• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. 2010. Seri Pertanian Modern: Kaya dengan Bertani Kelapa Sawit. Yogyakarta : Pustaka Baru Press

Agus, F., U. Kurnia and A.R. Nurmanaf (Eds.). 2001. Proceedings, National Seminar on The Multifunction of Paddy Fields. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia.

Anonim, 2015. Manfaat Tanaman Karet Buat Lingkungan.

Anwar, A. 1993. Dampak Alih Fungsi Lahan di Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Bandung : ITB.

Badan Pusat Statistik. 2014. Struktur Ongkos Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, Karet, Dan Cengkeh Tahun 2014. Banten : Badan Pusat Statistik Banten.

Badan Pusat Statistik. 2012 – 2015. STM Hulu Dalam Angka. Medan : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara

Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. Third Edition. New Jersey : Prentice Hall Inc.

Basuki. 1981. Penyakit Akar Putih. Berk. Penel. PPPP. Tanjung Morawa. Darwis, S.N. 2006. Hambatan-hambatan Dalam Usaha Tani. Jakarta:

Ar-Rahmah.

Daulay, P. 2003. Konversi Lahan Komoditi Karet Menjadi Komoditi Kelapa Sawit (Studi Kasus di Desa Batu Tunggal Kecamatan Na IX-X Kabupaten Labuhan Batu). Medan : USU

Dinas Pertanian Kabupaten Deli serdang. 2011-2014. Luas Lahan dan Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat Kabupaten Deli Serdang. Lubuk Pakam : Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang

Eckhardt, K.W.; Ermman, M.D. 1977. Sosial Research Methods :Perspective Theory, and Analysis. New York : Random House

(2)

Fox RA. 1977. The impact of ecological cultural and biological factors on the strategy and cost of controlling root diseases in tropical plantation crops as exemplified by Hevea brasiliensis. J. Rubb. Res. Inst. Sri Lanka 54 (2):329-362.Fox, R.A. 1966. White root diseases of Hevea brasiliensis, collaprotectant dressings. Jl. Rubb. Res. Inst. Malaya.

Ginting, M. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Padi Sawah Terhadap Pendapatan Petani. Medan : USU

Goenawan, C.M. 2013. Analisis Konversi Lahan Karet Menjadi Lahan Kelapa Sawit. Medan : USU.

Hansson, S.O. (2005), Departmen of Philosophy and the History of Technology Royal Institute of Technology (KTH), “Decision Theory”, Minor Revisions.

Hernanto. F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya.

Ilham, Nyak, dkk. 2009. Perkembangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Dikutip dari http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(11)%20soca-nyak%20ilham%20dkk- konversi%20lahan(1).pdf.

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif Bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http://pustaka.litbang.deptan.go.id diakses 16 Maret.

---, B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. Bandar Lampung. Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. http://pse.litbang.deptan.go.id diakses 16 Maret.

Irawan, R. 2015. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Persawahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai. Medan : USU

Kamdi, A. 1989. Peranan Pabrik Pengolahan Minyak Kelapa Sawit Swasta dan Pemasaran Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Indonesia. Medan

Kompas. 2008. Dampak Negatif Alih Fungsi Lahan ke Perkebunan Kelapa Sawit. Dikutip dari : http://web.g-help.or.id/index2.php?option=com content&do pdf=1&id=105

Koran Jakarta. 2014. Meredam Fluktuasi Harga Karet. Jakarta : Koran Jakarta Lestari, T. 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani.

(3)

Muzzani, A. 2015. Analisis Faktor Pertimbangan Petani Yang Berhungan Dengan Keputusan Mengkonversi Lahan Sawah Irigasi Menjadi Lahan Kelapa Sawit. Medan : USU

Nasoetion, Lutfi, I. dan Winoto, J. 2000. Masalah Alih Fungsi Lahan dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Jakarta : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian

Nazarudin dan Paimin. 1998. Karet Strategi Pemasaran Budidaya dan Pengolahannya. Jakarta : Penebar Swadaya

Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Jakarta : Penebar Swadaya

Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang Pertanian 25(4) 2006.

Pewista, I. 2011. Faktor dan Pengaruh Alih Fungsi Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Kabupaten Bantul. Yogyakarta

Setyamidjaya, D. 1993. Seri Budidaya Karet. Yogyakarta : Penerbit Kanisius Siregar, W. 2012. Bisnis Karet 3kali Lebih Menguntungkan dari Kelapa Sawit.

Dikutipdarihttp://jakarta.okezone.com/read/2012/05/15/320/629885/bisnis-karet-3 kali- lebih-menguntungkan-dari-sawit.

Situmorang A dan Budiman A. 2003. Penyakit tanaman karet dan pengendaliannya. Balit Sembawa Pusat Penelitian Karet.

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press

Suputra, Dewa Putu Arwan, Ambarawati, I G AA, Tenaya, I Made Narka. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Studi Kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. E-Journal Agribisnis dan Agrowisata Vol. 1. Tahun 2012. Denpasar: Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

Syafa’at, N., H.P. Saliem dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani.. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Tim Penulis, 2008. Panduan Lengkap Karet. Depok : Penebar Swadaya Uma, S. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta : Salemba Empat

(4)

Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Wijewantha RT. 1964. Influence of environment on incidence of Fomes lignosus in rubber replantations in Ceylon. Tropical Agriculture.

Widjonarko et al, 2006. Aspek Pertahanan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertnian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah : 22-23. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN

(5)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive, artinya pemilihan daerah penelitian didasarkan pada penilaian pribadi peneliti (sengaja) dengan pertimbangan dan alasan tertentu. Daerah yang dipilih yaitu Kabupaten Deli Serdang dengan alasan dan pertimbangan bahwa kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten sentra produksi karet di Sumatera Utara.

Tabel 3.1 Produksi Tanaman Karet Rakyat Menurut Kabupaten di Sumatera Utara Tahun 2013

(6)

Kecamatan yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan STM Hulu, dengan alasan dan pertimbangan bahwa kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang banyak melakukan konversi lahan karet menjadi kelapa sawit.

Tabel 3.2 Perkembangan Luas Lahan Perkebunan di Kecamatan STM Hulu Tahun 2011-2014 (ha)

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang, 2015

Fenomena konversi ini diperlihatkan oleh adanya penurunan luas tanaman karet rakyat selama periode tahun 2011 sampai 2014, dengan perkataan lain pertumbuhannya negatif. Pada tahun 2011 luas tanaman karet seluas 2.001 ha turun menjadi 1.811 ha pada tahun 2014. Penurunannya sebesar -9,49% selama periode tersebut. Sementara itu dalam periode yang sama, luas lahan kelapa sawit rakyat mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 11,09%. Tahun 2011 luas tanaman kelapa sawit seluas 1731 ha meningkat menjadi 1923 ha pada tahun 2014.

3.2 Metode Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit yang telah mengkonversikan tanaman karetnya menjadi tanaman kelapa sawit dalam periode 2011–2015. Besar populasi di lokasi penelitian ini tidak diketahui secara pasti, oleh karenanya cara pengambilan sampel yang digunakan adalah Nonprobability Sampling dengan teknik Snowball Sampling. Teknik snowball sampling adalah

(7)

ditemui (Kenneth dan Ermman, 1977). Dalam penelitian multivariate (termasuk analisis regresi berganda), ukuran sampel sebaiknya 10 kali dari jumlah variabel (Roscoe, 1975). Oleh karena jumlah variabel ada 7, maka dalam penelitian ini sampel petani diambil sebanyak 70 orang.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan petani kelapa sawit yang sebelumnya pernah menanam tanaman karet dengan bantuan kuisioner yang telah dibuat sebelumnya. Data sekunder merupakan data baku pelengkap yang diperoleh dari instansi pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini, seperti BPS Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang dan lain lain.

3.4 Metode Analisis Data

Untuk menganalisis masalah penelitian dilakukan metode analisis regresi linier berganda (Multiple Regression) yaitu untuk menguji pengaruh faktor biaya usahatani sebelum konversi lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan usahatani sebelum konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan karet rakyat menjadi kelapa sawit rakyat.

Variabel yang dimasukkan dalam model regresi adalah • Biaya usahatani sebelum konversi lahan

(8)

• Pendapatan usahatani sebelum konversi lahan

• Pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan • Luas kepemilikan lahan

• Minat petani

• Penyakit tanaman karet

Untuk menguji pengaruh semua variabel bebas (biaya usahatani sebelum konversi lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan usahatani sebelum konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet) yang diregresikan terhadap variabel terikat yakni luas lahan yang dikonversi, digunakan persamaan regresi linier berganda (Multiple Regression). Dua diantara veriabel tersebut merupakan variabelm dummy yakni minat petani dan penyakit tanaman karet. Model regresi yang digunakan adalah sebagai berikut.

Y = a0 + a1X1 + a2X2 + a3X3 + a4X4 + a5X5 + D1 + D2 + µ Dimana : Y = Luas lahan yang dikonversi (ha)

a0 = Koefisien intersep a1...a5 = Koefisien regresi

X1 = Biaya usahatani sebelum konversi lahan (Rp/bulan)

X2 = Harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan (Rp/kg) X3 = Pendapatan usahatani sebelum konversi lahan (Rp/bulan) X4 = Pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan (Rp/bulan) X5 = Luas kepemilikan lahan (ha)

(9)

D2 = Penyakit tanaman karet 0 : sedikit terjangkit penyakit 1 : banyak terjangkit penyakit µ = Eror

Sebelum data digunakan dalam proses regresi (uji kesesuaian model), maka data setiap variabel tersebut dilakukan uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, multikolinieritas, autokorelasi dan heteroskedastisitas.

Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui, bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Cara mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak dalam model regresi dengan Program SPSS adalah sebagai berikut.

a. Analisis grafik

(10)

b. Uji normalitas Kolgomorov-Smirnov

Konsep dasar dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov adalah dengan membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku.

Kriteria uji sebagai berikut.

Jika signifikansi > α : Ho diterima atau H1 ditolak. Jika signifikansi < α : Ho ditolak atau H1diterima.

Dimana:

Ho: data residual berdistribusi normal; H1: data residual tidak berdistribusi normal.

Uji Multikolinieritas

Multikolinieritas adalah suatu keadaan dimana variabel-variabel bebas saling berkorelasi satu dengan lainnya. Persamaan regresi linier berganda yang baik adalah persamaan yang bebas dari adanya multikolinieritas antara variabel-variabel bebasnya. Sebagai alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur ada tidaknya variabel yang berkorelasi, maka digunakan alat uji statistik multikolinieritas (collinierity statistics) dengan menggunakan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Dimana apabila nilai toleransi (tolerance) > 0,1 dan nilai

VIF < 10 menunjukkan bahwa model regresi linier berganda terbebas dari masalah multikolinieritas.

Uji Autokorelasi

(11)

objek atau ruang (spatial correlation). Uji autokorelasi terutama digunakan untuk data time series. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model regresi yang digunakan, maka cara yang digunakan dengan melakukan pengujian serial korelasi dengan metode Durbin-Watson.

Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi pada uji Durbin Watson sebagai berikut.

• Bila nilai du < dw < 4 – du maka H0 diterima, artinya tidak terjadi autokorelasi. • Bila nilai dw < dl atau dw > 4 – dl maka H0 ditolak, artinya terjadi autokorelasi • Bila nilai dl < dw < du atau 4 – du < dw < 4 – dl, artinya tidak ada kepastian atau

kesimpulan yang pasti.

Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, terjadi perbedaan varian residual dari suatu periode pengamatan kepengamatan yang lain. Jika varian residual dari suatu periode pengamatan kepengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas. Jika varian berbeda, maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah jika tidak terjadi heteroskedastisitas.

Uji Kesesuaian (test goodness of fit)

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit-nya. Secara statistik, setidaknya ini dapat diukur dari nilai

(12)

nilai uji statistiknya berada dalam daerah dimana Ho diterima. Koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada output regresi berdasarkan data yang dianalisis untuk kemudian diinterpretasikan serta dilihat siginifikansi tiap-tiap variabel yang diteliti. Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat (dependent). Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengetahui kekuatan variabel-variabel bebas (independent) menjelaskan variabel-variabel terikat (dependent).

1. Uji hipotesis secara serempak

Uji serempak (uji F) pada dasarnya menunjukkan apakah secara serempak semua variabel bebas (independent) yang dimasukkan dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel terikat (dependent). Uji serempak (uji F) dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak.

Untuk menguji hipotesis, yaitu analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan karet rakyat menjadi kelapa sawit rakyat, digunakan uji F. Dengan kriteria uji sebagai berikut.

Jika F hitung < F tabel atau jika signifikansi F > α0,05 : Ho diterima atau H1 ditolak.

Jika F hitung > F tabel atau jika signifikansi F < α0,05 : Ho ditolak atau H1 diterima.

Dimana:

(13)

kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet tidak berpengaruh terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi

H1: secara serempak, variabel bebas biaya usahatani sebelum konversi lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan usahatani sebelum konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet berpengaruh terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi

2. Uji hipotesis secara parsial

Uji parsial (uji t) pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas (independent) secara parsial dalam menerangkan variasi variabel terikat (dependent). Uji parsial (uji t) dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial (Soekartawi, 1995).

Untuk menguji hipotesis, yaitu analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan karet rakyat menjadi kelapa sawit rakyat, digunakan uji t.

Dengan kriteria uji sebagai berikut.

Jika t hitung < t tabel atau jika signifikansi t > α : Ho diterima atau H1 ditolak. Jika t hitung > t tabel atau jika signifikansi t < α : Ho ditolak atau H1 diterima. Dimana :

Ho : secara parsial, variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi;

(14)

3.5 Definisi dan Batasan Operasional

3.5.1 Defenisi

1. Petani sampel adalah petani kelapa sawit yang sebelumnya pernah menanam tanaman karet atau yang melakukan konversi pada periode 2011 – 2015.

2. Konversi lahan adalah peralihan dari lahan tanaman karet ke lahan tanaman kelapa sawit.

3. Luas lahan yang dikonversi adalah peralihan fungsi lahan dari komoditi perkebunan karet rakyat menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat yang diukur dalam bentuk ukuran luas yakni ha.

4. Harga adalah harga yang berada ditingkat petani karet sebelum konversi lahan yang diukur dalam satuan Rupiah.

5. Pendapatan petani adalah imbalan yang diterima oleh petani karet dari hasil kegiatan usahatani yang diperoleh dari selisih penerimaan petani dengan total biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam usahataninya yang diukur dalam bentuk Rp/bulan.

6. Biaya usahatani adalah biaya yang dikeluarkan petani dalam mengoperasikan usahatani karetnya yang diukur dalam bentuk Rp/bulan.

(15)

8. Luas kepemilikan lahan adalah jumlah keseluruhan luas lahan yang dimiliki petani baik itu lahan basah maupun lahan kering pada saat sebelum mengkonversikan lahannya yang diukur dalam bentuk ha

9. Minat petani adalah keinginan petani/responden mengkonversikan lahannya apakah karena kemauan sendiri atau dikarenakan ikut-ikutan dengan orang lain 10. Penyakit tanaman karet adalah patogen yang banyak menyerang tanaman

karet seperti : jamur akar putih, jamur akar merah, jamur akar coklat, jamur ustulina, kanker batang, gugur daun, rapuh daun dan bercak daun mata burung.

11. Ikut – ikutan adalah keputusan petani dalam mengalih fungsikan lahannya karena di pengaruhi orang lain atau karena melihat kesuksesan petani kelapa sawit.

12. Kemauan sendiri adalah keputusan petani dalam mengalih fungsikan lahannya tidak dipengaruhi oleh orang lain melainkan dari keinginan sendiri.

3.5.2 Batasan Operasional

1. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan STM Hulu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

2. Sampel dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit rakyat yang sebelumnya pernah menanam tanaman karet rakyat tahun (2011-2015).

(16)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH

4.1 Wilayah Kecamatan STM Hulu

Kecamatan STM Hulu merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Deli Serdang yang memiliki luas 223,38 km2, terdiri dari 20 desa sebagian besar merupakan daerah berbukit dengan ketinggian ± 350-600 mdpl. Kecamatan STM Hulu mempunyai batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan STM Hilir Sebelah Selatan : Kecamatan Gunung Meriah Sebelah Timur : Kecamatan Bangun Purba Sebelah Barat : Kabupaten Karo

Kecamatan STM Hulu terdiri dari 20 desa dengan persebaran luas yang dapat dilihat pada tabel 4.1.

(17)

Tabel 4.1 Luas Kecamatan STM Hulu Tahun 2013 Menurut Desa

Sumber : Kecamatan STM Hulu Dalam Angka 2014

Dapat dilihat Desa Liang Pematang merupakan desa yang paling luas wilayahnya di Kecamatan STM Hulu dengan luas 36,28 km2 meliputi 16,24 % luas Kecamatan STM Hulu, sedangkan desa yang memiliki luas paling rendah yakni Sibung Bunga Hilir dan Tiga Juhar dengan luas 2,86 km2.

4.2 Keadaan Kependudukan Kecamatan STM Hulu

Jumlah penduduk Kecamatan STM Hulu pada tahun 2013 adalah sebanyak 12.994 jiwa yang tersebar diseluruh Kecamatan STM Hulu.

a. Jumlah Penduduk Kecamatan STM Hulu Menurut Kepadatan

(18)

kepadatan penduduk terkecil yaitu di Desa Liang pematang dengan kepadatan 4 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk 155 jiwa.

Tabel 4.2. Luas Desa, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan STM Hulu Tahun 2013

No Desa Luas(km2) Jumlah(jiwa) Kepadatan/km2

Sumber : Kecamatan STM Hulu Dalam Angka 2014

b. Jumlah Penduduk Kecamatan STM Hulu menurut Umur

(19)

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Kecamatan STM Hulu Tahun 2013 Menurut

Sumber : Kecamatan STM Hulu Dalam Angka 2014

c. Penduduk Kecamatan STM Hulu Menurut Pekerjaan

Dapat dilihat tabel dibawah ini bahwa penduduk Kecamatan STM Hulu paling banyak bermata pencaharian di bidang pertanian yakni 80,50% kemudian sebagai buruh/karyawan 14,51% dan penduduk yang sedikit adalah bermata pencaharian sebagai pegawai negri/ABRI yaitu 1,48%.

Tabel 4.4. Mata Pencarian Penduduk STM Hulu Tahun 2013

No Pekerjaan persentase (%)

1 Pertanian 80,50

2 Buruh/karyawan 14,51 3 Pegawainegri/ABRI 1,48 4 Perdagangan 2,03

5 Lain-lain 1,48

Sumber : Kecamatan STM Hulu Dalam Angka 2014

d. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan STM Hulu Tahun 2013

(20)

penduduk laki-laki di Kecamatan STM Hulu sebanyak 6.536 jiwa sedangkan jumlah penduduk Perempuan yaitu 6.458 jiwa.

Tabel 4.5. Jumlah Penduduk STM Hulu Menurut Jenis kelamin Tahun 2013

No Desa Laki-laki Perempuan

Sumber : Kecamatan STM Hulu Dalam Angka 2014

4.3. Karakteristik Petani Sampel

(21)

4.3.1 Umur Petani

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur petani sampel berada diantara 37 – 65 tahun dengan rata-rata 50 tahun. Komposisi petani sampel berdasarkan umur dapat ditunjukkan pada tabel 4.6.

Tabel 4.6. Komposisi Petani Sampel Berdasarkan Umur Petani

No Umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 36 – 40 9 12,86

2 41 – 45 14 20,00

3 46 – 50 16 22,86

4 51 – 55 18 25,71

5 56 – 60 9 12,86

6 >61 4 5,71

Jumlah 70 100

Sumber : Diolah Dari Lampiran 2

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebesar 25,71% petani berada pada umur 51 – 55 tahun sejumlah 18 jiwa, sebesar 22,86% petani berada pada umur 46 – 50 tahun sejumlah 16 jiwa, sebesar 20,00% petani berada pada umur 41 – 45 sejumlah 14 jiwa, sebesar 12,86% berada pada umur 36 – 40 dan 56 – 60 sejumlah 9 jiwa, sebesar 5,71% petani berada pada umur >61 tahun sejumlah 4 jiwa. Hal ini berarti usia petani umumnya termasuk pada kategori usia produktif.

4.3.2 Jumlah Tanggungan

(22)

Tabel 4.7. Jumlah Tanggungan Petani

No Jumlah tanggungan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 2 – 3 39 55,71

2 4 – 5 28 40,00

3 6 – 7 3 4,29

Rata-rata Tanggungan (jiwa) 3,58 Sumber : Diolah Dari Lampiran 2

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan petani sampel yang paling banyak adalah 2 – 3 tanggungan dengan jumlah 39 petani, diikuti 4 – 5 tanggungan sebanyak 28 petani dan 6 – 7 tanggungan sebanyak 3 petani. Sedangkan untuk jumlah rata-rata tanggungan petani sampel di Kecamatan STM Hulu sebanyak 3,58 jiwa.

4.3.3 Luas Lahan yang dikonversi

Luas lahan yang dikonversi adalah luas lahan karet rakyat yang dikonversikan oleh petani sampel menjadi lahan kelapa sawit rakyat di Kecamatan STM Hulu. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8 Luas Lahan yang dikonvesi

No Luas lahan yang dikonversi (ha) Jumlah (petani) Persentase(%)

1 0,1 – 1,5 39 55,71

2 1,6 – 3,0 28 40

3 3,1 – 5,0 3 4,29

Rata-rata Luas Konversi (ha) 1,65 Sumber : Diolah Dari Lampiran 2

(23)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Variabel Penelitian

Konversi lahan karet menjadi lahan kelapa sawit diduga dipengaruhi oleh variabel biaya usahatani sebelum konversi lahan (X1), harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan (X2), pendapatan petani sebelum konversi lahan (X3), pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan (X4), luas kepemilikan lahan (X5), minat petani (D1) dan penyakit tanaman karet (D2).

Tabel 5.1 Karakteristik Variabel Penelitian

No Karakteristik Variabel Range Rata-rata

1 Luas lahan yang di konversi (ha) 0,5 – 5,0 1,65 2 Biaya usahatani (Rp/bulan) 50.000 – 3.000.000 1.119.229 3 Harga karet (Rp/bulan) 5.000 – 8.500 6.029 4 Pendapatan petani (Rp/bulan) 1.000.000 – 8.100.000 2.937.357 5 Pengeluaran keluarga (Rp/bulan) 1.000.000 – 4.200.000 2.444.529 6 Luas kepemilikan lahan (ha) 0,5 – 5 2,44

7 Minat petani 0 – 1 0,83

8 Penyakit tanaman karet 0 – 1 0,93 Sumber: Lampiran 2

1. Luas Lahan Yang dikonversi

Luas lahan yang dikonversi adalah luas lahan karet yang dialih fungsikan oleh petani sampel menjadi lahan kelapa sawit. Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat range luas lahan yang konversi 0,5 – 5,0 ha dengan rata-rata lahan karet yang konversi 1,65 ha.

2. Biaya Usahatani Sebelum Konversi

Biaya usahatani sebelum konversi adalah biaya yang harus dikeluarkan petani dalam menjalankan usahataninya. Biaya usahatani ini meliputi : pupuk, pestisida, upah tenaga kerja dan lain-lain. Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat biaya

(24)

usahatani rata-rata Rp 1.119.229/bulan dengan range Rp 50.000 – 3.000.000/bulan.

3. Harga Karet

Harga karet adalah harga yang diterima petani dari penjualan karetnya. Harga karet petani di Kecamatan STM Hulu rata-rata Rp 6.029 dan range Rp 5.000 – 8.500

4. Pendapatan Petani Sebelum Konversi

Pendapatan petani sebelum konversi adalah imbalan yang diterima oleh petani karet dari hasil kegiatan usahatani yang diperoleh dari selisih penerimaan petani dengan total biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam usahataninya. Berdasarkan tabel 5.1 dilihat range pendapatan sebelum alih fungsi sebesar Rp 1.000.000 – 8.100.000 dengan rata-rata Rp 2.937.357.

5. Pengeluaran Keluarga Sebelum Konversi

Pengeluaran keluarga sebelum konversi adalah biaya yang dikeluarkan petani responden dalam sebulan untuk menghidupi keluarga seperti biaya makan, sekolah anak, trasportasi dan termasuk didalamnya biaya untuk kesehatan serta kebutuhan keluarga lainnya. Berdasarkan tabel 5.1 rata-rata pengeluaran keluarga sebesar Rp 2.444.529/bulan dengan range Rp 1.000.000 – 4.200.000/bulan.

6. Luas Kepemilikan Lahan

(25)

lainnya seperti kelapa sawit, kakao, salak dan lainnya. Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat rata-rata luas kepemilikan lahan adalah 2,44 ha dan range 0,5 – 5 ha.

7. Minat Petani

Minat petani adalah keinginan petani/responden mengkonversikan lahannya apakah karena kemauan sendiri atau dikarenakan ikut-ikutan dengan orang lain seperti tetangga, teman atau pendatang (banyak pendatang yang mengusahakan komoditi kelapa sawit). Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat range 0-1 dengan rata-rata 0,83.

8. Penyakit Tanaman Karet

Penyakit tanaman karet adalah banyak atau sedikitnya penyakit yang menyerang tanaman karet petani (penyakit akar putih, akar merah, jamur upas, kanker bercak, busuk pangkal batang, kanker garis dan embun tepung) yang menyebabkan kerugian bagi petani seperti matinya pohon karet atau tingginya biaya dalam menanggulangi dan mencegah berbagai penyakit tersebut. Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat range 0 – 1 dengan rata-rata 0,93.

Uji Asumsi Ordinary Least Squares (OLS)

(26)

1. Uji Multikolinieritas

Multikolinieritas adalah suatu keadaan dimana variabel-variabel bebas saling berkorelasi satu dengan lainnya. Persamaan regresi linier berganda yang baik adalah persamaan yang bebas dari adanya multikolinieritas antara variabel-variabel bebasnya. Sebagai alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur ada tidaknya variabel yang berkorelasi, maka digunakan alat uji statistik multikolinieritas (collinierity statistics) dengan menggunakan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Dimana apabila nilai toleransi (tolerance) > 0,1 dan nilai

VIF < 10 menunjukkan bahwa model regresi linier berganda terbebas dari masalah multikolinieritas. Hasil uji asumsi multikolinieritas untuk model konversi lahan karet menjadi kelapa sawit dapat ditunjukkan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Hasil Uji Multikolinieritas Menggunakan Statistik Kolinieritas

No Variabel Bebas Collinerity Statistics

Tollerance VIF

1 Biaya usahatani sebelum konversi 0,492 2.035 2 Harga karet sebelum konversi 0,934 1,071 3 Pendapatan petani sebelum konversi 0,593 1,687 4 Pengeluaran keluarga sebelum konversi 0,207 4,839

5 Luas kepemilikan lahan 0,209 4,792

6 Minat petani 0,869 1,150

7 Penyakit tanaman karet 0,945 1,058

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa masing-masing variabel bebas memiliki nilai VIF < 10 dan nilai toleransi (tolerance) > 0,1. Maka dapat dinyatakan model regresi linier konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat terbebas dari masalah multikolinieritas yaitu tidak ada hubungan antar variabel independen. 2. Uji Autokorelasi

(27)

objek atau ruang (spatial correlation). Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model regresi yang digunakan, maka cara yang digunakan dengan melakukan pengujian serial korelasi dengan metode Durbin-Watson. Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi pada uji Durbin Watson sebagai berikut.

• Bila nilai du < dw < 4 – du maka H0 diterima, artinya tidak terjadi autokorelasi. • Bila nilai dw < dl atau dw > 4 – dl maka H0 ditolak, artinya terjadi autokorelasi • Bila nilai dl < dw < du atau 4 – du < dw < 4 – dl, artinya tidak ada kepastian atau

kesimpulan yang pasti.

Tabel 5.3 Uji Autokorelasi

Model Summaryb

a. Predictors: (Constant), D2 (penyakit tanaman karet), x2 ( harga karet ditingkat petani), x3 (pendapatan usahatani), D1 (minat petani), x4 (pengeluaran keluarga), x1 (biaya usahatani), x5 (luas kepemilikan lahan)

b. Dependent Variable: y (luas alih fungsi)

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

(28)

3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, terjadi perbedaan varian residual dari suatu periode pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian residual dari suatu periode pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas. Jika varian berbeda, maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah jika tidak terjadi heteroskedastisitas. Hasil uji heteroskedastisitas model faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat disajikan pada gambar 5.1.

Metode grafik menunjukkan penyebaran titik-titik varian residual sebagai berikut. a. Titik-titik data menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0.

b. Titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja.

c. Penyebaran titik-titik data tidak membentuk pola bergelombang menyebar kemudian menyempit dan melebar kembali.

d. Penyebaran titik-titik data tidak berpola.

(29)

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

Gambar 5.1. Grafik Uji Heteroskedastisitas

4. Uji Normalitas

Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah residual dalam model regresi memiliki distribusi normal. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan normal probability plot dan diagram histogram yang tidak condong ke kiri maupun ke

kanan. Hasil uji normalitas residual model konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat disajikan pada Gambar 5.2.

(30)

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

Gambar 5.2. Grafik Uji Normalitas

(31)

Tabel 5.4 Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 70

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation .27336425

Most Extreme Differences Absolute .105

Positive .071

Negative -.105

Kolmogorov-Smirnov Z .876

Asymp. Sig. (2-tailed) .426

a. Test distribution is Normal.

Sumber : Analisis Dta Primer,2015

Nilai uji Kolmogorov-Smirnov Z diperoleh pada kolom Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,426, lebih besar dari 0,05, berarti Ho diterima, yaitu tidak ada perbedaan distribusi residual dengan distribusi normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa residual model terdistribusi normal.

5.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Menjadi Lahan Kelapa Sawit

(32)

Tabel 5.5 Hasil Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat

Variabel Koefisien β thit Signifikansi VIF

Sumber: Analisis Data Primer, 2015

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dibuat model persamaan regresi sebagai berikut : Y = - 0,471 + 0,0000000122X1 – 0,057X2 + 0,0000000260X3+ 0,000000257X4 +

0,718X5 + 0,265D1 + 0,286D2 + e Dimana :

Y = Luas lahan yang dikonversi (ha)

X1 = Biaya usahatani sebelum konversi lahan (Rp/bulan) X2 = Harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan (Rp) X3 = Pendapatan usahatani sebelum konversi lahan(Rp/bulan) X4 = Pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan(Rp/bulan) X5 = Luas kepemilikan lahan (ha)

D1 = Minat petani

D2 = Penyakit tanaman karet

(33)

lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan petani sebelum konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat petani, dan penyakit tanaman karet sebesar 94%, sisanya sebesar 6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi.

a. Uji Pengaruh Variabel Secara Serempak

Uji serempak dengan uji F bertujuan untuk menjelaskan pengaruh variabel bebas secara serempak terhadap variabel terikat. Dari estimasi tersebut diperoleh nilai Fhit sebesar 139.980 lebih besar dari Ftabel 2,16, dan nilai signifikansi uji F pada tabel 5.5 sebesar 0,00 lebih kecil dari nilai signifikansi kesalahan yang ditolerir yaitu 5% atau 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti biaya usahatani sebelum konversi lahan (X1), harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan (X2), pendapatan usahatani sebelum konversi lahan (X3), pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan (X4), luas kepemilikan lahan (X5), minat petani (D1) dan penyakit tanaman karet (D2) secara serempak berpengaruh nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dari lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat di Kecamatan STM Hulu.

b. Uji Pengaruh Variabel Secara Parsial

Setelah dilakukan uji pengaruh variabel secara serempak, pembahasan dilanjutkan dengan pengujian pengaruh variabel bebas secara parsial. Hasil uji t menunjukkan pengaruh variabel-variabel bebas secara parsial terhadap variabel terikat. Jika nilai signifikansi t lebih kecil dari α (level of significant) yang ditentukan (X0,05), atau

(34)

estimasi diperoleh hasil uji parsial dan koefisien regresi setiap variabel sebagai berikut :

1. Konstanta

Konstanta sebesar –0,471, secara teorirtis nilai ini menunjukkan bahwa luas konversi lahan karet rakyat di Kecamatan STM Hulu adalah sebesar 0,471 ha walaupun tidak ada dipengaruhi oleh biaya usahatani sebelum konversi lahan (X1), harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan (X2), pendapatan petani sebelum konversi lahan (X3), pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan (X4), luas kepemilikan lahan (X5), minat petani, (D1) dan penyakit tanaman karet (D2). 2. Biaya Usahatani Sebelum Konversi Lahan

Nilai thit biaya usahatani sebelum konversi lahan (X1) sebesar 0,221 lebih kecil dari ttabel 1,670, dan nilai signifikansi t lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,826>0,05) dengan demikian H0 diterima dan H1 ditolak.

Dimana :

Ho : secara parsial, biaya usahatani sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi;

H1 : secara parsial, biaya usahatani sebelum konversi lahan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi.

(35)

karena biaya yang ditanggung petani di Kecamatan STM Hulu cukup tinggi terutama biaya pupuk dan biaya tenaga kerja pada tanaman karet yang mengakibatkan penerimaan petani menjadi berkurang karena harus menyisihkan biaya yang lebih untuk usahataninya.

3. Harga Karet Ditingkat Petani Sebelum Konversi Lahan

Nilai thit harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan (X2) adalah -1,610 lebih kecil dari ttabel 1,670 dan nilai signifikan t (0,113) lebih besar dari nilai tarif nyata yang digunakan sebesar (0,05) dengan demikian H0 diterima dan H1 ditolak. Dimana :

Ho : secara parsial, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi; H1 : secara parsial, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi.

Berdasarkan hipotesis diatas bahwa harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan karet rakyat. Akan tetapi hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien regresi variabel harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan bertanda negatif. Koefisien variabel harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan yang bernilai -0,057, secara teoritis nilai ini hanya menggambarkan kecenderungan, bahwa jika terjadi kenaikan harga sebanyak Rp1 maka akan terjadi penurunan alih fungsi sebanyak 0,057 ha (ceteris paribus). Hal ini karena harga karet yang diterima petani naik yang kemudian

(36)

menyatakan bahwa harga jual merupakan salah satu perangsang (motivator) bagi petani untuk melakukan pekerjaannya.

4. Pendapatan usahatani Sebelum Konversi

Nilai thit pendapatan usahatani sebelum konversi (X3) sebesar 0,764 lebih kecil dari nilai ttabel sebesar 1,670 dan nilai signifikansi t lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,448>0,05) dengan demikian H0 diterima dan H1 ditolak.

Dimana :

Ho : secara parsial, pendapatan usahatani sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi; H1 : secara parsial, pendapatan usahatani sebelum konversi lahan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi.

(37)

5. Pengeluaran Keluarga Sebelum Konversi Lahan

Nilai thit pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan (X4) sebesar 2,731 lebih besar dari nilai ttabel sebesar 1,670 dan nilai signifikansi t lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,008>0,05) dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima. Dimana :

Ho : secara parsial, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi; H1 : secara parsial, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi.

(38)

semakin besar. Untuk mendapatkan penghasilan rumah tangga yang besar tentunya akan dilakukan berbagai upaya, dan tidak sedikit petani yang memiliki lahan pertanian akan mengkonversi lahan pertaniaanya untuk menghasilkan tambahan biaya agar dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

6. Luas Kepemilikan Lahan

Nilai ttabel luas kepemilikan lahan (X5) sebesar 10,837 lebih besar dari nilai ttabel sebesar 1,670 dan nilai signifikansi t lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,000>0,05) dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima.

Dimana :

Ho : secara parsial, luas kepemilikan lahan sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi; H1 : secara parsial, luas kepemilikan lahan sebelum konversi lahan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi.

(39)

atau 60%. Untuk kepemilikan lahan 1.000–2.000 m2 sebelum konversi lahan ada 45 orang atau 64,29% tetapi setelah konversi lahan mengalami penurunan menjadi 22 orang atau 31,43%. Sedangkan pemilik lahan > 2.000 m2 juga mengalami penurunan kepemilikan lahan dari 15 orang atau 21,42% menjadi 6 orang atau 8,57%.

7. Minat Petani

Nilai ttabel minat petani (D1) sebesar 2,698 lebih besar dari nilai ttabel sebesar 1,670 dan nilai signifikansi t lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,009<0,05) dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima.

Dimana :

Ho : secara parsial, minat petani sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi;

H1 : secara parsial, minat petani sebelum konversi lahan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi.

Minat petani merupakan data yang bersifat kualitatif maka diselesaikan menggunakan variabel Dummy, dengan 0 : ikut-ikutan dan 1 : kemauan sendiri. Hal ini bermakna bahwa variabel minat petani secara parsial berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat di Kecamatan STM Hulu. Koefisien minat petani 0,265 ;

Minat petani = 1 : Kemauan sendiri 1 X 0,265 = 0,265 ha = 0 : Ikut-ikutan 0 X 0,265 = 0 ha

(40)

tentang prospek dari komoditi kelapa sawit itu sendiri, yang menurut mereka lebih menjanjikan dibandingkan dengan tanaman karet. Selain itu, kemudahan dalam perawatan dan pemanenan serta penyakit yang sangat sedikit membuat petani yakin akan komoditi kelapa sawit ini. Selain itu harga karet cenderung turun membuat ptani enggan mengusahakan kembali komoditi karet. Hal ini sesuai dengan penelitian Asrul Wahid (2006), yang dilakukan di Kabupaten Asahan, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengkonversi lahan karet menjadi lahan kelapa sawit adalah minat petani.

8. Penyakit Tanaman Karet

Nilai ttabel penyakit tanaman karet (D2) sebesar 2,080 lebih besar dari nilai ttabel sebesar 1,670 dan nilai signifikansi t lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,042<0,05) dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima.

Dimana :

Ho : secara parsial, penyakit tanaman karet sebelum konversi lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi; H1 : secara parsial, penyakit tanaman karet sebelum konversi lahan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat luas lahan yang dikonversi.

Berdasarkan hipotesis diatas berarti variabel penyakit tanaman karet secara parsial berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat di Kecamatan STM Hulu.

Koefisien penyakit tanaman karet 0,286 ;

(41)

Secara teoritis nilai ini hanya menggambarkan kecenderungan jika karena banyak penyakit maka luas konversi lahan lebih tinggi yakni sebesar 0,286 ha (ceteris paribus). Hal ini karena banyak tanaman petani karet rakyat di Kecamatan STM

(42)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Secara serempak variabel biaya usahatani sebelum konversi lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan petani sebelum konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat. Secara parsial faktor yang nyata berpengaruh terhadap konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat di Kecamatan STM Hulu adalah pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet.

6.2. Saran

1. Kepada Petani

Diharapkan petani tidak terus melakukan konversi lahan karet agar kebutuhan karet tetap terpenuhi.

2. Kepada Pemerintah

Diharapkan pemerintah agar mengendalikan stabilitas harga karet sekaligus menetapkan harga minimum yang dapat menguntungkan petani karet. Serta mengurangi beban pengeluaran keluarga dengan cara memberikan jaminan kesehatan dan menurunkan harga bahan pokok. Kemudian melakukan sosialisasi kepada petani tentang prospek usahatani tanaman karet agar petani menaruh minat kepada tanaman karet serta sosialisasi cara mengendalikan penyakit pada tanaman karet dan

(43)

memberikan kemudahan berupa pestisida dan obat-obatan gratis atau harga yang terjangkau bagi petani.

3. Kepada Peneliti Selanjutnya

(44)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Karet

Tanaman karet secara umum memiliki masa produksi selama 25-30 tahun. Untuk menghasilkan lateks pada tanaman karet, pohon karet akan dilukai kulitnya dengan maksud untuk membuka pembuluh lateks sehingga lateks dapat mengalir keluar. Penyadapan pohon karet untuk pertama kalinya akan dilakukan jika tanaman karet yang berada dalam suatu hamparan lahan sudah matang sadap pohon dan matang sadap kebun. Matang sadap pohon adalah suatu kondisi di mana tanaman karet akan memberikan hasil lateks maksimal ketika disadap tanpa menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan kesehatan pohon karet tersebut. Dengan perawatan yang baik, matang sadap pohon umumnya bisa dicapai pada saat tanaman karet berusia 4-5 tahun (Nazaruddin dan Paimin, 1998)

Analisis pendapatan usahatani untuk tanaman musiman (annual crop) berbeda dengan tanaman tahunan (parenial crop). Usaha tanaman tahunan memiliki resiko yang lebih tinggi maka pendapatan yang diperoleh haruslah lebih tinggi pula dibandingkan dengan pendapatan tanaman musiman. Hernanto (1996), analisis pendapatan terhadap usahatani penting dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak akan dicapai oleh setiap usahatani dengan berbagai pertimbangan dan motivasinya. Analisis pendapatan pada dasarnya memerlukan 2 (dua) keterangan pokok yaitu: (a) keadaan penerimaan dan (b) keadaan pengeluaran (biaya produksi) selama jangka waktu tertentu.

(45)

Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah memiliki beraneka ragam perkebunan yang bernilai ekonomis. Salah satu komoditas perkebunan yang menjadi andalan Negara Indonesia di pasar dunia adalah karet. Karet merupakan komoditas perkebunan yang memberikan devisa terbesar kedua kepada Negara Indonesia setelah sawit.

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber

pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi

sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian

lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal

terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi

beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang

merupakan mayoritas (91%) areal karet nasional dan ragam produk olahan yang

masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya

produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan

tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang

menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet

rakyat dan pengembanan industri hilir (Anonim, 2015).

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat,

perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih

positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara

dan swasta sama-sama menurun 0,15%/th. Oleh karena itu, tumpuan

pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Namun luas

(46)

hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada

sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Pada tingkat hilir, jumlah pabrik

pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan

akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk

menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena

produksi bahan baku karet akan meningkat (Anonim, 2015).

Salah satu permasalahan pokok perkaretan Indonesia adalah harga jual yang tidak

stabil dan cenderung menurun, serta persaingan pasar yang semangkin berat.

Persaingan bukan hanya terbatas pada satu negara saja, melainkan sudah meluas

hingga ke negara-negara karet sintesis. Untuk memperkuat daya saing karet alam

Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan efektivitas dan efisiensi

disemua bidang. Peningkatan yang dimaksud terutama dilakukan pada

produktivitas, mutu, pemanfaatan sumber daya, serta peningkatan aktivitas dan

efektivitas pemasaran (Tim Penulis PS, 2008).

(47)

kerugian yang tidak sedikit apalagi tanaman perkebunan merupakan tanaman yang memerlukan waktu yang cukup lama dalam pembudidayaannya.

Dewasa ini, karet merupakan bahan baku lebih dari 50.000 jenis barang. Dari produksi karet, 46% digunakan untuk pembuatan ban dan selebihnya untuk karet busa, sepatu, dan beribu jenis barang lainnya. Karet dihasilkan oleh tidak kurang dari 20 negara di dunia. Negara-negara penghasil karet terbesar terletak di Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand (Setyamidjaya, 1993).

Selain getah karet, bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah kayu karet. Kayu

atau pohon karet mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan

pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya

pemanfaatan lebih lanjut. Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai

prospek yang makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan

dan sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya

industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak bumi

dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis.

Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari produksi.

Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia

karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan

lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan

komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik. Kayu karet juga akan

mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu

asal hutan. Pengembangan karet ke depan lebih diwarnai oleh kemajuan IPTEK

(48)

ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon

unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan

meningkatkan pendapatan petani (Anonim, 2015).

2.1.2 Kelapa Sawit

Pada umumnya tanaman kelapa sawit yang tumbuh baik dan subur sudah dapat menghasilkan buah serta siap dipanen pertama pada umur sekitar 3,5 tahun jika dihitung mulai dari pertanaman biji kecambah di pembibitan. Namun, jika dihitung mulai penanaman di lapangan maka tanaman berbuah dan siap panen pada umur 2,5 tahun. Keberhasilan suatu usaha perkebunan kelapa sawit antara lain ditentukan oleh faktor bahan tanaman atau bibit yang memiliki sifat-sifat unggul. Bibit yang unggul akan menjamin suatu pertumbuhan yang baik dan tingkat produksi yang tinggi apabila perlakuan dilaksanakan secara optimal.

Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh rakyat memilki luas lahan yang terbatas, yaitu 1-10 ha. Dengan luas lahan tersebut, tentunya menghasilkan produksi tandan buah segar (TBS) yang terbatas pula sehingga penjualannya sulit dilakukan apabila ingin menjualnya langsung ke prosesor / industri pengolah (Fauzi, 2012).

(49)

waktu yang panjang. Telah diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu penghasil komoditas kelapa sawit terbesar di dunia (Adi, 2010).

Pada perkebunan sawit rakyat, permasalahan umum yang sering dihadapi antara lain rendahnya produktivitas dan mutu produksinya. Kebun sawit rakyat rata-rata hanya memproduksi 16 ton tandan buah segar (TBS) per hektar, sementara potensi produksi bila menggunakan bibit unggul bisa mencapai 30 ton TBS/ha/tahun. Investasi di bidang perkebunan kelapa sawit sangatlah menguntungkan. Memang, modal yang diperlukan sangat besar. Namun prospek bisnis investasi perkebunan kelapa sawit benar-benar menjanjikan, banyak yang menganggap bahwa investasi di komoditi ini adalah sebagai bentuk deposito unik yang menghasilkan uang secara mudah tiap bulannya (Adi, 2010).

(50)

2.1.3 Konversi Lahan

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Lestari, 2009).

Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari, beberapa kasus menunjukkan jika disuatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan disekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain disekitarnya untuk menjual lahan (Irawan, 2008). Pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan (Wibowo, 1996).

(51)

maupun yang bersifat sosial. Faktor ekonomi terdiri dari jumlah tanggungan, luas lahan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor sosial terdiri dari umur, pendidikan dan pengalaman kerja. Salah satu komoditi yang diganti dengan tanaman baru adalah tanaman karet yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit (Daulay, 2003).

Alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau terjadi pada lahan pertanian. Petani lebih memilih menanam kelapa sawit karena tanaman ini lebih menguntungkan. Namun, tanah yang telah ditanami kelapa sawit tidak bisa lagi dijadikan persawahan dan ditanami padi karena komposisi tanahnya telah berubah. Sama halnya dengan petani di Indragiri Hilir, para penanam karet di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara mengganti tanamannya ke kelapa sawit karena tanaman ini lebih menguntungkan daripada karet. Di Propinsi Jambi, alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit terjadi di daerah pasang surut di Kecamatan Sabak Timur, Rantau Rasau, dan Nipah Panjang Kabupaten Jabung Timur (Kompas, 2008).

(52)

maka petani lebih memilih mengkonversi lahan ke komoditi yang lebih menguntungkan.

Proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non- pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut.

1. Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.

2. Faktor internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi (Lestari, 2009).

Masalah ketidak stabilan harga dialami oleh petani karet, yang secara langsung mempengaruhi harga jual getah yang dijual petani kepada agen. Dalam dua tahun terakhir, sesuai catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra Selatan, harga jual karet memperlihatkan tren kemerosotan. Bahkan, harga karet tahun 2014 merupakan terendah di tingkat petani, atau harga karet hanya berada di kisaran Rp 5.000 – 5.500/kg. Akibat turunnya harga karet ini, para petani menjerit

karena sulit dan risau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

.

Kalau harga

(53)

1.300/kg. Hal inilah yang membuat petani lebih memilih untuk menanam kelapa sawit dibandingkan dengan usahatani karet yang harganya selalu menunjukkan penerunan.

Rata-rata biaya produksi usaha perkebunan kelapa sawit setahun per hektar mencapai Rp 4,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan kelapa sawit yang paling besar yaitu untuk tenaga kerja sebesar 39,89 persen, dengan jenis kegiatan terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 25,85 persen dari seluruh total biaya. Sedangkan rata-rata biaya produksi usaha perkebunan karet setahun per hektar mencapai Rp 8,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan karet yang paling besar yaitu biaya untuk tenaga kerja sebesar 56,19 persen, dengan jenis kegiatan terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 45,25 persen dari seluruh total biaya (BPS Banten, 2014).

Dalam (BPS Banten, 2014) hasil ST2013 sub sektor juga memberikan informasi tentang struktur ongkos rumah tangga usaha perkebunan. Rata-rata jumlah total biaya usaha tanaman karet selama setahun mencapai 70,30 % dari total nilai produksi. Sementara untuk komoditas kelapa sawit rata-rata jumlah biaya yang dikeluarkan selama setahun jika dibandingkan dengan nilai produksi mencapai 51,56 %. Dari hasil ini secara relatif kegiatan usaha tanaman kelapa sawit memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan komoditas karet, sehingga banyak masyarakat yang beralih komoditi yang semulanya karet menjadi kelapa sawit.

(54)

lain yang juga cukup besar di struktur biaya komoditas kelapa sawit adalah biaya perkiraan sewa lahan yang mencapai 29,31 %. Sementara itu rata-rata jumlah biaya pupuk, pestisida dan stimulan masing-masing mencapai 6,90 %, 0,26 % dan 0,01 %. Struktur biaya komoditas tanaman karet secara relatif memiliki kesamaan dengan kegiatan tanaman kelapa sawit, namun dari sisi biaya tenaga kerja untuk pemanenan menghabiskan porsi paling besar diantara semua biaya yang dibayarkan mencapai 45,25 % dari total biaya, hal ini dikarenakan proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan memotong tandan buah masak, memungut brondolan, dan mengangkutnya dari pohon ke tempat pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik (BPS Banten, 2014).

Konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding dengan komoditas non pertanian. Oleh karena itu pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah karena kebutuhan lahan untuk memproduksi setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian (Irawan, 2005).

(55)

adalah terjadi secara sporadis/terpencar yang dilakukan oleh perorangan dan secara seketika (instant) bersifat massive, yaitu terjadi dalam satu hamparan luas dan terkonsentrasi yang dilakukan oleh proyek pembangunan baik oleh pihak swasta maupun pemerintah (Widjonarko, et all., 2006).

Konversi lahan pertanian menjadi bentuk penggunaan lainnya tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan begitu cepat. Pertumbuhan sektor tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan tersebut letaknya dekat dengan sumber pertumbuhan ekonomi maka akan bergeser penggunaannya ke bentuk lain. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktifitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan pertanian (Anwar, 1993).

Ada tiga faktor baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan alih fungsi lahan sawah, yaitu: kelangkaan sumberdaya lahan dan air , dinamika pembangunan, peningkatan jumlah penduduk (Pasandaran, 2006)

Ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan (Witjaksono, 1996).

(56)

kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan karet. Pada perkebunan karet terdapat banyak jenis penyakit yang sering menimbulkan kerusakan seperti penyakit akar, batang/cabang, daun tanaman dan lain-lain. Penyakit akar merupakan penyakit yang penting karena berakibat kepada kematian tanaman karet yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup berarti (Basuki, 1981; Situmorang dan Budiman, 2003).

Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman keras yang banyak menjadi fokus pengalihan lahan pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan kelapa sawit memiliki prospek dan nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan dan mengancam kelestarian lingkungan (Kompas, 2008).

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Keputusan Konversi

(57)

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan

a. Harga

Pada dasarnya perubahan harga jual akan memberi pengaruh yang sangat besar terhadap petani. Salah satu pengaruhnya yaitu tingkat pendapatan para petani, yang selanjutnya sangat berpengaruh untuk memotivasi atau meningkatkan produktivitas kerja para petani. Darwis (2006), menyatakan bahwa “harga jual merupakan salah satu perangsang (motivator) bagi petani untuk melakukan pekerjaannya”.

Faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian yaitu sebagai berikut :

1) Perkembangan standar tuntutan hidup. Berhubungan dengan nilai land rent yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup petani.

2) Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah.

3) Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan sawah yang semakin mahal dan cenderung memperkuat proses konversi lahan. 4) Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada

penggunaan lahan yang memiliki tingkat pertanian yang terus meningkat akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan.

(58)

6) Resiko dan ketidak pastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko ketidak pastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungan. Dengan demikian penggunaan lahan yang mempunyai resiko dan ketidak pastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversi ke penggunaan lain yang resikonya lebih rendah (Nasution, et al., 2000).

b. Pendapatan usahatani

Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain yang menurun dan adanya peningkatan respon petani atau pengusaha perkebunan terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usahatani yang pada akhirnya akan merujuk pada tingkat biaya dan pendapatan yang dihasilkan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat (Ilham et al, 2009).

c. Biaya usahatani

Secara mikro, faktor penyebab konversi lahan yang lazim terjadi adalah faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, disisi lain pengerjaan lahan pertanian memerlukan biaya yang tinggi. Faktor penting yang menyebabkan proses konversi lahan adalah perkembangan standar hidup, fluktuasi harga pertanian, struktur biaya produksi pertanian, teknologi, aksesibilitas, resiko dan ketidak pastian dalam pertanian (Nasoetion, et all., 2000).

d. Pengeluaran keluarga

(59)

memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Lestari, 2009).

Konversi lahan sawah yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari interaksi permintaan dan penawaran sumberdaya lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan diantaranya adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Sedangkan dari segi permintan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.

2.3. Penelitian Sebelumnya

Penelitian Kursianto (2011), Faktor yang mendorong petani melakukan konversi lahan pertanian dan beralih ke lahan perkebunan disebabkan oleh pendapatan usaha tani kelapa sawit lebih tinggi dengan tingkat resiko yang lebih rendah, nilai jual/ agunan kebun lebih tinggi, biaya produksi usaha tani lebih rendah, dan terbatasnya ketersediaan air.

Penelitian Syafa’at (1995), pada sentra produksi padi utama di Jawa dan luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.

(60)

dipatuhinya peraturan tata ruang (lemahnya penegakkan hukum tentang tata ruang), keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalih fungsian lahan sawah, dan rendahnya koordinasi antara lembaga dan departemen terkait dengan perencanaan penggunaan lahan.

Penelitian Pewista (2011), di Kabupaten Bantul, pada luas lahan < 1.000 m2, dimana sebelum terjadi konversi lahan berjumlah 10 orang atau 14,29%, tetapi kini meningkat menjadi 42 orang atau 60%. Untuk kepemilikan lahan 1.000– 2.000 m2 sebelum konversi lahan ada 45 orang atau 64,29% tetapi setelah konversi lahan mengalami penurunan menjadi 22 orang atau 31,43%. Sedangkan pemilik lahan > 2.000 m2 juga mengalami penurunan kepemilikan lahan dari 15 orang atau 21,42% menjadi 6 orang atau 8,57%.

Karakteristik penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang mendominasi keluarga pemilik lahan. Hal ini mengidentifikasikan bahwa penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang yang paling banyak melakukan konversi lahan pertaniannya. Telah diketahui bahwa semakin banyaknya tanggungan keluarga tentunya pengeluaran keluarga juga semakin besar. Untuk mendapatkan penghasilan rumah tangga yang besar tentunya akan dilakukan berbagai upaya, dan tidak sedikit petani yang memiliki lahan pertanian akan mengkonversi lahan pertaniaanya untuk menghasilkan tambahan biaya agar dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya (Pewista, 2011).

(61)

70% petani karet mengkonversikan lahannya menjadi kelapa sawit dikarenakan ikut-ikutan dengan orang lain, banyak petani di Desa Batu Tunggal melihat kesuksesan pada petani yang mengusahan tanaman kelapa sawit, sehingga menarik minat petani lain untuk ikut mengusahakan tanaman kelapa sawit dengan mengganti tanaman karet yang selama ini petani usahakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Asrul Wahid (2006), yang dilakukan di Kabupaten Asahan, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengkonversi lahan karet menjadi lahan kelapa sawit secara parsial berpengaruh signifikan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan kemampuan menabung) dan sosial (pendidikan dan minat).

Dalam penelitian Ginting (2005), di Desa Munte, Kabupaten Karo, alih fungsi lahan di daerah tersebut mulai terjadi tahun 1997, hal ini terkait dengan keadaan kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan secara keseluruhan di wilayah Indonesia. Persentase luas lahan yang mengalami alih fungsi dari padi sawah ke non padi sawah sekitar 38,65% dari seluruh luas lahan yang dimiliki petani. Alasan petani melakukan alih fungsi lahan terutama akibat penurunan debit air, disamping faktor lain seperti penurunan atau tidak sesuainya harga jual komoditi padi sawah maupun komoditi non padi sawah.

Gambar

Tabel 3.1 Produksi Tanaman Karet Rakyat Menurut Kabupaten di Sumatera Utara Tahun 2013
Tabel 4.1 Luas Kecamatan STM Hulu Tahun 2013 Menurut Desa No Desa     Luas (km2) Persentase (%)
Tabel 4.2. Luas Desa, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan STM Hulu Tahun 2013
Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Kecamatan STM Hulu Tahun 2013 Menurut Kelompok Umur No Kelompok umur  Jumlah (jiwa)  Persentase (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil metode backward, diperoleh hasil penelitian yaitu: biaya tenaga kerja karet dan biaya tenaga kerja kelapa sawit secara simultan dan parsial berpengaruh nyata

Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani kelapa sawit, kakao, dan karet di daerah penelitian dapat dilihat melalui analisis regresi linier berganda dengan

Model yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah model umum persaman regresi linier berganda (Multiple Regression Analysis) dan pengolahanya

Dari hasil metode backward, diperoleh hasil penelitian yaitu: biaya tenaga kerja karet dan biaya tenaga kerja kelapa sawit secara simultan dan parsial berpengaruh nyata

Model Regresi Linier Berganda (Multiple Linier Regression Model) digunakan untuk menguji pengaruh dua atau lebih variabel independen terhadap satu variabel

Berdasarkan analisis regresi linear berganda, faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata/berpengaruh secara signifikan terhadap konversi lahan rawa lebak menjadi lahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya tenaga kerja karet dan biaya tenaga kerja kelapa sawit secara simultan dan parsial berpengaruh nyata terhadap konversi lahan karet

Analisis Regresi Linier Berganda Model analisis regresi linier berganda multiple linier regression method digunakan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari satu