• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Tingkat Bahaya Erosi di Daerah Aliran Sungai Besitang Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Tingkat Bahaya Erosi di Daerah Aliran Sungai Besitang Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Data Curah Hujan Stasiun KC Batang Serangan

Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total

2004 0 206 21 0 63 257 0 348 408 325 315 0 1.943

(2)

2006 102 136 117 410 626 2.438 1.459 3.260 258 530 180 484 10.000

rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) : 3.464 curah hujan bulanan (cm/bln) : 28,87 curah hujan bulanan (mm/bln) : 288,67

Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total

2004 0 135,2856 6,061924 0 27,00819 182,7685 0 276,0197 342,6811 251,5091 241,0431 0 1.462,377 2005 230,696 23,0106 61,22677 110,0616 253,6163 193,4887 142,4804 69,32601 162,7618 276,0197 391,5266 379,7414 2.293,956 2006 52,0102 76,91396 62,67943 344,9676 613,3853 3.897,249 1.938,686 5.785,864 183,7363 489,111 112,6063 432,2967 13.989,51

2007 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2008 0,24764 2.367,654 110,0616 7,269082 626,7494 38,01298 10,29542 0 0 0 0 0 3.160,29

(3)

Sumber: BPSSumut

(4)

Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total

rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) : 2.104,4 curah hujan bulanan (cm/bln) : 17,54 curah hujan bulanan (mm/bln) :

(5)

2011 90,28 0,00 106,69 16,58 75,38 96,76 91,08 52,01 112,61 316,68 235,85 64,88 1.258,78

rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) :

1980,7 curah hujan bulanan (cm/bln) : 16,51

(6)

Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total

2004 22,45 42,55 121,20 1,91 47,22 103,35 22,45 89,47 76,91 64,14 220,47 45,20 857,34

2005 86,29 16,58 15,06 60,50 127,31 92,69 142,48 83,92 87,08 123,81 178,91 217,43 1.232,05 2006 19,19 30,57 122,94 61,23 102,52 320,04 60,50 74,62 222,51 193,49 8078 193,49 1.48187 2007 63,41 73,85 53,40 121,20 247,31 87,88 176,03 61,23 109,22 106,69 151,61 264,22 1.516.05 2008 17,61 32,39 136,18 207,36 57,64 57,64 155,30 23,57 159,02 230,70 224,55 131,73 1.433,67 2009 153,45 19,72 130,84 87,88 160,89 20,80 90,28 116,88 161,82 128,19 42,55 173,17 1.286,48

2010 47,22 1,36 7,27 68,58 91,88 185,68 127,31 76,91 118,60 72,34 135,29 117,74 1.050,18

2011 41,24 0,00 183,74 52,01 12,62 217,43 54,10 116,88 126,43 235,85 87,88 81,57 1.209,74 2012 62,68 17,09 13,10 211,37 13,10 55,51 85,50 56,92 139,77 215,40 140,67 106,69 1.117,80 2013 156,23 95,12 41,89 58,35 51,32 44,53 34,24 133,50 142,48 145,20 130,84 734,93 1.768,64 Total 669,77 329,23 825,61 930,40 911,80 1.185,54 948,19 833,91 1.343,85 1.515,82 1393,55 2.066,16 12.953,82 Rata-rata 66,98 32,92 82,56 93,04 91,18 118,55 94,82 83,39 134,39 151,58 139,35 206,62 1.295,38 Sumber: BPS Sumut

BPP Besitang

Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total

2004 222 265 240 70 440 402 222 180 76 181 205 76 2.579

2005 152 60 70 70 115 147 195 180 171 215 200 315 1.890

2006 90 49 110 153 195 412 113 156 180 306 176 108 2.048

2007 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2008 0 4 67 234 95 191 346 52 0 151 155 276 1.571

(7)

2010 145 23 47 37 93 241 180 196 289 70 301 191 1.813

rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) : 1.827,9

curah hujan bulanan (cm/bln) : 15,23

curah hujan bulanan (mm/bln) : 152,33

Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total

(8)

No.

Prediksi Erosi (A) Sampel

(9)

Lampiran 3. Data perhitungan debit sedimen (Qs)

1. Desa Pekan Besitang Qw = A x V

= 36,25 m2 x 12,16 m/s = 440,8 m3/s

Qs = Qw x Cs x K

= 440,8 m3/s x 7620 mg/l x 0,0864 = 290.208,61 gr/s

2. Desa Sekoci Qw = A x V

= 58 m2 x 42,52 m/s = 2.466,16 m3/s Qs = Qw x Cs x K

= 2.466,16 m3/s x 7450 mg/l x 0,0864 = 1.587.417,87 gr/s

3. Desa Senapal Qw = A x V

= 105,25 m2 x 48,20 m/s = 5.073,05 m3/s

Qs = Qw x Cs x K

(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A.2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor : Serial Pustaka IPB Press.

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press. Yogyakarta.

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University. Yogyakarta.

A’Yunin, Q. 2008. Prediksi tingkat bahaya erosi dengan metode USLE di lereng timur Gunung Sindoro. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Banuwa, I. S. 2013. Erosi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Candra, A. 2003. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu Kabupaten/Kota Bogor Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Chrisman, N.R. 2005. Communities of Scholars: Places of Leverage in the History of Automated Cartography. Cartography and Geographic Information Science 35 (4) 425 433

Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto dan S. Marwan. 2004. Kepekaan tanah terhadap erosi. Jurnal Akta Agrosia Vol.8, No.2.

ESRI. 1996. ArcView GIS : Installation Guide. Environmental System Research Institute, Inc. California.

Hardjowigeno, 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pessindo. Jakarta

Irsan, M. 2011. Kajian kerawanan banjir di wilayah DAS Padang menggunakan sistem informasi geografis. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

Jayusri. 2012. Analisa potensi erosi pada DAS Belawan menggunakan sistem informasi geografis. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

(17)

Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Identifikasi Karakteristik Daerah Aliran Sungai. Nomor : P.3/V-SET/2013. Jakarta.

Linsley, R. K., M. A. Kohler and L. H. Paulhus. 1996. Hidrology for Enginerss. International Edition. Mc Graw Hill Book Company. New York.

Loebis, J., Soewarno, Suprihadi. B. 1993. Hidrologi Sungai. Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.

Manyiwa, T dan O. Dikinya. 2013. Using universal soil loss equation and soil erodibility factor to assess soil erosion in Tshesebe village, north east Botswana. African Journal of Agricultural Research Vol. b (30).pp. 4170-4178 hal 4173.

Martono. 2004. Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng terhadap Laju Kehilangan Tanah pada Tanah Regosol Kelabu. Universitas Diponegoro. Skripsi. Semarang.

Morgan, R.P.C. 1979. Soil Erosion. National College of Agricultural Engineering. Bedfordshire, Longman. London and New York.

Muklis, 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU-Press. Medan.

Prasetia, B. T. 2007. Hubungan Antara Populasi Penduduk dengan Deforestasi, Penggunaan Lahan, Erosi, dan Penurunan Nutrisi Tanah. Skripsi. Bogor.

Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring air di daerah aliran sungai. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - Southeast Asia Regional Office. 104 p

Rahim, S.E. 2006. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. PT. Bumi Aksara. Jakarta

Rahmawaty, T. R. Villanueva, M. G. Carandang. 2011. Parcipatory Land Use Allocation, Case Study in Besitang Watershed, Langkat, North Sumatra, Indonesia. Lambert Academic Publishing. Jerman.

Rauf, A., K. S. Lubis, Jamilah. 2011. Dasar-dasar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. USU Press. Medan.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara RI Tahun 1999. Sekretariat Negara. Jakarta.

(18)

Rukmana. 2001. Teknik Pengelolaan Lahan Kering Berbukit dan Kritis. Kanisius. Yogyakarta.

Sandra, David, Thomas. 1995. A Geographic Information System ToPredict Soilerosion Potential In Rural Transportation Construction Project. www.Mackblackwell.org. Arkansas.

Sasongko, Dj. 1991. Teknik Sumber Daya Air Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Saud, I. 2008. Prediksi sedimentasi Kali Mas Surabaya. Jurnal Aplikasi ISSN. 1907-753X Vol 4:1.

Sinukaban, N. 1986. Dasar-dasar Konservasi Tanah dan Perencanaan Pertanian Konservasi. Jurusan tanah, Institut Pertanian. Bogor.

Sulistyaningrum, et al. Pengaruh karakteristik fisika-kimia tanah terhadap nilai indeks erodibilitas tanah dan upaya konservasi lahan. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Syofyan, A. 2010. Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Di Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu). Medan.

Tufaila, M. 2012. Analisis spasial tingkat bahaya erosi di daerah aliran sungai (DAS) Moramo dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS).

Jurnal Agroteknos ISSN.2087-7706 Vol 2:3 hal 134-142

Utomo, W.H. 1989. Konservasi Tanah di Indonesia. Rajawali Press. Jakarta.

(19)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember

2014. Pengambilan sampel tanah dan air sungai dilakukan pada bulan Mei 2014

dan analisis data dilakukan pada bulan Juni 2014 sampai Desember 2014.

Penelitian dilaksanakan kawasan DAS Besitang, Kabupaten Langkat (Gambar 1

dan Tabel 1). Analisis sifat fisik tanah dan air dilakukan di Laboratorium Riset

dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengelolaan dan

analisis data dilakukan di Laboratorium Manajemen Terpadu, Program Studi

Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Tabel 1. Wilayah administrasi DAS Besitang

KECAMATAN KABUPATEN/KOTA LUAS

Ha %

Batang Serangan Langkat 2.954,16 3,26

Besitang Langkat 65.675,98 72,43

Brandan Barat Langkat 499,61 0,55

Pangkalan Susu Langkat 21.226,82 23,41

Sei Lepan Langkat 322,40 0,35

Total 90.678,97 100

(20)
(21)

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning

System (GPS), bor tanah, ring sampel tanah, meteran, pita ukur, turbidimeter,

kantong plastik, plastik kiloan, kertas label, karet gelang, parang, cutter, botol

plastik, sekop semen, broti, kamera digital dan perangkat komputer. Bahan yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah contoh tanah, contoh air, peta administrasi,

peta tanah, peta geologi, peta kemiringan/kelerengan, peta penutupan dan

penggunaan lahan, dan data sekunder curah hujan selama 10 tahun terakhir.

Prosedur Penelitian

Prosedur untuk tingkat bahaya erosi dan sedimentasi dapat dirinci menjadi

empat tahap yaitu:

1. Tahap persiapan penelitian

2. Tahap pelaksanaan penelitian di lapangan

3. Tahap analisis tingkat bahaya erosi dan sedimentasi

4. Analisis spasial

1. Tahap persiapan penelitian

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini berupa telaah pustaka,

pengumpulan data sekunder berupa data curah hujan, peta-peta yang dibutuhkan

yaitu peta penutupan dan penggunaan lahan, peta administrasi, peta solum, peta

tanah, peta kemiringan/kelerengan, peta morfologi, dan peta geologi yang

(22)

stasiun selama 10 tahun terakhir yang diperoleh dari BMKG, serta persiapan alat

dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Penentuan satuan lahan

Satuan lahan ditentukan dengan menumpangtindihkan (overlay) berbagai

parameter lahan yang dapat dipetakan. Pada pendekatan sekarang, satuan lahan

didefinisikan sebagai area homogen dalam beberapa parameter fisik lahan yang

dapat diidentifikasikan langsung di lapangan. Parameter yang dipilih dalam

penelitian ini ialah jenis tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan

penutupan lahan. Bila salah satu parameter berubah maka satuan lahan akan

berubah pula. Peta satuan lahan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai peta

acuan dasar dalam pembuatan peta tingkat bahaya erosi dan sedimentasi.

2. Tahap pelaksanaan penelitian di lapangan

Kegiatan pada tahap ini berupa pengumpulan data primer yang meliputi

parameter fisik yang dapat diukur di lapangan yaitu kedalaman tanah, kecepatan

aliran air, kekeruhan air sungai, luas dan bentuk penampang dasar sungai.

Pengambilan sampel tanah untuk dianalisis di laboratorium berupa tekstur lapisan

tanah, permeabilitas, bahan organik, bulk density, dan struktur tanah. Pengambilan

sampel air sungai untuk dianalisis konsentrasi sedimen melayang atau muatan

layang (suspended load).

Sampel tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode acak. Sampel tanah

diambil harus representatif atau mewakili sehingga analisis yang dilakukan

(23)

lapangan sebenarnya. Agar contoh representatif, maka contoh tanah diambil

dengan metode zig-zag, dimana setiap titik diambil kira-kira 1-2 kg

(Muklis, 2007). Pengambilan sampel tanah dilakukan dalam dua bentuk, yaitu

tanah utuh (tanah tidak terganggu) dengan menggunakan ring sampel dan tanah

biasa (tanah terganggu) dengan menggunakan bor tanah. Contoh tanah terganggu

diambil untuk analisis tekstur dan bahan organik tanah. Cara pengambilan sampel

tanah terganggu dengan menggunakan bor tanah. Contoh tanah tidak terganggu

diambil untuk analisis sifat fisika tanah yaitu permeabilitas, kerapatan isi (bulk

density), dan struktur tanah.

Teknik pengambilan sampel tanah tidak terganggu:

- Menentukan titik pengambilan sampel.

- Membersihkan permukaan tanah dari rumput atau serasah.

- Meletakkan ring sampel kemudian tekan hingga seluruh bagian ring masuk ke

dalam tanah.

- Mengangkat ring sampel tanpa merusak sampel tanpa merusak sampel.

Teknik pengambilan sampel tanah terganggu:

- Menentukan titik pengambilan sampel.

- Membersihkan permukaan tanah dari rumput atau serasah.

- Tanah dibor menggunakan bor tanah sampai kedalaman 20 hingga 30 cm

sebanyak tiga lubang, lalu dikompositkan dan diambil sebanyak 1 kg.

Untuk memperoleh kedalaman efektif tanah, dilakukan pemboran hingga

mencapai batuan dengan menggunakan bor tanah.

(24)

Pengambilan sampel air dimaksudkan untuk pengukuran uji konsentrasi

sedimen/sedimen melayang yang terbawa oleh aliran sungai di DAS Besitang.

Sampel air diambil menggunakan botol pada tiga titik, yaitu bagian tepi kiri, tepi

kanan, dan bagian tengah sungai. Kemudian dilakukan pengujian tingkat

kekeruhan air menggunakan alat turbidimeter. Sebagai data penunjang, dilakukan

juga pengukuran kecepatan arus sungai menggunakan current meter dan luas

penampang basah.

3. Tahap analisis tingkat bahaya erosi dan sedimentasi

Parameter-parameter yang dianalisis di laboratorium adalah tekstur tanah,

struktur tanah, bahan organik tanah, kerapatan isi (bulk density), permeabilitas,

dan konsentrasi sedimen melayang atau muatan layang. Data yang telah diperoleh

dari laboratorium kemudian diolah dan dihitung sesuai rumus yang digunakan.

Perhitungan (prediksi) erosi menggunakan persamaan USLE

Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah suatu persamaan untuk

memperkirakan kehilangan tanah yang telah dikembangkan oleh Wichmeier dan

Smith tahun 1978. USLE mempunyai kelebihan yaitu variabel-variabel yang

berpengaruh terhadap besarnya kehilangan tanah dapat diperhitungkan secara

terperinci dan berpisah. Berdasarkan persamaan kehilangan tanah yang

dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978) maka, dapat dirumuskan sebagai

berikut :

A = R × K × LS × CP

Keterangan:

A = Besarnya erosi yang diperkirakan (ton/ha/tahun) R = Faktor erosivitas hujan

(25)

LS = Faktor topografi (kelerengan)

CP = Faktor penggunaan dan pengelolaan tanaman

Masing-masing faktor tersebut akan ditentukan nilainya dengan

mempergunakan rumus, seperti berikut ini:

Faktor erosivitas hujan (R)

Data curah hujan diperoleh dari stasiun pengamatan hujan lokasi penelitian

selama 10 tahun terakhir. Data curah hujan ini digunakan untuk mengetahui faktor

erosivitas hujan (R) melalui persamaan Lenvain (1975) dalam Rahmawaty, et al

(2011):

R = 2,21(����)m1,36

Keterangan:

R = Erosivitas curah hujan bulanan (Rain)m = Curah hujan bulanan (cm)

Faktor erosivitas curah hujan tahunan dapat dihitung dengan menjumlahkan faktor

erosivitas curah hujan bulanan dalam satu tahun (12 bulan). Setelah mengetahui

faktor erosivitas (R), dilakukan analisis distribusi curah hujan menggunakan

metode Thiessen Polygons yang diolah dalam aplikasi ArcView GIS 3.3.

Faktor erodibilitas tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah dihitung dengan

persamaan Arsyad (1989) dalam Rahmawaty, et al (2011):

K = 0,027M1,14 (10)−4 (12−BO) + 0,0325 (A−2) + 0,025 (B−3)

Keterangan:

K = faktor erodibilitas tanah dalam ton/ha

M = ukuran partikel yaitu (% Debu) (100-% Liat) BO = bahan organik tanah (% C x 1,724)

A = kode struktur tanah (Tabel 2)

B = kode permeabilitas profil tanah (Tabel 3)

Tabel 2. Kode Struktur Tanah

(26)

Granuler sangat halus (< 1 mm) 1

Granuler halus (1 hingga 2 mm) 2

Granuler sedang sampai kasar (2 hingga 10 mm) 3

Kubus/gumpal, gumpal bersudut, plat, masif 4

Sumber : Arsyad (2010);Banuwa (2013)

Tabel 3. Kode Permeabilitas Profil Tanah

Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode

Sangat Lambat < 0,5 6

Lambat 0,5 hingga 2,0 5

Lambat sampai sedang 2,0 hingga 6,3 4

Sedang 6,3 hingga 12,7 3

Sedang sampai cepat 12,7 hingga 25,4 2

Cepat > 25,4 1

Sumber : Arsyad (2010); Banuwa (2013)

Faktor Topografi (LS)

Faktor ini merupakan gabungan antara pengaruh panjang dan kemiringan

lereng. Nilai LS dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan faktor

kemiringan, sedangkan faktor panjang lereng diabaikan karena sulit mendapatkan

atau menghitung panjang lereng.

Data kemiringan lereng dalam penelitian ini bersumber dari peta

kelerengan DAS Wampu oleh BPDAS Wampu Sei Ular. Untuk memperoleh nilai

LS, kemiringan lereng dipadankan dengan Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Kelas Kemiringan dan Nilai LS

Kelas Kemiringan (%) Deskripsi Nilai LS

1 0 – 8 Datar 0,4

2 8 – 15 Landai 1,4

3 15 – 25 Agak Curam 3,1

4 25 – 40 Curam 6,8

5 > 40 Sangat Curam 9,5

Sumber: Kementerian Kehutanan (2006) dalam Rahmawaty, et al (2011)

Faktor Pengelolaan Lahan (CP)

Nilai C dan P adalah faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi

lahan yang sangat berpengaruh terhadap laju erosi permukaan/DAS. Dalam

(27)

Tabel 5.

Tabel 5. Nilai CP untuk berbagai penggunaan lahan

No Tata Guna Lahan Nilai CP

1 Belukar Rawa 0,010

2 Rawa 0,010

3 Semak/Belukar 0,300

4 Pertanian Lahan Kering Campur 0,190

5 Pertanian Lahan Kering 0,280

6 Perkebunan 0,500

7 Pemukiman 0,950

8 Hutan Lahan Kering Sekunder 0,010

9 Hutan Mangrove Sekunder 0,010

10 Hutan Rawa Sekunder 0,010

Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular dalam Jayusri (2012)

Hasil akhir yang diperoleh dari perhitungan faktor-faktor tersebut di atas

merupakan nilai prediksi erosi yang terjadi pada suatu lahan tertentu

(ton/ha/tahun). Distribusi nilai erosi tanah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa

kelas seperti pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Distribusi erosi tanah

Kelas Deskripsi Prediksi Erosi (Ton/Ha/Tahun)

I Sangat Rendah <15

II Rendah 15-60

III Sedang 60-180

IV Tinggi 180-480

V Sangat Tinggi >480

(28)

Penentuan Tingkat Bahaya Erosi

Menurut Kementerian Kehutanan (2005) dalam Rahmawaty, et al. (2011),

klasifikasi erosi tanah diperoleh dengan menumpangtindihkan (overlay) peta

prediksi erosi tanah dan peta kedalaman tanah (Tabel 7).

Tabel 7. Klasifikasi erosi tanah berdasarkan prediksi erosi dan kedalaman tanah

Kedalaman Tanah (cm)

Kelas Laju Erosi (Ton/Ha/Thn) I

Sumber: Kementerian Kehutanan (2005)

4. Analisis spasial

Analisis spasial dilakukan dengan menumpangtindihkan (overlay) semua

individu-individu peta (peta R, peta K, peta LS, dan peta CP), kemudian

mengalikan faktor RKLSCP untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan

digunakan untuk analisis erosi melalui data atributnya yakni data tabular. Analisis

spasial dengan menggunakan software Sistem Informasi Geografis yaitu ArcView

GIS 3.3. Masing-masing peta yang digunakan dalam analisis ini dalam bentuk

shape-file (shp) dan dibuat dengan skala yang sama. Overlay tahap I

menggunakan peta erosivitas (R), peta erodibilitas (K), peta topografi (LS), dan

peta penggunaan lahan (CP). Hasil overlay keempat peta ini adalah peta distribusi

erosi. Peta distribusi erosi dioverlaykan dengan peta solum tanah, sehingga

diperoleh peta tingkat bahaya erosi. Peta tingkat bahaya erosipada unit-unit lahan

(29)

Analisis sedimen

Secara garis besar sedimen dibedakan menjadi dua jenis yaitu sedimen

melayang (suspended sediment/load) dan sedimen merayap (bedload).

Pengukuran muatan sedimen atau sedimen melayang dilakukan dengan cara

pengambilan sampel air dengan alat sedimen sampler. Di laboratorium sampel air

disaring dengan menggunakan kertas saring dan dikeringkan dengan

menggunakan oven lalu ditimbang dan dinyatakan dalam persentase dari berat

total gabungan air dan sedimen. Besarnya sedimen melayang (suspended load)

dapat dihitung dari hubungan antara pencatatan debit dan pencatatan konsentrasi

sedimen yang ada di daerah kajian.

Dengan asumsi bahwa konsentrasi sedimen merata pada seluruh bagian

penampang melintang sungai, debit sedimen melayang dapat dihitung sebagai

hasil perkalian antara konsentrasi sedimen dan debit aliran yang dirumuskan

dengan persamaan Strand (1982:7) dalam Saud (2008).

Qs=Qw ×Cs×K

Keterangan :

Qs = Debit muatan layang / debit sedimen (g/s)

Cs = Konsentrasi muatan layang atau konsentrasi sedimen (mg/l) Qw = Debit aliran sungai (m3/s)

Debit aliran sungai (Q = A x V)

(30)

Alur dalam pelaksanaan metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alur Penelitian Mulai

- Peta kelas lereng

- Peta kedalaman tanah

- Peta penutupan dan penggunaan lahan

- Data curah hujan 10 tahun terakhir

Perhitungan dan pengolahan data (Manual dan menggunakan ArcView GIS 3.3)

Peta R

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum DAS Besitang

Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03º 45’ 00’’ sampai 04 º15’

20” LU dan 97º 50’ sampai 99º 20’ LS. Sungai Besitang mengalir dari daerah

hulu yang terletak di kecamatan Besitang Hulu dan bermuara ke Selat Malaka.

Panjang sungai sebesar 85,87 km dan kemiringan rata-rata sebesar 0,0436.

Tabel 8. Luas Sub DAS di Kawasan DAS Besitang

Sub DAS Luas (Ha)

Pulau Sembilan 1.940,49

SDA Sei Sirah 37.920,38

Besitang Hilir 28.585,26

Besitang Hulu 23.592,75

Besitang Tengah 6.662,68

Total 98701,56

Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular, 2011

Secara administrasi, DAS Besitang berada di Kabupaten Langkat, Provinsi

Sumatera Utara, Indonesia. Adapun Batas DAS Besitang adalah:

Sebelah Utara : Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Sebelah Selatan : Daerah Aliran Sungai Sei Lepan

Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Sebelah Timur : Selat Malaka

Terdapat beberapa sub-sub DAS di kawasan DAS Besitang, diantaranya adalah

Besitang Hulu, Besitang Tengah, Besitang Hilir, Pulau Sembilan, dan SDA Sei

(32)
(33)

Curah Hujan dan Faktor Erosivitas Hujan (R)

Arsyad (2006) menyatakan besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan

oleh lima faktor utama yaitu, erosivitas hujan, erodibiltas tanah, bentuk lahan,

vegetasi penutup tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. Faktor-faktor ini sangat

mempengaruhi laju erosi tanah yang merupakan proses penting dalam

pembentukan suatu daerah aliran sungai serta memiliki konsekuensi ekonomi dan

lingkungan yang penting di DAS tersebut, di mana bentuk dan kondisi fisik suatu

DAS sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sendimentasi

(Linsley, et al, 1996).

Curah hujan di kawasan Daerah Aliran Sungai Besitang diperoleh dari

empat stasiun meteorologi yang menyebar merata di seluruh kawasan tersebut,

diantaranya Stasiun Kantor Camat Batang Serangan, Stasiun Brandan Barat,

Stasiun Pangkalan Susu, dan Stasiun BPP Besitang. Data curah hujan 10 tahun

(2004-2013) (Lampiran 1), menunjukkan intensitas curah hujan di kawasan DAS

Besitang.

Pada data curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, dan erosivitas di

kawasan DAS Besitang, Stasiun Kantor Camat Batang Serangan memiliki curah

hujan tahunan (3.464 mm/tahun), curah hujan bulanan (28.87 cm/bulan), dan nilai

faktor erosivitas hujan (R) (3.470,9 cm/tahun) yang merupakan nilai tertinggi

diantara stasiun hujan lainnya. Stasiun BPP Besitang memiliki curah hujan

terendah diantara tiga stasiun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Poligon

Thiessen digunakan dalam menggambar batasan sebaran nilai erosivitas hujan

(34)
(35)

Tabel 9. Rata-rata CH tahunan, bulanan, dan erosivitas di kawasan DAS Besitang

Sumber: Hasil pengolahan data sekunder

Berdasarkan Tabel 9 dan Gambar 4., 65,76% kawasan DAS Besitang

digambarkan oleh Stasiun Meteorologi Besitang seluas 59.672,60 Ha, kemudian

oleh Stasiun Meteorologi Pangkalan Susu 25,80%, dan Stasiun Meteorologi

Brandan barat 7,62%.

Sifat curah hujan yang mempengaruhi erosivitas dipandang sebagai energi

kinetik butir-butir hujan yang menumbuk permukaan tanah. Hujan dengan

intensitas tinggi (lebat) dalam periode yang panjang maupun pendek dapat

menyebabkan kehilangan tanah (erosi) yang besar, demikian sebaliknya hujan

dengan intensitas rendah jarang menimbulkan pengikisan tanah yang besar. Air

hujan jatuh ke atas tanah menyebabkan aliran permukaan. Pergerakan aliran air ini

akan mengangkut tanah dan bagian-bagiannya sehingga mengakibatkan terjadinya

erosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schwad, dkk (1981) dalam Banuwa

(2013) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi aliran

permukaan adalah faktor presipitasi. Lamanya hujan, distribusi, dan intensitas

(36)

Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Nilai erodibilitas setiap penggunaan lahan bervariasi, erodibilitas

merupakan kepekaan tanah terhadap pukulan (energi kinetik) butiran air hujan dan

penghanyutan oleh aliran permukaan. Tanah yang erodibilitasnya tinggi akan

rentan terkena erosi, bila dibandingkan dengan tanah yang erodibilitasnya rendah.

Nilai erodibilitas diperoleh dengan pengamatan sifat fisika dan kimia tanah.

Tabel 10. Nilai faktor erodibilitas tanah (K) DAS Besitang

Nilai K Luas

Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular (2011)

Nilai erodibilitas (K) dihitung dengan mengetahui sifat fisik tanah, yaitu

tekstur tanah (%debu, %pasir, dan %liat), struktur tanah, nilai permeabilitas tanah,

dan kadar bahan organik tanah, dimana sifat fisik tanah tersebut dapat

mempengaruhi besarnya erosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (1989);

Rahmawaty, et al (2011) yang menyatakan bahwa sifat-sifat tanah yang

mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat

lapisan, dan tingkat kesuburan tanah. Berdasarkan Gambar 5 dan Tabel 10, nilai

erodibilitas (K) tertinggi sebesar 0,275 dan yang terendah sebesar 0,120. Makin

besar nilai erodibilitas tanah makin mudah tanah tersebut mengalami erosi dan

sebaliknya.

Tekstur tanah merupakan perbandingan antara fraksi debu, pasir, dan liat.

Fraksi tersebut digunakan untuk menentukan besarnya ukuran patikel (M). karena

data yang tersedia hanya %pasir, maka penelitian ini hanya menggunakan %debu

(37)

hubungannya dengan erodibilitas, makin besar nilai tekstur tanah, maka makin

besar pula nilai erodibilitasnya.

Kandungan bahan organik juga memiliki korelasi positif dengan nilai

erodibilitas tanah. Bahan organik memiliki kemampuan dalam mengikat dan

menstabilkan partikel-partikel tanah yang menjadikan agregat tanah semakin kuat

dan kepekaannya terhadap erosi menjadi berkurang. Makin banyak kandungan

bahan organik yang terkandung di dalam tanah maka makin besar kemampuannya

dalam menyerap dan menahan air yang menyebabkan aliran permukaan (run-off)

makin kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (1989) yang menyatakan

bahwa bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai

kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Pengaruh bahan organik

dalam mengurangi aliran permukaan terutama dalam memperlambat aliran,

meningkatkan infiltrasi, dan memantapkan agregat tanah.

Struktur tanah merupakan bentuk dan kumpulan dari partikel tanah. Dari

hasil penelitian diperoleh struktur contoh tanah yang dominan adalah tipe remah

dan bernilai 1.

Permeabilitas merupakan kemampuan tanah dalam melewatkan air. Dari

hasil penelitian diperoleh bahwa kelas permebilitas yang dominan pada tanah

yang diamati adalah kelas lambat sampai sedang. Dalam hubungannya dengan

erodibilitas, semakin rendah kelas permeabilitas (semakin cepat laju

permeabilitas) menyebabkan nilai erodibilitas semakin kecil. Hal ini sesuai

dengan pendapat Kusumandari (2008) dalam Sulisyaningrum, dkk, bahwa

semakin besar nilai permeabilitas tanah maka semakin rendah kepekaan tanah

(38)

Tekstur contoh tanah yang diteliti umumnya berpasir (Lampiran 1) dan

digolongkan memiliki struktur yang lemah dengan tipe granuler (kelas struktur 1).

Manyiwa dan Dikinya (2013) menyatakan bahwa tanah dengan struktur lemah

(granuler) sebagaimana ditunjukkan dengan nilai bahan organik yang relatif

rendah menyebabkan tanah mudah untuk tererosi. Ball (1990) dalam Manyiwa

dan Dikinya (2013) di dalam jurnal yang sama menyatakan peningkatan laju erosi

(39)
(40)

Faktor Topografi (LS)

Peta topografi dan kelerengan diperoleh dari Badan Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai (BPDAS) Wampu Sei Ular dan faktor panjang lereng (L) dan faktor

kecuraman lereng yang diberlakukan oleh Kementerian Kehutanan (2006) yang

ditunjukkan pada Tabel 11 dan digambarkan dalam Gambar 6. Daerah terluas

(86,90%) merupakan daerah yang datar dengan kelerengan 0-8% (85.105,38 Ha).

Hanya sebagian kecil daerah yang mempunyai kelerengan di atas 8%.

Tingkat kelerengan dan nilai faktor LS di dalam perhitungan potensi

erosi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan rumus USLE disajikan dalam

Tabel 11 dan digambarkan dalam Gambar 6.

Tabel 11. Kelas kemiringan dan nilai LS DAS Besitang

Kelas Kemiringan

Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular (2011)

Kelerengan atau nilai faktor LS digunakan berdasarkan klasifikasi oleh

Kementerian Kehutanan (1993) dalam Rahmawaty, et al (2011), nilai ini

menunjukkan bahwa penyebaran kelas kelerengan merupakan faktor penting yang

mempengaruhi perhitungan potensi erosi. Kemiringan lereng berpengaruh

terhadap kecepatan dan jumlah aliran permukaan. Kemiringan lereng yang rendah

akan memberikan kontribusi yang kecil terhadap nilai LS, dan nilai LS yang kecil

menyebabkan erosi yang ringan. Makin tinggi nilai LS, makin tinggi pula potensi

erosi dan faktor-faktor lainnya yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan

(41)

lereng, jumlah tanah yang terpercik oleh tumbukan hujan akan semakin banyak.

Jika kecuraman lereng meningkat menjadi dua kali, maka jumlah erosi menjadi

2,0-2,5 kali lebih besar. Kusumastuti (1994) dalam Martono (2004) di dalam

penelitiannya menjelaskan bahwa intensitas hujan dan kemiringan lereng

merupakan parameter yang berpengaruh besar terhadap kuantitas erosi. Pada

sudut kemiringan lereng yang sama, intensitas hujan meningkat, akan

mengakibatkan peningkatan erosi. Begitu juga sebaliknya pada intensitas hujan

yang sama, sudut kemiringan lereng meningkat, juga akan diikuti peningkatan

(42)
(43)

Faktor Penggunaan dan Pengelolaan Lahan (CP)

Faktor tanaman (C) menggambarkan rasio kehilangan tanah dari tanah

yang diusahakan untuk suatu tanaman yang ditanam searah dengan lereng

terhadap kehilangan tanah yang terus menerus dibiarkan tanpa tanaman di atas

suatu jenis tanah, lereng, dan panjang lereng yang identik.

Faktor tindakan konservasi tanah menggunakan metode USLE

menggambarkan sebuah integrasi atau penggabungan beberapa faktor yang

mempengaruhi erosi termasuk tutupan vegetasi, serasah tanaman, permukaan

tanah, dan pengolahan lahan. Dalam kaitannya dengan bagaimana kanopi tanaman

dapat menahan tetesan air hujan yang mempengaruhi percikan erosi.

Faktor tanaman (C) dan faktor tindakan konservasi tanah (P) di kawasan

DAS Besitang seperti yang digambarkan pada Tabel 12., nilai C dan P pada DAS didasarkan pada pola tanaman dan penggunaan lahan yang ada. Nilai tersebut

diperoleh dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Gambar 7,

menunjukkan penggunaan lahan yang ada sekarang di kawasan DAS yang

(44)

Tabel 12. Faktor CP pada penggunaan lahan berbeda di DAS Besitang

Jenis Penggunaan Lahan Nilai CP

Luas

Ha %

Badan Air 0,001 305,85 0,34

Belukar 0,300 6.827,13 7,52

Belukar Rawa 0,010 3.425,65 3,77

Hutan Lahan Kering Primer 0,010 33.739,97 37,18

Hutan Lahan Kering Sekunder 0,010 1.145,50 1,26

Hutan Mangrove Sekunder 0,010 1.135,02 1,25

Pemukiman 0,950 407,48 0,45

Perkebunan 0,500 31.381,67 34,59

Pertanian Lahan Kering 0,280 7.204,61 7,94

Pertanian Lahan Kering Campuran 0,190 34,64 0,04

Rawa 0,010 298,16 0,33

Sawah 0,010 1.330,50 1,47

Tambak 0,001 2723,49 3,00

Tanah Terbuka 0,950 775,02 0,85

Total 90.734,73 100,00

Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular dalam Jayusri (2012)

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa setiap penggunaan lahan

memiliki nilai CP yang berbeda-beda. Hal tersebut terlihat pada penggunaan lahan

yaitu pemukiman, tanah terbuka, perkebunan, belukar, dan pertanian lahan kering,

masing – masing penggunaan lahannya memiliki nilai CP yang tinggi,

dikarenakan tanaman yang ditanam tidak memiliki perakaran yang baik dan kuat

dalam menahan erosivitas hujan. Hal ini dapat merusak lapisan permukaan tanah

apalagi ditambah dengan kondisi lereng yang curam. Akan tetapi, berbeda dengan

jenis penggunaan lahan seperti hutan yang memiliki nilai CP yang rendah

dikarenakan mempunyai tajuk dan kerapatan yang tinggi juga perakaran yang kuat

sehingga kemampuan dalam menahan erosivitas hujan sangat besar.. Peta sebaran

tutupan lahan dan faktor CP DAS Besitang dapat dilihat pada Gambar 7.

Jenis penggunaan lahan terbesar adalah hutan lahan kering primer dengan

luas 33.739,97 Ha. Namun, persentase terbesar kedua penggunaan lahan

merupakan lahan perkebunan seluas 31.381,67 Ha. Hardjowigeno (2003)

(45)

karena vegetasi menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan

tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat dikurangi. Akan

tetapi, dalam pengaruh vegetasi penutup tanah tersebut perlu juga dilihat

ketinggian tajuk dan kerapatan tajuk yang mempengaruhi butiran-butiran hujan

yang menimpa permukaan tanah. Selain itu, perakaran tanaman sangat berperan

sebagai pemantapan agregat dan memperbesar porositas tanah. Sesuai dengan

pendapat Utomo (1989) yang menyatakan bahwa pengaruh vegetasi sangat

tergantung pada jenis tanaman, perakaran, tinggi tanaman, tajuk dan tingkat

(46)
(47)

Prediksi Erosi

Hasil dari menumpangtindihkan faktor-faktor erosi (erosivitas hujan (R),

erodibilitas tanah (K), faktor panjang lereng (L), faktor kecuraman lereng (S),

faktor tanaman (C), dan faktor konservasi tanah (P)) seperti yang digambarkan di

atas sebelumnya menunjukkan bahwa distribusi prediksi erosi di kawasan DAS

Besitang seperti yang digambarkan dalam Gambar 8 dan dilengkapi oleh Tabel

13.

Tabel 13. Distribusi prediksi erosi tanah di DAS Besitang

Kelas Deskripsi Prediksi Erosi (Ton/Ha/Tahun)

Sumber: Hasil pengolahan data primer dan sekunder

Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat laju erosi dominan yang terjadi di

wilayah DAS Besitang termasuk dalam kelas II (51.916,83 Ha atau 57,22% dari luas DAS Besitang), dan laju erosi dengan luasan terkecil termasuk dalam kelas V

(11,72 Ha atau 0,01%). Perbedaan laju erosi pada setiap bagian DAS dipengaruhi

oleh banyak faktor, salah satunya yang paling berpengaruh adalah kemiringan

lahan (kelerengan). Makin tinggi nilai kemiringan suatu lahan (curam) maka

makin besar pula kecepatan aliran permukaan yang terjadi sehingga kekuatan

angkut terhadap butiran tanah semakin besar sehingga akan menimbulkan laju

erosi yang besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Troeh, dkk (1980) dalam

Banuwa (2013) yang menyatakan bahwa jumlah dan kecepatan aliran permukaan

akan meningkat dengan makin curamnya lereng, karena aliran permukaan dari

(48)

Faktor tanaman atau penggunaan lahan juga memiliki pengaruh yang besar

terhadap nilai laju erosi. Lahan dengan tutupan vegetasi yang baik dan

pengelolaan yang baik akan melindungi permukaan tanah dari air hujan yang

jatuhdi lahan tersebut. Dengan demikian tanah dengan tutupan vegetasi yang baik

dapat mengurangi laju erosi.

Menurut penelitian rahmawaty (2005) dalam buku Participatory Land Use

Allocation pada table 5.5. Distribution of estimate soil erosion in Besitang

watershed, laju erosi dominan yang terjadi Di DAS Besitang tahun 2005 termasuk

dalam kelas I (72.222.9 Ha atau 72,20% dari luas DAS Besitang), dan laju erosi

terbesar kedua termasuk dalam kelas II (25.987,2 Ha atau 25,97% dari luas DAS

Besitang) yang merupakan laju erosi dominan yang terjadi pada penelitian tahun

2014. Sedangkan pada kelas III prediksi laju erosi tahun 2005 sebesar 1511,4 Ha

atau 1,51% dari luas DAS Besitang meningkat di tahun 2014 menjadi 9720,32 Ha

atau 10,71% dari luas DAS Besitang. Pada kelas IV meningkat dari 0,31% (2005)

menjadi 2,56% (2014) dan pada kelas V persentasenya tetap sama 0,01% dari luas

DAS Besitang. Banyak terjadi peningkatan laju erosi dari tahun 2005 sampai

tahun 2014. Kurangnya perhatian dan perlunya penanganan yang lebih serius agar

nilai erosi yang dihasilkan tidak lebih berbahaya. Dari nilai tingkat bahaya erosi

yang diperoleh maka upaya tindakan konservasi yang dilakukan dapat ditentukan

berdasarkan arahan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya yang

(49)
(50)

Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Selanjutnya, menurut Kementerian Kehutanan (2002), peta klasifikasi

erosi tanah dibuat dengan menumpangtindihkan peta prediksi erosi tanah dan peta

kedalaman (solum) tanah Tabel 7. Hasil penumpangtindihan berdasarkan Tabel9,

seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 14 dan Gambar 9.

Tabel 14. Tingkat bahaya erosi dan luasannya di DAS Besitang

Erosi Tanah Deskripsi Luas

Ha %

Berdasarkan Tabel 14 diperoleh hasil bahwa tingkat bahaya erosi yang

terjadi di wilayah DAS Besitang termasuk kategori berat dengan persentase

57,22% dari luas DAS Besitang dan tingkat bahaya erosi kategori sedang dengan

persentase luas 29,50%. Berdasarkan Gambar 9, diketahui bahwa tingkat bahaya

erosi berat pada umumnya terjadi pada daerah dengan kondisi topografi yang

sangat curam (kemiringan >40%). Lahan dengan kemiringan sangat curam jika

penutupan tanah memiliki kerapatan vegetasi yang rendah maka akan

menimbulkan bahaya erosi yang besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tufaila

(2012) yang menyatakan bahwa makin besar nilai kemiringan lereng, maka

kesempatan air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) akan terhambat sehingga

volume limpasan permukaan semakin besar yang mengakibatkan terjadinya

bahaya erosi. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan yang lebih serius agar

nilai erosi yang dihasilkan tidak semakin berbahaya. Dari nilai tingkat bahaya

erosi yang diperoleh maka upaya tindakan konservasi yang akan dilakukan dapat

(51)

yang merupakan salah satu strategi konservasi tanah. Suripin (2002) dalam

A’Yunin (2008) menyatakan bahwa secara garis besar metode konservasi tanah

dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan utama, yaitu (1) secara agronomis,

(52)
(53)

Arsyad (2010) di dalam buku “Konservasi Tanah dan Air” menyatakan

bahwa tindakan konservasi berfungsi untuk mengurangi panjang lereng dan

menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah air oleh tanah, dengan

demikian erosi akan berkurang, dan penyusunan arahan tindakan konservasi lahan

yang tepat dapat mengurangi kerusakan lahan yang disebabkan oleh erosi untuk

menghindari terjadinya bencana alam dan degradasi lahan yang dapat berpotensi

mengalami kekritisan lahan sehingga menjaga kelestarian sumber daya tanah dan

air di DAS Besitang.

Untuk mengetahui tingkat kekritisan lahan di DAS Besitang dapat dilihat

pada Tabel 15 dan Gambar 10.

Tabel 15. Lahan kritis Di DAS Besitang

Tingkat Kekritisan Lahan Luas

Ha %

Tidak Kritis 29.179,27 32,73

Potensial Kritis 28.848,27 31,79

Agak Kritis 10.662,18 11,75

Kritis 7.489,01 8,25

Sangat Kritis 638,77 0,70

Total 90.734,73 100

Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular (2013)

Rukmana (2001) mengemukakan bahwa lahan kritis pada hakikatnya

adalah lahan yang keadaan fisik, kimia, dan biologi tanahnya tidak atau kurang

produktif dari segi pertanian. Berdasarkan tingkat kerusakan fisik tanah, maka

lahan kritis adalah lahan yang telah kehilangan lapisan tanah bagian atas (top soil)

yang subur akibat erosi, sehingga lahan menjadi tidak produktif. Dampak lain

yang ditimbulkan erosi adalah rusaknya fungsi hidrologis daerah aliran sungai

sehingga menimbulkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim

(54)
(55)

Pada Gambar 10 diketahui 32,73% luasan DAS Besitang merupakan

kawasan yang tidak kritis dan 31,79% merupakan kawasan potensial kritis. Lahan

potensial kritis adalah lahan yang masih berfungsi sebagai fungsi produksi dan

fungsi perlindungan. Pada lahan pertanian, lahan tersebut masih produktif bila

diusahakan untuk pertanian. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Candra

(2003) yang menyatakan bila pengelolaan lahan potensial kritis tidak

menggunakan kaedah-kaedah konservasi maka tanah akan menjadi rusak dan

lahan menjadi semi kritis atau kritis. Lahan kritis ditentukan oleh berbagai faktor,

diantaranya tingkat bahaya erosi yang terjadi pada daerah tersebut. Jika

dibandingkan peta tingkat bahaya erosi dengan peta lahan kritis yang diperoleh

dari BPDAS Wampu Sei Ular maka dapat dilihat bahwa daerah yang tingkat

bahaya erosinya sedang, pada peta kekritisan lahan termasuk pada lahan agak

kritis. Hal ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari penelitian linear

dengan data kekritisan lahan dari BPDAS. Namun ada juga beberapa keadaan

yang tidak menunjukkan hubungan demikian. Hal ini bisa saja terjadi karena nilai

dari parameter yang digunakan dalam penentuan tingkat bahaya erosi tidak sama

dengan nilai dari parameter yang digunakan dalam penentuan lahan kritis.

Lahan kritis erat pula kaitannya dengan penggunaan lahan dan kawasan

(56)
(57)

Tabel 16. Kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI SK. 579 tahun 2014 di DAS Besitang

Kriteria Luas (Ha)

Hutan Lindung (HL) 1.900,68

Hutan Produksi (HP) 10.670,25

Hutan Produksi Terbatas (HPT) 9.999,03

Hutan Suaka Alam (HSA) 37.937,76

Total 60.507,72

Sumber: Analisis data

Menurut Undang- Undang Nomor 41 tentang Kehutanan, kawasan hutan

adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor (SK. 579/Menhut-II/2014) tentang

Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara seperti yang terlihat pada Gambar 11

dan Tabel 16., kawasan hutan di DAS Besitang sebesar 60.507,72 Ha yang berarti

66,69% dari luas total DAS Besitang (90.734,73 Ha). Hal ini sudah memenuhi

Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 18 ayat 2 yang

menyatakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga

puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang

proporsional. Namun, ditemukan ketidaksesuaian penggunaan lahan berdasarkan

fungsinya dan kenyataan di lapangan. Dapat dilihat bahwa hutan lindung yang

seharusnya dilindungi namun pada kenyataannya mengalami perubahan menjadi

perkebunan, pertanian lahan kering, dan tanah terbuka. Jika hal ini terus-menerus

berlanjut maka fungsi kawasan hutan lindung mengalami penurunan luas dan

menimbulkan dampak negatif bagi lingkungannya. Konversi lahan hutan atau

penggunaan kawasan hutan sebagai lahan pertanian dan perkebunan berdampak

terhadap berkurangnya penutup lahan. Hal ini beresiko terhadap kerusakan

(58)

berfungsi melindungi tanah dari erosi. Suprayoga et al (2004) dalam Prasetia

(2007) menyatakan bahwa pada konversi lahan berhutan menjadi perkebunan

monokultur di Sumberjaya Lampung mengakibatkan laju erosi yang terjadi lebih

cepat bila dibandingkan dengan lahan yang masih berupa hutan. Dampak yang

terlihat dari perubahan penggunaan lahan ini adalah semakin bertambahnya lahan

kritis, meningkatnya erosi tanah, dan sedimentasi. Untuk itu, kawasan yang telah

ditetapkan sebagai kawasan hutan ini jelas harus dikembalikan fungsinya.

Debit Sedimen Melayang

Besarnya sedimen melayang (suspended load) dihitung dari hubungan

antara pencatatan debit dan pencatatan konsentrasi sedimen yang ada di daerah

kajian diantaranya, sungai Pekan Besitang, sungai Desa Sekoci, dan sungai Desa

Senapal. Sungai tersebut merupakan sungai yang berada di kawasan DAS

Besitang. Hasil pengukuran sedimen melayang dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Hasil perhitungan debit sedimen melayang (Qs)

Lokasi Pengambilan

Desa Pekan Besitang 7620 440,8 0,0864 290.208,61

Desa Sekoci 7450 2.466,16 0,0864 1.587.417,87

Desa Senapal 390 5.073,05 0,0864 170.941,49

Sumber: Hasil pengolahan data primer

Dengan asumsi bahwa konsentrasi sedimen merata pada seluruh bagian

penampang melintang sungai, debit sedimen melayang dihitung sebagai hasil

perkalian antara konsentrasi sedimen dan debit aliran. Berdasarkan Tabel 17 dapat

dilihat debit sedimen melayang atau debit sedimen terbesar terdapat pada lokasi

pengambilan sampel air sungai utama Desa Sekoci sebesar 1.587.417,87

(59)

sampel air sungai pada anak sungai di Desa Senapal sebesar 170.941,49

gram/detik. Debit sedimen melayang yang relatif besar di atas menggambarkan

bahwa kondisi biogeofisik sebagian besar DAS Besitang telah mengalami

gangguan. Nilai debit sedimen melayang dan perhitungannya dapat dilihat pada

Lampiran 3. Pemilihan lokasi pengambilan sampel merupakan hal penting yang

harus diperhatikan karena kesesuaian lokasi akan berpengaruh terhadap akurasi

hasil pengukuran. Rahayu dkk (2009) dalam buku Monitoring Air di Daerah

Aliran Sungai, menjelaskan bahwa kriteria lokasi yang ideal untuk melakukan

pengukuran, diantaranya pada lokasi tersebut tidak ada pusaran air, profil sungai

rata tanpa ada penghalang aliran air, arus sungai terpusat dan tidak melebar saat

tinggi muka air naik, dan khusus untuk pengukuran pada sungai besar harus ada

(60)
(61)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tingkat bahaya erosi pada DAS Besitang memiliki kelas tingkat bahaya erosi:

-tingkat bahaya erosi sangat ringan yaitu 0

-tingkat bahaya erosi ringan 0,59 ha (0,00%)

-tingkat bahaya erosi sedang 26.765,69 ha (29,50%)

-tingkat bahaya erosi berat 51.916,83 ha (57,22%)

-tingkat bahaya erosi sangat berat 12.051,58 ha (13,28%)

2. Laju erosi dominan yang terjadi di DAS Besitang termasuk dalam kelas II

15-60 ton/ha/thn atau termasuk dalam kelas bahaya erosi rendah (51.916,83 ha atau

57,22% dari luas DAS Besitang)

3. Hasil perhitungan debit sedimen melayang DAS Besitang

-debit sedimen melayang di Desa Pekan Besitang sebesar 290.208,61 gr/detik

-debit sedimen melayang di Desa Sekoci 1.587.417,87 gr/detik

-debit sedimen melayang di Desa Senapal 170.941,49 gr/detik

Debit sedimen melayang tertinggi terjadi di Desa sekoci dan yang terndah pada

sungai Desa senapal.

Saran

1. Dengan persentase tingkat bahaya erosi kategori berat yang cukup besar, maka

kondisi ini perlu dikendalikan dan dilakukan tindakan konservasi yang sesuai

untuk menekan kemungkinan terjadinya erosi dan sedimentasi yang lebih besar di

DAS Besitang. Pada daerah yang mempunyai tingkat bahaya erosi kategori berat

(62)

diolah secara intensif untuk mengurangi erosi, daerah dengan lereng curam -

sangat curam akan lebih bermanfaat jika dijadikan kawasan lindung sehingga

menjadi daerah resapan air yang meningkatkkan infiltrasi air hujan dan nantinya

air hujan akan tersimpan kedalam tanah sehingga mengurangi aliran permukaan

yang menyebabkan erosi

2. Melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan minimal secara vegetatif

dengan cara melakukan penanaman pohon atau memanfaatkan sisa – sisa dari

tumbuhan untuk mengurangi jumlah dan kecepatan aliran air permukaan sehingga

penutupan lahan tetap terjaga dan mampu mengikat butiran tanah lebih kuat untuk

(63)

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air,

pasal 1, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai “suatu wilayah

daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,

yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari

curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan

pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih

terpengaruh aktivitas daratan”.

Secara biogeofisik daerah hulu dimaksudkan sebagai daerah konservasi,

dengan karakteristik memiliki kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah

dengan kemiringan lereng besar (>15%), bukan daerah banjir, pengaturan

pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan vegetasi umumnya adalah

tegakan hutan. Sedangkan daerah DAS bagian hilir merupakan daerah

pemanfaatan, mempunyai kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah

dengan kemiringan lereng kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan daerah

banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan

vegetasi umumnya adalah tanaman pertanian kecuali daerah pantai yang

didominasi hutan bakau atau gambut. DAS bagian tengah merupakan daerah

transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang di atas dengan ciri utama

penggunaan lahannya berupa lahan budidaya tanaman tahunan (perkebunan,

(64)

Erosi dan Sedimentasi pada DAS

Erosi merupakan proses dimana tanah, bahan mineral dilepaskan dan

diangkut oleh air, angin atau gaya berat. Tanah longsor dan batu-batuan

berjatuhan (mass wastage) merupakan akibat dari gaya berat yang makin

ditingkatkan oleh air (Arief, 2001).

Karena DAS merupakan suatu ekosistem, maka akan terjadi saling

interaksi dalam sistem tersebut. Hujan yang jatuh di suatu DAS akan mengalami

interaksi dengan komponen-komponen ekosistem DAS tersebut dan akan

menghasilkan keluaran berupa debit, muatan sedimen, dan material lainnya yang

terbawa oleh aliran sungai. Terdapat hubungan antara erosi di daerah tangkapan

air dan besarnya sedimentasi yang terpantau di aliran sungai bagian bawah daerah

tangkapan tersebut yang juga berkaitan erat dengan sistem hidrologi. Curah hujan,

jenis tanah, kemiringan lereng, vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai

peranan penting dalam berlangsungnya proses erosi-sedimentasi

(Rauf, dkk, 2011).

Menurut Linsley, dkk (1996), erosi dan sedimentasi merupakan proses

penting dalam pembentukan suatu daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki

konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan

sedimentasi secara alami akan mempengaruhi pembentukan landskap suatu DAS

dan sebaliknya bentuk dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh

terhadap laju erosi dan sedimentasi.

Erosi merupakan faktor eksternal penyebab tanah-tanah pertanian menjadi

sakit atau bahkan mati. Erosi pada awalnya akan memindahkan bahan organik dan

(65)

kemudian diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan.

Erosi yang terus berlanjut akan mengikis permukaan tanah atau bagian tanah yang

lembut (horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon

R (batuan induk) muncul ke permukaan (Arsyad, 2010).

Aktivitas bercocok tanam yang tidak atau kurang mengindahkan

kaidah-kaidah konservasi di hulu DAS telah mengakibatkan proses sedimentasi yang

serius pada sungai bagian hilir DAS yang bersangkutan. Besarnya proses

sedimentasi yang berlangsung di dalam waduk/sungai, tidak hanya mempengaruhi

kualitas dan umur pakai waduk, tetapi juga mengakibatkan terjadinya

pendangkalan pada saluran-saluran irigasi yang mendapatkan aliran air dari

waduk/sungai tersebut (Rauf dkk, 2011).

Sedimentasi atau pengendapan adalah proses pengendapan sedimen yang

dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada

suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Sedimen adalah hasil

proses erosi yang mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan

banjir, di saluran air, sungai dan waduk. Hasil sedimen (sediment yield) adalah

besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air

yang diukur pada periode tertentu. Secara garis besar, sedimen dibedakan menjadi

dua jenis yaitu sedimen melayang (suspended sediment) dan sedimen merayap

(bedload) (Loebis, dkk, 1993).

Faktor yang Mempengaruhi Erosi

Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi. Morgan (1979)

(66)

diantaranya : curah hujan, aliran permukaan, jenis tanah, lereng, penutup tanah,

jumlah penduduk dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah.

Rauf, dkk (2011) menyatakan bahwa pada dasarnya erosi yang terjadi

adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah

dan tindakan manusia terhadap tanah, yang dapat dinyatakan dalam suatu

persamaan deskriptif berikut :

� =� (�,�,�,�,�)

dengan E adalah erosi, i adalah iklim, r adalah relief atau topografi, v adalah

vegetasi atau tumbuh-tumbuhan, t adalah tanah dan m adalah manusia. Persamaan

tersebut mengandung dua jenis variabel yaitu (1). Faktor-faktor yang dapat diubah

oleh manusia seperti tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atas tanah (v), sebagian

sifat-sifat tanah (t) yaitu kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas

infiltrasi, dan satu unsur topografi (r) yaitu panjang lereng, dan (2). Faktor-faktor

yang tidak dapat diubah oleh manusia seperti iklim (i), tipe tanah, dan kecuraman

lereng.

a. Iklim

Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah

hujan. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan

dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan

kerusakan erosi. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu

areal tertentu. Oleh karena itu besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter

kubik (m3) per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air

(67)

hujan atau untuk masa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim, atau per

tahun (Sinukaban, 1986).

b. Topografi

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling

berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Unsur lain yang berpengaruh

adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Kemiringan lereng dinyatakan

dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 450.

Semakin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan dan energi angkut air

akan semakin besar. Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran

permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau

dimana kemiringan lereng berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran

air berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di ujung

lereng. Dengan demikian berarti lebih banyak air yang mengalir dan makin besar

kecepatannya di bagian bawah lereng daripada di bagian atas sehingga tanah di

bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin

panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi

air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi

mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula

(Wischmeier dan Smith, 1978).

c. Vegetasi

Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau

rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap

erosi. Karena kebutuhan manusia akan pangan, sandang dan pemukiman semua

(68)

terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a)

intersepsi hujan oleh tajuk tanaman; (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan

dan kekuatan perusak air; (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang

berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas

struktur dan porositas tanah; dan (d) transpirasi yang mengakibatkan kandungan

air tanah berkurang (Arsyad, 1989).

Intersepsi hujan oleh vegetasi mempengaruhi erosi melalui dua cara yaitu

a) mempengaruhi jumlah air yang sampai ke tanah sehingga dapat mengurangi

aliran permukaan dan b) mempengaruhi kekuatan perusak butir-butir hujan yang

menimpa tanah (Arsyad, 2010).

Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air dapat

dilakukan dengan adanya tumbuhan yang merambat di permukaan tanah.

Tumbuhan seperti ini berperan sebagai penghambat aliran permukaan. Sedangkan

pohon-pohon yang jarang tegaknya, kecil sekali pengaruhnya terhadap kecepatan

aliran permukaan. Tumbuhan yang merambat di permukaan tanah dengan rapat

tidak hanya memperlambat aliran air tetapi juha mencegah pengumpulan air

secara cepat. Tumbuhan merambat mengurangi daya penguras atau daya hancur

dan daya angkut air (Banuwa, 2013).

Pengaruh akar tumbuhan dan kegiatan biologi tanah dalam memperbaiki

porositas dan stabilitas agregat dilakukan melalui pembentukan agregat-agregat

tanah yang dimulai dengan penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh akar

tanaman. Akar tanaman masuk ke dalam bongkah dan menimbulkan

tempat-tempat lemah kemudian terpisah menjadi butir-butir sekunder. Akar-akar

(69)

kimia. Akar-akar serabut mengikat butir-butir primer tanah, sedangkan sekresi dan

bagian tanaman yang terombak memberikan senyawa-senyawa kimia yang

berfungsi sebagai pemantap agregat (Arsyad, 1989).

d. Tanah

Menurut Arsyad (1989) berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan

terhadap erosi yang berbeda. Kepekaan erosi tanah yaitu mudah atau tidaknya

tanah tererosi dan merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan

kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1).

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas

menahan air dan (2). Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahan struktur tanah

terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran

permukaan. Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah a. tekstur,

b. struktur, c. bahan organik, d.kedalaman, e.sifat lapisan, f.tingkat kesuburan

tanah.

Tekstur adalah ukuran dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer

bagian mineral tanah. Butir-butir primer terbagi dalam liat (clay), debu (silt), dan

pasir (sand). Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil

mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut dalam, maka

erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas

infiltrasi yang cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan maka

butir-butir halus akan mudah terangkut (Kemenhut, 2013).

Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat

tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan

permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya

(70)

mempunyai struktur yang mantap yaitu tidak mudah terdispersi maka infiltrasi

masih cukup besar sehingga aliran permukaan dan erosi tidak begitu hebat

(Banuwa, 2013).

Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butir sekunder atau agregat.

Susunan butir-butir primer tersebut menentukan tipe struktur. Tanah-tanah yang

berstruktur kersai atau granular lebih terbuka dan lebih sarang dan akan menyerap

air lebih cepat daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya

lebih rapat. Terdapatnya dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya

dengan erosi. Pertama adalah sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya

flokulasi, dan aspek yang kedua adanya bahan pengikat butir-butir primer

sehingga terbentuk agregat yang mantap (Arsyad, 1989).

Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur

yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan

perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami

pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi.

Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan

tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran

permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan

terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan

agregat tanah (Dariah, dkk, 2004).

Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi

daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan

kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan

(71)

oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler

dan permeabel kurang peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan

bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah (Arsyad, 2010).

Perbaikan kesuburan tanah akan memperbaiki pertumbuhan tanaman.

Pertumbuhan tanaman yang lebih baik akan memperbaiki penutupan tanah yang

lebih baik dan lebih banyak sisa tanaman yang kembali ke tanah setelah panen.

Kepekaan tanah terhadap erosi atau kepekaan erosi tanah yang menunjukkan

mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik

dan kimia tanah. Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan

keseluruhan pengaruh sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor

penyebab erosi lainnya (Arsyad, 1989).

e. Manusia

Pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah tanah yang

diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif

secara lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan

memperlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana

sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk

jangka waktu yang tidak terbatas (Banuwa, 2013).

Perkembangan mengenai perumusan persamaan erosi dimulai sejak tahun

1940-an, diawali dengan prediksi kehilangan tanah di suatu lahan pertanian.

Dalam memperkirakan besarnya erosi pada suatu lahan, perlu diketahui data

mengenai jumlah kehilangan tanah yang ada di suatu tempat. Perkiraan besarnya

erosi terkait oleh faktor-faktor topografi/Geologi, vegetasi dan meteorologi.

(72)

metode yang bersifat umum. Terdapat beberapa model perhitungan laju erosi yang

kemudian dikembangkan untuk lebih meningkatkan nilai keakuratan serta analisa

pada kondisi lahan yang lebih spesifik. Menurut Sandra et all (1995) model-model

tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Metode USLE (Universal Soil Loss Equation)

Universal Soil Loss Equation (USLE) dikembangkan pertama kali di

USDA-SCS (United State Department of Agriculture-Soil Conversation Services)

bekerjasama dengan Universitas Purdue. Metode ini memiliki persamaan yang

sederhana dan bersifat umum untuk suatu lahan, baik lahan pertanian maupun

non-pertanian atau campuran. USLE baik untuk digunakan pada perhitungan erosi

dalam jangka waktu yang lama.

2. Sediment Delivery Ratio (SDR)

Pada kasus tertentu seperti terutama untuk daerah tangkapan air yang

belum diketahui besarnya komponen-komponen rumus USLE, perlu dilakukan

perkiraan nilai erosi yang lebih sederhana tetapi masih bisa

dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara perkiraan besarnya erosi yang dimaksud

adalah dengan memanfaatkan data debit, muatan sedimen, berat jenis tanah dan

nisbah pelepasan sedimen.

3. Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE)

Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE) dikembangkan oleh

USDA Agricultural research service. Model ini meningkatkan keakuratan dari

model sebelumnya yaitu Teori USLE. Dalam mengestimasi atau memperkirakan

efek yang timbul akibat berbagai sistem konservasi tanah pada lahan rawan erosi.

Gambar

Tabel 1. Wilayah administrasi DAS Besitang
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Tabel 3. Kode Permeabilitas Profil Tanah Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam)
Tabel 6. Distribusi erosi tanah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagi Rekanan yang merasa keberatan atas Hasil Pelelangan Pemilihan Langsung tersebut di atas, diberi kesempatan untuk mengajukan Sanggahan secara terfulis kepada

Mengadakan perlawanan terhadap Belanda meskipun suaminya (Teuku Umar) telah gugur dalam pertempuran

Perumahan Dinas Cipta Karya Dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah sejak Tanggal 28 Juni 2011 sampai dengan Tanggal 6 Juli 2011. Demikian atas perhatian dan

Perumahan Dinas Cipta Karya Dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah sejak Tanggal 5 Juli 2011 sampai. denganTanggal ll Juli

• Investment portfolio consist of shares, bonds, and money market instruments.... When

✓ PT Bintraco Dharma Tbk Bintraco or the Co pa y is a leading automotive dealer in Indonesia especially in Central Java and Daerah Istimewa Yogyakarta (except Kudus and Jepara) and

[r]

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/W16, 2011 ISPRS Trento 2011 Workshop, 2-4 March 2011, Trento,