MISKIN DI PULAU JAWA
R.A. LEISA TRIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
R.A. LEISA TRIANA. The Influence of Rice for the Poor and Unconditional Direct Cash Transfer Subsidies to Telecommunication and Tobacco Expenditure of Poor Household in Java. Under direction of SRI HARTOYO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Consumption pattern is one of social welfare indicator. Advances in information and telecommunication technology may influence consumption behavior of household including poor household. Tobacco expenditure was the bigger one commodity of poor consumption. The objective of this paper was to analyze consumption behavior of telecommunication and tobacco of poor household in Java during 2008-2010 and the influence of rice for the poor and unconditional direct cash transfer subsidies for poor consumption. National Socio-Economic Survey Panel 2008-2010 data of BPS-Statistic Indonesia were used in this study. A descriptive analysis was applied to describe expenditure structure and an econometric analysis of Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) was applied to identify telecommunication and tobacco demand. The study result were: (1) expenditure of telecommunication and tobacco was rising in rural and urban; (2) expenditure of telecommunication and tobacco was indifferent object to education of head of household; (3) demand response of telecommunication was elastic both toward income/expenditure and price changes; (4) demand response of tobacco was inelastic toward price changes but elastic toward income/expenditure changes; (5) in general, demand response of telecommunication and tobacco toward price changes was more elastic in rural households compared to those of urban household; (6) telecommunication and tobacco has substitution relation with the other food group and the other non food group commodity. Considering that telecommunication and tobacco consumption response was much stronger towards income and prices changes, subsidy is more effective if distributed in kind rather than cash.
RINGKASAN
Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat adalah pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga menggambarkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan non pangan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.
Komoditi pangan mendominasi pengeluaran rumah tangga miskin namun komoditi rokok juga memiliki persentase yang cukup besar dalam pola konsumsi rumah tangga miskin. Berdasarkan data Susenas 2006, 63 persen rumah tangga atau sekitar 35 juta rumah tangga mengkonsumsi rokok. Hal ini menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu orang perokok dalam sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Menurut data WHO, pada tahun 2008, 65 juta penduduk Indonesia atau sekitar 28 persen penduduk mengkonsumsi rokok sebanyak 225 miliar batang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 negara di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi.
Kemajuan teknologi informasi diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat namun mempengaruhi pola konsumsi. Pada tahun 2008 lebih dari separuh jumlah rumah tangga di Indonesia (51,99 persen) memiliki telepon seluler. Peningkatan rumah tangga yang memiliki telepon seluler di pedesaan meningkat lima kali lipat sedangkan di perkotaan dua kali lipat selama kurun waktu 2005 – 2008 (BPS 2009). Peningkatan kebutuhan komunikasi sebagai kebutuhan primer diduga akan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga, tidak terkecuali rumah tangga miskin (RTM). Penelitian mengenai perubahan pola konsumsi RTM terkait kebutuhan telekomunikasi dan rokok akan difokuskan pada Pulau Jawa mengingat sebagian besar penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa.
Adanya subsidi pemerintah dalam bentuk beras miskin dan subsidi langsung tunai diduga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Perubahan permintaan rumah tangga miskin akan diteliti melalui simulasi yang melibatkan subsidi pemerintah dan perubahan harga.
Data yang digunakan adalah data pengeluaran/konsumsi RTM di Pulau Jawa yang sampelnya berjumlah 10.848 RTM yang bersumber dari BPS yang diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Metode ekonometrika yang digunakan adalah model LA/AIDS yang mengacu pada model Deaton dan Muellbauer (1980a, 1980b) dengan melibatkan beberapa karakteristik sosial demografi. Cakupan komoditi yang dikonsumsi terdiri dari kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, rokok dan makanan lainnya) dan kelompok bukan makanan (telekomunikasi, pendidikan dan non makanan lainnya). Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel, SPSS 17.0, StataIC 10 dan SAS 9.0.
Elastisitas harga untuk komoditi rokok bersifat inelastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan besaran yang hampir sama antara perkotaan (-0,97) dan perdesaan (-0,96) dan trennya cenderung meningkat. Elastisitas harga silang komoditi rokok menyatakan hubungan komplementer antara rokok dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, telekomunikasi dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi rokok termasuk barang mewah. Elastisitas pengeluaran untuk komoditi rokok lebih tinggi di perdesaan (2,18) dibandingkan perkotaan (2,05).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi raskin meningkatkan permintaan komoditi pangan, rokok dan telekomunikasi namun menurunkan permintaan komoditi non pangan. Penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi BLT meningkatkan permintaan untuk semua komoditi. Persentase perubahan permintaan terbesar adalah komoditi rokok dan telekomunikasi.
Berdasarkan hasil simulasi maka penulis menyarankan kepada pemerintah dalam menerapkan kebijakan subsidi kepada rumah tangga miskin sebaiknya tidak dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang. Hal ini mengingat preferensi rumah tangga miskin yang lebih mengutamakan rokok dan telekomunikasi dibandingkan makanan pokok bila ada tambahan proporsi pengeluaran.
Kata kunci: telekomunikasi, rokok, rumah tangga miskin, konsumsi, LA/AIDS
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PENGELUARAN TELEKOMUNIKASI DAN ROKOK
RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA
R.A. LEISA TRIANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai Terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa
Nama : R.A. Leisa Triana
NIM : H151090134
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Sri Hartoyo Ketua
Lukytawati Anggraeni, Ph.D. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir.Nunung Nuryartono, M.Si.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah MSc. Agr.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan
Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok
Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa” berhasil diselesaikan.Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh
gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sri Hartoyo dan Lukytawati
Anggraeni, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan
bimbingan yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Mohammad Dokhi, Ph.D selaku penguji luar
komisi dan Tanti Novianti, MSi. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi
serta kepada seluruh dosen pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi
Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat
Statistik, Kepala BPS Propinsi Jawa Barat serta Kepala BPS Kabupaten Bogor
yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di
Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Ida Fariana S.ST, rekan staf BPS Kabupaten Bogor dan teman-teman tugas belajar
Program Studi Ilmu Ekonomi BPS Batch dua yang telah banyak membantu dalam
penyediaan dan pengolahan data. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis
haturkan kepada Ibunda Hanidah dan Ibunda Kusmiyati dan suami tercinta,
Kuntarto Purnomo, serta kedua buah hati tersayang, Mayang dan Ahsan, atas
semua dukungan, doa, semangat dan kasih sayangnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain
yang telah membantu, kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang dapat
membalas segala kebaikan semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 April 1976 dari pasangan Rd.
Inuni Pasha Ayub Bachtiar dan Hanidah. Penulis merupakan anak ketiga dari
empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri
Curug 1 pada tahun 1988, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Cimanggis
pada tahun 1991, Sekolah Menengah Atas Negeri 39 Cijantung pada tahun 1994,
Akademi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun 1997, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Jakarta pada tahun 2001, dan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Penulis
bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor semenjak tahun 1998 sampai
sekarang. Pada tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi,
vii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. ix
DAFTAR GAMBAR ………... xi
DAFTAR LAMPIRAN ………. xii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ……….………. 1
1.2. Perumusan Masalah ………. 5
1.3. Tujuan Penelitian ………. 8
1.4. Manfaat Penelitian ………. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan ……….………. 9
2.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga ………. 11
2.3. Variabel Sosial Demografi ………. 12
2.4. Pengeluaran Telekomunikasi………. 13
2.5. Subsidi ………..………. 15
2.6. Tinjauan Teoritis ……….………. 15
2.6.1. Fungsi Permintaan Konsumen ………. 15
2.6.2. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan ………. 18
2.6.3. LA-AIDS Model ……….………. 19
2.6.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS …… 21
2.7. Penelitian Terdahulu ……….………. 22
2.8. Kerangka Pemikiran ……….………. 24
2.9. Hipotesis ………..……….………. 27
III. METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup, Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 29
3.2. Jenis dan Sumber Data ………. 29
3.3. Pemilihan Variabel dan Komoditi ………. 30
3.4. Metode Analisis ……….………….….………. 32
viii
3.4.4. Simulasi Respon Perubahan Variabel ………. 36
3.5. Konsep dan definisi ………..…..…….………. 38
IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA 4.1. Pangsa Pengeluaran Total Rumah Tangga Miskin …………... 43
4.2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin …………... 45
4.3. Pangsa Pengeluaran Bukan Pangan Rumah Tangga Miskin …… 46
4.4. Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin …………... 48
4.5. Pangsa Pengeluaran Telekomunikasi Rumah Tangga Miskin … 50 4.6. Pangsa Pengeluaran Rokok Rumah Tangga Miskin ………….… 51
4.7. Pendidikan Kepala Rumah Tangga ………..… 53
V. PENGARUH KEBIJAKAN SUBSIDI BERAS MISKIN DAN BANTUAN LANGSUNG TUNAI TERHADAP PENGELUARAN TELEKOMUNIKASI DAN ROKOK RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA 5.1. Pendugaan Parameter Model Sistem Permintaan ………... 57
5.2. Elastisitas Harga ……….……... 60
5.2.1. Elastisitas Harga Sendiri ……….………. 60
5.2.2. Elastisitas Harga Silang ………..……….…. 64
5.2.3. Elastisitas Pengeluaran ………..……….…. 67
5.4. Elastisitas Ukuran Rumah Tangga ……….……... 70
5.5. Simulasi Dampak Perubahan Harga Terhadap Permintaan Komoditi ………... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……….………... 75
6.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ………... 77
DAFTAR PUSTAKA ……….. 79
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1.1. Jumlah Pelanggan Tetap Nirkabel dan Telepon Seluler, Produksi Pulsa,PDB dan Laju pertumbuhan PDB
tahun 2006 – 2008 ……….. 4
1.2. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki/Menguasai Telepon Seluler Menurut Klasifikasi Desa/Kelurahan Tahun 2005 – 2008 ………. 6
2.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah
Tahun 2004 – 2010 ………. 11
4.1. Garis Kemiskinan Menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 2008, 2009 dan 2010 (Rupiah) ... 43
4.2. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah di Pulau Jawa
Tahun 2008-2010. ……….. 44
4.3. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Propinsi di Pulau Jawa
Tahun 2008-2010 ………. 45
4.4. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010 ……..… 46
4.5. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Bukan Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010 ……..… 47
4.6. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Miskin Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah
di Pulau Jawa, 2008-2010 ………..… 48
4.7. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Barang Perumahan dan Fasilitas Perumahan di
Pulau Jawa, 2008-2010 ……… 50
4.8. Persentase Pengeluaran per Kapita Rumah Tangga Miskin
untuk Komoditi Telekomunikasi Menurut Tipe Wilayah dan Propinsi di Pulau Jawa. 2008-2010 ………. 51
4.9. Persentase Pengeluaran Perkapita Sebulan untuk Rokok, Tembakau dan Sirih Menurut Tipe Wilayah and Propinsi
di Pulau Jawa Tahun 2008-2010. ………. 52
4.10. Persentase Kepala Rumah Tangga Miskin Menurut Pendidikan dan kemampuan Membaca dan Menulis Menurut Wilayah
dan Propinsi di Pulau Jawa, 2008-2010 ……….. 54
x
5.3. Elastisitas Harga Sendiri Beberapa Komoditi pada Rumah tangga Miskin Berdasarkan Pendidikan KRT di Perkotaan dan Perdesaan
di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 63
5.4. Elastisitas Harga Silang Beberapa Komoditi Pada Rumah Tangga Miskin berdasarkan tipe wilayah di Pulau Jawa
Tahun 2008-2010 ... 66
5.5. Elastisitas Pengeluaran Beberapa Komoditi Pada Rumah Tangga
Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 67
5.6. Tren Elastisitas Pengeluaran Beberapa Komoditi pada Rumah tangga Miskin Berdasarkan Pendidikan KRT di Perkotaan dan
Perdesaan di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 69
5.7. Elastisitas Ukuran Rumah tangga Beberapa Komoditi Pada
Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 70
5.8. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga Telekomunikasi terhadap Perubahan Permintaan Komoditi
Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 72
5.9. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga Rokok terhadap Perubahan Permintaan Komoditi
Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 73
5.10. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga
xii
1 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin Menurut Kelompok Barang dan Propinsi di Pulau
Jawa Tahun 2008-2010 ………..……….…… 83
2 Persentase Pengeluaran Rata-rata per kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin Menurut Kelompok Barang Perkotaan dan
Perdesaan di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ………... 84
3 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM Berdasarkan Lokasi Tempat
Tinggal ………...……… 85
4 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM menurut Pendidikan KRT di
Perdesaan ………..……….. 86
5 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM menurut Pendidikan KRT di
Perkotaan ………..……….. 87
6 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan
Tipe Wilayah ………... 88
7 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan
Pendidikan KRT ……….………... 89
8 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan
Tipe Wilayah dan Pendidikan KRT ………... 90
9 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan
Tahun ……….……….………... 91
10 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan
Tipe Wilayah dan Tahun ……….………... 92
11 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan
Pendidikan KRT dan Tahun ………... 94
12 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan
Tipe Wilayah, Pendidikan KRT dan Tahun ………... 96
13 Hasil Running Program SAS .…………... 99
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penurunan tingkat kemiskinan menjadi 8-10 persen pada tahun 2014
merupakan sasaran pembangunan ekonomi yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Strategi
pembangunan yang diprioritaskan untuk mempercepat penurunan angka
kemiskinan dilakukan baik dari sisi peningkatan pendapatan penduduk miskin
(PNPM Mandiri dan Kredit Usaha untuk Rakyat miskin) maupun dari sisi
konsumsi penduduk yaitu subsidi untuk rumah tangga miskin dalam bentuk
raskin, jamkesmas, dana BOS. Adanya kemajuan teknologi informasi dan arus
globalisasi diharapkan juga mampu menurunkan tingkat kemiskinan sehingga
dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat melalui berbagai indikator
kesejahteraan rumah tangga. Salah satu indikatornya adalah pola konsumsi
individu atau rumah tangga. Pola konsumsi dapat menggambarkan taraf hidup
masyarakat. Pola konsumsi juga menggambarkan perilaku yang berhubungan
dengan kondisi sosial budaya dan lingkungan. Budaya lokal dan faktor-faktor non
ekonomi dapat mempengaruhi pola konsumsi penduduk sehingga analisis
mengenai pola konsumsi dapat memberikan gambaran tingkat kesejahteraan
penduduk yang berkaitan dengan keadaan sumber daya manusia yang merupakan
modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi negara (BPS 2008a). Data pola
konsumsi juga dapat diekplorasi untuk mengukur ukuran kesejahteraan lainnya
seperti status gizi, status kesehatan penduduk dan status kemiskinan penduduk.
Kemiskinan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik pangan
dan non pangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap
seluruh pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan
(Nicholson 1995). Rumah tangga yang memiliki proporsi pengeluaran yang lebih
besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut adalah
rumah tangga miskin (Seale et al. 2003). Rumah tangga miskin dapat dikatakan
rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah
pilihan dalam membelanjakan pendapatannya bahkan mungkin harus meniadakan
beberapa kebutuhan dasar lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu.
Rendahnya pendapatan membuat pola konsumsi rumah tangga miskin cenderung
tak berubah (Sengul & Tuncer 2005).
Pola konsumsi dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal. Pola konsumsi rumah tangga miskin sangat
dipengaruhi oleh faktor internal yaitu adanya perubahan harga dan pendapatan.
Menurut teorema Engel, proporsi pengeluaran untuk makanan akan menurun
seiring dengan peningkatan pendapatan. Pendapatan yang meningkat berarti daya
beli juga meningkat sehingga mempengaruhi perubahan pola konsumsi baik
konsumsi pangan maupun bukan pangan. Peningkatan pendapatan memberikan
kesempatan besar untuk asupan makanan yang lebih banyak dan kualitas makanan
yang lebih baik. Hasil penelitian pada 114 negara di dunia didapatkan bahwa
negara miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan
seperti makanan, minuman dan tembakau serta lebih responsif terhadap perubahan
pendapatan dan harga. Penyesuaian besar terhadap pola konsumsi pangan
dilakukan ketika terjadi perubahan pendapatan dan harga. (Seale et al. 2003;
Sengul & Tuncer 2005; Haq et al. 2008).
Penelitian Haq et al. (2008) di Pakistan menemukan perubahan harga
pangan global telah meningkatkan kemiskinan dan memberikan dampak yang
besar terhadap rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin akan mengalokasikan
pendapatannya lebih besar untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan melakukan
substitusi kapasitas rumah tangga. Kenaikan harga BBM juga sangat
mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Kenaikan harga BBM
memicu inflasi yang menyebabkan nilai uang dari pendapatan rumah tangga
miskin menjadi berkurang sehingga mengurangi daya beli rumah tangga miskin.
Rumah tangga akan mengurangi pengeluaran untuk konsumsi makanannya bila
terjadi kenaikan harga (Nssah et al. 2007; Amin 1998). Diversifikasi makanan
sangat diperlukan untuk mengganti kebutuhan makanan pokok yang memiliki
kandungan nutrisi yang cukup kalori dan gizinya, misalnya dengan
mengkonsumsi makanan penghasil karbohidrat seperti jagung atau tepung terigu.
3
per kapita di Indonesia periode 2005-2007 meningkat sebanyak 2,1 persen dari 15
persen menjadi 17,1 persen, kemudian menurun pada tahun 2008 karena adanya
peningkatan harga gandum dan terigu internasional. Pada tahun 2009 volume
konsumsi terigu mencapai 3,97 juta ton dan naik menjadi 4,39 juta ton pada
20101.
Selain komoditi pangan yang mendominasi pengeluaran rumah tangga
miskin, komoditi rokok juga memiliki persentase yang cukup besar dalam pola
konsumsi rumah tangga miskin. Berdasarkan data Susenas 2006, 63 persen rumah
tangga atau sekitar 35 juta rumah tangga mengkonsumsi rokok. Hal ini
menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu orang perokok dalam sebagian besar
rumah tangga di Indonesia. Menurut data WHO, pada tahun 2008, 65 juta
penduduk Indonesia atau sekitar 28 persen penduduk mengkonsumsi rokok
sebanyak 225 miliar batang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 negara
di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi. Produksi rokok di Indonesia meningkat
pada periode 2004-2008 dari 194 miliar batang pada tahun 2004 menjadi 230
miliar batang pada tahun 2008 atau naik sebesar 18,6 persen. Berbagai penelitian
mengenai permintaan rokok telah dilakukan baik yang berhubungan dengan cukai
rokok dan dampaknya terhadap total penerimaan negara serta yang berhubungan
dengan keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Hasil penelitian Ahsan et al.
(2010) menunjukkan bahwa elastisitas harga rokok untuk rumah tangga
berpendapatan rendah sangat elastis yaitu -1,696 sementara untuk rumah tangga
yang berpendapatan tinggi elastisitasnya bersifat inelastis sebesar -0.409 yang
berarti bahwa rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih sensitif terhadap
perubahan harga rokok. Hasil penelitian Adioetomo et al. (2003) menemukan
bahwa perubahan harga rokok mempengaruhi konsumsi rokok dimana
peningkatan harga rokok 4,9 persen menurunkan permintaan rokok sebesar 3
persen. Kenaikan cukai rokok akan meningkatkan harga rokok, menurunkan
konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan pajak.
Pola konsumsi rumah tangga miskin juga dipengaruhi oleh faktor eksternal
antara lain adalah adanya arus informasi, perkembangan telekomunikasi dan
perbaikan transportasi. Hal ini mendorong perkembangan permintaan jenis barang
1Bisnis Indonesia, “Pertumbuhan Konsumsi Terigu Diprediksi εelambat”
yang dikonsumsi oleh masyarakat baik itu golongan berpendapatan tinggi maupun
berpendapatan rendah. Kemudahan menggunakan dan memiliki telepon seluler
karena adanya persaingan usaha di bidang telekomunikasi membuat rumah tangga
miskin pun mampu memiliki dan menikmati fasilitas komunikasi ini, sehingga hal
ini turut mempengaruhi perubahan pola konsumsi. Hasil penelitian Aker (2008)
menunjukkan bahwa perkembangan telekomunikasi di negara miskin Nigeria
khususnya ponsel telah meningkatkan kesejahteraan konsumen dan pedagang.
Beberapa tahun terakhir juga telah terjadi peningkatan jumlah produksi pulsa,
jumlah pelanggan tetap lokal dan telepon seluler yang mendorong peningkatan
PDB Indonesia untuk sektor komunikasi.
Tabel 1.1. Jumlah Pelanggan Tetap Nirkabel dan Telepon Seluler, Produksi Pulsa, PDB dan Laju pertumbuhan PDB tahun 2006 – 2008
Uraian 2006 2007 2008 Sumber: Ditjen Postel Kementrian Kominfo, PT Telkom, BPS, Statistik Indonesia 2009
Pola konsumsi rumah tangga yang tinggal di daerah pedesaan berbeda
dengan daerah perkotaan (Yuliana 2008, Syafwil 2002). Ini terjadi karena
konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan. Tingkat pendapatan rumah tangga di
pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Pendapatan yang rendah
di pedesaan disebabkan oleh sedikitnya kesempatan kerja dan tidak adanya
aksesibilitas terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi sehingga jumlah penduduk
miskin lebih banyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Penelitian Geda et al.
(2005) di Kenya menemukan bahwa kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi di
daerah pedesaan dan di sektor pertanian pada khususnya. Selain pendapatan yang
rendah yang membedakan pola konsumsi di pedesaan dan perkotaan, kemudahan
mengakses berbagai fasilitas kebutuhan hidup di daerah perkotaan cenderung
membentuk pola konsumsi yang bervariasi dan tinggi. Terbatasnya fasilitas di
5
Arus informasi yang sampai ke desa dan pengaruh advertensi terhadap konsumsi
juga mempengaruhi perbedaan pola konsumsi di pedesaan dan perkotaan. Selain
faktor-faktor tersebut diatas, perbedaan pola konsumsi juga dapat disebabkan oleh
jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan dan lain-lain.
Penelitian mengenai pola konsumsi rumah tangga miskin telah banyak
dilakukan seperti penelitian pola konsumsi pangan di negara berpendapatan
rendah (Seale et al. 2003), pola konsumsi pangan terhadap rumah tangga miskin
(Sengul & Tuncer 2005), pola konsumsi rumah tangga miskin pada komoditi yang
disubsidi pemerintah (Suryaningsih 2010). Berdasarkan uraian tersebut di atas
maka penelitian ini menitikberatkan analisis pola konsumsi rumah tangga miskin
baik pangan dan non pangan serta pengaruh pengeluaran konsumsi
telekomunikasi dan rokok pola konsumsi rumah tangga miskin. Diharapkan
melalui pola konsumsi rumah tangga miskin dapat memberikan gambaran
mengenai alokasi komoditi makanan dan non makanan yang dipilih rumah tangga
miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan seberapa besar ketergantungan
rumah tangga miskin terhadap komoditi tersebut baik di pedesaan maupun di
perkotaan sehingga pemerintah dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam
mengentaskan kemiskinan.
1.2. Perumusan Masalah
Pola konsumsi rumah tangga miskin menggambarkan alokasi pengeluaran
untuk pangan dan non pangan pada rumah tangga miskin. Konsumsi pangan di
rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan dengan konsumsi non pangan.
Kebutuhan akan konsumsi non pangan kadang terpinggirkan guna memenuhi
konsumsi pangan. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan untuk rumah tangga
miskin menjadi prioritas pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Namun
dari penelitian terdahulu alokasi pengeluaran rumah tangga miskin untuk
konsumsi rokok yang berbahaya bagi kesehatan pada rumah tangga miskin cukup
tinggi. Selain itu adanya perkembangan arus informasi dan semakin murahnya
pengeluaran untuk komunikasi, hampir membuat kebutuhan ini menjadi
kebutuhan primer sehingga dirasakan perlu diketahui pola konsumsi rumah tangga
Selama beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah pelanggan
telepon tetap nirkabel dan seluler sebanyak lebih dari dua kali lipat. Pesatnya
pertumbuhan telepon seluler tercermin pula dengan banyaknya rumah tangga yang
memiliki/menguasai telepon seluler. Pada tahun 2008 lebih dari separuh jumlah
rumah tangga di Indonesia (51,99%) memiliki/menguasai telepon seluler dan
apabila dibandingkan dengan tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 32,11
persen.
Tabel 1.2. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki/Menguasai Telepon Seluler Menurut Klasifikasi Desa/Kelurahan Tahun 2005 – 2008
Tahun Klasifikasi Perkotaan + Perdesaan
Perkotaan Perdesaan
2005 35,36 8,21 19,88
2006 41,96 12,27 24,60
2007 55,03 24,33 37,59
2008 66,61 38,15 51,99
Sumber : BPS, Survei Sosial Ekonomi Nasional
Jika dilihat berdasarkan klasifikasi daerah, peningkatan di daerah
perdesaaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan, dimana di daerah
perkotaan persentase rumah tangga tangga yang memiliki/menguasai telpon
seluler selama kurun waktu 2005 – 2008 hanya naik hampir dua kali lipat saja sedangkan daerah perdesaan naik hampir lima kali lipat. Hal ini menunjukkan
bahwa daerah perdesaan lebih banyak terpengaruh pesatnya pertumbuhan telepon
seluler dibanding daerah perkotaan. Pengeluaran untuk konsumsi telekomunikasi
pada rumah tangga miskin tentu mempengaruhi besarnya pengeluaran kebutuhan
pangan dan non pangan pada rumah tangga miskin. Hal ini menarik untuk diteliti
sampai sejauh mana pengeluaran telekomunikasi mempengaruhi perubahan pola
konsumsi khususnya rumah tangga miskin di pedesaan dan perkotaan.
Perubahan pola konsumsi rumah tangga miskin sebagai akibat dari adanya
perubahan harga khususnya komoditi rokok dan telekomunikasi, memungkinkan
terjadi pergeseran alokasi pengeluaran rumah tangga miskin. Pergeseran tersebut
bisa saja berbentuk pengurangan konsumsi komoditi tersebut atau pengurangan
konsumsi komoditi yang lain. Oleh karena itu besarnya pergeseran alokasi
7
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa banyak faktor yang
memengaruhi konsumsi selain pendapatan dan kekayaan. Misalnya jumlah
anggota rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan beberapa
faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut memengaruhi konsumsi pada rumah tangga
pada umumnya, sehingga penelitian tentang pengaruh faktor-faktor tersebut pada
rumah tangga miskin sangat menarik untuk diteliti.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, kebijakan pemerintah juga diduga
mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Kebijakan pemerintah dalam
bidang ekonomi akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap
rumah tangga miskin. Kebijakan tersebut dapat berupa penetapan harga maupun
pemberian subsidi. Pemerintah berupaya keras meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya terutama menurunkan tingkan kemiskinan. Berbagai program
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin
seperti program subsidi beras miskin, di bidang pendidikan dalam bentuk bantuan
operasional sekolah dan di bidang kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan
masyarakat. Bentuk subsidi lainnya adalah pemberian bantuan langsung tunai
dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya
pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. Besarnya pengaruh
subsidi pemerintah terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin menarik untuk
diteliti. Simulasi dilakukan guna melihat pengaruh perubahan harga dan
pendapatan akibat adanya subsidi pemerintah terhadap pola konsumsi komoditi
pada rumah tangga miskin.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas
di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika pola konsumsi rumah tangga miskin di perkotaan
dan pedesaan Indonesia?
2. Apakah karakteristik sosial demografi mempengaruhi pola konsumsi
rumah tangga miskin?
3. Apakah perkembangan pengeluaran konsumsi telekomunikasi dan rokok
4. Seberapa besar respon perubahan konsumsi komoditi pangan atau bukan
pangan rumah tangga miskin dengan adanya subsidi yang diberikan oleh
pemerintah?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:
1. Menganalisis dinamika pengeluaran rumah tangga miskin pedesaan dan
perkotaan di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh karakteristik sosial demografi terhadap pola konsumsi
rumah tangga miskin di perkotaan dan pedesaan.
3. Menganalisis pengaruh pengeluaran telekomunikasi dan rokok pada pola
konsumsi rumah tangga miskin.
4. Menganalisis perubahan konsumsi rumah tangga miskin dengan adanya
subsidi beras miskin (Raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) terhadap
pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga miskin.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis
sendiri juga bagi pihak-pihak lain;
1. bagi pemerintah, para ekonom dan para penentu kebijakan lainnya dapat
dijadikan bahan untuk evaluasi sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang
lebih terarah dan menyeluruh dalam mengentaskan kemiskinan
2. bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan
pemahaman yang semakin mendalam tentang kemiskinan dan pola konsumsi
rumah tangga miskin
3. bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan atau acuan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
Kemiskinan mengandung banyak pengertian, berbeda antara satu
lokasi/daerah dengan daerah yang lain pada setiap waktu. Definisi kemiskinan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009,
adalah kondisi yang membuat seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. BPS mendefinisikan kemiskinan
adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
untuk makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut
Chamber (1995) kemiskinan mengacu pada kekurangan akan kebutuhan fisik, aset
dan pendapatan untuk dapat hidup sejahtera. Kemiskinan mencakup dimensi fisik,
sosial, ekonomi, politik, psikologis/spiritual, termasuk kelemahan fisik,
keterisolasian, kerentanan, kemiskinan musiman, kurangnya penghargaan dan
ketidakberdayaan. Secara umum kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik pangan dan non
pangan serta kebutuhan sosialnya.
Tingkat kemiskinan diukur dengan menggunakan garis kemiskinan.
Seseorang dikatakan miskin apabila ukuran standar hidupnya berada di bawah
standar hidup minimum yang disebut dengan garis kemiskinan. Penentuan garis
kemiskinan dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan relatif dan absolut.
Menurut Ravallion (1992) kemiskinan relatif mengacu pada posisi tingkat
pendapatan seseorang atau rumah tangga dibandingkan dengan pendapatan
rata-rata di negara tersebut. Menurut BPS (2008b) kemiskinan relatif merupakan
kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu
menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu
Kemiskinan absolut mengacu pada posisi tingkat pendapatan seseorang atau
rumah tangga dalam hubungannya terhadap garis kemiskinan yang didasarkan
pada nilai riil yang tetap antar waktu (Ravallion 1992). Todaro dan Smith (2006)
menyatakan kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatannya berada di
bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal, antara lain pangan, sandang, kesehatan,
perumahan, dan pendidikan. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut
sebagai orang yang pendapatannya di bawah USD $1/hari. Definisi kemiskinan
absolut menurut BPS adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar yaitu makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Ketidakmampuan ini dibatasi oleh suatu standar tertentu yang
disebut dengan garis kemiskinan dimana seseorang hanya dapat memenuhi
kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kkalori per kapita sehari dan kebutuhan
dasar minimum untuk non makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan
kesehatan yang totalnya kurang dari garis kemiskinan.
Penghitungan garis kemiskinan yang dihitung BPS dibedakan untuk daerah
perkotaan dan perdesaan. Penghitungan tersebut didasarkan dari pengeluaran
rumah tangga berdasarkan data Susenas. Garis kemiskinan per provinsi
berbeda-beda. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan
pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun non makanan yang dianggap
„dasar‟. Berdasarkan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah suatu standar tertentu yang disebut
sebagai garis kemiskinan. Mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis
kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung
dengan cara menjumlahkan (1) biaya untuk memperoleh minimum makanan yang
disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari, dan (2) biaya untuk
memperoleh kebutuhan minimum non makanan yang dianggap dasar, seperti
pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.
Tabel 2.1. menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun
2004 adalah 36,10 juta orang (11,40 juta orang di perkotaan dan 24,80 juta orang
di perdesaan). Adanya berbagai program penanggulangan kemiskinan yang
11
menjadi sebesar 31,02 juta orang (11,10 juta orang di perkotaan dan 19,93 juta
orang di perdesaan).
Tabel 2.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 2004-2010
Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66
2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97
2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75
2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58
2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42
2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15
2010 11,10 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33 Sumber : Berita Resmi Statistik 2010
2.2. Pola Konsumsi Rumah tangga
Rumah tangga didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang
mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan
biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga umumnya
terdiri dari bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumah tangga biasa. Anggota
rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah
tangga (BPS 2009b).
Setiap anggota rumah tangga membutuhkan pangan setiap hari. Setiap
anggota rumah tangga juga membutuhkan dan menggunakan berbagai jenis
barang lainnya selain pangan atau dengan kata lain setiap anggota rumah tangga
mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa agar tetap dapat melakukan
aktivitas sehari-hari. Hal ini mendorong terjadinya permintaan dan penawaran
akan suatu barang sehingga tercipta aktivitas ekonomi.
Besarnya permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan
untuk mengkonsumsi atau membeli barang/jasa tersebut. Kemampuan tersebut
sangat ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang
yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah
maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila
tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang
dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang
berbeda-beda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar
rumah tangga.
Pada negara berkembang pengeluaran untuk pangan lebih besar
dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat
pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi
prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata
pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari
konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi
makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang
dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama
(BPS 2010).
2.3. Variabel Sosial Demografi
Pola konsumsi dapat dilihat dari perilaku dan karakteristik kosumen.
Karakteristik konsumen dapat dikelompokkan berdasarkan usia, lokasi tempat
tinggal, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, status
pekerjaan kepala rumah tangga dan lain-lain. Pengelompokan konsumen
berdasarkan karakteristiknya dapat mencirikan perbedaan perilaku konsumen
antarkelompok. Perbedaan perilaku konsumen menyebabkan pola konsumsi
rumah tangga juga berbeda. Pada Howard and Sheth model dalam Sumarwan
(2002), perilaku konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli atau
mengkonsumsi barang dan jasa dipengaruhi oleh adanya kegiatan pemasaran yang
dilakukan produsen, faktor perbedaan individu dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan ini terdiri dari: (1) budaya, (2) karakteristik sosial ekonomi, (3)
keluarga dan rumah tangga, (4) kelompok acuan, dan (5) situasi konsumen.
Lokasi tempat tinggal konsumen akan mempengaruhi pola konsumsinya
(Yuliana 2008, Syafwil 2002, Kahar 2010). Rumah tangga yang tinggal di
perdesaan memiliki akses terbatas pada berbagai produk barang dan jasa.
Sebaliknya, rumah tangga yang tinggal di perkotaan lebih mudah memperoleh
13
membelanjakan sebagian besar pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan
bukan makanan, sedangkan sebaliknya penduduk perdesaan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan. Secara nasional, penduduk
perkotaan membelanjakan 45,69 persen pengeluarannya untuk makanan,
sedangkan penduduk perdesaan mencapai 58,57 persen (BPS 2009b). Keadaan ini
mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik
dibandingkan penduduk di perdesaan.
Ukuran rumah tangga berbeda pengaruhnya terhadap permintaan makanan
dimana ukuran rumah tangga berpengaruh positif terhadap permintaan makanan
pokok tetapi berpengaruh negatif terhadap permintaan makanan lainnya (Teklu &
Johnson 1987, Nurfarma 2005). Peningkatan jumlah anggota rumah tangga
biasanya akan meningkatkan permintaan komoditi pangan dibandingkan komoditi
non pangan. Apabila rumah tangga memiliki pendapatan yang sama maka
peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan kemampuan rumah
tangga untuk membeli makanan yang bergizi yang akan dikonsumsi oleh anggota
rumah tangga.
Terkait dengan pendidikan, hasil penelitian Suryaningsih (2010)
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan istri berpengaruh negatif terhadap
permintaan sembako rumah tangga miskin. Kahar (2010) menunjukkan
pendidikan kepala rumah tangga yang rendah berpengaruh negatif terhadap
konsumsi pendidikan di daerah perkotaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap jumlah permintaan terhadap
komoditi ikan/daging/telur/susu di daerah perkotaan.
2.4. Pengeluaran Telekomunikasi
Penelitian Jiwanta (1982) dalam Suprapto (2009) menunjukkan bawa
komunikasi merupakan kebutuhan utama dalam melakukan interaksi sosial
dimana 90 persen dari kehidupan manusia sehari-hari merupakan komunikasi.
Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian suatu pesan oleh
seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap,
pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui
adalah Harold D. Lasswell yang menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan kegiatan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?” (Effendy 1986). Pertanyaan ini dikenal dengan rumusan Lasswell yang menerangkan unsur-unsur yang
membangun komunikasi yaitu :
- Who? (Siapakah komunikatornya?)
- Says What? (Pesan apa yang dinyatakan?)
- In Which Channel? (Media apa yang digunakan?)
- To Whom? (Siapa komunikannya?)
- With What Effect? (Efek apa yang diharapkan?)
Komunikasi dilakukan dengan cara bertatap muka langsung maupun dengan
media. Komunikasi melalui media pada umumnya digunakan untuk komunikasi
informatif misalnya dengan menggunakan media surat kabar, televisi, radio, film,
pameran, poster, pamflet, telepon, internet dan lain sebagainya. Komunikasi
melalui media dilakukan karena ada jarak antara komunikator dan komunikan
atau disebut juga telekomunikasi. Selain itu, komunikasi melalui media juga
dilakukan karena banyaknya jumlah komunikan yang akan diberikan pesan.
Kemajuan teknologi telah mempermudah arus informasi diakses dari dalam
rumah sehingga informasi dunia dapat dengan cepat diketahui. Informasi yang
diakses oleh rumah tangga dapat memberikan efek langsung dalam perubahan
tingkah laku rumah tangga misalnya perubahan pola konsumsi rumah tangga
sebagai respon dari intensitas iklan yang dilakukan media televisi atau internet.
Kebutuhan akan informasi dan komunikasi yang semakin mudah didapatkan
juga mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengalokasikan pendapatan
guna memenuhi kebutuhan ini. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi
telekomunikasi menurut BPS mencakup pengeluaran untuk telepon rumah, pulsa
HP, nomor perdana, telepon umum/wartel, benda pos, warnet, internet dan
lainnya.
2.5. Subsidi
Secara umum pengertian subsidi adalah penetapan harga beli di bawah
15
dibawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak negatif (Pindyck &
Rubinfeld, 2005). Pemberian subsidi menimbulkan efek yang positif dan negatif.
Efek positif subsidi adalah peningkatan daya beli masyarakat yang mendorong
peningkatan output, sedangkan efek negatif subsidi adalah terjadinya distorsi
perekonomian yaitu alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini tercermin
adanya kecenderungan masyarakat mengkonsumsi barang yang disubsidi secara
berlebihan. Penyelenggaraan subsidi berkaitan dengan APBN karena bila terjadi
selisih antara harga jual dengan harga jual sebenarnya maka itu menjadi
tanggungan pemerintah yang ditetapkan dalam APBN.
Pada tahun 2005 pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga BBM
guna mengurangi beban APBN. Subsidi pemerintah untuk BBM dialihkan dalam
bentuk santunan langsung tunai yang diberikan secara langsung kepada rumah
tangga miskin. Program tersebut berlanjut menjadi program keluarga harapan
yang memberikan subsidi langsung tunai bersyarat kepada rumah tangga miskin.
Subsidi pemerintah yang lain berupa subsidi beras miskin dimana rumah tangga
miskin dapat membeli beras dengan harga yang lebih murah dari harga pasar
karena pemerintah telah membayar sebagian harga jual beras tersebut.
2.6. Tinjauan teoritis
2.6.1. Fungsi Permintaan Konsumen
Berawal dari asumsi konsumen bersifat rasional dan mempunyai tujuan
memaksimumkan kepuasannya dengan cara memilih berbagai kombinasi
sejumlah n barang yang akan menghasilkan dayaguna yang maksimum dengan
jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang tersedia. Fungsi dayaguna
konsumen dituliskan dengan rumus
U = f (q1,q2, …qn) ………(2.1)
dan kendala anggaran konsumen dituliskan dengan rumus :
∑
………(2.2)
y adalah pendapatan (tetap), pi adalah harga barang ke-i. Maka tujuan konsumen
fungsi Lagrangian yaitu fungsi dayaguna yang sudah disesuaikan dengan kendala
terbatasnya anggaran.
∑
………(2.3)
λ adalah dayaguna marjinal dari pendapatan.
Guna mendapatkan jumlah barang yang diminta maksimum maka
dibutuhkan dua syarat. Syarat pertama sebagai syarat perlu yaitu karena q
merupakan nilai ekstrim maka fungsi turunan pertama dari fungsi lagrangian
terhadap qi dan λ harus sama dengan nol. Syarat yang kedua adalah nilai ekstrim
merupakan nilai maksimum bila turunan kedua dari fungsi tersebut adalah negatif
yang disebut sebagai syarat cukup.
Fungsi permintaan ini dikembangkan dari fungsi permintaan sederhana/baku
(Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand
function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan
komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi
tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Dua kesimpulan penting dari fungsi
permintaan ini adalah : (1) permintaan terhadap komoditas apapun adalah fungsi
single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan (2) fungsi permintaan adalah
homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan dimana bila semua harga dan
pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta
tetap, tidak akan berubah (Henderson and Quandt, 1980). Kesimpulan pertama
merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi dayaguna yang
ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (CRS) sama dengan rasio
harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus
terpenuhi. Dalam permintaan n barang turunan kedua menghasilkan penurunan
RCS antara tiap pasang komoditi.
Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan
harus memenuhi kondisi:
a. Homogeneity
Syarat homogeneity atau disebut Slutsky-schultz condition adalah hasil
17
silang dan elastisitas pendapatan untuk komoditi i sama dengan nol (Tewari dan
Singh 1996), dirumuskan :
∑
………(2.4)
dimana ii adalah elastisitas harga sendiri, ij adalah elatisitasharga silang dan
adalah elastisitas pendapatan.
b. Agregasi Cournot
Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga
sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata
pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total
pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut.
Dinotasikan dengan rumus :
∑
……(2.5)
adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total pengeluaran, adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang.
Untuk fungsi permintaan terkompensasi maka aggregasi Cournot harus
sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus :
∑
……(2.6)
adalah elatisitas harga terkompensasi. c. Aggregasi Engel
Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan
dengan berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas
pendapatan tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama
dengan satu. Dinotasikan dengan rumus :
∑
adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran dan adalah elastisitas pendapatan (Henderson and Quandt 1980).
2.6.2. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan
Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga
dibedakan menjadi dua yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi
(X1→B) dalam penelitian ini adalah efek substitusi/penggantian jumlah konsumsi
komoditi telekomunikasi dengan komoditi rokok akibat adanya perubahan harga
telekomunikasi dan utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen.
Gambar 1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga
Telekomunikasi
Efek pendapatan (B →X2
) pada penelitian ini adalah perubahan konsumsi
kedua jenis barang yaitu telekomunikasi dan rokok akibat adanya perubahan
pendapatan (prinsip maksimisasi utilitas) dengan harga barang tetap. Penjumlahan
dari kedua efek ini disebut efek total perubahan permintaan suatu barang karena
terjadi perubahan harga. Perbedaan efek substitusi dan efek pendapatan dapat
digunakan untuk menentukan jenis barang. Barang normal mempunyai efek
Rokok
E2 Y1
U2 E1
Y2
T
B1 U1
B X2
X1 Telekomunikasi
O X2
Efek pendapatan Efek
substitusi
Efek total
19
pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Bila efek
pendapatan positif lebih besar dari nilai absolut, efek substitusi barang ini
tergolong superior, bila efek pendapatan negatif lebih besar daripada nilai absolut,
efek substitusi menimbulkan efek substitusi yang negatif pula maka barang ini
disebut barang giffen (Sudarsono 1995).
Dua barang dikatakan bersubstitusi jika kedua barang tersebut dapat
memenuhi kebutuhan yang sama, dengan kata lain sifat dua barang yang jika
harga salah satunya meningkat, kuantitas barang lainnya yang diminta akan
meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang bersama-sama
dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua
barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan
menurun (asumsi ceteris paribus). Apakah dua jenis barang bersubstitusi atau
berkomplemen sangat tergantung dari kurva indiferen.
2.6.3. LA-AIDS Model
Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial
ekonomi adalah model Linear Approximation Almost Ideal Demand System
(LA-AIDS). Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan
persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Working
(1943) dalam Deaton (1980a) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam
bentuk budget share, sebagai berikut:
wi = αi + i log x………...2.8) Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang
didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu.
Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari
tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan
Muellbauer (1980a) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi
biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam
memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat
dinyatakan dengan:
c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor
harga. Pada persamaan 2.9 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan
homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara nol dan satu
sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah nol.
Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah
satu. Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan 2.9 dapat
ditulis:
∑ ∑ ∑ ∏ …(2.10)
α, , dan γ adalah parameter.
Derivasi parsial dilakukan terhadap harga ∂ log c(u, p) / ∂ log pi = qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan ⁄ , maka
⁄ , sehingga persamaan 2.10 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :
∑ ∏ ………(2.11)
Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasaan konsumen, total
pengeluaran X sama dengan c(u, p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan
sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:
∑ { } ……(2.12)
Persamaan 2.12 dikenal sebagai model LA-AIDS Deaton & Muellbauer (1980a).
P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional :
∑ ∑ ∑ ……(2.13)
Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS
yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks:
∑ ……(2.14)
21
∑ ∑ ……(2.15)
Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang
restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan
adalah:
Adding Up : ∑ ∑ ∑ ∑
Homogeneity : ∑ untuk setiap i
Symmetry : γij= γji
Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi
permintaan persamaan 2.12 merupakan first order approximation dari perilaku
konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Apabila maksimasi kepuasaan
tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap
merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga
tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first
order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa
kelebihan model LA-AIDS, di antaranya:
1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas
beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan.
2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah
tersedia, sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas.
3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan
menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai
penduga yang baik.
4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi
yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya.
2.6.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS (Generalized Least Squares)
Estimasi model LA-AIDS dilakukan dengan menggunakan metode statistik
(seolah-olah kelihatannya tidak berkaitan) terdiri dari sekumpulan persamaan
yang berkaitan karena ada korelasi antar sisaan persamaan (Juanda 2009). SUR
diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang
disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut. Suatu
ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS dan peubah instrumental
tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari persamaan-persamaan yang
dibentuk. SUR terdiri atas sekumpulan persamaan yang masing-masing variabel
endogen saling berhubungan satu sama lain karena adanya korelasi antar sisaan
untuk setiap kelompok persamaan. Metode SUR menggunakan prosedur GLS dan
dapat meningkatkan efiensi dugaan dengan cara mempertimbangkan secara
eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Metode SUR ini pertama kali
diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya melakukan iterasi
dua tahap. Prosedur GLS (Generalized Least Square) digunakan dalam kasus
bahwa asumsi klasik OLS seperti homoskedasticity (ragam konstan) dan
non-autokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang
menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain
sehingga estimasi parameter lebih efisien menggunakan GLS.
2.7. Penelitian Terdahulu
Deaton & Muellbauer (1980a) menggunakan model LA-AIDS untuk
mengestimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan
bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran
lainnya di Inggris dengan data tahun 1954-1974. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa komoditi yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi
makanan dan perumahan.
Sengul dan Tuncer (2005) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti
tentang fungsi permintaan makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil
penelitian memberikan kesimpulan bahwa respon permintaan antar kelompok
makanan bervariasi antara rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran
untuk komoditi roti, padi-padian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk
ikan, daging dan lemak sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin.
23
perubahan harga dan pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin. Seale et al.
(2003) menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi makanan di 114
negara meliputi negara berpendapatan rendah, sedang dan tinggi. Hasil
penelitiannya adalah negara berpendapatan rendah lebih responsif terhadap
perubahan harga dan pendapatan. Negara-negara berpenghasilan rendah/miskin
menghabiskan sebagian besar anggarannya pada kebutuhan makanan terutama
makanan pokok (sereal).
Ariningsih (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang
perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara
daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil penelitian memberikan kesimpulan
bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah
tetapi sangat tinggi untuk pangan sumber protein nabati. Pola pengeluaran rumah
tangga untuk komoditi telur, daging, ikan pada daerah perkotaan jauh lebih tinggi
dibandingkan daerah pedesaan.
Busch et al. (2004) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti
pengeluaran tembakau terhadap pola konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat.
Hasil penelitian didapatkan kecilnya pengeluaran untuk perumahan bagi rumah
tangga perokok. Peningkatan harga rokok berpengaruh positif terhadap
permintaan makanan pada rumah tangga, untuk beberapa amatan berpengaruh
negatif pada pengeluaran untuk pakaian dan perumahan. Penelitian Suryaningsih
(2010) khusus pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa dengan menggunakan
analisis regresi berganda. Hasil penelitian adalah elastisitas pengeluaran untuk
rokok pada rumah tangga miskin di pulau Jawa cikup tinggi atau sangat elastis.
Kajian deskriptif yang dilakukan Irawan (2005) di Indonesia, meneliti hubungan
konsumsi rokok dan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk
termiskin (golongan pendapatan 20% terbawah), belanja tembakau mencapai
sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan biaya pendidikan, dan 4,3 kali lipat
dibandingkan untuk biaya kesehatan. Penelitian yang sama dilakukan oleh Liu et
al. (2006) di China dengan menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengeluaran medis akibat merokok dan belanja rokok