• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik dan permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta strategi penataan dan pemberdayaannya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik dan permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta strategi penataan dan pemberdayaannya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor"

Copied!
649
0
0

Teks penuh

(1)

LIMA (PKL) SERTA STRATEGI PENATAAN DAN

PEMBERDAYAANNYA DALAM KAITAN DENGAN

PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH KOTA BOGOR

ACHMAD MUBAROK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya dalam Kaitan dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Januari 2012

Achmad Mubarok

(3)

ABSTRACT

ACHMAD MUBAROK. Characteristic and Problems of Street Vendors,

Management and Empowerment Strategy in Relationship with Regional Economic Development in Bogor City, Under direction of BAMBANG JUANDA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HEDI M.IDRIS as Members of Advisory Committee.

The research objectives are : (1) to analyze characteristics of street vendors and factors that affect their income, (2) to analyze contribution of street vendors on economic development, (3) to identify policy implementation on street vendors and (4) to formulate management and empowerment strategy for the street vendors. The research has been conducted in Bogor City using survey methods. Three street vendor typologic has been selected namely night vegetables market (pasar sayur malam), temporary market (pasar tumpah), and culinary market (pasar kuliner). The total sample is 180 respondents consisting of street vendors, consumers, residents, competitors and suppliers. AWOT analysis uses experts amounting 16 respondents. The samples are selected using the porposive sampling. The data are analyzed descriptively and AWOT analysis is used to formulate the strategy. The results indicates that street vendors can be characterized as having sufficient elementary education level, not poor, having net income higher than the city minimum wage and vulnerable on harassment. The regression result suggests that street vendors net income is significantly affected by omzet and starting up costs. On typology basis, net income significantly affects consumption level of street vendor’s household. Street vendors are able to create job opportunity in urban area and if properly managed, have large contribution on local revenue. However, the implementation of existing local regulations seem suboptimal. Some strategies have been proposed, including : (1) Registering and construct street vendor database, (2) economic empowerment for the actors, (3) unifying perception for street vendor management, (4) delayed condemnation delay and dialogue with local government, and (5) confining street vendor number in a location.

(4)

RINGKASAN

ACHMAD MUBAROK. Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki

Lima (PKL) Serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya Dalam Kaitan

Dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah di Kota Bogor, Di bawah

bimbingan dari BAMBANG JUANDA sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan HEDI M.IDRIS sebagai Anggota dari Komisi Pembimbing.

Bogor mengalami permasalahan pengelolaan kota dengan meningkatnya PKL. Pertumbuhan PKL di kota Bogor semakin nampak ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Terdapat dualisme pandangan mengenai keberadaan PKL yaitu positif dan negatif. Di sisi positif, PKL menyediakan peluang kerja bagi penduduk yang tidak terserap sektor formal dengan meningkatnya pengangguran dan pada saat yang sama menyediakan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau bagi warga miskin kota. Di sisi negatif, PKL sering menyebabkan kemacetan, merusak wajah kota, kejahatan dan ketidaknyamanan sosial lainnya. Dua sisi keberadaan PKL ini menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan PKL sebagai mata pencaharian alternatif penduduk miskin kota dan bagaimana pemerintah kota Bogor menghadapi tantangan ini untuk permbangunan perkotaan. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis karakteristik umum dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, (2) Menganalisis sejauh mana kontribusi PKL dalam pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor, (3) Mengidentifikasi sejauh mana keberhasilan dari kebijakan pemerintah Kota Bogor dalam menata dan memberdayakan PKL dan (4) Merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL.

Penelitian dilakukan di kota Bogor, dari Juni 2009 sampai bulan Juli 2011 menggunakan rancangan penelitian survei. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Populasi penelitian terdiri dari Pelaku PKL, Konsumen, Masyarakat, Pesaing, dan Supplier. Tipologi PKL yang dipilih adalah : Pasar Sayur Malam, Pasar Kuliner, Pasar Tumpah. Matode pengambilan sampel adalah Purposive Sampling. Total sampel yang diambil adalah 180 responden Untuk responden pakar total sampel yang diambil adalah 16 responden. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengkarakteristikkan PKL dan persepsi masyarakat, pemasok dan pesaing mengenai keberadaan PKL. Analisis regresi dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL. Untuk menganalisis strategi penataan dan pemberdayaan PKL digunakan metode hibrid AWOT.

(5)

dummy lokasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan PKL. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pendapatan PKL berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga hal ini berarti bahwa kontribusi PKL terhadap perekonomian /pembangunan wilayah terutama dari sisi belanja konsumsi. Ketiga, PKL berkontribusi terhadap ekonomi kota Bogor karena telah menjadi mata pencaharian utama dan menciptakan peluang dan lapangan kerja. Analisis kebijakan menunjukkan sudah adanya perangkat legal pengelolaan PKL di kota Bogor namun implementasinya masih belum optimal dan belum mengakomodasi kepentingan bersama antara PKL dan Pemerintah Kota. Keempat, beberapa strategi dirumuskan yaitu : (a) Registrasi dan pembuatan database PKL, (b) Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, (c) Menyatukan persepi dalam pengelolaan PKL, (d) Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda, (e) Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi and (f) mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, serta melakukan Penataan lokasi PKL

(6)

KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG

KAKI LIMA (PKL) SERTA STRATEGI PENATAAN DAN

PEMBERDAYAANNYA DALAM KAITAN DENGAN

PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH KOTA BOGOR

ACHMAD MUBAROK

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

©Hak Cipta milik IPB , tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan . penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

Judu l Disertasi : Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya dalam Kaitan dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor

Nama : Achmad Mubarok NRP : A 165030021

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. Ketua

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Hedi M. Idris , M.Si. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Program Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Slamet Sutomo, M.Si.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan desertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Penulis berharap bahwa hasil penelitian yang dituangkan dalam desertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama para stakeholder baik di jajaran birokrasi pemerintahan, akademisi, maupun pelaku pembangunan lainnya demi terciptanya program-program pembangunan serta terciptanya masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan sentosa.

Penulis mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si, Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., dan Bapak Dr. Ir. Hedi M. Idris, M.Si. yang masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas dorongan dan bimbingannya. Semoga Allah membalas dengan pahala yang lebih besar lagi. Amien. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan hingga tersusunnya desertasi ini, kepada :

1. Bapak dosen dan seluruh staf Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis

2. Kepada para responden penelitian yang telah memberikan bantuan data dan informasi yang sangat penting bagi penyusunan desertasi ini

3. Seluruh pengurus Yayasan Pendidikan Ibn Khaldun Bogor, Rektor UIKA

beserta staf jdan Dekan FEUIKA beserta atas segala dorongan dan bantuannya.

4. Isteri tercinta E.Murtinah dan anak-anak, mantu-mantu serta cucu-cucu tersayang yang senantiasaa memberikan doa, dorongan semangat dan mengorbankan waktu, kesempatan serta perasaannya untuk keberhasilan studi penulis.

5. Almarhum ayah ibu tercinta yang berkat doa dan jerih payahnya, hingga penulis dapat mencapai harapan dan cita-cita.

6. Kakakku tercinta Mas Widodo dan Ceu Ipah yang selama ini telah menjadi pengganti orangtua bagi penulis

7. Semua pihak yang tidak dapaat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya penyusunan tesis ini.

Dalam penyusunan desertasi ini disadari masih banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan selalu diharapkan. Akhirnya semoga Allah Yang Maha Kuasa membalas amal kebajikan semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan desertasi ini.

Bogor, Januri 2012

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Oktober 1947 sebagai anak keduabelas dari pasangan R.H.M Sudjai dan R.Siti Hajar. Pada tahun 1971 penulis menikah dengan E.Murtinah dan telah dikarunia enam orang anak., lima orang menantu serta sebelas orang cucu. Saat ini Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor lulus tahun 1990. Dalam proses pendidikan yang berkelanjutan, pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan magister manajemen di Universitas Satyagama, Jakarta. Pada tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

(12)

Halaman

Daftar Isi……… xi

Daftar Tabel………..….……… xiv

Daftar Gambar……… xx

Daftar Lampiran……….………..….. xxi

I. PENDAHULUAN………….……… 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian... 12

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA..……….. 13

2.1 Konsep Pembangunan dan Ekonomi .……… 13

2.1.1 Pembangunan Ekonomi……… 13

2.1.2 Ekonomi Wilayah………. 14

2.1.3 Pembangunan Ekonomi Wilayah………. 15

2.2 Teori-Teori Loka……….. 16

2.2.1 Teori Pola Produksi Pertanian von Thunen………….. 17

2.2.2 Teori Lokasi Alfred Weber….………. 19

2.2.3 Teori Lokasi August Losch……….. 20

2.2.4 Teori LokasiIndustri Christaller…..……… 22

2.3 Sektor Informa………..……… 24

2.3.1 Usaha mikro Kecil dan Menengah ( UMKM)………. 25

2.3.2 Usaha Produktif……… 27

2.3.3 Pengertian dan Definisi Sektor Informal……….……. 27

2.3.4 Pedagang Kaki Lima (PKL)………. 30

2.4 Kebijakan Publi……… 32

2.4.1 Konsepsi Kebijakan Publik……….. 32

2.4.2 Instrumen Kebijakan Publik di Daerah……… 36

2.4.3 Sumber-sumber Pendapatan Daerah……… 39

2.5 Pemberdayaan Masyarakat………. 45

2.6 Strategi Pemberdayaan…………..……… 50

2.7 Lingkungan Eksternal dan Internal……… 52

2.8 Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi….……… 54

2.9 Penelitian Terdahulu Tentang Pedagang Kaki Lima PKL)…. 61 2.10 Novelty (Kebauran)……… 67

III. METODE PENELITIAN……… 81

3.1 Kerangka Penelitian……… 81

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 83

(13)

3.4 Pedoman Pengambilan Sampel……… 87

3.5 Metode Analisis Data……….. 88

3.5.1 Analisis Deskriftif……… 88

3.5.2 Analisis Persentase………... 88

3.5.3 Analisis Regresi……… 89

3.5.4 Analisis AHP SWOT.………..……….... 93

3.6 Definisi Operasional………... 103

3.7 Keterbatasan Penilitian………. 104

IV. KONDISI UMUM KOTA BOGOR……….. 105

4.1 Kondisi dan Potensi……….. 105

4.2 Sejarah Kota Bogor……….. 107

4.3 Pemerintahan……….. 108

4.4 Penduduk dan Ketenagakerjaan……….. 108

4.5 Pendidikan, kesehatan/Keluarga Berencana dan Agama……. 110

4.6 Pertanian……….. 111

4.7 Perindustrian, Pertambangan dan Energi………..…………... 114

4.8 Perdagangan………... 116

4.9 Transportasi, Komunikasi dan Pariwisata……..………. 117

4.10 Keuangan dan Harga………..………….. 118

4.11 Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk…………..………….. 120

4.12 Pendapatan Regional……… 121

4.13 Kemiskinan……….. 123

V. KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR………… 125

5.1 Distribusi Sampel dan Tipologi PKL……….. 126

5.2 Karakteristik Demografis………. 127

5.2.1 Jenis Kelamin (A3)……… 127

5.2.2 Umur (A4)………. 128

5.2.3 Status Perkawinan………. 129

5.2.4 Tingkat Pendidikan (A6)………... 130

5.2.5 Asal Responden (A7)……… 131

5.2.6 Suku bangsa (A8)……….. 132

5.2.7 Status Dalam Keluarga (A9)……… 133

5.2.8 Tanggungan dalam Keluarga (A10)………. 134

5.2.9 Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga ( A12)…….. 135

5.2.10 Kondisi Kesehatan (A13)………. 136

5.2.11 Kondisi Ekonomi (A16)……… 137

5.3 Karakteristik Usaha……….. 138

5.3.1 Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL... 139

5.3.2 Motivasi menjadi PKL (B2)... 140

5.3.3 Lama menjadi PKL (B3)... 141

5.3.4 Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4)... 142

5.3.5 Pemilihan Lokasi (B5)... 142

5.3.6 Jenis Barang Dagangan (B6)... 144

5.3.7 Jenis Sarana Usaha Yang Digunakan (B8)... 145

5.3.8 Pola Penyebaran PKL... 147

(14)

5.3.10 Lama Waktu Operasi (C2)... 148

5.3.11 Tempat Usaha (B12)... 149

5.3.12 Luas Tempat Usaha (B13)... 150

5.3.13 Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14)... 151

5.3.14 Keberadaan Usaha di Tempat Lain... 152

5.3.15 Registrasi PKL (B18)... 153

5.4 Pekerja dan Kompensasi... 155

5.5 Aspek Keuangan dan Lain-Lain... 157

5.5.1 Modal Awal... 157

5.5.2 Jenis dan Sumber Modal... 158

5.5.3 Modal Kerja dan Pendapatan... 160

5.5.4 Sewa Lapak... 163

5.5.5 Fluktuasi Usaha... 165

5.5.6 Pengeluaran... 166

5.6 Permasalahan dan Prospek... 169

5.7 Persepsi PKL terhadap Penataan... 171

5.8 Persepsi Pesaing, Pemasok dan Masyarakat Terhadap Keberadaan PKL ... 174

VI. KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH……….. 183

6.1 Kontribusi PKL Terhadap Ekonomi Wilayah……… 183

6.2 Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan PKL... 186

6.3 Keterkaitan ke Belakang (Backward) dan ke Depan (Forward) dari PKL ... 193

VII. ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR…………. 197

7.1 Peraturan Daerah Pengelolaan PKL... 197

7.2 Pihak-pihak Yang terkait... 199

7.3 Implementasi Perda PKL di Bogor... 202

VIII. STRATEGI PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR... 207

8.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal... 207

8.1.1 Faktor Eksternal……… 208

8.1.2 Faktor Internal……….. 215

8.2 Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL……….. 223

8.2.1 Strategi Prioritas……… 227

8.2.2 Alternatif Strategi Lainnya……… 233

8.3 Usulan Penataan dan Relokasi PKL………. 236

8.4 Langkah-langkah Strategis………... 241

IX. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 243

9.1 Kesimpulan……….. 243

9.2 Saran………. 245

DAFTAR PUSTAKA ... 247

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pekerja Menurut Status Pekerjaan, 2007-2009 (dalam juta orang).. 3

2 Omzet Penjualan Harian (dalam Rupiah)... 8

3 Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen... 26

4 Lapangan kerja menurut aktivitas ekonomi di Indonesia... 30

5 Matrik kebijakan publik berdasarkan makna... 35

6 Bagi Hasil Pajak Provinsi... 45

7 Penerima manfaat dalam Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah... 65

8 Indikator Manfaat Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah... 65

9 Manfaat dan Biaya Pengaturan PKL melalui Regulasi (Peraturan Daerah)... 66

10 Manfaat dan Biaya Mengelola PKL tanpa Regulasi... 66

11 Kajian Literatur Sektor Informal Selama 10 Tahun Terakhir... 69

12 Sumber Data, Aspek Penelitian dan Pokok (analisis)... 86

13 Responden Penelitian... 87

14 Responden Penelitian untuk Analisis AHP SWOT... 88

15 Matrik Internal dan Eksternal... 96

16 Skala Perbandingan Berpasangan... 97

17 Matrik Pendapat Individu (MPI)... 97

18 Perbandingan berpasangan pada Matrik Pendapat Gabungan (MPG), VA, dan VP (bobot)... 99

19 Nilai Random Index (RI)... 100

20 Matrik Analisis SWOT... 101

21 Pembobotan Tiap Unsur SWOT... 101

22 Rangking Alternatif Strategi... 102

23 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2011... 108

24 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Bogor Tahun 1990, 2000 dan 2010... 109

25 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama di Kota Bogor tahun 2008-2010... 109

26 Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Partisipasi Sekolah dan Jenis Kelamin di Kota Bogor Tahun 2010... 110

27 Penggunaan Lahan Pertanian Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010... 111

28 Penggunaan Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 (dalam Ha)... 112

29 Target, Realisasi dan Produksi Tanaman Palawija (lahan bukan sawah) Menurut jenis Tanaman di Kota Bogor Tahun 2010... 112

30 Populasi Ternak Besar dan Ternak Kecil Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010... 113

31 Populasi Unggas Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010... 113

(16)

Halaman

33 Potensi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan di Kota Bogor

Tahun 2010... 114

34 Potensi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka di Kota Bogor Tahun 2010... 115

35 Jumlah Realisasi Ekspor Non migas Menurut Jenis Komoditi di Kota Bogor Tahun 2010... 117

36 Realisasi Penerimaan Daerah Menurut Jenis Penerimaan di Kota Bogor Tahun 2010... 118

37 Realisasi Pengeluaran Daerah Menurut Jenis Pengeluaran di Kota Bogor Tahun 2010... 119

38 Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Makanan di Kota Bogor Tahun 2006-2010 (Rupiah)... 120

39 Pengeluaran Rata-rata Perkapita Menurut Kelompok Barang Non Makanan dan Golongan Pengeluaran Per Kapita Sebulan di Kota Bogor Tahun 2010 (Rupiah)... 121

40 Produk Domestik Bruto ( PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2010 121 41 Produk Domestik Bruto ( PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008-2010... 122

42 Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008-2010... 122

43 Jumlah, Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Kota Bogor Tahun 2009-2010... 123

44 Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel PKL... 126

45 Tipologi Jenis Usaha PKL... 127

46 Jenis Kelamin Responden... 127

47 Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi... 128

48 Kelompok Umur Responden... 128

49 Kelompok Umur Responden menurut tipologi... 129

50 Status Perkawinan... 129

51 Status Perkawinan menurut Tipologi PKL... 130

52 Tingkat Pendidikan Responden... 130

53 Tingkat Pendidikan Responden menurut tipologi PKL... 131

54 Asal Kota Responden... 131

55 Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL... 132

56 Suku Bangsa Responden... 132

57 Suku Bangsa Responden menurut Tipologi... 133

58 Status Responden dalam Keluarga... 134

59 Status Responden dalam Keluarga menurut Tipologi... 134

60 Tanggungan dalam Keluarga... 134

61 Jumlah Tanggungan dalam Keluarga... 135

62 Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga... 135

63 Kondisi Kesehatan Keluarga PKL Selama 3 Bulan Terakhir... 136

(17)

Halaman

65 Biaya Berobat Responden... 137

66 Responden Penerima BLT... 138

67 Usaha Sebelum menjadi PKL (B.1)... 139

68 Motivasi menjadi PKL... 140

69 Lama Menjadi PKL... 141

70 Pernah Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat Lain ... 142

71 Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel... 142

72 Jenis Barang Dagangan PKL... 145

73 Sarana Usaha yang Digunakan PKL... 146

74 Pola Penyebaran PKL... 147

75 Waktu Operasi PKL... 148

76 Lama Waktu Operasi... 149

77 Lama Hari Kerja Dalam Seminggu... 149

78 Tempat Usaha... 149

79 Posisi Lokasi Usaha... 150

80 Luas Ruang yang Digunakan PKL... 151

81 Kondisi Kebersihan... 152

82 Kepemilikan Usaha di Tempat Lain... 152

83 Registrasi PKL... 153

84 Rekapitulasi PKL yang sudah mendapatkan Ijin Penggunaan Lokasi PKL per tanggal 28 Nopember 2008... 154

85 Jumlah Responden yang Menggunakan Tenaga Kerja... 156

86 Tunjangan dan Bonus Bagi Pekerja... 156

87 Bentuk Tunjangan atau Bonus Bagi Pekerja... 157

88 Modal Awal yang Diperlukan dalam Memulai Usaha... 158

89 Sumber Modal PKL... 159

90 Sumber Pinjaman Modal... 159

91 Modal Kerja Harian... 161

92 Omzet Kotor Harian PKL Menurut Tipologi... 162

93 Jenis Pembukuan Pelaku PKL... 162

94 Pembayaran Tempat Usaha... 163

95 Jangka Waktu Pembayaran... 164

96 Pihak Penerima Pembayaran Sewa Lapak... 164

97 Rata-rata Pengeluaran Bulanan Responden... 167

98 Penghasilan yang Dibawa Pulang Harian... 168

99 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (RT) Harian... 169

100 Pendapatan Bersih PKL Harian Rata-rata... 169

101 Masalah atau Kesulitan yang Dihadapi PKL... 170

102 Bentuk Bantuan yang Diharapkan... 171

103 Pemahaman Responden Terhadap Aturan... 172

104 Kemauan PKL Untuk Ditata... 172

105 Bentuk Penataan yang Diharapkan... 173

106 Sistem Pembayaran yang Diharapkan Per Lapak Standar... 173

(18)

Halaman

108 Bentuk Gangguan usaha PKL Terhadap Pesaing... 175

109 Manfaat Keberadaan PKL Bagi Pemasok... 176

110 Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok dan Masyarakat Umum... 176

111 Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL... 177

112 Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum... 178

113 Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL... 179

114 Persepsi Terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan... 179

115 Persepsi Terhadap Penggusuran... 180

116 Mekanisme Penggusuran... 181

117 Pengaruh Pendapatan PKL Terhadap Tingkat Pendidikan, Kesehatan dan Konsumsi Keluarga PKL... 188

118 Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan Pasar Sayur Malam... 190

119 Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner... 191

120 Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Kuliner... 192

121 Keterkaitan Manfaat Langsung Kedepan dan Kebelakang dari PKL... 195

122 Perlunya Keterlibatan Pihak-pihak Lain... 200

123 Beberapa Tindakan Pemerintah Kota Bogor terhadap PKL di Beberapa Lokasi... 202

124 Program dan Pendekatan Pengelolaan PKL di Beberapa Kota di Indonesia... 204

125 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Peluang... 208

126 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Ancaman... 211

127 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kekuatan... 215

128 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kelemahan... 219

129 Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Bogor... 224

130 Prioritas Alternatif Strategi untuk Penataan dan Pemberdayaan PKL di kota Bogor... 226

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Asal Pedagang Kaki Lima di kota Bogor... 6

2 Status Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor... 7

3 Jumlah PKL Kota Bogor Tahun 2005 berdasarkan jenis kelamin... 7

4 Waktu Berjualan PKL di Kota Bogor... 9

5 Kebijakan Publik... 32

6 Proses Kebijakan Publik... 33

7 Alur Kebijakan Publik Berdasarkan Kompetisi Politik... 34

8 Alur Kebijakan Publik Berdasarkan Sumberdaya Ekonomi... 34

9 Alur Kebijakan Publik Campuran... 35

10 Proses Penyusunan Regulasi pada Tingkat Daerah... 37

11 Kerangka Pemikiran Konseptual... 84

12 Analisis SWOT... 95

13 Fluktuasi Kegiatan PKL Selama 12 Bulan Terakhir... 165

14 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Menurut Tipologi dalam Bokspot... 190

15 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Tumpah dalam Bentuk Bokspot... 191

16 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner dalam Bentuk Bokspot... 192

17 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Kuliner dan Pasar Sayur Malam dalam Bentuk Bokspot... 193

18 Pembongkaran Kios PKL Semi Permanen di Pomad Oleh Satpol PP... 221

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil Analisis Regresi untuk Semua Tipologi... 257

2 Hasil Analisis Regresi untuk Setiap Tipologi PKL... 259

3 Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Internal dan Eksternal... 264

4 Kuisioner untuk Pelaku PKL... 266

5 Kuisioner Persepsi Pemasok terhadap PKL... 272

6 Kuisioner Persepsi Pesaing terhadap PKL... 274

7 Kuisioner Persepsi Masyarakat terhadap PKL... 276

8 Kuisioner untuk AHP-SWOT... 278

9 Perda PKL di kota Bogor... 291

(21)

PENDAHULUAN

Kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menegakkan prinsip-prinsip kemuliaan, persamaan hak, dan keadilan manusia di tingkat global. Oleh karena itu sebagai pemimpin, kita mempunyai tugas untuk seluruh umat di dunia, terutama mereka yang paling lemah dan khususnya kepada anak-anak di dunia yang di pundak mereka masa depan berada (United Nations, 2000, dalam Todaro, 2006).

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi dan finansial di kawasan Asia pada pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan kehancuran banyak industri skala besar dan skala kecil-menengah di Indonesia. Menurut Rachmanu (2004), terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya krisis ekonomi - finansial di Indonesia tersebut. Pertama, penyebabnya adalah rusaknya dasar-dasar ekonomi, bukan hanya parameter ekonomi seperti inflasi, defisit anggaran pemerintah, dan neraca devisa berjalan tetapi juga masalah kelembagaan seperti pergeseran kebijakan, belum optimalnya perhatian pemerintah terhadap usaha swasta, dan terbatasnya aturan pasar yang transparan. Kedua, argumentasi bahwa ekonomi Indonesia pada dasarnya menyuarakan fundamentalnya. Fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini terlihat baik ternyata tidak dapat menahan laju krisis yang berkepanjangan. Krisis tersebut muncul dari kepanikan investor internasional terhadap ketidak-stabilan pasar modal internasional. Kondisi ini diperparah dengan berlanjutnya krisis politik yang pada akhirnya membuat arah kebijakan pembangunan ekonomi menjadi kabur dan tidak terfokus.

Tahun 2008/2009 kembali terjadi krisis, yaitu krisis Finansial Global. Krisis ini bersumber dari krisis suprime mortgage di Amerika Serikat. Hal tersebut juga berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia namun tidak separah krisis finansial Asia dalam arti cakupan dan dimensinya lebih terbatas dan lebih cepat.

(22)

tersebut dikarenakan umumnya sektor informal memiliki fleksibilitas usaha yang tinggi dan jaminan keamanan terhadap permodalan dimana modal usaha lebih banyak bersumber pada modal sendiri dan bersifat lokal.

Ekonomi informal sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat cepat di negara-negara berkembang dan mulai banyak menarik perhatian akademisi, peneliti, aktivitis pembangunan sosial, dan perencana kebijakan. Umumnya diyakini bahwa pertumbuhan sektor ini dipicu oleh meningkatnya pengangguran di negara-negara berkembang. Angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9.39 juta jiwa atau 8.39 % dari total angkatan kerja. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9.43 juta jiwa (8.46 %). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal masih mendominasi angkatan kerja nasional. Survei menunjukkan per Agustus 2008 terdapat 71.35 juta jiwa pekerja yang bekerja di sektor informal, dari total 102.55 juta jiwa angkatan kerja (Tempo, 2009).

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan TNP2K menyatakan bahwa per Februari 2009 dari

104,49 juta orang yang bekerja, status pekerjaan utama yang terbanyak adalah sebagai buruh/karyawan sebesar 27.67 % atau 28.91 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21.64 juta orang (20.71 %), dan berusaha sendiri sejumlah 20.81 juta orang (19.92 %), sedangkan yang terkecil adalah berusaha dibantu buruh tetap sebesar 2.97 juta orang (2.84 %). Jika dibanding keadaan setahun yang lalu, struktur pekerja menurut status pekerjaan relatif stabil namun ada kecenderungan peningkatan pada kelompok kegiatan informal, khususnya pada status berusaha sendiri dan pekerja keluarga.

(23)

Tabel 1. Pekerja Menurut Status Pekerjaan, 2007-2009 (dalam juta orang)

Status Pekerjaan Utama

2007 2008 2009

Agustus Pebruari Agustus Pebruari

Berusaha sendiri 20.32 20.08 20.92 20.81

Berusaha dibantu buruh tidak tetap 21.02 21.60 21.77 21.64

Berusaha dibantu buruh tetap 2.88 2.98 3.02 2.97

Buruh/karyawan 28.04 28.52 28.18 28.91

Pekerja bebas di pertanian 5.92 6.13 5.99 6.35

Pekerja bebas di non pertanian 4.46 4.80 5.29 5.15

Pekerja keluarga 17.28 17.94 17.38 18.66

Total 99.93 102.55 102.55 104.49

Sumber :

Dicirikan dengan aktivitas produksi dan jasa skala kecil, sektor informal tidak dimasukkan dalam aktivitas ekonomi terorganisasi. Sebagian besar pekerja yang masuk ke dalam sektor ini adalah kaum migran dan motivasinya adalah memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk bertahan hidup, menggantungkan pada sumberdaya yang dimilikinya untuk menciptakan pekerjaan (Singh, 2000). Mereka umumnya bekerja dalam jam kerja yang lama. Adalah sulit untuk mengestimasi besaran total dari sektor informal dan di negara-negara miskin, diperkirakan bahwa 50 % angkatan kerja menjalankan ekonomi informal (Gottdiener and Budd, 2005).

(24)

berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi. Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.

Adanya sektor informal dan formal di perkotaan menyebabkan munculnya kondisi dualistik pada kota-kota di Indonesia karena adanya perbedaan aspek-aspek kehidupan kota. Dualistik merupakan kondisi dimana terjadi pertemuan antara dua kondisi atau sifat yang berbeda (Widjajanti, 2000). Pada aspek fisik kota, dualistik tersebut terjadi pada pembauran pola dan struktur rancang kota, seperti yang ditegaskan Sujarto dalam Widjajanti (2000), karakter dualistik tercermin dalam pola dan struktur kota-kota di Indonesia. Perkembangan kondisi dualistik harus diimbangi dengan kebijakan yang mengatur dan mengendalikan perkembangan tersebut, sehingga diharapkan nantinya tidak terjadi penurunan estetika kota.

(25)

dibuat oleh World Bank sebesar $1 per hari per kapita atau di atas upah minimum regional untuk kota Jakarta sekalipun.

Jadi jelas bahwa sektor informal khususnya PKL memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian sehingga perlu didukung dan difasilitasi. Becker (2004) mengatakan terdapat 13 aspek kunci dalam memandang sektor informal di antaranya adalah perlunya pemerintah memperhatikan dan memfasilitasi sektor ini serta perlunya perbaikan regulasi. Hanya saja selama ini para perencana/aparat pemerintah kota memandang PKL sektor informal lebih sebagai faktor negatif dalam pembangunan wilayah perkotaan. Pandangan negatif tersebut antara lain PKL sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya kemacetan, merusak tata kota (berjualan di tempat yang bukan peruntukannya, membuat lingkungan menjadi kumuh, meninggalkan sampah, pekerja ilegal, dan lain-lain).

Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Firnandy (2002) merekomendasikan bahwa arah kebijakan pengembangan sektor informal memerlukan intervensi langsung maupun tidak langsung dari pemerintah. Timbul pertanyaan, apakah di level nasional atau di level pemerintah kota yang harus lebih dalam melakukan intervensi. Seiring diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, Pemerintah Pusat telah melimpahkan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah untuk mengurusi rumah tangganya. Kewenangan ini juga termasuk upaya penciptaan sistem governance yang baik dengan keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah Kota mempunyai peran yang sangat penting dalam memperbaiki keseluruhan kondisi yang berkaitan dengan keberadaan informal ekonomi perkotaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Soegijoko (1990) yang menyatakan pembangunan suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang pada akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, kota Bogor sebagai kawasan buffer

(26)

Pemerintah Derah, pada tahun 1996 tercatat PKL di titik-titik pusat keramaian berjumlah 2140 pedagang, kemudian pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali lipat menjadi 6340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah PKL meningkat lagi menjadi 10350 pedagang, yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82 % dari para pedagang tersebut berasal dari luar kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50 lokasi PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12000 PKL.

Dari database Pedagang Kaki Lima, Kota Bogor, (2005) ternyata kebanyakan para PKL tersebut bukan penduduk asli kota Bogor. Menurut Wahyu (2003), komposisi PKL adalah 41 % dari luar kota Bogor, 46.2 % dari Kabupaten Bogor dan penduduk kota Bogor sendiri hanya 12.8% (Gambar 1). Jika dilihat dari status kontinuitas usahanya, 46.2 % adalah temporer sedangkan yang permanen sebanyak 53.8 % (Gambar 2).

Gambar 1. Asal Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor

Sumber : Wahyu (2003).

(27)

Gambar 2. Status Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor

Sumber : Wahyu (2003).

Dari catatan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor Tahun 2005, dari 6239 pedagang yang tercatat, 5598 orang (89.73 %) di antaranya adalah laki-laki dan perempuan sebanyak 641 orang (10.27 %), secara grafik dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Jumlah PKL Kota Bogor Tahun 2005 berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber : Disperindagkop Kota Bogor (2005)

Berdasarkan asal modal usaha diperoleh data sebanyak 4879 orang menggunakan modal sendiri sedangkan 1360 orang menggunakan modal pinjaman, baik berupa uang ataupun barang (Gambar 4). Dari Gambar 4 diperoleh

Laki-laki, 5598

Perempuan, 641

(28)

gambaran bahwa mayoritas PKL mampu berusaha dengan modal sendiri serta mengelola sendiri keuangannya.

Studi yang dilakukan oleh Disperindagkop Kota Bogor (2005) menunjukkan besaran omzet penjualan PKL di Kota Bogor. Hasil penelitiannya dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Omzet Penjualan Harian (dalam Rupiah)

Sumber : Disperindagkop Kota Bogor (2005)

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa omzet harian PKL di Kota Bogor cukup besar dimana omzet harian mayoritas PKL (41.29 %) berkisar antara Rp 51 000,- – Rp 100 000,-. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PKL merupakan potensi ekonomi yang menarik bagi masyarakat, karena omzet hariannya yang cukup besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan UMR kota Bogor tahun 2009 (Rp 893 412.00).

Mengenai waktu berjualan, Wahyu (2003) membagi menjadi 9 kategori yaitu pagi, pagi sampai siang, pagi sampai malam, siang sampai sore, siang sampai malam, siang sampai pagi, sore sampai malam, dan sore sampai pagi. Gambar 4 menunjukkan bahwa sebanyak 29.1 % PKL melakukan aktivitas dari pagi – malam, yang kedua adalah sore – malam sebanyak 16.4 % serta sore – pagi sebanyak 16.4 %. Sementara itu waktu pagi dan siang – pagi hanya dimanfaatkan oleh 1.8 % pedagang untuk melakukan aktivitasnya. Dengan demikian seharusnya Pemda dapat mengatur keberadaan PKL secara lebih tepat, mengingat jadwal PKL beraktivitas telah diketahui.

No Omzet Penjualan Jumlah (orang) %

1 20 000 - 50 000 1 083 17.36

2 51 000 - 100 000 2 576 41.29

3 101 000 - 200 000 544 8.72

4 > 200 000 905 14.50

5 Tidak tahu /tidak tentu 1 131 18.13

(29)

Gambar 4. Waktu Berjualan PKL di Kota Bogor

Sumber : Wahyu (2003)

Sebaran PKL mayoritas berada pada sepanjang jalan-jalan utama, dan lebih terkonsentrasi di daerah yang berdekatan atau berada di pasar-pasar dan pusat keramaian lainnya seperti stasiun kereta api dan terminal bis. Keberadaan ini terkait dengan adanya peluang untuk melakukan aktivitas ekonominya secara lebih menguntungkan. Sebaran terpadat berada di daerah Pasar Anyar, Jalan Merdeka, Pasar Bogor, dan Jalan Sukasari. Bahkan untuk kawasan PKL Pasar Anyar dan Jalan Merdeka, sudah sulit dipisahkan. Artinya, kedua kawasan tersebut sudah beraglomerasi secara sempurna (Wahyu, 2003).

(30)

Sisi positif dan negatif keberadaan PKL menyebabkan adanya kebutuhan Pemerintah Kota Bogor untuk memahami peran sektor informal yaitu dalam derajad apa PKL mampu menjadi mata pencaharian bagi penduduk miskin urban dan bagaimana Pemerintah Kota menghadapi tantangan ini untuk pembangunan perkotaan. Dengan demikian maka perlu dilakukan penelitian untuk menemukan akar permasalahan dan alternatif solusi strategi penataan dan pemberdayaan PKL dalam pemerataan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor.

1.2. Permasalahan

Persoalan sektor informal, dalam hal ini PKL, di kota Bogor selalu dilematis. Di satu sisi, PKL berpotensi ekonomi dan sosial, sementara di sisi lain sebagai penyebab menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Eskistensi potensi ekonomi sudah terbukti selama periode krisis dimana PKL dipandang sebagai sebuah alternatif lapangan kerja ketika pemerintah tidak mampu membuka lapangan kerja yang mencukupi bagi warganya. Inilah yang menyebabkan PKL tumbuh subur di kawasan perkotaan, termasuk di kota Bogor.

Di sisi lain, Pemerintah Kota kurang mengantisipasi dalam mengatasi perkembangan sektor informal ini melalui ketersediaan lokasi yang mencukupi sehingga PKL menyebar di kawasan strategis perkotaan seperti kawasan perdagangan, perkantoran, wisata, pemukiman, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Ketidakteraturan lokasi yang disebabkan bentuk fisik aktivitas usaha yang beragam menjadikan visual kota yang telah direncanakan dan dibangun dengan baik, terkesan kumuh dan tidak teratur sehingga menurunkan citra suatu kawasan. Inilah yang menyebabkan aktivitas PKL di kota Bogor dipandang menurunkan kualitas lingkungan perkotaan.

Beragam program telah dilakukan Pemerintah Kota Bogor dalam mencari alternatif pemecahan masalah PKL, antara lain dengan menggusur, merelokasi dan menata aktivitas PKL. Faktanya, setelah program penertiban yang terkadang disertai bentrok fisik antara aparat Pemerintah Kota dengan pedagang, PKL kembali beroperasi di lokasi semula dengan jumlah lebih besar.

(31)

lokasi semula atau kembali ke lokasi yang dilarang Pemerintah Kota, di antaranya adalah karena banyak pembeli, yang identik dengan suatu kerumunan masyarakat dalam jumlah besar secara terus menerus. Kerumunan masyarakat tersebut dapat diidentikkan dengan sebuah pasar atau adanya pusat pembelanjaan, sehingga relokasi yang dilakukan akan berhadapan dengan ada atau tidaknya kerumunan orang seperti yang telah diuraikan. Ketika relokasi dijalankan dan ternyata PKL dirugikan, maka mereka akan kembali ke lokasi semula.

Selain itu di lapangan terlihat bahwa walaupun telah ada penertiban atau penggusuran tetapi jumlah PKL di Kota Bogor tidak menurun. Kondisi ini menuntut adanya penataan ulang dan penanganan masalah PKL secara komprehensif, mencakup karakterisasi dan dapat menangkap permasalahan umum PKL di kota Bogor. Kajian tersebut juga harus dapat mengetahui peranan PKL dalam pembangunan kota Bogor melalui strategi penataan dna pemberdayaan yang tepat, juga harus menganalisis kebijakan yang ada di kota Bogor.

Dari uraian di atas, terdapat beberapa rumusan pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana karakteristik dan permasalahan umum PKL di kota Bogor?

2. Seberapa besar kontribusi PKL terhadap pembangunan ekonomi wilayah kota Bogor?

3. Sejauh mana keberhasilan kebijakan Pemerintah Kota Bogor dalam menata PKL?

4. Bagaimana strategi penataan dan pemberdayaan PKL dalam kaitannya

dengan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis latar belakang dan karakteristik umum PKL serta faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL berdasarkan tipologinya.

2. Menganalisis sejauh mana kontribusi atau peranan PKL di kota Bogor terhadap pembangunan ekonomi wilayah kota Bogor.

(32)

4. Merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL yang lebih menguntungkan semua pihak sehingga dapat bermanfaat bagi pembangunan ekonomi wilayah kota Bogor.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berharga bagi Pemerintah Kota Bogor dalam menjalankan kebijakan pembangunan wilayahnya, khususnya dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Analisis deskriftif terhadap PKL diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi riil PKL Kota Bogor di tengah ketidak-konsistenan data yang tersedia. Melalui metode SWOT kuantitatif (A’WOT) diharapkan strategi yang dirumuskan lebih berbobot dan dapat membantu penanganan PKL secara lebih tepat yang dapat berkontribusi bagi pembangunan kota Bogor.

1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

(33)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunaan dan Ekonomi 2.1.1. Pembangunan Ekonomi

Terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian dari pembangunan ekonomi khususnya di negara-negara berkembang yaitu bagaimana pembangunan ekonomi suatu negara mampu menurunkan angka kemiskinan dalam jangka pendek, serta memberikan jaminan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan pandangan Hayami (2001) bahwa tugas utama ekonomi pembangunan adalah mengeksplorasi kemungkinan pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang. Tujuan utama ekonomi pembangunan adalah mendapatkan jawaban dari pertanyaan bagaimana ekonomi negara-negara berpendapatan rendah saat ini dapat diletakkan pada jalur pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk mencapai tujuan jangka pendek dalam mengentaskan kemiskinan dan tujuan jangka panjang mencapai kesejahteraan ekonomi.

Untuk mencapai tujuan ekonomi pembangunan tersebut terdapat nilai-nilai pokok dan tujuan dari sebuah pembangunan ekonomi. Tiga nilai inti pembangunan tersebut adalah :

- Kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. - Harga diri menjadi manusia seutuhnya.

- Kebebasan sikap dari menghamba.

Menurut Todaro dan Smith (2006), pembangunan memiliki tiga tujuan utama yaitu :

- Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok.

- Peningkatan standar hidup.

- Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial.

(34)

masalah-masalah kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran, dan perubahan-perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan”.

Jika suatu negara telah mampu mengatasi masalah-masalah kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran dan perubahan-perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan maka negara tersebut telah melakukan pembangunan. Jika salah satu dari ketiga masalah mendasar tersebut menjadi semakin buruk maka negara tersebut tidak bisa dikatakan melakukan pembangunan yang positif meskipun pendapatan perkapitanya mengalami peningkatan. Jadi pada intinya keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya dengan mengukur atau melihat besarnya pendapatan nasional ataupun pendapatan per kapita saja, tetapi termasuk juga di dalamnya pemerataan disitribusi pendapatan di masyarakat.

2.1.2. Ekonomi Wilayah

Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari kondisi suatu negara atau wilayah yang sangat mungkin berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan kebijakan pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah harus berbeda-beda karena karakteristik spasial yang berbeda.

Ilmu ekonomi wilayah membahas atau menganalisis kegiatan ekonomi suatu wilayah (atau bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah (Tarigan, 2005)

Teori regional adalah penjelasan tentang perilaku ekonomi di dalam ruang atau spasi, ekonomi regional adalah studi tentang perilaku ekonomi masyarakat dalam ruang di dalam suatu pengaturan spasial mengenai proses dan struktur ekonomi sebagai sub sistem dari perekonomian suatu negara (Adisasmita 2005).

(35)

2.1.3. Pembangunan Ekonomi Wilayah

Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai altenatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Secara konseptual pembangunan adalah suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada atau belum dilakukan sebelumnya (Rustiadi et al, 2009).

Menurut Todaro (2006), pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan memenuhi kebutuhan pokok (subsistence), meningkatkan rasa harga diri atau jati diri ( self-esteem) dan kebebasan (freedom) untuk memilih.

Todaro (2006) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupu n spiritual.

Menurut Anwar (2001), perubahan total di atas secara incremental maupun paradigma adalah mengarahkan pembangunan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan berkelanjutan (sustainability). Tanpa terjadinya pemerataan, efisiensi dan berkelanjutan maka pembangunan tersebut dapat menjadi bumerang bagi suatu wilayah.

(36)

pada pemiskinan wilayah-wilayah sekitarnya, yang ditandai dengan urbanisasi dan migrasi penduduk ke suatu wilayah secara terus-menerus dalam jumlah yang tidak terkendali, yang pada akhirnya menimbulkan kekumuhan dan kemiskinan di wilayah baru tersebut. Menurut Meier dan Baldwin dalam Jhingan (1983), pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan terasa lebih mendesak dari pada pengkajian kemakmurannya.

Prof. G. Myrdal dalam bukunya “Economic Theory and Underdevelopment Region“ mengatakan bahwa negara terbelakang seyogyanya tidak menerima tanpa kritik teori-teori ekonomi yang telah diwariskan, tetapi menyaring dan mencocokkan dengan kepentingan dan permasalahan sendiri, karena jika teori-teori tersebut hendak diterapkan tanpa kehati-hatian pada masalah yang dihadapi maka ia akan celaka (Jhingan, 1983).

Perlu menjadi perhatian serius bagi para pembuat kebijakan ekonomi adalah apa yang dikatakan Yujiro Hayami dalam bukunya “Development Economics From The Poverty to The Wealth of Nation”, bahwa 16 % penduduk dunia ini mendapatkan 80 % dari pendapatan dunia. Sebaliknya, 3.2 milyar penduduk atau hampir 60 % dari populasi dunia, di negara-negara berpendapatan per kapita di bawah $700 mendapatkan 5 % dari pendapatan dunia. Dengan demikian pelepasan diri dari kemiskinan melalui pembangunan ekonomi harus menjadi tujuan nasional bagi negara-negara berpendapatan rendah (Hayami, 2001).

Namun demikian, pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang bukan hanya diinginkan dalam konteks kemanusiaan tetapi juga diperlukan bagi negara-negara maju dimana kedamaian dan kesejahteraan sangat penting untuk menjaga stabilitas internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pemahaman mengenai struktur dan mekanisme ekonomi pendapatan rendah (Hayami, 2001).

2.2. Teori-Teori Lokasi

(37)

pola lokasi tidak banyak berkembang tetapi sudah dirintis oleh beberapa peneliti sejak awal abad 19.

Analisis lokasional ini pada awalnya merupakan pertanyaan inti dari ilmu ekonomi wilayah. Analisis yang dikembangkan oleh von Thunen, Weber, Losch dan Christaller di abad 19 dan awal abad 20 pada dasarnya mencari jawaban-jawaban tentang dimana dan mengapa aktivitas ekonomi memilih lokasi (Rustiadi

et al, 2009)

Pada awalnya (hingga tahun 1950-an) teori lokasi hanya didominasi oleh pendekatan-pendekatan geografis-lokasional atau teori lokasi klasik (von Thunen, Weber, Palander, Hotelling, Predohl, Losch dan lain-lain). Sejak tahun 1950-an, teori lokasi berkembang dengan analogi-analogi ilmu ekonomi umum dan diperkaya analisis-analisis kuantitatif standar ilmu ekonomi, khususnya ekonometrika, dynamic model dan model-model optimasi seiring berkembangnya ilmu kewilayahan (regional science). Sejak akhir tahun 1980-an mulai tumbuh pendekatan-pendekatan metodologis kuantitatif yang mempertimbangkan aspek-aspek spasial, khususnya dengan dimasukkannya pertimbangan autokeralasi spasial dan heterogenitas spasial. Pada tahap-tahap modern, model-model spatio temporal semakin dikembangkan, khususnya dengan berkembangnya metode-metode statistika spasial, ekonometrika spasial dan Sistem Informasi Geografis, (Rustiadi et al, 2009).

2.2.1. Teori Pola Produksi Pertanian Von Thunen

(38)

Dalam menyusun modelnya, von Thunen menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Pusat kota sebagai pusat pemasaran, lokasi di pusat suatu wilayah homogen secara geografis. Bagian pusat adalah pusat pemukiman, pusat industri yang sekaligus merupakan pusat pasar.

2. Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak

3. Petani secara rasional cenderung memilih jenis tanaman yang

menghasilkan keuntungan maksimal.

Dalam menganalisis modelnya, von Thunen menggambarkan suatu kecenderungan pola ruang dengan bentuk wilayah yang melingkar seputar kota, yang didasarkan pada economic rent dimana setiap tipe penggunaan lahan akan menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berbeda-beda, sehingga modelnya disusun berupa zone-zone konsentrik.

Konsep von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya menentukan sewa ekonomi tanah (land rent). Kesimpulan penting yang dapat diambil dari pengembangan teori von Thunen adalah : 1) Kecenderungan semakin menurunnya keuntungan akibat makin jauhnya lokasi produksi dari pasar, namun terdapat perbedaan laju penurunan antar komoditas dan 2) Jumlah pilihan-pilihan menguntungkan yang semakin menurun dengan bertambahnya jarak ke kota atau pusat kota.

(39)

2.2.2. Teori Lokasi Alfred Weber

Alfred Weber seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Jika Von Thunen menganalisis lokasi kegiatan pertanian maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.

Dalam perumusan modelnya, asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Bidang bahasan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen,

konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.

2. Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu-bata tersedia dimana-mana (ubiquitous) dalam jumlah yang memadai.

3. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.

4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas. Berdasarkan asumsi itu, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu : Biaya transportasi; Upah tenaga kerja; dan Dampak aglomerasi dan Deaglomerasi.

(40)

Aglomerasi memberikan keuntungan antara lain berupa: fasilitas seperti tenaga listrik, air, perbengkelan, pemondokan, dan lain-lain. Sering kali pada lokasi seperti ini sudah terdapat pula tenaga kerja yang terlatih. Fasilitas ini akan menurunkan biaya produksi atau kebutuhan modal karena kalau terpisah jauh semua fasilitas harus dibangun sendiri.

Aglomerasi Versi Weber. Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus industri. Aglomerasi juga bisa dibagi mencadi dua macam, yaitu aglomerasi primer di mana perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan perusahaan lama dan aglomerasi sekunder jika perusahaan yang baru beroperasi adalah perusahaan yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada perusahaan yang lama. Beberapa sebab yang memicu terjadinya aglomerasi : 1) Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut; 2) Suatu perusahaan menjadi daya tarik bagi perusahaan lain; 3) Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil menjadi besar, sehingga menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang perusahaan yang membesar tersebut; 4) Perpindahan suatu kegiatan produksi dari satu tempat ke beberapa tempat lain; 5) Perusahaan lain mendekati sumber bahan untuk aktifitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk saling menunjang satu sama lain.

Deglomerasi. Deglomerasi adalah suatu kecenderungan perusahaan untuk memilih lokasi usaha yang terpisah dari kelompok lokasi perusahaan lain. Beberapa sebab yang memicu terjadinya deglomerasi: 1) Harga buruh yang semakin meningkat di daerah padat industri; 2) Penyempitan luas tanah yang dapat digunakan karena sudah banyak dipakai untuk perumahan dan kantor pemerintah; 3) Harga tanah yang semakin tinggi di daerah yang telah padat; 4) Sarana dan prasarana di daerah lain semakin baik namun harga tanah dan upah buruh masih rendah.

2.2.3. Teori Lokasi August Losch

(41)

jauh dari pasar, konsumen enggan membeli karena biaya transportasi (semakin jauh tempat penjualan) semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar.

Losch menyarankan lokasi produksi ditempatkan di dekat pasar (Centre Business District). Kontribusi utama Losch adalah memperkenalkan potensi permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam lokasi industri, Kedua, kritik terhadap pendahulunya yang selalu berorientasi pada biaya terkecil; padahal yang biasanya dilakukan oleh industri adalah memaksimalkan keuntungan (profit– revenue maximation) dengan berbagai asumsi, Losch mengemukakan bagaimana economic landscape terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara

supply dan demand.

August Losch merupakan orang pertama yang mengembangkan teori lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama. Teori ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi. Losch berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tak teratur dapat diketemukan pola keberaturan. Teori Losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber bahan mentah dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama. Kegiatan ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala kecil yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-masing. Perdagangan baru terjadi bila terdapat kelebihan produksi. Untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang Losch harus memenuhi beberapa syarat sebaai berikut : 1) Setiap lokasi industri

harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli; 2) Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata

sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani; 3) Terdapat free entry dan tak ada petani yang memperoleh super-normal propfit sehingga tak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut; 4) Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum dan 5) Konsumen bersikap

(42)

mampu memenuhi permintaan yang karena jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga jualnya juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang. Hal ini mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk melayani permintaan yang belum terpenuhi. Dengan makin banyaknya petani yang menawarkan produk yang sama, maka akan terjadi dua keadaan : 1) Seluruh daerah akan terlayani; 2) Persaingan antar petani penjual akan semakin tajam dan saling berebut pembeli. Losch berpendapat bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan mengecil dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk ini dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan produksi yang bersangkutan. Keseimbangan yang dicapai dalam teori Losch berasumsi bahwa harga hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh karenanya keseimbangan akan terganggu bila salah seorang penjual menaikkan harga jualnya. Keputusan ini mengakibatkan tidak hanya pasar menyempit karena konsumen tak mampu membeli tapi sebagian pasar akan hilang dan direbut oleh penjual yang berdekatan. Untuk memperluas jangkauan pasar dapat dilakukan dengan menjual barang yang berbeda jenis dari yang sudah ditawarkan.

2.2.4

Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul Central Places In Southern Germany. Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri dimana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem K=3 dari Christaller (Tarigan, 2005).

Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri berikut:

1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama.

2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface).

(43)

4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak atau biaya.

Luas pemasaran minimal sangat tergantung pada tingkat kepadatan penduduk pada wilayah asumsi. Makin tinggi kepadatan penduduk makin kecil wilayah pemasaran minimal, begitu sebaliknya. Wilayah pemasaran minimal disebut

thereshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam ruang

threshold. Apabila ada, salah satu akan gulung tikar atau kedua-duanya akan gulung tikar dan kemudian muncul pengusaha baru.

Model Chistaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal sebagai berikut:

1. Mula-mula terbentuk areal perdagangan satu komoditas berupa lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold

dari komoditas tersebut.

2. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.

3. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih.

4. Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri. Dengan menggunakan k=3, barang orde I lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde II. Barang orde II lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde III, dan seterusnya. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang-tindih. Berdasarkan model k=3, pusat dari hierarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hierarki yang lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada pengaruh dari tiga hierarki yang lebih tinggi darinya.

(44)

Uraian tentang range dan thereshold dapat menjelaskan mengapa terjadi konsentrasi dari berbagai jenis usaha pada satu lokasi tetapi konsep itu tidak dapat menjelaskan mengapa dipasar juga ada kecenderungan bahwa pedagang dari komoditas sejenis juga memilih untuk berlokasi secara berkonsentrasi atau berdekatan. Konsep tidak memungkinkan produsen atau pedagang sejenis berada berdekatan karena pada satu ruang threshold hanya boleh ada satu produsen atau pedagang.

Apabila berdekatan harus ada yang gulung tikar dan yang tersisa hanya satu produsen atau pedagang. Jadi kemungkinan penyelesaiannya adalah hanya mungkin lewat penelaahan sikap manusia. Adalah menjadi sifat manusia untuk berusaha mendapatkan barang yang diinginkan dalam batas waktu tertentu dengan harga yang semurah mungkin. Apabila pembeli hanya berhadapan dengan seorang penjual, harga yang ditawarkan penjual menjadi tidak jelas bagi pembeli, apakah harga itu adalah harga terendah yang dapat dia peroleh atau tidak. Dengan berkumpulnya banyak penjual barang sejenis pada lokasi yang sama, pembeli mendapat kesempatan untuk membandingkan harga di antara para penjual dan akan membeli pada penjual yang menawarkan harga terendah (pembeli butuh informasi untuk membuat keputusan). Hal ini membuat lokasi yang memiliki banyak penjual barang sejenis, lebih memiliki daya tarik bagi pembeli ketimbang lokasi yang hanya memiliki sedikit penjual.

2.3. Sektor Informal

Seringkali sektor ekonomi dibagi menjadi sektor formal dan informal. Pembagian ini lebih didasarkan pada kaitannya dengan perijinan dan regulasi dari pemerintah setempat. Dikatakan sektor formal bila sektor ekonomi terdaftar pada pemerintah dan informal jika tidak terdaftar. Dikotomi ini menghasilkan implikasi kebijakan yang berbeda pada pemerintah lokal dan nasional. Bukti empiris menunjukkan bahwa justru sektor informal yang mampu menjadi katup penyelamat ekonomi nasional selama krisis.

(45)

2.3.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), usaha mikro adalah usaha ekonomi produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Menurut Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil, usaha yang diklasifikasikan sebagai usaha kecil adalah yang memenuhi kriteria: (a) memiliki aset kurang dari atau sama dengan Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan, (b) omzet tahunan kurang dari atau sama dengan Rp 1 milyar, (c) dimiliki oleh orang Indonesia, (d) independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah-besar dan (e) boleh berbadan hukum, boleh tidak. Badan Pusat Statistik (BPS) lebih menspesifikkan jenis usaha dengan membaginya menjadi usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah berdasarkan jumlah pekerjanya. Usaha mikro adalah usaha dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar. Usaha kecil adalah usaha dengan jumlah pekerja 5-19 orang.

(46)

Definisi dan kriteria industri kecil dari berbagai departemen disajikan pada Tabel 3. Namun demikian, para ahli ekonomi dan pembangunan di Indonesia seringkali men-generalisasikan industri rumah tangga sebagai sektor usaha kecil menengah (UKM).

Tabel 3. Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen

Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria

Menneg

Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin.

• Dimiliki oleh keluarga, sumber daya lokal dan teknologi sederhana

• Lapangan usaha mudah untuk exit dan Menengah (SK Dir BI

No. 30/45/Dir/UK tgl. 5 Januari 1997)

Aset ≤ Rp 5 milyar untuk sektor industri • Aset ≤ Rp 600 juta di luar tanah dan

bangunan untuk sektor non industri manufakturing

• Omzet tahunan < Rp 3 milyar Bank Dunia Usaha Mikro

Kecil-Menengah

Realitas membuktikan bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi, sektor UKM mampu bertahan bahkan menjadi penyelamat perekonomian nasional. UKM yang saat ini jumlahnya diperkirakan 40,19 juta unit usaha memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2001 diperkirakan UKM memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 54,74 % (Karyadi 2004). Dewasa ini tercatat ada 2,9 juta unit UKM yang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 66,83 juta atau 89 % angkatan kerja dan memberikan kontribusi berarti (39,8 %) bagi PDB nasional (Bisnis.com 2004).

Gambar

Tabel 3.  Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen
Gambar 5.  Kebijakan Publik
Gambar 6.  Proses Kebijakan Publik Sumber : Nugroho (2004)
Gambar 8. Alur Kebijakan Publik berdasarkan  Sumber Daya Ekonomi Sumber : http://www.scribd.com
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan di atas, dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut (1) bahan ajar matematika bercirikan Guided Discovery Learning

Wahana Makmur Bersama menunjukkan hasil bahwa rencana investasi yang akan dilakukan layak untuk dilaksanakan dan dapat meningkatkan penghasilan yang lebih baik.. Pada

Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa fungsi bintang terdapat tiga menurut periwayatan, yakni sebagai navigasi atau arah petunjuk perjalanan dalam ilmu pengetahuan

Analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan fitokimia tepung daun katuk dalam ransum berbasis pakan lokal tidak berpengaruh nyata (P&gt;0,05) terhadap konsumsi

Persentase kadar glukosa pada Tabel 1 ternyata menunjukkan bahwa dosis ekstrak daun kelor 30% memiliki ke- mampuan untuk menurunkan kadar glukosa yang paling

• Aset tetap dengan biaya perolehan Rp 100 000 dan • Aset tetap dengan biaya perolehan Rp 100.000 dan akumulasi penyusutan Rp 55.000 dilakukan revaluasi dan menghasilkan g nilai Rp

Sehubungan dengan dilaksanakannya proses evaluasi dokumen penawaran dan dokumen kualifikasi, Kami selaku Panitia Pengadaan Barang dan Jasa APBD-P T. A 2013 Dinas Bina Marga

Penelitian Wulan Asnuri 2013 yang berjudul “Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia” dengan menggunakan ECM sebagai alat analisis