• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG

LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN

CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI

LA ODE ABDUL HAFID

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

LA ODE ABDUL HAFID. Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI. Dibimbing oleh JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN.

Terumbu karang saat ini terus mengalami degradasi sehingga diperlukan suatu manajemen terpadu untuk pelestariannya. Salah satu upaya yang dilakukan dengan memetakan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kelayakan pakai citra Landsat-7 SLC-Off. Metode localized linear histogram match digunakan dalam pengisian gap citra SLC-Off. Jenis habitat dasar diekstrak dengan metode Lyzenga dan diklasifikasi dengan klasifikasi tak terselia ke dalam empat kategori yaitu karang hidup, karang mati, pasir dan lamun. Pengukuran akurasi menggunakan matriks klasifikasi dengan input 251 data survei. Uji statistik digunakan uji-t sampel bebas dan uji-z dengan level kepercayaan 95%. Dari hasil pengukuran akurasi, citra Landsat-7 diperoleh OA = 55,11% dan Khat = 0,34 di mana memiliki nilai rata-rata overall accuracy dan koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding Landsat-8 dengan OA = 53,65% dan Khat = 0,30. Namun dari hasil uji statistik terhadap nilai overall accuracy dan koefisien Kappa tersebut, baik uji-t sampel bebas maupun uji-z, keduanya menunjukkan hasil yang tidak signifikan sehingga disimpulkan bahwa citra Landsat-7 SLC-Off masih dapat dipergunakan untuk kajian pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang.

Kata kunci: pemetaan terumbu karang, citra Landsat-7 dan Landsat-8, akurasi peta tematik, uji-t dan uji-z

ABSTRACT

LA ODE ABDUL HAFID. Shallow Water Habitat Mapping in Karang Lebar, Thousand Islands, DKI Jakarta using Landsat-7 ETM+ SLC-Off and Landsat-8 OLI Images. Supervised by JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN.

Coral reefs continue to be degraded over past decades due to human activities so we need a unified management related its preservation. One effort proposed is to conduct shallow water habitat mapping of coral reef ecosystems. This study aimed to examine the usage feasibility of Landsat-7 SLC-Off images. LLHM method was used to fill the gaps of SLC-Off images. Bottom habitat types were extracted by using Lyzenga’s method and classified by using unsupervised classification into four categories (i.e live coral, dead coral, sand, and seagrass). Accuracy measurement used classification matrix with 251 survey data. Statistical test used independent samples t-test and z-test with 95% confidence level. From the result of accuracy measurement, Landsat-7 yielded OA = 55.11% and Khat = 0.34 had an average value of overall accuracy and Kappa coefficient higher than Landsat-8 as OA = 53.65% and Khat = 0.30. However, from statistical test results conducted on those OA and Khat, either independent samples t-test or z-test, where both showed not significant results. Thus it is concluded that the Landsat-7 SLC-Off images are still can be utilized in shallow water habitat mapping of coral reef ecosystems. Keywords: coral reefs mapping, Landsat-7 and Landsat-8 images, thematic map

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG

LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN

CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI

Nama : La Ode Abdul Hafid NIM : C54070080

Disetujui oleh

Dr. Ir. James Parlindungan Panjaitan, M.Phil Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Pada tanggal 31 Mei 2003, satelit Landsat-7 ETM+ mengalami kerusakan instrumen SLC (Scan Line Corrector) yang merupakan pengoreksi hasil sampling cermin scan utama. Hal ini mengakibatkan setiap satu path/row citra yang dipotret setelah tanggal tersebut kehilangan data sekitar 22%. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah citra ini masih dapat untuk digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal di sekitar terumbu karang maka penulis mencoba membandingkan dengan citra hasil pemotretan satelit Landsat-8 yang memiliki orbit dan spesifikasi sensor serupa. Topik penelitian yang diajukan penulis terkait isu di atas diberi judul

“Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI”.

Penelitian ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Dalam penyusunannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. James Parlindungan Panjaitan, M.Phil selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan bimbingannya selama penyusunan skripsi.

2. Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Hawis H. Madduppa, S.Pi, M.Si selaku dosen perwakilan Gugus Kendali Mutu (GKM) yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

4. Rekan-rekan ITK yang telah membantu dan memberikan sumbang saran dalam pengolahan data dan penyusunan skripsi.

5. Kedua orang tua, kakak, dan adik atas segala dukungannya selalu.

6. Pihak lain yang secara tidak langsung ikut memberikan kontribusi dalam pengumpulan dan pengolahan data.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan wawasan yang berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dapat digunakan penulis untuk perbaikan skripsi ini.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Alat dan Bahan 3

Pra-Pengolahan Citra 3

Koreksi Radiometrik dan Geometrik 3

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off 4

Penggabungan Band dan Pemotongan (Cropping) Citra 5

Transformasi Lyzenga 6

Klasifikasi Citra 7

Pengukuran Akurasi 7

Uji Statistik 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Citra Asli Landsat-7 SLC-Off dan Landsat-8 11

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off 12

Transformasi Lyzenga 13

Klasifikasi Citra 18

Pengukuran Akurasi 22

Uji Statistik 26

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 31

(10)

DAFTAR TABEL

1 Metadata citra Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8 OLI 4

2 Matriks klasifikasi 8

3 Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi 8 4 Jumlah piksel gap citra Landsat-7 untuk lokasi penelitian 12

5 Koefisien atenuasi 14

6 Karakteristik panjang gelombang sensor ETM+ satelit Landsat-7 14 7 Karakteristik panjang gelombang sensor OLI satelit Landsat-8 15 8 Jumlah habitat berbeda hasil transformasi Lyzenga 18 9 Luas tutupan jenis habitat masing-masing citra 22 10 Producer accuracy, user accuracy, overall accuracy (OA), dan koefisien

Kappa (Khat) 23

11 Hasil uji-t sampel bebas pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) 26 12 Hasil uji-z pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) 27

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu

beserta 251 data titik survei lapang 2

2 Ilustrasi moving window dalam metode LLHM (Scaramuzza et al., 2004) 5

3 Spatial subset using map ENVI 5.0 6

4 Diagram alir pengolahan data 10

5 Citra asli Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit

RB432 11

6 Hasil pengisian gap citra Landsat-7 RGB321 dan Landsat-8 komposit

RGB432 13

7 Bi-plot transformasi ln band 1/2 (Landsat-7); band 2/3 (Landsat-8) 16 8 Hasil transformasi Lyzenga Landsat-7 (kiri) dan Landsat-8 (kanan) 17 9 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 29 Mei

2013 18

10 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 1 Agustus

2013 19

11 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 18

September 2013 19

12 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 20 13 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 25 Agustus

2013 20

14 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 10

September 2013 21

15 Nilai producer accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal 24 16 Nilai user accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal 24 17 Nilai overall accuracy (OA) dan koefisien Kappa (Khat) untuk setiap

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Formula yang digunakan dalam perhitungan z-skor (uji-z) 31 2 Hipotesis penelitian dan pedoman pengambilan keputusan untuk uji-t

sampel bebas dan uji-z 32

3 Ilustrasi posisi gap piksel band 1 dan band 2 data citra Landsat-7

SLC-Off beserta hasil pengisian gap-nya 33

4 Contoh perhitungan nilai gap citra utama menggunakan metode localized

linear histogram match (LLHM) 34

5 Contoh perhitungan nilai koefisien atenuasi (digunakan data citra 8 Juli

2013) 37

6 Histogram frekuensi hasil transformasi Lyzenga 38 7 Contoh perhitungan akurasi klasifikasi (digunakan matriks klasifikasi

citra 8 Juli 2013) 39

8 Matriks klasifikasi 40

9 Hasil uji-t sampel bebas (overall accuracy dan koefisien Kappa) 41 10 Contoh perhitungan uji-z antara matriks klasifikasi Landsat-7 akuisisi 29

Mei 2013 (atas) dan Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 (bawah) 42

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di perairan tropis yang terdiri dari biota laut penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya (Sukarno, 1995). Berdasarkan hasil estimasi tahun 2003 menunjukkan bahwa terumbu karang dunia bisa menghasilkan keuntungan bersih sebesar 29,8 trilyun US dollar per tahun yang berasal dari perikanan, perlindungan pantai, pariwisata, dan nilai biodiversitas terumbu karang itu sendiri (Cesar et al., 2003). Namun demikian, saat ini terumbu karang terus mengalami degradasi di mana 27% terumbu karang dunia telah hilang secara permanen dan akan meningkat menjadi 30% pada 30 tahun mendatang (Cesar et al., 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen terpadu terkait upaya pelestariannya. Beberapa informasi penting dan mendasar terkait upaya pelestarian ekosistem terumbu karang di antaranya informasi luasan tutupan dan daerah sebarannya di suatu daerah. Informasi ini dapat diekstrak menggunakan data citra satelit. Kutcher et al. (1986) mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu, penelitian pada kawasan terumbu karang dapat menggunakan metode penginderaan jauh memanfaatkan data citra satelit untuk memonitoring daerah terumbu karang pada perairan dangkal dengan wilayah perairan yang luas.

Satelit penginderaan jauh yang telah banyak digunakan untuk memonitoring terumbu karang adalah Landsat (Benfield et al., 2007). Deretan satelit Landsat telah merekam permukaan bumi lebih dari empat dekade sejak diluncurkannya Landsat-1 pada tahun Landsat-1972. USGS (20Landsat-13a) mencatat bahwa sampai saat ini koleksi data Landsat telah melebihi tiga juta data citra. Dengan demikian, dengan adanya data ini diharapkan dapat dibangun suatu database tentang informasi luasan dan sebaran terumbu karang dunia yang akan digunakan untuk keperluan analisis multi-temporal.

(14)

2

pengujian statistik untuk melihat apakah masih dapat digunakan untuk keperluan saintifik terutama dalam pemetaan habitat perairan dangkal sekitar terumbu karang.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) membandingkan hasil akurasi pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI; (2) melakukan pengujian statistik (uji-t dan uji-z) terhadap hasil pengukuran akurasi citra satelit Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI untuk memutuskan apakah citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off masih dapat untuk digunakan bersama-sama dengan citra satelit Landsat-8 OLI dalam pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu,

DKI Jakarta dengan posisi koordinat 5°42’52,09”LS - 5°44’21,35”LS dan

106°33’26,64”BT - 106°36’59,44”BT (Gambar 1). Karang lebar merupakan gosong terumbu Pulau Semak Daun yang berada sekitar 50 km sebelah barat laut Teluk Jakarta. Luas total areal penelitian adalah 18.330.300 m2. Penelitian ini dilakukan antara bulan Juni 2013 sampai September 2013. Survei lapang dilakukan selama dua hari dari tanggal 15 – 16 Juni 2013. Bentuk survei lapang ini berupa pengecekan (ground check) jenis habitat dasar pada 251 posisi titik survei yang telah ditentukan sebelumnya secara random (random sampling) dari data piksel citra. Luas bidang pengamatan pada setiap titik survei adalah 900 m2 atau 30 m x

30 m.

(15)

3

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

(1) Perahu motor digunakan untuk menjangkau daerah penelitian.

(2) GPS (Global Positioning System) Garmin eTrex model Yellow H digunakan untuk pengambilan titik uji.

(3) Seperangkat laptop berbasis Intel Celeron dengan Sistem Operasi Windows 8 64-bit digunakan untuk pengolahan data.

(4) Perangkat lunak frame_and_fill_win32 digunakan untuk pengisian gap citra Landsat-7 SLC-Off.

(5) Perangkat lunak ERMapper 7 dan ENVI 5.0 digunakan untuk pengolahan citra berbasis image.

(6) Perangkat lunak Microsoft Excel 2013 digunakan untuk pengolahan citra berbasis numerik.

(7) Perangkat lunak MapSource 6.13.7 dan GPSBabel 1.4.4 digunakan untuk mengolah data GPS.

(8) Perangkat lunak Google Earth 7.1.2.2041, Global Mapper 13, GeoTIFF Tools, dan ArcGIS 9.3 digunakan untuk pembuatan layout peta.

(9) Perangkat lunak SPSS Statistics 17.0 digunakan untuk uji-t Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

(1) Citra SLC-Off satelit Landsat-7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) path/row 122/64 akuisisi 29 Mei 2013, 1 Agustus 2013, dan 18 September 2013.

(2) Citra satelit Landsat-8 Operational Land Imager (OLI) path/row 122/64 akuisisi 8 Juli 2013, 25 Agustus 2013, dan 10 September 2013.

(3) 251 data titik uji (tanggal survei 15 – 16 Juni 2013) yang digunakan untuk pengukuran akurasi citra terklasifikasi.

Pra-Pengolahan Citra

Koreksi Radiometrik dan Geometrik

(16)

4

Tabel 1. Metadata citra Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8 OLI

Satelit Tanggal akuisisi Waktu akuisisi

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off

Pata tanggal 31 Mei 2003 satelit Landsat-7 ETM+ mengalami kerusakan Scan Line Corrector (SLC). SLC merupakan sebuah alat yang didesain untuk mengisi gap (kekosongan) hasil sampling cermin scan utama yang disebabkan oleh gerak maju satelit. Akibat dari kerusakan SLC ini, dalam setiap satu path/row citra kehilangan data sekitar 22% (Scaramuzza et al., 2004).

Untuk mengisi gap ini, dibutuhkan citra SLC-Off lain dengan tanggal perekaman yang berbeda. Dalam pemilihan citra pengisi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu, (1) gap antara citra utama dan citra pengisi tidak saling menimpa, (2) waktu perekaman antara citra utama dan citra pengisi diupayakan sedekat mungkin, (3) memilih citra pengisi dengan tutupan awan yang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali (USGS, 2004).

Formula yang digunakan untuk mengisi gap piksel yang kosong yaitu (Scaramuzza et al., 2004):

Y≈GX+B ... (1) di mana: G = gain yang digunakan untuk menyesuaikan histogram antara citra

pengisi dan citra utama

B = bias yang digunakan untuk menyesuaikan histogram antara citra pengisi dan citra utama

X = data piksel citra pengisi Y = data piksel citra utama

Gain dan bias masing-masing dihitung dengan formula:

G=σY

(17)

5 untuk menghitung gain dan bias. Ilustrasi moving window dalam metode LLHM dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi moving window dalam metode LLHM (Scaramuzza et al., 2004).

Pada ilustrasi di atas digunakan band 30 meter citra Landsat-7 ETM+ di mana lebar maksimum gap SLC adalah 14 piksel. Lebar window 17 piksel seperti yang ada pada gambar dipilih sesuai dengan lebar window minimum yang diinginkan. Dalam window 17 x 17 piksel ini, data piksel citra pengisi maupun citra utama yang ada di dalamnya dikumpulkan. Lalu dari data piksel yang dikumpulkan tersebut dilakukan pengeluaran piksel yang tidak sesuai (misal piksel awan) dan selanjutnya dilakukan penghitungan nilai gain dan bias. Nilai gain dan bias ini digunakan untuk menghitung nilai piksel yang berada di tengah window. Sehingga misalnya jika terdapat 100 piksel yang perlu diisi maka terdapat pula 100 moving window. Tahapan ini dilakukan hingga gap piksel semuanya terisi.

Penggabungan Band dan Pemotongan (Cropping) Citra

Landsat-7 ETM+ memiliki 8 band sedangkan Landsat-8 OLI memiliki 9 band. Namun karena obyek penelitian adalah habitat bawah air maka hanya beberapa band saja yang akan digunakan terkait daya penetrasinya terhadap badan perairan. Untuk Landsat-7, band-band yang digunakan yaitu band 1 (sinar tampak biru 0,45 – 0,52 µm) dan band 2 (sinar tampak hijau 0,52 – 0,6 µm); sedangkan untuk Landsat-8, band-band yang digunakan yaitu band 2 (sinar tampak biru 0,45

– 0,515 µm) dan band 3 (sinar tampak hijau 0,525 – 0,6 µm).

(18)

6

karena secara visual batas antara perairan dalam dan habitat perairan dangkal tampak jelas. Tujuan utama dari kedua masking tersebut yaitu untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang lebih akurat dengan memperkecil kemungkinan adanya campuran dari piksel daratan dan perairan dalam.

Penggabungan (stacking) band-band ke dalam satu file dimaksudkan agar dalam pengolahan selanjutnya menjadi lebih mudah. Setelah penggabungan band-band tersebut dilakukan, masing-masing citra memiliki tiga band-band yaitu Landsat-7 terdiri dari band 1, band 2, dan band mask; Landsat-8 terdiri dari band 2, band 3, dan band mask. Setelah semua band-band yang dibutuhkan digabungkan maka file gabungan tersebut dipotong (cropping) untuk membatasi daerah penelitian dan mendapatkan daerah yang sama. Semua citra di-cropping menggunakan perangkat lunak ENVI 5.0 dengan metode spatial subset using map (Gambar 3). Batas koordinat kiri atas (upper left) digunakan 672465mE 9368125 mN (SUTM 48) sedangkan batas koordinat kanan bawah (lower right) digunakan 679005mE 9365365mN (SUTM 48). Nilai-nilai batas koordinat di atas merupakan hasil konversi dari lat/lon lokasi penelitian.

Gambar 3. Spatial subset using map ENVI 5.0

Transformasi Lyzenga

Formula yang digunakan dalam transformasi Lyzenga yaitu (Lyzenga, 1978; Green et al., 2000):

depth invariant indexij=ln Li -[(kki

j)ln(Lj)] ... (4)

di mana: Li = radiansi (DN) piksel band hijau

Lj = radiansi (DN) piksel band biru ki

kj = rasio koefisien atenuasi antara band biru dan band hijau

Untuk mencari nilai ki

kj digunakan formula: ki

kj=a+a

2+1 ; a= varb1-varb2

(19)

7 di mana: varb1 = varian ln radiansi (DN) piksel band biru tersampling

varb2 = varian ln radiansi (DN) piksel band hijau tersampling

covarb1b2 = covarian ln radiansi (DN) piksel band biru tersampling

dan band hijau tersampling

Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi tak terselia ISOCLASS (ISOCLASS unsupervised classification) dengan menggunakan perangkat lunak ERMapper 7. Dalam melakukan klasifikasi tak terselia ini digunakan beberapa parameter pembatas yang terdiri dari jumlah maksimum kelas, jumlah minimum piksel setiap kelas, standar deviasi maksimum setiap kelas, dan jarak minimum antar rata-rata kelas. Pada penelitian ini digunakan jumlah maksimum kelas 50 agar pada proses penggabungan kelas ketika melakukan reclass ke dalam empat kelas baru bisa meminimalisir over estimate maupun under estimate terhadap sebaran masing-masing habitat; jumlah minimum piksel setiap kelas 0,01% untuk mengantisipasi adanya suatu cluster piksel yang jumlah anggotanya minimum yaitu hanya terdiri dari dua piksel; standar deviasi maksimum ditentukan berdasarkan nilai hasil transformasi Lyzenga di mana 0,003 untuk Landsat-7 dan 0,001 untuk Landsat-8; serta jarak minimum antar rata-rata kelas 0,01 berdasarkan nilai hasil transformasi Lyzenga. Perbedaan standar deviasi yang digunakan antara Landsat-7 dan Landsat-8 disebabkan oleh jumlah tipe habitat hasil transformasi Lyzenga Landsat-8 yang jauh lebih besar dibanding Landsat-7 (Tabel 8). Selanjutnya dari hasil klasifikasi masing-masing citra yang terdiri dari 50 cluster (kelas) ini akan dikelompokkan ke dalam empat kelas baru yaitu karang hidup, karang mati, pasir, dan lamun.

Pengukuran Akurasi

Akurasi klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari akurasi penghasil (producer accuracy), akurasi pengguna (user accuracy), akurasi keseluruhan (overall accuracy), dan koefisien Kappa (Khat). Penjabaran dari masing-masing akurasi ini yaitu sebagai berikut:

(1) Producer accuracy menunjukkan persen kemungkinan jumlah piksel data referensi memiliki kategori yang sama dengan piksel data klasifikasi citra (Congalton, 1991).

(2) User accuracy menunjukkan persen kemungkinan jumlah piksel data klasifikasi citra memiliki kategori yang sama dengan piksel data referensi (Congalton, 1991).

(3) Overall accuracy menunjukkan keakurasian klasifikasi secara keseluruhan namun dalam perhitungan masih mengabaikan nilai omisi dan komisi masing-masing kategori (Green et al., 2000).

(20)

8

klasifikasi citra sedangkan nilai komisi menunjukkan jumlah piksel data klasifikasi citra yang memiliki kategori berbeda dengan data referensi (Congalton, 1991). Koefisien Kappa bernilai antara 0 sampai 1 (Green et al., 2000). Akurasi akan dianggap baik sekali jika nilai koefisien Kappa > 0,75; nilai antara 0,4 – 0,75 akan dianggap akurasinya sedang, serta nilai < 0,4 akan dianggap akurasinya tidak baik (Maingi et al., 2002).

Perhitungan akurasi klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan matriks klasifikasi pada Tabel 2 (Congalton, 1991; Green et al., 2000; Purwadhi, 2001). Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi

Formula

(21)

9

Uji Statistik

Uji statistik dilakukan untuk membandingkan hasil klasifikasi (dilihat dari dua aspek yaitu overall accuracy dan koefisien Kappa) antara citra Landsat-7 SLC-Off dan citra Landsat-8 sehingga dapat ditarik kesimpulan apakah hasil akurasi tersebut berbeda nyata (signifikan) atau tidak berbeda nyata (tidak signifikan). Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% (α = 0,05).

(22)

10

Secara umum, tahapan-tahapan pengolahan data citra dapat dilihat pada Gambar 4. Tutorial pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 11.

(23)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Citra Asli Landsat-7 SLC-Off dan Landsat-8

Gambar 5 menunjukkan posisi gap (strip) citra Landsat-7 (kiri) sebelum dilakukan pengisian gap dibandingkan dengan citra Landsat-8 (kanan).

Gambar 5. Citra asli Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit RGB432

Citra Landsat-8 pada sebelah kanan yang digunakan sebagai citra pembanding dengan waktu akuisisi berdekatan merupakan citra tanpa kerusakan SLC. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya strip-strip berwarna hitam. Citra pada sebelah kiri merupakan citra Landsat-7 yang mengalami kerusakan SLC sehingga menyebabkan adanya strip-strip berwarna hitam. Strip-strip ini menunjukkan bahwa piksel-piksel yang ada pada lokasi tersebut tidak memiliki nilai atau bernilai nol. Hal ini disebabkan karena pada saat perekaman data, lokasi strip-strip ini tidak terekam oleh sensor satelit. Jumlah piksel gap (strip) citra Landsat-7 pada Gambar 5 disajikan pada Tabel 4.

Landsat-7

29 Mei 2013

1 Agustus 2013

18 September 2013

Landsat-8

8 Juli 2013

25 Agustus 2013

(24)

12

Tabel 4. Jumlah piksel gap citra Landsat-7 untuk lokasi penelitian

Citra utama Citra pengisi 1 Citra pengisi 2

Jumlah piksel

gap % gap

B1 B2 B1 B2

29 Mei 2013 18 Sept 2013 - 6.101 6.171 29,96 30,30 1 Agu 2013 29 Mei 2013 18 Sept 2013 6.245 6.312 30,66 30,99 18 Sept 2013 29 Mei 2013 - 6.215 6.279 30,52 30,83

Rata-rata 6.187 6.254 30,38 30,71

Ket: band 1 (B1), band 2 (B2)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah piksel gap untuk lokasi penelitian adalah sebanyak 6.187 piksel (30,38%) untuk band 1 serta 6.254 piksel (30,71%) untuk band 2. Untuk citra akuisisi 29 Mei 2013 memiliki piksel gap sebanyak 6.101 piksel pada band 1 dan 6.171 piksel pada band 2; untuk citra akuisisi 1 Agustus 2013 memiliki piksel gap sebanyak 6.245 piksel pada band 1 dan 6.312 piksel pada band 2; serta untuk citra akuisisi 18 September 2013 memiliki piksel gap sebanyak 6.215 piksel pada band 1 dan 6.279 piksel pada band 2. Posisi gap piksel band 1 dan band 2 dari ketiga citra akuisisi ini dapat dilihat pada Lampiran 3.

Piksel-piksel gap inilah yang nanti pada proses selanjutnya akan diisi menggunakan data citra lain menggunakan metode localized linear histogram match (LLHM). Contoh perhitungan matematik dari metode LLHM ini disajikan pada Lampiran 4. Piksel gap yang ada pada citra akusisi 29 Mei 2013 diisi menggunakan data piksel citra akuisisi 18 September 2013; pada citra akuisisi 1 Agustus 2013 diisi menggunakan data piksel citra akuisisi 29 Mei 2013 dan akuisisi 18 September 2013; serta pada citra akuisisi 18 September 2013 diisi menggunakan data piksel citra akuisisi 29 Mei 2013. Overlay antara gap citra utama dan gap citra pengisinya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off

(25)

13

Gambar 6. Hasil pengisian gap citra Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit RGB432

Dari hasil pengisian gap citra Landsat-7 (Gambar 6 sebelah kiri) dapat dilihat bahwa strip-strip berwarna hitam yang semula ada pada citra Landsat-7 sebelumnya (Gambar 5 sebelah kiri) sudah tidak tampak lagi. Secara visual pola sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 hasil pengisian gap ini memiliki pola yang hampir sama dengan citra Landsat-8 (Gambar 6 sebelah kanan). Keenam citra inilah yang nanti pada proses selanjutnya akan ditransformasi Lyzenga untuk mengetahui habitat perairan dangkal yang ada pada masing-masing citra akuisisi.

Transformasi Lyzenga

Ketika mencoba memetakan atau memperoleh informasi kuantitatif terkait habitat bawah air, variabel kedalaman perairan secara signifikan mempengaruhi hasil pengukuran menggunakan data citra penginderaan jauh. Oleh karena itu, pada kondisi-kondisi tertentu dapat membingungkan dalam membedakan nilai spektral (misal) antara pasir dan lamun (Green et al., 2000).

Idealnya, untuk mengeliminasi pengaruh kedalaman perairan terhadap nilai reflektansi habitat dasar dibutuhkan pengukuran kedalaman perairan di setiap piksel citra serta informasi tentang karakteristik atenuasi kolom perairan di setiap piksel tersebut (misal konsentrasi bahan organik terlarut) (Mumby et al., 1998). Namun

Landsat-7

29 Mei 2013

1 Agustus 2013

18 September 2013

Landsat-8

8 Juli 2013

25 Agustus 2013

(26)

14

Lyzenga (1978, 1981) melakukan pendekatan berbasis citra untuk mengkompensasi pengaruh variabel kedalaman dalam pemetaan habitat dasar perairan. Pendekatan ini disebut juga transformasi Lyzenga atau koreksi kolom air (water column correction). Metode yang dikembangkan Lyzenga (1978, 1981) ini menggunakan rasio dari koefisien atenuasi antara dua spektral band (ki/kj). Penggunaan rasio ini membatalkan kebutuhan nilai parameter yang tidak diketahui (seperti kedalaman perairan di setiap piksel citra serta informasi tentang karakteristik atenuasi kolom perairan di setiap piksel tersebut). Dalam penelitian ini, nilai koefisien atenuasi masing-masing citra yang digunakan dalam transformasi Lyzenga disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Koefisien atenuasi

Satelit Tanggal akuisisi Koefisien atenuasi

Landsat-7

29 Mei 2013 0,535

1 Agustus 2013 0,453

18 September 2013 0,448

Landsat-8

8 Juli 2013 0,521

25 Agustus 2013 0,515

10 September 2013 0,486

Nilai koefisien atenuasi pada Tabel 5 dihitung menggunakan persamaan 5. Contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5. Dalam perhitungan nilai koefisien atenuasi ini, band-band yang digunakan untuk Landsat-7 yaitu band 1 (0,45 – 0,52 µm) dan band 2 (0,52 – 0,6 µm) sedangkan untuk Landsat-8 menggunakan band 2 (0,45 – 0,515 µm) dan band 3 (0,525 – 0,6 µm). Band 1 Landsat-7 dan band 2 Landsat-8 keduanya merupakan band sinar tampak biru sedangkan band 2 Landsat-7 dan band 3 Landsat-8 keduanya merupakan band sinar tampak hijau (Tabel 6 dan Tabel 7). Alasan penggunaan band-band ini adalah karena memiliki daya penetrasi yang baik terhadap badan perairan sehingga obyek bawah air tampak lebih jelas pada citra. Jensen (2000) melalui hasil pengukurannya terhadap nilai atenuasi air murni akibat absorbsi molekul air menyebutkan bahwa absorbsi molekul air mendominasi pada spektrum ultraviolet (< 0,4 µm) dan inframerah dekat (> 0,58 µm). Hal senada juga dikatakan oleh Lillesand dan Kiefer (1979) bahwa penetrasi cahaya terbaik untuk air murni berada pada kisaran panjang gelombang 0,48 – 0,6 µm.

Tabel 6. Karakteristik panjang gelombang sensor ETM+ satelit Landsat-7

Band Spektrum Panjang Gelombang (µm) Resolusi spasial (m)

(27)

15 Tabel 7. Karakteristik panjang gelombang sensor OLI satelit Landsat-8

Band Spektrum Panjang Gelombang (µm) Resolusi spasial (m)

1 Coastal Aerosol 0,433 -0,453 30

Prosedur penentuan nilai koefisien atenuasi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

(1) Menentukan posisi-posisi piksel habitat pasir terendam pada berbagai kedalaman berdasarkan data survei lapang. Alasan memilih habitat pasir karena selain sangat umum dijumpai serta mudah dikenali secara visual, juga tersebar di berbagai kedalaman.

(2) Mencatat nilai DN (digital number) masing-masing band (band biru dan band hijau) pada posisi yang telah ditentukan pada poin 1.

(3) Menghapus nilai DN yang sama yang ada pada masing-masing band untuk menghindari piksel saturasi (Green et al., 2000).

(4) Menghitung nilai koefisien atenuasi menggunakan persamaan 5.

Melakukan survei lapang dalam hal menentukan posisi-posisi piksel habitat pasir terendam memiliki beberapa keuntungan. Pertama, menghindari men-sampling piksel dengan kedalaman kurang dari satu meter di mana salah satu band (pada penelitian ini adalah band biru yang memiliki panjang gelombang yang lebih pendek) memiliki nilai saturasi yang tinggi sehingga variasi DN-nya kecil sedangkan nilai DN band pasangannya (band hijau) bervariasi secara signifikan. Hal ini mengakibatkan nilai koefisien atenuasi yang dihasilkan mendekati nol. Menurut Green et al. (2000), nilai koefisien mendekati nol dianggap tidak valid. Kedua, menghindari men-sampling daerah yang terlalu dalam di mana salah satu band (pada penelitian ini adalah band hijau dengan panjang gelombang yang lebih panjang) tidak mampu lagi menembus badan perairan sehingga pada piksel tersebut hanya menghasilkan satu nilai DN saja yang berasal dari band biru. Kedua hal di atas didukung oleh pernyataan Green et al. (2000) bahwa nilai DN piksel kedua band yang digunakan untuk mencari nilai koefisien atenuasi mestinya menunjukkan terjadinya atenuasi.

(28)

16

(29)

17 Visualisasi hasil transformasi Lyzenga dapat dilihat pada Gambar 8. Color table rainbow 8-bit (ERMapper) digunakan dalam pewarnaan hasil transformasi dengan histogram enhancement 99% input aktual.

Gambar 8. Hasil transformasi Lyzenga Landsat-7 (kiri) dan Landsat-8 (kanan) Berdasarkan hasil survei lapang, secara umum interpretasi visual pada Gambar 8 yaitu, (1) warna merah mewakili habitat pasir di mana pada saat surut terendah kadangkala terekspos ke udara; (2) warna orange mewakili habitat lamun; (3) warna kuning mewakili habitat pasir yang selalu terendam setiap saat; (4) warna hijau mewakili karang mati; (5) warna biru dan ungu mewakili habitat karang hidup; (6) warna hitam mewakili darat dan perairan dalam setelah di-masking.

Setiap citra pada Gambar 8 terdiri dari 9.024 piksel atau seluas 8.121.600 m2. Hal ini disebabkan piksel perairan dalam dan darat telah di-masking sebelumnya sehingga yang tersisa hanyalah piksel habitat perairan dangkal.

Histogram frekuensi dari hasil transformasi Lyzenga masing-masing citra dapat dilihat pada Lampiran 6. Jumlah puncak yang ada pada setiap histogram frekuensi tersebut mewakili jumlah habitat berbeda yang ada di lapang berdasarkan transformasi Lyzenga nilai reflektansi hasil perekaman sensor satelit. Jumlah habitat berbeda masing-masing citra berdasarkan nilai reflektansi tersebut disajikan pada Tabel 8.

Landsat-7

29 Mei 2013

1 Agustus 2013

18 September 2013

Landsat-8

8 Juli 2013

25 Agustus 2013

(30)

18

Tabel 8. Jumlah habitat berbeda hasil transformasi Lyzenga

Satelit Tanggal akuisisi Tipe habitat hasil transformasi Lyzenga

Jumlah Rentang

Landsat-7

29 Mei 2013 1.287 1,385 - 2,245 1 Agustus 2013 787 1,959 - 2,578 18 September 2013 1.427 1,966 - 2,762

Landsat-8

8 Juli 2013 18.149 4,188 - 4,622 25 Agustus 2013 18.955 4,291 - 4,790 10 September 2013 19.297 4,571 - 4,902

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah nilai berbeda pada citra satelit Landsat-8 jauh lebih besar dibanding pada citra satelit Landsat-7. Hal ini disebabkan karena satelit Landsat-8 memiliki resolusi radiometrik 12-bit (merekam dalam 4.096 tingkat keabuan mulai dari 0 hingga 4.095) sedangkan Landsat-7 memiliki resolusi radiometrik 8-bit (hanya merekam dalam 256 tingkat keabuan mulai dari 0 hingga 255). Oleh karena itu sensor satelit Landsat-8 lebih peka dalam membedakan reflektansi obyek.

Jumlah habitat berbeda yang ada pada Tabel 8 selanjutnya akan diklasifikasi menggunakan metode klasifikasi tak terselia (unsupervised classification) ke dalam empat kategori habitat yaitu karang hidup, karang mati, pasir, dan lamun.

Klasifikasi Citra

Hasil klasifikasi masing-masing citra dapat dilihat pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14.

(31)

19

Gambar 10. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 1 Agustus 2013

(32)

20

Gambar 12. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013

(33)

21

Gambar 14. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 10 September 2013

Secara visual hasil klasifikasi keenam citra (Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14) umumnya relatif sama. Dapat dilihat bahwa habitat karang (baik karang mati maupun karang hidup) umumnya ditemukan di daerah sekitar goba dan daerah terluar gosong terumbu (reef flat dan fore reef); sedangkan habitat pasir dan lamun umumnya ditemukan di dataran terumbu (reef flat).

Dari hasil survei lapang, jenis tutupan karang di daerah terluar didominasi oleh jenis karang dengan struktur bercabang sedangkan di daerah goba didominasi oleh jenis karang berukuran besar terutama struktur masif. Dominasi karang dengan struktur bercabang di daerah terluar terutama disebabkan oleh faktor pergerakan air seperti ombak dan arus. Hopley (2011) mengatakan bahwa daerah yang pergerakan airnya dinamis merupakan daerah yang disukai oleh karang untuk tumbuh terkait sirkulasi airnya yang baik, airnya yang jernih, kayanya sumber makanan dan nutrien, serta tingkat sedimentasi yang rendah. Pada daerah ini, karang masif yang memiliki laju pertumbuhan yang lambat (1 cm/tahun) akan kalah bersaing ruang dengan karang bercabang yang memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat (30 cm/tahun) (Hopley, 2011).

(34)

22

Pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14 dapat dilihat juga bahwa makin ke arah dataran terumbu, sebaran karang hidup akan selalu diikuti oleh karang mati. Karang mati yang ada di dekat daerah terluar umumnya merupakan patahan-patahan karang hidup akibat hempasan ombak di mana pada kondisi lingkungan ekstrem (seperti pengeksposan ke udara bebas dan tingginya paparan sinar matahari) tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh sehingga akhirnya mati dan membentuk rubble. Karang mati yang ada di dekat daerah goba umumnya merupakan jenis karang berukuran besar yang telah mati dan ditumbuhi makroalga. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh stres lingkungan akibat kekeruhan, sedimentsi, polusi, serta perubahan kondisi perairan seperti salinitas dan suhu (Nybakken dan Bertness, 2005; Castro dan Huber, 2005).

Selanjutnya pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14 untuk habitat pasir dan lamun keduanya mendominasi dataran terumbu (reef flat). Kedalaman di daerah ini umumnya relatif dangkal bahkan pada saat surut terendah terdapat beberapa daerah yang terekspos ke udara. Tumbuhnya lamun di daerah ini terutama disebabkan, (1) memiliki habitat dasar pasir sehingga memudahkan bagi lamun untuk menancapkan akarnya, (2) kedalaman air yang dangkal sehingga baik sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis, serta (3) terlindungi dari energi gelombang dan arus yang kuat sehingga akar lamun tetap menancap di substratnya (Nybakken dan Bertness, 2005; Hopley, 2011).

Informasi tentang luas jenis tutupan habitat masing-masing citra dirangkum pada Tabel 9.

Tabel 9. Luas tutupan jenis habitat masing-masing citra

Satelit Tanggal akuisisi

29 Mei 2013 1.224.900 2.659.500 2.029.500 2.207.700 1 Agustus 2013 1.281.600 2.604.600 2.076.300 2.159.100 18 September 2013 1.208.700 2.561.400 2.181.600 2.169.900

Landsat-8

8 Juli 2013 1.278.000 2.513.700 2.143.800 2.186.100 25 Agustus 2013 1.208.700 2.502.900 2.188.800 2.221.200 10 September 2013 1.222.200 2.623.500 2.131.200 2.144.700 Rata-rata 1.237.350 2.577.600 2.125.200 2.181.450

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa luas tutupan habitat perairan dangkal Karang Lebar pada pertengahan tahun 2013 didominasi oleh habitat karang mati yaitu rata-rata seluas 2.577.600 m2, diikuti habitat lamun seluas 2.181.450 m2, dan habitat pasir seluas 2.125.200 m2. Habitat karang hidup merupakan habitat

dengan rata-rata luas tutupan terkecil yaitu hanya memiliki luas 1.237.400 m2 atau sekitar seperdua luas habitat karang mati.

Pengukuran Akurasi

(35)

23

Tabel 10. Producer accuracy, user accuracy, overall accuracy (OA), dan koefisien Kappa (Khat)

Satelit Tanggal akuisisi

Producer accuracy (%) User accuracy (%)

(36)

24

Sumber: Diolah dari Tabel 10

Gambar 15. Nilai producer accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal Gambar 15 menyajikan grafik producer accuracy empat tipe habitat berbeda hasil ekstraksi enam citra. Secara umum, dari Tabel 10 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa hampir setiap citra memiliki nilai producer accuracy tertinggi pada kategori karang mati kecuali citra akuisisi 1 Agustus 2013 dan 18 September 2013 di mana nilai tertinggi dimiliki oleh kategori lamun. Hal ini kemungkinan disebabkan metode klasifikasi yang digunakan sehingga citra akuisisi 1 Agustus 2013 dan 18 September 2013 kurang terklasifikasi dengan baik (Green et al., 2000). Namun demikian jika dilihat dari nilai total rata-rata pada Tabel 10, kategori karang mati tetap memiliki nilai tertinggi yaitu 60,08%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 60,08% dari data referensi karang mati hasil survei akan selalu terkonfirmasi secara tepat sebagai karang mati pada hasil klasifikasi citra (Congalton, 1991).

Tabel 10 dan Gambar 15 juga menunjukkan bahwa setiap citra tanpa kecuali memiliki nilai producer accuracy terendah pada kategori karang hidup dengan nilai total rata-rata sebesar 27,78%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 27,78% dari data referensi karang hidup hasil survei yang akan selalu terkonfirmasi secara tepat sebagai karang hidup pada hasil klasifikasi citra (Congalton, 1991).

Jika membandingkan nilai rata-rata producer accuracy masing-masing kategori habitat (Tabel 10 dan Gambar 15) antara Landsat-7 dan Landsat-8 maka dapat disimpulkan bahwa, (1) untuk karang hidup, Landsat-8 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 11,11%), (2) untuk karang mati, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 1,65%), (3) untuk pasir, Landsat-8 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 1,55%), dan (4) untuk lamun, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 16,67%).

Sumber: Diolah dari Tabel 10

Gambar 16. Nilai user accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal

(37)

25 Gambar 16 menyajikan grafik user accuracy empat tipe habitat berbeda hasil ekstraksi enam citra. Secara umum, dari Tabel 10 dan Gambar 16 dapat dilihat bahwa setiap citra memiliki nilai user accuracy tertinggi pada kategori pasir dengan nilai total rata-rata 71,61%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 71,61% dari data piksel kategori pasir hasil klasifikasi citra akan terkonfirmasi secara tepat di lapang sebagai pasir (Congalton, 1991).

Tabel 10 dan Gambar 16 juga menunjukkan bahwa sama halnya dengan producer accuracy, kategori karang hidup pada setiap citra juga memiliki nilai user accuracy terendah dengan nilai total rata-rata sebesar 9,13%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata hanya sekitar 9,13% dari data piksel kategori karang hidup hasil klasifikasi citra yang akan selalu terkonfirmasi secara tepat di lapang sebagai karang hidup (Congalton, 1991).

Jika membandingkan nilai rata-rata user accuracy masing-masing kategori habitat (Tabel 10 dan Gambar 16) antara Landsat-7 dan Landsat-8 maka dapat disimpulkan bahwa, (1) untuk karang hidup, Landsat-8 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 3,21%), (2) untuk karang mati, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 0,57%), (3) untuk pasir, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 5,30%), dan (4) untuk lamun, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 4,12%).

Sumber: Diolah dari Tabel 10

Gambar 17. Nilai overall accuracy (OA) dan koefisien Kappa (Khat) untuk setiap citra Landsat-7 dan Landsat-8

Gambar 18 menyajikan grafik overall accuracy dan koefisien Kappa hasil ekstraksi enam citra. Nilai overall accuracy dan koefisien Kappa, keduanya mewakili akurasi citra secara umum (Congalton, 1991; Green et al., 2000). Meskipun demikian, antara overall accuracy dan koefisien Kappa memiliki sedikit perbedaan. Dalam perhitungannya, overall accuracy mengabaikan nilai omisi dan komisi masing-masing kategori habitat sedangkan koefisien Kappa mengikutsertakan nilai-nilai omisi dan komisi tersebut. Oleh karena itu, nilai koefisien Kappa lebih representatif untuk digunakan dalam membandingkan keakurasian antar citra (Green et al., 2000).

Dari Gambar 18 dan Tabel 10 dapat dilihat pola bahwa jika nilai overall accuracy-nya tinggi maka nilai koefisien Kappa-nya akan relatif tinggi pula. Dari Gambar 18 dan Tabel 10 dapat dilihat juga bahwa Landsat-7 memiliki nilai rata-rata overall accuracy dan koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding Landsat-8. Nilai rata-rata overall accuracy dan koefisien Kappa untuk Landsat-7 masing-masing sebesar 55,11% dan 0,34 sedangkan untuk Landsat-8 masing-masing-masing-masing

(38)

26

sebesar 53,65% dan 0,30. Menurut Maingi et al. (2002), kedua koefisien Kappa (0,34 dan 0,30) ini tergolong dalam akurasi kategori rendah (< 0,4), artinya untuk Landsat-7 hanya menghindari error klasifikasi sebesar 34% dan untuk Landsat-8 sebesar 30% (Green et al., 2000).

Secara teknis Landsat-8 memiliki koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding Landsat-7 mengingat bahwa, (1) citra Landsat-8 merupakan citra yang bebas dari kerusakan instrumen SLC seperti yang terjadi pada citra Landsat-7, serta (2) Landsat-8 memiliki resolusi radiometrik yang lebih tinggi dibanding Landsat-7 sehingga lebih peka dalam membedakan reflektansi obyek. Namun jika dilihat dari hasil pengolahan data citra yang digunakan, umumnya citra Landsat-7 (terutama citra akuisisi 1 Agustus 2013 dan 18 September 2013) memiliki koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding semua citra Landsat-8. Hal ini bisa disebabkan oleh, pertama, metode klasifikasi yang digunakan yaitu klasifikasi tak terselia yang merupakan metode klasifikasi sederhana dalam artian hanya berdasarkan perhitungan secara statistik tanpa adanya training area serta proses tambahan seperti contextual editing. Green et al. (2000) dan Benfield et al. (2007) mengatakan bahwa penyertaan contextual editing dalam proses klasifikasi citra dapat meningkatkan akurasi pemetaan habitat bawah air secara signifikan berkisar dari 6 – 17%. Kedua, nilai-nilai parameter (jumlah maksimum kelas, jumlah minimum piksel setiap kelas, standar deviasi maksimum setiap kelas, dan jarak minimum antar rata-rata kelas) yang digunakan dalam klasifikasi tak terselia adalah seragam sehingga perbedaan pola sebaran nilai transformasi Lyzenga yang dimiliki setiap citra diabaikan. Ketiga, data titik uji yang digunakan relatif sedikit dan memiliki jumlah yang tidak sama (pada penelitian ini digunakan 9 titik uji untuk karang hidup, 81 titik uji untuk karang mati, 129 titik uji untuk pasir, dan 32 titik uji untuk lamun). Congalton (1991) menyarankan minimal 50 titik uji untuk masing-masing kelas habitat. Keempat, dalam proses pemilihan titik uji dilakukan secara acak sehingga ada kemungkinan data titik uji yang digunakan kurang mewakili daerah penelitian (Congalton, 1991). Kelima, adanya kemungkinan bahwa data titik uji yang digunakan tersebut kurang akurat yang disebabkan oleh kesalahan pengamat pada saat survei lapang dalam menentukan jenis tutupan habitat pada dimensi 30 m x 30 m.

Uji Statistik

Hasil uji-t sampel bebas dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil uji-t sampel bebas pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)

Jenis perbandingan Landsat-7 dan Landsat-8

Hasil uji-t

p (sig. two-tailed) Keputusan

Overall accuracy 0,464 NS

Koefisien Kappa 0,209 NS

Sumber: Lampiran 9 Ket: NS (tidak berbeda nyata)

(39)

27 diambil adalah menerima H0 bahwa overall accuracy dan koefisien Kappa

Landsat-7 sama dengan overall accuracy dan koefisien Kappa Landsat-8. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan instrumen SLC yang terjadi pada satelit Landsat-7 ETM+ tidak mempengaruhi kualitas citra hasil pengisian gap dalam memetakan habitat perairan dangkal. Dengan kata lain, citra Landsat-7 masih dapat digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal.

Selain uji-t di atas, juga dilakukan uji-z untuk memastikan keputusan yang diambil. Hasil uji-z dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil uji-z pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)

Jenis perbandingan Z-skor Keputusan

L7 29 Mei 2013 Sumber: Diolah dari Lampiran 8

Ket: NS (tidak berbeda nyata)

Hasil keputusan yang diambil oleh uji-z pada Tabel 12 tidak berbeda dari hasil keputusan uji-t sebelumnya. Dari semua kombinasi perbandingan yang mungkin (baik antara Landsat-7 dan Landsat-8; antara Landsat-7 itu sendiri; serta antara Landsat-8 itu sendiri) didapatkan keputusan yang sama yaitu tidak signifikan (z-skor < 1,96) pada selang kepercayaan 95%. Oleh karena itu, H0 diterima bahwa

koefisien Kappa Landsat-7 sama dengan koefisien Kappa Landsat-8. Dengan demikian, hal ini memperkuat keputusan yang diambil dari hasil uji-t sebelumnya yang mengatakan bahwa citra Landsat-7 masih dapat digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal.

(40)

28

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada penelitian ini telah dilakukan pengisian gap citra Landsat-7 SLC-Off menggunakan metode localized linear histogram match. Dari hasil pengukuran akurasi citra Landsat-7 hasil pengisian gap ini didapatkan nilai rata-rata overall accuracy sebesar 55,11% dan koefisien Kappa sebesar 0,34. Nilai ini tidak jauh berbeda dari hasil pengukuran akurasi citra Landsat-8 di mana didapatkan nilai rata-rata overall accuracy sebesar 53,65% dan koefisien Kappa sebesar 0,30. Dari hasil uji statistik terhadap hasil pengukuran akurasi ini, baik uji-t sampel bebas maupun uji-z, keduanya menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 95%. Sehingga disimpulkan bahwa kerusakan instrumen Scan Line Corrector (SLC) pada satelit Landsat-7 yang menyebabkan setiap satu path/row citra kehilangan data sekitar 22% (dan untuk daerah penelitian sekitar 30%) tidak mempengaruhi secara nyata (signifikan) terhadap akurasi hasil pemetaan habitat perairan dangkal di perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Oleh karena itu, citra satelit Landsat-7 SLC-Off masih dapat untuk digunakan bersama-sama dengan citra satelit Landsat-8 dalam pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang.

Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:

(1) Metode klasifikasi citra sebaiknya digunakan metode klasifikasi yang lebih baik misal klasifikasi terselia (supervised classification) dengan menyertakan contextual editing sehingga peta klasifikasi yang dihasilkan bisa lebih akurat. (2) Dalam hal pengukuran akurasi hasil klasifikasi citra perlu dilakukan penentuan

dan pengambilan titik uji yang lebih banyak mewakili daerah penelitian serta diupayakan jumlah titik uji masing-masing habitat terklasifikasi seragam. (3) Dalam penentuan jenis tutupan habitat selama di lapang sebaiknya dilakukan

secara lebih teliti lagi mengingat jarang ditemukannya suatu daerah dengan dimensi 30 m x 30 m yang murni hanya terdiri dari satu jenis habitat tertentu saja.

DAFTAR PUSTAKA

Bailey, G.B. 2004. Evaluation of ETM+ Gap-filled SLC-Off Data for Geologic Mapping in Semi-Arid Terrain. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 24 h.

(41)

29 Castro, P., dan M.E. Huber. 2005. Marine Biology. McGraw-Hill Higher Education.

Boston. xii + 452 h.

Cesar, H.J.S, L. Burke, dan L. Pet-Soede. 2003. The Economics of Worldwide Coral Reef Degradation. Cesar Environmental Economics Consulting. Arnhem, Netherlands. 23 h.

Congalton, R.G. 1991. A review of assessing the accuracy of classifications of remotely sensed data. Remote Sensing of Environment. 37:35-46.

Congalton, R.G., R.G. Oderwald, dan R.A. Mead. 1983. Assessing Landsat Classification Accuracy Using Discrete Multivariate Analysis Statistical Techniques. PERS. 49(12):1671-1678.

Dewitz, J. 2004. Assessment of Landsat 7 ETM+ SLC-off Gap-filled Data for Impervious Surface and Canopy Cover Estimation. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 5 h.

Green, E.P., P.J. Mumby, C.D. Clark, dan A.J. Edwards. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coaltal Management. UNESCO Publishing. Paris. 316 h.

Hopley, D. (Ed.). 2011. Encyclopedia of Modern Coral Reefs. Springer. Netherlands. 1205 h.

Jensen, J.R. 2000. Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource Perspective. Prentice Hall. New Jersey. xvi + 544 h.

Kutcher, A.D., D.L.B. Jupp, R. Claasen, dan W. Bour. 1986. Coral Reef Remote Sensing Application. Regional Seminar on the Application of Remote Sensing Techniques to Coastal Zone Management and Environmental Nonitoring. Dhaka, Bangladesh.

Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Sons. New York. xii + 612 h.

Lyzenga, D.R. 1978. Passive remote sensing techniques for mapping water depth and bottom features. Applied Optics. 17(3):379-383.

Lyzenga, D.R. 1981. Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameters in shallow water using aircraft and Landsat data. International Journal of Remote Sensing. 2(1):71-82.

Maingi, J.K., S.E. Marsh, W.G. Kepner, dan C.M. Edmonds. 2002. An Accuracy Assessment of 1992 Landsat-MSS Derived Land Cover for the Upper San Pedro Watershed (U.S./Mexico). United States Environmental Protection Agency. Las Vegas, Nevada. v + 21 h.

Maxwell, S. 2004. Assessment of Landsat 7 ETM+ SLC-off Data for an Agricultural Crop Type Mapping Application. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 9 h.

Mumby, P.J., C.D. Clark, E.P. Green, dan A.J. Edwards. 1998. Benefits of water column correction and contextual editing for mapping coral reefs. International Journal of Remote Sensing. 19(1):203-210.

NASA. Landsat 7 Science Data Users Handbook.

http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/pdfs/Landsat7_Handbook.pdf. [9 Mei 2013]

Nybakken, J.W., dan M.D. Bertness. 2005. Marine Biology: An Ecological Approach. Pearson Education. San Fransisco, California. xi + 579 h.

(42)

30

Scaramuzza, P., Mieijevic, dan G. Chander. 2004. SLC Gap-Filled Products Phase One Methodology.

http://landsat.usgs.gov/documents/SLC_Gap_Fill_Methodology.pdf

Sukarno, R. 1995. Ekosistem Terumbu Karang di Indonesia, Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi LIPI. Jakarta, Indonesia.

Tappan, G., dan M. Cushing. 2004. Use of SLC-Off Landsat Image Data for Monitoring Land Use/Land Cover Trends in West Africa. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 11 h.

USGS. 2004. SLC-Off Gap-Filled Products: Gap-Fill Algorithm Methodology. http://landsat.usgs.gov/documents/L7SLCGapFilledMethod.pdf

USGS. 2013a. Landsat Missions. http://landsat.usgs.gov [9 Mei 2013]

(43)

31 Lampiran 1 Formula yang digunakan dalam perhitungan z-skor (uji-z)

zAB= |k_hatA-k_hatB|

var_kA+var_kB

var_k=1 n(

po(1-po) (1-pc)2 +

2(1-po)(2popc-a1)

(1-pc)3 +

(1-po)2(a2-4pc2)

(1-pc)4 )

pc=ki=j=1(nn2i.×n.j)

a1=nij(ni.+n.j) k

i=j=1

n2

a2=∑ ∑

nij k

j=1 (ni.+n.j)2 k

i=1

n2

di mana: zAB = z-skor

k_hatA = koefisien Kappa matriks klasifikasi A

k_hatB = koefisien Kappa matriks klasifikasi B

var_kA = varian koefisien Kappa matriks klasifikasi A

var_kB = varian koefisien Kappa matriks klasifikasi B

n = jumlah total data referensi

po = overall accuracy

pc = chance agreement

k = jumlah kolom atau jumlah baris

ni. = jumlah total kolom ke-i

n.j = jumlah total baris ke-j

(44)

32

Lampiran 2 Hipotesis penelitian dan pedoman pengambilan keputusan untuk uji-t sampel bebas dan uji-z

Hipotesis penelitian untuk uji-t sampel overall accuracy yaitu: H0 : po L7 = po L8

H1 : poL7 ≠ po L8

Hipotesis penelitian untuk uji-t sampel koefisien Kappa yaitu: H0 : k_hat L7 = k_hat L8

H1 : k_hat L7 ≠ k_hat L8

Hipotesis penelitian untuk uji-z yaitu: H0 : (k_hat L7 - k_hat L8) = 0

H1 : (k_hat L7 - k_hat L8) ≠ 0

Pedoman pengambilan keputusan uji-t yaitu:

1. H0 diterima jika nilai p sig (two-tailed) > α (0,05) atau nilai t-hitung < t-tabel

2. H0 ditolak jika nilai p sig (two-tailed) < α (0,05) atau nilai t-hitung > t-tabel

Pedoman pengambilan keputusan uji-z yaitu: 1. H0 diterima jika nilai z-skor < z-tabelα/2 (1,96)

(45)

33

29mei2013_band1 (6101 piksel gap) 18sept2013_band1 29mei2013_band1_gapfill

29mei2013_band2 (6171 piksel gap) 18sept2013_band2 29mei2013_band2_gapfill

1agu2013_band1 (6245 piksel gap) 29mei2013_band1_gapfill 1agu2013_band1_gapfill

1agu2013_band2 (6312 piksel gap) 29mei2013_band1_gapfill 1agu2013_band2_gapfill

18sept2013_band1 (6215 piksel gap) 29mei2013_band1 18sept2013_band1_gapfill

18sept2013_band2 (6279 piksel gap) 29mei2013_band2 18sept2013_band2_gapfill

*Layer Merah merupakan Layer Citra Utama sedangkan Layer Biru merupakan Layer Citra Pengisi

(46)

34

Lampiran 4 Contoh perhitungan nilai gap citra utama menggunakan metode locaIized linear histogram match (LLHM)

band 1 citra akuisisi 29 Mei 2013 (citra utama)

band 1 citra akuisisi 18 Sept 2013 (citra pengisi)

band 1 citra akuisisi 29 Mei 2013 (hasil pengisian gap)

125 126 127 129 130 126 126 127 126 129 136 140 147 153 156 147 133 124 125 124 124

122 123 125 126 126 124 121 121 122 124 131 140 145 150 150 140 128 124 126 122 124

129 125 124 123 122 122 120 121 122 122 125 133 145 144 143 135 127 126 126 125 129

132 130 125 121 121 119 120 120 121 122 129 137 142 146 142 132 129 126 127 125 132

132 130 124 120 123 118 121 120 120 129 137 144 148 151 143 133 132 132 131 130 131

123 120 116 119 122 120 119 123 125 132 148 149 152 148 140 132 130 129 133 132 133

118 117 118 119 119 121 118 125 125 138 142 152 152 143 136 128 128 131 133 136 137

119 117 117 120 118 118 120 123 126 135 148 157 153 143 134 131 126 131 141 145 143

118 119 121 121 118 117 120 123 129 144 152 156 149 137 129 128 133 137 149 150 150

120 119 118 119 117 121 124 129 139 147 145 139 137 131 132 130 133 144 151 149 152

119 118 119 121 120 124 131 137 136 135 135 134 134 135 134 138 144 143 146 146 149

120 120 122 121 123 126 137 143 138 136 137 139 142 145 147 143 137 140 137 141 145

123 127 129 127 127 134 143 147 150 143 148 147 147 149 147 141 134 131 131 131 141

130 135 134 127 130 138 149 151 146 147 150 148 144 146 150 143 137 129 126 125 134

152 155 151 148 150 147 140 141 152 147 137 127 124 126 132

135 136 148 152 148 132 124 128 135

126 130

(47)

35

Contoh perhitungan nilai gap piksel citra utama:

1) Tentukan common pixels yang ada pada citra utama dan citra pengisi. Common pixels merupakan piksel-piksel yang tidak bernilai null pada hasil overlay gap antara citra utama dengan citra pengisi.

2) Tentukan lebar window (dimulai dari 3x3, 5x5, 7x7, dst) di sekitar piksel sampai didapatkan jumlah common pixels mendekati 50% dari jumlah total piksel window.

digital number hasil pengisan gap

85 86 87 90 91 87 87 84 85 84 92 97109 121 122 11196 85 83 83 85

130 126 126 127 126 129 136 140 147 153 156 147 133 124 125 124 124

140 145 150 150 140 128 124 126 122 124

126 125 129

119 118 119 121 120

120 120 122 121 123 126 137 143 138 136 137 139

123 127 129 127 127 134 143 147 150 143 148 147 147 149 147 141 134 131

130 135 134 127 130 138 149 151 146 147 150 148 144 146 150 143 137 129 126 125 134

152 155 151 148 150 147 140 141 152 147 137 127 124 126 132

135 136 148 152 148 132 124 128 135

126 130

(48)

36

Berdasarkan gambar di atas didapatkan:

Window Size Σ total piksel Σ Common Pixels % Common Pixels

3x3 9 3 33,33%

Karena ukuran window 9x9 memiliki nilai % common pixels mendekati 50% maka ukuran window ini akan digunakan dalam proses selanjutnya.

3) Hitung nilai rata-rata (µ) dan standar deviasi (σ) dari common pixels ukuran window 9x9 pada masing-masing citra utama dan citra pengisi.

4) Hitung nilai gain dan bias.

gain=7,21874,9054 =1,4716

Jika gain yang didapatkan < 13 atau > 3 maka digunakan gain = 1. Oleh karena 1

3 < 1,4716 < 3 maka nilai gain ini akan tetap digunakan.

bias=112,7879-146(1,4716)=-102,0657

104 118 118 111 110 113 115 116 112

113 120 121 117 117 120 115 112 109

118 123 124 116 119 122 114 105 106

common pixels citra utama (9x9)

μutama=112,7879

σutama=7,2187

137 143 138 136 137 139

143 147 150 143 148 147 147 149 147

149 151 146 147 150 148 144 146 150

152 155 151 148 150 147 140 141 152

(49)

37 Lampiran 5 Contoh perhitungan nilai koefisien atenuasi (digunakan data citra 8

Juli 2013)

(50)

38

Lampiran 6 Histogram frekuensi hasil transformasi Lyzenga

Landsat-7 Landsat-8

29 Mei 2013 8 Juli 2013

1 Agustus 2013 25 Agustus 2013

(51)

39 Lampiran 7 Contoh perhitungan akurasi klasifikasi (digunakan matriks klasifikasi

8 Juli 2013)

1) Contoh perhitungan kategori karang hidup

Total data referensi kategori karang hidup=3+5+1+0=9 Total data citra kategori karang hidup=3+18+9+0=30

Komisi karang hidup=30-3=27 Omisi karang hidup=9-3=6

Producer accuracy karang hidup=39 ×100%=33,33%

User accuracykarang hidup=30 ×100%=10,00%3

2) Contoh perhitungan overall accuracy, error, dan koefisien Kappa

Overall accuracy karang hidup=3+47+70+15251 ×100%=53,78%

Error=251- 3+47+70+15251 ×100%=46,22%

Koefisien Kappa=(251 3+47+70+15)-( 30×9 + 78×81 + 99×129 + 44×32)

2512-( 30×9 + 78×81 + 99×129 + 44×32) =0,31

Data referensi Data klasifikasi citra Karang

hidup

Karang

mati Pasir Lamun Total Komisi Karang hidup 3 18 9 0 30 27

Karang mati 5 47 26 0 78 31

Pasir 1 11 70 17 99 29

Lamun 0 5 24 15 44 29

Total 9 81 129 32 251 116 Omisi 6 34 59 17 116 Producer accuracy (%) 33,33 58,02 54,26 46,88

User accuracy (%) 10,00 60,26 70,71 34,09 Overall accuracy (%) 53,78

(52)

40

Lampiran 8 Matriks klasifikasi

(53)

41 Lampiran 9 Hasil uji-t sampel bebas (overall accuracy dan koefisien Kappa)

Group Statistics

Satelit N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Overall accuracy Landsat-7 3 55.1129 2.56139 1.47882 Landsat-8 3 53.6521 1.79651 1.03722

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

t df Sig.

(2-Koefisien Kappa Landsat-7 3 33.8005 3.49876 2.02001 Landsat-8 3 30.2030 2.26804 1.30945

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

(54)

42

Lampiran 10 Contoh perhitungan uji-z antara matriks klasifikasi Landsat-7 akuisisi 29 Mei 2013 (atas) dan Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 (bawah)

Matriks klasifikasi A Data referensi

Data klasifikasi citra Karang hidup

Data klasifikasi citra Karang hidup

1) Perhitungan matriks klasifikasi A

k_hat=(251 2+51+61+17 )-(25×9 + 86×81 + 87×129 + 53×32 )

2512-(25×9 + 86×81 + 87×129 + 53×32 ) =0,29775

po=2+51+61+17251 =0,52191

pc=(25×9 + 86×81 + 87×129 + 53×32 )

var_k=2511 0,52191 1-0,521911-0,319202 +2 1-0,52191 2×0,52191×0,31920-0,368341-0,319203 + 1-0,5219121-0,31920(0,49095-4×0,319204 2) =0,00207

2) Perhitungan matriks klasifikasi B

k_hat=(251 3+47+70+15 )-(30×9 + 78×81 + 99×129 + 44×32 )

2512-(30×9 + 78×81 + 99×129 + 44×32 ) =0,31060

(55)

43

pc=(30×9 + 78×81 + 99×129 + 44×32 )

2512 =0,32963

a1=(3 30+9 +47 78+81 +70 99+129 +15 44+322512 )=0,39190

a2= 1

2513

(

3 30+9 2+18 30+81 2+9 30+129 2+0 30+322+ 5 78+9 2+47 78+81 2+26 78+129 2+0 78+322+ 1 99+9 2+11 99+81 2+70 99+129 2+17 99+322+

0 44+9 2+5 44+812+24 44+1292+15 44+32 2

)

=0,50437

var_k=2511 0,53785 1-0,537851-0,329632 +2 1-0,53785 2×0,53785×0,32963-0,391901-0,329633 + 1-0,5378521-0,32963(0,50437-4×0,329634 2) =0,00204

3) Perhitungan z-skor

zAB= |0,29775-0,31060|

√0,00207+0,00204=0,200

4) Pengambilan keputusan

Oleh karena 0,200 < 1,96 maka H0 diterima bahwa koefisien Kappa Landsat-7

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu
Tabel 1. Metadata citra Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8 OLI
Gambar 3. Spatial subset using map ENVI 5.0
Tabel 2. Matriks klasifikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Unsworth (2008) melakukan penelitian mengenai tingkat konektivitas antara komunitas ikan di lamun dengan habitat mangrove dan terumbu karang di perairan Taman Nasional

Berdasarkan ciri kelompok tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan habitat pada ekosistem terumbu karang adalah untuk ikan

Berdasarkan ciri kelompok tersebut di- atas maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan habitat pada ekosistem terumbu karang adalah

Adapun tujuan spesifik dari penelitian ini yaitu memetakan habitat perairan dangkal dari citra satelit resolusi menengah dengan teknik klasifikasi berbasis piksel dan melakukan