• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN PENGADILAN AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN PENGADILAN AGAMA"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL

(BASYARNAS) DAN PENGADILAN AGAMA

Oleh ELIYANI

Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia agar bisa bertahan hidup, untuk itu kegiatan ini terus berkembang di tengah masyarakat. Seiring dengan perkembangan perekonomian dunia berkembanglah sistem ekonomi yang berbasis syariah. Berkembangnya sistem ekonomi syariah ini diikuti dengan munculnya banyak perusahaan bisnis yang memproklamirkan diri menggunakan sistem syariah, maka berbagai konsekuensi pasti akan timbul, salah satunya adalah timbul sengketa. Untuk itu perlu suatu lembaga penyelesaian sengketa yang dapat mengakomodir kepentingan para pelaku bisnis ekonomi syariah ini. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang Nomor 7 tahun 1992 Jo Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah membuka kesempatan untuk mendirikan lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang sekarang dikenal dengan nama Basyarnas. Dalam perkembangan hukum Indonesia, memperluas kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui Undang-Undang No 3 Tahun 2006. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data secara rinci bagaimana dasar hukum, syarat dan prosedur serta eksekusi putusan Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan tipe deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis teoritis, yang bersumber dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Data yang terkumpul, selanjutnya diolah dengan seleksi data, klasifikasi data, dan sistematika data, kemudian dianalisis secara kualitatif.

(2)

Basyarnas hal ini mempunyai dasar hukum UU No 14 Tahun 1970 Jo UU No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 30 Tahun 1999, UU No 21 Tahun 2008 dan Peraturan Prosedur Basyarnas. Dalam penyelesaian secara litigasi, Pengadilan Agama berwenang menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 Jo UU No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009 dan UU No 21 Tahun 2008.

Basyarnas sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengket menjadi pilihan hukum bagi para pihak yang bersengketa selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Tentunya pilihan yang diambil mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam proses penyeesaiannya. Syarat yang harus dipenuhi dalam penyelesaian sengketa pada Basyarnas adalah adanya perjanjian secara tertulis menunjuk Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa, sengketa tersebut di bidang perdagangan dan hak yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Aturan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa pada Basyarnas adalah Peraturan Prosedur Basyarnas. Syarat penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama adalah beragama Islam atau tunduk terhadap hukum Islam serta sengketa yang dimohonkan adalah sengketa perdata. Pada Pengadilan Agama hukum acara yang digunakan sama seperti berperkara dalam lingkungan Peradilan Umum. Dalam prosedur berperkara kedua lembaga ini berbeda, karena Basyarnas pemeriksaannya bersifat tertutup guna menjaga reputasi para pihak, sedangkan pada Pengadilan Agama pemeriksaanya dilakukan terbuka untuk umum sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Eksekusi Putusan Basyarnas dilakukan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama hal ini berdasarkan SEMA No 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Basyarnas. Eksekusi putusan Pengadilan Agama dilakukan oleh panitera dan jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan eksekusi putusan dalam lingkugan Peradilan Umum. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 54 UU No 48 Tahun 2009 bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Tinjauan Umum Ekonomi Syariah ... 10

1. Pengertian Ekonomi Syariah ... 10

2. Sumber Hukum Ekonomi Syariah ... 11

3. Ciri-Ciri Ekonomi Syariah ... 17

4. Bentuk Usaha Ekonomi Syariah ... 18

B. Sengketa Ekonomi Syariah ... 19

1. Lingkup Sengketa Ekonomi Syariah ... 19

2. Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ... 20

a.Secara Damai (as-shulh) ... ... 21

b.Secara Arbitrase (at- tahkim) ... ... 21

c.Melalui Lembaga Peradilan (al-qadha) ... ... 28

C. Kompetensi ... 30

1. Pengertian Kompetensi ... 30

2. Macam-Macam Kompetensi ... 30

D. Eksekusi ... 31

1. Pengertian Eksekusi ... 31

2. Asas dalam Eksekusi ... 31

E. Kerangka Pikir ... 32

III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Jenis dan Tipe Penelitian ... 34

(4)

2. Tipe Penelitian... 35

B. Pendekatan Masalah... 35

C. Data dan Sumber Data ... 36

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

1. Metode Pengumpulan Data ... 37

2. Metode Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Dasar Hukum Kompetensi Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ... 40

1. Dasar Hukum Kompetensi Basyarnas dalam Penyelesaian Sengketa EkonomiSyariah ... 40

2. Dasar Hukum Kompetensi Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ... 46

B. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Basyarnas dan Pengadilan Agama ... 51

1. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Basyarnas ... 51

2. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Pengadilan Agama ... 59

C. Eksekusi Putusan Basyarnas dan Pengadilan Agama ... 64

1. Eksekusi Putusan Basyarnas ... 64

2. Eksekusi Putusan Pengadilan Agama ... 67

V. SIMPULAN ... 71

(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku dan Jurnal

Al Qur’an terjemahan. 2005. Diponegoro. Bandung.

Amnawaty. 2009. Hukum Acara Peradilan Agama. Universitas Lampung. Lampung. Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa). PT Citra

Aditya Bakti. Bandung.

Gautama, Sudargo. 1999. UU Arbitrase Baru 1999. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Harahap, M.Yahya. 2006. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.

Sinar Grafika. Jakarta.

Hosen, M Nadratuzzaman dan AM Hasan Ali. 2008. Tanya jawab ekonomi syari’ah. PKES Publishing. Jakarta.

Lubis, Suhrawardi. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Sinar Grafika. Jakarta.

Manan, Abdul. 2007. ”Penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebuah kewenangan baru Peradilan Agama”. Makalah ini disampaikan pada acara diskusi panel dalam rangka dies natalis Universitas Yarsi ke 40 tanggal 20 September2007 Margono, Suyud. 2004. Alternative Dispute Resulotion (ADR) dan Arbitrase. Ghalia

Indonesia. Bogor.

Muftie, Aries. 2010. “Perkembangan ekonomi syariah”. Makalah ini disampaikan pada Seminar Ekonomi Syariah di GSG Universitas Lampung tanggal 3 April 2010.

Muhammmad, Abdulkadir. 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

(6)

Jakarta.

Rosyadi, Rahmat dan Ngatino. 2002. Arbitrase Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Roedjiono. 1996. “Alternative dispute resolution (pilihan penyelesaian sengketa)”, Makalah pada Penataran Dosen Hukum Dagang Seluruh Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Sayyid Sabiq. 1997. Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13). PT Al-Ma’arif. Bandung. Sufriadi. 2007. “Memberdayakan peran Badan Arbitrase Syari’ah Nasional

(Basyarnas) dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di luar pengadilan”. LARIBA Jurnal Ekonomi Islam. Vol. 1, No. 2, Desember 2007. Taufiq. 2006. “Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah”, Makalah yang disampaikan pada

acara Semiloka Syari’ah, Hotel Gren Alia Jakarta, tanggal 20 November 2006.

Usman, Rachmadi. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2000. Hukum Arbitrase. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Zaida, Yusna. “Kewenangan Peradilan Agama terhadap sengketa ekonomi syari'ah” AL-BANJARI Vol. 5, Januari – Juni 2007, halaman 9.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 24 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

(7)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Basyarnas.

Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional.

C. Internet

http://www.mui.or.id/konten/basyarnas diakses tanggal 20 Mei 2010 Pukul 19:30 WIB.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_syariah diakses tanggal 4 September 2009 Pukul 19:00 WIB.

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php diakses tanggal 20 Desember 2009 Pukul 09.00 WIB.

Achmad Cholil. “Penyelesaian sengketa perbankan syariah”. http://www.hukum online.com/berita/baca/hol21872/dualisme-penyelesaiansengketa-perbankan-syariah diakses tanggal 25 Maret 2010 Pukul 19:00 WIB.

Abdul Kadir. “Penanganan sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama”. http://www.badilag.net diakses pada tanggal 30 April 2010 Pukul 19:38 WIB.

(8)

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL

(BASYARNAS) DAN PENGADILAN AGAMA

Oleh ELIYANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(9)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Amnawaty, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Rilda Murniati, S.H., M.Hum. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Wati Rahmi Ria, S.H., M.Hum. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

H. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP 19560901 198103 1 003

(10)

Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN PENGADILAN AGAMA Nama Mahasiswa : ELIYANI

Nomor Pokok Mahasiswa : 0612011131

Bagian : Hukum Keperdataan

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H. NIP 19621109 198811 1 001

Amnawaty, S.H., M.H. NIP 19570424 199010 2 001

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia, ada yang berskala kecil maupun besar. Karena manusia mempunyai banyak kebutuhan, maka kegiatan ekonomi tersebut berkembang pesat. Namun segala hal yang dilakukan oleh manusia harus mempunyai dasar atau aturan yang jelas. Aturan yang dibuat dalam kegiatan ekonomi harus sinergi dengan keyakinan yang dimiliki. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam mengantarkan sekaligus membuka peluang adanya sistem ekonomi Islam yang berjalan sesuai dengan keyakinan masyarakat.

(12)

perkembangan ekonomi syariah dalam bidang perbankan yang semakin luas dan memasyarakat.

Di Indonesia konsep ekonomi syariah mulai dikenal dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Namun pada saat itu, kehadiran bank berbasis syariah ini belum mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat. Baru beberapa tahun belakangan ini, setelah MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, karena mengandung unsur ketidakadilan dan pengambilan harta orang lain dengan cara batil. Inilah yang dipahami umat di awal sejarah Islam. Kemudian Bank berbasis syariah mulai bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah lainnya, seperti Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Pembiayaan Syariah, Reksadana Syariah dan lain-lain (Ika Salawiska, “Pengembangan sektor riil oleh Bank Syariah”, http://www.pkesinter aktif.com/component/option,com_frontpage/Itemid,902/lang,id/ diakses tanggal 20 April 2010 Pukul 10.00 WIB).

Data menunjukkan betapa pesatnya perkembangan unit usaha ekonomi syariah, yaitu pada tahun 2010 sebanyak 108 Bank Internasional membuka unit-unit usaha syariah pada berbagai negara (Aries Muftie, “Perkembangan ekonomi syariah” disampaikan pada Seminar Ekonomi Syariah tanggal 3 April 2010 di GSG Universitas Lampung).

(13)

ekonomi syariah terutama dalam bidang perbankan, sehingga penelitian ini lebih banyak mengkaji penyelesaian sengketa ekonomi syariah di bidang perbankan.

Berkembangnya sistem ekonomi syariah diikuti dengan munculnya banyak perusahaan bisnis yang memproklamirkan diri menggunakan sistem syariah, maka berbagai konsekuensi pasti akan timbul, salah satunya adalah timbul sengketa antara para pihak. Karena ekonomi syariah termasuk dalam kategori dunia bisnis, dimana pelaku bisnis satu akan dihadapkan dengan persaingan seketat-ketatnya dengan pelaku bisnis lain untuk meraih konsumen dan keuntungan. Oleh karena itu, pelaku bisnis selalu dituntut memantau dan memberi pertimbangan lebih dalam menjaga reputasi dan kredibilitasnya di depan konsumen dan masyarakat. Tantangan industri perbisnisan juga dihadapkan dengan berbagai persoalan substansi terkait dengan berbagai resiko, seperti kehilangan reputasi akibat sengketa dengan konsumen yang tidak diselesaikan dengan cara terbaik dan up to date.

(14)

untuk menghadapi kegiatan bisnis yang free market and free competition. Dengan kata lain, harus ada satu lembaga khusus yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan mudah, cepat dan biaya murah (quick and lower in time and money to the parties), serta mampu menjaga reputasi pelaku bisnis (Suyud Margono, 2004: ii).

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) diperbolehkan. Selain itu Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, secara tidak langsung membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Salah satunya memberi kesempatan dan peranan hukum Islam dalam dunia ekonomi (bisnis). Kedua undang-undang tersebut melahirkan kesempatan untuk mendirikan lembaga alternatif penyelesaian sengketa yaitu arbitrase syariah yang diberi nama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) pada tanggal 21 Oktober 1993 yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selanjutnya pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia ditegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia, yang kemudian mengubah nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional selanjutnya disebut Basyarnas.

(15)

adalah berdasarkan kontrak secara tertulis yang dibuat para pihak, baik yang dibuat sebelum timbul sengketa (factum de compromitendo) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis). Perubahan mendasar dari segi hukum terhadap arbitrase yaitu dengan

lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang selanjutnya disebut UU No 30 tahun 1999. Hal ini merupakan terobosan baru bagi pembangunan hukum di Indonesia pada saat itu. Penelitian ini membahas Basyarnas sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa secara non litigasi disamping alternatif penyelesaian yang lain seperti musyawarah dan negoisasi.

Lahirnya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama selanjutnya disebut UU No 3 tahun 2006 yang menjadi dasar hukum bagi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Berdasarkan Pasal 49 huruf i UU No 3 Tahun 2006 ditegaskan bahwa, Pengadilan Agama memiliki kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk ekonomi syariah. Saat ini telah dilakukan perubahan kedua Undang-Undang Peradilan Agama yaitu melalui Undang No 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 selanjutnya disebut UU No 50 tahun 2009, namun hal ini tidak berpengaruh terhadap kewenangan Pengadilan Agama.

(16)

Perbankan Syariah ditentukan bahwa apabila terjadi sengketa Perbankan Syariah, maka yang berwewenang mengadili adalah pengadilan dalam lingkup peradilan agama. Hal ini menjadi dasar hukum bagi perbankan syariah.

Salah satu konsekuensi berkembangnya unit-unit usaha ekonomi syariah adalah terjadi sengketa antara para pihak, maka syarat dan prosedur dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada lembaga yang berkompetensi harus diatur secara tegas dan jelas. Pada Basyarnas hukum acara yang mengatur prosedur penyelesaian sengketanya adalah Peraturan Prosedur Basyarnas sedangkan pada Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU No 3 tahun 2006 jo UU No 50 tahun 2009. Namun dalam hal ini masih dipertanyakan oleh masyarakat terkait kesiapan para hakim Pengadilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah, mengingat selama ini hakim-hakim tersebut hanya menangani sengketa perkawinan, waris, infaq, shadaqah, wakaf, hibah dan zakat.

(17)

penjelasan Pasal 59 Ayat (1) dan (3) UU No 48 Tahun 2009, ditegaskan bahwa eksekusi putusan arbitrase (dalam hal arbitrase syariah) dilaksanakan berdasarkan perintah ketua Pengadilan Negeri. Hal ini dapat membuat keresahan di masyarakat karena ada pertentangan di dalam undang-undang yang dibuat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitan ini akan mengkaji dan membahas penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas dan Pengadilan Agama, yang akan dituangkan dalam bentuk penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Basyarnas dan Pengadilan Agama”.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas dan Pengadilan Agama? Adapun pokok bahasan pada penelitian ini adalah:

1. Dasar Hukum kompetensi Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah;

2. Syarat dan prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama;

3. Eksekusi Putusan Basyarnas dan Putusan Pengadilan Agama.

(18)

dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Lingkup bidang ilmu adalah hukum keperdataan dalam kajian hukum Islam pada lembaga penyelesaian sengketa.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah memperoleh gambaran jelas, rinci dan sistematis tentang:

1. Dasar hukum kompetensi Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah;

2. Syarat dan Prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama;

3. Eksekusi Putusan Basyarnas dan Putusan Pengadilan Agama.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi 2 (dua aspek), yaitu:

1. Secara teoritis;

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk sumbangan pemikiran dalam rangka menambah khazanah keilmuan di bidang hukum keperdataan khususnya mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

2. Secara praktis;

(19)

a. Memperluas pengetahuan peneliti khususnya mengenai dasar hukum kompetensi Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah;

b. Memberi gambaran kepada masyarakat mengenai dasar hukum kompetensi Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah;

c. Memberi informasi kepada masyarakat pada umumnya, khususnya para pelaku bisnis syariah tentang prosedur menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas dan Pengadilan Agama;

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Ekonomi Syariah

1. Pengertian Ekonomi Syariah

Menurut penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syariah. Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (welfare state). Sistem ekonomi Islam atau ekonomi syariah adalah sistem ekonomi yang mandiri dan terlepas dari sistem ekonomi lainnya. Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_ syariah, diakses tanggal 25 Agustus 2009 Pukul 19:00 WIB).

(21)

atau urusan keuangan rumah tangga. Sedangkan syariah yang awalnya berarti jalan, terutama menuju sumber air, namun berkembang penggunaannya dikalangan umat Islam dengan arti yang menyeluruh petunjuk Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, syariat adalah hukum agama (yang diamalkan menjadi perbuatan-perbuatan, upacara dan semua yang berkaitan dengan agama Islam). Jadi ekonomi syariah adalah segala aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan produksi dan distribusi (baik barang maupun jasa yang bersifat material) antara perorangan atau badan hukum lainnya berdasarkan syariat Islam (http://pusatbahasa.diknas. go.id/kbbi/index.php diakses tanggal 20 Desember 2009 Pukul 09.00 WIB)

2. Sumber Hukum Ekonomi Syariah

Sumber hukum yang dijadikan rujukan dalam ekonomi syariah (Abdul Manan, 2007: 27-42) yaitu:

a. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)

(22)

aturan hukum acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No 3 Tahun 2006. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (WvK) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23. Dalam kaitan dengan

peraturan ini terdapat juga hukum acara yang diatur dalam Failissements Verordering (aturan kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor

348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.

b. Sumber Hukum Materil

(1) Al Qur’an

Dalam Al Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Menurut Syauqi al Fanjani sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan (2007: 27-42), menyebutkan secara eksplisit ada 21 ayat yaitu QS Al Baqarah ayat 188, 275 dan 279, QS An Nisa ayat

5 dan 32, QS Hud ayat 61 dan 116, QS al Isra ayat 27, QS An Nur ayat 33, QS al Jatsiah ayat 13, QS Ad Dzariyah ayat 19, QS An Najm ayat 31, QS al Hadid ayat 7, QS al Hasyr ayat 7, QS Al Jumu’ah ayat 10, QS Al Ma’arif ayat 24 dan 25, QS al Ma’un ayat 1, 2 dan 3. Di samping ayat-ayat tersebut di atas, sebenarnya masih

(23)

keuangan baik secara mikro maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar keadilan dan pemerataan, serta berupaya selalu siap untuk memenuhi transaksi ekonomi yang dilakukannya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

(2) Hadits

Melihat kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama ahli hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. Oleh karena itu mempergunakan Hadits sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syariah sangat dianjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang. Hadits Rasulullah SAW yang dapat dijadikan rujukan dapat diambil dalam beberapa kitab Hadits sebagai berikut:

a. Sahih Buchari, Al Buyu ada 82 Hadits, Ijarah ada 24 Hadits, As Salam ada 10 Hadits, Al Hawalah ada 9 Hadits, Al Wakalah 17 Hadits, Al Muzara’ah 28

Hadits dan Al Musaqat 29 Hadits; b. Sahih Muslim ada 115 Hadits;

c. Sahih Ibn Hiban, tentang Al Buyu ada 141 Al Hadits, tentang Al Ijarah ada 38 Al Hadits;

d. Sahih Ibn Khuzaimah ada 300 Al Hadits tentang berbagai hal yang menyangkut ekonomi dan transaksi keuangan.

(24)

tersebut bunyinya sama. Hal ini akan sangat membantu dalam menjadikan Hadits sebagai sumber hukum ekonomi syariah.

(3) Peraturan Perundang-Undangan

Banyak aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan UU No 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syariah. Di antara peraturan perundang-undangan yang harus dipahami oleh Hakim Peradilan Agama yang berhubungan dengan Bank Indonesia antara lain:

a. UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah;

c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

(4) Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)

Dewan syariah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada Tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sampai saat ini DSN telah mengeluarkan 53 fatwa tentang kegiatan ekonomi syariah. Diantaranya adalah sebagai berikut:

(25)

b. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah;

c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 53/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Adab Tabarru Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah;

(5) Akad Perjanjian (Kontrak)

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan ijtihad. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas. Namun demikian telah disepakati bahwa asal dari perjanjian itu adalah keridhoan kedua belah piahk, konsekwensinya apa yang telah disepakati bersama harus dilaksanakan.

Mengadili perkara sengketa ekonomi syariah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami apakah suatu akad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Apakah suatu akad perjanjian itu sudah memenuhi asas kebebasan berkontrak, asas persamaan dan kesetaraan, asas keadilan, asas kejujuran dan kebenaran serta asas tertulis. Hakim juga harus meneliti apakah akad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur spekulatif dan unsur ketidakadilan. Jika unsur-unsur

(26)

(6) Fiqih

Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syariah. Kitab-kitab fiqih yang dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 agar mempedomani 13 kitab fiqih dalam memutus perkara di lingkungan Peradilan Agama.

(7) Urf (Adab Kebiasaan)

(27)

3. Ciri-Ciri Ekonomi Syariah

Walaupun sebutannya ekonomi syariah tidak berarti diproyeksikan hanya bagi penganut agama Islam, karena Islam membolehkan umatnya melakukan transaksi ekonomi dengan orang-orang non muslim. Dengan mengutip pendapat Muhammad Rawas Al Qahji (Abdul Kadir, “Penanganan sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama”, http://badilag.net diakses pada tanggal 30 April 2010 Pukul 19:38 WIB), menegaskan ada tiga belas ciri ekonomi syariah:

a. Pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiyah (nizhamun rabbaniyyah);

b. Kegiatan Ekonomi sebagai bagian dari al Islam secara keseluruhannya (jus un minal Islam as-syamil);

c. Berdimensi aqidah atau keaqidahan (iqtishadun ’aqdiyyun), karena pada dasarnya terbit atau lahir dari aqidah Islamiyah (al-aqidah al-Islamiyyah); d. Berkarakter ta’abbudi (thabi’un ta’abbudiyyun), karenanya penerapan aturan

ekonomi Islam (al-iqtishad al-islami) adalah ibadah;

e. Terkait erat dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq). Tidak ada pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak;

f. Elastis (al murunah) dalam arti dapat berkembang secara evolusi;

g. Objektif (al-maudhu’iyyuh). Islam mengajarkan umatnya agar berlaku obejektif dalam melakukan aktifitas ekonomi;

(28)

i. Perekonomian yang stabil atau kokoh (iqtisadun bina’un) dengan mengharamkan praktek bisnis yang membahayakan umat manusia baik perorangan maupun kemasyarakatan seperti riba, penipuan dan khamar; j. Perekonomian yang berimbang (iqtisad mutawazin) antara kepentingan

individu dan sosial, antara tuntutan kebutuhan duniawi dan pahala akhirat; k. Realistis (al waqtiyah). Dalam hal tertentu terjadi pengecualian dari ketentuan

normal, seperti keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang;

l. Harta kekayaan pada hakekatnya milik Allah SWT. Karenanya kepemilikan seseorang terhadap harta kekayaannya bersifat tidak mutlak. Siapapun tidak boleh semaunya menggunakan harta kekayaan dengan dalih bahwa harta kekayaan itu milik pribadinya;

m. Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Para pemilik harta perlu memiliki kecerdasan dalam mengelola atau mengatur harta.

4. Bentuk-Bentuk Usaha Ekonomi Syariah

Berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf i UU No 3 Tahun 2006, dan berdasarkan SEMA No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi:

(29)

e. Lembaga keuangan mikro syariah;

f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. Sekuritas syariah;

h. Pembiayaan syariah; i. Pegadaian syariah;

j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah; k. Bisnis syariah.

B. Sengketa Ekonomi Syariah

1. Lingkup Sengketa Ekonomi Syariah

(30)

Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik akan diartikan pertentangan di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak terselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka sengketa tidak akan terjadi. Namun bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang timbul. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni melalui Badan Peradilan (litigasi) dan di luar Badan Peradilan (non litigasi) (Roedjiono, 1997: 1).

Sengketa berarti terjadinya perbedaan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang saling terkait. Baik antara pihak bank dengan nasabah atau antara mudharib dengan baitul mal maupun antara rahin dengan murtahin. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya oleh pihak-pihak yang terkait. Aktivitas ekonomi syariah telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariah, namun dalam proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi yang dimaksudkan dengan sengketa dalam bidang ekonomi syariah adalah sengketa di dalam pemenuhan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terikat dalam akad aktivitas ekonomi syariah (Roedjiono, 1997: 2).

2. Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

(31)

a. Secara Damai (as-shulh)

Secara bahasa shulh berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah shulh berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan atau pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai. Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam QS An Nisa ayat 126 yang artinya perdamaian itu adalah perbuatan yang baik. Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak (Sayyid Sabiq, 1997: 189).

b. Secara Arbitrase (at- tahkim) atau Arbitrase Syariah

(1) Pengertian Arbitrase Syariah

(32)

Pada dasarnya klausul arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk (Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002: 74), yaitu:

a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (factum de compromitendo);

b. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis).

Istilah arbitrase berasal dari Bahasa Belanda arbitrate dan Bahasa Inggris arbitration, dalam Bahasa Latin arbitrare yang berarti penyelesaian atau

pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk dan menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk (Munir Fuady, 2000: 3).

Arbitrase merupakan suatu lembaga alternatif yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya (Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001: 16).

(2) Dasar Hukum Arbitrase Syariah

Berdasarkan Rahmat Rosyadi dan Ngatino (2002: 45-49) sumber hukum arbitrase syariah adalah:

(33)

Surat Al-Hujurat ayat 9: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah, kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.

Surat An-Nisa ayat 35: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu, sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal”.

b. As-Sunnah;

Hadis riwayat An-Nasa’i menceritakan dialog Rasulullah dengan Abu Syureih. Rasulullah bertanya kepada Abu Syureih: “Kenapa kamu dipanggil Abu Al -Hakam?” Abu Syureih menjawab: “sesungguhnya kaumku apabila bertengkar,

mereka datang kepadaku, meminta aku menyelesaikannya, dan mereka rela dengan keputusanku itu”. Mendengar jawaban Abu Syureih itu Rasulullah

berkata: “Alangkah baiknya perbuatan yang demikian itu”. Demikian Rasulullah

membenarkan bahkan memuji perbuatan Abu Syureih, Sunnah yang demikian disebut Sunnah Taqririyah.

c. Ijma’.

(34)

diriwayatkan tatkala Umar bin Khattab hendak membeli seekor kuda. Pada saat Umar menunggang kuda itu untuk uji coba, kaki kuda itu patah. Umar hendak mengembalikan kepada pemilik. Pemilik kuda itu menolak. Umar berkata: “Baiklah, tunjuklah seseorang yang kamu percayai untuk menjadi hakam (arbiter) antara kita berdua. Pemilik kuda berkata: “Aku rela Abu Syureih untuk menjadi hakam”. Maka dengan menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada Abu

Syureih. Abu Syureih (hakam) yang dipilih itu memutuskan bahwa Umar harus mengambil dan membayar harga kuda itu. Abu Syureih berkata kepada Umar bin Khattab: “Ambillah apa yang kamu beli (dan bayar harganya) atau kembalikan

kepada pemilik apa yang telah kamu ambil seperti semula tanpa cacat”. Umar

menerima baik putusan itu.

Selain ketiga sumber hukum di atas, berdasarkan praktek dilapangan juga dipergunakan sumber hukum (www.mui.or.id%2Fkonten%2Fbasyarnas diakses tanggal 20 Mei 2010 Pukul 19:30 WIB) sebagai berikut:

a. UU No 30 Tahun 1999;

Arbitrase menurut UU No 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa itu. Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud UU No 30 Tahun 1999.

b. Surat Keputusan MUI;

(35)

c. Fatwa DSN-MUI.

Semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan: “Jika

salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. (Lihat Fatwa No. 05 tentang, Jual Beli Saham, Fatwa No. 06 tentang Jual Beli Istishna, Fatwa No. 07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No. 08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan seterusnya).

(3) Sejarah dan Perkembangan Arbitrase Syariah

Arbitrase syariah mempunyai sejarah yang cukup panjang. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara tidak langsung telah membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Pada dasarnya hukum Islam di Indonesia hanya meliputi hukum keluarga, hukum waris, zakat dan waqaf serta beberapa aturan tentang perbankan dan asuransi syariah di Indonesia. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka telah memberi kesempatan dan peranan hukum Islam dalam dunia ekonomi (bisnis). Dari sinilah melahirkan kesempatan untuk mendirikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia yang selanjutnya disebut BAMUI (Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002: 55-60).

(36)

Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia. BAMUI bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam. Berdirinya BAMUI di Indonesia diharapkan sebagai dukungan dan partisipasi konkrit umat Islam terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan keadilan, ketentraman dan kedamaian di kalangan umat Islam. Lingkup wewenang dari lembaga ini adalah meliputi semua lembaga keuangan syariah yang bersifat profit misalnya bank syariah, asuransi syariah, dan lain-lain. Dasar hukum berdirinya BAMUI di Indonesia adalah Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu;

a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;

b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(37)

Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat Tahun 2003.

BAMUI semula didirikan dalam bentuk Yayasan yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selanjutnya dalam rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI tanggal 23-26 Desember 2002 ditegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian berdasarkan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003, serta memperhatikan surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No. 82/BAMUI/07/X/2003 tanggal 07 Oktober 2003, maka MUI dengan SK nya No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424/24 Desember 2003, menetapkan bahwa:

a. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas);

b. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi badan yang berada di bawah MUI, dan merupakan perangkat organisasi MUI;

c. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, Basyarnas bersifat otonom dan independen;

(38)

Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Basyarnas selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.

c. Melalui Lembaga Peradilan (al-qadha) atau Pengadilan Agama

Apabila para pihak bersengketa, tidak berhasil melakukan as-shulh atau at- tahkim, atau para pihak tidak mau melakukan kedua cara tersebut, maka salah satu

pihak bisa mengajukan masalahnya ke Pengadilan Agama.

(1) Hukum Acara Peradilan Agama

(39)

Peradilan Agama adalah salah satu dari badan-badan Peradilan Khusus di Negara Indonesia untuk melaksanakan kekuasaan di bidang yudisial. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menentukan sebagai berikut:

a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

c. Badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan Undang-undang tersebut di atas terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Masing-masing peradilan mempunyai kompetensi atau kewenangan sendiri yang sudah diatur oleh undang-undang. Peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai kompetensi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait keperdataan Islam

(2) Sumber Hukum Pengadilan Agama

Perangkat hukum yang digunakan pada Pengadilan Agama dalam proses peradilan (Amnawaty, 2009: 40) adalah sebagai berikut:

(40)

c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;

d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; e. Kompilasi Hukum Islam;

f. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002 jo Perma Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Kewajiban Hakim untuk Melakukan Mediasi untuk Perkara-Perkara Perdata Termasuk Perdata Islam;

g. Perma Nomor 3 Tahun 1978 jo Perma Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta;

h. Yurisprudensi;

i. Dan lain-lain peraturan yang lebih rendah.

C. Kompetensi

1. Pengertian Kompetensi

Pengertian kompetensi yang mendekati dalam aspek hukum adalah kewenangan mengadili perkara atau sengketa dari suatu pengadilan (Abdulkadir Muhammad, 2000: 26). Selain itu pengertian kompetensi yang lainnya adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu (http://pusatbahasa. diknas.go.id/kbbi/index.php diakses tanggal 20 Desember 2009 Pukul 09.00 WIB)

2. Macam-Macam Kompetensi

(41)

a. Kompetensi relatif, yaitu kewenangan atau kekuasaan mengadili perkara dari suatu pengadilan daerah ditijau dari domisili daerah atau tempat benda terletak, serta domisili pilihan yang telah ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak (distribution of authority);

b. Kompetensi absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pembagian wewenang atau pembebanan tugas (attribution of authority). Misalnya perkara yang berkenaan dengan Agama dan Hukum Islam menjadi kompetensi Peradilan Agama. Perkara orang-orang militer menjadi kompetensi Peradilan Militer. Perkara yang bersifat umum menjadi kompetensi Peradilan Umum. Sedangkan yang menyangkut keputusan tata usaha negara merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.

D. Eksekusi

1. Pengertian Eksekusi

Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. Eksekusi merupakan realisasi kewajiban pihak yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan hakim (Amnawaty, 2009: 92). Mengenai Eksekusi atau Pelaksanaan Putusan diatur dalam Pasal 54 dan 55 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Asas-Asas dalam Eksekusi

(42)

a. Putusan yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

b. Putusan yang akan dieksekusi harus bersifat menghukum; c. Putusan tidak dijalankan secara suka rela;

d. Eksekusi dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua Pengadilan yang dilaksanakan oleh panitera dan jurusita pengadilan yang bersangkutan.

E. Kerangka Pikir

Berdasarkan bagan di atas dapat diberikan uraian kerangka pikir sebagai berikut:

Salah satu kegiatan yang tidak pernah surut adalah kegiatan ekonomi, karena setiap manusia mempunyai kebutuhan dan harus selalu melakukan kegiatan ekonomi untuk mencukupi hal itu. Pada saat ini kegiatan ekonomi yang berbasis syariah mulai berkembang, ditandai dengan berdirinya berbagai bentuk usaha

Eksekusi Syarat & Prosedur

penyelesaian sengketa

Pengadilan Agama (Litigasi) Basyarnas

(Non Litigasi)

Sengketa Kegiatan Ekonomi Syariah

(43)

syariah seperti bank syariah, pegadaian syariah, lembaga pembiayaan syariah dan berbagai bisnis lain yang berbasis syariah.

Dalam kegiatan ekonomi syariah juga dimugkinkan terjadinya sengketa antar para pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut, baik sengketa kepentingan maupun sengketa akibat intepretasi yang berbeda terhadap suatu perjanjian yang dibuat. Hukum negara kita telah menyiapkan perangkat hukum yang dapat dijadikan dasar bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Berdasarkan hukum yang ada terdapat berbagai alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Secara yuridis formal tersedia lembaga litigasi yaitu Pengadilan Agama dan lembaga non litigasi melalui arbitrase syariah yaitu melalui Basyarnas.

UU No 3 Tahun 2006 memberi kompetensi kepada lembaga litigasi yaitu Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Selain itu para pihak yang bersengketa mempunyai alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi yaitu lembaga arbitrase. Hal ini berdasarkan UU No 30 Tahun 1999, dalam hal ini telah didirikan lembaga arbitrase islam yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia dan Kejaksaan Agung RI yang bernama Basyarnas.

(44)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul (Abdulkadir Muhammad, 2004: 32). Berdasarkan fungsi metode dalam penelitian maka pada penelitian ini ditentukan metode untuk memperoleh data dan menjawab masalah, sebagai berikut:

A. Jenis dan Tipe Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang (Abdulkadir Muhammad, 2004: 52).

(45)

dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama yang dijadikan bahan acuan dalam menguraikan pokok bahasan.

2. Tipe Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian ini maka tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat (Abdulkadir Muhammad, 2004: 50)

Berdasarkan tipe penelitian deskriptif maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas dan terperinci mengenai dasar hukum kompetensi, syarat dan prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama serta eksekusi putusan Basyarnas dan Pengadilan Agama.

B. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap yang ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian (Abdulkadir Muhammad, 2004: 112).

(46)

buku-buku serta bahan hukum sekunder yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.

C. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis penelitian dan pendekatan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka dan studi dokumen dengan cara mengumpulkan data yang diperoleh dari berbagai sumber bacaan berupa bahan pustaka yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap yang ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian (Abdulkadir Muhammad, 2004: 151).

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer (primary law material), yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan, yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 24 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;

(47)

d. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah;

f. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Basyarnas;

g. Peraturan prosedur Basyarnas;

h. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

2. Bahan hukum sekunder (secondary law material), yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa literatur-literatur hukum maupun literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama;

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Sumbernya dapat berupa kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, hasil penelitian dan internet.

E. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

(48)

studi pustaka tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: penentuan sumber data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder); identifikasi data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder) yang diperlukan; inventarisasi data yang sesuai dengan rumusan masalah dengan cara pengutipan atau pencatatan; serta pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah (Abdulkadir Muhammad, 2004: 81).

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data terkumpul kemudian diadakan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a Seleksi data, yaitu memeriksa data yang diperoleh secara selektif untuk mengetahui apakah ada data yang salah dan apakah data tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini;

b Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan kelompok dan aturan yang telah diterapkan dalam pokok bahasan sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis;

c Sistematika data, yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan yang sesuai dengan konsep, tujuan dan bahasan dengan maksud untuk memudahkan dalam menganalisis data.

F. Analisis Data

(49)

data dalam bentuk kalimat yang baik dan benar, sehingga mudah dibaca dan diberi arti (diinterpretasikan) bila data itu kualitatif (Abdulkadir Muhammad, 2004: 91).

(50)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

1. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah

Basyarnas merupakan lembaga penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam. Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan dari kalangan non muslim dapat memanfaatkan Basyarnas selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.

(51)

a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman

UU No 14 Tahun 1970 membuka kesempatan bagi lembaga arbitrase sebagai lembaga alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat. Di dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU No 14 Tahun 1970 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 58 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini semakin mempertegas eksistensi lembaga arbitrase dalam menangani sengketa. Selain itu perangkat hukum yang mendasari lembaga arbitrase telah secara tegas mengatur bahwa sengketa perdata dapat diselesaikan diluar pengadilan yaitu melalui arbitrase dengan catatan bahwa masing-masing pihak sepakat untuk membawa penyelesaian sengketanya melalui lembaga arbitrase yaitu Basyarnas.

b. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(52)

telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan dituangkan ke dalam perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromitendo) maka pengadilan tidak berwenang menangani sengketa tersebut. Bahkan menurut Pasal 11 UU No 30 Tahun 1999, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU No 30 Tahun 1999. UU No 30 Tahun 1999 tidak menyebutkan syarat tentang kontrak arbitrase yang berbentuk pactum de compromitendo kecuali yang dinyatakan dalam Pasal 7 UU No 30 Tahun 1999 yaitu para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.

Perjanjian arbitrase juga dapat dibuat sesudah terjadinya sengketa (akta kompromis), dalam hal ini UU No 30 Tahun 1999 memberikan syarat-syarat yang lebih keras karena jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 9 UU No 30 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut:

(1) Harus dibuat dalam bentuk tertulis;

(2) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak;

(3) Jika para pihak tidak menandatangani, harus dibuat dalam bentuk akta notaris; (4) Muatan wajib dari akta kompromis tersebut adalah masalah yang

(53)

atau majelis arbiter yang akan mengambil putusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan dari arbiter dan pernyataan kesediaan para pihak untk menangung biaya arbitrase.

c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Berkembangnya bisnis perbankan syariah membawa impikasi lahirnya UU No 21 Tahun 2008 yang menjadi dasar bagi pelaku bisnis perbankan syariah dalam melakukan transaksinya. UU No 21 tahun 2008 memberikan kompetensi kepada Basyarnas dalam menangani sengketa yang timbul. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Dalam Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 Tahun 2008 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut:

(1) Musyawarah; (2) Mediasi perbankan;

(3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritrase lain;

(4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

(54)

d. Peraturan Prosedur Basyarnas

Peraturan Prosedur Basyarnas merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang cara penyelesaian sengketa bisnis melalui Basyarnas (Amnawaty, 2009: 17). Peraturan Prosedur Basyarnas Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa yurisdiksi (kewenangan) Basyarnas meliputi:

(1) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan prosedur Basyarnas;

(2) Memberikan pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak.

(55)

pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut para pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian (Munir Fuady, 2003: 97).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Basyarnas berkompetensi menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 Jo UU No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 30 Tahun 1999, UU No 21 Tahun 2008 dan Peraturan Prosedur Basyarnas sebagai aturan tekhnis dalam menangani sengketa. Peraturan perundang-undangan tersebut semakin mempertegas kompetensi lembaga arbitrase dalam tatanan hukum Indonesia. Dan hal ini memperlihatkan perkembangan kegiatan ekonomi syariah sinergis dengan perkembangan hukum di Indonesia. Dan Basyarnas sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengket menjadi pilihan hukum bagi para pihak yang bersengketa selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Tentunya pilihan yang diambil mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam proses penyeesaiannya.

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain (Penjelasan umum alinia ke-4 UU No 30 Tahun 1999 :

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;

(56)

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

e. Putusan arbiter merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di sengketa-sengketa atau negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan.

2. Dasar Hukum Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah

(57)

permusuhan berdasarkan bukti dan keterangan, dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang ada (Yusna Zaida, 2007: 9).

Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Semenjak diundangkannya UU No 3 Tahun 2006, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syariah.

Dasar hukum kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(58)

kepercayaan untuk menangani suatu sengketa yang timbul dari berbagai bisnis syariah.

b. Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama

Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 membawa perubahan yang fundamental dalam tugas dan kewenangan Pengadilan Agama yaitu terkait ekonomi syariah. Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.

Kompetensi absolut peradilan agama mengenai sengketa ekonomi syariah sebagaimana tercantum dalam UU No 3 Tahun 2006 menunjukkan bahwa jika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah terdapat sengketa, maka penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi kompetensi peradilan agama. Dengan demikian, Peradilan Agama diberi wewenang penuh untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syariah. Untuk itu dituntut kesiapan lembaga tersebut dalam banyak hal, termasuk di dalamnya kesiapan hukum substantif yang tidak terlepas dari hukum Islam sebagai pijakan. Di samping menyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini para hakim dan aparatur lainnya (Yusna Zaida, 2007:4).

(59)

c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Diterbitkannya UU No 21 Tahun 2008, memberi kewenangan absolut peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, khususnya sengketa Perbankan Syariah makin kuat, karena dalam Pasal 55 Ayat (1) UU No 21 Tahun 2008 dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkup Pengadilan Agama. Sehingga apabila terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah, maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No 21 tahun 2008 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut:

(1) Musyawarah; (2) Mediasi perbankan;

(3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritase lain;

(4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

(60)

yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum atau choice of yurisdiction. Untuk itu Dadan Muttaqien, dosen Universitas Islam Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi agar menyelesaikan persoalan yang membingungkan para praktisi Perbankan Syariah itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf d UU No 21 Tahun 2008 (Achmad Cholil, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21872/ dualisme -penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah diakses tanggal 25 Maret 2010 Pukul 19:00 WIB)

Dua bulan setelah pengajuan judicial review oleh Dadan Muttaqien terkait penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf d UU No 21 Tahun 2008. Ia mengajukan penarikan kembali permohonan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dengan Surat Ketetapan Nomor 9/PUU-VIII/2010 yang isinya adalah mengabulkan penarikan kembali permohonan pemohon, menyatakan bahwa perkara pengajuan judicial review terhadap UU No 21 Tahun 2008 ditarik kembali dan tidak dapat diajukan kembali.

(61)

shadaqoh. Sehingga perangkat hukum di Pengadilan Agama perlu belajar lagi mengenai hukum ekonomi syariah sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan eksistensinya menangani sengketa tesebut.

B. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama

1. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada Basyarnas

Syarat dan prosedur berperkara di Basyarnas telah diatur dengan sistematis sejak masih didirikan BAMUI. Secara garis besar aturan tersebut ditu

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu opsi Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah sebagaimana terdapat di dalam Pasal 55 ayat

Dalam penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS, apabila para pihak langsung datang untuk menyelesaikan sengketa tersebut maka akan memudahkan para arbiter tunggal

Menimbang pula ketentuan dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah berdasarkan pada pasal 50 ayat (1), dan ayat (2) UU Peradilan Agama yang

Kini, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai kewenangan absolut yang diberikan kepada Pengadilan Agama sebagai satu- satunya lembaga peradilan yang

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah pada Pasal 13 ayat (2) dijelaskan

Paradigma sistem seperti ini sulit diatur dalam sistem litigasi ( ordinary court ) karena sistem litigasi bukan didesain untuk menyelesaikan masalahm melainkan lebih

adan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara, memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa keperdataan atau sengketa muamalah bagi pihak-pihak yang

Lingkup & Yurisdiksi lembaga Peradilan  Lingkup peradilan di bawah kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung terdiri dari vide UU No.48 tahun 2009 pasal 18: - Peradilan agama