• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengrauh kebijakan subsidi beras miskin dan bantuan langsung tunai terhadap pengeluaran telekomunikasi dan rokok rumah tangga miskin di pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengrauh kebijakan subsidi beras miskin dan bantuan langsung tunai terhadap pengeluaran telekomunikasi dan rokok rumah tangga miskin di pulau Jawa"

Copied!
235
0
0

Teks penuh

(1)

MISKIN DI PULAU JAWA

R.A. LEISA TRIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

R.A. LEISA TRIANA. The Influence of Rice for the Poor and Unconditional Direct Cash Transfer Subsidies to Telecommunication and Tobacco Expenditure of Poor Household in Java. Under direction of SRI HARTOYO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Consumption pattern is one of social welfare indicator. Advances in information and telecommunication technology may influence consumption behavior of household including poor household. Tobacco expenditure was the bigger one commodity of poor consumption. The objective of this paper was to analyze consumption behavior of telecommunication and tobacco of poor household in Java during 2008-2010 and the influence of rice for the poor and unconditional direct cash transfer subsidies for poor consumption. National Socio-Economic Survey Panel 2008-2010 data of BPS-Statistic Indonesia were used in this study. A descriptive analysis was applied to describe expenditure structure and an econometric analysis of Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) was applied to identify telecommunication and tobacco demand. The study result were: (1) expenditure of telecommunication and tobacco was rising in rural and urban; (2) expenditure of telecommunication and tobacco was indifferent object to education of head of household; (3) demand response of telecommunication was elastic both toward income/expenditure and price changes; (4) demand response of tobacco was inelastic toward price changes but elastic toward income/expenditure changes; (5) in general, demand response of telecommunication and tobacco toward price changes was more elastic in rural households compared to those of urban household; (6) telecommunication and tobacco has substitution relation with the other food group and the other non food group commodity. Considering that telecommunication and tobacco consumption response was much stronger towards income and prices changes, subsidy is more effective if distributed in kind rather than cash.

(4)

RINGKASAN

Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat adalah pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga menggambarkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan non pangan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

Komoditi pangan mendominasi pengeluaran rumah tangga miskin namun komoditi rokok juga memiliki persentase yang cukup besar dalam pola konsumsi rumah tangga miskin. Berdasarkan data Susenas 2006, 63 persen rumah tangga atau sekitar 35 juta rumah tangga mengkonsumsi rokok. Hal ini menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu orang perokok dalam sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Menurut data WHO, pada tahun 2008, 65 juta penduduk Indonesia atau sekitar 28 persen penduduk mengkonsumsi rokok sebanyak 225 miliar batang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 negara di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi.

Kemajuan teknologi informasi diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat namun mempengaruhi pola konsumsi. Pada tahun 2008 lebih dari separuh jumlah rumah tangga di Indonesia (51,99 persen) memiliki telepon seluler. Peningkatan rumah tangga yang memiliki telepon seluler di pedesaan meningkat lima kali lipat sedangkan di perkotaan dua kali lipat selama kurun waktu 2005 – 2008 (BPS 2009). Peningkatan kebutuhan komunikasi sebagai kebutuhan primer diduga akan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga, tidak terkecuali rumah tangga miskin (RTM). Penelitian mengenai perubahan pola konsumsi RTM terkait kebutuhan telekomunikasi dan rokok akan difokuskan pada Pulau Jawa mengingat sebagian besar penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa.

Adanya subsidi pemerintah dalam bentuk beras miskin dan subsidi langsung tunai diduga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Perubahan permintaan rumah tangga miskin akan diteliti melalui simulasi yang melibatkan subsidi pemerintah dan perubahan harga.

Data yang digunakan adalah data pengeluaran/konsumsi RTM di Pulau Jawa yang sampelnya berjumlah 10.848 RTM yang bersumber dari BPS yang diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Metode ekonometrika yang digunakan adalah model LA/AIDS yang mengacu pada model Deaton dan Muellbauer (1980a, 1980b) dengan melibatkan beberapa karakteristik sosial demografi. Cakupan komoditi yang dikonsumsi terdiri dari kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, rokok dan makanan lainnya) dan kelompok bukan makanan (telekomunikasi, pendidikan dan non makanan lainnya). Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel, SPSS 17.0, StataIC 10 dan SAS 9.0.

(5)

Elastisitas harga untuk komoditi rokok bersifat inelastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan besaran yang hampir sama antara perkotaan (-0,97) dan perdesaan (-0,96) dan trennya cenderung meningkat. Elastisitas harga silang komoditi rokok menyatakan hubungan komplementer antara rokok dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, telekomunikasi dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi rokok termasuk barang mewah. Elastisitas pengeluaran untuk komoditi rokok lebih tinggi di perdesaan (2,18) dibandingkan perkotaan (2,05).

Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi raskin meningkatkan permintaan komoditi pangan, rokok dan telekomunikasi namun menurunkan permintaan komoditi non pangan. Penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi BLT meningkatkan permintaan untuk semua komoditi. Persentase perubahan permintaan terbesar adalah komoditi rokok dan telekomunikasi.

Berdasarkan hasil simulasi maka penulis menyarankan kepada pemerintah dalam menerapkan kebijakan subsidi kepada rumah tangga miskin sebaiknya tidak dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang. Hal ini mengingat preferensi rumah tangga miskin yang lebih mengutamakan rokok dan telekomunikasi dibandingkan makanan pokok bila ada tambahan proporsi pengeluaran.

Kata kunci: telekomunikasi, rokok, rumah tangga miskin, konsumsi, LA/AIDS

(6)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PENGELUARAN TELEKOMUNIKASI DAN ROKOK

RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

R.A. LEISA TRIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai Terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa

Nama : R.A. Leisa Triana

NIM : H151090134

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Sri Hartoyo Ketua

Lukytawati Anggraeni, Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr. Ir.Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah MSc. Agr.

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan

Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok

Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa” berhasil diselesaikan.Tesis ini merupakan

salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh

gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian

Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sri Hartoyo dan Lukytawati

Anggraeni, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan

bimbingan yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih

juga penulis sampaikan kepada Mohammad Dokhi, Ph.D selaku penguji luar

komisi dan Tanti Novianti, MSi. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi

serta kepada seluruh dosen pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi

Sekolah Pascasarjana IPB.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat

Statistik, Kepala BPS Propinsi Jawa Barat serta Kepala BPS Kabupaten Bogor

yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk

melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di

Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada

Ida Fariana S.ST, rekan staf BPS Kabupaten Bogor dan teman-teman tugas belajar

Program Studi Ilmu Ekonomi BPS Batch dua yang telah banyak membantu dalam

penyediaan dan pengolahan data. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis

haturkan kepada Ibunda Hanidah dan Ibunda Kusmiyati dan suami tercinta,

Kuntarto Purnomo, serta kedua buah hati tersayang, Mayang dan Ahsan, atas

semua dukungan, doa, semangat dan kasih sayangnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain

yang telah membantu, kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang dapat

membalas segala kebaikan semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 April 1976 dari pasangan Rd.

Inuni Pasha Ayub Bachtiar dan Hanidah. Penulis merupakan anak ketiga dari

empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri

Curug 1 pada tahun 1988, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Cimanggis

pada tahun 1991, Sekolah Menengah Atas Negeri 39 Cijantung pada tahun 1994,

Akademi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun 1997, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik

Jakarta pada tahun 2001, dan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Penulis

bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor semenjak tahun 1998 sampai

sekarang. Pada tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi,

(12)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………... xi

DAFTAR LAMPIRAN ………. xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ……….………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 5

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian ………. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan ……….………. 9

2.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga ………. 11

2.3. Variabel Sosial Demografi ………. 12

2.4. Pengeluaran Telekomunikasi………. 13

2.5. Subsidi ………..………. 15

2.6. Tinjauan Teoritis ……….………. 15

2.6.1. Fungsi Permintaan Konsumen ………. 15

2.6.2. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan ………. 18

2.6.3. LA-AIDS Model ……….………. 19

2.6.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS …… 21

2.7. Penelitian Terdahulu ……….………. 22

2.8. Kerangka Pemikiran ……….………. 24

2.9. Hipotesis ………..……….………. 27

III. METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup, Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 29

3.2. Jenis dan Sumber Data ………. 29

3.3. Pemilihan Variabel dan Komoditi ………. 30

3.4. Metode Analisis ……….………….….………. 32

(13)

viii

3.4.4. Simulasi Respon Perubahan Variabel ………. 36

3.5. Konsep dan definisi ………..…..…….………. 38

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA 4.1. Pangsa Pengeluaran Total Rumah Tangga Miskin …………... 43

4.2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin …………... 45

4.3. Pangsa Pengeluaran Bukan Pangan Rumah Tangga Miskin …… 46

4.4. Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin …………... 48

4.5. Pangsa Pengeluaran Telekomunikasi Rumah Tangga Miskin … 50 4.6. Pangsa Pengeluaran Rokok Rumah Tangga Miskin ………….… 51

4.7. Pendidikan Kepala Rumah Tangga ………..… 53

V. PENGARUH KEBIJAKAN SUBSIDI BERAS MISKIN DAN BANTUAN LANGSUNG TUNAI TERHADAP PENGELUARAN TELEKOMUNIKASI DAN ROKOK RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA 5.1. Pendugaan Parameter Model Sistem Permintaan ………... 57

5.2. Elastisitas Harga ……….……... 60

5.2.1. Elastisitas Harga Sendiri ……….………. 60

5.2.2. Elastisitas Harga Silang ………..……….…. 64

5.2.3. Elastisitas Pengeluaran ………..……….…. 67

5.4. Elastisitas Ukuran Rumah Tangga ……….……... 70

5.5. Simulasi Dampak Perubahan Harga Terhadap Permintaan Komoditi ………... 71

V. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……….………... 75

6.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ………... 77

DAFTAR PUSTAKA ……….. 79

(14)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1.1. Jumlah Pelanggan Tetap Nirkabel dan Telepon Seluler, Produksi Pulsa,PDB dan Laju pertumbuhan PDB

tahun 2006 – 2008 ……….. 4

1.2. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki/Menguasai Telepon Seluler Menurut Klasifikasi Desa/Kelurahan Tahun 2005 – 2008 ………. 6

2.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah

Tahun 2004 – 2010 ………. 11

4.1. Garis Kemiskinan Menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 2008, 2009 dan 2010 (Rupiah) ... 43

4.2. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah di Pulau Jawa

Tahun 2008-2010. ……….. 44

4.3. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Propinsi di Pulau Jawa

Tahun 2008-2010 ………. 45

4.4. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010 ……..… 46

4.5. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Bukan Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010 ……..… 47

4.6. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Miskin Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah

di Pulau Jawa, 2008-2010 ………..… 48

4.7. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Barang Perumahan dan Fasilitas Perumahan di

Pulau Jawa, 2008-2010 ……… 50

4.8. Persentase Pengeluaran per Kapita Rumah Tangga Miskin

untuk Komoditi Telekomunikasi Menurut Tipe Wilayah dan Propinsi di Pulau Jawa. 2008-2010 ………. 51

4.9. Persentase Pengeluaran Perkapita Sebulan untuk Rokok, Tembakau dan Sirih Menurut Tipe Wilayah and Propinsi

di Pulau Jawa Tahun 2008-2010. ………. 52

4.10. Persentase Kepala Rumah Tangga Miskin Menurut Pendidikan dan kemampuan Membaca dan Menulis Menurut Wilayah

dan Propinsi di Pulau Jawa, 2008-2010 ……….. 54

(15)

x

5.3. Elastisitas Harga Sendiri Beberapa Komoditi pada Rumah tangga Miskin Berdasarkan Pendidikan KRT di Perkotaan dan Perdesaan

di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 63

5.4. Elastisitas Harga Silang Beberapa Komoditi Pada Rumah Tangga Miskin berdasarkan tipe wilayah di Pulau Jawa

Tahun 2008-2010 ... 66

5.5. Elastisitas Pengeluaran Beberapa Komoditi Pada Rumah Tangga

Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 67

5.6. Tren Elastisitas Pengeluaran Beberapa Komoditi pada Rumah tangga Miskin Berdasarkan Pendidikan KRT di Perkotaan dan

Perdesaan di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 69

5.7. Elastisitas Ukuran Rumah tangga Beberapa Komoditi Pada

Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 70

5.8. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga Telekomunikasi terhadap Perubahan Permintaan Komoditi

Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 72

5.9. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga Rokok terhadap Perubahan Permintaan Komoditi

Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 73

5.10. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga

(16)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga

(17)

xii

1 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin Menurut Kelompok Barang dan Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2008-2010 ………..……….…… 83

2 Persentase Pengeluaran Rata-rata per kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin Menurut Kelompok Barang Perkotaan dan

Perdesaan di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ………... 84

3 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM Berdasarkan Lokasi Tempat

Tinggal ………...……… 85

4 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM menurut Pendidikan KRT di

Perdesaan ………..……….. 86

5 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM menurut Pendidikan KRT di

Perkotaan ………..……….. 87

6 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah ………... 88

7 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Pendidikan KRT ……….………... 89

8 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah dan Pendidikan KRT ………... 90

9 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tahun ……….……….………... 91

10 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah dan Tahun ……….………... 92

11 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Pendidikan KRT dan Tahun ………... 94

12 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah, Pendidikan KRT dan Tahun ………... 96

13 Hasil Running Program SAS .…………... 99

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Penurunan tingkat kemiskinan menjadi 8-10 persen pada tahun 2014

merupakan sasaran pembangunan ekonomi yang tertuang dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Strategi

pembangunan yang diprioritaskan untuk mempercepat penurunan angka

kemiskinan dilakukan baik dari sisi peningkatan pendapatan penduduk miskin

(PNPM Mandiri dan Kredit Usaha untuk Rakyat miskin) maupun dari sisi

konsumsi penduduk yaitu subsidi untuk rumah tangga miskin dalam bentuk

raskin, jamkesmas, dana BOS. Adanya kemajuan teknologi informasi dan arus

globalisasi diharapkan juga mampu menurunkan tingkat kemiskinan sehingga

dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat melalui berbagai indikator

kesejahteraan rumah tangga. Salah satu indikatornya adalah pola konsumsi

individu atau rumah tangga. Pola konsumsi dapat menggambarkan taraf hidup

masyarakat. Pola konsumsi juga menggambarkan perilaku yang berhubungan

dengan kondisi sosial budaya dan lingkungan. Budaya lokal dan faktor-faktor non

ekonomi dapat mempengaruhi pola konsumsi penduduk sehingga analisis

mengenai pola konsumsi dapat memberikan gambaran tingkat kesejahteraan

penduduk yang berkaitan dengan keadaan sumber daya manusia yang merupakan

modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi negara (BPS 2008a). Data pola

konsumsi juga dapat diekplorasi untuk mengukur ukuran kesejahteraan lainnya

seperti status gizi, status kesehatan penduduk dan status kemiskinan penduduk.

Kemiskinan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik pangan

dan non pangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap

seluruh pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan

(Nicholson 1995). Rumah tangga yang memiliki proporsi pengeluaran yang lebih

besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut adalah

rumah tangga miskin (Seale et al. 2003). Rumah tangga miskin dapat dikatakan

rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah

(19)

pilihan dalam membelanjakan pendapatannya bahkan mungkin harus meniadakan

beberapa kebutuhan dasar lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu.

Rendahnya pendapatan membuat pola konsumsi rumah tangga miskin cenderung

tak berubah (Sengul & Tuncer 2005).

Pola konsumsi dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor

internal maupun faktor eksternal. Pola konsumsi rumah tangga miskin sangat

dipengaruhi oleh faktor internal yaitu adanya perubahan harga dan pendapatan.

Menurut teorema Engel, proporsi pengeluaran untuk makanan akan menurun

seiring dengan peningkatan pendapatan. Pendapatan yang meningkat berarti daya

beli juga meningkat sehingga mempengaruhi perubahan pola konsumsi baik

konsumsi pangan maupun bukan pangan. Peningkatan pendapatan memberikan

kesempatan besar untuk asupan makanan yang lebih banyak dan kualitas makanan

yang lebih baik. Hasil penelitian pada 114 negara di dunia didapatkan bahwa

negara miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan

seperti makanan, minuman dan tembakau serta lebih responsif terhadap perubahan

pendapatan dan harga. Penyesuaian besar terhadap pola konsumsi pangan

dilakukan ketika terjadi perubahan pendapatan dan harga. (Seale et al. 2003;

Sengul & Tuncer 2005; Haq et al. 2008).

Penelitian Haq et al. (2008) di Pakistan menemukan perubahan harga

pangan global telah meningkatkan kemiskinan dan memberikan dampak yang

besar terhadap rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin akan mengalokasikan

pendapatannya lebih besar untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan melakukan

substitusi kapasitas rumah tangga. Kenaikan harga BBM juga sangat

mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Kenaikan harga BBM

memicu inflasi yang menyebabkan nilai uang dari pendapatan rumah tangga

miskin menjadi berkurang sehingga mengurangi daya beli rumah tangga miskin.

Rumah tangga akan mengurangi pengeluaran untuk konsumsi makanannya bila

terjadi kenaikan harga (Nssah et al. 2007; Amin 1998). Diversifikasi makanan

sangat diperlukan untuk mengganti kebutuhan makanan pokok yang memiliki

kandungan nutrisi yang cukup kalori dan gizinya, misalnya dengan

mengkonsumsi makanan penghasil karbohidrat seperti jagung atau tepung terigu.

(20)

3

per kapita di Indonesia periode 2005-2007 meningkat sebanyak 2,1 persen dari 15

persen menjadi 17,1 persen, kemudian menurun pada tahun 2008 karena adanya

peningkatan harga gandum dan terigu internasional. Pada tahun 2009 volume

konsumsi terigu mencapai 3,97 juta ton dan naik menjadi 4,39 juta ton pada

20101.

Selain komoditi pangan yang mendominasi pengeluaran rumah tangga

miskin, komoditi rokok juga memiliki persentase yang cukup besar dalam pola

konsumsi rumah tangga miskin. Berdasarkan data Susenas 2006, 63 persen rumah

tangga atau sekitar 35 juta rumah tangga mengkonsumsi rokok. Hal ini

menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu orang perokok dalam sebagian besar

rumah tangga di Indonesia. Menurut data WHO, pada tahun 2008, 65 juta

penduduk Indonesia atau sekitar 28 persen penduduk mengkonsumsi rokok

sebanyak 225 miliar batang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 negara

di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi. Produksi rokok di Indonesia meningkat

pada periode 2004-2008 dari 194 miliar batang pada tahun 2004 menjadi 230

miliar batang pada tahun 2008 atau naik sebesar 18,6 persen. Berbagai penelitian

mengenai permintaan rokok telah dilakukan baik yang berhubungan dengan cukai

rokok dan dampaknya terhadap total penerimaan negara serta yang berhubungan

dengan keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Hasil penelitian Ahsan et al.

(2010) menunjukkan bahwa elastisitas harga rokok untuk rumah tangga

berpendapatan rendah sangat elastis yaitu -1,696 sementara untuk rumah tangga

yang berpendapatan tinggi elastisitasnya bersifat inelastis sebesar -0.409 yang

berarti bahwa rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih sensitif terhadap

perubahan harga rokok. Hasil penelitian Adioetomo et al. (2003) menemukan

bahwa perubahan harga rokok mempengaruhi konsumsi rokok dimana

peningkatan harga rokok 4,9 persen menurunkan permintaan rokok sebesar 3

persen. Kenaikan cukai rokok akan meningkatkan harga rokok, menurunkan

konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan pajak.

Pola konsumsi rumah tangga miskin juga dipengaruhi oleh faktor eksternal

antara lain adalah adanya arus informasi, perkembangan telekomunikasi dan

perbaikan transportasi. Hal ini mendorong perkembangan permintaan jenis barang

1Bisnis Indonesia, “Pertumbuhan Konsumsi Terigu Diprediksi εelambat”

(21)

yang dikonsumsi oleh masyarakat baik itu golongan berpendapatan tinggi maupun

berpendapatan rendah. Kemudahan menggunakan dan memiliki telepon seluler

karena adanya persaingan usaha di bidang telekomunikasi membuat rumah tangga

miskin pun mampu memiliki dan menikmati fasilitas komunikasi ini, sehingga hal

ini turut mempengaruhi perubahan pola konsumsi. Hasil penelitian Aker (2008)

menunjukkan bahwa perkembangan telekomunikasi di negara miskin Nigeria

khususnya ponsel telah meningkatkan kesejahteraan konsumen dan pedagang.

Beberapa tahun terakhir juga telah terjadi peningkatan jumlah produksi pulsa,

jumlah pelanggan tetap lokal dan telepon seluler yang mendorong peningkatan

PDB Indonesia untuk sektor komunikasi.

Tabel 1.1. Jumlah Pelanggan Tetap Nirkabel dan Telepon Seluler, Produksi Pulsa, PDB dan Laju pertumbuhan PDB tahun 2006 – 2008

Uraian 2006 2007 2008 Sumber: Ditjen Postel Kementrian Kominfo, PT Telkom, BPS, Statistik Indonesia 2009

Pola konsumsi rumah tangga yang tinggal di daerah pedesaan berbeda

dengan daerah perkotaan (Yuliana 2008, Syafwil 2002). Ini terjadi karena

konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan. Tingkat pendapatan rumah tangga di

pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Pendapatan yang rendah

di pedesaan disebabkan oleh sedikitnya kesempatan kerja dan tidak adanya

aksesibilitas terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi sehingga jumlah penduduk

miskin lebih banyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Penelitian Geda et al.

(2005) di Kenya menemukan bahwa kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi di

daerah pedesaan dan di sektor pertanian pada khususnya. Selain pendapatan yang

rendah yang membedakan pola konsumsi di pedesaan dan perkotaan, kemudahan

mengakses berbagai fasilitas kebutuhan hidup di daerah perkotaan cenderung

membentuk pola konsumsi yang bervariasi dan tinggi. Terbatasnya fasilitas di

(22)

5

Arus informasi yang sampai ke desa dan pengaruh advertensi terhadap konsumsi

juga mempengaruhi perbedaan pola konsumsi di pedesaan dan perkotaan. Selain

faktor-faktor tersebut diatas, perbedaan pola konsumsi juga dapat disebabkan oleh

jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan dan lain-lain.

Penelitian mengenai pola konsumsi rumah tangga miskin telah banyak

dilakukan seperti penelitian pola konsumsi pangan di negara berpendapatan

rendah (Seale et al. 2003), pola konsumsi pangan terhadap rumah tangga miskin

(Sengul & Tuncer 2005), pola konsumsi rumah tangga miskin pada komoditi yang

disubsidi pemerintah (Suryaningsih 2010). Berdasarkan uraian tersebut di atas

maka penelitian ini menitikberatkan analisis pola konsumsi rumah tangga miskin

baik pangan dan non pangan serta pengaruh pengeluaran konsumsi

telekomunikasi dan rokok pola konsumsi rumah tangga miskin. Diharapkan

melalui pola konsumsi rumah tangga miskin dapat memberikan gambaran

mengenai alokasi komoditi makanan dan non makanan yang dipilih rumah tangga

miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan seberapa besar ketergantungan

rumah tangga miskin terhadap komoditi tersebut baik di pedesaan maupun di

perkotaan sehingga pemerintah dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam

mengentaskan kemiskinan.

1.2. Perumusan Masalah

Pola konsumsi rumah tangga miskin menggambarkan alokasi pengeluaran

untuk pangan dan non pangan pada rumah tangga miskin. Konsumsi pangan di

rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan dengan konsumsi non pangan.

Kebutuhan akan konsumsi non pangan kadang terpinggirkan guna memenuhi

konsumsi pangan. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan untuk rumah tangga

miskin menjadi prioritas pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Namun

dari penelitian terdahulu alokasi pengeluaran rumah tangga miskin untuk

konsumsi rokok yang berbahaya bagi kesehatan pada rumah tangga miskin cukup

tinggi. Selain itu adanya perkembangan arus informasi dan semakin murahnya

pengeluaran untuk komunikasi, hampir membuat kebutuhan ini menjadi

kebutuhan primer sehingga dirasakan perlu diketahui pola konsumsi rumah tangga

(23)

Selama beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah pelanggan

telepon tetap nirkabel dan seluler sebanyak lebih dari dua kali lipat. Pesatnya

pertumbuhan telepon seluler tercermin pula dengan banyaknya rumah tangga yang

memiliki/menguasai telepon seluler. Pada tahun 2008 lebih dari separuh jumlah

rumah tangga di Indonesia (51,99%) memiliki/menguasai telepon seluler dan

apabila dibandingkan dengan tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 32,11

persen.

Tabel 1.2. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki/Menguasai Telepon Seluler Menurut Klasifikasi Desa/Kelurahan Tahun 2005 – 2008

Tahun Klasifikasi Perkotaan + Perdesaan

Perkotaan Perdesaan

2005 35,36 8,21 19,88

2006 41,96 12,27 24,60

2007 55,03 24,33 37,59

2008 66,61 38,15 51,99

Sumber : BPS, Survei Sosial Ekonomi Nasional

Jika dilihat berdasarkan klasifikasi daerah, peningkatan di daerah

perdesaaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan, dimana di daerah

perkotaan persentase rumah tangga tangga yang memiliki/menguasai telpon

seluler selama kurun waktu 2005 – 2008 hanya naik hampir dua kali lipat saja sedangkan daerah perdesaan naik hampir lima kali lipat. Hal ini menunjukkan

bahwa daerah perdesaan lebih banyak terpengaruh pesatnya pertumbuhan telepon

seluler dibanding daerah perkotaan. Pengeluaran untuk konsumsi telekomunikasi

pada rumah tangga miskin tentu mempengaruhi besarnya pengeluaran kebutuhan

pangan dan non pangan pada rumah tangga miskin. Hal ini menarik untuk diteliti

sampai sejauh mana pengeluaran telekomunikasi mempengaruhi perubahan pola

konsumsi khususnya rumah tangga miskin di pedesaan dan perkotaan.

Perubahan pola konsumsi rumah tangga miskin sebagai akibat dari adanya

perubahan harga khususnya komoditi rokok dan telekomunikasi, memungkinkan

terjadi pergeseran alokasi pengeluaran rumah tangga miskin. Pergeseran tersebut

bisa saja berbentuk pengurangan konsumsi komoditi tersebut atau pengurangan

konsumsi komoditi yang lain. Oleh karena itu besarnya pergeseran alokasi

(24)

7

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa banyak faktor yang

memengaruhi konsumsi selain pendapatan dan kekayaan. Misalnya jumlah

anggota rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan beberapa

faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut memengaruhi konsumsi pada rumah tangga

pada umumnya, sehingga penelitian tentang pengaruh faktor-faktor tersebut pada

rumah tangga miskin sangat menarik untuk diteliti.

Selain faktor-faktor tersebut di atas, kebijakan pemerintah juga diduga

mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Kebijakan pemerintah dalam

bidang ekonomi akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap

rumah tangga miskin. Kebijakan tersebut dapat berupa penetapan harga maupun

pemberian subsidi. Pemerintah berupaya keras meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya terutama menurunkan tingkan kemiskinan. Berbagai program

dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin

seperti program subsidi beras miskin, di bidang pendidikan dalam bentuk bantuan

operasional sekolah dan di bidang kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan

masyarakat. Bentuk subsidi lainnya adalah pemberian bantuan langsung tunai

dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya

pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. Besarnya pengaruh

subsidi pemerintah terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin menarik untuk

diteliti. Simulasi dilakukan guna melihat pengaruh perubahan harga dan

pendapatan akibat adanya subsidi pemerintah terhadap pola konsumsi komoditi

pada rumah tangga miskin.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas

di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika pola konsumsi rumah tangga miskin di perkotaan

dan pedesaan Indonesia?

2. Apakah karakteristik sosial demografi mempengaruhi pola konsumsi

rumah tangga miskin?

3. Apakah perkembangan pengeluaran konsumsi telekomunikasi dan rokok

(25)

4. Seberapa besar respon perubahan konsumsi komoditi pangan atau bukan

pangan rumah tangga miskin dengan adanya subsidi yang diberikan oleh

pemerintah?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:

1. Menganalisis dinamika pengeluaran rumah tangga miskin pedesaan dan

perkotaan di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh karakteristik sosial demografi terhadap pola konsumsi

rumah tangga miskin di perkotaan dan pedesaan.

3. Menganalisis pengaruh pengeluaran telekomunikasi dan rokok pada pola

konsumsi rumah tangga miskin.

4. Menganalisis perubahan konsumsi rumah tangga miskin dengan adanya

subsidi beras miskin (Raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) terhadap

pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga miskin.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis

sendiri juga bagi pihak-pihak lain;

1. bagi pemerintah, para ekonom dan para penentu kebijakan lainnya dapat

dijadikan bahan untuk evaluasi sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang

lebih terarah dan menyeluruh dalam mengentaskan kemiskinan

2. bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan

pemahaman yang semakin mendalam tentang kemiskinan dan pola konsumsi

rumah tangga miskin

3. bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan atau acuan

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Kemiskinan mengandung banyak pengertian, berbeda antara satu

lokasi/daerah dengan daerah yang lain pada setiap waktu. Definisi kemiskinan

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009,

adalah kondisi yang membuat seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan

perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan

mengembangkan kehidupan yang bermartabat. BPS mendefinisikan kemiskinan

adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar

untuk makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut

Chamber (1995) kemiskinan mengacu pada kekurangan akan kebutuhan fisik, aset

dan pendapatan untuk dapat hidup sejahtera. Kemiskinan mencakup dimensi fisik,

sosial, ekonomi, politik, psikologis/spiritual, termasuk kelemahan fisik,

keterisolasian, kerentanan, kemiskinan musiman, kurangnya penghargaan dan

ketidakberdayaan. Secara umum kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan

seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik pangan dan non

pangan serta kebutuhan sosialnya.

Tingkat kemiskinan diukur dengan menggunakan garis kemiskinan.

Seseorang dikatakan miskin apabila ukuran standar hidupnya berada di bawah

standar hidup minimum yang disebut dengan garis kemiskinan. Penentuan garis

kemiskinan dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan relatif dan absolut.

Menurut Ravallion (1992) kemiskinan relatif mengacu pada posisi tingkat

pendapatan seseorang atau rumah tangga dibandingkan dengan pendapatan

rata-rata di negara tersebut. Menurut BPS (2008b) kemiskinan relatif merupakan

kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu

menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan

distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu

(27)

Kemiskinan absolut mengacu pada posisi tingkat pendapatan seseorang atau

rumah tangga dalam hubungannya terhadap garis kemiskinan yang didasarkan

pada nilai riil yang tetap antar waktu (Ravallion 1992). Todaro dan Smith (2006)

menyatakan kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatannya berada di

bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup minimal, antara lain pangan, sandang, kesehatan,

perumahan, dan pendidikan. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut

sebagai orang yang pendapatannya di bawah USD $1/hari. Definisi kemiskinan

absolut menurut BPS adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan dasar yaitu makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi

pengeluaran. Ketidakmampuan ini dibatasi oleh suatu standar tertentu yang

disebut dengan garis kemiskinan dimana seseorang hanya dapat memenuhi

kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kkalori per kapita sehari dan kebutuhan

dasar minimum untuk non makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan

kesehatan yang totalnya kurang dari garis kemiskinan.

Penghitungan garis kemiskinan yang dihitung BPS dibedakan untuk daerah

perkotaan dan perdesaan. Penghitungan tersebut didasarkan dari pengeluaran

rumah tangga berdasarkan data Susenas. Garis kemiskinan per provinsi

berbeda-beda. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan

pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun non makanan yang dianggap

„dasar‟. Berdasarkan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai rata-rata

pengeluaran per kapita per bulan di bawah suatu standar tertentu yang disebut

sebagai garis kemiskinan. Mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis

kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung

dengan cara menjumlahkan (1) biaya untuk memperoleh minimum makanan yang

disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari, dan (2) biaya untuk

memperoleh kebutuhan minimum non makanan yang dianggap dasar, seperti

pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.

Tabel 2.1. menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun

2004 adalah 36,10 juta orang (11,40 juta orang di perkotaan dan 24,80 juta orang

di perdesaan). Adanya berbagai program penanggulangan kemiskinan yang

(28)

11

menjadi sebesar 31,02 juta orang (11,10 juta orang di perkotaan dan 19,93 juta

orang di perdesaan).

Tabel 2.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 2004-2010

Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66

2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97

2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75

2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58

2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42

2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15

2010 11,10 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33 Sumber : Berita Resmi Statistik 2010

2.2. Pola Konsumsi Rumah tangga

Rumah tangga didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang

mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan

biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga umumnya

terdiri dari bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumah tangga biasa. Anggota

rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah

tangga (BPS 2009b).

Setiap anggota rumah tangga membutuhkan pangan setiap hari. Setiap

anggota rumah tangga juga membutuhkan dan menggunakan berbagai jenis

barang lainnya selain pangan atau dengan kata lain setiap anggota rumah tangga

mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa agar tetap dapat melakukan

aktivitas sehari-hari. Hal ini mendorong terjadinya permintaan dan penawaran

akan suatu barang sehingga tercipta aktivitas ekonomi.

Besarnya permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan

untuk mengkonsumsi atau membeli barang/jasa tersebut. Kemampuan tersebut

sangat ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang

yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah

maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila

(29)

tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang

dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang

berbeda-beda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar

rumah tangga.

Pada negara berkembang pengeluaran untuk pangan lebih besar

dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat

pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi

prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata

pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari

konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi

makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang

dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama

(BPS 2010).

2.3. Variabel Sosial Demografi

Pola konsumsi dapat dilihat dari perilaku dan karakteristik kosumen.

Karakteristik konsumen dapat dikelompokkan berdasarkan usia, lokasi tempat

tinggal, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, status

pekerjaan kepala rumah tangga dan lain-lain. Pengelompokan konsumen

berdasarkan karakteristiknya dapat mencirikan perbedaan perilaku konsumen

antarkelompok. Perbedaan perilaku konsumen menyebabkan pola konsumsi

rumah tangga juga berbeda. Pada Howard and Sheth model dalam Sumarwan

(2002), perilaku konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli atau

mengkonsumsi barang dan jasa dipengaruhi oleh adanya kegiatan pemasaran yang

dilakukan produsen, faktor perbedaan individu dan faktor lingkungan. Faktor

lingkungan ini terdiri dari: (1) budaya, (2) karakteristik sosial ekonomi, (3)

keluarga dan rumah tangga, (4) kelompok acuan, dan (5) situasi konsumen.

Lokasi tempat tinggal konsumen akan mempengaruhi pola konsumsinya

(Yuliana 2008, Syafwil 2002, Kahar 2010). Rumah tangga yang tinggal di

perdesaan memiliki akses terbatas pada berbagai produk barang dan jasa.

Sebaliknya, rumah tangga yang tinggal di perkotaan lebih mudah memperoleh

(30)

13

membelanjakan sebagian besar pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan

bukan makanan, sedangkan sebaliknya penduduk perdesaan mengutamakan

pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan. Secara nasional, penduduk

perkotaan membelanjakan 45,69 persen pengeluarannya untuk makanan,

sedangkan penduduk perdesaan mencapai 58,57 persen (BPS 2009b). Keadaan ini

mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik

dibandingkan penduduk di perdesaan.

Ukuran rumah tangga berbeda pengaruhnya terhadap permintaan makanan

dimana ukuran rumah tangga berpengaruh positif terhadap permintaan makanan

pokok tetapi berpengaruh negatif terhadap permintaan makanan lainnya (Teklu &

Johnson 1987, Nurfarma 2005). Peningkatan jumlah anggota rumah tangga

biasanya akan meningkatkan permintaan komoditi pangan dibandingkan komoditi

non pangan. Apabila rumah tangga memiliki pendapatan yang sama maka

peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan kemampuan rumah

tangga untuk membeli makanan yang bergizi yang akan dikonsumsi oleh anggota

rumah tangga.

Terkait dengan pendidikan, hasil penelitian Suryaningsih (2010)

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan istri berpengaruh negatif terhadap

permintaan sembako rumah tangga miskin. Kahar (2010) menunjukkan

pendidikan kepala rumah tangga yang rendah berpengaruh negatif terhadap

konsumsi pendidikan di daerah perkotaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan

kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap jumlah permintaan terhadap

komoditi ikan/daging/telur/susu di daerah perkotaan.

2.4. Pengeluaran Telekomunikasi

Penelitian Jiwanta (1982) dalam Suprapto (2009) menunjukkan bawa

komunikasi merupakan kebutuhan utama dalam melakukan interaksi sosial

dimana 90 persen dari kehidupan manusia sehari-hari merupakan komunikasi.

Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian suatu pesan oleh

seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap,

pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui

(31)

adalah Harold D. Lasswell yang menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan kegiatan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?” (Effendy 1986). Pertanyaan ini dikenal dengan rumusan Lasswell yang menerangkan unsur-unsur yang

membangun komunikasi yaitu :

- Who? (Siapakah komunikatornya?)

- Says What? (Pesan apa yang dinyatakan?)

- In Which Channel? (Media apa yang digunakan?)

- To Whom? (Siapa komunikannya?)

- With What Effect? (Efek apa yang diharapkan?)

Komunikasi dilakukan dengan cara bertatap muka langsung maupun dengan

media. Komunikasi melalui media pada umumnya digunakan untuk komunikasi

informatif misalnya dengan menggunakan media surat kabar, televisi, radio, film,

pameran, poster, pamflet, telepon, internet dan lain sebagainya. Komunikasi

melalui media dilakukan karena ada jarak antara komunikator dan komunikan

atau disebut juga telekomunikasi. Selain itu, komunikasi melalui media juga

dilakukan karena banyaknya jumlah komunikan yang akan diberikan pesan.

Kemajuan teknologi telah mempermudah arus informasi diakses dari dalam

rumah sehingga informasi dunia dapat dengan cepat diketahui. Informasi yang

diakses oleh rumah tangga dapat memberikan efek langsung dalam perubahan

tingkah laku rumah tangga misalnya perubahan pola konsumsi rumah tangga

sebagai respon dari intensitas iklan yang dilakukan media televisi atau internet.

Kebutuhan akan informasi dan komunikasi yang semakin mudah didapatkan

juga mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengalokasikan pendapatan

guna memenuhi kebutuhan ini. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi

telekomunikasi menurut BPS mencakup pengeluaran untuk telepon rumah, pulsa

HP, nomor perdana, telepon umum/wartel, benda pos, warnet, internet dan

lainnya.

2.5. Subsidi

Secara umum pengertian subsidi adalah penetapan harga beli di bawah

(32)

15

dibawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak negatif (Pindyck &

Rubinfeld, 2005). Pemberian subsidi menimbulkan efek yang positif dan negatif.

Efek positif subsidi adalah peningkatan daya beli masyarakat yang mendorong

peningkatan output, sedangkan efek negatif subsidi adalah terjadinya distorsi

perekonomian yaitu alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini tercermin

adanya kecenderungan masyarakat mengkonsumsi barang yang disubsidi secara

berlebihan. Penyelenggaraan subsidi berkaitan dengan APBN karena bila terjadi

selisih antara harga jual dengan harga jual sebenarnya maka itu menjadi

tanggungan pemerintah yang ditetapkan dalam APBN.

Pada tahun 2005 pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga BBM

guna mengurangi beban APBN. Subsidi pemerintah untuk BBM dialihkan dalam

bentuk santunan langsung tunai yang diberikan secara langsung kepada rumah

tangga miskin. Program tersebut berlanjut menjadi program keluarga harapan

yang memberikan subsidi langsung tunai bersyarat kepada rumah tangga miskin.

Subsidi pemerintah yang lain berupa subsidi beras miskin dimana rumah tangga

miskin dapat membeli beras dengan harga yang lebih murah dari harga pasar

karena pemerintah telah membayar sebagian harga jual beras tersebut.

2.6. Tinjauan teoritis

2.6.1. Fungsi Permintaan Konsumen

Berawal dari asumsi konsumen bersifat rasional dan mempunyai tujuan

memaksimumkan kepuasannya dengan cara memilih berbagai kombinasi

sejumlah n barang yang akan menghasilkan dayaguna yang maksimum dengan

jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang tersedia. Fungsi dayaguna

konsumen dituliskan dengan rumus

U = f (q1,q2, …qn) ………(2.1)

dan kendala anggaran konsumen dituliskan dengan rumus :

………(2.2)

y adalah pendapatan (tetap), pi adalah harga barang ke-i. Maka tujuan konsumen

(33)

fungsi Lagrangian yaitu fungsi dayaguna yang sudah disesuaikan dengan kendala

terbatasnya anggaran.

………(2.3)

λ adalah dayaguna marjinal dari pendapatan.

Guna mendapatkan jumlah barang yang diminta maksimum maka

dibutuhkan dua syarat. Syarat pertama sebagai syarat perlu yaitu karena q

merupakan nilai ekstrim maka fungsi turunan pertama dari fungsi lagrangian

terhadap qi dan λ harus sama dengan nol. Syarat yang kedua adalah nilai ekstrim

merupakan nilai maksimum bila turunan kedua dari fungsi tersebut adalah negatif

yang disebut sebagai syarat cukup.

Fungsi permintaan ini dikembangkan dari fungsi permintaan sederhana/baku

(Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand

function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan

komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi

tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Dua kesimpulan penting dari fungsi

permintaan ini adalah : (1) permintaan terhadap komoditas apapun adalah fungsi

single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan (2) fungsi permintaan adalah

homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan dimana bila semua harga dan

pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta

tetap, tidak akan berubah (Henderson and Quandt, 1980). Kesimpulan pertama

merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi dayaguna yang

ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (CRS) sama dengan rasio

harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus

terpenuhi. Dalam permintaan n barang turunan kedua menghasilkan penurunan

RCS antara tiap pasang komoditi.

Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan

harus memenuhi kondisi:

a. Homogeneity

Syarat homogeneity atau disebut Slutsky-schultz condition adalah hasil

(34)

17

silang dan elastisitas pendapatan untuk komoditi i sama dengan nol (Tewari dan

Singh 1996), dirumuskan :

………(2.4)

dimana ii adalah elastisitas harga sendiri, ij adalah elatisitasharga silang dan

adalah elastisitas pendapatan.

b. Agregasi Cournot

Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga

sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata

pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total

pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut.

Dinotasikan dengan rumus :

……(2.5)

adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total pengeluaran, adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang.

Untuk fungsi permintaan terkompensasi maka aggregasi Cournot harus

sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus :

……(2.6)

adalah elatisitas harga terkompensasi. c. Aggregasi Engel

Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan

dengan berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas

pendapatan tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama

dengan satu. Dinotasikan dengan rumus :

(35)

adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran dan adalah elastisitas pendapatan (Henderson and Quandt 1980).

2.6.2. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan

Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga

dibedakan menjadi dua yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi

(X1→B) dalam penelitian ini adalah efek substitusi/penggantian jumlah konsumsi

komoditi telekomunikasi dengan komoditi rokok akibat adanya perubahan harga

telekomunikasi dan utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen.

Gambar 1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga

Telekomunikasi

Efek pendapatan (B →X2

) pada penelitian ini adalah perubahan konsumsi

kedua jenis barang yaitu telekomunikasi dan rokok akibat adanya perubahan

pendapatan (prinsip maksimisasi utilitas) dengan harga barang tetap. Penjumlahan

dari kedua efek ini disebut efek total perubahan permintaan suatu barang karena

terjadi perubahan harga. Perbedaan efek substitusi dan efek pendapatan dapat

digunakan untuk menentukan jenis barang. Barang normal mempunyai efek

Rokok

E2 Y1

U2 E1

Y2

T

B1 U1

B X2

X1 Telekomunikasi

O X2

Efek pendapatan Efek

substitusi

Efek total

(36)

19

pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Bila efek

pendapatan positif lebih besar dari nilai absolut, efek substitusi barang ini

tergolong superior, bila efek pendapatan negatif lebih besar daripada nilai absolut,

efek substitusi menimbulkan efek substitusi yang negatif pula maka barang ini

disebut barang giffen (Sudarsono 1995).

Dua barang dikatakan bersubstitusi jika kedua barang tersebut dapat

memenuhi kebutuhan yang sama, dengan kata lain sifat dua barang yang jika

harga salah satunya meningkat, kuantitas barang lainnya yang diminta akan

meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang bersama-sama

dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua

barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan

menurun (asumsi ceteris paribus). Apakah dua jenis barang bersubstitusi atau

berkomplemen sangat tergantung dari kurva indiferen.

2.6.3. LA-AIDS Model

Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial

ekonomi adalah model Linear Approximation Almost Ideal Demand System

(LA-AIDS). Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan

persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Working

(1943) dalam Deaton (1980a) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam

bentuk budget share, sebagai berikut:

wi = αi + i log x………...2.8) Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang

didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu.

Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari

tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan

Muellbauer (1980a) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi

biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam

memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat

dinyatakan dengan:

(37)

c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor

harga. Pada persamaan 2.9 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan

homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara nol dan satu

sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah nol.

Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah

satu. Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan 2.9 dapat

ditulis:

∑ ∑ ∑ ∏ …(2.10)

α, , dan γ adalah parameter.

Derivasi parsial dilakukan terhadap harga ∂ log c(u, p) / ∂ log pi = qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan ⁄ , maka

⁄ , sehingga persamaan 2.10 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :

∑ ∏ ………(2.11)

Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasaan konsumen, total

pengeluaran X sama dengan c(u, p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan

sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:

∑ { } ……(2.12)

Persamaan 2.12 dikenal sebagai model LA-AIDS Deaton & Muellbauer (1980a).

P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional :

∑ ∑ ……(2.13)

Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS

yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks:

……(2.14)

(38)

21

∑ ∑ ……(2.15)

Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang

restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan

adalah:

Adding Up : ∑ ∑ ∑

Homogeneity : ∑ untuk setiap i

Symmetry : γij= γji

Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi

permintaan persamaan 2.12 merupakan first order approximation dari perilaku

konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Apabila maksimasi kepuasaan

tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap

merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga

tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first

order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa

kelebihan model LA-AIDS, di antaranya:

1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas

beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan.

2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah

tersedia, sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas.

3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan

menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai

penduga yang baik.

4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi

yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya.

2.6.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS (Generalized Least Squares)

Estimasi model LA-AIDS dilakukan dengan menggunakan metode statistik

(39)

(seolah-olah kelihatannya tidak berkaitan) terdiri dari sekumpulan persamaan

yang berkaitan karena ada korelasi antar sisaan persamaan (Juanda 2009). SUR

diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang

disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut. Suatu

ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS dan peubah instrumental

tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari persamaan-persamaan yang

dibentuk. SUR terdiri atas sekumpulan persamaan yang masing-masing variabel

endogen saling berhubungan satu sama lain karena adanya korelasi antar sisaan

untuk setiap kelompok persamaan. Metode SUR menggunakan prosedur GLS dan

dapat meningkatkan efiensi dugaan dengan cara mempertimbangkan secara

eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Metode SUR ini pertama kali

diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya melakukan iterasi

dua tahap. Prosedur GLS (Generalized Least Square) digunakan dalam kasus

bahwa asumsi klasik OLS seperti homoskedasticity (ragam konstan) dan

non-autokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang

menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain

sehingga estimasi parameter lebih efisien menggunakan GLS.

2.7. Penelitian Terdahulu

Deaton & Muellbauer (1980a) menggunakan model LA-AIDS untuk

mengestimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan

bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran

lainnya di Inggris dengan data tahun 1954-1974. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa komoditi yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi

makanan dan perumahan.

Sengul dan Tuncer (2005) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti

tentang fungsi permintaan makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil

penelitian memberikan kesimpulan bahwa respon permintaan antar kelompok

makanan bervariasi antara rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran

untuk komoditi roti, padi-padian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk

ikan, daging dan lemak sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin.

(40)

23

perubahan harga dan pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin. Seale et al.

(2003) menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi makanan di 114

negara meliputi negara berpendapatan rendah, sedang dan tinggi. Hasil

penelitiannya adalah negara berpendapatan rendah lebih responsif terhadap

perubahan harga dan pendapatan. Negara-negara berpenghasilan rendah/miskin

menghabiskan sebagian besar anggarannya pada kebutuhan makanan terutama

makanan pokok (sereal).

Ariningsih (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang

perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara

daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil penelitian memberikan kesimpulan

bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah

tetapi sangat tinggi untuk pangan sumber protein nabati. Pola pengeluaran rumah

tangga untuk komoditi telur, daging, ikan pada daerah perkotaan jauh lebih tinggi

dibandingkan daerah pedesaan.

Busch et al. (2004) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti

pengeluaran tembakau terhadap pola konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat.

Hasil penelitian didapatkan kecilnya pengeluaran untuk perumahan bagi rumah

tangga perokok. Peningkatan harga rokok berpengaruh positif terhadap

permintaan makanan pada rumah tangga, untuk beberapa amatan berpengaruh

negatif pada pengeluaran untuk pakaian dan perumahan. Penelitian Suryaningsih

(2010) khusus pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa dengan menggunakan

analisis regresi berganda. Hasil penelitian adalah elastisitas pengeluaran untuk

rokok pada rumah tangga miskin di pulau Jawa cikup tinggi atau sangat elastis.

Kajian deskriptif yang dilakukan Irawan (2005) di Indonesia, meneliti hubungan

konsumsi rokok dan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk

termiskin (golongan pendapatan 20% terbawah), belanja tembakau mencapai

sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan biaya pendidikan, dan 4,3 kali lipat

dibandingkan untuk biaya kesehatan. Penelitian yang sama dilakukan oleh Liu et

al. (2006) di China dengan menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengeluaran medis akibat merokok dan belanja rokok

Gambar

Gambar 1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga
Tabel 4.4. Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Rumah tangga
Tabel 4.6. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Miskin Sebulan untuk
Tabel 4.7. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan tertua di Pulau Jawa yang dipengaruhi agama dan kebudayaan Hindu. Letaknya di Jawa Barat dan diperkirakan berdiri kurang lebih abad

Hasil yang penulis dapat dilapangan sudah menunjukkan bahwa dengan ada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi

(2) Pembatasan penelitian ini adalah Penelitian analisis wacana kritis terhadap teks berita ini dibatasi pada posisi subjek, objek, dan posisi pembaca berita

Maka strategi yang dibuat adalah dengan membuat membuat network dan partnership untuk menuju penjualan retail dari produk jadi yaitu pakaian, network yang dibuat untuk bisa

Sementara itu, Thomas (2009) mengungkapkan bahwa seseorang akan engaged dengan pekerjaannya apabila seseorang berkomitmen pada suatu tujuan, menggunakan kecerdasannya

Hypercube Laporan Jumlah Komposisi Indeks Prestasi Per Semester Tahun Ajaran Per Jenjang Program Studi Per Angkatan Berdasarkan hypercube gambar 7 maka akan terbentuk 1

Mengapa penulis memilih surat kabar Warta Kota, dikarenakan surat kabar ini banyak dibaca oleh semua kalangan dengan beragam tingkat usia, namun bentuk bahasa

Menurut Levey dan Loomba (2000) Proses, Suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah sebuah masukan untuk menjadikan hasil yang diharapakan dari sistem tersebut