Lampiran 1. Data Curah Hujan Stasiun KC Batang Serangan
Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total
2004 0 206 21 0 63 257 0 348 408 325 315 0 1.943
2006 102 136 117 410 626 2.438 1.459 3.260 258 530 180 484 10.000
rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) : 3.464 curah hujan bulanan (cm/bln) : 28,87 curah hujan bulanan (mm/bln) : 288,67
Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total
2004 0 135,2856 6,061924 0 27,00819 182,7685 0 276,0197 342,6811 251,5091 241,0431 0 1.462,377 2005 230,696 23,0106 61,22677 110,0616 253,6163 193,4887 142,4804 69,32601 162,7618 276,0197 391,5266 379,7414 2.293,956 2006 52,0102 76,91396 62,67943 344,9676 613,3853 3.897,249 1.938,686 5.785,864 183,7363 489,111 112,6063 432,2967 13.989,51
2007 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2008 0,24764 2.367,654 110,0616 7,269082 626,7494 38,01298 10,29542 0 0 0 0 0 3.160,29
Sumber: BPSSumut
Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total
rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) : 2.104,4 curah hujan bulanan (cm/bln) : 17,54 curah hujan bulanan (mm/bln) :
2011 90,28 0,00 106,69 16,58 75,38 96,76 91,08 52,01 112,61 316,68 235,85 64,88 1.258,78
rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) :
1980,7 curah hujan bulanan (cm/bln) : 16,51
Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total
2004 22,45 42,55 121,20 1,91 47,22 103,35 22,45 89,47 76,91 64,14 220,47 45,20 857,34
2005 86,29 16,58 15,06 60,50 127,31 92,69 142,48 83,92 87,08 123,81 178,91 217,43 1.232,05 2006 19,19 30,57 122,94 61,23 102,52 320,04 60,50 74,62 222,51 193,49 8078 193,49 1.48187 2007 63,41 73,85 53,40 121,20 247,31 87,88 176,03 61,23 109,22 106,69 151,61 264,22 1.516.05 2008 17,61 32,39 136,18 207,36 57,64 57,64 155,30 23,57 159,02 230,70 224,55 131,73 1.433,67 2009 153,45 19,72 130,84 87,88 160,89 20,80 90,28 116,88 161,82 128,19 42,55 173,17 1.286,48
2010 47,22 1,36 7,27 68,58 91,88 185,68 127,31 76,91 118,60 72,34 135,29 117,74 1.050,18
2011 41,24 0,00 183,74 52,01 12,62 217,43 54,10 116,88 126,43 235,85 87,88 81,57 1.209,74 2012 62,68 17,09 13,10 211,37 13,10 55,51 85,50 56,92 139,77 215,40 140,67 106,69 1.117,80 2013 156,23 95,12 41,89 58,35 51,32 44,53 34,24 133,50 142,48 145,20 130,84 734,93 1.768,64 Total 669,77 329,23 825,61 930,40 911,80 1.185,54 948,19 833,91 1.343,85 1.515,82 1393,55 2.066,16 12.953,82 Rata-rata 66,98 32,92 82,56 93,04 91,18 118,55 94,82 83,39 134,39 151,58 139,35 206,62 1.295,38 Sumber: BPS Sumut
BPP Besitang
Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total
2004 222 265 240 70 440 402 222 180 76 181 205 76 2.579
2005 152 60 70 70 115 147 195 180 171 215 200 315 1.890
2006 90 49 110 153 195 412 113 156 180 306 176 108 2.048
2007 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2008 0 4 67 234 95 191 346 52 0 151 155 276 1.571
2010 145 23 47 37 93 241 180 196 289 70 301 191 1.813
rata-rata curah hujan tahunan (mm/thn) : 1.827,9
curah hujan bulanan (cm/bln) : 15,23
curah hujan bulanan (mm/bln) : 152,33
Tahun Januari Februari Maret April Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total
No.
Prediksi Erosi (A) Sampel
Lampiran 3. Data perhitungan debit sedimen (Qs)
1. Desa Pekan Besitang Qw = A x V
= 36,25 m2 x 12,16 m/s = 440,8 m3/s
Qs = Qw x Cs x K
= 440,8 m3/s x 7620 mg/l x 0,0864 = 290.208,61 gr/s
2. Desa Sekoci Qw = A x V
= 58 m2 x 42,52 m/s = 2.466,16 m3/s Qs = Qw x Cs x K
= 2.466,16 m3/s x 7450 mg/l x 0,0864 = 1.587.417,87 gr/s
3. Desa Senapal Qw = A x V
= 105,25 m2 x 48,20 m/s = 5.073,05 m3/s
Qs = Qw x Cs x K
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A.2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor : Serial Pustaka IPB Press.
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press. Yogyakarta.
Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
A’Yunin, Q. 2008. Prediksi tingkat bahaya erosi dengan metode USLE di lereng timur Gunung Sindoro. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Banuwa, I. S. 2013. Erosi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Candra, A. 2003. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu Kabupaten/Kota Bogor Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Chrisman, N.R. 2005. Communities of Scholars: Places of Leverage in the History of Automated Cartography. Cartography and Geographic Information Science 35 (4) 425 ‐ 433
Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto dan S. Marwan. 2004. Kepekaan tanah terhadap erosi. Jurnal Akta Agrosia Vol.8, No.2.
ESRI. 1996. ArcView GIS : Installation Guide. Environmental System Research Institute, Inc. California.
Hardjowigeno, 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pessindo. Jakarta
Irsan, M. 2011. Kajian kerawanan banjir di wilayah DAS Padang menggunakan sistem informasi geografis. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Jayusri. 2012. Analisa potensi erosi pada DAS Belawan menggunakan sistem informasi geografis. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Identifikasi Karakteristik Daerah Aliran Sungai. Nomor : P.3/V-SET/2013. Jakarta.
Linsley, R. K., M. A. Kohler and L. H. Paulhus. 1996. Hidrology for Enginerss. International Edition. Mc Graw Hill Book Company. New York.
Loebis, J., Soewarno, Suprihadi. B. 1993. Hidrologi Sungai. Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.
Manyiwa, T dan O. Dikinya. 2013. Using universal soil loss equation and soil erodibility factor to assess soil erosion in Tshesebe village, north east Botswana. African Journal of Agricultural Research Vol. b (30).pp. 4170-4178 hal 4173.
Martono. 2004. Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng terhadap Laju Kehilangan Tanah pada Tanah Regosol Kelabu. Universitas Diponegoro. Skripsi. Semarang.
Morgan, R.P.C. 1979. Soil Erosion. National College of Agricultural Engineering. Bedfordshire, Longman. London and New York.
Muklis, 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU-Press. Medan.
Prasetia, B. T. 2007. Hubungan Antara Populasi Penduduk dengan Deforestasi, Penggunaan Lahan, Erosi, dan Penurunan Nutrisi Tanah. Skripsi. Bogor.
Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring air di daerah aliran sungai. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - Southeast Asia Regional Office. 104 p
Rahim, S.E. 2006. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Rahmawaty, T. R. Villanueva, M. G. Carandang. 2011. Parcipatory Land Use Allocation, Case Study in Besitang Watershed, Langkat, North Sumatra, Indonesia. Lambert Academic Publishing. Jerman.
Rauf, A., K. S. Lubis, Jamilah. 2011. Dasar-dasar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. USU Press. Medan.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara RI Tahun 1999. Sekretariat Negara. Jakarta.
Rukmana. 2001. Teknik Pengelolaan Lahan Kering Berbukit dan Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Sandra, David, Thomas. 1995. A Geographic Information System ToPredict Soilerosion Potential In Rural Transportation Construction Project. www.Mackblackwell.org. Arkansas.
Sasongko, Dj. 1991. Teknik Sumber Daya Air Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Saud, I. 2008. Prediksi sedimentasi Kali Mas Surabaya. Jurnal Aplikasi ISSN. 1907-753X Vol 4:1.
Sinukaban, N. 1986. Dasar-dasar Konservasi Tanah dan Perencanaan Pertanian Konservasi. Jurusan tanah, Institut Pertanian. Bogor.
Sulistyaningrum, et al. Pengaruh karakteristik fisika-kimia tanah terhadap nilai indeks erodibilitas tanah dan upaya konservasi lahan. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Syofyan, A. 2010. Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Di Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu). Medan.
Tufaila, M. 2012. Analisis spasial tingkat bahaya erosi di daerah aliran sungai (DAS) Moramo dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS).
Jurnal Agroteknos ISSN.2087-7706 Vol 2:3 hal 134-142
Utomo, W.H. 1989. Konservasi Tanah di Indonesia. Rajawali Press. Jakarta.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember
2014. Pengambilan sampel tanah dan air sungai dilakukan pada bulan Mei 2014
dan analisis data dilakukan pada bulan Juni 2014 sampai Desember 2014.
Penelitian dilaksanakan kawasan DAS Besitang, Kabupaten Langkat (Gambar 1
dan Tabel 1). Analisis sifat fisik tanah dan air dilakukan di Laboratorium Riset
dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengelolaan dan
analisis data dilakukan di Laboratorium Manajemen Terpadu, Program Studi
Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Tabel 1. Wilayah administrasi DAS Besitang
KECAMATAN KABUPATEN/KOTA LUAS
Ha %
Batang Serangan Langkat 2.954,16 3,26
Besitang Langkat 65.675,98 72,43
Brandan Barat Langkat 499,61 0,55
Pangkalan Susu Langkat 21.226,82 23,41
Sei Lepan Langkat 322,40 0,35
Total 90.678,97 100
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning
System (GPS), bor tanah, ring sampel tanah, meteran, pita ukur, turbidimeter,
kantong plastik, plastik kiloan, kertas label, karet gelang, parang, cutter, botol
plastik, sekop semen, broti, kamera digital dan perangkat komputer. Bahan yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah contoh tanah, contoh air, peta administrasi,
peta tanah, peta geologi, peta kemiringan/kelerengan, peta penutupan dan
penggunaan lahan, dan data sekunder curah hujan selama 10 tahun terakhir.
Prosedur Penelitian
Prosedur untuk tingkat bahaya erosi dan sedimentasi dapat dirinci menjadi
empat tahap yaitu:
1. Tahap persiapan penelitian
2. Tahap pelaksanaan penelitian di lapangan
3. Tahap analisis tingkat bahaya erosi dan sedimentasi
4. Analisis spasial
1. Tahap persiapan penelitian
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini berupa telaah pustaka,
pengumpulan data sekunder berupa data curah hujan, peta-peta yang dibutuhkan
yaitu peta penutupan dan penggunaan lahan, peta administrasi, peta solum, peta
tanah, peta kemiringan/kelerengan, peta morfologi, dan peta geologi yang
stasiun selama 10 tahun terakhir yang diperoleh dari BMKG, serta persiapan alat
dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Penentuan satuan lahan
Satuan lahan ditentukan dengan menumpangtindihkan (overlay) berbagai
parameter lahan yang dapat dipetakan. Pada pendekatan sekarang, satuan lahan
didefinisikan sebagai area homogen dalam beberapa parameter fisik lahan yang
dapat diidentifikasikan langsung di lapangan. Parameter yang dipilih dalam
penelitian ini ialah jenis tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan
penutupan lahan. Bila salah satu parameter berubah maka satuan lahan akan
berubah pula. Peta satuan lahan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai peta
acuan dasar dalam pembuatan peta tingkat bahaya erosi dan sedimentasi.
2. Tahap pelaksanaan penelitian di lapangan
Kegiatan pada tahap ini berupa pengumpulan data primer yang meliputi
parameter fisik yang dapat diukur di lapangan yaitu kedalaman tanah, kecepatan
aliran air, kekeruhan air sungai, luas dan bentuk penampang dasar sungai.
Pengambilan sampel tanah untuk dianalisis di laboratorium berupa tekstur lapisan
tanah, permeabilitas, bahan organik, bulk density, dan struktur tanah. Pengambilan
sampel air sungai untuk dianalisis konsentrasi sedimen melayang atau muatan
layang (suspended load).
Sampel tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode acak. Sampel tanah
diambil harus representatif atau mewakili sehingga analisis yang dilakukan
lapangan sebenarnya. Agar contoh representatif, maka contoh tanah diambil
dengan metode zig-zag, dimana setiap titik diambil kira-kira 1-2 kg
(Muklis, 2007). Pengambilan sampel tanah dilakukan dalam dua bentuk, yaitu
tanah utuh (tanah tidak terganggu) dengan menggunakan ring sampel dan tanah
biasa (tanah terganggu) dengan menggunakan bor tanah. Contoh tanah terganggu
diambil untuk analisis tekstur dan bahan organik tanah. Cara pengambilan sampel
tanah terganggu dengan menggunakan bor tanah. Contoh tanah tidak terganggu
diambil untuk analisis sifat fisika tanah yaitu permeabilitas, kerapatan isi (bulk
density), dan struktur tanah.
Teknik pengambilan sampel tanah tidak terganggu:
- Menentukan titik pengambilan sampel.
- Membersihkan permukaan tanah dari rumput atau serasah.
- Meletakkan ring sampel kemudian tekan hingga seluruh bagian ring masuk ke
dalam tanah.
- Mengangkat ring sampel tanpa merusak sampel tanpa merusak sampel.
Teknik pengambilan sampel tanah terganggu:
- Menentukan titik pengambilan sampel.
- Membersihkan permukaan tanah dari rumput atau serasah.
- Tanah dibor menggunakan bor tanah sampai kedalaman 20 hingga 30 cm
sebanyak tiga lubang, lalu dikompositkan dan diambil sebanyak 1 kg.
Untuk memperoleh kedalaman efektif tanah, dilakukan pemboran hingga
mencapai batuan dengan menggunakan bor tanah.
Pengambilan sampel air dimaksudkan untuk pengukuran uji konsentrasi
sedimen/sedimen melayang yang terbawa oleh aliran sungai di DAS Besitang.
Sampel air diambil menggunakan botol pada tiga titik, yaitu bagian tepi kiri, tepi
kanan, dan bagian tengah sungai. Kemudian dilakukan pengujian tingkat
kekeruhan air menggunakan alat turbidimeter. Sebagai data penunjang, dilakukan
juga pengukuran kecepatan arus sungai menggunakan current meter dan luas
penampang basah.
3. Tahap analisis tingkat bahaya erosi dan sedimentasi
Parameter-parameter yang dianalisis di laboratorium adalah tekstur tanah,
struktur tanah, bahan organik tanah, kerapatan isi (bulk density), permeabilitas,
dan konsentrasi sedimen melayang atau muatan layang. Data yang telah diperoleh
dari laboratorium kemudian diolah dan dihitung sesuai rumus yang digunakan.
Perhitungan (prediksi) erosi menggunakan persamaan USLE
Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah suatu persamaan untuk
memperkirakan kehilangan tanah yang telah dikembangkan oleh Wichmeier dan
Smith tahun 1978. USLE mempunyai kelebihan yaitu variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap besarnya kehilangan tanah dapat diperhitungkan secara
terperinci dan berpisah. Berdasarkan persamaan kehilangan tanah yang
dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978) maka, dapat dirumuskan sebagai
berikut :
A = R × K × LS × CP
Keterangan:
A = Besarnya erosi yang diperkirakan (ton/ha/tahun) R = Faktor erosivitas hujan
LS = Faktor topografi (kelerengan)
CP = Faktor penggunaan dan pengelolaan tanaman
Masing-masing faktor tersebut akan ditentukan nilainya dengan
mempergunakan rumus, seperti berikut ini:
Faktor erosivitas hujan (R)
Data curah hujan diperoleh dari stasiun pengamatan hujan lokasi penelitian
selama 10 tahun terakhir. Data curah hujan ini digunakan untuk mengetahui faktor
erosivitas hujan (R) melalui persamaan Lenvain (1975) dalam Rahmawaty, et al
(2011):
R = 2,21(����)m1,36
Keterangan:
R = Erosivitas curah hujan bulanan (Rain)m = Curah hujan bulanan (cm)
Faktor erosivitas curah hujan tahunan dapat dihitung dengan menjumlahkan faktor
erosivitas curah hujan bulanan dalam satu tahun (12 bulan). Setelah mengetahui
faktor erosivitas (R), dilakukan analisis distribusi curah hujan menggunakan
metode Thiessen Polygons yang diolah dalam aplikasi ArcView GIS 3.3.
Faktor erodibilitas tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah dihitung dengan
persamaan Arsyad (1989) dalam Rahmawaty, et al (2011):
K = 0,027M1,14 (10)−4 (12−BO) + 0,0325 (A−2) + 0,025 (B−3)
Keterangan:
K = faktor erodibilitas tanah dalam ton/ha
M = ukuran partikel yaitu (% Debu) (100-% Liat) BO = bahan organik tanah (% C x 1,724)
A = kode struktur tanah (Tabel 2)
B = kode permeabilitas profil tanah (Tabel 3)
Tabel 2. Kode Struktur Tanah
Granuler sangat halus (< 1 mm) 1
Granuler halus (1 hingga 2 mm) 2
Granuler sedang sampai kasar (2 hingga 10 mm) 3
Kubus/gumpal, gumpal bersudut, plat, masif 4
Sumber : Arsyad (2010);Banuwa (2013)
Tabel 3. Kode Permeabilitas Profil Tanah
Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode
Sangat Lambat < 0,5 6
Lambat 0,5 hingga 2,0 5
Lambat sampai sedang 2,0 hingga 6,3 4
Sedang 6,3 hingga 12,7 3
Sedang sampai cepat 12,7 hingga 25,4 2
Cepat > 25,4 1
Sumber : Arsyad (2010); Banuwa (2013)
Faktor Topografi (LS)
Faktor ini merupakan gabungan antara pengaruh panjang dan kemiringan
lereng. Nilai LS dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan faktor
kemiringan, sedangkan faktor panjang lereng diabaikan karena sulit mendapatkan
atau menghitung panjang lereng.
Data kemiringan lereng dalam penelitian ini bersumber dari peta
kelerengan DAS Wampu oleh BPDAS Wampu Sei Ular. Untuk memperoleh nilai
LS, kemiringan lereng dipadankan dengan Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Kelas Kemiringan dan Nilai LS
Kelas Kemiringan (%) Deskripsi Nilai LS
1 0 – 8 Datar 0,4
2 8 – 15 Landai 1,4
3 15 – 25 Agak Curam 3,1
4 25 – 40 Curam 6,8
5 > 40 Sangat Curam 9,5
Sumber: Kementerian Kehutanan (2006) dalam Rahmawaty, et al (2011)
Faktor Pengelolaan Lahan (CP)
Nilai C dan P adalah faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi
lahan yang sangat berpengaruh terhadap laju erosi permukaan/DAS. Dalam
Tabel 5.
Tabel 5. Nilai CP untuk berbagai penggunaan lahan
No Tata Guna Lahan Nilai CP
1 Belukar Rawa 0,010
2 Rawa 0,010
3 Semak/Belukar 0,300
4 Pertanian Lahan Kering Campur 0,190
5 Pertanian Lahan Kering 0,280
6 Perkebunan 0,500
7 Pemukiman 0,950
8 Hutan Lahan Kering Sekunder 0,010
9 Hutan Mangrove Sekunder 0,010
10 Hutan Rawa Sekunder 0,010
Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular dalam Jayusri (2012)
Hasil akhir yang diperoleh dari perhitungan faktor-faktor tersebut di atas
merupakan nilai prediksi erosi yang terjadi pada suatu lahan tertentu
(ton/ha/tahun). Distribusi nilai erosi tanah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa
kelas seperti pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Distribusi erosi tanah
Kelas Deskripsi Prediksi Erosi (Ton/Ha/Tahun)
I Sangat Rendah <15
II Rendah 15-60
III Sedang 60-180
IV Tinggi 180-480
V Sangat Tinggi >480
Penentuan Tingkat Bahaya Erosi
Menurut Kementerian Kehutanan (2005) dalam Rahmawaty, et al. (2011),
klasifikasi erosi tanah diperoleh dengan menumpangtindihkan (overlay) peta
prediksi erosi tanah dan peta kedalaman tanah (Tabel 7).
Tabel 7. Klasifikasi erosi tanah berdasarkan prediksi erosi dan kedalaman tanah
Kedalaman Tanah (cm)
Kelas Laju Erosi (Ton/Ha/Thn) I
Sumber: Kementerian Kehutanan (2005)
4. Analisis spasial
Analisis spasial dilakukan dengan menumpangtindihkan (overlay) semua
individu-individu peta (peta R, peta K, peta LS, dan peta CP), kemudian
mengalikan faktor RKLSCP untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan
digunakan untuk analisis erosi melalui data atributnya yakni data tabular. Analisis
spasial dengan menggunakan software Sistem Informasi Geografis yaitu ArcView
GIS 3.3. Masing-masing peta yang digunakan dalam analisis ini dalam bentuk
shape-file (shp) dan dibuat dengan skala yang sama. Overlay tahap I
menggunakan peta erosivitas (R), peta erodibilitas (K), peta topografi (LS), dan
peta penggunaan lahan (CP). Hasil overlay keempat peta ini adalah peta distribusi
erosi. Peta distribusi erosi dioverlaykan dengan peta solum tanah, sehingga
diperoleh peta tingkat bahaya erosi. Peta tingkat bahaya erosipada unit-unit lahan
Analisis sedimen
Secara garis besar sedimen dibedakan menjadi dua jenis yaitu sedimen
melayang (suspended sediment/load) dan sedimen merayap (bedload).
Pengukuran muatan sedimen atau sedimen melayang dilakukan dengan cara
pengambilan sampel air dengan alat sedimen sampler. Di laboratorium sampel air
disaring dengan menggunakan kertas saring dan dikeringkan dengan
menggunakan oven lalu ditimbang dan dinyatakan dalam persentase dari berat
total gabungan air dan sedimen. Besarnya sedimen melayang (suspended load)
dapat dihitung dari hubungan antara pencatatan debit dan pencatatan konsentrasi
sedimen yang ada di daerah kajian.
Dengan asumsi bahwa konsentrasi sedimen merata pada seluruh bagian
penampang melintang sungai, debit sedimen melayang dapat dihitung sebagai
hasil perkalian antara konsentrasi sedimen dan debit aliran yang dirumuskan
dengan persamaan Strand (1982:7) dalam Saud (2008).
Qs=Qw ×Cs×K
Keterangan :
Qs = Debit muatan layang / debit sedimen (g/s)
Cs = Konsentrasi muatan layang atau konsentrasi sedimen (mg/l) Qw = Debit aliran sungai (m3/s)
Debit aliran sungai (Q = A x V)
Alur dalam pelaksanaan metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Alur Penelitian Mulai
- Peta kelas lereng
- Peta kedalaman tanah
- Peta penutupan dan penggunaan lahan
- Data curah hujan 10 tahun terakhir
Perhitungan dan pengolahan data (Manual dan menggunakan ArcView GIS 3.3)
Peta R
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum DAS Besitang
Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03º 45’ 00’’ sampai 04 º15’
20” LU dan 97º 50’ sampai 99º 20’ LS. Sungai Besitang mengalir dari daerah
hulu yang terletak di kecamatan Besitang Hulu dan bermuara ke Selat Malaka.
Panjang sungai sebesar 85,87 km dan kemiringan rata-rata sebesar 0,0436.
Tabel 8. Luas Sub DAS di Kawasan DAS Besitang
Sub DAS Luas (Ha)
Pulau Sembilan 1.940,49
SDA Sei Sirah 37.920,38
Besitang Hilir 28.585,26
Besitang Hulu 23.592,75
Besitang Tengah 6.662,68
Total 98701,56
Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular, 2011
Secara administrasi, DAS Besitang berada di Kabupaten Langkat, Provinsi
Sumatera Utara, Indonesia. Adapun Batas DAS Besitang adalah:
Sebelah Utara : Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
Sebelah Selatan : Daerah Aliran Sungai Sei Lepan
Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
Sebelah Timur : Selat Malaka
Terdapat beberapa sub-sub DAS di kawasan DAS Besitang, diantaranya adalah
Besitang Hulu, Besitang Tengah, Besitang Hilir, Pulau Sembilan, dan SDA Sei
Curah Hujan dan Faktor Erosivitas Hujan (R)
Arsyad (2006) menyatakan besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan
oleh lima faktor utama yaitu, erosivitas hujan, erodibiltas tanah, bentuk lahan,
vegetasi penutup tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. Faktor-faktor ini sangat
mempengaruhi laju erosi tanah yang merupakan proses penting dalam
pembentukan suatu daerah aliran sungai serta memiliki konsekuensi ekonomi dan
lingkungan yang penting di DAS tersebut, di mana bentuk dan kondisi fisik suatu
DAS sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sendimentasi
(Linsley, et al, 1996).
Curah hujan di kawasan Daerah Aliran Sungai Besitang diperoleh dari
empat stasiun meteorologi yang menyebar merata di seluruh kawasan tersebut,
diantaranya Stasiun Kantor Camat Batang Serangan, Stasiun Brandan Barat,
Stasiun Pangkalan Susu, dan Stasiun BPP Besitang. Data curah hujan 10 tahun
(2004-2013) (Lampiran 1), menunjukkan intensitas curah hujan di kawasan DAS
Besitang.
Pada data curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, dan erosivitas di
kawasan DAS Besitang, Stasiun Kantor Camat Batang Serangan memiliki curah
hujan tahunan (3.464 mm/tahun), curah hujan bulanan (28.87 cm/bulan), dan nilai
faktor erosivitas hujan (R) (3.470,9 cm/tahun) yang merupakan nilai tertinggi
diantara stasiun hujan lainnya. Stasiun BPP Besitang memiliki curah hujan
terendah diantara tiga stasiun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Poligon
Thiessen digunakan dalam menggambar batasan sebaran nilai erosivitas hujan
Tabel 9. Rata-rata CH tahunan, bulanan, dan erosivitas di kawasan DAS Besitang
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder
Berdasarkan Tabel 9 dan Gambar 4., 65,76% kawasan DAS Besitang
digambarkan oleh Stasiun Meteorologi Besitang seluas 59.672,60 Ha, kemudian
oleh Stasiun Meteorologi Pangkalan Susu 25,80%, dan Stasiun Meteorologi
Brandan barat 7,62%.
Sifat curah hujan yang mempengaruhi erosivitas dipandang sebagai energi
kinetik butir-butir hujan yang menumbuk permukaan tanah. Hujan dengan
intensitas tinggi (lebat) dalam periode yang panjang maupun pendek dapat
menyebabkan kehilangan tanah (erosi) yang besar, demikian sebaliknya hujan
dengan intensitas rendah jarang menimbulkan pengikisan tanah yang besar. Air
hujan jatuh ke atas tanah menyebabkan aliran permukaan. Pergerakan aliran air ini
akan mengangkut tanah dan bagian-bagiannya sehingga mengakibatkan terjadinya
erosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schwad, dkk (1981) dalam Banuwa
(2013) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi aliran
permukaan adalah faktor presipitasi. Lamanya hujan, distribusi, dan intensitas
Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Nilai erodibilitas setiap penggunaan lahan bervariasi, erodibilitas
merupakan kepekaan tanah terhadap pukulan (energi kinetik) butiran air hujan dan
penghanyutan oleh aliran permukaan. Tanah yang erodibilitasnya tinggi akan
rentan terkena erosi, bila dibandingkan dengan tanah yang erodibilitasnya rendah.
Nilai erodibilitas diperoleh dengan pengamatan sifat fisika dan kimia tanah.
Tabel 10. Nilai faktor erodibilitas tanah (K) DAS Besitang
Nilai K Luas
Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular (2011)
Nilai erodibilitas (K) dihitung dengan mengetahui sifat fisik tanah, yaitu
tekstur tanah (%debu, %pasir, dan %liat), struktur tanah, nilai permeabilitas tanah,
dan kadar bahan organik tanah, dimana sifat fisik tanah tersebut dapat
mempengaruhi besarnya erosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (1989);
Rahmawaty, et al (2011) yang menyatakan bahwa sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat
lapisan, dan tingkat kesuburan tanah. Berdasarkan Gambar 5 dan Tabel 10, nilai
erodibilitas (K) tertinggi sebesar 0,275 dan yang terendah sebesar 0,120. Makin
besar nilai erodibilitas tanah makin mudah tanah tersebut mengalami erosi dan
sebaliknya.
Tekstur tanah merupakan perbandingan antara fraksi debu, pasir, dan liat.
Fraksi tersebut digunakan untuk menentukan besarnya ukuran patikel (M). karena
data yang tersedia hanya %pasir, maka penelitian ini hanya menggunakan %debu
hubungannya dengan erodibilitas, makin besar nilai tekstur tanah, maka makin
besar pula nilai erodibilitasnya.
Kandungan bahan organik juga memiliki korelasi positif dengan nilai
erodibilitas tanah. Bahan organik memiliki kemampuan dalam mengikat dan
menstabilkan partikel-partikel tanah yang menjadikan agregat tanah semakin kuat
dan kepekaannya terhadap erosi menjadi berkurang. Makin banyak kandungan
bahan organik yang terkandung di dalam tanah maka makin besar kemampuannya
dalam menyerap dan menahan air yang menyebabkan aliran permukaan (run-off)
makin kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (1989) yang menyatakan
bahwa bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai
kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Pengaruh bahan organik
dalam mengurangi aliran permukaan terutama dalam memperlambat aliran,
meningkatkan infiltrasi, dan memantapkan agregat tanah.
Struktur tanah merupakan bentuk dan kumpulan dari partikel tanah. Dari
hasil penelitian diperoleh struktur contoh tanah yang dominan adalah tipe remah
dan bernilai 1.
Permeabilitas merupakan kemampuan tanah dalam melewatkan air. Dari
hasil penelitian diperoleh bahwa kelas permebilitas yang dominan pada tanah
yang diamati adalah kelas lambat sampai sedang. Dalam hubungannya dengan
erodibilitas, semakin rendah kelas permeabilitas (semakin cepat laju
permeabilitas) menyebabkan nilai erodibilitas semakin kecil. Hal ini sesuai
dengan pendapat Kusumandari (2008) dalam Sulisyaningrum, dkk, bahwa
semakin besar nilai permeabilitas tanah maka semakin rendah kepekaan tanah
Tekstur contoh tanah yang diteliti umumnya berpasir (Lampiran 1) dan
digolongkan memiliki struktur yang lemah dengan tipe granuler (kelas struktur 1).
Manyiwa dan Dikinya (2013) menyatakan bahwa tanah dengan struktur lemah
(granuler) sebagaimana ditunjukkan dengan nilai bahan organik yang relatif
rendah menyebabkan tanah mudah untuk tererosi. Ball (1990) dalam Manyiwa
dan Dikinya (2013) di dalam jurnal yang sama menyatakan peningkatan laju erosi
Faktor Topografi (LS)
Peta topografi dan kelerengan diperoleh dari Badan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (BPDAS) Wampu Sei Ular dan faktor panjang lereng (L) dan faktor
kecuraman lereng yang diberlakukan oleh Kementerian Kehutanan (2006) yang
ditunjukkan pada Tabel 11 dan digambarkan dalam Gambar 6. Daerah terluas
(86,90%) merupakan daerah yang datar dengan kelerengan 0-8% (85.105,38 Ha).
Hanya sebagian kecil daerah yang mempunyai kelerengan di atas 8%.
Tingkat kelerengan dan nilai faktor LS di dalam perhitungan potensi
erosi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan rumus USLE disajikan dalam
Tabel 11 dan digambarkan dalam Gambar 6.
Tabel 11. Kelas kemiringan dan nilai LS DAS Besitang
Kelas Kemiringan
Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular (2011)
Kelerengan atau nilai faktor LS digunakan berdasarkan klasifikasi oleh
Kementerian Kehutanan (1993) dalam Rahmawaty, et al (2011), nilai ini
menunjukkan bahwa penyebaran kelas kelerengan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi perhitungan potensi erosi. Kemiringan lereng berpengaruh
terhadap kecepatan dan jumlah aliran permukaan. Kemiringan lereng yang rendah
akan memberikan kontribusi yang kecil terhadap nilai LS, dan nilai LS yang kecil
menyebabkan erosi yang ringan. Makin tinggi nilai LS, makin tinggi pula potensi
erosi dan faktor-faktor lainnya yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan
lereng, jumlah tanah yang terpercik oleh tumbukan hujan akan semakin banyak.
Jika kecuraman lereng meningkat menjadi dua kali, maka jumlah erosi menjadi
2,0-2,5 kali lebih besar. Kusumastuti (1994) dalam Martono (2004) di dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa intensitas hujan dan kemiringan lereng
merupakan parameter yang berpengaruh besar terhadap kuantitas erosi. Pada
sudut kemiringan lereng yang sama, intensitas hujan meningkat, akan
mengakibatkan peningkatan erosi. Begitu juga sebaliknya pada intensitas hujan
yang sama, sudut kemiringan lereng meningkat, juga akan diikuti peningkatan
Faktor Penggunaan dan Pengelolaan Lahan (CP)
Faktor tanaman (C) menggambarkan rasio kehilangan tanah dari tanah
yang diusahakan untuk suatu tanaman yang ditanam searah dengan lereng
terhadap kehilangan tanah yang terus menerus dibiarkan tanpa tanaman di atas
suatu jenis tanah, lereng, dan panjang lereng yang identik.
Faktor tindakan konservasi tanah menggunakan metode USLE
menggambarkan sebuah integrasi atau penggabungan beberapa faktor yang
mempengaruhi erosi termasuk tutupan vegetasi, serasah tanaman, permukaan
tanah, dan pengolahan lahan. Dalam kaitannya dengan bagaimana kanopi tanaman
dapat menahan tetesan air hujan yang mempengaruhi percikan erosi.
Faktor tanaman (C) dan faktor tindakan konservasi tanah (P) di kawasan
DAS Besitang seperti yang digambarkan pada Tabel 12., nilai C dan P pada DAS didasarkan pada pola tanaman dan penggunaan lahan yang ada. Nilai tersebut
diperoleh dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Gambar 7,
menunjukkan penggunaan lahan yang ada sekarang di kawasan DAS yang
Tabel 12. Faktor CP pada penggunaan lahan berbeda di DAS Besitang
Jenis Penggunaan Lahan Nilai CP
Luas
Ha %
Badan Air 0,001 305,85 0,34
Belukar 0,300 6.827,13 7,52
Belukar Rawa 0,010 3.425,65 3,77
Hutan Lahan Kering Primer 0,010 33.739,97 37,18
Hutan Lahan Kering Sekunder 0,010 1.145,50 1,26
Hutan Mangrove Sekunder 0,010 1.135,02 1,25
Pemukiman 0,950 407,48 0,45
Perkebunan 0,500 31.381,67 34,59
Pertanian Lahan Kering 0,280 7.204,61 7,94
Pertanian Lahan Kering Campuran 0,190 34,64 0,04
Rawa 0,010 298,16 0,33
Sawah 0,010 1.330,50 1,47
Tambak 0,001 2723,49 3,00
Tanah Terbuka 0,950 775,02 0,85
Total 90.734,73 100,00
Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular dalam Jayusri (2012)
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa setiap penggunaan lahan
memiliki nilai CP yang berbeda-beda. Hal tersebut terlihat pada penggunaan lahan
yaitu pemukiman, tanah terbuka, perkebunan, belukar, dan pertanian lahan kering,
masing – masing penggunaan lahannya memiliki nilai CP yang tinggi,
dikarenakan tanaman yang ditanam tidak memiliki perakaran yang baik dan kuat
dalam menahan erosivitas hujan. Hal ini dapat merusak lapisan permukaan tanah
apalagi ditambah dengan kondisi lereng yang curam. Akan tetapi, berbeda dengan
jenis penggunaan lahan seperti hutan yang memiliki nilai CP yang rendah
dikarenakan mempunyai tajuk dan kerapatan yang tinggi juga perakaran yang kuat
sehingga kemampuan dalam menahan erosivitas hujan sangat besar.. Peta sebaran
tutupan lahan dan faktor CP DAS Besitang dapat dilihat pada Gambar 7.
Jenis penggunaan lahan terbesar adalah hutan lahan kering primer dengan
luas 33.739,97 Ha. Namun, persentase terbesar kedua penggunaan lahan
merupakan lahan perkebunan seluas 31.381,67 Ha. Hardjowigeno (2003)
karena vegetasi menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan
tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat dikurangi. Akan
tetapi, dalam pengaruh vegetasi penutup tanah tersebut perlu juga dilihat
ketinggian tajuk dan kerapatan tajuk yang mempengaruhi butiran-butiran hujan
yang menimpa permukaan tanah. Selain itu, perakaran tanaman sangat berperan
sebagai pemantapan agregat dan memperbesar porositas tanah. Sesuai dengan
pendapat Utomo (1989) yang menyatakan bahwa pengaruh vegetasi sangat
tergantung pada jenis tanaman, perakaran, tinggi tanaman, tajuk dan tingkat
Prediksi Erosi
Hasil dari menumpangtindihkan faktor-faktor erosi (erosivitas hujan (R),
erodibilitas tanah (K), faktor panjang lereng (L), faktor kecuraman lereng (S),
faktor tanaman (C), dan faktor konservasi tanah (P)) seperti yang digambarkan di
atas sebelumnya menunjukkan bahwa distribusi prediksi erosi di kawasan DAS
Besitang seperti yang digambarkan dalam Gambar 8 dan dilengkapi oleh Tabel
13.
Tabel 13. Distribusi prediksi erosi tanah di DAS Besitang
Kelas Deskripsi Prediksi Erosi (Ton/Ha/Tahun)
Sumber: Hasil pengolahan data primer dan sekunder
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat laju erosi dominan yang terjadi di
wilayah DAS Besitang termasuk dalam kelas II (51.916,83 Ha atau 57,22% dari luas DAS Besitang), dan laju erosi dengan luasan terkecil termasuk dalam kelas V
(11,72 Ha atau 0,01%). Perbedaan laju erosi pada setiap bagian DAS dipengaruhi
oleh banyak faktor, salah satunya yang paling berpengaruh adalah kemiringan
lahan (kelerengan). Makin tinggi nilai kemiringan suatu lahan (curam) maka
makin besar pula kecepatan aliran permukaan yang terjadi sehingga kekuatan
angkut terhadap butiran tanah semakin besar sehingga akan menimbulkan laju
erosi yang besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Troeh, dkk (1980) dalam
Banuwa (2013) yang menyatakan bahwa jumlah dan kecepatan aliran permukaan
akan meningkat dengan makin curamnya lereng, karena aliran permukaan dari
Faktor tanaman atau penggunaan lahan juga memiliki pengaruh yang besar
terhadap nilai laju erosi. Lahan dengan tutupan vegetasi yang baik dan
pengelolaan yang baik akan melindungi permukaan tanah dari air hujan yang
jatuhdi lahan tersebut. Dengan demikian tanah dengan tutupan vegetasi yang baik
dapat mengurangi laju erosi.
Menurut penelitian rahmawaty (2005) dalam buku Participatory Land Use
Allocation pada table 5.5. Distribution of estimate soil erosion in Besitang
watershed, laju erosi dominan yang terjadi Di DAS Besitang tahun 2005 termasuk
dalam kelas I (72.222.9 Ha atau 72,20% dari luas DAS Besitang), dan laju erosi
terbesar kedua termasuk dalam kelas II (25.987,2 Ha atau 25,97% dari luas DAS
Besitang) yang merupakan laju erosi dominan yang terjadi pada penelitian tahun
2014. Sedangkan pada kelas III prediksi laju erosi tahun 2005 sebesar 1511,4 Ha
atau 1,51% dari luas DAS Besitang meningkat di tahun 2014 menjadi 9720,32 Ha
atau 10,71% dari luas DAS Besitang. Pada kelas IV meningkat dari 0,31% (2005)
menjadi 2,56% (2014) dan pada kelas V persentasenya tetap sama 0,01% dari luas
DAS Besitang. Banyak terjadi peningkatan laju erosi dari tahun 2005 sampai
tahun 2014. Kurangnya perhatian dan perlunya penanganan yang lebih serius agar
nilai erosi yang dihasilkan tidak lebih berbahaya. Dari nilai tingkat bahaya erosi
yang diperoleh maka upaya tindakan konservasi yang dilakukan dapat ditentukan
berdasarkan arahan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya yang
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Selanjutnya, menurut Kementerian Kehutanan (2002), peta klasifikasi
erosi tanah dibuat dengan menumpangtindihkan peta prediksi erosi tanah dan peta
kedalaman (solum) tanah Tabel 7. Hasil penumpangtindihan berdasarkan Tabel9,
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 14 dan Gambar 9.
Tabel 14. Tingkat bahaya erosi dan luasannya di DAS Besitang
Erosi Tanah Deskripsi Luas
Ha %
Berdasarkan Tabel 14 diperoleh hasil bahwa tingkat bahaya erosi yang
terjadi di wilayah DAS Besitang termasuk kategori berat dengan persentase
57,22% dari luas DAS Besitang dan tingkat bahaya erosi kategori sedang dengan
persentase luas 29,50%. Berdasarkan Gambar 9, diketahui bahwa tingkat bahaya
erosi berat pada umumnya terjadi pada daerah dengan kondisi topografi yang
sangat curam (kemiringan >40%). Lahan dengan kemiringan sangat curam jika
penutupan tanah memiliki kerapatan vegetasi yang rendah maka akan
menimbulkan bahaya erosi yang besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tufaila
(2012) yang menyatakan bahwa makin besar nilai kemiringan lereng, maka
kesempatan air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) akan terhambat sehingga
volume limpasan permukaan semakin besar yang mengakibatkan terjadinya
bahaya erosi. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan yang lebih serius agar
nilai erosi yang dihasilkan tidak semakin berbahaya. Dari nilai tingkat bahaya
erosi yang diperoleh maka upaya tindakan konservasi yang akan dilakukan dapat
yang merupakan salah satu strategi konservasi tanah. Suripin (2002) dalam
A’Yunin (2008) menyatakan bahwa secara garis besar metode konservasi tanah
dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan utama, yaitu (1) secara agronomis,
Arsyad (2010) di dalam buku “Konservasi Tanah dan Air” menyatakan
bahwa tindakan konservasi berfungsi untuk mengurangi panjang lereng dan
menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah air oleh tanah, dengan
demikian erosi akan berkurang, dan penyusunan arahan tindakan konservasi lahan
yang tepat dapat mengurangi kerusakan lahan yang disebabkan oleh erosi untuk
menghindari terjadinya bencana alam dan degradasi lahan yang dapat berpotensi
mengalami kekritisan lahan sehingga menjaga kelestarian sumber daya tanah dan
air di DAS Besitang.
Untuk mengetahui tingkat kekritisan lahan di DAS Besitang dapat dilihat
pada Tabel 15 dan Gambar 10.
Tabel 15. Lahan kritis Di DAS Besitang
Tingkat Kekritisan Lahan Luas
Ha %
Tidak Kritis 29.179,27 32,73
Potensial Kritis 28.848,27 31,79
Agak Kritis 10.662,18 11,75
Kritis 7.489,01 8,25
Sangat Kritis 638,77 0,70
Total 90.734,73 100
Sumber: BPDAS Wampu Sei Ular (2013)
Rukmana (2001) mengemukakan bahwa lahan kritis pada hakikatnya
adalah lahan yang keadaan fisik, kimia, dan biologi tanahnya tidak atau kurang
produktif dari segi pertanian. Berdasarkan tingkat kerusakan fisik tanah, maka
lahan kritis adalah lahan yang telah kehilangan lapisan tanah bagian atas (top soil)
yang subur akibat erosi, sehingga lahan menjadi tidak produktif. Dampak lain
yang ditimbulkan erosi adalah rusaknya fungsi hidrologis daerah aliran sungai
sehingga menimbulkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim
Pada Gambar 10 diketahui 32,73% luasan DAS Besitang merupakan
kawasan yang tidak kritis dan 31,79% merupakan kawasan potensial kritis. Lahan
potensial kritis adalah lahan yang masih berfungsi sebagai fungsi produksi dan
fungsi perlindungan. Pada lahan pertanian, lahan tersebut masih produktif bila
diusahakan untuk pertanian. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Candra
(2003) yang menyatakan bila pengelolaan lahan potensial kritis tidak
menggunakan kaedah-kaedah konservasi maka tanah akan menjadi rusak dan
lahan menjadi semi kritis atau kritis. Lahan kritis ditentukan oleh berbagai faktor,
diantaranya tingkat bahaya erosi yang terjadi pada daerah tersebut. Jika
dibandingkan peta tingkat bahaya erosi dengan peta lahan kritis yang diperoleh
dari BPDAS Wampu Sei Ular maka dapat dilihat bahwa daerah yang tingkat
bahaya erosinya sedang, pada peta kekritisan lahan termasuk pada lahan agak
kritis. Hal ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari penelitian linear
dengan data kekritisan lahan dari BPDAS. Namun ada juga beberapa keadaan
yang tidak menunjukkan hubungan demikian. Hal ini bisa saja terjadi karena nilai
dari parameter yang digunakan dalam penentuan tingkat bahaya erosi tidak sama
dengan nilai dari parameter yang digunakan dalam penentuan lahan kritis.
Lahan kritis erat pula kaitannya dengan penggunaan lahan dan kawasan
Tabel 16. Kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI SK. 579 tahun 2014 di DAS Besitang
Kriteria Luas (Ha)
Hutan Lindung (HL) 1.900,68
Hutan Produksi (HP) 10.670,25
Hutan Produksi Terbatas (HPT) 9.999,03
Hutan Suaka Alam (HSA) 37.937,76
Total 60.507,72
Sumber: Analisis data
Menurut Undang- Undang Nomor 41 tentang Kehutanan, kawasan hutan
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor (SK. 579/Menhut-II/2014) tentang
Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara seperti yang terlihat pada Gambar 11
dan Tabel 16., kawasan hutan di DAS Besitang sebesar 60.507,72 Ha yang berarti
66,69% dari luas total DAS Besitang (90.734,73 Ha). Hal ini sudah memenuhi
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 18 ayat 2 yang
menyatakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga
puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional. Namun, ditemukan ketidaksesuaian penggunaan lahan berdasarkan
fungsinya dan kenyataan di lapangan. Dapat dilihat bahwa hutan lindung yang
seharusnya dilindungi namun pada kenyataannya mengalami perubahan menjadi
perkebunan, pertanian lahan kering, dan tanah terbuka. Jika hal ini terus-menerus
berlanjut maka fungsi kawasan hutan lindung mengalami penurunan luas dan
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungannya. Konversi lahan hutan atau
penggunaan kawasan hutan sebagai lahan pertanian dan perkebunan berdampak
terhadap berkurangnya penutup lahan. Hal ini beresiko terhadap kerusakan
berfungsi melindungi tanah dari erosi. Suprayoga et al (2004) dalam Prasetia
(2007) menyatakan bahwa pada konversi lahan berhutan menjadi perkebunan
monokultur di Sumberjaya Lampung mengakibatkan laju erosi yang terjadi lebih
cepat bila dibandingkan dengan lahan yang masih berupa hutan. Dampak yang
terlihat dari perubahan penggunaan lahan ini adalah semakin bertambahnya lahan
kritis, meningkatnya erosi tanah, dan sedimentasi. Untuk itu, kawasan yang telah
ditetapkan sebagai kawasan hutan ini jelas harus dikembalikan fungsinya.
Debit Sedimen Melayang
Besarnya sedimen melayang (suspended load) dihitung dari hubungan
antara pencatatan debit dan pencatatan konsentrasi sedimen yang ada di daerah
kajian diantaranya, sungai Pekan Besitang, sungai Desa Sekoci, dan sungai Desa
Senapal. Sungai tersebut merupakan sungai yang berada di kawasan DAS
Besitang. Hasil pengukuran sedimen melayang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil perhitungan debit sedimen melayang (Qs)
Lokasi Pengambilan
Desa Pekan Besitang 7620 440,8 0,0864 290.208,61
Desa Sekoci 7450 2.466,16 0,0864 1.587.417,87
Desa Senapal 390 5.073,05 0,0864 170.941,49
Sumber: Hasil pengolahan data primer
Dengan asumsi bahwa konsentrasi sedimen merata pada seluruh bagian
penampang melintang sungai, debit sedimen melayang dihitung sebagai hasil
perkalian antara konsentrasi sedimen dan debit aliran. Berdasarkan Tabel 17 dapat
dilihat debit sedimen melayang atau debit sedimen terbesar terdapat pada lokasi
pengambilan sampel air sungai utama Desa Sekoci sebesar 1.587.417,87
sampel air sungai pada anak sungai di Desa Senapal sebesar 170.941,49
gram/detik. Debit sedimen melayang yang relatif besar di atas menggambarkan
bahwa kondisi biogeofisik sebagian besar DAS Besitang telah mengalami
gangguan. Nilai debit sedimen melayang dan perhitungannya dapat dilihat pada
Lampiran 3. Pemilihan lokasi pengambilan sampel merupakan hal penting yang
harus diperhatikan karena kesesuaian lokasi akan berpengaruh terhadap akurasi
hasil pengukuran. Rahayu dkk (2009) dalam buku Monitoring Air di Daerah
Aliran Sungai, menjelaskan bahwa kriteria lokasi yang ideal untuk melakukan
pengukuran, diantaranya pada lokasi tersebut tidak ada pusaran air, profil sungai
rata tanpa ada penghalang aliran air, arus sungai terpusat dan tidak melebar saat
tinggi muka air naik, dan khusus untuk pengukuran pada sungai besar harus ada
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tingkat bahaya erosi pada DAS Besitang memiliki kelas tingkat bahaya erosi:
-tingkat bahaya erosi sangat ringan yaitu 0
-tingkat bahaya erosi ringan 0,59 ha (0,00%)
-tingkat bahaya erosi sedang 26.765,69 ha (29,50%)
-tingkat bahaya erosi berat 51.916,83 ha (57,22%)
-tingkat bahaya erosi sangat berat 12.051,58 ha (13,28%)
2. Laju erosi dominan yang terjadi di DAS Besitang termasuk dalam kelas II
15-60 ton/ha/thn atau termasuk dalam kelas bahaya erosi rendah (51.916,83 ha atau
57,22% dari luas DAS Besitang)
3. Hasil perhitungan debit sedimen melayang DAS Besitang
-debit sedimen melayang di Desa Pekan Besitang sebesar 290.208,61 gr/detik
-debit sedimen melayang di Desa Sekoci 1.587.417,87 gr/detik
-debit sedimen melayang di Desa Senapal 170.941,49 gr/detik
Debit sedimen melayang tertinggi terjadi di Desa sekoci dan yang terndah pada
sungai Desa senapal.
Saran
1. Dengan persentase tingkat bahaya erosi kategori berat yang cukup besar, maka
kondisi ini perlu dikendalikan dan dilakukan tindakan konservasi yang sesuai
untuk menekan kemungkinan terjadinya erosi dan sedimentasi yang lebih besar di
DAS Besitang. Pada daerah yang mempunyai tingkat bahaya erosi kategori berat
diolah secara intensif untuk mengurangi erosi, daerah dengan lereng curam -
sangat curam akan lebih bermanfaat jika dijadikan kawasan lindung sehingga
menjadi daerah resapan air yang meningkatkkan infiltrasi air hujan dan nantinya
air hujan akan tersimpan kedalam tanah sehingga mengurangi aliran permukaan
yang menyebabkan erosi
2. Melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan minimal secara vegetatif
dengan cara melakukan penanaman pohon atau memanfaatkan sisa – sisa dari
tumbuhan untuk mengurangi jumlah dan kecepatan aliran air permukaan sehingga
penutupan lahan tetap terjaga dan mampu mengikat butiran tanah lebih kuat untuk
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air,
pasal 1, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai “suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan”.
Secara biogeofisik daerah hulu dimaksudkan sebagai daerah konservasi,
dengan karakteristik memiliki kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah
dengan kemiringan lereng besar (>15%), bukan daerah banjir, pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan vegetasi umumnya adalah
tegakan hutan. Sedangkan daerah DAS bagian hilir merupakan daerah
pemanfaatan, mempunyai kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah
dengan kemiringan lereng kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan daerah
banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan
vegetasi umumnya adalah tanaman pertanian kecuali daerah pantai yang
didominasi hutan bakau atau gambut. DAS bagian tengah merupakan daerah
transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang di atas dengan ciri utama
penggunaan lahannya berupa lahan budidaya tanaman tahunan (perkebunan,
Erosi dan Sedimentasi pada DAS
Erosi merupakan proses dimana tanah, bahan mineral dilepaskan dan
diangkut oleh air, angin atau gaya berat. Tanah longsor dan batu-batuan
berjatuhan (mass wastage) merupakan akibat dari gaya berat yang makin
ditingkatkan oleh air (Arief, 2001).
Karena DAS merupakan suatu ekosistem, maka akan terjadi saling
interaksi dalam sistem tersebut. Hujan yang jatuh di suatu DAS akan mengalami
interaksi dengan komponen-komponen ekosistem DAS tersebut dan akan
menghasilkan keluaran berupa debit, muatan sedimen, dan material lainnya yang
terbawa oleh aliran sungai. Terdapat hubungan antara erosi di daerah tangkapan
air dan besarnya sedimentasi yang terpantau di aliran sungai bagian bawah daerah
tangkapan tersebut yang juga berkaitan erat dengan sistem hidrologi. Curah hujan,
jenis tanah, kemiringan lereng, vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai
peranan penting dalam berlangsungnya proses erosi-sedimentasi
(Rauf, dkk, 2011).
Menurut Linsley, dkk (1996), erosi dan sedimentasi merupakan proses
penting dalam pembentukan suatu daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki
konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan
sedimentasi secara alami akan mempengaruhi pembentukan landskap suatu DAS
dan sebaliknya bentuk dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh
terhadap laju erosi dan sedimentasi.
Erosi merupakan faktor eksternal penyebab tanah-tanah pertanian menjadi
sakit atau bahkan mati. Erosi pada awalnya akan memindahkan bahan organik dan
kemudian diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan.
Erosi yang terus berlanjut akan mengikis permukaan tanah atau bagian tanah yang
lembut (horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon
R (batuan induk) muncul ke permukaan (Arsyad, 2010).
Aktivitas bercocok tanam yang tidak atau kurang mengindahkan
kaidah-kaidah konservasi di hulu DAS telah mengakibatkan proses sedimentasi yang
serius pada sungai bagian hilir DAS yang bersangkutan. Besarnya proses
sedimentasi yang berlangsung di dalam waduk/sungai, tidak hanya mempengaruhi
kualitas dan umur pakai waduk, tetapi juga mengakibatkan terjadinya
pendangkalan pada saluran-saluran irigasi yang mendapatkan aliran air dari
waduk/sungai tersebut (Rauf dkk, 2011).
Sedimentasi atau pengendapan adalah proses pengendapan sedimen yang
dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada
suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Sedimen adalah hasil
proses erosi yang mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan
banjir, di saluran air, sungai dan waduk. Hasil sedimen (sediment yield) adalah
besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air
yang diukur pada periode tertentu. Secara garis besar, sedimen dibedakan menjadi
dua jenis yaitu sedimen melayang (suspended sediment) dan sedimen merayap
(bedload) (Loebis, dkk, 1993).
Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi. Morgan (1979)
diantaranya : curah hujan, aliran permukaan, jenis tanah, lereng, penutup tanah,
jumlah penduduk dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah.
Rauf, dkk (2011) menyatakan bahwa pada dasarnya erosi yang terjadi
adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah
dan tindakan manusia terhadap tanah, yang dapat dinyatakan dalam suatu
persamaan deskriptif berikut :
� =� (�,�,�,�,�)
dengan E adalah erosi, i adalah iklim, r adalah relief atau topografi, v adalah
vegetasi atau tumbuh-tumbuhan, t adalah tanah dan m adalah manusia. Persamaan
tersebut mengandung dua jenis variabel yaitu (1). Faktor-faktor yang dapat diubah
oleh manusia seperti tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atas tanah (v), sebagian
sifat-sifat tanah (t) yaitu kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas
infiltrasi, dan satu unsur topografi (r) yaitu panjang lereng, dan (2). Faktor-faktor
yang tidak dapat diubah oleh manusia seperti iklim (i), tipe tanah, dan kecuraman
lereng.
a. Iklim
Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah
hujan. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan
dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan
kerusakan erosi. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu
areal tertentu. Oleh karena itu besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter
kubik (m3) per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air
hujan atau untuk masa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim, atau per
tahun (Sinukaban, 1986).
b. Topografi
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling
berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Unsur lain yang berpengaruh
adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Kemiringan lereng dinyatakan
dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 450.
Semakin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan dan energi angkut air
akan semakin besar. Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran
permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau
dimana kemiringan lereng berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran
air berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di ujung
lereng. Dengan demikian berarti lebih banyak air yang mengalir dan makin besar
kecepatannya di bagian bawah lereng daripada di bagian atas sehingga tanah di
bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin
panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi
air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi
mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula
(Wischmeier dan Smith, 1978).
c. Vegetasi
Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau
rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap
erosi. Karena kebutuhan manusia akan pangan, sandang dan pemukiman semua
terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a)
intersepsi hujan oleh tajuk tanaman; (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan
dan kekuatan perusak air; (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang
berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas
struktur dan porositas tanah; dan (d) transpirasi yang mengakibatkan kandungan
air tanah berkurang (Arsyad, 1989).
Intersepsi hujan oleh vegetasi mempengaruhi erosi melalui dua cara yaitu
a) mempengaruhi jumlah air yang sampai ke tanah sehingga dapat mengurangi
aliran permukaan dan b) mempengaruhi kekuatan perusak butir-butir hujan yang
menimpa tanah (Arsyad, 2010).
Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air dapat
dilakukan dengan adanya tumbuhan yang merambat di permukaan tanah.
Tumbuhan seperti ini berperan sebagai penghambat aliran permukaan. Sedangkan
pohon-pohon yang jarang tegaknya, kecil sekali pengaruhnya terhadap kecepatan
aliran permukaan. Tumbuhan yang merambat di permukaan tanah dengan rapat
tidak hanya memperlambat aliran air tetapi juha mencegah pengumpulan air
secara cepat. Tumbuhan merambat mengurangi daya penguras atau daya hancur
dan daya angkut air (Banuwa, 2013).
Pengaruh akar tumbuhan dan kegiatan biologi tanah dalam memperbaiki
porositas dan stabilitas agregat dilakukan melalui pembentukan agregat-agregat
tanah yang dimulai dengan penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh akar
tanaman. Akar tanaman masuk ke dalam bongkah dan menimbulkan
tempat-tempat lemah kemudian terpisah menjadi butir-butir sekunder. Akar-akar
kimia. Akar-akar serabut mengikat butir-butir primer tanah, sedangkan sekresi dan
bagian tanaman yang terombak memberikan senyawa-senyawa kimia yang
berfungsi sebagai pemantap agregat (Arsyad, 1989).
d. Tanah
Menurut Arsyad (1989) berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan
terhadap erosi yang berbeda. Kepekaan erosi tanah yaitu mudah atau tidaknya
tanah tererosi dan merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan
kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1).
Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas
menahan air dan (2). Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahan struktur tanah
terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran
permukaan. Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah a. tekstur,
b. struktur, c. bahan organik, d.kedalaman, e.sifat lapisan, f.tingkat kesuburan
tanah.
Tekstur adalah ukuran dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer
bagian mineral tanah. Butir-butir primer terbagi dalam liat (clay), debu (silt), dan
pasir (sand). Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil
mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut dalam, maka
erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas
infiltrasi yang cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan maka
butir-butir halus akan mudah terangkut (Kemenhut, 2013).
Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat
tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan
permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya
mempunyai struktur yang mantap yaitu tidak mudah terdispersi maka infiltrasi
masih cukup besar sehingga aliran permukaan dan erosi tidak begitu hebat
(Banuwa, 2013).
Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butir sekunder atau agregat.
Susunan butir-butir primer tersebut menentukan tipe struktur. Tanah-tanah yang
berstruktur kersai atau granular lebih terbuka dan lebih sarang dan akan menyerap
air lebih cepat daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya
lebih rapat. Terdapatnya dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya
dengan erosi. Pertama adalah sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya
flokulasi, dan aspek yang kedua adanya bahan pengikat butir-butir primer
sehingga terbentuk agregat yang mantap (Arsyad, 1989).
Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur
yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan
perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami
pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi.
Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan
tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran
permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan
terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan
agregat tanah (Dariah, dkk, 2004).
Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi
daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan
kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan
oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler
dan permeabel kurang peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan
bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah (Arsyad, 2010).
Perbaikan kesuburan tanah akan memperbaiki pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan tanaman yang lebih baik akan memperbaiki penutupan tanah yang
lebih baik dan lebih banyak sisa tanaman yang kembali ke tanah setelah panen.
Kepekaan tanah terhadap erosi atau kepekaan erosi tanah yang menunjukkan
mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik
dan kimia tanah. Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan
keseluruhan pengaruh sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor
penyebab erosi lainnya (Arsyad, 1989).
e. Manusia
Pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah tanah yang
diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif
secara lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan
memperlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana
sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk
jangka waktu yang tidak terbatas (Banuwa, 2013).
Perkembangan mengenai perumusan persamaan erosi dimulai sejak tahun
1940-an, diawali dengan prediksi kehilangan tanah di suatu lahan pertanian.
Dalam memperkirakan besarnya erosi pada suatu lahan, perlu diketahui data
mengenai jumlah kehilangan tanah yang ada di suatu tempat. Perkiraan besarnya
erosi terkait oleh faktor-faktor topografi/Geologi, vegetasi dan meteorologi.
metode yang bersifat umum. Terdapat beberapa model perhitungan laju erosi yang
kemudian dikembangkan untuk lebih meningkatkan nilai keakuratan serta analisa
pada kondisi lahan yang lebih spesifik. Menurut Sandra et all (1995) model-model
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Metode USLE (Universal Soil Loss Equation)
Universal Soil Loss Equation (USLE) dikembangkan pertama kali di
USDA-SCS (United State Department of Agriculture-Soil Conversation Services)
bekerjasama dengan Universitas Purdue. Metode ini memiliki persamaan yang
sederhana dan bersifat umum untuk suatu lahan, baik lahan pertanian maupun
non-pertanian atau campuran. USLE baik untuk digunakan pada perhitungan erosi
dalam jangka waktu yang lama.
2. Sediment Delivery Ratio (SDR)
Pada kasus tertentu seperti terutama untuk daerah tangkapan air yang
belum diketahui besarnya komponen-komponen rumus USLE, perlu dilakukan
perkiraan nilai erosi yang lebih sederhana tetapi masih bisa
dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara perkiraan besarnya erosi yang dimaksud
adalah dengan memanfaatkan data debit, muatan sedimen, berat jenis tanah dan
nisbah pelepasan sedimen.
3. Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE)
Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE) dikembangkan oleh
USDA Agricultural research service. Model ini meningkatkan keakuratan dari
model sebelumnya yaitu Teori USLE. Dalam mengestimasi atau memperkirakan
efek yang timbul akibat berbagai sistem konservasi tanah pada lahan rawan erosi.