• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Spesies Burung pada Beberapa Ketinggian Tempat di Hutan Alam Kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Spesies Burung pada Beberapa Ketinggian Tempat di Hutan Alam Kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN SPESIES BURUNG

PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI HUTAN ALAM

KAWASAN CIWIDEY KABUPATEN BANDUNG

SETIAWAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Spesies Burung pada Beberapa Ketinggian Tempat di Hutan Alam Kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

SETIAWAN. Keanekaragaman Spesies Burung pada Beberapa Ketinggian Tempat di Hutan Alam Kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh YENI ARYATI MULYANI dan ANI MARDIASTUTI.

Keanekaragaman spesies burung dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketinggian tempat, vegetasi dan suhu. Tujuan penelitian ini adalah menghitung kekayaan dan keanekaragaman, menentukan hubungan antara keanekaragaman spesies burung dengan ketinggian tempat, suhu dan keanekaragaman pohon, memetakan penyebaran lokal dan vertikal. Penelitian dilakukan di hutan alam pegunungan pada ketinggian 1600, 1800, 2000 dan 2200 m dpl di kawasan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Suhu dan kelembaban diukur dengan termometer bola basah-bola kering. Data vegetasi diambil dengan metode jalur berpetak. Data burung dikumpulkan dengan metode titik hitung. Jumlah spesies dan indeks keanekaragaman burung (H’) mengalami penurunan dengan bertambahnya ketinggian tempat. Jumlah spesies dan nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada ketinggian 1600 m dpl (41 spesies, H’=3,43). Keanekaragaman spesies burung berkorelasi negatif (r=-0.97) dengan ketinggian tempat dan keanekaragaman spesies burung berkorelasi positif dengan suhu (r=0.95) maupun keanekaragaman pohon (r=0.70).

Kata kunci : Ciwidey, keanekaragaman spesies burung, ketinggian tempat

ABSTRACT

SETIAWAN. The Diversity of Bird Species in Different Altitudes at Ciwidey Natural Forest Bandung Regency. Supervised by YENI ARYATI MULYANI and ANI MARDIASTUTI.

Bird diversity is influenced by some factors, such as altitude, vegetation and temperature. The objective of this research is to count the diversity and species richness, determine the relationship between bird diversity and altitude, temperature and tree diversity, also to map the dispersal of birds locally and vertically. The research was conducted in a natural forest at an elevation of 1600, 1800, 2000 and 2200 m asl at Ciwidey area, Bandung Regency. Temperature and humidity was measured by using a dry bulb & wet bulb thermometer. Vegetation data was collected by using square line method. Bird data was collected by using point count method. The number of species and the diversity index (H’) decreases as the altitude increase. The highest number of species and diversity index (H’) is at the altitude of 1600 m asl (41 species, H’=3,43). Results of the analysis using correlation test showed that the relationship between bird diversity correlates negatively with height (r=-0.97) and bird diversity correlates positively with temperature (r=0.95) or tree diversity (r=0.70).

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

KEANEKARAGAMAN SPESIES BURUNG

PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI HUTAN ALAM

KAWASAN CIWIDEY KABUPATEN BANDUNG

SETIAWAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Keanekaragaman Spesies Burung pada Beberapa Ketinggian Tempat di Hutan Alam Kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung Nama : Setiawan

NIM : E34080034

Disetujui oleh

Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc Pembimbing I

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah ekologi satwa liar, dengan judul Keanekaragaman Spesies Burung pada Beberapa Ketinggian Tempat di Hutan Alam Kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc dan Ibu Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc selaku pembimbing, serta Ibu Anne Carolina, Ssi MSi selaku dosen penguji pada ujian komprehensif. Bapak Insan Kurnia, Shut MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Djoko Prihatno, MM selaku Kepala BBKSDA Jawa Barat dan Banten, Bapak Siswoyo, AMd selaku Kepala SKW II, Bapak Lius Lottong selaku Duty Manager WW Kawah Putih. Mang Didi, Mang Ujang, Yogi Bachtiar yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta atas dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2

Lokasi dan Waktu 2

Metode Pengumpulan Data 2

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Kondisi Habitat 6

Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Burung 9

Indeks Kesamaan Komunitas 10

Penyebaral Lokal Spesies burung 11

Penyebaran Vertikal Spesies Burung 17

Hubungan Keanekaragaman Spesies Burung dengan Ketinggian

Tempat, Suhu dan Keanekaragaman Pohon 17

Pembahasan 23

Kondisi Habitat 23

Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Burung 23

Indeks Kesamaan Komunitas 25

Penyebaral Lokal Spesies Burung 25

Penyebaran Vertikal Spesies Burung 25

Hubungan Keanekaragaman Spesies Burung dengan Ketinggian

Tempat, Suhu dan Keanekaragaman Pohon 26

Implikasi Konservasi 27

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 30

(10)

DAFTAR TABEL

1 Pembagian strata burung secara vertikal 3

2 Kekayaan, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan spesies

burung di hutan alam pada empat ketinggian 9

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 4

2 Ilustrasi penempatan titik IPA pada beberapa ketinggian tempat 5 3 Profil vegetasi hutan alam di Cagar Alam Situ Patengan pada

ketinggian 1600 m dpl 6

4 Profil vegetasi hutan alam di Taman Wisata Alam Cimanggu pada

ketinggian 1800 m dpl 7

5 Profil vegetasi hutan alam di Hutan Lindung Kawah Putih pada

ketinggian 2000 m dpl 8

6 Profil vegetasi hutan alam di Hutan Lindung Kawah Putih pada

ketinggian 2200 m dpl 9

7 Jumlah spesies burung berdasarkan famili pada empat ketinggian 10

8 Dendrogram kesamaan komunitas burung 11

9 Sketsa penyebaran lokal spesies burung pada empat ketinggian 12 10 Sketsa penyebaran lokal spesies burung di hutan alam (Cagar Alam)

Situ Patengan pada ketinggian 1600 m dpl 13

11 Sketsa penyebaran lokal spesies burung di hutan alam (Taman Wisata

Alam) Cimanggu pada ketinggian 1800 m dpl 14

12 Sketsa penyebaran lokal spesies burung di hutan alam (Hutan Lindung)

Kawah Putih pada ketinggian 2000 m dpl 15

13 Sketsa penyebaran lokal spesies burung di hutan alam (Hutan Lindung)

Kawah Putih pada ketinggian 2200 m dpl 16

14 Sketsa penyebaran vertikal spesies burung di hutan alam (Cagar Alam)

Situ Patengan pada ketinggian 1600 m dpl 18

15 Sketsa penyebaran vertikal spesies burung di hutan alam (Taman Wisata Alam) Cimanggu pada ketinggian 1800 m dpl 19 16 Sketsa penyebaran vertikal spesies burung di hutan alam (Hutan

Lindung) Kawah Putih pada ketinggian 2000 m dpl 20 17 Sketsa penyebaran vertikal spesies burung di hutan alam (Hutan

Lindung) Kawah Putih pada ketinggian 2200 m dpl 21 18 Hubungan keanekaragaman spesies burung dengan (a) ketinggian

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan di Pulau Jawa mengalami degradasi dan luasannya semakin berkurang. Menurut MacKinnon et al. (1998) hanya 10% dari luas Pulau Jawa berupa kawasan hutan dan umumnya berada di pegunungan. Hutan pegunungan memiliki perbedaan nyata terutama dalam hal ketinggian, vegetasi dan suhu. Komposisi spesies vegetasi dan struktur hutan berubah dengan semakin tingginya suatu tempat (Alikodra 2002). Semakin tinggi suatu tempat akan terjadi penurunan tinggi pepohonan dan penyederhanaan struktur hutan. Sebagai contoh, di hutan pegunungan bawah lebih banyak epifit seperti anggrek dibandingkan dengan di hutan pegunungan atas yang ditemukan sejumlah besar lumut. Disisi lain, suhu mengalami penurunan setiap kenaikan ketinggian tempat. Laju penurunan suhu di wilayah pegunungan umumnya sekitar 0,5-0,6°C setiap kenaikan ketinggian sebesar 100 m (Whitten et al. 1999).

Burung merupakan kelompok satwa liar yang memiliki penyebaran yang sangat luas mulai dari habitat pantai hingga pegunungan. Penyebaran spesies burung akan sesuai dengan kemampuan pergerakannya dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis (Alikodra 2002). Ketinggian tempat akan menciptakan iklim lokal yang mempengaruhi struktur vegetasi sehingga menentukan penyebaran burung (Ruggeiro dan Hawkins 2008). Seiring bertambahnya ketinggian tempat, maka keanekaragaman spesies burung akan semakin rendah. Keanekaragaman spesies burung dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ketinggian (Rodrigues et al. 2010), keanekaragaman vegetasi (Joshi et al. 2012) dan suhu (McCain 2009).

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keanekaragaman berkurang dengan bertambahnya ketinggian tempat. Rodrigues et al. (2010) melakukan penelitian pada ketinggian 300-2100 m dpl di wilayah tenggara pegunungan Brazil, dan mendapatkan jumlah spesies burung tertinggi terdapat pada ketinggian 400-1000 m dpl, sedangkan jumlah spesies terendah terdapat pada ketinggian diatas 1800 m dpl. Navvaro (1992) yang melakukan penelitian serupa pada ketinggian antara 680-3100 m dpl di Sierra Madre del Sur, Guerrero Mexico mencatat jumlah spesies burung tertinggi pada ketinggian antara 680-820 m dpl (44 spesies), sedangkan jumlah spesies terendah terdapat pada ketinggian 3100 m dpl (14 spesies).

Kawasan Ciwidey termasuk ke dalam administrasi Kabupaten Bandung yang memiliki hutan alam dan berada pada ketinggian antara 1600-2400 m dpl dengan puncak tertinggi Gunung Patuha. Hutan alam tersebut merupakan formasi hutan pegunungan yang statusnya terdiri atas cagar alam, taman wisata alam dan hutan lindung. Mengingat peranan burung sebagai penyeimbang ekosistem maka perlu dilakukan upaya konservasi burung. Hingga saat penelitian ini dilakukan, informasi tentang keanekaragam spesies burung di lokasi tersebut masih belum terdokumentasi dengan baik, padahal upaya konservasi memerlukan dukungan data dan informasi yang memadai.

(12)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Menghitung kekayaan dan keanekaragaman spesies burung di hutan alam pada beberapa ketinggian tempat di Kawasan Wisata Ciwidey Kabupaten Bandung. 2. Menentukan hubungan antara keanekaragaman spesies burung dengan

ketinggian tempat, suhu dan keanekaragaman pohon.

3. Memetakan penyebaran lokal dan penyebaran vertikal spesies burung pada beberapa ketinggian tempat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi dasar mengenai keanekaragaman spesies burung pada beberapa ketinggian tempat di Kawasan Ciwidey. Informasi tersebut diharapkan menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengelolaan khususnya upaya konservasi burung.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di hutan alam pegunungan pada ketinggian 1600, 1800, 2000 dan 2200 m dpl di kawasan Ciwidey, Kabupaten Bandung (Gambar 1). Rentang kenaikan ketinggian sebesar 200 m dipilih berdasarkan kondisi topografi yang curam di sebagian lokasi pengamatan dan menghindari terjadinya tumpang tindih (overlapping) pada plot pengamatan (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3-15 Oktober dan 1-9 November 2012.

Metode Pengumpulan Data

Orientasi Lapang

Orientasi lapang selama satu minggu dilakukan sebelum penelitian dimulai untuk menentukan plot-plot pengamatan dan mencocokkan dengan peta kerja (Peta Ketinggian Kawasan Ciwidey Skala 1:100 000). Setiap plot pengamatan diberi tanda dan kode untuk memudahkan pengambilan data.

Data Habitat

(13)

tiga voluntir. Waktu pengukuran dilakukan antara pukul 12.00-13.30 WIB dengan pencatatan atau pembacaan skala suhu setiap 15 menit sekali dengan pengulangan selama 3 hari. Pada ketinggian 1800 m dpl, terjadi ketidaksesuaian dalam penempatan alat ukur di hutan alam dan kesalahan dalam prosedur pengukuran sehingga parameter ini tidak digunakan dalam analisis data pada ketinggian 1800 m dpl.

Pengumpulan data vegetasi pada masing-masing ketinggian menggunakan metode jalur berpetak (Soerianegara dan Indrawan 2008). Selain itu untuk melihat tingkat stratifikasi hutan dilakukan pembuatan profil vegetasi dengan cara melakukan pengukuran pada satu plot berukuran 10x50 m. Parameter yang diamati adalah jenis vegetasi, tinggi total dan bebas cabang pohon dan tiang, diameter tiang dan pohon serta lebar kanopi. Peralatan yang digunakan dalam pengumpulan data vegetasi yaitu haga meter, pita diameter, meteran dan kompas. Data Burung

Pengumpulan data burung menggunakan metode titik hitung atau IPA (Index Point Of Abundance) dengan radius 50 m, jarak antar titik 100 m dan waktu penghitungan di setiap titik 15 menit. Di setiap ketinggian tempat dilakukan penghitungan pada 20 titik hitung. Titik pengamatan ditempatkan berdasarkan aksesibilitas antara lain mengikuti jalur yang sudah ada. Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00-09.00 WIB.

Penyebaran lokal spesies burung endemik, khas pegunungan, burung pemangsa dan burung migran di luar titik hitung ditandai dengan GPS. Penyebaran vertikal spesies burung dilakukan dengan cara mencatat posisi spesies burung yang teramati pada strata tajuk. Pembagian strata tajuk mengacu pada van Balen (1984) (Tabel 1). Peralatan yang digunakan adalah binokuler 8x50, pengukur waktu, buku panduan pengenalan spesies burung (MacKinnon 1998), altimeter dan kamera.

Tabel 1 Pembagian strata burung secara vertikal (van Balen 1984)

No. Kriteria Ketinggian (m)

(14)

4

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Cagar Alam Situ Patengan

Taman Wista Alam Cimanggu

(15)

Gambar 2 Ilustrasi penempatan titik hitung pada beberapa ketinggian tempat Analisis Data

Data Habitat

Analisis data suhu dan kelembaban dilakukan secara deskriptif. Analisis data vegetasi menggunakan indeks nilai penting (INP) mengikuti persamaan Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974). Keanekaragaman tiang dan pohon dihitung dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Misra 1980). Perhitungan profil habitat yang diperoleh digunakan untuk menggambar stratifikasi profil hutan alam (skala 1:200) pada masing-masing ketinggian dan diikuti dengan analisis deskriptif.

Data Burung

Kekayaan dan keanekaragaman spesies burung dihitung dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Magurran 2004) sedangkan proporsi kelimpahan spesies burung dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan (Index of Evennes) (Magurran 2004). Kesamaan komunitas spesies burung antar ketinggian tempat dihitung dengan indeks kesamaan spesies Jaccard (Krebs 1999) dan untuk mempermudah melihat hubungan komunitas burung antar ketinggian digunakan dendrogram.

Untuk melihat hubungan peubah bebas X (ketinggian tempat, suhu dan keanekaragaman pohon) dan peubah terikat Y (keanekaragaman spesies burung) maka dilakukan uji korelasi (Pearson Correlation) dengan taraf signifikan 5% (p<0,05) dan dihitung koefisien determinasi (R2). Selanjutnya untuk mengetahui model persamaan hubungan peubah bebas X dengan peubah Y akan dilakukan uji regresi linear sederhana. Dalam melakukan uji korelasi dan regresi linear sederhana menggunakan program MiniTab versi 16.1.

(16)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Habitat

Hutan alam pada ketinggian 1600 m dpl

Hutan alam dengan ketinggian 1600 m dpl terletak di Situ Patengan yang berstatus Cagar Alam (CA) (7°10’186”-7°10’322” LS dan 107°21’81” -107°21’359” BT). Hutan tersebut berbatasan dengan Situ Patengan, ladang masyarakat dan kebun teh milik PT Perkebunan Nusantara. Terdapat dua sungai kecil yang airnya mengalir menuju Situ Patengan. Suhu rata-rata hasil pengukuran berkisar 21.3°C (n=18) dengan kelembaban rata-rata mencapai 79.7% (n=18).

Kondisi vegetasi yang dijumpai cukup beragam. Analisis vegetasi menemukan 11 spesies tumbuhan bawah, 7 spesies semai, 8 spesies pancang, 8 spesies tiang dan 12 spesies pohon. Tingkat tumbuhan bawah didominasi oleh bubukuan (Tetraglochidium bibracteatum) (INP=76.2%). Tingkat semai didominasi oleh heas (INP=69.1%) dan tingkat pancang didominasi oleh heas (INP=55.5%). Tingkat tiang didominasi oleh beunying (Ficus fistulosa) (INP=94.3%) dan tingkat pohon didominasi oleh puspa (Schima walichii) (INP=70.2%).

Keanekaragaman pohon dan tiang termasuk rendah (H’pohon=2.19, H’ tiang=1.86). Berdasarkan analisis stratifikasi tajuk hutan terdapat lima strata tajuk yaitu strata E-strata A (Gambar 3). Tinggi pohon dan tiang berkisar antara 9-31 m dengan penutupan tajuk hutan cukup terbuka. Pohon puspa (S. walichii) merupakan satu-satunya spesies pohon termasuk dalam strata A.

Gambar 3 Profil vegetasi hutan alam di Cagar Alam Situ Patengan pada ketinggian 1600 m dpl

Keterangan :

1. Elaeocarpus oxypyren 2. Quercus sundaica 3. Engelhardia spicata 4. Ki simut

5. Castanopsis javanica 6. Manglietia glauca 7. Ficus fitulosa 8. Slonanea sigun 9. Ki hejo

(17)

Hutan alam pada ketinggian 1800 m dpl

Hutan alam ketinggian 1800 m dpl terletak di Cimanggu yang berstatus Taman Wisata Alam (7°08’777”-7°09’100” LS dan 107°23’429”-107°23’797” BT). Keberadaan hutan alam ini dipertahankan sebagai blok perlindungan khususnya untuk tata air (hidrologi) bagi kawasan dibawahnya. Hutan alam tersebut berbatasan dengan hutan tanaman kayu putih (Eucalyptus alba).

Analisis vegetasi menemukan 14 spesies tumbuhan bawah, 2 spesies semai, 5 spesies pancang, 5 spesies tiang dan 15 spesies pohon. Tingkat tumbuhan bawah didominasi oleh tumbuhan bubukuan (T. bibracteatum) (INP=42.1%) dan tingkat semai didominasi oleh pasang (Quercus sundaica) (INP=116.7%). Tingkat pancang didominasi oleh ki sirem (Eugenia lineata) (INP=66.7%). Tingkat tiang didominasi oleh saninten (Castanopsis argentea) (INP= 74.6%) dan pada tingkat pohon didominasi oleh saninten (Castanopsis argentea) (INP=46.0%).

Keanekaragaman spesies pohon termasuk sedang (H’=2.69) pohon sedangkan keanekaragaman spesies tiang termasuk rendah (H’=1.59). Terdapat empat strata tajuk yaitu strata E-strata B (Gambar 4). Tinggi pohon dan tiang berkisar antara 7-28 m dengan penutupan tajuk hutan cukup rapat. Tinggi pohon dan lebar tajuk di hutan alam pada ketinggian 1800 m dpl terlihat tidak berbeda jauh pada ketinggian 1600 m dpl.

Gambar 4 Profil vegetasi hutan alam di Taman Wisata Alam Cimanggu pada ketinggian 1800 m dpl

Hutan alam pada ketinggian 2000 m dpl

Hutan alam pada ketinggian 2000 m dpl terletak di Kawah Putih yang berstatus Hutan Lindung (HL) milik Perum Perhutani (7°09’053”- 7°09’252” LS dan 107°24’221”-107°24’382” BT). Hutan alam ini berfungsi sebagai kawasan penyangga dibawahnya bagi siklus hidrologi dan perlindungan ekosistem khas hutan pegunungan. Hutan alam tersebut berbatasan dengan hutan tanaman kayu putih (Eucalyptus alba). Suhu rata-rata hasil pengukuran berkisar 18.8°C dengan kelembaban rata-rata mencapai 87%.

Keterangan : 1. Litsea cubeba 2. Trema orientalis 3. Syzigium antisepticum 4. Engelhardia spicata 5. Castanopsis argentea 6. Quercus sundaica 7. Manglietia glauca 8. Ficus ampelas

(18)

8

Analisis vegetasi menemukan 15 spesies tumbuhan bawah, 5 spesies semai, 7 spesies pancang, 8 spesies tiang dan 14 spesies pohon. Tingkat tumbuhan bawah didominasi oleh tumbuhan bubukuan (T. bibracteatum) (INP=52.6%). Tingkat semai didominasi oleh ki kopi (Hypobathrum frutescens) (INP=80.4%) dan tingkat pancang didominasi oleh ki kopi (H. frutescens) (INP=52.2%). Tingkat tiang didominasi oleh huru (Litsea javanica) (INP=72.9%) dan tingkat pohon didominasi oleh puspa (Schima walichii) (INP=70.5%).

Keanekaragaman pohon termasuk sedang (H’=2.36) sedangkan keanekaragaman tiang termasuk rendah (H’=1.99). Terdapat empat strata tajuk yaitu strata E-strata B. Tinggi pohon dan tiang berkisar antara 7-24 m dengan penutupan tajuk hutan tidak terlalu rapat. Kondisi semacam ini menyebabkan cahaya matahari dapat menembus lantai hutan sehingga banyak spesies tumbuhan bawah seperti T. bibracteatum yang tumbuh dominan dengan tinggi mencapai 2 m. Pada ketinggian ini, lebar tajuk lebih sempit jika dibandingkan dengan ketinggian sebelumnya (Gambar 5).

Gambar 5 Profil vegetasi hutan alam di Hutan Lindung Kawah Putih pada ketinggian 2000 m dpl

Hutan alam pada ketinggian 2200 m dpl

Hutan alam ketinggian 2200 m dpl terletak di Gunung Patuha yang berstatus Hutan Lindung (7°09’856”-7°10’017” LS dan 107°24’329”-107°24’516” BT). Hutan alam ini tidak jauh dari kawah putih yang berada diatasnya. Suhu rata-rata hasil pengukuran berkisar 17.8°C dengan kelembaban rata-rata mencapai 86.7%.

Spesies vegetasi yang ada relatif seragam pada tingkat tiang dan pohon. Analisis vegetasi menemukan 3 spesies tumbuhan bawah, 6 spesies semai, 4 spesies pancang, 7 spesies tiang dan 5 spesies pohon. Tingkat tumbuhan bawah didominasioleh tumbuhan paku pandan (Displazium sp.) (INP=91.2) Tingkat semai didominasi oleh cantigi (Vaccinium varingaefolium) (INP=81.9%) dan tingkat pancang didominasi oleh huru (Litsea javanica) (INP=55.0%). Tingkat

Keterangan :

1. Acronychia pedunculata 2. Mangprang

3. Litsea angulata 4. Quercus sundaica 5. Ki simut

6. Ediandra macrophylla 7. Huru batu

(19)

tiang didominasi oleh cantigi (V. varingaefolium) (INP=170.9%) dan tingkat pohon didominasi oleh cantigi (V. varingaefolium) (INP=122.7%).

Keanekaragaman pohon dan tiang termasuk rendah (H’ pohon=1.45, H’ tiang=1.99). Terdapat empat strata tajuk yaitu strata E-strata B. Tinggi pohon dan tiang berkisar antara 9-17 m dengan penutupan tajuk hutan tidak terlalu rapat. Pada ketinggian ini, komposisi dan tinggi pohon semakin seragam (Gambar 6).

Gambar 6 Profil vegetasi hutan alam di Hutan Lindung Kawah Putih pada ketinggian 2200 m dpl

Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Burung

Jumlah spesies dan nilai indeks keanekaragaman (H’) mengalami penurunan dengan bertambahnya ketinggian tempat. Jumlah spesies dan nilai H’ tertinggi terdapat pada ketinggian 1600 m dpl tetapi nilai indeks kemerataan (E’) tertinggi terdapat pada ketinggian 2200 m dpl (Tabel 2).

Tabel 2 Kekayaan, indeks keanekaragaman (H’) dan indeks kemerataan (E’) spesies burung di hutan alam pada empat ketinggian

Ketinggian

(m dpl) Famili Marga Spesies Individu H’ E’

1600 19 35 41 171 3.43 0.93

1800 19 30 38 198 3.25 0.89

2000 17 28 33 122 3.20 0.91

2200 8 18 21 97 2.92 0.95

Total 20 44 50 588 3.46 0.89

Keterangan : Hasil pengamatan pada 20 titik hitung pada setiap ketinggian

Pada empat ketinggian, famili Timaliidae memiliki anggota spesies terbanyak, diikuti Silviidae dan Muscicapidae. Sebanyak 18 famili memiliki anggota spesies burung berkisar 1 hingga 3 spesies (Gambar 7).

Keterangan : 1. Litsea angulata 2. Quercus sundaica 3. Litsea javanica

(20)

10

Indeks Kesamaan

Kesamaan komunitas burung tertinggi didapatkan antara ketinggian 1600 m dpl dengan 1800 m dpl (IS=0.76) sedangkan kesamaan komunitas burung terkecil didapatkan antara ketinggian 1600 m dpl dengan 2200 m dpl (IS=0.57). Jika dilihat dari dendrogram terdapat dua kelompok komunitas burung (Gambar 8). Kelompok pertama terbentuk di hutan alam pada ketinggian 1800-2000-2200 m dpl dan kelompok kedua terbentuk di hutan alam pada ketinggian 2200 m dpl saja. Secara umum, hasil dendrogram menunjukkan bahwa hutan alam yang letaknya

(21)

berdekatan dengan komposisi dan struktur vegetasi yang hampir sama cenderung memiliki kemiripan spesies burungnya.

Penyebaran lokal Spesies Burung

Terdapat perbedaan penyebaran lokal spesies burung pada empat ketinggian. Beberapa spesies burung hanya dijumpai pada ketinggian tertentu saja, namun beberapa spesies burung dapat dijumpai pada beberapa ketinggian (Gambar 9). Jumlah spesies burung yang hanya dijumpai pada satu ketinggian yakni pada ketinggian 1600 m dpl (6 spesies), pada ketinggian 1800 m dpl (1 spesies), pada ketinggian 2000 m dpl (3 spesies) dan pada ketinggian 2200 m dpl (2 spesies). Dari 50 spesies burung, sebanyak 18 spesies (36%) dijumpai pada empat ketinggian (1600-2200 m dpl). Sebanyak 9 spesies (18%) dijumpai pada tiga ketinggian terdiri dari 8 spesies dijumpai pada ketinggian 1600-1800-2000 m dpl dan 1 spesies dijumpai pada ketinggian 1600-1800-2200 m dpl. Selain itu juga terdapat perbedaan komposisi spesies burung endemik , khas pegunungan, burung pemangsa dan burung migran di luar plot IPA pada masing-masing ketinggian (Gambar 10-Gambar 13).

1600 1800

2200 2000

IS 1 0

Ketinggian (m dpl)

0.76 0.69

0.57

(22)

12

Gambar 9 Sketsa penyebaran lokal spesies burung di hutan alam pada empat ketinggian

(23)
(24)

14

(25)
(26)
(27)

Penyebaran Vertikal Spesies Burung

Pada masing-masing ketinggian terdapat perbedaan komposisi dan penyebaran vertikal spesies burung pada strata tajuk (Gambar 14-Gambar 17). Spesies burung dapat menempati satu hingga beberapa strata tajuk. Pada ketinggian 1600 m dpl, jumlah spesies burung terbanyak menempati strata tunggal terdapat pada strata A (6 spesies) dan terbanyak menempati lebih dari satu strata terdapat antara strata B dan strata A (9 spesies). Pada ketinggian 1800 m dpl, jumlah spesies burung terbanyak menempati strata tunggal terdapat pada strata B (8 spesies) dan terbanyak menempati lebih dari satu strata terdapat antara strata C dan strata B (5 spesies).

Pada ketinggian 2000 m dpl, jumlah spesies burung terbanyak menempati strata tunggal terdapat pada strata A (6 spesies) dan terbanyak menempati lebih dari satu strata terdapat antara strata C dan strata B (5 spesies). Pada ketinggian 2200 m dpl, jumlah spesies burung terbanyak menempati strata tunggal terdapat pada strata B dan strata C (3 spesies) dan terbanyak menempati lebih dari satu strata terdapat antara strata E dan strata D (4 spesies).

Pada empat ketinggian, spesies burung yang menempati tiga strata (strata D-strata B) yaitu cikrak muda (S. grammiceps), sikatan kepala-abu (C. ceylonensis), cikrak muda (S. grammiceps), cikrak kutub (P. borealis) dan cikrak daun (P. trivirgatus). Spesies burung yang sering menempati empat strata (strata D-strata A) yaitu kipasan ekor-merah (R. phoenicura).

Hubungan Keanekaragaman Spesies Burung dengan Ketinggian Tempat, Suhu dan Keanekaragaman Vegetasi

(28)

18

(29)

19 Gambar 15 Sketsa penyebaran vertikal spesies burung di hutan alam (TWA) Cimanggu pada ketinggian 1800 m dpl

(30)

20

(31)

21 Gambar 17 Sketsa penyebaran vertikal spesies burung di hutan alam (HL) Kawah Putih pada ketinggian 2200 m dpl

Phylloscopus borealis Phylloscopus trivirgatus

Pteruthius flaviscapis Pteruthius aenobarbus Culicicapa ceylonensis

E D C B A

Sitta azurea Zosterops montanus

Alcippe pyrrhoptera Eumyas indigo Ficedula westermanni

Ficedula hyperythra

Pnoepyga pusilla

Ptilinopus porphyreus

Parus major Seicercus grammiceps Dicaeum sanguinolentum

Stachyris melanothorax Brachypteryx leuchophrys Tesia superciliaris Cettia vulcania Rhipidura phoenicura

D C B

(32)

22

(33)

Pembahasan

Kondisi Habitat

Hutan alam pada ketinggian 1600-1800-2000 m dpl termasuk zona pegunungan bawah sedangkan hutan alam pada ketinggian 2200 m dpl termasuk zona pegunungan atas. Pembagian zona hutan berdasarkan perbedaan ketinggian pada hutan pegunungan di setiap daerah tidak dapat dipastikan batas ketinggiannya karena terdapat perbedaan lingkungan seperti kondisi tanah, iklim dan topografi (Whitten et al. 1999). Analisis vegetasi menjumpai spesies pohon yang umumnya berasal dari famili Fagaceae, Lauraceae, Myrthaceae dan Theaceae. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Mulyasana (1998) di Gunung Ciremai yang mengungkapkan bahwa dominasi tertinggi terdapat pada spesies pohon yang berasal dari famili Fagaceae dan Lauraceae. Spesies pohon dari famili tersebut merupakan spesies yang dominan di hutan pegunungan.

Kenaikan ketinggian tempat mempengaruhi perubahan komposisi dan struktur vegetasi. Perubahan struktur vegetasi terlihat kontras pada ketinggian 2000 m dpl dengan berkurangnya tinggi pohon dan lebar tajuk serta terdapatnya lumut yang menempel pada batang-batang pohon. Pada ketinggian 2200 m dpl strata tajuk menjadi rata dan seragam serta vegetasi semakin terlihat homogen dengan dominasi spesies cantigi (V. varingaefolium).

Adanya bukaan tajuk memungkinkan sinar matahari dapat menembus lantai hutan sehingga memberikan kesempatan bagi vegetasi seperti tumbuhan bawah dan semak untuk tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, banyak dijumpai spesies tumbuhan bawah seperti poh-pohan, bubukuan dan paku-pakuan (Displazium sp.). Hutan alam pada ketinggian 1600 m dpl memiliki bagian rumpang di dalam hutannya. Keadaan seperti ini menyebabkan vegetasi pionir seperti beunying (F. fistulosa) yang dominan pada tingkat tiang mudah untuk berkembang. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2008), terdapatnya spesies Ficus sp dan beberapa spesies perintis seperti Macaranga sp. pada suatu hutan menunjukkan bahwa hutan tersebut dapat digolongkan sebagai hutan sekunder atau hutan terganggu. Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Burung

Kekayaan spesies burung di wilayah kajian termasuk rendah. Jumlah spesies di kawasan ini hanya 12,72% dari kekayaan 393 spesies burung di Kabupaten Bandung (Maryanto dan Noerdjito 2006). Rendahnya kekayaan spesies burung yang dijumpai karena wilayah kajian hanya difokuskan di hutan alam pada ketinggian 1600-2200 m dpl. Apabila dibandingkan dengan penelitian yang serupa di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), maka kekayaan spesies burung di wilayah kajian termasuk lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Surahman (2010) di hutan alam pada ketinggian 1500-2400 m dpl kawasan TNGC yang menemukan 37 spesies. Rendahnya kekayaan spesies burung di kawasan TNGC terkait dengan tingkat kerusakan habitat di kawasan tersebut jika dibandingkan dengan hutan alam kawasan Ciwidey yang relatif masih utuh walaupun letak antar ketinggian terpisah satu sama lain.

(34)

24

cukup signifikan pada ketinggian 1600 m dpl hingga 2000 m dpl, namun terlihat cukup besar pada ketinggian antara 2000 m dpl dengan 2200 m dpl dengan selisih 12 spesies. Perbedaan komposisi dan struktur vegetasi yang berubah cukup drastis diduga menjadi faktor yang mempengaruhi penurunan kekayaan spesies burung tersebut. Hal serupa didapat pada penelitian Klosius (2008) yang menemukan kekayaan dan komposisi spesies burung mengalami penurunan yang jelas di hutan pegunungan tinggi akibat dari perubahan struktur dan tipe vegetasi secara nyata.

Secara umum, spesies burung di wilayah kajian pada umumnya spesies pemakan serangga. Hal ini tidak terlepas ketersediaan makanan berupa serangga yang tersebar luas dibandingkan dengan makanan lain. Serangga dapat dijumpai diberbagai lapisan vegetasi maupun dari tumbuhan seperti di bunga, daun, ranting dan batang. Prawiradilaga (1990) menyatakan bahwa setidaknya 67% spesies burung di Pulau Jawa merupakan pemakan serangga sehingga memungkinkan peluang penemuannya akan semakin tinggi. Penemuan spesies burung pemakan buah yang jarang terkait dengan waktu pengamatan dalam kondisi banyak vegetasi tidak musim berbuah. Kehadiran spesies burung pemakan buah di suatu hutan ditentukan oleh kelimpahan buah.

Tingginya penemuan spesies penghuni strata bawah dan semak dari famili Timaliidae dan Silviidae tidak terlepas adanya ketersediaan habitat yang sesuai. Hadirnya bukaan pada celah-celah tajuk hutan memberikan kesempatan bagi vegetasi yang tertekan untuk berkembang. Kondisi ini akan menguntungkan bagi aneka burung yang hidup dengan memanfaatkan semak dan tumbuhan bawah karena terdapat berbagai serangga sebagai pakannya (Imanuddin 2009).

Secara keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman spesies burung (H’) di hutan alam pada ketinggian 1600-2200 m dpl sebesar 3.46. Tingkat keanekaragaman spesies burung di wilayah kajian termasuk lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Surahman (2010) di hutan alam pada ketinggian 1500-2400 m dpl di kawasan TNGC yang memperoleh H’ sebesar 3.27. Rendahnya tingkat keanekaragaman spesies burung pada penelitian Surahman (2010) mungkin disebabkan oleh ukuran sampel (n=27) yang lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran sampel (n=80) pada penelitian ini.

Pada masing-masing ketinggian nilai H’ berkisar antara 2.92-3.43. Nilai H’ tertinggi terdapat pada ketinggian 1600 m dpl sedangkan H’ terendah terdapat pada ketinggian 2200 m dpl (Tabel 2). Nilai H’ menurun seiring dengan naiknya ketinggian tempat. Penurunan nilai H’ tidak terlampau signifikan pada ketinggian 1600-2000 m dpl, akan tetapi perbedaannya cukup besar pada ketinggian 2000 m dpl dengan 2200 m dpl sebesar 0.28. Perbedaan nilai H’ pada masing-masing ketinggian disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman spesies burung seperti ketinggian tempat, suhu dan vegetasi (Gambar 18) maupun faktor lain yang tidak dibuktikan pada penelitian ini.

(35)

sp. yang memiliki jumlah individu cukup besar jika dibandingkan pada ketinggian 2200 m dpl yang memiliki penyebaran jumlah individu dalam spesies cukup seragam.

Indeks Kesamaan Komunitas

Indeks kesamaan komunitas burung tertinggi terdapat pada ketinggian 1600 m dpl dengan 1800 m dpl, meskipun letak kedua hutan alam tersebut berjauhan. Tingginya kesamaan komunitas burungnya dibandingkan pada ketinggian lainnya seringkali disebabkan oleh komposisi vegetasi yang hampir serupa. Sama halnya dengan kesamaan komunitas pada ketinggian 1800 m dpl dengan ketinggian 2000 m dpl memiliki indeks kesamaan komunitas tertinggi kedua (IS=0.69). Letak hutan alam yang tidak berjauhan nampaknya memungkinkan pergerakan burung yang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga memungkinkan komunitas burung hidup di hutan pada dua ketinggian tersebut.

Satu kelompok komunitas burung terbentuk di hutan alam pada ketinggian 1600-1800-2000 m dpl sedangkan komunitas burung tersendiri terbentuk di hutan alam pada ketinggian 2200 m dpl berdasarkan analisa dendrogram. Kelompok komunitas burung diduga mengikuti tipe hutan yang terbagi di zona pegunungan. Sebagai contohnya ceret gunung (C. vulcania) yang hanya dijumpai pada vegetasi cantigi (Vaccinium sp.) di zona pegunungan atas.

Penyebaran Lokal Spesies Burung

Penyebaran spesies burung berdasarkan ketinggian tempat dipengaruhi oleh kemampuan adaptasinya terhadap perubahan lingkungan. Lingkungan hutan pegunungan sangat erat kaitannya dengan faktor perubahan iklim (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya). Alikodra (2002) menjelaskan bahwa beberapa satwa memiliki batas toleransi terhadap perubahan suhu yang lebar (eury thermal). Di samping itu, spesies burung juga melakukan adaptasi terhadap tipe makanan dan habitat (Imanuddin 2009). Pada penelitian ini, sebanyak 27 spesies burung memiliki kemampuan adaptasi dan relung yang lebar serta mampu mengeksplotasi sumberdaya yang luas karena dijumpai pada tiga hingga empat ketinggian.

Menurut Freifeld (1999) menyatakan bahwa ketinggian tempat dan homogenitas vegetasi dapat menentukan pola penyebaran burung. Dengan demikian homogenitas vegetasi menyebabkan keterbatasan struktur vertikal dan makanan.Spesies burung merespon perubahan habitat, ketersedian sumber makanan dan kehadiran pesaing (Forero-Medina et al. 2011). Hal ini ditunjukkan oleh beberapa spesies burung hanya dijumpai pada ketinggian tertentu saja.

Penyebaran Vertikal Spesies Burung

(36)

26

Pola penyebaran burung secara vertikal memperlihatkan bahwa penyebaran spesies-spesies burung berkaitan secara ekologi antara spesies burung dengan kebutuhan pakan yang terdapat pada strata tersebut. Hal inilah menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menggunakan strata oleh burung (Wisnubudi 2009). Sebagai contohnya spesies burung yang teradapatasi untuk berjalan seperti puyuh-gonggong jawa (A. javanica) tentunya sulit untuk menggunakan strata yang lebih tinggi.

Beberapa spesies burung menggunakan lebih dari satu strata sedangkan spesies-spesies burung yang lain hanya menggunakan strata tunggal. Spesies burung yang menggunakan strata tajuk lebih kompleks diduga berhubungan dengan jenis pakan yang lebih beragam bagi spesies burung tersebut. Sebagai contoh, spesies kipasan ekor-merah (R. phoenicura) dijumpai pada tiga sampai empat strata tajuk (strata D-strata B). Kipasan ekor-merah merupakan spesies burung hutan yang aktif dan bergabung dalam kelompok campuran, berterbangan pada tajuk tengah untuk memburu serangga (Mackinnon et al.1998).

Hubungan Keanekaragaman Spesies Burung dengan Ketinggian Tempat, Suhu dan Keanekaragaman Vegetasi

Keanekaragaman spesies burung dengan ketinggian tempat berkorelasi negatif bermakna semakin tinggi letak suatu tempat maka keanekaragaman spesies burung semakin rendah. Koefisien determinasi (R2) sebesar 93.3% bermakna keanekaragaman spesies burung 93.3% dapat dijelaskan (dipengaruhi) oleh ketinggian tempat sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Rodrigues (2010) menyatakan bahwa kekayaan spesies burung mengalami penurunan dengan naiknya ketinggian suatu tempat. Hal tersebut ditunjukkan dengan menurunnya kekayaan dan indeks keanekaragaman spesies burung dengan bertambahnya ketinggian tempat.

Keanekaragaman spesies burung dengan suhu berkorelasi positif, namun tidak signifikan. Artinya semakin rendah suhu suatu tempat maka keanekaragaman spesies burung semakin rendah. Koefisien determinasi (R2) sebesar 90.3% bermakna keanekaragaman spesies burung 90.3% dipengaruhi oleh perubahan suhu sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Ruggeiro dan Hawkins (2008) berpendapat bahwa spesies burung sangat peka terhadap perubahan suhu. Penurunan suhu dengan bertambahnya ketinggian menyebabkan terbatasnya spesies burung yang hidup terutama di wilayah puncak pegunungan. Beberapa speises burung cenderung memilih kisaran suhu yang sesuai baginya dan sulit menjangkau habitat yang lebih tinggi.

(37)

Implikasi Konservasi

Hutan didesak sampai puncak gunung tertinggi. Akibatnya habitat alami burung-burung ini semakin terdesak dan terisolasi ke daerah-daerah pegunungan, terutama di Jawa Barat yang merupakan wilayah subur dan bervegetasi rapat di Pulau Jawa. Hutan pegunungan menjadi kawasan yang baik bagi spesies-spesies burung karena medan yang sulit untuk dapat dirambah oleh manusia (MacKinnon et al. 1998). Disisi lain, hutan perbukitan saat ini sudah hampir menghilang sehingga menyebabkan penurunan spesies burung yang tajam terjadi pada zona bukit antara 300-1500 m dpl. Spesies-spesies burung dataran rendah gagal bertahan pada zona perbukitan. Ini disebabkan terputusnya populasi di perbukitan dengan populasi spesies di dataran rendah (van Balen 1999).

Kondisi serupa menggambarkan kawasan Ciwidey yang memiliki ekosistem hutan pegunungan dengan puncak Gunung Patuha. Deretan pegunungannya terpisah (diskontinyu) akibat hutan di bawahnya berubah menjadi kawasan perkebunan teh (PTPN), pemukiman dan ladang (areal pertanian). Hal ini menyebabkan hutan pegunungan menjadi fragmen-fragmen dan terisolasi satu sama lain serta koridor antar habitat menjadi terputus.

Adanya tekanan terhadap hutan alam pada ketinggian dibawahnya oleh manusia, menyebabkan kantung-kantung habitat didesak ke daerah yang lebih tinggi. Efek pemanasan global dewasa ini mengakibatkan beberapa spesies burung menyebar ke tempat yang lebih tinggi untuk menghindari suhu panas (Forero-Medina et al. 2011). Pada penelitian ini mencatat sembilan spesies burung yang memperluas penyebarannya ke daerah lebih tinggi dari penyebaran menurut MacKinnon et al. (1998). Spesies burung tersebut yaitu C. sepulcralis, M. emiliana, E. javanicus, P. miniaceus, P. major, M. sepiarium, S. melanothorax, B. leuchophrys dan Z. palbeprosus (Lampiran 1).

Kajian mengenai keanekaragaman spesies burung pada beberapa ketinggian tempat membuktikan bahwa keanekaragaman spesies burung semakin rendah dengan naiknya ketinggian suatu tempat. Di samping itu, di wilayah kajian terdapat beberapa spesies burung yang penting diantaranya sebanyak 1 spesies berstatus Near Threath (NT) menurut IUCN, 2 spesies berstatus appendiks II CITES, 8 spesies dilindungi oleh UU (UU No.5 tahun 1990, PP No.7 tahun 1999 dan PP No.8 tahun 1999), 7 spesies endemik dan 3 spesies migran. Adanya beberapa potensi dan ancaman terhadap hutan pegunungan, maka kawasan ini perlu dipertahankan keutuhannya. Selain itu, hutan pegunungan merupakan kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi di Pulau Jawa.

(38)

28

burung (H’) tertinggi (41 spesies, H’=3.43) sedangkan pada ketinggian 2200 m dpl memiliki kekayaan spesies dan nilai H’ terendah (21 spesies, H’=2.92). 2. Pada masing-masing ketinggian memiliki perbedaan komposisi dan

penyebaran (lokal dan vertikal) spesies burungnya.

3. Keanekaragaman spesies burung dengan ketinggian tempat berkorelasi negatif sedangkan keanekaragaman spesies burung dengan suhu atau keanekaragaman pohon berkorelasi positif.

Saran

Perlu dilakukan upaya pengamanan kawasan dan pemberhentian akses manusia ke hutan yang mengubah lansekap dan penangkapan spesies burung bernilai konservasi tinggi. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang mempengaruhi keanekaragaman spesies burung selain ketinggian tempat, suhu dan vegetasi. Sebaiknya penelitian dilakukan pada saat musim berbunga dan berbuah sehingga dapat mengetahui kekayaan spesies sesungguhnya serta peluang penemuan spesies burung pemakan buah semakin tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Forero-Medina G, Terborgh J, Socolar SJ, Pimm SL. 2011. Elevational ranges of birds on a Tropical Montane Gradient Lag behind warming temperatures. PlosOne 6(12): 1-5.

Freifeld HB. 1999. Habitat relationships of forest birds on Tutuila Island, American Samoa. Journal of Biogeography 26: 1191-1213.

Imanuddin 2009. Komunitas burung di bawah tajuk pada hutan primer dan hutan sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Joshi KK, Bhatt D, Thapliya AL. 2012. Avian diversity and its association with vegetation structure in different elevational zones of Nainital district (Western Himalayan) of Uttarakhand. Biodiversity and Conservation 4(11): 364-376.

Klosius H. 2008. Species richness and composition of bird assemblages along an elevational gradient in the Eastern Alps (National Park Gesause, Austria) [thesis]. Wien (AZ): Magistra der Naturwissenschaften Universitat Wien. Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. New York: Harper & Row.

(39)

Terjemahan dari: Fieldguide to the Birds of Borneo, Sumatera, Java and Bali.

Magurran A. 2004. Ecological Diversity and its Measurement. London: Croom Helmed Limited.

McCain CM. 2009. Global analysis of bird elevational diversity. Global Ecology and Biogeography 18: 346–360.

Maryanto I, Noerdjito WA. 2006. Flora Fauna Jawa Barat. Bogor (ID): LIPI Press.

Misra KC. 1980. Manual of plants ecology, 2nd edition. New Delhi: Oxfort and IBH Publishing Co.

Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation ecology. New York: John Wiley and Sons.

Mulyasana D. 2008. Kajian keanekaragaman jenis pohon pada berbagai ketinggian tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Navvaro AGS. 1992. Altitudinal distribution of birds in the Sierra Madre del Sur Guerrero, Mexico. Condor 94: 29-39.

Prawiradilaga DM. 1990. Potensi burung dalam pengendali populasi serangga hama. Media Konservasi III(1): 1-7.

Rodrigues FM, Parrini R, Pimentel LMS, Bessa S. 2010. Altitudinal distribution of birds in a Mountainous Region in Southeastern Brazil. Zoologia 27(4): 503–522.

Ruggiero A, Hawkins BA. 2008. Why do mountains support so many species of birds?. Ecography 31: 306-315.

Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.

Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung Indonesia no.2. Bogor (ID): Indonesian Ornithologists Union.

Surahman M. 2010. Keanekaragaman dan kelimpahan burung pada berbagai tipe habitat di Taman Nasional Gunung Ciremai [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

van Balen B. 1984. Bird Counts and Bird Observation in the Neighbourhood of Bogor. The Netherlands: Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningan. Wageningen.

___________. 1999. Birds on fragmented islands: persistence in the forests of Java and Bali. Tropical Resource Management Papers, No. 30. Wageningen University.(IV + 181) hal.

Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afief SA. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta (ID): Prennhalindo.

(40)

3

0

No Nama jenis Nama latin Penyebaran (m dpl) Status Penyebaran menurut

Mackinnon et al. (1998)

1600 1800 2000 2200 Accipitridae

1 Elang-ular bido Spilornis cheela II, AB sampai 1900 m dpl

2 Elang hitam Ictinaetus malayensis II, AB sampai 3000 m dpl

Phasianidae

3 Puyuh-gonggong jawa Arborophila javanica E 1000-3000 m dpl

Columbidae

4 Punai salung Treron oxyura sampai 3000 m dpl

5 Walik kepala-ungu Ptilinopus porphyreus 1400-2200 m dpl

6 Uncal buau Macropygia emiliana sampai 1500 m dpl*

7 Dederuk jawa Streptopelia bitorquata jarang > 600 m dpl

Cuculidae

8 Kangkok ranting Cuculus saturatus M semua ketinggian

9 Wiwik uncuing Cacomantis sepulcralis sampai 1600 m dpl*

Apodidae

10 Walet linchi Collocalia linchi semua ketinggian

Capitonidae

11 Takur tohtor Megalaima armillaris AB sampai 2500 m dpl

Picidae

12 Pelatuk merah Picus miniaceus Sampai 1400 m dpl*

Eurylaimidae

13 Sempur-hujan rimba Eurylaimus javanicus sampai 1500 m dpl*

Campephagidae

14 Kepudang-sungu gunung Coracina larvata 850-2200 m dpl

15 Sepah gunung Pericrocotus miniatus 1200-2400 m dpl

Pycnonotidae

16 Brinji gunung Iole virescens NT 850-2400 m dpl

Dicruridae

17 Srigunting kelabu Dicrurus leucophaeus 600-2500 m dpl

18 Srigunting bukit Dicrurus remifer 1000-2500 m dpl

Paridae

19 Gelatik-batu kelabu Parus major sampai 2000 m dpl*

Sittidae

(41)

31

No Nama je nis Nama latin Pe nye baran (m dpl) Status Pe nye baran me nurut

Mackinnon et al. (1998)

1600 1800 2000 2200

20 Munguk loreng Sitta azurea 900-2400 m dpl

Timaliidae

21 Pelanduk semak Malacocincla sepiarium 300-1400 m dpl

22 Cica-kopi melayu Pomatorhinus montanus > 1200 m dpl

23 Berencet berkening Napothera epilepidota 1000-2000 m dpl

24 Berencet kerdil Pnoepyga pusilla 900-3000 m dpl

25 Tepus pipi-perak Stachrys melanothorax 500-1500 m dpl*

26 Poksai kuda Garrulax rufifrons E 1000-2400 m dpl

27 Ciu besar Pteruthius flaviscapis E 1000-2800 m dpl

28 Ciu kunyit Pteruthius aenobarbus E, AB 1000-3000 m dpl

29 Wergan jawa Alcippe pyrrhoptera > 1000 m dpl

30 Cingcoang coklat Brachypteryx leucophrys 900-1900 m dpl*

31 Berkecet biru-tua Cinclidium diana 1000-2400 m dpl

32 Meninting kecil Enicurus velatus 600-1800 m dpl

33 Ciung-batu kecil Myiophoneus glaucinus 800-2400 m dpl

Silviidae

34 Cikrak muda Seicercus grammiceps 800-2500 m dpl

35 Cikrak kutub Phylloscopus borealis M sampai 2500 m dpl

36 Cikrak daun Phylloscopus trivirgatus 800-3000 m dpl

37 Tesia jawa Tesia superciliaris E 1000-3000 m dpl

38 Ceret gunung Cettia vulcania > 1500 m dpl

Muscicapidae

39 Sikatan ninon Eumyas indigo 900-3000 m dpl

40 Sikatan bodoh Ficedula hyperrythra 900-3100 m dpl

41 Sikatan belang Ficedula westermanni 1000-2600 m dpl

42 Sikatan kepala-abu Culicappa ceylonensis sampai 2200 m dpl

43 Kipasan ekor-merah Rhipidura phoenicura AB, E 1000-2500 m dpl

Motacillidae

44 Kicuit batu Motacilla cinerea M semua ketinggian

Ne ctariniidae

(42)

32

Keterangan :√= dijumpai; II= kategori appendiks CITES II; AB= kategori dilindungi UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No.8/1999 tentang pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar; E= spesies endemik; M= spesies migran; dan *= spesies burung yang penyebarannya lebih tinggi dari penyebaran menurut MacKinnon et al. (1998).

No Nama jenis Nama latin Penyebaran (m dpl) Status Penyebaran menurut

Mackinnon et al. (1998)

1600 1800 2000 2200

46 Burung-madu jawa Aethopyga mistacalis AB, E sampai 1600 m dpl

47 Pijantung kecil Arachnothera longirostra AB sampai 2000 m dpl

Dicaeidae

48 Cabai gunung Dicaeum sanguinolentum 800-2400 m dpl

Zosteropidae

49 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus sampai 1400 m dpl*

50 Kacamata gunung Zosterops montanus 1500-3000 m dpl

(43)

RIWAYAT HIDUP

Setiawan dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 6 September 1990 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Darsono dan Ibu Sari’ah. Penulis mulai menempuh pendidikan di SDN Pait 02 (1996-2002), SMPN 1 Siwalan (2002-2005), melanjutkan ke SMAN Wiradesa (2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama kuliah di IPB penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan dan organisasi diantaranya menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Ekologi Satwa liar (2012) dan Ekologi Hutan (2013). Asisten lapang kegiatan Praktek Pengenalan Umum Ekowisata (2012). Penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) IMAPEKA (Ikatan Mahasiswa Pekalongan dan Batang). Penulis adalah anggota HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata), Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Perenjak” dan pernah menjadi ketua KPB periode tahun 2010-2011.

Pengalaman lapangan meliputi Eksplorasi Flora dan Fauna Indonesia (RAFFLESIA) di CA Gunung Burangrang (2010), RAFFLESIA di Taman Nasional (TN) Gunung Halimun Salak (2011), Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di TN Sebangau (2010), SURILI di TN Kerinci Seblat (2011). Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Leuweung Sancang-TWA Kamojang (2010), Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2011). Pada tahun 2012 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Rinjani Lombok. Selain itu tercatat sebagai salah satu penulis buku berjudul “Buku Panduan Lapang Burung Kampus IPB Dramaga” (2011) dan “Ensiklopedia Fauna Mangrove di Kawasan Hutan Angke Kapuk Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta” (2013).

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2 Ilustrasi penempatan titik hitung pada beberapa ketinggian tempat
Gambar 7  Jumlah spesies burung berdasarkan famili pada empat ketinggian
Gambar 9  Sketsa penyebaran lokal spesies burung di hutan alam pada empat ketinggian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini tujuan sales dalam mendapatkan gaji tambahan antara lain adalah mencukupi kebutuhan hidup, menambah pendapatan, membeli barang-barang mewah serta

Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat akhir

macam tipe morfologi bakteri (kokus, basil, spirilum, dan sebagainya) dapat dibedakan dengan menggunakan pewarna sederhana, yaitu mewarnai sel-sel bakteri hanya digunakan satu macam

Puji dan syukur tak lupa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan penyertaan selama menulis skripsi ini, sehingga skripsi dengan judul

“Gang” di Desa Wisata Dieng pada dasarnya mempunyai karakteristik termal yang tidak berbeda jauh dengan lingkungan sekitar Dieng yang cenderung mempunyai

Menurut Al-Ghazali proses belajar adalah usaha orang itu untuk mencari ilmu karena itu belajar itu sendiri tidak terlepas dari ilmu yang akan dipelajarinya.. Berkaitan

Untuk mengetahui urutan langkah mitigasi (proactive action) yang paling paling efektif dalam mengurangi kemungkinan terjadinya risk agent sesuai kemampuan pendanaan dan resources

Efek peningkatan kadar CO , kekeringan, serangan 2 penyakit, hujan, dan evolusi gulma disampaikan dalam artikel ini untuk meningkatkan kesadaran petani, perusahaan