• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

(Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 BNPT)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Agasti Prior

NIM : 1112048000037

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

i

(Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 BNPT)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Agasti Prior

NIM: 1112048000037

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)
(4)
(5)

iv

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (ANALISIS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/ 2016. X halaman + 68 Halaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran BNPT dalam penindakan dan pencegahan terorisme dengan karakteristik seperti kasus meninggalnya terduga teroris Siyono, mengetahui kewenangan yang dimiliki oleh BNPT dan juga dasar hukum dari kewenangan BNPT. Dalam penelitian ini dibahas dan dilatarbelakangi oleh meningkatnya aksi teror dari tahun ke tahun dan buruknya penindakan yang dilakukan penegak hukum yang malah menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat.

Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu Yuridis Normatif, sedangkan pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan historis (historical approach), pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan hasil penilitian ini dapat diketahui bahwasanya Peran BNPT dalam penindakan Tindak Pidana Terorisme yaitu menkoordinasi kepada instansi-instansi pemerintah yang berwenang dalam melakukan tindak pidana terorisme, dalam kasus Siyono yaitu densus 88, Peran BNPT dalam pencegahan tindak pidana terorisme yaitu melalui system offline dan online yang ditujukan kepada generasi muda dengan memberi gambaran bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu juga Program deradikalisasi yang bertujuan untuk merubah ideologi kelompok teroris secara drastis, yang semula radikal mejadi tidak lagi radikal.

Kata Kunci : BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Peran, Kewenangan, penindakan, pencegahan, Terorisme

Dosen Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum

(6)

v

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PERAN BADAN

NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DALAM PENINDAKAN DAN

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (Analisis Peraturan Presiden

Nomor 46 Tahun 2010 BNPT). Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada

junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia

dari zaman jahiliyah ke zaman yang berilmu pengetahuan ini.

Dalam penyelesaian skripsi tak henti-hentinya penulis mengucapkan syukur dan

terimakasih atas bantuan, bimbingan, nasehat, doa dan semangatnya kepada yang

terhormat:

1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H dan Drs. Abu Thamrin, S.H,

M.Hum, Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang telah memberikan restu,

bantuan serta bimbinganya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum dan Fitria, S.H., M.R Dosen Pembimbing I dan II

yang telah memberikan bimbingan dan arahanya selama proses penulisan

skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

(7)

vi

5. Nur Habibi Ihya M.H. dan Fitria, S.H., M.R, Dosen konsentrasi Kelembagaan

Negara yang berkat bimbingan dan arahanya penulis dapat menemukan judul

skripsi ini.

6. Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang telah menerima

permohonan wawancara penulis.

7. Letnan Kolonel Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan Kontra Propaganda

BNPT yang telah menyediakan waktunya untuk wawancara dengan penulis.

8. Trigus, Staff Penindakan BNPT yang telah meluangkan waktunya untuk

wawancara dengan penulis.

9. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan yang telah

menerima permohonan wawancara penulis.

10.Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS

yang telah menyediakan waktunya untuk wawancara dengan penulis.

11.Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan

dan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini

12.Kedua Orang tua yang penulis sayangi dan saya hormati, Ayahanda Agus

(8)

vii

sehingga memberikan energi yang luar biasa bagi penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

13.Sahabat hatiku Aprilly Dita Permata Akmanda yang keberadaanya telah

memberi semangat, doa dan nasehat, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan

baik.

14.Sahabat Prodi Ilmu Hukum angkatan 2012, Ilmu Hukum kelas B dan Kelas

Kelembagaan Negara angkatan 2012, yang memberikan kebersamaan di masa

kuliah sehingga memberikan motivasi dalam menyelesaikan masa kuliah ini.

15.Teman satu perjuangan dalam menempuh gelar Sarjana: Agie Zaky, Dimas

Anggri, Sigit Ganda Prabowo, Renaldi Hendryan, Ade Kurniawan, Said

Agung, Muhammad Yusuf, Muhammad Anshori, Denny Fernandes, Farid

Muhajir, Bagdady, Ahmad Farhan, Soekarno Putra, Irvan Zidny, Muhammad

Raziv, Murtadlo, Lidia T. Handayani, Dilla, Rifqi, Maulana Ishaq, Rama

Wijaya, Putri Amalia dan lainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu,

yang selalu saling menyemangati selama penulisan ini.

16.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT

memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian

(9)

viii

Jakarta, 7 September 2016

(10)

ix

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………....…….ii

LEMBAR PERNYATAAN………....…..iii

ABSTRAK………....….iv

KATA PENGANTAR………....……v

DAFTAR ISI………..ix

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang Masalah………...….1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah..………...….8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..…..………...…..9

D. Tinjauan Kajian Terdahulu………...10

E. Kerangka Konseptual…...………...12

F. Metode Penelitian………...13

G. Sistematika Penulisan………...18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME…. ……...…………...20

A. Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme….……..20

B. Dasar Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme….24 C. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…………..24

(11)

x

D. Sejarah Pembentukan Densus 88………...….32

BAB III BENTUK-BENTUK ANCAMAN TERORISME TERHADAP KEPENTINGAN NEGARA………35

A. Pengertian Terorisme………....…35

B. Karakteristik terorisme………... …..38

C. Bentuk-bentuk Ancaman Terorisme……… ....40

D. Dampak Ancaman Terorisme………..….43

BAB IV PERAN BNPT DALAM PENIDAKAN TINDAK PIDANA TERORISME……… ..………....46

A. Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan Siyono Sebagai Terduga Terorisme……...46

B. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam Pencegahan Ancaman Tindak Pidana Terorisme……….58

BAB V PENUTUP………..64

A. Kesimpulan……… ………..64

B. Saran……….65

(12)

xi

………7

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Aksi terror yang sering terjadi belakangan ini memberikan rasa cemas,

terancam dan ketakutan bagi warga masyarakat. Hal ini memberikan citra yang

buruk bagi Indonesia kepada seluruh dunia yang mengetahuinya, selain itu juga

Penindakan yang dilakukan Pemerintah kerap menimbulkan Pro dan Kontra di

masyarakat yang menyebabkan keraguan akan kepemerintahan Indonesia pada

warga negaranya sendiri dalam memberikan perlindungan dan rasa kepada warga

negara. Menurut Prof Miriam Budiarjo Negara adalah Suatu daerah territorial

yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan menuntut warga negaranya

ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan

monopolistis dari kekuasaan yang sah1. Berkenaan dengan hal ini, karena warga

negara telah taat pada kewajibannya untuk taat pada peraturan yang negara buat

maka warga negara juga berhak atas hak rasa aman yang diberikan oleh

negaranya.

Setiap negara pasti mempunyai tujuan-tujuan yang sudah dirancang

sebelumnya. begitupun juga Indonesia yang mempunyai beberapa tujuan yang

1Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan XIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka

(14)

sudah tercantum dalam UUD 1945. Tujuan Negara Indonesia Terdapat dalam

Pembukaan UUD 1945 alenia 4.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, Yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan yang hendak dicapai dengan peran negara dalam rangka

perlindungan internal dan ketertiban dunia eksternal, bersifat negatif dalam

rangka "nahi al-munkar" terhadap segala bentuk ancaman dan tantangan yang perlu dicegah dan ditanggulangi atau dihadapi dengan sebaik-baiknya

berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.2

Demi mewujudkan Pemerintahan yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial maka perlulah diberlakukan sebuah hukum.

Mendefinisikan kata "hukum" sangat sulit. Menurut LJ.van Apeldorn

dalam bukunya "inleiding tot de studie van het Nederlance", disebutkan bahwa

2Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Diterbitkan kerja sama

(15)

tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang dimaksud hukum

itu, karena ia beranggapan tidak mungkin mendefinisikan hukum tersebut

dirumuskan sesuai dengan kenyataan hidup manusia didalam kemasyarakatan

dan kenegaraan.3 Namun demikian tidak berarti hukum tidak dapat didefinisikan

oleh para ahli hukum, paling tidak definisi yang diungkapkan oleh para ahli

hukum meskipun tidak mencapai pada pengertian hukum yang mencakup

keseluruhan aktifitas manusia, akan tetapi dapat memberikan batasan-batasan

terhadap pengertian hukum sebagai gambaran tentang definisi hukum.

Beragam definisi telah diungkapkan oleh para ahli hukum, dapat ditarik

pemahaman bahwa hukum sebagai kerangka yang mengandung pengertian

hukum. Pertama, peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan

masyarakat. Kedua, peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang

berwajib. Ketiga, Peraturan itu bersifat memaksa. Keempat, Sanksi terhadap

pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.4

Hukum bersifat mengatur, baik itu berupa aturan-aturan yang sifatnya

sederhana, sampai hal sifatnya substansial, semisal kehidupan berbangsa dan

bernegara. Selain bersifat mengatur, hukum juga mempunyai sanksi atau

(16)

hukuman bagi para pelanggarnya. Hukuman ini dikenakan kepada setiap subjek

hukum yang melanggar hukum.5

Sejak 2002, Indonesia mengalami lima serangan bom yang signifikan

yaitu bom Bali pertama pada 2002, serangan bom di Hotel J.W Marriott pada

2003, Bom Kedutaan Australia pada 2004, bom Bali kedua pada 2005, serta

serangan simultan bom di Hotel J.W Marriot serta Ritz-Carlton pada 2009.

Akibat serangan keji tersebut ratusan orang tak berdosa tewas serta ratusan

lainnya terluka.6 Dari beberapa aksi terorisme tersebut, yang terbesar dari segi

jumlah korban dan pemberitaan internasional adalah bom bali I dan II, bom di

hotel marriot1, Kedutaan Filipina, Kedutaan Australia, pasar tentena, poso, Hotel

JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 juli 2009.7

Terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara

keekrasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai

tujuan.8 Tindakan terorisme dilakukan dengan cara tindakan peledakan bom yang

banyak menelan korban dibanding terorisme melalui cara teror psikis, sekalipun

kedua tindakan terorisme merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan

5C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1986), h. 177

6Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, (Jakarta: AS Production

Indonesia, 2013), h. 7

7Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan

Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 1

8Muchamad Ali Syafa'at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam

(17)

menelan korban. Dalam menghadapi ancaman maupun perang melawan

terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir

seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan peningkatan

setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman

terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga

pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan

terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dan

perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan

Ancaman yang datang tanpa jeda juga memerlukan kecepatan dan

keakuratan dalam mendeteksi potensi materaliasisasi ancaman tersebut.

Kecepatan (velox) dan keakuratan (exactus)adalah substansi dalam sebuah praktik intelejen. Intelejen harus berlomba dengan materialisasi ancaman yang

dapat terjadi kapan saja, dan dimana saja. Artinya, intelejen harus mampu

mengumpulkan informasi secara cepat guna mendeteksi dini sebuah ancaman

terhadap keamanan nasional.9

Sejalan dengan perubahan, perkembangan situasi, dan kondisi lingkungan

strategis, dan demi terwujudnya tujuan nasional negara yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban

9A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas,

(18)

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial

sebagaimana diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945, penting dilakukan

deteksi dini dan peringatan dini yang mampu mendukung upaya menangkal

segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Menghadapi ancaman dari aksi terorisme, negara wajib untuk

memberikan perlindungan kepada warga negara. Peran Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme memang sangat penting dalam upaya pemberantasan

tindak pidana terorisme dalam segala bentuk ancaman yang membahayakan

eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ancaman global yang sewaktu-waktu bisa muncul akan menjadi sangat

sulit ditangani dan menjadi sangat mahal dampaknya, maupun upaya-upaya

represi yang harus dilakukannya, manakala ancaman itu telah menjamah

targetnya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa satu-satunya strategi yang

sangat tepat untuk penanganan ancaman global adalah strategi pre-emptive

(pencegahan).10 Pencegahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi pendadakan

strategis. Dengan tujuan tersebut, teori-teori intelijen secara sistematik terbagi

dalam fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Implementasi dari

ketiga fungsi tersebut merupakan cara intelijen untuk mengetahui musuh,

10A.M. Hendropriyono, Dari Terorisme Sampai Konflik TNI-Polri, Renungan dan Refleksi

(19)

kemudian menjadikannya kekuatan yang menguntungkan pihak sendiri demi

mencapai tujuan.11

Ancaman yang sudah terjadi juga tentunya butuh penanganan yang

berupa penindakan pada pelaku terorisme tersebut sebagai salah satu upaya

penanggulangan terorisme. Upaya penindakan ini biasanya menggunakan

pendekatan hukum (koersif), teteapi dirasa belum mencegah berulangnya aksi

terorisme dan seringkali memicu pertentangan di tengah masyarakat bahkan

memunculkan rasa dendam yang tinggi terhadap aparat penegak hukum.12

Aksi teror yang terjadi pada era reformasi sampai pada tahun 2013, dari

catatan hasil penelitian tim BNPT13 terjadi kurang lebih 103 aksi teror yang

terjadi, 41% di antaranya ditujukan kerumah ibadah, terutama gereja dan institusi

kristen, 43% aksi diarahkan ke tempat-tempat umum seperti mall, restoran, kafe,

hotel, gedung perkantoran dan pasar, sedangkan sisanya ditujukan

kekantor-kantor pemerintahan dan kekantor-kantor asing seperi kekantor-kantor kedutaan indonesia.

Dari hasil penelitian tim BNPT dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun

Ancaman terorisme tetap pada ke eksistensian nya dalam melakukan aksinya.

Tindakan pencegahan dan penindakan pada terorisme mutlak diperlukan untuk

11A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas,

2013), h. 207

12Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.

(Jakarta: Daulat Press, 2014), hal. xi

(20)

mencegah ataupun menanggulangi ancaman terorisme tersebut melewati

penindakan yang jelas. Selain itu pengamanan pada tempat-tempat yang dirasa

sangat di incar untuk menjadi target aksi terorisme perlu diawasi oleh pihak

BNPT sebagai salah satu langkah perlindungan bagi masyarakat yang tidak

berdosa.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih

jauh bagaimana Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam

Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini sangat menarik

bagi penulis mengingat bahwa Badan Nasional Penangulangan Terorisme selama

ini kinerjanya tidak pernah diekspos oleh siapapun, dan cara kerjanya yg hampir

mirip dengan Badan Intelijen Negara. Dengan demikian penulis tertarik

mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi

dengan judul Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam

Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis

pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan

pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan

(21)

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis

membatasinya dengan pembahasan mengenai Peran Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme Dalam Penindakan dan Pencegahan Ancaman

Terorisme.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan

masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:

a. Apa kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dalam penidakan

ancaman terorisme?

b. Apa Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam mencegah ancaman Terorisme?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

1. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

a. Untuk Mengetahui Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dalam

penidakan ancaman terorisme.

b. Untuk mengetahui dan memahami Peran Badan Nasional

(22)

2. Kegunaan Penelitian.

Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan

teoritis dan kegunaan praktis

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi

mengenai Eksistensi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam

Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.

b. Kegunaan Praktis.

Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi

informasi bagi elemen masyarakat manapun untuk mengetahui Peran

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan dan

Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu.

(23)
(24)

Perlindungan dan

negara itu sendiri. Perlindungan bagi negara, Perlindungan dari negara untuk

warga negara juga sangat dibutuhkan untuk menjamin hak hidup warga

negaranya lepas dari rasa takut, rasa mencekam dan mendapatkan rasa aman

(25)

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dibentuk dengan tujuan

penanggulangan terorisme. Penanggulangan terorisme disini mencakup dalam

hal pencegahan dan juga penindakan. BNPT dituntut untuk melaksanakan tugas

negara sebagai perlindungan negara terhadap warga negaranya sesuai dengan

amanah Pembukaan UUD 1945 yakni "Melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia".

Penidakan disini diperlukan sebagai tindak lanjut penyelesaian dari

sebuah terror yang telah terjadi. Sedangkan pencegahan disini yaitu bagaimana

BNPT melakukan tindakan pencegahan yang dilakukan BNPT dalam mencegah

munculnya tindak pidana terorisme itu terjadi

F. Metode Penelitian.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.14

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi

penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian normatif

(26)

empiris untuk mengkaji implementasi ketentuan hukum normatif

(undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam

suatu masyarakat. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah kualitatif yaitu

penelitian yang dilakukan melalui tahap demi tahap dan makna disimpulkan

selama proses berlansgung dari awal sampai akhir kegiatan, bersifat naratif, dan

holistik.15

2. Pendekatan Penelitian.

Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu

penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian

normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa pendekatan

perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan historis (historical approach).

Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh

kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme tersebut. Pendekatan Perundang-undangan dirasa perlu untuk

memastikan bahwa pada dasarnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

merupakan badan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang. Selain itu,

pendekatan perundang-undangan juga berguna bagi penulis sebagai sumber

informasi tambahan mengenai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu

sendiri.

15 A. Muri Yusuf, Metode Penelitan Kuantitatif, Kualitatif, dan Gabungan, (Jakarta: Kencana,

(27)

Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui

bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan

perkembangan mengenai BNPT di Indonesia.

3. Sumber Penelitian.

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian

yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum

tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan rincian

sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer.

Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat

segala keterangan-keterangan yang beerkaitan dengan penelitian ini.

Sumber-sumber tersebut berupa UUD 1945, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010

Tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Bahan

hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.16

b. Bahan hukum sekunder.

Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai

bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan-bahan yang memuat

(28)

segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terdiri

dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang

berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis

mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2012.

c. Bahan Hukum Tersier.

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.17 Selain itu di skripsi, penulis

melakukan wawancara pada Kasubdit pencegahan dan Staff penidakan

BNPT.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data

melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku

yang berkaitan dengan BNPT, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus

dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

17

(29)

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode

Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel

berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,

notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.18

5. Metode Pengolahan dan Analisis Data.

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian

rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk

menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum

dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan

yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan

hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam Mengenai

Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Melakukan

Penindakan Tindak Pidana Terorisme. Didalamnya akan membahas mengenai

Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dasar hukum, wewenang

fungsi, tugas, tujuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88,

18M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.

(30)

Pengertian terorisme, bentuk terorisme, penyebab terorisme, criteria

terorisme, dampak terorisme, lalu analisis peran BNPT dalam Penindakan

tindak Pidana Terorisme.

6. Metode Penulisan

Metode penulisan ini berdasarkan buku pedoman Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.

G. Sistematika Penulisan.

Dalam penulisan skripsi ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada

skripsi-skripsi lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi

menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan

Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL

PENANGGULANGAN TERORISME

Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Dasar

Hukum, Profil BNPT (Wewenang, Tugas, Fungsi dan Tujuan),

(31)

BAB III BENTUK-BENTUK ANCAMAN TERORISME

TERHADAP KEPENTINGAN NEGARA.

Pengertian Terorisme, Bentuk-bentuk Ancaman terorisme,

penyebab timbulnya ancaman terorisme, Dampak dari ancaman

terorisme.

BAB IV PERAN BNPT DALAM PENINDAKAN ANCAMAN

TERORISME

Pada bab ini akan membahas mengenai analisis Peran Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam menindak tindak

pidana Terorisme.

BAB V PENUTUP

Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang

berkaitan dengan permasalahan tersebut yang penulis

dapatkan dari hasil menganalisis Eksistensi Peran Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam menindak tindak

(32)

20

A. Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 inilah yang menjadi awal mula

gagasan untuk dibentuknya sebuah badan yang khusus untuk menangani

terorisme, pada saat itu pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4

Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi kasus terorisme di bali.

Instruksi Presiden tersebut yaitu bahwa Presiden memberi mandat kepada

Mentri Kordinator Bidang Politik dan Keamanan yang saat itu dijabat oleh Susilo

Bambang Yudhoyono yang diberikan tugas untuk merumuskan kebijakan dan

strategi nasional pemberantasan terorisme dan mengkoordinasikan semua

langkah-langkah operasional pemberantasan terorisme.1

Mandat yang diberikan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan

Keamanan itu ditindak lanjuti dengan dibentuknya Desk Koordinasi

Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang berdasarkan keputusan Menteri

Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor:

Kep-26/Menko/Polkam/11/2002.

1Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum, (Bandung : PT.

(33)

Tujuan dalam dibentuknya DKPT ini adalah untuk membantu Menteri

Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam merumuskan kebijakan bagi

pemberantasan tindak pidana terorisme yang meliputi aspek pencegahan,

penangkalan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segalan tindak

hukum yang diperlukan.2 Ketua DKPT yang ditunjuk oleh Menteri Koordinator

Bidang Politik dan Keamaan saat itu adalah Irjen Pol. Drs. Ansyaad Mbai, M.M.

Pada tanggal 31 Agustus 2009 diadakan Rapat Kerja antara Komisi I

DPR dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang

membahas mengenai pemberantasan terorisme. Kesimpulan dari rapat tersebut

yaitu3:

1. Komisi I DPR RI mendukung upaya Pemerintah dalam menanggulangi

dan memberantas terorisme berdasarkan grand desain penanggulangan terorisme, dan Komisi I DPR RI menegaskan bahwa terorisme adalah

kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dijadikan musuh bersama,

oleh karena itu dibutuhkan komitmen seluruh elemen dan potensi bangsa

dalam menghadapi dan memberantas terorisme.

2. Dalam upaya meningkatkan kapasitas dan keterpaduan penanggulangan

terorisme, Komisi I DPR RI minta Pemerintah agar meningkatkan peran

masyarakat secara optimal dalam gerakan pemberantasan terorisme sesuai

2Kep-26/Menko/Polkam/11/2002, Tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan

Terorisme

3Kesimpulan Rapat Kerja DPR, Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi I DPR RI Dengan

(34)

dengan ketentuan hukum, dan mengajak masyarakat untuk turut

mencegah berkembangnya ajaran sesat yang mengembangkan

radikalisme dan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam

mencapai tujuannya, serta agar masyarakat memberikan informasi dini

atas gejala terorisme yang terlihat disekitarnya.

3. Untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan terorisme, Komisi I

DPR RI memandang perlu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Tindak Pidana Terorisme diperbaiki dengan antara lain

meningkatkan aspek Prevention dan kapasitas, termasuk kemungkinan pembentukan suatu badan yang berwenang secara operasional melakukan

tugas pemberantasan/penanggulangan terorisme. Dalam hubungan ini,

Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah untuk menerbitkan regulasi

sebagai elaborasi ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004

tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk mengatur

ketentuan lebih rinci tentang Rule of Engagement (aturan pelibatan) TNI, terkait tugas Operasi Militer Selain Perang TNI, termasuk aturan

pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI

terhadap POLRI.

4. Komisi I DPR RI minta Pemerintah agar dalam upaya pemberantasan

(35)

diarahkan kepada pengejaran pelaku, aktor intelektual, dan jaringannya,

serta mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi dan terjebak dalam

pandangan dan stigmasasi bahwa terorisme terkait dengan satu agama yang dapat memperbesar sikap saling mencurigai ditengah masyarakat,

dan melemahkan gerakan pemberantasn terorisme.

5. Dengan semakin meningkatnya ancaman terorisme khususnya indikasi

perilaku tindakan bom bunuh diri, Komisi I DPR RI minta aparat

keamanan untuk melakukan kajian secara lengkap dan menyeluruh

mengenai latar belakang dan motivasi tindakan terorisme bunuh diri, serta

kajian terhadap berbagai payung hukum yang tersedia untuk

meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap potensi ancaman

terorisme termasuk tahapan perekrutan, serta pengambilan

langkah-langkah kebijakan efektif dalam rangka penanggulangan terorisme.

6. Komisi I DPR RI minta Pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan

tindakan hukum terhadap aliran dana dari dalam dan luar negeri yang

diduga digunakan untuk tujuan mendukung dan membiayai terorisme.

Berdasarkan hasil rapat tersebut rekomendasi Komisi I DPR tersebut dan

maraknya aksi atau tindah pidana terorisme, maka dari itu Presiden Republik

(36)

Nasional Penanggulangan Terorisme4 tepat pada tanggal 16 juli 2010, dan

mengangkat Irjen Pol (Purn) Drs. Ansyaad Mbai, M.M. sebagai Kepala BNPT5.

B. Dasar Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Pada tahun 2010 akhirnya BNPT berdiri berdasarkan No.46 Tahun 2010

tentang pembentukan BNPT. Perpres No.46 Tahun 2010 ini yang menjadi asal

usul BNPT

Pada perkembangannya Perpres ini diubah dengan Perpres No.12 tahun

2012. Pembentukan BNPT merupakan Kebijakan Nasional Penanggulangan

Terorisme. Badan ini merupakan pengembangan dari Desk Koordinasi

Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002.

Peraturan Presiden No.46 Tahun 2010 tentang pembentukan BNPT ini

pada dasarnya adalah dasar hukum terbentuknya BNPT. Pada tahun 2012

Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2012 Tentang

perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang BNPT.

C. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

a. Wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

BNPT dibentuk merupakan sebuah regulasi sebagai elaborasi Ketentuan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

4Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Penanggulangan Terorisme

(37)

Indonesia dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional

Indonesia, untuk mengatur ketentuang lebih rinci tentang Rule of Engagement

(aturan pelibatan) TNI, terkait tugas Operasi Militer Selain Perang TNI,

Termasuk TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI terhadap

POLRI. Dalam hal ini, BNPT dapat membentuk Satgas-satgas yang terdiri dari

unsur-unsur terkait, juga dapat melibatkan masyarakat. Penugasan TNI dan Polri

dalam Satgas BNPT bersifat "disiapkan" atau di Bawah Kendali Operasi (BKO)6

BNPT memiliki wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan

serta strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme.

BNPT juga telah membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT)

di daerah. Pembentukan FKPT merupakan salah satu upaya BNPT mencegah

Terorisme di seluruh wilayah Indonesia. Pembentukan FKPT bertujuan untuk

menghimpun dukungan masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya

pencegahan terorisme dengan berbasiskan penerapan nilai kearifan lokal

masing-masing daerah.7

b. Tugas, Fungsi dan Tujuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Sebagai sebuah badan, BNPT memiliki tugas pokok yang harus

dijalankan dalam melaksanakan tugas negara. Berdasarkan pasal 72 ayat 1

6

http://ramalanintelijen.net/mengenal-badan-nasional-penanggulangan-terorisme-bnpt-erorisme/. Diakses 8 juni 2016

7BNPT, Modul Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme di Daerah, (BNPT:

(38)

Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang BNPT, BNPT memiliki tugas

Pokok sebagai berikut:

1. Menyusun kebijakan, strategi dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme.

2. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme

3. Membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Selain tugas pokok yang harus dijalankan dalam melaksanakan tugas negara, BNPT juga memiliki fungsi sebagai berikut:8

1. Penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional bidang penanggulangan terorisme.

2. Monitoring, analisa, dan evaluasi dibidang penanggulangan terorisme.

3. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal.

4. Pelaksanaan deradikalisasi.

5. Perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi terget serangan terorisme.

6. Pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan nasional. 7. Pelaksanaan kerjasama internasional dibidang penanggulangan terorisme. 8. Perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi

dan sumber daya serta kerjasama antarinstansi

9. Pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penganggulangan terorisme.

Perlindungan dari negara adalah hak warga negara. Negara wajib

memberikan hak itu, karena itu Tujuan dibentuknya BNPT adalah pemberantasan

tindak pidana terorisme yang meliputi aspek pencegahan, penangkalan,

penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segalan tindak hukum yang

diperlukan.

(39)

c. Visi dan Misi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Visi BNPT adalah untuk mewujudkan penanggulangan terorisme dan

radikalisme melalui upaya sinergi institusi pemerintah dan masyarakat yang

meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi dan penindakan, serta

peningkatan kewaspadaan nasional dan kerjasama internasional untuk menjamin

terpeliharanya keamanan nasional9

Berdasarkan visi BNPT di atas, dijabarkan juga misi BNPT sebagai

langkah-langkah BNPT dalam melakukan program untuk mencapai visi tersebut.

Ada 5 poin misi BNPT yaitu:

1. Melakukan pencegahan terjadinya aksi terorisme, meningkatkan kewaspadaan

dan memberikan perlindungan terhadap obyek-obyek vital yang potensial

menjadi target serangan terorisme.

2. Melakukan deradikalisasi dan melawan propaganda ideologi radikal.

3. Melakukan penindakan aksi terorisme melalui penggalangan intelijen dan

surveillance, dan penegakan hukum melalui kordinasi dan kerjasama dengan institusi terkait, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa.

4. Melaksanakan pembinaan kemampuan dan kesiapsiagaan nasional terhadap

ancaman aksi terorisme.

5. Melaksanakan kerjasama internasional dalam penanggulangan terorisme.

9Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.

(40)

d. Kebijakan dan Strategi Badan Nasionan Penanggulangan Terorisme

Kebijakan BNPT merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan

dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan

atau berorientasi pada tujuan demi kepentingan seluruh masyarakat. Kebijakan

meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi

oleh suatu kebijakan pemerintah.10

Dalam kebijakan pencegahan terorisme, ada 6 prinsip-prinsip umum dan

kerangka kerja yang harus dikedepankan:11

a. Supremasi hukum, yaitu penggunaan kerangka hukum selalu menjadi basis pedoman dari aksi kontra teror. Independen mengandung pengertian bahwa

Indonesia akan selalu berusaha mencapai konkusi dan melakukan aksi

didalam negeri tanpa harus bergantung pada pihak manapun. Semua data

intelijen, rekomendasi dan pandangan dari pihak luar akan tetap diterima

dengan baik sebagai masukan. Pemerintah tidak akan didikte oleh kekuatan

asing manapun teteapi tetap mengandalkan kemampuan sendiri dengan kerja

yang profesional dan didasari oleh penggunaan data yang akurat.

b. Indiskriminasi, berarti dalam upaya kontra teror, pemerintah Indonesia tidak akan menuduh dan hanya memfokuskan pada satu kelompok saja, baik itu

kelompok etnis, agama maupun kepentingan. Semua warga negara Indonesia

10James E. Anderson, Public Policy Making, Holt, (Rinehart and winston: New York cet,

1984), h. 3

(41)

akan diperlakukan sama dibawah UU Anti Terorisme. Jika ada satu organisasi

teroris yang menjadi target operasi itu semua didasari oleh tindakan mereka

bukan karena identitas religi atau etnis mereka. Meskipun demikian,

pemerintah Indonesia juga memahami jika ada beberapa kelompok di

Indonesia yang kerap menggunakan perbedaan suku dan agama sebagai alasan

untuk memicu kekerasan.

c. Independensi, yaitu sifat bebas dalam membuat kesimpulan dan mengambil tindakan, rekomendasi ataupun harapan masyarakat internasional diposisikan

sebagai masukan dan pertimbangan. Artinya, semua tidakan dan keputusan

tidak didasarkan pada intervensi dari pihak manapun, tetapi didasarkan pada

temuan akurat dan professional melalui proses dan mekanisme yang akuntabel

demokrasi.

d. Kordinasi, merefleksikan bahwa ancaman teror merupakan ancaman yang

melintasi batas yuridiksi satu departemen bahkan negara. Upaya untuk

menanggulanginya pun harus melintasi batas yuridiksi yang dimiliki tiap-tiap

departemen oleh karena itu koordinasi menjadi sangat penting dalam

memerangi terorisme.

e. Demokrasi, berarti pemerintah telah memahami bahwa pemberian otoritas

yang terlalu besar untuk memerangi terorisme juga membuka potensi lain.

Pemerintah Indonesia tidak akan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi

(42)

untuk mencari keseimbangan antara otoritas pemerintah dan prinsip-prinsip

demokrasi. Kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah dalam memerangi

terorisme selalu terbuka melalui mekanisme parlemen (DPR dan MPR),

melalui media baik cetak maupun elektronik dan melalui lembaga swadaya

masyarakat.

f. Partisipasi, yang merefleksikan bahwa perang melawan teror tidak akan

berhasil dimenangkan jika menjadi tugas semata perintah. Partisipasi dari

masyarakat, kerjasama antar komunitas dan antara masyarakat dengan

pemerintah, merupakan hal yang sangat vital dalam perang melawan

terorisme.

Berbagai upaya kebijakan pencegahan telah dilakukan oleh BNPT

diantaranya:12

1. Peran Intelijen

Mengaktifkan peran intelijen yang aktif, walaupun upaya ini terkendala

oleh masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat trauma masa lalu

oleh kelompok-kelompok tertentu. Sehingga aparat keamanan selalu kecolongan

dan menimbulkan kesan hanya bertindak reaktif dan inisiatif lebih banyak

ditangan teroris.

12Rhousdy Soeriatmadna dan Brigjen Pol (purn) Ivan TH Sihombing, Kiprah DKPT Dalam

(43)

2. Hukum

Membuka wacana dalam rangka membangun perangkat hukum yang

efektif, karena selama ini kebijakan pemerintah hanya fokus pada upaya

penegakan hukum, sementara pasal hukum yang digunakan untuk mengadili

sangat lemah dan dasar atau payung hukum yang digunakan sangat lemah. Upaya

penegakan hukum selama ini hanya mampu menjerat pada tataran operator atau

pelaku di lapangan, sementara master mind, provokator dan spiritual leader beum

terjangkau. Selain itu regulasi yang ada belum mampu mempersempit ruang

gerak aktivitas terorisme.

Untuk mencapai sebuah tujuan negara yang aman dan damai BNPT

mempunyai sebuah strategi pencegahan terorisme. Strategi pencegahan terorisme

merupakan serangkaian pekerjaan dan cara bertindak dalam melakukan

pencegahan terorisme itu sendiri. Kebijakan dan strategi pencegahan terorisme

sengaja dirancang untuk mendeteksi dan mencegah berbagai macam aksi

terorisme di indonesia.

Program Pencegahan yang dilaksanakan oleh BNPT terdiri dari dua

strategi. Pertama,strategi deradikalisasi yang ditunjukan terhadap kelompok inti

dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi,

reduksi, dan resiosialisasi.

Kedua, strategi kontra radikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok

(44)

pencegahan yang meliputi kegiatan pengawasan terhadap orang, senjata api, dan

muhandak, kegiatan kontra propaganda, kegiatan kewaspadaan serta kegiatan

perlindungan terhadap objek vital, trasnportasi, VVIP serta lingkungan dan

fasilitas publik.

D. Sejarah Pembentukan Densus 88

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi, di lingkungan BNPT dibentuk

Satuan Tugas-Satuan Tugas yang selanjutnya disebut Satgas yang terdiri dari

unsur-unsur instansi terkait13 yang salah satunya dari Polri. Mabes Polri

membentuk Detasemen Khusus 88/Anti Teror yang bertugas menghentikan aksi

teror dan mengungkap jaringan teroris melalui upaya penegakan hukum.

Dasar hukum pembentukan Densus 88 yaitu SK Kapolri No. 30/VI/2003

Tertanggal 20 Juni 2003, hal ini sekaligus tindak lanjut merealisasikan UU No.15

Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme.

a) Tugas Pokok Densus 88

Densus 88 bertugas membina dan menyelanggarakan tugas dan fungsi

penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana teroris mendalam dalam rangka

penegakan hukum dengan sasaran tugas yaitu:

(45)

1) Keberadaan dan aktifitas setiap orang / unsur / kelompok / masyarakat /

organisasi yang diduga sebagai jaringan atau berpotensi dijadikan sebagai

jaringan terorisme.

2) Kejahatan yang bersifat terror yaitu segala perbuatan yang memenuhi

unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang

pemberantasan tindak pidana terorisme.

3) Tindak pidana ataupun pelanggaran hukum lainnya yang bermotifkan

terorisme terutana terhadap kasus yang bernuansa politik dan lintas Negara.

b) Wewenang Densus 88

Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme

memiliki wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada

Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian

Negara Republik Indonesia yang berbunyi:14

a. Melakukan pengangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang yang diperlakukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

14Lihat Pasal 16 Ayat 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara

(46)

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidik kepada pegawai negara sipil menerima hasil penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindak lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l diatas adalah

tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut15:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati Hak Asasi Manusia.

Dibentuknya Densus 88 dengan cepat menjadi bintang satuan khusus anti

–teror polri yang baru. Hal ini disebabkan antara lain, luasnya kewenangan

Densus 88 khususnya dalam menangani kejahatan Terorisme. Kewenangan itu

meliputi operasi pengintaian (intelijen), Investigasi (penyelidikan), penindakan

(pasukan pemukul), sampai penyidikan (penegakan hukum).16

15Lihat Pasal 16 Ayat 2, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

16Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite

(47)

35

Pada prinsipnya, pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan

melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, Keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. selain itu,

perkembangan lingkungan sekitar turut mempengaruhi kompleksitan dari

ancaman itu sendiri.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002

Tentang Pertahanan Negara UU Nomor 3 Tahun 2002, yang dimaksud dengan

ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dalam negeri maupun luar negeri

yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan

keselamatan segenap bangsa.

Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti,

mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan menyebar rasa

takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh

sebelum hal-hal itu dinamai "teror" atau "terorisme"1.

Kata ""teroris" (pelaku) dan Terorisme (aksi) Berasal dari kata latin

"terrere" yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa

menimbulkan kengerian, tentu saja kengerian di hati dan pikiran korbannya.

1F. Budi Hardiman, et.al., Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2005),

(48)

Istilah "terorisme" merupakan sebuah konsep yang memeiliki konotasi yang

sangat sensitif, karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan

penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.2

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan

tindak pidana terorisme, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara

sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara

dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan

orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut

terhadap orang-orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap

objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral,

peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, ideologi,

perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.3

Selain itu, menurut Flemming dan Stohl dalam buku Cyber Terrorism

yang ditulis oleh Andrew M. Colaric Menyatakan bahwa teroris adalah tindakan

yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan dalam individu, kelompok, atau

masyarakat dengan maksud mempengaruhi khalayak yang lebih luas. Ada dua

motovasi dasar dalam kehidupan, yaitu mencapai kekuasaan dan menghindari

penderitaan. Fokus terorisme adalah untuk menimbulkan teror melalu kekerasan

agar orang melakukan sesuatu untuk menghindari kemungkinan penderitaan

2Abdul Wahid, et.al., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum (Bandung:

PT. Rafika Aditama, 2004), h. 22

3Abdul Wahid, et.al., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum (Bandung:

(49)

dimasa depan. Dalam hal ini, bentuk kontrol dilakukan dengan paksaan pada para

partisipan yang sebenarnya tidak mau melakukannya.4

Sedangkan menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Terorisme adalah

tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan

ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan,

perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah

salah satu bentuk kejahatan yang di organisaso dengan baik (well organized), bersifat trans-nasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa ( extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskriminatif).5

Dari beberapa definisi yang telah jelaskan dari beberapa ahli dapat

disimpulkan bahwa terorisme adalah tindakan melawan hukum yang diorganisasi

dengan baik yang menyebabkan kerusakan umum atau sebuah kehancuran yang

besar dengan tujuan menimbulkan rasa takut, resah, teror dan tidak kondusif pada

individu, kelompok atau masyarakat secara luas yang dapat mengancam

kedaulatan negara.

Terorisme tidak hanya dilakukan oleh suatu kelompok ataupun individu,

negara juga bisa melakukan tindakan terorisme atau yang dikenal sebagai

terorisme negara (state terrorism). Tergantung pada konteksnyasesungguhnya, dapat mencakup tindakan-tindakan kekerasan atau penindasan yang dilakukan

4Andrew M. Colarik, Cyber Terrorism (United States of America : Idea Group Publishing,

2006), h. 15

(50)

oleh suatu pemerintahan atau negara proksi. Terorisme negara dapat ditujukan

kepada penduduk negara yang bersangkutan, atau terhadap penduduk

negara-negara lainnya. Terorisme itu dapat dilakukan oleh angkatan bersenjata negara-negara

itu sendiri, misalnya angkatan darat, polisi, atau organisasi-organisasi lainnya,

dan dalam hal ini biasanya ia disebut sebagai terorisme yang disponsori negara.6

B.Karakteristik Terorisme

Untuk mengetahui apa arti terorisme yang sebenernya, penting untuk

mengetahui apa yang menjadi karakteristik dari terorisme itu sendiri. Menurut

mantan kepala BNPT Saud Usman Nasution ciri-ciri terorisme yaitu:

a. Pelaku terorisme memiliki kehidupan cenderung eksklusif.

b. Hanya bergaul dengan kalangannya.

c. Cenderung mengkafirkan orang lain.7

Menurut Paul Wilkinson, Terorisme politis memilik karakteristik sebagai

berikut:

a. Merupakan intimidasi yang memaksa

b. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu.

c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni "bunuh satu orang menakuti seribu orang".

d. Target teror dipilih e. Bekerja secara rahasia

6

https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_negara#cite_ref-1, diakses: tgl 22 juni 2016

7BNPT, Ciri-ciri Teroris Versi BNPT: Gemar Mengkafirkan orang lain dan Hidupnya

(51)

f. Tujuannya publisitas

g. Pesan cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal.

h. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya "berjuang demi agama dan kemanusiaan"8

Berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna

tindak kekerasan guna mencapai tujuannya, Lodewijk Freidrich Paulus

menyimpulkan ciri-ciri terorisme yaitu:

a. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organisasinya merupakan kelompok - kelompok kecil, disiplin, dan militansi ditanamkan melalui indoktrinasi dan latihan yang bertahun - tahun. b. Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk

mencapai tujuan.

c. Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama, hukum, dll.

d. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.9

Menurut terrorism Act 200 UK, terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri:

a. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik tertentu.

b. Penggunaan atau ancaman didesai untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk memnintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik. c. Penggunaan atau ancaman yang dibuat dengan tujuan politik, agama,

atau ideologi.

d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam suseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.10

8Paul Wilkinson, Terorism an The Liberal State, (London:the Macmillan Press Ltd.,1977),

h.49, Dalam Skripsi Dian Anggraeny Utomo, Dampak Penyergapan teroris oleh Densus 88 Bagi Masyarakat Gang H. Hasan Blok Gandaria Sawangan Ciputat, 2014

9Let. Lodewijk Freidrich Paulus, Terorisme, ditpolkom.bappenas.go.id, 2001

(52)

Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulakan bahwa terdapat

beberapa kesamaan dalam karakteristik terorisme. Kesamaan karakteristik

terorisme tersebut yaitu:

a. Memakai kekerasan dalam setiap aksinya, seperti pembunuhan,

pengancuran, perampasan hak, dan teror pada masyarakat umum.

b. Bertujuan memberikan teror untuk menciptakan suasanya yang

menakutkan bagi banyak orang.

c. Memakai senjata yang berbahaya (senjata api, peledak, senjata tajam,

dan lain-lain)

d. Memliki target sasaran tertentu untuk mendapatkan publisitas.

C.Bentuk-bentuk Ancaman Terorisme

Menurut Letnan Jendral TNI Lodewijk Freidrich Paulus dalam tulisannya

mengenai terorisme dijelaskan beberapa bentuk ancaman terorisme, yaitu:

a. Bom

Taktik yang paling sering digunakan oleh kelompok teroris adalah

pengeboman. Dalam dekade terakhir ini tercatat 67% dari aksi teror

yang dilaksanakan berhubungan dengan bom.

b. Pembajakan

Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompk teroris selama

(53)

bahan makanan adalah taktik yang digunakan oleh kelompok

tupamaros di Uruguay untuk mendapatkan kesan Robinhood dan

menhancurkan propaganda dari pemerintah. Tetapi jenis pembajakan

yang lebih populer saat ini adalah pembajakan pesawat terbang

komersil.

c. Pembunuhan

Pembunuhan adalah bentuk aksi terorisme yang tertua dan masih

digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali

telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggung jawab atas

pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini

biasanya adalah pejabat pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat

keamanan.

d. Penghadangan

Penghadangan yang telah dipersiapkan jarang sekali gagal. Hal ini

juga berlaku bagi operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris.

Aksi dan gladi serta dilaksanakan secara tepat. Dalam bentuk operasi

ini waktu dan medan berpihak kepada kelompok teroris.

e. Penculikan

Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus

(54)

ditujukan untuk mencuri personil. Penculikan biasanya akan diikuti

oleh tuntutan tebusan berupa uang, atau tuntutan politik lainnya.

f. Penyanderaan

Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme

sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali memiliki pengertian

yang sama. Penculikan biasanya menahan korbannya di tempat yang

tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang.

Berbeda dengan penculikan, penyanderaan biasanya berhadapan

langsung dengan aparat dengan menahan sandera ditempat umum.

Tuntutan penyanderaan biasanya lebih dari sekedar materi. Biasanya

berupa tuntutan politik lebih sering dilemparkan teroris pada kasus

penyanderaan ini.

g. Perampokan

Operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris adalah sangat mahal.

Untuk mendanai kegiatan mereka teroris merampok bank atau mobil

lapis baja yang membawa uang dalam jumlah besar. Perampokan bank

juga dapat digunakan sebagai ujian bagi program latihan personil baru.

h. Ancaman / Intimidasi

Meupakan suatu usaha, pekerjaan, kegiatan dan tindakan untuk

menakut-nakuti atau mengancam dengan menggunakan kekerasan

(55)

sehingga sasaran terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk tujuan

dan maksud tertentu.11

D.Dampak Ancaman Terorisme

Pasca tumbangnya otoritariasme 1998 aksi terorisme berupa pengeboman

mulai sering terjadi. Serangkaian aksi ini diawali mulai dari kedutaan besar

Filipina dan Malaysia (Agustus 2000), Bursa Efek Jakarta/BEJ (september 2000)

dan sejumlah gereja persis dimalam natal (Desember 2000) dan serangkaian aksi

bom lainnya pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2002 adalah aksi bom yang

paling menyita perhatian masyarakat indonesia, disebut juga bom Bali I. Bom

Bali I ini adalah rangkaian dari 3 aksi pengeboman yang dilakukan di 3 tempat

berbeda oleh para pelaku terorisme. Bom yang meledak di Paddy`s Pub, Sari

Club, dan Kantor Konsulat Amerika Serikat ini tercatat memakan 202 korban

jiwa dan 2009 orang luka-luka atau cedera. Peristiwa ini dianggap sebagai

peristiwa terorisme terparah dalam sejarah indonesia.

Pada dasarnya tujuan dari tindakan terorisme yaitu menimbulkan

perasaan takut dan cemas terhadap korbannya. Secara umum, Abdullah

sumarahadi mengemukakan bahwa terorisme dapat menimbulkan bahaya yang

kompleks, antara lain:

1) Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman dan selalu

dihantui oleh kekhawatiran dalam melakukan aktivitas. Kondisi ini dapat

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini pasien telah didiagnosis perdarahan post partum dini dikarenakan menurut definisinya perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih

[r]

serta Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi.Lebih lanjut substansi yang sama yakni tentang tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

Berdasarkan jawaban responden yang terdiri dari inspektorat berbagai daerah kota dan kabupaten di Provinsi Sumatera Utara diperoleh berbagai kelemahan pengendalian

Prospek pengembangan usaha pembibitan jeruk siam di Desa Bangorejo Kecamatan bangorejo Kabupaten Banyuwangi dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor internal dan

Meskipun penggunaan internet banking berguna namun bila terdapat kelemahan didalamnya maka dapat mengurangi nilai guna dari suatu internet banking .Hasil penelitian

signature , publikasi dokumen ke dalam format PDF dan XPS dan beberapa keunggulan lainya. Bagi yang sudah pernah menggunakan versi sebelumnya, mungkin agak merasa

Semakin tinggi ROE perusahaan dianggap sebagai kabar baik (good news) karena ROE yang besar berarti semakin besar peluang para investor untuk memperoleh laba bersih