• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

PEDOMAN WAWANCARA

I. Identitas

Nama : Usia : Anak ke : Pendidikan : Status : Suku :

II. Keadaan diri sebelum memutuskan menjadi Ateis

a. Jelaskan kehidupan spiritual Anda sewaktu anda belum menjadi Ateis.

III. Kehidupan responden sebagai seorang Ateis

a. Jelaskan alasan dan proses yang terjadi sehingga Anda memutuskan untuk menjadi Ateis.

IV. Kebermaknaan hidup responden

A. TAHAP DERITA

1. Jelaskan hal-hal yang tidak menyenangkan saat Anda mulai menjadi seorang Ateis.

2. Bagaimana perasaan Anda pada saat awal menjadi Ateis? Jelaskan. 3. Bagaimana Anda menjalani pengalaman tidak menyenangkan

tersebut?

B. TAHAP PENERIMAAN DIRI

1. Bagaimana proses yang terjadi sehingga Anda dapat menerima keadaan tersebut ?

2. Bagaimana Anda memandang keadaan diri sendiri setelah mampu menerima identitasnya tersebut?

(2)

C. TAHAP PENEMUAN MAKNA

1. Jelaskan tujuan hidup yang ingin Anda diraih. 2. Mengapa Anda ingin meraih tujuan tersebut? 3. Bagaimana usaha untuk meraihnya?

4. Bagaimana hubungan Anda dengan lingkungan setelah mampu menerima keadaan/identitas dirinya?

5. Jelaskan hal-hal yang penting dan berharga dalam hidup? 6. Mengapa hal-hal tersebut penting dan berharga?

D. TAHAP REALISASI MAKNA

1. Jelaskan harapan dan rencana atau tujuan hidup Anda ke depan. 2. Bagaimana upaya yang Anda lakukan untuk dapat meraih tujuan

hidup?

3. Bagaimana perasaan dan pikiran Anda dengan adanya tujuan hidup yang bermakna dalam menjalani kehidupan?

E. TAHAP KEHIDUPAN BERMAKNA

1. Jelaskan makna hidup yang Anda miliki saat ini.

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, H.D. (1996). Meraih hidup bermakna: Kisah pribadi dengan pengalaman tragis Jakarta: Paramadina.

Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi. Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Bloor, Steve. (2013). Life Has More Meaning As an Atheist. Diakses pada 20 November 2014, di https://stevebloor.wordpress.com/2013/08/23/life-has-more-meaning-as-an-atheist/.

Bukhori, Baidi. (2006) Kesehatan Mental Mahasiswa Ditinjau dari Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup. Jurnal Psikologia, No 22 Vol XI.

Cliteur, Paul. (2009). The Definition of Atheism. Journal of Religion and Society, The Kripke Center.

Frankl, V.E. (1984). Man’s search for meaning: An introduction to logotherapy Washington Square Press Washington.

Galotti, Kathleen.(2004). Cognitive Psychology : in and out of the Laboratory. Belmont, USA: Thomson Wadsworth.

Gervais, W M., Shariff, F., Norenzayan, A. (2011). Do You Believe in Atheists? Distrust Is Central to Anti-Atheist Prejudice. Journal of Personality and Social Psychology 2011 (Vol. 101, No. 6, 1189–1206), American Psychological Association.

Gora. (1979). Positive Atheism. Vijayawada: Atheist Centre.

Kimble, M.A & Ellor, J.W. (2000). Logotherapy: An Overview.Reprinted from Viktor Frankl’s Contribution to Spirituality and Aging, a monograph published simultaneously as The Journal of Religious Gerontology, Vol. 11, No. 3.

Krueger, Julie. (2013). The Road to Disbelief: A Study of the Atheist De-Conversion Process. UW-L Journal of Undergraduate Research XVI . Moleong, Lexy.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.

Remaja Rosdakarya Offset.

(7)

Thompson, Berth (2004). The Many Faces, Causes of Unbelief. Montgomery, Alabama : Apologetics Press, Inc.

Vjack (2009). Revealing Atheist Stereotype. Diakses pada 20 November 2014, di http://www.atheistrev.com/2009/03/revealing-atheist-stereotype.html. Web admin (2010). Agama dan Tujuan Hidup Umat Buddha. Diakses pada 20 November 2014, di http://becsurabaya.org/artikel/artikel-buddhis/108-agama-dan-tujuan-hidup-umat-buddha.html.

(8)

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai makna hidup yang dimiliki oleh Ateis. Untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, diperlukan adanya prosedur yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Berdasarkan tujuan dari penelitian tersebut maka metodologi penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

(9)

3.2 Subjek Penelitian

3.2.1 Karakteristik Subjek

Pemilihan subjek untuk penelitian ini didasarkan pada karekteristik tertentu, yaitu :

1. Individu yang telah mengidentifikasi bahwa dirinya adalah seorang Ateis. 2. Berusia di atas 18 tahun.

3.2.2 Jumlah Subjek Penelitian

Menurut Sarantakos (1993, dalam Poerwandari, 2007), penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik:

a. Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

c. Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.

(10)

3.3 Teknik Pengambilan Subjek

Prosedur pengambilan responden yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih dengan kriteria yang ditentukan berdasarkan

fenomena penelitian, dan berfokus untuk mendalami kasus mendalam dan menyeluruh (Patton, dalam Poerwandari, 2007).

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode wawancara, selain itu metode observasi juga dilakukan untuk mendapatkan data tambahan sebagai pendukung data utama yang telah diperoleh melalui wawancara.. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Wawancara kualitatif kemudian dilakukan untuk dapat memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti dan untuk melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari, 2007).

Patton (1990 dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan tiga variasi dalam wawancara kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Adapun penelitian ini menggunakan jenis wawancara kualitatif dengan pedoman umum dan berbentuk open-ended question. Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus digali tanpa menentukan urutan pertanyaan.

(11)

untuk mengamati kehidupan sehari-hari subjek sehingga peneliti dapat memperoleh data-data tambahan yang dapat mendukung hasil wawancara.Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara.

3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara, memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar checklist untuk melihat apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau

dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara digunakan tidak secara kaku sehingga memungkinkan peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara demi mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat.

2. Alat Perekam

(12)

subjek. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan subjek.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Tahap Pencarian Responden Penelitian

Adapun tahap pencarian responden penelitian adalah sebagai berikut : a. Bertanya Pada Orang Terdekat maupun pada Forum Ateis

Pada tahap ini, peneliti berusaha mencari responden penelitian dengan bertanya pada orang terdekat. Selain itu, peneliti juga menjadi anggota forum Ateis di jejaring Facebook agar dapat menulis postingan mengenai pencarian responden penelitian

b. Menemukan Responden

Dalam rentang waktu antara 1 sampai 6 bulan waktu penelitian, peneliti berhasil menemukan 3 orang responden penelitian, yang semuanya masih berstatus sebagai mahasiswa. Meski demikian, akhirnya peneliti hanya menggunakan 2 orang responden dalam penelitian tersebut.

c. Faktor yang Mengakibatkan Peneliti Menggunakan 2 Responden

Responden Alasan

Tono

Responden memutuskan berheti di tengah-tengah penelitian

Anto Bersedia menjadi responden

(13)

Tom Bersedia menjadi responden

3.6.2 Tahap Persiapan Penelitian

Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan adalah : a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan makna hidup dan Ateis.

b. Menyusun pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun atas sejumlah pertanyaan yang berdasarkan pada landasan teori. Pedoman wawancara ini disusun dengan bimbingan dari dosen pembimbing. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Membuat pernyataan informed consent

Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa subjek telah sepakat dirinya akan berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitian ini tanpa paksaan dari siapapun. Subjek juga berhak untuk berhenti dari penelitian ini apabila merasa tidak nyaman, meskipun penelitian sudah berlangsung setengah. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

(14)

e. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon subjek dari para informan serta forum Ateis untuk memastikan bahwa calon subjek tersebut telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan berdasarkan teori. Setelah mendapatkannya, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara.

Setelah memperoleh kesediaan dari subjek, peneliti kemudian bertemu dengan subjek untuk membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan subjek menentukan dan menyepakati waktu dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

3.6.3 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Hal-hal yang dilakukan pada tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut : a. Mengkonfirmasi ulang jadwal wawacara.

Peneliti menghubungi responden kembali sekitar satu atau dua hari sebelum tanggal yang ditetapkan, berkaitan dengan waktu dan tempat wawancara untuk memastikan bahwa responden maupn peneliti dapat hadir .

b. Melakukan wawancara.

(15)

untuk memastikan subjek mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mengerti akan haknya untuk mengundurkan diri dari penelitian, serta memahami bahwa hasil penelitian ini adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu peneliti akan bertanya kepada subjek apakah wawancara ini boleh direkam atau tidak, jika boleh maka akan direkam, dan jika tidak maka peneliti tidak akan merekam.

3.6.4 Tahap Setelah Penelitian

Hal-hal yang dilakukan setelah penelitian berlangsung adalah : 1. Membuat verbatim wawancara.

Verbatim ini dibuat dengan cara memutar kembali wawancara yang telah dilakukan.

2. Melakukan analisa data.

Proses yang ada dalam tahap ini adalah pengkodingan dan membuat bagan akar pohon, yang bentuknya disesuaikan dengan pedoman wawancara.

3. Menarik kesimpulan.

Pada tahap ini peneliti akan membuat kesimpulan yang didapat dari penelitian ini.

4. Membuat diskusi dan saran.

(16)

3.7 Prosedur Analisa Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa data naratif. Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

a. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

1. Memperoleh data yang baik

2. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan

3. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

b. Koding

(17)

yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).

c. Analisis Tematik

enggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan “pola” yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Pengujian Terhadap Dugaan

(18)

disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.

e. Tahapan Interpretasi

(19)

Bab ini memaparkan deskripsi data yang merupakan hasil dari analisa data wawancara yang telah dilakukan selama pengambilan data penelitian. Hasil yang didapat dari penelitian ini dianalisa per-partisipan agar dapat memperjelas gambaran kebermaknaan hidup yang dimiliki Ateis.

A. Deskripsi Data

1. Partisipan I

1.1. Deskripsi Data Partisipan I

1.1.1. Identitas Partisipan I

Nama : Anto (nama samaran)

Usia : 22 tahun

Tempat tinggal : Medan

Anak ke : 3 dari 3 bersaudara Menjadi Ateis : Kurang lebih 3 tahun

Latar belakang : Keluarga ekonomi menengah ke atas

1.1.2 Identitas Orangtua

Ayah Ibu

Agama Islam Islam

Suku Batak Melayu

(20)

1.1.3 Jadwal Pengumpulan Data

a. Pertemuan pertama : 26 Oktober 2014; pukul 14.10 WIB-14.55 WIB b. Pertemuan kedua : 9 November 2014; pukul 11.12 WIB-12.00 WIB c. Pertemuan ketiga : 15 April 2015; pukul 10.46 WIB-11.20 WIB d. Pertemuan keempat : 3 Juli 2015; pukul 14.15 – 16.00 WIB

e. Pertemuan kelima : 1 Agustus 2015; pukul 12.40 WIB -13.45 WIB f. Pertemuan ke-enam : 31 Agustus 2015; pukul 12.05 WIB- 13.45 WIB

1.1.4 Hasil Observasi

a. Secara Umum

Lokasi wawancara dilakukan di kampus responden dan di sebuah restoran cepat saji yang terletak di Jl. Dr. Mansyur. Dalam membuka wawancara, biasanya peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan seputar kabar dan aktifitas yang sedang dijalani responden. Responden dan peneliti sudah saling mengenal sebelumnya namun tidak terlalu dekat. Untuk membangun rapport, peneliti melakukan chatting melalui Facebook dan LINE dengan membahas sekilas mengenai kehidupan responden sebagai seorang Ateis. Setelah itu, peneliti mengajak responden untuk melakukan wawancara tatap muka. Peneliti berusaha sebaik mungkin untuk netral dalam menyikapi perkataan responden mengenai agama agar responden tidak sungkan untuk bercerita sehingga data yang didapatkan pun akan mendalam.

(21)

mengingat sesuatu. Dalam bercerita, responden memiliki irama yang cukup stabil dan menjawab pertanyaan dengan cukup lugas. Secara keseluruhan, nada bicara responden cukup stabil, sesekali ia tertawa ketika menceritakan kehidupannya dulu dan tersenyum ketika menceritakan beberapa hal mengenai kehidupannya. Selebihnya, responden tidak terlalu ekspresif dalam bercerita.

b. Pertemuan I

Wawancara dilakukan di sore hari di kantin kampus responden. Keadaan di kantin tersebut cukup ramai, terdapat pengunjung di sekitar meja yang berdekatan dengan meja tempat wawancara dilakukan. Peneliti sudah mengenal responden sebelumnya, meski demikian hubungan peneliti dan responden tidak terlalu dekat sehingga peneliti berusaha membangun rapport yang baik agar responden tidak sungkan dalam bercerita. Pada wawancara awal, peneliti hanya mencari tahu secara singkat latar belakang responden dan proses responden menjadi Ateis.

(22)

Responden tidak terlalu ekspresif dalam menceritakan kehidupannya, ia tidak tertawa, hanya seseali tersenyum kecil saat menceritakan kehidupan beragamanya dulu. Sesekali ia mencoba mengngat peristiwa hidupnya dengan memicingkan mata sambil memiringkan kepalanya ke kiri atau ke kanan.

c. Pertemuan II

Wawancara kali ini dilakukan di taman kampus responden. Keadaan pada saat tersebut cukup sepi, hanya sesekali terlihat orang berlalu-lalang. Untuk membangun suasana, peneliti membuka wawancara dengan membahas topik mengenai situasi kampus dan menanyakan kabar teman responden yang juga adalah teman peneliti.

Sama seperti sebelumnya, dalam bercerita, responden memang tidak terlalu ekspresif. Ia sempat tertawa ketika menceritakan kisah hidupnya yang dulu melaksanakan kewajiban sebagai umat beragama. Ia meganggap bahwa hal tersebut adalah konyol. Setelah itu, wajahnya kembali datar dan sesekali bola matanya bergerah ke arah kiri atas maupun kanan atas sambil berusaha mengingat sesuatu. Responden juga tidak gugup dalam melakukan wawancara, hal ini ditandai dengan kontak mata yang intens dengan peneliti.

d. Pertemuan III

(23)

Wawancara kali ini lebih banyak membahas masa lalu responden. Ia sesekali tertawa mengingat masa kecilnya dulu. Ia juga tertawa ketika membicarakan hal-hal mengenai agama yang menurutnya tidak masuk akal. Sesekali, terdapat beberapa orang yang berlalu-lalang di depan responden dan penelitian sehingga responden terdiam sejenak atau merendahkan volume suaranya sebagai antisipasi agar orang yang berlalu-lalang tidak dapat mendengarnya.

Dalam bercerita, irama responden tidak terlalu cepat sehingga membuat peneliti cukup nyaman untuk mencermati apa yang ia katakan. Ia juga mempertahankan kontak mata yang intens dengan peneliti. Sesekali,ia terlihat melirik ke arah telepon genggamya untuk melihat jama karena memang ia sudah memiliki keperluan lain yang membatasi waktu wawancara.

e. Pertemuan IV

(24)

sambil memakan eskrim, padahal saat itu sedang bulan puasa dan dulunya ia adalah seorang Muslim. Ia mengaku sudah biasa saja saat makan di bulan puasa.

Saat wawancara, responden bercerita dengan melipat tangannya di atas meja serta posisi badan yang menghadap depan, lurus ke arah peneliti. Responden melakukan kontak mata yang cukup intens kepada peneliti, sesekali ia melirik ke kanan atas seraya mengingat-ngingat peristiwa masa lalu yang terjadi dalam hidupnya. Responden menyampaikan ceritanya dengan volume suara yang rendah serta irama yang tidak terlalu cepat. Responden tersenyum saat menceritakan bahwa ternyata teman-teman dekatnya tidak mempersoalkan identitas Ateisnya. Volume suara responden sedikit meninggi saat ia menceritakan mengenai arti hidup baginya serta saat menceritakan mengenai tanggapan masyarakat yang negatif terhadap Ateis Selain daripada itu, raut muka responden terlihat datar dalam bercerita, sesekali ia mengganti posisi tangannya dengan menopang dagu.

f. Pertemuan V

Wawancara kali ini dilakukan di tempat yang sama dengan sebelumnya. Responden datang terlambat, sehingga peneliti harus menunggu selama hampir 90 menit. Pengunjung pada saat itu cukup sepi sehingga membuat peneliti dan responden lebih leluasa melakukan wawancara. Saat wawancara, responden menghadap lurus ke arah peneliti dengan tangan kanan yang ditopang ke dagu. Sesekali, responden mengganti posisi tangan kananya dengan menopangnya di kening serta beberapa kali memegang janggutnya.

(25)

oleh peneliti meskipun pihak restoran menyalakan televisi dengan volume yang cukup besar. Responden juga melakukan kontak mata yang cukup intens dengan peneliti, meskipun sesekali matanya melirih ke arah kiri atas maupun kiri bawah. Secara umum, nada bicara responden cukup stabil dalam bercerita, ia sempat tertawa kecil ketika menceritakan kehidupanya sebelum menjadi Ateis. Ketika bercerita, raut wajah responden tidak terlalu banyak berubah kecuali saat ia sedang tertawa.

Saat wawancara sedang berlangsung, meja di dekat meja wawancara diisi oleh pengunjung, salah satu pengunjung terlihat menoleh ke arah responden dengan pandangan heran lalu ia menoleh ke de mejanya kembali saat peneliti memergokinya sedang melihat responden. Hal ini terjadi ketika responden sedang menceritakan kehidupannya sebagai seorang Ateis.

g. Pertemuan VI.

Wawancara kali ini dilakukan di tempat yang sama dengan sebelumnya. Awalnya, kami duduk di lantai 1 rumah makan terseebut sambil makan siang bersama. Pengunjung di lantai 1 yang tadinya sepi sudah mulai ramai karna waktu menunjukkan jam makan siang. Namun, setelah selesai makan, responden meminta agar wawancara dilakukan di lantai atas restoran tersebut. Di sana, kami memilih meja yang tidak terlalu berdekatan dengan pengunjung lainnya untuk menjaga privasi responden.

(26)

merasa kurang nyaman karna pengunjung-pengunjung tersebut saling berbicara dengan berisik yang tentunya akan mengganggu proses wawancara. Akhirnya, responden memutuskan untuk pindah dan memilih meja di ujung yang agak jauh dari pengunjung lainnya.

Responden cukup santai dalam bercerita, hal ini tampak dari posisi duduk responden yang tidak menjauhkan badannya dari peneliti, melainkan agak maju ke depan dengan tangan diletakkan di atas meja. Responden bercerita dengan irama yang tidak terlalu cepat serta volume yang renda, namun masih dapat terdengar dengan baik oleh peneliti. Responden juga melakukan kontak mata yang cukup intens dengan peneliti, meskipun sesekali matanya melirih ke arah kanan atas, kanan bawah, kiri atas, seperti sedang mencoba mengingat kehidupan masa lalunya. Secara umum, responden jarang menunjukkan ekspresi wajah yang sedih, ia sempat tertawa kala mengingat dirinya yang dulu igin sekali bisa menulis arab dengan lancar namun kurang berhasil. Responden juga tersenyum kala memperagakan bagaimana ia menepuk-nepukkan Al Quran ke tubuhnya agar pikiran-pikiran yang ia anggap buruk dapat menghilang dari dirinya.

1.1.5. Latar Belakang Kehidupan Anto

(27)

terakhir. Anto kini tinggal bersama dengan kedua orangtuanya serta abang dan kakaknya.

Sedari kecil, orangtuanya sudah mengajari hal-hal keagamaan, seperti sholat, membaca Al Quran dan sebagainya kepada anak-anaknya. Ibu Anto lebih intens dalam mengajari ketimbang ayahnya. Ibunya selalu mengingati setiap waktu sholat yang berlangsung lima kali sehari agar dilaksanakan, mengajak Anto untuk ikut ke pengajian, menghadiri ceramah hingga mendaftarkan Anto ke pesantren. Setiap pagi, ibu Anto juga sering memutar acara ceramah pagi di televisi, sehingga Anto terbiasa menonton acara tersebut sebelum pergi bersekolah. Ibu Anto juga kerap menyuruhnya menghafal bacaan Al Quran dan menguji apakah Anto benar-benar sudah menghafalnya atau tidak, bila Anto tidak dapat menghafal bacaan Al Quran tersebut, ibunya akan menyuruh Anto untuk terus mengulangi lagi hingga akhirnya ia menghafal bacaan tersebut. Anto mengaku tidak terlalu menyukai hal tersebut karena membuat waktu bermainnya menjadi berkurang.

“Maksudnya kayak…sebenarnya siapa sih yang suka..apa ya,..sholat..bukan, melakukan sesuatu lima kali, terus-terusan, masih anak-anak, masih pengen main. Sampe untuk main-main itu dilarang, sholat dulu, sholat dulu, baca..baca..baca Quran, baca ini.. sampe habis, baca ini, kasih..kasih, sholat…sholat, sampe kayak ada ujiannya sendiri. Maksudnya kayak gini, disuruh sholat, hapal bacaannya, kayak baca, niatnya apa, bacaannya apa, kalo salah disuruh ulang” (W4S1/K.Seb/b.125-140).

(28)

melakukan hal tersebut. Anto sering kali tidak mengindahkan teguran tersebut karena ia tidak suka ketika ibunya berkali-kali membicarakan atau menyuruhnya melakukan sesuatu, ia lebih suka diberitahu cukup sekali saja. Meski demikian, semakin Anto beranjak dewasa, ibunya tidak lagi memberi hukuman secara fisik, melainkan hanya peringatan verbal mengenai pentingnya melakukan kewajiban agamanya. Sementara itu, ayah Anto tidak memberikan hukuman apapun ketika Anto tidak melakukan kewajiban agamanya, walaupun ayahnya sering memberi tahu bahwa sholat merupakan hal yang penting.

Hubungan antara Anto dan orangtuanya berjalan cukup baik meskipun ia merasa tidak terlalu dekat dengan mereka, bahkan, terakhir keluarga Anto liburan bersama sudah sangat lama sekali, yakni saat Anto berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. Rasa hormat Anto pada orangtuanya ia tunjukkan dengan sebisa mungkin menuruti keinginan orangtuanya, yang minta ditemani ke suatu acara ataupun ketika membutuhkan bantuan fisik dari dirinya. Anto juga mengaku tidak terlalu dekat dengan abang dan kakaknya, mereka hanya berkomunikasi seperlunya saja, misalnya bila ingin meminjam atau menitip barang tertentu.

“Iya sama aja kurasa, ga terlalu beda yang dulu dan sekarang. Ya masih kayak hubungan anak dan orangtua. Kalo dibilang deket, deketnya ini kekmana ya… apa ya..ya biasa aja kalo kubilang, ga terlalu dekat, ga terlalu jauh juga ya yang pasti enggak kayak anak cewek sama bos ceweknya yang dekat kali” (W5S1/K.Seb/b.1953 -1963).

1.1.6. Peralihan Anto dari Teis Menjadi Ateis

(29)

saat itu, ia takut dengan konsep dosa hingga kematian. Bagi Anto, kematian adalah hal yang sangat menyeramkan dan agama memberikan jawaban mengenai hal tersebut melalui konsep surga dan neraka sesuai ajarannya.

“…Dulu ngeliat mati..kematian, itu kayaknya, apa ya, itu sesuatu yang gelap loh, seram. Di dunia ini, siapa sih yang gak takut mati? Kayak..apa ya..di balik mati itu apa ya kayaknya seram kali. Dan, konsep surga dan neraka yang dikasih agama itu memberi jawaban pada saat itu. Oh..masih bisa ketemu kok..masih bisa hidup kok..masih bisa yang namanya ada kenikmatan, apa segala macam..” (W4S1/K.Seb/b.207-213).

(30)

“Ih.bodoh kali aku lah..sedihlah, sedih aku ga bisa apa ya..aku liatnya dulu keren orang yang bisa nulisnya, lancar nulisnya. Giliran awak, lama kali nulisnya, orangtu seet.seet..cepat.” (W6S1/K.seb/b.2171-2177).

“Itulah..kayak biasa lah..ya kubuat aja apa yang selama ini aku lakukan, ga meningkat emang, gitu-gitu terus. Sampe sekarang itu kalo nulis tulisan Arab.. lama gitu, umpama kalo si Riki nulis bismillahirrahmanirrahim. Dulu kan sebenarnya, paling umum itu, orang-orang bisa dibuatnya waktu ujian gitu, ga pande aku buatnya” (W6S1/K.seb/2180-2192).

Anto menganggap bahwa Tuhan adalah sosok serba “Maha”, mulai dari

Maha Kuasa, Maha Pengampun, dan 97 “Maha” lainnya, seperti apa yang telah

ditanamkan padanya sedari kecil oleh orangtuanya. Bagi Anto, hidup harus dijalani seturut perintahNya untuk mempersiapkan akhir kehidupan agar bisa masuk ke dalam surga. Ia percaya bahwa Tuhan-lah yang membuat dirinya berada di dunia ini. Ia juga percaya bahwa doa memiliki andil dalam penyelesaian masalah yang dimiliki, sehingga bila merasa memerlukan sesuatu, ia akan berdoa. Biasanya, topik doa yang dipanjatkan Anto adalah mengenai kesehatan, meminta kemampuan saat ujian, bahkan bila menginginkan mainan tertentu. Bila merasa sedih, ia akan berdoa pada Tuhan namun, bila mendapat kesenangan, ia jarang mengungkapkan rasa syukurnya pada Tuhan, meski tetap menjalankan sholatnya. Pemahaman Anto mengenai Tuhan sewaktu itu terungkap dalam kutipan wawancara berikut,

“Sosok yang luar biasa lah..besar…sembilan puluh sembilan nama itu maha penyayang, maha pengampun..sosok yang penguasa..itulah dari dulu.” (W6S1/K.seb/2196-2200).

(31)

Selain mempercayai bahwa segala perbuatan manusia akan dibalas Tuhan di hari akhir nanti, Anto juga percaya akan khasiat-khasiat yang ada dalam agama Islam, seperti misalnya, sholat dapat berguna untuk menambah kesehatan hingga meng-amin-kan doa dapat membuat wajah berseri dan banyak hal lainnya. Semua itu ia lakukan untuk menambah amalnya di hari akhir nanti. Pernah juga, saat malam lailatul qadar di bulan puasa, yang ia juga tidak tahu tepatnya kapan malam itu terjadi, Anto merasakan nuansa puasa yang sangat Islami. Entah bagaimana, ia merasakan ada aura yang membuat dirinya terkagum-kagum akan nuansa malam yang hangat, aman dan melindungi, seakan-akan kuasa roh jahat memang sedang dikurung dan para malaikat turun ke dunia untuk melingkupi manusia.

Kayak hari hari puasa itu, malam lailatul qadar, walopun kita ga tau kapan malam terjadinya itu, tapi tiap malam kerasa kayak ada muncul aura aura yg bikin terkagum kagum awak. Ntah karna aku di kota kecil kemarin ya, jadi kerasa kali nuansa Islami nya. Nuansa terkunci nya setan setan trus banyak malaikat keluar jadi tiap malam kerasa aman, hangat, terlindungi nuansa puasa.” (W6S1/K.Seb/3510-3522).

(32)

bila tidak sholat maghrib, dosanya sama dengan bersetubuh dengan orangtuanya sendiri. Hal ini membuatnya merasa tidak sanggup menebus dosanya karena ia sudah sering tidak sholat, yang berarti dosanya sudah sangat banyak. Anto yang merasa dosanya tidak dapat ditebus lagi, membuatnya kehilangan esensi sholat karena menganggap bahwa meskipun sholat, dosanya tetap sulit untuk ditebus sehingga ia mulai malas untuk melakukannya

“…apa dosanya..aku baca dosanya ga sholat maghrib sama dengan bersetubuh dengan orangtua sediri…maaak..udah berapa kali aku ga sholat maghrib ini, udah besar kali dosaku.. bikin malas jadinya. Aahhh udahlah..kayak gini..yang penting aku sholat ajalah…jadi berkurang karna liat besar kali tu..besar kali rasanya ga tekejar ini, jadi sholatnya yaudah sholat aja,,sholat biasa aja..udah ga tekejar lagi ini ihh udah banyak kali, jadi kurang. Jadi, kalopun telanggar sholatnya, apa bedanya sama yang kemarin yang aku lakuin, karna besar kali, besar kali ni bikin males.” (W6S1/K.seb/2430-2450).

(33)

Anto percaya bahwa dalam kehidupan ini, manusia tentu akan mendapat pertolongan dari Tuhan. Salah satu hal yang dialami Anto ialah ketika ia dan keluarganya akan pindah ke kota Medan, di saat yang bersamaan, mereka sedang membutuhkan uang untuk biaya kuliah kakaknya, sementara rumah belum laku terjual. Namun, ketika hari kepindahan sudah sangat dekat, tiba-tiba saja ada orang yang membeli rumah mereka tersebut, hal ini membuat Anto percaya bahwa Tuhan yang menolong dan untuk itu ia pun bersyukur.

Saat hendak pindah ke Medan, Anto mengalami masalah yang sangat pribadi yang bahkan tidak mau dituturkannya. Ia pun berdoa pada Tuhan mengenai masalah yang dihadapinya. Selesai berdoa, ia mencoba menenangkan diri dengan menganggap bahwa mungkin itu adalah ujian dari Tuhan untuk menguji sejauh apa Anto percaya pada Tuhan. Anto berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa di balik setiap masalah, ada maksud Tuhan. Ia mengaku melakukan hal tersebut agar ia tidak kecewa pada Tuhan, selain itu juga masih memiliki rasa takut akan azab bila tidak mempertahankan Tuhan dalam hidupnya

“…Ku coba buat hubungannya ku coba buat pengaruhnya, ku coba tetap pertahankan yg namanya Tuhan di diriku karna rasa takut akan azab Nya, ku coba tetap yakinkan kalo ini semua ada maksudnya, ku buat aku berpikir aku melakukan ini bukan karena aku kecewa pada Tuhan tapi karena ingin paham tentang dunia dan akhirat nanti agar aku paling gak tenang untuk saat itu” (W6S1/K.seb/2796-2805).

(34)

umat beragama yang melakukan peperangan padahal agama mengajarkan untuk tidak menyakiti sesama. Ia juga heran melihat tindakan sebuah organisasi agama yang melakukan tindakan anarkis yang merugikan sesama. Selain itu, Anto juga bingung mengenai pernyataan agamanya, yang menurutnya menyatakan bahwa agama lain adalah kafir, sementara ia memiliki teman-teman baik yang bukan beragama Islam. Awalnya Anto berusaha mengabaikan berbagai pertanyaan tersebut, ia menganggap mungkin ia hanya sedang digoda oleh roh jahat saja, namun semakin lama pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam dirinya hingga ia merasa tidak nyaman. Didorong oleh rasa penasarannya, ia pun bertanya pada beberapa ustadz mengenai hal tersebut. Jawaban para ustadz adalah memang hal mengenai Tuhan tidak perlu dipertanyakan dan sebaiknya diimani saja. Jawaban tersebut ternyata tidak memuaskan hati Anto, malah semakin membuat dirinya bertanya sehingga ia pun ingin mencari tahu lebih lanjut lagi. Sebenarnya, Anto merasa bersalah telah mempertanyakan agama, namun ia tidak dapat membendung keinginanya untuk mencari jawaban atas pertanyaannya sehingga ia memutuskan untuk mencarinya dengan usaha sendiri. Ketika sedang menjelajahi dunia maya, ia membaca pertanyaan-pertanyaan sentilan mengenai Tuhan yang mempertanyakan kemampuan Tuhan untuk menciptakan sesuatu yang lebih hebat dari diri-Nya. Hal tersebut, membuat pikiran Anto tertantang untuk menemukan jawabannya. Itulah yang mendorong keraguan Anto terhadap agama.

(35)

Mehta, ketiganya merupakan penganut Ateisme. Anto juga mulai sering membaca forum-forum yang membahas seputar agama hingga Ateis di internet. Ia kagum dengan pola pikir beberapa Ateis yang mampu melihat suatu masalah lebih dari satu sudut pandang yang berbeda, misalnya saja mengenai masalah sosial LGBT yang dilarang oleh agama, mereka memandang hal tersebut bukanlah hal negatif karena merupakan kebebasan seseorang untuk mencintai siapa saja. Ia juga kagum dengan salah satu vokalis band ternama, yaitu Muse, yang meskipun adalah Ateis, namun bisa meraih kesuksesan dalam hidupnya. Bacaan-bacaan tersebut mempengaruhi dirinya karena membuatnya tertantang untuk berpikir dan membuktikan mana yang benar.

“Mungkin karna masuk akal..atau bikin tertantang pikirannya gitu. bikin merasa..coba pikirkan ini, coba selesaikan pendapat ini. Coba lawan pendapat ini, argumentasikan dan itu masuk akal..aku liatnya iya..iya juga ya.. pertama itu mulai dari iya juga ya baru coba apa ya..mulai coba baca-baca yang lain lagi untuk mastikan ini gak.. ga bullshit gitu, ga bohong-bohongan, ga main-mainan tentang ini” (W6S1/K.seb/2980-2994).

(36)

kejadian tersebut jauh lebih dulu terjadi, yakni sekitar 5000 tahun sebelum kejadian Yesus. Selain itu Anto juga menemukan perbedaan usia Bumi, Alkitab menyatakan usia Bumi adalah 6000 tahun, sementara sains yang ia baca menyatakan sekitar 13 milyar tahun. Akhirnya, ia memutuskan untuk lebih yakin terhadap kebenaran yang diungkapkan oleh arkeolog, sejarahwan maupun sains karena memiliki bukti nyata yang menggunakan metode yang dapat berubah mengikuti perkembangan zaman sedangkan agama bersifat statis yang tidak bisa dirubah lagi dan tidak memiliki bukti nyata.

“Ada yang bilangkan umur bumi 100 milyar taun lalu tapi kalo kau nemukan bukti yang bilangkan, enggak loh, tapi batu ini lebih tua lagi daripada itu, kau bisa lawan argumen itu.sedangkan di agama enggak, di agama apa yang dibilang agama itu yaudah..terusss..aja ga bisa di apa-apain. Aku mikirnya kok ga adil, kok ga apa ya…ga se-wah waktu aku kecil liat agama ini jadinya. Aku ngeliatnya jadi..ya bukankah lebih bagus kalo umpama metode sains itu dipake juga di agama karna bisa kok dicari tahu sebenarnya karna rasa penasaran manusia” (W6S1/K.seb/3026-3044).

Anto yang mempercayai sains dan sejarah, enggan untuk keluar dari agama karena masih takut dengan kematian dan baginya agama masih memberikan jawaban mengenai kehidupan setelah kematian, yaitu surga dan neraka, selain itu, ia juga masih menghormati Tuhan. Bahkan, ia pernah mencoba sehari saja untuk tidak berpuasa, namun ia merasa tidak enak dan merasa telah melanggar imannya. Ia juga tertahan karena rasa hormatnya pada orangtuanya yang selama ini telah mendidik ajaran agama.

(37)

dan keraguan atas kebenaran agama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ketika rasa penasaran dan ragu tersebut muncul kembali, Anto mengingat lagi berbagai masalah dalam hidupnya, mulai dari yang sangat pribadi yang enggan untuk ia utarakan hingga kesalahpahaman yang terjadi dengan temannya dan sebagainya. Hal tersebut membuatnya memikirkan hubungan berbagai masalah tersebut dengan agama. Dari hasil pemikirannya, timbul rasa kecewa dalam dirinya karena ia merasa tidak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh sebagai umat beragama yang telah menjalankan kewajbannya, bahwa agama berpengaruh dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya. Anto merasa sia-sia melakukan kewajiban agamanya yang ternyata tidak memberi efek apapun dalam penyelesaian masalahnya.

“Ada…rasa kecewa mungkin ya…aku bingung, ini rasa kecewa atau enggak kemarin itu. Ntah kecewa ntah marah ntah aku kesal ntah karna 3 tu bercampur, aku jadi berpikir langsung blank gitu. Langsung berpikir, cobalah pikir baik-baik dulu, mulai dari awal dulu pikirnya. Aku jadi mengurutkan dulu apa yang dibilang agama, apa yang masalah agama, apa masalah pribadi, apa masalah tugas dengan orang lain, masalah tugas sendiri, masalah lain trus apa kata agama menurut masalah-masalah itu. Itulah aku jadi mengurutkannya pelan-pelan kan sama apa kata agama, agama tu seperti apa.”W6S1/K.seb/2744-2768).

(38)

Keraguan Anto pun semakin bertambah. Selain lebih mempercayai sains dan sejarah, ia juga merasa bahwa tidak ada efek yang diberikan agama dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya. Hal ini menyebabkan ia tidak mempercayai konsep Tuhan dalam agama yang menurutnya seharusnya berperan dalam penyelesaian masalah hidupnya. Meski demikian, Anto masih takut untuk melepaskan konsep Tuhan dalam dirinya karena ia masih terpengaruh dengan konsep neraka sehingga ia pun mendefinisikan ulang Tuhan dengan versinya sendiri yang berbeda dengan konsep Tuhan dalam agama. Baginya, biarpun tidak ada Tuhan seperti yang ada dalam agama manapun, tetapi pasti ada suatu entitas tertinggi yang menyebabkan ia hadir dunia ini, tepat di planet Bumi. “Tuhan” yang ia anggap ini, lebih besar dari Tuhan yang ia

pahami dari agama selama ini. Anto menganggap bahwa Tuhan merupakan alam itu sendiri, tanpa campur tangan agama.

“Mungkin aku ga percaya mulanya agama itu, ga percaya sama orang-orangnya, sistemnya..tapi aku percaya sama Tuhannya. Ya itu tadi Tuhan yang lebih besar itu” (W6S1/K.seb/3056-3051). “Sama kayak dunia ini kupikir, ga mungkinlah tata surya yang bisa sempurna urutannya, kita tepat berada di bawah posisi yang tepat, dilindungi sama planet besar maupun planet kecil yang berhubungan yang enggak bikin kita terlalu dingin dari matahari dan ga terlalu panas. Aku mikirnya, paling ga adalah entitas yang besar yang mungkin ga bisa dipahami sama Tuhan Islam ini yang mengatur. Aku pikir kayak gitu. Mungkin Tuhan yang kuartikan Tuhan waktu doa itu, aku merasa lebih besar dari Tuhan yang di agama itu (W6S1/K.seb/2880-2900).

(39)

Anto pun menjalani hari-harinya berdasarkan kepercayaan pada “Tuhan” dengan definisi barunya. Ia menjadi sangat jarang beribadah, bahkan ia pernah hanya sekali sholat dalam satu minggu, yaitu pada hari Jumat saja. Ia juga mulai berani beradu pendapat dengan teman-temannya, misalnya bahwa jalan hidup manusia bukan ditentukan oleh Tuhan, melainkan manusia itu sendiri.

Di tengah keraguannya yang begitu besar tersebut, ketika ia ingin mendapatkan sesuatu, ia akan kembali lagi berdoa pada Tuhan yang sesuai dengan konsep agamanya, meskipun ia telah memiliki definisi baru tentang Tuhan. Sewaktu Ujian Nasional SMA, misalnya, ia sangat ingin lulus sehingga ia pun memohon pada Tuhan agar ia lulus SMA. Ia memang merasa ragu atas kebenaran agama, namun ia beranggapan, jika Tuhan memang ada, maka Tuhan akan mengabulkan keinginannya kali ini karena ia jarang memohon padaNya.

(40)

ketika ada tekanan, setelah itu, ragu kembali, memohon lagi ketika ada masalah, begitu terus berulang-ulang.

“Iya, aku ragu, tapi disaat seperiti itu..itu tu ugh! Ugh! Kalo betulnya Tuhan itu mau bantu, bantulah aku, bantulah aku untuk saat ini.. ini aku bener-bener pengen kali. Kayak gitu. Kalau mulai, ya saat itu udah ragu, aku udah mulai mencari data. Tapi saat itu, masih ini loh, masih pengen juga ada yang, tolonglah aku…tolonglah aku…, rasa helpless itu. Rasa pengen kali dibantu, soalnya mau darimana lagi kan, awak udah belajar mati-matian, tapi kecuali nyampe yang sekarang” (W5S1/1/b.1322-1340).

“Waktu lulus ..apa ya, rasa senang itu ya aku bilangnya makasihlah..alhamdulilah aku bilang gitu tapi aku bingung, aku bilang makasih ama siapa. Aku dah minta ama Tuhan gini-gini tapi aku mikir, yaudah makasih. Mungkin ini sifatnya manusia, maksudnya, kalo dia udah digencet, manusia itu udah ditekan, dia bakal ngelakuin apa aja biar dia bisa keluar dari itu, baru nanti, yaudah lepas, biasa lagi. Aku pikir kemaren ya aku bilang…tapi disitu aku..makasihnya bukan aku sholat tapi aku bilang, yaudah makasih alhamdulilah.” (W5S1/1/b.1361-1378).

“Lama juga si..lama tapi prosesnya tu muncul timbul muncul timbul, gini kalo umpama aku ada masalah, aku doa, baru lama-lama ntah berapa hari, berapa minggu, aku mikir, bakal ada terus in, ga guna doa ya udah aku usahalah. Aku udah mikir gitu, tapi nanti selanjut-selanjutnya, kalo ada masalah lagi, aku doa lagi, jadi kayak siklus gitu.” (W5S1/1/1682-1695).

Anto mengalami hal tersebut karena ia ingin lepas dari agama, namun ia belum berani untuk mengadopsi identitas Ateis. Hal itu dikarenakan rasa hormat pada orangtuanya yang selama ini telah membesarkan dan mengajarinya tentang agama. Ia takut bila orangtuanya merasa telah gagal dalam mendidik anaknya.

“Oh takutnya udah mulai kurang, mulai ga ada pun kayaknya, takut akan azabnya..yang tersisa itu hormat aku sama orangtuaku.” (W6S1/K.seb/3093-3097).

(41)

banyak didik, mereka liatnya nanti…ihh kasian kali kalo anak..orangtua kan pasti mikir kalo anak ga sholat, masuk neraka, nanti ga jumpa” (W6S1/K.seb/3144-3153).

Anto juga belum ingin menjadi Ateis karena ia mengetahui steretotype negatif tentang Ateis, yaitu mereka adalah individu yang memuja setan, hidupnya hampa dan kosong. Ia takut bila ia menjadi Ateis, ia akan berubah menjadi individu yang sesuai dengan pandangan tersebut. Anto takut akan merasa hampa dan kosong bila ia menjadi Ateis.

Anto terus mencari tahu mengenai agama dan pandangan Ateis melalui artikel dan forum-forum di internet, kemudian ia kaitkan dengan logikanya. Bacaan-bacaan tersebut menyatakan bahwa agama menjadi kacamata kuda bagi pemeluknya. Ia setuju dengan anggapan itu. Anto menganggap bahwa seharusnya individu bisa menilai suatu hal tanpa berdasarkan pandangan agama saja, misalnya persoalan gay. Bagi Anto, kaum gay juga memiliki hak untuk melegalkan pernikahannya.

(42)

Semakin banyak mendapatkan informasi yang Anto kaitkan dengan logika, semakin ia tidak mempercayai ajaran agama yang selama ini ia anut serta agama-agama lain. Baginya, setiap agama merasa yang paling benar sehingga ia juga tidak mempercayai pendapat Pascal’s Wager yang menyatakan bahwa percaya pada Tuhan merupakan sebuah pertaruhan yang paling baik. Anto berpikir bahwa jika percaya pada Tuhan adalah hal yang baik, ia bingung harus percaya pada Tuhan yang mana karena konsep Tuhan di dunia ini memiliki jumlah yang banyak, yang semuanya merasa paling benar. Hal ini menyebabkan Anto enggan untuk percaya pada agama lain.

“Karna ada konsep yang sama…ada pola yang sama dari tiap agama yang bikin kayak..sama aja semua.. apalagi 3 agama besar itu, Monoteis yang Tuhannya satu, kayak Islam, Kristen sama Yahudi. Tapi kalo Buddha, aku ngeliatnya kayak filosofi, mainannya di situ, tapi kalo ga pindah agama itu karna 3 agama besar ini sama aja, ada satu pola yang bilangkan selain dirinya sendiri tu sebenarnya bukan yang masuk surga, bukan yang baik. Aku ngeliatnya, Tuhan macam apalah yang ga bertanggungjawab, udah nyiptakan baru enggak buat semuanya masuk surga gitu, berarti ada emang yang dibuat khusus untu masuk neraka dengan embel-embel gunanya untuk menguji yang masuk surga ini” (W6S1/k.At/b.2587-2612).

“Ini sama kayak kenapa ga ngambil satu aja ntah Islam ntah Kristen, tapi masalahnya…yang mana? Ada berapa ribu gitu? Ntahnya yang benar itu yang di Papua sana ntah di Afrika sana, mana yang benar? Mana yang salah? Sementara masing-masing saling nganggap benar.” (W6S1/k.At/b.2644-2653).

(43)

dirinya sudah sangat besar. Ia beranggapan bahwa ia tidak dapat terus-menerus seperti itu, ia harus memilih satu posisi secara tegas. Berbagai hal, seperti kepercayaan pada sains dan sejarah, menganggap agama tidak berguna dalam masalah yang dihadapi hingga menganggap agama menjadi pembatas seseorang untuk bertindak, mendorong Anto untuk benar-benar lepas dari agama dan memutuskan untuk beralih menjadi Ateis.

“Mungkin aku merasa karna aku harus move on, aku harus mengambil satu posisi, milih satu tindakan..ya mau kemana ini, mau kek gini terus atau bebas, terlepas. Ya inilah,aku milih terlepas” (W5S1/1/1689-1695).

“Tapi makin lama makin lama,sadar sendiri, kayak orang ininya, orang move on pacaran ya, kayak kalo pasanganmu bilang, kalo kau tinggalkan aku, kau bakal kecewa, kau bakal sia-siala hidupmu. Yang jadinya aku pkir..enggak ah, kalo aku ninggalkan kau, aku baik-baik aja, ga ada masalah yang harus aku terusin buat ngingat dirinya. Sama kayak gitulah, jadi aku mikirnya..ya..dia yang telah…agama itu yang harusnya kecewa sama dirinya sendiri liat kenyataannya gimana, umatnya gimana..” (W4S1/2/b493-512). “.Aku merasa aku harus mengambil posisi yang bisa aku cocok dan Ateis ini cocok untuk posisi yang aku maksud. Aku bukan peduli lagi Tuhan ada atau ga ada, itu harusnya ga jadi apa ya..halangan yang…itu cuma apa ya…transisi apa ya..transisi kayaknya. Pokoknya disitu aku bilangkan Tuhan itu sesuatu yang besar tapi main lama makin lama aku mikirnya, ga percaya aku..sama Tuhan ini. Ada tidaknya Dia…(W6S1/2/b.3108-3126).

1.1.7 Gambaran Makna Hidup Anto

(44)

kurang memahami kelompok Ateis. Untuk menghilangkan tanggapan negatif masyarakat tersebut, Anto sebisa mungkin mencoba untuk menunjukkan bahwa ia tidak mau menyakiti sesama, tidak melakukan tindakan kriminal, tidak menyusahkan orang lain dan berusaha membantu teman-temannya yang berada dalam kesulitan. Terkadang, ia juga berdiskusi dengan orang beragama yang bertanya padanya dengan memberitahu definisi Ateis, pandangannya mengenai agama dan kehidupan serta menjelaskan bahwa Ateis juga memiliki moral. Meski terkadang ketika berdiskusi, lawan bicaranya tidak menyetujui pendapatnya, Anto mampu memaklumi hal tersebut. Selain itu, ia berani mengadopsi identitas Ateis karena banyak membaca pengalaman orang yang menjadi Ateis dan ternyata mereka tidak memiliki kehidupan yang hampa dan kosong.

(45)

dan tidak mempersoalkan hal tersebut. Merasa diterima oleh teman-temannya, membuat Anto semakin percaya diri dan menerima identitas Ateisnya. Hal ini menunjukkan bahwa Anto mendapat dukungan sosial dari teman-temannya. Dukungan sosial yang dimaksud bukanlah dukungan agar Anto menjadi Ateis, tetapi menghormati apapun pilihan Anto dan tidak menganggap Anto sebagai hal yang harus dijauhi.

“… Itu yang ketika aku bilangkan pertama kali sama bg Rizki sm Ani, aku lega, akhirnya aku bisa keluar loh, akhirnya aku bisa bilangkan..iya ini emang identitas aku, aku merasa ini cocok sama aku dan aku merasa oh iya ya..bisa diterima, kubilang ini penerimaan diri.” (W2S1/ma5/b.792-800).

“…dan mungkin kalo untuk pelepas terakhir lebih ke orang sekitar, lebih kayak bang Riki, bang Ari, bahkan orang-orang kayak Budi, Toni, Tono, orang-orang tu malah bikin aku merasa nyaman, aku bisa, aku bia ngelepas ini, lepas agama ini baik-baik aja, si ini..siapa lagi..yang bikin aku…itu pelepas terakhinya…..Mungkin, kalo umpama lingkungan aku ga kayak yang sekarang, aku ga bakal bilang, aku ga bakal seterbuka sekarang, aku bakal mungkin balek lagi diam-diam aja.” (W2S1/ma2/b.575-601).

Saat awal menjadi Ateis, Anto mengetahui bahwa orangtuanya pasti tidak akan menyetujui pilihannya. Meski demikian, hal tersebut tidak menjadi beban pikirannya hingga kini karena ia masih dapat berpura-pura menjadi Muslim dan hal tersebut bukanlah hal sulit. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk tidak memberitahu orangtuanya sampai kapanpun karena tidak ingin orangtuanya kecewa, sedih, merasa gagal telah mendidiknya serta merasa bersalah. Anto tidak ingin menambah beban pikiran orangtuanya sehingga ia menerima keadaan dirinya yang harus berpura-pura tetap beragama di depan orangtuanya.

(46)

ga usah aku kasih tahu, kenapa gausah karena ya itu bakal buat mereka kecewa…...sekarang mikirnya ya aku emang ga usah kasih tahu aja.” (W4S1/ka11/b. 1988-2000).

Anto menjadi Ateis karena menganggap bahwa pengajaran agama tidak masuk akal serta tidak memiliki bukti yang nyata. Selain itu, menurutnya sedari kecil, manusia sudah diatur bagaimana seharusnya menjalani hidup, termasuk soal agama. Anto beranggapan bahwa seharusnya manusia itu sendirilah yang harus berpikir sendiri bagaimana seharusnya ia menjalani hidupnya.

Itu yang bikin, rasa penasaran aku..curious, pengen tahu tentang masalah agama ini, Ketuhanan, kepercayaan, itu menarik bagiku, makanya kucari terus,..pengen tahu.. rasa penasaran aku yang terus bikin aku bertanya cari tahu. Rasa apa lagi ya….masuk akal..rasa make sense, akal sehat aku tentang agama dan metode-metode di sains itu lebih menarik rasaku dibandingkan agama. Itu dua hal yang bikin aku terus untuk membaca, untuk terus ragu, mencoba bertanya, membaca apa yang ada, berargumen.

(W6S1/fp14/b.3342-3359).

“Mungkin karna waktu kita kecil, kita ga diajari untuk berpikir sendiri sebenarnya. Kita selalu diajari kekmana orang lain berpikir, seharusnya kau berpikir seperti ini gitu. Seharusnya laki-laki tu seperti ini, seharusnya perempuan tu seperti ini, seharusnya orang Islam tu seperti ini. Kau udah diharuskan seperti itu, ketika kau udah dewasa, kau udah bisa berpikir sendiri, kau jadi ngeliat lagi masa lalumu, kau jadi berpikir.. Pokoknya selama waktu kecil, SD, SMP itu masih cuma diajari berpikir seperti apa, manusia itu harusnya seperti apa, kau ga sebagai orang, kau ga diajari untuk berpikir sendiri, sedangkan harusnya kau berpikir sendiri mengenai apa yang kau mau. (W6S1/ ba8/b.3160-3181).

(47)

ajaran agama apapun. Baginya, agama merendahkan kemampuan manusia untuk berbuat baik, seolah-olah tanpa agama, manusia tidak dapat berbuat baik.

“….Ginilah, kalo kau mau diperlakukan dengan baik, perlakukan jugalah orang lain dengan baik. Masa’ aku mikirnya, masa’ dalam dua ribu tahun, lima ribu tahun, berkembangnya sejarah dan manusia, masa’ ga bisa sampe ke titik perlakukan orang dengan baik kalo kau mau dirimu juga diperlakukan dengan baik…masa’ itu harus ada embel-embel dibuat sama agama, itu agama yang buat, itu agama yang diturunkan dari…itu Tuhan yang bisikkan ke manusia. “(W4S1/ba4/b.1542-1584).

“Apalagi ya, aku merasa..yang paling aku ga suka itu agama merendahkan kemampuan manusia untuk yang namanya empati,yang namanya filantropi, menyayangi sesama, seakan-akan kalo ga ada agama, manusia ini bakal ini loh bakal apa ya, bakal suka-suka hatinya, bakal banting-banting ini, bakal mencuri dimana-mana, kayak gitu dan butuh namanya agama untuk bilangkan, hey jangan...jangan lakukan ini..jangan lakukan itu.” (W4S1/ba7/b.1844-1858).

Anto menganggap agama merendahkan kemampuan manusia untuk berbuat baik karena ia meyakini bahwa moral seharusnya tidak didasari oleh ajaran agama, melainkan pemahaman manusia sendiri melalui interaksi sosial dengan sesama sehingga mengetahui apakah suatu hal patut untuk dilakukan atau tidak, atau pun melalui budaya dan bersifat dinamis. Dalam hal ini, ia mengandalkan logikanya sendiri untuk mempertimbangkan suatu hal, misalnya saja mengenai LGBT dan menikah dalam satu rumpun marga dalam suku Batak. Anto menyikapi bahwa sebenarnya, kedua hal tersebut tidak usah menjadi masalah.

(48)

bermoral, ato tentang poligami yang kalo di barat, yang banyak agama kristennya nganggap hal yang imoral, sedangkan di timur poligami itu hal yang biasa” (W6S1/v3/ b.3462-3477).

“…dan pasti budaya atau kebiasaan juga ikut bermain peran. Ada hal yang aku merasa itu baik tapi budaya atau kebiasaan kita bilangkan itu gak baik, misal eksistensi kaum lgbt, aku merasa gak masalah, tapi kebiasaan bilangkan itu masalah, tentu kalo uda kayak gini kan harus kita pikirkan lagi, pake kesadaran kita untuk lihat mereka. nikah dengan yang satu rumpun marga misal, bagi aku gak masalah, tapi budaya kita kan bilangkan ga boleh. karena aku merasa satu rumpun pun, tapi itu pasti uda jauh sejauh jauh nya, dan mungkin uda ga saudara lagi uda sanking jauh nya, jadi punya anak pun secara biologis kan ga ada masalah nanti anak nya” (W6S1/v4/ b.3479-3501).

Selain itu, bagi Anto, nilai moral seperti pengorbanan, tidak seharusnya dilakukan atas dasar agama. Hal tersebut dapat berasal dari pemahaman akan interaksi sosial, pengalaman hidup yang memunculkan keinginan dalam diri seseorang untuk berkorban bagi sesama. Menurutnya, manusia yang disertai akal tentu seharusnya lebih pandai daripada hewan untuk mempelajari nilai-nilai moral tanpa agama.

“Bahkan di hewan, rasa untuk menyelamatkan rasnya, untuk menyelamatkan dirinya, untuk menyelamatkan kelompoknya itu ada..apalagi seharusnya manusia. Masa’sih kita ga bisa ngerti kalo dalam keadaan tertentu, pengorbanan harus dilakukan dan kita sadar bahwa kita bisa melakukan tersebut ya karena memang kita pengen berbuat sesuatu untuk menyelamatkan. Bukan karena agama mengajarkan demikian” (W3S1/ba6/ b.1588-1600).

(49)

Emang harus fight gitu, harus dihadapi langsung, ga bisa dengan menenangkan diri kalo aku, dengan cara berdoa atau apa ya menenangkan diri, kalo kau punya masalah, langsung selesaikan, langsung hadapi. Ada masalah sama kawanmu langsung bicaain, kalo ada masalah sama orang lain atau dengan sesuatu apapun itu… Gabisa aku, Tuhan tolong kirimkan…gabisa aku, pokoknya kalo kau butuh ama kawan ya bicara ama kawan” (W2S1/ba3/ b.1038-1057).

Setelah menjadi Ateis, konsep kematian yang diyakini Anto pun berubah. Ia memang masih memiliki rasa takut pada kematian, namun bukan lagi karena takut adanya neraka, namun takut untuk menjalani proses kematian tersebut. Ia menganggap bahwa kematian adalah bagian dari proses kehidupan. Setelah meninggal, maka ia akan kembali lagi ke Bumi dan tubuhnya terurai. Oleh karena itu, baginya, yang paling penting adalah apa yang bisa dan apa yang harus dilakukan saat hidup. Ia menganggap bahwa agama mengajarkan apa yang harus dilakukan saat hidup untuk menghadapi kematian. Manusia memang takut dengan kematian dan tidak mengetahui apa yang terjadi setelahnya, oleh karena itu, ia mengaku agama memberikan jawaban mengenai hal tersebut. Namun, sekarang, Anto tidak lagi mempercayai hal tersebut karena ia ingin menikmati hidup tanpa harus menjalaninya atas dasar takut pada neraka dan demi masuk ke dalam surga, sehingga tidak dapat menikmati apa yang ada saat ini karena hidup hanya berlangsung sekali.

(50)

“Aku bukan ga takut mati, tapi aku juga bukan berarti aku harus takut sama yang namanya mati itu tapi ya yang namanya takut itu pasti ada tapi paling ga ya aku pengen nikmati hidup ini dan aku senang karna aku bisa nikmatinya dengan hidup aku sendiri dan tanpa aku harus hidup untuk mati gitu. Aku merasa gitu, aku merasa di agama kayaknya hidup untuk mati, gataulah, mungkin ada juga beberapa orang yang beragama ga mesti hidup untuk mati, hidup untuk bersenang-senang, tapi aku ngelihatnya lebih agama itu ngajarkan hidup untuk mati, dia dihantuinya rasa takut sama mati itu” (W3S1/mha2/b.1636-1643).

Anto yang ingin menjalani hidup tanpa perlu takut akan neraka ataupun mengharapkan surga, membuatnya memiliki tujuan dalam hidupnya agar hidupnya menjadi maksimal. Ia ingin membuat sesuatu yang berguna bagi sesama. Keinginan tersebut timbul ketika ia mengalami perasaan menyenangkan sesederhana saat ia membuat orang lain tertawa karena apa yang ia lakukan, juga karena ia melihat orang lain melakukan hal yang bermanfaat bagi sesama yang membuatnya menganggap bahwa ia pun dapat melakukan hal serupa.

“…waktu SMP lah itu, aku sama kawan aku, gataulah, mungkin karna tingkah kami yang aneh-aneh, naik angkot ni ya, satu angkot ketawa, karna ngeliatin kami, cukup karna itu aja, ngeliat orag senyum karna apa yang ku lakukan, menyenangkan loh rasanya itu rasanya ya paling nggak, apa yang dia rasakan, aku rasaka juga. Mereka senang, aku senang juga dan apalagi aku kalo berguna sama orang, lebih senang, lebih terpenuhi lagi, lebih enak ya..” (W2S1/tha6/b.1018-1035).

(51)

Keinginan untuk menjadi berguna bagi orang lain, sekecil apapun bentuknya, merupakan tujuan hidup yang ingin dicapai oleh Anton. Ia ingin keberadaannya diapresiasi oleh orang lain. Anto ingin meninggalkan sesuatu yang dapat dikenang dengan baik sebagai bukti bahwa hidupnya tidak sia-sia.

” ….Gila hormat, bukan, tapi aku emang pengen buat sesuatu yang ga sia-sia gitu, bukan suatu yang merugikan, paling ga buat orang merasa untung gitu, kayak, aku sendiri sering bilang gini, bayangin orang-orang sekitar aku kalo dia ga ada..” (W4S1/tha3/b.336-341). “Karna aku pengen ninggalin sesuatu apa ya..legacy..inggalin turunan..ga harus anak..ada inilah…aku pengen itu. Aku ngeliat itu penting. Itu bukti kau pernah ada disini, kau hidup. Ga harus seluruh dunia, paling ga orang-orang terdekatlah” (W6S1/tha8/b.3409-3417).

Baginya, ketika orang lain merasakan kebahagiaan karena kehadirannya, itu juga memberinya kebahagiaan dan kepuasan tersendiri. Ia ingin berperan bagi orang lain, bukan karena ia ingin dihormati, namun ia ingin orang lain merasa untung atas kehadiran dirinya. Anto juga ingin membuat sesuatu yang berguna dengan merangkak dari titik terendah hingga akhirnya mencapai kesuksesan yang tentunya bermanfaat bagi sesama.

“Kalo bisa aku pengen buat apa ya..aku pengen buat gini, kalo dibilang dari dulu, aku pengen merangkak, aku pengen merangkak dari nol sampe aku duduk di atas suatu yang tinggi, aku pengen kaya buat usaha, aku pengen di perusahaan kecil, aku buat di jadi besar. Aku pengen..apa ya..dari yang nol jadi suatu yang besar, kenapa ya karna balek lagi di awal, aku pengen buat sesuatu yang berguna.” (W2S1/tha7/b.1165-1178).

(52)

orang lain. Hal ini merupakan nilai yang dimiliki oleh Anto, yaitu nilai kolektif bermasyarakat yang membuatnya memiliki tujuan hidup untuk menjadi atau membuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat.

“Aku merasa teman itu yang bisa bantu kita, yang paling bisa bantu kita pertama, ada masalah, cerita ama teman, curhatkan masalah apa dan mereka bisa bantu paling gak nenangin, ngasih solusi sementara atau cukup ada disitu aja udah cukup.” (W5S1/v3/ b.2052-2060).

“Kalau nilai-nilai kayak gitu, bagiku nilai pertemanan, hubungan dengan orang yang disayangi, orangtua, pasangan, itu nilai-nilai hidup yang kayak gitu yang bikin aku merasa hidup” (W4S1/v2/b.1063-1068).

Tidak hanya tujuan hidup, Anto juga memiliki harapan dalam hidupnya yaitu memiliki pekerjaan yang mampu menghasilkan materi yang stabil sehingga tidak perlu lagi merepotkan orangtuanya. Anto ingin bisa lulus kuliah, menikah, kerja, menikmati hari-hari yang dijalaninya dengan tenang dan tanpa hambatan. Anto juga ingin menikmati hidup apa adanya dengan melakukan hal-hal yang ia sukai tanpa gangguan. Ia mengaku, melakukan aktivitas hidup sekecil apapun dengan tenang, misalnya, ketika sore hari saat ia melakukan kegiatan santai, seperti minum kopi sambil membaca buku saja, sudah dapat membuatnya menikmati hidup.

(53)

aku paham gitu tu enaknya gimana, tapi itulah kalo dibilang primary, sekunder. Yang pertama itu, paling ga, ada gunanya, yang kedua itu, ya nikmati hidup, jalani hidup tanpa aku harus susah, paling ga, simple aja, kalo bisa, janganlah ada masalah karna aku beda, karna aku ga beragama” (W2S1/ka5/b.995-1011).

Memiliki tujuan hidup membuat Anto berusaha untuk mewujudkannya. Untuk mewujudkannya, Anto memulainya dengan membantu teman-temannya sebisa mungkin. Ia tidak harus langsung turun ke jalan membantu kaum yang membutuhkan, baginya hal tersebut dapat ia mulai dari teman-teman dekatnya dulu, misalnya menjadi teman berdiskusi bagi temannya yang membutuhkan, membantu orangtuanya apabila membutuhkan bantuan tenaganya. Beberapa hal kecil yang ia lakukan adalah meminjamkan barang atau materi kepada teman yang membutuhkan ketika ia mampu, menemani ibunya pergi ke tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Ia sadar bahwa masih belum banyak hal yang bisa ia lakukan. Akan tetapi, setidaknya, ia berkomitmen untuk tidak menjadi orang jahat yang merugikan orang lain. Berbagai upaya tersebut merupakan kegiatan terarah yang dilakukan Anto untuk mewujudkan tujuan hidupanya.

“Ya…aku belum bisa melakukan banyak, jadi yang paling bisa aku lakukan,ya tidak menjadi orang jahat, mencoba untuk bantu orang selama masih bisa bantu masih ga keterlaluan orangnya tapi bukan berarti aku bakal bantu tiap orang yang ada di jalan, aku langsung turun ke jalan, ya enggak juga. Paling gak, orang sekitar aku yang signifikanlah misalnya, mungkin kalo ada kesempatan buat aku ya bantu juga” (W5S1/rth1/b.1922-1935).

(54)

Anto kini merasa bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya. ia merasa lega karena akhirnya ia bisa terlepas dari agama dan ia telah jujur dan mengakui apa yang selama ini ia ragukan. Ia juga bahagia bisa menemukan teman-teman yang menghormati pilihannya. Baginya, dalam menjalani hidup, tidak perlu menoleh ke belakang dan tidak usah takut akan hari esok, yang terpenting adalah menjalani apa yang ada saat ini. Anto cukup sederhana dalam mendefinisikan kebahagian, baginya, melakukan hal-hal yang tidak membuatnya susah saja sudah merupakan kebahagiaan. Meski sudah merasa hidupnya bahagia, itu tidak berarti ia berhenti sampai di titik ini saja. Menurutnya, kepuasan dalam hidup akan menjadi lengkap bila ia telah berhasil mewujudkan tujuannya untuk bermanfaat bagi orang banyak. Hal ini membuktikan bahwa Anto mulai memasuki kehidupan bermakna karena ia sudah merasakan kebahagiaan karena terlepas dari penderitaannya terdahulu yang bingung, ragu dan kalut atas kebenaran agamanya. Kini, ia sudah merasa lega dan senang dengan apa yang dijalaninya. Meski demkian, kehidupan bermakna Anto masih berada dalam proses penyelesaian karena ia masih berusaha untuk mewujudkan impiannya.

“Mungkin karna aku merasa apa..bebas, bukan bebas apa ya..terlepas, mungkin rasaku, aku akhirnya bisa jujur, aku bisa ga ada lagi yang harus ku sembunyi-sembunyikan lagi sama orang ya kaya gitu dalam hal sosial. Aku merasa ini bermakna karena aku mulai mengakui apa yang selama ini aku ragukan. Aku mengakui aku emang ga percaya ama yang namanya tuhan jadi aku udah ga sembunyi aku antara percaya dan ga percaya gitu” (W5S1/ka6/b.2028-2043).

(55)
(56)

1 G 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sedari kecil rajin melakukan kegiatan keagamaan dan mempercayai berbagai khasiat Islami sebagai cara agar bisa masuk dalam surga. Ia juga takut akan dosa dan neraka.

Menganggap bahwa hidup akan bermakna bila

melakukan perintah Tuhan melalui ajaran Al Quran. Yakin bahwa doa &

pertolongan Tuhan memiliki andil dalam penyelesaian masalah hidupnya.

Mempertanyakan : -Mengapa orang lain yang berbeda agama dikatakan akan masuk neraka,padahal mereka juga melakukan kebaikan? -Mengapa orang beragama juga melakukan kejahatan, seperti peperangan & perilaku kekerasan lainnya?

namun tidak puas dengan jawaban mereka yang menyatakan bahwa sebaiknya hal tsb diimani saja. Membaca buku & artikel di internet mengenai kebenaran agama & tentang sains.

Membandingkan lini waktu antara sejarah dunia berdasarkan

sejarawan maupun sains dengan lini waktu kisah agama.

Merasa bersalah karna mempertanyakan ajaran agama namun ingin mencari jawaban atas pertanyaan dalam dirinya. kecewa karna tidak mendapat apa yang seharusnya ia dapatkan karna telah mengikuti ajaran agama.

Mendefinisikan ulang Tuhan, yaitu : Tuhan adalah alam itu sendiri (universe) , lebih besar dari Tuhan yang dipercayai oleh umat beragama karena eksistensinya ada tanpa campur tangan agama.

Takdir bukan berasal dari Tuhan karna manusia yag menentukan langkahnya sendiri.

Lebih percaya pada sains, sejarah Meski ragu hingga

mendefinisikan ulang Tuhan, ia masih enggan keluar dari agama karna tidak ingin membuat orangtuanya kecewa (bukan lagi karna takut dosa/neraka).

Hanya datang pada Tuhan ketika ada masalah, mis : UN & SNMPTN. Saat masalah selesai, keraguannya muncul kembali. Hal ini karena ia belum berani seutuhnya menjadi Ateis karena takut menjadi individu yang sesuai dengan pandangan negatif masyarakat. Tidak nyaman, gelisah

(57)

Ateis, karena : Ingin memiliki posisi yang jelas

Tidak menemukan bukti eksistensi Tuhan

Merasa bahwa ia harus jujur pada orang terdekatnya (kecuali keluarga) sehingga berani memberitahu teman-teman dekatnya.

temannya menghormati keputusannnya. Anto tidak mau memberitahu keluarga karna takut mereka kecewa. Meski demikian, ia tidak memusingkan hal tsb karna ia dapat berpura-pura tetap beragama.

mengenai kesalah berpikir agama, sains yang kemudian

direnungka berdasarkan rasionalisasi logika sendiri.

Tidak lagi memusingkan pandangan negatif masyarakat karna banyak membaca kisah para Ateis lainnya yang tidak menjadi pandangan tsb (hampa&kosong). Ia juga memaklumi adanya pandangan negatif karna kurangnya pengetahuan masyarakat ttg Ateis.

Tidak lagi takut dengan dosa/neraka karna memandang bahwa kematian adalah suatu proses yang alamiah sehingga yang terpenting adalah menjalani hidup saat ini sebaik mungkin, bukan menjalani hidup ini agar bisa masuk dalam surga. Karna menganggap bahwa

yang terpenting adalah

menjalani hidup saat ini tanpa harus takut masuk neraka atau ingin masuk surga, ia ingin berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain, sekecil apapun bentuknya. Experiental value : nilai kolektif, kebersamaan dgn orang lain sehingga ia ingin bermanfaat bagi orang di sekitarnya.

(58)

Meskipun tujuan hidupnya belum tercapai secara utuh, Anto telah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya karena :

Merasa lega atas identitas Ateisnya karena mampu jujur dengan diri sendiri. Merasa beruntung memiliki teman-teman yang memahami pilihannya.

Tidak lagi memikirkan pandangan negatif masyarakat karenatelah memaklumi bahwa memang sulit bagi masyarakat untuk menerima seseorang Ateis.

Menganggap hidup adalah sesuatu yang harus dinikmati tanpa menyesali masa lalu dan khawatir akan masa depan maupun after life sehingga harus dimaksimalkan dan dinikmati apapun aktifitasnya.

Happiness

Keterangan simbol:

= menuju ke proses

= hasil yang diraih

(59)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Goffman, presentasi diri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu tertentu untuk memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para

Untuk menetapkan identitas seseorang di depan umum, suatu komunitas tertentu biasanya menggunakan atribut-atribut yang relevan yang terekam pada sepeda anggotanya, yang menunjukkan

indigo memiliki perasaan “pantas untuk berada disini , anak indigo sering memberitahu orang tuanya tentang jadi diri anak indigo yang sebenarnya, anak indigo memiliki

Daud muncul dengan Iman, yang memberikan kepadanya keberanian untuk percaya, bahwa bersama Tuhan, masih ada pengharapan, ada sesuatu yang dapat dilakukan, dan ada pengharapan untuk

“Prosedur audit adalah instruksi rinci untuk mengumpulkan tipe bukti audit tertentu yang harus diperoleh pada saat tertentu dalam audit. Standar pekerjaan lapangan ketiga

Subjek ketiga, telah berkeluarga dan memiliki anak, walaupun ia masih dalam usia dewasa awal, orientasinya untuk masa depan lebih tertata, dan menganggap bahwa

Responden yang menjawab netral (25,3%), tidak setuju (6,7%), mereka tidak terlalu mempersoalkan keunggulan motor Honda sebelum membelinya.. Untuk mereka yang menjawab

Workload analysis merupakan suatu proses untuk menetapkan jumlah jam kerja orang yang digunakan atau dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu Soleman, 2011