• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia. Dibimbing oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi kombinasi zoletil-ketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal Indonesia. Sembilan babi lokal digunakan dan dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor babi. Kelompok pertama (A) dianestesi menggunakan kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 15 mg/kg BB dan xylazin 2 mg/kg BB). Kelompok kedua (B) dianestesi menggunakan kombinasi zoletil-ketamin-xylazin (zoletil 4 mg/kg BB, ketamin 2 mg/kg BB, dan xylazin 2 mg/kg BB). Kelompok ketiga (C) dianestesi menggunakan kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 10 mg/kg BB dan xylazin 1 mg/kg BB). Variabel yang diamati adalah gejala pada saat induksi, onset dan durasi anestesi, temperatur tubuh, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi. Prosedur pada kelompok C ternyata tidak dapat menganestesi babi lokal Indonesia. Kombinasi ketamin-xylazin dosis rendah pada kelompok C hanya menyebabkan sedasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok A dan B.

Kata kunci: anestesi, kombinasi zoletil-ketamin-xylazin, kombinasi ketamin- xylazin, babi lokal Indonesia

ABSTRACT

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Effectiveness of Zoletil-Ketamine-Xylazine Combination as Anesthesia in Indonesian Local Pig (Sus domestica). Supervised by GUNANTI and RIKI SISWANDI.

The purpose of this research was to evaluate the potential of zoletil-ketamine-xylazine combination as anesthetic in Indonesian local pig. Nine local pigs were subjected to three groups of treatment. Each group consisted of three pigs. The first groups (A) anesthetized with ketamine-xylazine combination (ketamine 15 mg/kg BB and xylazine 2 mg/kg BB). The second group (B) anesthetized with zoletil-ketamine-xylazine combination (zoletil 4 mg/kg BB, ketamine 2 mg/kg BB, and xylazine 2 mg/kg BB). The third group (C) anesthetized with ketamine-xylazine (ketamine 10 mg/kg BB and xylazine 1 mg/kg BB). The measured variables were symptoms during the induction symptoms, onset and duration anesthesia, body temperature, heart rate, and respiration frequency. However anesthesia protocol of group C were unable to anesthetized the Indonesian local pigs. The combination of lower dose ketamine-xylazine in group C only resulted in sedated condition. The results showed that were no significant difference between the treatment groups A and B.

(2)

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI ZOLETIL-KETAMIN-XYLAZIN PADA BABI LOKAL (Sus domestica) INDONESIA

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia. Dibimbing oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi kombinasi zoletil-ketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal Indonesia. Sembilan babi lokal digunakan dan dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor babi. Kelompok pertama (A) dianestesi menggunakan kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 15 mg/kg BB dan xylazin 2 mg/kg BB). Kelompok kedua (B) dianestesi menggunakan kombinasi zoletil-ketamin-xylazin (zoletil 4 mg/kg BB, ketamin 2 mg/kg BB, dan xylazin 2 mg/kg BB). Kelompok ketiga (C) dianestesi menggunakan kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 10 mg/kg BB dan xylazin 1 mg/kg BB). Variabel yang diamati adalah gejala pada saat induksi, onset dan durasi anestesi, temperatur tubuh, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi. Prosedur pada kelompok C ternyata tidak dapat menganestesi babi lokal Indonesia. Kombinasi ketamin-xylazin dosis rendah pada kelompok C hanya menyebabkan sedasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok A dan B.

Kata kunci: anestesi, kombinasi zoletil-ketamin-xylazin, kombinasi ketamin- xylazin, babi lokal Indonesia

ABSTRACT

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Effectiveness of Zoletil-Ketamine-Xylazine Combination as Anesthesia in Indonesian Local Pig (Sus domestica). Supervised by GUNANTI and RIKI SISWANDI.

The purpose of this research was to evaluate the potential of zoletil-ketamine-xylazine combination as anesthetic in Indonesian local pig. Nine local pigs were subjected to three groups of treatment. Each group consisted of three pigs. The first groups (A) anesthetized with ketamine-xylazine combination (ketamine 15 mg/kg BB and xylazine 2 mg/kg BB). The second group (B) anesthetized with zoletil-ketamine-xylazine combination (zoletil 4 mg/kg BB, ketamine 2 mg/kg BB, and xylazine 2 mg/kg BB). The third group (C) anesthetized with ketamine-xylazine (ketamine 10 mg/kg BB and xylazine 1 mg/kg BB). The measured variables were symptoms during the induction symptoms, onset and duration anesthesia, body temperature, heart rate, and respiration frequency. However anesthesia protocol of group C were unable to anesthetized the Indonesian local pigs. The combination of lower dose ketamine-xylazine in group C only resulted in sedated condition. The results showed that were no significant difference between the treatment groups A and B.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI

ZOLETIL-KETAMIN-XYLAZIN PADA BABI LOKAL (

Sus domestica

)

INDONESIA

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

Nama : Ambar Hanum Melati Ramadhani NIM : B04080131

Disetujui oleh

Dr. drh. Hj. Gunanti, MS Pembimbing I

drh. Riki Siswandi Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet Wakil Dekan

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan sebaik - baiknya. Penelitian

berjudul “Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-xylazin pada Babi

Lokal (Sus domestica) Indonesia” ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada ayahanda Prayitno, S.Pd., ibunda Endah Purwatiningsih, S.Pd. dan saudara Alfan Yahya AG atas segala bentuk kasih sayang dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. Ibu Dr. drh. Gunanti, MS dan Bapak drh. Riki Siswandi selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan kesabaran untuk membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi. Bapak Dr. drh. Akhmad Arif Amin dan Ibu Siti Sadiah, SSi. Apt. Msi. selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kosasih, Bapak Katim dan staf penunjang di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi FKH IPB atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Fajar Sakti NH atas doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis. Serta terimakasih atas kerja sama dan kekompakan selama penelitian kepada Anita, Khansaa, Yayuk, Made dan Titus. Tak lupa kepada keluarga besar Bateng 23 dan Avenzoar FKH 45 IPB atas kebersamaan dan segala dukungan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis terbuka untuk saran yang diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia 2

Ketamin Hydrochloride (HCL) 3

Xylazin Hydrochloride (HCl) 4

Zoletil (Kombinasi Tiletamin-Zolazepam) 5

Onset dan Durasi 6

Focal Animal Sampling 8

BAHAN DAN METODE 8 Waktu dan Tempat Penelitian 8 Alat dan Bahan 8 Metode Penelitian 9 Tahap Persiapan 9

Tahap Pengambilan Data 9

Variabel yang Diamati 10

Prosedur Anallisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Onset dan Durasi Anestesi 10

Temperatur Tubuh 12

Frekuensi Denyut Jantung 13

Frekuensi Respirasi 14

Gejala Saat Periode Induksi Anestesi 16

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

(9)

LAMPIRAN 20

(10)

DAFTAR TABEL

Data fisiologis babi 2

Withdrawal Time (hari) ketamin, xylazin, zolazepam dan tiletamin 4 Nilai rataan onset dan durasi anestesi pada kelompok babi (menit) 11 Nilai rataan temperatur tubuh pada kelompok babi 12 Nilai rataan frekuensi denyut jantung pada kelompok babi (per menit) 13 Nilai rataan frekuensi respirasi pada kelompok babi (per menit) 15

Gejala pada babi sebelum teranestesi 16

DAFTAR GAMBAR

Anatomi babi 2

Struktur kimia ketamin HCL 3

Struktur kimia xylazin C12H16N2S 4

Struktur kimia zoletil 5

Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C 10

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil uji statistik onset anestesi 20

Hasil uji statistik durasi anestesi 20

Hasil uji statistik temperatur tubuh 21

Hasil uji statistik frekuensi denyut jantung 22 Hasil uji statistik frekuensi respirasi 23

(11)
(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan suatu tindakan bedah sangat dipengaruhi oleh pemilihan anestesi yang digunakan (Hall dan Kathy 1991). Anestesi merupakan hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) disertai maupun tidak disertai hilangnya kesadaran. Zat yang digunakan dalam menimbulkan anestesi disebut sebagai anestetikum, yang dibedakan menjadi anestetikum lokal dan anestetikum umum (Gunawan et al. 2009). Pemilihan anestetikum yang ideal perlu dilakukan untuk menghindari efek negatif yang mungkin terjadi. Anestetikum yang ideal memiliki karakteristik yaitu mudah cara pemberiannya, tidak menimbulkan rasa sakit, cepat menghilangkan kesadaran, tidak banyak menyebabkan perubahan fisiologis, relaksasi otot cukup baik, tidak toksik, waktu pemulihan yang cepat, harganya murah, serta cocok dengan obat penunjang yang lain (Thurmon et al. 1996).

Babi sering digunakan sebagai hewan model bedah. Namun demikian, babi merupakan hewan yang sangat sulit untuk dikendalikan, sehingga untuk melakukan tindakan invasif pada babi diperlukan suatu anestesi (Riebold et al. 1995). Belum banyak studi mengenai anestesi pada babi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat efektivitas anestetikum pada babi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan potensi anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylaxin, dan kombinasi ketamin-xylaxin pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia.

Tujuan Penelitian

 Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin dan kombinasi ketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia.

 Penelitian ini dapat menerangkan pengaruh pemberian anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin dan kombinasi ketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia terhadap frekuensi denyut jantung per menit, frekuensi respirasi per menit, temperatur tubuh (oC), dan gejala klinis saat induksi.

Manfaat Penelitian

(13)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

Babi merupakan hewan monogastrik berasal dari Eurasia yang memiliki bentuk hidung khas sebagai ciri hewan tersebut, yaitu berhidung lemper. Babi adalah hewan ungulata yang bermoncong panjang. Sebagai hewan omnivora, babi memakan daging maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu babi merupakan mamalia yang cerdas dan mudah untuk diternakan (Anonim 2012).

Babi diklasifikasikan kedalam (Swindle dan Alison 2007): Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Genus : Sus Spesies : scrofa Subspecies : domestica.

Gambar 1 Anatomi babi (www.onelessthing.net) [24 Juli 2012]

Babi merupakan hewan yang cukup sulit untuk dikendalikan. Insidensi terhadap malignant hipertermia sangat tinggi pada babi, akses pada vena superfisialisnya sangat sedikit, serta injeksi secara IM lebih sulit dilakukan pada babi yang gemuk dan besar. Injeksi secara IM dilakukan di leher dan tidak di kaki belakang. Jarum yang digunakan kurang lebih berukuran 14-18 gauge dengan panjang 1.5-2 inch (Riebold et al. 1995).

Tabel 1 Data fisiologis babi

Temperatur tubuh

(˚C) jantung (x/menit) Frekuensi denyut

Frekuensi respirasi

(14)

3 Babi digunakan sebagai hewan model penelitian karena memiliki berbagai kesamaan anatomi dan fisiologi dengan manusia (Tunggle et al. 2003). Saat babi diisolasi di tempat yang baru atau asing maka akan mengeluarkan aungan pendek yang diikuti dengan teriakan serta adanya peningkatan defekasi. Babi dewasa yang sedang marah akan mengeluarkan aungan lebih keras tetapi hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi denyut jantung. Apabila babi mengalami kesakitan kronis maka akan menggesek-gesekkan giginya (Houpt 1998).

Ketamin Hydrochloride (HCl)

Ketamin HCl merupakan golongan phencyclidine dengan rumus 2-(0-chlorophenil)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride (Adams 2001). Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar, dan relatif aman (batas keamanan lebar). Ketamin merupakan disosiatif anestetikum yang mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan et al. 2009).

Gambar 2 Strutur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl (daily med.nlm.nih.gov 2012)

Efek anestesi dari ketamin terjadi oleh adanya penghambatan efek membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Tahapan anestesinya diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan ketaleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan dan peningkatan tonus otot. Sifat analgesik ketamin sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi (Gunawan et al. 2009).

(15)

4

ketamin dengan xylazin pada babi dapat menyebabkan analgesia jangka pendek yaitu 5 menit, tetapi depresi jantung yang ditimbulkan panjang (Swindle dan Alison 2007).

Ketamin sebagai agen induksi pada babi dapat menimbulkan gerakan reflek tidak sadar pada beberapa babi dan kedalaman anestesi yang bervariasi, terutama jika diberikan IM. Jika dipakai tunggal, ada kekhawatiran bahwa ketamin sendiri tidak memberikan efek analgesia yang memadai pada babi, maka penggunaannya harus dikombinasikan dengan agen lain. Penggunaan suatu kombinasi ketamin dengan senyawa sedatif dapat meningkatkan relaksasi otot dan konsistensi respon (Riebold et al 1995). Withdrawal time ketamin dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Withdrawal time (hari) ketamin, xylazin, zolazepam dan tiletamin

Obat

Withdrawal time (hari) Injeksi IM

Satwa liar Rusa merah Hewan ternak

Ketamin 3 2 3

Xylazin 30 3 3

Zolazepam dan

tiletamin (1:1) 14 2 365

( Cattet 2003)

Xylazin Hydrochloride (HCl)

Xylazin HCl merupakan senyawa sedatif golongan α2 adrenergik agonis yang bekerja dengan cara mengaktifkan central α2–adrenoreceptor (Thurmon et al. 1996). Xylazin memiliki rumus kimia 2-(2,6-xylodino)5,6-dihydro-4H-1,3-thiazin hydrochloride (Booth 1995). Xylazin menyebabkan penekanan SSP yang diawali dengan sedasi kemudian pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi (Hall dan Kathy dalam Zulfadli 2005).

Gambar 3 Struktur kimia xylazin C12H16N2S (www.new drug info.com, 2012)

(16)

5

abdomen. Ketika α2 adrenoreceptor diaktifkan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, selain itu α2 adrenoceptor dijumpai juga pada sistem kardiovaskular, sistem respirasi, gastrointestinal, SSP, ginjal, sistem endokrin dan trombosit (Adams 2001).

Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat memperpanjang durasi analgesi, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek masa pemulihan. Pada kucing penggunaan bersama xylazin-ketamin menyebabkan perlambatan absorpsi ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi anestesi lebih panjang (Waterman 1983). Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardi, arythmia, peningkatan tekanan SSP, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi (pengurangan frekuensi respirasi dan volum respirasi per menit) serta hipertensi yang diikuti dengan hipotensi (Luna et al. dalam Zulfadli 2005).

Efek xylazin pada fungsi respirasi biasanya tidak berarti secara klinis, tetapi pada dosis yang tinggi dapat mendepres respirasi sehingga terjadi penurunan volum tidal dan respirasi rata-rata (Plumb 1991). Perubahan yang cukup jelas terlihat pada fungsi kardiovaskular. Awalnya segera setelah injeksi, tekanan darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan konstriksi pembuluh darah kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan tekanan darah dan pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan menurun sehingga menimbulkan bradikardi dan tekanan darah menurun mencapai level normal atau subnormal. Pada babi, xylazin tidak memberikan hasil yang baik kecuali digunakan dengan dosis yang tinggi (Riebold et al 1995).

Zoletil (Kombinasi Tiletamin-Zolazepam)

Zoletil merupakan kombinasi antara tiletamin dan zolazepam dengan perbandingan 1:1. Tiletamin merupakan disosiatif anestetikum yang berasal dari golongan pensiklidin, sedangkan zolazepam merupakan kelompok benzodiazepin yang dapat menyebabkan relaksasi otot (Gwendolyn 2008).

Gambar 4 Struktur kimia zoletil (www.chemdrug.com, 2012)

(17)

6

opioid (Gwendolyn 2008). Menurut Riebold et al. (1995) zoletil tidak boleh diberikan pada hewan dengan gangguan jantung dan respirasi.

Zoletil dapat menyebabkan analgesia, tetapi visceral analgesia yang ditimbulkan tidak cukup untuk bedah abdomen mayor, kecuali jika ditambah dengan agen lain. Takikardia dan aritmia jantung dapat terjadi pada anestesi ringan, dan apabila digunakan pada dosis yang tinggi maka cardiac output akan berkurang secara signifikan. Kombinasi tiletamin-zolazepam ini akan dimetabolisme oleh hati dan dieksresikan melalui ginjal (McKelvey dan Wayne 2003).

Tiletamin memiliki efek kardiorespiratori serupa dengan ketamin, selain itu efek yang ditimbulkan pada susunan saraf pusat sangat spesifik pada setiap spesies (Thurmon et al. 1996). Tiletamin memiliki durasi yang lebih panjang dari ketamin, begitu juga dengan analgesianya (Gwendolyn 2008). Tiletamin dapat menghasilkan efek kataleptik yang cepat, menghilangkan respon terhadap rangsangan, depresi respirasi, dan memiliki periode pemulihan panjang (Hall dan Kathy 1991). Tiletamin dimetabolisme dalam hati dan dieliminasi melalui urin dalam bentuk yang tidak aktif.

Zolazepam merupakan turunan benzodiazepin yang bebas dari aktivitas

hambatan α adrenergik (Thurmon et al. 1996). Kombinasi dengan tiletamin dapat

menyebabkan peningkatan penekanan pada SSP, selain itu juga dapat mencegah kekejangan dan memperbaiki relaksasi otot akibat tiletamin (McKelvey dan Wayne 2003). Zolazepam dapat menimbulkan efek kelemahan pada periode pemulihan pada babi dewasa. Untuk meminimalkan hal tersebut maka penggunaan zoletil harus dikombinasikan dengan ketamin. Xylazin juga ditambahkan untuk meningkatkan efek sedasi dan analgesi pada kombinasi tersebut. Untuk melakukan sedasi dan anestesi ringan pada babi digunakan dosis yang kecil, karena dosis yang terlalu tinggi akan menimbulkan efek kejang (Lumb dan Jones 2007).

Onset dan Durasi

Proses dimana hewan mulai kehilangan kesadaran normal dan memasuki keadaan tidak sadar disebut sebagai induksi. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Awalnya akan terlihat gejala inkoordinasi diikuti dengan relaksasi dan ketidaksadaran. Idealnya, sikap yang berlebihan dan meronta-ronta harus dihindari selama induksi, karena hal ini sangat tidak menyenangkan untuk hewan dan merupakan predisposisi aritmia jantung. Kecepatan induksi bergantung pada kecepatan dicapainya kadar efektif zat anestetik di otak, begitu pula masa pemulihan setelah pemberian dihentikan. Onset anestesi umum juga ditandai dengan hilangnya beberapa reflek, termasuk kemampuan menelan dan batuk (McKelvey dan Wayne 2003).

(18)

7 membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya anestetikum yang larut air masuk darah melalui celah antar sel endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan besar molekulnya (Gunawan et al. 2009). Durasi merupakan masa kerja suatu anestetikum, masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk malakukan tindakan operasi. Secara umum durasi kerja berkaitan dengan kelarutan anestetikum dalam lemak. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi mempunyai durasi yang lebih panjang, karena lebih lama diekresikan dari dalam darah.

Setelah periode induksi, hewan memasuki periode maintenance, selama periode ini ketersediaan anestetikum disuplai untuk menjaga hewan tetap dalam kondisi anestesi yang dalam. Pada periode maintenance terjadi relaksasi otot skelet, sedikit terjadinya reflek palpebrae, sedikit terjadinya depresi respirasi dan kardiovaskular. Jika kedalaman anestesi meningkat maka hewan akan menunjukkan depresi respirasi dan kardiovaskular yang lebih, dan pada kondisi over dosis anestesi, kegagalan respirasi dan kardiovaskular dapat terjadi. Monitoring beberapa parameter fisiologis yang intensif seperti temperatur tubuh, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi sangat dibutuhkan pada periode ini (McKelvey dan Wayne 2003).

Periode maintenance berakhir dan mulai memasuki periode recovery atau disebut sebagai masa pemulihan, konsentrasi anestetikum di otak berkurang (McKelvey dan Wayne 2003). Selama masa pemulihan, dilakukan pemeriksaan pada hewan sampai hewan dapat mempertahankan posisi tubuhnya sternal recumbency, mempunyai frekuensi denyut jantung dan frekuensi respirasi stabil, dan memiliki temperatur tubuh nomal, atau satu sampai dua derajat dari temperatur tubuh normal (McCurnin dan Joanna 2006). Proses pemulihan dari anestesi merupakan suatu hal yang bertentangan pada proses induksi. Pada proses pemulihan ini aktivitas reflek dan kepekaan terhadap rasa sakit telah kembali (McKelvey dan Wayne 2003).

Periode pemulihan didefinisikan sebagai periode antara penghentian anestesi dan waktu hewan tersebut mampu berdiri dan berjalan tanpa bantuan. Periode pemulihan ini tergantung pada banyak faktor, seperti:

1. Panjang anestesi. Semakin lama periode pemberian anestesi, semakin lama periode pemulihannya.

2. Kondisi hewan. Pemulihan yang panjang terlihat pada hewan yang memiliki penyakit (terutama penyakit hati dan ginjal).

3. Jenis anestetikum yang diberikan dan rute pemberiannya. Hewan yang diberikan anestetikum inhalasi mempunyai periode pemulihan yang lebih pendek dari pada hewan yang diberikan anestetikum secara injeksi. Periode pemulihan yang lebih panjang terlihat pada pemberian IM dari pada IV.

4. Temperatur tubuh hewan. Hewan yang mengalami hypothermia memiliki metabolisme yang lambat dan lambat dalam mengeskresi anestetikum dari tubuh.

(19)

8

Focal Animal Sampling

Focal animal sampling merupakan suatu metode pengamatan langsung yang digunakan untuk mengamati semua penampakan aksi spesifik dari satu individu atau kelompok individu tertentu berdasarkan waktu periode pengamatan yang telah ditentukan (Altman 1973). Menurut kuncoro (2004), Focal time sampling merupakan suatu metode pengambilan data pengamatan perilaku yang menggunakan satu individu hewan sebagai objek pengamatan dan menggunakan teknik pencatatan perilaku satwa tersebut pada interval waktu tertentu. Metode ini merupakan penggabungan dari dua metode, yaitu focal animal sampling dan scan sampling.

Focal animal sampling dilakukan dengan cara mengamati satu invidu atau kelompok (saat beberapa kelompok tampak) secara berkesinambungan selama satu peride waktu, dan semua perilaku yang teramati dilakukan secara naluri tanpa ada gangguan. Individu yang diamati dipilih secara acak. Tantangan yang dihadapi dalam metode ini adalah individu yang terpilih dapat bergerak dari pandangan atau meninggalkan tempat mereka sebelum periode waktu pengamatan berakhir. Focal animal sampling dapat memberikan informasi mengenai rangkaian peristiwa yang teramati, interaksi antar individu dan durasi perilaku yang teramati.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011. Pengujian anestetikum dilakukan di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor serta kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan hewan coba babi lokal (Sus domestica) Indonesia. Anestetikum yang digunakan yaitu ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100, Troy) dan zoletil 5% (Zoletil®, Virbac).

(20)

9 Metode Penelitian

Tahap persiapan

Sembilan ekor babi dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Masing– masing perlakuan terdiri dari tiga ekor babi dengan berat badan (BB) seragam antara 13,2-34,5 kg. Perlakuan pertama (A) adalah kelompok anestetikum kombinasi ketamin-xylazin (K 15 mg/kg BB dan X 2 mg/kg BB), kelompok perlakuan kedua (B) adalah kelompok anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin (Z 4 mg/kg BB, K 2 mg/kg BB, dan X 2 mg/kg BB), dan kelompok perlakuan ketiga (C) adalah kelompok anestetikum kombinasi ketamin-xylazin (K 10 mg/kg BB dan X 1 mg/kg BB). Adaptasi hewan dilakukan di kandang berukuran 4x3 meter secara berkelompok.

Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan pada saat induksi dan maintenance. Pengambilan data induksi anestesi dilakukan sebanyak 3 kali setiap individu, yaitu pada saat splenektomi, torakotomi, dan panen. Variabel yang diamati yaitu gejala pada saat periode induksi, onset dan durasi anestesi. Injeksi dilakukan secara intramuskular (IM) di leher yaitu pada m. trapezius. Pada bagian yang akan diinjeksi dibersihkan dengan antiseptik beralkohol terlebih dahulu. Sebelum anestesi dilakukan penimbangan berat badan dan dipastikan babi dalam kondisi sehat. Babi yang akan digunakan dipuasakan terlebih dahulu kurang lebih selama 6 jam. Pengamatan dilakukan dengan metode focal animal sampling.

Onset anestesi merupakan perhitungan waktu mulai dari pemberian anestetikum sampai hewan sudah tidak merasakan sakit lagi atau setelah memasuki stadium anestesi. Sedangkan durasi merupakan perhitungan waktu mulai dari hewan teranestesi sampai timbul gejala kesadaran seperti rasa sakit dan reflek rahang, atau merupakan jarak antara waktu mulai dari hewan teranestesi sampai maintenance pertama.

Pengambilan data maintenance dilakukan hanya satu kali pada setiap individu yaitu saat splenektomi. Maintenance induksi dilakukan dengan kombinasi ketamin-xylazin (K 5 mg/kg BB dan X 2 mg/kg BB). Maintenance dilakukan apabila babi telah menunjukkan tanda-tanda kesadaran, seperti rasa sakit, vokalisasi, dan tonus rahang. Variabel yang diamati yaitu temperatur tubuh (oC), frekuensi denyut jantung per menit dan frekuensi respirasi per menit.

(21)

10

Gambar 5 Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C Variabel yang diamati :

1. Gejala pada saat periode induksi 2. Onset anestesi

3. Durasi anestesi 4. Temperatur tubuh (oC)

5. Frekuensi denyut jantung per menit 6. Frekuensi respirasi per menit

Prosedur Analisis Data

Hasil pengukuran dinyatakan dalan rataan dan simpangan baku. Data diolah menggunakan SAS® 9.1.3. (©SAS Institute Inc.). Perbedaan antar kelompok dan dalam satu kelompok perlakuan diuji secara statistik melalui analisa ragam (Analyse of Variant/ANOVA) dan dilanjutkan dengan pengujian Duncan pada

selang kepercayaan 95% (α=0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa terhadap variabel-variabel yang diamati menunjukkan adanya perbedaan pada kelompok perlakuan. Data temperatur tubuh, frekuensi denyut jantung, frekuensi respirasi dan gejala saat induksi kelompok C tidak dianalisa karena kombinasi anestetikum yang digunakan tidak dapat mencapai stadium anestesi.

Onset dan Durasi Anestesi

(22)

11 Tabel 1 Nilai rataan onset dan durasi anestesi pada kelompok babi (menit)

No Parameter Kelompok A Kelompok B Kelompok C

1 Onset 5,7±2,39a 6,8±2,38a -

2 Durasi 42,6±19,60a 52,3±17,74a -

Keterangan: Huruf superscript (a) pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. (-) = tidak teranestesi.

Berdasarkan hasil uji Duncan diketahui bahwa rataan nilai onset dan durasi anestesi kelompok A tidak berbeda nyata dengan kelompok B (P>0,05). Hal ini karena anestetikum yang digunakan memiliki karakteristik dan rute pemberian yang sama (IM). Ketamin, xylazin, dan zoletil (Tiletamin-zolazepam) merupakan bahan kimia larut lemak (Gunawan et al. 2009). Bahan kimia larut lemak akan berdifusi secara langsung melalui membran sel kapiler tanpa harus melewati pori-pori sehingga dapat merembes ke semua area membran kapiler. Kecepatan transport zat larut lemak lebih cepat dari pada zat yang tidak larut lemak (Guyton dan John 2007).

Anestetikum yang diberikan secara IM akan langsung masuk ke interstitium jaringan otot atau lemak, melewati pembuluh darah kapiler menuju darah sistemik. Bahan kimia yang larut lemak lebih lama dieksresikan dari dalam darah, karena harus diubah menjadi polar (larut air) terlebih dahulu agar dapat diekresikan melalui ginjal atau empedu. Bahan kimia yang akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh merupakan bahan kimia yang terikat pada protein plasma yaitu albumin. Tempat ikatan pada protein plasma tersebut terbatas, sehingga bahan kimia pada dosis terapi akan menggeser obat lain yang terikat pada tempat ikatan yang sama. Bahan kimia yang tergeser ini akan lebih banyak yang bebas, sehingga akan keluar dari pembuluh darah dan menimbulkan efek farmakologik atau dieliminasi dari dalam tubuh (Gunawan et al. 2009).

Hasil penelitian menunjukkan nilai onset dan durasi anestesi lebih lama dibandingkan temuan Ko et al. dalam Gunanti et al. (2011) yang membuktikan bahwa kombinasi zoletil-ketamin-xylazin memiliki induksi yang cepat dan babi akan tertidur dengan posisi lateral rekumbensi dengan selang waktu 2,27±0,6 menit setelah injeksi secara IM. Pada kombinasi zoletil 4,4 mg/kg BB, ketamin 2,2 mg/kg BB dan xylazin 2,2 mg/kg BB ini durasi analgesia yaitu 36,0±12,2 menit. Perbedaan yang terjadi pada jenis hewan yang digunakan perlu mendapat perhatian dalam pemilihan anestetikum yang digunakan. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai keefektifan dosis kombinasi zoletil-ketamin-xylazin yang digunakan terhadap babi lokal Indonesia.

Berdasarkan temuan Gunanti et al. (2011), onset anestesi pada babi lokal menggunakan anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin adalah 3-5 menit dan durasi anestesinya adalah 20-30 menit. Hasil tersebut lebih cepat dari pada hasil yang didapat pada penelitian, hal ini karena dosis kombinasi anestetikum yang digunakan Gunanti et al. (2011) lebih besar dari pada dosis yang digunakan dalam penelitian.

(23)

12

seperti kombinasi zoletil-ketamin-xylazin agar babi dapat teranestesi. Hal ini karena dosis yang digunakan belum cukup sehingga kadar anestetikum yang berikatan dengan reseptornya belum mampu untuk menimbulkan anestesi pada babi. Mekanisme kerja suatu anestetikum merupakan ikatan antara neurotransmiter dengan reseptornya sehingga akan mempengaruhi kanal ion. Temperatur Tubuh

Rentang normal temperatur tubuh babi menurut McCurnin dan Joanna (2006) adalah 38,3-39,5 oC. Nilai rataan temperatur tubuh pada kedua perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai rataan temperatur tubuh pada kelompok babi (oC)

Waktu Kelompok A Kelompok B menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.

Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok A mengalami penurunan temperatur tubuh yang berbeda nyata pada menit ke-0 dengan menit ke-15 s/d 60, sedangkan pada kelompok B penurunan temperatur tubuh yang berbeda nyata terjadi pada menit ke-0 dengan menit ke-60 berdasarkan hasil uji Duncan (P>0,05). Namun demikian, hasil perhitungan rataan nilai temperatur tubuh babi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan.

Perbedaan nyata pada kelompok A karena kombinasi ketamin-xylazin pada dosis tersebut bekerja menekan pusat termoregulator yaitu di bagian anterior hipotalamus. Hal ini sejalan dengan Plumb (2005) yang menyatakan bahwa ketamin merupakan anestetikum yang dapat menekan hipotalamus sehingga menyebabkan penurunan temperatur tubuh. Namun menurut Riebold et al. (1995) penggunaan ketamin sebagai anestetikum pada babi diduga dapat menyebabkan temperatur tubuh yang meningkat. Hal ini karena dipengaruhi oleh suhu ruangan, apabila suhu ruangan dingin maka suhu tubuh akan menurun, tetapi apabila suhu ruangan panas maka temperatur tubuh juga akan meningkat. Penelitian ini dilakukan pada ruang yang dingin, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab penurunan temperatur tubuh pada kedua kelompok perlakuan. Penurunan temperatur tubuh yang terjadi pada kelompok A juga dipengaruhi oleh pemberian xylazin, xylazin dapat menekan mekanisme termoregulasi sehingga dapat menyebabkan hipotermia (Plumb 2005).

(24)

13 1:1. Tiletamin memiliki efek farmakologis serupa dengan ketamin, namun efek yang ditimbulkan tiletamin sangat spesifik pada setiap spesies (Lumb dan Jones 2007). Menurut Gunawan et al. (2009) zolazepam tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan barbiturat atau anestesi umum. Menurut Lee dan Myung (2012) pada babi temperatur rektal akan meningkat setelah pemberian zoletil namun tidak signifikan, sehingga kombinasi pada kelompok B dapat mempertahankan temperatur tubuh lebih stabil.

Penurunan temperatur tubuh pada kelompok B sejalan dengan studi yang dilakukan Gunanti et al. (2011) dimana babi dianestesi menggunakan kombinasi anestetikum zoletil-ketamin-xylazin (zoletil 8 mg/kg BB, ketamin 6 mg/kg BB dan xylazin 2 mg/kg BB) pada saat operasi laparoskopi. Temperatur tubuh yang diukur yaitu 35,5-37.8 oC. Pada kondisi ini babi mengalami hipotermia, hal ini disebabkan karena terjadi penekanan kerja hipotalamus terhadap respon suhu darah yang dingin. Selain itu penurunan temperatur tubuh juga disebabkan karena paparan suhu dingin pada waktu lama, ketidakmampuan dalam menjaga kehilangan panas dan ketidakmampuan dalam menciptakan panas, serta pada saat operasi tidak menggunakan sumber panas ekstra untuk menjaga suhu tubuh hewan.

Xylazin yang dikombinasikan dengan agen anestetikum dapat mendepres sistem saraf pusat dan mekanisme termoregulasi sehingga dapat menyebabkan hipotermia (Plumb 2005). Xylazin merupakan sedativum yang bekerja sebagai α2 adrenergik agonis yang menyebabkan terjadinya inhibisi aktifitas saraf simpatis. Inhibisi aktifitas pada saraf simpatis menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di kulit (Ganiswara et al. 1995). Hal ini akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke kulit yang merupakan mekanisme untuk menurunkan panas tubuh (Cunningham 2002; Guyton dan John 2007).

Frekuensi Denyut Jantung

Hasil perhitungan frekuensi denyut jantung babi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Rentang normal frekuensi denyut jantung babi menurut McCurnin dan Joanna (2006) adalah 60-90 per menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok A dan kelompok B mengalami penurunan nilai yang tidak berbeda nyata setiap tahapan pengamatan berdasarkan uji Duncan (P>0,05).

Tabel 3 Nilai rataan frekuensi denyut jantung pada kelompok babi (per menit)

Waktu Kelompok A Kelompok B

(25)

14

Ketamin pada sistem kardiovaskular dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung (Plumb 2005) dan tekanan darah (Thurmon et al. 1996). Peningkatan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah ini terjadi karena ketamin merangsang sistem saraf pusat secara langsung sehingga menyebabkan aliran simpatis meningkat (Thurmon et al. 1996; Guyton dan John 2007). Efek kardiovaskular yang ditimbulkan oleh ketamin dapat diminimalkan dengan pemberian

sebelumnya benzodiazepin (zolazepam) atau α2 agonis (xylazin) (Thurmon et al. 1996). Hal inilah yang menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung pada kelompok A tidak signifikan.

Tiletamin merupakan anestetikum yang memiliki efek kardiorespiratori mirip dengan ketamin (Gwendolyn 2008; Thurmon et al. 1996). Pemberian tiletamin akan meminimalkan hipotensi akibat efek xylazin melalui kemampuannya merangsang saraf simpatis (Thurmon et al. 1996). Hal inilah yang menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung pada kelompok B tidak signifikan. Menurut Lee dan Myung (2012) anestesi menggunakan tiletamin-zolazepam memiliki efek kardiorespirasi yang stabil. Penggunaannya pada babi menyebabkan frekuensi denyut jantung menurun setelah 5 menit induksi. Sedangkan menurut Thurmon et al. (1996) pemberian zoletil dan xylazin pada babi menyebabkan peningkatan frekuensi denyut jantung diikuti dengan penurunan frekuensi denyut jantung setelah 45 menit induksi di bawah nilai normal.

Menurut Gunanti et al. (2011) penggunaan kombinasi anestetikum zoletil-ketamin-xylazin pada babi saat laparoskopi menunjukkan bahwa frekuensi denyut jantung babi berada dalam kisaran normal, yaitu 68,3±12,6 per menit. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dimana nilai rataan frekuensi denyut jantung babi berada dalam rentang nilai normal. Dengan demikian kombinasi anestetikum yang digunakan pada prosedur yang dilakukan pada babi tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung babi.

Xylazin bekerja sebagai agonis reseptor α2 adrenergik. Reseptor α2 ini terletak di ujung saraf adrenergik dan pada sel efektor di otak. Selain itu reseptor

α2 juga terdapat pada membran prasinaps yang berfungsi dalam umpan balik negatif pelepasan norepinephrine (NE). Aktivasi reseptor α2 pascasinaps dalam otak dapat menyebabkan berkurangnya perangsangan yang kemudian menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung (Adams 2001). Hal ini karena efektivitas pompa jantung dikendalikan oleh saraf simpatis dan parasimpatis yang sangat banyak menginervasi jantung (Guyton dan John 2007).

Frekuensi Respirasi

(26)

15 frekuensi respirasi kelompok A berbeda nyata dengan kelompok B. Hal ini karena pada kelompok A dosis ketamin yang digunakan lebih tinggi dari pada kelompok B, sehingga penekanan yang terjadi pada respirasi lebih besar.

Tabel 4 Nilai rataan frekuensi respirasi pada kelompok babi (per menit)

Waktu Kelompok A Kelompok B 0 57,33±6,11a,y 54,67±18,04a,x 15 50,67±10,07a,y 65,33±8,33a,x 30 48,00±10,58a,y 60,00±10,58a,x 45 52,00±12,00a,y 58,67±14,05a,x 60 49,33±12,86 a,y 52,00±13,86a,x

Keterangan: Huruf superscript (a) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar nilai rataan frekuensi respirasi setiap 15 menit. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.

Ketamin sebagai anestetikum pada dosis biasa tidak menyebabkan penekanan respirasi yang signifikan sedangkan penggunaannya pada dosis yang tinggi menyebabkan terjadinya depresi respirasi (Plumb 2005). Pada babi, ketamin menyebabkan respirasi yang terengah-engah (tachypnoe). Untuk meminimalkan hal tersebut maka pemberian ketamin sebagai anestetikum pada babi dikombinasikan dengan diazepam atau xylazin (Thurmon et al. 1996). Xylazin menyebabkan penekanan respirasi (Adams 2001).

Tiletamin dapat menyebabkan depresi respirasi apabila digunakan dalam dosis tinggi (Plumb 2005), hal ini terjadi juga apabila dikombinasikan dengan zolazepam pada dosis tinggi (Lee dan Myung 2012). Namun menurut Thurmon et al. (1996) pada kebanyakan spesies, tiletamin menyebabkan peningkatan frekuensi respirasi setelah injeksi. Pada babi frekuensi respirasi meningkat pada awalnya, namun akan kembali normal setelah 15 menit.

Data hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa babi dalam keadaan tachypnoe. Menurut Riebold et al. (1995) babi dalam keadaan teranestesi memiliki frekuensi respirasi 10-25 per menit. Keadaan tachypnoe terjadi karena peningkatan PaCO2 dalam sirkulasi, akibat anestetikum yang digunakan menekan reseptor saraf aferen dan eferen, serta mengurangi kontraksi otot (Slatter 2003). Maka sebagai kompensasi untuk mencukupi kebutuhan O2 tubuh, paru-paru bekerja lebih sehingga frekuensi respirasi akan meningkat. Respirasi yang cepat pada babi juga dapat terjadi karena babi mengalami hypoxemia. Hypoxemia dapat disebabkan karena rendahnya pemasukan O2, hypoventilasi, dan O2 dalam vena yang rendah. Apabila O2 yang ditranspor ke jaringan rendah maka cardiac output akan menurun. Akibat hal tersebut maka jaringan akan merespon dengan cara mengambil lebih banyak O2 dari darah, dengan menurunkan kandungan O2 dalam vena balik paru-paru (Slatter 2003). Peningkatan respirasi yang terjadi juga merupakan akibat dari stres karena anestesi atau tindakan bedah yang dilakukan.

(27)

16

Gejala Saat Periode Induksi Anestesi

Tingkah laku hewan adalah respon atau ekspresi hewan oleh adanya rangsangan atau agen yang mempengaruhinya. Gejala-gejala pada babi sebelum teranestesi dapat dilihat pada Tabel 5. Tahapan anestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility), tidak sadar, koma dan kematian karena dosis berlebih (Gunawan et al. 2009).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa setiap anestetikum dapat menimbulkan gejala induksi yang beragam. Pada kelompok A rata-rata babi kehilangan keseimbangannya setelah satu menit induksi. Babi terlihat diam berdiri dan cenderung disudut kandang seolah mengantuk. Perbedaan signifikan terjadi pada kelompok A, babi yang terjatuh masih mampu untuk berdiri sebelum akhirnya terjatuh lagi. Babi terlihat sudah tidak ada perlawanan sebelum akhirnya tidak sadar. Gejala yang terlihat ini berjalan kasar dan babi terlihat tidak tenang saat memasuki stadium anestesi. Idealnya, sikap yang berlebihan dan meronta-ronta harus dihindari selama induksi, karena hal ini sangat tidak menyenangkan untuk hewan dan hal ini merupakan predisposisi aritmia jantung (McKelvey dan Wayne 2003).

Tabel 5 Gejala pada babi sebelum teranestesi

Aktivitas Waktu (menit)

keseimbangan, telinga naik* - 1

Kepala naik-turun* - 1

Keterangan: (-)= tidak terjadi pada kelompok babi, *=pada individu tertentu.

(28)

17 bangun kembali, hal ini berbeda nyata dengan kelompok A yaitu babi yang terjatuh masih dapat berdiri kembali sebelum akhirnya terjatuh kembali dan memasuki stadium anestesi. Kelompok B terlihat menunjukkan gejala yang lebih halus saat memasuki stadium anestesi. Pada kombinasi anestetikum kelompok ini terdapat xylazin dan zolazepam yang bersifat muscle relaxan, sehingga relaksasi otot yang terjadi lebih baik dibandingkan kelompok A.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kombinasi zoletil-ketamin-xylazin dan ketamin-xylazin dosis maksimal sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) memiliki efektifitas sama. Penilaian ini berdasarkan pada durasi anestesi yang lebih panjang, rataan nilai temperatur tubuh (oC) yang lebih stabil, dan gejala pada peride induksi yang lebih halus pada kombinasi zoletil-ketamin-xylazin. Sedangkan pada kombinasi ketamin-xylazin dosis maksimal memiliki onset anestesi yang lebih cepat, rataan nilai frekuensi jantung dan respirasi yang lebih baik dari pada kelompok zoletil-ketamin-xylazin. Anestetikum kombinasi ketamin-xylazin dengan (ketamin 10 mg/kg BB dan xylazin 1 mg/kg BB) tidak efektif sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia.

Saran

Saran yang diajukan berdasarkan penelitian ini adalah metode yang digunakan dapat dimodifikasi menggunakan alat monitoring saturasi respirasi sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat lagi. Selain itu perlu dilakukan penambahan jumlah hewan coba yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ames: Iowa State Press.

Altman J. 1973. Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Chicago: University of Chicago.

[Anonim]. 2012. Babi. http://id.wikipedia.org/wiki/Babi. [6 Januari 2012].

Booth NH. 1995. Drugs Acting on the Central Nervous System, In Booth, N. H. dan Keith R. Banson ed. Veterinary Pharmacology dan Theurapeutics 5th edition. The Iowa State University Press/Ames. UAA. Pp. 155-157; 250-262; 330-336.

(29)

18

Health Centre: Newsletters Publications. Paper 46. http://digitalcommons.unl.edu/icwdmccwhcnews/46. [29 Juni 2012] Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Philadelphia: W. B.

Saunders Company.

Ganiswara SG, Rianto S, Frans DS, Purwantiyas T, dan Nafrialdi [editor]. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.

Garcia PS, Kolesky SE, Jenkins A. 2010. General anaesthetic action on GABAA receptors. Current neuropharmacology. 8:2-9.

Gunanti, Riki S, Raden HS, Muhammad FU, I Gusti NS. 2011. Pembiusan Babi Model Laparoskopi untuk Manusia dengan Zoletyl, Ketamin dan Xylazin. Journal Veteriner 12 no. 4 : 247-253.

Gunawan GS, Rianto SN, Elysabeth, editor. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Guyton AC, John EH. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati, penerjemah; Luqman YR, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Gwendolyn LC. 2008. Small Animal Anesthesia and Analgesia. Ames: Blackwell Publishing.

Hall LW, Kathy WC. 1991. Veterinary Anaesthesia. London: Bailliere Tindal. Houpt KA. 1998. Domestic Animal Behavior for Veterinarians dan Animal

Scientists. Ames: Iowa State University Press.

Kelly WR. 1984. Veterinary clinical diagnosis. London: Bailliere Tindal.

Kuncoro P. 2004. Aktivitas Harian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus, 1760) Rehabilitan di Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Timur [skripsi]. Bali: Universitas Udayana.

Lee JY, Myung CK. 2012. Anesthesia of Growing Pigs with Tiletamine-Zolazepam and Reversal with Flumazenil. Journal Veterinary Medition Science 74(3): 335-339.

Lumb WV, Jones EW. 2007. Veterinary Anesthesia dan Analgesia, Thrid edition. USA: Blackwell Publishing.

McCurnin DM, Joanna MB. 2006. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Philadelphia: Saunders Elsevier.

McKelvey D, K. Wayne H. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia. Missouri: Mosby.

Plumb DC. 1991. Veterinary Drug Handbook. Minnesota: Pharma Vet Publishing. Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook. Minnesota: Pharma Vet Publishing. Riebold TW, DR Geiser, DO Goble. 1995. Large Animal Anesthesia. Ames:

Iowa State University Press.

Slatter D [editor]. 2003. Textbook of Small Animal Surgery. Philadelphia : Saunders.

Swindle MM, Alison. 2007. Swine in the Laboratory: Surgery, Anasthesia, Imaging, and Experimental Techniques. 2nd edition. New York : CRC Press.

Thurmon JC, Wiliam JT, Benson [editor]. 1996. Lumb & Jones Veterinary Anesthesia. Maryland: Williams & Wilkins.

(30)

19 Development of New Placental dan Fetal Expressed Sequence Tags (EST) for Gene Discovery in Pig Reproduction. www.extension.iastate.edu [5 Januari 2012]

Waterman AE. 1983. Influence of Premedication with Xylazin on the Distribution dan Metabolism of Intramuscularly Administrered Ketamin in Cats. Research in Veterinary Science: 285-299.

(31)

20

LAMPIRAN

Hasil uji statistik onset anestesi

ANOVA

Dependent Variable: onset anestesi

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F Value Pr > F Model 1 4.97058824 4.97058824 0.81 0.3810 Error 15 91.50000000 6.10000000

Corrected Total

16

96.47058824

Duncan's Multiple Range Test for onset anestesi

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 6.750 8 ZKX

A

A 5.667 8 KXMax

Hasil uji statistik durasi anestesi

ANOVA

Dependent Variable: durasi anestesi

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F Value Pr > F Model 1 579.218954 579.218954 1.65 0.2189 Error 15 5277.722222 351.848148

Corrected Total

16

5856.941176

Duncan's Multiple Range Test for durasi anestesi

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 54.250 8 ZKX

A

(32)

21 Hasil uji statistik nilai temperatur tubuh

ANOVA

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 36.4280 5 ZKX

Model 4 12.78000000 3.19500000 5.23 0.0155

Error 10 6.11333333 0.61133333

Corrected Total

14 18.89333333

Duncan's Multiple Range Test for temperatur tubuh

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

(33)

22

Hasil uji statistik nilai frekuensi denyut jantung

ANOVA

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 72.167 6 KXMax

Duncan's Multiple Range Test for frekuensi denyut jantung

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

(34)

23 Hasil uji statistik nilai frekuensi respirasi

ANOVA

Dependent Variable: frekuensi respirasi

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F Value Pr > F Model 1 115.6000000 115.6000000 6.25 0.0370

Error 8 148.0000000 18.5000000

Corrected Total

9 263.6000000

Duncan's Multiple Range Test for frekuensi respirasi

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 58.200 5 ZKX

B 51.400 5 KXMax

ANOVA

Dependent Variable: frekuensi respirasi

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F Value Pr > F Model 1 115.6000000 115.6000000 6.25 0.0370

Error 8 148.0000000 18.5000000

Corrected Total

9 263.6000000

Duncan's Multiple Range Test for frekuensi respirasi

Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 57.333 3 0

A

A 52.000 3 45

A

A 50.667 3 15

A

A 49.333 3 60

A

(35)

24

Tabel Pengamatan

DATA INDUKSI/ RECORVERY

Pengamat:...

Tanggal... No.:... BB:... Sex

No. Aktivitas

1 injeksi bius 2 berdiri-jatuh 3 jatuh-berdiri 4 Telinga naik 5 tidak ada perlawanan 6 tidak sadar 8 Rasa sakit

9 reflek mata

10 tonus otot rahang

13 Vokalisasi

14 Maintenance

17 tremor/ kejang 18 Urinasi 19 defekasi 20 Muntah 22 Frek. Napas (/15 s) 23 Frek. Jantung (/15 s)

24 Temperatur

Stadium

Waktu Awal

Waktu Akhir

Induksi

(36)

25 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 02 April 1990 di Ngawi-Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan bapak Prayitno, S.Pd. dan ibu Endah Purwatiningsih, S.Pd.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Munggut I pada tahun 2002. Pendidikan menengah pertama penulis tempuh di SMPN 2 Ngawi dan berhasil diselesaikan pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Ngawi dan pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(37)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan suatu tindakan bedah sangat dipengaruhi oleh pemilihan anestesi yang digunakan (Hall dan Kathy 1991). Anestesi merupakan hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) disertai maupun tidak disertai hilangnya kesadaran. Zat yang digunakan dalam menimbulkan anestesi disebut sebagai anestetikum, yang dibedakan menjadi anestetikum lokal dan anestetikum umum (Gunawan et al. 2009). Pemilihan anestetikum yang ideal perlu dilakukan untuk menghindari efek negatif yang mungkin terjadi. Anestetikum yang ideal memiliki karakteristik yaitu mudah cara pemberiannya, tidak menimbulkan rasa sakit, cepat menghilangkan kesadaran, tidak banyak menyebabkan perubahan fisiologis, relaksasi otot cukup baik, tidak toksik, waktu pemulihan yang cepat, harganya murah, serta cocok dengan obat penunjang yang lain (Thurmon et al. 1996).

Babi sering digunakan sebagai hewan model bedah. Namun demikian, babi merupakan hewan yang sangat sulit untuk dikendalikan, sehingga untuk melakukan tindakan invasif pada babi diperlukan suatu anestesi (Riebold et al. 1995). Belum banyak studi mengenai anestesi pada babi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat efektivitas anestetikum pada babi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan potensi anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylaxin, dan kombinasi ketamin-xylaxin pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia.

Tujuan Penelitian

 Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin dan kombinasi ketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia.

 Penelitian ini dapat menerangkan pengaruh pemberian anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin dan kombinasi ketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia terhadap frekuensi denyut jantung per menit, frekuensi respirasi per menit, temperatur tubuh (oC), dan gejala klinis saat induksi.

Manfaat Penelitian

(38)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

Babi merupakan hewan monogastrik berasal dari Eurasia yang memiliki bentuk hidung khas sebagai ciri hewan tersebut, yaitu berhidung lemper. Babi adalah hewan ungulata yang bermoncong panjang. Sebagai hewan omnivora, babi memakan daging maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu babi merupakan mamalia yang cerdas dan mudah untuk diternakan (Anonim 2012).

Babi diklasifikasikan kedalam (Swindle dan Alison 2007): Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Genus : Sus Spesies : scrofa Subspecies : domestica.

Gambar 1 Anatomi babi (www.onelessthing.net) [24 Juli 2012]

Babi merupakan hewan yang cukup sulit untuk dikendalikan. Insidensi terhadap malignant hipertermia sangat tinggi pada babi, akses pada vena superfisialisnya sangat sedikit, serta injeksi secara IM lebih sulit dilakukan pada babi yang gemuk dan besar. Injeksi secara IM dilakukan di leher dan tidak di kaki belakang. Jarum yang digunakan kurang lebih berukuran 14-18 gauge dengan panjang 1.5-2 inch (Riebold et al. 1995).

Tabel 1 Data fisiologis babi

Temperatur tubuh

(˚C) jantung (x/menit) Frekuensi denyut

Frekuensi respirasi

(39)

3 Babi digunakan sebagai hewan model penelitian karena memiliki berbagai kesamaan anatomi dan fisiologi dengan manusia (Tunggle et al. 2003). Saat babi diisolasi di tempat yang baru atau asing maka akan mengeluarkan aungan pendek yang diikuti dengan teriakan serta adanya peningkatan defekasi. Babi dewasa yang sedang marah akan mengeluarkan aungan lebih keras tetapi hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi denyut jantung. Apabila babi mengalami kesakitan kronis maka akan menggesek-gesekkan giginya (Houpt 1998).

Ketamin Hydrochloride (HCl)

Ketamin HCl merupakan golongan phencyclidine dengan rumus 2-(0-chlorophenil)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride (Adams 2001). Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar, dan relatif aman (batas keamanan lebar). Ketamin merupakan disosiatif anestetikum yang mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan et al. 2009).

Gambar 2 Strutur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl (daily med.nlm.nih.gov 2012)

Efek anestesi dari ketamin terjadi oleh adanya penghambatan efek membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Tahapan anestesinya diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan ketaleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan dan peningkatan tonus otot. Sifat analgesik ketamin sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi (Gunawan et al. 2009).

(40)

4

ketamin dengan xylazin pada babi dapat menyebabkan analgesia jangka pendek yaitu 5 menit, tetapi depresi jantung yang ditimbulkan panjang (Swindle dan Alison 2007).

Ketamin sebagai agen induksi pada babi dapat menimbulkan gerakan reflek tidak sadar pada beberapa babi dan kedalaman anestesi yang bervariasi, terutama jika diberikan IM. Jika dipakai tunggal, ada kekhawatiran bahwa ketamin sendiri tidak memberikan efek analgesia yang memadai pada babi, maka penggunaannya harus dikombinasikan dengan agen lain. Penggunaan suatu kombinasi ketamin dengan senyawa sedatif dapat meningkatkan relaksasi otot dan konsistensi respon (Riebold et al 1995). Withdrawal time ketamin dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Withdrawal time (hari) ketamin, xylazin, zolazepam dan tiletamin

Obat

Withdrawal time (hari) Injeksi IM

Satwa liar Rusa merah Hewan ternak

Ketamin 3 2 3

Xylazin 30 3 3

Zolazepam dan

tiletamin (1:1) 14 2 365

( Cattet 2003)

Xylazin Hydrochloride (HCl)

Xylazin HCl merupakan senyawa sedatif golongan α2 adrenergik agonis yang bekerja dengan cara mengaktifkan central α2–adrenoreceptor (Thurmon et al. 1996). Xylazin memiliki rumus kimia 2-(2,6-xylodino)5,6-dihydro-4H-1,3-thiazin hydrochloride (Booth 1995). Xylazin menyebabkan penekanan SSP yang diawali dengan sedasi kemudian pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi (Hall dan Kathy dalam Zulfadli 2005).

Gambar 3 Struktur kimia xylazin C12H16N2S (www.new drug info.com, 2012)

(41)

5

abdomen. Ketika α2 adrenoreceptor diaktifkan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, selain itu α2 adrenoceptor dijumpai juga pada sistem kardiovaskular, sistem respirasi, gastrointestinal, SSP, ginjal, sistem endokrin dan trombosit (Adams 2001).

Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat memperpanjang durasi analgesi, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek masa pemulihan. Pada kucing penggunaan bersama xylazin-ketamin menyebabkan perlambatan absorpsi ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi anestesi lebih panjang (Waterman 1983). Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardi, arythmia, peningkatan tekanan SSP, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi (pengurangan frekuensi respirasi dan volum respirasi per menit) serta hipertensi yang diikuti dengan hipotensi (Luna et al. dalam Zulfadli 2005).

Efek xylazin pada fungsi respirasi biasanya tidak berarti secara klinis, tetapi pada dosis yang tinggi dapat mendepres respirasi sehingga terjadi penurunan volum tidal dan respirasi rata-rata (Plumb 1991). Perubahan yang cukup jelas terlihat pada fungsi kardiovaskular. Awalnya segera setelah injeksi, tekanan darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan konstriksi pembuluh darah kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan tekanan darah dan pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan menurun sehingga menimbulkan bradikardi dan tekanan darah menurun mencapai level normal atau subnormal. Pada babi, xylazin tidak memberikan hasil yang baik kecuali digunakan dengan dosis yang tinggi (Riebold et al 1995).

Zoletil (Kombinasi Tiletamin-Zolazepam)

Zoletil merupakan kombinasi antara tiletamin dan zolazepam dengan perbandingan 1:1. Tiletamin merupakan disosiatif anestetikum yang berasal dari golongan pensiklidin, sedangkan zolazepam merupakan kelompok benzodiazepin yang dapat menyebabkan relaksasi otot (Gwendolyn 2008).

Gambar 4 Struktur kimia zoletil (www.chemdrug.com, 2012)

(42)

6

opioid (Gwendolyn 2008). Menurut Riebold et al. (1995) zoletil tidak boleh diberikan pada hewan dengan gangguan jantung dan respirasi.

Zoletil dapat menyebabkan analgesia, tetapi visceral analgesia yang ditimbulkan tidak cukup untuk bedah abdomen mayor, kecuali jika ditambah dengan agen lain. Takikardia dan aritmia jantung dapat terjadi pada anestesi ringan, dan apabila digunakan pada dosis yang tinggi maka cardiac output akan berkurang secara signifikan. Kombinasi tiletamin-zolazepam ini akan dimetabolisme oleh hati dan dieksresikan melalui ginjal (McKelvey dan Wayne 2003).

Tiletamin memiliki efek kardiorespiratori serupa dengan ketamin, selain itu efek yang ditimbulkan pada susunan saraf pusat sangat spesifik pada setiap spesies (Thurmon et al. 1996). Tiletamin memiliki durasi yang lebih panjang dari ketamin, begitu juga dengan analgesianya (Gwendolyn 2008). Tiletamin dapat menghasilkan efek kataleptik yang cepat, menghilangkan respon terhadap rangsangan, depresi respirasi, dan memiliki periode pemulihan panjang (Hall dan Kathy 1991). Tiletamin dimetabolisme dalam hati dan dieliminasi melalui urin dalam bentuk yang tidak aktif.

Zolazepam merupakan turunan benzodiazepin yang bebas dari aktivitas

hambatan α adrenergik (Thurmon et al. 1996). Kombinasi dengan tiletamin dapat

menyebabkan peningkatan penekanan pada SSP, selain itu juga dapat mencegah kekejangan dan memperbaiki relaksasi otot akibat tiletamin (McKelvey dan Wayne 2003). Zolazepam dapat menimbulkan efek kelemahan pada periode pemulihan pada babi dewasa. Untuk meminimalkan hal tersebut maka penggunaan zoletil harus dikombinasikan dengan ketamin. Xylazin juga ditambahkan untuk meningkatkan efek sedasi dan analgesi pada kombinasi tersebut. Untuk melakukan sedasi dan anestesi ringan pada babi digunakan dosis yang kecil, karena dosis yang terlalu tinggi akan menimbulkan efek kejang (Lumb dan Jones 2007).

Onset dan Durasi

Proses dimana hewan mulai kehilangan kesadaran normal dan memasuki keadaan tidak sadar disebut sebagai induksi. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Awalnya akan terlihat gejala inkoordinasi diikuti dengan relaksasi dan ketidaksadaran. Idealnya, sikap yang berlebihan dan meronta-ronta harus dihindari selama induksi, karena hal ini sangat tidak menyenangkan untuk hewan dan merupakan predisposisi aritmia jantung. Kecepatan induksi bergantung pada kecepatan dicapainya kadar efektif zat anestetik di otak, begitu pula masa pemulihan setelah pemberian dihentikan. Onset anestesi umum juga ditandai dengan hilangnya beberapa reflek, termasuk kemampuan menelan dan batuk (McKelvey dan Wayne 2003).

(43)

7 membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya anestetikum yang larut air masuk darah melalui celah antar sel endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan besar molekulnya (Gunawan et al. 2009). Durasi merupakan masa kerja suatu anestetikum, masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk malakukan tindakan operasi. Secara umum durasi kerja berkaitan dengan kelarutan anestetikum dalam lemak. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi mempunyai durasi yang lebih panjang, karena lebih lama diekresikan dari dalam darah.

Setelah periode induksi, hewan memasuki periode maintenance, selama periode ini ketersediaan anestetikum disuplai untuk menjaga hewan tetap dalam kondisi anestesi yang dalam. Pada periode maintenance terjadi relaksasi otot skelet, sedikit terjadinya reflek palpebrae, sedikit terjadinya depresi respirasi dan kardiovaskular. Jika kedalaman anestesi meningkat maka hewan akan menunjukkan depresi respirasi dan kardiovaskular yang lebih, dan pada kondisi over dosis anestesi, kegagalan respirasi dan kardiovaskular dapat terjadi. Monitoring beberapa parameter fisiologis yang intensif seperti temperatur tubuh, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi sangat dibutuhkan pada periode ini (McKelvey dan Wayne 2003).

Periode maintenance berakhir dan mulai memasuki periode recovery atau disebut sebagai masa pemulihan, konsentrasi anestetikum di otak berkurang (McKelvey dan Wayne 2003). Selama masa pemulihan, dilakukan pemeriksaan pada hewan sampai hewan dapat mempertahankan posisi tubuhnya sternal recumbency, mempunyai frekuensi denyut jantung dan frekuensi respirasi stabil, dan memiliki temperatur tubuh nomal, atau satu sampai dua derajat dari temperatur tubuh normal (McCurnin dan Joanna 2006). Proses pemulihan dari anestesi merupakan suatu hal yang bertentangan pada proses induksi. Pada proses pemulihan ini aktivitas reflek dan kepekaan terhadap rasa sakit telah kembali (McKelvey dan Wayne 2003).

Periode pemulihan didefinisikan sebagai periode antara penghentian anestesi dan waktu hewan tersebut mampu berdiri dan berjalan tanpa bantuan. Periode pemulihan ini tergantung pada banyak faktor, seperti:

1. Panjang anestesi. Semakin lama periode pemberian anestesi, semakin lama periode pemulihannya.

2. Kondisi hewan. Pemulihan yang panjang terlihat pada hewan yang memiliki penyakit (terutama penyakit hati dan ginjal).

3. Jenis anestetikum yang diberikan dan rute pemberiannya. Hewan yang diberikan anestetikum inhalasi mempunyai periode pemulihan yang lebih pendek dari pada hewan yang diberikan anestetikum secara injeksi. Periode pemulihan yang lebih panjang terlihat pada pemberian IM dari pada IV.

4. Temperatur tubuh hewan. Hewan yang mengalami hypothermia memiliki metabolisme yang lambat dan lambat dalam mengeskresi anestetikum dari tubuh.

Gambar

Tabel pengamatan
Tabel 1 Data fisiologis babi
Gambar 5  Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C
Tabel 3  Nilai rataan frekuensi denyut jantung pada kelompok babi (per menit)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang dan tema mengenai sistem pengambilan keputusan maka dilakukan penelitian skripsi dengan judul “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Prioritas Untuk

18 Penelitian oleh Yaputri tahun 2005 juga menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara waktu tempuh tes TUG dengan derajat OA lutut,

berkompetisi yang sifatnya klasikal ini lebih menarik perhatian siswa. Kegiatan diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran dan dilanjutkan kegiatan inti yang meliputi

Gambar A menunjukkan bronkus normal, dengan silia yang masih utuh, tampak seperti bulu sikat pada puncak sel epitel torak (panah biru). Sedangkan gambar B, pada puncak sel-sel

Dalam penelitian ini, yang menjadi peubah bebas adalah iringan musik dalam penyelesaian soal matematika (X), sedangkan yang menjadi peubah ter- ikatnya

Melalui metode penelitian tersebut maka penulis akan mendapatkan analisa mengenai bentuk perikatan dan tanggung jawab Penyedia Jasa Layanan Taksi Uber, pemilik rental mobil, dan

Sebarang perjanjian (sama ada lisan atau bertulis dan sama ada dinyatakan atau dibayangkan) di mana seseorang itu bersetuju untuk mengambil seseorang yang lain bekerja

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengrajin berpendidikan rendah, pengrajin memiliki jumlah anak sedikit, pengrajin memiliki jumlah tanggungan tergolong kecil, seluruh