yang terendah. Daun yang mati karena pengaruh iradiasi dicirikan dengan daun yang berwarna cokelat dan kering pada daun baru maupun daun sebelumnya (Gambar 4). Dalam penelitian Natawijaya et al., (2009) bahwa daun yang mati karena efek iradiasi dicirikan dengan daun yang berwarna cokelat dan kering, terjadi karena iradiasi dapat mendegradasi klorofil pada daun, sehingga dapat mengganggu proses fotosintesi dan pada akhirnya akan mengalami kematian.

(49)

Dosis iradiasi yang diberikan tidak hanya mempengaruhi jumlah daun, tetapi dapat pula mempengaruhi morfologi daun. Pada perlakuan kontrol dan dosis 30 Gy, bentuk dan warna daun cenderung hampir sama. Warna daunnya lebih hijau dan daunnya agak lebih lebar, akan tetapi pada dosis 30 Gy daun terlihat lebih tebal dan batangnya lebih kokoh. Dosis 60 Gy warna daunnya hijau, tetapi lebih kecil dan lebih ramping, sedangkan pada dosis 90 Gy warna daun agak hijau muda dan lebih kecil (Gambar 5). Berdasarkan hasil penelitian Astuti (2007) perlakuan dosis iradiasi dapat menimbulkan kelainan morfologi seperti diameter batang kecil, daun kecil , daun kuning kehijauan atau daun hijau. Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Hindriana (2004) bahwa teknik mutasi iradiasi sinar gamma berpengaruh terhadap jumlah khlorofil daun kedelai sehingga mempengaruhi morfologi tanaman tersebut.

(Kontrol) (30 Gy) (60 Gy) (90 Gy) Gambar 5. Kondisi daun pada umur 11 MST, 90 Gy umur 6 MST

(50)

35

4.4. Jumlah Tunas

Saat muncul tunas merupakan salah satu faktor penting di dalam perbanyakan tanaman dengan metode kultur jaringan. Semakin cepat muncul tunas maka semakin cepat dihasilkan bahan untuk perbanyakan tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan kontrol dan 30 Gy membutuhkan waktu lebih cepat (5 MST) dibandingkan dengan perlakuan pada dosis 60 Gy (7 MST). Besarnya peningkatan jumlah tunas beragam di antara setiap dosis radiasi yang digunakan, berkisar antara 2-3 tunas perminggu pengamatan. Chondorkar dan Clark (1986) menyatakan bahwa salah satu akibat iradiasi adalah berkurangnya jumlah auksin bebas dalam tanaman, yang dapat menyebabkan kerusakan seluler pada jaringan meristem sehingga pertumbuhan menjadi terhambat.

Tabel 5. Rata-rata jumlah tunas umur 5 MST sampai 11 MST

Dosis Induksi (MST) Setelah Subkultur (MST)

5MST 6MST 7MST 8MST 9MST 10MST 11MST tidak ada beda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Standar deviasi 0,6.

(51)

(0,13), sedangkan minggu ke 7 sampai 10 setelah tanam, perlakuan dosis 30 Gy menunjukkan rata-rata jumlah tunas tertinggi (1,43) dibandingkan kontrol (1,03). Pada minggu terakhir pengamatan (11 MST), rata-rata jumlah tunas tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan dosis 30 Gy. Ini menunjukkan bahwa dosis 30 Gy dapat meningkatkan jumlah tunas.

Gambar 6. Kondisi tunas pada perlakuan dosis 30 Gy (Foto. Zihan)

Tunas yang terbentuk pada dosis iradiasi 30 Gy lebih banyak daripada tunas yang terbentuk pada kontrol (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa gangguan akibat iradiasi sinar gamma ternyata dapat bersifat positif dan juga negatif, tergantung dari level dosis yang diaplikasikan. Iradiasi sinar gamma pada dosis rendah mampu merangsang pertumbuhan tanaman, diduga karena hilangnya kemampuan sebagian sel pada meristem untuk membelah menyebabkan aktivitas sel meristem lain meningkat. Pada penelitian Suskandari et al., (1999) hasil iradiasi sinar gamma dosis 30 Gy pada tanaman anggrek merupakan dosis yang baik untuk persentase tumbuh setek. Untuk perlakuan iradiasi dosis 90 Gy tidak menghasilkan tunas. Hal ini karena iradiasi yang tinggi dapat menyebabkan enzim

(52)

37

yang merangsang pertunasan menjadi tidak aktif, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat, ini berhubungan juga dengan jumlah cabang tanaman (Prayitno dan Nastiti, 1979). Diperkuat juga oleh pendapat Soedjono (2003) bahwa perlakuan dosis tinggi iradiasi akan mematikan bahan yang dimutasi atau mengakibatkan sterilitas, sedangkan pada dosis iradiasi yang rendah pada umumnya dapat mempertahankan daya hidup atau tunas tanaman.

4.5. Terbentuknya Spot Hijau

Spot hijau merupakan kumpulan sel yang tidak terorganisasi dan aktif membelah (meristematik) yang berada pada jaringan tanaman. Setelah terbentuk selanjutnya spot hijau menunjukan perubahan fisik yaitu mulai memanjangnya tanaman dan bertambah daun. Pembentukan spot hijau tidak terlihat secara nyata, hanya terlihat pembengkakkan pada eksplan yang ditanam. Pada penelitian ini hanya pada kontrol dan dosis 30 Gy saja terbentuknya spot hijau, mulai muncul pada umur 5 MST. Dalam satu botol kultur, regeneran dari tanaman (planlet) induk ada yang terbentuk tunas dan spot hijau, ataupun spot hijau saja.

Tanaman induk

Spot hijau

(53)

Spot hijau yang terbentuk dari induksi awal lalu disubkultur pada media tanam yang baru. Dipisahkan dari tanaman awal (induknya) menurut batas spot hijau. Dari hasil pengamatan untuk pertumbuhan spot hijau dari perlakuan iradiasi dosis 30 Gy dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut, pertumbuhan spot hijau cenderung membentuk tunas dengan pembentukan awal yaitu daun. Jumlah tunas yang terbentuk dari spot hijau tersebut relatif banyak, sedangkan planlet awal (induknya) mengalami kelayuan dan kematian karena kontaminasi jamur. Akan tetapi, pertumbuhan spot hijau bisa saja tidak membentuk tunas atau membentuk tunas dan spot hijau baru.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 8. (a), (b), (c). Perkembangan spot hijau menjadi tunas pada subkultur; (d). Tanaman (planlet) induk.

(Foto. Zihan)

4.6. Subkultur

(54)

39

kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan dapat terpenuhi (Hendaryono dan Wijayanti, 1994).

Tabel 6. Rata-rata tinggi tunas dan jumlah akar pada subkultur anggrek

Dosis Iradiasi

Keterangan: Angka di dalam kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Pada tahap ini, kondisi planlet cenderung baik. Terjadi peningkatan jumlah daun seiring dengan pertambahan jumlah tunas. Tinggi tunas pada dosis 30 Gy dan kontrol menunjukkan hasil yang sama pada akhir pengamatan. Begitu pula dengan jumlah akar, pada kontrol menunjukan jumlah akar terbanyak sebesar 1,37. Pertumbuhan akar terhambat pada planlet yang diiradiasi pada dosis 30 Gy yang hanya sebesar 0,15, sedangkan untuk dosis 60 Gy dan 90 Gy tidak ada akar yang tumbuh sama sekali karena telah mengalami kematian planlet saat induksi awal. Hal tersebut kemungkinan karena akar merupakan bagian yang lebih sensitif dibandingkan tunas.

(55)

letalitas hanya terjadi pada generasi M1, sedangkan pada generasi selanjutnya adalah perubahan genetik saja.

( A )

( B )

(56)

41

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Iradiasi sinar gamma dengan dosis 30 Gy memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan planlet dibandingkan dosis 60 dan 90 Gy. Terjadi peningkatan terhadap jumlah tunas dan daun yang dihasilkan, yaitu jumlah daun lebih banyak, lebih tebal, warna daun lebih hijau. Pada Perlakuan dosis 90 Gy mempengaruhi keragaman morfologi anggrek D. schulerii x May Neal Wrap yaitu persentase hidup yang sangat rendah, planlet pendek, warna daun hijau pudar.

2. Dosis iradiasi sinar gamma 30 Gy merupakan dosis optimum untuk pertumbuhan tunas anggrek.

5.2. Saran

(57)

42

DAFTAR PUSTAKA

Adriana. 2010. Anggrek Dendrobium. http://www.kasopanjang.blogspot.com. Diakses pada 14 Juli 2010, pk. 12.50 WIB.

Astuti, Y. 2007. Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma Terhadap Morphologi Anthurium hookeri. http://www.research.mercubuana.ac.idproceeding Pengaruh-Irradiasi-Sinar-Gamma.pdf. Diakses pada 6 Mei 2010, pk. 11.55 WIB.

Bose, T. K. dan Battcharjee. 1980. Orchids of India. Naya Prakash. Calcuta. Broertjes, C., dan A.M. van Harten. 1987. Application of mutation breeding

method. In: A.J. Abbot and R.K. Atkin (Eds.). Improving Vegetatively Propagated Crops. Academy Press, Harcourt Brace Javanovice Publisher. London.

Cassells, A. C. 2002. Tissue culture for ornamental breeding. In A. Vainstein. Breeding for Ornamentals, Classical and Molecular Approches. Kluwer Academic Pub. Netherland.

Chondorkar, K. R., dan G.M. Clark. 1986. Physiological and morphological responses of Pinus strobus L and Pinus syluestris L. Seedling subjected to lo level continous gamma irradiation at radioactive wate disposal area Env. Exp. 26: 259-270.

Darussalam, M. 1996. Radiasi dan Radioisotop. Penerbit Tarsito. Bandung. Gaul, H., 1977. Mutagent effect in the first generation after seed treatment. In:

Manual on Mutation Breeding, Technical Reports Series. (119), IAEA, Viena.

Grosch, D. S dan L. E. Hopwood. 1979. Biological Effect of Radiation. Academic Press. New York.

Gunawan, L.W. 1988. Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antara Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

(58)

43

Handayani, W. 2006. Keragaman Genetik Mawar Mini dengan Iradiasi Sinar Gamma. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian vol.28 (4) :17-18.

Hendro, W. 1981. Mutagenesis and in vitro selection. In T.A. Thorpe (ED). Plant Tissue Culture, Methodes and Application in Agriculture. Acad Press. New York

Hindriana, A.F. 2004. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma terhadap Kandungan Khlorofil, Khloroplas dan Biomassa Glycine max. 10 :24 : 11.

Hussey, G. 1978. The Application of Tissue Culture to the Vegetatif of Plant. Sci, (65): 182-208.

Ichikawa, S. dan Y. Ikhusima. 1967. A Development Study of Diploids Oats by means of Radiation Induced Somatic Mutation Rad. Botany7 : 205 – 215. Ismachin, M. 1988. Pemuliaan Tanaman dengan Mutasi Buatan. Pusat Aplikasi

Isotop Radiasi. BATAN. Jakarta.

Ismachin, M. 1994. Masalah dan Prospek Pemuliaan dengan Teknik Mutasi. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman II. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia. Komisariat Jatim.

Lehninger, A.L. 1994. Dasar-Dasar Biokimia, Alih Bahasa DR. IR. Maggy Thenawidjaya, IPB. Erlangga. Jakarta.

Maluszynski, M., Ahlowalia, B.S., Sigurbjornsson B. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85 :303-315.

Natawijaya, A., Afiyata, A., Ritonga, A.W. 2009. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Keragaman Planlet Tanaman Gloxinia. Skripsi. Jurusan Pemuliaan dan bioteknologi Tanaman. Agronomi dan Holtikultura. IPB. Bogor.

Osman dan Prasasti. 1991. Anggrek Dendrobium. Penebar Swadaya. Jakarta. Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff

Publisher. Netherland.

(59)

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1992. Plan Physiology. Fourth edition. Diterjemahkan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono. Fisiologi Tumbuhan Julid 1 dan 3. ITB Bandung.

Sandra, E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek. GramediaPustaka. Jakarta.

Sinaga R, 2000. Pemanfaatan Iradiasi dalam Pengawetan Makanan. Prosiding 2 Semirt Ilmiah Nasional IV. Fakultas Biologi Universitas GadjahMada, Penerbit MEDIKA. Yogyakalta.

Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian, 22 :(2).

Soeryowinoto, S. M. dan S. Moeso. 1977. Perbanyakan Vegetatif pada Anggrek. Kanisius. Yogyakarta.

Suskandari, K., S. Soertini, dan S. Rianawati. 1999. Mutasi Induksi Sinar Gamma pada Anggrek Vanda Genta Bandung. Zuriat. Jurnal Penelitian Indonesia

10 (1): 27-34.

Suryowinoto, M. 1987. Tenaga Atom dan Pemanfaatannya dalam Biologi Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Trubus. 2005. Anggrek Dendrobium. PT Trubus Swadaya. Jakarta.

Widiastoety, D. dan A. B. Farid. 1995. Perkembangan Teknologi Anggrek. Pesona Anggrek. 25.

William, B. 1984. Orchids for Everyone. Treasure Press. London.

(60)

45

Lampiran 1. Komposisi Media Vacin dan Went (VW) Modifikasi

(61)

46

STOK KOMPOSISI gr/l

STOK A KNO3 190,0

NH4NO3 165,0

STOK B CuSO4. 5H2O 0,0062

MgSO4. 7H2O 37,0

MnSO4. 4H2O 2,23

ZnSO4. 7H2O 0,86

STOK C CaCl2. 2H2O 44,0

CoCl2. 2H2O 0,0025

KI 0,083

STOK D H3BO3 0,62

KH2PO4 17,0

Na2MoO4. 2H2O 0,025

STOK E Glisin 0,20

Mioinosito 10,0

Nikotin 0,05

Piridoksin 0,05

Tiamin 0,05

STOK F FeSO4. 7H2O 2,78

Na2EDTA 3,72

(62)

47

Lampiran 3. Hasil sidik ragam tinggi planlet anggrek D. schulerii x May Neal Wrap dari umur 1mst sampai 11mst

1. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 1 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F table

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

2. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 2 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

3. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 3 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

4. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 4 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

5. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 5 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

(63)

Ulangan 2 0,03 0,02 0,37 5,14 10,92

Galat 6 0,28 0,05

Total 11

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

6. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 6 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: **Sangat berbeda nyata *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

7. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 7 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

8. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 8 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

9. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 9 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

10. Sidik ragam rata-rata tinggi tanaman umur ke 10 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

(64)

49

Ulangan 2 0,13 0,06 0,50 5,14 10,92

Galat 6 0,76 0,13

Total 11

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

11. Sidik ragam rata-rata tinggi planlet umur ke 11 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

Dosis 3 4,29 1,43 9,43* 4,07 9,78

Ulangan 2 0,18 0,09 0,59 5,14 10,92

Galat 6 0,91 0,15

Total 11

(65)

Lampiran 4. Hasil sidik ragam jumlah daun anggrek D. schulerii x May Neal Wrap dari umur 1mst sampai 11mst

1. Sidik ragam jumlah daun umur ke 1 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak berbeda nyata

2. Sidik ragam jumlah daun umur ke 2 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

3. Sidik ragam jumlah daun umur ke 3 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

4. Sidik ragam jumlah daun umur ke 4 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

5. Sidik ragam jumlah daun umur ke 5 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

(66)

51

Ulangan 2 2,81 1,40 1,48 5,14 10,92

Galat 6 5,68 0,95

Total 11

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

6. Sidik ragam jumlah daun umur ke 6 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

7. Sidik ragam jumlah daun umur ke 7 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

8. Sidik ragam jumlah daun umur ke 8 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

9. Sidik ragam jumlah daun umur ke 9 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

10. Sidik ragam jumlah daun umur ke 10 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

(67)

Ulangan 2 0,28 0,14 0,40 5,14 10,92

Galat 6 2,13 0,35

Total 11

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

11. Sidik ragam jumlah daun umur ke 11 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

Dosis 3 11,45 3,81 8,12* 4,07 9,78

Ulangan 2 0,16 0,08 0,17 5,14 10,92

Galat 6 2,82 0,47

Total 11

(68)

53

Lampiran 5. Hasil sidik ragam jumlah tunas anggrek D. schulerii x May Neal Wrap dari umur 5 mst sampai 11 mst

1. Sidik ragam jumlah tunas umur ke 5 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

2. Sidik ragam jumlah tunas umur ke 6 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

3. Sidik ragam jumlah tunas umur ke 7 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

4. Sidik ragam jumlah tunas umur ke 8 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

(69)

5. Sidik ragam jumlah tunas umur ke 9 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

Dosis 3 3,34 1,11 2,78 4,07 9,78

Ulangan 2 0,25 0,12 0,31 5,14 10,92

Galat 6 2,40 0,40

Total 11

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

6. Sidik ragam jumlah tunas umur ke 10 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

Dosis 3 3,97 1,32 3,73 4,07 9,78

Ulangan 2 0,28 0,14 0,40 5,14 10,92

Galat 6 2,13 0,35

Total 11

Keterangan: *Berbeda nyata tn: tidak beda nyata

7. Sidik ragam jumlah tunas umur ke 11 mst.

Sumber ragam db JK KT F hitung F tabel

5% 1%

Dosis 3 4,96 1,65 5,19* 4,07 9,78

Ulangan 2 0,18 0,09 0,29 5,14 10,92

Galat 6 1,91 0,32

Total 11

Gambar

Gambar 1. Dendrobium schulerii ………………………………………
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Radiasi ……………………….….
Gambar 1. Dendrobium schulerii
Tabel 1. Karakteristik berbagai jenis radiasi :
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil deteksi tepi dapat diketahui 4 titik acuan pada objek kaki, yang menjadi dasar untuk proses deteksi marker dan menghitung jarak antar marker sehingga panjang dan

Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat proses pembangunan kapasitas kelembagaan Komisi Informasi Lampung dalam menerapkan Undang-Undang Nomor

Berdasarkan diagram tersebut dapat dketahui bagaimana hubungan antara sistem pembelajaran dosen di kelas dengan pemahaman mahasiswa dalam memahami materi

Pada taraf penyelesaian ini usaha debitur yang dimodali dengan kredit itu masih berjalan meskipun angsuran kreditnya tersendat-sendat atau meskipun kemampuannya

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya antara lain menggunakan perasan lidah mertua ( Sansevieria Trifasciata Lorentii), variable yang digunakan waktu pengukuran,

Berdasarkan hasil pemeriksaan kualitas bakteriologis dengan menggunakan metode indeks MPN dapat disimpulkan bahwa 100% dari minuman tebu dengan atau tanpa es yang

Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution TOPSIS Metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah Multiple Attribute Decision Making pada penelitian ini

Users can analyze sequence of Event Records, Transient Fault Records, and Disturbance Records that have been stored on a DDFR or archived onto a network location