POTENSI DAN LAJU EKSPLOITASI SUMBERDAYA
IKAN KERAPU DI PERAIRAN TELUK LASONGKO,
KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA
RUSMAN PRASETYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 2010
RUSMAN PRASETYA. The Potency and Exploitation Rate of Grouper Resources in the Gulf of Lasongko, Buton Regency, South East Sulawesi Province. Supervised by MENNOFATRIA BOER and KIAGUS ABDUL AZIZ
A grouper wich has a high economic value is one of the major predators in the coral reef ecosystem. Market demand on this fish has led to a declination in the natural grouper population. The study was aimed to estimate both the potential catch and the exploitation rate of grouper resources in Gulf of Lasongko. The potential catch of grouper was estimated by calculating MSY using a surplus production of Fox model; exploitation rate was measured based on a length-based on the growth parameter estimation. The result showed that the MSY of the humpback, brown marble, orange-spotted and leopard coral grouper consecutively were 3.72 ton year-1; 31.73 ton year-1; 66.57 ton year-1; 44.90 ton year-1. The exploitation rate of the humpback, brown marble, orange-spotted and leopard coral grouper consecutively were 0.51 year-1; 0.53 year-1; 0.52 year-1; 0.51 year-1. The results indicated that the exploitation rate of all species of groupers had reached their optimum level, however, the declination of the population was due to the habitat deterioration within the study site. A coral rehabilitation program should be conducted in enhancing coral reef coverage in the Gulf of Lasongko.
RUSMAN PRASETYA. Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan KIAGUS ABDUL AZIZ
Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang penting. Pada ekosistem terumbu karang, ikan kerapu memiliki nilai ekologis yang penting karena merupakan merupakan salah satu predator utama dalam rantai makanan di ekosistem ini. Selain memiliki nilai ekologis, beberapa spesies kerapu memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa stok ikan kerapu di beberapa perairan telah mengalami penurunan, termasuk Indonesia. Indikator yang dapat menggambarkan penurunan stok ini adalah menurunnya ukuran dan jumlah hasil tangkapan. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan stok ikan kerapu: pertama, tekanan kegiatan penangkapan yang tinggi, utamanya penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak seperti penggunaan sianida dan potasium; kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang berdampak pada berkurangnya sumber makanan atau ruang habitat ikan kerapu.
Di Teluk Lasongko, pemanfaatan ikan kerapu secara intensif berlangsung sejak awal tahun 1990 hingga akhir 1999. Hal ini ditandai dengan masuknya kapal-kapal penampung dari Hongkong yang juga memperkenalkan penggunaan sianida dan potasium untuk menangkap ikan kerapu. Pemanfaatan ikan kerapu yang intensif dan metode penangkapan yang merusak menyebabkan penurunan stok ikan kerapu di wilayah ini. Namun demikian beberapa penelitian yang dilakukan di perairan ini belum dapat menggambarkan kondisi stok ikan kerapu.
Tujuan penelitian ini adalah menduga hasil tangkapan maksimum lestari dan laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun stategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko.
Pendugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dilakukan dengan menggunakan Model Surplus Produksi (model Schaeffer atau model Fox). Hasil tangkapan maksimum dapat diestimasi dari data input berupa jumlah hasil tangkapan dan upaya penangkapan dalam runtun tahun 2000 – 2007. Di Teluk Lasongko, ikan kerapu ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing biasa dan bubu sehingga standarisasi upaya penangkapan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menduga besarnya MSY.
Pendugaan laju eksploitasi ikan kerapu dilakukan dengan penentuan parameter-paremeter pertumbuhan ikan kerapu terlebih dahulu berdasarkan persamaan von Bertalanffy. Parameter-parameter pertumbuhan ikan tersebut adalah panjang asimtotik (L∞), koefisien laju pertumbuhan (K) dan umur teoritis pada saat panjang ikan = 0 (to). Pendugan nilai L∞ dilakukan menggunakan metode Powell-Wetherall dalam paket FiSAT II. Nilai L∞ yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dugaan awal L∞untuk memperoleh nilai K dengan menggunakan program ELEFAN I dalam paket FiSAT II. Nilai to diduga dengan
pendugaan laju mortalitas alami (M) berdasarkan persamaan empiris Pauly. Nilai Z dan M kemudian digunakan untuk menduga laju kematian ikan akibat penangkapan (F), dan laju eksploitasi ikan kerapu dihitung berdasarkan nisbah dari laju kematian ikan akibat penangkapan dan laju mortalitas total.
Hasil penelitian menunjukkan bahwaikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko terdiri dari empat spesies yaitu ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Total jumlah ikan kerapu yang tertangkap sebanyak 1.783 ekor. Dari keempat jenis ikan kerapu, ikan kerapu lumpur merupakan ikan kerapu yang paling banyak tertangkap yakni 755 ekor (42,34 %) dan paling sedikit adalah kerapu tikus sebanyak 76 ekor (4,26 %).
Berdasarkan perhitungan dugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY diketahui bahwa MSY ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu lumpur dan kerapu sunu di Teluk Lasongko masing-masing sebesar 3.72; 31.73; 66.57; dan 44.90 ton pertahun. Idealnya, MSY ikan kerapu sebesar 1 ton/hektar terumbu karang per tahun sedang untuk tujuan konservasi sebesar 0,5 ton/ha terumbu karang per tahun. Berdasarkan hal tersebut, dengan luas areal terumbu karang 275,3 ha maka idealnya nilai MSY ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah sebesar 275,3 ton/tahun. Nilai tersebut lebih besar dibanding nilai MSY yang diperoleh dari penelitian ini untuk masing-masing jenis ikan kerapu. Kondisi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan stok ikan kerapu di Teluk Lasongko.
Hasil pendugaan laju eksploitasi (E) ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu lumpur dan kerapu sunu di Teluk Lasongko masing-masing sebesar 0.51; 0.53; 0.52; dan 0.51 per tahun. Laju eksploitasi optimal suatu sumberdaya ikan sebesar 0,5 dimana besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas akibat penangkapan. Nilai E yang tidak jauh berbeda dengan 0,5 mengindikasikan bahwa laju eksploitasi sumberdaya ikan kerapu di teluk Lasongko berada pada kondisi optimal. Kondisi tersebut mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan kerapu di Teluk Lasongko tidak disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan saat ini. Penurunan daya dukung habitat ikan kerapu di Teluk Lasongko diduga menjadi penyebab penurunan stok ikan kerapu di perairan ini.
Strategi pengelolaan yang dapat diterapkan agar sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko tetap lestari adalah penerapan upaya optimum ikan kerapu macan yakni 357 unit upaya dengan rincian 160 unit alat tangkap pancing dan 197 unit alat tangkap bubu. Namun demikian, pilihan kebijakan ini harus disertai pula dengan adanya kebijakan pelarangan untuk menangkap ikan kerapu tikus selama dua tahun. Strategi berikutnya adalah pembatasan ukuran ikan kerapu yang boleh tertangkap yakni 45 cm untuk ikan kerapu betina dan 70 cm untuk ikan kerapu jantan. Untuk meningkatkan daya dukung habitat ikan kerapu dapat dilakukan dengan transplantasi karang atau pengembangan karang buatan.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
IKAN KERAPU DI PERAIRAN TELUK LASONGKO,
KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA
RUSMAN PRASETYA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
Tanggal Lulus : Tanggal Ujian : 14 Februari
Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
Nama Mahasiswa : Rusman Prasetya Nomor Pokok : C251050151
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian “Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara” dapat diselesaikan. Penelitian ini merupakan satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisi dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat terselenggara atas bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bupati Buton atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan kesempatan, kearifan, kebijakan dan kebaikan beliau mengantarkan penelitian penulis hingga selesai.
3. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesempatan, kebaikan dan perhatian beliau dalam mengevaluasi penelitian penulis hingga selesai.
4. Istri tercinta, Irianti Amin, ketiga anak-anak kami Izzat, Anya dan Yaya serta kedua orang tua kami mama wajo dan mama haji atas doa, kasih sayang, perhatian, kesabaran dan ketabahan dalam mendampingi penulis selama ini. 5. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) Konsorsium
Pusat di Jakarta melalui Program Mitra Bahari yang telah memberikan beasiswa penulisan tesis kepada penulis.
6. Saudara-saudaraku tercinta, Zamri Amin sek, Aminudin sek, Halimu sek, Ruslan Setyawan sek, Rusman sek, Darwin sek, Nunu, Andri dan Tasman atas bantuan doa dan bantuan dana serta perhatian yang diberikan kepada penulis selama ini.
7. Keluarga besar penulis yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas bantuan dan doa yang diberikan kepada penulis.
8. Teman-teman SPL 12, Indra, Nirmala, Haryadi, Ferdinan, Erlangga, Yusuf, Evi, Widi, Haikal dan Faisal atas dorongan dan semangatnya.
9. Teman-teman lain yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala doa dan bantuannya.
Kesempurnaan merupakan hal yang amat didambakan, namun tidaklah mungkin dapat tercapai karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, karena itu adanya saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini akan diterima dengan senang hati. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca dan semoga Allah SWT., meridhoi setiap usaha yang dilakukan. Amin.
Bogor, 2010
Penulis dilahirkan di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara pada tanggal 3 Juni 1973 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan bapak Basirun Azis dan ibu Zanuma.
Tahun 1992 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan pada tahun 1993 diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan. Tahun 2005 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Perikanan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Kota Bau-Bau tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Buton dan tahun 2003 penulis menjadi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton bidang Bina Usaha Perikanan.
Halaman
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu... 5
2.2 Estimasi Parameter Pertumbuhan Ikan ... 7
2.3 Estimasi Mortalitas Ikan ... 11
2.3.1 Mortalitas Total ... 11
2.3.2 Mortalitas Alami ... 12
2.3.3 Mortalitas Penangkapan ... 13
2.4 Laju Eksploitasi ... 13
2.5 Program-program Komputer untuk Menduga Parameter-parameter Pertumbuhan Ikan ... 14
2.6 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari ... 15
2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 19
3. METODOLOGI ... 23
3.1 Waktu dan Tempat ... 23
3.2 Metode Pengumpulan Data ... 25
3.3.1 Pengumpulan Data Primer ... 25
3.2.2 Pengumpulan Data Sekunder ... 25
3.3 Analisa Data ... 26
3.3.1 Analisa Komposisi dan Kelimpahan Ikan Kerapu ... 26
3.3.2 Pendugaan Hasil Tangkapan Maksimum Lestari ... 26
3.3.3 Pendugaan Laju Eksploitasi Ikan Kerapu ... 28
4. HASIL PENELITIAN ... 31
4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Kerapu ... 32
4.2 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Ikan Kerapu ... 34
4.3 Frekuensi Panjang Ikan Kerapu ... 38
4.4 Parameter Pertumbuhan ... 44
4.5 Laju Mortalitas dan Laju eksploitasi ... 45
5. PEMBAHASAN ... 47
5.1. Potensi Sumberdaya Ikan Kerapu... 47
5.2. Laju Eksploitasi Ikan Kerapu ... 48
5.3. Strategi Pengelolaan Perikanan Kerapu ... 51
6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
6.1. Kesimpulan ... 56
6.2. Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Nama ilmiah, Inggris dan Hongkong dari ikan-ikan karang yang
dipasarkan di Hongkong ... 1
2. Harga grosir (G) dan eceran (E) (US$/kg) ikan kerapu hidup yang diperdagangkan di Hong Kong dan China bagian Selatan... 2
3. Areal terumbu karang di Teluk Lasongko, luas dan presentase penutupan karangnya ... 23
4. Jumlah alat tangkap di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007 ... 35
5. Jumlah upaya standar dan hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007 ... 35
6. Koefisien regresi dan determinasi antara CPUE atau ln CPUE dengan upaya standar... 36
7. Nilai MSY dan fopt ikan kerapu di Teluk Lasongko... 38
8. Jumlah dan panjang ikan kerapu berdasarkan jenisnya ... 38
9. Parameter pertumbuhan ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan... 45
10. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu di Teluk Lasongko ... 45
11. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan ... 46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Klasifikasi ikan kerapu (Heemstra dan Randall, 1993) ... 6
2. Ilustrasi Konsep Surplus Produksi (Wallace dan Fletcher, 1997)... 16
3. Peta lokasi penelitian... 24
4. Presentase jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007 ... 31
5. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis dan lokasi penangkapannya selama bulan Mei – Agustus 2007 ... 32
6. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan zona selama bulan Mei – Agustus 2007 ... 32
7. Presentase total berat ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenisnya selama bulan Mei – Agustus 2007... 33
8. Presentase total berat ikan yang tertangkap berdasarkan zona penangkapan di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007 ... 33
9. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis alat tangkap selama bulan Mei – Agustus 2007 ... 34
10. Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu di Teluk Lasongko tahun 2000 – 2007... 36
11. Kurva hubungan antara upaya penangkapan dan jumlah hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko... 37
12. Panjang rata-rata ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko bulan Mei – Agustus 2007 ... 39
13. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus... 40
14. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan ... 41
15. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur ... 42
16. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu ... 43
17. Grafik pertumbuhan ikan kerapu di Teluk Lasongko ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu tikus di Teluk Lasongko... 63
2. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu macan di Teluk Lasongko ... 64
3. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu lumpur di Teluk Lasongko ... 65
4. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu sunu di Teluk Lasongko ... 66
5. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus ... 67
6. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan ... 68
7. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur ... 69
8. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu ... 70
1.1 Latar Belakang
Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang penting. Pada ekosistem terumbu karang, ikan kerapu memiliki nilai ekologis yang penting karena merupakan merupakan salah satu predator utama dalam rantai makanan di ekosistem. Selain memiliki nilai ekologis, beberapa spesies kerapu memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional.
Di pasar domestik, ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) ukuran kecil sebagai ikan hias (ukuran 4 – 5 cm) laku dijual dengan harga Rp. 7.000,- per ekor (Akbar dan Sudaryanto 2000). Di pasar internasional, ikan kerapu diperdagangkan dalam bentuk hidup dengan pasar utama adalah Hongkong dan China. Menurut Chan (2000), 50 % ikan karang hidup yang diperdagangkan di Hongkong diimport dari Indonesia, kemudian diikuti oleh Philipina, Australia, Maladewa, Vietnam, Malaysia dan Thailand. Ikan karang yang diperdagangkan di Hongkong dengan harga tinggi, menengah maupun rendah didominasi oleh famili Serranidae (kerapu) kecuali ikan napoleon yang termasuk dalam famili Labridae.
Tabel 1. Nama ilmiah, Inggris dan Hongkong dari ikan-ikan karang yang dipasarkan di Hongkong
No Nama ilmiah Nama umum Nama Hongkong
1. High priced species
Cheilinus undulatus
Cromileptus altivelis
Humphead, maori or Napoleon wrasse
High-finned or mouse grouper, baramundi cod
So Mei Lo Shu Pan 2. Medium priced species
Plectropomus leopardis Plectropomus areolatus
Spotted or leopard coral trout Red or squaretail coral trout
Sai Sing Tung Sing 3. Lower priced species
Epinephelus polyphekadion Epinephelus malabaricus Epinephelus coloidus Epinephelus bleekeri
Epinephelus fuscoguttatus
Flowery grouper
Green or malabar grouper Brown spotted grouper
Orange spotted or green grouper
Tiger or flowery grouper
Charm Pan Ching Pan Ching Pan Chi Ma Pan Lo Fu Pan
Sumber : Chan (2000)
lebih tinggi dibanding harga grosir (McGilvray dan Chan 2003). Dari hasil survei tersebut, harga ikan kerapu bebek di Hongkong sebesar US$ 60.2 untuk grosir dan US$ 92 untuk eceran, di Guangzhou (RRC) sebesar US$ 84.7 untuk grosir dan di Shanzhen (RRC) sebesar US$ 73.3 untuk grosir serta US$ 110.7 untuk eceran.
Tabel 2. Harga grosir (G) dan eceran (E) (US$/kg) ikan kerapu hidup yang diperdagangkan di Hong Kong dan China bagian Selatan
Jenis Ikan Hongkong
(US$)
Guangzhou (RRC) (US$)
Shanzhen (RRC) (US$)
Cromileptes altivelis G = 60.2
E = 92.0
G = 84.7 E = tidak tersedia
G = 73.3 E = 110.7
Epinephelus coioides /
Epinephelus malabaricus
G = 9.1 E = 20.8
G = 9.0 E = 18.8
G = 10.4 E = 20.8
Epinephelus fuscoguttatus G = 23.7
E = 43.6
G = 15.0 E = 25.4
G = 16.9 E = 35.5
Epinephelus lanceolatus G = 24.3
E = 46.9
G = 15.9 E = 25.4
G = 16.4 E = 47.7
Epinephelus polyphakadion G = 21.3
E = 37.5
G = 23.2 E = 35.5
G = 22.2 E = 37.5
Plectropomus areolatus G = 24.1
E = 39.9
G = 19.5 E = 41.0
G = 19.4 E = 41.0
Plectropomus leopardus G = 35.1
E = 51.7
G = 44.1 E = 50.6
G = 33.6 E = 60.4 Sumber : McGilvray danChan (2003)
Tingginya nilai ikan kerapu di perdagangan internasional mengakibatkan meningkatnya permintaan akan jenis ikan ini. Konsekuensinya, ikan kerapu mengalami tekanan yang cukup berat dan di beberapa wilayah telah mengalami
Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk terbesar di Kabupaten Buton dengan luas perairan 1 360 ha dengan luas areal terumbu karang 279.8 ha atau 20.50 % dari luas total perairannya. Terumbu karang di perairan ini tersebar dalam 7 lokasi yakni Pasi’ Bawona, Pasi’ Katembe, Pasi’ Lasoring Balano, Pasi’ Bunta, Pasi’ Bone Marangi, Pasi’ Madongka dan Pasi’ Lasori. Masyarakat di pesisir Teluk Lasongko telah lama memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada di areal terumbu karang perairan ini sebagai sumber mata pencaharian, termasuk sumberdaya ikan kerapu.
1.2 Perumusan Masalah
Masyarakat di Teluk Lasongko memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan ini dalam bentuk usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya laut. Salah satu bentuk usaha budidaya laut yang dikembangkan oleh penduduk di pesisir Teluk Lasongko adalah budidaya ikan kerapu dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) sebagai wadah budidaya. Bentuk budidaya yang dilakukan adalah pembesaran ikan kerapu, di mana bibit ikan kerapu ditangkap dari alam kemudian dibesarkan hingga mencapai ukuran tertentu untuk dapat dijual ke kapal pengumpul yang biasanya datang dari Hongkong. Sadovy dan Pet (1998) menyatakan bahwa pola budidaya berdasarkan pengumpulan juvenil ikan kerapu dari alam dan membesarkannya dalam suatu wadah keramba jaring apung lazim dilakukan di Asia Tenggara. Pola budidaya seperti yang tergambar di atas dapat menurunkan stok sumberdaya ikan kerapu di perairan Teluk Lasongko.
Sadovy (2005) melaporkan bahwa stok ikan kerapu di beberapa perairan telah mengalami penurunan, termasuk Indonesia. Indikator yang dapat menggambarkan penurunan stok ini adalah menurunnya ukuran dan jumlah hasil tangkapan. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan stok ikan kerapu: pertama, tekanan kegiatan penangkapan yang tinggi, utamanya penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak seperti penggunaan sianida dan potasium; kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang berdampak pada berkurangnya sumber makanan atau ruang habitat ikan kerapu menjadi yang sempit.
penurunan. Namun demikian hasil penelitian tersebut tidak merinci berdasarkan jenis ikan sehingga belum dapat menggambarkan kondisi stok ikan kerapu saat ini. Oleh karenanya, kajian potensi dan laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko sangat perlu dilakukan.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menduga hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk Lasongko 2. Menduga laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko.
2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu
Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae, subfamili Epinephelinae dan dikenal dengan istilah “grouper” (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Ikan kerapu terdiri dari 15 genus dan mencakup 159 spesies. Kelima belas genus ikan kerapu tersebut adalah Aethalperca, Alphestes, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Dermatolepis, Epinephelus, Gonioplectrus, Gracila, Mycteroperca,
Paranthias, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola (Heemstra dan Randall 1993). Sedangkan menurut Tucker (1999), ikan kerapu terdiri dari 14 genus dan mencakup setidaknya setengah dari 449 spesies famili Serranidae.
Menurut Heemstra dan Randall (1993), ikan kerapu dapat diidentifikasi berdasarkan pola pewarnaannya, ciri morfologis termasuk bentuk tubuh, konfigurasi dan ukuran sirip, bentuk dan ukuran relatif dari kepala dan beberapa bagian kepala dan tubuh, serta jumlah jari-jari sirip, gurat sisik dan gill raker. Kecuali untuk beberapa jenis ikan kerapu dewasa dengan ukuran besar, pola pewarnaan kebanyakan ikan kerapu biasanya cukup untuk membedakan spesies tertentu. Ikan kerapu yang hidup di perairan dalam biasanya memiliki pola pewarnaan yang lebih kemerahan dibanning spesies yang tertangkap di perairan dangkal.
(Heemstra dan Randall 1993). Menurut Kuiter (1996), ikan kerapu dewasa biasanya dapat ditemukan pada lereng-lereng karang yang memiliki celah atau gua-gua yang besar. Ikan kerapu biasanya hidup soliter atau dalam kelompok yang kecil (Yearsley et al. 1999).
Gambar 1. Klasifikasi ikan kerapu (Heemstra dan Randall 1993)
sebagai plankton oseanik. Ketika menjadi juvenil, ikan kerapu menetap di perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung. Pada saat ukurannya bertambah panjang, ikan kerapu bergerak ke perairan yang lebih dalam namun kebanyakan tetap tinggal di wilayah dekat gua tempat berlindungnya.
Sebagai predator utama di ekosistem terumbu karang, kebanyakan ikan kerapu memakan sejumlah jenis ikan, crustacea yang besar dan chepalopoda
(Heemstra dan Randall 1993). Menurut Tucker (1999), larva kerapu di alam awalnya memakan copepoda dan zooplankton kecil, kemudian memakan crustacea yang lebih besar seperti amphipoda dan udang mysid. Selanjutnya, makanan utama juvenil ikan kerapu adalah ikan, kepiting, udang-udangan, lobster dan moluska. Heemstra dan Randall (1993) menyatakan bahwa sebagian besar ikan kerapu adalah ambush predator (predator dengan menjebak mangsanya), yang bersembunyi di antara karang dan bebatuan hingga ikan atau crustacea yang tidak waspada melintas, kemudian menangkap mangsanya tersebut dengan cepat dan menggigit mangsanya dengan gigi yang tajam.
Kebanyakan spesies ikan kerapu hermaprodit protogini, di mana setiap individu mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali dengan kelamin betina dan beberapa kemudian berubah menjadi jantan (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Beberapa spesies mengalami perubahan sex dari betina ke jantan dengan semakin bertambahnya umur, namun sebagian lagi mengalami perubahan sex akibat kekurangan individu jantan (Tucker 1999). Ikan kerapu memiliki umur yang panjang dan terlambat dalam mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali (Heemstra dan Randall 1993).
2.2 Estimasi Parameter Pertumbuhan Ikan
tagging-recapture; dan pengukuran dengan model progresi terhadap kelas ukuran ikan. Penggunaan tiap metode tergantung pada spesies yang diteliti (Pauly 1984).
Model pertumbuhan yang umum digunakan dalam kajian stok ikan adalah model pertumbuhan von Bertalanffy di mana panjang badan sebagai fungsi dari umur (Sparre dan Venema 1999; Pilling et al. 1999; Jennings et al. 2001). Model ini telah menjadi salah satu dasar dalam biologi perikanan sebab digunakan sebagai submodel dalam sejumlah model yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan (Sparre dan Venema 1999). Model matematika dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy adalah sebagai berikut :
( )
(
1
K t t0)
t
L
e
L
=
∞−
− − ... (1)Lt = Panjang pada umur t
L∞ = Panjang asimptotik yakni panjang dimana laju pertumbuhan secara teoritis nol
K = Koefisien pertumbuhan
t0 = umur pada saat panjang ikan nol
Menurut Morales-Nin (1992), parameter pertumbuhan dapat diduga melalui beberapa metode yakni :
- Metode Anatomik : dihitung melalui pertumbuhan teratur yang terbentuk dalam jaringan keras ikan seperti otolith pada sisik ikan
- Analisis frekuensi panjang : studi perkembangan model ukuran kelas panjang berdasarkan waktu
- Pendugaan secara langsung : pengukuran secara langsung laju pertumbuhan ikan berdasarkan contoh-contoh ikan yang telah diketahui umurnya. Sebagai contoh, pengukuran ini dapat dilakukan melalui studi ”mark and recapture”.
Menurut Jennings et al. (2001), beberapa metode identifikasi kohort menggunakan asumsi bahwa distribusi frekuensi panjang dari tiap kohort biasanya normal. Selanjutnya, Sparre dan Venema (1999) menyatakan bahwa metode yang umum digunakan untuk memisahkan suatu distribusi komposit dari frekeunsi panjang ke dalam distribusi-distribusi yang terpisah dapat dilakukan dengan metode Bhattacharya. Metode Bhattacharya didasarkan pada identifikasi distribusi frekuensi panjang kohort termuda dan mengurangi jumlah ikan dari tiap kelompok panjang dengan kohort pertama dari distribusi frekuensi panjang total Proses ini terus dilakukan pada kohort berikutnya hingga tidak ada lagi distribusi normal yang dapat diidentifikasi (Jennings et al. 2001).
King (1995) mengelompokkan metode analisis frekuensi panjang dalam dua kelompok berdasarkan ukuran contohnya yaitu contoh tunggal dan contoh ganda. Metode contoh tunggal dikenal juga sebagai metode Petersen di mana kurva pertumbuhan dapat dikaji dari posisi relatif modus dalam contoh tunggal frekuensi panjang. Salah satu metode sederhana adalah plot Ford-Warlfort yang memodifikasi persamaan pertumbuhan von Bertalanffy menjadi suatu persamaan linier sebagai berikut :
(
)
Kt K
t L e Le
L+1 = ∞ 1− − + − ... (2)
Persamaan tersebut adalah persamaan regresi linier dengan Lt+1 sebagai variabel
tidak bebas dan Ltsebagai variabel bebas sehingga diperoleh
(
K)
e L
a= ∞ 1− − dan
K e
b= − , maka :
( )
bK =−ln ... (3)
b a L
− =
∞
1 ... (4)
∞ ∞ −
+ =
L L L K t
t 1 ln t
0 ... (5)
Model contoh ganda disebut juga modal progression analysis (King 1995;
Jennings et al. 2001). Data frekuensi panjang dikumpulkan dari waktu yang
berbeda yang kemudian disusun secara berurutan, modus dari kohort ditelusuri
pergeserannya mengikuti aksis panjang. Metode yang umum digunakan adalah
Kt Kt L Lt + − = − − ∞ 0 1
ln ... (6)
Persamaan tersebut di atas merupakan persamaan linier dengan
∞ − − L Lt 1 ln sebagai
variabel tak bebas dan t sebagai variabel bebas sehingga melalui analisa regresi
sederhana diperoleh K = b dan
b a t0 =− .
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengestimasi parameter
pertumbuhan ikan adalah metode Powell-Wetherall (Sparre dan Venema 1999;
Gayanilo et al. 2005) dengan rumus sebagai berikut :
' ' a bL L
L− = + ... (7)
(
)
+ + ∞ = K Z L L L / 1 ' , sehingga b aL∞ =− ... (8)
+ − = b b K Z 1
... (9)
Selain beberapa metode tersebut di atas, telah pula dikembangkan beberapa
persamaan empirik untuk mengestimasi parameter-parameter pertumbuhan ikan,
di antaranya yang dilakukan oleh Pauly (1984) serta Froese dan Binohlan (2000;
2003). Persamaan empirik Pauly (1984) untuk menduga panjang infiniti adalah
sebagai berikut :
95 . 0
max
L
L∞ = ... (10)
max
L adalah panjang maksimum ikan yang diperoleh.
Froese dan Binohlan (2000; 2003) memperkenalkan beberapa persamaan
empirik untuk menduga parameter pertumbuhan ikan sebagai berikut :
max . 9841 . 0 044 . 0
logL∞ = + L ... (11)
2742 . 0 log . 0421 . 1
logLopt = L∞ − ... (12)
m t t 0.5496 0.957.log
log max = + ... (13)
max
3 t
max
t adalah umur maksimum yang dapat dicapai oleh tiap individu ikan, sedang
m
t adalah umur pada saat ikan matang gonad pertama kali.
2.3. Estimasi Mortalitas Ikan
Secara umum, ikan akan mengalami kematian (mortalitas) yang dapat
disebabkan oleh kematian alami dan kematian akibat penangkapan. Mortalitas
alami biasanya diberi simbol M dan mortalitas akibat penangkapan diberi simbol
F sedangkan laju mortalitas total diberi simbol Z (Sparre dan Venema 1998;
Jennings et al. 2001).
2.3.1 Mortalitas Total
Laju mortalitas total dapat diestimasi dengan menggunakan data distribusi
panjang. Metode yang umum digunakan dengan menggunakan data distribusi
panjang ini adalah meode Beverton-Holt berbasis panjang (Sparre dan Venema,
1999) dan metode kurva tangkapan berbasis panjang atau length-converted catch
curve (Pauly, 1983).
Metode Beverton-Holt menunjukan hubungan fungsional antara Z dan L
(Sparre dan Venema, 1999), yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
(
)
( )
' .L L
L L K Z
− −
= ∞ ... (15)
L adalah panjang rata-rata ukuran, L’ adalah panjang di mana semua ikan pada
ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan penuh. L’ dapat pula
dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas panjang (Sparre dan
Venema, 1999).
Rumus Beverton-Holt tersebut di atas dapat juga digunakan dalam suatu plot
regresi untuk menduga Z/K dan L∞ di mana
( )
L−L' dapat diplot berlawanan dengan L’ sebagai garis lurus, sehingga diperoleh :( )
L−L' = a + bL’ ... (16) Persamaan ini kemudian dikenal sebagai Watherall Plot (Sparre dan Venema1999). Dari persamaan garis di atas dapat diperoleh nilai Z sebagai berikut :
b b K
Z +
−
b a
L∞ =− , dan K diperoleh dari model progression analysis
2.3.2 Mortalitas Alami
Mortalitas alami dapat terjadi akibat pemangsaan, penyakit, parasit, umur
dan faktor lingkungan yang sebagian besar disebabkan oleh perubahan
faktor-faktor lingkungan sepanjang hidup ikan. Pauly (1980) menyatakan adanya
keterkaitan yang erat antara mortalitas alami dengan suhu perairan di mana
semakin hangat suhu perairan akan menyebabkan meningkatnya mortalitas alami
pada ikan.
Beberapa metode telah dikembangkan para ahli pengkajian stok untuk
menduga mortalitas alami pada ikan. Richter dan Baranov (1976) yang diacu
dalam Sparre dan Venema (1998) menyatakan adanya hubungan antara mortalitas
alami dengan umur saat 50% populasi matang gonad atau kemudian dikenal
sebagai the age of massive maturatuion (umur matang yang masif). Persamaan
yang ditunjukkan oleh Rikhter dan Baranov adalah :
155 . 0 521 . 1
720 . 0 50
− =
m
T
M ... (18)
Pauly (1980, 1984) merumuskan hubungan empririk antara laju mortalitas
alami dengan suhu rata-rata tahunan (T) yang kemudian dikenal sebagai rumus
empirik Pauly sebagai berikut :
Log M = -0.0066 – 0.279 log L∞ + 0.6543 log K + 0.4634 log T... (19)
L∞ adalah panjang asimptotik, K adalah koefisien pertumbuhan instrinstik dan T adalah suhu rata-rata tahunan (oC)
Alagaraja (1984) in Sparre dan Venema (1998) merumuskan bahwa rentang
hidup alami (longevity) umur di mana 99% dari suatu kohort akan mati jika kohort
tersebut hanya dikenai mortalitas alami (Z = M). Jika Tm adalah rentang hidup
alamiah dan M1% adalah mortalitas alami setara dengan 1% sintasan, maka :
( )
m T
M1% = −ln 0.01 ... (20)
Raltson (1987) merumuskan formula empirik untuk menduga mortalitas
pertumbuhan K pada formula pertumbuhan von Bertalanffy. Formula empirik
yang disarankan oleh Raltson adalah :
M = 0.0189 + 2.06 K... (21)
2.3.3 Mortalitas Penangkapan
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mortalitas pada ikan dapat
disebabkan oleh mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan. Mortalitas
penangkapan dapat diperoleh setelah laju mortalitas total (Z) dan mortalitas alami
(M) diketahui. Pauly (1980) dan King (1995) menyatakan bahwa laju mortalitas
total merupakan hasil penambahan dari mortalitas alami dan mortalitas akibat
penangkapan, sehingga diperoleh persamaan :
Z = F + M ... (22)
Dari persamaan (19), mortalitas penangkapan dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
F = Z – M ... (23)
2.4 Laju Eksploitasi
Menurut Pauly (1980), laju eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas
penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z) sehingga dapat dihitung sebagai
berikut :
M F
F E
+
= ... (24)
M = Mortalitas alami
Persamaan (21) dapat disederhanakan lagi menjadi :
Z F
E = ... (25)
Gulland (1971) in Pauly (1980) menyatakan bahwa eksploitasi optimal dari
suatu stok ikan terjadi jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas
alaminya, sehingga laju eksploitasi optimal (E) = 0.5. Dengan demikian, suatu
sumberdaya dikatakan mengalami penangkapan berlebih (overfishing) jika laju
2.5. Program-program Komputer untuk Menduga Parameter-parameter Pertumbuhan Ikan
Program komputer telah banyak dikembangkan oleh para ahli untuk
memudahkan dalam menduga parameter-parameter pertumbuhan ikan. Menurut
Sparre dan Venema (1999), salah satu program komputer pertama untuk
memisahkan sejumlah frekuensi ke dalam komponen yang terdistribusi normal
dengan menggunakan teknik-teknik likelihood maksimum adalah program
”NORMSEP” yang dikembangkan oleh Hasselblad dan Tomlinson pada tahun
1971.
Program komputer yang umum digunakan adalah Electronic Length
Frequency Analysis (ELEFAN) yang dikembangkan oleh Pauly dan David pada
tahun 1981. Program ini berkaitan dengan estimasi parameter-parameter
pertumbuhan menggunakan analisa frekuensi panjang dalam bahasa BASIC.
Program ini kemudian dimodifikasi menjadi COMPLET ELEFAN oleh Gayanilo,
Soriano dan Pauly pada tahun 1987 (Sparre dan Venema 1999).
Pada tahun 1987 pula, Sparre mengembangkan program komputer yang
diberi nama LFSA (Length-based Fish Stock Assessment) yang disusun dalam
bahasa BASIC. Paket LFSA awalnya dikembangkan untuk komputer Apple II
namun kemudian dikonversikan agar cocok digunakan pada komputer-komputer
IBM (Sparre dan Venema 1999).
Selanjutnya, pada tahun 1990 FAO (Food and Agricultural Organisation)
dan ICLARM (the International Centre of Living Aquatic Resources
Management) sepakat untuk mengembangkan suatu paket program baru untuk
pengkajian stok ikan berdasarkan panjang yang disebut FiSAT (FAO-ICLARM
Stock Assessment Tools). Paket pengkajian stok ini disusun dengan
mengintegrasikan routine-routine yang ada dalam LFSA dan paket COMPLEAT
ELEFAN, namun juga berisi sejumlah routine-routine baru (Sparre dan Venema
1999). Awalnya, paket FiSAT ini menggunakan versi MS DOS namun kemudian
dikonversi ke Microsoft Windows. Konversi ini dilakukan sekitar tahun 2000
sampai 2002 melalui proyek yang didukung oleh Uni Eropa dan FIAS (Fisheries
The Marine Resources Assessment Group Ltd (MRAG) juga
mengembangkan paket pengkajian stok berbasis panjang yang diberi nama Length
Frequency Distribution Analysis (LFDA). Paket ini telah beberapa kali
mengalami modifikasi, seperti yang dilakukan oleh Holden et al. (1995) menjadi
LFDA versi 4.01 dan Kirkwood et al. (2001) menjadi LFDA versi 5.0. Seperti
halnya FiSAT, dalam LFDA terdapat paket ELEFAN dalam metode estimasi
parameter pertumbuhan ikan. Selain itu juga terdapat metode SLCA (Shepherd's
Length Composition Analysis) dan PROJMAT (Projection Matrix) (Kirkwood et
al. 2001).
2.6 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari
Hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY)
dapat diartikan sebagai jumlah berat atau tangkapan maksimum yang dapat
diperoleh dari suatu stok sumber daya ikan tanpa mempengaruhi reproduksi dan
rekruitmen stok sumberdaya ikan tersebut di masa depan (King, 1995). Sparre
dan Venema (1998) juga memberikan penjelasan yang sama dengan
mendefinisikan MSY sebagai jumlah tangkapan maksimum yang dapat diperoleh
tanpa mempengaruhi produktivitas stok ikan dalam jangka panjang.
Model yang umum digunakan untuk menduga MSY adalah model surplus
produksi. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Graham pada tahun 1934
yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer pada tahun 1954 sehingga lebih
sering diacu sebagai Model Schaefer (Sparre dan Venema 1998). Model ini
cukup luas digunakan karena hanya membutuhkan serangkaian data hasil
tangkapan dan upaya penangkapan (Lemay 2007).
Larkin (1977) menjelaskan bahwa surplus produksi didasarkan asumsi
bahwa setiap spesies ikan setiap tahunnya akan menghasilkan jumlah berlebih
(surplus) yang dapat ditangkap dan jika yang ditangkap sebanyak surplus yang
dihasilkan oleh setiap spesies tersebut maka sumberdaya tersebut akan tetap
lestari. Penjelasan yang lebih rinci diberikan oleh Wallace dan Fletcher (1997)
yang mengilustrasikan konsep surplus produksi seperti pada Gambar 2. Garis
lurus O ke C menggambarkan kondisi di mana jumlah ikan muda meningkat
menunjukkan bahwa ketika jumlah ikan betina dewasa meningkat, jumlah ikan
muda dengan cepat meningkat dibanding ikan betina. Hubungan ini terus berlanjut
sampai biomasa ikan betina mulai untuk mendekati daya-dukung habitat. Garis (
A-C) menunjukkan bahwa penambahan ikan betina dewasa memberi peningkatan
ikan muda baru dalam jumlah yang sedikit. Pada titik C, daya-dukung dicapai di
mana jumlah ikan betina dewasa dan ikan muda dalam kondisi yang seimbang.
Bagian dari kurva di sebelah kanan dari daya-dukung menunjukkan bahwa
biomass dapat melampaui daya-dukung. Ketika terjadi penangkapan, populasi
merespon dengan meningkatnya jumlah ikan muda. Peningkatan terbesar terjadi
pada titik A, jarak maksimum (garis A – B) antara kurva dengan garis lurus 45o.
Hal ini bersamaan dengan jumlah maksimum surplus produksi yang dapat tersedia
[image:31.595.188.460.347.552.2]dari populasi.
Gambar 2. Ilustrasi model Surplus Produksi (Wallace dan Fletcher 1997)
King (1995) menggambarkan laju perubahan biomasa berdasarkan
persamaan logistik sebagai berikut :
− =
∞ B
B rB dt dB
1 ... (26)
Jika stok mulai tereksploitasi maka persamaan (26) dapat dikurangi oleh hasil
tangkapan (Y) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :
Y B
B rB dt dB
−
− =
∞
Dalam kondisi seimbang dimana laju penangkapan dipertahankan sehingga
sistem tetap seimbang (jumlah yang ditangkap seimbang dengan pertumbuhan
biomasa), dB/dt = 0 sehingga persamaan (24) menjadi :
− = ∞ B B rB
Y 1 ... (28)
Persamaan (28) merupakan persamaan parabola yang menunjukkan bahwa hasil
tangkapan maksimum lestari adalah setengah dari biomasa sumberdaya ikan yang
belum tereksploitasi.
Pendugaan nilai MSY dengan model surplus produksi dilakukan dengan
memplotkan CPUE terhadap upaya penangkapan sehingga akan diperoleh
persamaan regresi hubungan antara CPUE dengan upaya. CPUE merupakan
indeks kelimpahan suatu sumberdaya ikan dan banyak digunakan dalam
pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan (Harley et al. 2001; Hanchet et al.
2005). CPUE dihitung berdasarkan nisbah dari jumlah atau bobot hasil tangkapan
yang diperoleh sekelompok atau seorang nelayan terhadap jumlah upaya yang
dilakukannya dalam kurun waktu tertentu (Maunder et al 2006). Selanjutnya King
(1995) menjelaskan bahwa hasil tangkapan (Y) dapat ditulis menjadi : Y =qBf ,
di mana q adalah catchability coefficient (koefisien penangkapan) dan f adalah
upaya penangkapan, sedangkap Y/f ekuivalen dengan hasil tangkapan per upaya
atau Catch per Unit Effort (CPUE) sehingga CPUE = qB atau :
q CPUE
B= ... (29)
Dengan mensubstitusikan persamaan (29) ke persamaan (28) maka diperoleh :
(
CPUE) (
r CPUE q) (
[
CPUE q) (
CPUE q)
]
f
Y = = / 1− / / ∞ / ... (30)
Di mana CPUE∞ adalah hasil tangkapan per upaya dari biomasa maksimum (B∞) dari stok. Jika persamaan 30 dibagi dengan CPUE maka diperoleh persamaan
sebagai berukut :
− = ∞ CPUE CPUE q r
f 1 atau :
f r q CPUE CPUE CPUE −
Persamaan (31) merupakan persamaan linier, dimana b = - (CPUE∞ q/r) dan a = CPUE sehingga diperoleh persamaan linier :
CPUE = a + bf... (32)
Jika persamaan (32) dikalikan dengan f maka akan diperoleh persamaan :
Y = af + bf2... (33)
Persamaan (33) kemudian dikenal sebagai model Schaefer yang menyatakan
bahwa hasil tangkapan berhubungan dengan upaya penangkapan melalui kurva
parabola yang simetris (King 1995).
Fox (1970) in Spare dan Venema (1998) memperkenalkan model alternatif
untuk menduga MSY. Pada model Fox, CPUE diplot dalam bentuk logaritma
terhadap upaya sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut :
( )
fr q q K
CPUE
−
=ln .
ln ... (34)
Persamaan (34) dapat pula ditulis sebagai berikut :
(
c df)
CPUE=exp + ... (35)
Jika persamaan (35) dikalikan dengan f maka diperoleh persamaan non parabolik
sebagai berikut :
Y = f exp(c + df) ... (36)
Penerapan MSY dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah mendapat
kritikan dari para ahli, seperti Larkin (1977) dan Sissenwine (1978). Sebagai
tujuan pengelolaan, interpretasi yang statis dari MSY biasanya tidak tepat karena
mengabaikan fakta bahwa kelimpahan populasi ikan berfluktuasi secara alami dan
biasanya mengalami penurunan jika diterapkan strategi penangkapan konstan
(Mace, 2001). Namun demikian, konsep MSY ini masih diadopsi dan digunakan
oleh berbagai organisasi dan pemerintahan karena konsep ini cukup sederhana,
logis dan dapat melalukan estimasi dengan data terbatas serta belum adanya
konsep yang memiliki kualitas yang sama dengan MSY. Oleh karenanya, Mace
(2001) kemudian menyatakan bahwa MSY haruslah dipandang sebagai batas
2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Menurut Cochrane (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan didefinisikan
sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi,
dengan penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas
perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumberdaya dan
pencapaian tujuan perikanan lainnya. Dalam Code of Conduct for Responsible
Fisheries (FAO 1995) dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah suatu
kebutuhan besar dan menjadi kebutuhan dunia. Hal ini terjadi karena banyak
manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata
pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu
penting mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan
pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu :
1. Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia mengalami tangkap penuh,
tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus
diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami
degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.
2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh
perkembangan teknologi yang cepat terutama pemanfaatan Geographical
Positioning System (GPS), radar, echo sounder, mesin kapal yang lebih kuat
dan besar serta berkembangnya teknologi pengolahan.
3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah
resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan (fisheries governance)
yang mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli
perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga.
Menurut Mees (1996), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan harus
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan biologi. Oleh karenanya,
pengelolaan sumberdaya perikanan haruslah difokuskan untuk menjaga
keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi.
Pada dasarnya, pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk
memastikan berapa banyak ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah upaya
dikenal sebagai model pengelolaan konvensional (Hoggart et al. 2006).
Selanjutnya Hoggart et al. (2006) menyatakan bahwa model pengelolaan
konvensional dapat dilakukan melalui pengaturan jumlah dan ukuran alat tangkap
(input control) dan pengaturan jumlah dan ukuran hasil tangkapan (output
control). Model pengelolaan non konvensional lebih diarahkan pada upaya
konservasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan kehati-hatian atau
precautionary approach (Garcia dan Cochrane 2005).
Menurut Mees (1996), pengelolaan secara biologis dari sumberdaya
perikanan tangkap biasanya bertujuan untuk mencegah terjadinya tangkap
berlebihan (overfishing) dan mengoptimalisasikan produksi. Overfishing
merupakan kondisi dimana level atau laju mortalitas telah menurunkan kapasitas
suatu populasi dalam jangka panjang untuk dapat mencapai MSY (Dayton et al.,
2002). Overfishing dapat dikategorikan menjadi 4 yakni:
1. Growth overfishing adalah kondisi di mana yang tertangkap berada di bawah
ukuran pertumbuhan optimum (Mees 1996; Israel et al. 1997; Hall 2002;
Holland 2003).
2. Recruitment overfishing adalah kondisi di mana ikan-ikan dewasa tertangkap
dalam jumlah yang besar sehingga proses reproduksi menurun dan dengan
sendirinya rekruitmen juga menurun (Israel et al. 1997; Dayton et al. 2002;
Kilduff et al. 2009).
3. Ecosystem overfishing adalah kondisi di mana kegiatan penangkapan ikan
berdampak terhadap penurunan kualitas ekosistem, termasuk penurunan
kelimpahan dan perubahan komposisi spesies, variasi yang luas dari
kelimpahan, biomasa dan produksi beberapa spesies, serta perubahan atau
kerusakan yang signifikan dari habitat (Israel et al. 1997; Murawski 2000;
Dayton et al. 2002).
4. Economic overfishing adalah kondisi di mana peningkatan jumlah upaya
penangkapan tidak memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan nelayan
(Israel et al. 1997).
Hinman (1998) menyatakan bahwa permasalahan perikanan dalam konteks
ekosistem adalah eksploitasi yang berlebihan, kurangnya perhatian terhadap
penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Oleh karenanya, Hinman (1998)
memberikan 3 rangkaian rekomendasi berkenaan dengan permasalahan perikanan
tersebut yaitu :
1. Rangkaian rekomendasi pertama :
a. Memberikan prioritas pada pemulihan populasi yang mengalami tangkap
lebih pada tingkat yang lebih tinggi dibanding level yang dibutuhkan
untuk menghasilkan produksi maksimum lestari.
b. Memperbaiki struktur umur yang stabil dan rasio sex dari populasi.
c. Mengadopsi dan mengimplementasikan pendekatan kehati-hatian dalam
segala hal, termasuk memperkenalkan model perikanan baru atau ekspansi
model perikanan yang telah ada.
d. Menentukan level penangkapan untuk spesies target yang dilestarikan
2. Rangkaian rekomendasi kedua :
a. Memperbaharui seluruh rencana pengelolaan sumberdaya perikanan untuk
dapat mengidentifikasi interaksi spesies penting.
b. Membuat batasan-batasan dengan mempertimbangkan interaksi tersebut.
c. Jika tujuan pengelolaan menghasilkan konflik antar pengguna
sumberdaya, maka penyusunan rencana pengelolaan harus didasarkan
pada aspek ekologis untuk dapat mengharmonisasikan tujuan tersebut.
3. Rangkaian rekomendasi ketiga :
a. Menentukan zona larangan penangkapan untuk daerah-daerah yang telah
mengalami tangkap berlebih.
b. Menetapkan pembatasan alat tangkap untuk meningkatkan
keberlangsungan hidup spesies yang akan dilindungi.
Model pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem diadopsi oleh
FAO pada FAO Technical Consultation on Ecosystem-based Fisheries
Management yang dilangsungkan di Reykjavik (Finlandia) dari 16 sampai 19
September 2002 (FAO 2003). EAF didefinisikan oleh Ward et al. (2002)
sebagai perluasan dari model pengelolaan perikanan konvensional dengan secara
eksplisit mengenali adanya hubungan saling ketergantungan antara kesejahteraan
manusia dan kesehatan ekosistem dan kebutuhan untuk memelihara produktifitas
yang kritis, mengurangi polusi dan bungan sampah serta melindungi
spesies-spesies yang terancam. Dalam konsultasi para ahli di Reykjavik (FAO 2003)
disetujui bahwa tujuan dari pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
adalah merencanakan, mengembangkan dan mengelola perikanan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan menjamin generasi yang akan
datang masih memperoleh manfaat dari ekosistem laut. Oleh karenanya,
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan ditujukan untuk menjaga
keseimbangan dari berbagai kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan
pengetahuan dan ketidakpastian antara komponen biotik, abiotik dan manusia dari
ekosistem dan interaksinya serta mengaplikasikan pendekatan yang terintegrasi
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 13 Mei sampai dengan 19 Agustus
2007di perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Lokasi
ini dipilih dengan pertimbangan bahwa perairan ini merupakan salah satu sentra
penangkapan ikan kerapu di Kabupaten Buton. Luas perairan Teluk Lasongko
mencapai 13. 6 km2 dan luas areal terumbu karang 279.8 ha atau 20 % dari luas
total perairannya. Di perairan ini terdapat 7 areal terumbu karang yang oleh
masyarakat lokal disebut pasi yaitu Pasi Lasori, Pasi Bawona, Pasi Bone Marangi,
Pasi Bunta, Pasi Madongka, Pasi Lasoring Balano dan Pasi Katembe. Kondisi
penutupan karang dari masing-masing areal terumbu karang tersebut
[image:38.595.67.509.402.576.2]berbeda-beda mulai dari 35 % hingga 75,7 % (Tabel 3).
Tabel 3. Areal terumbu karang di Teluk Lasongko, luas dan presentase penutupan karangnya
No Lokasi Karang Luas Karang
(Ha)
Presentase Karang (%)
I Zona I
1 Pasi Lasori 9,20 35,00
2 Pasi Bawona 122,00 36,00 - 73,70
3 Pasi Bone Marangi 3,60 36,00
II Zona II
4 Pasi Bunta 5,00 72,34
5 Pasi Madongka 90,90 64,90 – 73,70
6 Pasi’ Bunging Balano 4,40 64,90 – 73,70
7 Pasi’ Katembe 40,20 64,90 – 73,70
Sumber : Supardan (2006)
Untuk lebih memudahkan penelitian ini, dipilih 4 lokasi pengumpulan data
yaitu Madongka dan Lasori yang mewakili zona I serta Boneoge dan Lolibu yang
mewakili zona II. Keempat lokasi tersebut merupakan pusat pendaratan hasil
tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko. Pengumpulan data dilakukan setiap
dua minggu sekali selama penelitian yakni pada tanggal 13 dan 27 Mei 2007, 10
dan 24 Juni 2007, 8 dan 22 Juli 2007 serta 5 dan 19 Agustus 2007 untuk
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Teluk Lasongko
3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survey. Metode survey merupakan penelitian deskriptif yang
menggambarkan/menguraikan sifat dari suatu fenomena/keadaan yang ada pada
waktu aktual dan mengkaji penyebab dari gejala-gejala tertentu, bertujuan
mengumpulkan data yang terbatas dari sejumlah kasus besar. Selanjutnya,
data-data yang diperoleh digunakan untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa atau
dengan memperhitungkan hubungan antara variabel-variabel dan data yang
digunakan untuk memecahkan masalah. Data yang dikumpulkan mencakup data
primer dan data sekunder yang dijelaskan di bawah ini.
3.2.1 Pengumpulan Data Primer
Data primer yang dikumpulkan mencakup jenis dan komposisi ikan kerapu
serta frekuensi panjang individu ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko.
Prosedur pengumpulan data primer adalah sebagai berikut :
1. Setiap ikan kerapu yang didaratkan dicatat jumlahnya berdasarkan jenis dan
lokasi penangkapannya kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel.
2. Setiap individu ikan diukur panjang totalnya dengan menggunakan mistar
ukur model 118 Wildco yang memiliki ketelitian 0,01 cm kemudian ditabulasi
berdasarkan jenis, lokasi penangkapan dan tanggal pengambilan data.
3. Setiap individu ikan ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan
elektrik Soehnle yang memiliki ketelitian 0,01 gram, kemudian ditabulasi
berdasarkan jenis, lokasi penangkapan dan tanggal pengambilan data.
Data jumlah dan berat ikan digunakan untuk menganalisa komposisi ikan
kerapu yang tertangkap untuk masing-masing zona, sedangkan data panjang total
ikan digunakan untuk menduga laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko..
3.2.2 Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan adalah data hasil tangkapan dan upaya
penangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko Kabupaten Buton tahun 2000 –
2007 yang tersedia di Dinas Perikanan Kabupaten Buton. Data sekunder ini
digunakan untuk menduga hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk
3.3 Analisa Data
3.3.1 Analisa Komposisi dan Kelimpahan Ikan Kerapu
Analisa komposisi dan kelimpahan ikan kerapu berdasarkan pembagian zona
terumbu karang baik dan buruk digunakan untuk mengetahui kondisi stok ikan
kerapu saat ini. Analisa komposisi ikan kerapu dilakukan dengan menggunakan
metode statistik deskriptif sebagai berikut :
1) Data hasil tangkapan ikan kerapu yang didaratkan oleh nelayan dihitung
jumlahnya untuk tiap jenis ikan kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel.
2) Rata-rata hasil tangkapan selama penelitian dihitung untuk tiap bulannya.
3) Komposisi ikan hasil tangkapan ditentukan berdasarkan presentase jumlah
tangkapan dan diurutkan menurut besarnya presentase jumlah tangkapan
tersebut.
3.3.2 Pendugaan Hasil Tangkapan Maksimum Lestari
Pendugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable
Yield (MSY) dilakukan dengan menggunakan Model Surplus Produksi. Hasil
tangkapan maksimum dapat diestimasi dari data input sebagai berikut (Sparre dan
Venema 1998):
- f(i) = upaya dalam tahun ke i; i = 1,2,3,....,n
- Y(i)/f(i) = hasil tangkapan (dalam berat) tahun ke-i per unit usaha pada tahun
ke-i, di mana i = 1,2,3,...n
Di Teluk Lasongko, ikan kerapu ditangkap dengan menggunakan alat
tangkap pancing biasa dan bubu. Oleh karenanya, standarisasi upaya harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menduga besarnya MSY.
Standarisasi upaya dapat dilakukan dengan langkah-langkah (Gulland 1983;
Sparre dan Venema 1998) sebagai berikut :
1. Upaya dan hasil tangkapan masing-masing upaya dihitung totalnya hingga
tahun ke-i, di mana i = 1,2,3,...,n
2. CPUE dihitung untuk masing-masing upaya.
3. Total upaya terbesar dari kedua jenis upaya dipilih sebagai standar dalam
4. Jika upaya terbesar adalah bubu maka FPI bubu
Bubu Bubu
CPUE CPUE
= dan
FPI pancing
Bubu Pancing
CPUE CPUE
= , demikian pula sebaliknya.
5. Upaya standar untuk tahun ke-i di mana i = 1,2,3,...,n dihitung melalui
persamaan berikut :
Upaya standar = (upaya bubu tahun ke-i x FPIbubu) + (upaya pancing tahun
ke-i x FPIpancing)
Selanjutnya, upaya standar yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga
MSY dengan menggunakan model Schaefer atau model Fox. Dalam model
Schaefer, hasil tangkapan per upaya penangkapan sebagai suatu fungsi dari upaya
adalah model linear yang sebagai berikut :
Y(i)/f(i) = a + bf(i) , bila f(i) < -a/b... (1)
Jika Y(i)/f(i) adalah peubah tak bebas yang disimbolkan dengan y, dan f(i) adalah
peubah bebas yang disimbolkan dengan x, maka diperoleh persamaan :
y = a + bx ... (2)
Model Fox berbentuk logaritma yang jika dilinierkan menjadi sebagai berikut :
( )
. () ln ) ( ) (ln f i
r q q K i f i Y − =
... (3)
Jika ln (Y(i)/f(i)) adalah peubah tak bebas yang disimbolkan dengan y, dan f(i)
adalah peubah bebas yang disimbolkan dengan x, maka diperoleh persamaan
sebagai berikut :
y = c + dx ... (4)
Dengan analisis regresi linier menggunakan metoda kuadrat terkecil, akan
diperoleh nilai b atau d dari data runtut waktu selama n tahun sebagai berikut:
( )
∑
∑
∑
∑
∑
= = = = = − − = n i n i i i n i n i i n i i i i x x n y x y x n d atau b 1 2 1 21 1 1
... (5)
Nilai a atau c dihitung melalui persamaan sebagai berikut :
x b y
a= − ... (6)
x d y
Selanjutnya dilakukan perhitungan koefisien determinasi (R2) untuk
mengetahui berapa persen dari data dapat dijelaskan oleh model regresi linier (2)
atau (4) melalui persamaan sebagai berikut :
− − − =
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
= = = = = = = n i n i i i n i n i i i n i n i i n i i i i y y n x x n y n x y x n R 1 2 1 2 1 2 1 2 21 1 1
2
... (8)
Jika nilai R2 untuk persamaan regresi model Schaefer lebih besar dari R2
persamaan regresi model Fox, maka perhitungan MSY dilakukan dengan model
Schaefer, demikian pula sebaliknya.
Setelah nilai a, b, c dan d diperoleh maka dilakukan perhitungan nilai MSY
dan upaya optimum (fopt). Perhitungan nilai MSY dan fopt untuk model Schaefer
adalah sebagai berikut :
b a MSY 4 2 −
= ... (9)
b a fopt
2
−
= ...(10)
Sedangkan untuk model Fox adalah sebagai berikut :
1 1 − − = c e d MSY ...(11) d
fopt =−1 ...(12)
3.3.3 Pendugaan Laju Eksploitasi Ikan Kerapu
Data primer berupa data frekuensi panjang individu ikan kerapu digunakan
untuk menduga laju eksploitasi ikan kerapu. Pendugaan laju eksploitasi ikan
kerapu dilakukan dengan penentuan parameter-paremeter pertumbuhan ikan
kerapu terlebih dahulu berdasarkan persamaan von Bertalanffy yaitu :
( )
t L(
1 e k(t t0))
L = ∞ − − − ... (4)
Lt adalah panjang ikan pada waktu t; L∞ adalah panjang asimtotik; K adalah koefisien laju pertumbuhan; to adalah umur teoritis pada saat L = 0; dan t adalah
Untuk menentukan nilai L∞ dilakukan dengan menggunakan metode Powell-Wetherall (Sparre dan Venema 1998; Gayanilo et al. 2005) dengan persamaan
sebagai berikut :
' ' a bL L
L− = + ... (5)
'
L adalah batas bawah kelas panjang ikan yang berada pada kondisi penangkapan
penuh, sedangkan
(
)
+ +
= ∞
K Z
L L L
/ 1
'
, sehingga :
b a
L∞ =− ... (6)
Dalam prakteknya, pe