• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Kewenangan DPR RI Dalam Hal Penentuan Pimpinan DPR Dan Hak Imunitas DPR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Kewenangan DPR RI Dalam Hal Penentuan Pimpinan DPR Dan Hak Imunitas DPR."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara kesatuan yang berbentuk republik yang kedaulatannya berada ditangan rakyat. Indonesia sebagai negara hukum yang menganut asas demokrasi tentu kedaulatan berada di tangan rakyat, sebagai contoh rakyat memiliki hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Hal ini diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014. Sehari sebelum tanggal pemilihan umum Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yakni tanggal 8 Juli 2014 publik dibuat ramai dengan pengesahan revisi Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) dalam sidang paripurna.

(2)

fraksi dari partai politik, maupun dari kalangan masyarakat. Perubahan tersebut dinilai sarat dengan kepentingan politik, sehingga menurut pihak yang kontra terhadap perubahan Undang-Undang MD3 hal tersebut harus dibatalkan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur dalam Bab VII Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945.1 Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Maka dengan kekuasaan tersebut memberikan peluang DPR mempunyai keleluasaan untuk melahirkan sebuah produk hukum yang lebih menguntungkan bagi anggota DPR untuk kepentingan politik bukan untuk kepentingan rakyat.

Pro kontra pengesahan perubahan Undang-Undang MD3 begitu ramai diberbagai media, baik cetak maupun elektronik. Perubahan tersebut dinilai sarat dengan kepentingan politik terlebih pengesahan perubaan Undang-Undang MD3 terkesan dipaksakan karena disahkan tepat sehari sebelum pemilu calon Presiden dan calon Wakil Presiden dilaksanakan. Salah satu pasal dalam Undang-Undang MD3 yang dirubah adalah pasal terkait pimpinan DPR. Dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (sebelum perubahan) Pasal 82 ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut:

(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.

(2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.

(3)

Jelas dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa yang menduduki posisi jabatan sebagai pimpinan DPR adalah yang berasal dari partai pemenang pemilu. Secara otomatis partai politik pemenang pemilu lah yang lebih dominan menempati posisi strategis di DPR, namun dengan adannya perubahan Undang-Undang MD3 tersebut yang kini menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dalam Pasal 84 disebutkan bahwa yang menduduki jabatan sebagai pimpinan DPR bukan lagi secara otomatis dari partai pemenang pemilu tetapi dipilih dari dan oleh anggota DPR. Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan setiap fraksi mengajukan 1 (satu) orang calon. Pemilihan pimpinan DPR tersebut dipilih secara musyawarah mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Apabila dalam hal musyawarah mufakat tidak tercapai maka pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR.

Hal tersebut di atas yang dinilai oleh berbagai pihak sangat tidak tepat dan merugikan, terlebih oleh partai pemenang pemilu. Partai pemenang pemilu merasa haknya diciderai dengan adanya ketentuan pasal 84 Undang-Undang MD3. Pada saat sidang paripurna pengesahan revisi Undang-Undang MD3, tiga fraksi melakukan aksi walk out dari sidang paripurna, yakni Fraksi PDIP, Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).2 Ketiga fraksi tersebut dengan terang-terangan menolak pengesahan Undang-Undang MD3. Meskipun diwarnai aksi walk out

oleh ketiga fraksi tersebut, Undang-Undang MD3 tetap disahkan. Merasa tidak

(4)

terima dengan adanya perubahan Undang-Undang MD3 terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR, PDIP mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pihak maupun fraksi yang mendukung perubahan Undang-Undang MD3 berdalih bahwa perlu adanya penyegaran dalam mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Diharapkan dengan pemilihan pimpinan DPR yang dilaksanakan secara musyawarah mufakat merupakan cerminan dari demokrasi di Indonesia. Sedangkan menurut kalangan yang tidak setuju dengan mekanisme pemilihan pimpinan DPR tersebut, malah menciderai suara rakyat yang diberikan pada saat pemilu. Rakyat tentu mengharapkan yang menjadi pemenang lah yang berhak untuk memangku jabatan di kursi DPR, lalu apa artinya mereka menggunakan hak pilihnya jika yang dipilih dan didukung ternyata secara otomatis tidak bisa menduduki jabatannya. Walaupun demikian juga ada sebagian masyarakat yang menilai mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang baru justru mencerminkan keadilan, karena fraksi-fraksi yang lain mendapatkan kesempatan untuk menjadi bakal calon pimpinan DPR.

Protes terhadap mekanisme pemilihan pimpinan DPR tidak sampai disitu saja, peran perempuan juga semakin sempit dalam posisi strategis di DPR. Dalam Undang-Undang MD3 sebelum perubahan pada Pasal 95 ayat (2) disebutkan:

(2) Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut pertimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

(5)

yang merasa adanya diskriminasi dan lagi-lagi perempuan harus tersisihkan perannya dalam kegiatan politik di parlemen.

Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 berbunyi “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap

anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.”3 Selain hak-hak tersebut,

DPR juga mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak imunitas anggota DPR tidak dimiliki DPR karena memang hak imunitas melekat kepada subyek hukum pribadi, bukan lembaga.

UUD 1945 pasca perubahan memuat hak imunitas bagi para anggota DPR untuk lebih memberikan jaminan konstitusional agar anggota DPR tidak perlu merasa ragu-ragu, cemas, khawatir, atau bahkan takut untuk menyatakan sikap dan pendapatnya dalam forum-forum rapat DPR, apapun juga sikap dan pendapat tersebut. Dengan adanya hak imunitas ini, anggota DPR diharapkan atau lebih tepatnya dituntut oleh konstitusi untuk menyatakan pendapat secara bebas, tajam, kritis, dan objektif terhadap suatu permasalahan atau kondisi dalam forum rapat DPR tanpa dibayangi keragu-raguan dan kecemasan.4 Konstitusi juga telah membekali mereka dengan jaminan tidak akan dituntut atas ucapannya selama diucapkan dalam forum rapat DPR. Hal ini untuk mengantisipasi adanya tuntutan hukum dengan dugaan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik apabila ada ucapan yang disalah artikan oleh pihak lain yang tidak suka.

3 Patrialis Akbar. 2013. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 64

(6)

Hak imunitas yang diatur dalam pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Taun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, menyatakan bahwa dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Selanjutnya Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tesebut. Apabila Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, maka surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum.

Dalam pengaturan hak imunitas sebelum adanya perubahan Undang-Undang MD3, tidak terdapat pasal yang menyatakan bahwa apabila anggota DPR hendak dipanggil untuk memberikan keterangan harus atas ijin dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Terlebih lagi dengan jangka waktu 30 hari maka hal ini bisa digunakan sebagai kesempatan untuk menghilangkan barang bukti atau kabur. Mahkamah Kehormatan Dewan sendiri juga beranggotakan anggota DPR, yang dinilai tidak independen dan sarat akan kepentingan, sehingga banyak yang memprotes terkait perubahan pasal hak imunitas DPR karena cenderung terlihat melindungi dan membentengi anggota DPR yang terlibat tindak pidana agar kebal hukum.

(7)

DPR, DPD dan DPRD). Apabila masyarakat tidak cermat terhadap hal di atas maka rakyat yang akan menjadi korban dari kepentingan politik aparat penyelenggara negara khususnya DPR. Berdasarkan pemaparan dan argumentasi di atas maka penulis mengangkat judul “IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD TERHADAP KEWENANGAN DPR RI DALAM HAL PENENTUAN PIMPINAN DPR DAN HAK IMUNITAS DPR”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan DPR RI sebelum adanya perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR ?

2. Bagaimana kewenangan DPR RI setelah adanya perubaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR ?

(8)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kewenangan DPR RI sebelum adanya perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR.

2. Untuk mengetahui kewenangan DPR RI setelah adanya perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR.

3. Untuk menganalisis dan mengetahui implikasi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap kewenangan DPR dalam hal penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

(9)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Sekaligus diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan, pengetahuan serta pemahaman terhadap implikasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap kewenangan DPR RI dalam hal penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR.

b. Bagi Penyelenggara Negara

Dalam hal ini aparat penyelenggara negara adalah DPR, yang merupakan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat dan wakil rakyat di parlemen diharapkan dapat menjadi wakil rakyat yang pro terhadap kepentingan rakyat bukan kepentingan anggota atau kelompok. Selain itu diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi DPR dalam menjalankan kewenangannya yaitu kekuasaan membentuk undang-undang.

c. Bagi Masyarakat

(10)

kewenangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh wakil rakyat di parlemen agar tidak merugikan kepentingan masyarakat.

d. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi, memberikan informasi serta bahan kajian bagi akademisi lainnya di bidang hukum.

E. Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan untuk menambah wawasan, dan digunakan sebagai bahan kajian bagi aparat penyelenggara negara khususnya DPR RI terkait dengan implikasi perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap kewenangan DPR RI.

F. Metode Penulisan

1. Pendekatan:

Uraian serta pembahasan permasalahan yang diteliti menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yakni melihat hukum sebagai norma dalam peraturan perundang-undangan.

2. Jenis Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

(11)

hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer berupa buku, jurnal, hasil penelitian, hasil kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan penelitian hukum ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Ensiklopedi, Kamus, Glossary dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pada penelitian hukum ini, pemulis mengumpulkan bahan-banahn hukum dengan menggunakan metode Studi Dokumen dan Studi Pustaka.

a. Studi Dokumen

(12)

b. Studi Pustaka

Studi Pustaka dilakukan dengan cara melakukan penelusuran atas berbagai bahan hukum seperti Buku, Jurnal, Majalah, Artikel, Surat kabar, dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

c. Studi Internet

Studi internet yaitu dengan cara mengkaji informasi sekaligus mencari data tambahan melalui jurnal atau berita lain yang terdapat di media internet yang berhubungan dengan penelitian ini.

4. Teknik Analisa Bahan Hukum

(13)

G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

(14)

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasannya dengan teknik analisis data dalam metode penelitian berkenaan dengan permasalahan yang diteliti. Terdiri dari tiga sub bab yaitu Kewenangan DPR RI sebelum adanya perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR, Kewenangan DPR RI setelah adanya perubahan Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR, dan Implikasi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) terhadap kewenangan DPR dalam hal penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR.

BAB IV : PENUTUP

(15)

PENULISAN HUKUM

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

MPR, DPR, DPD, DAN DPRD TERHADAP KEWENANGAN DPR RI

DALAM HAL PENENTUAN PIMPINAN DPR DAN HAK IMUNITAS DPR

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum

Oleh :

DINI FEBRY GITAWATI

09400334

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(16)
(17)
(18)
(19)

Ungkapan Pribadi / Motto :

 “Bertaqwalah pada Allah, maka Allah memberikan jalan keluar dan

memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.. Bertaqwalah pada Allah, maka Allah jadikan urusan menjadi mudah.. Bertaqwalah pada Allah maka akan dihapuskan dosa2 dan mendapatkan pahala yang agung” (QS. Ath-Thalaq: 2, 3, 4)

 “Dan bersabarlah, dan tidaklah ada kesabaranmu itu kecuali dari Allah.”

(QS. An-Nahl: 128)

 Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.

- Thomas Alva Edison

 Kita berdoa kalau kesusahan dan membutuhkan sesuatu, mestinya kita juga berdoa dalam kegembiraan besar dan saat rezeki melimpah.

(20)

ABSTRAKSI

Nama : Dini Febry Gitawati Nim : 09400333

Judul : Implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Kewenangan DPR RI Dalam Hal Penentuan Pimpinan DPR Dan Hak Imunitas DPR.

Pembimbing : Dr. Surya Anoraga, SH., M.Hum Dr. Sulardi, SH., M.Si

Adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD di dalamnya memuat perubahan tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR.Penelitian ini dengan rumusan masalah bagaimana kewenangan DPR sebelum dan setelah perubahan terhadap Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) dalam hal penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR dan apa implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap kewenangan DPR dalam hal penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR. Metode penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, jenis bahan hukum primer diperoleh dari perundang-undangan dan bahan hukum sekunder dari buku, karya ilmiah, jurnal, bahan hukum tersier dari kamus hukum serta ensiklopedia yang kemudian dianalisa secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pimpinan DPR tidak lagi berasal dari partai politik pemenang pemilu tetapi pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR secara musyawarah untuk mufakat. Sedangkan dalam pengaturan hak imunitas terdapat penambahan klausul diperlukan adanya izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan terkait pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR. Implikasi pemilihan pimpinan DPR secara musyawarah untuk mufakat dapat memberikan kesempatan bagi semua partai politik untuk bersaing dalam pemilihan pimpinan DPR dan merupakan wujud demokrasi di Indonesia. Sedangkan implikasi terkait hak imunitas dengan adanya izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan terkait pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR adalah merupakan jaminan konstitusional bagi anggota DPR dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan anggota dewan.

(21)

ABSTRACT

Name : Dini Febry Gitawati Nim : 09400333

Title : Implications of Act No. 17, 2014 About the MPR, DPR, DPD, and DPRD Against Authority of the Parliament In The

Determination of the House leadership and Immunity Rights of Parliament.

Advisor : Dr. Surya Anoraga, SH., M. Hum Dr Sulardi, SH., M.Si

The existence of Act No.17, 2014 About the MPR, DPR, DPD, and DPRD in which includes a change of leadership of the House and the election mechanism of immunity Parliament. This study with the formulation of the problem of how authority Parliament before and after the changes to the Act MD3 (MPR, DPR, DPD, and DPRD) in determining the leadership of the House of Representatives and ImmunityRightand what the implications of Act No. 17, 2014 About the MPR, DPR , DPD, and DPRD against the authority of Parliament in determining the leadership of the House of Representatives and Immunity Right. The research method used normative juridical approach, type of primary legal materials obtained from legislation and secondary legal materialsare derived from book, scientific work, journal, tertiary legal materials from legal dictionaries and encyclopedias are then analyzed by descriptive qualitative. Based on the results of that research, the House leadership is no longer derived from the political party the winner of the election, but the leadership of the House of Representatives elected from and by members of Parliament in deliberation. While in the regulation of immunity clauses are necessary to permit the addition of the Court of Honor of the Board relating to the calling and requests for information from members of Parliament. Implications of the House leadership election in deliberation can provide an opportunity for all political parties to compete in the election of leaders of the House of Representatives and is a form of democracy in Indonesia. While the implications of immunity associated with the permission of the Court of Honor of the Board relating to the calling and requests for information from members of the House is a constitutional guarantee for members of Parliament in order to maintain the dignity and honor members of the board.

(22)

KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum Wr. Wb

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Kewenangan DPR RI Dalam Hal Penentuan Pimpinan DPR Dan Hak Imunitas DPR”. Sholawat serta salam selalu terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat-sahabat-Nya yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada yang terhormat:

1. Tuhanku Yang Maha Esa, Allah SWT yang atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

(23)

3. Dr. Sulardi, SH., M.Si selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang dan sekaligus Dosen Pembimbing Kedua yang telah membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga segala kesulitan yang penulis hadapi dapat terselesaikan dengan baik;

4. Dr. Surya Anoraga, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Pertama yang telah memotivasi, membimbing, dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga segala kesulitan yang penulis hadapi dapat terselesaikan dengan baik;

5. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum yang telah memberikan ilmunya dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, Insya Allah penulis akan selalu mengamalkan apa yang Bapak/Ibu Dosen berikan selama ini;

6. Sahabat-sahabatku di kost 33B Murni, Ita, Nino, Wiwit, Prieska, Rinta terima kasih atas persahabatan yang telah kita lalui selama ini;

7. Teman-teman seperjuanganku Rani, Ria, Hoirun Arif, Wilhy, Mbak Ria, Mbak Rizky, Mbak Nevi, Mas Debby, Mas Panji, serta semua yang tidak dapat penulis uraikan satu per satu, terimakasih atas masukan, saran, dan kebersamaan selama ini;

8. Semua pihak yang dengan penuh keikhlasan memberikan bantuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(24)

membalas kebaikan beliau-beliau dan saudara-saudaraku. Aamiin Ya Robbal’aalaamiin. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Malang,22 April 2015 Penulis,

(25)

DAFTAR ISI

Lembar Judul ... i

Lembar Pernyataan ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Lembar Pernyataan ... iv

Motto ... v

Abstraksi ... vi

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian ... 10

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Konsep dan Teori dalam Sistem Kelembagaan Negara ... 15

(26)

2. Konsepsi tentang Lembaga Negara ... 18

3. Teori Legislatif ... 21

4. Teori Kewenangan ... 22

5. Teori Perwakilan ... 27

6. Sistem Perwakilan ... 33

7. Model Pengisian Pimpinan Lembaga Perwakilan... 37

B. Tinjauan Umum tentang Dewan Perwakilan Rakyat ... 44

1. Dewan Perwakilan Rakyat ... 44

2. Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang DPR ... 46

3. DPR Memegang Kekuasaan Membentuk Undang-Undang .. ... 50

4. Pimpinan DPR ... 57

5. Hak Imunitas Anggota DPR ... 60

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kewenangan DPR RI sebelum adanya perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam hal penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR ... 66

B. Kewenangan DPR RI setelah adanya perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam hal penentuan pimpinan DPR dan hak imunitas DPR ... 76

(27)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

INDEX ... 115

LAMPIRAN – LAMPIRAN ...

(28)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Perbandingan sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait penentuan Pimpinan DPR dan Hak

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu Bakar E. 2013. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia.

Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Dahlan Thaib. 2002. DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Jimly Asshiddiqie. 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. ________________ 2011. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:

Sinar Grafika.

________________ 2012. Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.

Lukman Hakim. 2012. Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah. Malang: Setara Perss.

Lutfi Effendi. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi. Malang: Bayumedia Publishing.

Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Muchammad Ali Safa’at. 2010. Parlemen Bikameral Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia. Malang: UB Press.

M.Kusnardi dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Mukthie Fadjar. 2004. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing. Patrialis Akbar. 2013. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun

1945. Jakarta: Sinar Grafika.

Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Philipus M. Hadjon. 2001. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

(30)

Saldi Isra. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. T.A. Legowo, dkk. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia Studi dan

Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945 (Kritik, Masalah, dan Solusi). Jakarta: FORMAPPI dan AusAID.

Zainudddin Ali. 2013. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Tesis

Catur Wido Haruni. 2007. Aspek Hukum Kedudukan dan Fungsi DPD Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Tesis. Malang: Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Internet

Slamet Agus. 2014. PDIP dan PKB Tolak Pengesahan UU MD3.

http://www.antaranews.com/berita/444181/pdip-dan-pkb-tolak-pengesahan-uu-md3. diakses 26 Agustus 2014.

(31)

INDEX

D

DPR, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,17, 19, 21, 25, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,102, 103, 104, 105, 106, 107,108

F

Fraksi, 1, 3, 4, 58, 59, 68, 69, 78, 84, 85, 86, 88, 95

H

Hak Imunitas, 5, 6, 7, 8, 9, 14, 45, 60, 61, 62, 63, 64, 72, 73, 74, 75, 90, 91, 92, 98, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 107, 108

L

Legislatif, 21, 22, 70, 71, 76, 81, 88, 92, 95, 96, 97, 103, 105, 107

P

Partai Politik, 1, 2, 3, 32, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 53, 67, 68, 69, 78, 80, 81, 82, 85, 87, 88, 94, 95, 96, 97 Pemilu, 2, 3, 38, 39, 40, 41, 42, 69, 71, 76, 80, 89, 95, 96, 104, 106 Pimpinan DPR, 3, 4, 7, 8, 9, 14, 57, 58, 59, 66, 67, 74, 76, 79, 80, 88, 93, 94, 95, 96, 104, 107, 108

T

(32)

Referensi

Dokumen terkait

1) Metoda penyampaian dan cara pembukaan dokumen penawaran harus mengikuti ketentuan yang dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa. 2) Metoda penyampaian

 Total NILAI BOBOT seluruh sub unsur PENDEKATAN DAN METODOLOGI = NILAI BOBOT sub unsur pemahaman atas jasa layanan yang tercantum dalam KAK + NILAI BOBOT sub unsur

Gempa bumi utama yaitu gempa bumi yang terjadi pada goncangan awal akibat deformasi yang di akibatkan oleh adanya interaksi antar lempeng..

Meliputi kontak antara orang yang rentan dengan benda yang terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan, instrumen yang terkontaminasi, jarum, kasa, tangan

Jenis kamar yang tersedia untuk dua orang penghuni dengan kondisi, berisi satu tempat tidur double (double bed) atau dua tempat tidur dan fasilitas yang tersedia di

Di Indonesia melalui Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tahun 2009 telah membuat Standar Akuntansi bagi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Dilihat dari

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya serta berdasarkan data dan fakta yang diperoleh dilapangan, maka peneliti dapat