PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
JUSTIAR NOER
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Kepulauan Bangka Belitung. Dibimbing oleh : JOHN HALUAN dan MULYONO S. BASKORO
Bubu dasar merupakan jenis alat tangkap utama yang digunakan dalam pemanfaatan ikan karang di Kabupaten Bangka Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman, menentukan pengaruh lama perendaman bubu dasar dari material kawat dan jaring terhadap hasil tangkapan, menentukan tingkat kelayakan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan. Metode
penelitian yang digunakan adalah experimental fishing dan deskriptif survei. Hasil
tangkapan di analisis dengan rumus krebs, pengaruh perbedaan jenis material bubu dasar terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan kelayakan usaha perikanan bubu dasar dianalisis dengan analisis finansial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat tangkap bubu kawat dan bubu
jaring didominasi oleh ikan tambangan (Lutjanus johni) dan kerapu sunu sebanyak
24 ekor. Berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar dari material jaring yaitu sebesar 90,05 kg. Sedangkan berat total tangkapan bubu dasar dari material kawat yaitu sebesar 82,58 kg. Berdasarkan lama perendaman didapatkan berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar yang direndam selama 5 (lima) hari yaitu sebesar 71,59 kg, kemudian perendaman 3 hari yaitu sebesar 53,96 kg, dan perendaman 4 hari yaitu sebesar 47,08 kg, sehingga lama perendaman sangat memberikan pengaruh. Tingkat keuntungan pada usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat
adalah Rp 9.465.507,93 per tahun dan nilai R/C sebesar 1,05, pada usaha alat
tangkap bubu jaring, keuntungan yang diperoleh, yaitu sebesar Rp 26.662.429,00
per tahun, dan nilai R/C sebesar 1.10. Berdasarkan kriteria investasi usaha
perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat diperoleh
NPV sebesar Rp 132.093.915,15, sedangkan pada usaha alat tangkap bubu jaring
diperoleh nilai NPV sebesar Rp 314.926.267,14.
Archipelago Province). Under supervision by : JOHN HALUAN and MULYONO S. BASKORO
Bottom traps is a main type of fishing gears which is used in the capturing reef fish on South Bangka Regency. This study was aimed to indentify and quantify soaking time of bottom trap which was made from wire and net to fish catches, to determine feasibility of bottom traps business on South Bangka Regency.The methods in this research were experimental fishing and descriptive survey. Fish catching was analyze using krebs formula. I n addition, the influence of different traps material to fish cathing was analyze using randomized block design and feasibility of bottom traps business was analized using financial analysis.
The results showed that bottom wire trap and bottom net trap were dominatedby Lutjanus johni and leopard coral grouper (24 pieces). Total weight of fish catchingfrom bottom net trap was 90.05. Meanwhile, total weight of fish catches from bottom wire trap was 82.58 kg. Based on soaking time, the highest total amount was obtained from 5 days soaking (71.59 kg), 3 days soaking (47.08 kg), and 4 days soaking (47.08 kg), respectively,so time soaking gave effect to total amount of fish catching. Rate of return on bottom wire traps was I DR 9,465,507.93 / year and R/ C value was 1.05. I n addition, rate of return on net bottom traps was I DR 26,662,429.00 / year and R/ C value was 1.10.Reffering to investment criterias, NPV of bottom wire traps business was obtained I DR 132,093,915.15, meanwhile NPV of bottom net traps business was obtained I DR 314,926,267.14.
Keywords: Fisheries, the bottom traps, South Bangka Regency
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
JUSTIAR NOER
Tesis
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : C4512070114
Program Studi : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 28 Mei 2011
Penulis dilahirkan di Toboali Bangka Selatan pada tanggal 23 Desember 1950
sebagai anak ke 7 dari 12 bersaudara pasangan Bp H. Mohammad Noer (Alm) dengan
Ibu Hj. Ratnasari (Almh). Pendidikan Strata Satu Jurusan Arsitektur FKIT IKIP
Bandung diselesaikan pada tahun 1982, pada tahun 1996 menyelesaikan Program
Strata Satu Jurusan Teknik Sipil dari Universitas Hazairin, SH Bengkulu, kemudian
melanjutkan lagi kuliah Strata Dua dengan jurusan Magister Management di IPWI
Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2007 penulis diterima pada Program
Studi Sistem Permodelan Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana IPB dan
menyelesaikannya pada tahun 2010.
Perjalanan karier dimulai pada tahun 1967 dengan bekerja sebagai staf bagian
bangunan pada Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) sampai tahun 1969
berhenti karena melanjutkan menuntut ilmu ke Bandung. Setelah menyelesaikan
Bachelor Engineeringnya pada tahun 1975 mulailah bekerja sebagai drafter dan staf
engineering pada Team 4 Consultan Bandung. Sampai pada tahun 1981 saat
ditugaskan sebagai Resident Engineering pada proyek pembangunan Sekolah
Pertanian Menengah Atas di Kepahyang dan Proyek proyek pendidikan serta
Pertanian dan BLK di Provinsi Bengkulu, penulis direkrut oleh pejabat Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Bengkulu untuk bergabung pada Dinas Pekerjaan Umum
sebagai Abdi masyarakat dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil hingga tahun
2000. Era Otonomi Daerah, memanggilnya sebagai putra daerah untuk kembali
segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga dapat menyelesaikan tesis ini
dengan baik. Tesis ini merupakan hasil penelitian dengan dengan judul “Perikanan
Bubu Dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi hasil tangkapan bubu dasar
berdasarkan lama perendaman, menentukan pengaruh lama perendaman bubu dasar
dari material kawat dan jaring terhadap hasil tangkapan serta menentukan tingkat
kelayakan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan.
Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Prof. Dr. John Haluan, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku
ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing penelitian atas arahan dan
saran kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai dengan selesainya tesis
ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Masyarakat Kabupaten
Bangka Selatan, rekan-rekan Mahasiswa mayor Sistem dan Permodelan Perikanan
Tangkap 2007 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
banyak membantu dalam proses penelitian dan penyelesaian tesis ini.
Penghargaan dan terima kasih yang penulis sampaikan kepada keluarga
terdekat, istri terkasih Ekawati Widjanarko dan ananda tercinta Aditya Rizky Pradana
yang secara tulus dan ikhlas telah memberikan dukungan, bantuan, pengorbanan, doa,
serta kesabaran sampai diselesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga rencana tesis ini
bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 5
1.4 Hipotesis ... 5
1.5 Kerangka Pemikiran ... 5
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Teknologi Penangkapan ... 7
2.2 Alat Tangkap Perangkap (Traps) ... 7
2.2.1 Alat tangkap bubu (pots) ... 8
2.2.2 Pengoperasian bubu ... 10
2.2.3 Teknik penangkapan ... 11
2.3 Capaian Penelitian Bubu Sebelumnya ... 12
2.4 Klasifikasi Ikan Karang ... 13
2.5 Kelayakan Usaha ... 14
2.5.1 Analisis usaha ... 14
2.5.2 Analisis kriteria investasi ... 14
2.5.2.1 Net Present Value (NPV) ... 14
2.5.2.2 Internal Rate of Return (IRR) ... 15
2.5.2.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ... 15
3 METODOLOGI PENELITIAN ... 16
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 17
3.3 Metode Penelitian ... 17
3.4 Pengumpulan Data ... 18
3.5 Analisis Data ... 19
3.5.1 Jenis dan komposisi hasil tangkapan ... 19
3.5.2 Pengaruh perbedaan jenis bubu dasar (material kawat dan jaring) terhadap hasil tangkapan ... 20
3.5.3 Kelayakan usaha ... 21
3.5.3.1 Analisis usaha ... 21
3.5.3.2 Analisis kriteria investasi ... 23
4 HASIL ... 26
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 26
4.1.1 Keadaan daerah ... 26
4.1.2 Keadaan perairan ... 27
4.2 Unit Penangkapan Ikan ... 27
4.2.1 Kapal ... 27
4.2.2 Alat tangkap ... 29
4.2.4 metode pengoperasian bubu ... 34
4.3 Hasil Tangkapan ... 38
4.3.1 Jenis hasil tangkapan ... 38
4.3.1.1 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 3 hari ... 40
4.3.1.2 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 4 hari ... 40
4.3.1.3 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 5 hari ... 41
4.3.2 Pengaruh lama perendamana bubu dasar terhadap hasil tangkapan ... 41
4.3.2.1 Perbandingan berat tangkapan berdasarkan jenis bubu dasar ... 43
4.3.2.2 Perbandingan berat tangkapan berdasarkan lamanya Perendaman bubu dasar ... 44
4.4 Analisis Finansial ... 46
4.4.1 Analisis usaha ... 46
4.4.1.1 Biaya ... 46
4.4.1.2 Penerimaan ... 49
4.4.1.3 Keuntungan ... 49
4.4.2 Kriteria analisis usaha ... 50
4.4.5 Analisis kriteria investasi ... 51
5 PEMBAHASAN ... 58
5.1 Komposisi Jenis Hasil Tangkapan ... 58
5.2 Pengaruh Posisi Perendaman Bubu Ikan Terhadap Hasil Tangkapan ... 61
5.3 Analisis Kelayakan Usaha ... 61
6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
6.1 Kesimpulan ... 63
6.2 Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 17
2 Daftar analisis ragam acak kelompok ... 21
3 Perbedaan bubu kawat dengan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 ... 30
4 Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan bubu dasar ... 38
5 Komponen investasi unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten
Bangka Selatan tahun 2009 ... 46
6 Komponen biaya tetap unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 ... 47
7 Komponen biaya tidak tetap unit usaha perikanan bubu dasar di
Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 ... 48
8 Biaya total unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka
Selatan tahun 2009 ... 48
9 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar
sebesar 64,5% pada bubu kawat ... 55
10 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar sebesar 160,5% pada bubu jaring ... 56
11 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 29,5% pada bubu kawat ... 57
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Kerangka pemikiran penelitian
... 72 Peta lokasi penelitian ... 16
3 Tahap penelitian ... 16
4 Alat tangkap bubu dasar (a) bubu dasar dari material kawat,
dan (b) bubu dasar dari material jaring ... 17
5 Desain posisi pemasangan bubu dasar ... 19
6 (a) Kapal bubu kawat (b) Kapal bubu jaring (c) Konstruksi kapal bubu
kawat tampak atas (c) Konstruksi kapal bubu jaring tampak atas ... 28
7 (a) Bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan (b) Rancang bangun
mulut bubu (c) Rancang bangun alat tangkap bubu kawat ... 31
8 (a) Bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan (b) Tampak atas bubu
jaring (c) Tampa samping bubu jaring (d) Rancang bangun mulut bubu ... 33
9 Tahap operasional alat tangkap bubu kawat ... 35
10 Tahap operasional alat tangkap bubu jaring... 36
11 Ikan hasil tangkapan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan 2009 ... 39
12 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman
3 hari ... 40
13 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman
4 hari ... 40
14 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman
5 hari ... 41
15 Komposisi berat jenis ikan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan 2009 ... 43
16 Perbandingan total berat tangkapan berdasarkan jenis bubu dasar ... 44
17 Perbandingan berat total tangkapan bubu dasar berdasarkan lama
perendaman ... 45
18 Berat ikan pada kedua jenis bubu dasar dengan perbedaan lama
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta daerah penangkapan ikan karang dengan bubu kawat di
Kabupaten Bangka Selatan ... 72
2 Peta daerah penangkapan ikan karang dengan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan ... 73
3 Peta penyebaran nelayan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan... 74
4 Peta penyebaran nelayan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan ... 75
5 Berat jenis ikan hasil tangkapan kedua jenis bubu dasar ... 76
6 Posisi perendaman, jenis ikan, jumlah (ekor), berat (kg) hasil tangkapan pada kedua jenis bubu dengan lama perendaman 3 hari ... 77
7 Posisi perendaman, jenis ikan, jumlah (ekor), berat (kg) hasil tangkapan pada kedua jenis bubu dengan lama perendaman 4 hari ... 78
8 Posisi perendaman, jenis ikan, jumlah (ekor), berat (kg) hasil tangkapan pada kedua jenis bubu dengan lama perendaman 5 hari ... 79
9 Pengolahan data sidik ragam ... 80
10 Analisis usaha unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan ... 81
11 Cash flow unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan ... 82
12 Cash flow sensitivitas unit penagkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupayen Bangka Selatan pada kenaikan harga solar 65,4% ... 83
13 Cash flow sensitivitas unit penagkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupayen Bangka Selatan pada kenaikan harga solar 65,4% ... 84
14 Analisis usaha unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan ... 85
15 Cash flow unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan ... 86
16 Cash flow sensitivitas unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupayen Bangka Selatan pada kenaikan harga solar 65,4% ... 87
Artisanal fisheries Kegiatan penangkapan ikan yang masih bersifat
tradisional
Berkelanjutan Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di
mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau
sama dengan laju pemulihan sumber daya
tersebut.
Body girth . Bagian mulut bubu berbentuk bulat pada bagian
luar dan mengecil terus ke dalam dengan bentuk
lonjong atau oval menyerupai bentuk lingkar
tubuh ikan
Bubu Alat penangkap ikan yang biasa digunakan untuk
menangkap ikan dasar.
Case study Suatu gambaran secara mendetail sebagai latar
belakang sifat serta karakter yang khas
Experimental fishing Metode yang digunakan dalam bidang
penangkapan untuk menyelidiki kemungkinan
saling hubungan sebab akibat dengan
menggunakan satu atau lebih kelompok
experimental dan satu atau lebih kondisi
perlakuan dengan perbandingan hasilnya
Fishing ground Suatu daerah yang menjadi target penangkapan
ikan
Fishing base Tempat dimana kapal melakukan aktivitas
bongkar muat hasil tangkapan ikan
Funnel Bagian mulut yang terdapat pada alat tangkap
bubu
Global Position System
(GPS)
Alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk
menentukan dan mencari posisi daerah
penangkapan ikan.
Gosong Area yang terdapat di dalam perairan berupa
(volume)
Hauling Proses pengangkatan alat tangkap dari dalam
perairan ke atas kapal
Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan
dalan operasi penangkapan ikan atau binatang air
lainnya atau tanaman air.
Net Benefit Cost (Net B/C) Perbandingan antara total penerimaan bersih dan
total biaya produksi.
Net Present Value (NPV) Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan
dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada
tingkat bunga tertentu.
Produktivitas Suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu
proses produksi yang merupakan perbandingan
antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan
input sumberdaya yang dipergunakan
Perikanan Semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan.
Perikanan tangkap Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang
tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang
mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Payback Period (PP) Suatu periode yang diperlukan untuk menutup
Return of Investment (ROI) Kemampuan dari modal yang diinvestasikan
dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan
keuntungan netto.
Setting Proses peletakan alat tangkap dari atas kapal ke
Sumberdaya ikan Salah satu sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui tetapi terbatas
Unit penangkapan ikan Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi
penangkapan ikan yang terdiri dari kapal
perikanan, alat tangkap, dan nelayan.
Traps Semua alat penangkap yang berupa jebakan atau
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya perikanan merupakan modal dasar pembangunan
perikanan dan pemanfaatannya diperlukan bagi kesejahteraan masyarakat
yang sebesar-besarnya. Perlu diketahui bahwa sifat sumberdaya perikanan
adalah tidak tak terbatas, sehingga pemanfaatannya harus lebih berhati-hati
agar tidak terjadi kepunahan. Dewasa ini di beberapa tempat telah terjadi
tekanan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang kurang terkendali,
penggunaan bahan peledak dan pemakaian alat tangkap yang terlarang,
sementara dalam pelaksanaan pembangunannya masih terdapat berbagai
permasalahan yang bersumber dari sumberdaya perikanan, sumberdaya
manusia, sarana dan prasarana perikanan, pascapanen dan pemasaran,
pembangunan teknologi, agribisnis perikanan dan kelembagaan perikanan
(Baskoro 2006).
Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya mengarah pada
pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi
kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya, tanpa
menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan itu sendiri maupun lingkungannya.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, juga mengamanatkan bahwa
pengelolaan perikanan, termasuk kegiatan perikanan tangkap, harus
dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan
(Baskoro 2006).
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan
luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan
Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebesar 16.281 km2. Luas perairan Kepulauan
Bangka Belitung diperkirakan sebesar 65.301 km2
Kabupaten Bangka Selatan merupakan salah satu daerah sentra atau
penghasil utama sektor perikanan di Kepulauan Bangka Belitung. Kekayaan
sumberdaya pesisir dan kelautan yang cukup melimpah membuat banyak
penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tetap, disamping nelayan
yang mempunyai mata pencaharian sampingan seperti berkebun dan beternak
(DPK. Kabupaten Bangka Selatan 2005).
yang potensi produksi
perikanan tangkap sebesar 499.500 ton (DKP Provinsi Kepulauan Bangka
Menurut DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008), hasil tangkapan
yang didaratkan di Kabupaten Bangka Selatan pada tahun 2007 mencapai
11.027,50 ton atau sekitar 17,23 % dari potensi yang ada (64.000 ton per tahun).
Produksi tersebut diperoleh dari alat tangkap bagan, bubu, pancing rawai, jaring.
Hasil tangkapan bubu sekitar 1.765 ton dengan jenis ikan utama kerapu
(Epinephelus sp), kakap (Lates calcarifer), kurisi (Nemipterus nematophorus),
dan ekor kuning (Caesio sp).
Menurut DKP Kabupaten Bangka Selatan (2005), bubu merupakan jenis
alat tangkap utama yang digunakan dalam pemanfaatan ikan karang di
Kabupaten Bangka Selatan. Jenis bubu yang umumnya digunakan nelayan
Kabupaten Bangka Selatan adalah jenis bubu dasar dengan bahan material yang
terbuat dari kawat dan jaring. Jenis ikan yang tertangkap oleh bubu dasar dan
didaratkan di Kabupaten Bangka Selatan adalah ekor kuning (Caesio sp), Kerapu
(Epinephelus sp), baronang (Siganus sp), kakap merah/bambangan (Lutjanus
spp).
Bubu dasar mempunyai ukuran yang bervariasi tergantung kebutuhan
nelayan. Bubu kecil ukuran panjangnya 1 m, lebar 50-75 cm dan tinggi 25-30
cm,sedangkan bubu besar mempunyai ukuran panjang bias mencapai 3,5 m,
lebar 2 m dan tinggi 75-100 cm. Pengoperasian bubu dasar biasaya dilakukan di
perairan karang atau diantara bebatuan (Subani dan Barus 1988).
Pemasangan bubu biasanya ditandai oleh adanya pelampung tanda
melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut. Pengambilan hasil
tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan beberapa
hari setelah pemasangan. Hasil tangkapan dengan bubu dasar umumnya terdiri
dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik seperti kuwe (Caranx spp), baronang
(Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus
spp), ekor kuning (Caesio spp), kaji (Diagrama spp), lencam (Lethrinus spp),
udang paneid udang barong (Subani dan Barus 1988).
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Bennet (1974) dalam Krouse
(1988), menjelaskan bahwa ada hubungan antara durasi waktu saat setting
dimulai sampai hauling, dan hal ini sangat berkaitan dengan pengaruh lama
perendaman alat tangkap terhadap hasil tangkapan rata-rata dari spesies yang
menjadi target tangkapan. Penelitian Anung dan Barus (2000), pada bubu
dengan mulut dua yang di rendam selama satu hari di Selat Sunda memberikan
satu dan dua yang di rendam selama tiga hari, dengan umpan ikan pelagis
(banyar) dan ikan demersal (remang).
Penelitian-penelitian tentang alat tangkap bubu dalam operasi
penangkapan yang telah dilakukan, antara lain: pengaruh kedalaman dan kontur
dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus)
(Urbinas 2004); pengaruh kedalaman pemasangan bubu terhadap hasil
tangkapan kakap merah (Lujanus sanguineus) (Nurhidayat 2002); selektivitas
ukuran ikan kakap (Lutjanus sp.) pada bubu yang dilengkapi dengan celah
pelolosan (escaping gaps) (Tirtana 2003); uji coba alat tangkap bubu dengan
ukuran mesh size berbeda (Ariefandi 2005); pengaruh penggunaan jenis umpan
terhadap hasil tangkapan ikan karang pada alat tangkap bubu (traps) (Mawardi
2001); pengoperasian bubu dengan umpan dan konstruksi funnel yang berbeda
terhadap hasil tangkapan ikan laut dalam (Susanto 2006) dan studi tentang
pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah
laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mawardi 1998).
Nelayan perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan dalam
pengoperasiannya menggunakan bubu dasar dari material kawat dan jaring.
Pada umumnya pengoperasian bubu dasar dari material kawat direndam selama
6 (enam) hari sedangkan material bubu dasar dari bahan jaring direndam selama
5 (lima) hari. Hingga saat ini, belum diketahui berapa lama perendaman yang
efektif diantara kedua jenis bubu tersebut dan apakah usaha penangkapan ikan
karang dengan menggunakan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan masih
memberikan keuntungan atau telah mengalami kerugian. Hal ini perlu diketahui,
karena selama ini usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan
dijalankan lebih kepada tradisi, belum memperhitungkan faktor ekonomi. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini juga dilakukan analisis finansial untuk
menentukan usaha perikanan bubu dasar yang menguntungkan di Kabupaten
Bangka Selatan.
Upaya pengembangan perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka
Selatan dengan menggunakan bahan material dari kawat maupun jaring
membutuhkan identifikasi permasalahan beserta pemecahannya dilihat dari
aspek teknis dan sosial ekonomi. Hal ini dapat dilakukan melalui penelitian
perikanan bubu dasar di kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka
1.2 Perumusan Masalah
Kondisi perikanan tangkap yang mempunyai kendala dan permasalahan
yang demikian kompleks, maka di masa yang akan datang, diperlukan teknologi
penangkapan ikan yang lebih mengarah pada penggunaan teknologi
penangkapan ikan yang efektif dan efisien, ramah lingkungan, dan menghasilkan
produk yang berkualitas tinggi. Untuk merealisasikan hal tersebut, alternatif
penggunaan alat tangkap traps atau bubu sangat diperlukan.
Operasi penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu dasar
merupakan salah satu metode pemanfaatan ikan karang yang ada di Perairan
Kabupaten Bangka Selatan. Upaya pemanfaatan ini diharapkan dapat
memberikan hasil yang efektif sehingga dapat meningkatkan pendapatan
nelayan dan pemenuhan konsumsi masyarakat lokal serta mendukung ekspor.
Peningkatan produktivitas dapat dipengaruhi oleh kemampuan armada, jenis alat
tangkap yang digunakan, daerah penangkapan dan lain-lain.
Upaya yang dapat dilakukan agar penggunaan bubu dasar di Perairan
Kabupaten Bangka Selatan lebih efektif dan efisien dalam menangkap ikan
karang. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menentukan jenis
material yang digunakan pada bubu dasar (kawat dan jaring) guna mendapatkan
hasil tangkapan yang maksimal dan lama perendaman yang efektif oleh bubu
dasar. Selain itu juga, penting untuk diketahui tingkat pendapatan usaha
perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan apakah masih memberikan
keuntungan atau telah mengalami kerugian. Setelah diketahui lama perendaman
dan jenis material bubu yang efektif untuk menangkap ikan karang serta tingkat
pendapatan usaha perikanan bubu dasar yang menguntungkan, maka hasil ini
dapat direkomendasikan kepada nelayan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan
setempat untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan karang dengan
menggunakan bubu dasar.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang dihadapi dalam
perikanan bubu dasar adalah belum diketahuinya tingkat kelayakan usaha
perikanan bubu dasar yaitu dari material kawat dan jaring berdasarkan jenis hasil
tangkapan, lama perendaman dan investasi serta biaya operasional alat tangkap
bubu dasar. Dengan demikian diperlukan pengkajian terhadap usaha perikanan
bubu dasar yang efektif, efisien dan berkelanjutan sehingga sumberdaya
perikanan laut yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan nelayan
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi dan mengkuantifikasi hasil tangkapan bubu dasar
berdasarkan lama perendaman
2) Menentukan pengaruh lama perendaman bubu dasar dari material kawat
dan jaring terhadap hasil tangkapan.
3) Menentukan tingkat kelayakan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten
Bangka Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1) Sebagai bahan informasi kepada pengusaha dan nelayan dalam
mengembangkan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka
Selatan.
2) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam membuat
kebijakan mengenai pengembangan usaha perikanan bubu dasar di
Kabupaten Bangka Selatan.
1.5 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
1) Lama perendaman dan jenis bubu berpengaruh terhadap produktivitas
hasil tangkapan ikan karang.
2) Hasil tangkapan ikan karang memiliki tingkah laku yang berbeda ketika
merespons adanya umpan.
1.6 Kerangka Pemikiran
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu
merupakan salah satu metode pemanfaatan ikan karang yang ada di Perairan
Bangka Selatan. Upaya pemanfaatan ini diharapkan dapat memberikan hasil
yang efektif sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan pemenuhan
konsumsi masyarakat lokal serta mendukung ekspor. Peningkatan produktivitas
dapat dipengaruhi oleh kemampuan armada, jenis alat tangkap yang digunakan,
daerah penangkapan dan lain-lain.
Upaya pengembangan bubu di Kabupaten Bangka Selatan membutuhkan
identifikasi permasalahan beserta pemecahannya dilihat dari jenis dan komposisi
operasional dari usaha bubu. Hal ini dapat dilakukan melalui penelitian perikanan
bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
2.1 Teknologi Penangkapan
Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus
memenuhi empat aspek pengkajian “bio-techniko-socio-economic-approach”
yaitu:
(1) Bila ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian
sumberdaya.
(2) Secara teknis efektif digunakan
(3) Dari segi sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan
(4) Secara ekonomi, teknologi tersebut bersifat menguntungkan.
Satu aspek tambahan yang perlu diperhatikan adalah adanya ijin pemerintah
yang berupa kebijakan dan peraturan pemerintah (Haluan dan Nurani 1988).
Menurut Monintja (1987) jika pengembangan perikanan di suatu wilayah
perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja maka teknologi yang perlu
dikembangkan adalah teknologi penangkapan ikan yang relatif mampu menyerap
banyak tenaga kerja dengan pendapatan para nelayan yang memadai. Dalam
kaitannya dengan penyediaan protein hewani untuk masyarakat luas harus dipilih
unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan
yang tinggi namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan
ekonomis.
Penerapan teknologi baru tidak begitu mudah karena dipengaruhi oleh
banyak faktor. Nelayan kecil kadang-kadang lambat dalam mengadopsi teknologi
baru karena beberapa alasan, yaitu mereka enggan untuk mengambil resiko
dengan modal mereka yang terbatas. Menurut Mubiyarto (1996), alasan utama
mengapa nelayan berlaku tetap pada cara-cara yang lama dalam lingkungan
ekonomi tertentu adalah mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan
ketidakpastian (risk and uncertainty) terutama pada faktor ketidakpastian,
selanjutnya dikatakan bahwa mereka beranggapan bahwa keuntungan yang
mereka peroleh dari penggunaan teknologi baru kenyataannya akan lebih rendah
hasilnya.
2.2 Alat Tangkap Perangkap (Traps)
Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap adalah semua alat
penangkap yang berupa jebakan atau menghadang ikan. Pada prinsipnya
gerakan ikan menuju alat tersebut (Sainsbury 1982). Alat ini juga bersifat pasif
menunggu ikan/hewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah
ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Ikan dapat masuk dengan
mudak ke dalam perangkap tanpa ada pemaksaan, tetapi ikan tersebut akan
sukar meloloskan diri keluar karena dihalangi dengan bermacam-macam cara
untuk meloloskan (Von Brant 1984) Pemasangannya berdasarkan pengetahuan
tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ke arah pantai pada
waktu-waktu tertentu (Gunarso 1985). Perangkap tersebut dapat berupa tempat
bersembunyi atau berlindung ikan, menghalang dalam bentuk dinding atau
pagar-pagar.
Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu
(bamboos netting), anyaman rotan (rottan netting), anyaman kawat (wire netting),
kere bambu (bamboos screen) dan lain sebagainya. Alat tangkap tersebut
dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap (tetap),
dipasang (ditanam) di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan.
Martasuganda (2003) mengatakan proses ikan, kepiting atau udang
terperangkap ke dalam perangkap kemungkinan dikarenakan adanya :
(1) Tertarik bau umpan;
(2) Dipakai untuk berlindung;
(3) Karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri; dan
(4) Tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi.
2.2.1 Alat tangkap bubu (pots)
Alat penangkap ikan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan dasar
adalah bubu, jaring, pancing, muroami, tombak dan menyelam (Widodo et al.
1998). Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh
nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan
menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah,
desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak
memerlukan kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat
kesegaran yang baik dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang
yang tidak terjangkau oleh alat tangkap lainnya (Iskandar dan Diniah 1999).
Menurut Rounsefelt dan Everhart (1962), bubu merupakan alat tangkap
yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar
perairan, baik di laut maupun danau. Bubu banyak digunakan oleh nelayan
Bubu didesain untuk menangkap crustacea, dengan berbagai bentuk dan
terbuat dari berbagai bahan. Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu
biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai.
Pada pengoperasiannya bisa diberi umpan maupun tidak. Bubu dilengkapi
dengan tali pelampung untuk menghubungkan bubu dengan pelampung.
Pelampung berfungsi untuk menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nedelec dan
Prado 1990).
Menurut Von Brant (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok alat
perangkap (traps). IMAI (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk
menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan
bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai
jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah
bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan
yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau
nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan
hanya ikan-ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan
ukuran mata jaring).
Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu
rangka (frame) badan (body), mulut (funnel) dan pintu masuk. Rangka biasanya
terbuat dari bahan yang kuat seperti besi, besi behel, bambu atau kayu yang
bentuknya disesuaikan dengan konstruksi bubu yang diinginkan. Bentuk bubu
sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk
sendiri-sendiri. Rangka berfungsi untuk mempertahankan bentuk bubu selama
pengoperasian di laut. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan
terkurung. Mulut bubu merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak
dapat keluar dan umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu berfungsi
untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus
1989).
Bubu digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan-ikan karang karena
mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah:
(1) Pembuatan alat mudah dan murah;
(2) Pengoperasiannya mudah;
(3) Kesegaran hasil tangkapan baik; dan
(4) Daya tahan tinggi dan dapat dioperasikan di tempat-tempat dimana alat
Prinsip pengoperasian bubu yaitu dipasang secara pasif menghadang
dan memerangkap ikan. Hal-hal yang membuat ikan tertarik pada bubu
khususnya pada bubu yang tidak menggunakan umpan antara lain :
(1) Pergerakan acak ikan;
(2) Menganggap bubu sebagai tempat istirahat dan berlindung;
(3) Tingkah laku sosial interspesies;
(4) Pemasangan; dan
(5) Mencari pasangan.
Menurut Martasuganda (2003), secara umum ikan masuk ke dalam bubu
karena faktor-faktor berikut :
(1) Mencari makan;
(2) Mencari tepat berlindung;
(3) Mencari tempat beristirahat; dan
(4) Sifat thigmotaxis ikan.
Unit penangkapan bubu terdiri atas kapal, alat tangkap bubu dan nelayan.
Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk
memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu
dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus 1989). Posisi peletakan
bubu tanpa menggunakan pelampung tanda, posisi tersebut dicatat dengan
menggunakan alat bantu Global Poition System (GPS) sehingga hanya nelayan
tersebut saja yang mengetahui posisi peletakan bubu. Hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya pencurian hasil tangkapan bubu dan terseretnya bubu oleh
kapal.
2.2.2 Pengoperasian bubu
Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan
berdasarkan cara pengoperaiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu
apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat
dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu
dengan satu tali pelampung atau single traps dan beberapa bubu dirangkaikan
menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line traps.
Sumertha dan Soedharma (1975) menjelaskan bahwa penyebaran hidup
biota di laut dipengaruhi oleh tingkat kedalaman, arus, pasang surut serta
mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Puslitkan 1991), kakap merah (Lutjanus
untuk kedalaman perairan yang berbeda.
Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi
maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan telah lama
dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan oleh alat yang berbentuk
perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap seolah perangkap
sebagai tempat berlindung. Konstruksi alat dibuat sedemikian rupa hingga ikan
yang masuk kedalamnya tidak dapat melarikan diri. Mursbahan (1977)
menyatakan bahwa ikan banyak terdapat di sekitar rumpon, mungkin karena
rumpon tersebut terlihat oleh ikan sebagai tempat berlindung dari buruan
musuhnya. Larger et. al. (1977) menambahkan bahwa reaksi ikan mendekati
bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung.
Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyoso (1979) terjadi karena :
(1) Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok
ikan;
(2) Keragaman ikan di dalam populasi; dan
(3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap
jenis ini bersifat pasif dan menetap.
Menurut Reppie (1989), metode penangkapan dengan alat tangkap bubu
tergantung pada tingkah laku ikan sebagai objek penangkapan dan objek ukuran
mata bubu. Metode penangkapan dengan bubu mempunyai beberapa
karakteristik yang memberikan keuntungan yaitu:
(1) Pembuatan alat tangkap bubu mudah;
(2) Pengoperasiannya mudah;
(3) Kesegaran hasil tangkapan bagus; dan
(4) Daya tangkap dapat diandalkan dan bisa dioperasikan pada lokasi yang alat
tangkap lain tidak mengoperasikannya (Monintja dan Martasuganda 1990).
2.2.3 Teknik penangkapan
Di Kabupaten Bangka Selatan, ikan karang ditangkap dengan bubu dan
muroami. Bubu adalah alat tradisional, biasanya dioperasikan menjadi satu
rangkaian dari beberapa unit bubu, atau satu unit bubu (single trap). Daerah
penangkapan adalah dekat muara sungai atau sekitar pantai yang berkarang.
Semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah
penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan (ikan dasar, kepiting,
oleh bubu) yang akan dijadikan sebagai daerah penangkapan. Pemasangannya
ada yang dipasang satu persatu dan secara berantai (sistem rawai).
Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu
dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip
penangkapan ikan menggunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan
tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury 1996).
Bubu dan jaring penghalang (barrier net) adalah jenis-jenis alat tangkap
yang sebenarnya sudah digunakan oleh nelayan sejak lama. Mereka banyak
ditinggalkan sejak digunakannya sianida (pada perikanan karang) dan pukat
harimau (pada perikanan laut dalam) yang menjanjikan kemudahan
pengoperasian dan hasil tangkapan yang berlipat ganda. Upaya menggalakkan
kembali alat-alat tangkap ini tidak semata menganjurkan nelayan kembali ke
kondisi dulu, tetapi disertai modifikasi yang bertujuan meningkatkan hasil
tangkapan dan tetap mengendalikan dampaknya terhadap kualitas habitat
(Widyaningsih 2004).
2.3 Capaian Penelitian Bubu Sebelumnya
Penelitian tentang perikanan bubu telah banyak dilakukan hingga saat ini,
antara lain mengenai:
1) Studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan
dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap
(Mawardi, 1998). Pada penelitian ini menunjukkan hasil tangkapan bubu
sayap dengan Leader net (DL) dan bubu sayap tanpa Leader net (TL)
berbeda nyata. Demikian pula hasil tangkapan bubu sayap (DL) siang dan
bubu sayap (TL) malam hari berbeda nyata. Berbeda dengan hasil
tangkapan bubu sayap (TL) tidak memperlihatkan hasil tangkapan yang
berbeda nyata antara siang dan malam. Hasil rekaman tingkah laku ikan
didapatkan proses dan kuantitas ikan pada saat mendekati dan menjauhi
mulut bubu, ikan yang masuk kedalam bubu dan yang berhasil meloloskan
diri serta menjauhi bubu.
2) Pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan
kakap merah (Lutjanus malabaricus) dalam pengoperasian bubu (Urbinas,
2004). Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat trend kedalaman
bahwa semakin dalam perairan, hasil tangkapan semakin tinggi atau
sebaliknya semakin dangkal perairan, hasil tangkapan semakin sedikit.
53,2-67,2 m, 67,3-81,3 m, 137,8-151,8 m dan 39,1-53,1 m dengan kontur dasar
perairan yang berbukit-bukit. Selain itu, ikan kakap merah memiliki pola
penyebaran yang tinggi pada kedalaman 33,1-81,3 m dan 109,6-151,8 m
dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit, sedangkan pola
penyebaran rendah terjadi pada kedalaman 81,4-109,5 m dengan kontur
dasar perairan yang landai.
3) Perbandingan hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat (Setiawan 2006).
Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu
bambu dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat lebih efektif untuk
menangkap jenis crustacea.
4) Hasil tangkapan dari bubu kawat dan bubu lipat (Purnama 2006). Pada
penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu kawat dan
bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat dapat digunakan sebagai
pengganti bubu kawat dan lebih efektif dalam usaha pemanfaatan
sumberdaya ikan maupun biota lainnya.
5) Respon Penciuman ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
terhadap umpan buatan (Riyanto 2008). Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa perbedaan jenis umpan dan waktu perendaman (siang dan malam)
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan. Selain itu
juga, umpan alami memiliki efektifitas yang lebuh baik untuk penangkapan
ikan kerapu dengan bubu dibandingkan umpan buatan
2.4. Klasifikasi Ikan Karang
Menurut Wiryawan et al. (2002) Ikan karang yang ditemukan di daerah
terumbu karang di Sumatera (Lampung) sebanyak 168 spesies yang berasal dari
28 famili. Menurut Adrim (1993) diacu oleh Nasution (2001) dan Terangi (2004),
mengelompokkan ikan karang dalam tiga kategori, yaitu :
1) Kelompok ikan target, yaitu ikan yang mempunyai manfaat sebagai ikan
konsumsi, seperti : Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan
Lethrinidae;
2) Kelompok ikan indikator, yaitu ikan karang yang dinyatakan sebagai
indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang
termasuk kelompok ikan indikator yaitu family Chaetodotidae.
3) Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai
makanan seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae,
2.5 Kelayakan Usaha
Menurut Kadariah et al. (1999), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha
perlu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dapat
dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi.
2.5.1 Analisis usaha
Menurut Hernanto (1989), analisis usaha dimaksudkan untuk mengetahui
kekuatan pengelolaan secara menyeluruh dalam mengelola kekayaan
perusahaan. Analisis usaha yang dilakukan antara lain, analisis pendapatan
usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (Revenue Cost Ratio),
Payback Period (PP), dan analisis Return of Investment (ROI).
2.5.2 Analisis kriteria investasi
Pada analisis ini adalah modal saham yang ditanam dalam proyek. Analisis
ini penting artinya dalam memperhitungkan pengaruh bagi yang turut dalam
mensukseskan pelaksanaan proyek. Indikator yang digunakan dalam analisis ini,
yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), net Benefit Cost
Ratio (net B/C). Ukuran ini mempersoalkan apa yang akan diperoleh di kemudian
hari, beberapa nilai sekarang (present value), dengan kata lain semua aliran
biaya (cost) dan manfaat (benefit) selama umur ekonomis kita ukur dengan nilai
sekarang (Gray et al. 1993).
2.5.2.1 Net present value (NPV)
Menurut Gray et al. (1993), NPV atau keuntungan bersih suatu usaha
adalah pendapat kotor dikurangi jumlah biaya. NPV suatu proyek adalah selisih
PV (present value) arus benefit dengan PV arus biaya. Menurut Suratman (2001,
NPV digunakan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak
dilaksanakan atau tidak dengan cara mengurangkan antara PV dan aliran kas
bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis termasuk
terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment). Jika NPV positif,
usulan proyek investasi dinyatakan layak, sedangkan jika NPV negatif dinyatakan
tidak layak. Penentukan PV atas aliran kas operasional dan terminal cash flow
didasarkan pada cost of capital sebagai cut off rate atau discount factor-nya.
Keunggulan metode NPV adalah metode ini telah mempertimbangkan nilai
ekonomis untuk perhitungannya. Sementara itu jika dibandingkan dengan
metode IRR dan PP tidak menunjukkan nilai absolutnya (Suratman 2001).
2.5.2.2 Internal rate of return (IRR)
Menurut Suratman (2001), IRR digunakan untuk menentukan apakah suatu
usulan proyek investasi layak atau tidak, dengan cara membandingkan antara
IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Perhitungan IRR dilakukan
dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari
aliran kas dengan PV dari investasi (initial investment).
Keunggulan IRR adalah dalam perhitungannya dilakukan dengan cara
mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan
PV dari investasi, namun pada prinsipnya menggunakan teknik interpolasi dan
mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara
keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Dasar perhitungan
IRR sama dengan dasar perhitungan NPV, namun karena hasil akhir IRR dalam
bentuk tingkat keuntungan dalam % maka hal ini merupakan kelemahan dari
metode IRR (Suratman 2001).
2.5.2.3 Net benefit cost ratio (Net B/C)
Menurut Umar (2003), net B/C merupakan perbandingan antara net benefit
yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount negatif
(-). Menurut Choliq et al. (1993), kriteria investasi hampir sama dengan kriteria
investasi netB/C. Perbedaannya adalah bahwa dalam perhitungan netB/C biaya
tiap tahun dikurangi dari benefit tiap tahun untuk mengetahui benefit netto yang
positif dan negatif. Kemudian jumlah PV yang positif dibandingkan dengan
jumlah PV yang negatif. Sebaliknya, dalam perhitungan gross B/C pembilang
adalah jumlah nilai sekarang arus manfaat dan penyebut jumlah nilai sekarang
biaya bruto. Metode net B/C ini membandingkan nilai discount net benefit positif
dengan discount net benefit negative, apabila net B/C > 1 maka proyek
dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika net B/C < 1 maka proyek dianggap tidak
layak untuk dilanjutkan. Kritera ini menggambarkan seberapa besar bagian biaya
proyek yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat proyek (Kadariah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Tujuan Penelitian
Pengumpulan Data Rancangan Penelitian
Pengumpulan Data Sekunder : - Keadaan umum Kabupaten Bangka Selatan
- Data kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Bangka Selatan
Pengumpulan Data Primer : - Data teknis unit tangkap bubu dasar - Data hasil tangkapan yang dihitung dalam jumlah (ekor), bobot (gram) dan panjang (cm) pada setiap hasil tangkapan/trip penangkapan - data investasi dan biaya serta pendapatan unit usaha bubu
Analsis Awal dan Identifikasi Masalah
Analisis Data PengambilanKesimpulan
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga November 2009. Lokasi
penelitian mengambil tempat di Perairan Kabupaten Bangka Selatan (Gambar 2).
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Bangka Selatan dengan
pertimbangan bahwa pusat perikanan bubu dasar di Pulau Bangka berada di
Kabupaten Bangka Selatan (DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2008).
[image:32.595.111.515.75.780.2]
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Adapun tahap penelitian Perikanan Bubu Dasar di Kabupaten Bangka
Selatan Provinsi kepulauan Bangka Belitung ditunjukkan pada Gambar 3.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel
[image:33.595.101.515.84.591.2]1. Sedangkan bubu dasar yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.
Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
No Alat dan Bahan Kegunaan
1 a). Bubu dari material kawat (12 unit) Alat penangkap ikan b). Bubu dari meterial jaring (12 unit) Alat penangkap ikan
2 Kapal/Perahu (5 GT) Sarana tranportasi
3 Penggaris (skala terkecil 1 mm) Mengukur ikan hasil tangkapan
4 Timbangan (skala terkecil 0,1 kg) Mengukur berat hasil tangkapan
5 Global Position System (GPS), merek Menentukan dan mencari posisi Furuno GPS/WAAS Navigator GP-32 bubu dasar pada saat setting
dan hauling
6 Pengait/gancu Mengambil/mengangkat bubu
dari
dasar perairan ke atas kapal
8 Kamera Dokumentasi kegiatan penelitian
9 Coolbox Menampung ikan hasil tangkapan
Gambar 4 Alat tangkap bubu dasar; (a) bubu dasar dari material kawat, dan (b) bubu dasar dari material jaring
3.3 Metode Penelitian
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode experimental
fishing dan metode deskriptif survei yang bersifat studi kasus (case study).
Metode experimental fishing digunakan pada pengoperasian bubu dasar dari
material kawat; 12 unit dan bubu dasar dari material jaring 12 unit dengan lama
perendaman bubu dasar 3 hari, 4 hari dan 5 hari. Experimental fishing adalah
metode yang digunakan dalam bidang penangkapan untuk menyelidiki
kemungkinan saling hubungan sebab akibat dengan menggunakan satu atau
lebih kelompok experimental dan satu atau lebih kondisi perlakuan dengan
perbandingan hasilnya (Monintja et al. 1996). Metode deskriptif survei yang
bersifat case study, yaitu memberikan gambaran secara mendetail sebagai latar
belakang sifat serta karakter yang khas (Arikunto 2000). Metode ini digunakan
untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang
mendukung penelitian yaitu pengembangan usaha perikanan bubu dasar di
Kabupaten Bangka Selatan Provinsi kepulauan Bangka Belitung.
3.4 Pengumpulaan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengikuti operasi penangkapan
ikan yang dilakukan nelayan. Penelitian menggunakan 12 unit bubu dasar dari
material kawat dan 12 unit bubu dasar dari material jaring (perbedaan material ini
dijadikan sebagai kelompok). Operasi penangkapan berdasarkan lama
perendaman bubu dari kedua jenis yang dijadikan sebagai perlakuan yaitu; (a)
perendaman bubu dasar selama 3 hari; (b) perendaman bubu dasar selama 4
hari; dan (c) perendaman bubu dasar selama 5 hari.
Adapun prosedur pengambilan data di lapangan adalah sebagai berikut :
1) Lama perendaman 3 hari; menggunakan 8 unit bubu; terdiri dari 4 unit bubu
kawat dan 4 unit bubu jaring. Satu unit bubu kawat dirangkai dengan satu unit
bubu jaring, dengan jarak antar bubu ± 100 m, sehingga diperoleh 4 rangkaian
untuk kedelapan unit bubu yang digunakan pada lama perendaman 3 hari.
2) Lama perendaman 4 hari; menggunakan 8 unit bubu; terdiri dari 4 unit bubu
kawat dan 4 unit bubu jaring. Satu unit bubu kawat dirangkai dengan satu unit
bubu jaring, dengan jarak antar bubu ± 100 m, sehingga diperoleh 4 rangkaian
untuk kedelapan unit bubu yang digunakan pada lama perendaman 4 hari.
3) Lama perendaman 5 hari; menggunakan 8 unit bubu; terdiri dari 4 unit bubu
kawat dan 4 unit bubu jaring. Satu unit bubu kawat dirangkai dengan satu unit
bubu jaring, dengan jarak antar bubu ± 100 m, sehingga diperoleh 4 rangkaian
untuk kedelapan unit bubu yang digunakan pada lama perendaman 5 hari.
Masing-masing rangkaian bubu pada setiap perlakuan perbedaan lama
perendaman diletakkan pada lokasi yang berbeda. Lokasi peletakan bubu yang
akan direndam sesuai dengan kebiasaan nelayan di lokasi penelitian. Pemilihan
lokasi penelitian diusahakan menghindari dari kegiatan operasi penangkapan
ikan menggunakan trawl dan dipilih lokasi dasar perairan berkarang. Posisi
hauling dinyatakan sebagai banyaknya ulangan. Masing-masing perlakuan lama
perendaman dilakukan sebanyak 5 kali hauling, yang berarti lima kali ulangan.
Beberapa asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah bahwa kondisi
perairan di lokasi penelitian relatif sama, sumberdaya ikan karang menyebar
merata di seluruh lokasi penelitian dan dalam pengoperasian kedudukan bubu di
dasar perairan adalah normal dan kemungkinan terbalik atau terkait satu dengan
yang lainnya tidak mungkin terjadi. Desain posisi pemasangan bubu dasar di
[image:35.595.113.517.69.588.2]perairan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Desain posisi pemasangan bubu dasar
3.5 Analisis Data
3.5.1 Jenis dan komposisi hasil tangkapan
Jenis hasil tangkapan dianalisis dengan melakukan determinasi, yaitu
mencocok ikan hasil tangkapan dengan gambar yang ada dibuku kunci
indentifikasi ikan. Buku kunci indentifikasi ikan yang digunakan merujuk pada
buku karangan Peristiwady tahun 2006.
Komposisi jenis hasil tangkapan dianalisis dengan membandingkan jenis
hasil tangkapan untuk setiap perlakuan (bubu dari material kawat dan jaring).
Komposisi jenis hasil tangkapan dihitung dengan menggunakan rumus Krebs
(1989) yaitu :
Bubu jaring
Bubu jaring Bubu kawat
13-20 m
%
100
x
N
n
P
=
iKeterangan:
P= Presentasi jenis ikan yang tertangkap (%) ni = Berat individu dari setiap Jenis (kg) N = Berat seluruh jenis yang ada (kg)
Pengolahan data ini menggunakan program excel dan dibuat dalam bentuk
kurva Pie.
3.5.2 Pengaruh perbedaan jenis bubu dasar (material kawat dan jaring) terhadap hasil tangkapan
Penelitian ini dibagi atas dua perlakuan yaitu Perlakuan A. (perendaman 3
hari), dan B. (perendaman 4 hari), dan C. (perendaman bubu 5 hari). Setiap
perlakuan dikelompokkan kedalam dua kelompok. Pengelompokan berdasarkan
jenis bubu dasar yaitu: Kelompok I bubu dasar dari material kawat dan kelompok
II bubu dasar dari material jaring, sehingga diperoleh 6 satuan percobaan.
Proses untuk mengetahui Rancangan Perlakuan yang dicoba, maka
dilakukan Pengujian dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
(Steel and Torrie 1981) sebagai berikut :
ij j i ij
Y =µ+τ +β +ε
Dimana :
Yij
µ = Nilai tengan populasi
= Nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-i dalam kelompok ke-j
T
βi j = Pengaruh faktor perlakuan ke-i
Єij = Kesalahan percobaan pada perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
= Pengaruh kelompok ke-j
Data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan berupa bobot (kg) ikan
sebelumnya dilakukan Uji normalitas. Jika data normal, maka dilanjutkan pada
Analisis Ragam (ANOVA), tetapi apabila data tidak normal, maka dilakukan
transformasi data menggunakan rumus
1
+
N
, N = bobot (gr) hasil tangkapan.Analisis Ragam (ANOVA) digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
dengan perbedaan lama perendaman dan jenis bubu yang digunakan terhadap
hasil tangkapan ikan.
Langkah-langkah analisa rancangan acak kelompok (RAK) (Tabel 2)
(1) Perhitungan faktor korelasi (FK), jumlah kuadrat total (JKT), Jumlah
kuadrat kelompok (JKK), jumlah kuadrat perlakuan (JKP) dan jumlah
kuadrta galat (JKG), sebagai berikut:
rt
Y
FK
2
=
JKT Yij FKj i − Σ = 2
, t FK
Y JKK j j − Σ = 2
FK
r
Y
JKP
i i−
Σ
=
2JKP
JKK
JKT
JKG
=
−
−
(2) Penentuan derajat bebas sebagai berikut:
1
tan
1
=
−
−
=
rt
total
banyaknya
pengama
total
db
1
1
=
−
−
=
r
banyaknya
kelompok
kelompok
db
1
1
=
−
−
=
t
banyaknya
perlakuan
perlakuan
db
perlakuan
db
kelompokj
db
total
db
t
r
galat
db
=
(
−
1
)
(
−
1
)
=
−
−
(3) Masing-masing kuadrat tengah (KT) ditentukan melalui pembagian antara
JK dengan derajat bebasnya, yaitu:
1 − = r JKK KTK 1 − = t JKP KTP ) 1 ( ) 1 ( − − = t r JKG KTG
(4) Dalam penelitian ini menggunakan statistik penguji F dengan tingkat kepercayaan α0.05 (5 %). Statistik penguji F dihitung sebagai berikut:
KTG
KTP
F
hitung=
(5) Penyusunan analisis ragam (Tabel 4)
Tabel 2 Daftar analisis ragam acak kelompok
Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung
Kelompok (r-1) JKK KTK KTK/ KTG
Perlakuan (t-1) JKP KTP KTP/ KTG
Galat (r-1) (t-1) JKG KTG
Total rt-1 JKT
3.5.3 Kelayakan usaha
3.5.3.1 Analisis usaha
Komponen yang dipakai dalam analisis usaha meliputi biaya produksi,
penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan.
penerimaan dan biaya, analisis Payback Period (PP) serta analisis Return of
Investement (ROI) (Hernanto 1989).
(1) Analisis pendapatan usaha
Analisis ini umumnya digunakan untuk mengukur apakah kegiatan usaha
yang dilakukan pada saat ini berhasil atau tidak. Analisis pendapatan usaha
bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu
kegiatan usaha yang dilakukan (Djamin 1984). Penghitungan pendapatan usaha
dilakukan dengan menggunakan persamaan:
TC
TR
−
=
π
Keterangan :
π = Keuntungan
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
Dengan kriteria :
Jika TR > TC, kegiatan usaha mendapatkan keuntungan Jika TR < TC, kegiatan usaha tidak mendapatkan keuntungan
Jika TR=TC, kegiatan usaha berada pada titik impas atau usaha tidak mendapatkan untung atau rugi.
(2) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (revenue-cost ratio)
Menurut Hernanto (1989) dan Sugiarto et al. (2002), analisis revenue-cost
dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang
digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan
sebagai manfaatnya. Kegiatan usaha yang paling menguntungkan mempunyai
R/C paling besar. Penghitungannya menggunakan persamaan berikut :
TC
TR
C
R
=
Dengan kriteria:
Jika R/C > 1, kegiatan usaha mendapatkan keuntungan Jika R/C < 1, kegiatan usaha menderita kerugian
Jika R/C = 1, kegiatan usaha tidak memperoleh keuntungan/kerugian
(3) Payback Period (PP)
Menurut Umar (2003), PP adalah suatu periode yang diperlukan untuk
menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan
menggunakan aliran kas. PP dapat diartikan sebagai rasio antara initial cash
investment dengan cash inflow-nya yang hasilnya dengan satuan waktu. Rumus
tahun
x
Keuntungan
investasi
Nilai
PP
=
1
(4) Return of Investment (ROI)
ROI adalah kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam
keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Rumus yang
digunakan adalah :
%
100
x
Investasi
Keuntungan
ROI
=
3.5.3.2 Analisis kriteria investasi
Analisis kelayakan investasi dalam perikanan bubu dasar menggunakan
instrumen-instrumen analisis seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate
of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan analisis sensitivitas.
Metode NPV memiliki beberapa kelebihan, yaitu telah memasukkan
faktor nilai waktu dari uang, mempertimbangkan semua arus kas proyek, dan
mengukur besaran absolut sehingg a mudah meng ik uti k ontribusinya
terhadap usaha meningkatkan kekayaan perusahaan atau pemegang
saham. Keputusan yang sulit dalam penggunaan NPV adalah
menentukan besarnya tingkat arus pengembalian (i) atau hurdle rate.
Metode net B/C menghasilkan angka komparatif (relatif) dan lebih dikenal
peng unaannya untuk mengevaluasi proyek publik . Penek anan
metode pada manfaat bagi kepentingan umum, tetapi dapat juga digunakan
untuk manfaat perusahaan dan swasta yang dilihat dari pendapatan proyek
(Gray et al. 1993).
Kegunaan evaluasi finansial dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
melihat biaya manfaat usaha perikanan bubu dasar di dalam mengahasilkan
produk. Adapun formulasi perhitungan masing-masing metode yang digunakan
dalam kelayakan investasiadalah sebagai berikut :
(1) Net Present Value (NPV)
NPV menyatakan nilai bersih investasi saat ini yang diperoleh dari
selisih antara nilai sekarang invsestasi dengan nilai sekarang penerimaan kas
bersih dimasa yang akan datang, setelah memperhitungkan discount factor.
Suatu proyek dapat dinyatakan bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV ≥ 0.
Jika NPV = 0 berarti proyek dapat mengembalikan sebesar opportunity cost of
dilaksanakan, berarti ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk
sumber-sumber yang diperlukan proyek (Kadariah et al. 1999). Rumus untuk
menghitung NPV adalah:
(
)
( )
∑
−+
−
=
n t t t ti
C
B
NPV
11
Keterangan : Bt C= Benefit dari suatu proyek pada tahun ke-t
t
n = Umur teknik proyek
= Biaya dari proyek pada tahun ke-t
i = Tingkat suku bunga yang berlaku
Kriteria kelayakannya adalah:
Jika nilai NPV = 0 berarti investasi layak untuk dilaksanakan dan
Jika nilai NPV < 0 maka investasi rugi atau tidak layak untuk dilaksanakan.
(2) Internal Rate of Return (IRR)
IRR menunjukkan tingkat bunga pada saat jumlah penerimaan sama
dengan jumlah pengeluaran atau tingkat suku bunga yang menghasilkan
NPV = 0. Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku
maka suatu proyek dapat dilaksanakan dan sebaliknya proyek tidak dapat
dilaksanakan jika nilai lRR lebih kecil dari tingkat suku bunga. IRR dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(
)
− − − += D N D P
PVN PVP
PVP P
D
IRR f f f
Keterangan:
Df
D
P = Discount factor yang menghasilkan present value positif.
f
PVP = Present value positif.
N = Discount factor yang menghasilkan present
PVN = Present value negatif.
Keriteria kelayakannya adalah:
jika nilai IRR > i, maka investasi layak untuk dilaksanakan dan jika nilai IRR < i, maka investasi tidak layak untuk dilaksanakan.
(3) NetBenefif Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan perbandingan antara total present value dari
keuntungan bersih dalam tahun-tahun dengan Bt-Ct, positif sebagai
pembilang terhadap total present value dari biaya bersih dalam
tahun-tahun dengan Bt-Ct negatif sebagai penyebut. Jika nilai B/C-ratio > 1 berarti
proyek dapat dilaksanakan sebaliknya kalau nilai B/C < 1 berarti proyek tidak
tidak bergantung pada investor (Kadariah et al. 1999). B/C dapat dihitung
dengan rumus :
(