• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam jenis ektoparasit dan manajemen penangkaran biawak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ragam jenis ektoparasit dan manajemen penangkaran biawak"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

RAYA AKBAR RAMADHAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RAGAM JENIS EKTOPARASIT

DAN MANAJEMEN PENANGKARAN BIAWAK

RAYA AKBAR RAMADHAN

SKRIPSI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Management Captive Breeding of Monitor Lizard. Under Supervision ERNA SUZANNA and SUSI SOVIANA

Ectoparasite is arthropods or invertebrate organism lived on the surface of their host’s body. The presence of ectoparasites on monitor lizard increased the appearance of illness’ symptoms or injury that may lead to the decrease of both Lizard’s health and skin quality. Ectoparasites infection may cause a lot of disadvantage both to the management and the infected animal.

The research was aimed at identifying the variety of ectoparasites on yellow monitor lizard, blue tail monitor lizard, and dumeril monitor lizard, managed in captive breeding of PT Mega Citrindo; identifying the relation between captive breeding management and ectoparasite infection, and: observing the behaviour of monitor lizards’ in the cage. Research was conducted on July – August 2010. Data collected were species of ectoparasites found, ectoparasite’s habitat, captive breeding management system, and monitor lizard’s behaviour using observation method. The data collected were analysed using descriptive and qualitative analyses.

The ectoparasites found in the research were mites on the yellow monitor lizards, and tick from genus Amblyomma and genus Aponomma on blue tail monitor lizard, and dumeril monitor lizard. The degree of infection of tick found on monitor lizards were low to moderate, however a high degree of infection (more than 11 ticks) were found on the back regio of one monitor lizard individual.

The far distance between monitor lizard’s cage with other reptiles’ cages, and high intensity of sun ray were assumed to be the cause of the absence of ticks on the yellow monitor lizards. The observed behaviour of both infected and uninfected monitor lizards in captive breeding of PT Mega Citrindo were stay still, walk, stuck out its tongue, and sunbathing.

(4)

RINGKASAN

RAYA AKBAR RAMADHAN (E34060430). Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak. Dibimbing oleh ERNA SUZANNA dan SUSI SOVIANA

Ektoparasit merupakan organisme arthropoda atau invertebrata yang hidup pada permukaan tubuh inangnya. Keberadaan ektoparasit pada biawak menimbulkan gejala-gejala sakit atau luka yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas kesehatan dan kulit biawak. Infestasi ektoparasit menimbulkan banyak kerugian baik untuk pengelola maupun satwa yang terinfeksi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ragam jenis ektoparasit pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril yang dikelola oleh PT Mega Citrindo; mengidentifikasi hubungan manajemen penangkaran dengan infestasi ektoparasit, dan; mengamati perilaku biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di dalam kandang. Penelitian dilakukan dari bulan Juli hingga Agustus 2010. Data yang dikumpulkan meliputi jenis ektoparasit yang ditemukan, habitat ektoparasit, sistem manajemen penangkaran, dan perilaku biawak dengan menggunakan metode observasi/pengamatan. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan kualitatif.

Jenis ektoparasit yang ditemukan dalam penelitian ini adalah tungau pada biawak kuning, dan caplak dari genus Amblyomma sp. dan Aponomma sp. pada biawak ekor biru dan biawak dumeril. Derajat infestasi caplak yang ditemukan masuk ke dalam kategori ringan sampai sedang, namun ditemukan caplak dengan jumlah lebih dari 11 individu (kategori tinggi) pada regio punggung dari satu individu biawak. Letak kandang yang tidak dekat dengan kandang reptil jenis lain dan intensitas matahari tinggi dalam kandang dapat merupakan faktor penyebab tidak ditemukannya caplak pada biawak kuning. Perilaku biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril di PT Mega Citrindo meliputi diam, berjalan, menjulurkan lidah, dan berjemur.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak

Nama : Raya Akbar Ramadhan

NRP : E34060430

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. drh. Erna Suzanna, M.Sc.F. Dr. drh. Susi Soviana, M.Si. NIP.19640808 199002 2 001 NIP.19630927 199002 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Alah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak yang dilaksanakan dari bulan Juli hingga Agustus 2010.

Harapan penulis hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh penangkaran PT Mega Citrindo di dalam pengelolaan manajemen. Selain itu, data serta saran yang diberikan didalam skripsi dapat menjadi bahan kebijakan PT Mega Citrindo dalam upaya menjaga kesehatan satwa khususnya akibat ektoparasit.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya. Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Maret 2011

(8)

ii

RIWAYAT HIDUP

Raya Akbar Ramadhan lahir di Kota Sukabumi pada tanggal 18 Mei 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Suryana Purawisastra dan Ibu Nora Rita Atikah.

Pendidikan yang pernah diperoleh penulis adalah : 1. Taman Kanak-kanak Sandi Putera, Bogor. Lulus pada tahun 1994

2. Sekolah Dasar Negeri Pengadilan 1, Bogor. Lulus pada tahun 2000

3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta Al-Azhar Plus Bogor. Lulus pada tahun 2003

4. Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bogor. Lulus pada tahun 2006

Pada Tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Bogor. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk (USMI). Penulis memilih Program Studi Mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ragam Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada orang-orang yang telah terlibat langsung atau pun tidak langsung. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :

1. Ibu Dr. drh. Erna Suzanna, MSc. F dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, MSi., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam mengarahkan dan memberi saran serta masukan kepada penulis.

2. Dosen penguji yang telah bersedia dan menyediakan waktunya, kepada Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS, selaku perwakilan Departemen Silvikultur, Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS, selaku perwakilan Departemen Manajemen Hutan, dan Ibu Anne Carolina, S.Si, MSi selaku perwakilan dari Departemen Hasil Hutan.

3. Papah, Mamah, dan Kakak tercinta Giasti Pustikasari serta Keluarga Besar atas segala doa dan kasih sayang, serta dukungan moral dan materi kepada penulis.

4. Seluruh staff pengajar karyawan/wati di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

5. Pak Andre sebagai pemilik Penangkaran PT. Mega Citrindo dan pak Heru yang telah bersedia memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian di PT. Mega Citrindo serta mas Supar, mas Tama, mas Yudi, mas Ali serta mas Komeng sebagai petugas kandang atas saran dan bantuannya selama penelitian.

6. Detta Olyvia Nirwana yang tidak henti-hentinya memberikan semangat. 7. Seluruh karyawan Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan

IPB yang telah membantu selama penelitian.

(10)

iv

penulis, juga kepada Arga, Oby, Yunus, Afroh, Haray, Junef, Maiser, Marolop, Chacha, Reni, Ari S, Fiona, dan Nano yang banyak membantu dalam persiapan seminar dan sidang komprehensif.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat di bidang ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2011

(11)
(12)

vi

3.3.4 Pengamatan Perilaku Harian 19

3.4Analisis Data 19

3.4.1 Analisis Deskriptif 19

3.4.1 Analisis Kuantitatif 19

BAB IVKONDISI UMUM LOKASI 4.1Lokasi 20

4.2Topografi 20

4.3Sejarah 20

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ragam Jenis Ektoparasit pada Biawak 22

5.1.1 Biawak Kuning 22

5.1.2 Biawak Ekor Biru 23

5.1.3 Biawak Dumeril 25

5.2 Manajemen Penangkaran 27

5.2.1 Kondisi Kandang 27

5.2.2 Manajemen Pakan 37

5.2.3 Manajemen Kesehatan Satwa 38

5.3 Pola Perilaku Harian 39

5.3.1 Perilaku Biawak Kuning 40

5.3.2 Perilaku Biawak Ekor Biru 40

5.3.3 Perilaku Biawak Dumeril 41

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 42

6.2 Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Ragam jenis ektoparasit pada reptil 11

2. Peralatan penelitian lapangan 15

3. Peralatan pengawetan dan identifikasi ektoparasit 16

4. Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak ekor biru 23

5. Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak dumerili. 25

6. Komposisi kandang permanen 28

7. Komposisi kandang boks 31

(14)

viii

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Penyebaran biawak kuning di Kepulauan Sula dan Obi 4

2. Penyebaran biawak ekor biru di sekitar Papua Nugini dan daratan Australia.. 4

3. Penyebaran biawak dumeril di kawasan Sunda Asia Tenggara. 5

12. Letak caplak yang ditemukan pada biawak : (a) punggung (b) perut (c) kaki belakang. 24

18. Pengkayaan kandang (enrichment) : (a) kandang biawak dumeril, (b) kandang biawak ekor biru, dan (c) kandang biawak kuning. 34

19. Jenis shelter : (a) alami, (b) buatan, kandang biawak kuning, (c) buatan, kandang biawak ekor biru. 35

20. Kegiatan pembersihan kandang : (a) luar kandang (b) dalam kandang (c) kandang box. 36

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Hasil pengamatan perilaku 48

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan satu negara di dunia yang memiliki potensi keanekaragaman satwaliar yang sangat tinggi. Keanekaragaman tersebut dapat terlihat dari beraneka ragamnya spesies satwaliar yang terdiri atas burung, mamalia, reptil dan amphibi yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia. Biawak kuning (Varanus melinus), biawak ekor biru (Varanus doreanus), dan biawak dumeril (Varanus dumeril) adalah contoh satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Selain biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril, terdapat beberapa spesies biawak yang dapat ditemukan hanya di Indonesia antara lain biawak timor (Varanus timorensis), biawak kalimantan (Varanus borneensis), biawak abu-abu (Varanus nebulosus), biawak cokelat (Varanus gouldii) dan biawak hijau (Varanus prasimus).

Dewasa ini trend menjadikan satwa reptil sebagai hewan peliharaan mulai berkembang di Indonesia. Biawak merupakan satwa yang memiliki potensi komersial. Kulitnya yang indah, kuat dan dagingnya yang mempunyai khasiat sebagai obat penyakit kulit banyak diincar oleh pemburu-pemburu. Upaya penyelamatan populasi biawak ini antara lain dengan dibuatnya penangkaran eks-situ. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan di dalam penangkaran antara lain adalah, pemeliharaan lingkungan kandang, pemberian makanan, kekayaan kandang (enrichment), dan kesehatan satwa. Lingkungan di dalam penangkaran yang kurang bersih dapat menimbulkan bibit penyakit untuk biawak, baik yang disebabkan oleh parasit (ektoparasit dan endoparasit), bakteri dan virus. Kesehatan satwa di dalam penangkaran merupakan aspek yang harus diperhatikan, karena berkaitan dengan kesejahteraan satwa.

(17)

Penyakit biawak yang disebabkan oleh parasit (ektoparasit dan endoparasit) perlu diperhatikan oleh pihak manajemen penangkaran. Selain akibat traumatis (perkelahian), infestasi ektoparasit juga mengakibatkan penurunan kualitas kulit biawak. Ditemukannya ektoparasit pada tubuh biawak atau pun di sekitar areal penangkaran biawak merupakan salah satu indikator adanya infestasi ektoparasit. Infestasi ektoparasit menimbulkan banyak kerugian baik untuk pengelola maupun satwa yang terinfeksi. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat belum adanya kajian mengenai ektoparasit pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di penangkaran.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi ragam jenis ektoparasit pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.

2. Mengidentifikasi hubungan manajemen penangkaran dengan infestasi ektoparasit.

3. Mengamati perilaku biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di dalam kandang.

1.3 Manfaat

1. Memberikan masukan terhadap manajemen penangkaran, khususnya pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Klasifikasi Biawak

Klasifikasi ilmiah dari biawak adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Reptilia Ordo : Squamata Famili : Varanidae Genus : Varanus

Spesies : Biawak kuning (Varanus melinus) atau quince lizard monitor, Biawak ekor biru (Varanus doreanus) atau blue tail lizard monitor, dan Biawak dumeril (Varanus dumerilii) atau Brown Rough Necked, dumeril’s monitor.

Biawak merupakan hewan yang masuk dalam golongan kadal besar, dalam suku biawak-biawakan (varanidae). Di Indonesia terdapat banyak jenis biawak, tiga diantaranya adalah biawak kuning (Varanus melinus), biawak ekor biru (Varanus doreanus), dan biawak dumeril (Varanus dumerilii).

2.2Penyebaran

(19)

Gambar 1 Penyebaran biawak kuning di Kepulauan Sula dan Obi. (Sumber : Anonim VI 2010).

Biawak ekor biru merupakan salah satu spesies biawak di Indonesia. Penyebarannya disekitar Indonesia bagian timur, yaitu Papua Nugini dan Australia (semenanjung Cape York). Berikut adalah gambar penyebaran dari spesies biawak ekor biru (Gambar 2).

Gambar 2 Penyebaran biawak ekor biru di sekitar Papua Nugini dan daratan Australia (lingkaran hitam).

(Sumber : Anonim II 2008).

Biawak dumeril juga dapat dijumpai di Indonesia. Menurut Cox et al.

(1998) diacu dalam dalam Yong et al. (2008) habitat biawak dumeril ini adalah di dataran rendah dan mangrove di kawasan Sunda Asia Tenggara. Biawak dumeril ini berasal dari Semenanjung Tanah Melayu, Sumatera, dan Kalimantan, termasuk Pulau Bangka, Belitung, dan Kepulauan Riau (Bennet 1995, diacu dalam Yong et al. 2008).

U

(20)

5

Gambar 3 Penyebaran biawak dumeril di kawasan Sunda Asia Tenggara (warna merah).

(Sumber : Anonim V 2010)

2.3Morfologi

Biawak merupakan jenis kadal terbesar. Salah satu jenis biawak terbesar yang dapat ditemukan di Indonesia adalah komodo (Varanus komodoensis). Auffenberg (1981a) diacu dalam Bennet (1998) mengatakan biawak terkecil yang ditemukan adalah Varanus brevicauda dengan ukuran panjang kurang lebih 23 cm dan berat 20 g. Ditemukan juga biawak air asia (Varanus salvator) terpanjang di Sri lanka dengan panjang 321 cm.

Ukuran tubuh biawak menunjukkan variasi yang banyak dibanding famili dari satwa lain (Pianka 1995) diacu dalam Bennet (1998). Famili yang termasuk dari dua jenis biawak yang berukuran besar yaitu Varanus komodoensis dan biawak terbesar yang pernah ada Megalinia prisca (Bennett 1998).

(21)

Gambar 4 Biawak kuning (Varanus melinus). (Sumber : Dokumen pribadi)

Untuk jenis biawak ekor biru anakan atau juvenile, panjang totalnya dapat mencapai 4-5 kaki (Anonim II 2010). Secara morfologi biawak ekor biru memiliki ciri-ciri fisik seperti warna badan gelap kebiru-biruan dengan totol kuning, warna leher putih-kuning, warna ekor biru dengan pola garis vertikal (Gambar 5).

Gambar 5 Biawak ekor biru (Varanus doreanus). (Sumber : Dokumen pribadi)

(22)

7

Gambar 6 Biawak dumeril (Varanus dumerilii). (Sumber : Dokumen pribadi)

2.4Habitat dan Makanan

Habitat adalah suatu daerah yang merupakan kawasan yang terdiri dari berbagai komponen fisik dan biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak (Alikodra 1990). Biawak melakukan aktivitas di hutan rawa, karena pada tipe habitat ini biawak lebih mudah menjumpai mangsa yang sedang melakukan aktivitas mencari makan dan minum di sekitar daerah perairan (Iyai dan Pattiselano 2005).

Biawak merupakan satwa predator, yaitu satwa pemangsa atau pemakan daging (karnivora). Menurut Bennet (1998) biawak memakan serangga, kerang, dan sisa-sisa ikan dari biawak dewasa, sedangkan biawak dewasa memakan ular, penyu, telur dan anak buaya, burung, katak, tikus, kera, rusa kecil, bangkai hewan dan bangkai manusia. Shine et al. (1998) menyatakan bahwa biawak memangsa jenis-jenis vertebrata seperti kucing, tikus, ayam dan jenis invertebrata seperti serangga dan kepiting.

(23)

antara lain serangga, kepiting, ikan, telur, mamalia kecil dan burung (Anonim VII 2010).

2.5Perilaku

Perilaku merupakan salah satu ekspresi yang ditunjukkan oleh satwa, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya baik itu internal maupun eksternal (Suratmo 1979). Terdapat beberapa perbedaan sifat perilaku pada satwa yang dipelihara dan satwa liar. Perilaku dikelompokkan menjadi beberapa pola perilaku utama oleh Scott’s (1950) dalam Lehner (1979), yaitu :

1. Perilaku makan dan minum (ingestive behaviour) 2. Perilaku mencari tempat berlindung (shelter seeking) 3. Perilaku bertentangan (agonistic behaviour)

4. Perilaku memelihara (epimeletic behaviour) 5. Perilaku ingin dipelihara (et-epimeletic behaviour) 6. Perilaku meniru (allelomimetic behaviour)

7. Perilaku membuang kotoran (eliminative behaviour) 8. Perilaku memeriksa (investigate behaviour)

Bentuk perilaku biawak yang sudah menjadi rutinitas harian adalah berjemur (basking). Menurut Gumilang (2002) basking dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.30-10.00 WIB dan menjelang sore hari pada pukul 15.30-17.30 WIB dengan lama waktu rata-rata berjemur 87 menit.

(24)

9

Gambar 7 Ilustrasi perilaku sosial biawak. (Sumber : Bennet 1993a)

2.6Status

Biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril termasuk dalam daftar CITES. CITES atau singkatan dari Convention on International Trade in Endangered Species, adalah konferensi yang membahas mengenai status perlindungan satwa di dalam perdagangan. Status biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril masuk ke dalam kategori Appendiks II, yang artinya pemanfaatan hanya boleh dilakukan dari hasil penangkaran, dan pengambilan di alam jumlahnya dibatasi dengan kuota tertentu.

Kurang lebih 10 juta berbagai jenis reptil dibunuh untuk dimanfaatkan kulit dan dagingnya yang dipercaya masyarakat dapat dijadikan sebagai obat. Indonesia merupakan salah satu pengekspor kulit reptil yaitu 83% dari kebutuhan kulit dunia dan 75% produk kulit tersebut berasal dari Kalimantan dan Sumatera (Endelen 1998, diacu dalam Gumilang 2001).

2.7Prinsip Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare)

Didalam pengelolaan penangkaran harus memperhatikan lima prinsip umum kesejahteraan satwa liar, yaitu :

(25)

4. Bebas berperilaku liar alami. 5. Bebas dari rasa takut dan stress.

2.8Ektoparasit

2.8.1 Definisi Ektoparasit

Ektoparasit merupakan organisme arthropoda atau invertebrata yang hidup di bagian luar dari tempatnya bergantung, atau pada permukaan tubuh inangnya. Sebagian besar kelompok ektoparasit terdiri dari golongan serangga (kelas Insekta), dan lainnya adalah kelompok Acari (kelas Arachnida) seperti caplak atau sengkenit, dan tungau (Borror et al. 1992). Perbedaan utama morfologi antara kelas Insekta dan kelas Arachnida (Borror et al. 1992) adalah insekta memiliki bentuk tubuh memanjang seperti tabung dilengkapi sayap, dan tubuhnya terbagi atas tiga bagian yaitu kepala, toraks, dan abdomen, sedangkan kelas Arachnida khususnya kelompok Acari memiliki ciri tubuh bulat telur, dengan sedikit atau tidak ada perbedaan dari dua daerah tubuh (dorsal dan ventral), secara umum pada stadium larva mempunyai tiga pasang tungkai, setelah stadium dewasa mempunyai empat pasang tungkai dan tidak dilengkapi sayap.

Ektoparasit yang banyak dijumpai di Indonesia antara lain adalah kelas serangga seperti nyamuk dan lalat (Diptera), kecoa (Dictyoptera), kutu (Phtiraptera), kutu busuk (Hemiptera), dan pinjal (Siphonaptera) serta kelas arachnida seperti tungau dan caplak (Hadi & Soviana 2000). Menurut Wall & Shearer (2001) terdapat dua sifat ektoparasit, yaitu ektoparasit yang sangat bergantung terhadap inangnya disebut obligat, dan ektoparasit yang tidak terlalu tergantung terhadap inangnya disebut fakultatif.

2.8.2 Ektoparasit pada Reptil

(26)

11

Tabel 1 Ragam jenis ektoparasit pada reptil

No Ektoparasit

Ornithodorus sp., Amblyoma sp.

Calliphoridae (lalat hijau),yang menyebabkan miasis, seperti :

Cuterebra sp.

Sarcophaga sp.

Calllitroga sp.

Lintah: terutama pada reptil yang bersifat akuatik, khususnya kura-kura.

Chiggers (larva tungau) : tungau dari famili Trombiculidae

2.8.3 Caplak (tick)

(27)

Keping tengah Gambar 8 Caplak keras dari famili Ixodidae.

(Sumber: Hadi et al. 2008)

Infestasi caplak dapat membahayakan satwa dan manusia di sekitarnya. Hal ini disebabkan caplak dapat berperan sebagai agen pembawa penyakit (vektor) yang menularkan kepada manusia ataupun satwa di sekitarnya. Enam jenis penyakit yang dibawa oleh caplak menurut Wooley (1988), yaitu :

1. Rickettsiosis oleh patogen Rickettsial : Rocky Mountain Spotted Fever (RMSF) ; Japanese river fever, penyakit Tsutsugamushi

2. Colorado tick fever oleh Virus 3. Bakteri, spirochaetal : demam 4. Babesia bigemina oleh Protozoan 5. Infeksi kecacingan.

6. Tick paralysis yakni penurunan aktifitas motorik / kelumpuhan akibat sekresi saliva yang bersifat neurotoksik (racun saraf).

Caplak juga memiliki beberapa kemampuan yang meningkatkan berpotensinya menjadi vektor. Menurut Wooley (1988) terdapat beberapa hal yang menyebabkan caplak unggul sebagai vektor, yaitu :

1. Saliva yang diberikan memberikan narcotizing efek dan bersifat mematikan. 2. Caplak menghisap darah dan harus memiliki persediaan makanan untuk

(28)

13

3. Caplak keras menghisap darah dengan lambat dan membutuhkan waktu beberapa hari untuk caplak betina mencapai engorged, kemungkinan sangat besar patogen akan masuk ke dalam tubuh inang.

4. Narcotizing efek dari saliva membuat keberadaan caplak tidak dirasakan oleh inangnya.

5. Caplak dapat hidup pada lingkungan yang ekstrim dan dapat bertahan dalam beberapa periode tanpa makanan.

(29)

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga. Waktu pelaksanaan dimulai dari bulan Juli hingga Agustus 2010.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat dan Bahan Pengambilan Data Lapang

Berikut adalah peralatan yang digunakan didalam pengambilan data di lapang (Tabel 2).

Tabel 2 Peralatan penelitian lapangan

No Nama Alat Kegunaan

1 Kamera digital Mengambil gambar kandang, biawak,

kegiatan manajemen kandang, dan

ektoparasit

2 Pencapit / Hook Menangkap biawak

3 Stopwatch Mengukur waktu perilaku biawak

4 Botol spesimen Menyimpan ektoparasit yang ditemukan

5 Pinset Mengambil ektoparasit

6 Label Untuk informasi atau keterangan

7 Termometer dry wet Mengukur suhu dan kelembapan kandang

8 Box Untuk menyimpan alat-alat

9 Meteran Jahit Alat untuk mengukur

Bahan-bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.

3.2.2 Alat dan Bahan Pengawetan Identifikasi Spesimen Ektoparasit

(30)

16

Tabel 3 Peralatan pengawetan dan identifikasi ektoparasit

No Nama Alat Kegunaan

1 Microskop Zeiss stereo (3D) Melihat bentuk ektoparasit khususnya caplak

yang belum diawetkan ke dalam preparat

kaca

2 Mikroskop Bausch & Lomb Melihat bentuk ektoprasit yang sudah dibuat

kedalam preparat kaca

3 Bunsen Alat pemanas

4 Korek api Alat pembakar

5 Oven Mengeringkan preparat yang masih basah

6 Tabung reaksi Wadah untuk ektoparasit

7 Cawan petri Wadah untuk melihat ektoparasit

8 Buku Ektoparasit (Hadi et al.

(2008), Levine (1990), Kolonin

(2009))

Untuk mengidentifikasi ektoparasit

9 Preparat kaca dan cover glass Tempat untuk ektoparasit diawetkan

Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, 80%, dan 90% untuk mendehidrasikan ektoparasit. Kalium Hidroksida (KOH) 10 % untuk menipiskan lapisan kitin pada ektoparasit, xylol untuk membersihkan kotoran di dalam tubuh, larutan lactophenol untuk membersihkan kitin pada tungau, minyak cengkeh, larutan Hoyer, dan Canada balsam. Selain itu bahan lainnya adalah spesimen caplak dan tungau yang ditemukan pada biawak.

3.3 Metode Pengambilan Data

3.3.1 Pengambilan Spesimen Ektoparasit A. Koleksi

(31)

Ektoparasit yang telah tertangkap dimasukkan ke dalam tabung spesimen yang telah diisi dengan alkohol 70% dan di beri label sesuai dengan regio tubuhnya untuk diawetkan.

Keterangan : I = regio kepala, II = regio kaki, III = regio badan (punggung dan perut), IV = ekor

Gambar 9 Pembagian tubuh biawak (regio) dalam koleksi ektoparasit.

B. Pengawetan Spesimen

Spesimen ektoparasit yang telah didapat selanjutnya dilakukan pengawetan dengan dua cara yaitu pengawetan basah dan kering. Tata cara pengawetan tercantum dalam Hadi et al. (2008). Untuk pengawetan basah dilakukan dengan cara menyimpan spesimen ektoparasit dalam tabung yang berisi alkohol 70%. Untuk pengawetan kering dilakukan dengan menyimpan spesimen ektoparasit dalam keadaan kering di dalam kaca preparat. Tata cara pembuatan slide preparat untuk spesimen kutu dan tungau hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada lapisan penipis kitinnya.

Spesimen diawetkan dengan cara dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%, kemudian spesimen dimasukkan ke dalam kalium hidroksida (KOH) 10% agar lapisan kitinnya menipis. Proses tersebut dipercepat dengan pemanasan, tetapi tidak sampai mendidih. Setelah itu, spesimen dibilas dengan air sampai bersih. Apabila ada bagian yang menggembung, dapat ditusuk dengan jarum supaya isinya keluar. Spesimen didehidrasi bertingkat mulai dari alkohol 70%, 80%, 90% selama 10 menit pada masing-masing tingkatan. Lalu spesimen dicuci dengan xylol sampai bersih. Untuk tungau, spesimen dibunuh dengan alkohol 70%. Spesimen direndam dalam larutan laktofenol agar lapisan kitinnya menipis dan jaringan internal menjadi lembek. Selanjutnya, spesimen dimasukkan kaca

I

II III

(32)

18

preparat dengan media balsam canada untuk caplak, dan larutan hoyer untuk tungau.

C. Identifikasi Spesimen

Spesimen untuk kepentingan identifikasi harus berada dalam kondisi utuh, artinya karakteristik morfologi yang dibutuhkan untuk proses identifikasi dalam kondisi baik dan lengkap. Identifikasi dilakukan dengan pemberian identitas pada spesimen sesuai urutan taksonominya, kemudian dilakukan penentuan pengelompokan berdasarkan subordo, famili, genus dan spesies. Kunci identifikasi yang digunakan adalah buku panduan praktikum Hadi (2008), Elbl dan Anastos (1966a, 1966b), dan Levine (1990). Identifikasi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.3.2 Pengamatan Habitat Ektoparasit

Metode yang digunakan adalah dengan mengamati tempat-tempat di dalam kandang seperti lantai kandang dan batang pohon, yang berpotensi menjadi tempat berkembang biak ektoparasit.Di dalam penangkaran PT. Mega Citrindo terdapat kandang biawak kuning yang berisi beberapa biawak , dan di dalamnya terdapat batang-batang pohon besar dan beberapa jenis tumbuhan.

Biawak ekor biru terdiri dari tujuh kandang. Di setiap kandang terdapat batang-batang pohon besar, tempat berendam sekaligus tempat untuk minum, dan ukuran kandang tidak sebesar kandang biawak kuning karena di dalam kandang hanya terdapat dari dua sampai tiga ekor biawak.

Biawak dumeril terdiri dari dua kandang. Berbeda dengan biawak kuning dan ekor biru, kandang biawak dumeril hanya terdapat batang pohon dan tempat berendam. Jumlah biawak dumeril ini sebanyak dua ekor, jantan dan betina. Masing-masing dipisah dalam satu kandang.

3.3.3 Pengamatan Sistem Manajemen Penangkaran

(33)

biawak, dan pemberian pakan. Selain pengamatan juga dilakukan wawancara informal. Wawancara informal dilakukan kepada pihak pengelola, diantaranya pemilik PT. Mega Citrindo, dan animal keeper di kandang biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.

3.3.4 Pengamatan Perilaku Harian

Pengamatan perilaku menggunakan ad libitum sampling, yaitu pengamat mencatat setiap perilaku yang dilihat untuk mendapat gambaran perilaku (Peebles 1994). Pencatatan mengenai perilaku ini dilakukan menggunakan metode Time Sampling dengan interval 10 menit mengamati kondisi fisik dan perilaku harian. Tahap pertama dilakukan dari pukul 08.00-09.00 WIB dan tahap kedua dilakukan dari pukul 14.00-15.00 WIB.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis deskriptif

Penjelasan mengenai fenomena-fenomena yang terjadi pada aspek penangkaran biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di lokasi penangkaran.

3.4.2 Analisis kuantitatif

(34)

IV. KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Lokasi

PT. Mega Citrindo berada di jalan Mutiara VII/31 Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas total 2860 m³. PT. Mega Citrindo terletak pada ketinggian 1100 mdpl dan terdiri dari bangunan kandang permanen, semi permanen dan kolam penampungan.

4.2 Topografi

Lahan disekitarnya umumnya agak miring dengan rata-rata kelerengan antara 0-11%.

4.3. Sejarah

Perusahaan ini umumnya bergerak pada bidang penampungan dan ekonomi sehingga hanya bertindak sebagai pengumpul satwa reptil saja dan ditampung yang kemudian akan diekspor keluar negeri. Untuk memenuhi permintaan pasar konsumen, reptil diambil langsung dari daerah-daerah atau ditempat-tempat penampungan lainnya. Untuk menghindari kematian satwa pada penampungan biasanya pihak pengelola menerapkan aturan bahwa satwa yang akan dikirim selalu disesuaikan dengan pemesanan atau permintaan.

PT. Mega Citrindo ini pada umumnya bergerak dalam bidang perdagangan reptil yang dilindungi undang ataupun yang tidak dilindungi undang-undang. Orientasi kegiatan eksport reptil ini berdasarkan peraturan pemerintah, yaitu Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No 100/KPTS/DJ-IV/2001 tentang penangkaran.

(35)

Manfaat dari usaha ini adalah untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari dan berkesinambungan sebagai wujud peningkatan ekspor di luar migas dalam jenis ekspor komoditi khusus yaitu satwa. Jenis penampungan ini dilakukan secara intensif karena dari segi pengelolaannya, semua disediakan oleh pihak pengelola dengan satwa yang didatangkan dari alam atau penampungan lain dengan berbagai ukuran dan rata-rata masih bersifat liar. Berikut adalah gambar struktur organisasi perusahaan PT. Mega Citrindo (Gambar 10).

Gambar 10 Struktur organisasi PT. Mega Citrindo. Kepala

Administrasi Direktur

Bagian Kandang

Bagian Kebersihan

Penjaga kandang Ular

Penjaga kandang Biawak

Penjaga kandang Kura-kura Penjaga kandang

(36)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Ragam Jenis Ektoparasit pada Biawak. 5.1.1 Biawak Kuning (Varanus melinus)

Jumlah biawak kuning di dalam kandang kurang lebih terdapat 13 ekor, namun koleksi ektoparasit dilakukan terhadap empat ekor biawak sebagai sampel. Pada biawak kuning tidak ditemukan caplak, namun satu dari empat biawak yang diambil ditemukan tungau di sekitar kloaka. Berdasarkan hasil identifikasi, jenis tungau yang ditemukan berasal dari famili Macrochelidae. Struktur tubuh tungau seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.

Keterangan : perbesaran 250x

Gambar 11 Tungau Macrochelidae yang ditemukan pada biawak kuning.

Tungau dari famili Macrochelidae ini umum ditemukan pada setiap feses hewan. Menurut Krantz (1998) Macrochelidae merupakan tungau kosmopolitan, banyak yang ditemukan di habitat yang spesifik, sering juga ditemukan di habitat yang tidak stabil. Famili ini berasosiasi dengan kumbang feses. Menurut Hartini dan Takaku (2003), terdapat dua belas jenis tungau Macrochelidae dari genus

(37)

Penelitian Katiaho dan Simmons (2000) mengatakan tungau jenis

Marchoceles merdarius dari famili Macrochelidae yang berasosiasi dengan kumbang feses Onthophagus binodis, menyebabkan kumbang jantan yang terinfestasi Macrocheles merdarius mati rata-rata 15 hari lebih cepat dibandingkan dengan kumbang jantan yang tidak terinfestasi.

5.1.2 Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus)

Jumlah populasi biawak ekor biru kurang lebih 18 ekor yang dipelihara dalam tujuh kandang. Berdasarkan hasil pengambilan sampel biawak ekor biru didapatkan ektoparasit jenis caplak dari genus Aponomma dan genus Amblyomma. Berikut adalah jumlah caplak per regionya yang ditujukkan di Tabel 4.

Tabel 4 Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak ekor biru Jenis

Ektoparasit diambil dari tujuh ekor biawak. Masing-masing pengambilan sampel dilakukan sebanyak satu kali ulangan. Tabel hasil menunjukkan letak caplak yang paling sering dijumpai adalah di regio perut (Gambar 12b), ditemui pada individu 3, 5, 6 dan 7. Selain ditemukan di perut caplak juga ditemukan di kaki belakang (Gambar 12c) , ekor, dan punggung. Pada kaki belakang, caplak ditemukan di daerah sekitar ketiak sedangkan pada ekor dan punggung, caplak ditemukan di lipatan-lipatan kulit dan diantara sisik-sisik kulit biawak. Beberapa jenis caplak ada yang menyerupai sisik biawak.

(38)

24

dengan regio lainnya. Derajat infestasi sedang pada individu ketujuh di regio perut. Sedangkan untuk beberapa regio lainnya pada setiap individu masih dalam derajat infestasi ringan.

Gambar 12 Letak caplak yang ditemukan pada biawak : (a) punggung (b) perut (c) kaki belakang.

Caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru adalah genus Aponomma

dan genus Amblyomma :

Keterangan : perbesaran 25x

Gambar 13 Caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru : (a) Amblyomma sp ♀. (b) Aponomma sp ♀, (c) Aponomma sp. ♂

(a) (b)

a b

c

(39)

Caplak Aponomma sp. hampir ditemukan diseluruh regio biawak ekor biru. Dibandingkan dengan genus Amblyomma sp. yang terbatas pada biawak ekor biru. Oleh karena itu untuk memudahkan dalam proses identifikasi maka caplak-caplak yang sudah didapat dibuat preparat, agar tubuhnya dapat terlihat.

5.1.3 Biawak Dumeril (Varanus dumerilii)

Biawak dumeril yang ada di penangkaran PT. Mega Citrindo berjumlah dua ekor yang berjenis kelamin jantan dan betina. Dibandingkan dengan biawak ekor biru, jumlah caplak pada biawak dumeril lebih sedikit. Dari data hasil ditemukan caplak di kaki depan dan badan atas. Tabel 5 menunjukkan jumlah caplak yang ditemukan di biawak dumeril.

Tabel 5 Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak dumerili.

Jenis Biawak Regio Individu

(40)

26

mata. Aponomma sp. dan Amblyomma sp. sama-sama memiliki palpus yang panjang. (Levine 1990). Menurut Levine (1990) genus Amblyomma biasanya ornata (memiliki hiasan skutum), memiliki palpus panjang, terutama segmen kedua. Sedangkan genus Aponomma memiliki bentuk oval, termasuk ke dalam caplak ornata dan inornata, parasit terhadap ular-ular besar dan biawak, dan memiliki spesifikasi inang sehingga apabila ditemukan bukan pada inang definitifnya maka itu suatu kebetulan / accidental (Elbl dan Anastos 1966). menurut Theiler (1962) dalam Tandon (1991) jenis Amblyomma marmoreum baik pada stadium dewasa dan larva. Sedangkan menurut Elbl dan Anastos (1966a) jenis caplak yang ditemukan pada Varanus sp. adalah Amblyomma nuttali. Aponomma exornatum, Amblyomma marmoreum dan Amblyomma nuttali

penyebarannya meliputi Negara Republik Afrika Selatan dan sekitarnya

Kolonin (2009) mengatakan caplak yang terdapat pada famili Varanidae di Indonesia antara lain Amblyomma robinsori, Amblyomma helvolum, Aponomma soembawensis, Aponomma trimaculatum, Aponomma fibriatum, dan Aponomma varenense. Amblyomma robinsori wilayah penyebarannya di Pulau Komodo.

Amblyomma helvolum wilayah penyebarannya di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Pulau Komodo, Flores, dan Tanimbar. Aponomma soembawensis

penyebarannya di Pulau Sumba, Sumbawa, Semau, Timor, dan Sabu. Aponomma

trimaculatum wilayah penyebarannya di Sulawesi, Tornate, Liki, Aru, Seram, dan Pulau Simelue. Aponomma fibriatum wilayah penyebarannya di Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Dan Aponomma varenense wilayah penyebarannya di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.

Aponomma sp. dan Amblyomma sp. termasuk famili Ixodidae yaitu golongan caplak keras, dan ordo Acarina. Baik genus Aponomma maupun

(41)

Kolonin 2009). Menurut Levine (1990) Amblyomma sp. memiliki inang yang sama untuk setiap stadium. Menurut Elbl dan Anastos (1996b) stadium nimfa dan larva pada Aponomma sp kadang-kadang berada pada inang yang sama, bersama dengan yang dewasa. Caplak Amblyomma americanum dapat bertelur 1.000 hingga 8.000 butir. Secara umum caplak memiliki ukuran tubuh 0,3-1 cm, dan dapat bertambah besar apabila sudah menghisap darah (Levine 1990).

Di alam caplak memiliki variasi inang yang lebih banyak dibandingkan di dalam penangkaran, sehingga terdapat kemungkinan adanya perbedaan inang di setiap stadium. Menurut Kolonin (2009) Amblyomma javanense hampir seluruh stadiumnya ditemukan pada trenggiling, dan kadang-kadang juga ditemukan pada inang yang lain yaitu ular, biawak, dan mamalia.

Infestasi caplak pada satwa memberikan dampak negatif untuk kesehatan satwa. Akibat dari infestasi ektoparasit antara lain kekurangan darah (anemia), kerusakan kulit atau iritasi, alergi sehingga menyakiti diri sendiri atau self wounding dengan mencakar atau pun menggigit bagian tubuh yang terasa gatal akibat ektoparasit (Wall & Shearer 2001). Menurut Hoogstraal (1956a) caplak

Aponomma exornatum sebagai vektor penyakit demam Q (Q fever) yang disebabkan oleh bakteri patogen intraseluler Coxiella burnetii, A. exornatum juga

transmitter bermacam-macam hemogregarines (Elbl dan Anastos 1996b) yakni organisme uniselular bersifat parasit pada sel darah merah, dan menyerang vertebrata berdarah dingin (Merino et al 2008).

5.2Manajemen Penangkaran 5.2.1 Kondisi Kandang

(42)

28

a. Jenis, Bentuk, dan Ukuran kandang

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa persyaratan dalam ukuran dan struktur kandang untuk amfibi dan reptil, diantaranya yaitu :

1. Cukup ruang untuk bergerak dalam posisi normal.

2. Dapat menjaga hewan tetap kering, tidak kontak dengan kotoran dan sisa pakan-minum.

3. Sesuai ukuran/berat dan regulasi. 4. Struktur sesuai sifat biologis spesies.

Jenis kandang di PT. Mega Citrindo terdiri dari dua jenis kandang yang disesuaikan dengan fungsi masing-masing kandang. Kandang permanen berfungsi sebagai tempat indukan remaja, dan dewasa. Kandang boks berfungsi sebagai tempat penampung anakan. Saat melakukan wawancara dengan keeper kandang boks berfungsi juga sebagai tempat penampung biawak dewasa yang cacat fisiknya, karena jika disatukan di dalam kandang permanen ada kemungkinan bersaing dengan biawak lainnya. Kandang biawak ekor biru dan biawak dumeril memiliki bentuk kandang yang tidak jauh berbeda yaitu segi empat. Sedangkan untuk biawak kuning memiliki bentuk kandang segi empat dengan pola yang berbeda di tiap sisi-sisinya. Komposisi kandang permanen dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi kandang permanen

No Komposisi Kandang Permanen

Biawak kuning Biawak ekor biru Biawak dumeril

1 Bahan kandang

(43)

biawak kuning lebih besar dibandingkan dengan kandang biawak lainnya. Biawak kuning memiliki ukuran kandang dengan panjang 400 cm, lebar 750 cm, dan tinggi 170 cm. Bahan kandang biawak kuning terbuat dari campuran semen, untuk pengamanan kandang menggunakan kawat loket di setiap sisi kandang dengan lubang berbentuk persegi 1 cm x 1 cm, dan gembok kecil di pintu luar. Substrat yang digunakan adalah tanah dan sebagian lantai semen. Kandang tidak memiliki atap tertutup, sehingga cahaya matahari dapat masuk dengan mudah. Gambar kandang biawak kuning dapat dilihat di bawah ini (Gambar 14).

Gambar 14 Kandang permanen biawak kuning.

(44)

30

Gambar 15 Kandang permanen biawak ekor biru.

Ukuran dan bentuk kandang biawak dumeril tidak begitu berbeda dengan ukuran kandang biawak ekor biru. Kandang biawak dumeril terdiri dari dua unit, masing-masing kandang ditempati oleh satu ekor biawak dumeril. Pengelola kandang memisahkan kandang biawak dumeril jantan dan biawak dumeril betina. Hal ini dikarenakan biawak betina lebih agresif menyerang biawak jantan, pemisahan kandang bertujuan untuk mengurangi luka fisik pada biawak jantan maupun betina. Biawak dumeril memiliki ukuran kandang dengan panjang 200 cm, lebar 300 cm, dan tinggi 150 cm. Atap kandang sebagian ditutup oleh asbes. Substrat tidak menggunakan tanah ataupun pasir, melainkan hanya menggunakan lantai semen. Berikut adalah kondisi kandang biawak dumeril pada Gambar 16.

(45)

Kandang boks di PT. Mega Citrindo berfungsi sebagai kandang sementara untuk anakan. Tabel 7 menunjukkan komposisi kandang boks.

Tabel 7 Komposisi kandang boks

No Komposisi Kandang boks

1 Bahan kandang Boks plastik, substrat

kertas koran

2 Ukuran kandang (p x l x t)

cm

Besar : 64 x 35 x 32

Sedang : 43 x 30 x 29

Kecil : 41 x 28 x 18

3 Fungsi Penampung anakan

Bahan kandang terbuat dari plastik, dan untuk substrat yang dipakai adalah kertas koran. Kertas koran ini berfungsi sebagai alas untuk biawak anakan. Kandang yang digunakan sudah disesuaikan dengan ukuran tubuh masing-masing biawak anakan. Kandang boks untuk biawak jumlahnya sekitar 200 boks.

Menurut hasil wawancara dengan pemilik penangkaran, kandang boks ini hanya sebagai kandang sementara untuk anakan karena kurang dari satu minggu anakan biawak akan langsung dikirim ke pihak pemesan. Berikut adalah gambar kandang boks (Gambar 17)

Gambar 17 Kandang boks ukuran: (a) besar, (b) sedang, (c) kecil.

a b

(46)

32

b. Konstruksi Kandang

Kandang yang baik adalah kandang yang dibuat dengan konstruksi yang kokoh. Hasil pengamatan ditempat penelitian, PT. Mega Citrindo mempunyai kandang permanen yang bervariasi yang disesuaikan dengan fungsi masing-masing kandang. Hampir seluruh kandang permanen dibuat dari campuran semen, dengan kondisi yang kurang baik karena di setiap sudut kandang ditumbuhi banyak lumut. Hal ini disebabkan karena kelembaban yang cukup tinggi di PT. Mega Citrindo.

Kandang permanen di PT. Mega Citrindo terbuat dari rangka besi yang kokoh. Menurut Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian (2008) terdapat pedoman yang harus dipenuhi dalam kontruksi kandang pada reptil, yaitu :

1. Kandang harus mudah dibersihkan.

2. Lantai harus kuat dan mudah dibersihkan , dapat menjamin sanitasi dan higienis.

3. Atap harus menutupi keseluruhan atau sebagian kandang, dan tidak mudah bocor.

4. Kemiringan atap harus diatur, agar pada saat hujan air tidak meluncur masuk ke dalam kandang.

5. Tinggi bangunan harus disesuaikan, agar tetap menjaga sirkulasi udara. 6. Ventilasi kandang harus dibuat sesuai dengan tempat dan kebutuhan

jenis reptil atau amfibi.

7. Dinding kandang harus kokoh, untuk keamanan kandang.

8. Letak bangunan harus dibuat dengan strategis, untuk memudahkan kegiatan sehari-hari.

Kandang boks atau kandang sementara terbuat dari plastik dengan rangka yang kokoh. Ventilasi atau lubang udara pada kandang boks yaitu pada tutup yang sudah dilubangi. Menurut Maulidzar (2010) pertimbangan boks plastik sebagai bahan kandang, didasarkan bahwa bahan tersebut memenuhi syarat perkandangan yang baik diantaranya :

1. Berdinding kuat, aman dari gangguan satwa lain, dan dapat dilihat dari luar.

(47)

3. Mudah dibersihkan dan memiliki penampilan yang menarik untuk koleksi reptil.

c. Pengkayaan Kandang (Enrichment Kandang)

Pengkayaan kandang atau enrichment kandang merupakan suatu upaya yang dilakukan agar satwa seperti berada di habitat aslinya. Dengan adanya pengkayaan kandang, satwa dapat mengekspresikan perilakunya seperti di alam dan untuk menghindari satwa dari stres, kebosanan, kegelisahan, dan perilaku menyimpang maupun untuk meningkatkan kualitas hidup satwa di dalam kandang. Tabel 8 menunjukkan pengkayaan kandang yang terdapat di PT. Mega Citrindo.

Tabel 8 Pengkayaan kandang PT. Mega Citrindo

No Jenis Kandang Perlengkapan Kandang

Biawak kuning Biawak ekor biru Biawak dumeril

1 Kandang

2 Kandang boks Kertas koran Kertas koran Kertas koran

(48)

34

Gambar 18 Pengkayaan kandang (enrichment) : (a) kandang biawak dumeril, (b) kandang biawak ekor biru, dan (c) kandang biawak kuning.

Biawak merupakan satwa yang memiliki perilaku memanjat di batang pohon, oleh karena itu setiap kandang permanen diberikan batang kayu yang disesuaikan dengan ukuran kandang agar biawak dapat berperilaku seperti di alam. Kondisi batang kayu di setiap kandang sudah tidak begitu baik, kondisi ini dapat menimbulkan beberapa dampak negatif pada biawak yakni batang yang sudah rapuh kapan pun dapat patah, dan batang pohon dapat menjadi habitat untuk ektoparasit. Menurut Bennett (1998) dalam pemilihan batang pohon untuk biawak di kandang, hindari batang yang sudah busuk dan yang memiliki getah atau resin. Pada kandang biawak dumeril tidak dilengkapi dengan fasilitas shelter

atau tempat berteduh. Shelter di kandang biawak kuning berbentuk lubang-lubang yang ada di tanah sekitar kandang dan shelter buatan yang terbuat dari campuran semen dan dibentuk seperti terowongan. Menurut keeper, kemungkinan lubang-lubang yang ada sekarang dibuat oleh biawak kuning. Sedangkan untuk shelter

biawak ekor biru terbuat dari bahan campuran semen yang dibentuk seperti

a b

(49)

terowongan. Berikut adalah gambar shelter pada biawak kuning dan biawak ekor biru (Gambar 19).

Fasilitas di kandang boks tidak banyak jika dibandingkan dengan kandang permanen. Hal ini karena ukuran kandang yang jauh berbeda, sehingga di dalam kandang boks hanya diberikan substrat yang berasal dari kertas koran. Kertas koran ini juga memiliki fungsi untuk menyerap cairan pada kotoran biawak, sehingga keadaan kandang tidak basah. Selain itu pemilihan alas dari koran karena mudah dibersihkan.

Gambar 19 Jenis shelter : (a) alami, (b) buatan, kandang biawak kuning, (c) buatan, kandang biawak ekor biru.

d. Perawatan Kandang

Kegiatan perawatan kandang dilakukan oleh para keeper setiap hari dimulai dari jam 06.00 WIB. Pembersihan kandang dilakukan di luar maupun di dalam kandang. Pembersihan kandang di luar dilakukan dengan menyapu halaman sekitar depan kandang. Pembersihan kandang permanen biasanya dilakukan dengan menyemprotkan air yang mengalir lewat selang ke semua permukaan kandang. Sedangkan untuk kandang boks kegiatan perawatan kandang dengan mengganti kertas koran dan membersihkan kandang dengan air. Gambar 20 menunjukkan kegiatan pembersihan kandang.

(50)

36

Gambar 20 Kegiatan pembersihan kandang : (a) luar kandang (b) dalam kandang (c) kandang boks.

Hasil pengamatan di PT Mega Citrindo menunjukkan kegiatan pembersihan kandang tidak hanya dilakukan dengan menyapu atau menyemprot kandang dengan air. Tetapi juga menyemprot halaman di luar dan dalam kandang dengan menggunakan zat kimia, hal ini bertujuan untuk mencegah dan memperlambat tumbuhnya hama dan penyakit. Penyemprotan halaman menggunakan insektisida, dan di dalam kandang dengan akarisida atau obat anti kutu dan caplak. Alat yang digunakan untuk penyemprotan adalah sprayer

pestisida. Berdasarkan hasil wawancara kegiatan penyempotan dilakukan setiap 1 bulan sekali, jika cuaca panas namun apabila cuaca hujan penyemprotan dilakukan 2 kali dalam 1 bulan. Hal ini dikarenakan, jika musim hujan larutan yang sudah diberikan dikhawatirkan hilang terbawa air hujan.

Pengamatan di lapang tidak ditemukan ektoparasit caplak pada biawak kuning. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah letak kandang yang jauh dari kandang lain, sehingga kecil kemungkinan caplak melakukan translokasi ke kandang tersebut. Kemudian, pada siang hari di kandang biawak kuning seluruhnya terkena sinar matahari, sehingga caplak ada kemungkinan menghindari kandang tersebut. Jika dibandingkan dengan kandang biawak ekor biru dan biawak dumeril, kondisi di masing-masing kandang tidak seluruhnya terkena sinar matahari dan letak kandang bersebelahan dengan kandang lainnya. Sehingga apabila satu kandang sudah terinfestasi oleh caplak, besar kemungkinan caplak melakukan translokasi ke kandang lainnya.

a

b

(51)

5.2.2 Manajemen Pakan

Pakan merupakan aspek utama dalam pengelolaan penangkaran satwaliar, karena secara tidak langsung dapat mempengaruhi aktivitas dan kesehatan satwa di dalam kandang. Di dalam manajemen pakan perlu diperhatikan kandungan-kandungan pakan yang akan diberikan kepada satwa. Kandungan umum yang penting untuk menunjang aktivitas satwa adalah pakan yang mengandung vitamin, mineral, lemak, dan protein.

a. Jenis Pakan

Hasil pengamatan menunjukkan beberapa pakan yang disediakan oleh PT Mega Citrindo sebagai pakan utama untuk biawak diantaranya adalah anak ayam, tikus putih, tikus sawah, jangkrik dan hamster. Menurut hasil wawancara dengan

keeper tikus sawah dikirim langsung dari daerah Cilacap dengan jumlah 1500-2000 ekor tiap bulan. Tikus sawah lalu disimpan di dalam freezer yang berada di gudang sebagai stok makanan biawak. Untuk mengurangi biaya pengelolaan, PT Mega Citrindo membuat budidaya tikus putih. Selain tikus putih, dan tikus sawah biawak juga diberikan anak ayam dan jangkrik. Suplier dapat mengirim anak ayam sekitar 250-350 setiap minggunya. Berikut adalah pakan-pakan yang disediakan untuk biawak (Gambar 21).

Gambar 21 Pakan biawak : (a) tikus putih, (b) tikus sawah, (c) anak ayam (d) jangkrik.

a b

c

(52)

38

b. Cara Pemberian dan Penyajian Pakan

Pemberian pakan dilakukan dengan melepaskan secara langsung pakan di dalam kandang biawak, jumlah pakan tergantung dari bobot biawak. Biawak yang berukuran besar diberikan 5-9 ekor sedangkan untuk yang berukuran sedang 3-5 ekor. Pakan dalam keadaan hidup yang disebarkan didalam kandang, namun untuk tikus sawah dalam keadaan mati karena sudah dimasukkan ke dalam

freezer. Untuk biawak yg masih baby (±5 bulan), pakan yang diberikan adalah jangkrik. Jumlah jangkrik sekitar 5-10 ekor tergantung dari ukuran tubuh biawak tersebut.

c. Waktu Pemberian Pakan

Pakan diberikan sebanyak satu minggu sekali, yaitu pada hari rabu. Suplier biasanya datang pada pukul 12.00 WIB, lalu keeper memberikan makan kepada biawak sekitar pukul 13.00 WIB.

5.2.3 Manajemen Kesehatan Satwa

Hasil wawancara dengan pemilik PT Mega Citrindo ada beberapa penyakit yang sering menyerang biawak, maupun reptil lainnya seperti kura-kura, dan ular. Penyakit yang sering muncul pada biawak adalah caplak, dan cacingan. Upaya pencegahan dan penanggulangan untuk penyakit caplak dengan menggunakan semprotan akarisida. Akarisida ini sudah digunakan semenjak tahun 2000-an hingga sekarang. Sedangkan untuk upaya penanggulangan cacingan pada biawak,dan reptil lainnya dengan memberikan obat cacing.

(53)

akarisida sudah berlangsung lama, kemungkinan terbesar caplak sudah membuat sistem kekebalan tubuh atau antibodi, sehingga penggunaan akarisida sudah tidak berpengaruh besar terhadap caplak. Solusi yang dapat dilakukan pihak PT Mega Citrindo adalah dengan menggunakan akarisida dari golongan yang berbeda, dan penggunaannya dilakukan secara bergantian. Hal ini untuk menghindari caplak membuat sistem immune. Cara lain yang lebih sederhana dan tidak menghabiskan biaya besar adalah dengan melakukan pemindahan biawak ke tempat yang tidak terinfestasi caplak dalam kurun waktu yg cukup lama, minimal selama 3 bulan. Tujuannya adalah agar caplak mati secara alami karena tidak dapat menemukan inang untuk menghisap darah. Selain itu penanggulangan infestasi caplak yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan vaksinasi. Vaksin diperoleh dari ekstrak caplak penuh untuk mendapatkan antigen. Dari hasil penelitian Astyawati dan Wulansari (2007) penggunaan antigen caplak dapat menginduksi resistensi melalui imunisasi langsung. Ekstrak caplak Rhiphicephalus sanguineus dewasa cenderung untuk menginduksi resistensi baik pada kelinci, domba dan anjing, dengan tingkat resistensi yang berbeda. Imunitas yang tidak didapat selama infestasi alami cenderung berkembang dengan vaksinasi ekstrak caplak.

5.3Pola Perilaku Harian

(54)

40

5.3.1 Perilaku Biawak Kuning

Biawak kuning memiliki pergerakan yang gesit dan lincah, karena ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar. Biawak kuning sering terlihat diam di atas pohon secara berkelompok. Biawak kuning di PT Mega Citrindo peka terhadap lingkungan sekitarnya, dan akan langsung melarikan diri ke dalam shelter apabila didekati oleh manusia. Pada saat pengamatan, suhu rata-rata kandang biawak kuning pukul 08.00-09.00 WIB adalah 27ºC dengan kelembaban 92% sedangkan pada pukul 14.00-15.00 WIB suhu rata-rata kandang adalah 29ºC dengan kelembaban 85%.

Hasil pengamatan menunjukkan perilaku yang sering ditemui biawak kuning adalah diam. Dari pukul 08.00-08.40 WIB belum terlihat aktivitas yang dilakukan oleh biawak kuning. Aktivitas mulai terlihat pukul 08.50-09.00 WIB biawak kuning melakukan aktivitas berjalan sambil menjulurkan lidah lalu berjemur. Pada pukul 14.00-15.00 WIB tidak ditemukan aktivitas berjemur, karena kondisi cuaca mulai mendung. Ketika turun hujan, biawak kuning akan segera berlindung ke shelter lubang-lubang yang ada di dalam kandang.

5.3.2 Perilaku Biawak Ekor Biru

(55)

tidak menyinari kandang. Perilaku berendam di bak air juga ditemukan, namun berada di luar jam pengamatan.

5.3.3 Perilaku Biawak Dumeril

Berbeda dengan biawak kuning dan biawak ekor biru, biawak dumeril tidak takut berinteraksi dengan manusia dan cenderung diam. Hal ini karena biawak dumeril sering dipegang oleh penjaga kandang, sehingga tidak asing dengan manusia. Namun terkadang biawak dumeril akan berdesis apabila dirinya merasa terancam Di dalam kandang tidak dilengkapi dengan shelter, sehingga biawak dumeril bernaung di bawah batang pohon ketika hujan.

Pada saat dilakukan pengamatan rata-rata suhu kandang pada pukul 09.00-10.00 WIB adalah 26 ºC dengan kelembaban 92% sedangkan pukul 14.00-15.00 WIB rata-rata suhu kandang mencapai 32 ºC kelembaban 86%. Aktivitas yang paling lama adalah diam, untuk aktivitas berjemur dilakukan pada pukul 09.00 WIB. Sedangkan untuk di siang hari tidak ditemukan aktivitas berjemur. Siang hari biawak dumeril ditemukan lebih sering diam di atas pohon, dan sesekali menjulurkan lidahnya.

(56)

42

yang dilakukan oleh Main & Bull (2000) diacu dalam Guzinski (2008) mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara kadal yang terkena caplak infestasi tinggi, dengan yang infestasi rendah yaitu kadal yang terinfestasi tinggi lebih sering melakukan perilaku berjemur, dan adanya penurunan aktivitas bergerak.

(57)

6.1 Kesimpulan

Ditemukan ektoparasit jenis tungau dan caplak. Tungau dari famili Macrohelidae ditemukan pada biawak kuning, sedangkan caplak dari genus

Aponomma sp. dan Amblymomma sp. ditemukan pada biawak ekor biru dan biawak dumeril. Letak kandang yang tidak dekat dengan kandang reptil jenis lain, dan intensitas matahari tinggi dalam kandang dapat merupakan faktor tidak ditemukan caplak pada biawak kuning. Secara umum perilaku harian biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril PT Mega Citrindo terdiri dari perilaku diam, berjalan, menjulurkan lidah, dan berjemur.

6.2Saran

1 Disediakan kandang karantina untuk biawak-biawak yang baru datang ke penangkaran, karena dikhawatirkan biawak sudah terkontaminasi ektoparasit dari tempat aslinya.

2 Perlu dilakukan rotasi dari kandang ke kandang yang steril untuk memutus siklus hidup caplak.

(58)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK). Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar (1). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[Anonim I]. 2010 . Varanus melinus Bohme & Ziegler 1997 Quince monitor.

[Anonim III]. 2010. Varanus doreanus. http://www.varanus.nl/V doreanus_beschr htm. 10 Juni 2010.

[Anonim IV]. 2010. Varanus melinus. http://www.varanus.nl/V_melinus_ eng.htm. 10 Juni 2010.

[Anonim V]. 2010. Dumeril's Monitor (Varanus dumerilii) Care Sheet. http://www.reptipro.com/care-sheets/lizards/52-dumerils-monitor-varanus-dumerilii-care-sheet-.html. 21 September 2010.

[Anonim VI]. 2010. Peta Indonesia. http://gambar-peta.blogspot.com/2010/09/

http://gambar-peta.blogspot.com/2010/09/peta-indonesia-dunia-of-atlas.html. 18 Februari 2011.

[Anonim VII]. 2010. Varanus dumerilii. http://www.varanus.nl/V_dumerilii _dumerilii_beschr_eng.htm. 21 September 2010

Astyawati T, Wulansari R. 2007. Penanggulangan caplak Rhipicephalus sansuineus dengan vaksinasi [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bayless MK, Adragna JA (1999): The Banggai Island monitor. Notes on distribution, ecology, and diet of Varanus melinus. The Vivarium 10 (4): 38-40.

Bennet D. 1993a. A Note on a Newly Hatched Varanus tristis tristis in the Great Victoria Desert, Western Australia.

(59)

Bennett D. 1995. Dumeril's monitor lizard (Varanus dumerilii). Reptilian 3: 35– 37.

Bohme W, Horn, HG., Zielger T. 1994. Zur Taxonomie der Pazifikwarane (Varanus indicus-Komplex).

Borror DJ, Triplehorn, CA, Johnson, NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Eccleston KJ. 2009. Animal welfare di Jawa Timur : model pendidikan kesejahteraan binatangdi Jawa Timur. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik [skripsi]. Malang : Program Sarjana, Universitas Muhammadiyah Malang.

Elbl A, Anastos G. 1996a. Ixodid Ticks (Acarina,Ixodidae) Of Central Africa Volume I General Introduction Genus Amblyomma Koch, 1844. Department of Zoology, University Of Maryland, College Park, Maryland.

Elbl A, Anastos G. 1996b. Ixodid Ticks (Acarina,Ixodidae) Of Central Africa Volume IV General Introduction Genera Aponoma Neumann, 1899 Boophilus Curtice, 1891 Dermacentor Koch, 1844 Haemaphysalis Koch, 1844 Hyaloma Koch, 1844 And Rhipicentor Nuttal And Warburton, 1908. Department of Zoology, University Of Maryland, College Park, Maryland

Gumilang R. 2001. Populasi dan Penyebaran Biawak Air Asia (Varanus salvator) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Guzinski J. 2008. Investigating genetic population substructure of an Australian reptile tick, Bothriocroton hydrosauri, using highly polymorphic microsatellite markers. Faculty of Science and Engineering, Flinders University. Thesis.

Hadi UK, Gunandini DJ, Sovianna S, Sigit SH. 2008. Penuntun Praktikum Parasitologi Veteriner Ektoparasit. IPB Press.

Hadi UK, Soviana S. 2000. Ektoparasit : Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Laboratorium Entomologi. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor.

Hoogstral H. 1956a. African Ixodidae, I. Ticks of the Sudan (with spesial references to Equotaria Province with preliminary reviews of the genera

Boophilus margaropus & Hyalomma). Res. Rep NM 005.050.29.07, 1101 pp Washington D.C Dep Navy, Bur. Med. Surg.

(60)

45

Katia JS, Simmons LW. 2001. Effects of Macrocheles mites on longevity of males of the dimorphic dung beetle Onthophagus binodis. Department of Zoology, University of Western Australia, Nedlands, WA 6907, Australia . Printed in the United Kingdom. J. Zool., Lond. (2001) 254, 441-445.

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 369.a/kpts/PD.670.210/L /10/2008 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Reptil Dan Amfibi (Herpetofauna).

Kolonin GV. 2009. Fauna of Ixodid ticks of the world. www.kolonin.org. 16 Februari 2011.

Krantz GW. (1998) Reflections on the biology, morphology and ecology of the Macrochelidae. Experimental and Applied Acarology, 22(3), 125–137.

Lehner PN. 1979. Handbook of Ethological Methods. Garland STPM Press. New York.

Levine ND.1990. Parasitologi Veteriner. Gatut A, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Textbook of Veterinary Parasitology.

Maulidzar D. 2010. Manajemen pemeliharaan ular sanca patola (Morelia amesthistina Schneider, 1801) dan penetasan telur secara buatan di PT Mega Citrindo [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Merino S, Vásquez RA, Martínez J, et al. 2008. A Sarcocystid misidentified as Hepatozoon didelphydis: molecular data from a parasitic infection in the blood of the Southern mouse opossum (Thylamys elegans) from Chile". J. Eukaryot. Microbiol. 55 (6): 536–40.

Peebles P. 1994. Animal behaviour. http://www.accessexcellence.org/AE/AEC /AEF/1994/peebles_behavior.php. 18 Februari 2011.

Purba P. 2008. Studi perilaku harian biawak komodo (Varanus komodoensis

Ouwens, 1912) pada berbagai kelas umur di pulau Rinca, Taman Nasional Komodo [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Shine R, Ambariyanto, PS Harlow, Mumpuni. 1998. Ecological Traits of Commercially Harvested Water Monitor, Varanus salvator, in Northern Sumatra. Wildlife Research. 437-447.

Soifer FK. 1977. Anthelmintics for exotic and zoo animals. In Kirk, R. W. (ed) : Current Veterinary Therapy VI. Philadelphia, W.B. Saunders Co.

(61)

Tandon SK. 1991. Records of the zoological survey of india : The Ixodid ticks of Zambia (Acarina : Ixodidae) (a study of distribution, ecology, and host relationships). The Director of Zoological Survey of India. Calcutta

Thohari M. 1987a. Upaya Penangkaran satwaliar. Media Konservasi, Vol. I, No.3 : 21-26. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.

Usboko E. 2009. Studi pola penggunaan ruang berbagai kelas umur biawak komodo (Varanus komodoensis Ouwens) di Loh Buaya-Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites : Biology, Pathogy and Control. Blackwell Science Ltd.

Wooley TA. 1988. Acaralogy : mites and human welfare. A Willey-Interscience Publication. Printed in the United States of America.

(62)

Gambar

Tabel 3  Peralatan pengawetan dan identifikasi ektoparasit
Gambar 10 Struktur organisasi PT. Mega Citrindo.
Gambar 11  Tungau Macrochelidae yang ditemukan pada biawak kuning.
Tabel 4  Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak ekor biru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan teknik observatif yang bertujuan mendeskripsikan adanya protozoa ektoparasit yang ditemukan pada udang Vaname di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ragam jenis lalat Stomoxys spp di tujuh peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, untuk mengetahui aktivitas mengisap darah