• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(4)

DIAN HERMAWATI. Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh SATYAWAN SUNITO.

Perkebunan memiliki kaitan erat dengan sejarah, politik, dan keadaan sosial ekonomi dari masa kolonial hingga saat ini. Konstruksi sosial yang terbangun atas pengaruh sejarah dan pola penguasaan lahan yang didominasi oleh Pemerintah menjadi polemik bagi rumahtangga buruh perkebunan untuk keluar dari kemiskinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis akses masyarakat terhadap tanah di desa perkebunan, menganalisis bentuk strategi nafkah yang diterapkan oleh rumahtangga buruh perkebunan terhadap sumber pendapatan yang diperoleh dari perkebunan, sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Selain itu, juga bertujuan untuk menganalisis struktur nafkah rumahtangga buruh di desa perkebunan serta menganalisis kaitan struktur nafkah rumahtangga buruh perkebunan dengan kemiskinan. Metode penelitian ini adalah penelitian survey yang menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif yang menggunakan kuesioner serta panduan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akses terhadap tanah di desa perkebunan, strategi nafkah, struktur nafkah dan kemiskinan.

Kata kunci: strategi nafkah, perkebunan, kemiskinan

ABSTRACT

DIAN HERMAWATI. Livelihood Strategies of Plantation Worker Case Patengan Village, District Bandung Under the guidance of SATYAWAN SUNITO.

Plantation closely related to the history, politics, and socio-economic situation from the colonial period until now. Social construction that was built under history influence and domination of land tenure pattern by the Government had become a polemic for plantation labor households to overcome poverty. The purpose of this study was to analyze the public access to the plantation land, to analyze the livelihood strategy form applied by the plantation workes household against plantation, agriculture and non-agriculture sector based income. Meanwhile, it also aimed to analyze the livelihood structure of workers in plantation land as well as the relationship of livelihood structure of the plenatation workers with poverty. This research method was a survey performed with quantitative approach and supported with qualitative approach using questionnaire and in-depth interview. This results determine access to the plantation land, livelihood strategy,the livelihood structure and its relation to poverty.

(5)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA BURUH

PERKEBUNAN DESA PATENGAN, KECAMATAN

RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung

Nama : Dian Hermawati

NIM : I34080074

Disetujui oleh

Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199103 1 001

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc NIP. 19670903 199212 2 001

Ketua Departemen

(8)
(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas karunia-Nya yang luar biasa sehingga berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung” dengan baik. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya Dr. Satyawan Sunito selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta kesabaran selama proses penulisan. Dr.Ir Arya H Dharmawan. M.Sc selaku dosen penguji utama, Dr.Ir Sarwititi S Agung, MS selaku dosen penguji departemen dan Martua Sihaloho, SP, M.Si selaku dosen uji petik yang telah memberikan masukan atas skripsi ini. Triomacan SKPM (Mba Icha, Mba Dini, Mba Maria) yang sabar membantu dan menyemangati. Orangtua dan keluarga yang telah menjadi motivasi terbesar penulis. Keluarga Besar KPM 45, BPA TPB IPB, Centrum 45. Nur Sri Ubaya Asri atas kesabaran, bantuan, dan dukungannya. Rodiah Rumata, Sri Anom Amongjati, Miftachul Jannah, Nisrina Kharisma saudara selamanya. Yeni Agustin, Achmad Fachruddin, Abdul Haris, Siti Farida atas bantuan dan semangat yang tak pernah berhenti mengalir. Dompet Dhuafa atas beasiswa aktivisnya yang mendidik saya untuk teguh terhadap nilai-nilai. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu doa, semangat dan bantuan kepada penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juni 2014

(10)

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Struktur Agraria 5

Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan 6

Konsep Perkebunan 9

Karakteristik Masyarakat Perkebunan 10

Konsep Nafkah (Livelihood) 12

Kerangka Pemikiran 13

Hipotesis Penelitian 15

Definisi Konseptual 15

Definisi Operasional 15

PENDEKATAN LAPANG 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Penentuan Responden dan Informan Penelitian 17

Teknik Pengumpulan Data 18

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 18

SEJARAH DAN SISTEM PERKEBUNAN 21

Sejarah Perkebunan Indonesia 21

Periode Kolonial Belanda (1870-1942) 21

Periode 1942-1965 22

Periode 1966 23

Sejarah Perkebunan PTPN VIII dan Desa Patengan 24

Jenis dan Orientasi Tanaman Perkebunan 25

Sistem Perkebunan PTPN VIII Kebun Rancabali 26

Ikhtisar 27

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 29

Kondisi Geografis 29

Kondisi Demografis 30

Ikhtisar 32

STRUKTUR AGRARIA DAN AKSES TANAH DI DESA PERKEBUNAN 33

Struktur Agraria di Desa Perkebunan 33

Pola Pemilikan Lahan 33

Pola Penguasaan Lahan 34

Pola Hubungan Sosial Agraria 36

Akses Rumahtangga Buruh terhadapTanah di Desa Perkebunan 36

Ikhtisar 37

KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN 39

(11)

Jumlah Tanggungan 40

Lama Bekerja di Perkebunan 41

Status Karyawan di Perkebunan 41

Ikhtisar 42

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN 43

Sumber Pendapatan Rumahtangga 43

Pendapatan dari Sektor Perkebunan 43

Pendapatan dari Sektor Pertanian 44

Pendapatan dari Sektor Non-Pertanian 46

Total Pendapatan Rumahtangga 48

Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Buruh Perkebunan 52

Ikhtisar 55

PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA 57

Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan 57

Strategi Rekayasa Sumber Nafkah Pertanian 57

Strategi Pola Nafkah Ganda 58

Strategi Migrasi 58

Strategi Survival 59

Ikhtisar 60

SIMPULAN DAN SARAN 61

Simpulan 61

Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 63

(12)

1 Perkembangan sistem perkebunan 10

2 Metode pengumpulan data dan informasi 19

3 Jumlah dan persentase distribusi luas lahan menurut penggunaannya di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 29 4 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok umur di

Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 30 5 Jumlah penduduk dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa

Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 31

6 Jumlah penduduk dan persentase berdasarkan sektor pekerjaan di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 31 7 Jumlah dan persentase KK di RW 02 Sindangreret Tahun 2013 Desa

Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 32

8 Persentase Kepemilikan Lahan di Desa Patengan, Kecamatan

Rancabali, Kabupaten Bandung Tahun 2013 34

9 Jumlah luas lahan yang dapat diakses oleh responden menurut

pekerjaannya di perkebunan Tahun 2013 35

10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat usia di Desa

Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 39

11 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 40 12 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan di

perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten

Bandung 40

13 Jumlah dan persentase responden menurut lama bekerja di perkebunan di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten

Bandung 41

14 Jumlah dan persentase status karyawan perkebunan di Desa

Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung 42

15 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan total rumahtangga buruh perkebunan dalam setahun di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali,

Kabupaten Bandung 48

16 Sumbangan sumber pendapatan perkebunan, pertanian, dan non pertanian terhdap struktur nafkah rata-rata rumahtangga buruh pada

setiap lapisan pendapatan Tahun 2013 48

17 Persentase pendapatan responden dari berbagai sumber pendapatan

per tahun menurut lapisan pendapatan Tahun 2013 49

18 Persentase kontribusi sumbangan sumber pendapatan dari perkebunan, pertanian, dan non pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga buruh pada setiap alpisan pendapatan Tahun 2013 51 19 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh perkebunan

menurut lapisan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan Tahun

2013 52

20 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh perkebunan menurut lapisan pendapatan per hari berdasarkan sumber pendapatan

(13)

1 Hubungan segitiga antara subjek agraria yang berpusat pada objek

agraria 6

2 Logical framework: Aspek-aspek yang menjadi sasaran penelitian 14 3 Kronologi sejarah perkebunan, PT Perkebunan Nusantara VIII,

Kebun Rancabali, Bandung, Jawa Barat 25

4 Struktur karyawan perkebunan yang dapat diakses oleh penduduk

Desa Patengan 26

5 Persentase sumber pendapatan dalam setiap golongan pendapatan

responden Tahun 2013 51

6 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh menurut lapisan

pendapatan Tahun 2013 52

7 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh menurut lapisan

pendapatan per hari Tahun 2013 54

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kerangka Sampling Penelitian 67

2 Kuesioner penelitian 72

3 Panduan pertanyaan wawancara mendalam 78

4 Pengolahan data struktur nafkah 79

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkebunan merupakan sektor penting dalam meningkatkan devisa negara. Perkembangan kehidupan sektor perkebunan yang berlangsung dari sekitar 1956 hingga sekitar 1980-an yang banyak sedikitnya tidak lepas dari pengaruh perubahan dan perkembangan kehidupan politik dan sistem perekonomian yang berlaku selama itu di Indonesia. Perubahan kebijaksanaan politik dan ekonomi, pada dasarnya melatarbelakangi perubahan kehidupan perkebunan di Indonesia, terutama sejak tahun 1950-an (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia, sebagai sisa dari masa penjajahan. Proses pengambilalihan perusahaan Belanda ini berlangsung sejak bulan Desember 1957, dan dikenal sebagai proses “nasionalisasi” perusahaan asing. Proses pengambilalihan ini telah melibatkan pengalihan kepemilikan 90 persen produksi perkebunan, 60 persen produksi perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan perusahaan pertambangan, ditambah dengan bank, pelayaran, dan berbagai industri jasa, dari perusahaan swasta Belanda menjadi milik Indonesia (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Semenjak pengambilalihan itu negara memiliki kuasa untuk mengatur segala aspek perkebunan tersebut. Tanah atau lahan yang merupakan aspek terpenting dalam hal ini menjadi sumber permasalahan utama. Tauchid (2009) mengatakan soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Masalah tanah juga tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antara manusia dan tanah, lebih dari itu, secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia (Suhendar 1998).

Marwan (2007) menyimpulkan corak masyarakat perkebunan sangat kental dengan kolonialisme yang meninggalkan suatu sistem otoritarian hingga menyebabkan terciptanya sistem perkebunan yang mengatur segala aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya bahkan politik. Hal ini berimbas pada sistem perkebunan yang terus berlanjut hingga saat ini, hanya saja penyelenggaranya saat ini adalah Pemerintah yang cenderung berorientasi pada pemilik modal. Dalam hal ini masyarakat perkebunan tidak bisa berkutik karena mereka berada terikat teritori perkebunan.

Pola hubungan yang tercipta pada masyarakat perkebunan adalah hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemilik modal. Hal ini berkaitan langsung tentang lahan dan tenaga kerja (buruh). Hampir seluruhnya lahan perkebunan yang tersedia dikuasai oleh pihak utama dalam hal ini adalah Negara, bahkan rumah-rumah yang didiami penduduk setempat adalah milik Negara. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan itu menjadi sangat tergantung pada perkebunan. Fenomena ini tidak banyak berubah sepanjang sejarah perkebunan yang berkembang di Indonesia.

(16)

proses destabilisasi sistem sosial-ekonomi yang senantiasa melanda pedesaan. Proses-proses adaptasi ekonomi dan ekologis yang dibentuk oleh petani (aras-individual), rumahtangga (aras kelompok), serta komunitas lokal (aras sistem sosial) sebagai upaya menyelaraskan eksistensi mereka terhadap arus perubahan sosial, menghasilkan sejumlah gambaran dinamik sistem penghidupan dan nafkah pedesaan (Dharmawan 2007).

Berdasarkan data pengelolaan potensi perkebunan Kabupaten Bandung tahun 2010, perkebunan di Kabupaten Bandung terbagi menjadi tiga macam yaitu meliputi Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Milik Pemerintah (PTP). Luas lahan baku yang ditempati dan diusahakan adalah Perkebunan Rakyat (PR) seluas 13.665,94 hektar yang terdiri dari perkebunan Teh (1.692 hektar) Cengkeh (743 hektar), Kina (25 hektar), Kopi (8.941,40 hektar), Tembakau (1.216 hektar) dan tanaman perkebunan lainnya. Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 5.891,39 hektar meliputi perkebunan Teh (5.883,39 hektar) dan Kina (8 hektar). Perkebunan Milik Pemerintah (PTP) seluas 13.178,41 hektar yang terdiri dari perkebunan Teh (12.066,74 hektar) dan Kina (1.111,67 hektar).

Sebagian besar potensi perkebunan dan kehutanan yang cukup besar yang dikelola Negara berwujud PT Perkebunan Nusantara, Perhutani dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Salah satu Desa di Kabupaten Bandung yang sesuai dengan karakteristik di atas adalah Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, yang terletak di Kabupaten Bandung Selatan. Lebih dari separuh penduduk di Kabupaten Bandung Selatan bermatapencaharian sebagai buruh pemetik teh maupun menjadi petani lahan sempit di hutan.

Keadaan stuktur agraria yang seperti itu menyebabkan buruh perkebunan hidup dalam kungkungan sistem perkebunan. Mereka “terjebak” dalam kemiskinan hingga tidak bisa leluasa untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada di perkebunan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berbagai bentuk strategi nafkah dan penerapan yang berbeda-beda inilah yang membuat studi mengenai strategi nafkah menarik untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menganalisis strategi nafkah rumahtangga buruh perkebunan. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan spesifik yang dapat diangkat dalam topik penelitian, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana akses masyarakat terhadap tanah di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung?

2. Bagaimana strategi nafkah rumahtangga buruh di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung?

3. Bagaimana struktur nafkah rumahtangga buruh di Desa Patengan dari sumber pendapatan di sektor perkebunan, sektor pertanian, dan sektor non-pertanian?

(17)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, antara lain:

1. Menganalisis akses masyarakat terhadap tanah di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung

2. Menganalisis bentuk strategi nafah rumahtangga buruh di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung

3. Menganalisis struktur nafkah rumahtangga buruh di Desa Patengan dari sumber pendapatan di sektor perkebunan, sektor pertanian dan sektor non-pertanian serta perbandingan ketiganya.

4. Menganalisis kaitan struktur nafkah rumahtangga buruh perkebunan dengan kemiskinan.

Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah penelitian mengenai strategi nafkah, pertanian, maupun perkebunan. 2. Bagi Pemerintah Daerah dan PTPN VIII, penelitian ini diharapkan dapat

menjadi bahan referensi pengembangan kawasan desa perkebunan dalam melaksanakan pembangunan dan sarana evaluasi untuk menentukan kebijakan dalam sistem perkebunan agar terus meningkatkan kesejahteraan rumahtangga buruh desa perkebunan..

(18)
(19)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Struktur Agraria

Tjondronegoro dan Wiradi (2001) dalam Sitorus (2002) jika merujuk pada asal-usul dari arti kata agraria, yaitu “ager” (Latin) yang berarti “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah”, sudah jelas bahwa sumber agraria tidak semata-mata merujuk pada “tanah”. Batasan sumber agraria menurut UUPA 1960 (UU No.5/1960) justru sesuai dengan pengertian dasar agraria yaitu “seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” (Pasal 1 ayat 2).1“Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1 ayat 4). “dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia” (Pasal 1 ayat 5). “Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut...” (Pasal 1 ayat 6).

Wardini (2010) memaparkan struktur agraria adalah pola hubungan secara teknis dengan objek agraria (lahan) dan pola hubungan sosial (antar subjek agraria). Struktur agraria di sini dimaknai sebagai pola hubungan dalam pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan lahan. Struktur agraria pada dasarnya menunjuk pada hubungan antar berbagai status sosial penguasaan sumber-sumber agraria. Tidak saja pola penguasaan, namun pola pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber daya agraria menjadi penting. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “pemilik dengan penyewa”, dan lainnya. Berangkat dari tesis J. Habermas (Sitorus 1984) dalam Wardini (2010) tentang dua dimensi tindakan manusia yaitu kerja (tindakan teknis terhadap objek) dan interaksi atau komunikasi (tindakan sosial terhadap subjek).

Tjondronegoro dan Wiradi (2001) dalam Sitorus (2002) menyatakan bahwa subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumahtangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution).

Secara deduktif kemudian dirumuskan dua proporsi dasar analisis agraria sebagai berikut: pertama, ketiga subjek agraria memiliki hubungan teknis dengan objek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasarkan hak penguasaan (land tenure); kedua, ketiga subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria tertentu (Wardini 2010).

Hubungan teknis menunjuk pada cara kerja subjek agraria mengelola sumber agraria untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan sosial-ekonominya. Sedangkan, hubungan antara subjek-subjek agraria dasarnya adalah hak penguasaan objek atau sumber agraria yang dimiliki masing-masing subjek.

1

(20)

Perbedaan antara subjek agararia kemudian akan menghasilkan suatu tatanan sosial yang dikenal dengan struktur (sosial) agraria (Wardini 2010).

Pada tipe-tipe struktur agraria, dominasi penguasaan sumber agraria pada satu pihak subjek menimbulkan hubungan-hubungan sosial atau struktur agraria yang berbeda antara satu dan lain masyarakat. Keseluruhan hubungan-hubungan agraria, baik hubungan teknis (dimensi kerja) maupun hubungan sosial (dimensi interaksi) dapat digambarkan sebagai suatu hubungan segitiga antara subjek agraria yang berpusat pada objek agraria (Gambar 1).

Sumber: (Sitorus 2002)

Gambar 1 Hubungan segitiga antara subjek agraria yang berpusat pada objek agraria

Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan

Tanah atau sumber daya agraria lainnya dalam suatu masyarakat agraris tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik (Suhendar 1998). Tauchid (2009) mengatakan soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Suhendar (1998) menambahkan bahwa masalah tanah tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antara manusia dan tanah, lebih dari itu, secara normatifmerupakan hubungan manusia dengan manusia.

Wiradi (2009) menyebutkan selama 10 tahun terakhir telah terjadi proses pemusatan penguasaan tanah atau ketimpangan struktur pemilikan tanah serta perubahan kelembagaan. Wiradi (2009) menambahkan bahwa struktur pemilikan sangat timpang, para tunakisma mempunyai kesempatan untuk menguasai tanah melalui sewa menyewa dan bagi hasil. Menurut penelitian Fajar (2009) praktek moda produksi yang teridentifikasi “amphibian” melahirkan transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial masyarakat agraris dalam bentuk “stratifikasi” dengan pemilikan lahan yang semakin timpang serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani ternyata terjadi di semua kasus. Hal ini diperkuat oleh penelitian Maharani (2011) yang

Keterangan:

Hubungan Sosial Agraria

Hubungan Teknis Agraria (kerja)

Komunitas

Swasta Pemerintah

(21)

mengatakan bahwa struktur penguasaan dan manajemen sumberdaya agraria didominasi oleh Pemerintah yang berwujud PTPN dan TNGHS. Akibatnya masyarakat banyak beralih ke sektor non pertanian. Penelitian Wardini (2010) juga semakin membuktikan bahwa status penguasaan lahan yang terdapat di kampung Pongkor dibuktikan berupa pemilikan SPPT.

Peranan penguasaan tanah pada masa kolonial umumnya tidak dilihat dalam konteks desa melainkan lebih menekankan pada kebijakan pemerintah dilihat dari konsep yang lebih abstrak seperti “kesejahteraan pribumi”. Pada masa itu konsep pemilikan menurut konsep Barat (property, eigendom2) memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki oleh pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, atau menjual hasil-hasil buminya sesuai adat yang berlaku, kemudian ada juga tanah-tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan keagamaan. Barulah sisanya diperkirakan merupakan wilayah pedesaan yang belum begitu jelas bagaimana organisasi didalamnya (Wiradi 2009).

Menteri Jajahan Engelbetus de Waal mengajukan RUU yang akhirnya diterima oleh Parlemen pada tahun 1870. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal 62 tersebut dimuka sehingga menjadi 8 ayat, di mana satu di antaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun (jadi bukan 99 tahun seperti RUU Van de Putte yang telah ditolak). Pasal 62 RR dengan delapan ayat ini kemudian menjadi, atau dijadikan, pasal 51 dari Indische Staatsregeling (IS). Inilah yang disebut Agrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No.55, 1870. Ketentuan-ketentuan di dalamnya, pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan penting ialah apa yang dikenal dengan Agrarisch Besluit inilah yang termuat suatu pernyataan penting yang telah cukup dikenal yaitu Domein Verklaring, yang menyatakan bahwa, “...semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu adalah hak milik mutlak (eigendom), adalah domein negara.” (domein negara artinya, milik mutlaknya negara) (Wiradi 2009).

Tonggak sangat penting dalam sejarah agraria Indonesia dimulai pada tahun 1870, karena pada tahun itu berduyun-duyun modal swasta Eropa. Para pemodal swasta Eropa tersebut justru mencengkram Indonesia dengan memunculkan perkebunan-perkebunan swasta besar di Sumatera dan juga di Jawa, dengan segala akibatnya. Tujuan Undang-undang Agraria 1870 untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing memang berhasil gemilang. Tetapi tujuan lainnya, yaitu melindungi dan meperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan. Apalagi ditambah dengan sikap para raja atau sultan baik di Jawa maupun Luar Jawa yang tergiur untuk memberikan konsesi kepada para pengusaha swasta asing (Wiradi 2009).

UUPA yang berisi ketentuan-ketentuan pokok seharusnya dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan-peraturan perundangan turunan. Namun karena yang paling mendesak adalah masalah pertanian rakyat, maka baru inilah yang sempat

2

(22)

tergarap yaitu dengan keluarnya UU No.56 Prp.1960 tentang penetapan Luas Tanah Pertanian (Inilah yang secara populer dikenal sebagai UU Landreform). Sektor-sektor lain belum sempat teragarap. Pemerintah baru ini mempunyai kebijakan yang sama sekali lain. Akibatnya, untuk jangka waktu yang cukup lama UUPA masuk peti es. Ketika saat dikeluarkan lagi dari lemari es, sengaja atau tidak, UUPA diterapkan secara menyimpang. Sementara UUPA masuk lemari es, sedangkan kebutuhan di sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal Orde Baru, berbagai Undang-undang Pokok lain. Inilah yang kemudian membuat tumpang tindih dan rancunya masalah pertanahan selama tiga dekade terakhir ini (Wiradi 2009).

Fajar (2009) mengatakan secara historis, bentuk pemilikan lahan berubah bersamaan dengan perkembangan budaya umat manusia dalam usaha pertanian guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sanderson (2003) dalam Fajar (2009) menggambarkan bahwa perkembangan pemilikan lahan pada masyarakat pra-kapitalis (mulai masyarakat berburu dan meramu sampai masyarakat agraris) cenderung semakin memperkuat tumbuhnya pemilikan perorangan. Pemilikan tanah secara perorangan muncul ketika manusia telah mengenal kehidupan menetap, bertani dan beternak. Oleh sebab itu, dengan semakin berkembangnya pertanian menetap serta masuknya ekonomi uang (moneterisasi), pemilikan lahan beralih dari pemilikan komunal dalam bentuk tanah adat atau ulayat menjadi pemilikan perorangan.

Minulyo (2008) mengatakan bahwa pemerintah sendiri tentunya berusaha menerapkan UUPA No.5 Tahun 1960. Paham kedaulatan rakyat dikaitkan dengan rumusan konstitusi yang menyatakan bahwa agraria dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, Maka diasumsikan bahwa berdasarkan paham kedaulatan rakyat, pemegang kedaulatan (rakyat) menghendaki dan sepakat agar agraria dikuasai oleh negara yang dengan kata lain, pemegang kedaulatan telah memberikan tugas kepada negara untuk menguasai agraria, guna mencapai kemakmuran rakyat. Mengingat untuk mencapai kemakmuran (kesejahteraan) rakyat tidak mungkin dilakukan sendiri oleh rakyat, maka rakyat memberikan tugas kepada Negara untuk menguasai agraria.

Adanya penugasan untuk menguasai agraria dari pemegang kedaulatan (rakyat) kepada negara bertujuan agar konstitusi agraria tersebut dapat digunakan untuk memakmurkan rakyat. Setiap kegiatan penguasaan agraria, negara harus bertindak untuk dan atas nama kepentingan rakyat, serta mempertanggungjawabkan tindakannya kepada rakyat. Penguasaan negara atas agraria tetap masih dalam konteks kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan negara.

Dalam mengatur ditribusi tanah Minulyo (2008) juga menambahkan bahwa penguasaan negara atas agraria terdapat berbagai kewenangan negara atas agraria. Dengan perkataan lain, penguasaan negara atas agraria berisi kewenangan-kewenangan negara untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan perencanaan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan agraria;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan agraria;

(23)

Konsep Perkebunan

Pengertian perkebunan dalam Undang-undang No.8 Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pegetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat (Kusumastuti 2011).

Sejarah perkembangan perkebunan di Negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Di Negara-negara berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitaslime agraris Barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Sistem perkebunan yang dibawa oleh pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya adalah sistem perkebunan Eropa (European plantation), yang berbeda dengan sistem kebun (garden system) yang telah lama berlaku di negara-negara berkembang pada masa pra-kolonial (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Menurut Beckford (1972), perkebunan sebagai bentuk ekonomi kolonial. Beckford (1972) memaparkan 3 bentuk kolonialisme dari perkebunan, yaitu: (1) koloni settlement (koloni pemukiman), (2) conquest, kepentingan Negara metropolis adalah pengadaan sistim administrasi dan militer secukupnya untuk mengawal, (3) eksploitasi, kepentingan Negara metropolitan adalah membangun sistim produksi untuk kepentingan perdagangan.

(24)

Tabel 1 Perkembangan sistem perkebunan

Masa Kolonial Masa Kemerdekaan dan Pra-Kemerdekaan

(25)

Umumnya, semasa periode awal perusahaan perkebunan, yaitu sewaktu pimpinan ada di tangan seorang planter yang merangkap fungsi sebagai perintis, pengelola dan kepala komunitas perkebunan lingkungan masyarakat yang terbatas masih dikuasai oleh hubungan patrimonial sehingga masih ada suasana keakraban dan kekeluargaan. Para pekerja di samping bekerja di perkebunan masih dapat melanjutkan pekerjaannya semula. Pekerjaan di perkebunan menambah penghasilannya. Selanjutnya perkebunan juga membuka peluang kerja bagi wanita dan anak- gudang. Dengan demikian terdapat semacam simbiosa antara perkebunan dan rakyat pedesaan sekitarnya (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Perkebunan berfungsi sebagai sumber produksi yang memberikan penghasilan berjuta-juta kepada pemerintah kolonial, namun dari dana yang diperoleh itu amat sedikit kalau ada yang dipakai untuk meningkatkan pembangunan di daerah sekitarnya. Dengan demikian kontras antara perkebunan dan daerah sekitarnya tetap tajam. Hal ini berkelanjutan oleh karena golongan Eropa mulai terarah ke kota untuk mencari hiburan atau rekreasi. Kota-kota Bandung, Malang, Medan berkembang pesat oleh karena menjadi pusat pemukiman dan pelayanan bagi kaum perkebunan (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Marwan (2007) memaparkan bahwa sampai saat ini masyarakat perkebunan masih eksis, seiring dengan masih berperannya produksi perkebunan untuk kebutuhan pasar dunia. Meskipun zaman telah berubah akan tetapi sistem masyarakat perkebunan tidak mengalami banyak perubahan. Masyarakat perkebunan mempunyai stratifikasi sosial yang kaku, stratifikasi sosial ini didasarkan atas kedudukan seseorang dalam hirarki organisasi perkebunan. Ada 4 jenis golongan di masyarakat perkebunan, yaitu; 1) Administratur perkebunan, 2) pegawai staf, 3) pegawai non-staf, dan 4) buruh perkebunan. Keempat golongan masyarakat perkebunan ini mendapatkan perlakuan berbeda dalam hal “reward system”.3

Administratur merupakan pemimpin tunggal dalam masyarakat ini. Hubungan administratur dengan anggota masyarakat bersifat paternalistik dan sekaligus otoriter, karena fungsi seorang administratur yang terutama adalah menjamin terciptanya kesetiaan total dari anggota masyarakat perkebunan terhadap keberhasilan usaha perkebunan. Corak lain yang cukup menonjol di masyarakat perkebunan adalah hubungan antara pemerintah –baik pusat maupun daerah–dengan pemilik modal perkebunan. Dalam konteks perekonomian negara, perkebunan merupakan komoditi yang strategis dan sumber utama devisa negara. Oleh karenanya pemerintah selalu memberikan fasilitas tertentu kepada pemilik modal perkebunan. Fasilitas tersebut antara lain yang terpenting adalah fasilitas untuk memperoleh tanah dan buruh yang murah serta perlindungan politis berupa jaminan dari kemungkinan rongrongan pihak buruh. Sehingga wajar saja kemudian pemerintah membuat kebijakan perburuhan yang lebih menguntungkan pengusaha ketimbang buruh (Marwan 2007).

Peran penting dalam corak produksi perkebunan adalah adanya seorang pemimpin kelompok atau regu yang disebut mandor. Mandor dalam hal ini tidak hanya berfungsi sebagai pimpinan unit, tetapi juga sekaligus sebagai perantara ke pihak atas. Kedudukan mandor ini amat strategis, karena mandor dapat berfungsi ganda sebagai mata-mata atasan untuk memonitor perilaku para buruh perkebunan.

3“Sejarah Gerakan Buruh Perkebunan Labuhan Batu” Sebuah Laporan Penelitian, Institut Kajian

(26)

Sistem masyarakat perkebunan yang semacam ini masih berkembang hingga sekarang. Meskipun arus reformasi sudah berkembang di negeri ini, akan tetapi tidak banyak perubahan sistem masyararakat yang terjadi di masyarakat perkebunan. Sistem masyarakat perkebunan yang berkembang hingga sekarang ini tentu memiliki model komunikasi politik dengan sistem masyarakat non-perkebunan atau masyarakat lainnya (Marwan 2007).

Konsep Nafkah (Livelihood)

Dharmawan (2007) mengemukakan bahwa dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi bertahan hidup). Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Strategi penghidupan (livelihood strategies) pedesaan adalah: “strategi penghidupan dan nafkah yang dibangun dan selalu menunjuk pada peran sektor pertanian. Basis nafkah rumahtangga petani adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian yang terkait dengannya. Karakteristik sistem nafkah penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial budaya setempat. Terdapat tiga elemen sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya yaitu: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku) (2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan pemanfataan ekosistem lokal, pengetahuan lokal) (3) supra struktur sosial (setting ideologi, etika moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku) (Dharmawan 2007). Ellis (1999) memaparkan aset dalam strategi nafkah meliputi: modal manusia (pendidikan, keterampilan dan kesehatan anggota rumahtangga), modal fisik (misalnya peralatan pertanian), modal sosial (jaringan sosial dan asosiasi yang orang milik), modal keuangan dan pengganti (tabungan, kredit, ternak, dll), dan modal alam (sumber daya alam).

Scoones (1998) dalam Turasih (2011), terdapat tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumahtangga petani, pertama rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi). Kedua, pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan, atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja selain pertanian dan memperoleh pendapatan. Ketiga, rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

(27)

pertanian. Beberapa tesis White adalah (1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, di mana imbalan di luar pertanian lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) dalam Widiyanto (2010) menyebutnya sebagai pola nafkah ganda.

Rumusan White (1990) dan Sajogyo (1991) dalam Aristiyani (2003) menunjukkan bahwa arti dari dan alasan stategi nafkah ganda antara lapisan berbeda satu dan yang lain yaitu:

1. Lapisan atas: pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi (accumulation strategy), di mana surplus pertanian mampu membesarkan usaha luar pertanian dan sebaliknya;

2. Lapisan tengah: pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan atau konsolidasi (consolidation strategy), di mana sektor luar pertanian dipertimbangkan sebagai potensi perkembangan ekonomi, dan;

3. Lapisan bawah: pola nafkah ganda merupakan strategi “utamakan keselamatan” (survival strategy), di mana sektor luar pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan dari sektor pertanian. Aristiyani (2003) juga menambahkan bahwa untuk optimalisasi tenaga kerja dalam rumahtangga adalah dengan mengerahkan tenaga kerja laki-laki, perempuan, dewasa atau anak-anak untuk melakukan kegiatan nafkah yang dapat menambah penghasilan rumahtangga.

Kerangka Pemikiran

Kondisi struktur agraria di desa perkebunan milik negara yang erat dengan kolonialisme menyebabkan masyarakat hidup dalam isolasi sistem perkebunan yang segalanya diatur oleh pemerintah. Hal ini tentu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan bermasyarakat baik aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Masyarakat hidup di bawah bayang-bayang perkebunan yang melestarikan sistem peninggalan penjajahan. Hampir seluruh sumber-sumber agraria yang ada di kawasan perkebunan itu dikuasai dan diatur oleh Negara. Akibatnya, masyarakat mengalami keterbatasan dalam akses terhadap lahan di desa perkebunan.

Keterbatasan akses masyarakat terhadap lahan ini berimbas pada variasi penerapan strategi nafkah yang ditempuh oleh rumahtangga buruh perkebunan. Strategi nafkah di desa perkebunan terdiri dari strategi rekayasa sumber nafkah pertanian, diversifikasi nafkah, migrasi dan survival.

(28)

Gambar 2 Logical Framework: Aspek-aspek yang menjadi sasaran penelitian

Kerangka pemikiran di atas dibuat berdasarkan penjelasan pada bagian latar belakang dan perumusan masalah. Kerangka pemikiran ini merupakan landasan atau dasar dari penelitian yang akan dilakukan. Melalui kerangka pemikiran ini dimunculkan variabel-variabel penelitian yang akan mengarahkan fokus penelitian dan analisis.

Akses terhadap lahan Karakteristik rumahtangga

buruh perkebunan:

 Tingkat usia KK

 Tingkat Pendidikan KK

 Jumlah tanggungan

 Lama bekerja di perkebunan

 Status karyawan di perkebunan

dianalisis secara dekriptif

Strategi Nafkah

 Rekayasa sumber nafkah Pertanian

 Diversifikasi nafkah

 Migrasi

 Survival

Sumber nafkah di Desa Perkebunan

Perkebunan

Tingkat pendapatan

Pertanian Non-Pertanian

(29)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan dari kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang dapat ditarik yaitu:

1. Sektor perkebunan sebagai sektor ekonomi modern tidak mampu mengangkat buruh perkebunan dari kemiskinan.

Definisi Konseptual

Definisi konseptual untuk beberapa konsep yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Rumahtangga buruh yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada pengertian dari Badan Pusat Statistik (1994) dalam sensus pertanian 1993 tentang rumahtangga petani yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya yang melakukan kegiatan bertani (dalam hal ini menjadi buruh tani pada perkebunan). Rumahtangga buruh perkebunan adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota keluarganya bekerja pada perkebunan.

2. Strategi nafkah dalam penelitian ini mengikuti pengertian dari Dharmawan (2006) yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Definisi Operasional

Definisi operasional untuk masing-masing variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Tingkat usia/umur adalah lama hidup responden yang bisa dihitung berdasarkan tahun. Kategorisasi variabel ini berdasarkan rentang usia kerja di perkebunan, yaitu:

a. Kategori usia rendah antara 18-30 tahun b. Kategori usia sedang antara 31-43 tahun c. Kategori usia tinggi umur >43 tahun

2. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang dialami oleh responden dalam penelitian. Data diukur secara ordinal yang dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:

a. Kategori rendah tidak tamat SD, SD, dan sederajat b. Kategori sedang menempuh pendidikan SLTP sederajat c. Kategori tinggi menempuh SMA hingga perguruan tinggi

3. Jumlah tanggungan adalah jumlah jiwa yang ditanggung oleh suatu kepala keluarga dalam rumahtangga pertanian (perkebunan) yang belum termasuk angkatan kerja atau anggota keluarga yang belum dapat dilibatkan ke dalam usaha pencarian nafkah. Jumlah tanggungan dikategorisasikan berdasarkan rata-rata tanggungan masing-masing responden.

(30)

4. Lama bekerja di perkebunan adalah waktu bekerja di perkebunan yang dialami oleh responden dalam penelitian. Data diukur secara ordinal yang dibedakan dalam kategori, yaitu:

a. Kategori 1-10 tahun b. Kategori 11-20 tahun c. Kategori 21-30 tahun d. Kategori 31-40 tahun e. Kategori >40 tahun

5. Status karyawan di perkebunan adalah kategori pekerja yang ditetapkan oleh perkebunan sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah dalam mengelola Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini berbentuk PT Perkebunan Nusantara VIII. Kategori variabel ini dibedakan menjadi: a. Kategori karyawan lepas

b. Kategori karyawan tetap c. Kategori pensiun

6. Tingkat pendapatan sektor perkebunan adalah jumlah total uang yang diterima dari PTPN VIII per bulan setelah dikurangi potongan-potongan hutang atau pungutan oleh perkebunan kepada rumahhtangga baik dari hasil memetik, merawat, mandor, atau pekerja pabrik. Pendapatan tersebut kemudian diakumulasi dalam kurun waktu setahun terakhir.

7. Tingkat pendapatan sektor pertanian jumlah total uang yang diterima rumahtangga dari hasil pertanian yang berupa padi, palawija, buah-buahan, peternakan, perikanan, kayu-kayuan dalam kurun waktu setahun terakhir. 8. Tingkat pendapatan sektor non-pertanian adalah jumlah total uang yang

diterima rumahtangga dari hasil non-pertanian seperti dalam bidang jasa, perdagangan, pegawai dan kiriman uang dari anggota rumahtangga yang menjadi buruh migran di luar kota dalam kurun waktu setahun terakhir. 9. Tingkat pendapatan total per tahun adalah jumlah total uang yang diterima

rumahtangga buruh baik dari hasil perkebunan, pertanian, maupun non-pertanian dalam kurun waktu setahun terakhir. Kategori variabel ini dibedakan berdasarkan sebaran pendapatan total responden per tahun, yaitu:

a. Kategori rendah < Rp7 527 893, 2

b. Kategori sedang Rp7 527 893,2 < x < Rp19 431 307 c. Kategori tinggi > Rp19 431 307

(31)

PENDEKATAN LAPANG

Metode penelitian ini menggunakan penelitian survei. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi responden dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Efendi 1989). Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner yang diberikan kepada responden yang telah dipilih. Sementara pendekatan kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam kepada informan kunci serta data dari hasil observasi lapang.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Patengan Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat tepatnya di RW 02 Sindangreret yang merupakan wilayah dengan penduduk terpadat di Desa Patengan.. RW 02 Sindangreret terdiri dari 5 RT dari RT 01 sampai RT 05. Peneliti melakukan observasi melalui informan dan pemerintah desa setempat dilanjutkan dengan survey ke lokasi penelitian. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan RW 02 Sindangreret merupakan wilayah yang terletak paling dekat dengan perkebunan Rancabali milik PTPN VIII, jauh dari jalan utama dengan tingkat keragaman mata pencaharian yang tinggi, dan setiap rumahtangga memiliki anggota rumahtangga yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara VIII. Kegiatan penelitian berlangsung sejak 29 Maret-22 April 2013.

Penentuan Responden dan Informan Penelitian

Unit analisis yang diteliti yaitu rumahtangga yang salah satu anggota rumahtangganya bekerja sebagai buruh perkebunan. Hal ini dikarenakan rumahtangga memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan dan pengalokasian sumberdaya yang berkaitan dengan penerapan bentuk strategi nafkah yang digunakan.

(32)

dan orang lain yang ada dilingkungan yang sama. Informan dipilih dengan teknik snowball dan tidak ditentukan jumlahnya.

Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data hasil kuesioner yang telah dijawab oleh responden melalui wawancara dan observasi lapangan. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner berupa pertanyaan tertutup, di mana jawaban-jawaban pertanyaan telah disediakan dan adapula yang merupakan pertanyaan terbuka. Selain itu, wawancara mendalam juga dilakukan terhadap informan untuk melengkapi data primer. Selain data primer, dalam penelitian ini juga akan digunakan data-data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai dokumen Pemerintah Desa, PTPN VIII, dan Perhutani serta literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku penelitian, bab dalam buku penelitian, skripsi, tesis serta karya ilmiah yang dipublikasikan melalui internet.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(33)
(34)
(35)

SEJARAH DAN SISTEM PERKEBUNAN

Sejarah Perkebunan Indonesia

Sejarah adalah sebuah konstruksi sosial yang dibutuhkan untuk melihat kronologi suatu kerjadian yang terjadi di daerah tersebut. Kronologi tersebut disusun secara terstruktur berdasarkan periode waktu sejak zaman kolonial hingga pada masa ini. Hal tersebut dapat memudahkan melihat transformasi agraria yang terjadi di Desa Patengan. Sebagian besar informasi didapatkan melalui studi literatur yang diperkuat oleh jurnal maupun penelitian-penelitan sebelumnya yang telah dilakukan serta mengaitkannya dengan keadaan struktur agraria di Desa Patengan pada masa ini.

Periode Kolonial Belanda (1870-1942)

Sistem perkebunan mulai masuk ke Indonesia melalui kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda. Namun, sebelum diperkenalkannya sistem perkebunan besar, sistem kebun yang mengkaitkan komoditi perdagangan, seperti: lada, cengkih, pala sudah dikenal penduduk Indonesia. Sistem kebun di Indonesia juga merupakan sistem usaha pertanian yang lebih dahulu dikenal sebelum masuknya sistem perkebunan. Sejak masa pra kolonial sampai masa penjajahan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), yaitu pada abad ke-17-18, sistem usaha kebun menjadi sumber produksi komoditi perdagangan yang penting (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Atas desakan kaum pengusaha besar swasta, lahirlah Agrarische Wet/ Undang-Undang Agraria tahun 1870. Aturan ini diberlakukan untuk kepentingan kapital kolonial. Undang-Undang Agraria ini menjadi landasan bagi penguasaan tanah berskala besar oleh perusahaan asing baik dalam hal kepemilikan dan hubungan kerja di perkebunan. Undang-Undang ini memberikan perusahaan perkebunan menguasai ratusan hektar tanah dan menciptakan kondisi dengan cara merongrong kontrol masyarakat atas sumber produksi. Di satu sisi, terdapat kepastian hak kepemilikan tanah pada masyarakat pribumi, di sisi lain, kebijakan itu membuka peluang investasi modal asing di perkebunan swasta (Luthfi 2010).

Ekspansi kolonial swasta pada masa liberal atau melalui Agrarische Wet ini mengukuhkan keterlibatan swasta dan memasukkan kapital ke perkebunan besar, juga di dalamnya terdapat dasar-dasar domein verklaring yang memuluskan proses itu sebagaimana dikukuhkan pada masa Raffles. Pada domein verklaring dinyatakan, “bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, baik secara individual maupun komunal, maka tanah itu menjadi milik Negara”. Dengan demikian tanah itu mutlak bisa disewakan kepada perusahaan swasta oleh Negara (Luthfi 2010).

(36)

yaitu melindungi dan meperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan. Apalagi ditambah dengan sikap para raja atau sultan baik di Jawa maupun Luar Jawa yang tergiur untuk memberikan konsesi kepada para pengusaha swasta asing (Wiradi 2009).

Perusahaan-perusahaan perkebunan besar Barat membutuhkan banyak tanah pertanian dan tenaga kerja. Kedua hal itu diperlukan untuk mengembangkan beberapa jenis tanaman industri baru yang hasilnya dijual ke pasaran Atlantik. Pengerahan tanah dan tenaga kerja dilakukan oleh perkebunan-perkebunan itu dengan cara paksa. Di Jawa perluasan tanaman tebu, kopi, dan lain lain tanaman ekspor berkembang sangat pesat, sebaliknya perluasan lahan petani tidak lagi seimbang dengan pertumbuhan penduduk, akibatnya para petani itu kemudian terpaksa menjual tenaga kepada perkebunan-perkebunan besar (Breman 1997)

Indonesia merupakan negara yang dijadikan lumbung oleh Belanda dibawah sistem penjajahan di era Perang Dunia. Kebijakan kolonial memaksakan para petani untuk menanam komoditi yang sangat laris di pasar dunia. Hal itu mereka lakukan demi memperkuat eksistensi di persaingan global antar Negara dunia. Pada dasarnya menurut Gordon (1982) hakikat sistem perkebunan kolonial adalah: (1) Kepemilikan asing, (2) Teritori dengan kekuasaan Negara di dalamnya, (3) Tanah murah, (4) Buruh murah= setengah perbudakan.

Segala usaha Belanda di Indonesia tergambar dan tercermin pada politik agrarianya. Keterangan ini akan tambah lebih jelas lagi dengan tindakan dan usaha Belanda selama perang kolonial atau aksi polisionil. Perang kolonial yang mereka sebut sebagai „tindakan keamanan‟. Tujuannya untuk merebut kembali perkebunan-perkebunan. Keamanan mereka adalah „keamanan kebun‟, keamanan onderneming dan keamanan kapital besarnya (Luthfi 2010).

Berdasarkan perkembangannya ranah agraria terbatasi pada wilayah pertanian belaka. Padahal, berbagai isu agraria dan konflik yang terjadi di sana, serta klaim-klaim/pendudukan tanah oleh rakyat pada periode sebelumnya berada di perkebunan. Akan tetapi ketika perkebunan (perusahaan) diserahkan kembali kepada „penguasanya semula‟ yakni orang Belanda, maka ranah ini menjadi dihindari, termasuk disikapi secara tidak tegas dalam UUPA (Luthfi 2010).

Periode 1942-1965

Gordon (1982) mengemukakan runtuhnya kolonialisme Belanda & sesudahnya (antara 1942-1965) tidak membawa terbangunnya suatu mode produksi post-kolonial, melainkan suatu formasi sosio ekonomi ”indeterminate”. Pengembalian asset perkebunan asing oleh Negara, belum berarti bahwa suatu strategi ekonomi baru sedang dikembangkan:

1. Asset perkebunan tersebut merupakan sistem yang sedang runtuh dan tidak bisa menghasilkan keuntungan.

2. Pengambilalihan dikuasai oleh birokrat militer untuk kepentingan memperkuat posisi sendiri, ketimbang bagian dari suatu strategi ekonomi nasional baru.

(37)

pangan dan non pangan (minyak) untuk kepentingan militer. Mereka memperbolehkan tanah perkebunan besar yang semula dikuasai pengusaha Eropa untuk diolah menjadi area pertanian rakyat dan penanaman non pangan. Namun, pada tahun 1949 terjadi perjanjian Konferensi Meja Bundar yang isinya sungguh merugikan Indonesia. Salah satunya kebijakan poin ke-5 yang berisi perkebunan-perkebunan besar yang diduduki rakyat harus dikembalikan kepada pemegangnya semula, yakni kaum pemodal Belanda/asing. Rakyat harus diusir dari tanah-tanah tersebut. Pada tahun 1956, dibatalkan secara sepihak, menyusul tindakan nasionalisasi yang dilancarkan pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1957, terjadi nasionalisasi perkebunan besar, pemerintah mengambil keputusan sepihak karena Irian Barat ditunda pengembaliannya oleh Belanda (Luthfi 2010).

Periode 1957-1960 telah terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan politik yang mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dalam sektor perekonomian, antara lain ialah terjadinya perubahan struktur politik dan sistem demokrasi liberal ke sistem Demokrasi Terpimpin, pencanangan sistem Ekonomi Terpimpin, dan perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda ke tangan RI. Kebijaksanaan politik Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin, besar pengaruhnya terhadap perubahan kebijaksaan di sektor perekonomian, yang mencakup perdagangan, perindustrian, dan perkebunan (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Pemerintah memilki dasar untuk melaksanakan usaha pemilikan modal secara langsung dengan jalan mengambil alih perusahaan-perusahaan. Proses pengambilalihan perusahaan Belanda ini berlangsung sejak bulan Desember 1957, dan dikenal sebagai proses “nasionalisasi‟ perusahaan asing. Peristiwa pengambilalihan berjalan secara spontan dan unilateral. Pegambilalihan perusahaan swasta tersebut, merupakan pukulan bagi modal asing di Indonesia, dan secara mendasar mengubah struktur perekonomian. Proses pengambilalihan ini telah melibatkan pengalihan pemilikan 90 persen produksi perkebunan. Perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu tidak diserahkan kepada pihak swasta nasional yang pada waktu itu dipandang masih terlalu lemah untuk menangani sejumlah besar perusahaan swasta bekas milik Belanda, dan sisa kegiatan perekonomian dari masa penjajahan, serta membangun basis perekonomian industri nasional (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Periode 1966

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa banyak masalah yang dihadapi perkebunan selama 1960-1967, baik dari segi struktur organisasi, efisiensi, maupun produksi, disebabkan oleh berbagai situasi politik dan perekonomian pada masa itu. Dalam rangka menanggulangi situasi perkebunan itu, maka pada tahun 1967 dibetuk “Panitia 17” yang bertugas untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam penanganan perkebunan. Panitia ini berhaisl merumuskan reorganisasi di bidang perkebunan yang pelaksanaannya dilakukan pada tahun berikutnya (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

(38)

Perusahaan Negara (BKU-PN), pada tahun 1969, yang sekaligus menetapkan pemisahan tugas antara Direktorat Jendral Perkebunan dan BKU-PNP. Seperti struktur lembaga perkebunan sebelumnya, maka BKU-PNP dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Perwakilan-Perwakilan Wilayah (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Kelembagaan perusahaan perkebunan Negara dilakukan perubahan lagi, yaitu melalui pengalihan bentuk pada tahun 1969 dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) (UU No.9/1969 dan PP. No. 12/1969). Proses pengalihan bentuk PN menjadi PT itu dilakukan secara bertahap dan melalui penilaian akan kelayakannya. Dalam rangka pengalihan ke bentuk perseroan tersebut, maka pada tahun itu juga telah dilakukan penilaian terhadap 28 buah PNP yang memungkinkan untuk dijadikan PT. Sampai pada tahun 1972, jumlah PNP yang telah disetujui pemerintah utuk dijadikan PT sebanyak 13 buah. Dari ke-13 buah itu yang telah berhasil didirikan adlaah PT XI, PT XII, PT XIII, PT XXIII, dan XXVI (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Perkembangan sesudah tahun 1980-an menunjukkan bahwa sektor perkebunan masih tetap merupakan salah satu sumber perekonomian Negara, sekalipun kedudukannya sebagai primadona devisa Negara seperti yang terjadi sebelum kemerdekaan telah surut. Kebijaksanaan pemerintah untuk mengalihkan produksi ekspor migas ke non-migas sebagai sumber devisa Negara, yang dikembangkan pada masa sesudah tahun 1980-an, telah mengokohkan kembali keberadaan perkebunan di Indonesia (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Sejarah Perkebunan PTPN VIII dan Desa Patengan

Kebun Rancabali merupakan salah satu unit usaha PT Perkebunan Nusantara VIII, yang berlokasi di Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Didirikan tahun 1870 oleh H.I.L Mij Tiederman dan Van Kerchan Netherland Indische Land bouw Maatscha Ppy, sebagai cikal bakal kebun Sparta Sinumbra dan Rancasuni. Tahun 1958 diambil alih Pemerintah Indonesia (nasionalisasi), masuk PPN Baru Kesatuan Jawa Barat II. Tahun 1963 masuk PPN Antan VII. Tahun 1971 masuk PTP XII (Pesero). Pada 2 Mei 1974 peletakan batu pertama pembangunan Pabrik Teh Rancabali oleh Direksi PTP XII. Tahun 1975 berdiri perkebunan Rancabali, gabungan dari kebun Rancasuni dan sebagian areal kebun Sinumbra dan Rancabolang. Pada 7 Juli 1976 pabrik teh Rancabali diresmikan oleh Soeharto, sekaligus mulai beroperasi. Tahun 1985 renovasi pabrik teh orthodox Rancasuni menjadi pabrik teh hitam CTC. Berganti nama menjadi Pabrik CTC Walini dan mulai beroperasi tahun 1986. Tahun 1996 masuk PTPN VIII hasil penggabungan PTP XI, XII dan XIII, yang berkantor pusat Jalan Sindang Sirna No.4 Bandung.

(39)

Kronologi tentang perubahan struktur agraria di Desa Patengan yang merupakan Desa Perkebunan akan dipaparkan di bab selanjutnya.

Gambar 3 Kronologi sejarah perkebunan, PT Perkerbunan Nusantara VIII, Kebun Rancabali, Bandung, Jawa Barat

Jenis dan Orientasi Tanaman Perkebunan

Sejak zaman kolonial Belanda Kebun Rancabali di Desa Patengan hanya memiliki satu jenis tanaman yang wajib ditanam yaitu teh. Hingga saat ini pun masih bertahan, terus diperbaharui dan diremajakan. Pohon teh dibongkar setiap 50 tahun sekali dengan pemangkasan dalam waktu 36 bulan sekali. Jumlah produksi teh di PTPN VIII pada saat musim hujan dapat mencapai 101-150 ton/ hari. Menurut data statistik Produksi Perkebunan Besar (PBS/PTP) Propinsi Jawa Barat Tahun 2012, rata-rata produksi Kebun Rancabali adalah 4.24 ton/hektar. PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) adalah Badan Usaha Milik Negara yang

(40)

pada dasarnya berorientasi profit. Itu artinya, keuntungan yang dihasilkan dari jumlah produksi dari perkebunan akan dikembalikan kepada Negara.

Sistem Perkebunan PTPN VIII Kebun Rancabali

Karyawan PTPN VIII terbagi atas karyawan lepas dan tetap. Karyawan tetap maupun lepas mendapatkan upah harian maupun upah borongan berdasarkan pucuk basah yang dihasilkan. Karyawan tetap mendapatkan tunjangan dari perkebunan dan tetap mendapatkan upah meski hari libur nasional. Sedangkan, karyawan lepas tidak mendapatkan hal tersebut.

Sistem pengupahan karyawan di PTPN VIII dibagi berdasarkan golongan, dari golongan IVD sampai IA. Karyawan tetap akan dibayar sesuai UMP (upah minimum provinsi) pada sektor perkebunan. Sedangkan, karyawan lepas hanya dibayar sesuai hasil produksi berdasarkan pucuk basah harian maupun borongan.

Pembagian karyawan menurut aspek teknis yaitu petik, rawat, pabrik, teknik, dan kantor. Pembagian kerja berdasarkan gender hanya terdapat pada aspek teknik terutama pada bidang pengoperasian alat atau distribusi produksi. Saat ini jumlah karyawan tetap mencapai 649 orang dengan jumlah laki-laki sebesar 430 orang dan perempuan 219 orang. Sedangkan, jumlah karyawan lepas harian mencapai 1202 orang dengan jumlah laki-laki 638 orang dan perempuan 564 orang. Berikut adalah struktur karyawan perkebunan yang dapat diakses penduduk Desa Patengan.

Gambar 4. Struktur karyawan perkebunan yang dapat diakses oleh penduduk Desa Patengan

Karyawan yang termasuk golongan IA, memiliki upah pokok yang diterima setiap bulan berkisar antara Rp626 000 – Rp689 000 pada tahun 2012 atau sekitar Rp27 560 per hari, baik untuk buruh tetap maupun buruh lepas. Sedangkan, tunjangan hanya diberikan kepada buruh tetap saja setiap bulannya sebesar Rp209 000 – Rp230 000 pada tahun 2012. Hal ini mengalami peningkatan, menurut penelitian Puspitarini (2005) pada tahun 2005, gaji pokok yang diterima setiap bulan berkisar antara Rp322 000 – Rp362 000 atau sekitar Rp14 400 per hari dengan tunjangan setiap bulannya sebesar Rp107 000 – Rp120 000.

Kepala Bagian

Mandor Besar

Mandor

Karyawan Tetap

petik rawat pabrik

Karyawan Lepas

(41)

Tunjangan yang diberikan oleh PTPN VIII kepada karyawan tetap dalam bidang kesehatan, jamsostek, tempat tinggal, izin cuti.

Ikhtisar

(42)
(43)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis

Desa Patengan terletak di Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, desa ini memiliki batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Indragiri, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung.

b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung.

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung.

d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Indaragiri, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung.

Kondisi topografi desa merupakan dataran tinggi seluas 65 hektar dan berbukit 20 hektar dengan suhu udara antara 17-19o C merupakan potensi bagi masyarakat Desa Patengan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum, lahan yang terdapat di Desa Patengan dimanfaatkan untuk wilayah perkebunan teh dan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Desa Patengan memiliki sumberdaya alam yang memadai.

Berdasarkan data profil Desa tahun 2011, Desa Patengan yang terletak di kawasan perkebunan PTPN VIII ini memiliki wilayah 2583 hektar. Desa Patengan didominasi oleh lahan perkebunan 1688 hektar dan hutan sebesar 779 hektar sedangkan, luas pemukiman sebesar 197 hektar, fasilitas umum dan prasarana lainnya 696 hektar. Berikut Tabel 3, mengenai luas tanah dan penggunaannya.

Tabel 3 Luas dan persentase distribusi lahan menurut penggunaannya di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung

No Peruntukan lahan Luas lahan (ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 197 7.63

2 Perkebunan 1 688 65.08

3 Hutan 779 0.03

4 Fasilitas Umum 696 26.96

Total 2 583 100

Sumber: Data Potensi Desa Patengan tahun 2011

(44)

Kondisi Demografis

Desa Patengan terbagi dalam 13 RW, yaitu RW 01 Cimanggu, RW 02 Sindangreret, RW 03 Rancabali, RW 04 Pamagersaren, RW 05 Bayongbong, RW 06 Rengganis, RW 07 Rancasuni, RW 08 Rancasuni, RW 09 Pasangrahan, RW 10 Cipanganten, RW 11 Rahayu, RW 12 Walini, RW 13 Patengan Baru. Berdasarkan data potensi desa jumlah penduduk Desa Patengan terdiri dari 2 666 laki-laki dan 2564 perempuan. Total kepala keluarga yang tercatat sebanyak 1494 KK. Kepadatan penduduk mencapai 100 jiwa/km2. Berdasarkan umur, jumlah penduduk dibagi dalam beberapa kategori seperti tercantum dalam Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok umur Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung Tahun 2011

No Kelompok umur (tahun) Jumlah jiwa Persentase (%)

1 0-4 381 7.28

2 5-6 218 4.17

3 7-12 605 11.57

4 13-15 248 4.74

5 16-18 253 4.84

6 19-25 711 13.59

7 26-35 1022 19,54

8 36-45 798 15.26

9 46-50 328 6.27

10 51-60 454 8.68

11 60 ke atas 212 4.05

Total 5230 100.00

Sumber: Data Potensi Desa Patengan tahun 2011

Berdasarkan Tabel 4, dapat diamati dari kondisi penduduk di Desa Patengan bahwa jumlah usia produktif jauh lebih banyak daripada usia non produktif. Namun, tidak semua penduduk yang termasuk dalam golongan produktif ini aktif dalam kegiatan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jumlah terbanyak pada kisaran umur 26-35 tahun yang mencapai 1022 jiwa, sedangkan yang terendah pada kisaran umur 60 tahun ke atas yang berjumlah 212 jiwa.

Gambar

Gambar 1 Hubungan segitiga antara subjek agraria yang berpusat pada objek
Tabel 1  Perkembangan sistem perkebunan
Gambar 2  Logical Framework: Aspek-aspek yang menjadi sasaran penelitian
Tabel 2   Metode pengumpulan data dan informasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Untuk mengetahui pengaruh biaya promosi yang dikeluarkan perusahaan dan seberapa besar pengaruhnya terhadap tingkat penjualan.. • Untuk mengetahui pengaruh biaya

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh citra merek terhadap ekuitas merek dan ekuitas merek terhadap respon

Pada turbidimetri, detektor diletakkan segaris dengan sumber sinar (sudut 0 o ), sedangkan untuk nefelometri 90 o .Dapat pula digunakan alat yang lebih canggih, dengan detektor

Metode Case Based Reasoning (CBR) yang diimplementasikan pada Sistem Pendukung Keputusan Konseling Siswa dapat memberikan solusi untuk masalah perilaku siswa,

Di Jawa kadang-kadang nama yang tidak cocok untuk seorang anak diganti oleh orangtuanya dalam sebuah upacara.. Biasanya upacara penggantian nama diadakan sekali setiap empat tahun

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang mengambil judul “Tanggung

Senyawa dari fraksi aktif yang telah dimurnikan dengan teknik KLT preparatif kemudian diuji aktivitas antimikrobnya menggunakan metode difusi pada kertas saring terhadap EPEC

Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Materi Program Linear Kelas XI MAS Al-Washliyah 22 Tembung Tahun Ajaran 2019/2020. Kata-Kata Kunci: PBI, TGT, kemampuan