• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas, Potensi Dan Strategi Pengembangan Kerbau Belang Di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produktivitas, Potensi Dan Strategi Pengembangan Kerbau Belang Di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN KERBAU BELANG

DI KECAMATAN SANGGALANGI’,

KABUPATEN TORAJA UTARA,

SULAWESI SELATAN

SKRIPSI ARFAN AFANDI H

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

i RINGKASAN

ARFAN AFANDI H. D14063328. 2010. Produktivitas, Potensi dan Strategi Pengembangan Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, M.Si Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Joko Setyono, MS

Kerbau Belang (Tedong Bonga) adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja. Populasi kerbau belang sangat dikhawatirkan akan semakin menurun setiap tahun karena tingginya permintaan kerbau tersebut dalam hal sosial budaya terutama penggunaannya untuk upacara adat orang meninggal (Rambu Solo’). Dinas Peternakan Toraja Utara (2010) menyatakan bahwa populasi kerbau di Kecamatan Sanggalangi’ pada tahun 2006 yakni sebesar 49.732 ekor menurun menjadi 49.364 ekor pada tahun 2007. Populasi kerbau belang di Kecamatan Sanggalangi’ mengalami penurunan dari tahun 2008 hingga 2010 yakni pada tahun 2008 sebesar 1253 ekor dan turun menjadi 1044 ekor pada tahun 2009 dan 909 ekor pada tahun 2010. Penurunan ini diduga berkaitan dengan sistem pengusahaannya yang masih secara tradisional. Penyebab lainnya adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami, penampilan produksi belum maksimal, dewasa kelamin dan selang beranak (calving interval) relatif panjang, dan kurang tersedianya betina.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas Kerbau Belang serta menganalisis potensi dan strategi pengembangan populasinya di Kecamatan Sangallangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan pada bulan Juli hingga September 2010. Jumlah sampel peternak yang diwawancarai ialah 90 peternak.

(3)

ii Nilai Kapasitas Peningkatan Popupasi Ternak Ruminasia (KPPTR) di Kecamatan Sanggalangi’ bernilai negatif yakni 1124,72 ST. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan sumberdaya lahan dalam pengembangan Kerbau Belang. Prospek pengembangan kerbau di Kecamatan Sanggalangi’ dianalisis dengan menggunakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT) yang ditinjau dari aspek internal dan eksternal. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa skor nilai untuk faktor internal ialah -0,11 sedangkan untuk faktor eksternal ialah 0,88. Hal ini berarti bahwa kedudukan atau posisi Kecamatan Sanggalangi’ berada pada posisi turnaround sehingga langkah strategi yang perlu diambil antara lain perlu adanya optimalisasi daya dukung lahandalam penyediaan pakan ternak, menanami lahan-lahan kosong dengan tanaman makanan ternak, pengolahan / pengawetan hijauan makanan ternak, serta memaksimalkan penggunaan limbah tanaman pangan atau hasil pertanian; meningkatkan kerjasama pemerintah dengan peternak (pemberian pinjaman modal ke peternak dari pemerintah atau pihak bank); serta membenahi transportasi seperti infrakstruktur jalan dan transportasi darat (angkutan umum).

(4)

iii ABSTRACT

Productivity, Potency and Development Strategy of Spotted Buffalo in the Sanggalangi’ Subdistrict,

North Toraja District, South Sulawesi

Spotted buffaloes (Tedong Bonga) is one of local livestock that has the highest value in Torajan’s culture. Population of Torajan's spotted buffalo has been decreasing since several years ago. The aim of this research was to analyze the productivity and reproductivity performances of Torajan’s spotted buffalo. Secondly, to analyze how the potency and development strategy of Torajan's spotted buffalo in Sanggalangi subdistrict, North Toraja. This research was conducted from July to September 2010 in the Sanggalangi’ subdistrict, North Toraja District, South Sulawesi. This research used sampling method were purposive sampling method for subdistrict samples and farmers samples ( 90 farmers). Two kinds of data were obtained in this research. The primary data was collected from the farmers by interview using questioner and observation. The secondary data was collected from North Toraja Livestock and Fishing Departement, Central Statistics Departement, Agricultural Departement and Subdistrict Departement. Data collected were analyzed with descriptive analysis, reproduction characteristic analysis, dynamics of buffalo population analysis, Capacity of Additional Ruminant Population (CARP) analysis, and SWOT (strength, weaknesses, opportunities, and threats) analysis. The result showed that as follow : the ratio between male and female was 1:3; first oestrus was at 2,48 years of age with the average duration of heat about 22,6 hours and the oestrous cycle about 18.5 days. The first conception occured at 2.87 years with the gestation period about 387,4 days. Birth rate and calf crop were relatively high: 89% and 77%. The difference of birth rate and calf crop caused mortality about 2,35%. Service per conception (S/C) was 1,85 time and conception rate was 86,5%. CARP estimation showed that Sanggalangi’ subdistrict’s CARP value was negative. The strategies formula of development spotted buffalo is turnaround strategies or stability of weaknesses and opportunities.

(5)

PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN

STRATEGIPENGEMBANGAN KERBAU BELANG

DI KECAMATAN SANGGALANGI’,

KABUPATEN TORAJA UTARA,

SULAWESI SELATAN

ARFAN AFANDI H D14063328

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul : Produktivitas, Potensi dan Strategi Pengembangan Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan Nama : Arfan Afandi H

NIM : D14063328

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Hj. Komariah, MSi) (Ir. Dwi Joko Setyono, MS) NIP. 19590515 198903 2 001 NIP. 19601123 198903 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004

(7)

vi RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Arfan Afandi H dilahirkan di Jeneponto Sulawesi Selatan pada tanggal 13 Desember 1987. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Ibunda Hj.Supiati dan Ayahanda Hamzah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Inpres 121 Balangloe Balang pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMP Negeri 1 Binamu. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1 Binamu, Jeneponto. Penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi pada tahun 2006 terdaftar sebagai Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

(8)

vii KATA PENGANTAR

Bismillahiahirromaanirrahiim

Alhamdulillahi Robbil Alamin, puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Produktivitas, Potensi dan Strategi Pengembangan Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan” ini dengan lancar. Ucapan shalawat serta salam juga ditujukan kepada junjungan besar nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya.

Penelitian ini dilakukan karena Kerbau Belang merupakan salah satu asset ternak lokal yang memiliki hubungan sosial budaya yang sangat tinggi dengan masyarakat etnis Toraja, terutama untuk upacara kematian seseorang yang sering disebut Rambu Solo’. Kerbau Belang ini sangat unik dengan warna kulitnya, badannya yang relatif besar, serta umumnya kemungkinan hanya terdapat di Toraja Utara atau Tanah Toraja. Tren populasi kerbau cantik ini menurun beberapa tahun terakhir ini karena salah satunya disebabkan oleh jumlah pemotongan pada pejantan tinggi dan tidak dibenahi dengan manajemen yang baik dalam pembudidayaan. Manajemen peternakan yang baik akan memberikan dampak yang baik pula terhadap produktivitas ternak. Penelitian mengenai ternak kerbau belang ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas (performa reproduksi dan populasi), potensi dan strategi pengembangan populasinya. Hal ini penting agar kelestarian kerbau lokal tersebut dapat tetap terjaga.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan khususnya bagi perkembangan ternak lokal Indonesia.

Bogor, Januari 2011

(9)

viii

Siklus berahi dan lama berahi ... 8

Umur kawin pertama ... 9

Service per conception(S/C) ... 9

Angka kebuntingan ... 9

Lama bunting ... 9

Calf crop ... 10

Berahi setelah melahirkan ... 10

Selang beranak (Calving Interval) ... 10

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) ... 11

(10)

ix

Analisis KPPTR ... 14

Analisis SWOT ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 18

Kecamatan Sanggalangi’ ... 18

Keadaan Topografi (Potensi Wilayah) ... 19

Keadaan Demografi ... 20

Mata Pencaharian ... 21

Karakteristik Peternak ... 22

Karakteristik Usaha Ternak Kerbau ... 23

Populasi Kerbau Belang ... 25

Manajemen Pemeliharaan Kerbau Belang ... 27

Perkandangan ... 27

Sistem Pemeliharaan ... 28

Pakan Kerbau Belang ... 28

Perawatan Kerbau Belang ... 29

Performa Sifat Reproduksi ... 30

Dinamika Populasi Kerbau Belang ... 35

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) ... 38

Analisis SWOT ... 39

Strategi Pengembangan ... 43

Implementasi Strategi ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

Kesimpulan ... 46

Saran ... 46

UCAPAN TERIMA KASIH ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(11)

xi DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sanggalangi’

Tahun 2010 ... 21

2. Jumlah Tenaga Kerja di Kecamatan Sanggalangi’ ... 21

3. Sebaran Peternak Berdasarkan Umur ... 22

4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 23

5. Motivasi Peternak untuk Menjalankan Usaha Ternak Kerbau... 23

6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Ternak Kerbau Belang yang Dipelihara ... 24

7. Jumlah Ternak Kerbau yang Dipelihara Peternak ... 24

8. Populasi Ternak di Kecamatan Sanggalangi’... 25

9. Perkembangan Populasi Ternak Kerbau Tahun 2008-2010 ... 26

10. Struktur Populasi Kerbau Belang Tahun 2010 ... 26

11. Sifat Reproduksi Kerbau Belang ... 31

12. Tingkat Pengeluaran Kerbau Belang Periode Juni 2009 - Juni 2010 ... 36

13. Tingkat Pemasukan Kerbau Belang Periode Juni 2009 - Juni 2010 ... 36

14. Dinamika Populasi Ternak Kerbau Belang Selama 5 Tahun ... 37

15. Nilai KPPTR Efektif di Kecamatan Sanggalangi’ ... 38

16. Nilai KPPTR di Kecamatan Sanggalangi ... 39

17. Matriks Perbandingan Faktor Internal ... 40

18. Matriks Perbandingan Faktor Eksternal ... 42

(12)

xii DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tedong Sambao’ (Cockrill, 1974) ... 5

2. Tedong Todi (Cockrill, 1974) ... 5

3. Tedong Bulang (Cockrill, 1974) ... 6

4. Tedong Bonga (Cockrill, 1974) ... 6

5. Pembagian Kuadran Strategi pada Analisis SWOT (Rangkuti, 2000) ... 16

6. Peta Kabupaten Toraja Utara (BPS Toraja Utara, 2010) ... 18

7. Bentuk Tofografi Wilayah Kecamatan Sanggalangi’ ... 19

8. Kandang Kerbau Belang ... 27

(13)

xiii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Form Kuesioner Wawancara Peternak ... 52 2. Form Analisis Faktor Internal dan Faktor Eksternal Pengembangan

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau adalah salah satu hewan khas asli Asia dan menjadi salah satu hewan penting dalam kebudayaan suku-suku di Asia. Kerbau di Asia Tenggara misalnya, sangat diandalkan sebagai hewan penghela, terutama digunakan untuk membajak dan mengangkut hasil bumi. Kerbau seperti halnya gajah dan kuda berperan penting dalam usaha tani di banyak tempat di Asia (Reid, 1992). Kerbau selain menjadi hewan penghela, juga menjadi sumber daging yang umumnya dikonsumsi selain sapi, babi dan ayam.

Kerbau Belang adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedong atau karembau, memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja. Hewan ini selain rnenjadi hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi (misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara Rambu Solo' masyarakat Toraja. Berkaitan dengan tradisi adat masyarakat setempat, maka sangat memungkinkan apabila harga Kerbau Belang menjadi mahal. Kerbau Belang merupakan jenis kerbau yang termasuk bangsa kerbau lumpur atau kerbau rawa (swamp buffalo).

Populasi kerbau nasional menurun selama 4 tahun terakhir yakni pada tahun 2005 sebesar 2.128.491 ekor menurun menjadi 2.045.548 ekor pada tahun 2009 (Ditjetnak, 2010). Propinsi Sulawesi Selatan menyumbang sebesar 7,4% dari populasi kerbau nasional pada tahun 2005 atau sebesar 151.559 ekor. Populasi total kerbau di Toraja Utara pada tahun 2008 ialah 49.364 ekor atau menyumbang sebesar 37,94% dari total populasi ternak kerbau Sulawesi Selatan tahun 2008 yakni sebesar 130.109 ekor. Populasi Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’ mengalami penurunan dari tahun 2008 hingga 2010 yakni pada tahun 2008 sebesar 1253 ekor dan turun menjadi 1044 ekor pada tahun 2009 dan 909 ekor pada tahun 2010.

(15)

2 Toraja Utara merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran dari Tanah Toraja yang berada di Propinsi Sulawesi Selatan. Toraja Utara merupakan daerah yang dikenal sebagai tempat pariwisata dengan kekayaan alam yang indah dan budaya yang begitu unik. Toraja Utara juga terkenal dengan kerbau yang sangat jarang ditemui di daerah atau di negara lain, yakni Kerbau Belang Toraja atau Spotted Buffaloes of South Sulawesi. Kecamatan Sanggalangi’ memiliki luas wilayah sebesar 3900 Ha dengan kondisi alam yang sangat potensial untuk usaha ternak khususnya kerbau. Perlu dilakukan kajian-kajian analisis potensi berdasarkan sumber daya lokal dan daya dukung yang tersedia dalam pengembangan usaha ternak Kerbau Belang .

Tujuan

(16)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau Rawa

Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water bufallo yang ada pada saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua tipe yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Klasifikasi ternak kerbau (Storer et al., 1971) sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Kelas : Mamalia

Sub-kelas : Ungulata

Ordo : Artiodactyla

Sub-ordo : Ruminansia

Famili : Bovidae

Genus : Bubalus

Spesies : Bubalus bubalis Linn.

Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan Utara tropika (Deptan, 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkan dalam dua tipe, yaitu: swamp bufallo dan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa) tipe habitatnya adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam yang dasarnya keras. Kerbau sungai umumnya tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe penghasil daging (Fahimuddin, 1975).

(17)

4 tidak pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason, 1974). Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm.

Chantalakhana (1981) menjelaskan bahwa kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki tinggi rata-rata 127-130 cm untuk kerbau jantan dan 124-125 cm untuk kerbau betina. Kerbau rawa mempunyai kemampuan berenang jauh serta menyelam cukup dalam di dalam air. Cara kerbau dewasa berenang adalah kedua kaki belakangnya bertumpu di tanah dan mendorong tubuhnya ke depan, sementara kaki depannya digunakan untuk mengayuh atau mendayung. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab kedua kaki depan kerbau rawa punya perototan yang lebih kekar dibandingkan kaki belakang (Dilaga, 1987).

Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau Rawa (di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tana Toraja (Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain yang sebenarnya termasuk dalam bangsa Kerbau Lumpur (swamp buffalo) (Talib, 2008).

Secara garis besar, masyarakat Toraja mengenal tiga kategori warna kerbau berikut variasinya yakni kerbau bonga atau kerbau belang, pudu’ atau kerbau hitam, dan sambao’ atau kerbau abu-abu. Dari tiga kategori ini masih terdapat variasi warna. Kerbau belang mempunyai nilai relatif mahal, menyusul kerbau pudu’ dan kerbau sambao’.

(18)

5 putih di antara tanduk (Gambar 2), serta yang tertinggi tingkatannya adalah Kerbau Belang atau Tedong Bonga (Gambar 4) yang berwarna putih dengan bercak hitam seperti bunga di sekujur tubuhnya (Bodo, 2004).

Gambar 1. Tedong Sambao’ (Cockrill, 1974)

(19)

6 Gambar 3. Tedong Bulang (Cockriil, 1974)

Gambar 4. Tedong Bonga (Cockrill, 1974)

(20)

7 biasanya dinilai antara 10 hingga 20 kerbau hitam. Bonga memiliki beberapa variasi dari segi kombinasi warna dan tanda-tandanya.

Produktivitas Ternak

Produktivitas ternak ditinjau dari dinamika populasi diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persentase (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998). Produktivitas Kerbau Rawa di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa kendala, antara lain: peranan kerbau pada sistem usaha tani tradisional, pengusahaan lahan yang kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan yang rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau. Kendala-kendala tersebut dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan pemuliaan ternak kerbau (Dwiyanto dan Subandryo, 1995).

Basuki (1998) menjelaskan bahwa produktivitas ternak potong dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan alami), angka panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas reproduksi (melahirkan) bagi induk.

Reproduksi

Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu: l) angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar melahirkan (calving interval), 3) jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), 4) angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).

(21)

8 Rawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai 25 tahun.

Pubertas. Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi yang normal dan sempurna yang masih akan tercapai kemudian. Pubertas pada hewan jantan ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma serta perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).

Hasil penelitian Lendhanie (2005) menyatakan bahwa umur pubertas Kerbau Rawa tidak diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, berdasarkan umur kelahiran pertama yaitu 3-4 tahun diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun. Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.

Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu : umur, bobot badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu: suhu, musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan genetik dapat terjadi lebih cepat karena selang generasi lebih pendek, apabila dilakukan seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., l99l).

Siklus berahi dan lama berahi. Berahi adalah saat hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo, 1980). Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McNitt, 1983).

(22)

9 muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi arid dan semiarid serta lama berahi menjadi pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill, 1974).

Umur kawin pertama. Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh) untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981). Umur kerbau betina pada konsepsi pertama berbeda-beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, penggunaan pakan, dan genetik.

Umur kawin pertama Kerbau Rawa di Malaysia adalah rata-rata 28 bulan atau 2,3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie (2005), ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahun atau lebih lama dibanding sapi.

Service per conception (S/C). Service per conception adalah penilaian atau perhitungan jumlah perkawinan (service) inseminasi buatan (IB) atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l). Betina dara yang beranak pertama selalu membutuhkan service per conception yang lebih tinggi daripada betina yang lebih tua (Fahimuddin, I975).

Angka kebuntingan. Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi atau kawin pertama baik pada sapi dara maupun pada sapi laktasi. Angka kebuntingan (CR) ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Angka kebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere, 1981). Menurut Fahimuddin (1975), conception rate dipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain. Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR untuk sapi lebih tinggi daripada kerbau.

(23)

10 Faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan adalah jenis kelamin, keturunan, umur induk dan yang lebih luas yaitu musim kelahiran dan kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya sedikit lebih lama daripada betina dan bunting pertama selalu lebih singkat daripada kebuntingan selanjutnya (Fahimuddin, 1975).

Lama bunting adalah suatu aspek yang mempengaruhi selang kelahiran. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama bunting berkisar antara 320-325 hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting kerbau rawa adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah 310-315 hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh manajemen, pakan dan iklim lingkungan.

Calf crop. Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf crop yang tinggi maka harus diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit (Talib, 1988). Rata-rata calf crop kerbau di Indonesia sangat rendah yaitu 33%.

Berahi setelah melahirkan. Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah mencukupi. Organ reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan setelah peristiwa kelahiran yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting. Proses ini disebut dengan istilah involusi uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah involusi uterus selesai. Proses berahi setalah melahirkan pada tiap individu berbeda beda bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Guzman (1980) menyatakan bahwa pada Kerbau Rawa berahi kembali setelah melahirkan adalah 35 hari. Kerbau seperti halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca melahirkan induk dihadapkan pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang baik atau kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan dalam proses reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1991).

(24)

11 perkawinan per kebuntingan (S/C). Siklus reproduksi akan diulang kembali sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan melahirkan. Panjang calving interval sangat bervariasi pada Kerbau Rawa bergantung kepada semua karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran Kerbau Rawa berkisar antara l-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor non genetik yaitu ada kesempatan menurunkannya dengan efisiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975).

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Metode KPPTR merupakan suatu pendekatan untuk menunjukkan kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak sehingga diketahui potensi wilayahnya. Metode ini menggunakan kaidah-kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (Nell dan Rollinson, 1974). Potensi penyediaan hijauan pakan di suatu daerah dapat dipertimbangkan dan diperkirakan besarnya dengan menggunakan kaidah-kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (1974). Potensi tersebut dapat dinyatakan dalam nilai potensi (ton/BK/tahun) atau nilai riil yakni jumlah unit ternak (animal unit) yang dapat ditampung di wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya dapat pula diketahui kapasitas peningkatan populasi ternak di suatu wilayah peternakan apabila populasi ternak ruminansia diketahui.

Dinamika Populasi

Ewusie (1990) mendefenisikan populasi ialah kelompok spesies yang memiliki genetik yang sama, menempati suatu ruang dan waktu tertentu. Populasi ternak juga meliputi angka kelahiran, angka kematian, sistem reproduksi, struktur umur dan sebaran ternak. Michael (1995) menjelaskan bahwa jumlah individu populasi mencirikan ukurannya dan jumlah individu dalam satuan daerah atau satuan volume adalah rapatannya. Kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), yang masuk (imigrasi), dan yang keluar (emigrasi) dari anggota populasi akan mempengaruhi ukuran dan rapatan populasi.

(25)

12 yang bereproduksi secara seksual, r biasanya dibatasi hanya pada laju pertumbuhan yang diukur berdasarkan jumlah betina-betina untuk tiap rata-rata betina, karena hanya betina yang secara langsung berperan pada pertumbuhan populasi (McNoughton dan Wolf, 1990).

Analisis SWOT

Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumberdaya. Perenca-naan strategis harus menganalisis faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam kondisi saat ini, hal ini yang disebut Analsais situasi dan model yang paling populer untuk analisis ini adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat) (Rangkuti, 2000).

(26)

13 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga September 2010 di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

Materi Peternak

Sampel peternak kerbau belang yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 90 peternak. Peternak diwawancarai untuk mendapatkan gambaran manajeman pemeliharaan kerbau belang termasuk mengenai tatalaksana pemeliharaan beserta sifat reproduksi kerbau belang.

Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah borang kueisioner, alat tulis dan alat dokumentasi.

Prosedur

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari peternak Kerbau Belang yang berada di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara. Pengambilan sampel desa dan peternak dilakukan dengan metode purposive sampling (sengaja) yakni di Desa Buntu La’bo’.

Responden dipilih secara sengaja sebanyak 90 peternak berdasarkan kesediaan untuk diwawancarai. Data sekunder diperoleh dari Subdinas Peternakan Toraja Utara, Dinas Pertanian Toraja Utara, Badan Pusat Statistik Toraja Utara, dan Dinas Kecamatan Sanggalangi’. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini didesain sebagai penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei pada peternakan kerbau di Kecamatan Sanggalangi’, Toraja Utara. Analisis Deskriptif

(27)

14 Analisis Sifat Reproduksi

Peubah yang diamati dari aspek reproduksi adalah rasio jantan dan betina, umur pubertas, siklus berahi, lama berahi, umur kawin pertama, service per conception (S/C), angka kebuntingan, lama bunting, calf crop dan selang beranak (calving interval).

Analisis Dinamika Populasi

Estimasi perkembangan atau ukuran populasi untuk waktu tertentu dapat dihitung metode Turner dan Young (1969) :

Nt = No x rmt , rm = ln Ro/Lt Keterangan :

Nt = jumlah induk yang berproduksi pada tahun yang diharapkan (ekor) rm = tingkat penambahan ternak

No = jumlah populasi awal induk (ekor) t = interval waktu (tahun)

Ro = banyaknya induk pengganti yang dihasilkan oleh seekor induk selama hidupnya (ekor)

Lt = umur rata-rata betina pada saat melahirkan pertama kali Analisis KPPTR

Metode Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia merupakan suatu pendekatan untuk menunjukkan kemampuan atau kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak. Nilai KPPTR (Nell dan Rollinson, 1974) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

KPPTR (SL) = KTTR – Populasi Riil KPPTR (KK) = KT (KK) – Populasi Riil

1). KTTR =

2). Kapasitas Tampung (KK) = Jumlah Kepala Keluarga (KK) x 3 ST/KK 3). KPPTR efektif / KPPTR (E)

(28)

15 Keterangan :

k : koefisien ketersediaan lahan penghasil hijauan rumput

Le : lahan penghasil hijauan rumput

j : koefisien ketersediaan produksi HHSP

Li : lahan penghasil Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP) 15 ton/BK/tahun : rata-rata produksi padang rumput di Indonesia 2,3 : kebutuhan ton BK/tahun setiap ST

3 ST/KK : setiap KK mampu memelihara 3 ST KTTR : kapasitas tampung ternak ruminansia KPPTR (SL) : KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan

KPPTR (KK) : KPTTR berdasarkan tenaga kerja atau kepala keluarga Analisis SWOT

Analisis ini dilakukan untuk melihat kelemahan, kekuatan, peluang dan ancaman dalam merencanakan pengembangan ternak Kerbau Belang di Kabupaten Toraja Utara dilihat dari beberapa aspek seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Faktor yang akan dianalisis ialah faktor internal meliputi kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal yang meliputi peluang dan ancaman. Ada beberapa langkah dalam analisis ini, yakni :

1. Kolom pertama disusun 5-10 kekuatan dan kelemahan (faktor internal) serta 5-10 peluang dan ancaman (faktor eksternal).

2. Kolom kedua, masing-masing faktor diberi bobot, berkisar antara 1 (sangat penting) sampai 0 (tidak penting).

3. Kolom ketiga, dilakukan perhitungan rating, dimana rating masing-masing faktor dihitung dengan memberikan skala mulai dari -4 sampai +4 yang didasarkan pada besar kecilnya pengaruh faktor tersebut terhadap pengembangan ternak ruminansia di wilayah tersebut.

4. Pembobotan

(29)

16 5. Menentukan strategi pengembangan

• Nilai pembobot didapat dengan menjumlahkan pembobotan (bobot x

rating) untuk faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.

• Nilai axis didapat dari penjumlahan total nilai kekuatan ditambah total

nilai ancaman.

• Nilai ordinat didapat dengan menjumlahkan total nilai peluang ditambah total nilai ancaman.

• Kuadran dimana terdapat titik pertemuan nilai axis dengan ordinat

menunjukkan pilihan strategi pengembangan. Adapun pembagian kuadran tersebut sebagai berikut:

Gambar 5. Pembagian Kuadran strategi pada analisis SWOT (Rangkuti, 2000).

• Kuadran I = Strategi agresif yaitu pengembangan dengan memanfaatkan kekuatan secara optimal untuk meraih peluang yang ada (SO).

• Kuadran II = Strategi diversifikasi yaitu pengembangan dengan

memanfaatkan kekuatan secara optimal untuk menghindari ancaman (ST).

Peluang

Ancaman Kelemahan

I IV

II III

(30)

17

• Kuadran III = Strategi defensif yaitu pengembangan dengan

melakukan usaha-usaha defensif serta menghindari ancaman (WT).

• Kuadran IV = Strategi turnaround yaitu strategi pengembangan

(31)

18 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Sanggalangi’

Kecamatan Sanggalangi’ merupakan satu kecamatan dari dua puluh satu kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Toraja Utara sebagai pengembangan wilayah administrasi Tana Toraja yang baru. Luas wilayah Kecamatan Sanggalangi’ berkisar 39,00 Km2 atau sekitar 3900 ha. Luas wilayah Kecamatan Sanggalangi’ memiliki 3,39% terhadap luas wilayah Kabupaten Toraja Utara.

Kecamatan Sanggalangi’ berada pada 119 oBT dan 3 oLS serta berada sekitar 809 meter di atas permukaan laut (DPL). Batas-batas wilayah administrasi Kecamatan Sanggalangi’ adalah sebagai berikut : (1) sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sanggala, (2) sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Buntao dan Rantebua, (3) sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tondon dan (4) sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kesu’.

(32)

19 Keadaan Topografi (Potensi Wilayah)

Bentuk wilayah Kecamatan Sanggalangi’ terdiri atas 66,67% daerah berbukit dan 33,33% daerah datar (Gambar 7). Daerah berbukit mendominasi Lembang Tallung Penanian, Lembang Pata’padang, Lembang Tandung La’bo’, dan Kelurahan Pa’paelean, sedangkan daerah datar mendominasi Lembang Buntu La’bo dan Lembang La’bo. Bentuk wilayah tidak rata akan sulit berkembang bila dibandingkan dengan wilayah yang datar karena akan semakin sulit untuk menjangkaunya dan biaya transportasi semakin tinggi. Biaya transportasi semakin tinggi maka akan menaikkan harga komoditas barang pertanian maupun kebutuhan sehari-hari. Kondisi berbukit pada Lembang Buntu La’bo dimanfaatkan masyarakat untuk areal pertanian terutama persawahan.

A. Daerah Perbukitan B. Daerah Dataran

Gambar 7. Bentuk Topografi Wilayah Kecamatan Sanggalangi’

(33)

20 Kecamatan Sanggalangi’ pada tahun 2009 memiliki suhu rata-rata 230 C dengan suhu terendah 180 C dan suhu tertinggi 290 C dengan kelembaban udara rata-rata ialah sebesar 59-75%, sedangkan suhu umum adalah 250 C pada siang hari dan 190 C pada malam hari (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2008). Fahimuddin (1975) menjelaskan bahwa zona nyaman untuk ternak kerbau berkisar antara 15,5-21,0 0 C, jika suhu udara lebih dari 240 C kerbau sudah mengalami stress dan batas kritis untuk mekanisme termoregulasi ialah 36,500 C. Potensi suhu tersebut sangat mendukung ternak kerbau agar berkembangbiak dengan baik. Prabuningrum (2005) menjelaskan bahwa semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka suhu tempat tersebut semakin rendah. Kecamatan Sanggalangi memiliki ketinggian 809 m dpl dan Lembang Tandung La’bo sebesar 825 m dpl. Hal ini yang menyebabkan suhu di lokasi penelitian tergolong rendah.

Curah hujan per tahun ialah berkisar antara 2000-2700 mm/tahun. Intensitas curah hujan secara umum hampir sama pada semua bulan kecuali bulan Oktober, November dan Desember. Kecepatan angin berkisar antara 10-85 km/jam, sedangkan arah angin selalu berubah-ubah (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2008). Curah hujan yang semakin tinggi akan menambah cadangan air dalam tanah dan menambah debit air sungai apabila kondisi alam tidak rusak. Cadangan air yang semakin tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan kerbau untuk minum dan mandi (berkubang) baik kondisi musim hujan maupun musim kemarau.

Keadaan Demografi

Jumlah penduduk berdasarkan kepadatan penduduk tahun 2010 sebanyak 10.929 jiwa yang terdiri atas 5.531 laki-laki dan 5.398 perempuan dengan kepadatan penduduk 296 jiwa/km2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sanggalangi’ ialah sebesar 2.408 jiwa. Rincian jumlah penduduk dan KK di Kecamatan Sanggalangi’ disajikan pada Tabel 1.

(34)

21 Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sanggalangi’

Tahun 2010

Mata pencaharian utama masyarakat didominasi oleh petani atau bekerja di bidang pertanian, kemudian disusul sebagai pekerja di bidang bangunan (buruh), bidang perdagangan, restoran, dan hotel, bidang industri pengolahan, bidang jasa, bidang pertambangan dan penggalian, serta bidang angkutan dan komunikasi. Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja di Kecamatan Sanggalangi’

Lapangan Usaha Laki-Laki Perempuan Jumlah

---Jiwa---

(35)

22 Petani di lokasi penelitian sebagian besar mempunyai usaha sambilan yakni beternak karena beternak merupakan salah satu kultur sosial budaya masyarakat setempat. Petani yang banyak dijumpai ialah petani padi, petani sayur-mayur, dan petani umbi-umbian. Usaha peternakan yang dominan ialah babi, kerbau, ayam buras, itik, sapi potong, kuda, kambing dan itik manila.

Karakteristik Peternak

Peternak yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga yang berumur antara 20-60 tahun. Sebagian besar (33,33%) peternak di lokasi penelitian berumur antara 31-35 tahun, dan 24,44% berumur antara 26-30 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak masih usia produktif dan didominasi oleh pasangan muda.

Tabel 3. Sebaran Peternak Berdasarkan Umur

Umur Peternak Jumlah Responden Persentase

(Tahun) (Jiwa)

20-25 5 5,56

26-30 22 24,44

31-35 30 33,33

36-40 14 15,56

41-45 8 8,89

46-50 5 5,56

51-55 4 4,44

56-60 2 2,22

Jumlah 90 100

(36)

23 Tabel 4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Persentase

(Jiwa)

Tidak Tamat SD 4 4,44

SD 45 50

SLTP 29 32,22

SLTA 12 13,33

Jumlah 90 100

Karakteristik Usaha Ternak Kerbau

Alasan yang dijadikan para peternak sebagai motivasi dalam menjalankan usaha ternak kerbau belang bervariasi. Tabel 5 memperlihatkan hal-hal yang menjadi motivasi peternak sehingga tertarik menjalankan usaha ternak kerbau. Motivasi peternak yang paling besar untuk beternak kerbau belang adalah karena mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena harga jual kerbau belang yang sangat tinggi yakni untuk kerbau belang dewasa berkisar antara Rp. 80.000.000 hingga Rp. 400.000.000,-.

Tabel 5. Motivasi Peternak untuk Menjalankan Usaha Ternak Kerbau

Motivasi Jumlah Responden Persentase

(Jiwa)

Status sosial 36 40

Keuntungan besar 54 60

Jumlah 90 100

Motivasi berikutnya ialah status sosial karena umumnya masyarakat yang memelihara kerbau memiliki strata yang berbeda. Makin tinggi strata masyarakat maka Kerbau Belang yang dipelihara akan semakin banyak. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi strata masyarakat akan semakin banyak dipotong pada saat upacara adat Rambu Solo’.

(37)

24 bibit atau kerbau dara yang harganya berkisar Rp. 50.000.000,- Rp. 100.000.000,-. Kerbau Belang jantan lebih banyak dipelihara daripada Kerbau Belang Betina. Hal ini disebabkan karena pemasaran ternak Kerbau Belang berkaitan erat dengan adat budaya upacara kematian Rambu Solo’ yang harus memotong Kerbau Belang jantan. Tabel 6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Ternak Kerbau Belang yang

Dipelihara

Jumlah Ternak Kerbau Belang Jumlah Responden Persentase

(Ekor) (Jiwa)

1-5 68 75,56

6-10 15 16,66

>10 7 7,78

Jumlah 90 100

Rata-rata jumlah ternak yang dipelihara ialah 1-5 ekor/peternak, angka ini memang merupakan angka yang relatif kecil dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada peternak terutama untuk yang telah lama menjalankan usaha ternak Kerbau Belang. Kondisi ini disebabkan salah satunya oleh pola pemeliharaan yang masih tradisional dan belum mengarah pada tujuan jangka panjang (agribisnis). Tabel 7. Jumlah Ternak Kerbau Belang yang Dipelihara Peternak

Kelompok Kerbau Jenis Kelamin Jumlah ternak Persentase

(ST) (%)

Anak Jantan 3,75 2,16

Betina 2,75 1,58

Dara Jantan 30 17,24

Betina 7,5 4,31

Dewasa Jantan 95 54,60

Betina 35 20,11

Jumlah 174 100

Keterangan : Kerbau dewasa : 1 ST, Kerbau dara : 0,5 ST, Kerbau anak : 0,25.

(38)

25 lain lebih dominan karena sistem kepemilikan ternak sebagian besar sistem bagi hasil (menggaduh) dari pihak yang menitipkan. Kondisi kepemilikan menggaduh ini disebabkan karena biaya bibit yang relatif besar sedangkan petani belum memiliki modal yang memadai.

Populasi Kerbau Belang

Budidaya ternak yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Sanggalangi’ antara lain babi, kerbau, kambing, itik, ayam ras petelur, dan ayam ras pedaging. Tabel 8 menunjukkan populasi ternak di Kecamatan Sanggalangi’ pada tahun 2008 hingga tahun 2010. Keberadaan ternak kerbau dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya yakni menduduki peringkat pertama. Penggunaan ternak kerbau oleh masyarakat pada umumnya digunakan sebagai ternak yang dipotong atau diadu dalam pesta yang berkaitan dengan budaya setempat. Ternak yang populasinya terbanyak pada tahun 2008 hingga tahun 2010 ialah ternak babi. Ternak babi dan kerbau sangat erat dengan adat budaya setempat dan kepercayaan yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Sanggalangi’ yakni Protestan dan Katolik.

Tabel 8. Populasi Ternak di Kecamatan Sanggalangi’

Jenis Ternak Tahun

2008 2009 2010

---Ekor---

Sapi Potong 43 54 87

Kerbau 3.582 3.480 3.030

Kambing 320 1.335 1.250

Babi 6.578 35.240 41.510

Ayam Kampung 26.581 12.850 17.395

Ayam Broiler 3.950 3.410 4.500

Ayam Petelur 3.830 5.226 5.960

Itik 825 1.380 1.452

Sumber : Subdinas Peternakan Toraja Utara (2010)

(39)

26 tahun awal, akan tetapi mengalami penurunan pada tahun 2010 sebesar 12,93%. Kerbau Belang pada tahun 2009 hingga tahun 2010 mengalami penurunan masing-masing sebesar 16,70% dan 12,93%. Perkembangan populasi tersebut dipengaruhi oleh jumlah pemotongan yang sangat tinggi dan tatalaksana pemeliharaan kerbau yang kurang optimal.

Tabel 9. Perkembangan Populasi Ternak Kerbau Tahun 2008-2010

Jenis Kerbau Jumlah Ternak (Ekor) Laju Perkembangan (%)

2008 2009 2010 2008 2009 2010

Kerbau Biasa 2329 2436 2121 0 +4,59 -12,93

Kerbau Belang 1253 1044 2121 0 -16,70 -12,93

Jumlah 3582 3480 3030 0 -12,11 -25,86

Sumber : Subdinas Peternakan Toraja Utara (Diolah) (2010)

Struktur populasi Kerbau Belang sangat penting diketahui karena dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pemetaan persebaran kerbau yang ideal pada suatu usaha peternakan. Persentase jumlah betina produktif terhadap total populasi kerbau belang ialah 25,03% yang berarti betina produktif di lokasi penelitian masih sedikit. Angka ini masih tergolong rendah yakni masih di bawah 40% sehingga perlu dilakukan usaha penambahan betina produktif untuk menghindari penurunan populasi ternak kerbau.

Tabel 10. Struktur Populasi Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’ Tahun 2010 Jenis Kerbau

Jenis Kelamin Jumlah

Jantan Betina

Ekor ST Ekor ST Ekor ST

Anak 19 4,75 0 0 19 4,75

Dara 147 73,5 35 17,5 182 91

Dewasa 498 498 210 210 708 708

Jumlah 664 576,25 245 227,5 909 803,75

Sumber : Subdinas Peternakan Toraja Utara (Diolah) (2010)

(40)

27 Manajemen Pemeliharaan Kerbau Belang

Perkandangan

Konstruksi dan model kandang merupakan salah satu faktor penting dalam sistem pemeliharaan ternak Kerbau Belang. Kerbau belang dipelihara atau diistirahatkan di dalam kandang apabila siang hari atau malam hari. Kandang kerbau belang biasanya diletakkan di samping rumah Tongkonan, rumah adat Toraja yang berbentuk rumah panggung (rumah penyimpanan mayat sementara). Kerbau Belang juga biasanya digembalakan di sekitar kandang yang biasanya disebut bala’. Sebuah bala’ umumnya dipagari dengan tanaman pagar atau tanaman bambu guna mengamankan Kerbau Belang apabila keluar dari bala’. Selain itu, peternak juga biasa bercocok tanam di dekat bala’ tersebut dan menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk.

Kandang yang umumnya digunakan oleh peternak ialah kandang sederhana atau disebut kandang tradisional (Gambar 8). Beberapa pertimbangan sehingga peternak membuat kandang tradisional ialah sumber daya alam melimpah yakni bambu, daun lontar, dan kayu atau pohon hutan, harga bahan baku pembuatan kandang yang murah, serta faktor kenyamanan ternak.

Gambar 8. Kandang Kerbau Belang

(41)

28 Jenis kandang yang digunakan ialah kandang individu dan sangat jarang dijumpai kandang kelompok. Hal ini disebabkan karena ternak Kerbau Belang jantan umumya dipelihara oleh peternak dan kerbau jantan tersebut mempunyai kebiasaan menyeruduk kerbau lainnya apabila dikandangkan secara berkoloni (kelompok). Ukuran kandang tunggal dari responden peternak yang diamati sangat bervariasi dan sangat dipengaruhu oleh jenis kerbau. Ukuran luas kandang untuk Kerbau Belang yang dibuat peternak ialah ukuran 2 m × 3 m (22,22%), ukuran 3 m × 4 m (40%), ukuran 3 m × 4,5 m (32,22%), dan ukuran 3 m × 5 m (5,56%).

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan Kerbau Belang yang dilakukan oleh masyarakat terbagi atas dua sistem yakni sistem intensif dan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan yang paling banyak dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian ialah sistem intensif. Alasan peternak menggunakan sistem intensif karena harga kerbau belang tergolong mahal dam membutuhkan perawatan yang baik. Selain itu, peternak juga lebih mudah untuk mengontrol kerbau karena beternak kerbau masih merupakan usaha sampingan. Pemeliharaan kerbau dilakukan dengan cara mengandangkan kerbau seharian penuh (24 jam).

Pemeliharaan secara semi intensif umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki banyak waktu luang dan beternak adalah pekerjaan utamanya. Kerbau Belang biasanya digembalakan pada pagi hari hingga sore hari. Tempat bernaung atau tempat berteduh Kerbau Belang pada saat siang hari ialah di bawah pohon-pohon sekitar padang penggembalaan dan juga di bawah kolong rumah adat Tongkonan. Kerbau dimandikan pada saat siang dan sore hari sebelum dikandangkan kembali.

Pakan Kerbau Belang

(42)

29 sedikit. Konsentrat yang diberikan adalah dedak padi yang dicampur dengan cacahan rumput gajah. Selain itu, terkadang juga ditambahkan madu dalam pakan untuk kerbau yang memiliki pola warna belang yang merata.

Hijauan rumput-rumputan yang sering diberikan peternak dalam bentuk segar antara lain rumput lapang, rumput gajah, dan rumput alang-alang. Hijauan pakan ternak di Kecamatan Sanggalangi’ tersedia cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan ternak karena lahan yang tersedia luas dan potensi iklim yang cukup baik sehingga hijauan tersedia sepanjang tahun.

Pakan yang berasal dari limbah hasil pertanian diantaranya jerami, daun jagung dan daun ubi jalar. Ketersediaan jerami sangat memadai karena luas area persawahan cukup luas sehingga limbah hasil persawahan juga cukup banyak. Daun ubi jalar melimpah karena budaya masyarakat lokal yang menanam ubi jalar di pekarangan maupun di kebun. Selain itu, daun ubi jalar tersebut biasanya juga digunakan sebagai pakan utama untuk ternak babi.

Jumlah pemberian pakan ternak bergantung dari sistem pemeliharaan ternak Kerbau Belang dan jumlah kerbau yang dipelihara. Peternak masih kurang memperhatikan faktor jenis kelamin dan umur kerbau (kerbau anak, dara dan dewasa). Sistem pemeliharaan intensif biasanya membutuhkan jumlah pakan 40 kg dalam sehari penuh. Pemberian pakan dalam jumlah tersebut masih sangat bervariasi dalam kombinasi penggunaan hijauan rumput-rumputan maupun limbah hasil pertanian. Frekuensi pemberian pakan untuk pemeliharaan intensif ialah 2 kali (37,78%) dan 3 kali (62,22%) dalam sehari. Frekuensi 2 kali biasanya diberikan oleh peternak sebanyak 20 kg pada pagi hari dan 20 kg lagi menjelang sore hingga pagi hari. Untuk frekuensi 3 kali, peternak umumnya memberikan 15 kg pada pagi hari, 10 kg pada siang hari, dan 15 kg lagi pada malam hari hingga pagi. Sistem pemeliharaan semi intensif umumnya dikandangkan pada malam hari dan pada saat itu diberi pakan rumput atau limbah hasil pertanian dalam jumlah yang tidak terbatas. Perawatan Kerbau Belang

(43)

30 peternak untuk memberikan perawatan yang ekstra, salah satunya dengan cara memandikannya secara rutin.

Peternak memandikan kerbau belang minimal dua kali dalam sehari, yakni pada pagi hari, siang atau sore hari. Kerbau jantan umumnya tiga kali dalam sehari sedangkan kerbau betina umumnya dua kali dalam sehari. Kerbau sering dimandikan di sawah yang memiliki tempat kubangan, di pinggir sungai dan di dekat sumber air lainnya (air sumur dan tempat penampungan air hujan). Saat musim kemarau tiba, ketersedian air masih cukup memadai karena lokasi penelitian merupakan daerah pegunungan. Cara yang paling banyak dilakukan oleh peternak dalam memandikan Kerbau Belang ialah dengan membawa kerbau ke sawah atau tempat kubangan. Apabila musim tanam padi telah berlangsung, maka peternak lebih memilih untuk memandikan kerbau belang di tempat kubangan karena lahan kosong yang berfungsi sebagai tempat kubangan kerbau belang sangat banyak dijumpai di lokasi penelitian.

Performa Sifat Reproduksi

Sifat reproduksi Kerbau Belang sangat penting untuk diketahui karena hal tersebut sangat berguna dalam pemuliabiakan ternak (breeding). Hal ini juga penting untuk menjaga kelestarian Kerbau Belang yang populasinya semakin menurun tiap tahun. Karakteristik Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’ dapat dilihat pada Tabel 11.

(44)

31 Tabel 11. Sifat Reproduksi Kerbau Belang

No. Sifat Reproduksi Hasil

1. Nisbah Jantan Betina 1,5 ± 0,32

2. Umur Berahi Pertama (Tahun) 2,48 ± 0,37

3. Umur Kawin Pertama (Tahun) 2,87 ± 0,26

4. Lama Berahi (Jam) 22,6 ± 8,32

5. Siklus Berahi (Hari) 19,5 ± 7,48

6. Service per Conception (Kali) 1,85 ± 0,41

7. Angka Kebuntingan (%) 86,5 ± 0,07

8. Lama Kebuntingan (Hari) 387,4 ± 27,20

9. Persentase Kelahiran 89 ± 0,05

10. Calf Crop (%) 77± 0,58

11. Tingkat Kematian Anak (%) 2,35 ± 0,01

12. Umur Induk Melahirkan I (Tahun) 3,74 ± 0,17

13. Selang Beranak/Calving Interval (Tahun) 2,04 ± 0,22

Pubertas atau dewasa kelamin adalah umur pada waktu betina menunjukkan gejala-gejala berahi pertama. Umur berahi pertama (pubertas) Kerbau Belang betina ialah pada umur 2,48 tahun. Umur berahi tersebut sejalan dengan penjelasan Fahimuddin (1975) yang menjelaskan bahwa umur pubertas pada kerbau betina adalah bervariasi, pada umumnya kerbau betina lebih lambat dalam mencapai pubertasnya yakni 2-4 tahun. Berdasarkan penjelasan Fahimuddin (1975) tersebut, maka umur pubertas kerbau belang betina masih relatif wajar atau tidak terlalu tua. Hasil penelitian Lendhanie (2005) juga menunjukkan bahwa ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah 3 tahun. Suharno dan Nazaruddin (1994) menyatakan bahwa kerbau berahi pertama pada umur satu tahun.

(45)

32 dan musim. Putu (2003) menjelaskan bahwa pemberian pakan yang lebih baik yaitu dengan penambahan konsentrat sebanyak 5 kg/ekor/hari dapat meningkatkan bobot badan dan memperbaiki kondisi tubuh kerbau betina sehingga akhirnya dapat merangsang aktivitas berahi, konsepsi dan reproduksi anak.

Berahi merupakan saat hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Berdasarkan hasil penelitian, responden peternak umumnya mengetahui tanda-tanda berahi pada Kerbau Belang betina walaupun kerbau termasuk ternak yang berahinya kurang jelas (silent heat). Hal ini disebabkan karena peternak pernah mendapatkan penyuluhan dan mempunyai pengalaman beternak yang lama. Gejala-gejala berahi pada kerbau belang ialah induk kerbau selalu gelisah dan gaduh, selalu ingin mencoba menaiki kerbau lain, nafsu makan menurun dan menetesnya cairan dari vagina dalam jumlah sedikit. Toelihere (1976) menjelaskan bahwa gejala berahi pada kerbau lumpur cukup jelas. Kerbau betina memperlihatkan pembengkakan vulva, pengeluaran lendir jernih melalui vulva, dan diam berdiri dinaiki oleh pejantan atau betina lainnya.

Lama berahi Kerbau Belang ialah 22,6 jam dengan siklus berahi 19,5 hari. Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McNitt, 1983) sedangkan siklus berahi adalah jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya (Partodihardjo, 1980). Lama berahi kerbau belang sejalan dengan Mongkopunya (1980) yang menjelaskan bahwa lama berahi kerbau rawa adalah 20-32 jam. Toelihere (1976) juga menambahkan bahwa kisaran lama berahi ialah 12-96 jam (0,5-4 hari). Lama siklus berahi Kerbau Belang juga sejalan dengan penjelasan Toelihere (1976) bahwa kerbau memiliki siklus berahi yang berkisar antara 17-96 hari (rata-rata 21,53 hari), sedangkan menurut Soedarsono (1998) panjang siklus berahi kerbau rawa ialah bervariasi antara 7-40 hari dengan kisaran rata-ratanya selama 20 hari. Williamson dan Payne (1993) menambahkan bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi siklus berahi antara lain tingkat pakan, panjangnya siang dan temperatur lingkungan.

(46)

33 berkubang ditambah kesejukan udara sangat mempengaruhi periode berahi dan penampilan gejala berahi pada ternak kerbau di Kecamatan Sanggalangi’.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur kawin pertama induk atau umur konsepsi pertama induk ialah umur 2,87 tahun. Hal ini berarti bahwa pada saat kerbau belang betina berahi pertama, kerbau belang betina tidak langsung kawin atau tidak langsung terjadi konsepsi. Selang untuk mencapai konsepsi dari berahi pertama ialah berkisar 142 hari atau sekitar 4,7 bulan. Lita (2009) menjelaskan bahwa konsepsi pertama kerbau lumpur di Kutai ialah pada umur 2,8 tahun. Umur kerbau betina pada konsepsi pertama berbeda-beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, penggunaan pakan dan genetik (Fahimuddin, 1975).

Service per conception (S/C) Kerbau Belang betina ialah rata-rata 1,85 kali, artinya jumlah perkawinan (service) dengan IB atau kawin alam dari seekor kerbau belang betina sampai terjadinya kebuntingan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesuburan Kerbau Belang betina tersebut masih relatif normal. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l).

Angka kebuntingan atau conception rate (CR) Kerbau Belang betina ialah 86,5% yang berarti bahwa jumlah betina yang bunting dari IB pertama atau kawin pertama ialah 86,5% dari jumlah seluruh betina yang di IB pertama atau kawin pertama. Misalkan, jumlah seluruh betina yang di IB pertama ialah 100 ekor, maka jumlah betina yang bunting ialah 86 ekor. Hasil penelitian bahwa jumlah kerbau yang bunting dari 65 ekor betina ialah 56 ekor. Toelihere (1981) menjelaskan bahwa angka kebuntingan dipengaruhi oleh tiga faktor yakni kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi.

(47)

34 Persentase kelahiran Kerbau Belang betina ialah 89%. Faktor yang mempengaruhi persentase kelahiran adalah keberhasilan perkawinan antara jantan dan betina. Persentase kelahiran dihitung dari jumlah total anak yang lahir tiap tahun dari persentese betina dewasa. Persentase kelahiran di Kecamatan Sanggalangi’ termasuk cukup tinggi karena menurut Hardjosubroto (1984) bahwa rata-rata persentase kelahiran anak kerbau di Indonesia adalah 54,69%. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya persentase kelahiran tersebut ialah keberhasilan perkawinan antara jantan dan betina serta rendahnya tingkat mortalitas anak sebelum maupun sesudah melahirkan.

Tingginya persentase kelahiran ternyata tidak selamanya diiringi dengan kerbau betina melahirkan Kerbau Belang. Kerbau Belang jantan yang dikawinkan dengan Kerbau Belang betina belum tentu akan melahirkan anak Kerbau Belang. Hal inilah juga yang menyebabkan peternak malas untuk memelihara Kerbau Belang betina dan lebih mempertimbangkan untuk membeli bibit Kerbau Belang jantan. Peternak beranggapan bahwa Kerbau Belang merupakan suatu berkah yang diturunkan oleh Tuhan sehingga jumlahnya sangat jarang. Selain itu, sulitnya mendapatkan anak Kerbau Belang mengakibatkan harga Kerbau Belang menjadi sangat mahal.

Calf crop atau panen anak adalah persentase jumlah anak yang hidup pada saat lepas sapih selama satu tahun dari semua induk yang diteliti. Angka panen anak dari hasil penelitian ialah 77%. Hasanatun dan Handiwirawan (2005) menjelaskan bahwa calf crop rata-rata di Indonesia ialah sebesar 33%. Faktor yang menyebabkan angka panen anak yang cukup tinggi karena manajemen pemeliharaan yang cukup baik terutama dari segi manajemen pakan dan perawatan kerbau sehingga kerbau betina maupun jantan jarang terkena penyakit. Selain itu, rendahnya mortalitas sebelum dan sesudah melahirkan membuat persentase calf crop kerbau belang cukup tinggi.

(48)

35 mortalitas sebelum melahirkan karena apabila ternak kerbau terserang penyakit maka hal tersebut dapat menyebabkan tidak terjadinya pembuahan dalam rahim, kematian janin, serta ganguan kelahiran seperti distokia. Selain itu, pemberian pakan cukup baik pada saat kerbau betina dalam masa bunting.

Kerbau Belang betina melahirkan pertama pada umur 3,74 tahun, umur kawin pertama 2,87 tahun dan lama kebuntingan yang berkisar 12 bulan. Hasil penelitian Baikuni (2000) menyatakan bahwa umur kerbau betina melahirkan pertama ialah 3,8-3,9 tahun.

Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya. Calving interval atau selang beranak induk Kerbau Belang ialah 2,04 tahun atau berkisar 24 bulan. Hal ini sejalan dengan penjelasan Hardjopranjoto (1995) bahwa kerbau lumpur di Serang mempunyai kisaran selang beranak 1,7-2,1 tahun dan kerbau lumpur di Jawa Timur mempunyai selang beranak 2,08 tahun. Calving interval dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan oleh lamanya masa kosong serta angka perkawinan per kebuntingan. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor non genetik yaitu ada kesempatan menurunkannya dengan efisiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975).

Dinamika Populasi Kerbau Belang

(49)

36 Tabel 12. Tingkat Pengeluaran Kerbau Belang Periode Juni 2009-Juni 2010

Kelompok Penjualan Mortalitas Pemotongan

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina ---Ekor---

Anak 21 0 4 0 0 0

Dara 79 8 0 2 14 0

Dewasa 118 23 0 0 395 21

Total 218 31 4 2 409 21

Mortalitas atau kematian ternak kerbau pada lokasi penelitian satu tahun terakhir ialah cukup kecil. Kematian dijumpai pada anak Kerbau Belang karena terkena penyakit berak susu dan pengaruh pemberian pakan yang kurang optimal pada kerbau tersebut. Pemotongan Kerbau Belang jantan dewasa sangat tinggi bila dibandingkan dengan kelamin betina. Hal ini disebabkan karena pada tradisi adat upacara Rambu Solo’, Kerbau Belang yang dipotong ialah kerbau jantan dewasa. Kerbau Belang betina dewasa dipotong karena betina tersebut sudah memasuki umur non produktif sehingga betina tersebut harus diafkir.

Tingkat pemasukan ternak Kerbau Belang dapat dilihat pada Tabel 13. Variabel yang masuk dalam pemasukan adalah pembelian dan kelahiran ternak Kerbau Belang. Tingkat kelahiran Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’ periode Juni 2009 hingga Juni 2010 ialah 52 ekor jantan dan 30 ekor betina. Anak Kerbau Belang cukup sulit untuk didapatkan karena perkawinan antara Kerbau Belang jantan dan Kerbau Belang betina belum tentu akan menghasilkan anak kerbau yang bercorak warna belang.

Tabel 13. Tingkat Pemasukan Kerbau Belang Periode Juni 2009 – Juni 2010

Kelompok Kelahiran Pembelian

Jantan Betina Jantan Betina

---Ekor---

Anak 52 30 35 0

Dara 0 0 80 14

Dewasa 0 0 84 0

(50)

37 Pembelian anak kerbau terbesar terjadi pada anak kerbau yang berjenis kelamin jantan sedangkan kerbau betina hanya pada Kerbau Belang betina yang berumur muda. Pembelian kerbau jantan jantan dara dan dewasa sangat besar karena pembelian tersebut bertujuan untuk proses penggemukan sehingga saat mencapai dewasa yang siap dijual, peternak mendapatkan harga yang relatif sangat tinggi. Pembelian kerbau betina muda atau dara dimaksudkan sebagai induk pengganti.

Analisa dinamika populasi ternak Kerbau Belang dapat diestimasi berdasarkan formula Turner dan Young (1969). Waktu yang digunakan dalam analisis ditetapkan selama 5 tahun kedepan dimana tahun awal ialah pada tahun 2010. Berdasarkan data sifat reproduksi yang diketahui dan pengeluaran ternak sebesar 75% maka dapat dilakukan estimasi terhadap perubahan ternak Kerbau Belang betina produktif yang dihasilkan dengan asumsi waktu yang digunakan selama 5 tahun.

Tabel 14. Dinamika Populasi Ternak Kerbau Belang selama 5 Tahun

N0 Rm R0 Nt Lf Betina

Nt = jumlah induk yang siap berproduksi pada waktu t (ekor)

rm = tingkat penambahan ternak per tahun No = jumlah populasi awal induk (ekor)

Ro = banyaknya induk pengganti yang dihasilkan oleh seekor induk selama hidupnya (ekor)

Lt = umur rata-rata betina pada saat melahirkan pertama kali

(51)

38 menunjukkan bahwa apabila tidak dilakukan usaha perbaikan manajemen yang intensif dan pengontrolan terhadap perkawinan serta pengeluaran ternak, maka jumlah ternak kerbau akan semakin berkurang dan akan mengancam kelestarian Kerbau Belang.

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Total populasi ternak ruminansia di Kecamatan Sanggalangi’ pada tahun 2010 adalah 3180,25 ST dengan total daya tampung ternak ruminansia atau potensi maksimal sumberdaya lahan (PMSL) sebesar 2059,25 ST berdasarkan metode Nell dan Rollinson (1974). Hasil perhitungan nilai KPPTR di Kecamatan Sanggalangi’ dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Nilai KPPTR di Kecamatan Sanggalangi’

Peubah Nilai (ST)

Populasi Riil Ternak Ruminansia 3180,25

PMSL atau KT Wilayah 2055,531

Jumlah Kepala Keluarga (KK) 2409

PMKK 7227

KPPTR (SL) -1124,72

KPPTR (KK) 4046,75

KPPTR (E) -1124,72

Keterangan : PMSL = Potensi maksimum sumber daya lahan

KT (KK) = Kapasitas tampung berdasarkan tenaga kerja (kk) PMKK = Potensi maksimum kepala keluarga

KPPTR (SL) = Kapasitas peningkatan populasi ternak berdasarkan sumber daya lahan

KPPTR (KK) = Kapasitas peningkatan populasi ternak berdasarkan sumber daya Kepala keluarga

KPPTR (E) = KPPTR efektif atau KPPTR pembatas

(52)

39 menunjukkan bahwa terbatasnya ketersediaan hijauan makanan ternak untuk ternak ruminansia di Kecamatan Sanggalangi’.

Solusi untuk mengatasi KPPTR negatif suatu wilayah menurut Ditjetnak (1985) antara lain : 1) mendatangkan pakan dari daerah lain; 2) memanfaatkan sumber pakan inkonvensional seperti lahan hutan, perkebunan, dan sebagainya; dan 3) pemanfaatan dan penanaman leguminosa pohon, limbah pertanian, industri pertanian, perkebunan atau sumber pakan lainnya. Solusi yang tepat untuk wilayah Kecamatan Sanggalangi ialah optimalisasi daya dukung lahan dalam penyediaan pakan ternak yakni dengan menanami lahan-lahan kosong dengan tanaman makanan ternak, pengolahan / pengawetan hijauan makanan ternak, serta memaksimalkan penggunaan limbah tanaman pangan atau hasil pertanian. Limbah pertanian yang melimpah di Kecamatan Sanggalangi’ adalah jerami padi dan ubi jalar. Pengolahan atau pengawetan pakan ternak yang dapat direkomendasikan ialah silase dan hay.

Hasil perhitungan KPPTR masing-masing jenis ternak ruminansia dapat dilihat pada Tabel 16. Jenis ternak ruminansia yang terdapat di Kecamatan Sanggalangi’ adalah sapi potong, kerbau dan kambing. Kapasitas peningkatan ketiga ternak ruminasia tersebut bernilai negatif, terutama terkait dengan ternak kerbau. Tabel 16 menunjukkan bahwa peningkatan ternak kerbau sebesar -1032,42 ST. Hal ini berarti bahwa di Kecamatan Sanggalangi’ telah terjadi kelebihan ternak kerbau sebesar 1032,42 ST.

Tabel 16. Nilai KPPTR di Kecamatan Sanggalangi’

No Jenis Ternak Nilai KPPTR (ST)

1. Sapi Potong -27,4048

2. Kerbau -1032,42

3. Kambing 61,89

Jumlah -1124,72

Analisis SWOT

Gambar

Gambar 6. Peta Kabupaten Toraja Utara (BPS Toraja Utara, 2010)
Tabel 1.  Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sanggalangi’ Tahun 2010
Tabel 3.  Sebaran Peternak Berdasarkan Umur
Tabel 5.  Motivasi Peternak untuk Menjalankan Usaha Ternak Kerbau
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis pola penyediaan pakan ternak digunakan untuk mengetahui pola pemberian pakan kambing PE oleh peternak di desa Totallang meliputi jenis pakan, persentase

Dalam rangka perumusan strategi pemanfaatan hijauan makanan ternak pada areal perkebunan kelapa sebagai pakan untuk pengembngan usaha ternak sapi potong di kabupaten Halmahera

Prospek pengembangan hijauan di ekosistem pertanian lahan kering cukup baik melalui rotasi tanaman pangan dengan legum pakan ternak atau penggunaan leguminosa pohon

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak kerbau di Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara selain mempunyai fungsi sebagai penghasil daging, juga mempunyai fungsi sosial

Bahan makanan yang sering dipakai sebagai pakan ternak kelinci di Kampung Sereh Distrik Sentani adalah berasal dari hijauan daun-daunan seperti daun ubi jalar, dan

Dengan jumlah daya dukung bahan kering pakan limbah tanaman pangan sebesar 257.839 ST dihubungkan dengan populasi ternak ruminansia (sapi potong) sebanyak 30.673 ST, maka

Berdasarkan sumber daya alam untuk hijauan ternak sapi potong di Kecamatan Kuantan Mudik memiliki ketersedian pakan sebesar 15.692 ST dan Potensi sumber daya manusia

Kabupaten Polewali Mandar memiliki populasi ternak sebesar 37.548 ST/Tahun dengan daya dukung pakan sebesar 434.206 BKC/tahun, lahan yang ada dikawasan ini dapat