• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Penutupan Lahan di DAS Citarum Hulu – Jawa Barat dengan Menggunakan Citra Satelit LANDSAT ETM+

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Penutupan Lahan di DAS Citarum Hulu – Jawa Barat dengan Menggunakan Citra Satelit LANDSAT ETM+"

Copied!
202
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Daerah aliran sungai merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak 2002). DAS Citarum Hulu mempunyai fungsi penting bagi masyarakat yang ada di sekitarnya, seperti pembangkit listrik tenaga air, irigasi pertanian, industri, dan pariwisata bagi masyarakat Jawa Barat.

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan industri mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk kegiatan pembangunan mempengaruhi perubahan penutupan lahan pada hutan di daerah tangkapan air. Berkurangnya luas hutan telah mengakibatkan terjadinya banjir, berkurangnya debit air tanah, dan bertambahnya lahan kritis.

Perubahan penutupan hutan dan lahan yang dinamis tersebut, perlu diimbangi dengan ketersediaan informasi terbaru dalam rangka pemantauan perubahan hutan yang akurat dan tepat waktu, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan yang memadai. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh di Indonesia sangat dibutuhkan, karena mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat, dan relatif akurat (Jaya 2010).

LANDSAT adalah satelit pengindraan jarak jauh yang dikembangkan dan diluncurkan oleh NASA Amerika Serikat. Satelit LANDSAT 7 mempunyai tiga instrumen pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (Multispectral Scanner), dan ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) (Jaya 2002). Satelit LANDSAT merupakan salah satu satelit yang dapat digunakan untuk memantau perubahan penutupan lahan dan penggunaan lahan dengan menggunakan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper).

(2)

2

pengelolaan hutan di sekitar DAS Citarum Hulu sehingga kerugian yang terjadi akibat dari banjir, berkurangnya debit air tanah, dan bertambahnya lahan kritis dapat diatasi.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi dan analisis perubahan penutupan lahan khususnya hutan yang terjadi di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat pada tahun 2001, 2006, dan 2011 dengan menggunakan data citra satelit LANDSAT ETM+.

1.3Manfaat Penelitian

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menganalisis, dan menampilkan informasi yang berefrensi geografis (Jaya 2002).

Menurut Prahasta (2002), SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalsis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data serta keluaran.

Berdasarkan definisi tersebut, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem berikut:

1. Data input: sub sistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Sub sistem ini bertanggung jawab dalam mengonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.

2. Data output: sub sistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy

seperti tabel, grafik, dan peta.

3. Data Management : sub sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan di-edit.

(4)

4

manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan (Prahasta 2002).

2.2 Citra LANDSAT

Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi LANDSAT 1, LANDSAT 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu LANDSAT 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah LANDSAT 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari LANDSAT 6 yang gagal mengorbit.

LANDSAT 5, diluncurkan pada 1 Maret 1984, sekarang ini masih beroperasi pada orbit polar, membawa sensor TM (Thematic Mapper), yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7. Sensor

Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. LANDSAT 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang 1999 dalam Ratnasari 2000). Karakteristik citra LANDSAT 7 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik citra LANDSAT 7

Sistem LANDSAT-7

Orbit 705 km, 98.2o, sun-synchronous, 10:00AM

crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle) Sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)

Swath width 185 km (FOV=15o)

Band-band spektral (um) 0.45 -0.52 (1), 0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)

(5)

Sistem LANDSAT merupakan milik Amerika Serikat yang mempunyai tiga instrument pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (Multi Spectral Scanner) dan ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) (Jaya 2002). RBV merupakan instrumen semacam televisi yang mengambil citra snapshot dari permukaan bumi sepanjang trek lapangan satelit pada setiap selang waktu tertentu. MSS merupakan suatu alat scanning mekanis yang merekam data dengan cara meninjau permukaan bumi dalam jalur atau baris tertentu. ETM+ merupakan alat scanning mekanis yang mempunyai resolusi spektral, spasial, dan radiometrik.

2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2008) mendefinisikan daerah aliran sungai secara umum sebagai suatu hamparan atau wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau.

Menurut Wibowo (2005), DAS adalah suatu wilayah yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak sungai yang dibatasi oleh alam topografi yang berfungsi menampung, menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Sasaran pengelolaan DAS adalah sumberdaya yang ada di dalam “ruang” tersebut berupa hutan, lahan, air, vegetasi, manusia, dan lain sebagainya.

(6)

6

atau kandungan sedimen laying sungai, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah (Surpin 2004).

Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan (Kodoatie dan Sjarief 2005).

Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah pengelolaan sumberdaya alam dan buatan (natural and man made capital) yang terdapat di suatu DAS. Praktek pengelolaan sumberdaya alam dan buatan di Indonesia dibagi atau dikelompokan ke dalam sektor-sektor pengelolaan atau pembangunan. Sebut saja sektor yang terkait dengan tanah dan batuan yang menyusunya serta vegetasi di atasnya yaitu pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan; yang terkait dengan badan air dan sumberdaya buatan, yaitu energi, transportasi, prasarana, pemukiman dan produksi, kelestarian fungsi lingkungan dan kelestarian fungsi sosial-ekonomi (Putro et al. 2003).

Tingginya tekanan terhadap keberadaan hutan di Indonesia mengakibatkan kondisi hutan semakin menurun serta berkurang luasnya. Berdasarkan data yang tersedia, luas hutan selama periode 1985-1997 untuk tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) telah berkurang seluas 1,6 juta ha/tahun atau sekitar 21 juta ha selam kurun waktu tersebut. Pada periode 1997-2000 laju penurunan luas hutan di dalam kawasan hutan Indonesia bahkan meningkat menjadi 2,84 juta ha/tahun, sedangkan untuk periode 2000-2005 laju penurunan luas hutan mencapai angka 1,08 juta ha/tahun atau sekitar 5,4 juta ha selama kurun waktu lima tahun (PIPH BAPLAN 2008).

2.4 Penutupan Lahan

Tutupan lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich 1981 dalam Hendayanti 2008).

(7)

(BPN), Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan peta ini, penutupan lahan dibagi menjadi 14 tipe penggunaan lahan, pada skala 1:250.000. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra LANDSAT dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa atau lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas (JICA 2011).

Prosedur klasifikasi citra secara dijital bertujuan untuk mengategorikan semua piksel citra ke dalam kelas penutupan lahan secara otomatis. Digunakan bentuk klasifikasi pola spektral data untuk pengategorian setiap piksel berbasis numerik. Pola spektral tersebut merupakan prosedur klasifikasi yang menggunakan informasi spektral setiap piksel untuk pengenalan kelas-kelas penutupan lahan secara otomatis. Bentuk klasifikasi lain yaitu klasifikasi pola spasial, meliputi kategorisasi piksel citra dengan basis hubungan spasial antar piksel tersebut (Purwadhi 2001).

Klasifikasi spasial mencakup beberapa aspek atau dikenal dengan elemen interpretasi. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara dijital. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri atau karakteristik objek secara keruangan. Sedangkan interpretasi secara dijital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra.

Dasar interpretasi citra dijital berupa klasifikasi citra piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara dijital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap piksel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu (Purwadhi 2001). Karakteristik objek dalam interpretasi citra secara manual dapat dikenali berdasarkan 7 unsur interpretasi (Jaya 2010), yaitu :

(8)

8

Tone (derajat keabu-abuan atau grayscale) dan warna adalah elemen dasar dari sebuah objek. Variasi tone atau warna sangat bergantung pada karakteristik dari setiap objek, karena warna merupakan hasil reflektansi, transmisi dan atau radiasi panjang gelombang yang dihasilkan dari objek yang bersangkutan. Tone atau warna sangat bergantung pada panjang gelombang atau band yang digunakan saat perekaman. Tingkat kecerahan dari objek sangat bergantung pada sifat dasar dari objek yang bersangkutan. Tone pada citra radar dapat didefinisikan sebagai intensitas rata-rata dari sinyal backscatter.

Backscatter yang tinggi akan menghasilkan kecerahan yang tinggi (tone

terang), sebaliknya backscatter yang rendah akan menghasilkan tingkat kecerahan yang rendah (tone gelap).

b. Tekstur

Dalam interpretasi terbentuk dari variasi dan susunan tone dan atau warna yang ditampilkan oleh suatu objek atau sekumpulan objek pada citra. Tekstur kasar umumnya dibentuk oleh tone dengan variasi tinggi (belang-belang) dimana terjadi perubahan tone yang besar, sedangkan tekstur halus terbentuk dari variasi yang relatif kecil.

c. Bentuk

Secara umum bentuk sebuah objek mengacu pada bentuk-bentuk umum bagian luar (eksternal), struktur, konfigurasi atau garis besar dari individu objek. Bentuk-bentuk umum yang digunakan adalah variasi bentuk poligon dan atau garis, seperti segi empat panjang, segitiga, lingkaran, garis lurus, garis melengkung, dan sebagainya. Bentuk-bentuk objek buatan manusia umumnya lebih teratur dibandingkan dengan bentuk-bentuk alam. Pada citra radar, bentuk objek merupakan hasil rekaman dari posisi miring (oblique/side looking), jarak

slant dari radar. d. Ukuran

Ukuran suatu objek atau yang tampak dalam citra atau foto sangat bergantung pada skala, resolusi dan ukuran objek yang sebenarnya ada di alam. e. Pola

(9)

suatu objek dalam suatu bentuk yang khas dan berulang. Pola sebaran objek dengan jarak yang teratur, tone yang sama akan menghasilkan tampilan pola yang berbeda dengan objek yang tersebar secara acak (random) dan tone yang relatif berbeda.

f. Bayangan

Pada citra radar, bayangan topografi adalah bagian yang tidak ada informasi backscatter. Bayangan itu juga berguna untuk meningkatkan atau mengidentifikasi topografi dan bentang alam, khususnya dalam citra radar. Bayangan pada radar sangat terkait dengan sudut miring dari radiasi gelombang mikro yang dipancarkan sistem sensor dan bukan oleh geometri dari iluminasi matahari.

g. Site dan asosiasi

Site atau tapak atau lokasi menunjukan kekhasan tempat objek tersebut berada. Elemen asosiasi mempertimbangkan hubungan keberadaan antara objek yang satu dengan objek lainnya.

Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Hal ini terjadi karena bagi material-material yang menjadi target sensor, jumlah radiasi sinar matahari yang dipantulkan, diserap, atau bahkan diteruskan kembali akan bervariasi sesuai dengan beberapa panjang gelombang yang dipancarkan. Karakteristik dari setiap materi tersebut diantaranya :

1. Nilai pantulan dari target clear water (unsur air jernih atau bersih) pada umumnya rendah (cenderung berwarna biru-gelap). Walaupun demikian, pantulan ini akan mencapai nilai maksimum pada akhir spektrum biru dan kemudian menurun sejalan dengan meningkatnya panjang gelombang. Air jernih menyerap tenaga pada panjang gelombang kurang dari 0,6 μm (Prahasta 2008).

(10)

10

panjang. Ada kalanya fakta (fenomena) pada air keruh tidak jauh berbeda dengan kondisi pada perairan dangkal (shallow water) yang bersih. Pada kasus ini, keberadaan klorofil alga (jika banyak terdapat di dalam perairan yang bersangkutan) lebih banyak menyerap radiasi gelombang pada domain biru dan memantulkan yang hijau. Kehadiran alga dalam shallow water akan menyebabkan perairan yang bersangkutan berwarna kehijauan (kadang juga berwarna biru-hijau atau cyan)

3. Secara umum, pada wilayah perairan, radiasi elektromagnetik visible yang lebih panjang dan near-infrared lebih banyak diserap daripada radiasi elektromagnetik visible yang panjang gelombangnya lebih pendek. Wilayah perairan sering juga nampak berwarna kebiruan atau kehijau-biruan karena pantulan yang lebih kuat dari gelombang yang lebih pendek. Walaupun demikian, tubuh air akan nampak lebih gelap jika menggunakan band-band merah (visible paling kanan [lebih panjang]) atau near-infrared.

4. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung), kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik (Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi pantulanya. Pengaruh ini terjadi paling besar pada spektrum 1,4 μm, 1,9 μm dan 2,7 μm. Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan tekstur tanah. Misalnya pada tanah berpasir dengan tekstur kasar menghasilkan kandungan kelembaban tanah rendah dan pantulanya relatif tinggi. Dengan tidak adanya kandungan air tanah akan bertekstur kasar dan akan tampak lebih gelap pada tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang memperkecil pantulan tanah yaitu kekasaran permukaan dan kandungan bahan organik (Lillesand dan Kiefer 1990).

(11)

gangguan pada tumbuhan dan mengakibatkan penurunan produksi klorofil, maka serapan klorofil pada spektrum merah dan biru akan berkurang, hal ini akan mengakibatkan warna untuk tumbuhan tersebut menjadi kuning (gabungan antara hijau dan merah karena pantulan pada spektrum merah bertambah). Setelah panjang gelombang 1,3 μm, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit yang ditransmisikan. Penurunan pantulan pada daun akan terjadi pada panjang gelombang 1,4 μm, 1,9 μm dan 2,7 μm karena air yang terdapat pada daun pada panjang gelombang ini kuat sekali serapannya sehingga pada panjang gelombang ini sering disebut spektrum penyerap air (Lillesand dan Kiefer 1990).

2.5 Penggunaan Citra LANDSAT ETM+ Untuk Identifikasi Penutupan Lahan

Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan dengan menggunakan citra LANDSAT ETM+ telah banyak dilakukan karena citra ini memiliki sensor ETM+ (EnhancedThematic Mapper) yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi tutupan lahan. Klasifikasi penutupan lahan di Indonesia dilakukan oleh berbagai instansi, dengan pendekatan dan ketelitian yang berbeda-beda sehingga menghasilkan tipe penutupan lahan atau penggunaan lahan yang berbeda-beda. Penelitian tersebut diantaranya yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Dalam Negeri. Penutupan lahan dibagi menjadi 15 tipe penggunaan lahan. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data dibuat berdasarkan interpretasi visual citra LANDSAT di peroleh 29 tutupan lahan dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa atau lahan kering). Lembaga lain yang melakukan klasifikasi penutupan lahan adalah Kementrian Lingkungan Hidup yang dibuat pada tahun 2005 berdasarkan citra LANDSAT (Tabel 2) (JICA 2011).

(12)

12 primer dataran rendah Hutan lahan kering primer pegunungan rendah

Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi Hutan lahan kering primer sub- alpine Hutan lahan kering sekunder dataran rendah Hutan lahan kering Hutan rawa primer Hutan rawa sekunder Hutan mangrove primer Hutan mangrove

sekunder

Semak atau belukar Semak atau belukar rawa Savana

HTI

Perkebunan

Pertanian lahan kering Bercampur dengan semak Transmigrasi Hutan lahan kering Hutan rawa Hutan tanaman Pertanian lahan kering Padang rumput

(13)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu – Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2012. Observasi lapangan dilakukan pada bulan Juni 2012. Selanjutnya pengolahan data dan analisis dilakukan dari bulan Juli – Agustus 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 3.2 Alat dan Data

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat komputer pribadi (personal computer) yang dilengkapi dengan software Erdas Imagine 9.1, Arc-View versi 3.1, Arc-GIS versi 9.3, Microsoft Excel 2007, Microsoft Word 2007,

(14)

14

3.2.2 Data

Data citra yang digunakan dalam penelitian ini berupa data digital citra satelit LANDSAT ETM+ resolusi 30x30 m multiwaktu yang diperoleh dari BPDAS (Badan Perencanaan Daerah Aliran Sungai) Citarum-Ciliwung. Secara rinci data citra yang digunakan pada penelitian ini tersaji pada Tabel 3. Adapun data pendukung yang digunakan yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia daerah Jawa Barat dengan skala 1 : 25.000 tahun 2009 dari BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Perpetaan Nasional) dan data vektor batas DAS Citarum Hulu tahun 2009 dari BPDAS Citarum-Ciliwung, serta Peta Administrasi Provinsi Jawa Barat.

Tabel 3. Data citra satelit LANDSAT ETM+

Tahun perekaman

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu pengolahan awal citra (pre-image processing), pengambilan data di lapangan (ground check), pengolahan citra digital (image processing), dan analisis perubahan penutupan lahan.

3.3.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing)

Pengolahan awal citra (pre-image processing) merupakan tahap awal dari pengolahan citra satelit LANDSAT ETM+, berupa perbaikan atau koreksi terhadap data citra yang masih memiliki beberapa kesalahan atau distorsi di dalamnya, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas data citra yang akan berpengaruh terhadap hasil akhir yang akan dicapai, oleh karena itu koreksi terhadap distorsi atau kesalahan data perlu dilakukan sebelum data dianalisa lebih lanjut.

Langkah awal sebelum masuk pada kegiatan pengolahan awal citra yaitu melakukan proses import data citra. Citra yang digunakan untuk penelitian ini adalah citra LANDSAT ETM+ tahun perekaman 2001 (format *.TIFF), citra LANDSAT

(15)

perekaman 2011 (format *.TIFF). Proses import data citra ini mengubah format data mentah citra (format *.RRD dan format *.TIFF) menjadi format yang lebih mudah diolah oleh perangkat lunak pengolah citra (format *.IMG). Proses ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1.

3.3.1.1 Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik ditujukan untuk memperbaiki distorsi citra melalui penetapan bentuk hubungan antara sistem koordinat citra aktual dengan sistem koordinat geografis dengan menggunakan data kalibrasi sensor atau titik kontrol lapangan atau GCP (Ground Control Point) (Richards 1986). Salah satu tujuan dilakukannya koreksi geometrik adalah untuk melakukan retifikasi (pembetulan) agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi (Purwadhi 2001). Dalam penelitian ini koreksi geometrik dilakukan dengan menyamakan koordinat citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dan 2011 dengan citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 yang telah terkoreksi. Sebagai data acuan untuk pemilihan titik kontrol lapangan digunakan peta rupa bumi skala 1 : 25.000 tahun 2009.

Secara singkat, tahapan dari koreksi geometrik ini yaitu dengan melakukan penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM) dengan proyeksi yang digunakan adalah UTM 48 zona Selatan. Pemilihan proyeksi ini disesuaikan dengan pembagian area pada sistem UTM, dimana Jawa Barat termasuk wilayah DAS Citarum Hulu berada pada zona South UTM row 48, sedangkan datum yang digunakan adalah World Geografic System 84 (WGS 84). Dengan adanya tahapan ini bertujuan untuk mendefinisikan informasi yang akan digunakan dalam proses koreksi selanjutnya.

3.3.1.2 Mosaik Citra

(16)

16

tampak menjadi citra yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid dan koordinatnya ter-interkoneksi) (Jaya 2010). Data asli citra LANDSAT ETM+ daerah DAS Citarum Hulu terdiri dari 2 scene citra. Data tersebut kemudian di mozaik menjadi satu scene untuk memudahkan proses pengolahan dan analisis citra.

3.3.1.3 Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki bias pada nilai digital atau nilai kecerahan piksel yang terukur pada data histogram saluran-saluran spektral citra, yang disebabkan oleh gangguan atmosfer maupun akibat kesalahan respon detektor. Koreksi terhadap gangguan atmosfer dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode histogram minimum (histogram minimum method). Pada metode histogram minimum, gangguan atmosfer diduga sebagai nilai terkecil yang terukur pada plot histogram masing-masing saluran citra digital multi saluran. Untuk menghilangkan gangguan atmosfer dari data multi saluran cukup dilakukan operasi aljabar dengan mengurangkan nilai digital terkecil pada setiap nilai digital piksel yang terukur pada masing-masing saluran citra tersebut (Lillesand dan Kiefer 1990).

3.3.1.4 Penyekatan Area Penelitian (Croping)

Setelah proses koreksi citra kemudian dilakukan proses penyekatan citra sesuai dengan area penelitian (kawasan DAS Citarum Hulu) pada citra terkoreksi. Citra hasil penyekatan ini akan digunakan dalam proses selanjutnya. Penyekatan citra dilakukan sesuai dengan batas Citarum Hulu dengan menggunakan data vektor yang berasal dari BPDAS Citarum Ciliwung.

3.3.2. Interpretasi Visual Citra Satelit (Visual Image Interpretation)

(17)

Keberhasilan ini sangat tergantung kepada analis dalam mengeksploitir secara kolektif objek-objek yang tampak pada citra.

Interpretasi visual citra dilakukan dengan kombinasi 3 saluran dalam format

Red Green Blue (RGB) untuk memperoleh warna komposit yang paling jelas pada setiap kelas penutupan. Dalam Hakim (2006), kombinasi tersebut setidak-tidaknya terdiri atas 1 band sinar tampak, 1 dari Near Infrared (NIR), dan 1 dari Middle Infrared (MIR). Dalam penelitian ini, kombinasi band yang digunakan dalam interpretasi visual citra menggunakan band 5-4-3 (mengacu kepada standar dari Deparemen Kehutanan untuk analisis hutan dan vegetasi). Interpretasi visual citra dilakukan berdasarkan karakteristik visual pada citra seperti warna, bentuk, ukuran, pola, tekstur, bayangan, dan asosiasi.

Penelitian dilakukan untuk memberikan gambaran awal dalam survey lapangan, mengidentifikasi pola sebaran, penentuan jumlah kelas penutupan lahan dan macam kelas penutupan lahan yang ada di lapangan daerah penelitian. Untuk memperoleh data dalam interpretasi visual, citra ditampilkan dalam format RGB (Red Green Blue) untuk dapat menghasilkan warna komposit. Interpretasi visual juga dilakukan pada tahap reklasifikasi hasil klasifikasi dijital.

3.3.3 Pemeriksaan Lapangan (Ground Check)

Kegiatan pengecekan lapangan dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan atau kondisi lapangan secara nyata sebagai pelengkap dan pembanding bagi analisis selanjutnya. Pemeriksaan lapangan dilakukan dengan menelusuri lokasi-lokasi pengamatan yang telah ditentukan. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan titik-titik pengamatan dan dokumentasi contoh-contoh penutupan atau penggunaan lahan yang ada dan juga melakukan wawancara dengan responden yang memahami dan mengenali dengan baik tentang kondisi daerah pengamatan.

3.3.4 Pengolahan Citra Digital (Image Processing)

3.3.4.1 Klasifikasi Terbimbing ( Supervised Classification)

(18)

18

citra digital pengindraan jauh (Jaya 1997). Metode kemungkinan maksimum mengelompokan piksel-piksel yang belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata-rata sampel multivariate (MJ) dan matriks ragam peragam antar band (Ci) dari setiap kelas atau kategori i. Semua kombionasi band dari data citra diklasifikasi berdasarkan piksel contoh yang telah dibuat pada tahap training area.

3.3.4.2 Penentuan Area Contoh (Training Area)

Pengambilan contoh dilakukan berdasarkan data yang didapat dari pemeriksaan lapangan kemudian dilakukan penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area) untuk mengambil informasi statistik tipe-tipe penutupan lahan. Pengambilan informasi statistik dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap tipe penutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra komposit. Informasi statistik dari setiap tipe penutupan lahan akan digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi. Informasi yang diambil adalah nilai rata-rata, simpangan baku, nilai dijital minimum dan maksimum, serta matrik varian-kovarian untuk setiap tipe penutupan lahan.

Banyaknya training area yang perlu diambil untuk mewakili masing-masing kelas adalah sebanyak band (N) yang digunakan ditambah satu (N+1), yaitu untuk menghindari matrik ragam peragam singular yang matriks kebalikannya (inverse) tidak bisa dihitung. Pada prakteknya dianjurkan jumlah piksel per kelasnya sebanyak 10 N dan bahkan 100 N (Swain dan Davis 1978).

Jumlah band yang digunakan adalah tiga band sehingga jumlah training area yang digunakan dalam penelitian ini adalah minimum empat piksel untuk setiap kelas tutupan lahan.

3.3.4.3 Analisis Separabilitas

(19)

Analisis separabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

Transformed Divergence (TD). Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas. Nilai TD antara kelas i dan j dapat diketahui dengan rumus dibawah ini :

� = 2000�1−exp −D

g

Nilai divergensi dihitung dengan :

= 0.5���� − �� −1− −1��+ 0.5���� −1+ −1��µ −µ ��µ −µ ���

dimana D adalah divergence, tr adalah teras matriks, C adalah matriks ragam peragam, µ adalah vektor rata-rata dan T adalah transposisi dari matriks. Nilai TD berkisar antara 0 sampai 2000 (Jaya 1997).

Adapun kriteria yang digunakan dalam memisahkan antar kelas dari nilai

transformeddivergence menurut Jaya (1997) adalah sebagai berikut : a. Tidak terpisah (Insperable) : 0 – 1600 b. Jelek keterpisahannya (Poor) : 1601 – 1699

c. Sedang (Fair) : 1700 – 1899

d. Baik keterpisahannya (Good) : 1900 – 1999 e. Sangat baik keterpisahannya (Excellent) : 2000

3.3.4.4 Evaluasi Akurasi

Evaluasi akurasi dilakukan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya prosentase ketelitian pemetaan. Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan (confusion matrix) atau disebut juga matriks contingency. Ketelitian tersebut meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian nama kelas secara benar, presentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta prosentase kesalahan total.

Pada evaluasi akurasi, interpreter menggunakan empat jenis perhitungan nilai akurasi, yaitu Producer’s Accuracy, User’s Accuracy, Overall Accuracy dan

Kappa Accuracy. Menurut Story dan Congalton (1986), Producer’s dan User’s Accuracy merupakan dua penduga dari ketelitian keseluruhan (Overall Accuracy).

(20)

20

akan diklasifikasikan dengan benar yang secara rata-rata menunjukan seberapa baik masing-masing kelas di lapangan telah diklasifikasi, ukuran ini juga mencerminkan rata-rata dari kesalahan komisi (comition error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kelebihan jumlah piksel dalam suatu kelas yang mengakibatkan masuknya piksel dari kelas yang lain. Sedangkan User’s Accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel dari citra yang terklasifikasi secara actual mewakili kelas-kelas yang ada di lapangan, ukuran ini mencerminkan rata-rata dari kesalahan omisi (omission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kekurangan jumlah piksel dalam suatu kelas akibat masuknya piksel-piksel kelas tersebut ke kelas yang lain.

Sedangakan Overall Accuracy adalah suatu presentase yang sama dengan proporsi dari piksel-piksel yang terkelaskan dengan tepat yang dibagi dengan jumlah piksel yang diuji. Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah

Kappa Accuracy, karena nilai akurasi ini memperhitungkan semua elemen atau kolom dari matriks. Adapun matriks kesalahan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Matriks kesalahan (confusion matrix) Data acuan

training area

Disklasifikasi kelas (data klasifikasi di peta)

Total

(21)

Kappa accuracy

=

� ∑ ��� �

� −∑ ��� �+�+�

�2−∑ ��+�+� x100% User’s accuracy

=

���

+� x 100%

Producer’s accuracy

=

���

��+ x 100% Overall accuracy =∑ ���

� �

x 100%

dimana :

N = Jumlah piksel yang digunakan dalam contoh

r = Jumlah baris atau kolom pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xi+ = Jumlah piksel dalam baris ke-i

X+i = Jumlah piksel dalam kolom ke-i

Xii = Nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i

3.3.5 Reklasifikasi

Reklasifikasi merupakan kegiatan pengkelasan kembali data atribut dengan memecah bagian dari boundary dan menyatukannya dalam poligon baru yang telah direklasifikasi. Reklasifikasi memiliki tujuan memperbaiki hasil klasifikasi citra dijital. Reklasifikasi dilakukan secara manual dimana data direklasifikasi berdasarkan input pengguna yaitu karakteristik visual citra, hasil klasifikasi citra dijital, dan pengamatan di lapangan.

3.3.6 Analisis Perubahan Penutupan Lahan

(22)

22

YA

TIDAK

Gambar 2 Diagram alir langkah kerja penelitian. Start

Penyiapan data

Pra-pengolahan

(koreksi geometrik dan radiometrik)

Penyekatan (cropping)

Metode klasifikasi visual

Seleksi training area

Analisis separabilitas

Klasifikasi metode Maximum Likelihood

Analisis akurasi

Citra hasil klasifikasi

Overlay dan Thematic Change Data digital

LANDSAT ETM+

Peta rupa bumi

Data vektor batas DAS

Data lapangan

Peta perubahan penutupan lahan

(23)

BAB IV

KONDISI UMUM PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Luas

Secara geografis, DAS Citarum bagian hulu berada pada 107o15’46.27” – 107o57’1.99” BT dan 6o43’8.65”-7o14’32.09” LS dengan luas area ± 230.802 ha. Wilayah bagian hulu DAS Citarum merupakan catchment Unit Bisnis Pembangkit Saguling yang merupakan sumber pembangkit PLTA utama di Pulau Jawa. DAS Citarum memiliki luas sekitar 6.600 km2. DAS Citarum terletak di bagian Tengah Jawa Barat dan bagian hulu sungai berada di Kabupaten Bandung. Sungai Citarum bersumber dari Situ Cisanti yang terletak di kaki Gunung Wayang pada ketinggian ± 2.198 m di atas permukaan laut, mengalir ke arah Utara melewati Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta dan akhirnya bermuara di Laut Jawa di daerah Kabupaten Karawang dengan panjang total dari hulu sampai ke muara Laut Jawa sekitar 245 km (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

Secara administratif, 56,24% wilayah DAS Citarum bagian hulu masuk wilayah Kab. Bandung, 29,26% termasuk wilayah Kab. Bandung Barat, 6,53% masuk Kota Bandung, Kota Cimahi 1,76%, Kab. Sumedang 5,50% dan sebagian kecil berada di Garut 0,71%. Wilayah administrasi Kab. Bandung, Kota Cimahi dan Kota Bandung semuanya merupakan wilayah DAS Citarum Bagian Hulu. Wilayah Kab. Bandung Barat yang tidak masuk wilayah DAS Citarum bagian hulu yaitu Kecamatan Cikalong Wetan; Cipendeuy; Kec. Gunung Halu; Sindang Kerta dan Rongga hanya sebagian kecil. Wilayah Kab. Sumedang yang termasuk wilayah DAS Citarum bagian hulu adalah Kec. Cikeruh, Cimanggu, Sukasari dan Tanjungsari, hanya sebagian kecil wilayah Kec. Sumedang Selatan dan Pemulihan termasuk wilayah DAS Citarum Bagian Hulu. Wilayah Kab. Garut yang termasuk wilayah DAS Citarum bagian hulu hanya sebagian kecil wilayah di Kec. Leles dan Blubur Limbangan (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

(24)

24

(16,51%) selanjutnya Sub DAS Cisangkuy dan Ciminyak. Sub DAS Cikeruh hanya sekitar 8,24% dari wilayah DAS Citarum Bagian Hulu.

Tabel 5. Luas Sub DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS Kabupaten atau kota Jumlah

Bandung Garut Bandung Barat

Sumber : Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

4.2 Morfologi

Morfologi DAS Citarum bagian hulu dapat diklasifikasikan ke dalam dua satuan utama, yaitu satuan vulkanik dan struktural. Satuan vulkanik sebagian besar terletak di bagian Utara, sedangkan satuan struktural terletak di bagian Selatan. Satuan vulkanik terdiri atas cone vulkanik, lereng, dan vulkanik-tektonik (Dataran Lembang). Relief dari unit geomorfologi vulkanik berkisar dari sangat datar (Dataran Lembang) hingga lereng sangat curam. Unit ini sebagian besar tersusun dari tuff, lava, breccia, dan lapilli. Satuan struktural merupakan areal yang terbentuk dari pertahanan normal Lembang, yang tersebar dari arah Timur hingga Barat. Kondisi topografi DAS Citarum sangat bergelombang, terutama di daerah hulu dan tengah. Gradien sungai terbagi dalam tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang ± 25 km merupakan bagian yang paling terjal dengan kemiringan sungai rata-rata 1:30. Bagian tengah sepanjang ± 150 km, mulai dari Daerah Cekungan Bandung ke hilir, kemiringan sungai cukup terjal yaitu rata-rata 1: 300.

(25)

yang tidak beraturan di bagian Barat. Bentuk sistem lahan gunung berapi, punggung gunung dan punggung bukit lebih mendominasi daerah ini. Pada umumnya daerah ini memiliki kelas lereng dari sedang sampai sangat curam dengan proporsi luasnya ± 33,7% dari luas daerah tangkapan air Waduk Saguling tanpa tubuh air. Sekitar 86,659 ha di bagian tengah daerah tangkapan air Waduk Saguling merupakan daerah dataran (lereng kurang dari 8%). Berdasarkan bentuk sistem lahan di bagian tengah ini merupakan aliran lava basa atau sedang yang agak tertoreh di bagian Utara dan di bagian Selatan lebih didominasi dataran lakustrin yang tertoreh ringan.

Elevasi DAS Citarum bagian hulu berkisar antara 625-2.600 m dpl (diatas permukaan laut). Daerah tertinggi terdapat di bagian hulu Citarum, di sekitar Gn. Guha dekat Pegunungan Kendal. Elevasi terendah berada di sekitar Waduk Saguling. Perincian elevasi setiap sub DAS di DAS Citarum bagian hulu ditunjukkan pada Tabel 6. Untuk perincian kelas lereng setiap Sub DAS disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6. Elevasi setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu

Catchment

Elevasi (m)

Minimum Maksimum Rata-rata Standar deviasi

Cikapundung-Cipamokolan 662 2.200 1.430 444

Cikeruh 662 1.962 1.310 374

Sumber: Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

Tabel 7. Kelas lereng setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu

(26)

26

4.3 Geologi

Kondisi geologi regional, sebagian besar dataran Bandung ditutupi oleh aluvium yang terbentuk dari endapan sungai dan situ. Endapan aluvial yang menjadi aquifer utama di DAS Citarum umumnya tertutup oleh produk vulkanik kuarter yang dibentuk dari material pyroclastic dan aliran lava. Permeabilitas produk vulkanik bervariasi pada material yang tidak terkonsolidasi atau aliran lava berongga. Produk vulkanik ini memainkan peranan penting pada aquifer. Produk vulkanik kuarter ditutupi oleh batuan sedimenter dari zaman tersier. Batuan sedimenter yang membentuk rangkaian pegunungan di bagian Selatan dan Barat dataran Bandung ini tersusun atas pasir, lempung, marl (campuran tanah liat dan kapur), breksi, dan batu kapur yang sebagian besar bercampur. Tingkat permeabilitas tanah pada umumnya rendah namun sangat bervariasi pada batuan kapur (Dinas PSDA 2009).

Menurut Silitonga (1973) kondisi geologi di DAS Citarum hulu dapat dibagi ke dalam empat kategori:

1. Hasil gunung api tua yang tidak dapat dibedakan, tersusun atas pasir

tuffaceous, lapilli, lava yang berlapis berseling. Unit-unit ini tersebar, menutup hampir 65% DAS Citarum hulu dari mulai bagian Utara hingga Selatan.

2. Hasil gunung api muda yang tidak dapat dibedakan, terdiri dari pasir

tuffaceous, lapilli, lava, agglomerate yang sebagian besar berasal dari Gunung Tangkuban Perahu. Unit ini ditunjukkan di areal datar sampai bergelombang atau berbukit dengan warna tanah abu kekuning-kuningan hingga abu kemerah-merahan. Unit-unit ini tersebar, mencakup hampir 10% area ke bagian Timur hulu DAS Citarum.

3. Pumiceous Tuff, terdiri stsd tuffsceous sand, lapilli, scoriaceous lava, letusan A Gunung Tangkuban Perahu. Unit-unit ini tersebar, mencakup hampir 5% area, di sepanjang lembah sungai.

(27)

lapisan-lapisan lapilli dan breccia. Area ini tersebar mencakup hampir 20% area, di bagian tengah hulu DAS.

Berdasarkan peta klasifikasi PSDA skala 1:250.000, DAS Citarum bagian hulu tersusun attas tanah distropepts, eutrandepts, eutropepts, hidraquents, paleudults, tropaquepts dan tropudults, namun lebih didominasi oleh jenis tanah

distropepts (42,73%), hidraquants (21,74%) dan tanah tropaquepts (20.8%). Tanah hidraquents dan tropaquepts merupakan tanah gleisol sedangkan tanah

distropepts merupakan asosiasi tanah andosol. Sub DAS Cikapundung-Cipamokolan lebih didominasi tanah distropepts (15.499 ha) dan tidak ditemukan tanah jenis eutropepts, paleudults, dan tropudults. Di Sub DAS Cikeruh, tanah

distropepts; hidraquents dan tropaquepts hampir tersebar merata; tanah tropudults

hanya sedikit sekali tersebar (606 ha). Tanah hidraquents tersebar dominan di Sub DAS Cisangkuy (11.287 ha) dan tidak terdapat tanah tropudults. Seperti halnya Sub DAS Cikeruh, di Sub DAS Citarik distropepts, hidraquents dan tropaquepts

hampir tersebar merata; tanah tropudults hanya sedikit sekitar 521 ha. Tanah

distropepts dan hidraquents lebih dominan di Sub DAS Cisarea. Sedangkan di Sub DAS Ciwidey, Ciminyak dan Cihaur tanah distropepts lebih dominan tersebar dibandingkan jenis tanah lainnya.

4.4 Fungsi Kawasan

Berdasarkan peta fungsi kawasan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Departemen Kehutanan skala 1:250.000, DAS Citarum bagian hulu terbagi menjadi dalam kawasan hutan yang termasuk wilayah KPH Bandung Selatan dan KPH Bandung Utara, yang harus dikelompokkan menjadi hutan lindung dengan aktivitas pemanfaatan yang terbatas, dan sisanya merupakan area luar kawasan hutan yang terdiri dari lahan hak milik dan areal perkebunan teh, kina, karet yang dikelola oleh pemerintah dan swasta, serta lahan milik masyarakat yang digunakan untuk keperluan budidaya lahan kering, sawah, dan sayuran. Perincian fungsi kawasan di setiap Sub DAS disajikan dalam Tabel 8.

(28)

28

Calancang. Di Sub DAS Citarum hulu banyak terdapat kawasan lindung, diantaranya CA. Gn. Malabar, CA. Papandayan, TWA. Cigenteng, CA Gn. Tilu dan TWA Cimanggu. Di Sub DAS Cihau terdapat CA dan TWA Tangkuban Perahu. Peta fungsi kawasan di catchment Waduk Saguling ditunjukkan Tabel 8. Tabel 8. Fungsi kawasan setiap sub DAS di DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS

Kawasan hutan Luar kawasan

hutan Luas Sumber : Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

4.5 Iklim

Keadaan iklim di DAS Citarum, sebagaimana umumnya wilayah Jawa Barat, adalah memiliki iklim tropis monsun dengan suhu dan kelembaban udara relatif konstan sepanjang tahun. Iklim tropis monsun dicirikan dengan terjadinya dua musim, yaitu hujan dan kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan-bulan Oktober - Maret dan musim kering atau kemarau terjadi pada bulan-bulan Juni – September. Bulan-bulan lainnya merupakan masa transisi atau pancaroba.

(29)

Dengan tinggi curah hujan tahunan berkisar antara 1.500-4.000 mm, potensi sumberdaya air permukaan pada daerah pengaliran Sungai Citarum rata-rata mencapai 11 milyar m3 per tahun dalam kondisi normal. Dari potensi tersebut, sampai dengan saat ini baru sekitar 5,2 milyar m3 per tahun yang sudah terkendali dan dimanfatkan untuk berbagai kebutuhan sedangkan sisanya sebagian besar terbuang kelaut. Rata-rata curah hujan tahunan DAS Citarum mencapai sekitar 2.400 mm. Rata-rata terendah terjadi di daerah pantai Utara dengan curah hujan sekitar 1.500 mm per tahun sedangkan rata-rata tertinggi terjadi di daerah hulu sungai Ciherang, Cilamaya, dan hulu sungai Cipunagara dengan curah hujan mencapai 4.000 mm per tahun. Suhu rata-rata di dataran rendah sekitar 27ºC, sedangkan di bagian hulu sungai di daerah dataran tinggi atau pegunungan suhu udara minimum rata-rata 15,3ºC yang tercatat di daerah Ciwidey, Pangalengan, dan Lembang. Kelembaban udara relatif rata-rata tahunan antara 80% - 92%, dengan tingkat penguapan rata-rata tahunan sekitar 1.640 mm

Distribusi spasial curah hujan di DAS Citarum bagian hulu tidak merata. Terjadi kejadian hujan dengan intensitas tinggi di suatu tempat, sedangkan di bagian lainnya sama sekali tidak terjadi hujan. Curah hujan tahunan bervariasi antara 1.966-2.600 mm. Variasi curah hujan ini terjadi karena pengaruh topografi. Periode bulan basah mulai dari Bulan November hingga Bulan April dengan bulan terbasah mencapai 300mm dan selebihnya masuk masa bulan kering atau periode transisi. Dari seri data hujan, musim hujan terjadi pada Bulan November hingga Desember, setelah sebelumnya terjadi musim kering pada Bulan Mei hingga Oktober dimana curah hujan masih relatif rendah (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

(30)

30

Tabel 9. Klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson di DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS

Sumber : Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

4.6 Sumber Daya Air

DAS Citarum bagian hulu terdapat Waduk Saguling, Situ Cileunca dan Situ Cipanunjang. Wilayah DAS Citarum bagian hulu merupakan DTA Waduk Saguling. Waduk Saguling berada di antara Sub DAS Ciminyak dan Cihaur. Volume Waduk Saguling menurun selama musim kemarau, rata-rata volumenya sekitar 242 juta m3. Pada musim hujan volumenya semakin meningkat rata-rata sekitar 273 juta m3. Volume waduk Saguling paling rendah terjadi pada awal musim hujan dan akhir musim kemarau, sekitar 70-71 juta m3 dan Bulan April-Mei volume Waduk Saguling dalam kondisi maksimum sekitar 425-440 juta m3.

Situ Cileunca dan Cipanunjang terdapat di Sub DAS Cisangkuy. Rata-rata volume air yang tertampung Situ Cileunca berkisar 3-16 juta m3, rata-rata pada musim kemarau sekitar 8.77 juta m3 sedangkan pada musim hujan ± 9.41 juta m3 . Selama musim kemarau volume air di Situ Cileunca semakin menurun dan paling rendah terjadi pada akhir musim kemarau. Ketika memasuki musim hujan volume air Situ Cileunca relatif lebih kecil dibandingkan laju penurunan volume air Situ Cileunca relatif lebih kecil dibandingkan laju penurunan volume air pada musim kemarau. Di Situ Cipanunjang, rata-rata volume air yang tertampung ± 12.78 m3 dan pada musim kemarau ± 12.48 juta m3. Laju penambahan volume air selama musim hujan sebanding dengan laju penuruanan volume air selama kemarau.

(31)

yang sudah ada sejak jaman Belanda yaitu PLTA Plengan, PLTA Lamajan dan Cikaling di Sub DAS Cisangkuy dan PLTA Saguling. PLTA ini berada di bawah Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Saguling. PLTA di Sub DAS Cisangkuy air yang digunakannya berasal dari Waduk Saguling. Produksi Listrik yang dibangkitkan akan didistribusikan untuk wilayah Jawa dan Bali oleh PLN. Di setiap PLTA mengalami pola produksi listrik yang hampir sama. Mengalami penurunan produksi pada musim kemarau dan kenaikan produksi pada musim hujan. Produksi maksimum dicapai pada bulan-bulan akhir musim hujan.

Das Citarum bagian hulu banyak juga tersebar mata air. Hasil survey BPDAS Citarum-Ciliwung telah menemukan 48 mata air. Diantaranya sangat prioritas untuk segera dilakukan rehabilitasi lahan di sekitar mata air tersebut. Mata air tersebut di Kec. Pangalengan yaitu mata air Cisarua, Cisoolok, Labakduloh dan Citiis atau Seseupan, Cicalengka, Ibun, Kertasari, dan Pacet. Data dari GTL sekitar 87 mata air dengan debit berkisar 1-115 l/dtk. Dari Dinas Kehutanan Kab. Bandung telah menginventarisasi data mata air di Bagian Hulu DAS Citarum sebanyak 361 mata air (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

4.7 Demografi

(32)

32

Gambar 3 Dinamika jumlah penduduk Kab. Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi tahun 2004-2007 (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

Penduduk Kabupaten Bandung menurut kelompok usia produktif pada tahun 2007, kelompok umur 0-14 tahun mencapai 30,36%, kelompok umur 15-64 tahun 65,44% dan kelompok umur >65 tahun sebesar 4,20%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bandung termasuk kategori usia produktif berdasarkan pada data presentase kelompok umur usia produktif sebesar 1:1,89. Di sisi lain angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bandung sebesar 56.98%. Faktor migrasi yang memberikan pengaruh besar pada laju pertumbuhan penduduk akan menyebabkan tingkat densitas yang tinggi dan pada akhirnya menjadi beban bagi beberapa wilayah Kecamatan yang memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan wilayah atau dekat dengan fasilitas sosial dan umum seperti Kecamatan Cileunyi, Rancaekek, Cisalengka, Majalaya, Dayeuhkolot, Baleendah, Margahayu, Katapang dan Soreang.

4 4,26

4,4 4,53

2,29 2,32 2,34 2,36

0,48 0,49 0,51 0,52

2004 2005 2006 2007

Kab. Bandung Kota Bandung Kota Cimahi

(33)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing)

Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan atau distorsi. Perbaikan citra dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari citra tersebut.

Data citra LANDSAT ETM+ daerah DAS Citarum Hulu untuk tahun 2001 dan 2011 masih memiliki beberapa kesalahan, sehingga untuk mendapatkan informasi yang diinginkan perlu dilakukan beberapa perbaikan terlebih dahulu. Data citra asli LANDSAT ETM+ untuk tahun 2001 membutuhkan 2 scene citra yang kemudian digabungkan dengan cara mosaik citra sehingga menghasilkan satu citra yang baru yang mencakup wilayah DAS Citarum Hulu. Sedangkan untuk data citra asli LANDSAT ETM+ untuk tahun 2011 diperlukan gapfill

terlebih dahulu.

Gapfill merupakan kegiatan mengoreksi atau mengisi suatu citra yang mengalami error dalam bentuk stripping dengan menggunakan citra lain pada tahun perekaman yang sama. Pada penelitian ini, gapfill dilakukan dengan menggabungkan dua citra pada scene yang sama sehingga menghasilkan satu

scene yang telah terkoreksi. Kemudian dua scene citra tersebut digabungkan dengan melakukan mosaik citra yang menghasilkan suatu citra baru.

(34)

34

koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator) zona 48 Selatan dengan datum WGS 84.

Setelah seluruh citra terkoreksi secara geometrik, kemudian dilakukan koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan gangguan atmosfer terhadap citra digital hasil rekaman satelit. Gangguan tersebut berupa serapan (absorption) dan hamburan (scattering) oleh partikel-partikel atmosfer. Akibat dari hal ini, data nilai digital piksel citra tidak mewakili nilai objek yang sebenarnya. Kemudian juga dilakukan Histogram Equlization.

Histogram Equilization dilakukan untuk mengatur secara otomatis transform line

sedemikian rupa sehingga nilai-nilai piksel band citranya ditempatkan pada tingkatan-tingkatan display berdasarkan frekuensinya. Dengan menggunakan fungsi ini, maka akan diperoleh citra dengan kontras yang sangat kuat sehingga semakin banyak informasi yang dapat interpreter peroleh dari citra tersebut. Hal ini dilakukan untuk penyamaan rona pada seluruh citra yang diperoleh dari dua scene yang berbeda dan waktu pengambilan citra yang berbeda walaupun pada tahun yang sama. Sehingga dilakukan perlakuan tersebut untuk memperoleh informasi yang lebih baik dari citra dan mempermudah user dalam menginterpreatasi citra.

(35)

Gambar 4 Citra DAS Citarum Hulu tahun 2001 kombinasi 5-4-3.

Gambar 5 Citra DAS Citarum Hulu tahun 2006 kombinasi 5-4-3.

(36)

36

5.2 Pengamatan di Lapangan

Pengamatan di lapangan merupakan proses identifikasi objek di lapangan secara langsung di lokasi penelitian terhadap hasil interpretasi objek yang sebelumnya dilakukan dengan citra satelit LANDSAT ETM+. Kondisi-kondisi di lapangan diamati secara seksama dan melaksanakan wawancara dengan responden yang memahami dengan baik tentang kondisi daerah pengamatan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah penutupan lahan yang diperoleh adalah sebanyak 12 jenis tutupan lahan. Deskripsi masing-masing tipe penutupan lahan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Deskripsi tipe-tipe penutupan lahan No Kode Tipe penutupan

lahan Deskripsi

1 HP Hutan primer Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan yang belum terlihat adanya bekas penebangan

2 HS Hutan sekunder Kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan yang telah menampakan bekas tebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebangan)

3 HT Hutan tanaman Kelas penutupan lahan hutan yang merupakan hasil budidaya manusia, meliputi HTR (Hutan Tanaman Rakyat) maupun HR hasil reboisasi atau penghijauan.

4 SMK Semak belukar Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi), atau kawasan dengan pohon jarang (alami), atau kawasan dengan dominasi vegetasi kayu bercampur dengan vegetasi rendah (alami) lainnya, serta tidak nampak adanya bekas tebangan lagi

5 KBN Perkebunan Merupakan seluruh kenampakan kebun, baik yang sudah jadi tanaman tua maupun yang masih merupakan tanaman muda. Apabila lahan tersebut masih clearing dan masih berupa tanah kosong, maka dikategorikan dalam tanah terbuka

(37)

Tabel 10 (lanjutan)

No Kode Tipe penutupan

lahan Deskripsi

7 TNH Tanah terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi.

8 AIR Badan air Seluruh kenampakan perairan termasuk sungai, danau, situ, dan waduk.

9 PLK Pertanian lahan kering

Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang. Pada kebun campur apabila tanaman pertanian lebih mendominasi maka dimasukkan dalam kelas pertanian lahan kering

10 PLK2 Pertanian lahan kering campur

Semua jenis pertanian di lahan kering yang berselang seling atau bercampur dengan semak, belukar, dan bekas tebangan.

11 SWH Sawah Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang. Kelas ini termasuk juga sawah musiman, sawah tadah hujan, dan sawah irigasi

12 BND Bandara Kenampakan bandara yang berukuran cukup untuk dapat diidentifikasi dan memungkinkan untuk dibedakan dan dideliniasi sebagai lapangan udara atau bandara.

5.3 Analisis Visual Citra LANDSAT ETM+

Pada analisis visual band yang digunakan ialah band sinar tampak, band inframerah dekat dan band inframerah sedang, sedangkan band thermal tidak digunakan. Menurut Jaya (1997) pada daerah sinar tampak, inframerah dekat dan sedang energi yang direflektansikan dan direkam sensor sangat bergantung kepada sifat-sifat objek yang bersangkutan seperti pigmentasi, kadar air, dan struktur sel daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah dan tingkat sedimentasi pada air. Sehingga kombinasi band minimal terdiri dari satu band sinar tampak, satu dari inframerah dekat, dan satu dari inframerah sedang dianggap kombinasi yang cukup ideal yang dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai penutupan lahan.

(38)

38

Tabel 11 Karakteristik kegunaan utama band-band Citra LANDSAT ETM+ Band

Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah dan vegetasi, pembedaan tanah dan vegetasi.

2 0.50-0.60 Hijau

Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak pada dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk tanaman sehat dan tanaman yang tidak sehat

3 0.63-0.70 Merah

Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil dan memudahkan pembedaan antara lahan terbuka terhadap lahan bervegetasi

4 0.75-0.90 Inframerah dekat

Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air.

5 1.55-1.75 Inframerah sedang

Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah 6 10.4-12.5 Inframerah

thermal

Untuk membedakan informasi batuan dan untuk pemetaan hydrothermal

7 2.09-2.35 Inframerah sedang

Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah

8 0.52-0.9 Pankromatik Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang

Sumber : Lilesand dan Kieffer (1990)

Perubahan kelas tutupan dan penggunaan lahan yang akan digunakan pada tahap analisis perubahan lahan adalah berdasarkan penampakan visual pada citra. Untuk mempermudah dalam penafsiran dan interpretasi citra maka user

menggunakan kombinasi band 5-4-3. Dengan menggunakan kombinasi band ini

(39)

Berdasarkan hasil data tersebut ditentukan tipe-tipe kelas tutupan dan penggunaan lahan untuk tiga citra yang berbeda. Dari kegiatan interpretasi visual citra ini dapat diidentifikasi 12 kelas tutupan dan penggunaan lahan yang bisa dibedakan secara visual satu dengan yang lainnya. Jenis kelas tutupan lahan tersebut adalah awan dan bayangan awan yang tidak termasuk ke dalam salah satu kelas tutupan dan penggunaan lahan yang menutupi lapisan atas permukaan bumi tetapi ikut diklasifikasikan sebagai salah satu kelas tutupan dan penggunaan lahan karena dapat mempengaruhi hasil klasifikasi.

5.4 Pengolahan Citra Digital Satelit (Image Procesing) 5.4.1 Area Contoh (Training area)

Dalam menentukan lokasi training area, interpreter terlebih dahulu mengenali setiap pola spektral tutupan lahan yang terdapat dalam citra. Proses penentuan training area merupakan suatu proses yang penting karena akan menentukan keberhasilan klasifikasi.

Penentuan area contoh pada citra LANDSAT ETM+ didasarkan pada penampakan visual dan pedoman pemantauan tutupan lahan Departemen Kehutanan. Area contoh yang dibuat mewakili semua kelas tutupan dan penggunaan lahan pada daerah yang telah ditentukan sebelumnya dan digunakan untuk pengklasifikasian pada citra. Pada penentuan area contoh ini setiap kelas tutupan dan penggunaan lahan diwakili oleh piksel-piksel yang secara spektral berbeda, tetapi piksel-piksel tersebut relatif homogen untuk mewakili satu kelas tutupan dan penggunaan lahan tertentu, hal ini dilakukan untuk menghindari kelas yang tumpang tindih secara spektral, sehingga dapat mengurangi keakuratan hasil klasifikasi.

(40)

40

jumlah piksel, rata-rata, standar deviasi, nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai matriks ragam peragam, dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, dan 3.

Jumlah area contoh yang digunakan pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001, citra LANDAT ETM+ tahun 2006, dan citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 bisa dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah piksel area contoh

No

(41)

Karakteristik reflektansi masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan tiap band untuk ketiga citra LANDSAT ETM+ bisa dilihat pada Gambar 7.

(1)

(2)

(3)

(42)

42

Gambar 7 menunjukan karakteristik nilai rata-rata piksel (Digital Number) kelas tutupan dan penggunaan lahan vegetasi hijau seperti semak atau belukar, kebun atau perkebunan, hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan sawah mempunyai grafik yang menaik pada band 4 (inframerah dekat), hal ini disebabkan karena adanya kandungan klorofil dalam daun yang berinteraksi dengan panjang gelombang inframerah dekat. Nilai reflektansi minimum terdapat pada kelas tutupan lahan yang bervegetasi pada saluran merah.

Menurut Rambe (1989) semakin banyak atau lebat penutupan lahan oleh vegetasi, maka akan menurunkan rata-rata DN, karena sebagian sinar matahari diserap oleh klorofil dan vegetasi. Grafik menurun menunjukkan bahwa kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut rata-rata tidak memantulkan panjang gelombang inframerah dekat sekuat vegetasi hijau berklorofil daun. Kelas tutupan dan penggunaan lahan tanah terbuka mempunyai nilai reflektansi tertinggi terhadap panjang gelombang inframerah dekat, diikuti kelas tutupan dan penggunaan lahan kebun atau perkebunan.

Karakteristik DN rata-rata kelas tutupan dan penggunaan lahan tubuh air mengikuti bayangan awan. Pada umumnya, awan mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya pada semua panjang gelombang. Sedangkan bayangan awan mempunyai nilai reflektansi yang relatif kecil dibandingkan dengan kelas tutupan dan penggunaan lahan lain pada semua panjang gelombang.

5.4.2 Analisis Separabilitas

(43)

dan penggunaan lahan hutan tanaman – pertanian lahan kering campur mempunyai nilai TD terendah kedua sebesar 1.868,76. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 menggunakan kombinasi band 5-4-3 disajikan pada Lampiran 1.

Nilai analisis separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3 memberikan nilai rata-rata TD sebesar 1.980,64. Pada kombinasi band ini menunjukkan bahwa semua kelas tutupan dan penggunaan lahan memiliki kriteria tingkat keterpisahan yang sempurna, baik, cukup, dan buruk. Pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan tanaman - semak memiliki nilai TD terendah, yaitu 1.737,33 yang menunjukkan kedekatan karakteristik nilai pikselnya namun masih dapat dikategorikan terpisah dengan cukup. Pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan terdekat selanjutnya adalah hutan primer – pertanian lahan kering campur dengan nilai TD 1.746,54 hal ini akan memungkinkan terjadinya piksel-piksel yang teridentifikasi ke dalam kelas yang salah. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 menggunakan kombinasi band 5-4-3 disajikan pada Lampiran 2.

(44)

44

5.4.3 Evaluasi Akurasi

Evaluasi akurasi pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3 menghasilkan Overall accuracy sebesar 97,82% dan Kappa accuracy sebesar 97,63%, hal ini menunjukkan bahwa dari seluruh piksel yang digunakan, sebesar 97,63% dari piksel-piksel tersebut dapat terkelaskan dengan benar. Nilai user’s accuracy dan producer’s accuracy pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 User’s accuracy dan producer accuracy pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dengan kombinasi band 5-4-3

No Kelas tutupan dan

9 Pertanian lahan kering 100,00 100,00

10 Pertanian lahan kering

campur 100,00 80,00

11 Sawah 100,00 100,00

12 Bandara 100,00 100,00

13 Awan 100,00 100,00

14 Bayangan awan 100,00 100,00

Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, perkebunan, permukiman, tanah terbuka, badan air, pertanian lahan kering, sawah, bandara, awan, dan bayangan awan mempunyai nilai akurasi sebesar 100%. Angka 100% menunjukkan bahwa pada kelas kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak terjadi kesalahan klasifikasi dengan tidak mengambil piksel dari kelas lain.

(45)

ini disebabkan karena masuknya piksel-piksel dari kelas lain ke kelas semak atau belukar sebanyak 2 piksel dari kelas tanah kosong.

Pada user’s accuracy, kelas yang memiliki nilai akurasi sebesar 100 % adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan produksi, hutan sekunder, semak belukar, perkebunan, permukiman, badan air, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, bandara, awan dan bayangan awan, hal ini menandakan bahwa piksel dari kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak ada yang masuk ke kelas lain. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mempunyai nilai terkecil adalah hutan tanaman sebesar 70%, hal ini disebabkan karena sebanyak 6 piksel dari kelas ini masuk ke kelas pertanian lahan kering campur.

Nilai user’s accuracy terkecil selanjutnya adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan tanah terbuka sebesar 91,67 % dikarenakan adanya piksel dari kelas ini yang masuk kedalam kelas lain, yaitu sebanyak 2 piksel ke kelas semak belukar. Rata-rata nilai user’s accuracy sebesar 97,26% dan producer’s accuracy

sebesar 97,87% maka piksel-piksel yang digunakan sudah cukup mewakili karakterisik masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan. Matriks kesalahan klasifikasi citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 disajikan pada Tabel 17.

Hasil evaluasi akurasi citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 dengan kombinasi band 5-4-3 menghasilkan nilai Overall accuracy sebesar 91,90 % dan

Kappa accuracy sebesar 90,62 %, hal ini menunjukkan bahwa piksel-piksel dalam area contoh telah terkelaskan dengan baik, dimana tingkat akurasinya di atas 90 %. Nilai user’s accuracy dan producer’s accuracy pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 disajikan pada Tabel 14.

(46)

46

Tabel 14 User’s accuracy dan producer accuracy pada citra LANDSAT ETM+ 2006 dengan kombinasi band 5-4-3

No Kelas tutupan dan

10 Pertanian lahan kering

campur 70,17 78,43

11 Sawah 100,00 100,00

12 Bandara 97,33 81,11

Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer merupakan kelas yang memiliki nilai producer’s accuracy yang paling kecil bila dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya yaitu sebesar 64,70 % karena pada kelas tersebut terdapat piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas ini, yaitu piksel dari kelas pertanian lahan kering campur sebanyak 4 piksel dan dari kelas perkebunan sebanyak 2 piksel.

Kelas tutupan dan penggunaan lahan terkecil kedua adalah tanah kosong sebesar 73,91 %, dimana terdapat sebanyak 3 piksel dari kelas perkebunan, 2 piksel dari kelas bandara, dan 1 piksel dari kelas pertanian lahan kering yang masuk ke dalam kelas ini.

Pada user’s accuracy, kelas yang memiliki nilai akurasi sebesar 100 % adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan badan air dan sawah, hal ini menandakan bahwa piksel dari kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak ada yang masuk ke kelas lain. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mempunyai nilai terkecil adalah hutan tanaman sebesar 65,78 %, hal ini disebabkan karena sebanyak 7 piksel dari kelas ini masuk ke kelas hutan sekunder, 4 piksel ke kelas semak belukar, dan 2 piksel ke kelas pertanian lahan kering campur.

(47)

tanaman, 3 piksel dari kelas perkebunan, 3 piksel dari kelas pertanian lahan kering, 2 piksel dari kelas hutan tanaman, dan 4 piksel dari kelas hutan primer masuk ke kelas ini. Rata-rata nilai user’s accuracy sebesar 88,50% dan

producer’s accuracy sebesar 84,36% maka piksel-piksel yang digunakan sudah cukup mewakili karakterisik masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan. sedangkan matriks kesalahan klasifikasi citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 nilai Overall accuracy dan

Kappa accuracy yang dihasilkan dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3 sebesar 96,15 % dan 95,51 %, hal ini menandakan bahwa peluang rata-rata suatu piksel terkelaskan dengan benar sebesar 95,51 %. Nilai user’s accuracy dan

producer’s accuracy pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 tersaji pada Tabel 15.

Tabel 15 User’s Accuracy dan Producer Accuracy pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 dengan kombinasi band 5-4-3

No Kelas tutupan dan

9 Pertanian lahan kering 100,00 100,00

10 Pertanian lahan kering

campur 100,00 85,71

11 Sawah 98,82 100,00

12 Bandara 100,00 100,00

13 Awan 100,00 100,00

14 Bayangan awan 100,00 100,00

Pada producer’s accuracy, yang mempunyai nilai producer’s accuracy

(48)

48

Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer merupakan kelas yang memiliki nilai producer’s accuracy yang paling kecil bila dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya yaitu sebesar 76% karena pada kelas tersebut terdapat piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas ini, yaitu piksel dari kelas hutan sekunder sebanyak 6 piksel.

Pada user’s accuracy, kelas yang memiliki nilai akurasi sebesar 100 % adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan sekunder, permukiman, tanah terbuka, badan air, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, bandara, awan, dan bayangan awan, hal ini menandakan bahwa piksel dari kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak ada yang masuk ke kelas lain. Kelas tutupan dan penggunaan lahan yang mempunyai nilai terkecil adalah hutan sekunder sebesar 64,12 %, hal ini disebabkan karena sebanyak 6 piksel dari kelas ini masuk ke kelas hutan primer.

Nilai user’s accuracy terkecil selanjutnya adalah kelas tutupan dan penggunaan lahan kebun/perkebunan sebesar 78,57 % dikarena adanya piksel dari kelas ini yang masuk ke dalam kelas lain, yaitu sebanyak 3 piksel ke kelas pertanian lahan kering campur. Rata-rata nilai user’s accuracy sebesar 94,64% dan producer’s accuracy sebesar 94,05 % maka piksel-piksel yang digunakan sudah cukup mewakili karakterisik masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan. Matriks kesalahan klasifikasi citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 6.

(49)

hutan yang secara reflektansi mempunyai kesamaan dengan bayangan awan. Perbedaan kondisi ini terjadi karena perbedaan tanggal waktu perekaman ketiga citra berbeda. Menurut Wicaksono (2006), kesalahan-kesalahan klasifikasi dapat diperbaiki dengan melakukan editing, sehingga kita dapat memperoleh luas penutupan yang benar. Editing dapat dilakukan dengan membuat poligon pada daerah yang ingin diubah.

5.4.4 Klasifikasi Penutupan Lahan

Klasifikasi penutupan lahan pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001, citra LANDSAT ETM+ tahun 2006, dan citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 dilakukan dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3 menghasilkan 12 kelas tutupan dan penggunaan lahan.

Jumlah luasan masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan hasil klasifikasi citra LANDSAT ETM+ tahun 2001, LANDSAT ETM+ tahun 2006, dan LANDSAT ETM+ tahun 2011 ini dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil klasifikasi dan sebaran spasial dapat dilihat pada Gambar 8, 9, dan 10.

Tabel 16 Luas masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan hasil klasifikasi citra LANDSAT ETM+ tahun 2001, LANDSAT ETM+ tahun 2006, dan LANDSAT ETM+ tahun 2011

No.

Kelas tutupan dan penggunaan

lahan

Luas tutupan dan penggunaan lahan LANDSAT ETM+

Gambar

Gambar 6  Citra DAS Citarum Hulu tahun 2011 kombinasi 5-4-3.
Tabel 10  Deskripsi tipe-tipe penutupan lahan
Tabel 10  (lanjutan)
Tabel 11  Karakteristik kegunaan utama band-band Citra LANDSAT ETM+
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan Bentuk Penggunaan Lahan dan Implikasinya terhadap Koefisien Air Larian DAS Citarum Hulu Jawa-Barat (Edi Tri Haryanto, Totok Herwanto, dan Dwi Rustam Kendarto) perubahan

Laju perubahan kenaikan koefisien air larian akibat perubahan tipe penggunaan lahan di Sub-Das Citarik relatif sama dibanding DAS Cikapundung, yaitu dari 0,05 pada

EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAZ DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM, JAWA BARAT.. SELAMA PERIODE

Penelitian ini bertujuan menentukan kondisi erosi, ruang terbuka hijau, dan pendapatan rumah tangga tani aktual yang diakibatkan pola penggunaan lahan aktual di DAS Citarum

Tahap analisis data yang dilakukan meliputi: identifikasi objek pada fusi citra Quickbird, interpretasi visual penggunaan/penutupan lahan dari citra Landsat dan citra

penutupan awan yang terdapat pada hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2010 dan 2013 dengan cara menghitung selisih dari luas total areal penelitian yaitu KHDTK Hutan

penutupan awan yang terdapat pada hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2010 dan 2013 dengan cara menghitung selisih dari luas total areal penelitian yaitu KHDTK Hutan

Laju perubahan kenaikan koefisien air larian akibat perubahan tipe penggunaan lahan di Sub-Das Citarik relatif sama dibanding DAS Cikapundung, yaitu dari 0,05 pada